Bu Lim Su Cun 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Giok-liong mengudal gelak tawa sekeras-kerasnya saking
marah, kabut putih mulai menguap, cahaya perak mulai
terpancar dari badannya.
Diam-diam Giok liong sudah kerahkan Ji lo untuk
melindungi badan serta merta kedua tangannya bergerak
setengah lingkaran sembari berkata dengan nada berat:
"Mana ada urusan begitu gampang, seumpama ada juga tidak
menjadi giliran kalian, sungguh igauan belaka."
Sekonyong-konyong cahaya merah darah terpancar
melebar keempat penjuru, ditimpa sinar sang putri maIam
menjadi ribuan ombak bayangan darah bergelombang.
Kiranya dalam sekejap ini keempat orang cebol ini sudah
saling memberi syarat serentak mengerahkan ilmunya untuk
menyerang bersama.
Mega putih bergulung berjubel semakin tebal menyelubungi
sinar putih perak yang menyolok mata, sebuah telapak tangan
putih halus bergerak kalem dan menari indah berseliweran
lincah sekali.
"Sret, sret," sekejap mata saja Giok-Iiong sudah lancarkan
delapan belas kali tipu pukulan yang dahsyat menyerang
keempat musuhnya di empat penjuru.
Terdengar pekik keras berbareng, bukan mundur Hiat ingsu-
ai malah merangsak maju menerjang kearah gulungan
mega putih sambil lancarkan juga pukulan hebat. Harus
diketahui bahwa kedudukan Hiat-ing-su-ai dalam golongan
Hiat ing-bun hanya setingkat lebih rendah dari Cong-cu
mereka, Lwekang dan kepandaian silatnya rata-rata punya
latihan dan kehebatannya sendiri-sendiri.
Meskipun belum mencapai titik sempurna namun juga
boleh dikata sudah mencapai puncak yang boleh dibanggakan
jauh lebih tinggi dari golongan tokoh kosen kelas satu di
kalangan kangouw

Tatkala mana Su-ai bergabung mengeroyok maka betapa
hebat perbawa tenaga gabungan mereka bukankah main-main
belaka, Sinar darah masih bergerak seperti ujung panah,
berputar lincah menusuk cepat, sebaliknya pukulan tangan
juga begitu rapat dan ganas sekali.
Mendadak gerungan aneh serentak berbunyi dari empat
penjuru, bayangan hitam jauh bergerak lincah cepat sekali
laksana angin badai menerpa.
Sebaliknya pihak lawan mandah tertawa dingin saja,
bayangan putih juga ikut berputar cepat, angin ribut menderu
deras sehingga udara sekitar gelanggang menjadi gelap oleh
debu dan pasir yang beterbangan menjadikan suatu
pemandangan indah dan menakjupkan diatas pegunungan
yang sepi.
"Blang", "blum", Ledakan dahsyat menyebabkan Hiat-ingsu-
ai masing-masing terpental surut ke belakang tujuh kaki
jauhnya namun kedudukan serta kuda-kuda mereka masih
berada di tempat semula, sebaliknya Giok liong kelihatan
masih berdiri tegak dengan tenangnya, kedua tangan
bersilang melindungi dada.
Tadi kedua belah pihak sudah mengadu seluruh kekuatan,
boleh dikata masih sama kuat belum kentara pihak mana yang
lebih unggul atau asor. Masing-masing pihak mempunyai
perhitungan serta pengukuran atas standart kepandaian
lawan.
Mendadak salah seorang manusia cebol itu mendelikkan
matanya yang kelihatan buas seperti biji mata ikan, suaranya
bergetar seperti bunyi kokok-beluk: "Lenyapkan dia dengan
sinkang !" tiga kawannya yang lain segera mengiakan
serentak : "itulah jalan satu-satunya."

Serentak keempat cebol menggerakkan kaki tangan sampai
berbunyi keretekan, mata mereka lantas memancarkan sinar
warna merah darah, demikian juga air mukanya menjadi
merah gelap, Hiat-ing-kang memancarkan cahaya merah
laksana jaringan rapat mengapung sekeliling Giok-liong. Hawa
udara menjadi buntu seperti didalam ruangan tertutup rapat.
Seketika Giok-liong merasa pernapasannya sesak,
pembuluh darahnya menjadi membeku darah susah mengalir.
Cepat-cepat ia empos semangat mengerahkan hawa murni Ji
lo berkembang melindungi sekitar badannya.
Cahaya putih cemerlang yang terbungkus oleh merah darah
semakin mengecil mengkeret seperti sebutir sinar mutiara
yang kemilau menyilaukan mata. Mega putih semakin teba.
Demikian juga bayangan merah darah itu semakin marong.
Hiat-ing su-ai mempercepat pengarahan ilmunya, dari
delapan telapak tangan mereka masing-masing melesat keluar
delapan jalur cahaya panah. Mendadak serentak mereka
menggembor keras, empat bayangan mereka merangsak
bersama, cahaya panah dari delapan telapak tangan mereka
kontan menerjang kearah buntalan mega putih yang
membungkus cahaya sinar perak.
Terdengar kumandang gelak tawa panjang yang
menggetarkan isi seluruh alam semesta ini, "Dar..!" Gemuruh
laksana gugur gunung, darah beterbangan tercecer kemanamana,
mega putih luber menjulang tinggi ke tengah udara.
Bayangan orang lantas terpencar mundur sambil mengelak
kesakitan.
Kini Hiat ing su ai sudah mundur tiga tombak, ujung mulut,
hidung dan mata mereka berlepotan darah, Serempak mereka
berteriak: "Gigit lidah semprotkan darah!"

Bercekat hati Giok-liong. Gigit lidah menyemprotkan darah
merupakan suatu ilmu jahat dan paling ganas dari golongan
Hiat-ing-bun mereka.
Ilmu ini merupakan pusaka terakhir bagi mereka yang
sudah kewalahan menghadapi musuh, tidak dalam keadaan
terpaksa biasanya jarang dan terlarang keras menggunakan
ilmu yang berrcjn ini.
Sebab setitik saja pihak musuh terkena semprotan darah
ini, selama tujuh kali tujuh jam seluruh badan akan membusuk
menjadi genangan darah. Apalagi tiada obat pemunahnya,
bagi yang terkena terang jiwa sukar tertolong lagi.
Sudah tentu orang yang melancarkan ilmu ini juga pasti
kehabisan hawa murni dan menjadi lumpuh, sedikitnya
kehilangan daya latihan selama tiga empat tahun.
Sekarang agaknya Hiat-ing-su-ai sudah merasa kewalahan
dan gusar busan main, terpaksa mereka melancarkan ilmu
gigit lidah menyemprotkan darah yang sangat berbahaya itu.
Giok liong menghardik keras: "Hiat-ing-bun tiada dendam
permusuhan dengan aku, kalian hendak melancarkan ilmu
jahat, adakah harganya?"
Tertua dari keempat cebol membentak gusar: "Biia tidak
mendapatkan seruling samber nyawa pihak Hiat-in-bun
bersumpah tidak akan lepas tangan."
"Baik, terpaksa aku adu jiwa dengan kalian! inilah seruling
samoer nyawa disini!" Serempak sorot kuning dan cahaya
putih berkelebat tahu-tahu Giok-liong sudah mengeluarkan
Potlot mas dan seruling samber nyawa.
Dengan sikap gagah Giok-liong bergerak lincah berputar
seperti gangsingan sepiring dengan gerak-geriknya ini irama
seruling lantas mengalun tinggi seperti ular naga sedang
menggelosor.

Begitu melihat seruling samber nyawa dikeluarkan seketika
timbul semangat Su-ai, tergetar seluruh badan mereka,
berbareng mulut mereka mendengus-dengus seperti binatang
buas mengendus daging mentah. Kepala besar mereka
bergoyang goyang air muka juga menjadi bengis dan
menyeringai iblis, lidahnya diulur odotfcau seperti setan
gentayangan seperti lidah ular yang mulur pendek.
Tiba-tiba gadis baju kuning yang menonton dipinggir
gelanggang sekian lama itu berteriak: "Siau-hiap, biarlah aku
membantumu!"
Dalam keadaan yang genting ini Giok-liong sempat
berteriak: Jagalah keselamatan nona sendiri, mereka takkan
dapat . . . Hai, awas!"
Pada saat itulah mendadak Su ai lancar kan serangannya
dengan delapan jalur panah darah menyerang kearah Giokliong,
sedikit saja perhatian Giok-liong terpencar ia harus
membayar mahal akan kecerobohannya ini, belum lagi kata
katanya habis diucapkan mulutnya berganti berteriak
kesakitan, darah terasa bergolak dan mengalir balik, mata
berkunang-kunang.
Giok liong merasa tenggorokannya menjadi panas anyir,
"Wah . . . . ." darah segar menyemprot keras sekali sampai
sejauh tiga tombak.
Begitu serangan mereka memperoleh hasil Su-ai semakin
mendapat hati, serentak mereka berteriak-teriak aneh terus
memburu maju, diantara cahaya merah darah yang masih
melingkupi sekitar gelanggang, delapan cakar iblis mereka
sudah menubruk tiba.
"Tahan!" liba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring
merdu disusul bayangan merah berkelebat datang, Tahu-tahu
dihadapan mereka sudah bertambah dua orang gadis remaja.

Sekuatnya Giok-liong pentang matanya, namun tubuhnya
terhuyung mundur dan jatuh terduduk diatas tanah, Terasa isi
perutnya se perti dipelintir dan dicocoki jarum, sesaat lamanya
hawanya murni sulit terhimpun.
Sungguh diluar perhitungannya sedikit saja perhatian
terpencar sedetik itu pula, ia sudah terserang telak oleh
pukulan gabungan su-ai yang dahsyat itu. Untung ilmu gigit
lidah menyemprotkan darah mereka belum sempat
dilancarkan kalau tidak habis sudah riwayatnya.
Kaki tangan terasa lemas lunglai, sekuatnya ia bertahan
mengempos semangat mengerahkan hawa murninya.
Melihat sergapan bersama mereka berhasil merobohkan
lawan, baru saja Hiat ing-su-ai hendak bertindak lebih lanjut
merebut seruling samber nyawa mendadak terdengar
bentakan nyaring merdu itu, seketika mereka tertegun berdiri.
Ternyata orang yang mencegah tindakan mereka
selanjutnya tak lain tak bukan adalah putri tunggal Congcu
mereka sendiri yaitu tuan putri Hiat-ing Kong-cu Ling-Soat-yau
bersama pelayan pribadinya Chiu-ki dengan angkernya mereka
berdiri ditengah gelanggang.
Lekas-lekas Su-ai menarik kembali serangan selanjutnya,
berjama mereka menjura sambil berseru: "Menghadap Kongcu!."
Hiat ing Kong cu Ling Soat-yan mengulapkan tangan,
ujarnya: "Bebas!"
Habis berkata matanya yang jeli menyapu penrtarg kearah
Giok-liong yang duduk bersila, seketika berubah hebat air
mukanya, pandangan mata yang penuh nafsu membunuh
terunjuk pula rata perasaan dan jelas. "Diam-diam ia
membatin: "Siapakah gadis baju kuning ini, kenapa
membopong dan menolongnya, apa mungkin." Tak berani ia
melanjutkan dugaannya.

Ternyata setelah terkena pukulan Hiat-ing-ciang dari
gabungan serangan Hiat-ing-su-ai, Giok liong terluka parah,
sampai duduk-pun tak kuat lagi seluruh badannya rebah
dalam pelukan si gadis baju kuning, dengan mata meram
dalam keadaan sadar tak sadar.
Sekuatnya ia bertahan mengempos semangat menahan
sakit yang mengiris-ngiris seluruh badan.
Air mata membanjir keluar dari kedua mata si gadis baju
kuning, katanya disamping telinganya dengan lemah lembut:
"Siau-hiap! Kenapa kau? Akulah yang harus mampus terlalu
banyak cerewet sampai kau terpencar perhatianmu sehingga
terluka parah, akulah yang mencelakakan kau!"
Mata memandang dengan beringas, dalam hati Ling Soatyan
mendelu seperti ditusuk-tusuk, ia berdiri termangu sambil
menggigit bibirnya.
Terdengar Hiat-ing-su-ai menyembah bersama: "Lapor
kepada Kong-cu, hamba sekalian menerima perintah Cong-cu
kemari untuk. ."
Tanpa menanti mereka habis berkata Hiat-ing Kong cu
sudah tidak sabar lagi, sentaknya: "Aku sudah tahu untuk
merebut benda pusaka seruling samber nyawa itu bukan?"
"Ya, betul! "empat cebol mengiakan bersama. "Congcu
segera juga akan tiba."
"Apa ayah juga segera datang?" - terang Ling Soat-yan
tercengang diluar dugaan.
Sesaat ia hanya melirik saja, tapi akhirnya toh melangkah
maju pelan-pelan sampai dipinggir Giok-Iiong, tanyanya lirih:
"Bagaimana lukamu? Apakah berat?"
"Hm," jengek sigadis baju kuning: ""Kucing menangisi tikus,
main pura-pura segala!"

Selebar muka Ling Soat-yan merah padam penuh rasa
kebencian dan jelus, desisnya mengancam: "Apa katamu?"
Gadis baju kuning juga tidak kalah galak dengan tangan
sebelah masih memeluk Giok liong, tanpa melirik sedikit
kearah Ling-Soat-yau ia menjengek: "Terang kaum kerabatmu
yang memukulnya sampai luka parah, kini kau pura-pura
menaruh kasihan apa segala, tidak tahu malu!"
Jikalau ia tidak memeluk Giok-liong mungkin Ling Soat yan
sudah menampar pipinya, sedapat mungkin ia menahan rasa
gusarnya, semprotnya: "Kau omong kosong belaka, Tahukah
kau apa hubunganku dengan dia?"
Gadis baju kuning tertawa cekikikan dengusnya menghina:
"Paling tidak adalah laki-laki harammu !"
"Cis" terbakar panas selebar muka Ling Soat yau,
perasaannya sangat tersinggung, setelah meludah ia memaki
dengan marahnya : "Kau ini genduk yang tidak tahu malu,
lepaskan dia, kalau nonamu ini tidak mampu membunuhmu
aku bersumpah tidak menjadi orang !"
Serentak Su ai melayang maju serta serunya bersama:
"Lapor Kong-cu, kini Ma Giok-liong sudah kehilangan
kemampuannya, tidakkah lebih baik kita mengambil Jan-huntinya
itu, kalau tidak . . ."
"Pendapat siapa itu!" selat Ling Soat-yau sambil
menggoyangkan kepala.
"Hamba berempat mendapat perintah Cong-cu, kalau tugas
ini tidak dapat terlaksana sekembali kita pasti mendapat
hukuman berat . . ."
"Semua aku yang bertanggung jawab !" nada ucapan Ling
Soat-yan sangat ketus, Su-ai menjadi saling berpandangan
mengunjuk serba salah, Tapi mereka tahu bahwa putri
bayangan darah ini adalah putri tunggal Hiat-ing-cu yang

paling disayang, mana mereka berani menentang
kehendaknya, keruan mereka menjadi gugup seperti semut
didalam kuali.
Sementara itu gadis baju kuning sudah membimbing Giokliong
bangun duduk, katanya lirib : "Siau hiap, kau
istirahatIah. Biar kuukur sampai berapa tinggi kepandaian
budak baju merah yang tidak tahu malu ini." Melihat sikap
yang memprihatin terhadap Giok liong, Ling-Soat yau semakin
mendelu serasa hatinya dirusuk sembilu: "Maknya genduk
yang tidak tahu malu!" seiring dengan makiannya ini
bayangan merah lantas berkelebat merangkak maju sambil
mengirim gelombang pukulan dahsyat sekali.
"Silat kampungan, masa dapat merobohkan nonamu !""
gadis baju kuning juga tidak mau unjuk kelemahan, serempak
iapun kirim berbagai tipu pukulan balas menyerang dengan
hebat. Masing-masing pihak membawa adatnya sendirisendiri,
maka dapatlah dibayangkan betapa seru dan sengit
pertempuran ini, dalam jangka pendek sulit menentukan siapa
lebih unggul atau asor.
Giok liong mendengar semua kejadian ini dengan jelas, apa
boleh buat luka-lukanya perlu perhatian serius, kaki tangan
lemas lunglai lagi, terpaksa ia tinggal diam menghimpun
semangat mengerahkan tenaga, pelan-pelan hawa murni
mulai lancar untuk mengobatiya luka lukanya.
Sekonyong-konyong dari kejauhan sana terdengar teriakanteriakan
nyaring merdu lalu baju terhembus angin
berseliweran terdengar kencang lantas terlihat bayangan
kuning berloncatan mendatang, terdengar sebuah suara
nyaring: "Nah itu disini bertempur dengan orang!" belum
lenyap suara seruan seorang gadis serentak dari tengah udara
beruntun melayang turun delapan gadis remaja yang

mengenakan seragam kuning, di masing masing dadanya
tersulam sekuntum kombang.
Dari cara berpakaian kedelapan gadis yang baru datang ini
terang bahwa mereka adalah sekomplotan dengan gadis baju
kuning yang tengah bertempur itu.
Betul juga gadis baju kuning yang bertempur itu lantas
berteriak kearah mereka : "sekalian cici waspadalah, gadis
baju merah ini adalah siluman dari golongan Hiat-ing-bun."
Delapan gadis baju kuning itu berbareng berseru kejut,
serentak mereka melejit maju terus mengepung Hiat-ing
Kong-cu. SebetuInya kepandaian Ling Soat-yau setingkat lebih
tinggi dari lawannya, maka sedikitpun ia tidak ambil takut, tapi
setelah dikeroyok akhirnya ia menjadi kerepotan juga, lambat
laun keadaannya menjadi terdesak.
Hiat-ing-su ai melihat keadaan tuan putrinya yang tidak
menguntungkan ini, saling memberi syarat, lantas berseru
bersama:
"Tuan putri tak usah gugup hamba berempat disini !"
Demikian juga Chiu Ki tidak mau ketinggalan, dilolosnya
sehelai sapu tangan merah jingga terus menerjunkan diri
dalam gelanggang pertempuran.
Keadaan gelanggang menjadi kacau balau, bayangan
kuning bergerak lincah laksana asap mengembang, sebaliknya
sinar merah menyala laksana bianglala, puluhan orang
berkutet begitu seru sehingga angin menderu deru mengepul
tinggi.
Entah sudah berselang berapa lama kedua belah pihak
masih bertahan sama kuat, Mendadak terdengar sebuah
hardikan keras yang kumandang memekakkan telinga: "semua
berhenti !"" bagai geledek menggelegar sekuntum mega
merah melayang ringan sekali, kelihatan lambat tapi

kenyataan cepat sekali meluncur datang susah dibedakan
bentuk bayangan manusia.
Pertama-tama Hiat-ing su ai meloncat keluar dari
pertempuran terus menjura dalam serta berseru lantang:
"Menyambut kedatangan Cong cu !"
Tak ketinggalan Hiat-ing Koug-cu juga meloncat keluar
kalangan, teriaknya : "Ayah !"
Meski Giok liong tengah istirahat mengerahkan hawa murni,
tapi iapun dapat mendengar dengan jelas, lekas lekas ia
membuka mata memandang.
Kelihatan olehnya segulung bayangan merah darah yang
sukar dibedakan bentuk badannya hanya samar-samar saja
seakan tiada tapi ada kelihatan seperti sosok manusia warna
merah darah.
Tujuh delapan gadis baju kuning itu juga menjadi
terlongong ditempatnya, terdengar diantaranya ada yang
berseru lirih: "Hiat-ing cu !"
"Setelah tahu kebesaran nama Lohu masih tidak segera
menggelinding pergi jauh, apa kalian sedang menunggu
kematian!" nadanya rendah berat dingin lagi membuat
pendengarnya merinding.
Gadis baju kuning yang terdahulu tadi terpaksa
membantah: "Apa mau menindas yarg kecil dan lemah ?"
"Budak besar nyalimu !" belum bentuk badan Hiat-ing cu
kelihatan nyata gulungan bayangan merah itu ringan dan
cepat sekali melayang kearah kelompok gadis gadis baju
kuning itu. seketika terdengar angin badai menderu keras
menghempas kearah mereka. kontan terdengar jerit pekik
yang riuh rendah dari mulut mereka, badan mereka terpental
berpencaran sungsang sumbel, sampai Giok-liong yang duduk
setombak lebih di-sebelah sana juga merasakan darah

bergolak dirongga dadanya, haoipir saja ia tak kuat duduk
bersila.
Hanya kelihatan bayangan darah itu sedikit bergerak saja
cukup menggetarkan tujuh delapan gadis-gadis baju kuning
anak buah Ui-hoa-kiau sehingga mereka lari pontang-panting.
Perbawa semacam ini benar-benar belum pernah dengar dan
melihatnya.
"Apakah dia ini Kim pit-jan-hun Ma Giok-liong ?"
"duk . . . duk . . . duk . . ." setiap langkah kaki Hiat ing cu
terdengar berbunyi berat dan nyaring sehingga menggetarkan
bumi terus langsung maju kearah Giok-liong.
"Benar, dialah adanya !" seru Su-ai mengiakan bersama.
"Mana seruling samber nyawa itu ?"
"Hamba berempat didepan gunung tadi bersua dengan Biklian-
hoa, sehingga belum dapat hasil terus mengejarnya
sampai disini, lantas . . lantas . . ."
"Telur busuk yang tak berguna!"
"Hamba berempat tengah merebut seruling itu, kebetulan
bersua dengan Kong-cu!"
"O, biarlah Lohu turun tangan sendiri !" Lwekang Giok-liong
belum pulih, semadinya sudah mencapai saat-saat yang paling
genting, sepasang matanya rada meram, dari sela-sela
kelopak matanya itu ia melihat sebentuk bayangan merah
darah sedang menghampiri kearah dirinya. Tanpa berasa
dalam hati ia mengeluh : "Celaka! Tamatlah segala-galanya !"
Tiba tiba bayangan merah jingga berkelebat menghadang
didepan Giok liong disusul terdengar suaranya merdu
berteriak: "Ayah !"
"Yau- in, kau minggir !"

"Ayah! Dia . . , dia , . .!"
"Dia bagaimana ?"
"Sekarang dia tengah terluka parah, sedang semadi
menyembuhkan luka-luka itu ?"
"Demi seruling samber nyawa ayahmu tak peduli segala
tetek bengek!"
"Ayah tak boleh kau . . . "
"Budak goblok ! Apa kau sudah gila, lekas minggir!"
Tampak sebuah telapak tangan merah darah menyelonong
keluar dari guIungan merah itu, sehingga hawas sekelilingnya
seketika terasa panas membakar.
Giok-liong sedang berusaha dengan susah payah
mengerahkan hawa murninya seketika terasa olehnya seluruh
isi perutnya menjadi mengangah seperti dibakar, keringat
sebesar kacang mengalir deras dari atas jidatnya !
"Ayah, apa kau bisa mengampuni jiwa nya?"
"Budak, kenapa kau ini tidak lekas menyingkir ?"
"Ayah ! Kau . . . kau . . . ampunilah jiwanya !"
"Ai, budak ini ! Baik ambillah seruling samber nyawa itu,
nanti ayahmu mengampuni jiwanya"
Hati Giok-liong gelisah seperti dibakar, dia rela berkorban
demi keselamatan seruling samber nyawa itu, betapapun ia
tidak rela kehilangan benda pusaka pemberian perguruan
yang diandalkan kepadanya. Apa boleh buat namun tenaga
untuk berdiri saja tiada apalagi hendak melawan sampai
bergerak juga susah takut membuyarkan hawa murni yang
sudah mulai terhimpun, akibat ini akan membuat tubuhnya
cacat untuk selama-lamanya. Terpaksa harus pasrah nasib
saja melihat orang sesuka hati berbuat atas dirinya.

Sinar mas mencorong menyilaukan mata.
Begitu putri bayangan darah merogoh kesaku Giok liong
seketika ia berseru kaget, Karena yang dirogohnya keluar
bukan lain tuanya Potlot masnya itu. Semula ia sangka itulah
Seruling samber nyawa, maka bahkan heran ia berseru kejut
tadi.
Hiat ing-cu mendesak dua langkah, ujarnya: "Mana
Serulingnya ?"
Meski Ling Soat-yan sudah menggeledah seluruh tubuh
Giok liong, namun bayangan seruling samber nyawa saja tidak
kelihatan !
Dengan mendelong Hiat-ing cu awasi putrinya
menggeledah tubuh Giok-liong, namun seruling samber nyawa
itu belum juga diketemukan seketika hawa amarah
merangsang benaknya, bentaknya dengan bengis : "Bocah
licik ?"
Lengan kanannya sedikit digentakkan pancaran sinar merah
darah lantas berkembang dengan gusar ia membentak:
"Biarlah Lohu menyempurnakan kau !" segulung kekuatan
dahsyat seperti berkuntum-kuntum bunga langsung
menerjang kearah Giok-liong,
Bayangan merah jingga segera menubruk maju
menghadang didepan Giok-liong. Mulut Ling Soat-yau berpekik
sambil menyemburkan darah segar badannya terpental jauh
terkena angin pukulan Hiat-ing cu yang dahsyat itu.
Keruan Hiat-ing-cu sangat terkejut, gerungnya keras :
"Anak ing" segera bayangannya berkelebat, sebelum badan
Ling Soat-yau menyentuh tanah sudah diraihnya ke dalam
pelukannya. Tampak wajah Ling Soat-yau pucat pasi, darah
masih meleleh dari ujung mulutnya, dari kedua matanya yang
terpejam masih mengalirkan air mata, membuat siapa yang
melihat merasa kasihan dan terharu.

Sedang sebelah tangannya dengan kencang menyekal
secarik sapu tangan yang terbuat dari sutra halus, Sapu
tangan sutra halus ini digeledahnya dari dalam baju Giokliong.
Mimpi juga Hiat ing-cu tidak menyangka putrinya bakal
berbuat sebodoh itu, rela berkorban untuk menalangi pukulan
yang dihantamkan kcarah Giok-liong tadi.
Kini melihat keadaan putrinya yang kempas kempis ini,
hatinya menjadi duka dan perih: "Anak Yau, kenapa kau
senekad ini!"-sementara telapak tangannya menekan dijalan
darah Tiong-ting tepat didepan jantungmya.
Pelan-pelan Ling Soat-yau membuka mata, napasnya masih
memburu, ujarnya lemah: "Ayah, kau ampunilah dia!.dia . . . "
Hiat ing-cu menjadi keheranan dan tak habis mengerti akan
sikap putrinya ini, jiwa sendiri sudah hampir direnggut oleh
elmaut toh masih menguatirkan keselamatan Giok-liong, pikir
punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, ujarnya:
"Ayah mengabulkan permintaanmu, mari pulang!"
Begitu ia mengulapkan tangan Hiat-ing-su-ai melesat
bersama, lalu bayangan darah melambung pergi. Sambil
membopong tubuh putrinya yang terluka berat, Hiat-ing-cu
melirik sekilas kearah Chiu ki lalu ia melompat tinggi tiga
tombak lebih terus menghilang.
Alas pegunungan ini menjadi kosong dan sunyi, malam
semakin berlarut, kesunyian mencekam alam sekelilingnya,
Hawa malam semakin dingin, butiran air kabut membasahi
seluruh tubuh Giok-liong sehingga merasa kedinginan.
Entah sudah berselang berapa lama baru Giok-liong selesai
dengan semadinya. Terasa seluruh tubuhnya sudah tiada
gejala apa apa, namun ia masih tetap duduk bersila sedikit
pun tidak bergerak sepasang matanya terlongong melihat
barang-barang yang berserakan diatas tanah potlot mas, obatTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
obatan, perhiasan batu giok . . . Dimanakah seruling samber
nyawa? Kenapa pula sapu tangan sutra Ya, sapu tangan sutra
pemberian istrinya, Coh-Ki-sia sebagai kenang-kenangan?
Untuk apa Ling Soat-yau mengambil nya ? Dia adalah . . ."
Lama dan lama sekali ia berpikir namun tak kuasa
memecahkan pertanyaan hati sendiri. Mendadak ia berjingkrak
bangun kepalanya mendongak ke langit, mulutnya lantas
menggembol keras mengalun tinggi seperti gerangan naga
laksana pekik burung hong.
Memang malam ini dia merasa sangat dirugikan, selama
berkilana di Kangouw belum pernah ia dihina sedemikian rupa,
belum pernah tertimpa penderitaan serta siksaan lahir batin
semacam ini. Pertama di gunung Bu-tong san sana ia menjadi
penasaran menjadi tuduhan yang semena mena tanpa alasan,
Lalu di pancing gadis baju kuning itu, belum lagi mereka
bicara habis, dirinya sudah terluka parah terkena gabungan
pukulan Hiat-ing-su ai, kalau Ling Soat yau tidak muncul tepat
pada wakunya, saat ini...
Jelek-jelek sebagai seorang laki laki sejati, tak duga sekali
dua selalu dibela dan dimintakan pengampunan olen
perempuan. Terpikir sampai disini, seolah memperoleh suatu
penghinaan yang diluar batas.
"Hiat-ing-cu, sakit hati malam ini betapa juga harus
kubalas!" sambil berkata-kata telapak tangan kanan
menghimpun tenaga terus diserang kedepan terarah kebutan
didepannya yang berjarak tiga rombak jauhnya.
Tenaga yang melampiaskan kedongkolan hati ini sungguh
dahsyat perbawanya, seketika terjadi suara gcmnruh akan
tumbang dan patahnya dahan dahan pohon serta debu pasir
yang beterbangan

Pohon pohon menjadi roboh dan tumbang seperti didera
oleh hujan badai.
Rada lega juga setelah Giok liong melampiaskan dongkol
hatinya, Mendakak ia teringat apa-apa, Teriaknya gugup: "O !
ya. Tentu seruling samber nyawa telah dicurinya. Waktu ia
membopong aku karena pukulan Su-ai yang hebat itu,
sekaligus ia merogoh dari sakuku, Kalau tidak buat apa
seorang gadis tak dikenal mau membopong aku."
"Nona yang manakah membopong aku?"
Dari lamping gunung sebelah sana terlihat sebarisan gadisgadis
ayu rupawan laksana bidadari mengiring seorang
perempuan yang mengenakan pakaian serba kratonan, pelanpelan
mereka sudah tiba didaratan tanah di hadapan sebuah
batu besar, terpaut dengan Giok-liong tak lebih satu dua
tombak saja.
Seketika terbangun semangat Giok-liong, tersapu habis
segala pikirannya yang mengganggu benaknya tadi menjura
dalam ia menyapa: "Harap tahan, apa kalian adalah orangorang
dari Ui-hoa-kau?"
Perempuan yang mengenakan pakaian serba kratonan yang
mewah itu tersenyum manis, telunjuknya menunjuk sebuah
sulaman kembang besar yang berada di depan dadanya,
suaranya terdengar merdu: "Apakah ini perlu ditanya lagi?"
Sulaman kembang mas didalam itu masing masing
sampingnya tersulam pula enam lembar daun hijau jadi
seluruhnya berjumlah dua belas lembar, sangat jelas dan
menyolok mata.
Bercekat hati Giok-Iiong, katanya sungguh: "Jadi Cian-pwe
adalah Ui-hoa-kiaucu Kim Eng Kim-cianpwe?"

Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan ini, sebaliknya
ia berkata: "Kau hendak menanyakan murid yang telah
memancing mu kemari itu ?"
"Ya, nona itulah yang kumaksud !"
"Mari ikut aku !" habis berkata sepasang biji mata Ui-hoakiaucu
Kim Ing menyapu pandang dengan sorot kilat, sambil
mengebaskan lengan bajunya badannya Iantas melambung
ringan laksana bayangan setan, tanpa mengeluarkan suara
pesat sekali bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana!
Diam-diarn Giok-Iiong merasa kagum dan memuji dalam
hati: "Hebat benar Gin-kangnya, kiranya latihannya sudah
sempurna betul!"
Bukan saja gerak gerik Ui-hoa-kiaucu Kim Ing "serba aneh".
para dayang yang mengiringi dibelakangnya itu juga rata-rata
berkepandaian tinggi pula.
Tanpa ayal segera Giok-liong jemput Potlot mas serta
benda lain miliknya terus lari mengejar sambil
mengembangkan Leng-hun-toh.
Tatkala itu sudah menjelang terang tanah, putri malam
sudah hampir tenggelam kearah barat, ditengah cakrawala
tinggal bintang-bintang yang berserakan memancarkan
sinarnya yang kelap kelip, inilah saat paling gelap menjelang
senja.
Tak lama kemudian dari depan kejauhan sana terdengar
suara gemuruh laksana derap langkah kuda seperti juga air
ditumpahkan dari tengah langit, sekelompok bayangan kuning
berlari pesat beriring, paling belakang setitik bayangan putih
mengintil dengan ketat.
Suara gemuruh itu semakin dekat dan memekakkan telinga
Kiranya itulah sebuah air terjun, air tertumpah jatuh dari
sebuah saluran setinggi puluhan tombak. Bayangan kuning

tadi tengah menuju kearah air terjun itulah. Tidak ketinggalan
Giok-liong juga mendarat diatas sebuah batu besar tak jauh
disamping air terjun itu.
Ui-hoa-kiau cu membalik tubuh sambil unjuk senyum
manis, katanya kepada Giok-liong: "Ternyata ketenaran nama
tuan tidak nama kosong belaka, Gerak tubuh yang pesat
sekali.
Giok-liong mandah tertawa getir, sahutnya merendah: "Ah,
Cianpwe terlalu memuji. Harap tanya dimanakah nona yang
memancingku keluar dari Sam-ceng koan tadi ! Bolehkah aku
menemuinya sebentar?"
Tiba-tiba Ui-hoa-kiaucu Kim Ing menarik muka, sikapnya
berubah dingin, serunya sambil menunjuk kearah terjun: "Nah
itulah di-sana!"
Tak tertahan Giok liong berjingkrak kaget, kiranya diatas air
terjun itu ada sebuah bayangan kuning tengah terayun-ayun
bergoyang gontai karena terdorong oleh carahan air terjun.
Kadang-kadang saking keras timpahan air terjun itu
sehingga bayangan kuning itu terdorong dan terayun keras
menumbuk dinding batu dipinggirnya.
Setelah diawasi dengan seksama barulah jelas ternyata
bayangan kuning itu bukan lain terikat kencang oleh tali
menjalin sebesar ibu jari, kaki tangan ditelikung ke belakang
dan diikat bersama, terus digantung diatas sebuah dahan
pohon yang menjulur keluar tepat diantara air terjun yang
tercurah deras itu.
Air terjun setinggi puluhan tombak maka dapatlah
dibayangkan betapa keras daya timpakan air yang tercurah
turun itu, manusia apakah dapat bertahan terus?

Setelah berseru kejut, Giok-liong lantas bertanya dengan
tak habis mengerti: "Harap tanya Kau cu, nona ini. . ."
"Dia sudah berani melanggar undang-undang keras dari
agama kita!" acuh tak acuh Ui hoa-kiancu memberi
keterangan, maka begitulah cara hukuman yang harus dia
jalani. Bagaimana ? Apakah karena dia tadi membopong kau
lantas merasa kasihan padanya ?"
"Tidak ! Aku mencarinya karena ada persoalan lain !"
"Persoalan lain? Apakah boleh kau katakan kepadaku ?"
agaknya Ui hoa-kiaucu merasa diluar dugaan dan terkejut.
Tanpa tedeng aling-aling lagi segera Giok-liong berkata :
"Karena urusan sebuah "Seruling."
"Seruling ? Apakah seruling sarnber nyawa ?"
"Tidak salah ! Mungkia secara tidak sengaja telah dibawa
pergi oleh nona itu, maka . ."
Belum habis dia berkata, terlihat berubah hebat air muka Ui
hoa kiaucu, hawa membunuh seketika menyelubungi
wajahnya, matanya mendelik tajam.
Tiba-tiba ia ayun kedua tangan mengebaskan lengan
bajunya, Sepuluh jalur angin kencang laksana anak panah
melesat cepat sekali kearah bayangan kuning yang tergantung
ditengah air terjun itu, meski dari kejauhan namun serangan
ini kiranya cukup hebat dan ganas, Terdengar mulut Ui-hoakiaucu
berteriak memaki: "Murid murtad! Ternyata besar
sekali nyalimu !"
Seketika terdengar jeritan panjang yang mengerikan dan
mendirikan bulu roma, sedemikian keras jeritan menyayatkan
hati ini sampai kumandang meninggi menembus alam
sekelilingnya.
Bayangan kuning yang bergoyang gontai itu kelihatan
bergerak semakin kencang, lambat laun berubah dari warna

kuning menjadi seluruhnya berwarna merah darah, Terang
bahwa serangan telunjuk jari itu telah melukai tubuhnya
sehingga seluruh badan berlepotan darah.
Giok-liong menjadi kesima, serunya tergagap : "Cianpwe . .
. ini . . ."
Agaknya kemarahan Ui-i oa-cu masih belum reda tangan
yang terayun tadi lagi lagi bergerak mirirjg seperti membacok,
mulutnya seraya berseru : "Baiklah, sia sia aku membesarkan
kau selama puluhan tahun!"
Segulung angin menerjang keluar lantas terdengar suara
"Byak", "Krak" air tersampuk muncrat, tali menjalin sebesar
jari di atas air terjun itu juga mendadak putus mengikuti aliran
air terjun yang tercurah jatuh kebawah, bayangan kuning
bersemu merah itu kontan tergulung jatuh kedalam telaga
dibawah jurang sana, lalu tergulung oleh ombak besar
sehingga menumbuk sebuah batu cadas yang runcing,
seketika badannya hancur lebur, sungguh mengerikan !
Wajah Ui-hoa-kiaucu Kim lng tetap wajar seperti tidak
pernah terjadi apa-apa, ujarnya sambil mendengus:
"Menguntungkan murid murtad saja !"
Sekonyong-konyong sebuah bayangan biru meluncur
datang cari tengah lamping air terjun sana terus menubruk
datang, belum lagi orangnya tiba suaranya sudah berteriak
memaki: "Kim Ing ! sungguh kejam dan ganas benar hatimu !"
"Tuiiiit . . . . " lima irama seruling mengalun tinggi, disertai
sinar terang memancar berkembang.
"seruling samber nyawa !" Giok liong berteriak girang, terus
menyongsong maju.
Ui-hoa-kiaucu mendengus hidung, jengeknya: "Aku tahu
budak busuk itu tentu sudah memberikan seruling samber
nyawa ini kepadamu !"

Tatkala mana bayangan biru itu sudah hinggap di atas
sebuah batu besar. Kiranya tak lain seorang pemuda yang
mengenakan pakaian ketat warna biru, bermuka pucat,
berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, badannya yang
agak kurut tinggi itu kelihatan kencang berotot keras. Senjata
yang di bekal ditangan kanannya itu bukan lain memang
seruling samber nyawa.
Memandang ke arah jenazah yang hancur lebur tergulunggulung
di dalam air bah dibawah jurang sana, ia berteriak
dengan penuh kepedihan : "Adik Yau ! Legakan dan
tenframkan kau berada di alam baka, Aku bersumpah akan
menuntut balas bagi sakit hatimu ini."
Lalu dengan beringas ia mengayun seruling samber nyawa
seiring dengan irama seruling yang menyedot semangat ini ia
menubruk kearah Ui-hoa-kiaucu Kim Ing, meskipun gerak
geriknya cukup gesit namun kelihatan bahwa Lwekangnya
masih belum sempurna.
Bayangan putih melesat tiba, tahu-tahu Giok-liong sudah
mencegat ditengah jalan, masih ditengah udara ia sudah
berseru, "Tuan ini harap sabar sebentar !"
Sudah tentu pemuda baju biru merasa gusar karena
aksinya dirintangi, tanpa banyak buka mulut ia ayun seruling
di tangannya dengan jurus To pian-toan-tui (mengayun pecut
memutus air) langsung mengepruk ke jalan darah di pundak
Giok-liong. Gerak serangan ini adalah jurus umum dari ilmu
silat yang paling rendah, mana bisa membawa hasil.
Gampang Giok-liong mendakan puncaknya sambil tertawa
dingin, sebat sekali sebuah tangannya meraih hendak
mencengkram seruling samber nyawa.
Pemuda baju biru berseru kejut, lekas-lekas ia melompat
mundur sejauh tiga tombak, gerak geriknya cukup lincah.

"Apa kau juga dari golongan Ui-hoa-kiau?"
Aku yang rendah bukan orang Ui-hoa-kiau!"
"Kenapa kau merintangi aku!"
"Aku hanya minta kembali benda pusaka peninggalan
perguruanku, yaitu seruling samber nyawa di tanganmu itu!"
"Kau? Kau adalah Kim-pit jan-hun Ma Giok liong? "
"Tidak berani! Memang itulah aku yang rendah,"
"Karena seruling samber nyawa ini sehingga adik Yau
meninggal sedemikian mengenaskan, biarlah Hoa Sip-i adu
jiwa dengan kau!" dengan kalap ia menerjang maju sambil
mengayun seruling mengalunkan irama panjang jurus yang
dilancarkan adalah Cui-hun-toh-hun membawa deru angin
kencang terus menyerang kelima jalan darah penting di tubuh
Giok-liong.
"Bocah yang tidak tahu mampus. Berani kau turun tangan
terhadap Kim-pit-jan-hun, bukankah minta gebuk belaka
mencari sengsara! Begitupun baik mengurangi tenagaku untuk
mengajar bocah kurang ajar ini. Hehehe!"
Mendengar ujar Kim Ing ini lekas-lekas Giok-liong tarik
kembali kedua tangannya yang sudah melancarkan serangan
tiba-tiba ia mencelat mundur setombak lebih serunya: "Aku
belum pernah ketemu dengan tuan, Mengapa kau turun
tangan mendesak orang."
"Sebelum melihat peti mati bocah ini tidak mengenal takut,
buat apa kau main sungkan terhadap kurcaci ini." demikian
sela Ui-hoa-kiaucu.
Seruling ditangan pemuda baju biru memancarkan sinar
berkeredep beratus beribu jalur, teriaknya penuh kebencian:
"Betul! Kecuali kau bunuh aku, sambutlah seranganku!"
"Baik, aku mengalah sejurus lagi! "

"Ma Giok liong, jangan kau takabur dan ceroboh Lan-i -
long-kun Hoa Sip-i juga bukan seorang yang bijaksana,
Dengan seruling sakti di tangannya kau lebih lebih harus hatihati."
"Kim lng, sundel kau, jangan putar bacot mengadu bibir,
Betapapun sakit hati adik Yau aku harus membalaskan juga!"
Meski kepandaian pemuda baju biru tidak begitu tinggi,
namun dengan seruling sakti di tangannya perbawanya cukup
hebat juga. Begitulah dengan hati yang terbakar dan penuh
duka ia terus menerjang maju sambil menyerang dengan
senjata di tangannya.
Hati Giok-liong penuh ditandai kecurigaan entah bagaimana
paling baik ia bertindak, jelas bahwa pemuda baju biru ini
dengan gadis baju kuning yang telah mati itu tentu adalah
sepasang kekasih.
Mungkin King Ing memerintahkan gadis baju kuning
memancing dirinya, dengan tujuan seruling samber nyawa itu
sebaliknya sang gadis menyerahkan seruling yang berhasil
dicurinya kepada kekasihnya ini, sebab itu...
Bagaimana juga kejadian ini dirinya harus merebut kembali
seruling itu dulu.
Karena pikirannya ini Giok liong tertawa lantang, serunya:
"Maaf aku berlaku kasar."
Mega putih berkelompok hawa ji-lo terkerahkan
menyelubungi badan terus menerjang ke arah bayangan sinar
seruling yang berputar kencang.
Dikata lambat sebenarnya cepat sekali, Terdengar keluhan
tertahan, gerak bayangan biru seketika berhenti, demikian
juga mega putih lantas menjadi hancur.
"Serahkan seruling samber nyawa, nanti kita berkompromi
lagi!" kiranya dalam satu jurus saja kedua jari tangan GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
liong telah berhasil menutuk jalan darah Ciang-hiat dibawah
ketiak Hoa Sip-i, sehingga pemuda baju biru ini mati kutu.
"HoaSip i, bagaimana kata-kataku tadi?" Karena jalan darah
besar sudah tertutuk Hoa Sip i tidak berani sembarangan
bergerak jidatnya basah oleh keringat dingin, kedua matanya
mengalirkan air mata, tiba tiba ia ayun seruling ditangan
kanannya seraya berteriak dengan kalap: "Kalau ingin seruling
ini kembali, lekas kau bunuh Ui-hoa-kiau cu. Kalau tidak aku
Hoa Sip i rela gugur dan hancur bersama seruling ini."
Benar juga tanpa memberdulikan jalan darahnya yang
tertutuk itu ia laksanakan ancamannya hendak membanting
seruling itu diatas batu gunung.
Giok-liong berjingkrak kaget, cepat-cepat ia mencegah
dengan gugup: "Tahan-tahan!"
"Lekaslah bunuhlah Kim Ing sundel laknat itu. Kalau tidak
meski harus adu jiwa. maka jangan harap kau dapat
memperoleh kembali seruling mu ini dengan masih utuh!"
Seruling samber nyawa terbuat dari ukiran batu giok yang
paling baik mutunya, mana boleh main banting diatas batu
cadas yang keras.
Sesaat Giok-liong menjadi kehilangan kontrol.
Tiba tiba sejalur bayangan kuning meluncur pesat sekali
Serempak pemuda baju biru lantas mengayun tangan
melemparkan seruling ditangannya itu kearah batu cadas.
Ui hoa-kiaucu Kim Ing lancarkan sebuah pukulan jarak jauh
terus maju hendak merebut Giok-liong menjadi gelagapan
tanpa berpikir melukai orang, lekas lekas ia menubruk maju
sambil mencengkeram. saking bernafsu mereka merebut
sehingga angin pukulan juga terlalu besar, sehingga seruling
itu terpental membelok meluncur ketengah udara.

Kedua belah pihak sama-sama menang-Kap tempat kosong
begitulah karena dorongan angin pukulan seruling itu melesat
setinggi puluhan tombak terus meluncur turun kedalam jurang
telaga yang dalam sana.
"Celaka!" sambil mengerahkan seluruh tenaga dan
kemampuannya Giok-liong meluncur mengejar dengan tanpa
memikirkan akibatnya, jelas seruling itu sudah separo amblas
kedalam air, mendadak terlihar air muncrat air menjadi
bergelombang tinggi.
Kiranya begitu dekat dengan seluruh kekuatannya Giokliong
menghembuskan napas dari mulutnya berbareng cepat
sekali tangannya meraih maju. Hanya sedetik saja kaki, muka
dan selebar dadanya sudah basah oleh air. Tapi gerakan Giokliong
belum berhenti sampai disitu saja, sedikit menutul kaki
tubuhnya terus jumpalitan meluncur ketepi sana sejauh tujuh
tombak ringan sekali kakinya mendarat disebelah sana,
dimana kakinya berpijak tepat diatas dahan sebuah pohon
Siong yang tua.
Memandangi seruling ditangannya sungguh susah
dilukiskan perasaan hatinya, jantungnya masih berdebar
keras, seluruh tubuh basah kuyup oleh keringat dan air, air
mukanya serius.
Betapa tidak, seandainya seruling ini benar-benar terjatuh
kedalam air terjun yang tidak terukur dalamnya itu bukankah
dirinya menjadi durhaka ternadap perguruan dirinya akan
menyesal dan putus asa selama hidup ini, sampai nama Kim
pit jan-bun yang sepele itu juga harus dicuci bersila dan
dihapus dari peninggalan sejarah dunia persilatan.
"Hm, cepat benar gerak tubuhnya !" sebuah dengusan
dingin dari sebelah sana, Tampak Ui-hoa kiaucu Kim Ing
setindak demi setindak menghampiri kearah Hoa Sip-i, kiraTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kira sejauh tujuh kaki ia berhenti membentak dengan nada
berat: "Memincut anak murid agama kita, ditengah jalan kau
mencuri dan merampok seruling pusaka lagi, Besar nyalimu !"
Pemuda baju biru Hoa Sip-i menjadi nekad dan tidak mau
kalah garang, semprotnya dengan histeris : "Kim Ing!
Sungguh memalukan dan sia-sia belaka kau menjadi seorang
pimpinan agama, dengan cara kejam dan telengas kau siksa
seorang gadis sebatang kara yang sengsara. Kau sudah
membunuh ayahnya, menyiksa ibunya, sekarang . . . " sambil
berkata-kaia air mata meleleh dengan deras sampai ia tak
kuat meneruskan kata-katanya, akhirnya sambil membanting
kaki ia mendelik dan berseru kalap : "Biarlah aku adu jiwa
dengan kau !"
"Kau belum ada harga bergebrak dengan aku !"
Seperti banteng ketaton Hoa Sip-i menyeruduk maju sambil
mencengkeram kearah Kim Ing. Tapi yang diserang mandah
tertawa dingin, sedikit menggeser kaki bagai bayangan setan
saja layaknya tahu-tahu ia sudah memutar di belakang Hoa
Sip i.
Sebetulnya Hoa Sip-i sudah kerahkan seluruh tenaganya
untuk menyerang tapi tahu-tahu bayangan orang didepannya
mendadak menghilang, belum lagi ia sempat menarik kembali
serangannya dan menanan badan yang menjorok kedepan itu,
tahu-tahu ia sudah rasakan lima jalur angin kencang menutuk
tepat dilima jalan darah penting ditubuhnya.
Seketika ia menggembor keras tertahan, badannya
tersungkur jatuh terus bergulingan ditanah dari tujuh lubang
indranya mengalirkan darah, kaki tangannya berkelejetan
betapa saat dan derita yang dirasakan sungguh ngeri dan
memilukan hati.
"Hahaha, bocah keparat ! kepandaianmu seperti sinar
kunang-kunang juga berani kurang ajar terhadap aku !

Hahaha, biar kau coba rasakan betapa nikmat hajaran yang
setimpal ini !"
Saking kesakitan Hoa Sip-i sudah tidak mampu lagi
mengeluarkan suara, seluruh tubuh sudah dekil dan kotor oleh
keringat dan debu tak menyerupai orang lagi.
Setelah seruling sudah dapat direbut kembali Giok liong
berniat tinggal pergi saja, tapi entah bagaimana juga kesan
lantas timbul dalam benaknya sekali loncat ringan sekali ia
sudah sampai ditepi sana, sambil unjuk senyum yang
dipaksakan ia menjura, katanya: "Kaucu, kalau kau tiada
permusuhan yang mendalam, silakan kau bebaskan tutukan
Toan hun siok-bing-im bong-ci itu !"
"Kau mintakan balas kasihannya ?"
"Ya, cukup kasihan keadaannya !"
"Agaknya kau sudah khilaf dan lupa, sedikit terlambat tadi
seruling pusakamu pasti sudah hancur lebur bukan !"
"Tentang ini aku tidak bisa salahkan dia. Bukankah
kekasihnya kau . . ."
"Ck, ck, ck, ck, . . . tak kira ternyata Kim-pit-jan hun jaga
seorang pemuda romantis."
"Terserahlah, aku tidak ikut campur lagi !" ujar Giok liong
dengan muka merah, menjejak tanah pesat sekali ia melompat
ke luar hutan sana.
"Tunggu sebentar!" bayangan kuning berkelebat tahu-tahu
Ui-hoa kiaucu Kim Ing sudah menghadang didepannya,
ujarnya sambil unjuk senyum menggiurkan: "sebelum pergi
tinggalkan dulu seruling samber nyawa!"
"Kenapa?"
"Sebab Ui hoa-kiau sangat memerlukan seruling pusaka
itu."

"Apa kau sudah lupa bahwa seruling ini sebenarnya adalah
milikku?"
"Hanya kupinjam setahun saja, setelah waktunya tentu
kukembalikan!"
"Kalau aku tidak ingin pinjamkan?"
"Terpaksa harus kurebut dengan kekerasan!"
"Hahahaha . . . ." saking gusar Giok-liong bergelak tertawa
serunya lantang: "Baik! justru aku paling senang orang main
kekerasan terhadap aku, Ui hoakiau kalian ada ilmu simpanan
apa, biarlah aku yang rendah belajar kenal seluruhnya!"
Alisnya berkerut dalam, ujung bibirnya menjengek
menghina. Mendadak ia melompat maju menghampiri tubuh
Hoa Sip i, beruntun jarinya bergerak sebat sekali menutuk tiga
puluh enam jalan darah besar ditubuhnya, lalu bentaknya
keras: "Kawan lekas pergi."
"Kau berani melepas dia!" terdengar hardikan marah
disusul bayangan kuning menerjang dengan serangan
membadai.
"Terang kau tidak memberi muka kepadaku. Masa Ma Giok
liong gampang dipermainkan. Kalau kau berani merintangi
aku, seumpama manjat kelangit sukarnya!"
Sembari berkata sebat sekali iapun bergerak menangkis
dan balas menyerang dengan keras lawan keras. Mega
berkembang angin menderu bayangan orang menjadi
berseliweran kurang jelas dipandang mata nyata kedua belah
pihak sudah bertempur sengit.
Sementara itu pemuda baju biru Hoa Sip-i tengah
merangkak bangun dengan napas memburu dengan ujung
bajunya ia seka kotoran mukanya, dengan susah payah ia
merangkak dan berusaha bangun, baru saja ia melangkah dua
tindak mata terasa berkunang-kunang, puluhan bayangan

kuning berkelebat melayang datang seiringan daun jatuh
menghadang dihadapannya, saat mana ia sudah kempas
kempis tenaga untuk berdiri juga sudah payah, akhirnya ia
meleso jatuh duduk lagi, suaranya serak seperti kera
berterisk: "Kalian ini siluman jahat, bunuhlah tuan mudamu
ini. . ."
(BERSAMBUNG JILID KE 15)
JIlid 15
Sekarang Giok-liong tidak main sungkan lagi, kedua
tangannya tampak bergetar terpentang, Sam-jicui-hun chiu
mulai dilancarkan. Kelihatan mega putih berkembang hawa Jilo
menyelubung tubuhnya, sebuah telapak tangan putih halus
bergerak lincah berubah laksana ribuan bayangan tangan,
dengan ketat ia lindungi pemuda baju biru, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dan tendangan menyerang
para gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau itu.
Perbawa ilmu sakti memang bukan olah-olah hebatnya,
dimana angin badai melandai bayangan kuning lantas
tergulung berpencaran keempat penjuru sambil berteriak
kesakitan, Untung Giok-liong tidak bermaksud mengambil jiwa
mereka, kalau tidak tentu mereka sudah mampus.
Keruan Ui-hoa-kiaucu Kim Ing berjingkrak gusar melihat
anak buahnya dihajar bulan bulanan segera ia menubruk maju
dengan sengit, bentaknya: "Besar nyalimu !"
Bayangan putih dan kuning kini saling berkutet lagi,
masing-masing lancarkan serangan yang lebih ganas dan
lihay, sampai detik itu belum kelihatan siapa bakal menang
dan asor.
Sambil menghadapi serangan musuhnya yang sudah sengit
ini, Giok-liong masih berkesempatan berteriak: "Hoa Sip-i !
Kesempatan yang baik ini kau masih tidak mau pergi, kapan
baru kau hendak menyingkir!"

Napas Hoa Sip i masih ngos-ngosan, sahutnya lemah: "Aku
betul-betuI sudah tidak bertenasa, Tuan penolong dendam
penasaran kau balas dengan budi pekerti. baiklah aku terima
dengan tulus hati ! Adik Yau sudah mangkat, aku juga tidak
ingin hidup lagi!"
Giok-liong merasa toleran akan keadaan orang yang hampir
sama dengan riwayat dirinya maka tanpa banyak pikir lagi ia
berteriak: "Cobalah kau semadi sebentar mengumpulkan
tenaga ! Selama gunung masih tetap menghijau, jangan
kwatir takkan memperoleh kayu bakar."
"Hahaha !" terdengar Ui hoa-kiaucu Kim Ing mengejek:
"jiwamu sendiri susah terlindung masih coba perhatikan
keselamatan orang lain."
Tiba-tiba bayangan kuning bergerak melebar, kiranya
sepasang lengan baju Ui-hoa-kiaucu yang besar gondrong itu
ditarikan sedemikian cepat dan lincah main kebas, menyapu,
menusuk dan menghantam. Semua yang diarah adalah
tempat-tempat penting ditubuh Giok-liong dengan berbagai
ragam tipu silat.
Sementara itu, menurut anjuran Giok liong, Pemuda baju
biru Hoa Sip i tengah duduk bersila menghimpun tenaga dan
semangat.
Kira-kira setengah peminuman teh telah berlalu.
Sebuah bayangan biru besar laksana seekor burung besar
tengah meluncur tiba dari puncak atas sana, jubah mantelnya
yang besar melayang-layang seperti sayap yang besar belum
lagi orangnya sampai ia sudah berteriak memanggil "Sip i. Sip
i !"
Terbangun semangat pemuda baju biru Hoa Sip i, teriaknya
pula dengan suara parau: "Suhu! Suhu!"

Mendengar suara panggilan pertama tadi, Ui-hoa-kiaucu
Kim Ing lantas mengebaskan kedua lengan bajunya membuat
Giok-liong mundur berkelit kesempatan ini digunakan untuk
melompat mundur keluar gelanggang sejauh setombak lebih.
Giok-Iiong juga lantas menghentikan aksinya. Matanya
terbuka lebar, kini dihadapannya sudah bertambah seorang
laki-laki tua yang bercambang bauk lebar bermata juling
seperti mata garuda, hidungnya bengkok seperti betet,
kupingnya kecil terbalik keatas-sepasang matanya berkilat dan
berjelilatan dengan kasar, selayang pandang saja lantas dapat
diketahui bukan seorang baik-baik.
Begitu tiba ia menghampiri kearah pemuda baju biru Hoa
Sip-i. bentaknya dengan uring-uringan: "Aku sudah duga tentu
kau terpincut lagi oleh perempuan siluman dari Ui hoa-kiau
itu! Siapa yang membuatmu begitu rupa!"
Sikap bicaranya sangat garang dan angkuh sekali,
hakekatnya ia tidak pandang sebelah mata para hadirin,
sungguh sombong.
Ui-hoa kiaucu Kim Ing menarik muka cemberut, hardiknya:
"Lo Siang-san, hati-hatilah kau bicara, Apakah Ui hoa-kiau kita
tidak sembabat dibanding Thian-mo hwe kalian. Sekali buka
mulut lantas siluman tutup mulut siluman lagi ! apa yang kau
andalkan!"
Thian-mo-hwe? Lagi-lagi hati Giok-liong bertambah bingung
dan khawatir.
Thianmo-hwe adalah sebuah kumpulan orang jahat dari
golongan hitam pada lima puluh tahun yang lalu, anggotanya
tidak banyak, namun setiap generasi mereka pasti dapat
menampilkan seorang-seorang berbakat yang benar-benar
hebat kepandaiannya.

Mereka merupakan salah satu kumpulan golongan jahat
yang paling kejam dan telengas, tidak gampang dan
sembarangan waktu mengunjukkan diri di kalangan Kangouw.
Liang ing-mo-ko (iblis Elang) Le Siang-san ini adalah salah
satu gembong iblis yang kenamaan pada jaman itu manusia
yang sulit didekati dan diajak berkompromi.
Terdengar Le Siang san tertawa sinis, ujarnya penuh sindir:
"O, Kim Ing-kaucu berada disini, Maaf aku sudah tua mataku
kabur, wah benar-henar aku berlaku kurang hormat!" sampai
disini mendadak ia menarik muka, air mukanya berubah
membesi, sepasang mata julingnya memancarkan cahaya
dingin, bentaknya gusar sambil menunjuk Hoa Sip-i: "jadi kau
yang membuat anak ini begitu rupa ?"
Kim Ing juga tidak mau kalah galak, sahutnya sambil
manggut-manggut: "Tidak salah! Toan hun-siok bing im-yangci
cu-kuo untuk memberi sekedar hajaran padanya, Memang
aku sengaja mengajar adat muridmu yang nakal ini!"
"Apa kau lupa menggebuk anjing juga harus pandang muka
majikannya?"
"Dia sudah berani melanggar pantangan dan undangundang
agamaku tahu."
"Pantangan apa?"
"Memincut anak muridku, mencuri seruling samber nyawa
lagi."
"SeruIing samber nyawa ?"
Le Siang-san menjadi kesima, tidak menggerecoki kenapa
anak muridnya diajar adat tadi, kini malah ia bersitegang
leher, tanyanya: "Apakah betul omonganmu ?"
"Coba kau tanyakan kepada murid atasmu itu !"

"Sip i, mana seruling samber nyawa itu?"
"Berada ditangannya !" sahut pemuda baju biru Hoa Sip-i
sambil menunjuk Giok-liong.
Bayangan biru berkelebat dengan menggembor keras Le
Siang-san menubruk kearah Giok-liong sambil mencengkeram
dengan ilmu cakar garuda, sedetik mereka saling adu
kekuatan mendadak bayangan mereka terpental mundur.
Terdengar Giok-liong berseru dengan nada berat: "Kenapa
kau menyerang dengan ganas, Sungguh tidak punya aturan."
Le Siang-san terloroh-loroh suaranya seperti kokok beluk,
penuh kepalsuan: "Serahkan seruling samber nyawa itu, nanti
kuampuni jiwamu!"
Mukanya penuh nafsu membunuh, matanya semakin jalang
seperti binatang kelaparan membuat orang yang melihat
merasa giris dan ketakutan pelan-pelan ia angkat kedua
lengannya keatas kepala dengan gerakkan kaku seperti mayat
hidup, kakinya berjengkit keatas.
Ui hoa kiaucu Kim Ing mandah tertawa tawar, ujarnya: "Le
Siang-san ! Jangau kau anggap gampang. Kali ini kau akan
ketemu batumu, awas kau jangan terjungkal."
Le Siang-san mengekeh seram suaranya seperti pekik
keras: "He, Le Siang-san tidak pandang sebelah mata bocah
ingusan masih berbau bawang ini."
Giok-liong menjadi gusar, air mukanya semakin gelap,
geramnya rendah: "Kukira sikapmu akan berlainan kalau kau
berhadapan dengan Kim-pit-jan-hun !"
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong?" agaknya
hal ini benar-benar diluar dugaan Le Siang san.
"Benar, itulah aku yan rendah adanya!"

Mata Le Siang-san berkedip-kedip, dari kepala ia
mengamati sampai kaki, mendadak ia melepas gelak tawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Ketemu muka lebih nyata dari
mendengar. Kukira kau seorang laki laki yang punya tiga
kepala dan enam tangan. Tak kira hanya seorang pemuda
yang masih hijau berbau popok, sungguh menggelikan."
"Bedebah, jangan sombong kau!" membawa deru angin
kencang Giok-liong menerjang musuh dengan gusar.
"Baik! Le-ya akan mengukur sampai dimana kelihayan Sam
ji cui-hun-chiu! Tobat!"
Sekali gebrak saja cukup membuat Le Siang san
berjingkrak mundur dengan penuh keheranan sungguh mimpi
juga ia tidak menduga bahwa pemuda baju putih didepannya
ini begitu mahir melancarkan Cui-hun-chiu yang sedemikian
sempurna. Apalagi Lwekangnya juga sudah mencapai begitu
tinggi.
Betul-betul membuat orang sulit percaya, sedikit ayal
hampir saja jiwanya kena dikorbankan.
Disebelah sana terdengar Ui hoa kiaucu Kim Ing menjengek
hina: "Bagaimana Le Siang-san?"
Muka Le Siang san kelihatan pucat bersemu ungu, dari
malu ia menjadi gusar, gerungnya dengan marah-marah:
"Payah, payah! puluhan tahun ketenaran nama Le-yam kena
dirobohkan oleh bocah ingusan yang berbau bawang ini, Tapi
gebrak kali ini belum masuk hitungan, coba kau juga sambut
ilmu pukulanku ini!"
Mendadak ia ia pentang kesepuluh jarinya, giginya berkerut
dengan gemas. sepuluh jalur kilat laksana duri landak
mendadak menembus udara mendesing mendesis kearah
Giok-liong.

"Le Sian-san!" teriak Ui-hoa-kiaucu Kim Ing: "akhirnya toh
kau keluarkan ilmu simpanan mu Cap-ci tam-kan ciu! (ilmu
jelentikan sepuluh jari)!"
Giok-liong mandah tersenyum ewa, hawa murni
terkerahkan dari pusarnya, hawa Ji-lo segera tersalur
mengembangkan mega putih melindungi seluruh badannya.
Sepuluh jalur sinar biru laksana duri landak itu begitu
menyentuh mega putih lantas buyar sima tanpa bekas.
Keruan berubah hebat air muka Le Siang-san saking kejut
bahwa ilmu yang paling di andalkan katanya tak berguna lagi
menunjukkan perbawanya. Saking dongkol ia membanting
kaki sehingga sepatu rumputnya amblas kedalam batu cadas
dibawah kakinya sampai beberapa dim, sekali ini ia kerahkan
seluruh kekuatannya, lagi-lagi puluhan jalur sinar biru
meluncur lebih panjang dan besar serta keras.
Namun betapapun ia mati-matian kerahkan seluruh
tenaganya, alhasil puluhan jalur sinar tutukan jarinya itu tak
dapat menembus pertahanan mega putih yang bergulung
tebal, laksana puluhan sabuk biru, yang berputar menggubat
sebuah bola putih besar, saking ulur odot sungguh suatu
pemandangan yang menarik hati.
Baru sekarang pemuda baju biru Hoa Sip-i berkesempatan
bersuara, teriaknya : "Suhu! Doa seorang baik, dia seorang
baik!"
Le Siang-san sudah tidak hiraukan lagi seruannya dengan
bernafsu ia kerahkan seluruh kemampuannya dalam usaha
untuk merebut seruling samber nyawa. Sebab itu tenaga yang
dikerahkan dan dilancarkan semakin kuat dan besar.

Kakinya juga semakin dalam melesak kedalam batu yang
keras. Mukanya berubah menyeringai seperti wajah setan
yang tersiksa sungguh menggiriskan sekali.
Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag
terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom
meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.
Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah
telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis
puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le
Siang san.
"Celaka !" saking kagetnya Le Siang sau menggembor
keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima
enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya
menyemburkan darah segar.
Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran
juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian
juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.
Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah
melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas
tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru : "Suhu ! Kuatkan
hatimu, himpunlah semangatmu !"
Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya
mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat
tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih
ngos-ngosan: "Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"
"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"
"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan
kau menyesal sesudah kasep!"
"Kenapa ?"
"Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !"

"Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan
kedatanganmu !"
"Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir
perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku,
setiap saat aku akan mencarimu !"
"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."
"Mari pulang !" dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san
meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.
Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa
manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling
bunuh. Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak
sengsara dan derita.
Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong
ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping
sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi
dirinya. Tak terasa ia menghela napas lagi.
"Anak muda kenapa berkeluh kesah !" merubah sikapnya
yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi
begitu ramah dan penuh kemesraan.
Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan
abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai
bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan
sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan
terpincut dan tertarik batinya.
Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya,
sikapnya tetap dingin. Sambil meraba batu giok berbentuk
jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia
menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari
peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa
besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya,
sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke HwiTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
hun-cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan
kedatangannya.
Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa
pergi oleh Hiat ing Kongcu. Benda satu-satunya sebagai
kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati
warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.
Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya
kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut: "Ma Giok
liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"
Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di
depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya
dengan parau : "Dari Hwi hun-san-ceng."
"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu
?"
"Bukan, putrinya !"
"Oh..." Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak
matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung
seperti orang linglung.
Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela
napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki:
"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja
batu giok itu kepadaku !"
"Giok-pwe ini ? jangan !"
"Kau keberatan ?"
"Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku
dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling
samber nyawa."
"Mas kawin ! "
"Sedikitpun tidak salah!"

Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan
menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat,
sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.
Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya,
seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong
juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya
melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya
melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak
menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.
Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta
Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang
paling dirindukan adalah Coh Ki-sia. Menurut adatnya ingin
rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun-
san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.
Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera
diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku
yang sulit diduga sebelumnya. Dimana-mana selalu terjadi
banjir darah dan penjagalan manusia.
Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang,
Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe. Masih adalah
Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi. Semua-semua ini boleh dikata
merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada
suatu saat. Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat
perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim,
sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai
sekarang juga belum sempat terlaksana.
Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa
otaknya menjadi tumpul dan butek. Tak tahu ia cara
bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan
semua urusan yang sama pentingnya ini.

Terutama yang membuat hatinya sedih adalah
permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan
hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum
aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai
besar.
Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti
dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi
untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.
Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir
jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus
angin besar pasti akan roboh.
Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas
pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan
yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan
tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.
Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus
sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan,
sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari
arah kuburan yang berserakan sana.
Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia
sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya
bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam,
jadi tak terlihat air mukanya. Sorot matanya dari balik
kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.
Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu,
tanyanya: "siapakah tuan ini ?"
Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas
tanyanya : "Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !",

"Baik, ambil ini !" orang itu merogoh kantong bajunya
mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam
gardu lalu berlari pergi.
Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas
lantai.
Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar
adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau,
sebesar tiga empat senti.
Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di
kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling
bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu,
huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.
Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi
itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang
berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi
Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan
jabatan.
Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini ?
"Hai, tunggu sebentar !" seiring dengan bentakannya ini Giokliong
melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu. Tapi
orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang
ia berlari terus.
Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh
dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot-
sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan
pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang
berkedok di depan itu.
Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang
berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah
sebuah hutan yang lebat dan gelap.

Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar
terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.
Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan
tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak
kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.
Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah
dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.
Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang
buas saling susul. Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong
semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo
melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat
yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.
"Stop! " tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat
nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat
penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan
saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok
berseragam hitam sudah mengepung dirinya.
Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di
pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai
menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak
maju menghampiri Giok-liong.
Ancaman yang serius ini betul-betul menciutkan nyali
orang, jangan kata turun tangan bergebrak, mengandal hawa
dingin serta keadaan yang tegang menakutkan ini laksana di
akhirat cukup menggetarkan nyali orang, yang bernyali kecil
tanggung sudah pecah jantungnya dan mampus saking
ketakutan.
Diam-diam Giok-Iiong kerahkan Lwekangnya, ujarnya
dengan serius: "Apa-apaan tindakan kalian!".

Tiba-tiba suara mendengus tersiar dari hutan sebelah
dalam sana, katanya: "Lencana besi sebagai undangan. Tiada
maksud jahat!"
Tanpa merasa Giok liong membuka telapak tangan melihat
lencana besi itu, serunya lantang: "siapa yang berkuasa di
hutan ini, kenapa tidak keluar untuk bicara!"
"Pun-tong-cu hanya mendapat perintah untuk mengundang
tuan, sebelum ada perintah dari majikan, tidak boleh bertemu
muka. Silakan tuan pergi!"
Giok-liong menjadi heran, serunya lagi: "Terima kasih akan
undangan ini, lantas kemana aku harus pergi, tiga hari lagi
aku harus kemana?"
"Bukankah diatas lencana itu sudah tertulis jelas, Tuan
sendiri juga pernah kesana bukan, kenapa main tanya segala!"
"Aku pernah kesana ". akhirnya Giok-liong paham, dengan
mendelong ia pandang lencana besi itu, serunya tertahan:
"Apakah majikan Hutan kematian?"
"Tidak salah! Majikan Hutan . . . . kematian . , ! "sepatah
demi sepatah laksana guntur menggeleger kupandang keras
sekali memekakkan telinga, seakan bicara diribuan Ii jauhnya
tapi juga seperti di pinggir telinga.
Hutan kematian merupakan suatu golongan yang paling
misterius dan susah dijajagi, tidak diketahui sepak terjang
mereka yang sebenarnya dari golongan mana pula aliran
kepandaian mereka, maka sedikitpun Giok liong tidak berani
berlaku gegabah.
Terang-terangan aku telah diundang, betapapun aku harus
menuju ke Hutan kematian untuk menyirapi kesana, baru dari
sana mencari jejak Suhu, kalau tidak menanti pada bulan lima
pada perjanjian bertemu di Gak-yang-lau kelak baru diatur lagi
tindakan selanjutnya, perjalanan kali ini sekaligus dapat

menyirapi kabar dari Wi-hin-ciang Liong Bun Liong Tay-hiap,
entah kabar apa pula yang bisa diperolehnya, supaya kelak
dapat mengatasi lebih sempurna demi kejayaan dan
ketentraman hidup kaum persilatan.
Karena pikirannya ini segera ia menyahut keras: "Baik,
dalam tiga hari ini aku pasti tiga disana!"
Sebelum kakinya bergerak tiba-tiba terdengar suara orang:
"Tunggu sebentar! " lalu beruntun muncul beberapa bayangan
hitam. Kini yang muncul adalah delapan laki-laki yang
mengenakan jubah abu-abu, dengan rambut panjang terurai
juga, dengan kaku mereka berloncatan maju mendekat, Salah
seorang diantaranya berkata dingin: "Petugas Liong-tong,
menghadap pada Tong-cu!"
Habis berkata delapan orang itu terentak menjura dalam
kearah hutan kosong sebelah dalam sana.
Sebuah suara menyahut dari dalam hutan sana: "Silakan
para petugas hukum, apakah Lim-cu (Majikan) ada pesan
lain?"
Serentan kedelapan orang didepan hutan itu mengiakan.
Salah seorang berseru lantang: "Terima kasih akan perhatian
Tong cu, kita beramai menggusur tawanan kemari untuk
melaksanakan hukuman, harap Tong-cu suka saksikan dan
buktikan."
Suara orang dalam hutan rada terkejut heran. Terdengar
tindakan berat berjalan keluar, tahu-tahu dihadapan mereka
sudah berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap melebihi
orang biasa, karena tidak mengenakan kedok jadi wajahnya
bisa terlihat jelas.
Bentuk wajahnya bundar bersegi seperti wajah harimau,
matanya berjengkit miring keatas, diatas jidatnya tumbuh
secomot rambut putih yang diatur sedemikian rupa sehingga
menyerupai huruf "Ong" ( Raja ).

Ini masih belum aneh yang lebih aneh, yang lebih
mengejutkan lagi bahwa dari kedua ujung mulutnya tumbuh
dua taring yang besar memutih. Begitu mengunjukkan diri
langsung orang ini bertekuk lutut menyembah seraya berseru
lantang: "Hou-tong Tongcu, hamba menerima perintah Congcu,
Harap Tongcu kalian suka memberi petunjuk!"
Sebuah bayangan abu-abu melayang masuk dari luar,
seorang laki-laki berambut merah bermuka hijau melayang
tiba. Diatas jidatnya tumbuh jaling tunggal, Matanya berkilat
tajam segera ia menjura kearah Hou-tong Tong cu yang
berlutut itu, ujarnya: "Perintah sudah disambut, Selain aturan
biasa. Tong-cu silakan!"
Hou-tong Tong-cu bertanya dengan muka serius:
"Pesakitan siapakah sampai begitu penting digusur kemari
untuk melaksanakan hukuman disini!"
Liong-tong Tong-cu yang berambut merah bermuka hijau
itu terkekeh kekeh dingin, matanya melirik kearah Giok-liong,
sahutnya: "Pesakitan ini ada sangkut pautnya dengan Ma
Siau-hiap ini. Betapa tepat perhitungan Lim cu, beliau tahu
bahwa Ma Siau-hiap hari ini pasti akan lewat Hou-tong sini,
maka segera diperintahkan aku membawa dua belas petugas
hukum menggusur tawanan itu kemari !"
Terkesiap hati Giok-liong, selanya gugup! "Ada sangkut
pautnya dengan aku. Siapakah dia?"
"Sebentar lagi kau akan tahu!" jengek Liong-tong Tong-cu.
Lalu tangannya bertepuk dua kali, kecuali delapan orang
seragam abu-abu yang segera bergerak keempat penjuru
mengepung Giok liong dari luar hutan sana berlari masuk lagi
empat laki laki seragam abu-abu yang berambut panjang juga.
Keempat laki-laki seragam abu-abu yang baru masuk ini
menggusur seorang tua renta, air muka yang kaku dan dingin

pucat tanpa kelihatan berdarah. Kedua tulang pundaknya
berlubang ditembusi rantai panjang sebesar jari tangan,
karena diseret maju sehingga jalannya sempoyongan, rantai
panjang itupun berbunyi nyaring menyentuh tanah.
Beriring keempat laki-laki seragam abu-abu ini menggusur
tawanannya kehadapan Liong-tong Tong-cu lalu menjura
hormat: "Hamba beramai menunggu perintah selanjutnya!"
Liong-tong Tong-cu manggut manggut, ujarnya: "Harap
Hou-tong Tong-cu memeriksa akan kebenaran tawanan ini!"
Houtong Tong-cu mengunjuk rasa heran dan penuh tanda
tanya, katanya sambil mengerutkan alis: "Bukankah dia
seorang Goan-lo ( sesepuh ), petugas Lim-cu yang terdekat
pembesar berjasa dalam pembukaan Hutan kematian . . . ."
Tanpa menanti ia selesai bicara habis mendadak Liong-tong
Tong-cu bergelak tertawa: "Hahahaha. . .Tak heran Tong-cu
kena diapusi. Lim-cu sendiri juga kena dikelabuhi selama
puluhan tahun, siapa akan mau percayai Hahahaha!"
Tatkala itu Giok-liong berdiri mematung sambil
menerawangi perubahan yang dilihatnya dihadapannya ini,
saking asyik dan kesima mendengar ia sampai berdiri
terlongong-longong.
Terdengar Liong-tong Tong cu menghardik keras dengan
bengis: "Lucuti kepalsuannya supaya Houtong Tong cu
memeriksa sendiri."
"Hamba terima perintah," empat laki-laki seragam abu-abu
itu mengiakan bersama. Lalu beramai-ramai bergegas mereka
menekan si orang tua tawanannya itu diatas tanah, salah
seorang menggosok dan menepuk diatas mukanya, seorang
lagi menarik narik dipunggung dengan sekuatnya, sedang dua
orang lainnya masing masing menarik kedua lengannya."
"Hah!" tak tertahan Giok liong berseru terkejut.

Liong tong Tong cu berkata kan, ujarnya: "Nah, begitu
lebih tepat lagi, Hanya dengar seruan kejut Ma Siau-hiap ini,
merupakan bukti yang paling nyata!"
Sementara itu Houtong Tong'Cu juga tengah kesima sambil
garuk-garuk kepala yang tidak gatel tanyanya melongo: "Siapa
dia?"
"Delapan puluh tahan yang lalu," terdengar Liong-tong
Tong-cu berseru lantang: "Seorang Tay-biap yang sudah
menggetarkan dunia persilatan Wi-hian-ciang Liong Bun,
bukan lain adalah tawanan kita ini!"
Dalam pada itu Giok-liong sudah tak kuat mengendalikan
keharuan hatinya serunya mendebat: "Apa hubungannya
orang ini dengan aku?"
Liong-tong Tong cu tertawa ewa ujarnya: "Dalam hal ini
Lim cu ada memberi pesan supaya aku tidak membuka banyak
mulut. Dipersilatan dalam jangka tiga hari ini Siau-hiap datang
kesekte kita, nanti aku tentu akan mengiringimu setelah
menghadap Lim-cu, tentu segalanya dapat dibikin jelas!"
"Apa yang akan kalian perbuat akan diri Liong Tay-hiap
ini?"
"Lwekang dan kepandaian silatnya sudah dipunahkan, kita
beramai tak lain hanya melaksanakan tugas melalui...
Bahwasannya ini bukan urusan yang sangat penting!"
Memang sorot pandangan Wi-hian-ciang Liong Bun sangat
redup tanpa bersinar dari wajahnya yang pucat pasi itu
menandakan bahwa Lwekangnya memang sudah punah,
bentuknya menyerupai tengkorak hidup yang mengalami
penuh penderitaan.
Akan tetapi, apakah Giok-liong harus diam saja melihat
seorang pendekar besar pada jamannya dulu yang sudah

tenar puluhan tahun meninggal begitu saja, saking haru dan
pedih badan sendiri sampai gemetar.
"Siau hiap harap berpikir kembali sebelum bertindak l"
serentak delapan laki laki seragam abu-abu berkelebatan
masing masing menggerakkan lengan tangannya, serempak
mereka berseru hormat meski belum turun tangan secara
kenyataan kepungan mereka ini sangat rapat sulit ditembus.
Untuk menerjang keluar meski tidak sukar, sedikitnya juga
harus memeras keringat.
Sambil mengerut kening segera Giok-liong berteriak: "Hai,
kalian jangan berlaku ceroboh, tunda dulu pelaksanaannya
setelah aku bertemu langsung dengan Lim-cu kalian !"
"Lain urusan lain perkaranya, Maaf Pun-tong tak dapat
mengabulkan permintaan mu ini !"
"Kalau kalian tidak melepas Liong Bun, maka akupun tidak
sudi menemui Lim-cu kalian."
"Itu kan urusan Ma Siau-hiap sendiri, nanti Limcu tentu
dapat mengatur sendiri, jangan persoalan itu dicampur
baurkan dengan pelaksanaan hukum ini !"
Saat mana Houtong Tong-cu sudah mengulapkan tangan
memberi aba aba kepada dua belas laki-laki berambut panjang
ber-seragam hitam, serunya: "Sambut tugas ini dan siapkan
melaksanakan hukuman."
Empat orang seragam hitam maju menggantikan
kedudukan empat seragam abu-abu yang menggusur Liong
Bun tadi, Keempat seragam abu-abu itu lantas meloncat
mundur ikut mengepung Giok liong diluar batas tiga tombak
jauhnya.
Dua belas pelaksana hukum berseragam abu-abu ini siap
waspada tanpa mengeluarkan suara atau sembarangan
bergerak, tenaga sudah dihimpun dengan pandangan mata

yang berkilat menatap tajam kearah Giok-liong tanpa
berkedip.
Giok-Iioug semakin gelisah seperti dibakar hardiknya
menggerung : "Lekas lepaskan Liong Tay-hiap, mari kita
bicarakan lagi urusan ini !"
Liong-tong Tong-cu memberi salam kepada Houtong Tongcu
serta katanya: "Tugas ini sudah kami serahkan, seluruh
tanggung jawab dan pelaksanaannya terserah kepada seksi
kalian." lalu ia melangkah maju beberapa tindak, katanya
kepada Giok-liong: "Siau-hiap, dalam tiga hari ini aku menanti
kedatangan tuan, Harap tuan tidak mengecewakan harapan
Lim-cu."
Tatkala itu, Houtong Tong-cu mencibirkan bibir bersuit
nyaring dan keras menembus angkasa laksana gerungan
harimau yang berang. Dari luar hutan dari berbagai penjuru
lantas terdengar derap langkah berlari, geseran daun daun
pohon serta berkelebatnya bayangan orang samar-samar
terlihat ratusan orang seragam hitam serentak merubung
datang kearah sini.
Pandangan Houtong Tong cu berkilat tajam, serunya
lantang :"Atas perintah Lim-cu, seorang yang bernama Wihian-
ciang Liong Bun, memendam diri menjadi mata-mata
dengan tujuan yang tidak menguntungkan bagi Hutan
kematian, menurut undang-undang hukum kita dihukum cacat
jiwa, Kali ini sekte kita mendapat penghargaan untuk
melaksanakan hukuman ini, Laksanakan hukuman !"
Serentak berpuluh sampai beratus mulut bersama
mengiakan sehingga hutan ini menjadi bergoncang seperti air
mendidih, sedemikian keras sampai kumandang dan bergema
sekian lama.

"Mulai !" terdengar Houtong Tong-cu melompat maju
sambil berteriak bengis seperti pekik kokok beluk, seiring
dengan bentakannya ini kedua tangannya bergantian
menghantam kearah Liong Bun.
Giok liong melompat maju sambil menggerung gusar:
"Nyali besar ! Tahan !"
Namun belum lagi Giok-liong dapat bergerak maju, Liongtong
Tong cu bersama dua belas pelaksana hukumnya sudah
serentak menggerakkan tangan menyerang sekaligus dengan
gabungan tenaga mereka seketika Giok-liong menjadi
terhalang ditengah jalan, terpaksa ia harus membela diri demi
keselamatan sendiri.
Di sebelah sana terdengarlah jeritan panjang yang
mengerikan. Itulah pekik Liong Bun dalam jiwa meregang
sebelum ajal.
Giok liong mendengar dengan jelas sampai badannya
terasa merinding, hatinya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Tapi gabungan serangan dua belas jago jago kelas wahid dari
Liong-tong mana mungkin dapat ia atasi begitu saja.
Apalagi dua puluh enam telapak tangan mereka sekaligus
melancarkan tipu-tipu aneh yang sulit diraba sebelumnya,
sungguh pengepungan yang rapat tiada lubang titik
kelemahannya.
Diluar gelanggang pengepungan saban-saban masih
terdengar jerit kesakitan dan gerangan gusar dari pelampiasan
dongkol, angin menderu dari tenaga pukulan yang menimpa
diatas tubuh manusia sampai berbunyi gedebukan.
Entah sudah berselang berapa lama, dan berapa banyak
pukulan sudah dijatuhkan diluar gelanggang sana, Tiba tiba
Liong-tong Tong-cu berseru keras: "Liong-tong Tecu siap
kembali !" angin berkesiur disertai lambaian baju, begitu cepat

gerak gerik mereka sekejap saja keadaan menjadi sunyi dan
sekelilingnya sudah kosong meIompong.
Tiga belas orang dari Liong-tong sudah menghilang tanpa
bekas dalam sekejap mata. Demikian juga seluruh anak buah
Houtong Tongcu sebanyak ratusan orang itu sudah tak
kelihatan lagi mata hidungnya, semua sudah pergi tanpa
meninggalkan jejak.
Keadaan dalam hutan kembali menjadi sunyi senyap, angin
berlalu membawa bau amis darah yang memualkan. Diatas
tanah sana terlihat segundukan daging dan tulang-tulang
manusia yang terpukul hancur lebur tanpa ujud lagi. Tinggal
rantai yang mengikat di tulang Liong Bun saja yang masih
ketinggalan memancarkan sinarnya yang redup menyolok
mata.
Tak tertahan lagi kepedihan hati Giok-liong, ujarnya sambil
sesenggukan dengan sedihnya: "saudara tua, belum lagi citacitamu
terlaksana badan sendiri sudah hancur lebur, siaute . .
. "
Sekonyong-konyong. . .
"Bocah keparat, akhirnya toh kutemukan juga!" seiring
dengan bentakan ini dari luar hutan sana menerjang datang
seorang laki-laki bertubuh kekar, bermuka kuning persegi,
alisnya lentik menaungi sepatang mata yang berkilat tajam,
dagunya tumbun lima jalur jenggot pendek hitam.
Mengenakan pakaian ketat dengan mantel kuning
berkembang, sepatunya tinggi peranti untuk jalan jauh,
sikapnya garang dan angker kegusaran.
Giok liong melihat air muka orang rada bersih,
semangatnya menyala-nyala, terang bukan anak buah dari
Hutan kematian. Maka tak berani ia berlaku gegabah, serunya
lantang: "Kenapa tuan bicara tidak sopan?"

"Terhadap siapa bicara apa!"
"Kau kira siapa aku ini ?"
"Manusia rendah hina dina, mata keranjang hidung belang
!"
"Kau terlalu menghina !" secara langsung dimaki begitu
kotor keruan Giok-liong tak kuat menahan hawa amarah
dengan sengit ia mengerjakan tangannya melancarkan jurus
Cin-chiu dari ilmu Sam- ji-cui-hun chiu, maka mega putih
bergulung keluar menerjang dengan dahsyatnya. Apalagi
tenaganya ditandai rasa gusar sudah tentu bukan olah-olah
hebatnya.
"Hei, apa hubungan mu dengan Toji Pang Giok ?" laki-taki
kekar itu berkelit ke samping, wajahnya mengunjuk rasa kejut
dan heran.
"Murid tunggalnya!"
Sedikit merenung laki-laki kekar itu lantai membanting kaki,
ujarnya: "Merusak nama baik Bu-lim-su cun Pang lo cianpwe
saja. Sayang sekali!"
Mendengar ucapan orang tergetar hati Giok-liong, pikirnya
"Apa mungkin orang ini ada hubungan erat dengan
perguruanku tak boleh aku berlaku kasar." karena pikirannya
ini maka jurus kedua dari Sam jicui-hun chiu yaitu Tiam-bwe
lekas lekas ditarik kembali ditengah jalan, serunya sambil
melompat mundur . "Apa maksud ucapan tuan ini ?"
"Jangan kau pura-pura linglung menjadi gendeng,
seumpama aku harus berlaku salah terhadap Pang-lo cian pwe
,betapapun aku harus mewakili dia untuk menghajar bocah
keparat seperti kau ini sampah dunia persilatan. Baru
terlampias rasa dongkolku ini."

"Wut. . . ." segulung angin kencang laksana badai angin
terus menerjang datang dari tengah udara, sungguh dahsyat
dan berbahaya sekali.
Karena tidak menduga hampir saja Giok-liong tergulung
oleh serangan lawan. Cepat-cepat ia menjejakkan kaki
mencelat mundur setombak lebih untung benar dapat
terhindar dari bahaya elmaut, walaupun demikian, daun dan
rumput beterbangan mengotori seluruh tubuhnya, juga ujung
bajunya telah tergetar hancur berkeping-keping melayang
ditengah udara.
"Bocah keparat, kiranya cuma begitu saja kepandaianmu!"
begitu mendapat kesempatan merangsak laki laki kekar itu
lantas menarikan kedua tangannya dengan lincah dan secepat
kilat, sekejap mata saja beruntun ia menepuk dan memukul
dua belas pukulan, setiap pukulan mesti dilandasi kekuatan
dahsyat, tak jauh dari sekitar badan Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi kelabakan berputar dan berkelit
dengan susah payah. Terpaksa Ling hun-toh harus
dikembangkan ringan sekali tubuhnya berkelebat selulup
timbul berlarian diantara dahan-dahan pohon besar disekitar
gelanggang.
Mendapat angin laki-laki kekar itu semakin bernafsu dan
tidak memberi ampun untuk lawan sempat ganti napas.
Dengan menggereng marah, lagi - lagi ia lancarkan sebuah
pukulan dahsyat, laksana arus sungai Tiangkang membadai
menggulung dari segala penjuru angin.
Akhirnya memuncak juga rasa gusar Giok liong, sekali
kesempatan ia berkelit ke belakang sebuah dahan pohon
besar terus melejit jauh beberapa meter, serunya gusar:
"selama ini kita belum saling kenal, tuan terlalu mendesak
orang, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang
hormat!" habis ucapannya segera ia bergerak gesit sekali ia
melancarkan jurus serangan balasan.

Seketika mega putih bergumpal melebar luas, bayangan
telapak tangan berubah laksana ratusan dan ribuan pukulan
telapak tangan, serentak ia balas menyerang dengan nafsu
dan sengit. Gerak berkelit, mengambil imsiatif balas
menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan
dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat
dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.
BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan,
empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di
tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan
saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai
melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh
untuk melancarkan serangan total berusaha menang.
Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing
pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin
menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon
sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran
ini semakin gaduh.
Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran
yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang
menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap
jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan
secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah
berlangsung seratus jurus lebih.
Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan
lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat
pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul
hawa membunuh.
Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung
menembus angkasa. Belum hilang gema suara gemborannya
tiba tiba ia menghardik lagi : "Awas, sambut ini !"

Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning
terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung
lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya
terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya,
sehingga ia tidak jatuh ternauar.
Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya
menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan
itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang,
sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata
menuding Giok-liong: "Baik . . . aku , . . mengaku . , . tapi . , ,
kau . . . hidung belang , . tak tahu malu , . . ba . , , bagai . . ,
mana . . . terhadap . . . Wahaaahh !" ia berkata terlalu
dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah
segar.
Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi
tidak tega, batinnya: "Aku tiada bermusuhan atau dendam
sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu
berat !" maka segera ia maju beberapa langkah terus
berjongkok, katanya rendah: "selamanya aku belum pernah
kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang
dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan
melukai tuan !"
"Crot !" lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan
riak tercampur darah, "Kau ! Cari mampus !" Giok liong
berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari
tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di
dada orang. Desisnya mengancam : "Kau tidak dapat
membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak
mengenal kasihan."
"Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"
"Hm, kau kira aku tidak berani ?".

"Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina
lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."
"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku
mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus
tanpa liang kubur . . ."
Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa,
sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara,
Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu
sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong
tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu
mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang
membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.
Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya
terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha
melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul
cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal
tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.
Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit
mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak
mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang
putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di
tanah.
Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni
melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan
kaki tangan menghadap kelangit.
Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang
kepala pusing tujuh keliling.
Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan
keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia
takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.

Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di
empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia
mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba
sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.
Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya
ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali
pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.
Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di
badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah
dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.
Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga
kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur
dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan
kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek
matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku
tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.
"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"
Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab
perempuan pertengahan umur yang membawa selendang
sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang,
seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.
"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !" dalam hari
Giok-liong membatin : "Selain usianya yang berbeda, boleh
dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia
ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "
Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah
menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki
kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran : "Bagaimana
luka-Iukamu . . ."
Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar,
sahutnya dengan kepedihan: "jangan kau hiraukan aku !

carilah dia ...." sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan
sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu
ia berkata lagi tergagap: "Ringkus dia . . . tuntut
pertanggungan jawabnya !"
Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan
mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang
sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju
kehadapan Giok liong, bentaknya sengit: "Bocah keparat,
kembalikan anak putriku!"
Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia
menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah
ia bertanya: "Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini,
selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah
gila!"
"Apa, jadi kau hendak mungkir!"
"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"
"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau
sembunyi tangan, lihat serangan."
Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar
seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas
kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan
hebat.
Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus
melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman
berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia
harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha
mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah
kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan
inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu
menghadapi mara bahaya melulu.

Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah
atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk
memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.
bentaknya keras: "Nama atau shemu saja aku tidak tahu
darimana . .."
"Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"
Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan
penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra
dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali
seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.
Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata
panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan
rumput disekitar geIanggang.
Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan
selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara
memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.
Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan
pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.
Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih
bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling
berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup
timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.
Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian
simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil
dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh
juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya
saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil
kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti !
Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah
? Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis

benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya
pulang ke Hwi-hun san-cheng. Betapapun ia tidak tega turun
tangan untuk menurunkan tangan kejam.
Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi
yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya
bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan
malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik
lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk
melancarkan serangan mematikan.
Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata
lima enam puluh jurus sudah berlalu. Diatas dataran lamping
gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah
ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur
sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan
badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama
ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan
Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam
lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah
dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya
pasti dapat dikalahkan.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu:
"Roboh!" bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat
bagai layung menerjang tiba
"Celaka !" dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong
gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke
dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika
tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara
setinggi lima tombak.
"Blang." ledakan dahsyat seperti gugur gunung
menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra
yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung
tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah
udara. "Krak".

"Byar!" daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan
tombak.
Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang
sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti
badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup
lagi.
Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah
pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan
belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram
minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin
mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang
senjatanya itu, seraya melompat menubruk.
Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran
selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana
mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai
menerpa dahsyat.
Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang
sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi. Bercekat hati
Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas
musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu
hu. untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam
seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan
pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini
badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.
Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah
kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk
semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong
tiada maksud tertentu.
Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur
itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran: "Bocah keparat,
berani kau!"

Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil
keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak
mampu bergerak itu. Seiring dengan bentakannya, selendang
putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang
laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun
dengan kencang menyerampang tiba.
Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia
sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena
musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah
timbul nafsu membunuh dalam benaknya.
Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo
melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari
dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang
bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok
maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti
tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera
melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat
kehadapan perempuan pertengahan umur.
Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju
menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan
umur.
Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas
ia menarik balik selendang putihnya.
"Waa..." Aduh" - "Hm!" tiga macam jerit dan seruan yang
berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar
kedua jurusan.
Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat
menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat
bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku
begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya
berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak
serangannya telah mengenai sasarannya.

JIlid 15
Sekarang Giok-liong tidak main sungkan lagi, kedua
tangannya tampak bergetar terpentang, Sam-jicui-hun chiu
mulai dilancarkan. Kelihatan mega putih berkembang hawa Jilo
menyelubung tubuhnya, sebuah telapak tangan putih halus
bergerak lincah berubah laksana ribuan bayangan tangan,
dengan ketat ia lindungi pemuda baju biru, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dan tendangan menyerang
para gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau itu.
Perbawa ilmu sakti memang bukan olah-olah hebatnya,
dimana angin badai melandai bayangan kuning lantas
tergulung berpencaran keempat penjuru sambil berteriak
kesakitan, Untung Giok-liong tidak bermaksud mengambil jiwa
mereka, kalau tidak tentu mereka sudah mampus.
Keruan Ui-hoa-kiaucu Kim Ing berjingkrak gusar melihat
anak buahnya dihajar bulan bulanan segera ia menubruk maju
dengan sengit, bentaknya: "Besar nyalimu !"
Bayangan putih dan kuning kini saling berkutet lagi,
masing-masing lancarkan serangan yang lebih ganas dan
lihay, sampai detik itu belum kelihatan siapa bakal menang
dan asor.
Sambil menghadapi serangan musuhnya yang sudah sengit
ini, Giok-liong masih berkesempatan berteriak: "Hoa Sip-i !
Kesempatan yang baik ini kau masih tidak mau pergi, kapan
baru kau hendak menyingkir!"
Napas Hoa Sip i masih ngos-ngosan, sahutnya lemah: "Aku
betul-betuI sudah tidak bertenasa, Tuan penolong dendam
penasaran kau balas dengan budi pekerti. baiklah aku terima
dengan tulus hati ! Adik Yau sudah mangkat, aku juga tidak
ingin hidup lagi!"

Giok-liong merasa toleran akan keadaan orang yang hampir
sama dengan riwayat dirinya maka tanpa banyak pikir lagi ia
berteriak: "Cobalah kau semadi sebentar mengumpulkan
tenaga ! Selama gunung masih tetap menghijau, jangan
kwatir takkan memperoleh kayu bakar."
"Hahaha !" terdengar Ui hoa-kiaucu Kim Ing mengejek:
"jiwamu sendiri susah terlindung masih coba perhatikan
keselamatan orang lain."
Tiba-tiba bayangan kuning bergerak melebar, kiranya
sepasang lengan baju Ui-hoa-kiaucu yang besar gondrong itu
ditarikan sedemikian cepat dan lincah main kebas, menyapu,
menusuk dan menghantam. Semua yang diarah adalah
tempat-tempat penting ditubuh Giok-liong dengan berbagai
ragam tipu silat.
Sementara itu, menurut anjuran Giok liong, Pemuda baju
biru Hoa Sip i tengah duduk bersila menghimpun tenaga dan
semangat.
Kira-kira setengah peminuman teh telah berlalu.
Sebuah bayangan biru besar laksana seekor burung besar
tengah meluncur tiba dari puncak atas sana, jubah mantelnya
yang besar melayang-layang seperti sayap yang besar belum
lagi orangnya sampai ia sudah berteriak memanggil "Sip i. Sip
i !"
Terbangun semangat pemuda baju biru Hoa Sip i, teriaknya
pula dengan suara parau: "Suhu! Suhu!"
Mendengar suara panggilan pertama tadi, Ui-hoa-kiaucu
Kim Ing lantas mengebaskan kedua lengan bajunya membuat
Giok-liong mundur berkelit kesempatan ini digunakan untuk
melompat mundur keluar gelanggang sejauh setombak lebih.
Giok-Iiong juga lantas menghentikan aksinya. Matanya
terbuka lebar, kini dihadapannya sudah bertambah seorang

laki-laki tua yang bercambang bauk lebar bermata juling
seperti mata garuda, hidungnya bengkok seperti betet,
kupingnya kecil terbalik keatas-sepasang matanya berkilat dan
berjelilatan dengan kasar, selayang pandang saja lantas dapat
diketahui bukan seorang baik-baik.
Begitu tiba ia menghampiri kearah pemuda baju biru Hoa
Sip-i. bentaknya dengan uring-uringan: "Aku sudah duga tentu
kau terpincut lagi oleh perempuan siluman dari Ui hoa-kiau
itu! Siapa yang membuatmu begitu rupa!"
Sikap bicaranya sangat garang dan angkuh sekali,
hakekatnya ia tidak pandang sebelah mata para hadirin,
sungguh sombong.
Ui-hoa kiaucu Kim Ing menarik muka cemberut, hardiknya:
"Lo Siang-san, hati-hatilah kau bicara, Apakah Ui hoa-kiau kita
tidak sembabat dibanding Thian-mo hwe kalian. Sekali buka
mulut lantas siluman tutup mulut siluman lagi ! apa yang kau
andalkan!"
Thian-mo-hwe? Lagi-lagi hati Giok-liong bertambah bingung
dan khawatir.
Thianmo-hwe adalah sebuah kumpulan orang jahat dari
golongan hitam pada lima puluh tahun yang lalu, anggotanya
tidak banyak, namun setiap generasi mereka pasti dapat
menampilkan seorang-seorang berbakat yang benar-benar
hebat kepandaiannya.
Mereka merupakan salah satu kumpulan golongan jahat
yang paling kejam dan telengas, tidak gampang dan
sembarangan waktu mengunjukkan diri di kalangan Kangouw.
Liang ing-mo-ko (iblis Elang) Le Siang-san ini adalah salah
satu gembong iblis yang kenamaan pada jaman itu manusia
yang sulit didekati dan diajak berkompromi.

Terdengar Le Siang san tertawa sinis, ujarnya penuh sindir:
"O, Kim Ing-kaucu berada disini, Maaf aku sudah tua mataku
kabur, wah benar-henar aku berlaku kurang hormat!" sampai
disini mendadak ia menarik muka, air mukanya berubah
membesi, sepasang mata julingnya memancarkan cahaya
dingin, bentaknya gusar sambil menunjuk Hoa Sip-i: "jadi kau
yang membuat anak ini begitu rupa ?"
Kim Ing juga tidak mau kalah galak, sahutnya sambil
manggut-manggut: "Tidak salah! Toan hun-siok bing im-yangci
cu-kuo untuk memberi sekedar hajaran padanya, Memang
aku sengaja mengajar adat muridmu yang nakal ini!"
"Apa kau lupa menggebuk anjing juga harus pandang muka
majikannya?"
"Dia sudah berani melanggar pantangan dan undangundang
agamaku tahu."
"Pantangan apa?"
"Memincut anak muridku, mencuri seruling samber nyawa
lagi."
"SeruIing samber nyawa ?"
Le Siang-san menjadi kesima, tidak menggerecoki kenapa
anak muridnya diajar adat tadi, kini malah ia bersitegang
leher, tanyanya: "Apakah betul omonganmu ?"
"Coba kau tanyakan kepada murid atasmu itu !"
"Sip i, mana seruling samber nyawa itu?"
"Berada ditangannya !" sahut pemuda baju biru Hoa Sip-i
sambil menunjuk Giok-liong.
Bayangan biru berkelebat dengan menggembor keras Le
Siang-san menubruk kearah Giok-liong sambil mencengkeram

dengan ilmu cakar garuda, sedetik mereka saling adu
kekuatan mendadak bayangan mereka terpental mundur.
Terdengar Giok-liong berseru dengan nada berat: "Kenapa
kau menyerang dengan ganas, Sungguh tidak punya aturan."
Le Siang-san terloroh-loroh suaranya seperti kokok beluk,
penuh kepalsuan: "Serahkan seruling samber nyawa itu, nanti
kuampuni jiwamu!"
Mukanya penuh nafsu membunuh, matanya semakin jalang
seperti binatang kelaparan membuat orang yang melihat
merasa giris dan ketakutan pelan-pelan ia angkat kedua
lengannya keatas kepala dengan gerakkan kaku seperti mayat
hidup, kakinya berjengkit keatas.
Ui hoa kiaucu Kim Ing mandah tertawa tawar, ujarnya: "Le
Siang-san ! Jangau kau anggap gampang. Kali ini kau akan
ketemu batumu, awas kau jangan terjungkal."
Le Siang-san mengekeh seram suaranya seperti pekik
keras: "He, Le Siang-san tidak pandang sebelah mata bocah
ingusan masih berbau bawang ini."
Giok-liong menjadi gusar, air mukanya semakin gelap,
geramnya rendah: "Kukira sikapmu akan berlainan kalau kau
berhadapan dengan Kim-pit-jan-hun !"
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong?" agaknya
hal ini benar-benar diluar dugaan Le Siang san.
"Benar, itulah aku yan rendah adanya!"
Mata Le Siang-san berkedip-kedip, dari kepala ia
mengamati sampai kaki, mendadak ia melepas gelak tawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Ketemu muka lebih nyata dari
mendengar. Kukira kau seorang laki laki yang punya tiga
kepala dan enam tangan. Tak kira hanya seorang pemuda
yang masih hijau berbau popok, sungguh menggelikan."

"Bedebah, jangan sombong kau!" membawa deru angin
kencang Giok-liong menerjang musuh dengan gusar.
"Baik! Le-ya akan mengukur sampai dimana kelihayan Sam
ji cui-hun-chiu! Tobat!"
Sekali gebrak saja cukup membuat Le Siang san
berjingkrak mundur dengan penuh keheranan sungguh mimpi
juga ia tidak menduga bahwa pemuda baju putih didepannya
ini begitu mahir melancarkan Cui-hun-chiu yang sedemikian
sempurna. Apalagi Lwekangnya juga sudah mencapai begitu
tinggi.
Betul-betul membuat orang sulit percaya, sedikit ayal
hampir saja jiwanya kena dikorbankan.
Disebelah sana terdengar Ui hoa kiaucu Kim Ing menjengek
hina: "Bagaimana Le Siang-san?"
Muka Le Siang san kelihatan pucat bersemu ungu, dari
malu ia menjadi gusar, gerungnya dengan marah-marah:
"Payah, payah! puluhan tahun ketenaran nama Le-yam kena
dirobohkan oleh bocah ingusan yang berbau bawang ini, Tapi
gebrak kali ini belum masuk hitungan, coba kau juga sambut
ilmu pukulanku ini!"
Mendadak ia ia pentang kesepuluh jarinya, giginya berkerut
dengan gemas. sepuluh jalur kilat laksana duri landak
mendadak menembus udara mendesing mendesis kearah
Giok-liong.
"Le Sian-san!" teriak Ui-hoa-kiaucu Kim Ing: "akhirnya toh
kau keluarkan ilmu simpanan mu Cap-ci tam-kan ciu! (ilmu
jelentikan sepuluh jari)!"
Giok-liong mandah tersenyum ewa, hawa murni
terkerahkan dari pusarnya, hawa Ji-lo segera tersalur
mengembangkan mega putih melindungi seluruh badannya.

Sepuluh jalur sinar biru laksana duri landak itu begitu
menyentuh mega putih lantas buyar sima tanpa bekas.
Keruan berubah hebat air muka Le Siang-san saking kejut
bahwa ilmu yang paling di andalkan katanya tak berguna lagi
menunjukkan perbawanya. Saking dongkol ia membanting
kaki sehingga sepatu rumputnya amblas kedalam batu cadas
dibawah kakinya sampai beberapa dim, sekali ini ia kerahkan
seluruh kekuatannya, lagi-lagi puluhan jalur sinar biru
meluncur lebih panjang dan besar serta keras.
Namun betapapun ia mati-matian kerahkan seluruh
tenaganya, alhasil puluhan jalur sinar tutukan jarinya itu tak
dapat menembus pertahanan mega putih yang bergulung
tebal, laksana puluhan sabuk biru, yang berputar menggubat
sebuah bola putih besar, saking ulur odot sungguh suatu
pemandangan yang menarik hati.
Baru sekarang pemuda baju biru Hoa Sip-i berkesempatan
bersuara, teriaknya : "Suhu! Doa seorang baik, dia seorang
baik!"
Le Siang-san sudah tidak hiraukan lagi seruannya dengan
bernafsu ia kerahkan seluruh kemampuannya dalam usaha
untuk merebut seruling samber nyawa. Sebab itu tenaga yang
dikerahkan dan dilancarkan semakin kuat dan besar.
Kakinya juga semakin dalam melesak kedalam batu yang
keras. Mukanya berubah menyeringai seperti wajah setan
yang tersiksa sungguh menggiriskan sekali.
Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag
terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom
meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.
Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah
telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis

puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le
Siang san.
"Celaka !" saking kagetnya Le Siang sau menggembor
keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima
enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya
menyemburkan darah segar.
Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran
juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian
juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.
Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah
melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas
tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru : "Suhu ! Kuatkan
hatimu, himpunlah semangatmu !"
Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya
mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat
tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih
ngos-ngosan: "Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"
"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"
"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan
kau menyesal sesudah kasep!"
"Kenapa ?"
"Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !"
"Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan
kedatanganmu !"
"Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir
perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku,
setiap saat aku akan mencarimu !"
"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."
"Mari pulang !" dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san
meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.

Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa
manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling
bunuh. Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak
sengsara dan derita.
Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong
ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping
sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi
dirinya. Tak terasa ia menghela napas lagi.
"Anak muda kenapa berkeluh kesah !" merubah sikapnya
yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi
begitu ramah dan penuh kemesraan.
Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan
abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai
bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan
sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan
terpincut dan tertarik batinya.
Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya,
sikapnya tetap dingin. Sambil meraba batu giok berbentuk
jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia
menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari
peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa
besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya,
sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke Hwihun-
cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan
kedatangannya.
Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa
pergi oleh Hiat ing Kongcu. Benda satu-satunya sebagai
kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati
warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.
Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya
kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut: "Ma Giok
liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"

Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di
depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya
dengan parau : "Dari Hwi hun-san-ceng."
"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu
?"
"Bukan, putrinya !"
"Oh..." Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak
matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung
seperti orang linglung.
Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela
napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki:
"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja
batu giok itu kepadaku !"
"Giok-pwe ini ? jangan !"
"Kau keberatan ?"
"Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku
dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling
samber nyawa."
"Mas kawin ! "
"Sedikitpun tidak salah!"
Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan
menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat,
sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.
Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya,
seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong
juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya
melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya
melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak
menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.

Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta
Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang
paling dirindukan adalah Coh Ki-sia. Menurut adatnya ingin
rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun-
san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.
Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera
diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku
yang sulit diduga sebelumnya. Dimana-mana selalu terjadi
banjir darah dan penjagalan manusia.
Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang,
Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe. Masih adalah
Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi. Semua-semua ini boleh dikata
merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada
suatu saat. Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat
perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim,
sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai
sekarang juga belum sempat terlaksana.
Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa
otaknya menjadi tumpul dan butek. Tak tahu ia cara
bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan
semua urusan yang sama pentingnya ini.
Terutama yang membuat hatinya sedih adalah
permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan
hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum
aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai
besar.
Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti
dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi
untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.
Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir
jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus
angin besar pasti akan roboh.

Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas
pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan
yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan
tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.
Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus
sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan,
sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari
arah kuburan yang berserakan sana.
Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia
sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya
bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam,
jadi tak terlihat air mukanya. Sorot matanya dari balik
kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.
Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu,
tanyanya: "siapakah tuan ini ?"
Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas
tanyanya : "Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !",
"Baik, ambil ini !" orang itu merogoh kantong bajunya
mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam
gardu lalu berlari pergi.
Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas
lantai.
Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar
adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau,
sebesar tiga empat senti.
Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di
kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling
bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu,
huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.

Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi
itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang
berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi
Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan
jabatan.
Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini ?
"Hai, tunggu sebentar !" seiring dengan bentakannya ini Giokliong
melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu. Tapi
orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang
ia berlari terus.
Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh
dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot-
sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan
pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang
berkedok di depan itu.
Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang
berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah
sebuah hutan yang lebat dan gelap.
Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar
terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.
Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan
tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak
kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.
Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah
dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.
Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang
buas saling susul. Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong
semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo
melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat
yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.
"Stop! " tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat
nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat

penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan
saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok
berseragam hitam sudah mengepung dirinya.
Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di
pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai
menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak
maju menghampiri Giok-liong.
Ancaman yang serius ini betul-betul menciutkan nyali
orang, jangan kata turun tangan bergebrak, mengandal hawa
dingin serta keadaan yang tegang menakutkan ini laksana di
akhirat cukup menggetarkan nyali orang, yang bernyali kecil
tanggung sudah pecah jantungnya dan mampus saking
ketakutan.
Diam-diam Giok-Iiong kerahkan Lwekangnya, ujarnya
dengan serius: "Apa-apaan tindakan kalian!".
Tiba-tiba suara mendengus tersiar dari hutan sebelah
dalam sana, katanya: "Lencana besi sebagai undangan. Tiada
maksud jahat!"
Tanpa merasa Giok liong membuka telapak tangan melihat
lencana besi itu, serunya lantang: "siapa yang berkuasa di
hutan ini, kenapa tidak keluar untuk bicara!"
"Pun-tong-cu hanya mendapat perintah untuk mengundang
tuan, sebelum ada perintah dari majikan, tidak boleh bertemu
muka. Silakan tuan pergi!"
Giok-liong menjadi heran, serunya lagi: "Terima kasih akan
undangan ini, lantas kemana aku harus pergi, tiga hari lagi
aku harus kemana?"
"Bukankah diatas lencana itu sudah tertulis jelas, Tuan
sendiri juga pernah kesana bukan, kenapa main tanya segala!"

"Aku pernah kesana ". akhirnya Giok-liong paham, dengan
mendelong ia pandang lencana besi itu, serunya tertahan:
"Apakah majikan Hutan kematian?"
"Tidak salah! Majikan Hutan . . . . kematian . , ! "sepatah
demi sepatah laksana guntur menggeleger kupandang keras
sekali memekakkan telinga, seakan bicara diribuan Ii jauhnya
tapi juga seperti di pinggir telinga.
Hutan kematian merupakan suatu golongan yang paling
misterius dan susah dijajagi, tidak diketahui sepak terjang
mereka yang sebenarnya dari golongan mana pula aliran
kepandaian mereka, maka sedikitpun Giok liong tidak berani
berlaku gegabah.
Terang-terangan aku telah diundang, betapapun aku harus
menuju ke Hutan kematian untuk menyirapi kesana, baru dari
sana mencari jejak Suhu, kalau tidak menanti pada bulan lima
pada perjanjian bertemu di Gak-yang-lau kelak baru diatur lagi
tindakan selanjutnya, perjalanan kali ini sekaligus dapat
menyirapi kabar dari Wi-hin-ciang Liong Bun Liong Tay-hiap,
entah kabar apa pula yang bisa diperolehnya, supaya kelak
dapat mengatasi lebih sempurna demi kejayaan dan
ketentraman hidup kaum persilatan.
Karena pikirannya ini segera ia menyahut keras: "Baik,
dalam tiga hari ini aku pasti tiga disana!"
Sebelum kakinya bergerak tiba-tiba terdengar suara orang:
"Tunggu sebentar! " lalu beruntun muncul beberapa bayangan
hitam. Kini yang muncul adalah delapan laki-laki yang
mengenakan jubah abu-abu, dengan rambut panjang terurai
juga, dengan kaku mereka berloncatan maju mendekat, Salah
seorang diantaranya berkata dingin: "Petugas Liong-tong,
menghadap pada Tong-cu!"
Habis berkata delapan orang itu terentak menjura dalam
kearah hutan kosong sebelah dalam sana.

Sebuah suara menyahut dari dalam hutan sana: "Silakan
para petugas hukum, apakah Lim-cu (Majikan) ada pesan
lain?"
Serentan kedelapan orang didepan hutan itu mengiakan.
Salah seorang berseru lantang: "Terima kasih akan perhatian
Tong cu, kita beramai menggusur tawanan kemari untuk
melaksanakan hukuman, harap Tong-cu suka saksikan dan
buktikan."
Suara orang dalam hutan rada terkejut heran. Terdengar
tindakan berat berjalan keluar, tahu-tahu dihadapan mereka
sudah berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap melebihi
orang biasa, karena tidak mengenakan kedok jadi wajahnya
bisa terlihat jelas.
Bentuk wajahnya bundar bersegi seperti wajah harimau,
matanya berjengkit miring keatas, diatas jidatnya tumbuh
secomot rambut putih yang diatur sedemikian rupa sehingga
menyerupai huruf "Ong" ( Raja ).
Ini masih belum aneh yang lebih aneh, yang lebih
mengejutkan lagi bahwa dari kedua ujung mulutnya tumbuh
dua taring yang besar memutih. Begitu mengunjukkan diri
langsung orang ini bertekuk lutut menyembah seraya berseru
lantang: "Hou-tong Tongcu, hamba menerima perintah Congcu,
Harap Tongcu kalian suka memberi petunjuk!"
Sebuah bayangan abu-abu melayang masuk dari luar,
seorang laki-laki berambut merah bermuka hijau melayang
tiba. Diatas jidatnya tumbuh jaling tunggal, Matanya berkilat
tajam segera ia menjura kearah Hou-tong Tong cu yang
berlutut itu, ujarnya: "Perintah sudah disambut, Selain aturan
biasa. Tong-cu silakan!"
Hou-tong Tong-cu bertanya dengan muka serius:
"Pesakitan siapakah sampai begitu penting digusur kemari
untuk melaksanakan hukuman disini!"

Liong-tong Tong-cu yang berambut merah bermuka hijau
itu terkekeh kekeh dingin, matanya melirik kearah Giok-liong,
sahutnya: "Pesakitan ini ada sangkut pautnya dengan Ma
Siau-hiap ini. Betapa tepat perhitungan Lim cu, beliau tahu
bahwa Ma Siau-hiap hari ini pasti akan lewat Hou-tong sini,
maka segera diperintahkan aku membawa dua belas petugas
hukum menggusur tawanan itu kemari !"
Terkesiap hati Giok-liong, selanya gugup! "Ada sangkut
pautnya dengan aku. Siapakah dia?"
"Sebentar lagi kau akan tahu!" jengek Liong-tong Tong-cu.
Lalu tangannya bertepuk dua kali, kecuali delapan orang
seragam abu-abu yang segera bergerak keempat penjuru
mengepung Giok liong dari luar hutan sana berlari masuk lagi
empat laki laki seragam abu-abu yang berambut panjang juga.
Keempat laki-laki seragam abu-abu yang baru masuk ini
menggusur seorang tua renta, air muka yang kaku dan dingin
pucat tanpa kelihatan berdarah. Kedua tulang pundaknya
berlubang ditembusi rantai panjang sebesar jari tangan,
karena diseret maju sehingga jalannya sempoyongan, rantai
panjang itupun berbunyi nyaring menyentuh tanah.
Beriring keempat laki-laki seragam abu-abu ini menggusur
tawanannya kehadapan Liong-tong Tong-cu lalu menjura
hormat: "Hamba beramai menunggu perintah selanjutnya!"
Liong-tong Tong-cu manggut manggut, ujarnya: "Harap
Hou-tong Tong-cu memeriksa akan kebenaran tawanan ini!"
Houtong Tong-cu mengunjuk rasa heran dan penuh tanda
tanya, katanya sambil mengerutkan alis: "Bukankah dia
seorang Goan-lo ( sesepuh ), petugas Lim-cu yang terdekat
pembesar berjasa dalam pembukaan Hutan kematian . . . ."

Tanpa menanti ia selesai bicara habis mendadak Liong-tong
Tong-cu bergelak tertawa: "Hahahaha. . .Tak heran Tong-cu
kena diapusi. Lim-cu sendiri juga kena dikelabuhi selama
puluhan tahun, siapa akan mau percayai Hahahaha!"
Tatkala itu Giok-liong berdiri mematung sambil
menerawangi perubahan yang dilihatnya dihadapannya ini,
saking asyik dan kesima mendengar ia sampai berdiri
terlongong-longong.
Terdengar Liong-tong Tong cu menghardik keras dengan
bengis: "Lucuti kepalsuannya supaya Houtong Tong cu
memeriksa sendiri."
"Hamba terima perintah," empat laki-laki seragam abu-abu
itu mengiakan bersama. Lalu beramai-ramai bergegas mereka
menekan si orang tua tawanannya itu diatas tanah, salah
seorang menggosok dan menepuk diatas mukanya, seorang
lagi menarik narik dipunggung dengan sekuatnya, sedang dua
orang lainnya masing masing menarik kedua lengannya."
"Hah!" tak tertahan Giok liong berseru terkejut.
Liong tong Tong cu berkata kan, ujarnya: "Nah, begitu
lebih tepat lagi, Hanya dengar seruan kejut Ma Siau-hiap ini,
merupakan bukti yang paling nyata!"
Sementara itu Houtong Tong'Cu juga tengah kesima sambil
garuk-garuk kepala yang tidak gatel tanyanya melongo: "Siapa
dia?"
"Delapan puluh tahan yang lalu," terdengar Liong-tong
Tong-cu berseru lantang: "Seorang Tay-biap yang sudah
menggetarkan dunia persilatan Wi-hian-ciang Liong Bun,
bukan lain adalah tawanan kita ini!"
Dalam pada itu Giok-liong sudah tak kuat mengendalikan
keharuan hatinya serunya mendebat: "Apa hubungannya
orang ini dengan aku?"

Liong-tong Tong cu tertawa ewa ujarnya: "Dalam hal ini
Lim cu ada memberi pesan supaya aku tidak membuka banyak
mulut. Dipersilatan dalam jangka tiga hari ini Siau-hiap datang
kesekte kita, nanti aku tentu akan mengiringimu setelah
menghadap Lim-cu, tentu segalanya dapat dibikin jelas!"
"Apa yang akan kalian perbuat akan diri Liong Tay-hiap
ini?"
"Lwekang dan kepandaian silatnya sudah dipunahkan, kita
beramai tak lain hanya melaksanakan tugas melalui...
Bahwasannya ini bukan urusan yang sangat penting!"
Memang sorot pandangan Wi-hian-ciang Liong Bun sangat
redup tanpa bersinar dari wajahnya yang pucat pasi itu
menandakan bahwa Lwekangnya memang sudah punah,
bentuknya menyerupai tengkorak hidup yang mengalami
penuh penderitaan.
Akan tetapi, apakah Giok-liong harus diam saja melihat
seorang pendekar besar pada jamannya dulu yang sudah
tenar puluhan tahun meninggal begitu saja, saking haru dan
pedih badan sendiri sampai gemetar.
"Siau hiap harap berpikir kembali sebelum bertindak l"
serentak delapan laki laki seragam abu-abu berkelebatan
masing masing menggerakkan lengan tangannya, serempak
mereka berseru hormat meski belum turun tangan secara
kenyataan kepungan mereka ini sangat rapat sulit ditembus.
Untuk menerjang keluar meski tidak sukar, sedikitnya juga
harus memeras keringat.
Sambil mengerut kening segera Giok-liong berteriak: "Hai,
kalian jangan berlaku ceroboh, tunda dulu pelaksanaannya
setelah aku bertemu langsung dengan Lim-cu kalian !"
"Lain urusan lain perkaranya, Maaf Pun-tong tak dapat
mengabulkan permintaan mu ini !"

"Kalau kalian tidak melepas Liong Bun, maka akupun tidak
sudi menemui Lim-cu kalian."
"Itu kan urusan Ma Siau-hiap sendiri, nanti Limcu tentu
dapat mengatur sendiri, jangan persoalan itu dicampur
baurkan dengan pelaksanaan hukum ini !"
Saat mana Houtong Tong-cu sudah mengulapkan tangan
memberi aba aba kepada dua belas laki-laki berambut panjang
ber-seragam hitam, serunya: "Sambut tugas ini dan siapkan
melaksanakan hukuman."
Empat orang seragam hitam maju menggantikan
kedudukan empat seragam abu-abu yang menggusur Liong
Bun tadi, Keempat seragam abu-abu itu lantas meloncat
mundur ikut mengepung Giok liong diluar batas tiga tombak
jauhnya.
Dua belas pelaksana hukum berseragam abu-abu ini siap
waspada tanpa mengeluarkan suara atau sembarangan
bergerak, tenaga sudah dihimpun dengan pandangan mata
yang berkilat menatap tajam kearah Giok-liong tanpa
berkedip.
Giok-Iioug semakin gelisah seperti dibakar hardiknya
menggerung : "Lekas lepaskan Liong Tay-hiap, mari kita
bicarakan lagi urusan ini !"
Liong-tong Tong-cu memberi salam kepada Houtong Tongcu
serta katanya: "Tugas ini sudah kami serahkan, seluruh
tanggung jawab dan pelaksanaannya terserah kepada seksi
kalian." lalu ia melangkah maju beberapa tindak, katanya
kepada Giok-liong: "Siau-hiap, dalam tiga hari ini aku menanti
kedatangan tuan, Harap tuan tidak mengecewakan harapan
Lim-cu."

Tatkala itu, Houtong Tong-cu mencibirkan bibir bersuit
nyaring dan keras menembus angkasa laksana gerungan
harimau yang berang. Dari luar hutan dari berbagai penjuru
lantas terdengar derap langkah berlari, geseran daun daun
pohon serta berkelebatnya bayangan orang samar-samar
terlihat ratusan orang seragam hitam serentak merubung
datang kearah sini.
Pandangan Houtong Tong cu berkilat tajam, serunya
lantang :"Atas perintah Lim-cu, seorang yang bernama Wihian-
ciang Liong Bun, memendam diri menjadi mata-mata
dengan tujuan yang tidak menguntungkan bagi Hutan
kematian, menurut undang-undang hukum kita dihukum cacat
jiwa, Kali ini sekte kita mendapat penghargaan untuk
melaksanakan hukuman ini, Laksanakan hukuman !"
Serentak berpuluh sampai beratus mulut bersama
mengiakan sehingga hutan ini menjadi bergoncang seperti air
mendidih, sedemikian keras sampai kumandang dan bergema
sekian lama.
"Mulai !" terdengar Houtong Tong-cu melompat maju
sambil berteriak bengis seperti pekik kokok beluk, seiring
dengan bentakannya ini kedua tangannya bergantian
menghantam kearah Liong Bun.
Giok liong melompat maju sambil menggerung gusar:
"Nyali besar ! Tahan !"
Namun belum lagi Giok-liong dapat bergerak maju, Liongtong
Tong cu bersama dua belas pelaksana hukumnya sudah
serentak menggerakkan tangan menyerang sekaligus dengan
gabungan tenaga mereka seketika Giok-liong menjadi
terhalang ditengah jalan, terpaksa ia harus membela diri demi
keselamatan sendiri.

Di sebelah sana terdengarlah jeritan panjang yang
mengerikan. Itulah pekik Liong Bun dalam jiwa meregang
sebelum ajal.
Giok liong mendengar dengan jelas sampai badannya
terasa merinding, hatinya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Tapi gabungan serangan dua belas jago jago kelas wahid dari
Liong-tong mana mungkin dapat ia atasi begitu saja.
Apalagi dua puluh enam telapak tangan mereka sekaligus
melancarkan tipu-tipu aneh yang sulit diraba sebelumnya,
sungguh pengepungan yang rapat tiada lubang titik
kelemahannya.
Diluar gelanggang pengepungan saban-saban masih
terdengar jerit kesakitan dan gerangan gusar dari pelampiasan
dongkol, angin menderu dari tenaga pukulan yang menimpa
diatas tubuh manusia sampai berbunyi gedebukan.
Entah sudah berselang berapa lama, dan berapa banyak
pukulan sudah dijatuhkan diluar gelanggang sana, Tiba tiba
Liong-tong Tong-cu berseru keras: "Liong-tong Tecu siap
kembali !" angin berkesiur disertai lambaian baju, begitu cepat
gerak gerik mereka sekejap saja keadaan menjadi sunyi dan
sekelilingnya sudah kosong meIompong.
Tiga belas orang dari Liong-tong sudah menghilang tanpa
bekas dalam sekejap mata. Demikian juga seluruh anak buah
Houtong Tongcu sebanyak ratusan orang itu sudah tak
kelihatan lagi mata hidungnya, semua sudah pergi tanpa
meninggalkan jejak.
Keadaan dalam hutan kembali menjadi sunyi senyap, angin
berlalu membawa bau amis darah yang memualkan. Diatas
tanah sana terlihat segundukan daging dan tulang-tulang
manusia yang terpukul hancur lebur tanpa ujud lagi. Tinggal
rantai yang mengikat di tulang Liong Bun saja yang masih

ketinggalan memancarkan sinarnya yang redup menyolok
mata.
Tak tertahan lagi kepedihan hati Giok-liong, ujarnya sambil
sesenggukan dengan sedihnya: "saudara tua, belum lagi citacitamu
terlaksana badan sendiri sudah hancur lebur, siaute . .
. "
Sekonyong-konyong. . .
"Bocah keparat, akhirnya toh kutemukan juga!" seiring
dengan bentakan ini dari luar hutan sana menerjang datang
seorang laki-laki bertubuh kekar, bermuka kuning persegi,
alisnya lentik menaungi sepatang mata yang berkilat tajam,
dagunya tumbun lima jalur jenggot pendek hitam.
Mengenakan pakaian ketat dengan mantel kuning
berkembang, sepatunya tinggi peranti untuk jalan jauh,
sikapnya garang dan angker kegusaran.
Giok liong melihat air muka orang rada bersih,
semangatnya menyala-nyala, terang bukan anak buah dari
Hutan kematian. Maka tak berani ia berlaku gegabah, serunya
lantang: "Kenapa tuan bicara tidak sopan?"
"Terhadap siapa bicara apa!"
"Kau kira siapa aku ini ?"
"Manusia rendah hina dina, mata keranjang hidung belang
!"
"Kau terlalu menghina !" secara langsung dimaki begitu
kotor keruan Giok-liong tak kuat menahan hawa amarah
dengan sengit ia mengerjakan tangannya melancarkan jurus
Cin-chiu dari ilmu Sam- ji-cui-hun chiu, maka mega putih
bergulung keluar menerjang dengan dahsyatnya. Apalagi
tenaganya ditandai rasa gusar sudah tentu bukan olah-olah
hebatnya.

"Hei, apa hubungan mu dengan Toji Pang Giok ?" laki-taki
kekar itu berkelit ke samping, wajahnya mengunjuk rasa kejut
dan heran.
"Murid tunggalnya!"
Sedikit merenung laki-laki kekar itu lantai membanting kaki,
ujarnya: "Merusak nama baik Bu-lim-su cun Pang lo cianpwe
saja. Sayang sekali!"
Mendengar ucapan orang tergetar hati Giok-liong, pikirnya
"Apa mungkin orang ini ada hubungan erat dengan
perguruanku tak boleh aku berlaku kasar." karena pikirannya
ini maka jurus kedua dari Sam jicui-hun chiu yaitu Tiam-bwe
lekas lekas ditarik kembali ditengah jalan, serunya sambil
melompat mundur . "Apa maksud ucapan tuan ini ?"
"Jangan kau pura-pura linglung menjadi gendeng,
seumpama aku harus berlaku salah terhadap Pang-lo cian pwe
,betapapun aku harus mewakili dia untuk menghajar bocah
keparat seperti kau ini sampah dunia persilatan. Baru
terlampias rasa dongkolku ini."
"Wut. . . ." segulung angin kencang laksana badai angin
terus menerjang datang dari tengah udara, sungguh dahsyat
dan berbahaya sekali.
Karena tidak menduga hampir saja Giok-liong tergulung
oleh serangan lawan. Cepat-cepat ia menjejakkan kaki
mencelat mundur setombak lebih untung benar dapat
terhindar dari bahaya elmaut, walaupun demikian, daun dan
rumput beterbangan mengotori seluruh tubuhnya, juga ujung
bajunya telah tergetar hancur berkeping-keping melayang
ditengah udara.
"Bocah keparat, kiranya cuma begitu saja kepandaianmu!"
begitu mendapat kesempatan merangsak laki laki kekar itu

lantas menarikan kedua tangannya dengan lincah dan secepat
kilat, sekejap mata saja beruntun ia menepuk dan memukul
dua belas pukulan, setiap pukulan mesti dilandasi kekuatan
dahsyat, tak jauh dari sekitar badan Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi kelabakan berputar dan berkelit
dengan susah payah. Terpaksa Ling hun-toh harus
dikembangkan ringan sekali tubuhnya berkelebat selulup
timbul berlarian diantara dahan-dahan pohon besar disekitar
gelanggang.
Mendapat angin laki-laki kekar itu semakin bernafsu dan
tidak memberi ampun untuk lawan sempat ganti napas.
Dengan menggereng marah, lagi - lagi ia lancarkan sebuah
pukulan dahsyat, laksana arus sungai Tiangkang membadai
menggulung dari segala penjuru angin.
Akhirnya memuncak juga rasa gusar Giok liong, sekali
kesempatan ia berkelit ke belakang sebuah dahan pohon
besar terus melejit jauh beberapa meter, serunya gusar:
"selama ini kita belum saling kenal, tuan terlalu mendesak
orang, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang
hormat!" habis ucapannya segera ia bergerak gesit sekali ia
melancarkan jurus serangan balasan.
Seketika mega putih bergumpal melebar luas, bayangan
telapak tangan berubah laksana ratusan dan ribuan pukulan
telapak tangan, serentak ia balas menyerang dengan nafsu
dan sengit. Gerak berkelit, mengambil imsiatif balas
menyerang, berganti jurus melompat menerjang dilakukan
dalam satu gerakan serempak sehingga menambah semangat
dan melihat gandakan daya kekuatan serangannya.
BegituIah terjadi pertempuran sengit tanpa juntrungan,
empat kepalan tangan menari pesat dan lincah sekali di
tengah udara, tipu lawan, tendangan lawan kegesitan, bukan
saja mereka harus cekatan menjaga diri juga harus pandai

melihat gelagat, mengincar lubang kelemahan pihak musuh
untuk melancarkan serangan total berusaha menang.
Saking seru dan sengit pertempuran ini masing masing
pihak sudah kerahkan seluruh kekuatannya sehingga angin
menderu, suasana gegap gempita ini merobohkan pohonpohon
sekitar gelanggang sehingga menambah pertempuran
ini semakin gaduh.
Sinar matahari begitu cemerlang menyinari pertempuran
yang aneh dan menjadikan pemandangan mata yang
menakjubkan sekali pertempuran bagi tokoh kosen, setiap
jurus setiap gerak langkahnya harus dilakukan hati-hati dan
secepat kilat, sebentar saja tahu-tahu pertempuran ini sudah
berlangsung seratus jurus lebih.
Setelah sekian lama bertempur tanpa dapat merobohkan
lawan, Giok-liong menjadi semakin gelisah, sekilas berkelebat
pikirannya, sinar matanya terpancar semakin tajam, timbul
hawa membunuh.
Mendadak ia menggembor keras, suaranya mendengung
menembus angkasa. Belum hilang gema suara gemborannya
tiba tiba ia menghardik lagi : "Awas, sambut ini !"
Kontan terdengar seruan tertahan, bayangan kuning
terpental mundur sejauh lima tombak badan masih terhuyung
lagi tiga langkah terus jatuh terduduk, untung belakangnya
terdapat sebuah pohon besar yang menahan badannya,
sehingga ia tidak jatuh ternauar.
Mulut laki-laki kekar ita mengalirkan darah, sinar matanya
menjadi redup, wajahnya yang kaatng seperti berpenyakitan
itu kini berubah pucat pasi, nafasnya memburu kencang,
sebelah tangannya menekan dada, terputus-putus ia berkata
menuding Giok-liong: "Baik . . . aku , . . mengaku . , . tapi . , ,
kau . . . hidung belang , . tak tahu malu , . . ba . , , bagai . . ,
mana . . . terhadap . . . Wahaaahh !" ia berkata terlalu

dipaksakan sekaligus ia menyeburkan dua gumpal darah
segar.
Melihat luka orang yang rada berat, Giok-liong menjadi
tidak tega, batinnya: "Aku tiada bermusuhan atau dendam
sakit hati terhadap dia, untuk apa aku turun tangan terlalu
berat !" maka segera ia maju beberapa langkah terus
berjongkok, katanya rendah: "selamanya aku belum pernah
kenal dengan tuan, namun kau begitu bernafsu menyerang
dengan jurus mematikan sehingga aku kelepasan tangan
melukai tuan !"
"Crot !" lakf-laki kekar itu meludahi muka Giok liong dengan
riak tercampur darah, "Kau ! Cari mampus !" Giok liong
berjingkrak gusar, sebat sekali tangannya diulur, dua jari
tangannya dengan tepat menutuk dijalan darah Hiat hay di
dada orang. Desisnya mengancam : "Kau tidak dapat
membedakan salah dan benar, jangan salahkan aku tidak
mengenal kasihan."
"Kalau kau berani, cobalah bunuh aku!"
"Hm, kau kira aku tidak berani ?".
"Keparat kau memang telengas kejam, rendah dan hina
lagi, perbuatan apa yang tidak pernah kau lakukan."
"Sekaii lagi tuan mengudal mulut semena-mena, asal aku
mengerahkan sedikit tenaga, cukup membuat kau mampus
tanpa liang kubur . . ."
Tiba-tiba sebuah hardikan nyaring menembus angkasa,
sebuah bayangan putih meluncur datang dari tengah udara,
Siuuur, sejalur kain sutra panjang mendesis keras tahu-tahu
sudah menggubat dileher Giok-liong, sedikitpun Giok liong
tidak menduga dirinya bakal dibokong dari belakang, begitu

mendengar angin mendesis dan tahu gelagat yang
membahayakan untuk berkelit sudah tidak sampai lagi.
Tahu-tahu ia merasa napasnya menjadi sesak lehernya
terikat kencang, sedapat mungkin ia meronta berusaha
melepaskan diri, tapi gerak gerik pendatang baru ini betulbetul
cepat luar biasa, begitu serangannya berhasil tanpa ayal
tangannya lantas menarik dan menyendal dengan keras.
Karena leher digubat selendang satra, Gi-ok-liong sulit
mengerahkan Lwekangnya, kontan tubuhnya kena digentak
mumbul ketengah udara, melayang seperti layang layang
putus benang setinggi tiga tombak terus terbanting keras di
tanah.
Karena tiada kesempatan untuk mengerahkan hawa murni
melindungi badan, seketika ia terbanting celentang dengan
kaki tangan menghadap kelangit.
Keruan sakitnya bukan buatan, sampai mata berkunangkunang
kepala pusing tujuh keliling.
Bantingan keras ini betul-betul merupakan suatu pukulan
keras bagi Giok-liong selama kelana di Kangouw, betapa dia
takkan berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot.
Begitu tubuhnya menyentuh tanah, hawa murni segera di
empos, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia
mencelat setinggi tiga tombak, badannya terus meluncur tiba
sambil menggerakkan kedua telapak tangannya.
Saking susar dan gemas maka luncuran serta serangannya
ini betul-betui hebat sekali, seolah-olah ingin rasanya sekali
pukul hancur leburkan lawan menjadi bergedel.
Begitulah dengan nafsu membunuh yang bergelora di
badannya Giok-liong meluncur turun laksana air bah
dicurahkan dari tengah udara, tapi tiba-tiba ia berseru kejut.

Lekas lekas ia menarik serangannya dan punahkan tenaga
kekuatan pukulannya, badan juga lantas berhenti meluncur
dan hinggap ditengah jalan, Begitu berdiri tegak dengan
kesima ia berdiri mendelong, berutang kali ia kucek-kucek
matanya menatap pendatang baru ini, air mukanya kaku
tanpa perasaan ia berdiri terlongong seperti patung.
"Bocah keparat, apa yang kau lihat !"
Giok-liong tetap kesima berdiri ditempatnya, Sebab
perempuan pertengahan umur yang membawa selendang
sutra sepanjang dua tombak itu betul betul persis seseorang,
seorang yang selalu dirindukan oleh Giok-liong.
"Persis benar, seperti pinang dibelah dua !" dalam hari
Giok-liong membatin : "Selain usianya yang berbeda, boleh
dikata orang ini seperti duplikat adik Sia, mungkinkah didunia
ini terdapat orang yang begitu mirip satu sama lain ! "
Sementara itu, perempuan pertengahan umur itu sudah
menggulung selendangnya terus menghampiri kesamping lakilaki
kekar, suaranya lembut penuh kekwatiran : "Bagaimana
luka-Iukamu . . ."
Wajah laki-laki kekar mengunjuk penasaran dan gusar,
sahutnya dengan kepedihan: "jangan kau hiraukan aku !
carilah dia ...." sampai disini ia sudah tak kuat meneruskan
sambil menunjuk Giok liong yang masih berdiri terlongong itu
ia berkata lagi tergagap: "Ringkus dia . . . tuntut
pertanggungan jawabnya !"
Perempuan pertengahan umur menjadi terharu dan
mengembeng air mata, Tar ...tiba-tiba ia mengayun selendang
sutra ditangani nya seperti pecut, terus menerjang maju
kehadapan Giok liong, bentaknya sengit: "Bocah keparat,
kembalikan anak putriku!"
Saat mana Giok-liong, tengah berdiri kesima, seketika ia
menjadi tertegun mendengar seruan orang mundur selangkah

ia bertanya: "Putrimu! Dari mana asal pertanyaanmu ini,
selamanya kiia belum pernah bertemu muka. apa kau sudah
gila!"
"Apa, jadi kau hendak mungkir!"
"Bukan aku ingin mungkir, adalah menista orang semenamena!"
"Kau melepas api membakar rumah, pura-pura mau
sembunyi tangan, lihat serangan."
Selendang sutranya berputar ditengah udara melingkar
seperti-ular hidup terus menukik turun menindih ke atas
kepala Giok-liong, perbawa serangan ini cukup lihay dan
hebat.
Kalau Giok-liong tidak mau melawan, terpaksa ia harus
melompat mundur baru bisa menghindar dari ancaman
berbahaya ini, Tapi pelajaran yang dialami tadi membuat ia
harus berpikir dua belas kali, berulang kali ia sudah berusaha
mengalah dan main mundur, akhirnya dirinya malah
kehilangan kontrol dan kepepet semakin payah, kehilangan
inisiatif menyerang setiap tindak, setiap langkahnya selalu
menghadapi mara bahaya melulu.
Maka untuk kali ini terpaksa ia tidak sudi main mengalah
atau mundur lagi, jurus Cin chiu pelan-pelan dilancarkan untuk
memunahkan serangan musuh mengurangi tekanan dahsyat.
bentaknya keras: "Nama atau shemu saja aku tidak tahu
darimana . .."
"Tidak tahu sudah tentu akan kubuat tahu!"
Perempuan pertengahan umur ini menyerang dengan
penuh nafsu, seiring dengan makiannya, selendang sutra
dilarikan semakin kencang sebegitu lincah dan cepat sekali
seumpama hujan angin juga sudah menembusnya.

Begitu besar tenaga yang terkerahkan di atas senjata
panjangnya ini sampai angin menderu menyapu debu dan
rumput disekitar geIanggang.
Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, bayangan
selendang berlapis-lapis melayang ditengah udara
memancarkan sinar sutra yang berkiiau menyilaukan mata.
Apalagi pakaian panjang yang dikenakan perempuan
pertengahan juga warna putih dari sutra lagi.
Demikian juga jubah panjang Giok-liong berwarna putih
bersih pula, Maka terlihatlah dua bayangan putih saling
berloncatan dengan diselubungi seleadang sutra yang selulup
timbul diantara mega putih laksana naga mengamuk.
Sebetulnya kalau Giok-liong mau melancarkan kepandaian
simpanannya, selendang sutra lawan sejak tadi sudah berhasil
dapat dihantam hancur berkeping-keping, paling tidak musuh
juga sudah terluka parah, Andaikata tidak bagian Lwekangnya
saja yang terkerahkan kiranya cukup dapat mengambil
kemenangan tanpa menghadapi rintangan yang berarti !
Tapi Giok-liong tidak mau berbuat demikian, karena apakah
? Tak lain karena wajah perempuan pertengahan umur persis
benar dengan istri tercinta yang tengah mengharap dirinya
pulang ke Hwi-hun san-cheng. Betapapun ia tidak tega turun
tangan untuk menurunkan tangan kejam.
Pertempuran silat tingkat tinggi memerlukan kosentrasi
yang berlipat ganda, bagaimanapun sekali pikirannya
bercabang, bukan saja tidak dapat mengambil kemenangan
malah mungkin sedikit saja saja lantas mengunjuk setitik
lubang kelemahan ini cukup kesempatan bagi musuh untuk
melancarkan serangan mematikan.
Demikianlah keadaan pertempuran saat itu, sekejap mata
lima enam puluh jurus sudah berlalu. Diatas dataran lamping
gunung ini, selendang sutra putih sepanjang dua tombak telah

ditarikan demikian rupa oleh perempuan pertengahan umur
sehingga angin menderu laksasa angin lesus, laksana hujan
badai seperti pula gelombang ombak samudra, semakin lama
ternyata semakin cepat dan semangat, sebaliknya keadaan
Giok liong semakin terdesak dan terkekang didalam
lingkungan angin menderu, keadaannya sudah semakin payah
dan terdesak dibawab angin, terang tidak lama lagi dirinya
pasti dapat dikalahkan.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring merdu:
"Roboh!" bayangan putih berkelebat sejalur serangan dahsyat
bagai layung menerjang tiba
"Celaka !" dalam kesibukannya, lekas-lekas Giok-liong
gunakan tipu Jiang-liong-jip-hun (ular naga menyusup ke
dalam awan) sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, seketika
tubuhnya mencelat tinggi melambung ke tengah udara
setinggi lima tombak.
"Blang." ledakan dahsyat seperti gugur gunung
menggetarkan bumi pegunungan. Ternyata selendang sutra
yang lemas itu telah melilit sebuah pohon besar terus digulung
tinggi tercabut keakar-akarnya terbang meninggi ketengah
udara. "Krak".
"Byar!" daun dan debu beterbangan sejauh tujuh delapan
tombak.
Bayangkan betapa dahsyat perbawa keku atan selendang
sutra ini, seumpama orang yang kena dililit dan dibanting pasti
badannya hancur lebiir menjadi perkedel, masa bisa hidup
lagi.
Begitu jurus serangan ampuhnya melilit roboh sebuah
pohon, bukan saja rasa amarah perempuan pertengahan
belum reda malah semakin berkobar seperti api disiram
minyak, Kelihatan rasa gemas dan dongkolnya semakin

mendalam, sekali lagi ia ayun dan tarikan selendang
senjatanya itu, seraya melompat menubruk.
Udara serasa menjadi gelap kerena tertutup oleh putaran
selendang yang melebar dan mendesis kencang itu, laksana
mega mendung menjelang hujan lebat dengan angin badai
menerpa dahsyat.
Belum lagi badan Giok-liong menyentuh tanah, selendang
sutra yang lemas itu sudah memecut tiba lagi. Bercekat hati
Giok-liong, hatinya rada gentar menghadapi senjata lemas
musuh yang hebat tadi, cepat-cepat ia gunakan gaya Hoan-inhu
hu. untuk kedua kalinya badannya melenting tinggi, dalam
seribu kerepotannya, tangannya meraih sebatang dahan
pohon dengan meninjam daya pantulan dahan pohon ini
badannya terus terayun lima tombak lebih jauhnya.
Waktu badannya meluncur turun dan hinggap ditanah
kebetulan tiba disamping laki laki kekar yang tengah duduk
semadi mengerahkan tenaga istirahat, sebetulnya bagi Giokliong
tiada maksud tertentu.
Tapi lain bagi penerimaan perempuan pertengahan umur
itu, bentaknya nyaring penuh kekuatiran: "Bocah keparat,
berani kau!"
Ternyata ia mengira Giok-liong hendak mengambil
keuntungan ini menyerang orang yang sudah terluka tak
mampu bergerak itu. Seiring dengan bentakannya, selendang
putih panjang itu telah disapukan datang dengan kencang
laksana sebatang tongkat besi dengan jurus Heng cio-jian-kun
dengan kencang menyerampang tiba.
Kembali amarah Giok liong semakin berkobar beruntun ia
sudah mengalah malah jiwa sendiri hampir melayang karena
musuh mendapat kemurahan hatinya, kini saking marah
timbul nafsu membunuh dalam benaknya.

Tanpa berkelit atau menyingkir lagi ia kerahkan hawa Ji-lo
melindungi badan, seketika mega putih bergulung mengitari
dan menyelubungi badannya, ditengah mega putih yang
bergulung gulung itu telapak kanannya tiba-tiba menyampok
maju menangkis selendang musuh yang lempang seperti
tongkat besi itu, bersama itu selicin belut segesit kera
melompat tahu-tahu ia bergerak lincah sekali melesat
kehadapan perempuan pertengahan umur.
Telapak tangan kiri pelan-pelan menyelonong maju
menekan kejalan darah Tiong-ting perempuan pertengahan
umur.
Perempuan pertengahan umur terkejut bukan main, lekaslekas
ia menarik balik selendang putihnya.
"Waa..." Aduh" - "Hm!" tiga macam jerit dan seruan yang
berlainan berbunyi bersama, bayangan orang lantas berpencar
kedua jurusan.
Sebetulnya telapak tangan kiri Giok-liong sudah tepat
menekan kejalan darah Tiong-ting, tapi mendadak ia teringat
bahwa musuh adalah kaum hawa, tak mungkin dirinya berlaku
begitu kurang adat, maka ditengah jalan ia rubah sasarannya
berganti menepuk pundaknya, ternyata dengan telak
serangannya telah mengenai sasarannya.
(BERSAMBUNG JILID KE 16)
Jilid 16
Sebaliknya perempuan pertengahan umur juga berusaha
menghindari diri dari tutukan di jalan darah Tiong ting hingga
ia melindungi bagian dada, tak duga malah pundaknya yang
menjadi makanan empuk.
Seketika rasa sakit yang luar biasa meresap ketulang-tulang
tangan menjadi lemas dan tak bertenaga lagi, maka selendang
tutra yang tengah ditarik kembali itu menjadi lemat dan

kendor dan menceng, tanpa sengaja tepat sekali menyapu
diketiak kiri laki-laki kekar yang duduk semadi itu, seketika ia
menggembor keras terus roboh.
Darah menyembur keras dari mulutnya, luka ditambah luka
keruan tambah parah lagi keadaannya.
Perubahan yang beruntun terjadi itu kalau dikata lambat
hakikatnya berlangsung secepat kilat hanya sekejap saja.
Setelah terhuyung mundur perempuan pertengahan segera
menubruk maju lagi bagai harimau kelaparan sambil berteriak
beringas: "Bocah keparat yang telengas, sungguh kejam cara
turun tanganmu !"
Namun betapapun ia menubruk dan menyeruduk bagai
banteng ketaton, gerak geriknya sudah tidak segesit tadi,
karena pundak kirinya terluka sehingga Lwekangnya susut
sebagian besar.
Bahwasanya tadi Giok liong hanya membawa adatnya
sendiri sehingga ia kesalahan tangan melukai orang, kini
melihat keadaan lawan serta laki laki kekar yang sekarat itu,
hatinya menjadi menyesal dan mendelu, sejurus ia balas
menyerang lalu berseru lantang: "Kau sendiri yang harus
disalahkan. Toh bukan aku sengaja, sudahlah selamat
bertemu !" tubuhnya lantas melesat keluar hutan.
"Kemana kau !" walaupun pundak kiri terluka namun
Giakang perempuan pertengahan umur masih tetap lihay,
sekali melejit ia sudah menghadang didepan Giok-liong sambil
menarikan selendang sutranya, dimana angin mendesis
menggulung tiba, terdengar ia bersuara dengan gemas sarribil
kertak gigi: "Keluarga yang bahagia, telah porak poranda
karena bocah keparat ini ! Kecuali kau bunuh aku, kalau tidak
selama hidup ini jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini!"
Rasa dongkol dan gemas terlontar dari kata-katanya,
demikian juga sorot matanya berkilat penuh kebencian, air

mata mengalir keras, Biasanya orang kalau tidak sedih takkan
mengalirkan air mata, naga-naganya perempuan ini betulbetul
sangat pedih dan menderita batin.
Keadaan Giok-liong menjadi serba susah, mau pergi tidak
bisa, kalau bertempur ia tidak suka melukai lawan, Dalam
keadaan yang kepepet apa boleh buat tangannya harus
bekerja menangkis atau menyampok serangan selendang
musuh kalau tidak mau diri sendiri yang bakal konyol. Suatu
kesempatan ia berseru penasaran: "Kau selalu mendesak
orang tanpa memberi kesempatan, malah menuduh semenamena
bahwa aku telah mencelakai keluarga kalian. Siapakah
dan apa namamu ?"
Pedih dan lara perasaan perempuan setengah umur apalagi
luka di pundaknya sangat mengganggu tenaganya sehingga
cara turun tangannya semakin lemah, tenaga serangannya
tidak sedahsyat semula, namun sekuat tenaga ia masih
berusaha menyerang dengan selendang sutranya.
Giginya terdengar berkeriut, desisnya: "Aku tahu kau
seorang tokoh kejam yang sudah kenamaan, Siapa tidak kenal
nama Kim pit-jan-bun yang tenar ttu, Tapi tidak seharusnya . .
. " suaranya tersenggak oleh sengguk tangisnya.
Giok - liong berseru keras: "Kalau kau sudah kenal aku,
bagaimana juga harus bicara dengan alasan yang terpercaya
!"
"Apalagi yang harus dilakukan, apakah perlu lagi kenyataan
didepan mata ini merupakan bukti yang terang !"
"Peristiwa disini tak bisa menyalahkan aku sendiri !"
"Jadi maksudmu menyalahkan aku ! Bajingan, biar aku adi
jiwa dengan kau !"
"Cring!" tiba tiba sinar dingin berkilau menyilaukan mata
meluncur bagai bianglala, Tahu-tahu tangan perempuan

pertengahan u-njur sudah melolos keluar sebatang pedang
lemas sepasang tiga kaki, sedemikian lemas pedang itu setipis
kertas, lebar tiga senti, seluruh batang pedang memancarkan
sinar kebiru-biruan.
Praktisnya pedang ini dapat digunakan sebagai sabuk di
pinggangnya, kini setelah dilolos langsung ia menyapukan
kedepan.
"Siuuuuut..." pedang yang tipis lemas itu kini mendadak
menjadi kaku lempang, dimana pergelangan tangan
perempuan pertengahan umur berputar seketika berpetaIah
kembang pedang seiring dengan gerak langkah orang pelanpelan
bayangan sinar pedang meluncur kedepan.
Bukan kepalang kejut Giok-liong serunya tertahan: "Pek tok
lan-king-hoat-hiat kiam !"
Pek-tok-lan king-hoauhiat-kiam adalah salah sebuah
senjata ampuh dan keji dari sembilan diantaranya yang sangat
ditakuti dan dipandang sebagai pusaka oleh kalangan hitam di
Kangouw.
Namun bagi golongan putih senjata ini dipandang sebagai
benda berbisa yang paling ganas dan ditakuti
Karena pedang ini tipis dan lemas, tapi bila Lwekang sudah
dikerahkan dibatang pedang bisa menjadi lempang kaku.
Apalagi seluruh batang pedang sudah dilumuri beratus macam
kadar racun dari berbagai suku minoritas di daerah
pedalaman.
Jangan kata pedang ini menembus badan manusia, hanya
teriris sedikit saja kadar racun, akan segera meresap kedalam
badan dan jiwa sukar diselamatkan lagi, setelah mati seluruh
tubuh berubah menjadi air darah tak meninggalkan bekas.

Oleh karena itulah bagi kaum persilatan golongan putih
pedang ini dipandang sebagai salah sebuah senjata ganas dan
kejam dari sembilan senjata lainnya.
Kalau tidak dipakai pedang ini disarungkan kedalam
serangkanya yang terbuat dari kulit harimau dan dibuat sabuk,
Begitu tercabut keluar hawa dingin lantas merangsang keluar,
sudah tentu kadar racunnya juga lantas bekerja, Bukan saja
pihak musuh takkan kuat bertahan, bagi pemiliknya sendiri
juga begitu sudah melancarkan serangannya harus terus
bergerak membadai tanpa boleh berhenti Lwekang harus
disalurkan terus kebatang pedang untuk mendesak hawa
racun ke ujung pedang. Kalau tidak badan sendiri
kemungkinan besar bisa terkena racun juga.
Oleh karena itu, cara penggunaan pedang ini paling
menguras tenaga besar, kalau tidak dalam keadaan kepepet
tidak sembarangan dikeluarkan.
Begitu Pek-tok-lan king-hoat hiat-kiam di lolos keluar, air
muka perempuan pertengahan umur berubah sungguhsungguh
dengan kedua tangannya ia bolang-balingkan
pedangnya dengan langkah berat ia mengancam maju,
ujarnya: "Adalah kau yang mendesak aku. Selama puluhan
tahun baru sekali ini Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa turun
tangan!"
Begitu mendengar perempuan pertengahan umur
menyebut namanya, tergetar seluruh tubuh Giok-liong, lekaslekas
ia berteriak: "Bibi, jangan! mari kita bicara lagi, lekas...."
Perempuan pertengahan umur mendengus dan
menyeringai tawa sinis penuh kesedihan suaranya dingin
mencekam: "Bangsat licik yang tidak tahu malu, kau takut!"
"Bukan! Bukan takut....."
"Sudah jangan cerewet lagi, sambut seranganku ini!" sinar
biru berkilau menungging keatas terus meluncur turun, hawa

dingin menyesakkan napas, lapat-lapat dari sambaran angin
yang menderu itu tercium bau amis yang memuakkan.
Gesit sekali Giok-liong melompat mundur sejauh mungkin.
Tapi sinar biru berkilau itu bagai bayangan saja mengejar
dengan pesat sekali, Tiba-tiba terlihat sinar kuning memancar
memenuhi udara.Tak berani Giok-liong melawan senjata yang
terkenal ganas itu dengan sepasang tangannya, terpaksa ia
keluarkan Potlot masnya, dengan jurus pura-pura ia tangkis
pedang lawan terus senjatanya diputar melindungi muka,
teriaknya keras:
"Bibi, sabarlah sebentar, dengar penjelasan siautit. . ."
"Aku tidak sudi dengar obrolan manismu. Sambut
seranganku!" baru saja jurus pertama dilancarkan jurus kedua
sudah memberondong tiba pula sungguh raya serangan yang
luar biasa, dimana sinar biru kemilau itu menyambar, naganaganya
ia tidak berani berlaku lamban sedikitpun, dengan
mati matian ia terus putar senjata berbisa di tangannya.
walaupun Potlot mas Giok-liong itu adalah senjata Toji
Pang Giok yang sudah kenamaan dan ampuh, betapa juga
merupakan senjata biasa saja, seluruhnya mengandalkan tiputipu
jurus silatnya yang harus sempurna dalam latihan
sekarang menghadapi salah satu dari sembilan senjata
beracun paling ganas di dunia ini, betapapun tak berguna lagi,
tak mungkin memperlihatkan perbawanya, ditambah hati
Giok-liong sendiri sudah keder pula hatinya penuh keraguan,
tak heran kedatangannya semakin payah dan terdesak terusc
Sedapat mungkin ia putar Potiot masnya sekencang
mungkin untuk melindungi badan, bagaimanapun juga tidak
boleh buat menangkis senjata lawan yang beracun.
Sebaliknya Tam-kiong-sian ci Hoan Ji-hoa semakin
bernafsu, jurus demi jurus semakin ganas, tak peduli senjata

potlot atau bayangan orangnya, begitu ada kesempatan tentu
ditabas dan dibacoknya dengan gemesnya.
Puluhan jurus telah berlalu, pancaran sinar biru semakin
berkembang dan menyolok, demikian juga hawa dingin
semakin membekukan, hawa beracun jaga semakin tebal
dengan baunya yang memualkan itu.
Keadaan Giok-liong semakin keriputan berloncatan kian
kemari sehingga mencak-mencak seperti joget kera. Kalau
keadaan Giok-liong semakin payah, keadaan Tam-kiong-sianci
Hoan-Ji-hoa juga tidak lebih baik, karena setiap
melancarkan serangannya harus menguras tenaga terlalu
besar, lama kelamaan jidatnya mandi keringat napas juga
tersengal memburu.
Setengah jam telah berlalu, pancaran sinar biru semakin
guram, demikian juga mega putihpun semakin pudar, Ketika
belah pihak sudah bertempur mati matian sampai kehabisan
tenaga, Rambut Tam kiong sian-ci Hoa Ji-hoa riap-riapan, air
mukanya pucat, napasnya memburu mesti gerak langkah
sudah sempoyongan namun pedang beracun ditangannya
masih bekerja dengan ganas.
Jurus jurus pelajaran ilmu potlot mas Giok liong sudah
dilancarkan berulang kali, Tapi karena tidak berani menangkis
atau bersentuhan dengan senjata lawan, jadi hakikatnya
selama ini ia hanya main kelit dan bela diri saja, sebetulnya
banyak kesempatan dapat merobohkan musuh dengan sekali
gebrak saja, sayang hatinya penuh keraguan sehingga sia-sia
saja kesempatan baik itu.
Mendadak bergerak hatinya "Kenapa aku tidak gunakan
seruling samber nyawa untuk memecahkan ilmunya !"
Bahwasanya seruling samber nyawa adalah senjata pusaka
peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang kosen, merupakan
senjata sakti dan ampuh berkasiat dapat melawan hawa

beracun adanya kesaktian yang madraguna ini mungkin tak
perlu takut lagi akan pedang beracun."
Tanpa banyak pikir lagi segera ia merogoh keluar seruling
samber nyawa, Alunan lima irama seruling dengan lagu yang
merdu segera kumandang ditengah udara, dimana sinar putih
melayang dari batang seruling terhembus hawa dingin yang
menyegarkan seketika terbagun semangat Giok-liong.
Betul juga begitu seruling ditangannya bergerak hawa
beracun yang berbau amis memualkan itu lantas sirna tanpa
bekas seperti tersapu bersih oleh hujan badai. Keruan bukan
kepalang girang Giok liong, batinnya: "Sungguh goblok aku,
kenapa sejak mula aku tidak teringat akan hal ini!"
Segera ia putar seruling ditangannya lebih kencang,
mulutnya berseru: "Bibi, lekas simpan kembali senjata beracun
itu, kalau tidak. . ." belum habis kata-katanya mendadak ia
rasakan seruling ditangannya seperti ular hidup dapat
bergerak sendiri seperti tumbuh daya sedot tergerak
mengikuti ayunan padang beracun kemana saja melayang,
yang lebih hebat lagi saban-saban menangkis dan menutuk
kebatang pedang dengan tanpa terkendali lagi.
Giok-liong menjadi heran mendadak terasa tangan kanan
tergetar keras, tak kuasa lagi seruling itu lantas bersuit
nyaring terlepas dari tangannya, seperti kuda pingitan lepas
dari kandangnya melesat terbang kedepan dengan kencang.
"Celaka !" - "Trang !" - "Aduh !" perubahan yang terjadi ini
betul-betul dlluar dugaan, Tahu-tahu Pek-tok-lan-king hoathiat-
kiam sudah terpental terbang ketengah udara setinggi
puluhan tombak meluncur kelereng gunung sana.
Irama seruling juga lantas berhenti, daya sedot dan
pancaran sinarnya yang cemerlang tadi juga semakin guram,
Giok-liong berdiri terlongong aitempatnya seperti patung.

Dilain pihak, tampak Tam-kiong-sian-ei Hoan Ji-hoa terjurai
sempoyongan, wajahnya pucat pias tanpa darah, sebaliknya
telapak tangannya pecah mengucurkan banyak darah.
Perubahan ini betul betul tak terduga sebelumnya.
Beruntun Hoan Ji hoa terhuyung beberapa langkah, akhirnya
tangannya menyikap dahan pohon. sekuat tenaga ia meronta
berdiri, desisnya geram: "Ma Giok liong! Ma Giok - liong !
Kapan Hwi-hun sam-ceng berbuat salah terhadap kau !"
Perasaan Giok-liong sungguh sukar dilukiskan dengan katakata,
hatinya seperti ditusuk tusuk sembilu, ia berdiri kesima
memandangi seruling dan potlot mas ditangannya. Akibat
yang dialami ini betul-betul diluar dugaannya.
Tak tahu dia bahwa seruling pusaka ini begitu sakti
mandraguna, begitu kebentur dengan senjata berbisa yang
jahat, tanpa komando lantas memperlihatkan perbawanya,
begitu hebat perbawa kesaktiannya sampai tenaga manusia
juga tidak mampu mengendalikan.
Lama ia berdiri bagai kesetanan. akhirnya tersadar dari
lamunannya. Membaru berapa langkah sambil menyimpan
seruling dan Potlot masnya, katanya tergagap: "Bibi siautit. .
."
"Stop!" Tam-kong-sian-ci Hoan -Ji-hoa membentak bengis:
"Selangkah lagi kau maju, aku bersumpah takkan hidup
bersama kau didunia ini. Ketahuiah bahwa warga Hwi-hunsanceng
boleh dibunuh tak boleh dihina. Berani maju alangkah
lagi, kumaki kau habis-habisan."
Terpaksa Giok-Iiong menghentikan langkah, jauh-jauh ia
berdiri serunya dengan nada memohon:" Bibi dengarlah
penjelasanku!"
Sekonyong-konyong setitik sinar terang melengking nyaring
menembus udara meluncur datang dari kejauhan sana
langsung menerjang kemata kanan Giok liong, Betapa cepat

daya luncuran titik sinar terang ini serta ketepatan sasaran
yang diarah betul-betul mengejutkan.
Sambil berkelit minggir Giok-liong menggerakkan tangan
meraih benda yang meluncur datang itu dan tepat kena
ditangkapnya, Waktu ia menunduk melihat, kiranya benda di
telapak tangannya itu bukan lain adalah sebentuk batu giok
yang berbentuk jantung hati warna merah darah pemberian
ibunya sebelum berpisah dulu. seketika ia berjingkrak
kegirangan, teriaknya keras: "Adik Sia! Ki-sia"
"Siapa adik Sia-mu, manusia tidak kenal budi, mata
keranjang tak kenal cinta suci!"
Betul juga Coh Ki sia sudah melayang tiba dihadapan Giok
liong, Tapi bukan menghampiri kearah Giok liong, segera ia
memburu lari kepelukan Tam-kiong-sian-ci Hoan Ji-hoa,
katanya sambil sesenggukan "Bu, kenapa kau Bu. . ."
Wajah Hoan Ji hoa berkerut kerut bergetar sekuatnya ia
menahan sakit sebelah tangannya mengelus-ngelus rambut
putri kesayangannya, air matanya mengalir deras, ujar
gemetar: Anak Sia! Nak, kemanakah kau selama ini, membuat
ibumu menderita mencarimu!"
Sambil mengembeng air mata Coh Ki sia menunjuk Giokliong,
katanya: "Dia pergi sekian lama tanpa memberi kabar
berita, Maka tanpa pamit aku melarikan diri dari penjagaan
nenek, Tak nyana selama kelana di Kangouw ini baru aku tahu
bahwa dia bukan lain seekor serigala cabul yang suka ngapusi
kaum perempuan."
Mendengar ini, segera Giok liong menyelak bicara: "Adik
Sia, mana boleh kau bicara sembarangan!"
Tanpa menanti Giok-liong bicara habis, Coh Ki-sia sudah
menyemprotnya: "Kau sangka aku menuduhmu semenamena?
Li Hong, Kiong Ling-ling, Tan Soat-kiau, Ling Soat yan

serta Sia Bik-yau dari Ui - hoa kiam itu . . . masih ada lagi,
oh., Bu, begitu kejam ia menyiksa anak"
"Dari mana asal mula perkataanmu ini, memang dikalangan
kangouw tersiar kabar demikiaa, tapi kenapa kau begitu
percaya obrolan orang !"
Tam kiong-sian ci Hoan Ji-hoa mendelik gusar berapi-api,
gerangnya marah: "Apakah kau melukai kita suami istri juga
pura-pura !"
"Hah ! Dimana ayah ? Ayah . . ."
"Ayahmu terkena pukulan Sam-ji cui-hun-chiu, setelah
terluka parah . , . anak Sia coba kau tilik dia, mungkin dia . . .
"
Tak tertahan lagi Hoan Ji-hoa ikut menangis sesenggukan.
Coh ki-sia berjingkrak berdiri, setindak demi setindak ia
menghampiri kehadapan Giok-liong, desisnya berat : "Baru
sekarang aku dapat melihat muka aslimu ! Manusia berhati
binatang !"
Cepat-cepat Giok liong membela diri:
"Aku toh tidak tahu kalau beliau adalah paman dan bibi."
"Tutup mulutmu! Meski ayahku bakas tokoh kenamaan di
dunia persilatan tapi toh bukan tidak punya nama, apalagi
ilmu Hwi-hun-chiu tiada aliran kedua di dunia ini !"
"Tapi, aku . . . aku tidak tahu !"
"Tidak tahu ! Kau sengaja !"
Tam-kiong sian ci Hoa Ji hoa mendengus hidung,
jengeknya: "Hm, aku sudah memperkenalkan diri kau masih
tidak tahu ?"

"Bukankah aku segera memanggilmu bibi, serta minta kau
orang tua segera berhenti ?"
"Lalu kenapa kau keluarkan Potlot mas dan seruling samber
nyawa, Melancarkan Jan-hun-su-sek lagi secara mati-matian
hendak adu jiwa dengan aku !"
"Ini kan , . . karena . . ."
Kontan sambil marah Coh Ki sia me^langkah setindak,
jarinya menuding hidung Giok liong, semburnya: "Aku tidak
akan mendengar obrolanmu Mana kembalikan !"
"Apa ?"
"Giok-pwe milikku itu !"
Pelan-pelan GioK-liong menarik keluar Giok-pwe tanda
mata yang tergantung dilehernya itu, katanya lirih : "Adik Sia,
lihatlah . . . "
Tak diduga kemarahan Coh Ki sia sudah tak terbendung
lagi, sekali raih ia terus rebut Giok-pwe itu dan ditariknya
sekuatnya sambil membanting kaki. Benang sutra yang
mengikat putus, sampai Giok-Iiong sendiri ikut tertarik
menjorok kedepan hampir jatuh tersungkur, wajahnya pucat
dan sedih.
Kiranya amarah Coh Ki sia belum reda, lagi-iagi tangannya
diulurkan katanya lagi : "Masih ada, kembalikan sekalian !"
"Masih ada ? Apa ?"
"Sapu tangan !"
"Sapu tangan ?"
"Mengapa? kau sudah lupa ?"
"Tidak, bagaimana aku bisa lupa ?"
"Lha, kembalikan !"

"ini . . . "
"Ini itu apa, lekas kembalikan. Sejak hari ini putus
hubungan kita."
Hati Giok-liong seperti ditusuk-tusuk, katanya memohon :
"Adik Sia, sejak perpisahan di Hwi-hun-san-cheng, siang
malam selalu kuteringat akan kau, masa kau .."
"Sudah jangan cerewet, kembalikan sapu tanganku itu ?"
Sementara itu, Hoan Ji hoa yang belum sempat istirahat
mendengar percakapaa putrinya ini, rasa gusarnya memuncak
lagi, akhirnya ia tak tahan berdiri lagi tangannya mengapegape
dahan pohon berusaha berpegangan, saking lemasnya
akhirnya ia menyemburkan darah lagi terus melorot jatuh
terduduk.
Betapa erat ikatan batin antara ibu dan anak, bertambah
mendelu dan pedih perasaan hati Coh Ki sia, desaknya sambil
membanting kaki: "Kau mau kembalikan tidak?"
Giok-lioig jadi nekad, katanya terus terang: "Sapu
tanganmu tak berada ditanganku."
"Lalu dimana ?"
"Diambil oleh Hiat-ing Kong cu . . . "
"Plak, plak !" dua tamparan keras dan nyaring seketika
membuat kedua pipi Giok-liong bengap dan terasa panas,
mata sampai berkunang-kunang.
Setelah menampar muka Giok liong, tak tertahan lagi Coh
Ki-sia menjerit nangis gerung-gerung terus berlari ke hadapan
ibunya, katanya sambit sesenggukan: "Bu, akulah yang salah
sehingga kau ikut menderita."
"Anak Sia, jemput kembali pedang ibu!" "Tanpa mengerling
ke arah Giok liong yang berdiri terlongong mematung, cepat
Coh Ki-sia berlari ke arah sana menjemput Pek-tok-lan kiangTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
hoai-hiat kiam, pelan-pelan ia payang ibunya, lalu tanyanya :
"Dimanakah ayah !"
Sekuatnya Hoan Ji-hoa merangkak bangun menggelendot
di pundak putrinya, selangkah demi setindak maju kehadapan
Giok-liong yang mematung itu. katanya dengan napas
memburu: "Ma Tay-hiap, kalau kau hendak memusnahkan
Hwi-hun-san cheng, sekarang inilah saat yang paling baik,
setelah detik ini kelak kau jangan menyesal."
Pandangan Giok-Iiong mendelong memandang ke arah
jauh sekejappun ia tidak berkata-kata.
Terdengar suara batuk batuk serta langkah berat Hwi-hunchiu
Coh Jian kun pelan pelan berjalan keluar dengan
sekuatnya, serunya menyambung: "Benar, selama puluhan
tahun ini, aku Coh Jian-kun belum pernah mengikat
permusuhan dengan tokoh Bulim siapapun ! Tapi, Ma Tayhiap,
tak kira aku harus terjungkal di tanganmu."
Lekas-Iekas Coh Ki-sia memburu maju membimbing
ayahnya, air mata mengucur tak tertahan lagi.
Kata Coh Jian-kun lagi: "Hari ini, kita suami istri serta putri
tunggalku berada di arena. Kalau saat ini kau tidak sekalian
membereskan kita, perhitungan ini selamanya akan kuresapi
dalam sanubariku begitu ada kesempatan pasti kucari kau !"
Betapa sedih perasaan Giok-liong sulit dilukiskan dengan
kata-kata, seumpama seorang bisu yang menelan empedu
(rasanya pahit), ada maksud bicara tapi tak bisa ber-kata,
pelan-pelan ia berkata suatanya serak sembetj "Pa . . . man. .
."
"Tutup mulutmu !"

Mata Coh Jian-kun mendelik besar bentaknya: "Seumpama
To ji Pang Giok sendiri bakal membela kau, dendam sakit hati
ini selama aku masih hidup bersumpah harus ku balas."
Begitu bernafsu ia bicara sehingga amarahnya memuncak,
apalagi luka-lukanya belum sembuh seketika ia memuntahkan
darah segar lagi, badan juga terhuyung hampir roboh.
Keadaan Tam kiong-sian ci Hoan Ji hoa juga rada payah,
namun melihat keadaan suaminya lekas-lekas ia memburu
maju saling berpegangan, ibu beranak memayang dari kiri
kanan serentak mereka bersuara bersama: "Sudahlah tak
perlu banyak mulut lagi!"
Giok-liong mengawasi saja tak bisa berbuat apa-apa, rasa
hatinya semakin mencekam, katanya pelan-pelan: "Terang
kalian tidak memaafkan aku, dan memberi kesempatan
supaya aku menjelaskan untuk membela diri, Tapi mas murni
tetap mas murni, kenyataan tetap kenyataan aku juga tidak
perlu khawatir, akan datang suatu hari semua ini dapat dibikin
beres dengan terang duduk perkaranya, semua ini hanya
salah paham melulu, terserah kau mau percaya!" kata terakhir
terang ditujukan kepada Coh-ki sia malah tangannya juga
menunjuk kearahnya.
Akan tetapi jawaban yang ia dengar tetap jengekan
menghina yang dingin : "Hm, salah paham !"
Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa berkata: "Kita akan segera
pulang!"
Giok-liong tertawa getir, katanya apa boleh buat: "Silakah !
Aku Ma Giok-liong pasrah nasib saja."
Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun menggeleng kepala, ujarnya :
"Selama hidup ini takkan kulupakan, peristiwa hari ini kuharap
Ma Siau-hiap juga selalu ingat akan hal ini, mari!"

Saling berbimbingan mereka bertiga beringsut keluar dari
hutan lebat ini.
Mengantar kepergian bayangan mereka tak tahu Giok-Iiong
perasaan harinya getir atau pahit, tak terasa air matanya
mengembeng terus menetes membasahi pipinya.
Dia bertanya kepada dirinya sendiri - "Apakah sudah
suratan takdir hidupku ini penuh penderitaan sehingga setiap
orang yang bertemu berkumpul dengan aku selalu mengalami
bencana atau penderitaan ? Kalau tidak, mengapa. . ." dia
tidak berani memikirkan lebih lanjut.
"Betapa juga harus mengatakan isi hatiku." demikian
pikirnya, maka bergegas ia berlari mengejar keluar serta
teriaknya: "Hai tunggu sebentar !"
Karena luka-luka mereka yang parah sehingga jalannya
agak lambat, mendedgar teriakan Giok-liong serentak Coh Jian
kun bertiga berpaling.
"Kau menyesal dan sekarang hendak membabat rumput
seakar-akarnya !" bentak Hoan Ji-hoa dengan bengis.
Mata Giok-liong berkilat, alisnya dikerutkan dalam,
mendadak ia kerahkan Lwekangnya terus mengayun sebelah
tangan, sambil membentang mulut ia menggembor keras terut
memukul kedepan, "Blang," sebuah batu besar segede gajah
sejauh puluhan tombak sana seketika meledak hancur
berkeping-keping menjadi debu beterbangan.
Terbelalak pandangan Coh Jian-kun, desisnya gemetar:
"Kau mendemostrasikan Lwekangmu untuk menakuti orang"
Nada suara Giok liong barat dan sedih, teriaknya: "Adik Sia,
kalau hatiku bercabang biarlah riwayatku tamat seperti baru
itu Cukup perkataanku sampai disini, cobalah pertimbangkan
lagi !"

Coh Ki-sia sendiri masih dalam keadaan marah, mana mau
dengar penjelasannya, hidungnya mendengus: "Huh, kau
memang pandai bermain badut, Putri orang she Coh sudah
pernah diakali sekali, aku takkan sudi mendengar obrolan
rnanismu, silakan kau pertunjukkan kepada orang lain saja !"
Apalagi yang harus Giok-liong katakan, manggut-manggut
ia berkata: "Baik terserah kau mau percaya, Aku bicara
dengan tulus hati !"
"Cis !" Coh Ki-sia meludah terus berjalan pergi membimbing
ayahnya.
Keadaan dialas belukar ini menjadi sunyi senyap, angin
menghembus menyegarkan pikiran, pemandangan didepan
mata tidak berubah. Tinggal Giok-liong seorang diri berdiri
terpaku memandangi awan dilangit yang mengembang halus,
pikiran lantas meIayang-Iayang tak tentu arah rimbanya,
lambat laun rasa pedih mengetuk sanubarinya.
Betapa Giok-liong takkan sedih bila teringat akan dendam
kesumat ayah bundanya. Bibit bencana yang bakal bersemi
dan menggegerkan dunia persilatan serta undang-undang
perguruan yang keras, pesan para kawan yang belum
terlaksana, perjanjian bulan tiga dengan pihak Mo khek,
jangka tiga hari yang dibatasi oleh Hutan kematian, seorang
diri menyembunyikan diri dialam pegunungan yang belukar ini
terasa olehnya bahwa dirinya ini seorang yang penuh dosa
nestapa dengan banyak cita-cita yang belum terlaksana.
Sayang sekali tiada seorangpun dalam dunia ini yang mau
meresapi dan percaya akan tutur katanya. seolah-olah dunia
yang besar ini tiada seorangpun yang mau kenal dan
menyelami pribadinya, tiada suatu tempat yang boleh dan
dapat menjadi tempat berpijak untuk hidup tentram sentosa,
hidup sebatang kara memang penuh derita dan sengsara.

"Hidup manusia kalau begitu penuh derita, untuk apa lagi
masih tetap bernyawa dialam baka ini ?" berpikir sampai disini
ia menghela napas panjang-panjang, katanya getir sambil
menggertak gigi : "Lebih baik mati saja !"
Potlot mas sudah dilolos dan ujungnya sudah tepat
mengarah tenggorokannya, ujung yang runcing dan tajam itu
sedikit menembus dagingnya tidak terasa sakit sedikitpun.
Sebab seluruh badannya terasa sudah mem-baal dan kebal.
Tapi ujung senjata yang runcing itu ada merembeskan
hawa dingin yang seketika menyadarkan pikirannya sehingga
daya hidup dalam benaknya mulai berkobar kembali: "Aku
tidak boleh mati!" tak terasa ia berteriak sekeras-kerasnya.
Lalu menggembor dengan lengkingan tinggi menembus
angkasa melemparkan rasa sesak yang mengeram dalam
benaknya.
Sekarang badan terasa segar dan enteng, semangat juga
pilih kembali, dengan langkah lebar ia mengarungi semak
belukar yang luas ini. Tak terasa dari pagi sampai petang,
Waktu memang tidak menunggu orang, sekejap saja dua hari
sudah berlelu, seorang diri Giok liong melakukan perjalanan,
pagi-pagi benar ia sudah beranjak di jalan raya, iort harinya
mencari penginapan untuk istirahat. Kalau tiada penginapan ia
menginap di rumah pedesaan atau bermalam di atas pohon.
Hari ketiga, langit mendadak menjadi mendung, kilat
menyambar geledek menggelegar hujan turun dengan
derasnya, Hari sudah sore lagi, saat mana Giok-liong tengah
melanjutkan perjalanannya, didepan tiada rumah dibelakang
adalah hutan belantara, karena tiada tempat untuk meneduh
seluruh badannya menjadi basah kuyup.
Tak jauh kemudian di depan sana kira kira ratusan meter
terlihat bayangan sebuah bangunan rumah yang samarTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
samar, Segera ia kembangkam ilmu ringan tubuhnya,
beberapa kejap kemudian ia sudah tidak jauh dari rumah batu
merah. Kiranya bukan lain adalah sebuah biara penyembahan
dewa gunung.
Keadaan biara ini sudah bobrok dan tak terurus lagi, pintu
besarnya sudah keropos, debu tebal beberapa inci dimanamana
banyak gelagasi, terang sudah lama tidak diinjak orang.
Tanpa ragu-ragu Giok liong terus menerobos masuk
langsung keruang sembahyang Dibawah kaki patung
penyembahan tempat yang tidak kehujanan ia membersihkan
tubuhnya serta mengebutkan matelnya terus dicantelkan
diatas tongkat senjata yang dipegang patung pemujaan itu.
"Tang " tiba-tiba sebuah benda berkilau jatuh dari atas
atap, sedikitpun Giok liong tidak bersiaga, keruan ia
berjingkrak kaget. Tepat pada saat itulah terdengar suara
"Dar!" guntur mengelegar disertai kilat menyamber samarsamar
kelihatan seperti ada sebuah bayangan berkelebat
menghilang.
"Siapa" tak kalah cepatnya bayangan putih melesat
mengejar sampai diemper luar, Tapi hujan diluar begitu lebat
mengeluarkan suara gemuruh. mana kelihatan adan bayangan
orang,
"Aneh...... hah!" Giok-liong mengguman kembali dibawah
kaki patung pcmujaan, mendadak ia berseru kejut dan
seketika terIong-ong. Karena mantelnya yang dicantelkan diatas
tongkat senjata itu kini sudah terbang tanpa sayap.
Dibawah kakinya benda berkilauan terang dan nyata itu
ternyata bukan lain adalah sebuah lencana besi dari Hutan
kematian, Karena terlalu nafsu hen!ak mengejar bayangan
tadi, jadi ia tidak perhatikan benda apa yang jatuh tadi.

Kini setelah melihat jelas seketika timbul hawa amarahnya,
Disangkanya pasti kamprat-kamprat Hutan kematian yang
mempermainkan dirinya.
Cepat benar gerak badan orang itu! Terpikir demikian
lantas teringat pula akan mantelnya yang hilang itu, terang
bahwa orang yang mempermainkan dirinya bukan hanya
seorang saja. Salah seorang melontarkan lencana besi Hutan
kematian, sedang seorang yang lain sembunyi didalam
mencuri mantelnya.
"Kawan!" demikian teriaknya keras, "Silakan keluar!"
namun suasana dalam biara bobrok ini tatap sunyi lengang,
gema suaranya mendengung berkumandang.
"Main sembunyi termasuk orang gagah macam apa itu?
Ayo keluar!" bentakan kali ini lebih keras seperti gema lonceng
laksana guntur bergetar, sampai atap genteng penuh debu
beterbangan Tapi keadaan tetap sunyi tanpa penyahutan atau
reaksi apapun.
Giok liong menjadi dongkol, dengan cermat dan waspada ia
periksa segala pelosok kelenteng, yang cukup untuk sembunyi
seseorang.
Akhirnya ia kewalahan sendiri dan kembali ke ruang
tengah, sambil menghela napas ia duduk bersila, mulai
memusatkan pikiran semadi.
Hujan semakin deras, haripun semakin ge-lap, malam telah
meliputi seluruh jagat. Hanya lencana besi Hutan kematian
itulah yang memancarkan sinar dingin berkilau diatas tanah,
Saat mana Giok-liong sudah tenggelam dalam semadinya.
Sekonyong-konyong lapat-lapat hidungnya mengendus bau
arak dan daging panggang tanpa terasa ia menjadi tertawa
geli sendiri, batinnya: "Agaknya perutku sudah kelaparan!
Dalam kelenteng bobrok macam ini mana ada daging dan
arak!"

Tapi kenyataan diluar dugaannya, justru bau arak dan
daging itu terbaur disebelah badannya. Tak kuasa lagi Giokliong
berjingkrak bangun sambil berteriak kejut ia tak berani
percaya, matanya dikucek-kueek memandangi empat macam
masakan di sebelah samping kirinya serta sepoci arak,
seketika ia berdiri melongo tak habis mengerti.
"Ini dari mana?" Badannya melenting dan bergerak cepat
memeriksa seluruh ruangan kelenteng, hasilnya tetap nihil,
Dengan hati-hati ia mencium dan mengendus-ngendus
masakan dan arak itu sedikit pun tiada tanda-tanda aneh apa.
Memang perutnya sudah lapar, bau arak daging begitu
merangsang lagi seketika timbul selera dan perutnya menjadi
berkerutukan.
"Peduli apa, gegares dulu lebih penting!" tanpa sungkansungkan
lagi ia angkat mangkok dan sumpit yang sudah
tersedia terus mulai makan minum sepuasnya. Belum lagi arak
di tenggak habis empat macam masakan sudah dikuras
kedalam perutnya semua.
"Krak," sebuah suara yang lirih tiba-tiba terdengar di
sebelah samping tak jauh sana. Umpama orang biasa apalagi
dalam keadaan hujan lebat yang gemuruh ini tentu takkan
mendengarnya, sebaliknya kejelian telinga Giok-liong memang
hebat luar biasa, seiring dengan Lwekangnya yang bertambah
maju, apalagi hatinya selalu was was dan penuh prihatin, jelas
sekali didengarnya suara lirih itu.
Tapi dia pura pura tidak dengar dan bersikap wajar, duduk
tenang tanpa bergerak di tempatnya matanya dipicingkaa
merem melek, pikiran di pusatkan sambil mengempos
semangat, pelan pelan ia melirik kearah datangnya suara itu.
Sekian lama dinanti-nantikan, tanpa terlihat reaksi apa-apa,
Baru saja Giok-liong berniat bangkit hendak memeriksa, tiba

tiba tidak jauh di sebelah sampingnya sebuah papan bergerak
berbunyi, meski sangat halus dan lirih tapi tak dapat
mengelabui Giok-liong lagi. Pelan-pelan papan batu itu
terangkat naik menunjukkan sebuah lubang kecil.
Giok-liong tinggal diam-diam saja, matanya dipejamkan
pura-pura tidur pulas.
Akhirnya papan bata itu tergeser ke samping, seiring
dengan itu dari dalam lubang kecil persegi itu terdengarlah
suara aneh yang mendirikan bulu roma seperti teriakan setan
laksana dedemit menyeramkan, sungguh mengerikan.
Pelan-pelan dari dalam lubang itu muncul sebuah kepala
manusia yang berwajah pucat pias rambutnya awut-awutan
matanya mendelik banyak putih dari hitamnya, giginya
prongos, bibirnya monyong sehingga dua baris giginya yang
putih mengkilap itu terlihat jelas.
Di alam pegunungan yang sepi dalam kelenteng bobrok
tanpa penghuni, disaat hujan lebat ditengah malam gelap ini,
pertunjukan apa yang dilihatnya ini betul betul mengejutkan
dan menakutkan sekali, Betapa-pun tinggi lwekang Giok-liong
tak urung ia merasa merinding dan mengkirik juga seluruh
tubuhnya menjadi dingin dan basah oleh keringat.
Akhirnya tak tahan lagi ia melompat bangun sambil
menubruk maju, kedua tangannya diulur untuk
mencengkeram sambil mulutnya membentak : "Setan macam
apa kau ini !"
Begitu sebat gerakan Giok liong, namun belum lagi
tangannya sampai, "Brak" tiba-tiba papan batu itu ditarik balik
tepat menutup diatas lubang persegi tadi keruan Giok-liong
menangkap tempat kosong.
Giok-liong menjadi penasaran sambil berjongkok ia coba
mengungkit papan batu itu, namun begini rata dan dan halus

tanpa sedikit lubangpun sehingga tangannya tak kuasa
mengangkatnya keluar.
Saking gemes ia bmgkit dan menginjak dengan keras tapi
papan batu itu demikian keras sedikitpun tak bergerak, hanya
suaranya saja yang terdengar mendengung dibawah sana,
terang dibawahnya adalah lubang kosong, tapi apa iagi yang
dapat diperbuat.
"Wut" sekonyong-konyong sebuah benda warna putih lebar
melayang masuk dari luar pintu langsung menungkrup keatas
badan Giok-liong.
"Celaka" Giok-liong berseru kejut, gesit sekali kakinya
menggeser kedudukan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat
tujuh kaki ke samping, sebelum tahu benda apa yang
menyerangnya ia tak berani sembarangan menyentuh.
Tidak tahu benda putih besar itu dengan ringan sekali
melayang jatuh ketanah tanpa mengeluarkan suara. Baru
sekarang Giok liong mengelus dada lega, tapi juga dongkol
dan malu.
Kiranya itulah mantel luarnya yang hilang tadi, kini sudah
menjadi kering dan dilempit dengan rapi sekali, Orang itu
menggunakan Tay~lik ciu-hoat melemparkan ke dalam biara.
Menurat gelagat yang dihadapi ini Giok-liong menjadi serba
aneh, tak tahu lawan atau kawankah orang yang
mempermainkan dirinya ini.
Tapi betapapun Giok-liong menjadi penasaran dan dongkol.
Sebab secara terang-terangan telah dimainkan, ini
menunjukkan ketidak becusan dirinya, juga menunjukkan
betapa tinggi kepandaian silat orang tersembunyi itu, bukan
melulu karena gerak geriknya yang serba misterius saja.
Kejadian yang beruntun ini betul-betul memusingkan
kepala. menghidangkan makanan, mengeringkan mantelnya

ini boleh dikata merupakan penghormatan yang sangat
perhatian terhadap dirinya. Hal inilah yang menjadikan Giokliong
sukar mengumbar kedongkolan hatinya, walaupun
perbuatan orang ini seakan mempermainkan dirinya, tapi ia
tak berhasil menemukan orang yang main guyon guyon
dengan dirinya dengan sendirinya ia menjadi uring-uringan
sendiri.
Waktu itu, hujan sudah mulai mereda dan tak lama
kemudian udara menjadi cerah. Sinar bulan purnama
menembus masuk melalui celah celah lubang atap yang sudah
ambrol langsung menyinari kedalam ruang sembahyang
tengah ini.
Kini Giok-liong memperoleh akal, terlebih dulu dipakainya
mantel putihnya, lalu dari tangan patung pemujaan ia lolos
keluar senjata tombak yang sudah berkarat itu, dengan
langkah lebar ia menuju kearah lubang tadi, dengan tepat ia
incar batu papan tadi lalu mencongkel dengan sekuat tenaga.
Saking bernafsu dan besar tenaga yang dikerahkan batu
papan ita sampai mencelat tinggi dan jatuh gedebukan sejauh
setombak lebih Kini diatas lantai terlihat sebuah lubang
sebesar tiga kaki persegi.
Didalam sana hitam pekat, tak kelihatan ada undakan atau
tangga, waktu melongok kebawah keadaan begitu gelap
sampai lima jari sendiri juga tidak kelihatan Tapi berkat
kepandaian tinggi Giok liong tidak takut sedikitpun, terlebih
dulu ia sodorkan tombak ditangannya kedalam lalu ia sendiri
juga lantas melompat turun kedalam.
Badannya terasa sekian lama meluncur turun tak mencapai
ujung pangkal. Tiba-tiba kakinya terasa menginjak tempat
empuk dan panas. seketika percikan api beterbangan disertai
abu mengepul mengotori seluruh tubuhnya.

Ternyata tepat sekali ia jatuh diatas gundukan bara api
yang belum padam, keruan Giok-liong mencak-mencak
kepanasan sehingga seluruh tubuh semakin kotor oleh abu.
Lubang goa ini tidak besar, kira-kira tiga tombak luasnya
berbentuk bundar, Di-ujung sebelah sana terlihatlah muka
pucat pias dengan rambut awut-awutan, di atas kepala yang
menongol keluar lubang tadi, mulutnya yang prongos itu
memperlihatkan giginya yang berbaris rapi sangat
menakutkan.
"Kunyuk, malu setan menjadi dedemit apa segala, lekas
keluar!" demikian dengan berang Giok liong membentak dua
kali, tapi tanpa mendapat penyahutan, muka itu tetap tertawa
tidak tertawa menyeringai giginya yang memutih itu.
Amarah Giok liong semakin memuncak, sekali loncat ia
melejit maju lebih dekat terus mengulur tangan
mencengkram, mulutnya tidak tinggal diam membentak:
"Disuguh arak kehormatan tidak mau malah minta digebuk !"
"Heh!"
Kata-katanya diakhiri dengan seruan kejut, kiranya yang
dihadapi bukan manusia melainkan sebatang dahan pohon
yang digantungi kedok muka yang menakutkan itu.
Goa ini lengkap terpenuhi segala perbekalan untuk makan
minum, tapi dari jumlahnya dapat diperkirakan bahwa tempat
ini bukan tempat tinggal abadi, mungkin hanya tempat
persembunyian darurat belaka.
Terbukti dari bau apek yang masib merangsang hidung
memualkan, pelan-pelan diambilnya sebatang dahan sebagai
obor untuk meneliti keadaan sekitarnya. Disebelah kanan sana
ada jalan keluar yang menyelusuri sebuah lorong panjang,
pelan-pelan ia menggeremet maju.

Semakin jauh tanah dibawah kakinya terasa semakin basah
lembab, tanahnya juga semakin menanjak keatas.
Kira-kira tujuh tombak kemudian ia sudah sampai pada
ujung gua, disebelah atas terlihat sebuah lubang bundar dan
terlihatlah langit yang biru kelam ditaburi bintang-bintang
yang kelap kelip, tinggi lubang gua itu ada lima tombak,
terlebih dulu Giok-liong lontarkan tombak ditangannya keatas
untuk menghindari pembokongan orang diluar, setelah
didengarkan seksama tiada suara apa-apa baru ia melompat
naik, keluar dari lubang gua yang lain. MuIut dari lubang gua
ini adalah sebuah sumur kering yang terletak di belakang biara
bobrok itu.
Beribu berlaksa bintang berkelap-kelip diangkasa raya,
udara keras angin menghembus sepoi menyegarkan badan
membangkitkan semangat semalam suntuk Giokliong tidak
tidur barang sebentarpun meskipun tidak ngantuk tapi rada
penat juga.
Bayang-bayang pohon bergerak terdengarlah getaran angin
berkesiur. Tahu-tahu delapan orang berpakaian abu abu entah
dari mana sudah meluncur dekat disekitarnya tanpa
mengeluarkan suara serempak mereka membungkuk hormat
seraya berkata: "Liong-tong Tecu, mendapat perintah
menunggu disini sekian lama."
Karena diluar dugaan Giok-liong sampai tersentak kaget,
dari cara berpakaian mereka serta rambut panjang yang
terurai melambai terhembus angin malam, serta expresi
wajahnya yang dingin kaku dengan jubah panjang yang
kedodoran menyentuh tanah, hatinya menjadi muak dan
sebal.
"Jadi kalianlah yang berlagak setan mempermainkan aku ya
!"
"Hamba beramai tidak berani !"

"Kejadian didalam lubang dalam biara sana, kalau bukan
perbuatan kalian lalu perbuatan siapa ?"
"Ah, bukan, bukan hamba yang melakukan !"
"Jadi perbuatan siapa ?"
"Ciiiit!" tiba-tiba terdengar suara aneh, dari jarak lima
tombak sana melayang datang sebuah bayangan kecil yang
lincah, ditengah udara berbunyi cat-cit, sekejap saja sudah
melampaui kedelapan pelaksana hukum seragam abu-abu itu
tems hinggap didepan mereka.
Kini terlihat jelas kiranya manusia kecil cebol, bermulut
lancip pipi tepos, kepalanya hampir gundul tinggal beberapa
rambut kuning-kuning yang dapat dihitung, demikian juga
jenggot kambingnya pendek dan jarang sekal.
Matanya bundar kupingnya kecil persis benar dengan mata
dan kuping tikus, mengenakan pakaian ketat putih perak,
tinggi badannya tidak lebih tiga kaki, badannya kurus, begitu
kurus kering legam lagi laksana seeuggok kayu bakar aneh
dan menggelikan.
Meskipun bentuk tubuh dan wajahnya yang tidak wajar
seperti manusia umumnya tapi sepasang mata bundarnya itu
berkilat memancarkan sinar tajam, terang Lwekangnya jauh
lebih tinggi dari kedelapaa pelaksana hukum dari Liong-tong
itu, naga-naganya kepandaian silatnya juga tidak bisa di
pandang ringan.
Dasar sifat kekanak-kanakan Giok-liong belum hilang,
melihat bentuk orang yang seperti tikus ini, hatinya menjadi
geli, tanpa merasa ia tertawa tawar kegelian.
Orang aneh berbentuk seperti tikus itu segera menjura
serta berkata dengan suara tinggi seperti bunyi tikus: "Sudah
sekian lama kami mendapat perintah untuk menantikan

kedatangan Siau-hiap, Kejadian dalam biara tadi adalah Puntong
yang mengatur, harap suka di maafkan."
"Tong-cu?" tak terasa tergetar perasaan Giok-liong. Sebab
tempo hari waktu ia mengejar Ang imo-li Li Hong memasuki
Hutan kematian bertemu dengan Wi-hian ciang Liong Bun dari
beliau dapat diketahui bahwa Hutan kematian banyak terdapat
gerobong-gembong silat dan para iblis yang mengeram
disana.
Betapa tinggi Lwekang Wi-hian-ciang Liong Bun itu, tak
lebih hanya menduduki jabatan Huhoat (Pelindung) dari Liongtong
saja, Setelah Tong-cu masih ada wakil Tong-cu,
kedudukan kedua jabatan ini setingkat lebih tinggi dari
Huhoat, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana hebat
Lwekang mereka.
Manusia tidak normal dengan bentuk lucu dihadapinya ini,
mana bisa menduduki salah satu Tong-cu jabatan tinggi hanya
setingkat diwajah majikan Hutan kematian?" Begitulah
berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya sehingga sekian
lama Giok liong termenung tanpa bersuara.
Manusia aneh seperti tikus itu berkata lagi dengan dingin:
"Karena seluruh anak buah Pun tong merasa gentar dan segan
menghadapi ketenaran nama Siau hiap, maka tidak berani
menghadapi secara sembrono. Terpaksa digunakan cara yang
kurang hormat itu. Harap Siau-hiap tidak berkecil hati."
Giong-liong memicingkan mata, serunya lantang: "Gentar
atau segan apa segala, alasan belaka, Terang kalian ini
bangsa panca longok yang sudah berdarah daging seperti
tikus takut melihat kucing bersifat pengecut."
Seketika menyala pandangan srrot mata orang aneh seperti
tikus, wajahnya mengunjuk rasa bimbang dan ragu, Tapi
perasaan tak senang ini sebentar saja lantas hilang, dengan

tertawa yang dipaksakan ia berusaha tetap berlaku hormat,
ujarnya: "Siau-hiap, harap suka memberi sedikit kelonggaran!"
"Hm, perbuatan bangsa kurcaci tidak lebih begitu saja!"
"Siau-hiap, kau. . . . . ."
"Bagaimana?"
"Sukalah bersabar dan berpikir tenang, sedikit banyak
berilah kelonggaran dan muka pada kita sekalian."
"Kurcaci! Kurcaci !" Giok-Liong semakin berang
semprotnya: "Seorang laki laki harus berani berlaku jantan,
seumpama ingin baiok kepalaku ini juga rela kuserahkan Tapi
dengan perbuatan kalian yang rendah takut melihat matahari
ini, sungguh menyebalkan."
Orang aneh seperti tikus itu menjadi beringas wajahnya
berkerut kaku, seluruh badan bergemetaran saking menahan
gusar, giginya berkeriuk mulutnya berbunyi cit-cit seperti
bunyi tikus yang kelaparan.
Melihat gelagat yang gawat ini, para pelaksana hukum
Liong-tong itu lekas-lekas maju melerai, mereka menjura
dalam serta berkata : "Lapor pada Tong-cu, agaknya Ma Siayhiap
belum tahu undang-undang terlarang dari Hutan
kematian. Harap Tong-cu menahan sabar, jangan nanti
menggagalkan urusan besar !"
Mendengar itu, Giok-liong semakin uring-uringan, tanyanya
menjengek : "Undang-undang terlarang apa ?"
Salah satu pelaksana hukum Liong-tong menyahut lirih :
"Dua sekte "Bu" dan "Hu" dari Hutan kematian kita banyak
larangan yang harus dipatuhi. Kelak pasti Siau-hiap juga pasti
akan tahu."
Agaknya Giok liong seperti paham sesuatu, katanya
menghina: "O, mungkin karena tadi aku menyinggung tentang

kucing serta tikus sehingga melanggar undang undang
terlarang dari tuan Tong cu ini ?
"Harap Siau-hiap maklum adanya.!" serentak kedelapan
pelaksana hukum menjelaskan.
Rasa gusar yang tersorot dari pandangan mata si orang
aneh seperti tikus itu mulai berkurang, dengan tawa yang
dipaksakan ia berkata : "Siau-hiap tidak tahu, maka tidak
dapat disalahkan !"
"Hahaha !" Giok-liong bergelak tawa sekian lama suaranya
bergema mengandung perbawa kekuatan lwekangnya sampai
menembus awan menggetarkan bumi, mengaung panjang
ditengah udara.
Delapan pelaksana hukum Liong-tong menjadi kesima
saling pandang.
Orang aneh seperti tikus itu juga melenggong tak tahu dia
harus ikut tertawa atau harus marah.
Lenyap gelak tawa Giok-liong, ia berkata lagi dengan nada
berat: "Diri sendiri bukan seorang lurus, berani berbuat tentu
berani terlihat matahari, kohk memakai pantangan apa segala,
Kalau memang betul sebagai kurcaci koh takut dan melarang
orang memanggil kunyuk. Tikus memang biasanya takut
kucing, kenapa membenci orang menyebut nama kucing,
Bedebah benar, menggelikan saja !"
"Keparat, kau terlalu menghina orang!" tiba-tiba terdengar
bentakan melengking dimana bayangan putih perak melesat
angin keras lantas menerpa dengan kencang.
Glok-liong menjejak kakinya melejit setinggi tiga tombak,
sedetik saja terlambat ia pasti tubuhnya hancur lebur
keterjang serangan musuh. Begitulah dengan tubuh masih
terapung ditengah udara ia meluncur turun sambil balas

menyerang, hardiknya gusar: "Tikus kurcaci, berani kau
membokong !"
Serentak delapan pelaksana hukum Liong tong segera
melejit maju menghadang di tengah mereka, katanya lembut
menjura kepada orang aneh seperti tikus itu. "lapor Tongcu,
Ma Siau-biap adalah tamu agung majikan, harap Tong cu suka
memberi kelonggaran menghabisi pertikaian ini supaya
majikan tidak menimpakan dosa, sungguh kita beramai tidak
berani menanggung resikonya."
Mata bundar orang seperti tikus itu berjelalatan, tangannya
mengelus elus moncong serta muka yang tepos, serta kurus
kering tinggal kulit pembungkus tulang itu, teriaknya: "Konyol,
konyol ! Aku Siau thiao-sin-ju ( tikus sakti ) Yap Tong-jwan
sudah puluhan tahun mendampingi majikan, Siapa yang
berani menghina dan memandang rendah aku. Tak duga hari
ini aku di desak oleh seorang bocah ingusan ! "
Mendengar kata kata orang Giok-liong semakin mengumbar
tawanya, serunya: "O, jadi kau ini bernama Tikus sakti Thongjwan
(tukang gangsir ) lantas kenapa kau salahkan orang lain,
Kecuali kau ganti she dan merubah nama."
Tikus sakti Yap Thong- jwan semakin gusar sambil
berjingkrak marah seperti kebakaran jenggot mulutnya
mengeluarkan suara cit cit seperti bunyi tikus, ia dorong ke
delapan pelaksana hukum Liong- tong, terus menerjang maju
sambil melengking tajam : "Kalau majikan menimpakan dosa,
biar aku Yap Thong-jwan yang bertanggung jawab,
seumpama harus dihukum cacah jiwa hancur lebur juga rela.
Betapapun penasaranku ini harus terlampias dulu. Keparat,
lihat serangan ?"
Tampangnya aneh Lwekangnya tinggi lagi, dimana sinar
perak berkelebat, gesit sekali ia menyelinap diantara delapan

pelaksana hukum itu, entah dengan gerakan tahu-tahu ia
sudah menggeser tiba disamping Giok liong, terlihat bayangan
pukulan tangan berkembang dengan kencang, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dahsyat dan ganas.
"Api kunang-kunang, silat kampungan belaka !" terdengar
Giok-liong menjengek. Di mulut ia bicara takabur namun
sebenarnya siang-siang ia sudah bersiap siaga, menyalurkan
hawa pelindung badan, begitu musuh menerjang datang,
mega putih bergulung lantas menapak kedepan.
Tatkala bulan purnama sudah mulai doyong kearah barat Di
belakang pelataran biara bobrok yang tidak begitu besar ini
terjadilah suatu pertempuran sengit, dua belah pihak sama
sama dongkol dan ingin menang sendiri, maka jurus serangan
yang dilancarkan menjadi semakin hebat tak mengenal
kasihan lagi.
Adalah kedelapan pelaksana hukum itu yang menjadi
gelisah dan serba sulit, satu pihak tak mungkin ia berani
membantu Tong cu yang tinggi hati dan berkedudukan tinggi,
itu sebaliknya juga merasa rikuh untuk membantu tamu yang
diundang majikan Hutan kematian.
Tokoh-tokoh kosen kalau berkelahi tentu bergerak sangat
cepat, sekejap saja tahu-tahu sudah lima puluh jurus berlalu.
Sungguh Giok liong tidak mengira manusia-aneh dengan
tampang yang menakutkan macam Siau-thian sia ju Yap
Thong-jwan ini mampu menangkis salah satu jurus sakti dari
Sam ji cui hun chiu.
Terpaksa Cin chiu, Hwatbwe dan Tian-ceng satu persatu
dilancarkan. Dengan bekal ilmu yang sakti dan tunggal tiada
keduanya didunia persilatan ini, Giok-liong sudah malang
melintang mengalahkan berapa banyak tokoh-tokoh silat kelas
satu, seumpama belum kalah juga pasti terdesak dibawah
angin menjadi kerepotan memosia diri.

Diluar tahunya Siau thian sin-ju Yap Thong-jwan yang
bertubuh kecil kurus ini, dengan sepasang tangan yang kecil
dan runcing seperti cakar tikus itu, bergerak lincah seperti
mencakar menggarut-garut, jurus demi jurus bergerak lincah
kekiri kanan, bukan saja tergerak teratur, malah cara
memunahkan serangan balas menyerang, tenaga yang
digunakan juga sangat sembabat untuk mengambil kedudukan
yang menguntungkan.
Yang lebih mengejutkan cakar kecilnya itu saban-saban
menyelonong tiba dengan bera-i)uyi, sungguh banyak
perubahan gerak gerik tipu-tipu silatnya sulit di jajagi lagi.
Enam puluh jurus sudah lewat, Delapan pelaksana hukum
Liong tong segera berseru berbareng : "Sudahlah dihentikan
saja !"
Tikus sakti Yap Tbong-jwan yang tadi menyerbu dengan
beringas dan ingin adu jiwa itu, begitu mendengar seruan ini
segera mencit cit keras terus melompat keluar, sorot matanya
masih mengandung kebencian dan nafsu membunuh, raut
mukanya semakin kecut.
Giok-liong tidak tahu maksud dari orang ini, sambil berdiri
bertolak pinggang mulutnya menjengek sambil manggutmanggut:
"Bangsa tikus kiranya juga punya kepandaian
macam cakar kucing."
Lekas-lekas delapan pelaksana hukum itu merubung tua iu
berbareng mereka menjura dan berkata : "rio!enlai urusan
disini dianggap beres, harap Siau-hiap menepati janji tiga hari
ini dan tepat tiba di Liong-iong untuk menemui majikan."
Giok-liong tersenyum ewa, ujarnya. "jadi kalian ini hendak
mengiring aku"
Tanpa merasa delapan pelaksana hukum sama mundur
selangkah sahutnya lirih: "Hamba beramai mana berani. Tidak
lain hanya menerima perintah saja!"

"Oh. . ."- pagi hari itu hawa udara penuh diliputi kabut
yang tebal, keadaan menjadi remang-remang dan serasa
dingin.
Setelah pernapasan kembali tenang seperti sedia kala, tiba
tiba Siau thian sin-ju Yap Thong-jwan melompat tinggi tiga
tombak ditengah udara, tubuhnya berputar dengan gaya liang
ing wi-hian (burung elang berputar-putar), mulutnya mencicit
keras menusuk telinga.
Seketika berubah hebat air muka delapan pelaksana hukum
dari Liong tong itu, air muka mereka menjadi serius dan
tegang, kelihatan rasa takut terbayang dalam pandangan
mereka.
Giok-liong sendiri juga tidak tahu apa yang bakal terjadi,
gerungnya gusar: "Berteriak gila apa kau ini".
"Citcit. . .Citcit. . ." seketika dari empat penjuru terdengar
suara bunyi tikus salingbersahutan. Didalam keremangan
kabut pagi tampak berpuluh bayangan perak abu abu
bergerak merambat dengan gesit semua meluruk datang
semakin dekat, suara citcit juga semakin ramai dan jelas serta
banyak.
Delapan pelaksana hukum saling pandang, sekarang tahu
Giok liong bahwa keadaan rada mengancam, cepat cepat ia
kerahkan Ji lo hawa pelindung badan, bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu dengan tukikan bagai burung garuda Siauthian-
sin-ju Yap Thong-jwan meluncur turun hinggap ditanah,
katanya kepada delapan pelaksana hukum itu: "Kalian lekas
pulang bersama menunggu petunjuk selanjutnya. Tapi kalian
sudah melerai setelah aku melancarkan enam puluh empat
jurus Siau-thian chiu, kebaikan ini kuterima dengan ikhlas,
serahkan saja orang ini kepada Hu tong (Sekte Tikus)!"

Baru sekarang Giok-liong sadar, kenapa tadi musuhnya
mau mundur setelah melabrak dirinya habis habisan, kiranya
ia sudah kehabisan tenaga dan kehilangan kontrol tipu-tipu
silatnya.
Dengan wajah serius delapan pelaksana hukum menjura
bersama seraya berkata sungguh: "Lim-cu (Majikan) ingin
benar menemui orang ini"
(BERSAMBUNG JILID KE 17)
Jilid 17
"Biar aku saja yang melayani . . . ." sela Siau thian sin-ju
Yap Thong jwan sambil merogoh keluar sebuah lencana emas
berbentuk delapan persegi.
"Tang !" langsung ia lemparkan lencana itu kedepan kaki
delapan pelaksana hukum suaranya terdengar melengking
tajam laksana sebilah pisau, gerungnya: "Nah, aku rela
menyerahkan lencana mas pengampunan hukuman mati, Aku
bersumpah harus mencuci bersih hinaan ini. Cepat kalian
kembali laporkan keadaan sebenarnya kepada Lim cu !"
HarusIah maklum Bian-gi-kim pwe (lencana mas
pengampunan hukuman mati) ini merupakan sebuah pusaka
yang paling sukar didapat dalam hutan kematian. Sebab orang
yang membekal lencana macam ini boleh bebas dari suatu
hukuman mati yang di jatuhkan oleh Lim-cu bagi mereka yang
membekal lencana ini kedudukannya pasti sangat tinggi paling
rendah juga para Tong cu saja, yang lain tak mungkin bisa
dapat anugrah tertinggi ini.
Sebaliknya meskipun menjabat sebagai Tong cu kalau
belum pernah menegakkan pahala besar bagi Hutan kematian
juga tidak gampang bisa memperoleh Bian-si-kim pwe itu.
Menurut undang undang Hutan kematian meskipun kau
melanggar dosa setinggi langitpun selain berintrik hendak

menumbangkan kekuasaan atau hendak membunuh Lim-cu,
asal mengeluarkan lencana mas ini maka segala dosa dapatlah
dihindari dengan benda pusaka ini.
Sudah tentu delapan pelaksana hukum dari Liong-tong
menjadi melenggong setelah saling pandang sebentar mereka
berkata serempak : "Tong cu kenapa harus marah begitu
besar."
Siau thian-sin-ju Yap Thong-jwan membentak dengan
bengis: Walaupun kalian adalah pelaksana hukum dari Liongtong,
apakah kalian tidak menghargai lencana mas dan
memandang ringan aku, he ?"
"Mana hamba beramai berani." tanpa banyak bicara lagi
mereka segera berkelebat pergi, lencana mas diatas tanah itu
entah kapan telah hilang, sebentar saja delapan pelaksana
hukum Liong-tong itu sudah lenyap.
Sementara itu suara bunyi tikus tadi semakin riuh rendah,
entah sudah berapa banyak yang telah meluruk datang.
Tiba-tiba Siau-thian-sin ju Yap Thong-jwan merogoh keluar
pula sebuah panji kecil segitiga, lalu diangkatnya tinggi-tinggi
dan dikibar-kibarkan, seketika terbit angin ribut serta sinar
putih perak kemilau berkelebat menyilaukan mata terpancar
keempat penjuru.
Lwekang yang tinggi serta bekal ilmu sakti yang
mandraguna membuat hati Giok-liong semakin tabah dan
berani, terdengar ia bergelak tertawa lantang: "Tadi enam
puluh empat jurus Siau thian chiu aku sudai berkenalan. Masih
ada ilmu apa lagi yang kau anggap jempolan sllakan boyong
keluar semua, sekarang tiada orang yang mau memisah
ditengah jalan."
"Baik, akan kupertunjukkan untukmu !"

"Citt" seketika dari empat penjuru lantas jadi ribut saling
bersahutan, Dari semak belukar diatas dahan dahan pohon
serta dari bawah tanah, mendadak saling bermunculan
beratus bayangan orang kecil-kecil kurus semua berbentuk
lucu persis benar seperti tikus, seluruh tubuhnya dibungkus
pakaian putih perak, ditangan mereka masing-masing
menyekal sebuah panji kecil tiga persegi juga, setiap bergerak
pasti menimbulkan kesiur angin dan sinar perak kemilau
dingin.
Setelah ratusan manusia macam tikus itu muncul semua
merubung ke belakang-Siau-thian-sin-ju Yap Thong-jwan
sambil terus menggerak-gerakan panji kecil itu tanpa
bersuara.
Kelihatan bibir Yap Thong-jwan menjebir, terdengarlah
desis seram yang mengerikan, sambil menggoyangkan panji
kecil di tangannya ia melangkah cepat bagai terbang berputar
ratusan manusia kecil aneh seperti tikus itu semua
membelalakkan mata bundarnya sambil menarikkan panji di
tangannya di atas kepala terus membuntuti di belakang Siauthian-
sin-ju Yap Thong jwan, langkah mereka teratur rapi dan
cepat laksana angin.
Begitulah semakin lama gerak badan mereka semakin
cepat, langkahnya seperti pengejar angin, membentuk sebuah
lingkaran besar. Lama kelamaan saking cepat mereka
bergerak bayangan merasa susah dibedakan lagi, yang terlihat
nyata hanyalah sebuah bundaran sinar perak besar seperti
gelang perak yang mengepung Giok-liong dengan rapat dan
berputar cepat seperti roda.
Giok-liong tahu bahwa inilah salah satu karya yang paling
diandalkan dari sekte tikus hutan kematian ini, yaitu
bergabung membentuk barisan jahat untuk melumpuhkan
musuh.

Tahu dirinya terkepung dalam bahaya, sedikitpun Giokliong
tidak berani lalai, seluruh tubuh dijalari oleh hawa
pelindung tubuh, kedua tangannya bergerak-gerak siap
bertempur.
Sekonyong-konyong sebuah teriakan bunyi tikus yang
melengking menusuk telinga mengiring luncuran sebuah
bayangan orang yang mendadak melejit keluar dari kepungan
sinar perak berputar itu, bergerak dengan kecepatan kilat,
menyergap dengan ganas secara dlluar dugaan, begitu cepat
gerak serangan ini mendatang sampai susah diikuti dengan
pandangan biasa.
Serentak dalam waktu yang bersamaan bayangan putih
ditengah gelanggang juga sudah bersiaga, tanpa berkelit atau
menyingkir malah memapak maju menyambut serangan
lawan.
Tapi belum lagi ia berhasil menangkis serangan dari depan
ini, mendadak terdengarlah pekik yang lebih nyaring dari
belakang bayangan putih mengejar datang sejalur panah
perak melesat menusuk punggung.
Menghadapi dua sasaran yang berbahaya ini sedikitpun
Giok-liong tidak menjadi gugup, sedikit miringkan tubuh,
tangan kiri tetap didorong kedepan, sedang tangan kanan
mengebut kebelakang, serentak ia bergerak menangkis dan
memunahkan dua serangan dari depan dan belakang.
Kalau dikata lambat kenyataan cepat sekali. Setiap kali
terdengar pekik bunyi tikus maka lantas terlihatlah
menyambarnya sebuah jalur panah perak, demikian juga
beruntun dua kali dari kiri kanan bersamaan melesat pula dua
jalur panah perak yang mengarah dirinya.
Bercekat hati Giok-liong, meskipun Lwekangnya tinggi dan
tidak perlu merasa takut, tapi betapapun kedua tangannya ini

sulit menghadipi serangan serentak dari berbagai penjuru,
menghadapi yang satu dilarikan yang lain.
Dalam kejap lain jalur panah itu melesat semakin banyak
dari berbagai penjuru. Cara luncuran dan serangan jalur perak
panah ini berbagai ragam, ada yang sampai di tengah jalan
lantas mundur lagi, ada pula yang menggunakan sepenuh
tenaga, ada pula yang membelok kesasaran lain di tengah
jalan, dan ada pula yang hanya meluncur lewat ditengah
udara, semua serba aneh dan sukar diraba kemana sasaran
utama, karena juga sulit dijaga sebelumnya.
Saking banyak luncuran panah perak bergerak kelihaian
seperti kupu kupu yang menari diatas kuncup bunga, sedang
segulung bayangan putih yang berputar ditengah gelanggang
laksana bintang kejora seperti bulan dikelilingi bintangbintang.
Kesiur angin semakin ribut dan tajam laksana ujung golok
ditabaskan sehingga kulit badan Giok-hong terasa perih
seperti di iris pisau.
Begitulah setiap kali terlihat panji bergerak dan bergetar
kesiur angin tajam lantas menyambar simpang siur menerjang
ke arah gulungan mega putih yang bergulung berkelompok.
Di tengah gulungan mega putih ini terlihat pula bayangan
kepalan tangan bergerak lincah seperti kupu menari sehingga
alam sekitarnya menjadi gelap dan remang-remang dengan
perpaduan pemandangan yang kontras ini.
Inilah suatu pertempuran antara mati dan hidup antara
nama dan gengsi, Keadaan Giok liong sendiri sudah tidak
dapat membedakan lagi yang manakah Siau-thian-sin-ju Yap
Thong jwan. Maka tujuan hendak meringkus pentolan dan
penjahat untuk di tawan sebagai sandera yang dirancangnya
semula menjadi gagal total.

Seperminuman telah berlalu, Meskiputi Lwekang Giok-liong
sangat kuat, kalau terus menerus memberondong dengan
pukulan yang menghabiskan tenaga tentu hawa murni dalam
tubuhnya pasti terkuras habis, Saat sekarang masih rada
mendingan masih kuat bertahan lama kelamaan pasti keadaan
tidak menguntungkan bagi dirinya.
Lepas dari kekuatiran Giok-liong sendiri adalah serangan
musuh semakin gencar malah, lingkaran bundar perak
berjalan semakin capat, laksana kicir angin berputar, jalur
panah perak melesat dan menerjang kencang bergantian tak
mengepal putus.
Akhirnya Giok-liong menjadi nekad dan bertekad untuk
turun tangan, timbullah nafsu membunuh menghantui
sanubarinya.
Tiba-tiba sinar menyorong keluar, secarik jalur sinar terang
melayang tinggi ketengah udara, lima irama seruling
berkumandang mengalun tinggi di tengah angkasa. Laksana
keluhan naga seperti auman harimau menggetarkan seluruh
alam semesta ini.
Begitulah ditengah kumandang irama musik yang merdu
mengasyikkan ini, beruntun terdengarlah pekik dan jeritan
yang melengking menyayatkan hati menyedot sukma.
Seketika terjadilah hujan darah, badan manusia melayang
dan terkapar malang melintang dan terpental jauh beberapa
tombak, sekarang terlihat mega putih mulai kuncup menyaru
dan mulai mengembang naik, kabut juga semakin tebal.
Di luar arena bundaran dengan manusia yang berwarna
putih perak itu masih terus bergerak dengan lincahnya, namun
sudah tidak segesit semula.
Bau amis semakin tebal merangsang hidung, dihembus
angin lalu sehingga memualkan. Terjadilah penjagalan atau
pembunuhan besar-besaran. Lambat laun mayat mulai

bertumpuk meninggi, malang melintang tak teratur semakin
banyak.
Dahan-dahan pohon sekitar gelanggang menjadi merah
karena darah dan banyak kaki tangan atau usus serta isi perut
manusia bergantungan disamping batu-batu gunung
berserakan pula mayat mayat yang sudah tak keruan rupanya,
rumput nan hijau subur juga menjadi basah dan berwarna
merah darah bercampur cairan putih dari otak manusia yang
kepalanya pecah.
Korban berjatuhan semakin banyak tapi irama seruling
semakin merdu dan mengalun lemah mengasjuk sanubari,
demikian juga sinar mas berkelebat tak mengenal ampun,
dimana sinar mas ini menyamber kontan terdengar jerit pekik
yang mendebarkan hati.
Sekonyong-konyong terdengar suara cit-cit bunyi tikus yang
keras sekali, suaranya sedemikian pilu mengetuk hati nurani.
Kesiur angin yang ribut seketika sirap bundaran besar putih
perak juga lantas berhenti bergerak. Demikian juga jalur perak
panah itu lantas mulai mengendor di lain kejap juga lantas
ditarik balik semua.
Ratusan rnanusia aneh macam tikus ini tinggal tiga empat
puluh orang saja, semua berdiri mematung lemas lunglai
seperti jago aduan yang kalah, Panji kecil yang terpegang di
tangan juga melambai turun, mereka sembunyi di belakang
Siau-thian-sin ju Yap Thong jwan, semua sudah kehilangan
semangat semula yaag menyala dan garang.
Sementara itu, sinar kuning mas juga segera kuncup,
demikian juga irama seruling lantas berhenti. Dengan
melintangkan seruling di depan dadanya Giok-liong berdiri
tegak sekokoh pohon cemara, Dimana ia berdiri sekitarnya

sudah basah kuyup dan dikotori oleh darah dan cairan
memutih yang mendirikan bulu roma.
Menyeringai dingin Giok liong berkata sambil menuding
mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya dengan potlot
luasnya: "Yap thong-jwan (gangsir malam) inilah hasil
karyamu seorang, jangan kau sesalkan aku telah berlaku
ganas dan kejam ?"
Tampang yang jelek dari Sian-thian-sin-ju Yap Thong-jwan
kini semakin buruk kelihatannya. Panji kecil ditangannya masih
dikibarkan, kedua biji matanya mulai mengembeng air
mata, Tapi sikap congkaknya masih terbayang pada wajahnya,
desisnya sambil mengertak gigi: "Yap Thong-jwan tidak becus
belajar siiat, terpaksa hari ini aku harus pasrah nasib ?"
Giok-liong menjengek hina: "Keparat, goblok kau. Kau
seorang ini terhitung apa, yang terpenting kau tidak
seharusnya mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak
berdosa.".
Siau-thiao sin- ju Yap Thong-jwan menyeringai bengis:
"Hahahaha ! hehehehe !" gelak tawanya seperti orang utan
mengeluh panjang, membuat orang merinding dan ber-gidik.
Tanpa pedulikan Giok liong lagi, tiba-tiba ia membalikkan
tubuh menghadapi anak buahnya yang masih ketinggalan
hidup itu, tiba-tiba ia bersenandung dengan suara tinggi:
"Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi hutan kematian
tak terhina, berkorban demi keangkeran!" serentak empat
puluh manusia aneh macam tikus itu berbareng berlutut dan
menyembah, serempak mulut mereka juga ikut bersenandung
: "Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi, hutan
kematian tak terhina, berkorban demi keangkeran !"
Habis bersenandung mendadak tiga empat puluh manusiamanusia
seperti tikus itu membalikkan gagang panji kecil yang

runcing itu dimana sinar perak berkelebat "Cras" darah lantas
menyembur deras beterbangan bagai air mancur.
Empat puluh lebih orang-orang itu sama roboh celentang,
setiap dada mereka tertancap sebuah panji kecil segi tiga,
kelihatan isi perut mereka dedel duwel bergerak-gerak
mengikuti aliran darah yang menyembur keluar.
Tidak kepalang kejut Giok-liong, sekian lama ia kesima
mematung di tempatnya, belum lagi ia sadar akan adegan
yang dihadapinya ini, Siau-thian sin ju Yap Thong-jwan sudah
membalikkan tubuh, terus berlutut di tempatnya lalu
menyembah serta berseru lantang: "Terima kasih akan budi
kebaikan Lim-cu !"
"Bles!" darah muncrat keluar badannya yang kurus kecil itu
seketika roboh terkapar tak bergerak lagi.
"Hidup abadi semangat hutan kematian!" terdengar
gemboran yang nyaring dingin. Tahu-tahu diantara mayatmayat
bergelimpangan itu kini sudah bertambah satu orang.
Orang ini bermuka panjang warna abu-abu bersemu hitam,
sepasang matanya memancarkan sorot tajam berkilat Kedua
ku-pingnya caplang dengan jenggot kambing pendek yang
awut-awutan seperti sikat. Tangan kiri cacat sampai
disikutnya, sedang tangan kanan membekal sepasang
bandulan baja yang kuning berkilau, diputar-putar berbunyi
nyaring.
Dengan tajam ia awasi Giok-Hong, mimiknya seperti
tertawa tidak tertawa sikapnya sinis mengejek.
Giok-liong menggeser kedudukan mengambil posisi yang
menguntungkan, serunya lantang : "Apalah tuan ini juga
anggota dan Hutan kematian?"

Tapi orang itu mengadukan kedua butir bandulannya, lalu
sahutnya rendah: "Kalau aku anggota dari Hutan kematian,
mungkin , . . hihihi, hahaha. . ."
Entah apa maksud tertawa sinisnya ini, yang terang
suaranya menusuk telinga tak enak didengar terasa seluruh
badan seperti gatal gatal dan menjadi tidak betah.
"Apa maksudmu Tuan?"
"Kau belum paham ?"
Giok-liong mendengus.
"Mari kau ikut aku !" lenyap suaranya badan orang itu
lantas melompat jauh, betapa cepat gerak tubuhnya ini,
selama ini belum pernah pernah Guk-liong menyaksikan
Ginkang sehebat itu begitu sebat sekali seperti bayangan
setan tahu-tahu bayangan orang sudah lima tombak jauhnya,
Naga-naganya Lwekangnya sudah sempurna dalam
latihannya.
Tidak kuasa Giok-liong sampai bersuara heran, kuwatir
kena jebak dan tertipu lagi, ia berlaku tenang tenang saja
tetap berdiri ditempatnya sambil tersenyum tanpa bersuara.
"Wut, bayangan orang itu kembali meluncur datang,
jengeknya : "Kau tidak berani?"
"Kenapa tidak berani ?"
"Kenapa kau tidak mati ikut ?"
"Kenapa aku harus ikut kau ?
"Hahaha ! Hahahaha . . . " gelak tawa menggila
kumandang sekian lamanya, seperti arus sungai besar yang
tak putus, tidak tinggi tapi menggetarkan sukma dan menusuk
telinga, tidak rendah tapi berat menekan perasaan.
"Tertawa gila apa kau ?"

"Kim-pit-jan-hun, kiranya hanya nama kosong belaka !"
"Apa kau menghina ?"
"Kalau seorang laki-laki sejati, menghadapi hutan golok,
dan minyak mendidih seumpama harus menerjang kedalam
sarang harimau dan rawa naga juga tidak perlu gentar !"
"O, jadi maksudmu aku Ma Giok.liong seorang penakut ?" ,
"Kalau bukan takut, kenapa diam saja ?"
"Terlalu, tuan berangkat!"
"Bagus! Ayoh"
Sekarang bayansan putih yang meluncur lebih dulu, sekali
berkelebat lantas lewat menghilang, Tapi bayangan hitam
agaknya tidak mau ketinggalan melompat memburu dengan
kencang melampaui bayangan putih, ditengah udara ia
berkata lirih : "Biarlah aku membuka jalan !"
Giok-liong mengiakan sambil mengerahkan sembilan
tingkat Lwekangnya hawa murni ditarik dalam seketika
tubuhnya meluncur cepat laksana bintang jatuh mengejar
rembulan menerjang awan, laksana luncuran anak panah yang
menembus udara.
Tak kira, tiba-tiba terasa dipinggir kupingnya berkesiur
angin kencang, ternyata bayangan hitam itu sudah melesat
melampaui belum sempat matanya berkedip bayangan itu
sudah melayang jauh kedepan lima tombak.
Timbul sipat kekanak-kanakan Giok-liong rasa ingin
menang sendiri melingkupi sanubarinya. Diam-diam ia
kerahkan sepenuh tenaga murninya, Leng-hun-toh segera dikembangkan,
begitu Lwekang dalam tubuhnya bekerja sampai
titik tertinggi tubuhnya melesat semakin cepat.

Akan tetapi besar keinginannya hendak menyusul bayangan
hitam di depan dan melewatinya, tak urung usahanya sia-sia
belaka tak kurang tak lebih jarak mereka tetap sekian jauh
saja, jangan kata hendak mengejar lewat untuk berlari
berendeng bersama saja agaknya sulit sekali.
Arah yang mereka tuju adalah sebuah puncak yang
menjulang tinggi, keadaan jalan yang mereka lalui semakin
belukar dan meninggi serta gelap menyeramkan.
Namun titik hitam dan putih bagai kunang kunang
meluncur cepat, begitu cepat sampai sulit diikuti pandangan
mata biasa, Begitulah mereka berlari-lari kencang seperti
mengejar setan.
Satu jam kemudian, jarak yang mereka tempuh tidak
kurang sejauh puluhan li, Jauh di depan sana terbentang
sebuah hutan belantara yang gelap pekat, rontok dedaunan
begitu tebal hampir satu kaki tingginya, mengeluarkan hawa
busuk yang lembab menutuk hidung.
Mendadak kelihatan bayangan hitam itu menggunakan
gaya Ham-ya-to lio ( burung gagak hinggap dalam hutan ),
cepat sekali tubuhnya meluncur turun hinggap diatai tanah
diluar hutan ia berpaling muka sambil menggape, tanpa
bersuara tubuhnya lantas menyelinap masuk kedalam hutan
dan menghilang.
Seluruh tenaga sudah dikerahkan namun tak mampu
mengejar orang, Giok-liong sudah uring uringan dan dongkol,
melihat orang menggape tangan, maka tanpa ayal lagi segera
ia mengejar mengikuti jejaknya.
Udara dalam hutan belukar ini terasa rada hangat, daun
melayang berjatuhan, sekelilingnya sunyi senyap, sedetik saja
bayangan hitam itu sudah menghilang jejaknya.

Sekarang bayangan hitam itu, tanpa banyak peduli yang
lain begitu mengempos semangat ia terus menubruk maju
lebih dalam Iagi, beruntun ia berloncatan beberapa kali,
mendadak pandangan matanya menjadi terang, pemandangan
yang dihadapi sekarang berubah sama sekali, membuat orang
seakan-akan tenggelam dalam impian kayal belaka.
Pohon Yangliu meliuk melambai dihembus angis, Pohon
dan rumput hidup subur menghijau, rada jauh di sebelah
depan terlihat beberapa bangunan gubuk bambu dari
anyaman alang-alang. Disekeliling bangunan gubuk itu,
tumbuh berbagai kembang yang tengah mekar semarak,
indah warnanya harum baunya.
Didepan pintu tak jauh dari sederetan pohon Yangliu
mengalir sebuah sungai dengan airnya yang jernih. Dalam
sungai ada beberapa ekor angsa tengah berenang dengan
suka ria.
Di pinggir sungai sebelah kiri menonjol keluar meninggi
sebuah tonggak batu yang halus mulut menjolor keatas air
setombak lebih.
Diatas tonggak batu mulus inilah duduk seorang laki-laki
berpakaian seperti petani, sebelah tangannya memegang
sebuah joran panjang, sedang tangan yang lain memegang
sejilid buku tengah membaca dengan asyiknya.
Waktu itu Giok liong masih berada dipinggir hutan rindang,
terpaut lima enam tombak dari deretan pohon Yangliu. Melihat
pemandangan seperti didunia lain, seketika timbul hayalan
seperti didalam impian belaka.
Rasa dongkol dan uring uringan tadi kini tersapu bersih dari
benaknya. Melihat kebebasan dan sentosa kehidupan petani
yang asyik masyuk membaca buku itu, timbul rasa ketarik dan
memuji akan kebesaran hidup dalam alam yang tenang ini.

Dikebutnya lengan baju membersihkan kotoran yang
melebar diatas badannya lalu pelan-pelan ia melangkah maju.
Petani pertengahan umur itu seolah olah tidak melihat atau
mendengar akan kehadirannya.
Sampai Giok-liong sudah melewati gubuk bambu dan
sampai dipirsggir sungai berdiri di belakangnya, dia masih
tetap duduk tenang membaca bukunya tanpa bergerak.
Sejenak kemudian joran yang terulur masuk kedalam air
kelihatan bergerak dan ketarik masuk kedalam air, terang
bahwa kailnya sudah berhasil dimakan ikan.
Akan tetapi saking asyik, si petani membaca buku
sedikitpun ia tidak merasakan akan hal ini,
"Ikannya sudah kepancing!" tak terasa mendadak Giokliong
berseru.
Tanpa melirik atau bergerak petani itu tetap tenggelam
dalam bacaannya, mungkin seumpama geledek berbunyi di
pinggir telinga-nya.
Air dalam sungai bergejolak, joran panjang ini ikut bergerak
timbul tenggelam, terang sang ikan tengah meronta dalam air.
"Ikannya sudah kepancing, kenapa ....." tak tertahan lagi
Giok-liong berseru pula.
Baru sekarang petani pertengahan umur itu angkat
kepalanya, sekilas ia melirik kearah Giok-liong, tapi cepat
cepat matanya tertuju kepada bukunya lagi, joran yang
dipegangnya itu sedikit digentakkan keatas. Seekor ikan gabus
besar kontan meletik keluar air, ikan itu cukup besar dan
berwarna merah mas berkilat terus meronta ronta diatas
joran.
Sekarang petani pertengahan umur meletakkan buku di
belakang duduknya, sepasang matanya menatap takjup

kearah ikan yang meronta roma itu seolah-olah tengah
menikmati suatu hasil karya yang sangat berharga dengan
tekun dan sesama ia mengawasi terus.
Sekian lama ikan gabus itu meronta-ronta mendadak sekali
loncat "Plung" ia terlepas dari kail panjang itu terus
kecemplung pula kedalam air, ekornya lantas bergoyang dan
berenang dalam air dengan senangnya, dilain kejap lantas
selulup untuk menghilang.
"Hahahahaha!" petani pertengahan umur bergelak lantang,
suara tawanya tajam berat bagai tajam golok mengiris kulit,
ujarnya keras: "Kupancing kaulalu kulepas kembali untuk
bebas, Kelak tergantung kepada keberuntunganmu sendiri!
"habis berkata seenaknya saja ia tancapkan joran ditaagannya
itu diatas batu tonggak yang keras itu.
Haruslah diketahui batu tonggak besar dimana ia duduk
adalah batu-batu pualam pilihan yang kerasnya melebihi besi
baja, joran kecil baja bila orang biasa mana mampu
menancapkannya kedalan batu itu, dapatlah diperkirakan
betapa tinggi lwekang orang ini pantas bukan sembarang
tokoh kosen.
Tapi saat mana Giok-liong telah tenggelam menerawang
kata-kata petani pertengahan umur barusan sedikitpun ia tidak
perhatikan joran yang tertancap diatas batu itu.
Pelan pelan petani pertengahan umur itu bangkit berdiri,
baru sekarang ia mengamati amati Giok-iiong sekian lama
acuh tak acuh ia berkata: "Bukankah saudara adalah Kim-pitjan-
hun Ma Giok-liong yang menggetarkan dunia persilatan
itu?"
Giok liong tersentak dari lamunannya hatinya berpikir:
"Petani pengasingan ini dari mana dapat mengetahui kejadian
di Kangouw mungkinkah ia seorang tokoh lihay yang
mengasingkan diri disini." karena pikirannya timbul

kewaspadaan dalam benaknya, mulut juga lantas menyahut:
"Aku yang rendah memang Ma Giok liong adanya, Harap tanya
tempat ini . . . ."
Sorot mata petani pertengahan umur sentak berubah
dingin, demikian juga air mu kanya nendadak memancarkan
sinar yang aneh seperti cahaya benda benda pusaka yang
kemilau, Tajam sinar matanya menjadikan Giok-liong tidak
berani beradu pandang, Rada lama kemudian baru tercetus
perkataannya: "Apa kau tidak takut?"
"Aku yang rendah tidak tahu tempat apakah ini?"
"Kalau begitu kau adalah ikan yang terpancing masuk ke
sini !" Hahaha !" gelak tawanya ini entah mengandung
maksud apa yang terang nada gelak tawa ini cukup menusuk
telinga Giok-liong sehingga badan terasa risi.
Tanpa menghentikan gelak tawanya dengan langkah kekar
petani pertengahan umur beranjak turun ke pinggir sungai,
lalu ujarnya: "Mari ikut aku!"
Kalau dilihat langkahnya beda dengan langkah manusia
umumnya, tapi sedikitpun tidak meninggalkan jejak diatas
tanah, Tapi dalam sekejap saja ia sudah berjalan jauh
melewati deretan pohon yang liu itu tujuh tombak lebih.
Angin yang kencang menderu, tiba tiba petani itu
membentak bertanya : "Apakah kau pernah lihat permainan
ini?"
Sesaat Giok-hong mengingat-ingat, lalu geleng kepala
sambil tertawa pahit, katanya: "Aku yang rendah belum
pernah lihat."
"Belum pernah lihat?"
Giok-liong mengiakan.
"Apakah tidak pernah dengar ?"

"Juga belum !"
"Coba keluarkan Seruling samber nyawamu."
"Untuk apa ?"
"Akan kubuat kau berkenalan dengan senjataku ini" "Tar!"
tanpa menanti penyahutan Giok-liong, ia sudah teriakan
pecutnya itu menjadi bayangan rapat yang melibat dirinya
sehingga timbuI kesiur angin dingin tajam yang merangsang.
Belum lagi kelihatan kaki petani pertengahan umur
bergerak, bayangan pecut itu sudah mengurung dan
mengekang seluruh tubuh Giok-liong di tengah lingkaran
pecut.
Baru sekarang Giok-liong tersentak sadar, cepat-cepat ia
kembangkan Ginkangnya mengejar kedepan. Dikejap lain
petani pertengahan umur itu sudah memasuki salah sebuah
gubug bambu itu, lalu melompat keluar pula berdiri diatas
rerumputan yang subur menghijau, Kini tangannya sudah
menyekal sebatang pecut panjang warna hitam yang
mengkilap.
Pecut panjang ini seperti terbuat dari kulit tapi bukan kulit,
seperti besi juga bukan besi, tapi juga tidak seperti menjalin,
seluruh panjang pecut ini kira kira ada sembilan kaki dalam
warna hitamnya itu lapat-lapat terpancar cahaya merah darah.
"Tar!" begitu petani pertengahan umur menghentakkan
pergelangannya pecut panjang itu melccut tinggi ketengah
udara ber-bunyi nyaring. Begitu keras dan lincah sekali seperti
seekor ular hidup, berputar lincah tiga kali ditengah udara, lalu
laksana ular sanca yang galak seiring dengan kesiur itu. Dari
delapan penjuru angin terasa adanya deru angin laksana
hujan badai dengan kekuatan dahsyat seperti guntur
menggelegar.

Giok-liong menjadi keheranan seraya garuk garuk
kepalanya yang tidak gatal, katanya : "Untuk apakah kau ini?"
"Untuk apa ?"
Petani pertengahan umur mendengus, lalu katanya lagi:
"Hm, sudah kukatakan tadi, untuk menjajal kepandaianmu !"
"Aku yang rendah baru pertama kali bertemu . , "
"Baik, kuberitahu supaya kau jelas ! Pecut panjang di
tanganku ini adalah senjata terampuh dan paling berbisa dari
sembilan senjata sakti beracun itu. Yaitu Sip-hian pian (pecut
penyedot darah) yang sudah menggetarkan Bulim selama
ratusan tahun, tahu ?"
"Pecut pengisap darah ?" bergidik tubuh Giok-liong,
matanya seketika tertuju kearah pecut hitam tanpa berkedip.
Pecut pengisap darah adalah salah satu dari sembilan
senjata beracun paling ganas di dunia ini, Pecut ini dianyam
dari urat-urat binatang sebanyak tujuh macam. Pada tiga
ratus tahun yang lalu oleh Pek-tok-thoan-hun Kiong Ang telah
direndam selama tiga belas tahun dalam obat beracun yang
dinamakan Pek-hong jian-lok lalu bagian luarnya dibalut
dengan Pek-chio-jiao (getah ratusan rumput) sehingga
menjadi semakin keras dan ulet melebihi baja murni.
Meskipun ditabas dengan pedang atau golok pusaka yang
tajam sekali, sedikitpun takkan dapat membuatnya cidera.
Kehebatan pecut ini bukan hanya sampai disitu saja, karena
direndam dalam air beracun dengan sendiri pecut ini menjadi
sangat ganas dan berbisa, manusia siapa saja sekali kena
terpecut meskipun kulitnya tidak terluka, darah dalam
tubuhnya juga bisa terhisap oleh racun dari pecut berbisa itu.
Apalagi kalau berturut tiga kali kena terpecut seluruh darah
dalam tubuh orang itu pasti terhisap habis.

Maka dapatlah dibayangkan kalau orang kena dipecut tiga
kali dan darah dalam tubuhnya terkuras habis, apakah orang
itu masih bisa tetap hidup ? Memang dari sembilan senjata
ganas berbisa, justru pecut penghisap darah inilah yang paling
ditakuti, seluruh tokoh-tokoh Bulim begitu mendengar nama
pecut yang ditakuti ini, tiada yang tidak akan ketakutan seperti
tersentak kaget mendengar guntur di tengah hari bolong.
Demikianlah Giok-liong setelah mengetahui asal usul pecut
yang ganas itu, diam-diam ia lantas mengerahkan Ji-lo
pelindung badan tapi lahirnya ia masih berlaku tenang,
katanya sambil tertawa dibuat buat: "Kalau begitu jadi
Cianpwe adalah Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat Koan-lo
cianpwe yang sejajar dengan Suhu pada ratusan tahun yang
lalu itu."
"O, siapa gurumu ?"
"Gurultu berbudi orang suka menyebutnya To-ji . . . "
"Kau murid Pang Giok ?"
"Memng Wanpwe . . ."
Tar ! Tar, tar . . . mendadak Sip-hiat-ling pian Koan It-kiat
menyurut mundur tiga langkah sambil menggetarkan pecut
ditangannya, sehiniga berbunyi nyaring di tengah udara,
Wajahnya menjadi dingin membeku, desisnya : "Tepat benar
dugaanku, Kim-pit kedua huruf itu sudah menimbulkan
kecurigaanku !"
Giok liong semakin bingung dan tak habis herannya tak
tahu apa maksud tujuannya, katanya ragu: "Jadt maksud
Cianpwe adalah . . . "
"Mari sambut beberapa jurus !"
"Wanpwe tidak berani kurang ajar !"

"Hahahaha, sudahlah jangan rada sungkan keluarkan Potlot
mas dan seruling samber nyawa, perlihatkan tanda dan
kewibawaan SiulJUin !"
"vlaka dan wibawa ?"
"Bisanya tidak pula mengelabui kau ! Dulu aku pernah
bergebrak dengan gurumu, kita membatasi sebanyak lima
ratus jurus, masing-masing mengambil sumpah berat, Tak
berjotang aku kena dikalahkan setengah jurus. sesuai untuk
menepati sumpahku aku mengasingkan diri digubug reyot ini
selama deIapan puluh tahun. Tahun yang lalu masa sumpahku
itu sudah berakhir, kini aku bertekad bulat kalau tidak bisa
mengambil pulang kekalahan dulu itu, selamanya takkan
muncul di kalangan Kangouw, Tapi kemana-mana sudah
mencari jejak Pang Giok, Kau adalah murid tunggalnya, inilah
baik sekali !"
Giok liong tertawa ewa. katanya : "O, jadi begitu. Biarlah
nanti jikalau aku bertemu dengan Suhu akan ku sampai pesan
Locian-pwe ini !"
"Tidak perlu hubungan guru dan murid laksana ayah dan
anak, Hutang ayah, anaknya yang harus bayar. sekarang aku
sudah menemukan kau. Pang Giok mau datang tidak sudah
tidak penting lagi."
"Mana Wanpwe berani unjuk kejelekan dihadapan Cian pwe
!"
"Jangan terlalu banyak membuang buang tempo ! Marilah
mulai"
Sikap Sip hiat-ling-pian Koan It-kiat tenang-tenang saja
namun kata-katanya yang mendesak ini tDalah pecut di
tangannya. juga sudah mulai bergerak mengancam.
Giok-liong menjadi ragu ragu untuk turun tangan, sebab
terhadap Sip hiat-pian (pecut penghisap darah) ini sedikit pun

ia tidak paham dengan sendirinya lantas timbul rasa gentar
dan khawatir menghantui sanubarinya.
Sebaliknya kalau tidak mau bergebrak sikap Koan It-kiat
sangat mendesak betapa juga ia tidak malu kalau dipandang
takut mati, apalagi perguruan dibina dan dipandang rendah.
Akhirnya meskipun dalam keadaan serba sulit ia tertawa
getir dan berkata: "Koan locian-pwe, apakah benar tidak bisa
menanti guruku . ."
Mendadak sebuan bayangan orang melesat keluar dari
gubuk sebelah kiri sana.
Dilain kejap lalu laki laki bermuka hitam yang memancing
Giok-Iiong datang tadi sudah berdiri tegak ditengah lapangan
rumput ini.
Katanya penuh rasa hormat kepada pecut sakti penghisap
darah Koan It-kiat: "Biarlah tecu bergebrak beberapa jurus
dulu, bagaimana pendapat Suhu?"
Sebentar berpikir, lantas pecut sakti penghisap darah Koan
It kiat berkata ragu: "Kau . . . ."
"Kalau Tecu tidak kuat melawan dia, nanti suhu turun
tangan juga belum terlambat !"
"Bocah tak berguna, cara bicaramu saja sudah dibawah
angin. Baik ? Hati-hatilah" kata Koan It kiat sambil
melemparkan pecut di-tangannya.
Pecut panjang itu laksana seekor naga terbang lempang
memanjang melesat kemuka muridnya.
Terbangun semangat laki laki muka hitam, sebab sekali ia
melompat maju sambil meraih dengan tangkas sekali ia
menangkap pecut panjang itu.

Ditengah udara ia kembangkan gaya Siang thian-thi
(memanjang tangga langit) gerak tubuh yang indah sekali
badannya lantas melambung tinggi beberapa tombak.
Ditengah udara ia tarikan pecut panjang itu sehingga
menerbitkan angin kencang menderu laksana angin lesus
ditengah hujan badai dipadang pasir, lalu menukik turun
seperti elang menyamber mangsanya.
Ringan sekali ia hinggap diatas tanah, setombak lebih
berhadapan dengan Giok liong, lengan kirinya yang putus
sebatas sikut itu menuding kearah Giok-liong, ujarnya: "Mari,
kau tidak berani bergebrak dengan guruku, hadapilah aku Siau
pi-ong dan sambutlah seratus jurus,"
Melihat pertunjukkan Ginkang orang yang hebat pertanda
Lwekangnya yang sempurna, diam diam Giok liong memuji
dalam hati, Tapi lahirnya ia tetap tenang acuh tak acuh
ujarnya: "Tuan memancing aku kemari, jadi inikah
tujuannya?"
Siau pa ong menjulurkan pecut penghisap darah, teriaknya:
"Kalau begini hayolah turun tangan, buat apa banyak
ngobrol!" lalu ia mendesak maju dua iangkah, pecutnya
diayun siap menyerang
Giok-liong insyaf tak mungkin ia menolak dan menampil
tantangan orang lagi, khawatir pihak lawan menyerang dan
mengambil inisiatif pertempuran dengan serangan gencar,
maka segera dirogohnya keluar Potlot mas dan Seruling
sambar nyawa.
"Karena terdesak terpaksalah aku mengiringi, harap berilah
pelajaran beberapa jurus ilmu kalian yang hebat tiada
taranya!"
"Nah, begitu baru menyenangkan!" tanpa ayal lagi Siau-pa
ong segera menyambar pecut penghisap darah, dengan jurus
To-pian-toan cui (pecut memutus air), pecutnya menyapu

datang dengan deru angin keras dan bunyi yang menusuk
telinga.
Giok-liong tak berani ayal, dengan langkah Leng-hun-toh ia
melejit jauh setombak, berkelit dari sambaran pecut lawan, Ji
lo sudah terpusatkan mulailah ia mainkan Jan hun su sek.
Trililili. . . seruling samber nyawa memancarkan cahaya
putih laksana layung seperti seutas rantai panjang, demikian
juga Potlot mas mulai mengembangkan pancaran sinar kuning
yang cemerlang seperti sinar matahari menjelang senja.
Dalam pada itu, Pecut sakti menghisap darah Koan It-kiat
tengah termenung, pikirnya: "Dibawah panglima kuat tiada
tentara lemah. Bocah yang dididik Pang Giok ini memang
bukan kepalang hebat, entahlah bagaimana dengan latihan
Lwekangnya?"
Gulungan hawa hitam yang ditimbulkan oleh bayangan
pecut bersemi itu berputar cepat bergulung-gulung seperti
roda angin. Sinar kuning mas dan larik cahaya putih layung itu
terbungkus dalam bayangan pecut hitam bergerak begitu
lincah seperti ikan berenang dalam air, pancaran berpaduan
sinar kuning dan putih semakin terang menyilaukan mata.
Kalau Siau-pa-ong membentak-bentak dengan suaranya
yang keras. Sebalik-nya Giok liong tak hentinya
memperdengarkan tawa dingin.
Di lapangan rumput yang tak lebih seluas puluhan tombak
itu terjadi pertempuran sengit yang sangat mempesonakan
pandangan mata.
Dari mula pertempuran ini sudah sangat menegangkan.
sedemikian serunya sehingga menyesakkan pernapasan,
saban-saban berkutet di sebelah timur mendadak bergulunggulung
kearah barat, semakin lama gerak gerik mereka
semakin cepat.

Lambat laun saking cepat gerak pertempuran ini susah
dibedakan lagi siapakah Giok-liong dan yang mana orang
buntung bermuka hitam itu.
Yang jelas kelihatan hanya gulungan kabut ungu yang
menyelubungi pancaran sinar kuning dan layung pulih yang
memanjang menggubat, seperti ular naga selincah kera
menari, berkelebat berkelap kelip. Mana dapat membedakan
jurus atau serangan tipu apa lagi yang tengah mereka
lancarkan.
Sekonyong-konyong Pecut sakti penghisap darah Koan Itkiat
yang berdiri menonton di depan gabuk itu menggerung
kaget: "Celaka !"
"Siuut!" "Aduh " bayangan orang lantas berpencar.
Terdengar Giok liong berseru tertekan: "Terima kasih kau
sudi mengalah !"
Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat bersuit panjang
dan nyaring, tiba-tiba tubuhnya melejit tinggi tujuh tombak,
dimana cakar tangannya diulurkan terus meraih pecut
penghisap darah yang terpental terbang dan sudah meluncur
turun.
Lalu dengan gaya Le-hi-te ting (ikaa gabus meletik) dengan
ringan dan indah sekali kakinya mendarat di pinggir sungai, air
mukanya membesi kaku.
Sementara itu, kelihatan Siau-pa-ong tersurut mundur
beberapa langkah terus menggelendot diatas dahan pohon,
pancaran sinar matanya menjadi guram, tangan kanannya
sudah kosong melompong, sedang sikut tangan kiri yang
buntung itu menekan dada kulit mukanya yang hitam itu
menjadi pucat menahan sakit.

Giok-liong mengacungkan tinggi Potlot masnya, sedang
seruling samber nyawa melintang di depan dada, dengan
tenang dan waspada ia berdiri tegak sekokoh gunung di atas
lapangan rumput, sikapnya garang dan perwira.
Sesaat keadaan menjadi sunyi dan serba kikuk, sementara
waktu mereka bertiga menjadi berdiri melongo tanpa bersuara
dengan muka merengut dan pandangan mendelik !
Sebentar kemudian terlihat Pecut sakti penghisap darah
Koan It kiat tertawa getir, dan sedih, "Hahaha, hehehehe !
Hihihihi !"
Potlot mas dan seruling samber nyawa disekap ditangan
kiri, segera Giok-liong menjura penuh rasa prihatin menjura
kepada Koan lt-kiat, katanya: "Cian-pwe, harap maaf akan
kelancangan Wanpwe tadi!"
Sekarang Siau pa-ong sudah pulih tenaga dan
pernapasannya, segera ia menubruk maju berlutut dibawah
kaki Sip hiat ling pian Koan lt-kiat, dengan sesenggukan dan
menangis sedih ia memohon tersenggak: "Harap Suhu suka
memberi hukuman !"
Pandangan mata Sip hiat ling pian Koan It kiat ke tempat
yang jauh, suaranya tertekan agaknya hatinya tangat
mendelu, ujarnya:
"Bangunlah ! DuIu gurumu juga dikalahkan oleh perpaduan
jurus Toan bing dan Jan hun ini, memang kedua jurus lihay ini
merupakan intisari kesaktian dari ilmu Jan hun su sek itu, dua
jurus berkombinasi dalam pelaksanaan kerja sama menjadi
empat jalan tipu yang serasi sekali, sungguh tak duga... ai !"
Ia menghela napas panjang dengan sedih lalu pelan pelan
menyingkir.

Melihat orang tiada niat hendak mempersukar dan
menahan dirinya lagi, Giok liong harus cepat berpikir dan
bertindak!
"Saat yang baik ini kalau aku tidak lekas pergi tunggu
kapan lagi!" lekas-Iekes ia melangkah maju sambil menyimpan
potlot mas dan seruling samber nyawa, dengan angkat tangan
ia menjura dalam katanya: "Cian-pwe, sekarang juga Wanpwe
minta diri !"
Sejenak Koan It kiat mengawasi Giok-1i-ong lalu katanya
sambil mengulap tangan: "Pergilah!"
"Teriua kasih, Koan Lo-cian-pwe!" Giok liong mengiakan,
Berbareng dengan habis kata katanya kakinya lantas menjejak
tanah, dengan mengembangkan Leng-hun-toh dua kail
loncatan saja ra sudah keluar dari lapangan berumput itu.
"Tunggu sebentar !".
"Bukankah Cian-pwe . . ."
"Kalau bertemu dengan gurumu, beritahu kepadanya.
Katakan bahwa Koan It-kiat tidak membencinya dan tidak
menyalahkan dia. Tapi hatiku juga belum tunduk setulus hati.
Kalau ada kesempatan bertemu, seperti cara semula dulu,
bagaimana juga haras ditentukan lagi siapa lebih unggul siapa
asor."
"Wanpwe paham, pesan Cian-pwe ini tentu kusampaikan !"
"Baik, pergilah !"
"Permisi !" laksana terbang lekas-lekas Giok-liong
meninggalkan gubuk bambu pengasingan Koan It-kiat itu. Dari
jalan datang semula, ia menyelusuri hutan gelap belantara
tadi secepat terbang ia sudah sampai di ambang hutan.
Dan baru saja kakinya menginjak tanah di pinggir hutan,
tiba-tiba terdengar kesiur angin lambaian baju dibelakangnya,

disusul terdengar bentakan keras: "Bocah keparat tunggu
sebentar !"
Kiranya Siau-pa ong telah mengejar datang, baru lenyap
suaranya tahu-tahu ia sudah menghadang didepan Giok-liong.
sepasang matanya mendelik gusar berapi api seperti pancaran
bara api dalam tungku. Sikap garangnya ini sungguh jauh
berbeda dibanding waktu ia berlutut didepan kaki suhunya
Sip-hiat - ling pian Koan It - kiat tadi.
Tahu Giok-liong bahwa kedatangan orang ini pasti hendak
mencari gara-gara, maka dengan senyum dibuat buat ia
berkata: "Apakah maksud kedatangan saudara ?"
"Huh, apa kau hendak tinggal pergi saja." semprot Sia paong
dengan berang.
"Lantas kau hendak apa lagi ?"
"Berilah keadilan akan kekalahanku sejurus tadi !"
"Keadilan ! Ha ! Ha !"
"Apa yang kau tertawakan ?"
"Bertanding ilmu silat bukan mustahil kelepasan tangan.-
Apalagi gurumu Koant-lo cian-pwe sendiri sudah mengijinkan
aku pergi. Apakah saudara tidak hiraukan nama baik
perguruan kalian ?"
"Tutup mulut!" Sia -pa ong- membaling-balingkan bandulan
baja di tangannya, saking keras berputar sehingga sering
kebentur sampai mengeluarkan suara berdenting.
Melihat sikap garang orang, Giok liong menjadi geli dalam
heran, pikirannya: "Tadi karena kupandang muta gurumu,
kalau tidak apa sih kepandaianmu, tidak lebih kau hanya dapat
menahan sepuluh jurus seranganku saja, Kalau aku tidak
merasa kasihan dan menyerang dengan telak dalam
kesempatan yang ada tadi, mungkin jiwamu sudah melayang."

karena pikirannya ini air mukanya lantas mengunjuk senyum
mengejek dan hina.
Sudah tentu Siau-pa- ong maklum akan senyum ejeknya
ini. Hati yang sudah berang itu semakin berkobar seperti api
di-siram minyak, hardiknya berjingkrak: "Melulu kau andalkan
seruling samber nyawa, Kalau tidak masa kau bisa menangkan
tuan mudamu ini !"
Sudah tentu Giok-Liong merasa dongkol dipandang sepele,
namun sikapnya tetap tawar, ujarnya : "Apakah begitu saja
penilaian terhadap kepandaianku ?"
"Sudah urusan belakang, yang terang mari kita bertanding
dengan kepalan, apa kau berani ?"
Giok-liong menjadi aseran ditantang terang terangan,
sebisa mungkin ia menahan gejolak amarahnya, dengusnya
dingin: "Kurasa boleh juga, tapi. . ."
"Baik, lihat serangan !" sering dengan serunya, sikut
buntung Siau pa ong tiba tiba bergerak menyodok dengan
serangan pancingan sedangkan tangan kanan yang
menggenggam bandulan baja tiba tiba menjojoh dengan
ganasnya, jarak mereka begitu dekat, serangan ini
melancarkan secara tiba tiba lagi dengan sasaran yang telak.
Giok liong belum bersiap sehingga kerepotan menghindar
hampir saja ia kena di jotos dengan telak, sedikit pundaknya
bergerak ringan sekali ia melompat tujuh kaki jauhnya, disini
hampir saja dia menumbuk sebatang pchon, cepat cepat ia
miringkan tubuh dan menggeser kaki lagi sampai lima kaki,
Keadaan ini benar benar serba runyam sehingga ia mencakmencak
kerepotan.
Siauw-pa-ong menggembor keras, mendapat angin ia tidak
sia siakan kesempatan baik baik ini, tangan kiri buntungnya

menyelonong maju, ditengah jalan dirubah dari tutukan
menjadi kemplangan dari atas menyambar kebawah, saking
bernafsu ia menyerang tenaganya sangat besar sehingga
angin menderu.
Belum lagi Giok liong sempat berdiri tegak, Kesiur angin
kencang sudah melandai datang. "Sombong benar!" seiring
dengan bentakannya ini, bayangan putih lantas berkelebat,
pergelangan tangan dibalikkan terus mencengkeram kearah
tangan musuh.
Serentak kedua belah pihak menjerit bersama terus
terdorong mundur sungguh di luar perisangkaan Giok-Iiong
bahwa samberan tenaga tangan buntung siau pa-ong ini
sedemikian besar sebaliknya Sia-pa-ong sendiri juga takjup
melihat kegesitan Giok-liong yang melayani serangannya
dengan bagus sekali tanpa gugup.
Jurus-jurus kepalan aneh terus ditawarkan serangan
menyerang dengan gerak cepat dan sepenuh tenaga,
ditambah gerak tubuh mereka yang lincah dan tangkas,
terjadilah pertempuran tanpa senjata yang hebat diluar hutan
belantara itu.
Meskipun tangan kiri buntung, namun tangan Siau-pa-ong
itu tidak kehilangan kemampuannya, Malah dengan tangan
buntungnya ia selalu melancarkan serangan mematikan yang
sulit diraba sebelumnya.
Agaknya ia sangat tekun dalam pelajaran silat khusus
dengan ilmu tunggal yang menguntungkan dengan tangan
buntungnya itu.
Kalau mau sejak tadi Giok liong sudah mampu merobohkan
lawannya, apa boleh buat, karena tidak tega dan yang
terpenting karena memandang muka gurunya sehingga
pertempuran ini semakin berlarut.

Sepeminuman teh kemudian mereka sudah bergebrak
sebanyak ratusan jurus. Matahari sudah mulai doyong kebarat
sebentar lagi akan kembali ke peraduannya, sinar surya yang
mencorong kuning keemasan cemerlang menerangi jagat raya
ini.
Adalah di depan hutan belantara itu di-bawah sorotan sinar
ini matahari terlihatlah bayangan hitam dan putih tengah
berkutet dengan sengitnya. Pohon-pohon dan rumput sekitar
gelanggang menjadi roboh beterbangan tersapu oleh angin
pukulan yang menyambar keras.
Tak lama kemudian kabut malam sudah mendatang, cuaca
sudah mulai gelap, Giok-liong menjadi gelisah, bentaknya
keras : "Saudara, kalau kita berkutet begini saja, kapan
pertandingan ini bakal berakhir?"
Siau-pa-ong menyemprot dengan megap-megap: "Kecuali
kau merasakan dulu tonjokan sikutku atau setengah
kepalanku."
"Hihihihi!" Giok-liong mengejek, "kurasa tidak begitu
gampang !"
"Keparat, inilah buktinya rasakan !"
"Belum tentu!"
"Aduh !"
"Terpaksa kau harus mengalah lagi! wah . . , , hari !"
Sedetik itulah secepat kilat terjadi suatu hal yang tak
terduga sebelumnya. setitik sinar perak laksana luncuran anak
panah yang terlepas dari busurnya tahu-tahu menerjang
kearah Giok-liong. sebetulnya Giok-liomg sudah melangkah
maju hendak memapah bangun Siau pa-ong yang terjungkir
ditanah terpaksa ia menghentikan langkahnya terus
mencengkeram kearah titik perak itu.

Jeritan Giok liong itu adalah rasa kejut nya karena
terasakan olehnya luncuran sinar perak itu adalah sedemikian
kuat dan dahsyat nya, sehingga seluruh lengannya menjadi
linu kebal, baru saja ia hendak memeriksa . "Siut" setitik sinar
tierak lagi lagi meluncur datang pula, kali ini lebih cepat lebih
keras.
Giok-liong tak keburu berkelit terpaksa titik sinar perak
yang tergenggam ditangannya tadi disambitkan memapak
kearah titik sinar perak yang meluncur datang.
"Tring!" "api berpercik ditengah udara, dua titik sinar perak
kontan terpental balik kearah datangnya semula. Tahu-tahu
Giok-liong rasakan pundaknya kesakitan sekali. Seiring dengan
jerit kesakitan ia melayang kesamping setombak lebih.
Dalam pada itu Siau pa-ong yang dirobohkan Giok-liong
tadi tengah merangkak bangun juga menggembor dengan
keras:
"Oh, Tuhan !" badan lantas menggelundung jauh, darah
segera membasahi rumput disekitarnya "Ma Giok-liong cara
turun tanganmu memang harus dipuji sayang kau terlalu
ganas." lenyap suaranya tanu-tanu Sip-hiat-ling pian Koan It
kiat sudah diambang hutan sana dengan muka dingin
membeku matanya mengawasi siau pa - ong yang
menggeletak ditanah, air mukanya berubah berulang-ulang.
Tersipu-sipu Giok-liong melangkah maju serta menjura,
katanya : "Cian-pwe. , . kau. . ."
"Jangan banyak omong !" bentak Kaoa-it-kiat memutus
kata-kata Giok-Iiong, matanya dipicingkan, ujarnya: "Bocah ini
berani meninggalkan gubukku tanpa ijin mengejar kau untuk
menuntut balas, jangan kata baru cacat sebuah matanya,
andaikata keduanya buta juga cukup setimpal Hukuman ini
sesuai dengan perbuatannya, aku tidak salahkah kau !"

Giok-liong menjadi lega, ibanya sambil tertawa getir :
"sebaliknya Wanpwe juga kena dibandul oleh senjata bajanya
itu, tak duga tanpa-sengaja . , ."
"Aku tidak peduli kau sengaja atau tidak, siapa suruh dia
mengejar kau kemari!"
"Kalau begitu baiklah Wanpwe minta diri saja !"
"Nanti sebentar!"
"Cian-pwe masih ada petunjuk apa lagi?"
"Bagaimana juga diambang pintu gubuk pengasinganku,
dalam hutan terlarang daerahku ini, muridku telah dilukai
orang luar, kalau berita ini sampai tersiar dikalangan
Kangouw, selama hidup ini aku pasti malu bertemu dengan
orang, lalu bagaimana baiknya ?"
"Cian-pwe. . ."
"Apalagi kalau kau tinggal pergi begitu saja, kemana pula
tampangku ini harus ku letakkan ?"
"Apa yang Cian-pwe hendak lakukan ?"
"Tinggalkan sesuatu apa milikmu disini, baru mukaku ini
dapat menjadi terang, supaya aku orang tua she Koan tidak
ditertawakan para sahabat Kangouw sebagai orang tua pikun
tak tahu malu, murid sendiri di hajar orang luar didepan pintu
sendiri. Begitulah penyelesaiannya !"
Maksud Ciaa-pwe aku harus meninggalkan sesuatu . . . "
sambil berkata Giok-liong meraba-raba badannya "terutama
seruling samber nyawa yang digembol dalam buntalannya.
Karena ia kuatir situa bangka ini bermaksud jahat dan muncul
sifat serakahnya.
Diluar dugaannya. Pecut sakti penghisap darah Koan It kiat
acuh tak acuh berkata: "Kaki tangan atau salah satu panca

indramu terserah kau senang tinggalkan yang mana. Aku
orang tua mana bisa memaksa kau!"
"Kaki tangan atau Panca indera?"
"Yah!"
"Kiranya Cian.pwe suka main kelakar ! Hehehe!"
Main kelakar ?" tiba tiba raut muka Pecut sakti penghisap
darah Koan It-kiat merengut seram, bisiknya sambil
membujuk Siauw-pa ong: "Paling tidak harus barang yang
lebih berharga dari sebuah matanya itu. Kalau tidak jangan
harap kau bisa tinggalkan tempat ini."
"Hahahahaha." saking gusar Giok-liong malah berlagak
tertawa.
"Apa yang kau tertawakan ?"
"Putusan hukuman Cian-pwee ini rasanya rada berat
sedikit, seharusnya Wanpwe harus malah menerima, sayang
aku ada maksud tapi tiada tenaga untuk melaksanakan
terpaksa aku menolak putusan ini. Baiknya kita bertemu lain
kesempatan saja, selamat bertemu." lutut sedikit ditekuk
kakinya terus menjejak tanah, selarik bayangan putih lantas
melambung tinggi keangkasa.
"Kau hendak merat!" "Wut" angin kencang menerpi datang,
tahu-tahu bayangan hitam menyilaukan mata. Ujung pecut
penghisap darah membawa desiran angin kencang berbunyi
nyaring ditengah udara, bayangan pecut berkelebat didepan
matanya laksana ular sakti.
Terpaksa Giok liong terus mengeluarkan Potlot mas dan
seruling sumber nyawa lagi.
"Buyung sebelum melihat peti mati agaknya kau belum
mau mengerti ? Apa kau tidak mengetahui peraturan disini?"
"Peraturan apa?".

"Lohu minta kau meninggal kati tanda mata, kau harus
segera melaksanakan Entah itu sejalur rambutmu paling tidak
juga harus ditinggalkan sekarang setelah Lohu turun tangan
sendiri kau takkan bebas memilih cara sendiri, Apa yang harus
kau tinggalkan jadi akulah yang menentukan!"
"Kalau kau sendiri juga tak mampu menahan sesuatu dari
aku?"
""Bocah sombong, kau lebih takabur dari Pang Giok!
Lihatlah aku akan meninggalkan sepasang kaki anjingmu itu!"
Pecut sakti penghisap darah lantas bergerak dengan jurus
Heng-san jiang-kuh (menyapu bersih berlaksa tentara)
mengarah sasaran yang tetap terus menyapu kebawah,
Memang Lwekang tingkatan gembong silat yang tua bukan
olah olah hebdanya.
Baru saja pecut sakti itu bergerak lantas membawa kesiur
angin keras yang menyesakkan napas jauh lebih hebat dan
ganas waktu digunakan oleh Siau pang-ong tadi, berapa lipat
ganda lebih dahsyat.
Menghadapi musuh berat sedikitpun Giok liong tidak berani
ayal, jurus jurus Potlot masnya dikembangkan seruling
saktinya juga mulai bergaya.
Hawa Ji-lo sudah terkerahkan melindungi seluruh jalan
besar ditubuhnya, terutama sendi sendi tulang dan urat-urat
nadi besar dikunci rapat, supaya tidak berbahaya kalau kena
disamber pecut sakti penghlsap darah itu.
Waktu itu Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat sudah merubah
sikapnya semula yang acuh tak acuh dan pendiam tadi, Adalah
pecut sepanjang jalan sembilan kaki ditangannya itu ditarik
sebegitu rupa menjadi beribu berlaksa carik sinar hitam yang
bergulung-gulung bergerak melecut-legut bagaikan ratusan
ekor ular berbisa yang hendak mematuk dirinya.

Sekitar lima tombak dalam gelanggang pertempuran yang
kelihatan hanyalah gulungan pecut yang membawa putaran
tenaga yang hebat dingin merangsang ketulang.
Giok-Iiong insyaf mati hidupnya hanya terpaut dalam
kilasan gerak senjata musuh saja, Inilah musuh paling
tangguh dan lihay selama ia berkelana di Kangouw, apalagi
pecut itu juga merupakan senjata terampuh dan beracun lagi.
Dengan adanya kedua penilaian tertinggi ini yang
tergabung menjadi satu, betapa juga Giok-liong harus
menambah kewaspadaan ! Maka begitu turun tangan Jan-hunsu-
sek lantas dilancarkan.
Potlot masnya diputar sedemikian kencang sehingga
merupakan lingkaran sinar kuning yang tak mungkin dapat
ditembus oleh hujan, kalau Potlot mas guna melindungi diri
adalah seruling sambar nyawa mulai mengalun iramanya yang
merdu beruntun suaranya melengking tinggi menggetarkan
hati menyedot sukma.
Pertempuran antar dua tokoh kosen kali ini lebih dahsyat
seru dan tegang, Tanpa terasa setengah jam sudah berlalu,
saking cepat mereka bergerak tahu-tahu sudan mencapai tiga
ratusan jurus.
Sekonyong-konyong "Tar!" "pecut sakti penghisap darah
Koan it-kiat menambah tenaganya, dimana pecutnya diayun
dia mendesak Giok-liong mundur selangkah, Giok-liong
menjadi bingung dan tak tahu apa maksud tindakan lawan ini,
disangkanya orang ada omongan yang hendak dikatakan
maka sebat sekali ia melejit mundur dan bersiap dengan
waspada.
(Bersambung Jilid ke 18)
Jilid 18

Dilihatnya air muka Koan It-kiat berubah hebat, mukanya
yang semula rada putih kehitaman itu menjadi warna kuning,
lalu semu merah hijau dan abu-abu.
Pecut panjang lemas ditangannya itu kini melempang
menjurus kedepan dengan kaku seperti tombak panjang
sembilan kaki, ini belum aneh, yang lebih ajaib lagi warna
pecut, yang tadi hitam legam kini sudah berubah menjadi
merah gelap memancarkan kilauan dingin.
Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat pelan pelan
menggeser kakinya, pecut penghisap darah ditangannya
tergetar gemetar sepasang matanya merah membara
mendelik tanpa berkedip menatap kearah Giok-liong.
Sikap seringainya ini sungguh garang bengis dan buas
sekali seperti sudah kesetanan, bukan saja tampangnya ini
sangat menakutkan terutama senjata pecut penghisap darah
yang sangat jahat berbiji itulah yang harus. . .
Baru pertama ini Giok liong melihat keadaan orang yang
seram ini, hatinya menjadi bercekat namun ia masih tabah
dan tidak takut. Dengan gayanya tersendiri ia siap berjagajaga,
serunya lantang: "Cian-pwe bukan wanpwe takut, tapi
urusan kali ini harus dibicarakan jelas lebih dulu!"
Sepatah demi sepatah Koan It-kiat ber-kata: "Apalagi yang
perlu dibicarakan."
"Bandulan yang melukai muridmu itu adalah kesalahan
tangannya sendiri!"
"Ma Giok liong, kau. . ."Pecut sakti penghisap darah Koan It
kiat membentak beringas, dengan langkah lebar ia menerjang
maju terus menusuk.
"Stop!" tiba-tiba sebuah bayangan abu-abu meluncur turun
laksana seekor elang hinggap dihadapan mereka, Dilain kejap

tahu-tahu dldepan mereka sudah bertambah seorang nenek
tua yang berpakaian abu abu.
Nenek itu sudah ubanan, raut mukanya sudah banyak
keriputnya, tapi kelihatan segar bersemangat. Bukan saja
pancaran sinar matanya terang malah berkilat tajam dan
bening, Seluruh tubuhnya dilibat pakaian dari sari panjang
warna abu-abu.
Begitu mendarat ditanah tanpa menghiraukan Koan It-kiat,
sebaliknya ia menghadapi Giok-liong, tanyanya : "Kau yang
bernama Ma Giok- liong !"
Giok-liong tidak tahu asal usul nenek tua ini, dengan
bingung ia manggut-manggut mulutnya mengiakan.
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun ?"
Sekali lagi Giok liong mengiakan "Tidak salah ?"
"Bocah Bedebah kau !"
Nenek baju abu-abu itu mendadak mengayun tangan
laksana angin cepatnya sudah terulur mencengkeram datang,
berbareng sebuah kakinya juga menendang, mencengkeram
dan tendangan ini dilakukan dalam waktu yang bersamaan
dilancarkan secepat kilat lagi, perbawa serangan ini sungguh
mengagumkan dan mengejutkan.
Dalam keadaan yang gawat ini, untung Giok liong masih
sempat bergerak dengan jurus Wi cui-ban-bik (membendung
air menahan gelornbang), mengiu kesiur angin keras yang
menerpa datang dari angin pukulan musuh ia berputar putar
secepat kitiran, enteng laksana naik awan, indah sekali ia
hindarkan diri dari rangsakan musuh.
Walaupun selamat tapi gerak geriknya runyam, keruan
hatinya menjadi geram teriaknya : "Gila kau !"
Siapa tahu nenek tua itu mendengus di hidung, katanya
sambil mengertak gigi penuh kebencian: "Karena kau, aku

betul betul bisa dibikin gila !" belum selesai kata-katanya ia
sudah menubruk tiba lagi, telapak tangan dan telunjuk jari
kanan sekaligus merangkak tiba dengan tepukan dan tutukan,
kombinasi serangan ini dinamakan Boan-thian kay te
(memenuhi langit menutup bumi) dan Tok jing to-sim (ular
berbisa menjulurkan lidah), inilah serangan mematikan yang
ganas dan telengas !
Giok liong harus kembangkan kelincahannya, sebat ia
sudah melolos keluar senjata Potlot masnya.
"Bocah keparat, kau mengandal senjatamu itu !"
"Siiuuuut !" nenek tua juga menggunakan senjata lemas,
yaitu selendang sutra sepanjang tujuh delapan kaki, ditarikan
menjadi seperti ular hidup yang memancarkan sinar dingin
terus menggulung tiba hendak menggubat Potlot mas Giokliong.
Sementara itu Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat
masih menyekal Sip-hiat-wajahnya kaku dingin berdiri
menjublek mengawasi pertempuran yang sengit ini.
Di lain pihak Siau pa ong sendiri sekarang tengah duduk
bersila dibawah pohon mengerahkan Lwekang berusaha
mengobati luka-luka dalamnya.
Sinar perak berkutet dan tak jauh menggubat cahaya
kuning kuning. Kalau si nenek lancarkan jurus-jurus ganas
yang mematikan, yang diarah adalah tempat-tempat penting
yang melumpuhkan, Sebaliknya Potlot mas bergerak lincah
balas menyerang setiap kali ada kesempatan sedang seruling
berputar rapat melindungi badan, sekaligus Giok liong
mainkan dua ilmu berlainan yang dikombinasikan bersama,
sungguh hebat dan menakjupkan.
Bulat sabit sudah merambat setinggi pohon. Dibawah sinar
sang bulan yang redup, cahaya kuning dari pancaran Potlot
mas itu berubah laksana titik bintang dingin berlaksa

banyaknya, sedang sorot cahaya perak seperti seutas rantai
panjang membendung dan melingkar dengan cepat sekali,
irama seruling mengalun rendah berdentam seperti bunyi
genta.
Tatkala itulah tidak jauh dari gelanggang pertempuran ini,
didalam semak belukar terlihat banyak bayangan orang
bergerak-gerak, menyelinap dan menggeremet maju
merubung ke arah arena pertempuran.
Semua mengendap-ngendap meringankan langkah dan
menahan napas, sehingga sedikitpun tidak mengeluarkan
suara.
"Bret!" tiba tiba terdengar suara sobekan kain yang keras,
Disusul si nenek berseru tertahan, kiranya selendang perak
senjata si nenek sini sudah robek menjadi dua tepat terbelah
di tengah-tengah laksana digunting saja.
Senjata yang paling diandalkan kena dirusak oleh Potlot
mas musuh, keruan bukan kepalang gusar si nenek.
Karena keteianjuran sudah terbelah menjadi dua malah
kebetulan bagi si nenek, masing-masing tangan menyekal
selarik selendang terus menyerbu lagi semakin nekad seperti
harimau kelaparan. Cara permainan silat serta serbuan yang
membabi buta ini terang kalau ia sudah berlaku nekad untuk
gugur bersama.
Melihat orang terus menyerbu dengan serangan membadai
tanpa hiraukan lagi keselematan diri sendiri, seketika timbul
rasa curiga Giok liong. pikirnya: "Apakah nenek tua ini adalah
ibu Siau-pa ong! Kalau tidak..." karena perasangkanya ini,
mendadak ia ayun seruling samber nyawa keras keras
sehingga bersuit nyaring bersama itu Potlot masnya bergerak
melintang menahan kedepan, jurus ini merupakan intisari dari
kekuatan ilmu Jan-hun-su-sek, hanya cara serangannya ia

rubah sedikit, yaitu potlot mas yang seharusnya ia tusukkan
kedepan ia rubah melintang terus mendesak maju.
Dibawah tekanan ilmu tunggal yang tiada taranya di dunia
persilatan ini, betapapun si nenek sudah nekad juga tak kuasa
lagi menerjang masuk kedalam penjagaan jurus yang ampuh
ini, malah dengan mendengus keras ia tersurut mundur tiga
langkah.
Setelah sejurus mendesak mundur lawan, Giok-liong baru
berkesempatan buka bicara: "Tiada juntrungannya kita
bertempur, kenapa kau tidak tahu aturan !"
Si nenek semakin beringas, semprotnya gusar: "Tiada
juntrungannya ! Penasaran anakku, kejengkelan menantuku
dan cucu perempuanku harus mengandal siapa coba katakan !
Katakan ? Kau mau bicara tidak?"
Di mulutt ia mendesak orang untuk bicara, sebaliknya
tangannya tidak menanti orang buka mulut, serentak ia
tarikan lagi selendang di kedua tangannya, terus menubruk
maju lagi untuk kedua kalinya, giginya berkerut penuh
dendam seperti kesurupan setan.
Kelihatannya ia sudah kehilangan kesadarannya.
Giok-liong berpikir lagi, kiranya tepat dugaanku, ternyata
Siau-pa-ong masih mempunyai keluarga.
Sinar perak berkembang rapat memenuhi udara melingkar
lingkar berwujud berpuluh bundaran besar kecil yang indah,
membawa kirasan angin yang kencang menderu laksana
derap langkah berlaksa kuda yaag tengah berlari kencang
terus menerjang datang.
Mega putih mulai berkembang, Dibawah lindungan hawa Ji
lo, Giok-liong berkelebat melejit kesamping dimana Siau-paong
tengah semadi, Menunjuk kearah Siau pa-ong ia berteriak

kepada sinenek : "Orang tua, lihatlah putramu ini terluka berat
. . ." "
Tak di duga si nenek malah semakin murka sambil
membanting kaki ia menerjang lagi dengan serangan yang
lebih hebat, bentaknya: "Bangsat kecil, kau masih pintar main
lidah!" dua larik lingkaran sinar perak serentak menggulung
dari kanan kiri, sebelah kiri melingkar hendak menggubat
sedang se-lendang kanan menyebut menyapu muka.
Sekarang Giok-liong menghadapi dua serangan dari dua
jurusan yang berlawanan, untung ia sudah kerahkan hawa Jilo
pelindung badan, kalau tidak pundaknya tulang tuIangnya
pasti patah atau remuk kena digubat.
Walau demikian tak urung ia rasakan pundak kirinya
menjadi kesemutan, seruling samber nyawa lantas terasa
semakin berat bobotnya.
Karena kena kebutan senjata lawan inilah lantas
menimbulkan kemarahan Giok-liong
"Nenek tua, kau terlalu mendesak orang!" pancaran cahaya
Potlot masnya semakin terang cemerlang, demikian juga irama
seruling semakin merdu dan keras lantang perbawanya
semakin hebat.
Kini yang terlihat hanyalah sebuah bayangan putih
terbungkus di dalam putaran cahaya kuning mas dan kilauan
cahaya putih tengah berputar dan bergerak lincah seperti
angin lesus.
Saking cepat ia bergerak sulit membedakan apakah itu
jurus serangan potlot mas atau tusukan Seruling sambar
nyawa, kiri kanan, depan belakang, timur, selatan, barat dan
utara seluruhnya terbungkus dalam sinar kuning dan cahaya
putih perak.

Saking marahnya Giok-liong tidak hiraukan lagi segala
akibatnya karena tanpa khawatir lagi perbawa serangannya ini
bertambah berlipat ganda.
Beruntun terdengarlah suara berlainan saling susul lalu
terdengar pula jerit gusar yang penasaran, tahu-tahu
selendang perak panjang itu kini terbang melayang ditengah
udara terlepas dari cekalan tangan si nenek.
Saking keras kisaran angin yang diierbitkan oleh putaran
Potlot mas, sehingga selendang perak iiu tergulung melayang
tinggi ketengah udara lama sekali terus berkembang baru
melayang jatuh ditanah.
Si nenek berpakaian abu abu itu kelihatan terhuyunghuyung
mundur tak kuasa berdiri tegak. Kedua lengannya
lemas semampai, terang ia sudah menderita luka yang sangat
parah.
Wajahnya kelihatan pucat pasi, desisnya penuh kebencian:
"Bocali keparat, ingat kejadian hari ini!" laksana daun
melayang jatuh dengan sempoyongan ia melejit tinggi,
maksudnya hendak tinggal pergi saja.
Tak duga sesaat waktu badannya masih terapung di tengah
udara. Mendadak dari semak belukar sana berbareng melesat
keluar puluhan bayangan hitam, puluhan jalur angin pukulan
dilancarkan ditengah udara dari kejauhan, semua serangan
tertuju kearah yang sudah terluka parah itu.
Terdengarlah lolong panjang yang mengerikan dari jiwa
yang meregang sebelum ajal.
Seketika Giok liong sampai kesima kaget ditempatnya.
Hujan darah terjadi ditengah udara, darah tercecer keempat
penjuru.

"Bluk!" jazat si nenek tua terbanting keras dari tengah
udara. Ternyata para bayangan hitam itu masih tidak memberi
ampun lagi, serentak mereka lancarkan pula pukulan angin
jarak jauh meluruk kearah badan yang sudah menggeletak tak
bergerak itu, Kareaa jiwa sudah melayang sebelum jatuh
ditanah ra-di, seketika badan si nenek htncur lebur seperti
bergedel susah dikenali lagi.
Dalam pada itu, Siau-pa oug sudah selesai dengan usaha
pengobatan dirinya, meskipun belum sembuh seluruhnya tapi
ia sudah membuka mata, melihat adegan yang seram itu
seketika ia duduk terlongong-longong.
Giok-liong menjadi serba kikuk juga sangat menyesal baru
saja ia bermaksud maju memberi penjalasan kepada pecut
sakit penghipap darah Koan It-kiat dan muridnya, Mendadak
Koan It-kiat bergelak tawa lantang: "Hahahahaha! Hahahaha!
Hehehehe!"
"Cian-pwe urusan ini....."
"Ma Giok-Iiong, kejadian kali ini tidak menguntungkan
bagimu?"
"Maksud Cian-pwe ?"
"Ketahuilah Hwi-hun-san-cheng tidak akan terima dihina
semena-mena!"
"Apa Hwi-hun-san cheng?"
"Apa kau tidak kenal si nenek tua itu?"
"Bukankah ia ibu muridmu?" "
"Huh! Koan It-kiat berludah sambil menyeringai acuh tak
acuh, ia mendesis dingin: "Buyung, ketahuilah nenek tua ini
adalah ibu Hwi hun-chiu Coh Jian kun majikan dari Hwi-hunsan-
cheng itu. Ketenaran nama Coh Jian-kun sebagai Bulim
Bing-cu selama lima puluh tahun masih tetap jaya! Bencana
sudah terang harus kau pikul!"

Kata-kata ini laksana sebuah pentung yang mengemplang
diatas kepalanya laksana guntur menggelegar disiang hari
bolong.
Otak Giot-liong serasa seperti dipukul godam menjadi
pusing dan berat, sesaat ia berdiri menjublek seperti
kehilangan kesadaran tanpa bersuara. Tubuhnya kaku seperti
patung kayu berdiri tegak ditempatnya.
Pecut sakti penghisap darah Kaon lt kiat sendiri juga tidak
tahu akan seluk beluk persoalan yang scbs:ulnya, taPi melihat
orang melongo lantas ia mengejek: "Kau takut ? Sudah
menyesal"
Giok liong masih tetap tak bergerak dan bicara, sebab dia
tengah berpikir. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana
mungkin dia adalah nenek diri istri tercinta ? Kalau ini betul
betul kenyataan . . . . Bagaimana aku harus memberi
penjelasan kepada Coh Ki sia ? Peristiwa yang terdahulu ia
sudah berbuat salah dan dosa kepada kedua orang tua yaitu
Coh Con Jian-Min dan Tam kiong sian cu Hoan Ji-hoa,
sekarang . .
Tuhan agaknya memang sengaja hendak mempermainkan
umatnya ? Ataukah memang hidupku ini yang harus
menderita? Giok-liong semakin tenggeIam dalam alam
pikirannya.
Terdengar Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat kembali
tawa ejek : "Bagus! selama hidup waktu muda dulu Pang Giok
dengan Potlot mas tunggalnya malang melintang namanya
tenar sehingga diberi julukan Bulim-sucun. Kau sendiri Giok
liong belum lama berkelana di Kangouw ini ternyata sudah
mempunyai musuh sedemikian banyak tidak suka. ! Yang
harus dibayangkan adalah ketenaran dan keharuman nama
Pang Giok dan keempat bayangan senjata rahasia Potlot mas
kecilnya itu.

sepatah laksana golok sekata seperti anak panah golok dan
anak ini menusuk ke sanubari Giok liong rasanya terhunjam
sangat dalam terasa merddu.
Tiba tiba sorot matanya berkilat terang, bahwa nafsu
membunuh menjalar dimukanya, bentaknya dergan bengis :
Koan It-kiat, Apa yang kau maksudkan"?"
"Coba kau pikir sendiri, ditempat ini dalam waktu sekarang
ini siapa yang harus kusebutkan ?"
"Omong kosong belaka ?"
Serempak bayangan hitam bergerak-gerak, puluhan
manusia aneh-aneh seragam hitam bergerak maju merubung
datang berkumpul menghadang Giok liong, berbareng mereka
menjura kepada Giok-Iiong seraya berseru bersama: "Tak
perlu Siau hiap turun tangan kami tunggu sekejap petunjukmu
saja!"
"Kenyataan lebih menang dari berdebat, demikian teriak
Pccut sakti penghisap darah Koan It-kiat. "Apa lagi yang dapat
kau katakan ?"
Giok liong menjadi melenggong tak tahu apa yang harus
diperbuatnya, dengan terlongong dan tak habis herannya ia
mengawasi orang orang aneh seragam hitam itu.
Kata koan It kiat pula: "Kalau kalian hendak mengeroyok !
Marilah turun tangan" pecut masih berada ditangan Koan lt
kiat, "Kalau tidak malas aku melihat tampangmu sebagai
murid Pang Giok yang memalukan perguruan, sudahlah aku
hendak kembali tidur!" tanpa menanti penyahutan Giok-long,
sambil tertawa dingin ia menggape kepada Siau Pang ong,
ujarnya: "Hayo pulang!"
Sekali berkelebat ia menyelinap hilang didalam hutan.

Menghilangnya bayangan Koan It kiat guru dan murid hati
Giok liong semakin merasa kesepian dan hampa. Hati seperti
kosong tak punya juntrungannya lagi.
Dalam pada itu para orang aneh seragam hitam itu masih
berdiri tegak disekelilingnya mereka mematung diam tanpa
bersuara. Akhirnya menimbulkan kemarahan Giok liong yang
tak tertahan lagi hardiknya: "Ka-lian dari mana?"
"Hamba sekalian dari Kau-tong ( sekte anjing ) dihutan
kematian. . ."
"Baik, lihat pukulanku !" "
Boleh dikata kebencian Giok-liong sudah memuncak tak
terkendali lagi, dimana setelah tangannya melancarkan
pukulan baru mulutnya bersuara.
"Hayo." "Aduh !" - "Tobat !" pekik dan teriakan jiwa yang
rnerenggang sebelum ajal gegap gempita saling susul
menggetarkan pinggir hutan belantara.
Dalam keadaan yang tidak berani balas menyerang atau
menjaga diri para orang aneh seragam hitam segera lari
berpencar pontang penting sambil mengeluh berksokan.
Seluruh kemurkaan dan kedongkolan hati Giok liong
seluruhnya dilampiaskan di kedua kepalan tangannya, kakinya
tidak berhenti bekerja mengejar kemana kakinya melangkah
melihat lalu pukul satu kecandak dua bunuh memang sungguh
kasihan orang orang aneh siapani hitam tidak tahu menahu
soal apa yang menimbulkan kemarahan orang belum tahu
duduk perkara, jiwanya sudah melarang sia sia dengan
penasaran.
Hakekatnya Giok liong sendiri sebetulnya juga terlalu
mengumbar nafsu dan ceroboh ? Tapi memang pukulan batin
yang menimpa sanubarinya terlalu berat saking terburu nafsu

ia kehilangan kontrol kesadarannya, rasa kebencian yang
meluap menghantui nuraninya.
Benci, ia benci berbagai rasa kebencian Tak peduli apakah
orang-orang aneh seragam hitam inilah adalah orang orang
yang harus dibencinya, tanpa tanya lagi apakah mereka
setimpal untuk dibencinya. sekarang bahwa otak pikirannya
sudah dirangsang oleh nafsu jahat yang ingin membunuh
orang, bunuh seluruh manusia yang diketemukan. baru
rasanya dapat melenyapkan rasa benci yang mengeram dalam
badannya.
Terutama karena perubahan hati nuraninya terasa olehnya
semakin banyak ia membunuh, baru terhapus rasa bencinya.
Oleh karena itu, semakin besar dan berkobar nafsunya untuk
membunuh, dengan kencang ia mengejar kemana saja
dilihatnya bayangan orang orang seragam hitam melarikan
diri.
Entah dengan tutukan, pukulan atau cengkeraman jarak
jauh dengan angin pukulan dahsyat.
Giok liong sudah lancarkan seluruh cara-cara ganas untuk
melaksanakan kekejaman terasa semakin telengas hatinya
rada terhibur kalau tidak kejam tak dapat melampiaskan
kedongkolan hatinya.
Sekali tangan kiri bergerak lantas terdengar raungan yang
menyayatkan hati dimana tangan kanan mencengkeram darah
lantas muncrat kemana-mana, Alas belantara menjelang
diliputi kegelapan yang terdengar hanyalah gemboran Giok
liong yang melampiaskan kegusaran hatinya seperti jerit dan
pekik menyayatkan hati yang mendirikan bulu roma.
Dimana hembusan angin malam silir membawa bau anyir
darah yang memualkan sinar bulan sabit yanp redup
menyinari mayat-mayat yang bergelimpangan di semak
belukar, Kira-kira cukup satu jam lamanya, Giok-liong

menggeledah seluruh empat penjuru tak kelihatan lagi ada
bayangan manusia baru ia sempat untuk istirahat.
Baru kemarahan juga mulai mereda dan tumpas seluruhnya
dibawah cahaya sinar bulan yang remang-remang
dipandangnya sepasang tangannya yang penuh berlepotan
darah, tak terasa lagi dan tak tersadar olehnya ia bergelak
tawa tanpa juntrungan.
Apakah gelak tawanya ini penanda kepuasan hati? Bukan !
pertanda kemenangan? Bukan ! Pendek kata dia sendiri juga
tidak tahu gerangan apakah yang membuatnya tertawa? Yang
terang sesudah ia bergelak tertawa terasa ringan tekanan
batin dan lahiriah yang menyepak dadanya ini memang
kenyataan.
Segera ia menuju ke pinggir sungai yang tidak jauh
letaknya untuk mencuci kedua tangannya, Waktu kedua
tangannya masuk ke daian air dingin, tanpa merasa gemetar
kedinginan. Pikirnya: "Kenapakah aku ini?
Kubunuh sedemikian banyak orang ada manfaat bagiku?
Apakah setelah membunuh sekian banyak orang, rasa benciku
sudah himpas seluruhnya? Terhitung sudah menuntut balas
bagi ayah bunda? ataukah menumpas dan mengurangi
tekanan bibit bencana yang bakal bersemi di Bulim? Apakah
penebus budi untuk perguruan yang telah mendidik dan
mengajar dirinya?
Bukan, semua tidak! Tak berani ia memandang bayangan
diri sendiri dipermukaan air sekali loncat terus berjalan pergi
tanpa tujuan, dengan kencang ia berlari kearah atas belukar
yang tak berujung pingkal itu..
Gunung gemunung berlapis sambung menyambung tiada
ujung pangkalnya. Kabut menyelimuti seluruh alam
pegunungan,dilereng di puncak di lembah atau di ngarai,
saking tebal kabut menjelang malam ini, sehingga

pemandangan menjadi gelap tak dapat dibedakan lagi dimana
pohon berada.
Namun setitik bayangan putih secepat anak panah
meluncur membelah kabut yang tebal berlari kencang
menembus kegelapan, meloncati jurang dan melintasi ngarai.
Angin dingin menghembus kencang dipinggir telinganya.
Cuaca semakin gelap mungkin sudah menjelang tengah
malam, bulan sabit yang memancarkan sinarnya yang redup
kadang-kadang muncul di lain saat sembunyi di balik awan,
tak terasa ia sudah naik ketengah cakrawala, Bayangan putih
ia agaknya juga sudah kecapekan.
Akhirnya ia meluncur memasuki sebuah lembah sempit
yang membelakangi lamping gunung dekat aliran sungai.
Bayangan putih itu bukan lain adalah Ma Giok-liong yang
tengah dirundung kesedihan dan kedongkolan yang belum
terjawab.
Pertempuran yang menghabiskan tenaga serta perjalanan
jauh dengan berlari kencang ini akhirnya melelahkan
badannya. Didepannya melintang sebuah aliran sungai kecil
yang mengalir lembut, menyelusuri sungai ini ia terus
menanjak naik melewati batu-batu aneh dan rumput
menghijau yang lebat laksana permadani hijau.
Tiba-tiba Giok-liong berseru tertahan, ternyata pinggir
sungai sebelah sana di atas sebuah batu besar didirikan
sebuah bangsal dari rumput yang cukup untuk tidur satu
orang.
"Ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia ini, siapakah
yang menetap disini?"
Di dalam bangsal kelihatan ditaburi rumput-rumput kering
yang lembut, disebelah ujung kiri terletak sebuah mangkok

yang terbuat dari tanah liat, didalam mangkok inilah terbaur
keluar bau harum arak yang merangsang hidung di sebelah
mangkok ini terletak sebuah ayam panggang yang di bungkus
dengan daun teratai, sungguh sedap dan merangsang baunya.
Bahwasanya memang Giok-liong sudah sekian lama belum
makan, perutnya memang sedang keroncongan, Melihat arak
dan daging ayam yang harum, tanpa merasa ia menjilat lidah
karena mengalirkan ilernya.
Sudah jamak bagi sifat manusia dalam keadaan kepepet
apalagi tengah kelaparan lantas terlupakan akan sifat jantan
keperwiraannya sebagai laki laki sejati, ini berarti saking lapar
lantas timbul niat jahat untuk mencuri.
Maka tanpa banyak pikir lagi Giok liong lantas geragoti
ayam panggang itu, diiringi dengan menenggak arak dalam
mangkok besar itu, sungguh nikmat dan menyegarkan lebih
senang dan gembira dari pada menjadi raja.
Sebuah ayam panggang dan semangkok arak boleh dikata
jumlah yang rada lumayan, tapi bagi Giok-liong yang tengah
kelaparan sekali lalap saja sebentar saja semua sudah dikuras
ludes sama sekali, malah mulut masih berkecap-kecap
kekurangan.
Seekor ayam boleh dikata masih kurang, sebaliknya arak itu
terlalu banyak keliwat takaran. Sebab selamanya Giok-liong
belum pernah minum arak, sekarang secara perlunya saja ia
tonggak habis habisan, keruan kepala menjadi pusing, mata
juga berkunang, badan menjadi mual, rasa kantuk lantas
merangsang tak terkendali lagi, akhirnya ia roboh celentang
diatas runput kering dalam bangsal terus tidur kepulasan..
Entah sudah berselang berapa lama ia kepulasan dalam
impiannya. Dari luar bangsal sinar matahari sudah
menyilaukan mata, ternyata sang surya sudah naik tinggi.

Sambll mengucek-ngucek mata Giok-liong bangun
terduduk.
"Celaka !" mendadak ia meloncat berdiri, sungguh kejutnya
bulan kepalang. Empat batang Potlot mas besar kecil seruling
sambar nyawa yang tersimpan dalam buntalan bajunya, serta
batu giok pemberian ibunda yang tergantung di lehernya itu
kini sudah hilang dan terbang tanpa sayap.
Benda-benda itu merupakan barang penting yang
berhubungan erat satu sama lain dan tak boleh hilang. Arak
dan ayam panggang itu ! "Apakah ini tipu muslihat penjahat,
dari mana mereka bisa tahu sebelumnya kalau aku bakal
datang kemari ?"
Sambil merangkak rangkak Giok-liong membongkar seluruh
pelosok bangsah rumput yang menaburi dalam bayaJ semua
dilempar keluar, Tapi mana ada bayangan barang-barang
pusakanya, hal ini sangat menggelisahkan hatinya.
Saking kejengkelan dan gugup ia meloncat keluar, sekali
angkat kaki ""Brak" bangsal rumput itu ditendangnya roboh.
"Kemana aku harus mencari ?" dengan lesu ia menuju ke
pinggir sungai lalu jongkok dengan kedua tangan ia
menggayuh air ubtuk membasuh mukanya.
Lalu dengan langkah malas malasan ia berjalan balik
melalui jalan yang ditempuhnya datang tadi.
"Hei, kau tidak mau barangmu lagi ?" tiba tiba terdengar
seorang berkata.
"O siapa ?"" Giok-liong terkejut garang.
Bagaimana juga tidak terpikirkan olehnya di tempat
semacam ini masih ada orang kedua ? Tapi waktu ia
celingukan ke sekitarnya, batu runcing saling tonjol laksana
hutan, dimana-mana penuh semak belukar, tak kelihatan ada
bayangan manusia.

"Siapa yang bicara . . ."
"Adalah aku! Aku disini !" "
Dari tempat datangnya suara semula terdengar pula
penyahutan datar, jaraknya terpaut berapa tombak dari
tempat Giok liong berdiri.
Menurut arah datangnya suara ternyata di tempat batu
batu runcing laksana hutan itu. Kini terlihat jelas dibawah
sebuah batu besar yang lekuk tengahnya seperti jambul ayam
duduk diatas rumput halus seorang tua renta berambut uban.
Orang tua ini berwajah biasa dan bersih tiada tanda-tanda
aneh yang menyolok mata seperti manusia umumnya, dari
sikap dan cara duduk serta suaranya tadi tiada kelihatan ciricirinya
sebagai kaum persilatan, pakaiannya serba sederhana,
bajunya terbuat dari kain kasar, dengan mengenakan mantel
yang terbuat dari kulit landak. Disamping menggeletak
setumpukan kemul butut yang terbuat dari kulit anjing serta
sebuah buli-buli warna kuning.
Di depan kakinya diaras tanah kelihatan sinar kuning dan
cahaya putih yang cemerlang menyilaukan mata, itulah bendabenda
Giok liong yang bilang, yaitu empat batang Potlor mas
besar kecil, seruling samber nyawa dan sebentuk batu Giok
berbentuk jantung warna merah darah, semua lengkap
tergeletak disitu.
Keruan girang bukan main hati Giok-liong, seketika
wajahnya mengunjuk seri tawa, dengan bergegas ia
melangkah maju terus menjura daIam. ujarnya: "Terima kasih
kepada Lotiang ini."
"Nanti dulu !" cegah si orang tua sambil menjulurkan
tangan kedepan menolak tubuh Gick-liong yang memburu tiba
hendak menjemput barang-barangnya.

Seketika Giok-liong berseru tertahan, badannya yang
meluruk maju seketika seperti membentur dinding tertolak
mundur. Tapi sedikitpun ia tidak ambil perhatian akan hal ini,
sambil tetap mengunjuk senyum ia berkata: "Lo-tiang (paman)
mengembalikan barang-barangku yang hilang ini, sungguh
aku yang rendah berterima kasih setulus hati !" habis berkata
ia maju lagi.
Terjadilah suatu keanehan. Beruntun Giok-liong maju dua
langkah entah bagaimana sedikitpun kakinya tak kuasa
menggeser tempat, kedua kakinya tetap melengket ditempatnya
semula.
Dengan mata mendelong ia awasi senjata pusaka
perguruan yang menggeletak di tanah, walaupun barang
barangnya itu terletak di depan matanya, tapi hanya bisa
dilihat tak mampu dijamah. Baru sekarang Giok-liong tersadar,
bahwa si orang tua di hadapannya kiranya bukan orang
sembarang orang.
Hal ini seharusnya tidak perlu dibuat heran, bukankah di
tempat belukar yang sepi ini, jarang diinjak manusia, si orang
tua ini hanya seorang tunggal saja, Kalau dia tidak mempunyai
sesuatu kemampuan, bukankah berarti mengantar kematian
belaka.
Karena tafsirannya ini, tat berani ia berlaku gegabah,
sambil tertawa ia menjura lagi. ujarnya: "Harap dimaafkan
akan kelancangan tadi. Keempat batang Potlot mas dan
seruling itu dan batu giok iiu adalah barang-barangku yang
hilang, harap paman suka mengembalikan, sungguh aku yang
rendah sangat berterima kasih !"
"Aku tidak perlu terima kasihmu !" suara si orang tua tetap
datar tanpa irama.
"Lalu apa kehendak paman."

"Kembalikan dulu ayam panggang serta semangkok besar
arak wangiku. Kalau tidak semua barangmu ini sebagai
gantinya !"
Seketika merah jengah selebar muka Giok-liong, sikapnya
kikuk kemalu-maluan, katanya tergagap: "Ternyata . . . .
ternyata . . . , arak itu . . . adalah . . . . "
"Kau kira tidak ada pemiliknya ? seumpama tidak ada
pemiliknya juga tidak boleh sembarangan gegares ! Kalau aku
sih tidak apa-apa sesuai dengan kehidupanku . . . lain adalah
kau !"
"Petunjuk paman memang betul ! Pasti kuganti selipat
ganda !"
"Aku tidak perlu dengan penggantian yang terlalu banyak !"
"Baiklah akan kuganti menurut apa adanya semula !"
"Mana keluarkan ?"
"Wah . . . . sekarang.. . , maksudku nanti setelah turun
gunung !"
"Ha ! setelah turun gunung aku juga tidak perlu minta
kepada kau lagi, justru ditempat ini dan sekarang juga baru
terasa betapa berharganya makananku itu !"
"Tapi kemana aku harus mencari gantinya !"
"Salahmu sendiri ! siapa suruh kau ceiufak
"Benar, akulah yang salah! harap paman suka maafkan
kesalahanku kali ini !"
"Selama or.cnj:i&iJti ayam panggang dan arak wangiku,
masih ada satu jalan dapat kau tempuh !"
"Harap paman sebutkan caranya !"
"Mengandal Lwekangmu mengambil dengan kekerasan !"

"Ini . . . . "
"Kau tidak berani !"
"Bukan tidak berani !"
"Lalu kenapa?"
"Menang kalah menjadi serba runyam !"
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalau aku yang rendah kalah, berarti tak dapat mengambil
balik barang-barangku, aku menjadi orang terkutuk terhadap
perguruan dan orang tua !"
"Toh kau boleh berusaha untuk menang"
"Kalau menang kau kesalahan dan berlaku kurang adat
terhadap paman!"
"Bagaimana maksudmu?"
"Sudah gegares makan minum secara gratis kini harus
memukulmu lagi, bukankah serba runyam !"
"Kelihatannya watakmu cukup baik juga"
"Aku sendiri berpendapat belum terlalu nyeleweng !"
"Juga belum tentu !" "
"Ini paman. . ."
"Seumpama aku tidak turun tangan?"
"Gampang, sekali raih dapat kuambil !"
"CtJDalan !"
"Hihihi paman berkelakar?"
"Coba, kan belum kau lakukan !"
"Baik !" Giok liong melangkah maju mengulur tangannya
sambil membungkuk.

"Heh"" siapa tahu bukan saja kakinya sulit digeser
sesentipun, tangannya yang terjulur kedepan itu juga seperti
menancap ke-dalam tumpukan kapok, lemas dan empuk,
samar-samar seperti ada hawa tipis yang tidak kelihatan
merintangi sehingga tangannya tak kuasa dijulurkan kedepan
lebih lanjut.
Bercekat hati Giok Liong, seketika teringat akan cerita
suhunya To-ji Pang Gtok tentang semacam ilmu yang
dinantikan Bu-siang-sin kang, ilmu lurus dari agama Budha.
Bergegas ia mundur tujuh kaki serta serunya lantang:
"Paman, bukankah ini Bu-siang sin-kang! Kau orang tua. .."
"Jangan tanya siapa aku, dan tanya ilmu apakah ini, Yang
terang kau masih ingin tidak milikmu ini kembali?"
"Sudah tentu harus kembali pulang!"
"Kalau sekarang juga kau tidak mampu mengambil aku
sudah tak sabar menantikan semua kubawa pulang!"
"Baik'ah biar Wanpwe mencoba coba ? Harap pinjam
seruling samber nyawa sebentar !" lalu dengan sikap serius ia
menghimpun semangat mengerahkan hawa murni,
pertama"tama Ji-lo dikerahkan melindungi badan lalu duduk
bersila dihadapan si orang tua, lalu ia sambuti seruling yang
diangsurkan siorang tua.
"Tula. . . Tuli. . . mulailah Giok liong meniup dengan
iramanya yang merdu lincah, seketika berubah hebat air muka
si orang tua, serunya dengan nada berat: "Buyung, berapa
tinggi bekal Lwekangmu?"
Giok liong meramkan mata menundukkan kepala tak
hiraukan pertanyaan orang pelan-pelan ia kerahkan seluruh
kekuatan Lwekangnya dipusatkan kearah tiupan mulutnya,

dengan tekun dan seksama seluruh perhatiannya dicurahkan
pada seruling samber nyawa.
Pertama dimulai dengan irama lincah jenaka yang riang
gembira, lalu berubah menyelarasi perubahan batinnya,
dengan nada yang penuh perasaan berganti-ganti irama, dari
suara rendah terus meninggi.
Dari pelan laksana air mengalir seperti angin menghembus
sepoi-sepoi, laksana burung walet bernyanyi rendah, Larnbar
laun semakin tak kendali meninggi gemuruh seperti hujan baju
yang lebat laksana samudera bergolak.
Seumpama genta besar dalam kelenteng berkelontengan
semakin memburu cepat seiring dengan derap langkah
berlaksa kuda yang berlari kencang sampai akhirnya semakin
cepat lagi, Sampai bumi terasa bergetar hampir merekah,
gelombang samudera mendampar batu karang sehingga dunia
seperti hampir kiamat.
Meskipun saat itu tepat tengah hari tapi cuaca menjadi
gelap, mendung diliputi kabut tebal, dalam lembah terdengar
suara pekikan setan dan gerungan malaikat, suasana semakin
menjadi seram menakutkan, perasaan juga tercekam seperti
isi perut hampir hancur lebur.
Berkuntum-kuntum mega putih seiring dengan irama
seruling yang meninggi rendah mengepul keluar dari tujuh
lubang seruling terus berkembang keatas. Kabut putih
bergulung-gulung diatas kepala Giok-liong, seperti air yang
mendidih diatas tungku terus mengepul ke atas.
Sikap dan perubahan wajah si orang tua seiring dengan
perubahan irama seruling Giok-lsong semakin tegang dan
serius Lambat laun jidatnya mulai berkeringat, matanya
mendelik besar seperti kelereng hampir meloncat keluar,
rupanya sudah jauh berbeda dengan keadaan semula yang
wajar.

Waktu irama seruling Giuk liong semakin melengking tinggi,
mengalun menggetarkan seluruh penghuni alam semesta ini.
Air muka si orang tua juga semakin tak genah, Akhirnya dia
angkat kedua lengannya kedua telapak tangan didorong
lempang kedepan, walau kelihatannya lowong, tapi kedua
tangannya itu seolah-olah sangat berat sekali bertahan.
Tepat pada saat itu lagu yang ditiup Giok liong sudah habis,
pelan-pelan ia bangkit berdiri seraya berkata: "Paman, aku
hendak mengambil pusaka peninggalan perguruan dan benda
kenangan dari ibuku !" lalu ia beranjak maju dua langkah.
"Hah !" seketika ia berdiri terlongong-longong di
tempatnya, kedua matanya berkilat mendelong memandangi
kedua tangan si orang tua yang dijulurkan ke depan itu.
Ternyata telapak tangan si orang tua masing-tnasing
tangannya sudah kehilangan jempolnya, kiri tinggal delapan
jari.
Cukup lama Giok liong mengamati hatinya samakia ciut
tidak mengambil barang-barangnya malah bergegas bertekuk
lutut terus menyembah berulang ulang serta katanya dengan
gelisah : "Wanpwe memang harus mati, tidak tahu adalah kau
orang tua !"
Harus diketahui kedudukan Pat-ci kay-ong (raja pengemis
delapan jari) dalam Bu-lim-su-cun sangat tinggi sekarang
terpaksa ia harus menjulurkan kedua telapak tangannya,
mengandal Bu-siang-sin-kang berusaha melawan kekuatan
suara dari Jan hun-it-ki, ilmu peninggalan tokoh-tokoh silat
jaman kuno.
Dalam keadaan biasa, Pat-ci-kay ong takkan gampang rela
memperlihatkan kedudukan serta asal usulnya, maka sedikit
sekali orang yang pernah melihat akan kedelapan jarinya itu,
Giok-liong adalah murid To-ji Pang Giok, ialah satu dari tokoh
Bu-lim-su-cun itu, mana mungkin gurunya tidak pernah
memperkenalkan ciri-ciri tokoh-tokoh sakti pada jaman itu.

Maka begitu Giok-liong melihat kedua telapak tangannya
yang tinggal delapan jari segera unjuk hormat kebesaran.
Jan-hun-it-ki ( irama menyiksa sukma ) adalah ilmu tunggal
yang karya gemblengan tokoh-tokoh kosen jaman kuno dulu,
meliputi seluruh intisari kekuatan terpendam dalam alam
semesta ini.
Sekali irama ini ditiup, kalau belum satu jam lamanya,
Lwekangnya masih terus terpusat menjadi satu
memperlihatkan perbawanya, satu jam kemudian baru menipis
dan buyar.
Oleh karena itu meskipun Giok-Iiong sudah kenal akan Patci-
kay-ong dan serulingnya sudah tidak ditiup lagi, tapi Pat cikay-
ong inikttitn akan kekuatan sakti dari irama seruling yang
hebat itu, duduknya tetap bergaya seperti tadi mengerahkan
seluruh kekuatan Bi-siang-sinkang untuk bertahan, sedikitpun
ia tidak berani memecah perhatian untuk bicara.
Akhirnya satu jam telah berlalu, pelan-pelan Pat ci-kay-ong
baru menarik kedua tangannya terus menghapus keringat di
jidatnya, setelah menghela napas panjang ia berkata: "irama
lagu ini seharusnya hanya ada di sorga, kapan manusia di
dunia baka ini bisa menikmatinya, Hidup pengemis tua selama
seratus tahun ini kiranya sia-sia, kini terbuka mataku!"
Selama ini Giok-Iiong tetap berlutut di-tanah, katanya lirih:
"Supek, harap . . ."
"Bangun !" "ujar Pat-ci-kay-o.ii tidak sabaran
Giot-liong mengiakan terus bergegas bangun.
"Tak heran kau malang melintang di Kangouw, belum lama
kau kelana sudah menggegerkan Bulim. Memang kenyataan
hijau jauh lebih menang dari biru, Jan-hun-itki itu gurumu
sendiri belum mampu menyelami sampai sebegitu jauh, tak

kira kau sendiri sudah mencapai tujuh tingkat kesempurnaan
!"
"Cian pwe terlalu memuji !"
"Duduklah !" ujar Pat-ci kay-ong menunjuk sebuah batu
disampingnya.
Giok-liong tahu watak pengemis tua yang keras, tanpa
sungkan-sungkan ia terus duduk bersila.
"Giok liong," demikian sambung pengemis tua, "setengah
bulan yang lalu, aku pernah bertemu dengan gurumu di
perbatasan Kiang-han !"
Tersipu-sipu Giok-iiong berdiri lalu menjura dan bertanya
dengan hormat : "Apakah beliau baik-baik saja?"
"Dia tidak baik !"
Seumpama petir menyambar Giok-liong berjingkrak bangun
dari tempat duduknya, teriaknya gugup: "Bagaimana keadaan
beliau ?"
"Hampir mati saking karena jengkel sepak terjang mu!"
sahut si pengemis tua dengan nada berat.
"Ini . . . Wanpwe memang pantas dihukum mati, tapi tak
tahu kenapa . . . "
"Kau memasuki Lembah kematian menempuh bahaya
kematian apakah tojuanmu?"
"Menuntut balas bagi ayah bunda, dan menceri tahu
riwayat hidupku !"
"Selama berkelana ini, apakah sudah kau ketemukan
sumbernya ?"
"Giok-liong menggeleng kepala dengan sedih.
Adalah kebalikannya Pat ci-kay-ong malah manggutmanggut,
katanya: "ItuIah, coba pikirkan selama kau kelana

ini bukan saja tidak mengurus tujuan yang sebesarnya malah
kemana-mana kau mengunjuk kejahatan, gagah-gagahan
menyebar maut membunuh sekian banyak jiwa, Berani kau
menjunjung tinggi julukan Kim pit-jan hun menimbulkan
keonaran dan kegaduhan di Bulim, dimana kau berada berada
disitu timbul kericuhan!"
Sebentar ia berhenti, lalu sambungnya lagi: "Bukan begitu
saja perbuatanmu dikalangan kangouw kau khusus bergaul
dengan kaum hawa bergulat tiada habisnya serta romantis.
Yang terakhir ini tingkah lakumu semakin menjadi-jadi,
mencari gara gara kepada sembilan aliran besar, dengan
darah kau cuci bersih seluruh penghuni Go- bi-san dan Butong-
pay, sebetulnya apakah tujuanmu. Hari ini tiada
halangannya kau tuturkan kepadaku duduk perkara
sebenarnya.
Begitulah secara panjang lebar dan ringkas ia beberkan
pengalaman Giok-liong selama di kangouw, nadanya sungguhsungguh
penuh keseriusan.
Selama mendengarkan Giok-liong mandah bungkam seribu
basa sambil tunduk kepala, hati terasa seperti dibakar, juga
seperti diiris-iris sampai seluruh badan geinetar, lama dan
lama sekali baru ia dapat mengendalikan perasaannya,
katanya: "Masa Suhu dia orang tua fidak memahami dan
menyelami pengalaman ku!"
"Memang segala sepak terjang dan perbuatanku susah
dipahami, dengan cara bagaimana dia harus menyelami
perbuatanmu?"
"Cianpwe harap tanya dikatakan sekarang Suhu berada?"
"Dia mewakili kau pergi kepuncak Bu-tay-san untuk
memenuhi janji dengan pihak Yu-liong-kiam khek, Apalagi
sembilan partai besar sudah tergabung dalam satu barisan

hendak mencari perhitungan kepadamu, coba bila kau berdiri
di pihak Suhumu, harus tidak menjadi marah."
Semakin pedih rasa hati Giok-liong, sam bil menjura dalam
lantas ia membungkuk menjemput Potlot mas dan batu giok
tanda kenangaa itu, katanya lantang: "Supek. anak memang
tidak berbakti, baiklah kita berpisah disini saja!"
Pat-ci-kay ong mengerutkan alis, katanya keras: "Hendak
kemana kau?"
"Aku harus menuju ke ngarai Im-hong (Angin Dingin) di
puncak Bu-tay-san mencari Suhu!"
"Cara bagaimana kau harus menyelesaikan persoalan itu
dihadapan mereka?"
"Aku harus lapor peristiwa sebenarnya kepada Suhu,
terserah bagaimana dia orang tua hendas menjatuhkan
hukumannya. seumpama aku harus hancur lebur juga rela."
"Begitupun baik, Tapi sebelumnya perlu ditegaskan dulu,
sebetulnya bukan suhumu tidak mau menyelamli sepak
terjangmu, Betapa-pun kabar angin atau omongan orang perlu
pertimbangan, kabar angin dan desas desus di kalangan
kangouw sebetulnya cukup merepotkan!"
"Wanpwe paham, terima kasih akan petunjuk Supek!"
"Hyaaaat!" tibn-tiba dari kejauhan sana terdengar jeritan
keras bengis yang berkumandang menggeiarkr:n alam
pegunungan menembus awan.
Tanpa merasa Giok liang berdua berjing krak kaget, sesaat
mereka saling pandang.
"Ciiataat !" gerangan lebih dahsyat terdengar mengerikan
malah jarak nya terdengar semakin dekat.
Tiba-tiba Pat-ci-kay-ong meloncat bangun, katanya lirih:
"Lwekang orang ini cukup hebat."

Giok-liong mendengarkan dengan cermat sahutnya
berbisik: "kalau terkaan Wanpwe tidak salah kedua kali
teriakan ini bukan keluar dari mulut seorang !"
"Oh . . ." merah jengah muka Pat ci-kay ong, sikapnya
menjadi kikuk, betul-betul ia tidak menduga akan hal ini,
sebab itu hatinya berpikir: "Gelombang dibelakang selalu
dorong yang didepan, tunas muda tumbuh diantara kaum
remaja. pemuda ini memang berbakat, bukan saja
Lwekangnya sudah sangat menonjol kecerdikan otak dan
reaksinya cukup hebat, jauh melebihi tokoh-tokoh tua dari
dunia persilatan. Tak heran begitu cepat ia mengangkat nama
menggetarkan dunia persilatan Lebih tak perlu diherankan
kalau golongan putih dan hitam semua takut dan benci
terhadapnya !"
Tengah Pat-ci-kay ong terbenam dalam lamunannya, tibatiba
Giok liong berbisik di pinggir telinganya: "Supek, lihatlah
!"
Jauh diluar hutan belantara sana, sebuah titik kecil, warna
abu-abu gelap tengah berlari kencang laksana meteor jatuh,
sedang di belakangnya mengejar dengan ketat sebuah
bayangan merah marong yang besar, jarak ke dua bayangan
orang itu kira-kira puluhan tombak, satu didepan yang lain
dibelakang mereka mengembangkan Ginkang yang teramat
lihay belum pernah terlihat di Kangouw, inilah Ginkang tingkat
tinggi yang dikembangkan laksana bintang terbang mengejar
rembulan, tujuan bayangan itu adalah tempat mereka berdua
berada.
Sekejap mata saja jarak ratusan tombak telah diperpendek
menjadi seratusan tombak kurang. Kini kedua bayangan itu
semakin dekat dan jelas kelihatan.
"Hah! Bo pak-it-jan!"

"Oh Bo pak-it jan Sa Ko"
Hampir bersamaan Pa-ci kay-ong dan Giok liong berseru
berbareng.
Mata Giok-liong berkedip-kedip, katanya: "siapakah orang
aneh berpakaian serba merah."
"Celaka! Le hwe-heng cia, Bagaimana iblis ini bisa. ."
Belum habis ia berkata terdengar Le-hwe heng-cia
membentak keras ditengah udara suaranya kasar dan keras
seperti bunyi, kokok beluk: "Sa Ko jangan harap kau dapat lari
meloloskan diri! Tidak lekas kau berhenti!" serangan
tangannya membarengi ancamannya, Waktu telapak
tangannya terayun tiba tiba ditengah udara meledaklah suara
gemuruh lantas terlihat menyemburnya lidah berapi yang
membawa bau bakar yang keras laksana sekuntum awan
merah didorong oleh angin baju yang keras langsung
menerjang kearah Bo pak- it jan Sa Ko.
Kebetulan saat itu angin menghembus kencang sehingga
semburan berapi tadi semakin berkobar lebih besar, sungguh
mengejutkan.
Bo pak it jan Sa Ko mendengar di belakangnya seniman
baja api sangat santar sampai menderu, Cepat-cepat ia
goyangkan pundak meliukkan pinggang dan menjejakkan kaki
tunggalnya sementara tangan tunggalnya juga dikebutkan
kebelakang, badannya lantas meluncur turun miring kesebelah
samping.
Tapi perbawa pukulan Le hwe heng cia ini betul betul
sangat ganas, Bagaimana cepat gerak tubuh Bo pak it jan,
badannya limbung terhuyung kedepan tak kuasa berdiri tegak,
Saat mana meskipun jauh berada di dua tiga puluh tombak
jauhnya, tak urung badannya tergetar keras tak terkendali
lagi.

"Blung !" air lantas muncrat tinggi ternyata tepat sekali
tubuhnya terpental masuk kedalam aliran sungai, sehingga
seluruh tubuhnya basah kuyup, untung kecemplung kedalam
air kalau tidak paling ringan kepalanya pasti keluar kecap atau
benjut.
Bo-pak-it-jan sudah sekian tahun lamanya malang
melintang di gurun pasir utara, merupakan seorang tokoh
kosen yang tiada tandingannya didaerahnya.
Termasuk kalangan persilatan di Tionggoan dan perbatasan
pedalaman selatan termasuk juga sebagai gembong silat yang
sangat disegani. Kepandaian dan Lwekangnya tidak lebih
rendah dari Bu-lim sucun.
Tapi apa yang sekarang disaksikan, bukan saja tidak berani
balas menyerang sampai menangkis saja tidak mampu, malah
untuk menghindar tnati-matian saja juga harus menderita
begitu rupa. Maka dapat dibayangkan betapa mengejutkan
kepandaian Le-hwe-lieng-cia ini !
Baru saja kepala Bo pak it jan menongol keluar dari
permukaan air, pukulan Le hwe-heng cia sudah menerjang
tiba lagi.
Giok-liong yang berdiri jauh tiga tombak juga merasakan
udara mendadak menjadi panas membakar kulit seperti di
panggang diatas tungku, aliran hangat menyampok muka
sehingga napas sesak.
"Byaaaak !" kembang air, pecahan batu, rumput dan dahan
dahan pohon beterbangan tak karuan paran seperti tengah
terjadi gempa bumi.
Badan Bo pak it-jan melayan tinggi sejauh lima tombak
terus terbang melintang meluncur kedepan. "Blang !" tepat ia
terjatuh disamping Pat ci-kay-ong dan Giok-liong.

Kedua matanya kelihatan mendelong lurus kedepan,
seluruh mukanya merah membara seperti babi panggang,
seluruh baju yang dipakainya hangus terbakar, sejenak Patct
kay-ong jongkok, memeriksa lalu berkata kepada Giok-liong:
"Waspadalah, Le hwe-heng-cia iblis ini tiada tandingannya di
jagat ini."
"Terlihat bayangan merah berkelebat tahu-tahu Le-hwe
heng cia sudah meluncar datang.
"Ha Hehenehe!" Begitu melihat kehadiran Pat-ci kay-ong ia
bergelak tawa sebelum sempat membuka suara bicara, Gema
suaranya seperti auman harimau seperti lolong serigala
menggetarkan alam pegunungan sampai kumandang sekian
lama, binatang dan burung lari dan beterbangan karena
terkejut.
Lenyap gema tawanya lantas terdengarlah suaranya yang
keras sember seperti gembreng pecah : "Ada In-lwe-su cun
diam sebagai pelindung tak heran dia berlari sipat kuping
kearah sini ! Tidak salah ! Tidak salah !" sikap sombongnya ini
seolah-olah tidak memandang sebelah mata Pat-ci-kay-ong.
Giok-liong menjadi aseran, raut mukanya yang putih
berubah merah padam, serunya: "Kenapa kau begitu . . . "
belum kata sombong keluar dari mulutnya, keburu Pat-ci-kayong
memberi kedipan mata mencegah kata katanya, malah ia
sendiri segera berteriak: "Le-hwe heng-cia ! Salah dugaanmu !
Belum pernah aku mengadakan janji pertemuan ditempat ini
!"
Tak duga Le hwe heng-cia membalik mata, serunya dengan
beringas : "Aku tidak peduli ! Kalian bongkot-bongkot silat dari
Tiong-goan berani membunuh muridku, maka aku harus
membuat perhitungan dengan kalangan persilatan Tiong-goan
kalian !"

"Siapa yang telah membunuh muridmu?" tanya Pat ci kayong
tawar.
"Aku tidak tahu !" sentak Le-hwe-heng-cia dengan murka.
"Dimana muridmu dibunuh orang !"
"Di Hiat hong-pang !"
Tergerak hati Giok-liong, segera ia turut bicara : "Apakah
pelindung Hiat-hong-pang yang menggunakan ilmu Le hwetok-
yam itu ?"
Tergetar badan Le hwe-heng-cia, raut mukanya menjadi
serius tiga langkah ia mendesak maju kedepan Giok liong
dengan sorot pandangan tajam ia menyahut tak sabaran
"Benar ! Kau tahu "
Sementara itu, Bo pak it jan Sa Ko yang terluka tidak ringan
itu sudah merangkak bangun, duduk sambil menuding Giokliong
mulutnya berkata gagap terputus-putus: "Nah, . itulah . .
. dia ! Dia . . , . inilah !"
Sepasang mata Le-hwe-heng-cia yang merah membara
berkedip kedip, terlebih dulu ia berkakakan baru katanya:
"Cacat tua ! Kau ngapusi aku !"
Sambil menyeka darah yang mengalir di ujung mulutnya,
Bo pak- it- jan Sa Ko berkata sangat payah: "Aku tidak
menipumu, yang memukul mati muridmu dia itulah, Kim pit
jan hun Ma Giok liong ini !
Pat-ci-kay ong berubah keras air mukanya dengan tajam ia
pandang Giok-liong.
Le hwe-heng cia menjadi ragu-ragu setengah percaya ia
pandang Giok-liong lalu beralih pandang kepada Sa Ko yang
duduk di-tanah, lalu ujarnya dengan suara serak: "Dia?
Mengandal bocah ingusan . . . ."

"Hahahaha ! Hahahaha!" Giok liong tertawa lebar. "Le-hwe
heng-cia, jangan terlalu yang membunuh pelindung Hiat hong
pang memang aku inilah adanya, apa yang dapat kauperbuat
atas diriku ? Apa tindakanmu selanjutnya?"
"Buyung, benar kau ini yang berbuat?"
"Kenapa kau tidak percaya?"
"Aku harus menuntut balas bagi muridku !"
"Di saat ini hanya ada murid menuntut balas bagi gurunya
belum pernah kudengar sang guru menuntut balas bagi
muridnya ! Hahahaha ! Hehehehe !"
"Keparat, kurang ajar" Le hwe heng-cia melejit ke atas dari
kejauhan diudara dia menjulurkan tangannya mencengkeram
seperti galian te i Li i mencakar pundak Giok-Iiong. Belum lagi
orangnya tiba, hawa panas sudah menerpa tiba membawa
kesiur angin yang deras.
Ringan sekali mendadak bayangan putih berkelebat hilang
Sambil berseru heran bayangan merah segera terbang
mengejar dengan kencang.
"Berhenti !" latihan Ginkang Pat ci-kay-ong boleh dikata
sudah mencapai puncak kesempurnaannya, ringan sekali ia
melayang maju mencegat diantara mereka, lalu sambungnya:
"Bicaralah dulu supaya jelas !"
"Kau juga ingin ikut campur Rija pengemis !" sentak Le
hwe-heng-cla dengan beringas.
Pat ci-kay-ong bersabar sahutnya tertawa tawar "Maksudku
urusan ini dibicarakan dulu biar jelas duduk perkaranya."
"Bukankah bocah ini sudah mengaku sendiri !"
Giok-liong insyaf bahwa Le-hwe-heng-cia merupakan
gembong silat yang lihay dari kepandaiannya, bagaimana juga
perhitungan dendam ini harus diselesaikan, oleh karena itu

tanpa banyak bicara lagi segera dirogohnya keluar Potlot mas
di tangannya. serunya: "Supek! Biar kucoba manusia liar ini
punya kepandaian siiat macam apa?"
Pat-ci kay-ong mendelik, tanyanya: "Benarkah muridnya, .
."
"Bikin aku mati gusar!" bayangan merah terbang melayang
beberapa tombak melewati Pat-ci kay ong terus menubruk
kearah Giok liong.
Pat ci kay ong tidak keburu mencegah mereka sudah
berkutet dan bertempur seru sekali, sinar kuning berkembang
dan diputar empat laksana kitiran melawan sepasang kepalan
warna merah marong.
Begitu cepat cara serang menyerang ini sekejap saja
puluhan jurus telah berlalu, selama ini kedua belah pihak
tampak sama kuat.
Le hwe heng cia berkaok-kaok, suaranya laksana geledek
mengguntur yang marah marah, Scba iknya Giok liong putar
Potlot masnya secepat mengejar angin, seluruh badan
diselubungi kabut putih, dimana Ji lo sudah dikerahkan
melindungi badan, seketika terbangun semangatnya Jan hun
su sek berulang kali dilancarkan dengan ketat sekali, tiada
tampak sedikitpun lobang kelemahannya, Malah setiap jurus
permainannya sering balas menyerang dengan gencar dan
ganas tak mengenal ampun.
Terdengar kesiur angin dari lambaian baju orang, diluar
gelanggang sana dari berbagai penjuru saling bermunculan
bayangan orang yang tak terhitung jumlahnya, kiranya
mereka juga kaum persilatan yang cukup tinggi
kepandaiannya, terbukti dari Ginkang mereka yang cukup
lihay, semua berdiri menonton diatas batu diatas pohon,
menahan napas tak sembarangan bergerak.

Para pendatang ini semua mengenakan seragam hitam
didepan dada tersulam pelangi merah darah, Terang mereka
adalah anak buah Hiat hong pang.
Saat itu Bo pak it jan Sa Ko sudah merangkak bangun
dengan susah payah terus mendekat disamping Pat ci kay
ong. katanya dengan lirih seperti nyamuk: "Kay-ong ! Coba
lihat ! Terang Hiat-hong pang yang mengundang iblis laknat
itu datang kemari!"
Perhatian Pat ci-kay-ong tertuju pada keselamatan Giokliong,
acuh tak aoiti ia menyahut : ,.Peduli Hiat-hong pang apa
segala, iblis tua ini membikin onar di Tiong-goan merupakan
bencana bagi kalangan persilatan. Inilah takdir, semua harus
mengalami kesukaran !"
Belum habis kata katanya, dalam gelanggang pertempuran
terdengar Iedakan dahsyat bayangan manusia jaga lantas
berpisah masing masing berdiri pada dua jurusan Le-hweheng
cia melompat sejauh lima tombak, sepasang mata
apinya merah membara terus berkedip-kedip, sikut tangan
kirinya kelihatan mengucurkan darah segar, mulutnya tak
hentinya berkaok-kaok: "Aduh, aduh! Bocah keparat ! Bocah
keparat !kiranya . . , , tac heiiehe !"
Dilain pihak Giok- liong sendiri juga berkelebat menyingkir
sejauh setombak lebih, Potlot mas di tangan kanan
dilintangkan di depan dada, air mukanya berubah tegang,
terlihat lengan baju tangan kirinya sobek separo dicakar Le
hwe heng cia dan jatuh di atas tanah.
Puluhan anak buah Hiat-hong pang serempak berteriakteriak
gegap gempita sambil bertepuk tangan, suaranya keras
berkumandang bergema dalam lembah pegunungan
JIlid 19

Sikut kiri Le-hwe heng-cia kena tergores oleh Potlot mas
Giok-liong, keruan hatinya bertambah marah seperti terbakar.
Terlihat ia geleng-gelengkan kepalanya yang besar sehingga
rambutnya menjadi riap-riapan, mukanya menyeringai seperti
wajah setan, menepuk kedua tangannya ia menggembor
keras: "Bocah keparat, kau harus mati !"
Tepat disaat ia mengayun telapak tangannya, cahaya
merah dari bara yang panas sekali samar-samar seperti dua
tonggak api menyembur keluar dari telapak tangannya.
Terdengar Pat-ci-kay-ong berteriak: "Giok liong, hati-hati,
inilah Le-hwe-ceng-ciang."
Siang-siang Giok-liong sudah kerahkan seluruh latihan
Lwekangnya Ji-lo juga dikerahkan sampai puncaknya, tanpa
disadari tangan kirinya sudah merogoh keluar seruling samber
nyawa.
Dengan kedua senjata ampuh dan sakti berada ditangan
Giok-liong seperti harimau tumbuh sayap, dengan gencar ia
lancarkan seluruh kepandaiannya. Lambat laun kedua belah
pihak sudah kerahkan kemampuan masing-masing, seluruh
kekuatan telah disalurkan untuk mengadu kekerasan.
Pada saat itulah, mendadak gelak tawa lantang yang
kumandang ditengah udara meluncur semakin dekat dari
kejauhan sana. Belum sempat mata berkedip, dalam
gelanggang sudah bertambah dengan empat laki-laki tua
berambut putih perak. Rambut keempat orang tua ini samasama
berkilau, sikapnya gagah bertubuh tinggi besar dan
kekar.
Begitu mendarat di tanah, serentak mereka bersuara:
"Lehwe heng cia, berhenti!"
Agaknya Pat ci kay ong kenal ke empat kakek tua ini,
memburu maju beberapa langkah ia berseru: "Ji kang su-gi . .
."

Keempat kakek tua itu sedikit manggut sambil tersenyum,
katanya bersama: "Kay-oag ! Apa kau baik ? Kita sekarang
sudah merubah sebutan bersama Pak hay-su-lok ! Hahahaha
!"
Sementara itu Giok-liong juga sudah memburu tiba lantas
menjura kepada ke-empat kakek tua itu, ujarnya : "Apakah
cianpwe berempat belum kembali ke Ping-goan di laut utara ?"
Le hwe-heng cia menggosok gosok kedua telapak
tangannya, matanya berapi-api sambil berkaok uring uringan:
"Aku tengah menuntut balas hutang darah dengan bocah ini,
peduli apa dengan kalian . . . "
Tertua dari pak-hay-su-lo King thian-sio Lu Say segera
menarik muka desisnya berat : "Tutup mulutmu ! Sebab Ma
Siau-hiap yang kau tuntut ini adalah juga orang yang hendak
kita undang, terpaksa kau harus mengalah sedikit ! Kembalilah
kesarangmu di perbatasan sana ! Terhitung kau yang sebat!"
Li Hian termuda dari Pat hay-su lo mendekat di samping
Giok-liong, dengan sungguh-sungguh ia berkata : "Kawan kecil
! Kita sudah kembali ke laut utara, kini kita menerima perintah
majikan untuk mengundangmu ke laut utara."
Belum Giok-liong sempat menjawab, di sebelah sana Le
hwe-heng-cia sudah menggerung gusar, sambil menggemakan
kedua tangannya terus menubruk maju.
Berubah air muka Pak-hay su-lo melihat amukan orang
seperti banteng ketaton ini, serentak mereka bergerak
bersama mendorong tangan memapak kedepan, seraya
berseru : "Besar nyalimu iblis !"
"Blang !" ledakan yang keras sekali menggetarkan bumi
dan langit Le hwe-heng-cia tergetar mundur lima kaki,
angkara murka menghantui pikirannya.

Sebaliknya Pek-hay su-lo masing-masing juga tersurut
mundur tiga kaki, air muka mereka mengunjuk sikap serius,
Tempat kosong di antara jarak mereka yang terpaut dua
tombak itu rumput menjadi kering, batu juga terhangus
seperti telah terjadi kebakaran besar laksana disamber
geledek sehingga meninggalkan bekas yang menyolok.
King-thian-sin Lu Say menjadi murka, gerungnya berat:
"Betapapun jahatnya Le-hwe-heng-ceng, jangan kau lupa
akan Nay-ham kang dari Ping-goan di laut utara yang
merupakan tandingan setimpal dari ilmu jahatmu itu !"
Wi-tian ing Yu Pau juga berubah air mukanya, ancamnya
dengan serius: "Tua bangka bangkotan yang tidak tahu akan
kebaikan !"
Ka-liong Gi-hong juga membentak: "Kalau berani mari
sekali lagi!"
Pat-oi-kay-ong berseri tawa seraya maju tampil kedepan,
katanya lembut kepada Le-hwe heng cia: "Urusan hari ini
menurut hematku sudahi saja sampai disini. Kalau api ketemu
es, kukira tidak bakal membawa keuntungan !"
Le hwe-heng cia merenung sebentar, sinar matanya lantas
beringas tajam menatap ke arah Giok-liong, desisnya penuh
kebencian: "Baik ! Bocah keparat ! Urusan ini tidak akan
berakhir sampai disini saja !"
Giok-liong bergelak tawa dengan congkaknya, ujaraya
lantang: "Aku Ma Giok-liong selalu melayani tantanganmu !"
King-thian sia Lu Say menjadi tidak sabar, sekali melayang
ia mendesak maju ke-depan Le-hwe beog-cia sembari
membentak: "Kalau mau jual lagak marilah sekarang saja !"
Mana Le hwe heng cia bisa tahan di olok-olok sedemikian
rupa, sambil kertak gigi segera tangannya terayun terus
menepuk keatas kepala King-thian-sin Lu Say berbareng

mulutnya membentak: "Aliran Pak-hay kalian terlalu menghina
orang !"
"Besar nyalimu !" serentak Pek-hay-su-lo melompat maju,
masing-masing kirim pukulan setaker tenaganya, Bayangan
orang, angin pukulan, serta hawa yang panas membakar
terbaur dengan hawa dingin, batu menjadi hancur rumput
beterbangan menari-nari udara menjadi gelap ditaburi kotoran
dan debu.
Siapapun tak melihat tegas, dan siapapun takkan menduga
"Haya!" pekik beruntun terdengar lantas terlihatlah bayangan
mereka berpencar Pak hay-su lo dalam segebrak telah
mengadu kekuatan pukulan dengan Lo-hwe-heng-cia !
Adu pukulan kali ini kedua belah pihak sudah kerahkan
seluruh kekuatannya. Secara naruliah dibandingkan Le-hweheng
cia adalah seorang gembong silat aneh dari luar
perbatasan, Lwekang serta kepandaiannya lihay luar biasa
yang sangat diagungkan di daerahnya, Terutama Le-hwe-bubeng-
ciang.( pukulan tangan berapi tak kenal ampun ) sudah
menjagoi di dunia persilatan merupakan ilmu tunggal yang
jarang menemui tandingannya.
Seumpama Nay-ham kang dari Ping-goan dilaut utara yang
merupakan lawan tandingannya yang setimpal, karena yang
satu panas dan yang lain dingin membeku, jikalau mereka
berempat tidak bergabung mungkin juga takkan kuat
bertahan, jangan kata bisa menang !
Sebuah pameo sering dibicarakan orang di kalangan
Kangouw yang berkata, dua kepalan sulit melawan empat
tangan, seorang gagah perwira tak gentar menghadapi
keroyokan.
Sekarang terbukti dengan seluruh kekuatan Pak-hay-su lo
harus mengadu pukulan, dengan gabungan Lwekang mereka

berempat yang masing-masing mempunyai latihan ratusan
tahun jadi boleh dijumlah menjadi empat ratusan tahun. Maka
dapatlah dibayangkan betapa hebat perbawa dari gabungan
Lwekang selama latihan empat ratus tahun ini.
Maka tidaklah heran Le-hwe-hengcia yang mempunyai
latihan kepandaiannya selama dua ratus tahun menelan pil
pahit, Begitulah sebat sekali ia melompat mundur setombak
lebih, mukanya yang merah beringas tadi kini berubah pucat
pasi menakutkan orang, kedua tangannya tergantung
semampai naga-naganya ia sudah lemas kehabisan tenaga
karena terkuras habis mengadu pukulan dahsyat tadi.
Sorot matanya yang tadi berkilat garang juga menjadi lesu
guram, ujarnya dengan rasa tertekan: "Pihak Pak-hay kalian
suka main keroyok, sampai mati juga Lohu takkan tunduk !"
Li Hian maju selangkah, ejeknya temberang: "Tidak tunduk.
Tapi hari ini terhitung sudah keok, seorang laki-laki harus tahu
gelagat, lekaslah pergi pergi ! Karena empat lawan satu tadi
maka Pak-hay bun kita mengampuni jiwamu sekali ini !"
"Sudah keok !" jengek Le-hwe-heng-cia dengan uringuringan:
Jangan kalian mimpi disiang hari bolong !"
Agaknya ia masih belum kapok dan ingin maju lagi, kedua
tangannya digerakkan sehingga berbunyi kerotokan. Tiba-tiba
sebuah bayangan hitam melayang turun disampingnya.
kiranya Hiat hong-pangcu yang berkedok itu telah muncul,
katanya sambil angkat tangan : "Cianpwe, selama gununggunung
tetap menghijau tak perlu khawatir kehabisan kayu
bakar. Bocah ini takkan selamanya mengandal pihak Pak-hay
untuk melindunginya. Lain hari kita boleh mencarinya."
Terpaksa Le-hwe-heng-cia harus melihat angin memutar
haluan, sambil membanting kaki ia tuding Giok-liong,
ancamnya: "Lain hari jangan kau kepergok ditangan Lohu ! "

"Sekarang juga tidak menjadi halangan !" tantang Giok
liong.
"Baik." seru Le hwe-heng cia sambil kertak gigi. marahnya
masih belum hilang, "Ingat kejadian hari ini. Mari. . !"
Bayangan merah melayang sekali berkelebat bayangannya
sudah terbang jauh seperti mengejar angin.
Sepasang matanya berkilat dibalik kedok Hiat-hong-pangcu
menatap gusar kearah Gok liong, lalu ia pimpin anak buahnya
mengundurkan diri.
Sementara itu Bok-pak-it jan Sa Ko yang duduk ditanah
bersemadi mengobati luka lukanya itu entah sudah tidak
kelihatan bayangannya lagi.
Menghadapi Pak hay-su-Io, Pat-ci-kay ong berseri tawa:
"Kapan kalian berempat sudah menghamba kedalam Pak-hay,
ataukah kalian mendirikan aliran tersendiri ?"
Li Hian juga tertawa tawar, katanya: "Emangnya bertulang
budak kita tetap meneduh dibawah perintah orang, Kay-ong
jangan mentertawakan lho !"
Terlintas rasa heran dan tak habis mengerti pada air muka
Pat ci-kay ong, tanyanya: "Apakah saudara Li tidak bicara
kelakar?"
Li Hian menyahut sungguh: "Masa aku harus berkelakar
terhadap raja pengemis macam kau ?"
"Lalu siapakah Cukong kalian ?"
Li Hian menyengir tawa, sahutnya penuh arti : "Harap
maaf, hal ini tak bisa kita beritahu, karena , . . . ."
Tatkala mana King-thian-shi Lu Say tengah bicara kepada
Giok liong : "Kita berempat mendapat perintah dari junjungan,
siang malam kita menempuh perjalanan balik ke Tiong-goan
sini. Harap Siau-hiap suka mengiring kita ke Pak-hay,

sekarang juga kita harus berangkat supaya junjungan tidak
khawatir dan mengharap-harap !"
Giok-liong mengedip-ngedipkap mata, tanyanya heran:
"Kalian khusus diperintahkan untuk mencari aku ?"
"Benar, tiada urusan lain yang lebih penting dari ini ini!"
sahut Li Hian.
Giok-liong semakin menaruh perhatian tanyanya
mendadak: "Siapakah pimpinan dari Pak-hay kalian, Wanpwe
belum pernah tahu namanya, bagaimana bisa. . ."
"Setelah siauhiap tiba di Pak-hay, tentu semua akan jauh
beres."
Hati Giok liong menjadi gundah sulit mengambil keputusan,
sebaliknya Li Hian sudah mendesaknya lagi: "Siau hiap,
bagaimana karakter dan martabat kita berempat takkan dapat
mengelabuhi Kay ong, tujuan kali ini tentu takkan terjadi
sesuatu yang merugikan kau!"
Giok-liong menjadi rikuh memandang ke arah Pat ci kayong.
Pat-ci-kay ong sendiri agaknya juga tengah merenungkan
sesuatu apa, mendengar ucapan Li Hian itu segera ia
menimbrung "Ji-kang-su-gi dulu malang melintang di kangouw
memperoleh pujian harum, untuk kali ini aku pengemis tua
sungguh sangat kagum!"
Li Hian tertawa getir, ujarnya "Kay-ong terlalu memuji,
banyak terimakasih!"
King-thian-sin Lu Say mengangkat tangan menyilakan Giokliong:
"Siau-hiap, mari silahkan!"
Sejenak Giok-liong berpikir, lalu katanya rikuh: "Harap
kalian suka maafkan, saat ini aku tak mungkin ikut kalian
menuju ke Pak hay!"

"Apakah kau meragukan ketulusan hati kita berempat akan
tugas yang dibebankan kepada kami ini?"
"Bukan, bukan !" Cepat-cepat Giok-liong berkata sambil
goyang tangan.
"Lalu kenapa"
"Aku harus menepati janji ke Yu-bing-mo-khek!"
"Benar," ujar Li Hian, "Perihal itu aku tahu, tapi untuk
janjimu itu biar aku mewakili kau kesana!"
"Tidak mungkin!"
"Harap Siau-hiap suka melegakan hati.".
"Ya, bukan aku kwatir, sebab guruku sudah kesana lebih
dulu, mungkin saat ini sudah tiba di ngarai Im-hong di puncak
Bu Iay-hong"
"Jadi siauhiap tertekad harus berangkat kesana?"
Giok-liong manggut manggut mengiakan.
Pak-hay-su-lo saling pandang sebentar, raut muka mereka
menunjuk serba susah.
Pat ci kay ong sendiri juga menjadi kewalahan katanya
kepada Giok-liong: "Setelah bertemu dengan Suhumu,
katakan supaya dia tidak melupakan janji pertemuan di Gak
yang lau pada hari Goan siau nanti. Aku masih ada urusan,
aku harus berangkat dulu!" lalu ia manggut-manggut kearah
Pak-hay su-lo sambil berpisah.
Setelah bayangan Pat ci kay ong menghilang, Giok-liong
menjura kepada Sulo katanya: "Para Cianpwe, aku juga harus
minta diri!"
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Li Hian maju mencegah, Giokliong
cepat-cepat menghentikan langkahnya, tanyanya tak
mengerti:

"Li cian-pwe sebetulnya Wanpwe. . ."
Tanpa menanti Giok liong bicara habis, Li Hian sudah
celingukan keempat penjuru, seperti memeriksa sesuatu lalu
katanya lirih: "Saat ini tiada orang lain, tiada halangan aku
beritahukan kepada kau, perjalanan ke Pak-hay kali ini betapa
juga kau harus berangkat ."
"Sebetulnya untuk keperluan apakah?"
"Sebab sampai di ini Li Hian ragu-ragu meneruskan
katanya, melirik ketiga temannya, Dengan sikap serius mereka
bertiga segera berkata: "Nanti dulu mari kita periksa tempat
ini ! "
Serempak mereka berempat lantas berlari pencar keempat
penjuru beruntun berapa kali lompatan bagian utara timur
selataa dan barat telah mereka geledah dengan seksama.
Begitu tangkas dan gesit sekali gerak gerik mereka tak
lama kemudian dengan berbagai gaya loncatan berbareng
mereka sudah loncat kembali.
Giok liong menjadi bingung dan tak habis mengerti melihat
tingkah laku mereka yang serba aneh ini, entah apa maksud
mereka begitu serius dan begitu hati hati. Untuk keperluan
apakah mereka bekerja sedemikian rapi dan waspada.
Tak lama kemudian Sulo sudah mengelilingi Giok liong Li
Hian buka bicara dengan hati hati dan prihatin: "Siau-hiap,
bukankah kau hendak mencari tahu riwayat hidupmu, serta
hendak menuntut balas bagi ayah bundamu ?"
Tergetar badan Giok-liong terasa darah, berdesir keras
sekali dalam tubuhnya, sahutnya cepat: "Ya, benar !"
"Perjalanan ke Pak hay (Laut utara) kali ini mungkin ada
sangkut paut dengan rahasia riwayat hidupmu, janganlah kau
sia-siakan kesempatan yang baik ini !"

"Ha !" keterangan ini benar-benar di-luar sangka Giok-liong
tidak heran ia tersentak kaset, "Apakah benar ucapan cianpwe
ini?"
"Aku hanya dapat memberi keterangan sampai sekian saja
! Yang lain aku tak bisa membocorkan !"
"Kenapa pula begitu ?"
"Sebab urusan ini masih merupakan tanda tanya besar
tentang kebenarannya, betul atau tidak siapapun tiada yang
berani memberi kepastian, maka aku tidak berani banyak
mulut !"
"Maksudmu tentang aku dengan junjungan kalian di Pakhay
itu ?"
"Ini . . . " Pak-hay su-lo mengunjuk senyum simpul yang
misterius dengan ragu-ragu mereka menyahut samar samar
Selama kelana di kangouw, belum pernah Giok liong
melupakan rahasia riwayat hidupnya, Hakikatnya selama ini
belum pernah diperoleh sumber pemecahan tentang asal usul
dirinya, sekarang secara diluar dugaan mengalami peristiwa
yang sangat diharapkan betapa juga dia tidak akan menyianyiakan
kesempatan bagus ini.
Akan tetapi, Suhu yang berbudi jauh menempuh bahaya ke
Bu-lay hong demi memenuhi perjuangan dirinya, sebetulnya
mengandal kepandaian dan Lwekang To-ji Pang Giok,
dapatlah dipercaya bahwa gurunya takkan mungkin kena
cidera di Yu bing-mo-khek.
Tapi sebagai seorang murid yang mengerti tata kehidupan
dan budi pekerti, bagaimana juga dirinya tidak boleh tinggal
berpeluk tangan menonton saja.
Apalagi bukannya Pat ci-kay ong memberi pesan untuk
disampaikan kepada gurunya.

kematian Wi thian ciang Liong Bun tersangkut paut dengan
pedang dan meletusnya bencana dunia persilatan yang
bersumber dari Hutan Kematian, hal ini juga harus segera
dilaporkan kepada Suhunya, banyak persoalan ini benar benar
membuatnya serba sulit.
Giok-liong merenung sekian lamanya, baru akhirnya
berkata penuh kepastian: "Bagaimana juga aku harus
menyusul Suhu di Bu-lay-san dulu, harap kalian pulang dulu
ke Pak-hay, laporkan kepada cukong kalian, baru setelah
urusan di Bu lay-san selesai, aku pasti segera berangkat
kesana, harap para cianpwe nanti memberi petunjuk!"
Pak hay su lo saling pandang terpaksa mereka manggut
manggut saja, King-thian-sin Lu Say merogoh saku
mengeluarkan sebuah kantongan suara hijau terus
diangsurkan ke-depan Giok-liong, dengan air muka prihatin
dan sungguh-sungguh ia berkata: "Siau-hiap, benda ini adalah
Hwi soat ling (lencana salju terbang), bagi siapa yang
membekal lencana ini boleh bergerak bebas didaerah Pak-hay,
malah pasti ada orang yang menyambut dan melayani segala
keperluan, Kami harap setelah urusan di Bu-lay-san selesai,
kau segera berangkat ke sana!"
Li Hian juga menambahkan dengan serius: "Lencana ini
merupakan benda pusaka dari Pak-hay kita, merupakan tanda
teragung yang tidak ternilai harganya, siauhiap jangan kau
pandang enteng benda ini!"
Giok liong mengulur tangan menyambut kentongan sutra
hijau yang lembut laksana salju lalu dibukanya, tiba tiba
pandangannya menjadi silau, Kiranya benda dalam kalangan
itn bukan lain sebuah lencana empat persegi berwarna putih
seperti perak tapi bukan .perak, bukan batu giok pula,
bobotnya lebih berat dari benda logam biasanya, apalagi
memancarkan cahaya cemerlang dan berhawa dingin, begitu
bersih menembus cahaya sangat indah sekali.

Kata Lu Say lebih lanjut: "Jian lian soat-siau hwi soat ling
ini adalah batu meteor yang jatuh kedalam timbunan salju
didaerah Pak-hay pada ribuan tahun yang lalu, selama ribuan
tahun ini sudah menyedot hawa dingin dari salju menjadikan
lebih keras dari baja, aliran kita hanya memperoleh dua
potong, dipandang sebagai benda pusaka yaag tak ternilai
sekarang dijadikan lencana (perintah) atau pertanda tertinggi
dari golongan kita untuk segala pelosok di Pak-hay. sebelum
berangkat menunaikan tugas kali ini, Cukong ada berpesan
wanti wanti dan menyerahkan lencana pusaka ini, sebagai
penghargaan untuk menyambut Siau hiap dan diharap supaya
tidak sampai hilang!"
Melihat orang memberi pesan sedemikian serius, Giok liong
malah tidak enak menerima, katanya mengangsurkan kembali:
"Jikalau sedemikian berhaaga, aku benar benar tidak berhak
menerima!"
Li Hian cepat berkata: "Kalangan persilatan di Pak hay
jangan disamakan dengan dunia persilatan di Tionggoan,
Kalau tidak membekal Hwi-soat-ling setiap tindakan mungkin
kau akan selalu menghadapi banyak kesukaran, Siau-hiap
terima saja!"
Merah wajah King thian in Lu Say, katanya rikuh: "Bukan
Losiu banyak curiga, aku hanya menerangkan asal usul dan
kepentingan dari Hwi-soat-ling ini, harap Siau-hiap tidak salah
paham."
Giok liong sendiri juga menjadi kikuk, terpaksa ia simpan
lencana menjaga serta berkata : "Kalau begitu, banyak- terima
kasih akan segala bantuan ini, sekarang aku minta diri !"
Pak hay-su-Io berkata bersama: "Kami berempat
menunggu kedatangan Siau hiap di Pak hay"
"Aku pasti datang !"

"Silakan !" Pak-hay su-lo melejit bersama hanya berapa kali
lompatan saja bayangan mereka sudah menghilang
dikejauhan sana. Giok liong terlongong memandang kedepan,
tangannya meraba raba Hwi soat ling, sesaat perasaannya
yang sangat gundah sulit dikendalikan.
Sebab sebagai manusia umumnya tentu mempunyai rumah
sendiri, punya ayah bunda seumpama ayah bunda sudah
meninggal, paling tidak juga mengetahui siapakah nama ayah
bunda serta riwayat hidupnya selama masih hidup, Adalah
semua ini bagi Giok-liong masih sangat kabur dan gelap,
sekarang sudah mendapat titik terang sebagai petunjuk
kearah penyelidikannya yang menjurus ke sumber yang tepat.
Betapa Giok-liong takkan gundah setelah mendengar berita
yang menggirangkan ini, karena selama ini dengan segala
daya upaya dan jerih payah sudah menyelidiki kemana-mana
tanpa hasil, Dan sekarang karena benturan banyak hal-hal
yang harus segera dilaksanakan terpaksa ia harus menunda
perjalanan ke Pak hay ini.
Entah berapa lama Giok-liong mendelong memandang ke
arah dimana Pak hay-su-lo menghilang, hatinya menjadi
kosong dan tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Akhirnya setelah menghela napas panjang menyusuri
pinggir sungai ia beriari-lari kencang seperti orang gila turun
gunung.
Karena kerisauan hatinya maka ia kerahkan seluruh
Lwekangnya untuk mengembangkan ilmu ringan tubuh, satu
pihak untuk me lampiaskan ganjalan hatinya, kedua karena
ingin benar rasanya dapat segera terbang sampai di Bu-laysan,
setelah bersua dengan Suhu segera berangkat lagi
menuju ke Pak-hay, untuk memecahkan rahasia riwayat
hidupnya.

Tengah malam ia sudah sampai di luar batas pegunungan
disini jalan datar maka langkah kakinya menjadi lebih pesat
terus menuju ke Bu-lay-san.
Seorang diri siang malam terus menempuh perjalanan jauh
ini, beruntun beberapa hari sampai pakaiannya tak keruan,
akhirnya ia sampai juga didaerah perbatasan gunung Bu-
Iayhong.
Sore hari itu ia tiba di kaki gunting Bu-lay, dilihatnya hari
sudah hampir petang, terpaksa ia mencari penginapan
didalam sebuah kota kecil, menurut perhitungannya setelah
mencari tahu jalan, besok pagi-pagi sekali segera melanjutkan
perjalanan memasuki pegunungan.
Beberapa hari ini kurang tidur kurang makan dengan puas,
tidak mandi lagi, Maka begitu mendapat tempat menetap,
setelah cuci badan lantas pesan makanan dan minuman paling
mahal setelah makan besar dengan lahapnya, ia kembali
kekamarnya, mencopot baju luarnya meletakkan Potlot mas,
Seruling dan Hwi soat-ling diatas ranjang, meskipun hari
masih pagi ia sudah mapan tidur supaya besok bisa bangun
pagi dan melanjutkan perjalanan.
Tak nyana, kira kira tengah malam tiba-tiba ia siuman dari
tidurnya terasa seluruh badan panas membara seperti
terbakar, begitu panas sampai tak tertahan lagi, napasnya
juga seperti menyemburkan api, seluruh tulang belulang
terasa linu dan sakit sekali, jantung berdesir keras sekali,
sehingga darah terasa bergolak dalam tubuhnya.
Giok-liong tak kuat lagi, susah payah ia coba merangkak
bangun, akan tetapi seluruh badan terasa lemas sedikitpun tak
kuasa mengerahkan tenaga. Keruan bukan kepalang kejutnya,
Apakah Lwekang telah buyar dan kehilangan hawa murni ?
Ataukah sudah Jauhwe-jip cto ( tersesat ) ?

Haruslah diketahui bagai orang tokoh silat yang melihat
Lwekang atau hawa murni yang sudah sempurna badannya
akan kuat bertahan dari segala macam penyakit, maka
biasanya mereka berusia sampai lanjut dengan badan tetap
segar bugar.
Bagi Giok-liong yang sudah mencapai latihan sempurna
seharusnya tidak mungkin bisa terserang penyakit sekarang
kenyataan dirinya mengalami keadaan yang diiuar tahu
sebelumnya betapa hatinya takkan kejut dan khawatir.
Betapa juga Giok-liong tidak putus asa, dengan menahan
segala derita, ia berusaha mengerahkan hawa murni lalu
pelan-pelan disalurkan.
Siapa tahu, bukan saja hawa murni sulit dihimpunkan,
malah pusarnya terasa panas seperti dibakar, sakit bukan
buatan, isi perut seperti dipuntir dan dipanggang, seluruh
sendi tulang seperti copot, jalan darah menjadi panas laksana
arus gelombang panas yang cepat sekali menjalar keseluruh
badan.
Akhirnya Giok-liong tidak tahan lagi terguling-guling diatas
ranjang sambil mengeluh sesambatan, Kebetulan penginapan
itu banyak kamar kosong, maklum kota kecil yang jarang
diinjak pedagang besar dari luar daerah.
Apalagi pemilik penginapan tidur dibagian ruang paling
belakang, meskipun Giok-liong sudah tergerung-gerung
menahan sakit sudah tentu tiada seorangpun yang
menghiraukan, sebagai orang kelana kalau jatuh sakit dalam
penginapan dirantau benar-benar merupakan suatu
penderitaan besar.
Bagi orang yang pernah mengalami sendiri baru akan tahu
betapa hebat penderitaan yang menyiksa dirinya itu. Sudah
tentu orang lain takkan dapat meresapi akan hal ini.

Demikianlah keadaan Giok liong, menghadapi sebuah pelita
yang kelap kelip diatas meja ia terus bergulingan saking tak
tahan, mulut sudah terasa kering seperti dibakar namun ia
hanya mendelong saja melihati poci dan cawan yang terletak
dimeja, tak mampu mengambilnya karena seluruh badan lemai
lunglai tak bertenaga.
Seketika hatinya pilu dan sedih sekali, air mata tak tertahan
mengalir dengan deras sampai bantal menjadi basah. Tahan
punya tahan setelah menderita siksaan yang hebat itu
akhirnya cuaca mulai terang tanah.
Waktu pelayan penginapan masuk membawakan air
sebaskom baru diketahui bahwa Giok-liong celentang
terserang penyakit di-atas, tempat tidur, tanyanya: "Tuan
muda, kenapah kau ?"
Seluruh badan Giok liong masih panas membara, keluhnya
berkata : "Ambilkan air yang dingin, aku dahaga, sekali !"
Segera pelayan itu memegang secawan air dingin terus
maju mendekat baru berapa langkah ia laitas berteriak kaget:
"Haya, tuan muda kenapa badanmu begitu panas, lihat aku
sampai tidak berani mendekati."
"Oh, apa ya ?" keluh Giok lion semakin sedih.
"Siapa itu ?" tiba -tiba dari luar terdengar sebuah bentakan,
"kenipa ribat-ribut."
Seiring dengan suaranya diambang pintu lantas muncul
seorang laki-laki pertengahan umur wajahnya kasar dan
bengis, penuh daging menonjol.
Si pelayan segera membungkuk maju terus menyapa
hormat: "Samya ! Kau orang tua tiba!"
Laki laki pertengahan umur yang dipanggil Samya itu
mengerutkan kening tanyanya: "Ada apa ?"

Lekas-lekas si pelayan menjawab : "Tuan muda ini
terserang penyakit, mungkin . . . "
"Kenapa dibuat heran." sentak laki-laki kasar itu acuh tak
acuh, "bekal yang dibawa banyak tidak ?" sambil berkata
matanya jelilatan menyapu pandang keseluruh ruangan
kamar, lalu sambungnya lagi dengan nada menghina: "Kukira
banyak membawa uang untuk membeli obat diatas gunung ?
Ternyata uang sangunya saja tidak cukup, nanti setelah
malam tiba angkut keluar dan buang kedalam sungai, supaya
tidak menghabiskan sebuah peti mati."
"Hm, apakah kau ini pemilik penginapan ini ?" jengek Giokliong
gusar.
Si pelayan segera menyahut: "Bukan ! ini adalah Siau-
Efltnya dari atas gunuag, penginapan kita ini. . ."
"Jangan cerewet," bentak Siau-samya. "Dalam beberapa
hari ini mungkin ada mangsa besar yang bakal naik ke atas
gunung, kalian harus hati-hati!"
Si pelayan lantas menarik leher sambil-membungkukbungkuk,
lidahnya dijulurkan keluar dengan ketakutan
sementara itu, laki-laki yang dipanggil Siau samya itu lantas
tinggal pergi sambil menggendong tangan.
Mengawasi punggung orang itu sungguh berang bukan
buatan hati Giok-liong, ingin rasanya sekali bacok mampuskan
niat usia kurang ajar ini.
Akan tetapi saat itu dirinya sendiri sedang dalam keadaan
sekarat, jangan kata hendak membacok untuk angkat tangan
sendiri saja tidak kuat, mana mungkin bisa melampiaskan rasa
dongkolnya. Terpaksa ia minta belas kasihan kepada si
pelayan: "Siau-ji koan ambilkan air!"

Si pelayan menjinjing secawan teh dan baru saja hendak
diangsurkan datang. Mendadak seseorang berteriak: "Siau-ji,
nona besar turun gunung, lekas sediakan hidangan?"
Agaknya si pelayan sangat terkejut akan perintah ini,
segera ia menyahut keras: "Baik, segera aku datang !" dengan
tersipu ia lantas lari keluar pintu, saking gugup sampai lupa
meletakkan cawan teh yang akan diberikan kepada Giok-liong
itu.
"Traang!" cawan itu pecah berhamburan jatuh di atas
lantai, tak menghiraukan cawan pecah itu ia terus memburu
lari keluar kamar.
"Aduh !" "Keparat kurang ajar !" demikian terdengar
keluhan dan bentakan gusar di ambang pintu, terlihatlah
bayangan merah berkelebat. Kontan si pelayan terhuyung
sempoyongan masuk ke kamar terus terjungkir balik
menghadap langit.
Giok-liong menjadi kaget, tak tahu apa yang telah terjadi,
tanyanya : "Siau-jiko, kenapa kau ?"
BeIum sempat si pelayan merangkak bangun menjawab
pertanyaan, dari ambang pintu melenggok berjalan masuk
seorang gadis baju merah, katanya uring-uringan: "Jalan tidak
pakai mata, biar mampus jiwamu. . . ai!" belum habis katakatanya
mendadak ia berseru kejut terus memburu masuk
kamar.
"Nona Li!" begitu melihat gadis baju merah ini yang tak lain
adalah Ang i-mo-li Li Hong, Giok-liong berseru kegirangan
seperti ketemu pamili, namun suaranya menjadi tersendak
dikerongkongan karena kering, hidung menjadi kecut.
Begitu melihat Giok liong yang rebah diatas ranjang, Ang imo
li Li Hong segera memburu maju ke pinggir ranjang,
katanya terperanjat: "Kau. . .bagaimana bisa kau . . . matanya

yang bening jeli laksana mata burung Hong itu lantas
menitikkan air mata.
Peristiwa aneh yang dulu terjadi membawa kesan
mendalam bagi pertemuan Giok-liong dan Ang-mo-li Li Hong
untuk pertama kalinya dulu, Malah Ang i-mo li pernah
menolong jiwa Giok-liong, sejak berpisah sampai sekarang,
walaupun dulu belum pernah bicara secara panjang lebar, tapi
dalam nurani masing-masing sudah bersemi rasa simpatik
sebagai kawan terdekat yang mempunyai ikatan batin antara
mati dan hidup.
Terutama bagi Ang-i-mo li Li Hong, cobalah pikir: bila
seorang perempuan tidak mempunyai rasa cinta kasih, siapa
yang sudi menolong jiwa orang dengan mempertaruhkan jiwa
sendiri. sekarang meskipun ditempat yang tak terduga ini
bertemu kembali malah Giok-liong dalam keadaan sakit berat,
semakin besar rasa tanggung jawab sebagai seorang sahabat
sejati.
Dengan adanya alasan jamak yang alamiah ini, maka
seruan panggilan tadi terdengar begitu mesra penuh
perasaan, ini lebih mengesankan dan mengetuk sanubari.
Bagi Li Hong sendiri, sejak berpisah dengan Giok liong dulu,
boleh dikata satiap saat selalu terbayang akan pemuda
pujaan-nya ini. sekarang begitu melihat sang jejaka terserang
penyakit begitu parah, betapa hatinya takkan sedih. Tak kuasa
mereka saling berpandangan dengan mcngembeng air mata.
Melihat Giok liong adalah kenalan kental Ang i-mo li Li
Hong, apalagi melihat hubungan mereka yang mesra itu, si
pelayan tak hiraukan lagi bokongnya yang jatuh kesakitan
tadi, tersipu-sipu ia merangkak bangun terus menuang teh
lalu diangsurkan kedepan pembaringan, katanya: "Tuan muda
minum teh!"

Membasut air mata yang berlinang Li Hong berkata
kememek: "Bagaimana sampai terserang penyakit demikian?
Kau. . ." disambutnya cawan teh dari pelayan lalu diangsurkan
sendiri ke mulut Giok liong.
Mendapat peluang ini si pelayan lantas berlari terbirit birit
keluar kamar, Tak lama kemudian, laki laki bertengahan umur
bermuka kasar yang dipanggil Siau samya itu telah memburu
masuk kedalam kamar-dengan muka gugup dan penuh rasa
ketakutan dengan langkah lebar segera ia membungkuk
badan menjura dalam, sikapnya ini betul-betul menyebalkan,
dasar manusia penjilat yang rendah budi, ujarnya lirih kepada
Li Hong: "Siocia, dia . . ."
Tanpa melirik sedikitpun Li Hong mengulurkan tangannya
meraba jidat Giok-liong mulutnya lantas mengeluh tertahan:
"Ha-ya, badanmu panas benar." tanpa menanti Giok liong
mengiakan ia-lantas memutar tubuh, menghadapi laki laki
kasar itu, makinya: "Modar kau ! Ayo sediakan tandu, angkut
Siau hiap ini keatas gunung !"
Siau sam si laki laki kasar tadi mengiakan sambil
membungkuk badan dalam hampir saja kepalanya menyentuh
dengkulnya.
Sebentar Ang-i-mo-li Li Hong berpikir, lalu katanya kepada
Giok liong: "Coba kau berdaya mengenakan pakaianmu, aku
tunggu diluar. Tempat ini tidak jauh dari rumahku, kau
istirahat disana nanti ku-panggilkan tabib untuk
menyembuhkan penyakitmu ini. hatimu jangan risau!"
Seperti kakak menghibur adik, seperti pula ibunda yang
mengemang kakinya- hakikatnya tidak lain hanya sebagai
kekasih yang menghibur dan prihatin kepada pujaannya.

Giok liong manggut manggut, susah payah ia mengiakan,
sambil melirik penuh arti Ang i mo-li beranjak keluar terus
menutup pintu.
Seluruh tubuh Gick liong panas sukar ditahan, badan lemas
lunglai. Tapi sekuat tenaga ia berusaha merangkak bangun
terus mengenakan pakaian luarnya, menjemput Potlot mas,
seruling samber nyawa dan Hwi-hun-ling lalu hendak
dimasukkan kedalam buntalannya.
"Hah!" tiba tiba ia berseru kejut waktu tangannya
memegang Jian lian lut siau-hwi sat ling.. seketika terasa suhu
panas badannya segera menurun dan susut sebagian besar,
rasa sakit juga berangsur hilang, selain masih terasa lemas
dan puyeng, kalau dibanding waktu berbaring tadi seumpama
dua orang yang jauh sekali bedanya.
Rasa kejutnya ini terlalu mendadak dan begitu lebih besar
waktu- ia terserang penyakit yang melumpuhkan seluruh
sendi-sendi tulangnya ini. Sebab kejadian ini juga sangat aneh
sekali, pikirannya bagaimana ini bisa terjadi. apa...." Giok liong
terlongong-longong menggenggam Hwi-soat-ling itu. sekarang
keanehan telah timbul lagi, terasa pada telapak tangan yang
menggenggam Jian-lian-Iui-siau-hwi-,soatling itu merembes
sejalur hawa dingin yang menyejukkan terus menerjang
keseluruh urat syarat dan sendi sendi tulangnya meluas
keseluruh badan, dimana hawa dingin ini tiba,terasa semakin
sejuk nyaman, suhu panas yang merangsang dalam badannya
lantas punah tak berbekas lagi, semangatnya lantas
terbangun.
"Ya, tentu begitu!" tak tertahan ia berseru kegirangan.
pikirnya, mungkin aku terserang penyakit panas beracun, Hwisoat
ling ini sangat dingin maka dapat memunahkan suhu
panas, semalam aku buka pakaian dan meletakkannya di
pinggir maka suhu panas terus terjangkit sampai tidak
tertahan lagi.

Tapi, Lwekang yang kupelajari adalah ilmu dari aliran lurus
yang murni, bagaimana aku terserang panas beracun.
Memikirkan penemuannya ini sehingga ia menjublek semakin
lama.
"Blang, blang!"
"Hai, kenapa kau sudah mengenakan pakaian belum?"
diluar pintu digembrong, Ang i mo li Li Hong berteriak tidak
sabaran lagi.
Giok liong tersipu sipu seperti baru sadar dari lamunannya,
sambil masih menggenggam Hwi soat ling ia membuka pintu
sambil tertawa ia berkata: "Wah merepotkan nona Li
menunggu terlalu lama!"
"Haya," saking kejut Ang l mo li Li Hong sampai tersurut
mundur keluar pintu, sepasang matanya kesima dan berkedip
kedip, katanya: "Kau......kau...." sesaat mulutnya melongo tak
mampu bicara.
Giok liong sendiri juga menjadi sulit untuk menerangkan,
mulutnya juga tergagap:
"Aku . . . . . aku. . ."
"Hahahahah!" "Hahahaha!" Hehehehe! Hihihihihihi!"
akhirnya mereka bergelak tawa berhadapan, nadanya penuh
riang gembira.
Saat mana laki laki bernama Siau Sam itu sudah masuk dan
tengah menggamit-gamit maju pelan-pelan dan hati hati di
belakang Ang-i-mo-li Li Hong sebagaimana lazimnya sebagai
budak ia membungkuk hormat, seraya berkata: "Lapor
Toasiocia, tandu...."
Li Hong tengah tertawa riang dan kehilangan kontrol,
mendengar teguran ini seketika merah padam mukanya,
semprotnya sambil mengerut kening dan mendelik: "Siau Lim,

lihatlah tingkah polahmu yang main sembunyi seperti panca
longok."
Siau Sam mengerutkan leher, mundur dua tindak sahutnya
membungkuk badan: "Tadi hamba sudah melapor bahwa
tandu sudah di siapkan !"
Rasa dongkol Li Hong masih belum hilang bentaknya:
"Sudah sana tunggu diluar."
Giok-liong teringat akan sikap Siau Sam yang congkak dan
gagah gagahan tadi, maka ia bertanya: "Nona Li, siapakah
orang ini?"
"Kacung pengantar berita dan tukang gertak sambel !"
Siau Sam si budak rendah itu segera maju setindak lalu
menjura kepada Giok liong katanya: "Hamba yang rendah
bernama Siau Sam . . ."
"Cis !" Li Hong marah semprotnya semakin gusar: "jangan
kau banyak mulut di hadapan Siau hiap ! Tidak tahu diri minta
dilaporkan kepada ayah coba kedua kaki anjingmu dipatahkan
dan dibuang kegunung untuk tangsel srigala,"
Berubah ketakutan air muka Siau Sam, seluruh badan
gemetar. tersipu sipu ia minta ampun: "Harap siocia suka
memberi ampun maafkan kekurang-ajaran hamba, selanjutnya
hamba takkan berani lagi, takkan berani lagi."
Giok-liong rada rikuh malah, katanya memutar haluan:
"Nona Li, penyakitku sudah sembuh, aku masih punya urusan
penting, terpaksa tak dapat berkunjung kerumahmu, biarlah
lain kesempatan !"
Ang-i-mo-li Li Hong tersentak kaget, tanyanya: "Ada urusan
penting?"
"Ya, sebab aku ada suatu janji yang sangat penting harus
ditepati !"

"Janji apakah itu."
"Hal ini . . " Giok-liong menjadi bimbang untuk
menerangkan karena ia tidak suka tentang perjanjian dengan
pihak Yu-bing mokhek diketahui orang lain, kata-katanya
sudah sampai diujung mutui lantas ia berkata putar haluan:
"Aku hendak mencari guruku !"
"Dimanakah gurumu sekarang . . ."
"Sekarang sudah memasuki Bu-lay-san, maka aku buru
buru menyusulnya kemari !"
"Sungguh kebetulan sekali, rumahku berada di Bu-lay san,
kita kan sejalan dan satu tujuan ! "
Terpaksa Giok-Iiong tak bisa mencari alasan lain lagi,
katanya apa boleh buat: "Kalau begitu, marilah kita naik
gunung bersama, setelah sampai di persimpangan kita
berpisah !"
Ang-i-moii Li Hong tersenyum penuh arti, sambil manggut:
"Baiklah!" lalu ia berpaling dan memberi perintah kepada Siau
Sam : "Tandu tak berguna lagi, sediakan kuda!"
Bagaikan mendapat lotre besar, Siau Sam mengiakan
kegirangan.
Setelah keluar dari penginapan benring mereka naik kuda
terus membedal menuju ke Bu Iay-san, sepanjang jalan ini
banyak tikungan dan harus melewati hutan lebat dan himpun
kembang yang berkembang semarak, aliran sungai dengan
airnya yang bening, banyak panorama yang mempersonakan,
BegituIah sambil bercakap cakap seenaknya mereka terus
maju, tak terasa mereka sudah semakin dalam memasuki
pedalaman pegunungan yang semakin jelek dan berbahaya.
Hari sudah lewat tengah hari didepan sebuah selat
terlihatlah sebuah batu gunung yang berdiri setinggi lima

tombak, dimana terukir huruf huruf besar yang berbunyi:
"Pintu masuk menuju Im liong pay !"
Begitu melihat tanda jalan ini, diatas kuda segera Giokliong
menjura kepada Li Hong: "Nona Li aku yang rendah
harus berpisah disini. apakah kudamu ini boleh kupinjam,
nanti setelah turun gunung pasti kukembalikan di penginapan
itu!"
Li Hong cekikikan geli, ujarnya: "Belum saatnya kita
berpisah ucapan berpisah terlalu pagi kau katakan !"
"Apakah nona juga hendak menuju ke Im-liong gay ?
(ngarai angin dingin)."
Li Hong mandah cekikikan lagi, menarik tali kekangnya di
bedal meninggalkannya lari kedepan langsung memasuki selat
sempit yang menuju ke Im-hong-gay itu.
Mau tak mau Giok liong harus berpikir: "Aneh ! Bagaimana
mungkin dia bisa menetap di Im hong gay ?"
Tengah ia berpikir-pikir, kuda tunggangannya tanpa di
kendalikan lagi segera berlari sendiri mengikuti dibelakang
tunggangan Li Hong. Tak lama kemudian pandangan di depan
mendadak menjadi gelap, Kiranya di sebelah depan sana
adalah selat sempit yang diapit oleh lereng gunung yang
sangat curam dan tinggi, ditengah-tengahnya ada mulut selat
yang mereka cukup tiba untuk jalan seorang dan seekor kuda,
Ini betul-betul merupakan jalanan yang sangat bahaya sekali.
Di depan selat sempit ini terdapat pula sebuah baru pualam
warna hijau yang terukir beberapa huruf berbunyi : "Tempat
terlarang Yu bing, sembarang orang tak boleh masuk !"
Baru saja Giok-Jiong hendak berseru mencegah Li Hong
yang memang berjalan di sebelah depan terus membedal
kudanya masuk tanpa melirik keatas batu yang penuh hurufTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
huruf peringatan seumpama tidak melihat saja ia terus berlari
kencang memasuki selat itu.
Bukan begitu saja malah kedua kakinya menendang perut
kuda, saking kesakitan sang tunggangan menjadi jmgkrak
berdiri sambil berbenger keras dan memekik panjang,
suaranya kumandang dan bergema lama dalam alam
pegunungan yang sepi ini.
Bercekat hati Giok-liong, batinya: " Kalau sampai konangan
oleh anak buah pihak Yu-bing mo-khek, lalu bagaimana
baiknya?" karena pikirannya segera ia congklang kudanya
semakin cepat mengejar ketat dibelakang Li Hong, serunya
dengan suara tertahan: "Nona Li ! Kini sudah sampai ditempat
terlarang, menurut hematku . . . Tak sangka dari atas kuda Li
Hong berpaling sambil unjuk senyum manis, katanya
menggoda : "Kau takut?"
"Aku hanya khawatir kau terbawa-bawa dalam kericuhan
ini."
"Haaa! Hahahaha" Ang-i-mo-li Li Hong terloroh loroh geli
diatas kuda, sambil meliuk-liuk badan dan menekan perut,
Bukan begitu saja malah nada tawanya ia tekan dengan
mengunakan lwekang sehingga gelak tawanya melengking
tinggi membelah kesunyian dialam pegunungan, mungkin
suaranya bisa terdengar sejauh lima li dengan jelas.
Keruan Giok-liong semaki gelisah, Tapi hakekatnya mereka
sudah beranjak terlalu dalam paling tidak sudah sampai
ditengah-tengah selat sempit itu, seumpama tidak bisa
menembus terus kedepan untuk putar balik juga tidak
mungkin lagi.
Apa boleh buat dalam hati ia mengeluh panjang pendek:
"Celaka ! jikalau anak buah Yu-bing-mo khek meluruk datang
karena suaranya tadi, Li Hong mana mungkin kuat
menghadapi mereka I" karena pikirannya ini hatinya menjadi

semakin gugup, serunya : "Nona Li ! Apakah kau tahu untuk
tujuan apa aku meluruk datang ke atas Bu-lay-san ini ?"
"Kalau tidak kau jelaskan mana aku bisa tahu," sahut Li
Hong tawar.
"Aku ada janji dengan pihak Yubing-mo khek untuk
menyelesaikan suatu pertikaian !"
"O, begitu ?" ujar Li Hong acuh tak acuh sedikitpun ia tidak
terkejut atau heran.
Giok-liong menambahkan : "Karena itu kuharap nona
berhenti sampai disini saja supaya tidak terbawa-bawa dalam
urusan yang tak ada habisnya ini."
"Yu bing-mo khek itu adalah serigala atau harimau?"
"Ini . . ."
"Kau sendiri tidak takut kepada mereka, masa aku Li Hong
harus takut ?"
"Bukan begitu maksudku !"
"Kalau tidak, mengapa kau selalu mendesak aku kembali
saja ?".
"Karena aku tidak ingin melihat nona terlihat dalam urusan
ini, maka . . . "
"Seumpama tidak ingin terlihat juga tidak mungkin lagi."
"Kenapa begitu ?"
"Sebab dengan adanya kau, aku . . ."
Ucapannya yang terakhir tak terdengar lagi oleh Giok-liong
saking lirihnya. sambil menoleh ke belakang tampak sepasang
mata Li Hong yang memancarkan cahaya yang cemerlang
melirik penuh arti kepada Giok-liong.

Saat mana mereka sudah dekat mulut keluar selat sempit
itu. Tidak jauh didepan sana dalam semak belukar sudah
tampak gerak gerik bayangan orang.
Melihat ini segera Giok liong tarik tali kekangnya membedal
kuda menerobos lewat kedepan menghadang di depan Li
Hong, dengan suara berat ia membentak : "Nona Li berhenti,
lihatlah !"
Belum hilang suaranya dari berbagai penjuru di semak
belukar itu beruntun melompat keluar puluhan laki laki
seragam abu-abu berambut panjang, sambil bersuit nyaring
mereka menghadang didepan jalan.
Rombongan laki laki ini semua berambut panjang terurai,
jubah panjang menyentuh tanah, terang mereka setingkatan
dengan para rasul dan pihak Yu bing-mo khek, sudah tentu
hal ini membuat Giok liong kaget dan bersiaga ?
Dari atas kuda Giok liong melompat tinggi setombak lebih
terus hinggap diatas tanah, serunya sambil membusung dada
: "Aku yang rendah menepati janji tiga bulan yang lalu ke Imhong
gay ! Lekas laporkan kepada ketua kalian!"
Tak duga para rombongan seragam abu-abu seperti tidak
mendengar seruannya, mata mereka semua tertuju kearah
Ang i-mo li Li Hong masih bercokol diatas kuda.
Keruan Giok-liong menjadi uring-uringan dan gelisah. Tapi
Li Hong sendiri bersila tenang seperti tidak terjadi apa apa,
malah unjuk senyum menggumam, katanya kepada Giok liong
dengan lembut: "Naiklah kekudamu, perjalanan masih cukup
jauh."
Giok liong terlongong heran serunya gugup: "Nona Li,
orang orang ini . . ." maksudnya hendak berpaling lagi
menunjuk rombongan abu-abu itu serta memberi lahu kepada
Li Hong siapa mereka adanya, siapa tahu, waktu ia menoleh
balik lagi, orang orang seragam abu-abu itu seperti hilang di

telan bumi tak kelihatan lagi bayangannya, entah kemana
perginya.
"Aih ! "sesaat Giok liong menjadi melongo ditempatnya
karena tak menduga sebelumnya.
Ang i-mo-li Li Hong bersikap biasa suaranya juga wajar,
katanya menunjuk tunggangan Giok-liong: "Naiklah mari kita
lanjutkan kedepan !"
Giok-liong seperti tenggelam dalam lautan kabut tebal yang
gelap, matanya menjelajah kesekitarnya, tapi keadaan sunyi
senyap tanpa suara apa-apa, terpaksa ia naik keatas kudanya
lagi, katanya coba memancing: "Nona Li rumahmu . . ."
Tanpa menanti Giok-liong berkata habis Li Hong sudah
menunjuk gunung gemunung di depan sana sembari berkata:
"Di depan itulah tak jauh lagi !"
Walaupun hati Giok-liong penuh curiga tapi terpaksa ia
mengintil maju terus. kira-kira beberapa ratus meter
kemudian, disebelah depan dpinggir jalan terdapat sebuah
pohon besar diatas pohon inilah terpasang papan kayu diatas
kayu ini digambar setan terbentuk makhluk aneh, dimana
tertulis delapan huruf besar yang berwarna merah darah
berbunyi "Daerah terlarang, masuk mati."
Giok liong tak tahan lantas berteriak sambil membedal
kudanya mengejar kedepan. "Nona Li, lekas turun, lekas turun
!"
Li Hong mandah berseri tawa, sikapnya wajar ujarnya
dengan nada menggoda: "Kenapa?"
"Tidakkah kau melihat papan larangan itu?"
"Didepan masih ada satu lagi !" betul juga kira-kira puluhan
meter kemudian diatas pohon ada pula papan kayu yang
dipancang diatas pohon, kali ini berbunyi: "Dilarang
kembangkan silat letakkan senjata tajam!"

Giok-liong lantas berpikir: "Sungguh aneh kalau melarang
orang masuk kenapa dipasang lagi papan larangan kedua
yang satu sama lain menjadi kontras, bukankah berarti
menampar mulutnya sendiri !"
Ang i-mo li Li Hong agaknya dapat menyelami isi hati Giok
liong, ujarnya genit: "Papan larangan ini khusus di tunjukan
kepada kaum dalam orang orang Mo-khek sendiri !"
"Oh, masa orang-orang Mo-khek sendiri kalau masuk ke
dalam sarang juga harus meletakkan senjata dan dilarang
menggunakan ilmu sifatnya ?"
"Sudah tentu, sesuai dengan larangan itu !"
"Lalu kita ini . . . ."
"Kita juga termasuk orang sendiri, maka tidak perlu
mendapat larangan sesuai dengan papan larangan pertama !"
"Kita ? Orang sendiri ?"
"Kau diundang kemari, dan aku tinggal disini, bukankah
termasuk orang sendiri!"
"Ada orang datang."
Benar juga disebelah depan dari dua samping jalan
melayang layang seperti tidak menyentuh tanah berkelebat
keluar delapan belas laki-laki kekat berambut panjang
seragam hitam, gerak langkah mereka sangat aneh dan lucu
sekali, terang kepandaian rombongan kedua ini jauh lebih
lihay dan tinggi dibanding dengan rombongan seragam abuabu
tadi.
Segera Giok-liong siap terus mengerahkan Ji lo untuk
melindungi badan, Siapa tahu kiranya kedelapan belas laki-laki
seragam hitam ini lantas berbaris rapi dikedua pinggiran jalan
di belakang papan larangan kedua itu, semua berdiri tegap
dengan mata tertuju ke depan tanpa bergerak dan bersuara.

"Mari !" Ang-i-tno li Li Hong mengajak Giok-liong maju
terus, dengan pecut ditangan ia mencongklang
tunggangannya terus menerobos ke depan melewati tengah
tengah deretan barisan, ke delapan belas seragam hitam itu.
Jantung Giok-liong berdebar keras, hatinya menjadi waswas
dan risau, tak tahu apa yang bakal terjadi dan apa pula
sebabnya.
"Kalau sudah berani datang, apapun akibatnya harus berani
dihadapi, Tak peduIi sarang naga atau gua harimau,
keadaanku seumpama anak panah yang terpasang di-busur,
tinggal dilepaskan, seperti menunggang harimau yang sulit
turun, betapapun aku tak boleh unjuk kelemahan supaya tdak
dipandang ringan olen mereka !" karena pikirannya ini, Giokliong
tak banyak mulut lagi, mengintil di belakang Li Hong
iapun sedepan pelan-pelan.
Kira-kira dua puluhan tombak lagi, di-depan sana terlihat
lagi papan larangan ketiga kali ini hanya tertulis dua huruf
besar warna hitam : "Tenang !"
Sampai didepan papan larangan Li Hong menghentikan
kudanya terus turun dari tunggangannya, serunya merdu
menggiurkan: "Sudah sampai turun."
Belum lagi Giok-liong bergerak turun, bayangan orang
berkelebat, dari belakang papan larangan itu melayang keluar
empat orang aneh berambut panjang yang mengenakan
seragam kuning.
Cara dandanan keempat orang aneh ini serupa dan sama,
rambutnya riap-riapan dengan roman muka yang kasar dan
beringas sangat menakutkan, apalagi panca inderanya tidak
lengkap, kulit mukanya penuh tergores bekas luka luka dari
senjata tajam yang matang melintang, jadi hakikatnya roman
mukanya ini sudah tidak menyerupai wajah manusia

umumnya. Sekali pandang saja orang akan ketakutan dan
merinding.
Begitu menginjak tanah tersipu-sipu mereka memburu
maju menyambut ke depan Ang i mo li Li Hong terus menyapa
berbareng: "Siocia telah pulang !"
Sesaat Giok-liong tertegun diatas kudanya, pikirnya: "Apa Li
Hong warga Yu-bing-mo-khek?", tapi tiada banyak tempo
untuk dia berpikir.
Dengan sikap angkuh dan besar- besar Li liong manggut
lalu katanya menunjuk Giok-liong: "Su-ciang ( empat panglima
) menghadap pada Ma Tay hiap !"
Mendapat perintah ini keempat orang aneh itu saling
pandang sebentar terus maju melangkah sambil menjura
kepada Giok-liong, serunya bersama : "selamat datang Ma
Tay-hiap !"
Dengan suara merdunya lantas Li Hong memperkenalkan:
"inilah Ang-keh su-ciang, tokoh kosen langsung dibawah
Sancu (ketua) Bu lay-san, Kaum bulim baik golongan hitam
bila mendengar namanya pasti lari ketakutan, untuk aliran
putih paling tidak akan mengerutkan kening, puluhaa tahun
yang lalu mereka sudah malang melintang di Kangouw dengan
nama Ang-st su-ni ing (empat pan!a-tvaa dari keluarga Ang)"
Ang keh-su ciang mundur berbareng sembari mengiakan :
"Siocia terlalu memuji hamba sekalian !"
Namun sedikitpun Li Hong tidak hiraukan mereka lagi,
tanpa banyak omong lagi tangannya menjulur menyilahkan
serta berkata kepada Giok-liong : "Silakan !"
Bagi Giok liong semua yang dihadapi ini menjadi serba
diluar dugaan, semua dirasakan aneh dan mengherankan,
terpaksa ia bersikap acuh mengikuti situasi dengan manggut

manggut tersenyum, menurut yang ditunjuk Li Hong ia
mendahului berjalan di depan.
Setelah belak belok beberapa kali pemandangan di depan
mata mendadak berubah sama sekali, sebuah lereng bukit
yang terjal tak kelihatan ujung pangkalnya setinggi ribuan
meter terbentang di depan mata, betapa curam dan
berbahaya sungguh menggiriskan sekali, Puncak tertinggi tak
kelihatan diselimuti awan tebal, angin menghembus keras
menyampuk muka.
Di dasar lereng curam sana pohon pohon siong dan pek
tumbuh subur, air sungai mengalir deras sekali laksana derap
ribuan kuda yang mecnbedal kencang menggetarkan bumi
memekakkan telinga, mengiring dasar jurang didasir lereng
gunung curam itu adalah sebuah jalanan gunung yang penuh
ditaburi lumut yang sangat licin sekali, sekali kurang hati-hati
begitu terpeleset pasti badan akan jatuh masuk jurang tak
terkira dalamnya.
Sampai di ujung jalan kecil pegunungan ini dihadapannya
dihadapi banyak gua-gua yang hitam gelap, gua-gua ini
berjajar sedemikian banyak tak kurang sembilan belas lobang.
Gua besar yang terletak dipaling tengah teratas atapnya
terukir huruf huruf kuno yang besar berbunyi , "Yu Bing !"
Melihat kedua huruf besar ini tanpa merasa Giok-liong
menghentikan langkahnya, katanya kepada Ang-i-mo-li Li
Hong: "Nona Li, kau adalah . . ."
Li Hong tersenyum simpul, ujarnya, "Masuk dulu, nanti kita
bicara lagi!"
Belum lenyap suara Li Hong, mendadak "Kok ! kok ! sebuah
jeritan keras yang pendek menembus angkasa terdengar dari
puncak lereng yang tinggi sana.
Tak kuasa berubah air muka Li Hong sesaat ia tertegun
melenggong.

Giok-liong sendiri juga menjadi kaget dan kesima
mendengar suara itu.
"Siuuuuur . . . . ." terdengar angin berkesiur di susul
subuah bayangan merah melesat keluar dari Yu-bing-khek
menyusuri jalan kecil diatas lereng itu beruntun beberapa kali
loncaran saja ringan sekali sudah meluncur turun dan hinggap
disamping Li Hong.
Pendatang ini kiranya adalah seorang laki-iaki, tiga puluhan
tahun, pakaian merah yang dipakainya itu sangat menyolok
mata, kedua biji matanya berkilat tajam, pertama tama ia
tetap Giok liong lalu beralih pandang ke arah Li Hong, katanya
lantang: "Dik, kau sudah kembali ?"
Tidak menjawab sebaliknya Li Hong baru bertanya: "Toako
dipuncak lereng - - ."
"Ayah naik ke puncak sana untuk menepati janji kupikir. . ."
Li Hong bertambah heran, tanyanya mengerut kening:
"Menepati janji?" lalu ia berputar menghadapi Giok liong
katanya lagi: "Kau punya teman?"
Giok liong menggeleng kepala dengan keheranan, katanya:
"Teman? Aku? Tidak?"
"Lalu siapakah dia?" Ang-i-mo-li Li Hoog menggumam dan
berkata seorang diri sambil merenung lalu katanya kepada
laki-laki berbaju merah itu: "Toako layanilah Ma Siau-hiap ini
masuk ke dalam lembah biar aku naik keatas melihat-lihat."
Cepat-cepat Ang-mo atau laki-laki berpakaian merah itu
menggoyang tangan serta berkata gugup: "Dik, jangan
bagaimana watak ayah masa kau tidak tahu?"
"Apa yang dikatakan ayah?"
(Bersambung Jilid ke 20)
Jilid 20

"Sebelum naik ayah pernah berpesan, kecuali dari atas
puncak ayah melepaskan kembang api tanda sos, siapapun
dilarang naik kesana, Malah dipesan pula wanti-wanti supaya
aku dan kau tidak turut campur dalam persoalan ini !"
"Begitu ?"
"Menurut ayah katanya musuh yang datang kali ini adalah
seorang tokoh tenar yang kenamaan, diminta kita harus hatihati
supaya tidak dipandang ringan oleh musuh !"
Kakak beradik saling bercakap sendiri sehingga Giok liong
menjadi melongo dipinggir menyepi seorang diri.
Maklunn hakikatnya terhadap riwayat dan asal usul Ang-imo-
li Li Hong sedikitpun Giok-liong tidak tahu apa-apa, Walau
sekarang dari pembicaraan mereka dia berani memastikan
bahwa Li Hong adalah salah satu warga dari Yu-bing-mo-khek,
namun dia sendiri belum berani ambil kepastian apa tujuan
dan maksud orang terhadap dirinya.
Maka begitu ia mendengar kata-kata "menepati janji" di
atas puncak lereng itu, lantas ia menjadi maklum bahwa
janjinya untuk hadir meluruk ke Yu-bing mokhek pada tiga
bulan yang lalu kiranya sudah tiba saatnya.
Dirinya terang sudah setindak terlambat, lalu orang yang
menepati janji diatas itu apakah gurunya ? Kalau itu benar
betapa juga aku harus segera menyusul kesana.
Lalu pura-pura ia batuk batuk, katanya : "Eh, nona Li ! Aku
. . . "
"Haya, coba lihat aku sampai kelupakan memperkenalkan
kalian !" seru Li Hong memutus kata kata Giok-liong, "Ini
adalah engkohku, yang diberi nama julukan Ang-i mo-su (iblis
merah) Li Hong, Dan dia adalah Kim pit-jan hun Ma Siau hiap
yang menggetarkan dunia persilatan di Tiong-goan !"

Berjelilatan pandangan Ang-imo-su Li Hong katanya raguragu:
"Dik !"
Li Hong cemberut, katanya melerok sambil mengurut
kening: "Toako, tamu sudah sampai diambang pintu, masa
tidak kau silahkan orang masuk ke dalam gua !"
Giok-liong menjadi keripuhan, katanya tergagap: "Nona Li,
kedatanganku ini adalah . . . . "
Tanpa menanti Giok liong bicara habis Li Hong sudah
menyelak: "Untuk menepati janji di Im-hong gay bukan,
kenapa tergesa-gesa ? Kutanggung takkan sia-sia dalam
perjalananmu !"
Saat mana berulang kali terdengar suara bentakan dan
damparan angin keras di atas puncak sana, meskipun
suaranya hanya samar-samar dan lembut sekali, tapi
kedengaran sangat jelas.
Giok liong menjadi tidak sabaran lagi, kitanya: "Suara itu"
"Watak ayahku sangat aneh, kalau sudah dikatakan
melarang orang ketiga turut campur tangan, siapapun jangan
harap diijinkan naik kasana."
"Tapi. . ."
"Mari silahkan masuk untuk istirahat!" sambil berkata
dengan kerlingan mata yang penuh arti Li Hong mengulur
tangan menggandeng tangan Giok liong terus ditarik
melompat begitu mendaratkan kakinya dijalan kecil menanjak
keatas sana mulutnya berseru: "Hati hati!" sambil berkata
tangan masih menarik kencang kakinya terus menjejak tanah
lagi terus melambung tinggi ke depan.
Tanpa merasa merah jengah selembar muka Giok liong,
pergaulan laki perempuan harus ada batasnya, betapa juga
tidak baik rasanya dirinya digandeng seorang gadis diajak

jalan-jalan berlo-rcnrsr, maka dengan suara lirih ia berkata:
"Nona Li! Lepaskan tanganmu, biar aku jalan sendiri!"
Benar juga Angi mo li Li Hong melepas cekalannya, sambil
cekikikan beruntun berapa kali lompatan ringan sekali ia sudah
menerobos masuk kedalam gua besar ditengah itu. berdiri
diambang pintu gua besar ia menggape tangan kepada Giok
liong.
Saat mana Ang i mo-su Li Liong juga sudah mengintil
dibelakang Giok-liong, seru-nya: "Ma Siau hiap, mari silahkan!"
Giok liong menjadi serba salah, terpaksa ia jejakkan kaki
badannya lantai melejit tinggi, mulutnya berseru: "Silakan!"
dengan gaya Ceng-ting tiam cui sedikit kakinya menutul di
tanah jalan pegunungan kecil itu langsung ia terus menerobos
masuk kedalam Yu-bing-khek.
Dilihat dari luar keadaan dalam gua merupakan ruang yang
gelap gulita, namun setelah berada didalam pandangan mata
seketika berubah, bukan saja keadaan didalam terang
benderang malah perabot dan pajangannya serba mewah dan
megah sekali, tak kalah dengan hiasan istana raja.
Ang i mo li Li Hong berkata tertawa: "Ditempat
pegunungan, keadaan serba sederhana, harap tidak
ditertawakan!"
Bagi Giok liong sudah tidak bakal memperdulikan segala hal
tetek bengek ini, mulutnya lantas berkata: "Nona, sebelum ini
aku yang rendah betul betul tidak tahu kalau kau adalah putri
dari ketua Mo khek ini!"
Li Hong menggigit bibir sambil tersenyum tawar, ujarnya:
"Sekarang setelah tahu lalu bagaimana?"
Giok liong tercengang akan pertanyaan ini, katanya:
"persahabatan kita masih tetap baik, apalagi nona berbudi
padaku kelak bila ketemu saatnya pasti kubalas kebaikan ini!"

"Dapat membedakan budi dan dendam, betul-betul pambek
seorang laki-laki!"
"Saat ini aku yang rendah tiada tempo tinggal disini lamalama!"
"Kau hendak kemana?"
"Aku harus menuju ke Im-hong-gay!"
"Kau hendak bergabung dengan pendatang itu untuk
mengeroyok dan membunuh ayahku?"
"Aku yang rendah tiada maksud demikian"
"Lalu kenapa kau tergesa gesa harus pergi ke Im-hong
gay!"
"Bicara terus terang. Orang yang berada di lereng sana dan
tengah bertempur dengan ayahmu itu adalah guru berbudi
dari Giok liong!"
"Ha !" Ang i mo Li Hong tersentak kaget sehingga berubah
air mukanya.
Sementara itu Ang i mo su Li Liong juga sudah beranjak
masuk kedalam gua itu, mendengar kata-kata Giok-liong,
badannya tergetar hebat, desisnya geram: "Jadi mulutmu saja
yang mengudal jiwa kesana dan segala kebajikan, tak tahunya
perbuatanmu sedemikian rendah dan hina dina, sungguh picik
dan memalukan!"
Dicecar sedemikian kotor dongkol hati Giok-liong, serunya
lantang : "Kata-kata saudara ini apakah tidak keterlaluan
sedikit."
"Apakah tuduhanku salah ? Dengan lagak dan pamormu ini
kau menyelundup masuk kesini, sedang guru yang kau
undang diam-diam naik ke atas lm hong-gay, apakah kau
hendak mungkir lagi ?"

Angi-moli Li Hong menghela napas, ujarnya penuh
kesedihan dan mendelu : "Kalau benar begitu, teilmutt aku
salah lihat orang !"
Seperti disayat-sayat perasaan Giok-liong cepat-cepat ia
memberi keterangan: "Karena aku selalu terlibat dalam
banyak pertikaian di Kangouw, sehingga guruku menjadi
khawatir aku terlambat datang dan tidak menepati janji disini,
maka beliau datang lebih dulu untuk mewakili aku, aku
sendiripun belum lama ini mengetahui dari Pat-ci-kay-ong.
Untuk tidak menyusahkan guruku yang berbudi maka siang
malam kutempuh perjalanan jauh memburu tiba disini,
hakikatnya selama ini aku sama sekali tidak pernah jumpa
dengan Suhu, dari mana bisa dikatakan aku bersekongkol dan
tidak seharusnya pula menuduh aku menyelundup dan
menerjang ke sarang kalian ini !"
Tak duga Li Liong bersikap kasar dan keras kepala,
bentaknya dengan gusar: "Omong kosong dan main debat
belaka, siapa mau percaya obrolanmu, aku khawatir kau bisa
datang tak bisa kembali lagi !"
"Belum tentu !" jengek Giok- liong naik darah.
Li Long berjingkrak semakin gusar seperti kebakaran
jenggot, semprotnya: "Hm, kau terlalu pandang rendah pihak
Yu-bing-mo khek kami, paling tidak kau harus menerima
hajaran yang setimpal."
Lalu dari dalam bajunya dikeluarkan sebuah bumbung
sepanjang lima senti terus diayun dan dilempar keluar gua.
Dari samping Li Hong buru-buru berseru dan mencegah:
"Engkoh jangan sembarangan kau lepaskan pertanda gawat
perintah berapi itu !"
Tapi sudah terlambat karena bumbung di tangan Li Liong
itu sudah meluncur keluar gua dengan mengeluarkan suitan
panjang lalu terdengarlah ledakan keras ditengah udara,

kembang api berpencar dan berteman di angkasa, Dari satu
menjadi dua dan dari dua berkembang menjadi empat
begitulah seterusnya semakin bertambah banyak, sebentar
saja seluruh keadaan alam sekeliling Yu-bing-mo-khek dari
luar dan belakang menjadi terang benderang dengan taburan
percikan api yang menyolok mata !
Keruan Li Hong menjadi gugup, teriaknya ketakutan :
"Celaka! Engkoh, bila syah melihat pertandumu itu bukankah
akan menambah kekhawatirannya ! "
Sebaliknya Li Liong menuding Giok liong dengan marah:
"Tangkap dan ringkus dia dulu, bicara belakang !"
"Kukira tidak begitu gampang !" seiring dengan ejekannya
ini Giok liong melejit cepat sekali terus menerjang keluar gua.
"Lari kemana kau!" Ang i mosu Li Liong berdiri tegak
ditengah jalan, dimana kedua tangannya bergetar, tetus
didorong dengan sebuah jurus hantaman yang kuat sekali
untuk merintangi luncuran tubuh Giok-liong..
Berubah dingin air muka Giok liong, dilihatnya diluar sana
diambang pintu samar-samar berjajar delapan belas orang
aneh seragam hitam rambut panjang, mata mereka
memancarkan kilat tajam dengan sikap berang mereka
bersiaga siap tempur, dilihat gelagat ini, agaknya untuk
menerjang keluar gua bukan pekerjaan gampang, paling tidak
harus mengeluarkan banyak tenaga dan menguras keringat.
Dengan tawa dingin ia berpaling kearah Li Hong serta
katanya "Nona! inikah tujuanmu memancingku kemari, terlalu.
. ."
Merah padam selembar muka Li Hong sampai kekupingnya,
epat ia membela diri: "Ini. . ."
"Dik jangan turut campur, Akan kulihat cara bagaimana ia
hendak lolos keluar dari Yu-bing mo-khek!"

"Baik akan kubuat matamu terbuka!" dimana bayangan
putih menerjang tiba kuntum mega putih juga lantas
menubruk datang.
"Bocah keparat, sudah terkepung juga masih berani
bertingkah!" tanpa gentar sedikitpun Li Liong juga menerjang
maju, terjadilah pertempuran dahsyat didalam sarang gua
pihak Yu bing.
Hakikatnya Yu-bing-mo-khek belum lama berdiri, namun
ilmu pelajaran mereka mempunyai kehebatannya sendiri, jauh
berbeda dengan aliran pelajaran silat kaum persilatan
umummya.
Demikianlah akan Li Liong si iblis merah ini adalah putra
tunggal ketua mereka, sudah tentu pelajaran silatnya sudah
mendapat didikan langsung dan lihay luar biasa, merupakan
salah seorang tokoh paling diandalkan dari pihak Yu bing mo
khek.
Cara permainan silatnya memang sangat menakjupkan
gerak geriknya lincah dan tipu-tipunya sulit diduga dan banyak
perubahannya lagi, terutama lwekangnya yang aneh dan sulit
dijajaki.
Maka untuk sementara waktu kedua belah pihak berlaku
sangat hati-hati untuk menyelami ilmu masing masing. Mega
putih dan bayang merah saling bergumul dan beterbangan
didalam gua besar itu, angin menderu kencang.
Giok liong sebelumnya tak menduga bahwa Ang i mo su Li
Liong ini membekal lwekang yang begitu aneh dan lihay,
sebaliknya Li Liong sendiri juga tidak menyangka bahwa Giok
liong ternyata sudah sempurna dalam latihan kepandaian
silatnya.

Maka sesaat bayangan mereka berkelebat cepat, tak dapat
lagi dibedakan apakah itu kepalan tangan silau tendangan kaki
yang terang angin keras menderu sehingga sulit dibedakan
jurus-jurus apa yang telah mereka lancarkan.
Dalam pada itu delapan belas Tongcu ditambah para rasul
berseragam abu-abu itu tengah bergerombol di ambang gua
dan menonton dengan kesima sehingga jalan keluar menjadi
buntu, Meskipun mereka tak berani masuk untuk bantu
mengeroyok, tapi jauh diambang pintu itu mereka berteriakteriak
dan bersorak memberi dorongan semangat.
Adalah Ang i moli Li Houg yang menjadi serba salah,
karena kedua pemuda yang tengah bertempur ini masingmasing
setaraf kepandaiannya, siapapun takkan mau
mengalah, sehingga sulit untuk dirinya menyelak di tengah,
apalagi mencegah dengan seruan kata kata saja.
Sementara suara pertempuran diatas Im-hong gay sana
juga samar-samar berkumandang terbawa angin. Li Hong
menjadi semakin gelisah, teriaknya keras: "Engkoh. berhenti
dulu, ayah. . ."
Dengan keras Li Liong dorong sebuah pukulan seraya
membentak: "Ringkus dulu bocah ini!"
Giok liong sendiri juga tengah memgkhawatirkan
keselamatan Suhunya, karena terjangan dan halangan Li liong
ini hatinya semakin gopoh, melihat orang memukul dengan
kekuatan penuh segera ia gerakkan kedua tangannya sambil
mendatar terus disurung maju memapak ke depan, mulutnya
juga menghardik lantang: "Minggir!"
Hantamannya dilandasi delapan bagian Lwekang Giok liong,
Maka terjadilah kuntum mega putih berkembang menggulung
maju mengeluarkan desis suara keras laksana angin badai
seperti gugur gunung dahsyatnya menerpa kedepan !

Meskipun Lwekang Li Liong aneh tapi latihannya masih
terpaut jauh sekali, seketika ia rasakan dada seperti dipukul
godam, darah bergolak menyesakkan napas, berdiri juga tidak
kuat lagi, diam-diam mengeluh dihati : "Ce!aka !"
Seiring dengan bentakan tadi badan Giok-liong juga sudah
melambung meluncur ke depan.
Kontan badan Li Liong terpental jauh melayang-layang
seperti layangan putus terus meluncur keluar gua di depan
sana.
"Kokoh." Li Hong berteriak dengan dengan panik, tubuhnya
melompat sekuatnya meluncur mengejar, apa boleh buat jarak
terlalu jauh, teraling oleh Giok-liong lagi, maka tak mungkin ia
dapat meranggeh tubuh engkohnya itu.
Sementara itu, para Tong cu serta beberapa puluh rasul
pakaian abu abu semua turun meloncat tinggi memapak maju
hendak menyambut badan Li Liong yang terbang pesat itu.
Tak tahunya luncuran daya badan Li Liong adalah
sedemikian cepat dan keras karena dipukul dengan seluruh
kekuatan tenaga Giok liong sehingga seperti lebih cepat dari
anak panah, apalagi kejadian terjadi begitu mendadak
sehingga siapapun telah menangkap tempat kosong.
Terpaksa semua mata mendelong memandangi bayangan
merah terbang keluar gua di dorong angin kencang terus
meluncur keluar gua dan jatuh ke dalam lembah yang tidak
kelihatan dasarnya sana. Sudah pasti dengan jatuh kedalam
jurang sana badannya tentu hancur lebur.
Tepat pada saat itu, dari puncak bukit lereng ci-)-i g-:n?i
se")ua-i bayangan kuning besar melambai-lambai seperti
seekor burung garuda besar tengah menukik turun deagan
cepat sekali sambil bersuit panjang, teriaknya : "Anak Liong "

Terdengar suaranya begitu gelisah dan gugup, maka daya
luncuran tubuhnya juga semakin kencang menukik turun.
Tepat pada saat semua orang mengelak dan tak mampu
memberi pertolongan lagi, bayangan kuning itu laksana
bintang jatuh melesat lewat di-depan pintu gua begitu cepat
sampai pandangan semua orang terasa kabur.
Kalau dikata lambat, kejadian adalah begitu cepat, Terlihat
bayangan kuning itu menjejakkan kedua kakinya dan saling
silang, tangannya terus diulur meraih kebawah seraya
membentak : "Naik !"
Tepat sekali tangannya kena menyengkeram baju Li Liong
serta menahan daya luncuran tubuhnya yang meluncur jatuh.
Akan tetapi karena dia sendiri juga meluncur turun dari atas
laksana mengejar setan maka untuk sesaat sukar untuk
menahan daya luncuran jatuhnya, maka badan mereka berdua
tetap melayanig ke bawah.
"Ayah !" pekik Ang-i mo-li-Li Hong kegirangan dan waswas.
Bayangan kuning yang menangkap tubuh Li Liong dan ikut
memang jatuh itu, mendadak bersuit keras dan panjang,
begitu nyaring lengking suitan ini sampai bergema dan
kumandang di seluruh alam pegunungan yang luas dan
terbuka ini.
Disaat ia memperdengarkan suitan panjangnya inilah
terlihat ia menekuk pinggang di tengah udara menggunakan
daya Teng-kiau ki hong" sehingga daya luncuran kebawahnya
kena dihambat dan menjadi lamban, begitu ia membalik
badan kedua tangannya terus angkat Li Liong tinggi diatas
kepalanya, dengan begitu bukan saja badan mereka yang
melayang kena terhambat, disusul dengan ilmu memanjat
tangga langit di kembangkan lalu dirubah pula dengan jurus
Ping-te ceng-hun (awan berkembang ditanah datar) laksana

sebuah meteor seperti permainan kembang api yang meluncur
ditengah udara terus melesat naik keatas.
Delapan belas Tong-cu serta para rasul dan anak buah
lainnya seketika bersorak sorai suaranya gegap gempita. Giokliong
sendiri juga kagum dan memuji dalam hati akan
kehebatan lwekang siorang tua berpakaian kuning yang
mempunyai ilmu tunggal tiada taranya.
"Ayah ! "dengan riang Li Hong memburu maju kepinggir
jurang dan berteriak ke arah laki-laki berbaju kuning itu. Baru
sekarang jelas bagi Giok-liong bahwa laki-laki baja kuning ini
bukan lain adalah Yu-Bing-khek cu Li Pek-yang.
Saat itu adalah kesempatan paling baik untuk tinggal pergi
saja, sebab perhatian semua orang tengah tertuju pada diri Li
Pek-yang, Tapi dia tak mungkin pergi sebab dia harus segera
tahu apakah benar gurunya sudah datang mewakili dirinya
menepati janji itu? Dan yang lebih penting lagi bagaimana
akhir dari adu kepandaian diatas ngarai angin itu?
Yu-bing-khek-cu Li Pek-yang ternyata adalah seorang lakilaki
bertubuh kekar dan tinggi besar, wajahnya dihiasi
jambang bauk lebat, mukanya warna merah seperti kepiting
direbus, dengan gerakan Biau-si-sin hoat ringan sekali ia
kempit tubuh Li Liong masuk kedalam gua.
Begitu menginjak tanah pandangan matanya lantas tertuju
kearah Giok-liong berpaling ia tanya pada putrinya: "A-nak
Hong ! Siapa dia?"
Delapan belas Tong cu serentak mendahului menjura serta
menjawab berbareng: "Dia inilah Kim pit-jan hun Giok-liong !."
"Oh" tak tertahan Li Pek-yang berseru kejut, Melihat muka
ayahnya mengunjuk rasa kaget dan heran, khawatir ayahnya

segera turun tangan, cepat-cepat Li Hong memburu maju
dihadapannya serta serunya pelan:." Yah. . !"
Pandangan Yu bing-khek-cu Li Pek-yang terpancar tajam
dingin, sambil masih menenteng tubuh Li Liong ia bertanya
dengan nada berat: "Yang memukul terbang anak Liong jadi
kau ini ?"
"Tidak salah, memang aku yang rendah adanya !"
"Aku yang rendah ? Begitu takabur kau sehingga
membahasakan diri Wanpwe saja tidak sudi sombong benar !"
"Aku datang untuk menepati janji, kawan atau lawan toh
belum jelas."
"Kawan atau lawan belum jelas ?" ulang Yu-bing khek-cu Li
Pek-yang menarik muka tiba-tiba suaranya menjadi bengis:
"Sudah terang belum tahu kawan atau lawan, kenapa lantas
turun tangan melukai orang ?" sambil berkata ia serahkan
tubuh Li Liong kepada salah seorang Tongcu dibelakangnya,
kakinya terus melangkah tindak demi tindak kearah Giok liong.
Berubah pucat wajah Li Hong, teriaknya : "Ayah. . . ."
"Jangan turut campur !" Yu bing khep cu Li Pek-yang
memicingkan mata menatap Giok-liong, jarak mereka tidak
lebih tujuh kaki, sekali ulur tangan saja cukup meranggeh.
"Delapan belas Tongcu berdiri tegang dan bersiaga,
bernapaspun mereka tahan pelan-pelan.
Sedikitpun Giok-liong tidak merasa gentar, diam diam ia
kerahkan Ji-lo, katanya lantang : "Haha, kejadian ini jangan
kau salahkan aku yang rendah !"
"LaLu salahkan siapa ?"
"Anak masmu itu yang turun tangan dulu !"
"Kau berani menyelundup ke sarang kita lalu harus
salahkan siapa ?"

"Aku datang untuk menepati janji !"
"Kenapa tidak langsung ke Im-hong-gay ? sebaliknya kau
menerjang dan membikin onar di sini ? "
"ini . . . . " pandangan Giok liong beralih ke arah Ang-i mo-li
Li Hong Li Hong, tahu Giok- liong tidak enak buka mulut
secara terang- terangan, maka lekas-lekas ia tampil ke depan
serta katanya : "Yah ! ini . . . aku lah yang membawanya
kemari, jangan kau salahkan dia !"
Giok-liong bergelak tawa, dengan menyeringai ejek dia
pandang Yu-bing-khek-cu. Tak diduga, Yu-bing khek cu Li
pek-yang menyentak dengan suara rendah berat: "Anak Hong
jangan banyak mulut!"
Li Hong menyambung lagi : "Memang benar akulah yang
membawa dia kemari, Ayah !"
"Huh," Yu-bing-khek cu mendengus lalu katanya: "Kau kira
dia sengaja datang untuk menepati janji ? Hakikatnya dia
mengundang seorang tokoh kosen lain menanti Lohu di
puncak Im-hong gay, ini terang sengaja hendak membokong
ayahmu, tapi mana dapat mengelabui aku !"
Giok-liong menjadi kaget, tanyanya : "Tokoh kosen ? Siapa
?"
"To ji Pang Giok."
"O, beliau adalah guruku!"
"Ya, guru dan murid berintrik mengatur tipu muslihat ini
lebih kenyataan belangnya."
Tanpa menjawab atau hiraukan tuduhan orang sepasang
mata Giok liong jelilatan mengawasi tubuh Li Pek-yang dari
kepala ke-kaki, lalu dari kaki ke kepala lagi, semua diperiksa
dengan seksama dan cermat.

"Lihat apa ?" sentak Yu bing-khek-cu Li Pek-yang dengan
kasar. Tapi sepasang mata Giok-liong masih tetap tidak
berkibar dari pandangan tubuhnya. Dari tubuh Yu bing khekku
Li Pek-yang ini ia hendak melihat dan mengetahui keadaan
perjanjian yang sudah terjadi diatas Im-hom-gay tadi, Apakah
sudah bergebrak? Bagaimana keadaan pertempuran tadi ?
Siapa yang menang ? Siapa yang kalah ?
Sekian lama ia mengawasi, hatinya menjadi heran dan
curiga sebagai dari tubuh Li Pek yang sedikitpun it tidak
menemukan tanda-tanda yang diharapkan.
Pakaiannya tetap rapi, rambutnya juga tidak awut-awutan
terang bahwa sebelum ini dia tidak atau belum mengadakan
pertempuran. Apa mungkin tidak terjadi adu tanding
kepandaian diatas Im hong-gay sana?
Hati berpikir, tanpa merasa mulutnya berkata : "Kau sudah
bergebrak dengan guru belum?"
Tanpa ragu-ragu Li Pek-yang bersuara keras: "Sudah lama
kudengar nama To-ji Pang Giok sebagai salah seorang ih-lwesu
cun yang diagungkan, ternyata kepandaiannya juga hanya
begitu saja ! Hahahahaha!"
Gelak tawanya ini membuat hati Giok-liong mencelos,
hatinya terasa menjadi ciut, Sebab gelak tawanya itu
menunjukkan rasa puas dan bangganya akan
kemenangannya.
Giok liong bertanya lebih keras: "Sudah saling gebrak!"
"Lohu sudah mengukur kepandaian gurumu!" tidak perlu
ditanyakan lagi terang bahwa Yu-bing-khek cu Li Pek-yang
teish menang.

Giok-liong tak kuat menahan perasaan hatinya, maju
setapak ia bertanya tak sabaran: "Guruku ? . . ." dia tidak
berani mengatakan "kalah".
"Gurumu jjga hanya sebegitu saja buyung, coba ketuk
hatimu dan tanyakan apakah kau bisa lebih kuat dari gurumu
sendiri !"
"Aku . ."
"Kau bagaimana ?"
"Aku tidak percaya !"
"Tidak percaya ?"
"Ya."
"Aku punya sebuah bukti." belum habis ucapannya Yu-bingkekcu
Li Pek yang tahu-tahu berkelebat tiba diambang pintu
gua, setelah menggape kepada Giok liong ia menunjuk puncak
lereng serta katanya: "Ikut aku ke puncak Im-hong-gay
lihatlah sendiri kemampuan gurumu !"
Perasaan dingin menjalari seluruh tubuh Giok-liong,
sungguh kejamnya bukan main, pikirnya: "Apakah mungkin
guru . . . ia tak berani membayangkan keadaan sebenarnya
diatas puncak lereng sana, Apakah mayat yang sudah tercerai
berai . . ."
Giok liong melompat gesit sekali. dimana bayangan putih
berkelebat, terdengar ia berserunya nyaring. "Silakan !"
datang belakang tapi Giok-liong sudah mendahuIui menginjak
kaki diambang gua terus membentang kedua lengan tangan.
Keruan sepak terjang Giok-liong ini membuat Li Pek yang
tertegun sejenak sampai mengeluarkan suara tertahan.
Sungguh diluar dugaannya bohwa pemuda ini bisa bergerak
begitu lincah dan sempurna betul, kecepatan gerak tubuhnya
melebihi orang persilatan umumnya, tanpa merasa dari

kekagumannya ini berapa kali ia pandang Giok-liong dengan
seksama.
Giok liong berkata wajar : "Khek-cu maaf ada masalah apa
?"
"Kita bicara lagi setelah sampai diatas."
Habis ucapannya tubuh Li Pek-yang lantas melesat tinggi,
dimana ia menggentakkan kedua lengannya, jubah bajunya
yang kuning gondrong itu melambai lambai seperti dua sayap
burung besar terus melembung tinggi menjulang ke tengah
angkasa melesat kearah lereng curam dan terjal didepan sana.
Lereng bukit dari batu gunung adalah sedemikian licin
seperti kaca, rumput tidak tumbuh, tiada tempat berpinjak
untuk meletakkan tenaga, jangan untuk berpijak bagi manusia
sampai burung juga tidak kuasa menotok diatas lereng terjal
itu.
Tapi begitu Li Pek-yang mementang kedua lengannya di
tengah udara menekuk pinggang, tangan dan kaki diulur
berkembang lempeng, dengan jurusan gaya Ham-ya to lim
langsung tubuhnya menempel diatas batu terjal diatas lereng
itu, sedikit tangan-menekan dan menarik keatas berbareng
kedua kakinya sedikit menutul. Mulutnya juga lantas
menggembor keras, kontan badan besarnya melenting lebih
cepat lagi ketengah udara seperti bintang mengejar rembuIan.
Disaat tubuhnya melenting seperti anak panah meluncur ini
tubuhnya lantas terjajar lempeng, daya luncurannya menjadi
semakin keras menegang kearas, lima tombak dicapainya
dengan mudah, Begitulah beruntun dua kali ia menggunakan
cara yang sama kaki dan tangan bekerja sama badannya terus
mumbul keatas.
Kalau dituturkan memang gampang, tapi bagi yang
melakukan adalah memeras keringat dan untuk yang
menonton merasa giris dan merinding, sebab sangat sulit

dapat melakukan pertunjukkan macam begitu, Karena bukan
saja sangat berbahaya, kalau tidak membekali lwekang dan
kepandaian yang sudah sempurna tak mungkin dapat
mengembangkan kepandaian selincah itu.
Akan tetapi bagi Giok liong hanya sekali pandang cara
gerakan permulaan Li Pek yang lantas ia tahu cara apa yang
telah digunakan orang, dimaklumi oleh Giok-liong cara
meminjam tenaga melentingkan tubuh dengan gaya
meminjam tenaga ini lebih cepat dan cekatan kalau dibanding
ilmu Pik hou kang (cecak merayap).
Oleh karena itu Giok liong juga hendak meniru cara orang,
sekali loncat ia jungkir ke belakang, punggung menempel
dinding lalu dengan Leng-hun-toh ia mulai bergerak. Tapi
karena punggung yang menempel dinding maka ia tidak
menggunakan kaki tangan, waktu tubuhnya melayang hampir
menyentuh dinding, mendadak bokongnya dijorokkan
kebelakang dengan gaya seperti orang duduk umumnya, tapi
meminjam gaya berduduk ini begitu pantatnya menyentuh
dinding badannya lantas jumpalitan keatas, sekali melesat lima
tujuh tombak tingginya untuk kedua kalinya mundur
menempel dinding lagi terus dengan pantatnya meminjam
tenaga melentingkan tubuhnya semakin tinggi.
Cara dan gaya yang aneh dilakukan Giok-liong ini bukan
saja bagi orang dibawah merasa aneh dan takjub, bagi Giokliong
sendiri juga merupakan penemuan baru sesuai mengikuti
situasi dihadapinya ini, inilah cara baru yang diilhami oleh
kecerdikannya !
Tapi bila benar benar diukur hakikatnya gerak luncuran
tubuhnya ini jauh lebih pesat dibanding gerak tubuh Li pekyang
tadi.

Dari atas Li Pek-yang melihat pertunjukan aneh ini, diamdiam
hatinya gelisah dan risau, pikirnya terhitung ilmu apakah
yang dikembangkan bocah ini! Hati berpikir tapi gerakannya
masih tetap dilancarkan beruntun berapa kali jumpalitan
dengan enteng mendaratkan kakinya diatas ngarai.
Baru saja kakinya mendarat dan memutar tubuh, terdengar
angin berkesiur melesat lewat disamping pundaknya,
terdengar suara orang bertanya: "Khek cu, dimanakah
guruku?"
Sebetulnya Yu-bing-khek-cu Li Pek-yang sangat terkejut
karena Giok-liong bisa bersamaan waktu tiba diatas bukit, tapi
dasar tua-tua keladi, lahirnya tetap tenang tanpa menunjuk
rasa kagum, tawar saja ia menyahut : "Mari ikut aku !"
Angin pegunungan menghembus keras menderu di pinggir
kuping, dahan dahan pohon bergoyang melambai turun naik
angin ini terasa dingin membekukan badan manusia
sedemikian tinggi puncak ini menjulang naik ke awan, waktu
pandang kebawah, gunung gemunung tiada batas ujung
pangkalnya beriring dan berjajar sambung menyambung,
memang kenyataan hanya puncak dirinya berpijak inilah yang
paling tinggi di banding sekitarnya.
Sekali lompat Ll Pek-yang melesat ditengah-tengah Imhong
gay, katanya sambil menunjuk sebuah batu gunung
besar: "Nah, inilah tanda peninggalan Lwekang gurumu !"
Lekas-lekas Giok-liong memburu maju terus memeriksa
batu besar itu. Batu gunung ini begitu besar laksana sebuah
rumah, samar samar terlibat ada bekas telapak tangan
manusia, bekas telapak tangan ini melesak masuk sedalam
tiga senti.
Giok liong kurang paham, tanyanya: "Lwekang Guruku . . .
"

"Coba kau lihat muka sebelah sana." kata Li Pek-yang
tawar, Hilang suaranya tubuhnya sudah melambung tinggi
melampaui batu gunung besar itu meluncur ke balik sana.
Gesit sekali Giok-liong juga sudah tiba di sebelah sana,
menurut arahnya ia memandang. Ternyata muka sebelah sini
diatas batu gunung itu ada pula bekas telapak tangan,
sepasang telapak tangan ini juga melesak sedalam tiga senti.
"Ini ?" Giok liong membelalakan mata, ia bertanya dengan
tidak mengerti."
"inilah bekas telapak tangan gurumu dan Khek cu waktu
mengadu Lwekang, bagaimana ? Kau masih belum paham?"
Mengadu keras telapak tangan ?"
Giok-liong menggeleng kepala, otaknya menjadi tumpul tak
tahu apa yang telah terjadi.
"Buyung ! Baiklah kuterangkan ! Gurumu berdiri di sebelah
sana, aku berdiri disini, kedua belah pihak bersama
mengerahkan tenaga mendorong batu ini untuk mengadu
Lwekang ! Sudah paham belum ?"
"O, baru sekarang Giok-liong mengerti, menunjuk bekas
telapak tangan diatas batu itu ia berkata : "Suhu tiga uang,
sama kuat tiada yaag lebih unggul sau asor !"
Siapa tahu Li Pek yang membentak aseran: "Siapa bilang
tidak terbedakan kalah menang !"
"Dilihat dari bekas telapak tangan ini, terang gurumu masih
kalah seurat dibanding aku."
"Omong kosong belaka !"
"Ada bukti dapat kau lihat, Lihat ini !" kata Li Pek-yaog
sambil menunjuk kebawah kakinya, sambut nya lagi : "Nah,
disini masih ada buktinya !"

Waktu Giok-liong memandang kebawah benar juga diatas
batu gunung kasar yang penuh lumut itu kelihatan ada
sepasang bekas kaki, melesak dalam lima senti, tapak itu
sangat rapi dan persis sekali seperti diukir dan di tanah.
Belum sempat Giok-liong membuka sura Li Pek-yang sudah
berkata lagi lebih keras, "Inilah bekas tapak kaki Lohu!" lalu ke
dua kakinya dimasukkan kedalam tapak kaki diatas batu itu,
benar juga persis benar tanpa kelihatan lobang-lobang
sisanya. Maka dengan penuh kemenangan ia berkata lagi:
"Mari kita lihat punya gurumu !"
Giok-liong melompat lebih dulu kebalik batu sebelah sana,
begitu ia melihat bekas tekas diatas tanah seketika ia berdiri
melongo. Ternyata diatas batu gunung yang sana bekas
telapak kaki disini jauh berbeda, Bukan saja melesak sedalam
tujuh senti malah bekas tapak kaki ini meleset mundur empat
inci, terang kalau berdirinya tidak kuat dan ksunit mundur
serta bertahan mati matian.
Giok-liong menggeleng kepala, otaknya menjadi tumpul tak
tahu apa yang telah terjadi.
Dari samping dengan pandangan hina, Li Pek-yang
mengejek dingin: "Sekarang sudah paham belum?"
Kenyataan membuktikan mulut Giok-liong terkancing tak
kuasa buka suara lagi, akhirnya ia bertanya ragu-ragu:
"Guruku? Dia. . ."
Li Pek yang tertawa hambar dengan puas, katanya: "Dia
sudah mengadakan suatu perjanjian denganku !"
"Janji? janji api ?"
"Dia tidak turut campur urusanku dengan pihak golongan
dan aliran Iain. Sebaliknya aku tidak menguarnya berita
kekalahannya hari ini kepada dunia persilaian, supaya tidak
merusak nama baik Ih lwe su-cun selama dua ratusan tahun !"

"Benar begitu?"
"Sebagai seorang ketua mungkinkah aku berbohong !"
Giok liong menjadi bungkam seribu basa matanya
memandang ketempat yang jauh disana, otaknya tengah
berpikir dan menerawang tindakan apa yang harus
dilaksanakan sekarang.
"Hahahaha! "Hehehehehe!" saking puas dan bangga Li Pekyang
memperdengarkan gelak tawanya yang melengking
tinggi.
Giok-liong merasa kalau membiarkan saja Yu-bing-mo khek
terus berkembang dan menjadi besar, pigak yang menderita
dan jadi sasaran utama pasti delapan aliran besar, sedang
golongan Pang atau Pay dalam kalangan Kangou juga takkan
luput dari agresi pihak Yu-bing-mo-khek. Hm, kalau ini
dibiarkan berkembang biak, pasti terjadilah pembantaian
manusia besar-besaran, dunia persilatan pasti geger dan dan
tiada satu haripun yang aman sentosa.
Karena pikirannya ini akhirnya Giok-liong mengempos
semangat, dengan sabar ia berkata: "Khek-cu! Apakah
perjanjianmu ini tidak mungkin dirubah lagi?"
"Tentu, kecuali gurumu sudak tidak hiraukan lagi nama
baiknya selama dua ratus tahun itu, ditambah dosa sebagai
manusia kerdil rendah yang mengingkari janji, kalau tidak,
Lohu pasti melaksanakan apa saja yang pernah kukatakan."
"Hahahaha . . . .Giok-liong menengadah bergelak terloroh-
Ioroh dengan kecut, Tak tahu dia bagaimana perasaan
tawanya itu, yang terang cukup membuat pendengarnya
merinding.

Yu-bing khek-cu sendiri juga terlongong di tempatnya tak
tahu apa maksud tawa orang, sekian lama ia menjublek tak
bersuara.
Giok-liong menarik tawanya lala berkata lantang: "Khek cu,
sayang sekali perhitunganmu yang cukup menguntungkan kau
itu bakal gagal total Hahahahana!"
"Gagal total. . ."
"Ya, sebab perjanjian itu tidak berlaku."
"Tidak berlaku?"
"Ya tidak berguna sama sekali!"
"Kau berani melanggar perjanjian yang diadakan
perguruanmu?"
"Penjanjian diatas Im hong gay sini adalah aku yang
menjanjikan, kalau orang lain yang mewakili seharusnya kau
boleh tidak usah melayani dia. Part apa yang dikatakan wakil
itu tanpa mandat lagi, sudah tentu tak boleh masuk hitungan."
"Pembual besar!"
"Dimana aku membual, bukankah Khek-cu sendiri yang
mengundang aku!"
"Ini...."
"Dan lagi, pertandingan guruku dan kau, itu hakekatnya
kurang pada tempatnya."
"Bagaimana maksud katamu ini!"
"Ketahuilah betupa sempurna kepandaian guruku, boleh
dikata sudah hampir mencapai menjadi dewa, mana dia tega
menduga tenaga kasar dengan kau, terang dia mengalah
untuk memberi muka kepada kau. Dan bagimu kau anggap
mendapat angin dan dapat mengalahkan beliau. Sampai
sekarang kau masihdikelabui oleh pikiran sempitmu. Malah

mentang-mentang mengadakan ikatan janji demi keuntungan
sendiri. Huh, benar benar tidak tahu betapa tingginya langit
dan tebalnya bumi, Hahaha."
Sementara kata-kata Giok-ling ini diucapkan dengan
takabur seolah-olah disampingnya tiada orang lain terang ia
tidak memandang sebelah mata Yu bing-khek- cu Li Pek-yang,
terutama tawa dinginnya yang bernada mengejek ini lebih
tajam dari senjata mengetuk sanubarinya, keruan Li Pek-yang
menjadi berang bentaknya: "Buyung. tutup mulutmu!" tibatiba
ia melompat keatas batu besar itu serta hardiknya lagi:
"Aapakah kau berani tanggung resiko membatalkan perjanjian
perguruanmu."
Acuh tak acuh Giok liong menjawab perjanjian perguruan
aku tidak menolak dan tidak berani membangkang!"
"Itulah baik!"
"Tapi nanti dulu!"
"Apa lagi yang perlu diperbincangkan?"
"Janjiku sendiri aku harus manepatinya !"
"Janjimu ?"
"Bukankah kau perintahkan Tong-cumu menjanjikan aku
datang kemari ?"
"Brengsek ?"
"Apa yang kau maksudkan brengsek ?"
"Gurumu sudab mewakili kau menapati janji itu, bukan!"
"Janji dikalangan Kangouw kecuali orang yang itu sendiri
sudah meninggal seharusnya dia sendiri yang harus hadir
tepat pada waktunya, Aku yang rendah masih segar bugar,
bukan saja belum mati malah tepat aku datang pada
waktunya, buat apa perlu orang lain mewakili aku !"

"Buyung, masa kau berani tidak mengelabui Pang Giok ?"
Pertanyaan ini membuat Giok- liong mengerut kening,
Karena kaum persilatan di Kangouw paling mengutamakan
dan menjunjung tinggi nama suci perguruan betapapun yang
terjadi harus selalu setia dan bakti pada sang guru sekarang Li
Pek-yang mengemukakan pertanyaan besar ini kepada Giokliong,
sudah tentu Giok-liong menjadi serba salah, tak
mungkin ia berani mengeluarkan kata-kata yang tidak
mengakui perguruannya apalagi sejak semula ia sangat
hormat dan setia pada gurunya yang berbudi. Sebab itu,
sesaat ia terhenyak bungkam tak bisa bersuara.
Li Pek yang semakin mendapat hati, jengeknya dingin :
"Buyung, urusan pihak kita lebih baik selanjutnya jangan kau
turut campur!"
Giok-liong terlongong-longong menengadah memandang
langit,
"Sudah tidak bisa berdebat lagi ? Kuperintahkan segera kau
keluar dari lingkungan Yu bing-mo-khek!"
"Baik ! . . . kau . . "
Dengan lesu dan rasa saya Giok liong sudah siap hendak
tinggal pergi, mendadak hatinya tergerak, otaknya
memperoleh sebuah ilham segera kakinya lantas merandek,
dengan berani ia pandang Yu-bing-khek-cu serta katanya :
"Kali ini adalah kau yang mengundang aku. Apakah boleh aku
berbalik menantangmu?"
"Tanpa ragu-ragu Yu bing - khek-cu menjawab: "Sudah
tentu boleh!"
Berubah girang air muka Giok liong, serunya lantang sambil
berseri tawa: "Baik, sekarang aku menantangmu!"

"Kapan dan ditempat mana? Lohu selalu mengiringi
kemauanmu!"
"Watuunya adalah sekarang dan tempatnya juga di Imhong
gay sini!"
Li Pek yang tidak mengira akan ucapan Giok liong ini,
sesaat ia menjadi tercengang, katanya tergagap:"Se. .
.sekarang..."
Semangat Giok liong menyala-nyala, hatinya girang bukan
main, laksana pohon cemara yang menghadapi gelombang
hujan bayu berdiri tegak ia berseru keras: "Bagaimana? Tidak
relu. Atau tidak berani"
Yubing khek cu Li Pek-yang menjadi naik pitam,
semprotnya gusar: "Bocah keparat yang kurang ajar,
Sebutkan cara pertandingan?"
Keadaan Giok liong terbalik dari tamu menjadi tuan rumah,
dengan penuh semangat ia tertawa dingin: "Mengadu
Iwekang, caranya terserah pada kau orang tua untuk
menentukan menang dan asor, tapi aku perlu mengemukakan
suatu permintaan!"
"Apa itu?"
"Hapus janji antara guruku, dengan kau ini!"
"Kau memang sengaja hendak ikut campur dalam urusan
Lohu"
"Dikalangan kangouw paling mengutamakan kebajikan dan
keperwiraan baru memperbincangkan untung ruginya,
Membunuh atau mencelakai jiwa orang memang tidak
seharusnya!"
"Apa kau punya pegangan pasti bisa menang dari Lohu?"
"Sudah tentu aku yang rendah pasrah pada takdir!"
"Kiranya kau pintar juga!"

"Kau sendiri juga harus pintar melihat gelagat!"
"Lihat serangan!" Yu bing khek cu Li Pek-yang melancarkan
serangan dahsyat saking gusarnya karena diolok-olok.
Perbawa kekuatan pukulannya ini laksana guntur menggelegar
dan kilat menyambar, apalagi dilancarkan secara tiba-tiba
sebelum lawan bersiaga, maka dapatlah dibayangkan betapa
hebat serangan ini.
Giok liong menjadi terkejut tersipu-sipu ia meloncat tinggi
hinggap diatas sebuah basu besar, teriaknya: "Hei, main
sergap dan membokong."
Li Pek yang sudah dibakar oleh kemarahan, mana ia
perdulikan segala cemoohan dan ejekan Giokliong, sambil
membalikkan badan sebelah tangannya membalik menepuk
kebelakang, inilah untuk kedua kalinya ia turun tangan,
kekuatannya lebih dahsyat lagi dari serangan pertama tadi,
yang diarah adalah perut Giok liong.
Terpaksa Giok liong harus main kelit lagi, badannya melejit
tinggi lima tombak untuk menghindar "Blang" pecahan batu
beterbangan melesat kemana-mana.
Dua kali pukulannya mengenai tempat kosong membuat Li
Pek-yang tambah murka sambil mengerling dan berkaok kaok
ia lan carkan serangannya lebih gencar.
Melihat keadaan lawan, Giok-liong semakin girang dalam
hati pikirnya bagi tokoh kosen paling pantang mengumbar
hawa amarah hatinya dalam pertempuran, masa dia tidak tahu
akan hal ini, tapi peduli amat, paling benar kupancing supaya
dia lebih berang dan marah seperti kebakaran jenggot, baru
yang terakhir nanti menundukkannya.
Dengan bekal niatnya ini, wajahnya semakin mengunjuk
rasa puas dan gagah-gagahan sambil berloncatan ia terkakak
keras se-runya: "Silakan Kau boyong keluar semua
kemampuanmu, tiga ratus jurus atau dalam gebrak lima ratus

jurus kalau bisa menyentuh bajuku, anggap saja pertempuran
sekarang ini aku kalah, Kalau tidak hehe,hehe, hihi, hahaha !"
Benar juga tantangannya ini membuat Li Pek-yang semakin
murka mencak mencak seperti kera makan trasi, mulutnya
masih menggerung beringas sepasang matanya menyala
gosar berapi api napasnya juga mulai memburu seperti
dengus sapi.
Dimana setiap pukulannya menyambar pasti menderu
angin kencang yang menggetarkan bumi.
Hakikatnya kepandaian Ginkang Giok-liong sudah
sempurna, berkelit dari berbagai serangan tokoh silat utama
masih berlebihan malah kadang-kadang bisa balas menyerang
dan menggoda, sekarang selalu main kelit dan menghindar
seenaknya tanpa takut takut dengan sikap tetap wajar maju
mundur, kakinya bergerak bebas seenaknya.
Justru karena gerak geriknya yang wajar dan tidak takut
serta menggoda inilah semakin membakar dada Li Pek-yang,
Terdengar lah suara "blang" , "blung" dimana angin pukuIan
menyambar lewat, batu gunung atau pohon menjadi pecah
dan tumbang, rumput dan dedaunan serta debu beterbangan
menari-nari ditengah udara.
Beruntun terdengar suara kesiur angin dari lambaian baju
orang, tahu-tahu diatas puncak lereng sudah bertambah
puluhan bayangan orang. Ang-i-mo-li Li Hong yang terlebih
dulu mendaratkan kakinya di puncak lereng terjal ini, Di
belakangnya delapan belas Tong-cu serta berpuluh rasul jubah
abu-abu semua sudah meluruk tiba di im-hong-gay ini.
Melihat anak buahnya semua meluruk datang bertambah
murka Li Pek-yang. sebagai ketua dari suatu aliran yang
disegani mana boleh dibawah tontonan anak buahnya
mengunjukkan kelemahan dirinya.

Akan tetapi, apa boleh buat Giok-liong selalu main kelit dan
berloncatan menghindar seperti burung gereja tangkasnya,
laksana burung terbang gesitnya, mulutnya tak henti-hentinya
berkakakan, bergerak bebas dan selulup timbul diantara
samberan angin pukulan dan diantara pohon dan batu-batu
gunung.
Betapapun dahsyat dan hebat angin pukulan yang
dilancarkan oleh Li Pek-yang jangan harap bisa menyentuh
ujung bajunya saja, Apalagi gerak gerik Giok liong begitu
cepat dan sebat hebat sekali, jangan toh menyentak bisa
mendesak dekat satu kaki saja payah sekali.
Sudah tentu bukan kepalang sengit dan gemas Ti Pekyang,
Demikian juga delapan belas Tong-cu juga ikut dongkol
dan gusar, Tiba tiba serentak mereka bergerak berpencar ke
empat penjuru delapan belas, Tong cu berpencar mengepung
rapat, segala jurusan Im-hong-gay ini.
Kedua mata Ang i-mo li Li Hong memancarkan rasa heran
dan kejut, Keadaannya memang serba susah. Teringat akan
hubungan asmara dirinya dengan Giok-liong, apalagi pujaan
yang selalu diserang f:tng mslim, sekarang mana mungkin dia
diam saja melihatnya hancur lebur diatas Im-hong gay karena
keroyokan sedemikian banyak tokoh silat kelas wahid.
Begitu melihat delapan belas Tong cu bergerak mengepung
dirinya, tanpa merasa Giok-Iiong menjadi aseran, seiring
dengan hardikan keras dari muIutnya, mendadak ia rogoh
keluar Potlot mas dan seruling samber nyawa.
Dengan menarikan potlot mas ditangan kanan dan seruling
samber nyawa ditangan kiri Giokliong menggembor keras:
"Ada berapa banyak kurcaci Yu-bing mo-khek yang tidak takut
mati, silahkan maju bersama!"
"Ha! Seruling samber nyawa !"

"Kim-pit-jan-hun?" delapan belas Tong-cu berbareng
berteriak kejut, "Sreng!" serempak mereka juga me!olos
keluar delapan belas macam senjata masing-masing.
Tapi mereka maklum bahwa seruling samber nyawa
merupakan senjata kuno yang sakti mandraguna, kekuatan
dan kesaktiannya tidak boleh dibuat main-main. Maka
siapapun tiada yang berani berlaku ceroboh mendahului
bergerak menyerang.
Semua hanya bergerak dan mengepung diIuar kalangan
pertempuran sambil berteriak-teriak pula.
Terlihat Li Pek yang rada tertegun, maka dilain saat ia juga
merogoh ke pinggangnya mengeluarkan sepasang gadanya.
"Prang gada iblis ditangan kirinya diketukkan bersama
memercikkan kembang api, teriaknya beringas: "Bocah
keparat, kau memancing kemarahan Lohu, jangan harap hari
ini kau bisa meninggalkan Im hong pay, kecuali kau tinggalkan
Jan hun- ti, kalau tidak silakan jiwa saja yang serahkan
kepada Kami.!"
Dengan membekal senjata pusaka ditangan Giok-liong lebih
temberang, serunya lantang: "Itu kan impian mu belaka!"
Selain saling cercah itu jarak mereka sudah semakin dekat
Mendadak kedua belah pihak bergerak bersama, "Lihat
serangan !" ..
"Bagus sekali!" bentakan geras kedua bilah pihak ini
laksana geledek menggelegar penuh hawa amarah.
Sinar putih berkelebat cahaya kuning laksana bianglala
memancar luas dan tinggi. Sebaliknya dua bayangan hitam
yang besar juga bergerak gesit dan kencang sekali seperti
awan mendung berkembang, tiga macam bayangan yang
tidak sama tengah berkutet menimbulkan berbagai pandangan
aneh yang menakjubkan, angin menderu keras mendesak
mundur para pengepung diluar gelanggang, sungguh hebat

dan dahsyat sekali pertempuran kali ini jarang ketemu
pertempuran yang begini sengit selagi ratusan tahun di
kalangan kangouw.
Tatkala itu udara mendadak menjadi mendung gelap angin
menghembus semakin dingin, tak lama kemudian hujan rintikrintik.
Tapi pertempuran sengit ditengah gelanggang tidak
menjadi kendor karena hujan rintik-rintik ini, sebaliknya
mereka semakin semangat karena kepala basah dan menjadi
segar.
Gebrak perkelahian tokoh kosen tingkat tinggi dilakukan
dengan banyak mengambil resiko, begitu cepat lawan cepat
dan ketangkasan, sekejap saja ratusan jurus sudah berlalu !
sinar kuning, cahaya putih perak serta bayangan gada,
ditambah deru angin yang menghembus kencang dalam
suasana hujan rintik-rintik lagi.
Delapan belas Tongcu semua berdiri menjublek kedinginan
basah kuyup seperti ayam kecimplung keaij mereka berdiri
tegang dan bersiaga tak bergerak gerak seperti pasung saja.
Terlebih lagi para rasul jubah abu-abu semua menahan napas.
Adalah Ang-i mo li Li Hong yang paling runyam
keadaannya, hatinya dirundung khawatir, khawatir akan
keselamatan ayahnya, juga khawatir pujaannya menemui
mara bahaya.
Dan yang paling menyulitkan adalah watak ayahnya yang
kasar dan ketus itu mana dirinya berani maju menyelak untuk
bicara, Apalagi dalam keadaan pertempuran yang sengit dan
tegang begini juga tidak mungkin ia minta Giok-liong
menghentikan pertempuran.
Pada saat itulah, diantara alam pegunungan yang luas sana
berkumanding auman keras bagai guntur menggelegar,
suaranya seperti kayu pecah berkelotokan, membuat semua
pendengar merasa merinding dan berdiri bulu romanya, Baju

saja lengking suara ini menembus angkasa, Mendadak rada Li
Pek-yang bergerak dengan tipu Mo in jan-jan (bayangan iblis
berkelebat), sekuat tenaga ia sapukan kedua gadanya untuk
memukul mundur Giok-liong lalu terloroh-loroh menyela,
ujarnya: "Hahahaha. Para Tong-cu lekas berbaris, sambut
tahu terhormat!" Serempak delapan belas Tong-cu mengiakan.
"Siap!" rapi sekali mereka bergerak gesit dan teratur terus
berdiri jajar menyusup pinggir jurang, membetulkan pakaian
terus menyimpan senjata masing-masing!
Para rasul juga lantas berantai ramai merubung jadi satu
berdiri tegak dibekakang ketua mereka, semua berdiri tegak
hormat tanpa berani bersuara.
Giok liong tidak tahu apa yang bakal terjadi, sesaat ia
melongo dan tertegun di-tempatnya.
Melihat sikap Giok-liong ini, Pek yang menjengek dingin,
ujarnya: "Tunggu sebentar, tak perlu Lohu mengadu
kepandaian dengan kau lagi, sebentar lagi akan datang
seorang yang mencari Kim-pit-jan-hun membuat perhitungan
!"
Giok-liong semakin melongo, tanyanya tak mengerti :"
Mencari aku ?Siapa ?"
"Sebentar lagi kau akan tahu sendiri Tapi Lohu juga merasa
sedikit sayang! "
"Kau merasa sayang !"
"Ya, aku merasa sayang bagi kau !"
"Bagiku untus apa yang perlu disayangkan ?"
"Sayang karena seruling sakti mandraguna itu sekejap nanti
bakal pindah tangan menjadi milik orang lain, bukankah aku
harus merasa sayang !"

"Omong kosong belaka ! "
"Jangan mengumbar jengkel, lohu tak perlu repot
sekarang, nanti ada orang lain yang akan menggebah mu,
lihat!" pada akhir katanya Li Pek-yang menuding ketempat
jauh.
Jauh dibawah pegunungan sana sebuah bayangan kecil
cebol telah berloncatan dengan cepat seperti kupu-kupu
menari, melesat secepat terbang di puncak pohon dan batu
batu gunung secepat kilat meluncur ke arah puncak lereng
terjal disini.
Dari kecepatan gerak tubuhnya dapatlah diperkirakan
pendatang baru ini tentu lihay paling tidak Lwckangnya tiduk
lebih rendah dibanding Li Pek-yang, malah mungkin setingkat
lebih tinggi.
Giok liong menjadi heran. maju setindak ia bertanya lagi:
"Siapa? sebetulnya siapakah dia?"
Belum lagi Li Pek-yarjg membuka kata, dari samping Ang-i
mo li Li Hong sudah menyelak: "Ayah, apa bukan paman
Ibun?" dalam bertanya ini sengaja sepasang matanya
mengerling kearah Giok liong, malah ia monyongkan bibir
mulutnya, serta memberi syarat memandang kebawah lereng
sana. Terang ia memberi bisikan kepada Giok-liong supaya ia
lekas melarikan diri turun gunung.
Walaupun Giok-liong tahu maksud baiknya ini, namun ia
mandah tersenyum saja, katanya tawar: "Ibun? lbun apa?"
Melihat sikap kurang ajar Giok-liong ini Li Pek-yang menjadi
senang, wajahnya cerah dan belum sempat lagi ia membuka
suara, lambaian baju sudah terdengar dekat.
"Ibun Hoat disini ! Apa tidak kenal aku bangkotan tua ini?"
orangnya belum kelihatan suaranya sudah kumandang dulu,

dan seiring dengan habis ucapannya, bayangannya sudah
mendarat diatas puncak.
Bercekat hati Giok liong waktu ia pentang mata, terlihat di
hadapannya kini bertambah seorang tua renta berkepala
gundul bertubuh kurus kecil, cebol lagi.
Begitu kurus kering tubuhnya tinggal kulit membungkuk
tulang, kalau ditimbang mungkin bobot tidak bakal lebih berat
dari bebek panggang yang paling gemuk.
Keadaan yang aneh dan tidak menyolok mata ini,
mengenakan pakaian jubah sutera tersulam indah dubrakan,
saking kedodoran sampai melambai-lambai tertiup angin
gunung seperti joget kera.
Meski tubuhnya kurus kecil tapi suaranya keras bagai
geledek, berkaok seperti bambu pecah mendengung
memekakkan telinga bergema sekian lamanya.
Tersipu-sipu Li Pek-yang tampil kedepan sambil menjura ia
berkata tertawa lebar: "Engkoh tua! Bilang datang pasti
datang!"
Tua renta gundul ini mandah celingukan seperti orang
gendeng, sahutnya tanpa expresi: "Bagus, apa yang pernah
Ibun Hoat katakan selamanya pasti dilakukan! Disini
kunyatakan terima kasihku dulu."
Yu-bing-khek cu Li Pek-yang terhenyak, tanyanya: "Engkoh
tua! Terima kasih? Terima kasih apa dari aku?"
Tetap dengan sikapnya yang kaku tanpa bergerak air
mukanya, si tua renta berkata: "Tidak bakal mengangkangi
Jan hun-ti, malah setuju untuk ditinggalkan dan diserahkan
kepada Lohu, sekarang kenyataan masih di-tinggal disini dan
berkesempatan untuk menjadi milikku, bagaimana kebaikan ini
tidak harus dinyatakan terima kasih? Kalau diganti kurcaci lain

yang rakus dan tamak, mungkin siang-siang sudah ngacir tak
ketinggalan jejaknya"
Menurut nada perkataannya ini terang percaya benar
bahwa Seruling samber nyawa sudah bakal menjadi miliknya,
sekali raih gampang saja lantas disimpan dalam kantongnya
hebatnya ia tidak pandang sebelah mata kepada Giok liong.
Gigi giok liong berkerut menahan gusar, jengeknya dengan
mendengus hidung keras-keras.
Pada saat itulah para Tong-cu dari Yu-bing-mo-khek
dengan para rasulnya ada kesempatan menjura bersama serta
berseru berbareng pula "Selamat datang Tok-kiong-cu-jin!"
Bergetar perasaan Giok-liong, pikirnya, ternyata si tua renta
kurus kering cebol ini bukan lain adalah Cukong istana
beracun Ibun Hoat.
Cukong istana beracun Ibun Hoat menengadah
mengulapkan tangan saja serta berkata acuh tak acuh: "Kalian
bebas, tak perlu banyak peradatan !"
Habis berkata ia terus maju ke hadapan Giok-liong, dengan
tajam ia awasi muka dan seluruh tubuh Giok-liong seperti
menikmati sebuah gambar elok dan indah.
Harus ketahui bahwa Cukong istana beracun Ibun Hoat ini
merupakan orang tokoh tua yang paling beracun dan jahat
dalam dunia persilatan, bukan saja kepandaianya sangat lihay
dan menjagoi sendiri tingkatannya juga tidak lebih rendah dari
Ih-lwe-su-cun. Apalagi beratus beribu macam obat-obatan
beracun selalu digembol dalam tubuhnya. Selama dua ratusan
tahun ini tiada seorang kaum persilatan yang tidak takut dan
gentar menghadapi beliau.
Sebab itu, siang-siang Giok-liong sudah siap waspada, Ji-lo
sudah dikerahkan melindungi badan memusatkan hawa murni
terus disalurkan dikedua belah lengannya, tangan kiri

menyekal seruling samber nyawa sedang tangan kanan
melintangkan potlot mas.
Pasti sudah pertempuran babak kedua antara Giok-liong
lawan Ibun hoat ini tentu lebin dahsyat dan hebat sekali. Tapi
kejadian di dunia ini kadang kadang diluar perhitungan
manusia.
Setelah mendesak maju sampai didepan Giok liong, jarak
mereka kira-kira masih setombak lebih, mendadak ia tersentak
mundur dua langkah dengan airmuka penuh rasa heran dan
kejut, sepasang mata bundar kecilnya itu mendelik kesima
penuh dirundung pertanyaan yang tak terjawab, muIutnya
ternganga, sesaat ia menyublek di tempatnya.
Giok-liong melayangkan Potlot mas serta bentaknya: "Apa
yang hendak kau lakukan?"
"Hahahaha. . ." mendadak Ibun hoat menengadah bergelak
tawa menggila seperti kesetanan, sepasang tangan kurus kecil
itu bergerak menggaruk-garuk seperti cakar ayam.
Dengan tingkah lakunya diluar dugaan ini bukan saja Giok
liong dibuat heran, Yu-bing-khek-cu Li Pek-yang sendiri juga
tercengang sekian lama melongo tak tahu apa yang harus
dilakukan, lama kemudian baru ia bertanya: "Engkoh tua, apa
yang kau tertawakan?"
Tak duga Ibu Hoat malah tertawa semakin keras, begitu
geli agaknya sampai badannya bergerak membungkukbungkuk
sambil menekan perut.
Giok liong menjadi jengkel, sambil menyapukan Seruling
samber nyawa ia menghardik: "Apa yang kau tertawakan!
Sudah gila kau, suaranya rendah berat, namun alunan irama
seruling sebaliknya melengking tinggi nyaring seperti pekik
bangau ditengah angkasa.
(Bersambung Jilid ke 21)

Jilid 21
Baru sekarang Ibun Hoat menghentikan gelak tawanya,
kepalanya berpaling menghadap Yu-bing-khek-cu Li Pek-yang,
katanya keras: "Khek-cu ! suruhlah seorang bawahan mu yang
paliug kuat dan dapat dipercaya untuk mengikuti dia."
Ucapan yang tiada juntrungannya ini seketika membuat
seluruh hadirin melongo heran tak tahu kemana gerangan
maksud kata-katanya itu?
Tanya Li Pek-yang tak mengerti: "Mengikuti Ma Giok-liong
?"
"Betul !"
"Untuk apa ?"
"Menanti kesempatan menjemput seruling saktinya itu
tanpa mengeluarkan tenaga."
"Bangkotan tua jadah ! Kau mimpi disiang hari bolong !"
Sebelum berkata Ibun Hoat mendengus dingin : "Hm,
bocah keparat ! Kematian sudah diambang pintu masih
berkepala batu, malah mengatakan Lohu mimpi !"
"Maksud engkoh adalah . . ." Li Pek yang bertanya.
Dengan kalem Cukong istana beracun Ibun Hoat
menjelaskan: "Biji matanya bersemu merah membara sedang
ujung hidungnya gelap dingin, urat nadi sudah mulai terbakar,
menurut pandanganku pasti dia sudah terkena pukulan Le
hwe bu ceng-tok-kang dari Le-hwe-heng-cia tokoh kenamaan
dari luar perbatasan itu! Kalau tidak menunggu ajal apalagi
yang dinantinya ?"
Tergetar perasaan Giok-liong, tapi ia masih tak berani
percaya diam-diam ia mengempos semangat menyalurkan
bawa murni untuk mencoba apakah jalan darahnya berjalan
normal, kenyataan seluruh sendi tulang dan urat nadinya tak

apa-apa tanpa rintangan hatinya menjadi lega maka sahutnya
sambil tertawa lebar: "Bangkotan tua., kau betul-betul sudah
melihat setan pada tengah hari bolong ini!"
Li Pek-yang juga bimbang rada tidak percaya, katanya
tersekat sekat: "Engkoh tua, bagi orang yang keracunan Le
hwe-bu-ceng dalam jangka waktu dua belas jam seluruh
tubuhnya pasti terbakar hangus, Bocah ini sejak memasuki
daerah pegunungan kita sampai sekarang jauh sudah
melampaui dua belas jam, apa mungkin . . ."
"Tidak akan salah, tapi. . ." Ibun Hoat juga menjadi curiga
dan ragu-ragu.
Dalam pada itu, Ibun Hoat maju dua langkah lebih dekat
dihadapan Giok-lioag, dengan cermat matanya menyelidik dan
memeriksa dengan teliti sekian lama.
Walau dalam hati Giok liong sangat gusar dirinya dijadikan
tontonan, tapi untuk orang membuktikan apakah dirinya betulbetul
sudah terkena Le-hwe bu ceng, sedapat mungkin ia
berlaku sabar membiarkan orang bertingkah semaunya.
"Paman Ibun, apakah omonganmu dapat dipercaya?" tanya
Li Hong yang sejak tadi diam saja, dalam bertanya ini matanya
mengerling tajam kearah Giok-liong, Nadanya terang bertanya
keadaan sebenarnya, namun hakekatnya rasa prihatin dan
gelisah hatinya tidak kalah besar dari kekhwatiran Giok-liong
sendiri.
Sambil mengelus-elus jenggot kambingnya Ibun Hoat
merenung, ujarnya : "Aneh bocah ini ada melatih ilmu tunggal
macam apa, kalau tidak ? Mengapa . . . . , " bicara sampai
disini mendadak ia bertepuk keras-keras, serunya : "Tidak
peduli bagaimana, betapa juga Lwekangmu tinggi dan kuat,
tujuh hari ini walaupun dewa datang juga tidak akan dapat
menolong jiwanya dari reng-gutan elmaut, Buat apa aku patut
dicap sebagai pembunuh kejam !" mulutnya mengoceh

sendirian seperti sang tabib tua tengah menyelidiki suatu
penyakit yang menyulitkan.
Dilain pihak Giok-liong sendiri juga tenggelam dalam
renungannya, lupa akan keadaan dirinya saat itu. Sebab ia
tengah memikirkan pengalaman semalam dirumah penginapan
itu semalam suntuk dirinya terserang penyakit panas yang
aneh.
Lantas teringat pula akan pertempuran dirinya dengan Lehwe-
heng-cia tempo hari. semua hnl itu pasti Ibun Hoat
takkan menduga dengan tepat, Tapi kenapa sekali lihat lantas
dia dapat menunjuk secara tepat. Terang bukan bohong atau
membual belaka.
Tak tahu Ang i-mo-Ii bagaimana perasaan hatinya selanya
cepat: "Paman Ibun, apa kau tidak kwatir dia mempunyai cara
pengobatan yang cocok!"
"Hahaha ! Mana gampang ! Mana gampang!"
Tak duga Li Pek-yang juga ikut bicara : "Engkoh tua !
Bocah ini cukup cerdik, hubungan I-hwe su-cun juga sangat
luas, Apa kau tidak kwatir salah perhitungan ?"
Terbalik biji mata Ibun Hoat, dengan semangat riang ia
tertawa kering, lalu katanya: "Hehe! Apa kau kira Le-hwe-boceng
merupakan ilmu pasaran yang gampang di buat main,
Kalau tidak masa dianggap satu dari tujuh ilmu tunggal
mematikan paling hebat di daerah luar perbatasan !"
Cepat-cepat Li Hong membuka mulut lagi : "Apakah tiada
cara pengobatannya ?"
"Ada !" jawab Ibun Hoat tegas.
Tergerak hati Giok-liong, dengan cermat ia pasang kuping
mendengarkan.
"Pengobatan cara bagaimana ?" tercetus juga pertanyaan
dari mulut Li Pek-yang.

Ibun Hoat menggoyangkan kepala serta mengetuk dahinya,
ujarnya : "Lebih sulit memanjat langit ! Tiada halangannya
kuberi tahu ! jangan katakan bahwa aku tua bangka terlalu
tahu diri!" lalu ia berputar menghadap Giok liong serta
melangkah maju lebih dekat, mulutnya berkata pelan: "Hwising-
chio dari Ling lam dan Ciat-bam-im dari Pak-hay beruntun
kau harus minum tujuh resep baru jiwamu tertolong, namun
ilmu silatmu musnah. Dalam tempo tujuh hari kau harus bisa
lari keselatan di Ling-lam lalu mengejar waktu menuju kelaut
utara untuk memohon kedua ramuan obat pusaka tadi,
mungkin jiwamu bakal tertunda selama tiga lima tahun, Kalau
tidak terpaksa kau harus niecca-ri Le-hwe heng cia untuk
memperhitungkan hutang darah ini ! Hahaha ! Hahaha!"
Panjang lebar ia menjelaskan sambil tuding sana tunjuk sini
serta mencak-mencak dengan bangga.
Yu-bing-khek-cu Li Pek yang mendengar dan bergelak tawa
keras, serunya lantang: "Kalau begitu caranya, benar benar
lebih sukar memanjat langit Pek-cho-ang di Ling-lam masa
gampang mau diganggu usik ? Lebih sulit lagi dapat menemui
Pak-hay Hwi-thian khek itu tokoh misterius yang aneh !"
Giok-liong semakin gelisah dan kwatir mendengar tembang
sebul tanya jawab mereka berdua, jelas bahwa mereka
berintrik hendak merebut seruling saktinya, maka tidak bisa ia
harus percaya akan kata kata mereka itu.
Pikirnya, apapun yang bakal terjadi aku harus mencari
Suhu dulu. Karena pikirannya ini, Potlot mas diacungkan
kedepan serta katanya dengan nada rendah : "Bagaimana,
aku tidak dapat menunggu terlalu lama disini !"
Tidak menanti Giok-liong bicara habis Ibun Hoat sudah
menjura kepadanya serta ujarnya : "Silakan ! Lebih baik kau

cepat-cepat keluar dari lingkungan daerah Bu-lay-san supaya
tidak membawa kau busuk bagi kita semua."
Giok-liong berludahi semprotnya: "Coh! Basgkotan tua yang
tidak tahu diri !" lalu ia menghadapi Li Pek-yang katanya :
"Kuperingatkan kepadamu, hapuskan perjanjianmu dengan
guruku! Mulai saat ini jika kalian malang melintang dan
membuat geger serta mala petaka di dunia persilatan
kebentur ditanganku pasti tidak kuberi ampun !"
Li Pek yang terloroh-loroh, aerunya : "Lekaslah lagi
selamatkan diri ! Tuan besarmu ini takkan mata debat dengan
bocah seperti kau yang menjelang ajal masuk liang kubur."
Lahirnya Giok liong tetap berlaku wajar dan tenang, namun
sebenarnya hatinya gelisah dan was-was, Maka tiada minat ia
terlalu lama tinggal di tempat ini main bacot, setelah
mendengus dingin ia cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Ibun Hoat tertawa sinis, ujarnya : "Kita akan mengutus
seseorang untuk mengikuti kau!"
Acuh tak acuh dan jengkel Giok-liong menjengek : "Kukira
kalian takkan berani !"
"Lihat saja nanti !"
"Ya, yang sudah bosan hidup, silakan mengintil aku !"
"Wah main marah apa segala, kan kita bermaksud baik !"
"Maksud baik ?"
"Setelah memperoleh seruling samber nyawamu pasti kita
akan mengurus jenazahmu dengan upacara pekuburan besarbesaran!"
"Kentutmu busuk !" hardik Giok-liong dengan murka,
dimana badannya berkelebat jalur sinar kuning dari ujung
Potlot masnya berkelebat tahu-tahu Jan hun su-sek sudah di
lancarkan Laksana guntur menggelegar dan kilat menyambar

langsung ujung senjatanya menutuk kearah tengah kedua
mata Ibun Hoat Cukong istana beracun
"Kematian sudah didepan mata masih berani gagah
gagahan." sambil miringkan tubuh berkelit sebat sekali Ibun
Hoat menghindarkan diri dari rangsakan ini, enak-enak saja ia
menggendong tangan dengan sikap wajar dan tenang seperti
tak terjadi sesuatu apa.
Giok-Iiong tahu gelagat dilihatnya tempat ini tidak perlu
diberati lagi, apalagi naga-naganya mereka sudah tiada niat
bergebrak lagi dengan dirinya, maka sambil mengembangkan
kedua lengannya seperti burung terbang badannya mencelat
jauh tinggi, di tengah udara ia membentak keras: "Sekarang
aku pergi. Siapa yang bosan hidup silakan mengintil di
belakangku!" hilang suaranya bayangan tubuhnya juga sudah
meluncur turun dari Im-hong gay dan sekejap mata saja
sudah menghilang dikejauhan sana.
Jauh dibelakangnya sana terlenrar Ibua Hoat berseru
lantang : "Betapapun tinggi Lwekangnya, sayang tidak
berumur panjang!" Terdengar pula Li Pek-yang berkata :
"Engkoh tua, apa betul-betul hendak mengutus orang untuk
membuntutinya ?"
Di ujung jalan keluar pegunungan Bu-lay-san yang sempit
penuh ditumbuhi pohon siong yang tua dan rimbun itu, angin
menghembus kencang, diatas batu-batu runcing yang tersebar
luas itu tampak meluncur sebuah bayangan putih laksana
meteor terbang tengah berlari kencang seperti memburu
waktu.
Begitu cepat luncuran bayangan putih ini sampai sukar
dilihat dengan pandangan mata biasa, terus melesat keluar
dari pegunungan yang liar dan lebat itu.
Tak lama sesudah bayangan putih ini menghilang dibalik
aling-aling pohon yang lebat didepan sana, tiba-tiba terlihat

pula setitik bayangan merah juga berlari kencang secepat kilat
memburu dengan ketat, gerakan bayangan merah ini
kelihatan lebih lincah dan gemulai.
Bayangan putih didepan itu bukan lain adalah Kim-pit janhun
Ma Giok liong yang baru saja turun dari Im-hong-gay,
setelah mendengar obrolan Cukong istana beracun Ibun Hoat
mau tak mau hatinya menjadi goncang dan penuh was-was.
Karena menurut katanya dirinya telah terkenal bisa ilmu
pukulan Le hwe-bu-ceng yang jahat itu. Tapi waktu ia
kerahkan hawa murni terbukti bahwa jalan darahnya normal
tanpa gangguan atau petunjuk gejala gejala luka dalam.
Tapi kalau dikata dirinya tidak terluka dan terserang racun
jahat,pengalaman malam dipenginapan itu sungguh aneh dan
minta perhatian juga.
Apalagi tujuan utama ibun Hoat melulu pada seruling
samber nyawa, terang benda sakti berada didepan mata
tinggal menggunakan kekerasan merebutnya dari tangannya,
namun dia tidak berbuat sebodoh itu, terang bahwa dia betul
betul mempunyai pegangang akan berhasil dengan analisa
tentang penyakit dirinya itu.
lblis tua laknat ini penuh akal muslihat dan licik, berhati
loba dan tamak lagi, sesuatu benda yang sudah di incarnya
kalau tiada punya pegangan pasti berhasil, tak mungkin begitu
gampang ia mau melepas begitu saja, paling tidak harus
memeras keringat untuk merobohkan dirinya dulu.
Bukankah Lam cu tok-yam merupakan ilmu sesat yang
ganas dan paling diandalkan oleh pihak istana beracun.
Begitulah sambil berlari kencang diatas pegunungan yang
lebat itu hatinya terus menimbang dan berpikir gundah tak
tentram.

"Berdiri!" mendadak sebuah hardikan keras terdengar dari
bawah bukit sebelah depan sana. DisusuI luncuran turun
sebuah bayangan abu abu laksana malaikat dewata terus
menghadang didepannya,
Begitu melihat orang orang menghadang di depannya ini
segera Giok liong menghentikan larinya, cepat cepat ia
menjura serta menyapa : "Kiranya adalan Lo cianpwe!"
Ci-hu-sin-kun menunjukkan sikap serius dan tegang, tanpa
mengacuhkan kata kata Giok-liong sebaliknya ia membentak
lagi: "Dimana dia?"
Bahwasanya hati Giok liong sudah dongkol perjalanan ini
dihalangi kini dibentak-bentak lagi tanpa juntrungan kalau
menurut adat biasanya pasti ia unjuk gigi.
Tapi sekarang dirinya dihadapi persoalan penting tak mau
ia banyak menimbulkan perkara ditengah jalan, maka tawartawar
saja ia menyahut :"Siapa?"
"Siapa ? Kau tidak tahu?"
"Darimana Wanpwe bisa tahu, toh aku bukan tukang
ramal!"
"Bangsat! Tutup mulutmu!"
"Tidak mau aku banyak bicara, labih enak! selamat
bertemu!"
Dimana badannya melejit terus meluncur kedepan sejauh
lima tombak terus melesat lebih laju.
Giok liong sudah bergerak begitu cepat, namun bayangan
abu-abu juga tidak kalah cepatnya, tahu-tahu sekali
berkelebat telah menghadang lagi didepannya, bentaknya:
"Bocah keparat! Waktu di Bu-tong-san ada Bik-lian-hoa yang
melindungi kau maka Lohu memberi ampun melepasmu untuk
hidup, Tak duga ternyata pambek ambisimu begitu besar!"

Giok-liong tercengang heran, katanya: "Ucapan cianpwe ini
sungguh aku tidak paham!"
"Tidak paham!"
"Waktu mengadu pukulan di Bu-tong-san adalah kau
sendiri yang melukai putrimu, apa pula hubungannya dengan
aku yang rendah!"
"Mulut bawel! Serahkan anak Ling kepadako!"
"Serahkan dia? Nona Kiong?"
"Kemana kau bawa lari anak putriku?"
Giok-liong menjadi semakin melenggong, cepat ia
menyahut: "Sejak berpisah di Bu-tong-san, bukankah nona
Kiong kau bawa pulang? Kenapa sekarang kau menagih
kepadaku?"
Geram benar hati Ci hu sin-kun, dari dalam bajunya
dirogohnya keluar selembar kain sutra terus diserahkan Giokliong,
mulutnya membentak marah: "Coba baca ini!"
Kain sutra warna merah berkembang mengandung desiran
angin keras terus meluncur seperti anak panah, Agaknya Cihu-
sin-kun benar-benar marah, maka lemparan kain sutra ini
dilandasi tenaga dalamnya yang lihay, kepandaian
Lwekangnya memang cukup hebat.
Giok-liong tak berani berajal, sigap sekali ia menggeser kaki
miring ke sebalah kiri untuk menghindar daya tekanan dari
sambaran angin keras ini lalu mengulur tangan meraih kain
sutra dari samping.
Terlihat olehnya diatas kain sutra itu bertuliskan huruf
huruf yang indah bergaya lembut diujung paling kanan
berbunyi: "Disampaikan kepada ibunda !" sedang isi tulisan
selanjutnya berbunyi "Harap maafkan anak tidak berbakti,
sehari aku tidak menemukan Giok liong, sehari aku akan
kembali ke Ci hu, Tertanda pi ao anak Ling !"

Giok-liong menjadi melongo di tempatnya, perasaannya
hampa tak tahu bagaimana ia harus berkata, Pikirnya, kenapa
Kiong Ling-ling bisa begitu ke memek terhadap dirinya,
sebegitu besar rasa cintanya sampai hendak mencari aku
sampai keujung langit atau didalam bumi. Betapa besar dunia
ini seorang perempuan lemah seperti dia bukankah akan hidup
sengsara dan merana dalam rantau. Sedang aku sendiri tidak
tabu mena hu tentang hal ini.
Agaknya cinta asmaranya ini akan sia-sia belaka, Sebab
hanya menghadapi Coh-Ki-sia seorang saja cukup membuat
kepalanya pusing tujuh keliling, bagaimana ia berani
menimbulkan banyak kesulitan lainnya lagi?
Karena pikirannya ini timbul batin dalam hatinya: "Nona
Kiong ! Ling-ling ! betapa besar rasa cintamu terhadapku,
terpaksa aku Ma Giok-liong tidak dapat memberikan harapan."
Seorang diri ia terpekur tenggelam dalam renungannya,
sebaliknya Ci hu-sin-kun yang menanti sekian lama sudah
tidak sabaran Iagi, air mukanya semakin membara seperti di
bakar, biji matanya yang berkilat memancarkan cahaya abuabu,
dengan tak sabar ia menggembor: "Masih ada omongan
apa lagi yang ingin kau katakan ?"
Tidak gusar Giok liong sebaliknya tertawa gelak-gelak.
"Apa yang kau tertawakan ?"
"Sambut kembali !" kain sutra itu melambai lempang
meluncur kembali ke arah Ci-hu-sin kun.
"Anakmu sendiri yang merat tanpa kau jaga, apa
hubungannya dengan aku !" belum habis kata kata Giok-liong,
ia sudah menjejakkan kedua kakinya, tahu-tahu badannya
sudah melenting sejauh tiga tombak meluncur ke semak
belakar di depan sana.

"Keparat, enak benar kau hendak mungkir dari
perbuatanmu!" gesit sekali Ci-hu-sin-kun juga bergerak
laksana mengejar angin memburu kilat berlari kencang
mengejar di belakang Giok liong.
"Ai..!" terdengar seruan tertahan yang lirih nyaring, setitik
bayangan merah meluncur pula kedepan mengejar paling
belakang.
"Terjadilah kejar mengejar diantara bayangan putih, abu
abu dan merah. Laksana luncuran bintang kemukus mereka
meluncur saling kejar diantara lebatnya hutan dan keadaan
pegunungan yang penuh jurang- jalang membuat jarak
mereka tidak terlalu jauh.
Tak lama kemudian jauh didepan sana terdengar
kumandangnya suara harpa yang mengalun sedih memilukan
Di atas sebidang tanah datar berumput tebal, membumbung
tinggi seonggok kayu bakar, beberapa pulun orang orang
aneh-aneh yang berambut panjang terurai tengan mengelilingi
bara api itu sambil gembar gembor dan menari-nari kegilaan.
"Tang !" suara gembreng berbunyi sekali, seketika suara
hiruk pikuk menjadi sirap orang-orang aneh yang menari-nari
itu juga segera berhenti seluruhnya.
Diantara gerombolan besar ini berdiri seorang tua bermuka
biru berteriak dengan suasa keras: "saudara saudaraku,
lihatlah !"
Tangannya menunjuk kearah bayangan putih yang melesat
datang dengan kecepatan luar biasa langsung meluncur
kearah lapangan berumput ini, jaraknya tidak lebih tinggal
lima tujuh tombak saja.
Orang tua bermuka biru itu seketika menggerung keras,
laksana seekor burung hijau yang besar mendadak ia

menjejakkan kakinya tubuhnya lantas melambung tinggi
memapak ke depan.
Di tengah udara sekali lagi ia menggerung bengis seraya
bentaknya: "Siapa kau!"
"Dar . . . " ledakan dahsyat memekakkan telinga, bayangan
putih itu melenting tinggi beberapa tombak baru meluncur
turun hinggap di tanah dengan ringan sekali.
Demikian juga orang tua muka biru dengan mata mendelik
sebesar jengkol, rambut panjang awut-awutan terjungkir balik
turun dari tengah udara, sikapnya garang dan buas penuh
nafsu membunuh.
Sementara itu, bayangan abu-abu juga sudah meluncur
tiba terus mendarat di sebelah kanan.
Melihat kehadiran sibayangan abu-abu ini berubah air muka
si Orang tua muka biru, suaranya mengguntur laksana
geledek: "Ci-hu Loji, berapa tahun tak bertemu, kiranya kau
belum mati ?"
Ci hu sin kun Kiong Ki juga berubah dingin, sahutnya penuh
keheranan: "0h ternyata kau !"
"Kau tak menduga bahwa Lit-mo-kiang-si (mayat berambut
hijau dari Kiang-si bun (aliran mayat hidup) masih hidup diatas
dunia baka ini bukan ?"
Orang tua bermuka biru yang mengaku bernama Lit mokiang-
si menggelengkan kepalanya menggemakkati rambut
panjang warna hijau diatas kepalanya, nada kata-katanya
dingin menusuk pendengaran.
Demikian kedua lengan panjangnya yang tumbuh rambut
lebat juga digentakkan sampai berbunyi keretekan, setelah
berkata dengan langkah tetap ia mendesak maju ke arah Giok
liong yang tengah berdiri melongo di tempatnya, giginya
terdengar berkeriut.

Benar seperti dedemit atau siluman penunggu gunung,
seolah-olah mayat yang hidup kembali dari liang kubur.
Begitu mendengar kata-kata Ci hun-sin-kun tadi, diam-diam
Giok liong sudah waspada, Sebab tiang si bau merupakan
aliran sesat yang paling jahat pada ratusan tahun yang lalu,
lama sudah aliran ini putus turunan dan sudah lenyap dari
kalangan Kangouw, sekarang secara tidak sengaja mendadak
ditemui di tempat ini, ini betul-betul suatu hal yang luar biasa.
Sementara itu Lik-mo kiang-si sudah membentak kepada
Giok-liong : "Kawan cilik, siapa kau ini ?"
"Hahahaha . . . " belum lagi Giok-liong sempat menjawab,
di sebelah sana Ci-hu-sin kun sudan bergelak tawa terbahakbahak,
Tiba-tiba tawa panjangnya berhenti sekali berkelebat
tahu tahu ia sudah melejit tiba di tengah antara Lik-mo kiangsi
dan Giok-liong, dimana tangan besarnya bertepuk sekali
seraya berkata: "jalan di dunia ini kelihatannya memang
sempit ! Yang tidak seharusnya bertemu justru sudah bersua
tanpa disengaja, sungguh sangat kebetulan !"
Liok mo-kiang-si menengguk liur, katanya, melengking :
"Kiong Lotoa ! jangan suka jual mahal ! Dia ini apamu ?"
Ci-hu sin-kun bergelak tawa lagi sambil menengadah,
ujarnya : "Kiaag si kui ! Apa kau kenal To-ji Pang Giok ?"
"Ha ! Pang Giok Bangkotan tua yang belum mati itu . . . "
"Tutup mulutmu !" hardik Giok-liong dengar gusar
mendengar Lik-roo kiang-si berani kurang ajar memaki
gurunya, "Kenapa kau semena-mena memaki orang ?"
Dengan senyum penuh arti Ci-hu-sin kun berkata mengadu
domba: "inilah murid tunggal Pang Giok yang kenamaan
dengan gelar Kim pit-jan hun, hahahaha !"
Kontan berubah air muka Lik-mo-kiang-si, sepasang
matanya memancarkan cahaya hijau rambutnya berdiri tegak

nafsu membunuh membayang pada pandangannya, gigi juga
berkerot menahan gusar, kedua telapak tangannya digosokgosokan
dengan beringas ia tatap Giok-liong, katanya: "Setan
kecil benar kau murid tunggal Pang Giok?"
Giok liong tidak tahu menahu asal usul orang, maka
sejujurnya ia menjawab lantang : "Benar ! Ada urusan apa ?"
"Bagus ! Bagus !" dengan langkah kaku Lik-mo-kiang-si
melangkah setindak, mendadak jarak beberapa tombak itu
diperpendek dengan sekali lompat, lompatannyapun sangat
aneh kedua kaki menjejak tanah lapang, badannya lantas
melejit ketengah udara, di mana kedua tangannya
berkembang jari-jari tangannya laksana cakar garuda
mencengkram datang, mulutnya membentak: "serahkan
jiwamu !"
Tubrukannya ini sungguh sangat ganas dan buas seperti
serigala kelaparan, serangan tangannya juga bukan olah-olah
hebat dan telengas.
Keruan Giok-liong terkejut bukan main, bukankah selama
ini belum pernah ketemu dengan Lik-mo kiang-si ini, kenapa
sikapnya terhadap dirinya begitu garang seperti musuh punya
dendam kesumat.
Sebab sekali ia menyingkir setombak Iebih, seru Giok-liong
: "Tiada dendam dan permusuhan, apa-apaan perbuatanmu
ini!"
"Huaaa . . . haha . . ." begitu tusukannya mengenai tempat
kosong, mulut Lik-mo-kiang-si lantas berkaok-kaok
mengeluarkan suara aneh, Tapi reaksi suaranya ini sungguh
mengejutkan. Terdengar angin berseliweran, ratusan anak
buahnya yang berambut aneh seketika merubung datang
mengurung Giok-liong dengan rapat.

Tubuh bagian atas mereka telanjang kelihatan badan yang
kurus-kurus tinggal kulit membungkus tulang, namun seluruh
tubuhnya dirambati bulu-bulu yang tebal panjang, selembar
kulit harimau untuk menutupi bawab tubuhnya, kakinya
telanjang seperti para kerucut dari istana Giam lo-ong.
Di lain pihak Ci-hu-sin-kun malah bertepuk tangan sambil
berjingkrak seperti melihat tontonan yang menggelikan,
serunya: "Lucu! Lucu ! perhitungan ini cukup menyulitkan
bukan !"
Terdengar Lik-mo-kiang-si juga membentak beringas:
"Buyung siksaan selama tujuh puluh tahun sudah cukup
kuderita, sungguh Tunan maha pengasih, sehari baru saja aku
bebas lantas kau mengantarkan nyawa masuk pintu!
Hahahaha !"
Hakikatnya Giok-liong tidak tahu menahu duduk
perkaranya, keruan ia menjadi gusar, semprotnya: "Bicara
dulu supaya jelas, Urusan setinggi langit juga aku Ma Giok
liong atau menandingi ! jangan main seruduk seperti banteng
ketaton yang menggila, apa maksudmu?"
Ci-hu-iin-kun tertawa terpingkel-pingkel ujarnya: "Betul!
Kian-si-kui, bicaralah biar jelas, supaya bocah ini tidak mati
penasaran"
"Baik." Lik mo kiang si menggoyangkan kepala, rambut
panjang di kepalanya diambilkan ke belakang, "keparat !
bagaimana juga kau takkan dapat terbang ke langit!"
Lalu dengan telunjuknya ia menunjuk tulang pundaknya
kelihatan tulang pundaknya berlobang sebesar ibu jari, lalu
katanya sambil mengertak gigi: "Ini sepasang lobang ini,
sampai hari ini tepat tujuh puluh tahun sudah, Tujuh puluh
tahun bukan jangka yang pendek, dua laksa lebih hari-hari
yang penuh penderitaan sudah ku kenyam" Hm"

Giok liong masih belum paham akan juntrungannya,
tanyanya: "Tujuh puluh tahun Aku tidak paham !"
"Sudah tentu akan ku buat kau paham !" kata Lik-mo
kiang-si sepasang matanya seperti bara api berkilat,
lengannya bergerak berkembang dengusnya marah-marah:
"Dengan baja murni, Pang Giok merantai aku di atas Kui-ongpeng
selama tujuh puluh tahun, membuatku sangat menderita
batin selama tujuh puluh tahun, hujan kedinginan siang
kepanasan oleh terik matahari."
Giok-liong menjadi heran, selanya: "Kenapa harus tujuh
puluh tahun?"
"Setan cilik! Kau masih pura-pura main sandiwara, apakah
tidak tahu baja asli yang dibuat rantai gurumu itu adalah Liam
kiam-jan-thiat yang akan lumer sendiri setelah tujuh puluh
tahun? Masa kau tidak tahu sebelum itu Liam- kiam -jan thiat
adalah logam keras yang tak mempan sembarang senjata
tajam?"
"Memang aku tidak tahu!"
"Tutup bacotmu! Bocah keparat, kau mau mungkir!"
"Aku ? mungkir?"
"Derita selama tujuh puluh tahun sudah kenyang kukecap!"
"Jadi kau penasaran !"
"Ya penasaran ini harus kulampiaskan pada dirimu, kecuali
kau suruh guru setanmu itu muncul kemari menggantikan
jiwamu!"
Giok liong harus berpikir panjang sebelum bertindak, direm
wasnya situasi sekelilingnya. Musuh begitu kuat, sedang Cihu-
sin-kan enak-enak menggendong tangan berdiri dikejauhan
sana sambil tersenyum sinis tanpa berbicara Iagi. sedang
orang-orang aneh berambut panjang di sekelilingnya semua
mendelik gusar siap menubruk maju mencacah tubuhnya.

Sambil mengerahkan Jilo melindungi badan bersiaga, mulut
Giok liong bersuara: "Kenapa guruku menggunakan Liat-kiamjan
thiat membelenggu kau! Seharosnya kau bisa menilai
dirimu sendiri!"
"Kentut!" Lik-mo-kiang-si berjingkrak gusar, teriaknya
:"Gagah-gagahan dia anggap dirinya sebagai pendekar bangsa
dewata apa segala, menghina aku sebagai iblis sesat
dikatakan aku membahayakan Bulim dengan alasan suka
membunuh dan membuat huru-hara dan apalagi, buset!"
Giok liong menjadi tertawa terbahak bahak, ujarnya :
"Hahaha itulah, kalau kau tidak membunuh tidak menyebar
elmaut di Bulim, belum tentu guruku mau turun tangan, kau
sendiri juga belum tentu harus disiksa selama tujuh puluh
tahun. Kau harus merasa beruntung tidak kebentur dalam
tanganku! Kalau sampai konangan olehku, hm, hm!"
"Kau, kenapa?"
"Aku tidak akan membantumu menderita siksaan selama
tujuh puluh tahun!"
"Kau. . . Apa yang hendak kau lakukan?"
"Hukum mati dengan cacah jiwa!" sedemikian lantang dan
keras Giok liong berkata-kata dengan sikap garang dan
berwibawa, suaranya laksana guntur menggelegar disiang hari
bolong.
Lik-mo-kiang si yang memang sudah penasaran ingin
melampiaskan kedongkolan hatinya semakin berjingkrak gusar
seperti kebakaran jenggot, gerungnya: "Setan cilik, cari mati!"
dengan kalap ia menubruk maju dengan serangan tangan
laksana bayangan setan beribu banyaknya, yang diarah adalah
dada dan perut Giok liong.

Giok liong berlaku tenang, ujarnya sambil menyeringai : "Di
belenggu selama tujuh puluh tahun, namun watakmu masih
belum berubah!" dimana tangannya didorong kedepan
serentak ia menghardik keras: "sambut ini !"
"Blang!" dentuman dahsyat menggetarkan langi dan bumi,
Dua bayangan manusia terpental mundur, Lik-mo-kiang-si
tertolak mundur sampai setombak lebih, mulutnya
menggerung dan giginya berkeriut. sedang Giok-liong sendiri
juga tersurut mundur tiga langkah, wajahnya mengunjuk rasa
heran. Adu pukulan kali ini ternyata sama kuat dan setanding
tanpa kelihatan siapa unggul dan asor.
Adalah para anak buah Kiang-si-bun yang menonton
berkeliling sejauh tiga tombak itu tak kuat berdiri tegak,
semua terdesak mundur oleh damparan angin keras akibat
dari adu pukulan tadi, kini lingkaran gelanggang menjadi
semakin besar.
Terdengar Ci hu sin kun membuka suara dengan rada sinis
rendah : "Kiang si-kui, Lwekang bocah ini tidak lebih rendah
dari Pang Giok sendiri, Menurut hematku sudahi saja
pertikaian kalian, mandah menyerah sajalah, supaya kau tidak
kejatuhan abu mengotori muka sendiri !"
Hebat inilah kata-kata menghasut yang bersifat mengadu
domba, Bagi Giok-liong ia mandah tertawa tawar saja, katanya
: "Kiong cian- pwe! Menurut pendapatku lebih penting kau
mencari putrimu saja, kenapa kau berdiam disini
menghabiskan waktumu belaka ?"
Terkancing mulut Ci hu sin kun, mukanya merat jengah
sekian lama tak bisa bicara. Pada saat itu berkelebat sebuah
bayangan merah menyelinap hilang didalam dedaunan pohon
yang rimbun diluar gelanggang lapangan rumput sana.
Setelah mengadu pukulan secara keras lawan keras, muka
Lim mo-kiang-si yang semula biru menjadi hijau bersemu

kekuningan, diantara warna kuning bersemu putih lagi, kilat
mata hijaunya menyapu padang sekian lamanya, mendadak ia
berteriak: "Setan kecil, tak nyana hebat benar kau !"
Tawar tawar saja Giok-liong berkata: "penderitaan selama
tujuh puluh tahun masa masih belum dapat mengubah
watakmu, menurut pendapatku yang bodoh, letakkan golok
jadilah umat Tuhan yang saleh dan bijaksana. Lepas dari
jurang kenistaan dan mati dengan tentram dari pada konyol!"
Giok liong mengudal ludah bertujuan baik untuk
menasehati orang sebaliknya bagi pendengaran Lik-mo kiangsi
adalah sebaliknya, semakin membakar kemarahannya.
Pelan-pelan kakinya menggeser maju, matanya dipicikan
kedua, lengannya lurus turun suaranya rendah berat: "Katakatamu
memang betul, tepat sekali ucapanmu! Di mulut ia
berkata halus rnanis, namun kakinya masih terus melangkah
mendekat ke depan Giok-liong tidak lebih berjarak tujuh kaki,
Mendadak mulutnya menggembor keras: "Roboh!"
"BIang." cahaya merah pecah berhamburan disertai
tekanan hawa panas sehingga udara menjadi membara
laksana terjadi ledakan gunung yang dahsyat sekali. Tiga
tombak sekelilingnya menjadi hangus terbakar kobaran api
membungbung tinggi.
Ternyata Lik-mo-kiang si telah berlaku licik dan kejam,
secara membokong ia kerahkan seluruh tenaganya untuk
melancarkan pukulan dahsyat, Karena tidak menyangka dan
tanpa siaga dengan telak dada Giok liong kena digenjot seperti
dipalu godam seberat ribuan kati, untuk berkelit sudah tak
mungkin lagi, dalam keadaan yang mendesak dan gawat itu
terpaksa ia hanya mampu mengempos hawa murni
memusatkan seluruh tenaganya di pusar dia mandah digenjot
dengan telak.

Diluar tahunya begitu dadanya terpukul hantaman dahsyat
itu tenaga yang terkerahkan dalam pusarnya menjadi
mendidih panas dan pedas sekali, seperti minyak mendidih,
begitu terdesak oleh tenaga genjotan itu seketika seluruh isi
perutnya seperti pecah dan hancur lebur, segulung hawa
panas terus menerjang langsung ketenggorokan dan
menyembur keluar diri mulut tanpa tertahan lagi, sebelum ia
sempat menjerit tubuhnya sudah terkurap jatuh tak ingat diri,
kepala enteng terasa pusing tujuh keliling.
Tepat sebelum tubuhnya menyentuh tanah dari mulut Giokliong
menyembur keluar selarik lidah api yang bersuhu tinggi
terus menyemprot kedepan.
Cemas bukan kepalang kaget Lik mo-kiang-si, sebab
dikiranya pukulan bokongannya itu membawa hasil yang
memuaskan, tengah ia kegirangan siapa tahu belum lagi ia
sempat menarik balik tangannya letupan larik api membara itu
sudah menyembur ke arah dirinya.
"Celaka ! Bocah ini pandai main sihir " tak sempat mulutnya
habis berkata kedua lengan yang terjulur ke depan itu sudah
celaka lebih dulu, seluruh bulu yang tumbuh dikedua
lengannya itu seketika terjilat api apalagi angin menghembus
rada kencang, kobaran api semakin besar, sebentar saja
rambut diatas kepala serta bulu didepan dadanya juga sudah
terjilat terbakar, beruntun kulit harimau yang dipakainya serta
kedua kakinya yang kurus kecil itu juga mulai di makan api.
Sekarang Lik- mo kiang si menjadi segulungan bara api
yang menyala besar. Sambil berkaok dan melolong ia
bergelindingan di atas tanah berusaha memadamkan api yang
membakar dirinya. Siapa tahu, kalau dikata memang aneh, api
ini agaknya rada berbeda dengan api umumnya betapa juga ia
menggelinding dan membanting-banting tubuhnya tetap tak
mau padam.

Keruan saking kepanasan Lik-mo-kiang-si berjingkrak
berloncatan sambil menjerit-jerit. Alhasil, malah dengan
berloncatan dan bergerak itu membawa desiran hembusan
angin lebih besar, bukan padam bara api di tubuhnya seperti
desiran minyak dihembus angin berkobar semakin besar.
Ci-hu sin kun sudah kaya akan perbendaharaan
pengalamannya selama puluhan tahun merupakan Bingcu dari
aliran hitam lagi, sekali pandang saja lantas ia tahu dan
tersurut mundur dengan kaget dan takut mulutnya berteriak
tak tertahan lagi: "Wah, Bu Cing le hwe, Lehwe . ," belum
selesai teriakannya, sesosok bayangan abu-abu sudah
melenting tinggi puluhan tombak terus berlari kencang kearah
semak belukar sana seperti dikejar setan.
Saking cepatnya ia berlari laksana anak panah terlepas dari
busurnya, sebentar saja bayangannya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Para anak buah Kiang-si bun begitu melihat seluruh tubuh
sang Ciang-bun jin terbakar api semua, menjadi panik dan
gugup, suasana menjadi kacau balau, ada yang memburu
maju berusaha membantu untuk memadamkan api, tapi
mereka menjadi kehabisan akal karena tidak tahu cara
bagaimana harus bekerja.
Sebagian lagi ada pula memaki kalang kabut terus
memburu maju kearah Giok liong, Hakikatnya Giok-liong
sendiri saat itu tengah pingsan tak ingat diri, Justru yang lucu
dan aneh keadaannya, dari mulut dan hidungnya masih tetap
menyemburkan asap tebal yang bergulung panas, setombak
disekitar tubuhnya terasa panas tak tertahan, tujuh kaki
disekeliling tubuhnya sudah terbakar bangus.

Ada beberapa anak boah Kiang-si-bun yang berani mati
menubruk dengan nekad, seketika mereka sendiri bulu dan
rambutnya kena tersulut dan terus terbakar juga.
Suasana diatas lapangan berumput itu menjadi semakin
gaduh dan panik, Belum lagi yang satu ini dapat dipadamkan
yang lain-lain ikut terbakar pula. Keruan para kurcaci Kiang
sibun yang ikut terbakar itu lebih panik dan gaduh mereka
bergelindingan ditanah dan menjerit dan menggerang seperti
babi hendak disembelih menjelang ajal.
Bagi yang tidak terjilat api menjadi serba sulit pula, Tinggal
lari takut kalau nanti api yang membakar Lik mo-kiang-si
padam mereka bakal dijatuhi hukuman sebagai penghianat
kepada cikal-bakal, lari di medan perang, Kalau tetap tinggal
disitu sesaat mereka menjadi bingung cara bagaimana harus
menolong para kawan dari jalatan api.
Suasana seri ut cicism kuali panas mereka ii i nnu^ dtiti
berputar lari serabutan di aaj l:pFi-ji n )iitnpu! i u, tak thhu
daii mana i. e.i "A harus mulai turun tangan
Adalah Lit mo-kiang si meski seluruh tubuhnya sudah
terjilat api yang tengah berkobar besar, pikirannya masih
tetap segar dalam keadaan gawat itu dengan suara parau ia
membentak kepada anak buahnya: "Pelan-pelan
menggelinding, ke Ham cui-khek, menggelinding"
Bilang menggelinding benar-benar menggelinding, dengan
membawa kobaran api di badannya ia mendahului
bergelindingan terus menggelinding kearah timur dimana
kehinaan buah aliran sungai,
Anak buahnya yang tidak terjilat api segera berkaok dan
bersorak gegap gempita berlari kencang menuju ke sungai di
sebelah timur sana. Mereka yang terjilat api mencontoh ketua
mereka terpaksa ikut bergelundungan sekejap saja lapangan
rumput menjadi sepi.

Suasana menjadi sunyi, yang terdengar hanya semburan
asap tebal yang masih menyemprot keluar dari hidung dan
mulut Giok liong yang rebah celentang ditanah.
Di-samping itu rumput dan semak belukar disekitar
lapangan rumput itu juga sudah mulai terjilat api, api menjalar
terhembus angin dengan cepat mengeluarkan bunyi
keretekan.
Tiba tiba sebuah bayangan merah melompat keluar dari
semak belukar sebelah sana. Sosok bayangan merah ini bukan
lain adalah Li Hong. begitu mendaratkan kakinya kontan ia
mengernyitkan kening dan mendelong mengawasi keadaan
Giok liong yang aneh itu, gumannya :"Kenapa hidung dan
mulutnya bisa menyemprotkan api?"
Tiba tiba ia menemukan sumber rahasia dari kobaran api
yang terjadi ini. Kiranya api yang menyembur keluar dari
mulut dan hidung Giok liong hanya merupakan segulung hawa
panas yang berupa jalur putih terbaur dengan asap hitam,
karena tenaga semburan yang besar sampai menimbulkan
gelombang panas dan udara mulai bergolak mengeluarkan
suara ini.
Kobarn api di sebelah sana menjadi seperti arus tersedot
oleh besi semberani meletup keras terus membakar semakin
besar. setelah mengetahui rahasia ini Li Hong menjadi
bingung mulutnya berkata sendirian "Untuk menolongnya, aku
harus memadamkan dulu kobaran api ini."
Maka mulailah ia bekerja memadamkan api, Pertama tama
ia singkirkan dahan-dahan pohon yang belum terjilat api, lalu
menjemput sebatang pohon terus mengepruk dan
memadamkan api kobaran api terakhir ia menggali tanah
dengan tanah inilah ia menguruk j.n,ng dan sisa sisa kayu
bakar yang masih menyala, setelah susah payah akhirnya
seluruh kobaran api dapat dipadamkan.

Sudab lazim bagi yang bermain air pasti basah, bermain api
kena hangus. Demikian juga keadaan Li Hong, wajahnya yang
putih halus dan cantik itu kini sudah kotor oleh arang dan
hangus terutama kedua telapak tangan dengan jari-jarinya
menjadi lecet dan lebam hitam. Baju merahnya juga tidak
luput terkena abu dan api apalagi seluruh tubuhnya sudah
mandi keringat, napas juga ngos-ngosan.
Tuhan memang maha pengasih terhadap yang menderita
bekerja Waktu ia menengok kearah Giok-liong yang masih
celentang itu, Benar juga mulut dan hidungnya sudah tidak
menyemburkan lidah api lagi, cuma dari hidungnya masih
menyemburkan hawa panas.
"Tunggu lagi sebentar mungkin keadaannya bisa
mendingan." demikian Li Hong berpikir sambil mengusap
keringat dan kotoran di mukanya. Pelan pelan ia memeriksa
dan meronda di sekitar Kui-ung-peng (lapangan raja setan).
Pertama ia khawatir Lik-mo kiang-si bakal putar balik lagi,
kedua ia gentar menghadapi Ci-hu-sin-kun, siapa tahu
bangkotan tua itu bisa datang kemari lagi, Betapapun dirinya
bukan menjadi tandingan satu diantara mereka berdua.
Sang waktu sedetik demi sedetik terus berlalu. Kala malam
telah menjelang datang.
Pelan pelan dengan langkah ringan Li Hong mulai maju
mendekat, dilihatnya Giok-liong yang masih kepulasan, Seperti
layaknya orang yang sedang mabuk, d:iir.ian juga iea risau
Giok-liong selebar mukanya merah membara kedua biji
matanya merem meIek, muIut dan hidungnya menghembus
keras hawa panas yang menyembur keluar dari hidungnya
masih kelihatan mengandung kabut putih yang samar-samar.
Tapi suhu panas jauh sudah menurun dibanding pertama tadi.

Coba-coba Li Hong berseru membangunkannya: "Ma Siau
hiap ! Ma Giok-Iiong! Giok-liong ! Liong . . " sedikit reaksipun
tak ada, ia coba meraba pernapasannya, belum mati, rada
ragu ragu telapak tangannya terulur mendekap jantungnya,
tujuannya hendak merasakan apakah jantungnya masih
berdetak, tak kira dimana tangannya menyentuh sebuah
benda panjang keras, seruling samber nyawa seketika hatinya
bersorak.
Pikirnya "Aku mendapat tugas supaya membuntutinya
untuk mengambi seruling samber nyawa, inilah kesempatan
paling baik bila kuambil, boleh dikata setan juga tidak bakal
mengetahui. Tapi otaknya lantas membatin lagi: seruling
iamber nyawa merupakan senjata pusaka orang orang kuno,
merupakan benda antik yang paling diimpikan, berharga oleh
kaum persilatan, sekarang aku hanya mengulur tangan saja
sudah menjadi milikku, ah, mimpi juga aku takkan bisa
menduga."
Sambil membatin itu pelan-pelan ia membuka kancing baju
Giok liong. Dalam kegelapan malam yang sudah menjelang
datang ini tiba tiba keadaan sekitarnya menjadi terang
benderang tersoren oleh cahaya puiih cemerlang yang
terpancar dari Seruling sakti itu, sigap sekali Li Hong
merogohnya keluar lalu dielus elus di tangannya.
Sekonyong konyong bayangan gelap membayangi
sanubarinya, kedua tangannya yang mengelus-mgelus seruling
tanpa terasa menjadi lemas dan turun semampir menindih di
atas dada Giok-liong. seruling samber nyawa melintang lurus
didepan dada Giok-liong.
Bila asli membawa pulang Seruling samber nyawa tak lebih
harus "disampaikan kepada cukong istana beracun Ibun Hoat,
jikalau tidak diserahkan kepadanya tentu terjadi pertikaian
hebat antara Tok-kiong dengan Mo khek, Terang kepandaian
ayah bukan tandingan Ibun Hoat, apalagi oigfcoa daa

sepasang pembantunya. buk.-.nsan si i-:i,i saja menimbulkan
pertempuran konyol.
Kalau kuserahkan kepadanya, apa pula untangku ? Apalagi
Seruling ini adalah benda yang selalu diinginkan siang malam .
. . . seluruh miliknya." berpikir sampai disini tanpa merasa
matanya melirik kearah Giok-liong yang masih rebah tak
bergerak.
Saat mana warna merah pada mukanya sudah berangsur
hilang. Tepat pada saat itulah terdengar hidungnya
mendengus seolah-olah mengeluh karena kesakitan, lalu
menggeleng kepala.
"Ma Siau-hiap ! Ma Giok-Iiong ! Giok-liong !"
Giok-liong tetap seperti tidur nyenyak tenggelam dalam
impiannya.
"Bila kehilangan benda sakti pemberian perguruan ini,
bagaimana nanti akibatnya ?" Tak kira kini Li Hong sendiri
yang tenggelam dalam pikirannya, perang batin tengah terjadi
dalam sanubarinya "perbuatan yang merugikan orang lain
kenapa harus kulakukan !" demikianlah akhirnya kesadaran
dan pikiran terangnya telah menang, cepat cepat ia membuka
pula baju Giok-iiong terus menyusupkan seruling samber
nyawa ke dadanya.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan kuning meluncur
datang dan kejauhan sana, belum orangnya tiba suaranya
sudah berteriak mendaki : "Siluman bernyali besar. Lihat
pedang!" dari tengah udara melancarkan serangannya,
pedang pendek diputar menjadi kuntum bunga yang kemilau
terus menungkrup keatas kepala Li Hong, sungguh hebat dan
cukup ganas.
Li Hong berseru kejut, dalam gugupnya Seruling samber
nyawa ditariknya keluar untuk menjaga diri, Terdengarlah

suara seruling melengking tinggi, cahaya putih terus menyapu
ke depan memapak dan menangkis serangan pedang lawan.
"Siluman keparat, sengaja memang kau hendak mencuri
pusaka itu. Cara bagaimana kau telah membikinnya pingsan !"
"Tan Soat-kiau, bicaralah biar jelas!"
"Kenyataan di depan mata, kau masih berani bermulut
bandel, merabukan pedang pendek Tan Soat kiau lincah dan
lihay, tapi tak berani saling bentur dengan seruling sakti,
terpaksa ia putar sekencangnya diluar garis pertahanan
musuh, begitu deras sinar pedangnya berputar sehingga
bayangan merah kena terbungkus didalamnya.
Lagi-lagi terdengar ia membentak : "Ang-i-mo-li permainan
apa yang telah kau lakukan, kau membius Engkoh Liong!"
Walaupun bersenjata seruling samber nyawa, tapi karena Li
Hong sendiri juga tidak biasa memainkan jurus-jurus ilmu
seruling ampuh ini terpaksa digunakan secara ngawur saja
seperti Poan-koan-pit umumnya, peranti untuk jalan darah.
Mendengar tuduhan yang semena-mena itu hatinya
menjadi gusar, malunya kembali "Budak tidak tahu malu,
terang-terangan kau berani panggil engkoh Liong apa segala,
engkoh dari hubungan yang mana?"
Keruan merah jengah melebar muka Tan Soat kiau sampai
kepinggir kupingnya malu bukan main, pedang lantas diputar
lagi semakin gencar, setiap jurusnya semakin ganas,
mematikan tak mengenal kasihan lagi mulut nya pun tak kalah
adu lidah: "Kau kira siluman macam kau ini saja yang tahu?
siluman kecil macammu ini baru tidak tahu malu, bukankah
kau sendiri yang tadi mencopoti baju seorang laki-laki,
sungguh rendah dan hina serta kotor sekali !"

Beringas wajah Li Hong dimaki begitu rendah dan kotor,
seruling ditangannya diayun sekuatnya terus mengepruk
keatas batok kepala lawan, mulutnya tidak tinggal diam saja:
"Budak tidak tahu malu, kau pintar memutar lidah !"
Begitulah kedua belah pihak saling tuduh dan saling maki,
namun gerak gerik mereka dengan senjata masing-masing
tidak pernah kendor, Pedang dilarikan begitu kencang
mengembangkan bundaran cahaya pedang besar kecil,
sebaliknya irama seruling melengking lurus tanpa nada.
Kalau bayangan kuning mengepung diluar gelanggang
dengan gerak-gerik yang lincah dan serangan yang
membadai, adalah bayangan merah berdiri sekokoh gunung
menggetarkan cahaya putih, membubung tinggi laksana
gunung seperti tonggak menyanggah langit.
Suasana sepi di lapangan rumput kini menjadi ramai
dengan makian dan angin deras yang menderu-deru,
pertempuran seru penuh kebencian dengan serangan yang
saling berlomba untuk merobohkan lawan ini terus berjalan
sampai ratusan jurus pada babak terakhir ini mulai kelihatan
masing-masing mempunyai kepandaian khusus dan ada pula
kelemahannya, tapi sedapat mungkin mereka
mempertunjukkan kepandaian istimewanya sehingga situasi
pertempuran masih sama kuat.
"Hai, apa apaan kalian bertempur disini hayo berhenti !"
tiba-tiba sebuah gerungan keras berseru disamping sana,
Betul juga bayangan kedua orang yang berkuntet lantas
mundur.
Tan Soat-kiau menyapukan pedangnya itu menyapu
kedepan, dengan tubuh agak doyong ke depan tiba-tiba
kakinya menjejak tanah , kontan tubuhnya terus melejit
mundur setombak lebih.

Seruling ditangan Li Hong juga bergoyang malang
melintang didepan dada menangkis disusul cahaya putih
berkelebat tahu tahu ia sudah berdiri tegak sambil
melintangkan seruling samber nyawa di depan dadanya.
Dibawah keremangan sinar bintang-bintang yang
bertaburan di cakrawala, kelihatan Giok-liong tengah berdiri
bertolak pinggang, matanya berkedip kedip celingukan
bergantian memandang Tan Soat kiau dan melihat Li Hong,
katanya penuh tanda tanya "Apa kalian rebutkan?"
Enteng sekali Li Hong melayang kede-kat Giok-liong,
katanya lemah lembut: "Ma Siau-hiap, kau sudah siuman
kembali !""
Giok-liong kucek-kucek matanya, sahutnya sembarangan
"Ai, aku sudah bangun, aku . . . ."
Sudah tak teringat olehnya pengalaman yang baru tadi, Tak
tahu ia apa yang tengah terjadi dihadapannya ini, pikir punya
pikir ia berusaha mengingat kejadian apa yang telah menimpa
dirinya tadi siang.
Sementara itu melihat Li Hong menggelendot di pinggir
Giok-liong, rasa pahit hati Tan Siat-kiau saking mendelu
dengan gusar ia memburu maju terus berteriak "Engkoh
Liong, hati-hati akan bokongan, siluman licik ini !".
Giok liong tersentak, tanyanya tak mengerti: "Di bokong?"
Tan Soat-kiau berkata lantang : "Bukankah seruling samber
nyawamu sudah dicuri oleh siluman keparat itu, awas . . . "
Giok liong tersurut mundur sambil berseru tertahan, waktu
tangannya merogoh kedalam bajunya lagi-lagi ia berseru kejut
sambil berjingkrak. Baru sekarang dilihatnya bahwa Seruling
dicekal ditangan Ang-i mo li Li Hong itu bukan lain adalah Jan
hun ti miliknya.

Maka sebelum seruan kejutnya hilang, sigap sekali ia
mengulur tangan sambil melangkah kedepan terus
menangkap kearah Li Hong.
"Nanti dulu!" dengan muka bersungut Li Hong loncat
sejauh sembilan kaki, serunya keras: "Jadi kau percaya
obrolannya !"
Memang Giok-liong tengah bingung dan menjadi ceroboh,
sahutnya tersekat : "Tapi Jan-huu-ti . . . " tangannya
menunjuk seruling yang dipegang oleh Li Hong.
Tan Soat-kiau tertawa sinis, katanya: "Hm bukti ada
didepan mata, jangan kau mungkir."
Li Hong menjadi gusar, teriaknya kalap : "Kau menuduh
semena-mena, kau . . ."
Yang dipikirkan Giok-liong melulu seruling saktinya itu,
maka katanya : "Tak perduli bagaimana serahkan dulu Jan
hun ti itu !"
Tan Soat-kiau membakar pula dengan kata-katanya:
"Benar, rebut kembali seruling itu, jangan sampai ia sempat
melarikan diri!"
Benar juga Giok-liong termakan oleh hasutan ini, sikapnya
lebih waspada dan berjaga-jaga katanya tertekan : "Untuk
membuktikan kesucian hatimu, serahkan kembali seruling itu
kepadaku segala sesuatu baiklah dibicarakan kembali !"
Saking jengkel air muka Li Hong sampai berobah keki
membesi hijau, teriaknya keras : "Kecapa kau tidak percaya
kepadaku kenapa begitu gampang termakan oleh hasutan dan
adu domba mulut manis Tan Soat-kiau ?"
Namun Giok-liong berkata : "Sebab bukti memang
kenyataan kau telah mengambil serulingku !"
"K,au sangka aku benar-benar mencuri." kata Li Hong
sembari tertawa getir, tawanya ini menjadi sember karena

umbaran dari rasa gusarnya suaranya menjadi seperti pekik
orang hutan yang mengeluh di malam nan keIam. Dengan
sedih dan hati hancur pelan-pelan ia angkat seruling diatas
kepalanya, wajahnya pucat bergetar, bibirnya sudah memutih,
tanpa darah, giginya juga berkerot-kerot, serunya: "Berdiri
disitu, selangkah lebih dekat biar aku hancur bersama
Serulingmu ini!" agaknya ia benar benar hendak melaksanaancamannya.
Tergetar badan Giok liong, lekas lekas ia mundur beberapa
langkah, serunya gugup: "Nona Li, jangan! jangan kau
berbuat senekad itu!"
Kini berbalik Tan Soat-kiau yang dongkol, air mukanya
menjadi tegang dan membesi, makinya dengan gusar :
"Berani kau! Budak galak! Berani kau merusak sedikit saja
seruling itu, akan kuhancur leburkan tubuhmu!"
"Tidak tahu malu, ada sangkut paut apa urusan ini dengan
tampangmu!" dengus Li Hong.
Giok liong kwatir kalau mereka berdua benar-benar saling
cakar cakaran lagi, saking gusar mungkin Li Hong benar-benar
melaksanakan ancamannya dengan merusak seruling saktinya
itu,l pasti akibatnya sangat runyam dan merugikan banyak
pihak,
Oleh karena itu, lekas lekas ia menggoyangkan kedua
tangannya serta berteriak: "Bicara saja baik baik, mari kita
rundingkan kenapa harus bertengkar!"
Pucat pasih selembar muka Li Hong saking menahan
gejolak hatinya, suaranya sedu dan penuh rasa keibaan
:"Memang tujuanku hendak mengambil seruling samber
nyawa ini, ini memang tidak salah! "

Tampak Soat kiau tertawa hambar penuh kemenangan:
"Nah sudah kentara belangnya!"
"Ma Giok-liong ! Kapan seruling sakumu ini terjatuh di
tanganku ? Cara bagaimana jatuh di tanganku ? Apa kau tahu
? Coba katakan !"
Giok-iiong menjadi melenggong, matanya berkedip-kedip
suaranya tergagap : "Aku hanya ingat . . .setelah
meninggalkan . . ."
"Setelah meninggalkan Im hong-gay tak perlu kau uraikan !
selanjutnya bagaimana ?"
"Aku bersua dengan Ci-hu-sin kun akhirnya . . ."
"Akhirnya bagaimana ?"
"Akhirnya . , . . disini ! Aku bertemu dengan Lik-mo-kiang si
!"
Tan Soat-kiau tertegun kejut, ujarnya : "Haya, Apakah iblis
durjana kejam yang membunuh orang tanpa berkesip dan
mendadak menghilang jejaknya pada tujuh puluh tahun ini ?"
Jauh jauh Li Hong T,cnyapkan seruling ditangannya,
katanya tak senang: "jangan cerewet !"
Sekarang Giok-liong sudah menjadi tenang dan ingat
segala-galanya: "Lik-mo-kiang-si mendadak melancarkan
pukulan membokong aku pukuIannya.,...Haya, pukulannya itu
agaknya tepat mengenai jalan darah besar di dadaku, yaitu
Tiong-ting-hiat yang mematikan, Dulam keadaan gawat dan
mendesak itu, aku masih sempat mengerahkan hawa tenaga
dalam pusar, dengan menghimpun seluruh kekuatan Lwekang
untuk menerima pukulan dahsyat musuh !"
Li Hong tertawa tawar, jengeknya dingin: "Sayang
usahamu ini sia sia belaka, Sekali pukul akhirnya kau
terbanting semaput di tanah, dari hidung dan mulutmu

menyemburkan asap tebal dan bara api yang bersuhu sangat
panas sekali !"
Giok liong tak berani banyak berkata, ia tenggelam dalam
renungannya.
Tan Soat-kiau menjadi tidak sabaran, ia menyela lagi :
"Kentut, jatuh ya jatuh, bagaimana mulut dan hidungnya
menyemburkan asap apa segala !"
Ang i mo-li Li Hong tidak menggubriskan lagi, dengan suara
nyaring ia bicara panjang lebar : "untung semburan asap tebal
dari mulutnya itu telah menimbulkan kebakaran besar di
sekitar gelanggang sini, tidak sedikit anak buah Kiang si bun
yang kena terjilat api dan lari pontang panting. Kau sebagai
murid tunggal Ji-bun yang suci murni dari I-lwe su cun (empat
duta agung mayapada), tapi melatih ilmu sesat yang jahat
kejam sampai matipun tak memberi ampun pada orang. Ai, Li
Hong terhitung sudah terbuka mataku!" enak saja ia berbicara
seperti bercerita dengan suara nada yang semakin sengit
meninggi dan semangat sampai Giok-liong terlongo kesima.
Agak lama kemudian baru ia bergerak seraya menghela
napas panjang, katanya ragu ragu "llmu sesat ? Sampai mati
tak memberi ampun ?"
Li Hong menyeringai dingin, ujarnya: "Hehehe, kejadian ini
adalah aku sendiri yang melihat, maka kaupun tak perlu lagi
memberi penjalasan."
"Aku ? Aku tidak bisa !"
"Perdengaran kuping mungkin bisa salah tapi penglihatan
mana tentu benar. Bagai mana duduk kejadian sebenarnya,
Ci-hu-sin-kun bisa menjadi saksi, yang hadir pada waktu itu
bukan hanya aku Li Hong seorang saja !"
Giok-liong tak bisa bicara lagi, menengadah ia menghela
napas lagi, keluhnya : "Ai ! Tuhan yang tahu !"

Terdengar Li Hong menyambung lagi: "Sekian lama kau
jatuh pingsan, terpaksa aku bekerja memadamkan bara api,
kalau tidak mungkin kau sendiri saat ini sudah hangus
terbakar, apa perdulimu tentang Jan-hun-ti segala."
Giok-liong jelajatkan pandangannya ke empat penjuru,
memang kata-kata Li Hong rupanya tidak bohong, dengan
terlongong ia manggut-manggut, sepasang matanya
mengunjuk rasa terima kasih.
Li Hong berkata lagi: "Tatkala itu, berulang kali aku
berusaha membangunkan kau, tapi keadaan seperti orang
mati. Kalau mau saat itu aku bisa ambil seruling sumber
nyawa dan tinggal pergi, kau dapat menuduh siapa? Masa kau
bisa tahu akan perbuatanku?"
Mendengar sampai disini, tiba tiba Tan Soat-kiau tertawa
cekikikan katanya :" Hihi, tadi kau terang-terangan
mengatakan kedatanganmu ini. . ."
"Tak perlu kau cerewet, tujuanku memang hendak
mengambil seruling ini!"
Giok liong tercengang, katanya :" "Kenapa kau tidak lantas
pergi setelah memperoleh seruling ini?"
"Aku. . ." mulut Li Hong jadi tersendat, bagaimana mungkin
secara berhadapan ia bicara "karena aku menyintai kau" maka
hatiku tega wajahnya berubah merah.
Beruntun berapa kali Tan Soat-kiau mendapat cemooh saat
ini kesempatan baginya untuk membalas, desaknya dengan
nada dingin :"Ayo katakan. coba kulihat cara bagaimana kau
berbohong mengarang cerita begitu panjang lebar."
Dari malu Li Hong menjadi gusar di senggak begitu rupa,
seruling di tangannya tiba tiba diputar ditengah udara
menimbulkan suara lengking tinggi, katanya :"Aku menanti

orang ingin berkelahi untuk mencoba kekuatan seruling sakti
ini!"
Tan Soat-kiau juga seorang nona yang keras di dalam
lemah diluar," mendengar tantangan terang-terangan ini
segera iapun acungkan pedangnya, katanya terkikik:
"Sungguh kebetulan, biar nona besarmu ini mengiring
bertempur tiga ratus jurus."
"Baik biar aku mengukur berapa tinggi kepandaian Kaujiang
-san."
"Kalau kau punya kepandaian sejati, jangan gunakan
seruling sakti itu!"
"Kau kira nonamu mengandal seruling ini untuk
menundukkanmu?" habis berkata tiba-tiba Li Hong
melemparkan seruling di tangannya ke-arah Giok liong seraya
membentak :"Sambut!"
Giok liong benar-benar tidak menyangka, kejutnya bukan
main sigap sekali dengan hati-hati ia mengulur tangan
menyambut loncatan seruling yang keras dan deras ini.
Tepat waktu Giok liong dapat menangkap serulingnya, di
sebelah sana Li Hong juga sudah melolos Liong cwan kiamnya.
Ti-ba-tiba terpancar cahaya dingin membungkus seluruh
tubuhnya yang mengenakan pakaian serba merah menyolok
itu.
Waktu Giok liong memasukkan seruling samber nyawa ke
kantong bajunya kedua nona berwatak keras itu sudah
berkutet dengan sengitnya, keruan Giok liong menjadi gugup
dan gelisah, mulutnya saja yang berkaok-kaok: "Berhenti!
Berhenti!"
"Buat apa kalian berkelahi seperti anak-anak?"
Jilid 22

Namun bukan saja mereka tidak mau berhenti, malah
masing-masing sudah lancarkan serangan lebih gencar,
semakin lama pertempuran semakin seru dan semangat.
Kepandaian kedua belah pihak sudah cukup tinggi
termasuk tokoh kelas satu, gerak mereka serba gesit dan
cekatan lagi kini, ketemu tandingan yang sembabat, keruan
mereka semakin bersemangat untuk menjajal dan mengukur
kepandaian sendiri dengan kemampuan lawan.
Hanya Giok-liong sendiri yang dibuat gelisah seperti semut
dalam kuali panas, Kalau mau dengan tingkat kepandaiannya
gampang saja ia terjun kedalam gelangang untuk melerai
perkelahian edan-edanan ini.
Tapi saat ini tak mungkin ia berbuat begitu, pula ia tidak
berani, Sebab siapa tahu kalau tidak kebetulan merugikan
salah satu pihak, tentu bakal menimbulkan akibat yang susah
dibayangkan.
Tan Soat-kiau pernah menolong jiwanya perkenalan
ditengah jalan saja, namun dia berulang kali sudah ikut
menanggulangi dari kejaran dan keroyokan Hiat hong-pang
dan Kim-i pang. Apalagi sekarang dia sudah di-pungut menjadi
anak angkat dari Kim-ling-cu Li cianpve salah satu dari Bu limsu-
bi, betapapun ia tidak berani berbuat salah terhadap Soat
kiau.
Pertama bersua dengan Li Hong dengan tekun dan prihatin
ia melindungi dirinya.
pernah juga menolong jiwanya. Terang kedatangannya ini
adalah mendapat perintah untuk mengambil seruling sakti ini,
tak mungkin ia harus mengabaikan perintah ayahnya dan
tidak memperdulikan keganasan kaum istana beracun,
kenyataan toh ia mengembalikan seruling saktinya, bagaimana
juga aku tidak enak menyakiti hatinya.

Pikir punya pikir otaknya semakin terasa butek, semakin
kacau balau. Kalau terang tak mungkin bisa mencegah
pertempuran ini untuk apa pula tinggal ditempat ini lamalama,
lebih baik tinggal pergi saja seumpama nanti bisa
dibedakan siapa lebih unggul dan asor, dirinya juga bakal
serba susah lagi. Karena pikirannya ini Giok-liong lantas putar
tubuh tinggal pergi.
Tapi puluhan langkah kemudian mendadak ia
menghentikan kakinya lagi, batinnya: "perkara ini terjadi
karena aku, mana mungkin aku tinggal pergi begitu saja tanpa
mengurusnya "
Tatkala itu pertempuran berjalan sangat cepat, serang
menyerang menggunakan cara kilat, sinar pedang masingmasing
menyambar dan membabat atau menikam dengan
berbagai gaya yang mematikan, bergulung-gulung ke timur
lalu berloncatan kearah barat di lapangan rumput hijau ini,
terus saling kejar dan paling hantam.
Memandang dahan dahan pohon dan rumput yang hangus
terbakar ditempat itu, mendadak Giok-liong teringat sesuatu.
Bagaimana mungkin hidung dan mulutnya bisa
menyemburkan api?
samar-samar pengalaman dirinya mulai terbayang
dikelopak matanya. Mendadak ia mengeluh dalam hati.
"Celaka, sebelum lari Ci-hun sin-kun ada berteriak tentang
"Le-hwe..." sekarang teringat jelas dalam otaknya sebelum lari
pergi memang ia mendengar ci-hu sin-kun berteriak
ketakutan: "Bu-ceng le-hwe, Le hwe - - -"
Karena pikirannya inijantungnya menjadi berdebar keras,
hatinya menjadi tegang.
Terkiang kata kata Cukong Istana beracun Ibun Hoat waktu
bertda diatas Im-hong gay

: "setelah terkena Le-hwe bu-ceng-hot kang.... paling
banyak masih mempunyai sisa hidup tujuh hari.. ."
Tujuh hari adalah waktu yang begitu pendek- betapa
mungkin dirinya lari ko Linglam minta Hui-ting chio kepada
Pekschio ang. apakah mungkln pula mengejar waktu menuju
ke laut utara minta Ciat-ham-im.
omongan Ibun Hoat itu naga-naganya memang dapat
dipercaya kalau tidak kenapa tanpa sebab dirinya bisa
menyemburkan asap dan api. Mengapa Ci hu-sin- kun
sekaligus bisa lantas menyebutkan sumber penyakitnya ini.
Ibun Hoat dan Kiong Ki merupakan tokoh kenamaan yang
lihay dari aliran hitam yang sesat dengan tingkat kedudukan
mereka tak mungkin sembarangan mengudal mulut bicara
bohong atau membual, tak mungkin pula mengada-ngada.
Agaknya memang usia Ma Giok- liong tinggal tujuh hari
saja,
"Hidup tua, sakit, mati serta sengsara atau menderita
sudah menjadi kodrat alam, bagi seluruh umat manusia
takkan luput dari kelima unsur kesukaran ini. Bagaimana
mungkin Giok-liong bisa luput dari ketentuan kodrat alam ini
?"
Terpikir olehnya telah tujuh lari kemudian dirinya bakal
terbakar hangus dan mampus, tak keruan paran rasa hatinya
ini, lesu dan putus asa lagi, semangat gagah dan
keperwiraannya sudah hilang dihembus angin lalu. Tanpa
merasa ia menghela napas pula. gumannya:
"Ai, hidup manusia kiranya juga demikian ini, saja "
tanpa hiraukan mati hidup pertempuran Li Hong dan soat
kiau dengan menunduk kepala langkahnya bergoyang gontai
meninggalkan lapangan rumput raja setan itu.

Putus asa benar-benar sudah mencekam seluruh
sanubarinya. Tapi kejadian di dunia ini kadang kadang tak
segampang seperti yang di duga oleh manusia umumnya
semakin ia berpikir semakin berat rasanya, seperti apa yang
dikatakan:
"kalau digunting tidak putus dalamnya masih akan menjadi
kacau balau," Begitulah karena tidak kuasa mengambil
keputusan sendiri hatinya semakin gundah diliputi berbagai
bayangan dan kekuatiran.
Akhirnya ia ambil keputusan juga, dengan mengepal
tangannya ia berseru lantang:
"yang lain boleh aku tidak peduli, seruling sakti ini
merupakan senjata yang ampuh mandra guna, betapapun
pantang terjatuh ditangan orang jahat. Kalau tidak tentu bakal
menimbulkan banyak dosa dan menyesalpun sudah
terlambat."
"Tapi - - - " pemberian guru inijuga juga harus
kukembalikan kepada suhu, tapi di mana aku harus mencari
beliau, jejak suhu yang suka kelana mengembara kemanamana
itu sulit dijajaki seperti orang linglung mulut kumat
kamu langkah sempoyongan. Akhirnya terpikirjuga cara jalan
keluarnya.
"Terpaksa aku harus siang siang pergi ke Gak yang lalu,
Kim ling-cu ada mengundang pertemuan pada hari Goan-siau
disana, seumpama tidak bisa jumpa dengan suhu, siapa tahu
bisa bertemu dengan satu dua orang tokoh-tokoh kenamaan
dari aliran lurus atau salah seorang Cianpwe yang punya
hubungan erat dengan perguruannya. Baiklah aku tunggu saja
disana meninggalkan pesan dan menitipkan pada mereka.
Apalagi jangka tujuh hari ini
paling cepat cuma kebetulan saja tepat pada waktunya
mencapai kota Gak yang."

setelah mendapat ketetapan hati, hati kecil Giok liong
menjadi lapang dan terhibur. Waktu ia berpaling Kebelakang
tak terasa ia sudah jauh meninggalkan Kui-ong-ping,
bayangan merah kuning masih kelihatan bertempur dengan
sengitnya.
Menghirup napas panjang Giok-liong mengeluh:
"Ai, bertempur dan berkelahi hanya untuk mencari
kemenangan dan mengejar nama kosong, akhirnya takkan
luput tertimpa kematianjuga, untuk apakah manusia ini hidup
"
Pelan-pelan ia salurkan tenaga dari pusarnya dimana
tangan berkembang pesat sekali ia kembangkan Ling-hun-toh,
laksana seekor garuda tubuhnya mencelat tinggi beberapa
tombak setelah mengambil arah tujuan yang tepat sekencang
angin ia berlari kedepan tanpa menoleh lagi.
sekejap saja Kui-ong-ping sudah ketinggalan jauh ratusan
tombak, sekonyong-konyong terdengar jerit pekik suara
perempuan yang ketakutan dari lamping gunung sebelah kiri
sana, begitu keras lengking jeritan itu sampai menembus
langit menggetarkan alam pegunungan menyayatkan hati.
Tergetar hati Giok liong, badannya giris dan merinding,
luncuran tubuhnya menjadi kendor dan mulai pelan pelan
berlari. Tapi terkilas dalam otaknya:
"jiwaku tinggal tujuh hari, orang hampir mati seperti aku
buat apa ikut mengurusi segala tetek bengek yang tiada
sangkut pautnya dengan diriku "
segera ia kerahkan tenaganya lagi, tubuhnya lantas
mumbul tinggi tiga tombak-luncuran tubuhnya semakin pesat
ke depan.
Tak diduga jeritan yang menyayatkan hati tadi terulang
kembali, malah jaraknya semakin dekat:

"Aaaa ... " terlihat dikeremangan lamping gunung sebelah
kiri sana melambung tinggi sesosok bayangan merah jambon
diiringi teriakan panjangnya, dari suaranya ini jelas sekali
bahwa ia seorang perempuan. Agaknya kepandaian
perempuan itu tidak ungkulan atau mungkin sudah terluka
dalam, gaya luncuran tubuhnya agak limbung daa seperti
meronta dan berlari sipat kuping sekuat tenaga.
Kira kira puluhan tombak, di belakang bayangan merah ini
sebuah bayangan putih laksana salju bergerak lincah dan gesit
mengejar dengan kencang, dilihat naga naganya sebentar saja
bayangan merah di depan itu kena dicandaksambil
berlari sipat kuping perempuan baju merah itu
berkaok, dan melolong menjerit-jerit, sebaliknya bayangan
putih di belakangnya itu tergelak tawa menyeringai seram.
Kalau dalam keadaan biasanya tentu tanpa banyak pikir lagi
Giok-liong mengunjukkan diri mengulur tangan menolong si
perempuan dari kelaliman. Tapi saat itu sifat gagahnya sudah
amblas terbawa keputus asaan akan bayangan kematian yang
mencekam sanubarinya.
Apalagi ia tergesa-gesa memburu waktu untuk pergi ke
Gak- yang hendak menyerahkan kembali benda pusaka
perguruannya. Maka walaupun hatinya tergetar dan tak tega
akhirnya ia geleng kepala serta menghela napas panjangkakinya
tetap meluncur cepat kedepan menempuh perjalanan.
Tak duga kini bayangan merah ternyata membelok dan
memapak kearah yang berlawanan dengan arah tujuan Giok
liong, jarak yang rada jauh itu sekejap saja menjadi lebih
dekat.
"Haya" tak tertahan lagi tiba-tiba Giok-liong berteriak kejut,
saat itu baru dilihat tegas olehnya bahwa perempuan yang lari
pontang- panting itu bukan lain adalah Hiat-ing Kong-cu Ling
soat-Yan.

Dilain pihak agaknya Putri bayangan darah Ling soat-yan
juga sudah melihat Giok liong, saking girang ia berterik keras
minta tolong sambil terus berlari dengan kencang:
"M a— Giok liong Engkoh Liong"
Meskipun beribu kali tidak sudi turut campur urusan orang
lain juga tidak mungkin lagi bagi Giok liong. Karena itu
tubuhnya yang meluncur berderap kedepan mendadak
melembung tinggi menerjang ke depan seperti luncuran anak
panah dengan gaya Hong-hong-i-hwi (burung hong terbang)
terus menubruk kedepan, tangkas sekali kedua tangannya
menyanggah kedua pundak Hiat-ing Kong-cu Ling soat yan,
mulutnya bertan gugup
"Nona Ling kenapa kau?"
Air muka putri bayangan darah Ling soat yan pucat pasi,
rambutnya awut-awuran, napasnya ngos ngosan, begitu
melihat Giok-liong seperti melihat handai taulan terdekat.
segera menubruk kedalam pelukan Giok- liong terus
meluncur turun bersama, setelah berdiri dengan tergegap dan
tersengal ia berkata susah payah
"Binatang itu- - -dia memukul mati Chiu-ki, berani berbuat
kurang ajar pula terhadapku, dia- - -"
seketika berkobar hawa amarah Giok-liong, menepuknepuk
pundak orang ia berkata gusar:
"sampah dunia persilatan biar aku memberi hajaran
kepadanya."
"Apakah kau mampu?" seiring dengan ejak dingin tanpa
perasaan ini muncullah seorang pemuda berpakaian serba
putih berdiri setombak lebih.
Pelan pelan Giok- liong melepaskan Ling Soat-Yan, waktu ia
angkat kepala hendak mengumbar kemarahannya tak duga
seketika ia berdiri melongo terkejut bukan kepalang tanpa

merasa kakinya tersurut mundur dua langkah setelah
menyedot hawa dingin mulutnya tak kuasa berseru kejut dan
heran.
Di lain pihak pemuda baju putih itu juga terkejut waktu
melihat wajah Giok-liong berbareng mulutnya juga menjerit
kaget.
Giok liong menjublek ditempatnya, hatinya membatin:
"Dikolong langit ini masa ada kejadian begini bebetulan,
bagaimana mungkin wajahnya persis benar dengan aku?"
sementara itu pemuda baju putih itujuga tengah berpikir:
"Apa kau melihat setan di siang hari bolong Kenapa ia
serupa benar dengan aku seumpama saudara kembar"
sebab kedua orang yang berhadapan ini bentak tubuhnya
serta muka dan segala ciri cirinya persis benar seperti pinang
dibelah dua- Hanya hawa perwatakan ditengah alis merekalah
satu satunya ciri khas yang dapat membedakan sifat mereka.
Kecuali hawa perwatakan ditengah alis pemuda baju putih
kurang bersih dan guram malah kentara juga sifat bangor dan
nakalnya, selain itu tiada perbedaan lain yang lebih menyolok,
apalagi kalau tidak ditegasi juga sulit dapat melihat pertanda
perbedaan yang khas ini begitulah setelah berselang agak
lama masing-masing mematung berdiri berhadapan.
Terdengar Giok liong berkata lantang:
"siapakah tuan ini ? Kenapa dialam pegunungan liar ini
menganiaya dan mengejar ngejar seorang perempuan jelita ?
Apa kau tidak takut merusak nama baikmu serta nama harum
perguruanmu?"
Karena rupa pemuda itu persis benar dengan Giok-liong
maka kata-kata yang diucapkan ini rada sungkan dan tuanya
bersifat menegor saja.

setelah tercengang sebentar pemuda baja putih terlorohloroh
menengadah:
"Kau tanya aku ? seharusnya aku yang tanya padamu ?"
"Aku yang rendah Ma Giok- liong ..."
"Ma Giok liong Hahahaha"
"Kenapa tuan tertawa ?"
"Dicari merusakan sepatu besi tak keketemu, sekarang
ketemu disini tanpa susah payah Ha sungguh kebetulan sekali
"
"Tuan kenal Ma Giok liong ?"
"Tidak, hitung-hitung pernah dengar akan namamu. itu
"nada perkataan pemuda baju putih ini rada menghina dan
mengandung sindiran lagi tanpa mengenal sopan, Giok-liong
berlaku sabar, sahutnya tertawa tawar:
"o, begitu ?"
"Tak heran gadis genit macam keluarga Ling ini begitu
melihat aku lantas nanjang pendek dia memanggil aku dengan
sebutan Engkoh Liong apa segala dengan mesra dan penuh
kasih sayang. Ternyata kalian mempunyai hubungan begitu
erat dan rapat, Ma Giok- liong sungguh bahagia hidupmu ini."
Giok-liong menjadi mengerut kening, katanya keras:
"Tuan bicaralah kenal sopan santun dan tata kehormatan "
"Hahahaha Hormat dan sopan santun Apa yang dinamakan
sopan santun, jangan kau pura-pura, berlaku sebagai
sosiawan, mulutmu mengundal kata bajik dan berbuat susila
apa segala hakikatnya kau sendiri menjual tampang memikat
kaum perempuan, apakah kau dapat mengelabui mata jeli dari
tuan mudamu ini?"

"Tutup bacotmu " Giok liong menjadi berang, suaranya
terdengar lantang penuh kemarahan:
"siapa nama tuan ini, dari aliran atau perguruan mana,
sebutkan dengan jelas, perlu kiranya aku yang rendah
menyelesaikan urusan ini secara adil "
"Kau tanya padaku?"
"ya, tanya kau "
"Kalau kau tanya aku, kau harus ganti dulu nama busukmu
itu "
"Haha Hm, hm Asal kau dapat menyebutkan alasannya, aku
Ma Giok- liong sedang setegang apa saja boleh kulakukan "
"Baik- berdirilah kuat dan tegak Aku orang she Ma sejak
kecil makan nasi sampai besar, bukan bangsa kurcaci yang
gampang di gertak silakan katakan"
"Tuan mudamu inijuga she Ma"
"Betapa besar dunia ini, entah berapa banyak orang yang
mempunyai she Ma, tak perlu di buat heran "
"Tuan mudamu ini bernama Ma Giok-hou"
"Ma----Giok- - -Hou "
seketika Giok-liong berdiri kesirna, hatinya sambil
menjublek ditempatnya:
"Ma Giok-hou? Masih teringat olehnya bahwa ibunya
pernah berkata bahwa dia masih punya seorang adik laki-laki,
bukankah ia bernama Ma Giok-hou?" karena ingatannya
tergetar hatinya, cepat ia berseru:
"Giok-hou Kau adalah. -adikku "
"Cis Kentutmu busuk "

Ternyata kata pengakuan Giok-liong ini membuat pemuda
baju putih itu menjadi murka, setelah berludah ia berkata
menghina :
"Ma Giok-liong Kau sedang mimpi Tuan mudamu ini adalah
adikmu? Kecuali kau lahir pada jelmaan yang akan datang"
Wajah Giok-liong menjadi panas, terasa bahwa tadi ia telah
salah omong terpaksa tertawa getir, ujarnya:
"Kalau begitu, ya sudah, harap maaf akan kesalahan
omonganku." lalu ia angkat tangan menjura dalam.
Dengan sikap gelak dan besar-besaran pemuda baju putih
mendengus jengeknya:
"Hm, tidak tahu diri"
Rasa curiga Giok liong masih belum hilang, katanya sambil
tertawa:
"Tuan tamatan aliran kenamaan apakah boleh memberi
tahu dari perguruan mana?"
"Boleh, tentu boleh. Kau sangka tuan mudamu ini tidak
punya akar tak punya aliran "
"Sudah tentu begitu tentu.. ."
"Tuan mudamu hidup dibesarkan dilaut utara, menetap
dalam Hwi thiat-hay"
"o Hwi thian hay Ma Hun dari laut utara, Ma-loeng-hiong
entah ada hubungan apa dengan tuan?"
"Beliau adalah ayahku "
"Maaf kekurangan hormat tadi "
"Panggilan akan tuan muda pada diriku tidak berlebihan
bukan"

"Tidak sudah tepat benar, keluarga persilatan murid
pendekar "
Pemuda baju putih semakin congkak dan takabur dieluelukan,
mendadak wajahnya membersut kaku, katanya
rendah:
"Kudengar katanya kau mengandal ketenaran nama Toji
Pang Giok serta keampuhan seruling sambar nyawamu itu
malang melintang dan menjagoi dunia Bulim? Ternyata
namamu begitu tenar bagaikan suara guntur di siang hari
bolong didalam daerah Tionggoan ?"
Terang-terangan ini adalah tiada angkatan tua memberi
teguran dan nasehat kepada angkatan muda, sikapnya
sungguh sangat sombong sekali.
Tapi Giok- liong bersikap sabar tanpa ambil marah
sedikitpun meskipun rasa hatinya mendelu dan dongkol,
namun lahirnya tetap wajar saja, katanya:
"Terima kasih, itu hanya para kawan Kangouw yang terlalu
mengelukan, serta anugerah para bulim Cian-pwe"
Tak duga Ma Giok-hou ambil tidak pusing akan
penjelasannya ini, air mukanya semakin membeku dingin,
tanyanya balik -
"Apakah kau tahu apa tujuan tuan mudamu menuju ke
Tionggoan sini ?"
"Dari mana aku yang rendah bisa tahu"
"Ketahuilah Khusus aku hendak mencari kau "
"Karena aku?"
"ya"
"Ada petunjuk apakah ?"

"Aku bernama Ma Giok-hou, maka kau tidak boleh lagi
menggunakan nama Ma Giok-liong "
"Uh Kenapa pula ?"
"Aku bernama "Hou" (macan) sedang kau menggunakan
"Liong" (naga) terang sudah tidak mencocoki satu sama lain,
apalagi sama-sama menggunakan pula huruf " Giok" (kumala)
bukankah lebih tidak serasi "
"Tidak serasijuga tidak menjadi soal kurasa "
"Tidak orang lain bisa anggap kita adalah saudara
sekandung "
"Ini... Hihihi" Giok-liong menjadi geli sendiri, pikirnya,
"Hwi-thian khek Ma Hun dari Pak-hay sangat tersohor dan
berwibawa tata kehidupan keluarganya tentu sangat keras,
bagaimana mungkin bisa punya seorang putra yang bangor
dan congkak demikian ini omongannya terlalu takabur,
sungguh Jenaka dan menggelikan sekali. Terdengar Ma Giokhou
menggerung gusar, semprotnya :
"Apa yang kau tertawakan ?"
"Menurut hemat aku yang rendah, nama seseorang
merupakan perwakilan yang tercantum belaka, tentang nama
tidak terlalu penting, adalah sepak terjang atau tingkah laku
seseorang menjadikan garis utama sebagai hidup manusia
layaknya, inilah yang terpenting, bagaimana menurut
pendapat tuan?"
nada perkataan Giok- liong ini sudah mengandung sifat
kurang senang.
Tak tahunya, sikap Ma Giok-hou acuh tak acuh,
cemoohnya:
"Sesuatu yang kau anggap tidak penting sebaliknya
kupandang sangat penting "

"Oh Lalu bagaimana menurut pendapat tuan ?"
"segera kau ganti nama "
"Kau minta aku ganti nama, lalu ganti she dan nama apa ?"
"Terserah mana suka"
"Kenapa begitu ?"
"Sukar dapat dibedakan secara jelas antara. mata ikan dan
mutiara "
"siapakah mata ikan, lalu siapa pula yang menjadi mutiara
?"
" Untuk itu kau tidak perlu urus, pendek kata selanjutnya
kau tidak boleh menggunakan nama Ma Giok-Liong "
Giok liong kurang senang, baru saja ia hendak mengumbar
wataknya, akan tetapi lantas teringat olehnya bahwa tidak
lama lagi jiwa sendiri bakal melayang, termasuk hari ini tidak
lebih tinggal tujuh hari saja, buat apa berbuat menurut isi hati
melulu.
Apalagi Hwi-tHan khek Mi Hun dari Pak-hay merupakan
tokoh kosen yang berwatak sangat aneh, namanya seumpama
geledek disiang hari bolong sifatnya lurus dan suka beramal
lagi, bagaimana juga ia tidak rela mengikat permusuhan
dengan tokoh kenamaan ini.
Maka sedapat mungkin ia menekan gejolak amarah dalam
dadanya mandah menggeleng saja ia berkata:
"untuk soal ini kuharap tuan suka maafkan, gauti nama dan
she bukan merupakan urusan sepele, seumpama aku sendiri
sudah ganti nama, orang lain juga tetap menyebut namaku
yang lama, bukankah sia-sia belaka "
Tak sangka Ma Giok hou masih mengukuhi tuntutannya,
dengan berbagai alasan yang tidak masuk diakal.

Akhirnya Giok- Hou mengerut alis dan berkata
serampangan tak mengenal aturan:
"Hoo, seharusnya sejak semula kau menggunakan namamu
sekarang "
saking dongkol gusar dan geli Giok-liong terloroh-loroh,
"Hahahaha Hehehe Hihi"
"Kau masih berani tertawa "
"Harap tanya tuan tahun ini berusia berapa ?"
"Tuan mudamu sudab cukup berusia delapan belas "
"Nah, kan tidak bisa salahkan aku "
"Apa harus salahkan aku?"
"Aku tidak berani salahkan kau, karena aku lebih tua dua
cahun dari kau, tentang nama itu terang aku diberi oleh
ibunda dan ayahku lebih dulu "
" Kau pintar memutar bacot dan ingin menang sendiri "
sekarang Ma Giok hou malah menuduh Giok-liong semena
mena menggunakan akal bulusnya, segera ia pasang kudakuda
dan bergaya siap untuk bertempur.
Kemarahan Giok-liong sudah memuncak pada titik paling
tinggi, dengan mendengus dingin ia tidak hiraukan lagi pada
bocah sombong kurang ajar itu. Pelan pelan ia memutar tubuh
berkata pada Ling soat yan yang tengah duduk bersila semedi:
"Nona Ling, mari kita pergi"
Angin berkesiur, tahu-tahu Ma Giok-hou sudah
menghadang didepan mereka, bentaknya mendelik,
"Mau pergi, Mau tidak kau ganti nama ?"
"Sulit aku yang rendah menurut perintahmu, kalau mau
ganti, silahkan kau sendiri yang ganti"

"Apa kau berani menyuruh tuan mudamu ini ganti nama ?"
"Lalu mengandal apa kau suruh aku ganti nama ?"
"Mengandal wibawa Hwi-thian khek Ma Hun dan
kepandaian tunggal Hwi-thian-ling-cu"
"Kau terlalu menghina orang, seumpama seorang limpung
aku Ma Giok- liong juga punya parasaan, kau ada simpanan
kepandaian tunggal apa, nanti pada suatu ketika biar aku
belajar kenal di laut utara sana"
habis berkata Giok-liong melangkah mendekat ke arah Ling
soat-Yan sembari katanya:
"Mari kita pergi"
saat itu kebetulan Ling soat-Yan selesai dengan semadinya,
pelan-pelan merangkak bangun dengan pandangan gusar ia
deliki Ma Giok-hou lalu berkata kepada Giok-Liong:
"Kenapa kau hari ini seperti.. ."
Giok-liong tertawa getir, ujarnya:
"Sudahlah Nona Ling "
"Dia membunuh chiu Ki"
"orang yang sudah mati takkan hidup kembali. Nona Ling
permusuhan gampang diikat sulit diselesaikan."
Walaupun dengan kata-kata manis Giok-Liong berusaha
membujuk Ling Soat-Yan, tapi Ma Giok-hou yang masih
mentang-mentang gusar itu tak mau peduli, jurus Ban huasam-
ong dimainkan kedua kepelan tangannya beruntun
bergerak tiga jurus terus menghadang di depan jalan,
bentaknya gusar:
"Kalau kau hari ini tidak ganti nama, jangan harap kau
dapat lolos dari sepasang kepelan tuan mudamu ini"

Belum sempat Giok-liong mengumbar kemarahannnja, Ling
Soat-Yan sudah tak kuat lagi, katanya kepada Giok liong:
"Kau takut Ma Hun dari Pak-hay, aku orang she Ling tidak
takut Awas serangan."
Agaknya ia menyerang dengan penuh kegusaran dan
pelampiasan dendam, maka kedua telapak tangannya berubah
warna merah darah, sekali turun tangan ia lancarkan Hiat-ing
ciang.
Ma Giok hou bergelak tawa dengan congkaknya, serunya:
"Apakah ajaran tadi masih belum cukup ?"
kelihatan iapun menggerakkan kedua kepelan tangannya.
seiring dengan gerak jalan kepalannya mendadak terdengar
suara mendesis dari sambaran tenaga pukulannya yang dingin
membekukan, sungguh hebat mengejutkan perbawa sekejap
saja tiga tombak sekeliling-tubuhnya diliputi hawa dingin
membeku seumpama dimusim dingin yang banyak turun
hujan salju, begitu dingin hawa ini sampai menembus tulang
membuat orang merinding kedinginan.
Terkejut Giok-liong dibuatnya melihat kehebatan pukulan
lawan, tercetus teriakan dari mulutnya gugup:
"Awas nona Ling, jangan, kau sambut dengan kekerasan"
Ling Soat-Yan sendiri juga maklum bahwa Hwi thian ciang
yang dilancarkan Ma Giok-hou ini didalam gerak tipunya
dilandasi dengan ilmu Ciat tok ham-kang, ilmu tunggal dari
aliran Pak-hay yang paling diandalkan, perbawanya bukan
kepalang hebatnya, tadi dirinya pun sudah merasakan
kehebatannya.
Maka tidak menanti peringatan Giok-liong ia sudah
bergerak, dengan jurus Thian-li-san hoa (bidadari menyebar
bunga), gesit sekali tiba tiba ia melayang mundur 3 tombak

jauhnya, lapat lapat terlihat dalam sorot pandangannya
hatinya sudah gentar dan kapok, wajahnya pucat.
Ma Giok hou sangat puas dan senang, katanya bergelak
tawa:
"Bagaimana? Belum lagi kena kenapa lantas lari?"
sambil berkata kata ejek ini laksana tebaran bulu angsa
tubuhnya yang memutih melayang mengejar dengan enteng
sekali- Dimana ia gerakkan tipu Hian-hong it-sek (sejurus
angin lesus) mendadak kedua pundaknya bergoyang tahu
tahu ia sudah melejit tiba disamping Lign Soat-Yan tangan
kanan menyurung kepada telapak tangannya persis mengarah
tulang punggungnya, terus menepuk ringan.
Kalau tepukan telapak tangannya ini kena dengan telak,
tentu tamat riwayatnya Ling soat yan.
"Tahan" tanpa berayal segera Giok liong membentak,
dimana mega pulih berkelompok menerpa tiba, belum lagi
tubuhnya meluncur tiba angin pukulannya sudah bergerak
dengan dilandasi kobaran api deras yang mencorong mega
putih terus menindih ke telapak tangan Ma Giok hou yang
terulur keluar itu. "Ei.. OU"
"biang"" kedua gulung angin dahsyat saling bentur
ditengah udara tepat dibelakang punggung Ling soat yan.
Tiga bayangan orang kontan terpental ketiga jurusan
sampai setombak lebih- Terdengar Ma Giok-hou menjengek
dingin:
"Kim-pit jan hun, kiranya hanya sebegitu saja."
Bahwasanya ia tidak tahu bahwa Giok-liong hanya
mengerahkan tiga bagian tenaganya saja, tujuh bagian yang
lain untuk melindungi badan.
sudah tentu pukulan Ma Giok-hou tadi juga atau belum
dilancarkan menggunakan seluruh kekuatannya., setelah

menyambuti pukulan Giok liong terasa hanya sebegitu saja,
tiada tanda-tanda yang hebat dan mengesankan. Maka
sikapnya semakin takabur, nyalinya semakin besar.
Mendengar kata-kata orang yang menghina itu, hampir
meledak dada Giok-liong. Tak tahan lagi ia maju tertindas
seraya berkata lantang:
"Aku sudah berkali-kali mengalah. jangan kau mendesak
orang begitu keterlaluan Harus kau ketahui.. ."
Jangan cerewet" tugas Ma Giok-hou dengan muka membesi
dingin,
"keluarkan kepandaian khususmu. Tuan mudamu tahu kau
melulu mengandal kesaktian seruling samber nyawa yang
ampuh itu"
Keruan semakin menyala kemarahan Giok-liong, desisnya
rendah:
"Menghadapi kau tidak perlu kugunakan senjataku itu"
"Bocah keparat Lihat pukulanku ini" dalam tanya jawab itu
mereka sudah saling serang satu jurus- Mulailah pertempuran
besar-besaran yang sengit dan ramai- Kedua pihak samasama
mengenakan pakaian serba putih, dan diselubungi kabut
putih lagi keadaan gelanggang pertempuran menjadi semakin
seru.
Diam-diam Giok liong membatin
"Meskipun sifatnya congkak dan sombong, namun
kenyataan Iwekangnya tidak rendah "
Dilain pihak Ma Giok hou sendiri juga tengah membatin
"Memang tidak omong kosong ketenaran namanya itu,
kepandaian dan kekuatan Iwekangnya bukan olah-olah
hebatnya"

Batu kerikil dan debu beterbangan pohon bertumbangan
keterjang angin pukulan dahsyat- Dua jagoan muda saling
memberondong dengan serangan gencar dan mematikan,
sama-sama tidak mau unjuk kelemahan dan mengalah.
semula Giok-liong sedanya saja menghadapi serangan
musuh sangkanya betapa juga manusia sombong macam
begini kekuatan Iwekangnya tentu ada batasnya siapa tahu
begitu saling gebrak lantas ia rasakan permainan Giok-hou
begitu aneh dan perubahannya sulit dijajaki, apalagi setiap
sambaran pukulannya dilandasi angin dingin yang menyampok
keras. Hwi thian-cay dari Pak-hay memang bukan nama
kosong.
Tidak dapat tidak Giok liong harus menaruh perhatian
khusus untuk meneliti dan memecahkan jurus jurus permainan
lawan.
Lima puluh jurus kemudian timbul suatu perasaan aneh
yang belum pernah timbul dalam sanubari Giok-liong selama
ini.
Terasa oleh Giok-liong, musuh muda yang dihadapinya ini
merupakan tokoh muda yang paling kosen selama ia
berkelana di kangouw.
Memang banyak yang berkepandaian setingkat dengan
Giok-hou, namun dengan usianya yang masih muda belia ini
jarang ditemui. Terpikir dalam otaknya:
"Aku sudah terserang penyakit Le-hwe-bu-ceng yang tak
mungkin dapat diobati lagi, jiwaku tinggal hidup tujuh hari
lagi, untuk apa aku berebut kemenangan, orang macam Ma
Giok-hou ini setelah bertambahnya usia dengan pengalaman
hidup yang lebih berat tentu sifat dan watak kotornya itu bakal
berubah pula, dia merupakan tunas muda dan bibit harapan
kaum Bulim, kalau aku sampai membuatnya cidera sayang
sekali.

Karena pertimbangannya ini tanpa disadari gerak geriknya
menjadi kendor. Tapi tiada terpikir oleh Ma Giok-hou bahwa
Ma Giok-liong mempunyai pikiran aneh yang cenderung
kepada harapan masa depan dirinya, yang terang setelah lima
puluh jurus kemudian terasa olehnya tekanan permainan Giok-
Liong kelamaan menjadi kendor dan lemah tak bertenaga,
jurus permainannya juga tidak segesit semula, tenaganya
lebih payah lagi, keruan Giok-hou bersorak dalam hati.
sebaliknya tanpa mengenal kasihan Giok-hou melancarkan
serangannya lebih gencar, kedua kepelan tangannya itu
laksana ribuan kupu-kupu beterbangan mendesak dan
mengancam setiap saat, sehingga Giok-liong kerepotan
mundur dan mundur terus membela diri tanpa mampu balas
menyerang.
Putri bayangan darah Ling soat yan menjadi gelisah melihat
Giok liong semakin payah dan terdesak dibawah angin, tak
tertahan lagi akhirnya ia berteriak:
"Giok-liong Engkoh Ling Kenapakah kau "
Mendengar teriakan ini Ma Giok-hou masih lebih
memberondong serangannya ditambah tenaga berlipat ganda.
Telapak tangan bergoyang memancing mendorong ke depan,
sedang telapak kiri yang membabat dari kanan ke kiri tiba-tiba
berubah menjadi tutukan, dimana kedua jari tengahnya
meluncur mengarah jalan darah besar dibawah tetek Giokliong,
cara serangan macam ini betul-betul ganas dan jahat
sekali, karena sembari menutuk mulutnya ikut membentak:
"Kena"
Tapi sedetik sebelum kedua jarinya mengenai sasarannya
mendadak bentakannya menjadi seruan tertahan tersipu-sipu
ia menjejakkan kakinya lantas melayang jauh setombak lebih,
karena terlambat serambut saja dada sendiri juga tertembus

oleh selarik sinar pedang dingin yang melesat datang dari
tengah udara.
Giok-liong juga berteriak khawatir, lekas lekas berkelit
mundur keluar kalangan, cepat cepat Ling soat- an memburu
maju menarik lengan baju Giok-liong, mukanya pucat penuh
kekwatiran.
sejenak kemudian terlihat sesosok bayangan kuning
meluncur turun dari tengah udara. Tahu-tahu Tan soat-kiau
sudah berdiri teoak diantara mereka, sedikit membungkuk ia
mengulur tangan mencabut pedang pendeknya yang
bergoyang-goyang menancap ditanah, sepasang matanya
berkilat mendelik kearah Ma Giok hou, semprotnya:
"Kenapa kau turunkan tangan kejam. Engkoh Liong sengaja
memberi hati kepadamu, masa kau tidak tahu ?"
"Hahahahaha ". sebelum Ma Giok-hou bergelak tertawa
geli- sekian lama ia mengamati Tan soat-kiau, baru suaranya
mengalun:
"Aduh satu lagi Ma Giok liong Rejeki sungguh besar, ya
Hahaha."
Tan soat kiau membolang baling pedang pendeknya,
bentaknya:
"Mulut bawel, awas nonamu memotong lidah kurang ajar
itu"
saat mana Giok liong berdiri menjublek ditempatnya seperti
orang linglung, luka dalam hatinya sungguh besar sehingga
membuat semangatnya runtuh hakikatnya ia sudah kehilangan
daya gerak kehidupan sebagaimana manusia umumnya,
tenggelam semakin ambla Ini tak bisa menyalahkan dia sebab
tujuh hari adalah waktu yang sangat pendek ?
Lain adalah Ma Giok-hou dengan tertawa cengar cengir ia
tunjuk Giok-liong berkata kepada Tan soat kiau:

"Dia adalah engkoh mu ?"
Merah muka Tan soat kiau, namun dengan berani ia
menjawab:
"Benar, kau mau apa ?"
"Apa Kaujuga she Ma ?"
"cis Nonamu she Tan"
"Lho, kenapa kau panggil dia engkoh ?"
"Kau tak usah peduli hal ini "
"Kenapa kau tidak panggil 'engkoh' juga kepadaku"
"Bocah bangor Kucincang tubuhmu" lenyap suaranya tahutahu
sinar pedangnya sudah berkuntum beterbangan laksana
titik bintang terus menubruk kearah Ma Giok-hou sembilan
jalan darah besar ditubuh orang ia incar dengan tepat, cepat
sekali beruntun ia sudah lancarkan sembilan tusukan dan
tikaman.
Kepandaian Ma Giok hou boleh dikata sudah mendapat
gemblengan pribadi dari Hwt-thian-khek Ma Hun dari laut
utara, dengan tingkat kepandaiannya sekarang mana begitu
gampang kena disergap oleh serangan musuh.
Pura pura ia berseru kejut dan mundur ketakutan sembari
berteriak menggoda:
"Aduh Celaka"
Bayanganputih melayang dan berlompatan kekanan kiri
dengan ringan sekali, tanpa terasa dengan kegesitan tubuhnya
itu indah sekali ia meluputkan diri dari ancaman ujung pedang
lawan, malah tidak sampai disitu saja ia menggoda tiba-tiba ia
melejit kekanan Tan soat-kiau begitu dekat jarak mereka
boleh di kata berdiri berendeng bersentuhan pundak.

Tangkas sekali ia melulur telapak tangannya
mencengkeram pelelangan tangan orang lalu digentakkan,
serunya lemah lembut :
"Nona Tan jatuhkan pedangmu"
Tan soat-kiau sangat percaya akan hasil serangannya ini,
tak nyana baru saja ia bekerja setengah jalan mendadak
bayangan musuh menghilang, belum lagi ia mengetahui duduk
perkaranya tahu tahu terasa pergelangan tangan kesakitan
kena dicengkeram oleh lawan, begitu sakit sampai menembus
tulang, walaupun berusaha hendak berontak namun tenaga
sudah lemas.
"Trang" ditengah keluhannya pedangnya jatuh ke tanah,
sekuatnya ia coba meronta, namun pergelangan tangannya
seperti dibelenggu kacip sedikitpun tidak bergeming malah
menambah sakit.
Dari kejauhan Hiat-ing Kong-cu tak kuasa memberi
pertolongan, mulutnya hanya berteriak mengeluh saja.
sebetulnya semangat tempur Giok-liong sudah ludes dan
loyo, namun begitu melihat Tan soat-kiau terbelenggu dalam
bahaya kontan membara matanya, mega putih lantas
bergerak menerpa kedepan dengan merangkap kedua jari
tangan kanannya, ia menubruk maju mengitari jafan darah Gihiat
dipunggung Ma Giok-hou, mulutnyapun membentak
gusar:
"Lepaskan dia "
Menurut perhitungannya begitu ia lancarkan serangan
mematikan ini, tentu Ma Giok hou lepaskan Tan soat-kiau
untuk menyelamatkan diri dengan menyingkir jauh.
Tak nyana ternyata Ma Giok-hou malah terkekeh-kekeh,
sedikitpun ia tidak bergeming dari tempat berdiri, teriaknya
keras:

"Mari tutuk. Asal kau tega lihat si cantik ini gugur bersama
aku, silakan tutuk saja "
Walaupun Giok-liong berhasil mengancam jalan darah
besar cio-hian di punggungnya, tapi Ma Giok-hou masih
mencengkeram pergelangan tangan Tan soat-kiau, dimana
merupakan jalan darah yang mematikanjuga. oleh karena itu
ia menjadi serba sulit dilepas sayang kalau itu diteruskan
akibatnya juga tentu runyam, terpaksa ia membentak:
"Lekas lepaskan"
Tatkala itu Tan soat-kiau masih bandel berusaha meronta
lepas sampai mukanya merah padam, napasnya sengal-sengal
sementara Ling soat yan hanya membanting banting kaki saja
sembari melotot tak mampu berbuat apa-apa.
Tanpa pedulikan seruan Giok-liong, Ma Giok-hou malah
tertawa kering, ujarnya menantang:
" Kalau kau punya kepandaian silahkan tutuk "
Lengan Giok-liong menjadi gemetar, giginya terkancing
kencang saking gemas. Di lihat dari perangai Ma Giok-hou
yang bangor dan aseran itu, tentu ia dapat melaksanakan
perkataannnya, terang dia takkan mau melemaskan Tan soatkiau
yang menjadi sandera keselamatan dirinya.
Keruan Giok-liong menjadi bingung dan gugup, katanya:
"Kau mau lepaskan tidak ?"
Acuh tak acuh dengan sikap malas-malasan Ma Giok-hou
menyahut:
"Tidak sulit aku lepas tangan, tapi aku kuatir kau takkan
mau setuju "
"Menyetujui apa ?" tanya Giok liong.
"Letakkan seruling samber nyawamu ditanah dan kau
sendiri harus mundur tiga tombak "

"Hm, kau memeras ?"
"Bukan memeras, inilah syarat dan hitung dagang "
"Tentu, tukar menukar dengan adil Kalau tidak jangan
harap aku melepas kekasihmu ini."
Mendengar percakapan ini Tan soat-kiau menjadi gelisah,
teriaknya:
"Giok-liong, engkoh Liong sekali-kali jangan percaya
obrolannya "
Di sebelah sana Ling soat-yau juga mendesis mengertak
gigi:
"Bangsat rendah dan hina dina "
Giok-liong lemas lunglai, ujarnya menghela napas:
"Ternyata tujuanmu hanya pada seruling samber nyawa
melulu "
Tan soat-kiau berteriak lagi:
"Bagaimana juga tidak boleh kau serahkan kepada kurcaci
ini. Kalau seruling sakti mandra guna berada di tangannya,
tentu penghidupan kaum persilatan tak aman sentosa
selanjutnya "
Ma Giok-hou mengeraskan cengkeraman tangannya,
katanya dongkol:
"Apa kau tidak ingin hidup lagi?"
"ou..." keringat sebesar kacang kedele berketes-ketes
meleleh membasahi selebar mukanya, agaknya soat-kiau
sangat menderita menahan kesakitan.
"Bangsat berani kau " bentak Ling soat yan, tapi apa
gunanya membuang tenaga dan suara.

"Hentikan siksaanmu " mendadak Giok-liong membentak
keras, suaranya laksana guntur menggelegar selebar mukanya
bersemu hijau mcmbesi, betapa pedih dan mendelu hatinya
dapatlah dibayangkan, amarahnya sudah memuncak tak
terkendali lagi. Tapi pada lain kejap sikapnya menjadi lebih
tenang, ujarnya pelan-pelan:
"Baiklah selalu kubawapun tiada gunanya lagi, lebih baik
kuberikan kepadamu saja"
soat-kiau dan Soat-Yan berseru tertahan sambil mendekap
mulutnya.
Ma Giok-hou menyeringai penuh kemenangan ujarnya:
"Asal kau tahu saja Lekas letakkan di tanah dan cepat
mundur tiga tombak "
sepasang mata Giok liong mengembeng air mata, matanya
mendelong mengawasi ke depan, pelan-pelan ia merogoh
keluar seruling sakti yang selalu diimpikan dan diincar kaum
persilatan. Cahaya cemerlang menyolok mata terpancar dari
seruling sakti yang memutih halus itu.
Lekas Ling Soat-Yan memburu maju ke-samping Giok liong,
kedua tangannya mengelus-ngelus seruling sakti itu, air mata
membanjir keluar, tak tertahan ia menangis sesenggukan
keluhnya :
"Apa betul-betul kau hendak menyerahkan seruling ini
begitu saja"
Giok liong manggut-manggut tanpa bicara, pelan-pelan ia
mendorong tangan Ling soat-yan, lalu dengan seksama dan
penuh rasa berat ia mengamati seruling ditangannya.
Lama dan lama selali, akhirnya Ma Giok hou menjadi tidak
sabar lagi, serunya mendesak:
"Bagaimana ?Jadi tidak barter ini ?"

"Jadi, jadi Tapi sebelum seruling ini menjadi milikmu aku
ada beberapa patah kata ingin kuucapkan"
"Ada omongan apalagi, lekaslah katakan, main plintat
plintut segala."
"Baik, kuharap kau dapat meresapinya "
"Katakanlah "
"Pertama, seruling sakti ini peninggalan orang kuno yang
telah menjadi senjata ampuh mandraguna. Dia akan menjadi
milik orang yang berjodoh dengan seruling ini. Hari ini aku
kehilangan seruling ini mungkin perbuatan bajikku masih
minim, maka kuharap saudara selalu ingat akan peringatan ku
ini"
"Itu kan obrolan biasa selama orang memberi nasehat "
" Kedua, seruling ini karena terlalu sakti sehingga cara
menggunakannya sangat ganas dan telengas, tidak bisa
dikatakan tidak akan bisa membunuh orang, maka harapanku
kedua supaya kau menggunakan kesaktiannya ini untuk
membunuh orang-orang jahat, lindungilah yang bijaksana dan
lemah tak bersalah, jangan sekali kali kau gunakan untuk
menyebar maut menimbulkan bencana."
"Aah, omong kosong belaka "
"Ketiga... "
"Masih ada fagi. Waaah brengsek "
"Hehehe mau tidak kau mematuhi terserah kepadamu saja,
bagaimana ?"
"Baiklah, sebutkan terus "
"Ketiga, seruling ini jangan sampai kena kotoran, sebagai
benda suci dan sakti sekali kena kotor lenyaplah
keampuhannya, bukan menjadi barang antik atau pusaka
lagi."

"Untuk hal inu boleh dipercaya dan bisa kumaklumi"
"Keempat..."
"Masih ada keempat?"
"Jangan sembarangan kau serahkan seruling ini kepada
siapapun, pilihlah orang yang tepat dan orang itupun harus
betul-betul dapat kuat melindunginya...."
"sudah sudah Legakanlah hatimu Berada ditanganku
seruling ini akan lebih terlindung daripada menjadi milikmu-
Direbut orang lain, sesutu tak mungkin terjadi"
"Kuharap begitu pula"
"Sudah belum, tiada sambungan lagi. Letakkan ditanah dan
menyingkir tiga tombak"-
"Baik kuturuti segala kemauanmu" selesai berkata,
mendadak Giok-liong bertekuk lutut, seruling samber nyawa
diangkat tinggi diatas kepalanya, menghadap ke timur ia
menyembah berulang kali, mulutnya bersabda:
"Tecu tak berguna, seruling sakti ini tak mampu kulindungi
lagi, harap para Cosu memberikan hukuman setimpal pada
generasi yang tak berguna ini." selesai ia mengheningkan
cipta air mata sudah membanjir keluar tak tertahan.
Hati Tan soat-kiau seperti diiris-iris pisau, teriaknya sambil
meronta :
"Aku rela mati, jangan kau...aduh"
"Jangan banyak mulut"
"Ternyata begitu Ma Giok-hou mengeraskan
cengkeramannya, hampir saja Tan soat-kiau jatuh pingsan
saking kesakitan
Giok liong menjadi beringas, hardiknya:
"Kau masih belum lepaskan tanganmu."

Ma Giok-hou menyerinyai, jengeknya-
"Aku akan lepas tangan setelah kau letakkan serulingmu itu
dan mundur tiga tombak-"
"Kau mengukur hari seorang kuncu dengan martabat
seorang rendah. Aku tentu akan menepati janjiku- "
Benar juga pelan-pelan Giok liong meletakkan seruling yang
memancarkan cahaya cemerlang diatas rumput, lalu katanya
pelan:
"Begini, kau puas bukan?"
"Mundur tiga tombak-" bentak Ma Giok hou-
Giok liong manggut-manggut, menggape kepada Ling soat-
Yan sembari katanya:
"Nona Ling, mari kita mundur tiga tombak"
Ling Soat-Yan sudah tidak kuat menahan rasa sedihnya, ia
menangis keras tergerung-gerung, katanya tersekat-sekat:
"Kau—. benar kau..."
Tan soat-kiau sendirijuga sampai ter-tenggak suaranya
saking pilu menangis:
"Engkoh Liong, kau tidak seharusnya.-karena aku...."
Giok liong menggigit bibir, ujarnya:
"Aku sudah menyetujuinya, sudahlah jangan banyak omong
lagi, mari."
sambil mengajak Ling Soat-Yan ia sudah melayang tiga
tombak lebih, terus duduk diatas sebuah batu besar, sikapnya
lesu dan loyo.
Ling soat yan malah mendelong mengawasi seruling sakti di
tanah berumput itu, tidak rela untuk meninggalkan begitu saja
"Budak-" bentak Ma Giok-hou dengan garang:

"Tidak lekas menyingkir, apa cari kematian"
Terdengar Giok-liong berteriak memanggil.
"Nona Ling, marilah kesini "
Dengan pandang berapi-api penuh kebencian Ling Soat-Yan
mendelik kearah Ma Giok hou, seolah membanting kaki iapun
melompat jauh tiga tombak tiba disamping Giok-liong. suara
Giok-liong terdengar lemah berkata:
"Tuan boleh melepas orang bukan."
Ma Giok-hou menyeringai mendadak ia menengadah serta
bergelak tawa, tangan yang mencengkeram Tan soat kiau
masih belum dilepaskan mendadak ia menyeretnya ke depan
lalu membungkuk menjemput seruling samber nyawa, sambii
mengentakkan tangan Tan soat-kiau ia berteriak:
"Ternyata begini gampang tanpa mengeluarkan tenaga,
Genduk. ayu, tak nyana jiwamu sebagai timbal dengan senjata
sakti mandraguna ini, baik hitung-hitung masih
menguntungkan kau"
habis berkata terlihat tangan kanannya dipuntir terus
disendai keatas. Ternyata sekali sentak ia lemparkan tubuh
Tan soat-kiau setinggi lima tombak-
Bayangan merah dan putih berkelebat bersama. Kiranya
Ling soat-Yan dan Giok-liong memburu bersama, begitu cepat
mereka meluncur kearah Tan soat-kiau yang melayang di
tengah udara itu. Betapa berat tubuh besar ini kini meluncur
lurus lagi keruan bukan kepalang deras dan kuat daya
jatuhnya.
Untung kembangkan Ling hun-toh Giok-liong secepat kilat,
dalam saat gawat dan memburu itu kedua tangannya masih
sempat menyandak dan menyanggah ke atas, hitung-hitung ia
berhasil menahan sedikit daya luncuran jatuh tubuh Tan soatTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kiau. Tapi tubuh Giok-liong yang meluncur lempang itu sudah
hampir saja dadanya menyentuh tanah.
Karena kedua tangan menyanggah tubuh Tan soat-kisu
sehingga ia tidak leluasa mengembangkan gerak badannya,
hanya dada sedikit menyentuh tanah serta kedua tumit
kakinya menutul bumi, tubuhnya terus meluncur kedepanpula
beberapa jauh baru ia berhasil mengendalikan tubuhnya
dengan berdiri tegak- Tapi tak urung jidatnya sudah di basahi
keringat dingin-
Dengan wajah masih penuh rasa panik Ling soat-Yan
menuding Ma Giok-hou, makinya:
"Keparat, seruling sudah diserahkan kepadamu, kenapa kau
ingkar janji sengaja hendak mencelakai jiwa orang ?"
Ma Giok-hou tertawa lebar sambil mendongak, ujarnya:
"ingkar janji ? janji apa yang kuingkari ?"
"Sikapmu terlalu kasar terhadap nona Tan ?"
"Kepada siapa aku pernah berjanji? Hahahaha " sambil
gelak tawa ia mengobat-abitkan seruling ditangannya, serta
teriaknya kegirangan.
"Kupandang seruling ini biar kuampuni jiwa kalian sekali ini"
Lalu dengan memicingkan mata ia membelak balik seruling
ditangannya serta menikmati cahaya cemerlang yang
memancar keluar, pelan-pelan langkahnya mulai beranjak
keluar menuju kebawata gunung.
Mendadak Giok-liong tersentak maju seperti teringat
sesuatu, teriaknya keras:
"Tuan ini harap tunggu sebentar"
sebat sekali Ma Giok-beu mendadak memutar tubuh,
seruling melintang didepan da-danya, katanya mengumbar
kemarahan:

"Kenapa? Kau menyesal ?"
sikapnya berangasan bersiaga hendak berkelahi,.
Giok-liong geleag-geleug kepala, katanya tertawa tawa :
"Bukan begitu maksudku"
"Lalu untuk apa kau panggil aku ?"
"Ada sebuah pesan ketitipkan kepadamu"
"Urusan apa ?"
"Belum lama berselang, aka yang rendah pernah mendapat
perintah dari ayahmu, beliau minta aku segera menuju ke Pak
hay untuk merundingkan sesuatu sekarang mungkin
permintaannya itu tak mungkin terlaksana. Maka kuminta
kesedianmu untuk menyampaikan berita ini kepada beliau,
tolong sampaikan pula salam hormatku kepada Ma-lo enghiong
"
"Kau mimpi mana bisa ayahku mengundangmu "
"omoaganku cukup sekian saja, percaya tidak terserah
padamu"
"Hm, kau hendak menekan aku dengan kebesaran nama
ayah bukan. Bedebah biarlah dengan seruling ini aku memberi
sedikit rente kepadamu, lihat serangan"
"Ma Giok-hou, edan kau" bentakan ini nyaring merdu, jauh
diluar puluhan tombak.
Namun dalam pendengaran kuping bukan saja jelas malah
mendengung berirama tak putus-putus Iwekang orang yang
mengeluarkan suara ini tentu sudah mencapai puncak
kesempurnaannya.
Disusul terdengar suara kelintingan yang riuh dan ramai
berkumandang terbawa hembusan angin. Berubah air muka
Ma Giok-hou, sikapnya menjadi takut-takut nyalinya kuncup.

Giok-liong sebaliknya mengunjuk rasa girang, dengan
prihatin ia mengulur leher memandang kearah datangnya
suara kelintingan, serunya sambil membungkuk hormat:
"Lo cian pwe telah datang"
Adalah putri bayangan darah Ling Soat-Yan dan Tan Soat
kiau yang paling riang berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil
yang melihat ibunya pulang dari pasar membawa kue-kue,
tanpa janji mereka berterik-teriak:
"Ibu datang Ibu ibu ? Bu Bu"
sekuntum Bunga berkembang dikejauhan sana membawa
setitik merah terus melayang datang dari kejauhan sana,
sekejap saja sudah melayang turun dihadapan mereka tanpa
mengeluarkan suara tanpa menimbulkan kesiur angin.
Dengan sebelah tangan menggandeng Ang-i-mo-li Li Hong,
Kim ling cu sudah berdiri tegak diantara mereka. Bau harum
semerbak lantas berkembang merangsang hidung, sehingga
perasaan menjadi ringan, semangat pulih bergairah-
Memang tida malu dan kenyataan benar Kim-Ling-cu
sebagai tertua dari Bu lim-su-bi, meskipun usianya sudah
menanjak lanjut karena Iwekangnya yang tinggi maka
wajahnya masih kelihatan muda, halus dan cantik sekali tak
kalah keayuan bidadari, sejenak ia memandang kearah wajah
dan sikap kedua putri angkatnya, seketika alisnya menjekit
tinggi, matanya lantas memandang pula kearah Giok liong
bibirnya berkemik,
"Terjadi apa lagi disini?"
Karena dongkol dan penasaran Ling soat yang dan Tan
soat-kiau sejak tadi masih tertekan dalam hati dan belum
sempat melampiaskan, mendengar pertanyaan yang halus
penuh rasa prihatin ini tak kuasa lagi berbareng memburu

maju sambil pecah tangis tergerung- gerung terus menubruk
kedalam pelukan Kim-Ling-cu.
Giok-liong menjura dalam seraya menyapa-
"Wanpwe menyampaikan hormat kepada Cian-pwe"
Ma Giok-houjuga maju betapa langkah, katanya
menghormat:
"Titji (keponakan) menghadapToa-i-be (Bibi besar)."
Mendelik sepasang biji matanya Kim-ling-cu, tanyanya
penuh wibawa:
"Eh, kenapa seruling samber nyawa bisa berada di
tanganmu ?"
Kembali Ma Giok-hou mengunjuk sikap sombongnya,
seruling samber nyawa diayun ditengah udara membuat
lingkaran membundar, katanya tertawa:
"Keponakan memperolehnya dalam menang berjudi "
Merengut air muka Kim-ling-cu, katanya kepada Giok-liong:
" Giok liong Kenapa kau tidak tahu diri Benda pusaka yang
sakti mandraguna kenapa kau jadikan taruhan untuk berjudi
apa segala kenapa begini ceroboh menuruti perasaan hati
melulu ?"
"cianpwe»-" Giok liong tersendak tak kuasa menerangkan.
Putri bayangan darah Ling Soat-Yan tampil kedepan seraya
menuding muka Ma Giok-Uiou, katanya:
"Bujangan kau percaya obrolannya menang secara berjudi
apa segala, bohong "
"sebetulnya, apa yang telah terjadi ?"
Tan soat-kiau menjelaskan sambil sesenggukan:

"Dia menyergap dan membokong mencengkeram
pergelanganku, aku dijadikan tandera memeras... dia (Giokliong),
sebagai gantinya ia minta jan hun-ti, kalau tidak ia
hendak membunuh aku"
"Ha, ada kejadian demikian " berubah dingin air maka Kimling-
eu, telunjuk rasa tak senang pada wajahnya.
Ling soat-yan juga monyongkan mulut, tambahnya:
" untuk menolong jiwa adik soat-kiau terpaksa Giok-liong
meletakkan seruling samber nyawa diatas rumput dan harus
mundur lagi tiga tombak jauhnya, siapa tahu setelahjan-hun ti
berada ditangan-nya, ia mengerahkan tenaga dalam
melemparkan tubuh soat-kiau beberapa tombak, jauhnya
kalau Giok-liong terlambat-.."
Dengan memicingkan mata Kim-ling-cu mengawasi Ma
Giok-hou, suaranya rendah tertekan:
"Apa besar begitu ?"
sikap Ma Giok-hou tidak tenang, mulutnya tergagap
berkata:
"Tadi memang diadakan pertaruhan"
"yang kutanyakan apakah kenyataan memang begitu ?"
sekian lama Ma Giok-hou tak berani menjawab, akhirnya ia
manggut, namun samar samar dalam pandangan matanya
masih terseret rasa dongkol, agaknya hatinya berantai-
Kim-ling cu tidak unjuk marah juga tidak memakinya, ia
berpaling ke belakang kepada Li Hong memberi syarat kedipan
mata serta katanya halus:
" Ambil kembali jan-hun-ti di tangannya itu "
Berdiri alis Ma Giok-hou, mulutnya sudah terbuka tapi
urung bicara, badannya tampak bergetar.

Kim-ling-cu tersenyum simpul:
"Serahkan padanya "
saat mana Li Hong sudah beranjak ke depan dengan
langkah gemulai, sekali raih gampang saja ia sambut seruling
samber nyawa dari tangan Ma Giok-hou. Lalu pelan-pelan
kembali berdiri di belakang Kim-ling cu, sepasang matanya
dengan penuh iba dan rasa dongkol dan penasaran melirik
kearah Giok-liong.
Kata Kim ling cu kepada Giok liong:
"Kau ini memang ceroboh. Kenapa kau tinggalkan mereka
berkelahi diatas Kui-ong-ping, kau sendiri tinggal pergi tanpa
pamit, kalau terjadi malapetaka akan jiwa mereka berdua
bagaimana?"
Panas selebar muka Giok-liong, jawabnya tersekat-sekat:
"wanpwe mempunyai kesukaran yang sulit untuk
diutarakan"
Kata Kim ling cu lagi.
"Li Hong, menerima perintah dari ayahnya dan pesan
wanti-wanti dari Ibun Hoat untuk membuntuti jejakmu,
sekarang cara bagaimana dia harus kembali ke yu bing-mo
khek- melaporkan tugasnya itu. seorang anak perempuan
lemah, tak punya rumah berkelana di Kangouw, apakah itu
baik?"
Giok liong semakin keripuhan, lidahnya menjilat-jilat bibir,
katanya dengan rikuh:
"Kalau begitu serahkan sajajan-hun-ti kepadanya, supaya ia
bisa kembali menunaikan tugasnya."
"Bocah gendeng tak berguna, bagaimana mungkin pusaka
perguruan kau jadikan taruhan berjudi dengan orang, kini ada
di-berikan kepada orang lagi"

"Hati Wanpwe sekaran sudah beku tanpa tanpa lagi"
"Kenapa?"
"sebab... sebab..." "Katakan saja"
"sebab termasuk hari ini, jiwa wanpwe tinggal hidup tujuh
hari saja"
Tersentak kaget seluruh hadirin, terutama Ling-soat Yan
dan soat-kiau tergetar tubuhnya, dengan muka pucat dan
berdiri menjublek mereka mendelong mengawasi Giok liong.
sebaliknya Kim ling-cu mandah tersenyum manis katanya:
" Kau percaya benar akan ucapan Ibun Hoat"
"Keadaan yang membuat aku harus percaya "
"Coba kau kemari"
Giok liong manggut, ia maju ke hadapan Kim ling cu kirakira
lima kaki jauhnya kepadanya, sedangkan pandangan lurus
ke depan berdiri tegak-
Kim-ling-cu mengulur tangan, kelima jarinya meraba urat
nadi pergelangan tangannya, sekali lama ia memeriksa denyut
nadi, lalu membalik kelopak mata Giok-liong, lalu memeriksa
pula tengah-tengah alisnya dengan seksama.
(Bersambung kejilid 23)
JIlid 23
Sebentar kemudian baru ia berkata: "Aaah, memang kau
benar-benar terserang Le-hwe-bu-ceng, Iwekang beracun dari
luar perbatasan itu"
Agaknya Kim-ling-cu sudah mengetahui seluruh seluk beluk
Giok-liong dari penuturan Li Hong.
"Le hwe-bu-ceng-tok kang" tak tertahan Ling Soat-Yan dan
Soat-kiau berseru terbelalak.

Kim-ling cu memejamkan mata berpikir rada curiga dan
tanda tanya merangsang benaknya lama dan lama sekali ia
tidak berkata-kata. Akhirnya ia membuka mata dan berkata
tak mengerti:
"Kalau sudah terserang racun Le hwe-bu ceng, betapapun
tinggi latihan Iwekang mu, dalam j angka dua belas jam tentu
racun dalam tubuh akan kumat dan terbakar habis menjadi
abu sebaliknya kau.."
Semakin besar kepercayaan diri Giok-liong bahwa dirinya
terserang racun jahat, jiwanya bakal melayang dalam waktu
dekat. Karena tahu dirinya bakal mampus batinnya menjadi
lapang dan tenang, hidup atau mati menjadi tawar dalam
pandangannya, itulah yang dinamakan tak perduli mati atau
hidup pasrah pada nasib saja.
Perasaannya lebih enteng dari yang lain, maka dengan
tawar saja ia berkata:
"Menurut kata Ibun Hoat, aku punya suatu Lwe-kang
khusus yang kuat bertahan maka aku bisa menyambung
nyawa tujuh hari lagi. selewat tujuh hari seluruh tubuh
terbakar hangus tak membekas lagi "
Tatkala itu Ling soat yang dan Tan soat-klau sudah
tergerung-gerung, demikian juga Li Hong tak kuasa
membendung air mata lagi.
Tanpa merasa Giok-liong membatin:
"Benar, aku punya Iwekang khusus apa yang dapat
menahan bekerjanya kadar racun Le-hwe-bu ceng tokskang
itu?"
Ma Giok-hou yang sejak tadi diam saja tanpa bersuara
sekarang ikut buka suara dengan jengekan dingin:
"Terkena Le-hwe b u-ceng tokskang, tak bisa tidak harus
minta bantuan pikak kita dari aliran Pak-hay"

Giok-liong tidak ambil perhatian kata-kata orang, hanya
sambil manggut-manggut ia berkata tawar:
"Benar memang memerlukan ciat-ham im yang tumbuh di
daerah kalian sana "
Kim-leng cu mengerutkan kening, katanya:
"Seumpama punya Ciat-ham im dari Pak-hay, kalau tiada
Hwi-sing chio dari Limg-lam juga sia-sia belaka."
Berubah perasaan Ma Giok-hou, mulutnya sudah terbuka
urung berkata, senyum sinis berganti menghias wajahnya.
seperti teringat sesuatu mendadak Kim-liong-cu bertanya:
"Giok-liong, Iwekang ji-lo pelajaran gurumu, kau sudah
melatihnya sampai babak ke berapa ?"
Giok-hong menunduk malu, sahutnya:
"Baru babak ke tiga."
Kim-ling cu menjadi lemas seperti putus asa katanya sedih:
Ji-lo merupakan ajaran murni perpaduan dari hawa langit dan
bumi. Kalau dapat melatih sampai babak kesembilan dapat
mengusir atau menolak sembarang racun. Kau hanya berlatih
sampai babak ketiga, tak mungkln mencapai tingkat sempurna
begitu "
suasana menjadi hening lelap, Kim-ling-cu tengah terpekur
seperti tengah memikirkan suatu problem teka teki yang
sangat rumit sekali, perbendaharaan pengalaman dan
pengetahuannya yang luas serta mendalam toh belum dapat
memecahkan rahasia persoalan ini.
Tapi akhirnya ia mengambil suatu kebijaksanaan:
"Giok- liong Kaupun tidak perlu banyak pikir dan khawatir,
memang tidak salah kau terserang kadar racun Lc-hwe-bo
ceng tok kang. Namun menurut pemeriksaanku tadi, urat
nadimu bersih dari segala gangguan, seluruh isi perutmu

berjalan normal tanpa terasa adanya racun bekerja dalam
tubuhmu, malah karena dengan Le-hwe yang semula
mengeram dalam tubuhmu itu, pusarmu menjadi gemblengan
dan telah tertempa lebih kuat dan kokoh, bukan saja tidak
membahayakan keselamatan malah banyak menambah
kekuatan dan kemajuan Iwekang mu "
Giok liong tertawa getir, sahutnya:
"Terima kasih akan kebaikan cian-pwe"
Ternyata ia mengira Kim-ling cu hanya sekedar memberi
kata kata hiburan saja supaya tidak kehilangan muka, maka
iapun mengunjuk muka berseri tanpa menyinggung lagi
persoalan ini. Hakikatnya dalam hati masih terganjel pikiran
tujuh hari kemudian tibalah ia meninggalkan dunia -fana ini.
Kim-ling-cu berseri tawa, katanya:
"janganlah terbawa oleh perasaanmu saja,"
lalu ia berpaling kearah Li Hong serta katanya:
"Serahkan kembali seruling samber nyawa "
Li Hong mengiakan terus melangkah maju dengan muka
merah malu langsung ia anggukkan seruling samber nyawa
kepada Giok-liong, matanya tidak berani beradu pandang.
Tatkala itu Kim-ling-cu. memutar badan menghadapi Ma Giokhou
katanya:
"Giok-hou selanjutnya tak peduli dimana saja, ku-larang
kau berkelahi lagi dengan Giok-liong. Kalau tidak tanpa
memberi tahu dulu kepada ayahmu, perlu aku menghajarmu
sampai kedua kakimu putus, tahu "
Nada perkataannya biasa saja namun penuh wibawa dan
kekerasan, sepatah demi sekata kedengaran sangat kuat
bertenaga.

Agaknya Ma Giok-hou merasa segan takut-takut terhadap
tertua dari Bu-lim-su-bi ini, berulang-ulang ia manggutss,
mulutnya pula mengiakan.
Tiba-tiba Kim ling-cu menghela napas panjang, matanya
mendongak memandang ke-langit biru kelam, suaranya
kedengaran berada sedih dan iba: "Giok-hou Giok-liong Kamu
berdua seharusnya.... ai, betapapun kalian seharusnya lebih
dekat, ketahuilah, memukul harimau—."
kedua kelopak matanya kelihatan basah, ucapan
selanjutnya menjadi tersendat ditenggorokan tak kuasa
diucapkan lagi.
sebaliknya Giok-lionglah yang meneruskan kata-katanya:
" ucapan cianpwe benar, memukul harimau masih saudara
sekandung, berangkat kemedan perang masih ayah ber-anak.
Kau bernama Giok hou aku bernama Giok- liong, sama-sama
she Ma lagi, seumpama saudara sekandung sendiri"
Namun agaknya Ma Giok-hou tidak tergerak atau ada minat
dengan rangkaian kata-kata ini, seperti mendengarkan kisah
panjang seenaknya mulutnya mengiakan saja.
Giok liong lantas maju berapa langkah dan terus menjura,
katanya:
"sikapku yang kasar tadi harap suka diberi maaf "
Ma Giok-hou tertawa dibuat-buat, iapun membalas hormat
sekadarnya. Giok-liong lantas memasukkan seruling kedalam
kantongnya Mendadak tangannya meraba sebuah benda
dingin, waktu dirogohnya keluar, kelihatan itulah sebuah
benda warna hitam yang mengkilap, seperti besi tapi bukan
besi juga tidak menyerupai batu, begitu ia angkat tinggi terus
diayun diatas kepalanya, bawa sekelilingnya terasa menjadi
dingin membeku.

Keruan seluruh hadirin terbelalak kaget- Terutama Ma Giok
Hou begitu melihat benda ini berubah hebat air mukanya,
tanpa berayal terus berlutut dan menyembah berulang-ulang.
Mulutnya berseru:
"Tecu Ma Giok-hou menyembah pada Ling-kud (medali)."
Giok-liong tercengang, katanya gugup,
"saudara Giok-hou, kau...."
sikap Kim-ling cu sendiri juga menjadi serius dan hidmat,
katanya sungguh-sungguh:
"Dari mana kauperoleh jau lian lui-siau-hwi-soat-ling ?
Medali tertinggi dari Pak-hay bun?"
Cepat-cepat Giok-liong menjelaskan.
"Pek Congcu mengutus Ping-goan su lo menggunakan
medali ini mengundang wanpwe menuju ke Pak-hay untuk
suatu keperluan."
Bersinar mata Kim-lim cu wajahnya mengunjuk rasa girang
katanya tersipu-sipu:
"oh ada kejadian begitu, kenapa kau tidak lekas pergi "
" Waktu itu Wanpwe ada janji di Im-hong Pay, maka tak
mungkin memenuhi undangan ini"
"Sekarang urusan disini sudah selesai, lekas pergi— Lekas
pergi"
"Perjanjian pertemuan di Gak yang lau pada hari Goan siau
tahun depan sudah dekat diambang mata, menurut pikiran
Wanpwe setelah akan pergi kesana"
"Apa-apaan kau ini Kau bisa segera sampai di Pak hay
adalah lebih penting dari urusan pertemuan pada hari Goan
siau yang akan datang. Lekas berangkat "
"Apa benar begitu penting?"

"Siang dan malam kau harus melakukan perjalanan kilat,
secepat mungkin kau harus tiba di Ping-goan di laut utara,
jangan sekali-kali kau main ragu atau bimbang aku khawatir
selagi tua itu bakal berubah pikirannya dan mencabut kembali
undang-undangannya"
"Maksud Cianpwe-.."
"setelah tiba di Ping-goan kau akan tahu, sekarang aku
belum bisa menebak maksud hatinya, tak perlu banyak omong
"
Disebelah sini mereka bertanya jawab seenaknya, disebelah
sana Ma Giok bou masih tetap berlutut mendekam di tanah
tak berani bergerak apalagi angkat kepala.
Akhirnya Giok liong menjadi tidak tega, katanya.
"Giok-hou saudara silakan kau bangun untuk bicara "
Tanpa berani angkat kepala Ma Giok hou mengiakan
perlahan:
"Tidak berani"
Kim ling cu merasa geli, ujarnya:
"Kuda liar ini tiba saatnya tahu rasa takut"
lalu ia menunjuk medali ditangan Giok- liong lalu
sambungnya.
"Kalau kau tidak simpan pertanda kebesaran milik ayahnya
itu, mana dia berani berlaku kurang ajar?"
Baru sekarang Giok-liong paham cepat-cepat ia
memasukkan medali Hwi soat-ling itu kedalam kantongnya,
katanya tertawa.
"Silakan bangun"

sebelum angkat kepala Ma Giok hou melirik dulu ke arah
tangan Giok-liong, mendadak ia meloncat bangun serta
teriaknya:
"Toa nio Disinilan letak persoalannya."
semua orang menjadi heran dan tercengang, tak tahu
kemana juntrungan ucapannya. Kim-ling-cu sendiri juga tidak
paham maksud kata-katanya itu, tanyanya:
" Engkau Persoalan apa dan dimana letaknya?"
"Kutanggung takkan salah " teriak Giok hou lagi.
Giok-liong melenggong, matanya menjublek memandangi
orang, tanyanya-
"Tentang urusan apa, coba kau tuturkan pelan-pelan,
jangan terlalu emosi."
Memang wajah Ma Giok hou berseri-seri kegirangan sangat
puas sekali, sekali tarik Giok liong kehadapan Kim ling cu lebih
dekat katanya lantang.
"Mari keluarkan jian lian lui siau hwi soat ling, nanti
kuterangkan sejelasnya supaya kau tidak kawatir lagi"
Giok liong tidak tahu kemana juntrungan maksudnya ini,
dengan melongo dia awasi wajah Kim ling cu.
Kim ling cu sendiri juga diliputi tanda tanya, katanya
dengan nada tertekan:
"Apa kau hendak menarik balik jian lian lui siau hwi soat
ling milik ayahmu itu?"
segera Ma Giok hou berdiri tegak lurus penuh rasa hormat
katanya sungguh-sungguh.
"Mana keponakan mempunyai nyali sedemikian besar"
"Kenapa kau minta dia mengeluarkan lagi?"

"Akan kubuktikan sesuatu keajaiban alam yang paling aneh
sekali"
"oh" Giok liong berseru paham pula mengeluarkan medali
pusaka itu.
Tanpa melirik atau melihat kearah medali ditangan Giokliong
itu Ma Giok-hou berkata penuh kepercayaan:
" Kalau terkaanku tidak meleset, ditengah-tengah medali
pusaka ini tentu ada setitik warna putih sebesar beras-"
semula Giok liong tidak pernah memperhatikan akan hal ini,
setelah kejadian dirinya terserang penyakit aneh itujuga tidak
memeriksanya lagi, kini setelah mendengar kata-kata Giok hou
baru ia berkesempatan memperhatikan.
Benar juga medali pusaka hitam mengkilap ditangannya ini
memang ada setitik putih sebesar beras, tepat ditengahtengah-
"Tentu ini ada penjelasan lebih lanjut bukan?"
Kim Ling cu bertindak maju ikut memeriksa, lalu katanya:
"Bagaimana pula dengan titik putih kecil ini?"
Dengan kalem Ma Giok-hou menerangkan.
"Setitik putih kecil itu merupakan wakil dari pada nyawa
kamu Kim pit jan hun."
semua orang lebih heran dan tak mengerti. Kim liong cu
menjadi tidak sabar lagi, katanya mendesak:
"Katakan saja secara langsung dan cekak aos, kenapa
mesti pakai putar-putar apa segala"
Ma Giok-hou tersenyum serta mengiakan lalu serunya :
" Titik itu, adalah hasil sedotan dari jian Cian lui- siau- hwi
soat ling yang telah mengisap api beracun dari Le hwe bu
ceng itu-"

Baru sekarang semula orang sadar dari duduk persoalan
mereka, melihat betapa bangga dan girang hati Ma Giok-hou,
katanya lagi lebih takabur:
"Medali ini adalah batu meteor yang terjatuh dari langit,
terpendam didasar tumpukan salju selama ribuan tahun,
bukan saja mengandung inti sari tekanan suhu dingin malah
beribu lipat lebih dingin kalau dibanding dengan ciat ham im,
ini betul-betul merupakan obat manjur dari Le hwe- bu ceng
im, kalau kau simpan menempel dalam badanmu segala racun
yang bersipat panas bagaimana juga takkan mungkin kuat
merangsang badan ini merupakan sesuaru hal yang gampang
di mengerti, kenapa harus dibuat heran?"
"Hah, benar begitu" tiba-tiba Giok liong berjingkrak,
teriaknya:
"Tak heran sewaktu aku menginap dihotel dibawah kaki Bulay-
san tempo hari, malam-malam aku terserang racun panas
yang tak tertahan lagi, semula aku terserang penyakit
malaria?"
Ang i mo-li Li Hong yang sejak tadi tidak bicara tak
tertahan lagi menyeletuk
"Ya, keadaanmu waktu itu betul betul sangat mengertikan."
Giok liong lantas menyambung lagi:
"Ternyata sebelum naik tidur aku keluarkan medali ini dan
kusimpan dibawah bantal, maka tak heran bisa dari Le hwebun-
geng itu segera kumat"
sesaat Kim ling cu mengamati Giok liong, lalu katanya
"sekarang racun yang mengeram dalam tubuhmu sudah
lenyap sama sekali kukira jiwamu tak perlu dikwatirkan lagi"
Ma Giok hou juga manggut-manggut, katanya:

"Titik putih diatas medali itu sudah terhimpun ketat sebesar
beras, ini pertanda bahwa seluruh racun panas dalam
tubuhmu sudah tersedot seluruhnya, kukira tak menjadi soal
lagi akan kesehatanmu"
Giok liong menjadi rikuh, katanya:
"Terpaksa harus membuat medali, kalian dapat karena
setitik putih ini-
Ma Giok Wou bergelak tertawa, ujarnya :
"untuk itu kau tak perlu kwatir, tujuh kali tujuh empat
puluh sembilan hari kemudian medali ini akan kembali seperti
keadaan semula, tanpa kelihatan sedikit bekas-bekas cidera."
Ling soat Yan dan soat kian dan Li-Hong bertiga terlongong
seperti kanak-kanak yang mendengarkan cerita khayal.
Kim ling-cu menengadah melihat cuaca, katanya:
"Sudah hampir jam dua, aku masih punya urusan penting
ditempat lain, Giok- liong harus segera berangkat kePakhay
dan jangan tertunda-tunda lagi "
Belum lagi Giok-liong sempat menjawab Ang-i-mo-li Li
Hong segera menyelak bicara dengan gelisah:
"Cianpwe, aku..."
Kim-ling-cu lantas mengerut kening, ujarnya:
"Ai, ya, serba berabe juga "
"Nona Li, kenapakah kau ?" tanya Giok-liong.
Kata Kim-ling cu: "Dia mendapet tugas dari ayahnya serta
diancam oleh Ibun Hoat untuk menguntit jejakmu, sekarang
seruling samber nyawa tidak berada ditangannya,
bagaimanakah kau suruh dia kembali ke yu-bing-mo-khek
melaporkan tugasnya ?"

sementara itu, Ang-i-mo li mengucek-ngucek ujung
bajunya, sambil menunduk dengan malu dan gelisah.
Ternyata Tan soat-kiau berwatak polos dan jujur, segera ia
ikut bicara.
" Kalau tiada halangan. Nona Li boleh ikut aku kembali ke
Kau jiang sai, di sana menetap sementara, bagaimana
selanjutnya kelak bicarakan lagi "
Kim-ling cu manggut-manggut, ujarnya:
"Begitupun baik, ya begitu saja Aku harus segera berangkat
"
Belum bilang suaranya bayangan putih berkelebat cepat
sekali laksana hembusan angin lalu, sekejap saja bayangannya
sudah melayang jauh puluhan tombak- dilain kejap sudah
hilang dikeremangan malam.
Tanpa bersuara lagi Ma Giok-hou segera menjejakkan kaki
tubuhnya melenting tinggi sambil membentangkan kedua
lengannya, laksana seekor burung bangau ia meluncur kearah
yarg berlawanan, dikejap lain iapun sudah menghilang dari
pandangan mata,-
"Bocah keparat " teriak Ling soat-Yan begitu melihat orang
hendak tinggal pergi begitu saja, sebera ia memburu sambil
berseru lagi:
"Kematian chiu Ki harus dibereskan"
Kuatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan segera Giokliong
kembangan Ling-hun-toh terus mengejar kedepan,
kedua lengannya dipentang menghadang di depan Ling soatyan,
katanya:
"Nona Ling, sudahlah urusan ini tidak perlu ditarik panjang"
Tan soat-kiau juga memburu maju, bujuknya:
"Adik soat-yan, sudahlah tak perlu cari perkara lagi"

Amarah Ling soat-Yan masih belum terlampias, katanya
uring-uringan:
"sudah terlampias rasa dendamku"
" Kalau begitu marilah adik juga ikut ke Kau-jiang-san
untuk satu bulan lamanya, setelah lewat musim dingin dan
dekat tahun baru kita bersama-sama pergi ke Gak- yang untuk
menghadiri pertemuan disana itu"
"Tepat sekali" seru Giok- liong bertepuk tangan.
" kalian bertiga bersama tentu takkan kesepian"
sekarang sikap Li Hong sudah tidak serikuh tadi, iapun ikut
maju membujuk:
"Nona Ling, sementara ini mengalah saja, masa kelak
takkan berjumpa lagi dengan kurcaci itu ? Kalau bersua
kembali bertiga kita keroyok dia supaya kapok"
Karena bujukan-bujukan ini terpaksa Ling soat-Yan
membanting kaki, katanya mengertak gigi:
"Dendam ini betapa juga aku harus membalasnya "
Hakikatnya saat itu Ma Giok hou sudah pergijauh tak
kelihatan lagi bayangannya.,. Giok,-liong berkata dengan
tertawa:
"Kita bicarakan lagi bila bertemu pula "
"carikan lagi apa segala." sungut Ling seat-Yan sambil
membanting kaki,
"aku akan mengadu jiwa dengan dia "
Cepat-cepat Giok,-Liong bicara lebih hati-hati:
"Baik, ya, ya, mengadu jiwa Siapa bilang tidak mengadu
jiwa "

Tan soat-kiau dan Li Hong menjadi geli sambil menutup
mulutnya.
Melihat Giok,-liong bicara sambil angkat tangan menjura
dan bertingkah laku sangat lucu, Ling soal yan menjadi geli
sendiri, tak tertahan lagi ia tertawa cekikikan, sambil melengos
dengan lirikan penuh arti ia tarik Tan soat-kiau serta katanya:
"Mari kita pergi, jangan hiraukan dia lagi "
Tan soat-kiau menggape Li Hong, katanya:
"Nona Li, mari berangkat "
Bayangan putih, kuning dan merah laksana tiga jalur
cahaya terbang melesat cepat sekali menembus semak
belukar, masing-masing kembangkan ginkangnya berlari
kencang saiing kejar menuju kearah barat.
sekarang alam pegunungan yang kosong dan sepi
terbenam dalam kegelapan malam, tinggal Giok, liong seorang
diri merasa hampa dan kesepian seperti kehilangan sesuatu, ia
menjublek dibawah penerangan sang putri malam yang
memancarkan sinar redup.
Entah mengapa ia merasa benaknya ada berapa banyak
kata kata yang ingin dilimpahkan kepada seseorang, tapi, tak
tahu dia omongan apa yang harus ia tuturkan, malahan sendiri
menjadi bingung kepada siapa ia harus ber-tutur.
Akhirnya ia menghela napar panjang, tiba-tiba dengan gaya
Goan Hong-jip bun badannya melejit tinggi lima tombak,
diempos-nya rasa ganjelan hatinya sambil menekan pusar
terus menggembor keras dan panjang, suaranya mengalun
tinggi seperti kaluban, sementara tubuhnya terus meluncur
dengan kecepatan penuh menuju keutara.
Giok-liong belum jelas duduk perkara sebenarnya, apa
tujuannya menuju ke Pak-hay, malah rasanya lebih penting
dari bencana dunia persilatan yang sudah dlamblang pintu,

lebih mendesak lagi katanya. Tapi pesan Kim Ing-cu mau sak
mau harus dipatuhi.
Perihal nama dan asal usul Hwe-thian-khek Ma Hun dari
laut utara Giok liong pernah dengar dari ibunya- Katanya
beliau sudah memasuki lembah putus nyawa, bagi semua
orang yang memasuki lembah putus nyawa bisa masuk takkan
dapat kembali, hanya dirinyalah yang paling beruntung
penemu rejeki besar satu-satunya didalam lembah putus
nyawa itu.
Menurut penuturan gurunya bahwa ternyata Hwi thian-khek
Ma Hun tidak pernah memasuki lembah putus nyawa, malah
seorang yang she Ma pun tiada disana-
Begitulah sembari kencangkan larinya otaknya berputar
mengenang pengalaman dahulu, sekarang pikirannya mulai
menyelusuri juga pengalaman akhir akhir ini-
Bahwa Jian - lian - lui siau hwi-soatling adalah medali khas
milik Pak-hay yang tiada ternilai dan tinggi perbawanya, tentu
tak mudah dan segampang begitu saja di percayakan kepada
orang lain. Bukti nyata atas diri Ma Giok-hou yang bersifat
bangor dan nakal itu begitu melihat medali pusaka ini lantas
bertekuk lutut tak berani berkutik lagi. Maka dapatlah
dibayangkan betapa besar perbawa dan keangkeran medali
ini, kalau Ma Hun begitu sungguh sungguh mengundang
dirinya tentu urusan yang bakal dihadapinya ini bukan
sembarang urusan Apalagi pesan wanti-wanti Kim-ling-cu
begitu serius tadigelombang
pemikiran bergejolak dalam hati kecil Giok,
liong, sang waktujuga terus berlalu ditengah pemikirannya
yang tidak keruan itu.
sang putri malam tak terasa sudah hampir terbenam di
ufuk barat, saat itu kira-kira sudah tiba pada kentongan
keempat, dengan berlari kencang sekian lama ini boleh dikata

Giok,-liong sudah kerahkan seluruh kemampuannya untuk
mengembangkan Leng hun-toh-
Tak lama kemudian Giok-liong menghadapi sebuah
gagasan gunung yang gundul tanpa tumbuh rumput atau
pohon, selayang pandang pasir yang kuning dan batu batu
cadas melulu keadaan ini seperti berada di padang pasir, Giok
liong menjadi heran.
Tanpa merasa ia menjadi terkesima akan keadaan sekeliling
ini lalu menghentikan langkahnya. Terasakan keanehan di
alam sekelilingnya yang dilalui ini, sepanjang jalan jauh ini
yang dilewati selalu gunung gemunung yang penuh semak
belukar dan pohon-pohon lebat, sekarang berada di tempat
terbuka terbentang lebar tak kelihatan ujung pangkal,
perasaan hati menjadi agak longgar dan nyaman, apalagi
setelah malaman ini terlalu banyak mengeluarkan tenaga
menempuh perjalanan jauh perlujuga sekedar istirahat.
siapa tahun baru saja ia hinggap turun dilereng sebuah
tanjakkan, sekonyong konyong setitik bintang laksana anak
panah cepatnya mengeluarkan suara melengking tajam
menerjang datang kearah dirinya.
Karena tak menduga Giok,-liong berseru tertahan, untung
Iwekang Giok, liong sekarang sudah mencapai tergerak
hatinya secara reflek tanganpun ikut bekerja, begitu ada
maksud dalam hati tenaga dalam lantas bekerja sendirinya.
Dengan cara membokong dan serangan menggelap macam
begitu mengeluarkan suara lagi, bagi Giok-liong bukan
menjadi rlntangan atau tak perlu dikuatirkan. Terlihat sebelah
tangannya terulur maju terus mencengkeram ke depan, telak
sekali tangannya menggenggam kencang, terasa empuk dan
berbau wangi, kiranya itulah sekuntum kembang serasi warna
kuning.

Belum lagi ia melihat tegas benda di-tangannya terdengar
sebuah bentakan nyarlng, merdu darl samping sana.
"Keparat Kam pit jan hun yang kejam dan telengas, lihat
serangan "
Tahu-tahu ui-hoa Kaunu Kim Eng telah berada di depannya
dimana sebelah tangannya menyapu miring dengan babatan
menggunakan tipu Bing-tek sian-to (Bing-tek
mempersembahkan golok) langsung menusuk ke arah teng
gorokan Giok- liong.
serangan ini dilancarkan begitu cepat dan mendadak lagi,
cara menyerangnya juga begitu kejam dan ganas seakan-akan
sekali pukul hendak meremuk leburkan seluruh badan Giokliong.
Giok liong tidak tahu juntrungan orang, sebat sekali kakinya
menutul tanah begitu pundaknya sedikit bergoyang, enteng
sekali ia melayang kesamping setombak lebih, secara
gampang saja ia menyelamatkan diri darl serangan berbahaya
itu.
"Kin- kaucu Kenapa kau—"
"Lihat serangan ini lagi "
"Aduh Celaka Kau..."
"Sambutlah saranganku ini." tanpa peduli tujuh kali tiga
dua puluh satu sekaligus ui-hoa Kaucu melancarkan dua belas
pukulan dan hantaman, setiap jurus serangannya dilandasi
seluruh tenaga dalamnya, apalagi cara menyerangnya juga
nekad dan kalap, seperti arus sangat besar yang bergulung
gulung tak mengenal putus dengan ombaknya yang berderai.
Keruan lereng gunung yang penuh bertaburan pasir kuning
itu menjadi gelap oleh debu pasir yang berhamburan tersapu
oleh angin pukulan yang dahsyat, batu-batu besar kecil juga
ikut beterbangan terdampar oleh kekuatan pukulan Kim Eng.

Walaupun dengan mudah Giok,-Liong selalu mengelakkan
diri dari rangsakan hebat ini, tapi tak urung badannya menjadi
kotor dan berlepotan debupasir keterjang batu dan krikil lagi
sehingga lambat laun bajunya sedikit berlobang dan koyak.
Dari dongkol akhirnya timbul amarah Giok,-Liong, dalam
suatu kesempatan dimana dilihatnya lawan menyerang lagi
sebera sebelah tangannya terulur maju sambil membentang
telapak tangan, sedang sebelah tangan yang lain ditarik
kesamping untuk memunahkan dorongan kekuatan tenaga
lawan, sementara telapak tangan Yang terpentabg itu
memapak maju menyambut.
"Blang " terdengar erangan tertahan, kontan terlihat
bayangan orang terpental mundur sejauh setombak lebih.
"Kim Kaucu, kenapa begitu sengit dan galak betul sikapmu
terhadapku, menyerang secara semena-mena lagi.."
"Hm Hm Galak dan kejam ? Tak nyana berani kau berkata
demikian," belum habis kata-kata Kim Eng, lagi-lagi ia
menggerakkan tangan serta melangkah maju hendak
menyerang lagi-
"Tunggu sebentar " hardik Giok-liong sambil mengerutkan
alis, setelah mencegah serbuan ui-hoa Kaucu Kim Eng, ia
membentak pula:
"Bicaralah dulu supaya jelas."
"Apakah perlu kujelaskan lagi?"
"Tentang urusan apa itu ?"
"Kau kira aku tidak tahu ?"
"Kau tahu apa ?"
"Membunuh orang membakar rumah"
"Siapa yang melakukan ?"

"siapa lagi kalau bukan kau"
"Aku ?"
"Selain kau siapa lagi ?"
"siapa yang kubunuh ? Rumah siapa pula yang kubakar ?"
"Perkampungan awan terbang"
"Apa katamu ?"
"Kataku kau telah membakar habis menjadi tumpukan
puing seluruh Hwi hun san-cheng, membunuh pula Thi koan
im ibunda Coh Jian-kun"
"Kim Kaucu, jangan kau sembarang omong, lebih-lebih kau
menuduh aku semena-mena."
"Hahaha..." Kim Eng Kaucu ui-hoa-kiau terloroh-foroh
panjang sambil menengadah, setelah selesai gelak tawanya,
air mukanya berubah bengis, serunya beringas:
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau tak perlu
main pungkir-"
Keruan Giok-liong mangkel dan dongkol serunya dengan
rada berat:
"Kau sendiri melihat aku Ma Giok- liong membunuh dan
membakar rumah ?"
Tak duga Kim Eng mandah tertawa ejek lagi, katanya
penuh keyakinan:
" Kalau waktu kejadian itu aku berada disana seumpama
harus mengorbankan jiwaku tentu aku tidak tinggal diam
melihat pemuda gila macam kau melaksanakan niat jahatmu."
"Cis, bukankah kau tadi mengatakan melihat dengan mata
kepala sendiri?"

"Aku melihat sendiri Hwi hun tan cheng sudah menjadi
tumpukan puing, kutemui juga Thi koan im yang sudah lanjut
usianya itu terluka parah dengan tujuan lobang luka berat
ditahannya, keadaannya sangat menfenaskan."
"Apa betul? Betul ada kejadian itu?"
"Kau tak perlu main pura-pura."
"Kaucu, kau tak boleh asal buka mulut berkata seenakmu
sendiri-"
"Berkata seenaknya? Kenapa aku tidak katakan kalau itu
perbuatan orang lain?"
"Lalu mengandal apa kau mengatakan aku Ma Giok liong
yang berbuat?"
"Mengandal batu Giok berbentuk jantung hati yang
tergantung diatas lehermu itu"
"Batu giok berbentuk jantung hati»."
ini menimbulkan banyak pikiran dalam benak Giok- liong.
seperti diketahui bahwa sebentuk batu giok itu kini sudah
diminta pulang kembali oleh Coh Ki-sia, dan kejadian itu lantas
terbayang di otaknya. Coh Ki sia adalah gadis rupawan
pertama yang pernah terjalin suatu kisah terjadinya antara
suami istri umumnya-
Giok. Liong menjublek tak bergerak, ia tenggelam dalam
renungan pengalaman lama yang penuh kasih mesra dan
mikmar, namun kenangan lama itu kini menambah berat
tekanan hati yang penuh penjeriihan.
"Hahahaha Kau tak mampu berkelit lagi bukan"
Melihat sikap ciiong yang terlongong penuh rasa sedih dan
kuyu itu lebih mempertebal sikap prasangka Ui hoa Kaucu Kim
Eng akan tuduhannya, oleh karena itu lagi-lagi ia terlorohloroh
panjang dengan sedih dan rawan.

sungguh pilu perasaan Giok, liong, harinya seperti ditusuk
oleh ribuan ujung jarum, suaranya tawar berkata sambil
goyang kepala:
"Kaucu Kau salah sangka"
"Aku salah Dimana letak kesalahanku Meskipan aku ada
sedikit perselisihan dengan Thi koan-im—."
"Kau dan Thi koan im?"
"Ai- baiklah kuterangkan Dia membenci aku, tapi aku tidak
membencinya-"
"Dia membencimu? Kenapa?"
"Tidak mengapa Tapi—" Bicara sampai disini tiba tiba Ki
Eng menghentikan kata kata selanjutnya, alisnya berkerut
dalam, sambungnya:
"Sudahlah Kembalikan saja bentuk batu giok milikku itu"
"Milikmu ?"
"ya- milikku, kau sangka aku bohong?"
"Kata-katamu ini semakin membingungkan aku"
"sudah tentu kau takkan paham" Mendadak sikap ui houkiaucu
Kim Eng berubah- Tadi bersikap garang menyerang
kalap untut gugur bersama kini sudah tersapu bersih,
sekarang kelihatan wajahnya membeku dingin penuh rasa
duka nestapa pancaran matanya juga menjadi redup.
Keruan Giok- liong menjadi terheran-heran, serunya:
" Kaucu "
Mata Kim Eng mengembeng air mata, sedapat mungkin ia
menahan mengalirnya air mata namun akhirnya tak tertahan
lagi ia menangis sesenggukan, keadaannya ini sungguh pilu
dan menyedihkan, ujarnya sambil goyang tangan:

"urusan ini kau tidak akan mengerti "
Giok-liong menjadi ketarik, tanyanya mendesak:
"Bolehkah kau ceritakan kepadaku ?"
Dengan ujung bajunya Kim Eng menyeka air matanya
sambil menggigit bibir, matanya mendelong memandang jauh
ke angkasa. Lama dan lama kemudian baru mulutnya
menggumam:
"Ai, pengalaman dulu laksana asap mengepul..."
Baru saja Giok liong hendak membuka mulut, Kim Eng
sudah menunjuk sebuah batu besar diatas tanjakan lereng
bukit tandus berpasir kuning sana, katanya:
"Di tanjakan atas sana ada batu, mari kita duduk di-sana
dengarlah kisah hidupku masa lalu "
"Baik, marilah "
serentak mereka berdua menjejakkan kaki terus
melambung tinggi menuju ketanjakan bukit sana.
Di atas bukit memang ada beberapa batu besar yang rata
dan licin, Giok liong dan Kim Eng lantas duduk berhadapan.
sebelum membuka suara Kim Eng menghela napas dulu,
ujarnya:
"Ai, kau harus tahu apakah larangan pertama dan undangundang
ui-hoi-tiau ?"
sebetulnya Giok-liong memang tidak tahu namun bagai
mana baiknya ia harus menjawab hal ini membuatnya serba
susah, mulutnya tergagap:
"Undang-undang pertama...".
"Undang-undang pertama itu berbunyi, semua murid
agama kita dilarang berkenalan dan bergaul dengan kaum
Adam, terlebih lagi tidak boleh membicarakan soal perkawinan

selama hidup ini harus hidup sebatang kara seorang diri
selamanya tidak boleh menikah "
"lni... kenapa—"
Kim Eng lantas melanjutkan:
" undang-undang agama kita semula tidak begitu keras,
undang-undang ini dibuat setelah aku menjabat sebagai
ketuanya "
"oo, kenapa begitu ?"
"Justru karena Cek Jian-kun dari Hwi-hunsan-cheng itulah-"
"Karena beliau ?"
"Sebelumnya aku belum pernah kenal dengan coh jian kun
soalnya karena dijalan raya yang menuju ke kotajiang-ek- la
melukai salah seorang anggota agama kita- Waktu itu aku
belum lama berkecimpung di Kangouw, mendapat perintah
suhu untuk menagih pertanggungan jawabnya, maka aku
lantas meluruk ke Kwi-hun san-cheng membuat perhitungan."
"Begitulah cara perkenalan pertama ?"
"Benar, kenal sih tidak menjadi soal, siapa tahu, selain
merasa rikuh dan minta maaf kepadaku, iapun menyambut
dan berlaku sedemikian rupa." Giok,-liong manggut-manggut,
ujarnya.
"Sebagai tuan rumah sudah jamak kalau ia berlaku ramah
dan sopan santun."
Kim Eng tertawa getir ujarnya: "Ibu-nya Thi koan im,
sebaliknya marah-marah, berkeras menantang aku untuk
berkelahi"
"inipun tak bisa disalahkan dia," kata Giok liong sambil
tersenyum.

"Sudah jamak bukan ada orang meluruk datang
menantang, karena besar rasa cintanya terhadap putra tak
menghiraukan siapa salah atau benar, betapapun aturanaturan
Kangouw harus ia patuhi-"
"ya akupun- tidak salahkan bukan, malah aku mengalah
sampai diserang tiga kali, mandah berkelit saja tak berani
balas menyerang " "Betul-betul pambek seorang Kaucu"
"Pambek apa segala, seorang cendekiawan bisa melihat
gelagat, bicara sebenarnya kepandaian waktu itu masih bukan
tandingannya "
Giok-liong tertawa lagi ujarnya: " Kaucu berkata sungkan
Bagaimana selanjutnya ?"
"Akhirnya dengan berbagai bujukan manis Coh Jian- kim
menahan ibunya, malah mengiringi aku menghadap suhuku
untuk minta maaf"
"Kejadian itu sudah mencapai penyelesaian yang paling
sempurna, pertikaian ini kukira sudah selesai sampai disitu
saja bukan "
"Ai, siapa tahu... sungguh durhaka "
"Durhaka ? Adakan kesalah pahaman lain terjadi ?"
"siapa tahu disepanjang jalan pulang itu kita berdua—"
sampai disini merah malu selebar muka ui-hoa-kaucu Kim Eng,
sambil menunduk kepala dalam ia terpekur.
Giok-liong sendiri sudah maklum apa yang telah terjadisebab
kejadian dirinya dengan cek Ki-sia merupakan suatu
rangkaian penjelasan yang paling tepat. Maka sambil
tersenyum Giok-Liong berkata:
"Ini merupakan suatu berita menggembirakan bagi kaum
persilatan, jodoh yang cocok dan pernikahan yang penuh
bahagia kiranya "

"Berita gembira ? jodoh takdir apa segala?" membeku air
muka Kim Eng setelah berkata. tiba tiba ia menengadah
terloroh-loroh seperti orang kesurupan, tawanya tersendatsendat
bernada tinggi seperti teriakan orang hutan yang
menyedihkan membuat pendengarannya pilu juga.
Giok.-liong merasa heran, tanyanya: "Apakah Coh Jian-kun
mengingkari hubungan.... hubungan mesra itu?"
"Tidak"
"Lalu kenapa...?"
"Ibunya anggap aku merupakan musuh yang meluruk
mencari perkara di rumahnya, bagaimana ia juga menolak dan
tidak merestui perjodohan ini "
"Wah, serba runyam..."
"Bukan begitu saja, persoalannya lebih celaka lagi, ia
menekan dan memaksa Coh Jian kun mempersuntingkan
Tam-kiong-sian-ci Hoanji-hoa itu, pernikahan mereka
merupakan perjamuan terbesar dalam kalangan Bu-lim."
"Eh" tak tertahan Giok-liong berseru tertahan, sebab
urusan ini rada mengandung paksaaan yang melanggar
peradatan, tidak di landasi kebenaran lagi maka maklumlah
kalau Ui hoa-kiaucu sampai sedemikian merana dan duka
nestapa.
"Tak duga kejadian itu, masih terus membawa buntut yang
tiada akhirnya." terdengar Kim Eng menyambung lagi dengan
air muka penuh duka dan rawan:
"Lebih celaka lagi karena hubungan diperjalanan itu aku
sudah mengandung..."
"Hah urusan ini lebih rumit lagi"

Memang coba pikirkan, sebagai ibu yang belum menikah
bagaimana selanjutnya aku harus menjadi manusia muncul
dimuka umum.
"Benar, betapapun kau harus mencari penyelesaian
terhadap Coh Jian-kun "
"suhuku sendiri yang meluruk ke Hwi-hun-san-ceng
menemui Thian-koan im untuk mencari titik pertemuan untuk
menyelesaikan urusan melainkan ini" "Bagaimana katanya?"
"Bukan saja tidak menaruh belas kasihan terhadap aku,
malah ia mencaci mati suhuku lagi, katanya undang undang
ui-hoa-kiau kurang keras dan melarang anak muridnya untuk
memincut laki-laki apa segala "
" orang tua itu keterlaluan..."
"saking murah- sejak hari itu juga lantas suhuku
menghilang mengasingkan diri tak pernah muncul lagi, entah
kemana beliau sekarang tak terdengar kabar beritanya-"
Giok-liong gelang-gelens kepala, keluhnya:
"Ai, mengenaskan"
"Takkala itu dua orang suciku yang terbesar menjadi
berang, berbareng mereka menantang ke Hwi-hun-sanceng..."
"ya, terpaksa memang harus demikian"
"siapa tahu, mereka menghadapi gabungan tenaga Thikoan-
im dan Tam-kiong-sian-ci, dalam pertempuran yang seru
itu kedua belah pihak sama menderita luka-luka berat, setelah
kembali sampai di markas besar, beruntun mereka meninggal
dunia kerena luka-lukanya itu"
"Sungguh tak duga bakal terjadi bencana besar yang sia-sia
ini"

"Hari ke hari perutku semakin besar, berulang kali aku
sudah berusaha hendak bunuh diri"
"Mana boleh kau mengambil jalan senekad itu, satu pihak
kau harus memanggul tugas dan warisan ui-hoa-kiau, dan
yang terpenting adalah orok dalam perutmu itu harus tetap
hidup dan tumbuh besar "
Ucapan Giok-liong terakhir ini betul-betul mengenai lubuk
hati ui-hoa-kiau cu Kim Eng. Maka sekilas pancaran matanya
menjadi bersinar cemerlang, ujarnya penuh haru dan girang.
"ya, karena itulah maka mencuri hidup dan sampai
sekarang, aku harus hidup meskipun nista dan hina meliputi
diriku"
Giok,-liong seperti teringat apas, katanya:
"Dalam jangka waktu selama ini seharusnya Coh Jian-kun
datang menengok dan menghiburmu bukan"
"Coh Jian-kun ?"
"Apakah diapun berubah hatinya ?"
"Tidak"
"Dari mana kau tahu?"
"Bukan saja ia tidak melupakan aku, malah sejak
pernikahan itu ia tidak pernah tidur sekamar dengan isterinya"
"Eh, kami menderita. Tam kiong-sian-cijuga harus ikut
sengsara."
"Tapi ia memang tidak mungkin datang menengokku"
"Kenapa bisa begitu ?"
"Thi koan-im tidak memberi ijin ia meninggalkan rumah,
setiap saat selalu ia suruh Tam-kiong sian-ci mendampinginya.
Kemana saja ia pergi."

" orang tua itu sungguh terlalu keras menjaga putranya "
"Akhirnya tiba saatnya juga aku melahirkan seorang anak
perempuan"
" Anak perempuan Dimanakah putrimu itu sekarang ?"
Air muka Kim Eng rasa terang, sinar matanya
memancarkan rasa riang, tanpa berkedip ia terlongo
memandang bintang-bintang dilangit, mulutnya menggumam:
"Masih untung, ia hidup bahagia "
"Dimanakah sekarang dia berada ?"
"Aku tidak tahu"
"Tidak tahu ?"
"ya "
"Akh, kan aneh "
"Tidak lama setelah ia lahir, terus dibawa pergi"
"siapa ?"
"Tam-kiong-sian-ci Hoan ji-hoa "
"oh, dia, kenapa ?"
"sebab dia sendiri belum pernah melahirkan juga tiada
tanda-tanda mengandung bakal melahirkan anak "
"Bagaimana kau bisa berlega hati ?"
Kata-kata Giok-liong menusuk perasaannya yang rindu
akan cinta kasih kepada putrinya, tak tertahan lagi Kim Eng
menjerit menangis sesenggukan.
Giok.-liong ikut meresapi kedukaan orang, cepat-cepat ia
membujuk:
"Kalau sudah kau serahkan sejak dulu, apa untungnya kau
menangis sekarang ?"

"Apa kau kira aku rela menyerahkan putriku kepadanya.
Tapi bagaimana kalau sudah besar nanti ia merajuk kepadaku
ingin melihat bapaknya, apalagi setelah menanjak dewasa
bagaimana pula ia harus mengambil namanya, bagaimana ia
harus hidup ?"
Giok.-liong menjadi kagum dan memuji:
"ya, demi generasi muda, Kaucu sikapmu ini sungguh
mengharukan dan agung serta suci "
"setelah Tam-kiong-sian-ci membawa pulang putriku, Thikoan-
im menyuruh orang mengirim surat kepadaku, katanya
sejak saat itu aku dilarang menemui putriku supaya ia tidak
mengetahui masa lalunya "
"Katanya kalau sekali aku berani menengok putriku, beliau
tidak mau lagi mengakui cucunya itu, malah mungkin
menganiaya dan mengusirnya dari keluarga Coh mereka. Demi
kebahagiaan anakku, terpaksa aku menurut saja "
"Kaucu, kau mengorbankan dirimu sendiri demi
kebahagiaan putrimu"
"Untung Tam kiong-sian-ci Hoanji hoa tidak melahirkan,
dipandang dan dirawatnya sebagai anak kandung sendiri, ini
terhitung suatu keberuntungan dalam kejadian yang tidak
menguntungkan"
Melonjak hati Giok, liong, tanyanya cepat:
"selamanya dia belum pernah melahirkan?"
"Ah, entah karena Coh Jian-kun berkukuh tidak mau tidur
sekamar atau karena apa?"
Kini Giok, liong tidak menaruh perhatian akan persoalan
lain, desaknya lebih lanjut:
"Jadi putrinya itu adalah Coh Ki-sia yang sekarang ini"
"siapa bilang bukan?" sahut Kim Eng sambil angkat alis.

Jantung Giok liong seperti bertambah berdegup dan
darahnya semakin menggelora, hatinya menjadi was-was dan
perasaannya tidak tentram.
Hal ini memang serba runyam dan menyulitkan dirinya. Ada
niat ia hendak membuka rahasia hubungan dirinya dengan coh
Ki-sia, tapi cara bagaimana ia harus membuka mulut. Kalau
tidak dibicarakan langsung, hati kecil merasa tidak tentram,
sesaat perang batin tengah bergejolak dalam benaknya, satu
sama lain saling kontras. Apa lagi persoalan ini sulit untuk
mencari jalan tengahsaat
itu terdengar Kim Eng berkata lagi:
"Maka kali ini aku mengetahui seluruh anggota kami
malam-malam menuju ke Hwi - hun san - cheng, tujuanku
hendak mencuri lihat saja darah dagingku ini"
"Berapa tahun sudah perpisahan ini?"
"Waktu itu dia baru lahir tiga bulan, sampai sekarang sudah
enam belas tahun, sejak saat itu kita ibu beranak belum
pernah jumpa barang sekalipun"
"Kalau begitu berarti ia tidak mengenal akan ibunda yang
agung ini"
"ya, dia tidak akan mengenal aku"
Akhirnya Giok-liong mengambil keputusan untuk menutup
mulut sementara waktu lagi, katanya:
"Kenapa setelah berselang-enam belas tahun, hari ini
mendadak kau teringat hendak menengok putrimu itu?"
Berubah serius wajah Kim Eng, serunya keras:
"Baik tak perlu main sembunyi lagi. karena bentuk batu
giok jantung hati di lehermu itulah yang menimbulkan
kenangan mendorong untuk aku menengok putriku Kalau
tidak puluhan tahun sudah akupun sudah melupakannya. "

"Batu giok Bagaimana mungkin....?"
"Memang putriku dibawa pulang ke Hwi hun-san-cheng
oleh Tam-kiong-sian ci, namun bentuk batu Giok, jantung hati
inilah merupakan pertanda yang takkan lumer atau lenyap
selamanya, ini memang sengaja kuatur demikian, malah aku
mengikat janji pula dengan Tam kiong-sian-ci supaya ia
berpesan wanti-wanti kepada putrinya bahwa kalung batu giok
ini selamanya tidak boleh tertinggal dari tubuhnya, karena aku
kwatir bila kelak bertemu muka tidak dapat mengenalnya "
"Akh." hancur luluh hati Giok-liong sekarang, kalang batu
giok itu sudah dikembalikan kepada pemiliknya. Malah dia
jelas yang sudah berhubungan sebagai suami istri layaknya itu
kini semakin membenci dirinya, salah paham dalam dunia ini
kiranya ada pula yang sulit dijelaskan.
Pikirnya perkara baik selamanya harus sering menemui
dirinya. Kejadian dua generasi yang sama ini sebenarnya
bukan perbuatan tercela, kenapa justru ditakdirkan harus
menemui aral datang yang menyesatkan, apakah memang
yang Maha Kuasa sengaja mengatur demikian ? Kalau ini
benar, Tuhan sungguh tak mengenal kasihan. Kenapa akibat
ini diatur menjadi begitu mengenaskan ? Paling tidak
beruntung, dirinya-pun ikut menjadi salah satu tokoh dalam
peranan tragedi yang menyedihkan ini.
Begitulah Giok-liong tenggelam sendiri dalam lamunannya,
sebaliknya Kim Eng masih mencerocos dengan ceritanya:
"Tak duga waktu aku sampai di Hwi hun-san cheng, yang
kutemui hanyalah puing-puing yang sudah rata dengan tanah,
beberapa sosok mayat yang sudah hangus, oleh karena itu
lantas aku teringat untuk mencarimu."
"Kenapa harus mencari aku?"
"Karena itu perbuatanmu, maka aku harus mencarimu"

"Dengan alasan apa kau menduga aku yang
melakukannya?"
"Kau tidak perlu mungkir dan membela diri dengan
berbagai alasan. Permusuhan dendam kesumat dalam
kalangan Kangouw aku sudah jera memikirkannya-"
"Tapi ini bukan aku—"
"Waktu bertemu tadi, aku pertama berpikir hendak
mengadu jiwa dengan kau, sebab kau sudah memusnahkan
Hwi-hun san-cheng itu berarti kau meruntuhkan seluruh milik
Coh Jian-kun, aku mencintainya, maka.."
"Sebenarnya memang bukan perbuatanku "
Kim Eng tidak hiraukan pembelaan Giok liong, katanya lagi:
"sekarang aku sudah merubah haluanku sebab dalam
puing-puing itu aku tidak menemukan Coh Jian kun serta istri
dan anaknya, kutaksir mereka tengah pergi waktu kau
membakar kampungnya"
"Bagaimana bisa begitu"
"Kalung batu giok itu, mungkin karena sudah besar dan
tidak suka mengenakan lagi melihat benda yang bagus kau
ketarik lantas mengambilnya begitu saja dan kau bawa
kemana-mana"
"salah semua dugaanmu."
"Tak perlu kau banyak kata, sekarang aku minta kau
kembalikan kalung itu kepadaku, urusan lainnya semua tiada
sangkut paut dengan diriku, sejak saat ini aku Kim Eng takkan
terjun dalam segala urusan dunia persilatan lagi"
"Kaucu, sukakah kau dengar penjelasan ku "
"Apa kelonggaranku ini masih belum dapat kau terima?"
"Bukan tidak kuterima..."

"Kalung batu giok itu bukan merupakan benda berharga
yang bila mendatangkan uang, bagi kau tidak berguna, kau
miliki atau hilang dari tanganmu tidak membawa akibat apaapa.
Tapi sebaliknya bagi aku gunanya sangat besar dan
penting sekali "
"Benar, aku paham akan maksud Kaucu"
"Kalau begitu lekaslah kau serahkan kepadaku"
"Hal ini..."
"Adakah kau punya kesukaran?"
"Jangan dikata benda itu sekarang tidak kubawa..."
"Tidak kau bawa ?"
"seumpama kubawa aku juga tak mungkin keserahkan
kepada kau"
"Kau memang sengaja..."
"Tidak, bukan sengaja..."
"Lalu kenapa?"
"Aku hanya bisa memberi tahu sebuah hal saja"
"Hal apa?"
"Kalung batu giok itu sekarang sudah ku kembalikan
kepada putrimu."
"Apa betul"
"Kalau aku bohong, biarlah aku disambar geledek-"
"o, jadi sudah kau kembalikan"
"Aku sudah bersumpah, percaya tidak terserah kau"
"Sebetulnya cara bagaimana kau mendapatkan mainan
kalung itu?"

"Aku hanya bisa menjawab, itulah pemberian dari putrimu"
"Diberikan untuk kau- Anak ini, barang penting macam ini
mana boleh sembarangan diserahkan kepada orang lain" nada
seorang ibunda yang mencintai putrinya, kata-katanya penuh
bernada menegor kecerobohan anaknya, tapi akhirnya hatinya
merasa sangat girang.
Sesaat ia miringkan kepala terpekur, lalu katanya:
"Kenapa dia serahkan barang milik pribadinya?"
Muka Giok liong menjadi panas, dengan senyum
dipaksakan ia menjawab samar-samar:
"saat ini belum tiba waktunya menjawab pertanyaanmu ini"
"Hah? Lalu kenapa mendadak ia memintanya kembali?"
"Ini hal ini tidak gampang dijelaskan dengan beberapa
patah kata saja"
"Coba katakan...."
"Kancu aku ada sebuah permintaan yang tidak masuk di
akal, kuharap kaucu bisa melulusi permohonanku ini,"
"oh, persoalan apa itu? Asal ada tenaga dan mampu pasti
kubantu sekuat mungkin."
"Lebih dulu terimalah ucapan terima kasihku"
"Nanti dulu, sebetulnya urusan apa, sampai begitu serius
dan penting sekali agaknya?"
"Aku mohon Kaucu sudi mengiringi aku sekali lagi kembali
ke Hwi hun-san-cheng, entah apakah Kaucu sudi mencapaikan
diri kesana"
Air muka Kim Eng menampilkan rasa heran dan curiga,
matanya berkedip-kedip, tanyanya tak mengerti:
" untuk apakah kesana ?"

Penderitaan batin Giok-liong boleh dikata serupa dengan
penderitaan Kim Eng. Akun tetapi seumpanna si bisu makan
buah kembang teratai kuning yang pahit, ada mulut tak bisa
bicara, sejenak ia ragu ragu baru berkata tersekat-sekat:
"Dengan Hwi hun-san-cheng aku ada hubungan yang
cukup mendalam, kiranya perlu aku menengok kesana"
"Hubungan yang mendalam, hubungan dengan siapa ? Coh
Jian kun? Atau putrinya?"
Mata ui-hoa kaucu Kim Eng menatap tajam tak berkedip ke
arah Giok-liong, agaknya sangat mendesak ingin mendapat
jawaban.
Melihat sikap orang yang begitu serius sikap Giok, liong
semakin kikuk dan rikuh, jawabnya samar-samar:
"semua .... semua ada hubungan baik, sebab pernah sekali
aku terluku parah, waktu itu aku belum lama berkecimpung
dikangouw, terpaksa aku harus merawat luka di Hwi-hun san
cheng."
"o, begitu?"
Giok-liong mandah manggut-manggut saja sebagai
jawabannya. sebetulnya Giok, liong seorang yang polos dan
jujur, selamanya tidak berani mengucapkan kata-kata yang
menipu atau bohong kepada orang lain, apa yang barusan
dikatakan sebagian besar benar tapi juga ada yang tidak
benar, sehingga hatinya menjadi tidak tentram.
sejenak Kim Eng berpikir lalu katanya:
"Baiklah, mari ku iringi kau kesana "
Tatkala itu sang surya sudah mulai memancarkan sinarnya
yang cerlang cemerlang. Mereka berdua mengembangkan
ginkang terus berlari kencang menempuh perjalanan,
perasaan mereka sama-sama berat, sebab mereka mempunyai
pengalaman dan penderitaan batin yang serupa, hubungan

pribadi masing-masing belum begitu kental, maka satu sama
lain tiada yang mengucapkan kata-kata menghibur, siapapun
tiada yang mau melimpahkan kesusahan hatinya terhadap
kawan seperjalanan.
Terutama sikap Giok liong semakin kikuk- sebab kalau
diurut dari tingkatan kedudukan Ui hoa kaucu Kim Eng masih
setingkat lebih tinggi dari dirinya, kalau dipandang secara
peradatan merupakan mertua dirinya pula. Tapi sebelum
duduk perkara ini dibikin jelas betapapun ia tidak berani
bertindak secara semberonoitu
juga sebelum hari menjelang magrib mereka sudah tiba
di Hwi-hun-san-cheng, Tampak keadaan Hwi-hun-san cheng
yang begitu indah megah dan banyak pemandangan yang
menyejukkan kini sudah berubah sama sekali, bangunan
bangunan gedung berloteng sudah ambruk menjadi tumpukan
puing, kebon bunga yang teratur rapi kini menjadi acakacakan,
demikian juga deretan pohon yang liu yang meliuk
indah melambai itu kini sudah hangus dan kuyu.
Tak tertahan lagi Giok liong sampai mengeluh panjang, air
mata berlinang di kelopak matanya, pelan-pelan ia beranjak ke
deretan pohon yang liu menghadapi aliran sungai yang
mengalir halus, ia termenung dengan sedihnya, lama dan
lama sekali tak kuasa membuka mulut.
Ditempat inilah dulu ia menetapkan ikatan perkawinannya
dengan coh Kisia, sungguh kenangan lama susah dikejar
kembalisekarang
malah Kim Eng yang membujuknya:
"Mengapa menyiksa diri tiada manfaatnya bagi kesehatan"
"Kaucu," Giok liong menelan air liur, katanya kepada Kim
Eng:
"Harap tanya di manakah jenazah Thi koan im—"

"Aku sudah menguburnya dipinggir sungai sana"
"o, masih ada siapa lagi yang ikut berkorban dalam
bencana ini?"
"Beberapa kacung dan tukang kebon, aku pun sudah
mengubur mereka semua"
"Selain mereka tiada orang lain lagi?"
Kim Eng menggeleng kepala, tiba-tiba-seperti teringat apaapa
ia berkata:
"Entah bagaimana kalau didalam tumpukan puing sana,
aku belum sempat memeriksa "
Tergetar dan merinding seluruh tubuh Giok-liong, pikirnya:
"Semoga tiada orang dibawah tumpukan puing itu"
dalam hati ia berpikir demikian, kebalikannya mulutnya
berkata:
"Mari kita coba periksa kesana, mungkin ada sesuatu yang
dapat kita temukan."
Tanpa menanti jawaban Kim Eng, ia mendahului berlari
kearah depan sana, tak lupa dicabutnya sebuah pohon itu
sebesar lengan orang terus dibawa lari seakar-akarnya.
Dengan batang pohon inilah Giok, liong mulai mengorek
ngorek tumpukan puing.,.
Tak mau ketinggalan Kim Eng juga meniru cara Giok-liong
sekian lama mereka mengorek-ngorek sehingga seluruh badan
basah kuyup oleh keringat namun tiada sesuatu apa yang
dapat ditemukan.
sekonyong-konyong Ui hoa kiau Kim Eng menjerit kaget:
"Ah, medali besi..."

Kiranya ia menemukan sebuah medali besi warna hitam
berkilauan sebesar tiga senti persegi. Giok-liong ikut berteriak
lejut waktu melihat medali besi hitam itu, serunya.
"Hah, kiranya perbuatan mereka yang terkutuk "
"siapa mereka ?"
"Lencana besi yang dari Hutan kematian, inilah lencana
perintah yang dikeluarkan oleh Hutan kematian."
"Lencana besi hutan kematian?"
Belum lenyap suara Kim Eng ini, mendadak terdengar gelak
tawa panjang yang menggiriskan kumandang menusuk telinga
bergema ditengah udara, pertama jaraknya masih rada jauh,
namun sekejap saja sudah seperti dipinggir telinga.
Beruntun terdengar kesiur angin keras dari lambaian
pakaian dihembus angin dalam keremangan menjelang malam
ini, terlihat lima tombak disebelah sana berjajar lima orang
berkedok hitam, jubah kepanjangan terseret ditanah, tubuh
mereka rata-rata kurus lencir.
Bagaimana muka kelima orang aneh ini tidak diketahui,
hanya sepasang mata yang melotot dari balik lobang
kedoknya itu sungguh menakutkan, Giok liong dan ui-hoakaucu
sampai terdiam untuk beberapa saat.
seiring dengan kata-kata mereka yang memekakkan telinga
itu, satu diantara kelima orang berkedok yang bertubuh paling
tinggi dan paling kurus seperti genter perlahan bertindak
maju, sinar matanya bagai kilat penuh wibawa menatap
medali besi ditangan Ui-hoa kaucu Kim Eng, setelah
mendengus hidung terdengar suaranya berkata:
"Tak duga kau telah menemukan lebih dulu, banyak
mengurangi capek lelah kita, kembalikan"
nadanya takabur tekanan suaranya dinginTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
setelah berkata entah bagaimana ia bergerak tahu-tahu
badannya melejit tiba di tengah tumpukan puing, tidak minta
medali besi Hutan kematian yang berada di tangan Kim Eng
sebaliknya ia menjura hormat ke arah Giok, liong, sapanya:
"siau-hiap, kau baik-baik saja"
Giok, liong tercengang, Giok, liong tahu bahwa orang aneh
ini tentu begundal dari hutan kematian, tapi dari potongan
tubuhnya yang kurus lencir bagai genter ini, selama nya belum
pernah bertemu muka dengan dirinya, dari mana pula ia bisa
kenal dirinya ?
(Bersambung kejilid ke 24)
Jilid 24
Belum lagi Giok liong hilang dari keheranannya, mendadak
berubah air muka Kim Eng, makinya sambil menuding Giokliong:
"oh, kiranya kau ini juga orang dari orang Hutan kematian
bagus benar, dengan omongan manis dan cerita bohong kau
menipu aku, kiranya kalian memang sudah berintrik satu sama
lain"
"Kaucu...." cepat-cepat Giok-liong berseru hendak memberi
penjelasan.
Tak duga orang kurus lencir bagai gencer itu tiba-tiba
menghadang maju, bentaknya bengis:
"Kenapa dengan Hutan kematian Kau naik pitam ?"
Kepandaian ui-hoa-kiaucu Kim Eng cukup tinggi, tapi
menghadapi begundal dari hutan kematian mau tak mau
gencar juga hatinya. Sebab menurut apa yang tersiar dikalangan
Kangouw dikatakan bagaimana hebat dan menakutkan
kepandaian mereka, tindak tanduknya serba misterius lagi.

Tiada seorangpun yang mengenal asal usulnya menurut
kabarnya bukan saja ketua mereka yang sukar diketahui jejak
seperti naga sakti yang jarang menunjukkan diri, dua belas
Tongcu bawahannya pun merupakan tokoh-tokoh hebat yang
juga membekal ilmu silat yang lihay.
Sambil menggenggam medali besi Kim Eng menekan rasa
gusarnya, teriaknya lancang:
"Buat apa kau berlaku begitu garang, aku hanya bicara
dengan Ma Giok-liong "
"Pun-tong tidak mengijinkan kau berlaku kurang ajar"
Meskipun ni hoa-klaucu bukan merupakan aliran lurus
dikalangan Kangouw, jelek-jelek merupakan sebuah
perkumpulan yang ada nama dan disegani pula didunia
persilatan, sebagai seorang ketua dari sebuah aliran dibentak
dan dimaki begitu rupa, keruan Kim Eng betul-betul naik
pitam, tak tertahan lagi berubah air mukanya, bentaknya
beringas:
"Kau anggap apa terhadap golongan kita."
orang aneh bertubuh lencir itu terkekeh-kekeh, ujarnya
dingin.
"Ku anggap kau sebagai pokrol bambu yang tak perlu
disebut namanya"
"Terlalu menghina " teriak Kim Eng sambil sekuatnya
menyambitkan lencana besi yang digenggam ditangannya,
saking gusar cara menyambitkannya begitu keras dan kuat.
Kontan meluncurlah setitik sinar berkilau kehitaman langsung
mengarah mata kanan si orang aneh bertubuh kurus tinggi ini-
"Bagus" seenaknya saja orang aneh kurus tinggi itu
mengulurkan tangannya, tahu-tahu lencana besi yang
meluncur keras danpesat itu sudah digenggam dalam telapak

tangannya, sejenak ia memeriksa lalu di masukkan ke dalam
kantongnya, terdengar suaranya berat:
"Kim Eng Kau mencari kematian"
belum lenyap suaranya bagai potongan setan tubuh kurus
tinggi itu enteng sekali seperti dihembus angin melayang tiba
disamping Kim Eng, dengan jurus jing ing-poh tho (rajawali
menubruk kelinci) cakar panjangnya mencengkeram kepundak
kanan Kim Eng.
Dari gerak tubuhnya yang gesit aneh serta cara
menyerangnya yang memandang rendah musuhnya ini,
dapatlah dinilai bahwa kepandaian orang kurus tinggi serta
kedudukannya tentu bukan sembarang tokoh.
Tepat pada saat itujuga tampak sebuah bayangan lain
menubruk datang, mega putih pun menerpa tiba,
"Tahan" tahu-tahu entah dengan gerakan apa Giok-liong
sudah melejit tiba ditengah mereka berdua, sebelah
tangannya mengarah tepat kecakar siorang kurus tinggi terus
membabat turun.
"Aduh "
"Aih " orang aneh tinggi kurus dan ui-hoa-klaucu samasama
mundur dan sama-sama berteriak.
Giok-liong menarik muka, serunya keras:
"Kau punya kepandaian apa, urusan setinggi langit biarlah
aku Ma Giok- liong yang menandingi."
Berkedip-kedip mata si orang aneh tinggi kurus, katanya
sambil unjuk tawa dibuat-buat:
"Siau hiap buat apa kau..."
Merah membara sepasang biji mata Kim Eng, semprotnya:

"Cis, kau ini terhitung barang apa, sekarang baru kulihat
tampangmu sebenarnya, pura-pura kau bermain sandiwara
apa disini, biar aku mengukur dulu betapa tinggi kepandaian
Kim-pitrjan-hun"
tanpa tahu duduk perkara sebenarnya Kim Eng
melampiaskan kedongkolan hati dan rasa penasarannya
kepada Giok-liong.
"Kaucu, kau " mana mungkin Giok liong berani balas
menyerang, keruan ia menjadi kerepotan diteter dengan
serangan gencar.
saking murka ui-hoa-kaucu betul-betul menyerang sangat
bernafsu, jurus pertama luput, jurus kedua sudah
menyelonong tiba pula, mulutnya juga tidak tinggal diam
berteriak:
"Biar aku mengadu jiwa dengan kau " sembari berteriak ini
beruntun ia sudah lancarkan delapan pukulan berantai yang
cukup hebat, agaknya benar-benar ia sudah berlaku nekad
untuk gugur bersama.
Giok-liong tak berani balas menyerang atau menangkis
terpaksa harus main kelit dan berloncatan, serunya:
"Apa kau sudah gila "
"sundel tengik hayo berhenti " tahu-tahu si orang aneh
tinggi kurus sudah menerjunkan diri dalam gelanggang
pertempuran berat sebelah ini, dengan jurus Hay-te-lou ciam
(merogoh jarum didasar lautan) kelima jarinya mendadak
menyelonong tiba dari arah samping yang tak terduga.
Tepat sekali, sekali raih ia cengkeram pergelangan tangan
kiri Ui-hoa kiaucu Kim Eng, sekali sentak belum sempat ia
melemparkan badan orang. Dalam saat yang krisis inilah
terpaut sedetik saja sejajar sinar putih yang datang laksana
awan mengembang.

"Berani kau" kumandang bentakan Giok-liok. tepat pada
saat itu juga Giok-liong juga berhasil mencengkeram
pergelangan tangan kiri si orang aneh tinggi kurus,.
Inilah yang dinamakan tenggoret hendak menangkap
congcorang, tidak tahu bahwa burung gereja berada
dibelakang, dalam keadaan yang tidak siaga, meski si orang
aneh tinggi kurus berhasil membekuk Ui-hoa-kaucu, tapi Giokliong
juga menggunakan caranya ini untuk meringkusnya pula-
Ternyata usaha Giok-liong berhasil gemilang.
Maka berkelebatlah empat bayangan hitam berpencar ke
empat penjuru, kiranya empat orang aneh berkedok hitam
yang lain sudah berpencar menduduki posisi yang
menguntungkan bersikap pula untuk bertindak bila perlu.
Tanpa menghiraukan pergelangan tangan sendiri yang
dicengkeram Giok- liong, segera orang aneh tinggi kurus itu
berteriak:
" Hai, jangan kalian berlaku kurang ajar "
katanya sambil mengunjuk senyum getir ia berkata kepada
Giok liong:
"siau-hiap, lepaskan tanganku. Tindakanku ini adalah demi
keselamatanmu..."
"Kau lepaskan dulu tangan Kim-kaucu " bentak Giok-liong.
" urusanku jangan kau turut campur " jengek Kim Eng
dingin.
Tapi si orang aneh tinggi kurus benar-benar melepaskan
tangan kanannya serta berseru lantang:
"Baik aku menurut perintah Ma siau-hiap Kuampuni jiwamu
sekali ini Pergilah "
Tak kuasa ui-hoa kaucu terhuyung sempoyongan beberapa
langkah, mukanya pucat serunya menuding Giok-liong:

"Kim pit Jan-hun peristiwa hari ini selamanya takkan
kulupakan"
habis berkata segera ia menjejakkan kakinya terus
meluncur jauh dan menghilang.
"Kaucu Kaucu" beruntun Giok liong berteriak memanggil
dua kali, namun Kom Eng tak menghiraukan lagi, larinya
malah dipercepat.
"Siau-hiap, tanganmu..." siorang aneh tinggi kurus berkata
lirih sambil meringis.
Giok liong berkata tertekan :
"kau sudah melepas dia, akupun tentu melepas kau. Tapi
urusan kita masih belum selesai."
orang aneh kurus tinggi tertawa tawar, ujarnya lirih :
"siauhiap, menurut hemat hamba, lekaslah kau menuju ke
Hutan kematian, kalau tidak peristiwa seperti hari ini akan
selalu terulang lagi, selamanya takkan berakhir"
Giok-liong kurang paham akan arti perkataan orang:
"Jadi maksudmu..."
"Maksudnya kalau kau tidak segera berkunjung ke Hutan
kematian, siapapun orang yang pernah berhubungan langsung
dengan kau mungkin akan menemui nasib seperti kejadian di
Hwi-hun-san cheng ini"
"Kenapa bisa begitu?"
"Entah kenapa, sejak Cukong hutan kematian menemukan
siauniap beliau mengharap benar kunjungan siauhiap ke sana.
Tempo hari sudah mengeluarkan perintah lencana besi, siauhiap
dibatasi dalam tempo tiga hari harus menghadap, tak
nyana..."
Merinding tengkuk Giok liong, sempitnya:

"Mengandal apa dia berani membatasi aku tiga hari?"
"Batas yang dikeluarkan dari hutan kematian adalah atas
perintah dari Cukong, perintahnya ini seumpama perintah raja
yang tidak boleh dilanggar atau dibangkang. Hanya terhadap
kaulah siau-hiap boleh dikata merupakan suatu keajaiban
yang pernah terjadi hanya satu kali."
"Hm, kalau aku tidak sudi pergi kesana, apa pula yang
dapat diperbuatnya?"
" Kalau ganti orang lain, aku berani pastikan tentu sudah
hancur lebur tanpa ketinggalan utuh jenazahnya. Ketahuilah
Cukong malah merubah sikapnya yang marah itu dan
tersenyum simpul, katanya:
"Anak ini, kukuh dan keras kepala benar wataknya Coba
kau pikir..."
"Kentut " Giok liong berjingkrak gusar,
"jangan kau mengudal mulut dihadapanku, mengandal apa
dia berani menilai diriku sedemikian rupa"
sahut orang aneh tinggi kurus:
"Menurut pengalamanku selama menghamba di-bawah
Cukong puluhan tahun, ini sudah merupakan suatu peristiwa
yang menyenangkan selama belum pernah terjadi memberi
muka kepada orang lain"
"Hah, sombong dan takabur"
sambung siorang aneh tinggi kurus: "Tak duga belakangan
ini, cukong mengutus hamba sekalian untuk mencari jejak siau
hiap tanpa dapat menemukan kabar beritanya."
" Untuk apa mencari aku?"
"Belakangan ini mendadak Cukong suka marah-marah,
maka beliau lantas mengutus hamba membawa anak buah
meluruk ke Hwi-hun-san cheng sini, membunuh meratakan

seluruh perkampungan ini tujuan utama tak lain supaya siau
hiap mendengar berita ini lantas datang kemari"
Membesi hijau muka Giok-liong saking marah, bentaknya.
"Kiranya begitu kejam dan telengas betul perbuatan kalian"
seiring dengan bentakannya ini Giok- liong lantas
menerjang maju sambil mengirim sebuah jotosan, mega putih
berguling-guling sekaligus menerpa ke depan memberondong
ke arah si orang aneh tinggi kurus, dalam satu gebrak ini
Giok-liong sudah lancarkan pukulan dan mengarah sembilan
jalan besar ditubuh lawan.
Agaknya seorang aneh tinggi kurus itu sejak tadi sudah
bersiaga dan menduga Giok-liong bakal melancarkan serangan
dahsyat, sebat sekali tiba-tiba bayangan tubuhnya melonjak
jauh setombak lebih, gerak kecepatan tubuhnya laksana kilat
seperti bayangan setan saja layaknya, terdengar suaranya
berkumandang:
"Menurut hemat hamba seharusnya siau-hiap segera
berangkat ke Hutan kematian, kalau tidak.....Huh Huh "
"Kalau tidak bagaimana?"
"Kalau tidak dimana dan siapa saja ada hubungan erat
dengan siau-hiap, tentu takkan terhindar dari bencana
kematian atau di babat habis ke akar-akarnya."
Amarah Giok-liong sudah mencapai puncaknya, kedua
lengannya digentakan sembari berseru:
"Selama aku Ma Giok- liong masih hidup sehari di Kangouw,
tipu muslihat hutan kematian harus ku bongkar- Baiklah aku
mulai turun tangan terhadap kau, akan ku bunuh dan
berantas seluruh kurcaci dari hutan kematian Lihat serangan"
Angin kencang dan dorongan kepalan tangan seketika
menderu keras laksana angin puyuh langsung menyerang ke

seluruh jalan darah penting diseluruh tubuh orang aneh tinggi
kurus.
saking marah maka cara turun tangan Giok liong ini laksana
gelombang samudera mengamuk-
Mendadak biji mata orang aneh tinggi kurus, sehat sekali ia
berloncatan menghindar, lagi-lagi mulutnya berteriak-
"Aku bermaksud baik, kenapa siau-hiap tidak membedakan
baik buruk "
Saat itu mana Giok-liong mau dengar segala obrolannya,
beruntung ia lancarkan serangan dahsyat lagi sembari
menghardik murka:
"Kubunuh kau dulu, terhitung sebagai peringatan keras
kepada hutan kematian, serahkan jiwamu"
Bersinar kedua mata orang aneh tinggi kurus, begitu
menjejakkan kaki mendadak ia meloncat setinggi setombak
lebih, teriaknya lagi:
"Aku mendapat perintah dan di larang oleh Cukong, maka
tidak leluasa bertarung dengan siau-hiap"
sebetulnya jurus selanjutnya sudah siap dilancarkan begitu
mendengar teriakan orang. Giok-liong merandek lantas
menghentikan serangan selanjutnya, garangnya:
"Selamanya aku tidak akan membunuh manusia kurcaci
yang tidak berani membalas-"
orang aneh itu bergelak tawa, ujarnya:
"Aku yang rendah menjabat Coa-tong (sektor ular) dalam
hutan kematian. Kalau siauhiap betul-betul ada minat baiklah
lain kali saja "
Melihat sikap orang yang main ulur dan berkata melulu
tanpa ada minat hendak berkelahi, Giok-liong menjadi

kewalahan dan ragu-ragu. Akhirnya ia menarik kedua
tangannya, ujarnya lantang:
"Kalau begitu, setelah pulang nanti tolong sampaikan
kepada Cu-kong kalian, katakan bahwa dalam waktu singkat
ini aku tiada tempo, terpaksa harus menunda beberapa lama
lagi, kelak kalau ada kesempatan pasti aku datang
menyambangi beliau"
Coa-tong Tongcu menjura katanya:
"Tentu akan kulaparkan kepada Cukong, mohon pamit"
Tubuhnya masih membungkuk namun tiba-tiba badannya
sudah melayang mundur dua tombak, sambil mengulapkan
tangan memberi tanda kepada empat kawannya, sebentar
saja bayangan mereka sudah - ditelan gelapnya sang malam.
"Hai Nanti dulu" ringan sekali tubuh Giok liongpun ikut
meluncur kedepan menghadang di depan mereka, katanya:
"Perlu juga diberitahukan kepada Cukong kalian, katakan
bahwa kehidupan kaum persilatan lebih baik aman sentosa,
sekali menimbulkan gelombang bencana kedua belah pihak
tentu akan menelan akibatnya. Cukup sskian saja kalian boleh
silakan".
Coa-tong Tongcu tertawa ringan, ujarnya:
"Tentu akan hamba sampaikan, tapi watak Cukong... hihihi
selamat bertemu " belum habis suaranya bayangan tubuhnya
mendadak sudah lenyap, gerak gerik tubuh Coa Tong Tongcu
ini betul cepat dan gesit diluar dugaan.
sekarang diantara puing-puing Hwi-hun-san cheng yang
begitu luas tinggal Giok liong seorang diri, seluruh alam
semesta sudah diliputi oleh kabut malam, bulan sabit remangremang
memancarkan sinarnya yang redup.
Pelan-pelan Giok-fiong berjalan kearah dimana dulu ia
tiduran berkasih mesra bersama Coh Ki-sia, ditempat inilah

mereka mengadakan hubungan suami istri, kembali ditempat
yang penuh kenangan nikmat ini, sungguh pilu dan duka
benar harinya, sejak itu menjadi berat untuk meninggalkan
tempat ini.
sinar bulan sabit yang pucat dan redup dengan bertaburan
sinar bintang kelap-kelip diangkasa yang memantul dari
permukaan aliran sungai yang bening halus, dahan pohon
meliuk melambai ringan dihembus angin sepoi-sepoi, keadaan
sunyi yang penuh mengandung hawa kesedihan ini lebih
mencekam perasaan Giok-liong yang sedang dirundung duka
dan seorang diri memandang bayangan tubuhnya yang
memanjang jauh tak terasa ia menghela napas panjang
dengan lesu ia duduk di-pinggir sungai. Hawa malam mulai
dingin waktu terus berlalu, tanpa terasa hari sudah menjelang
tengah malam, Giok liong sudah melimpahkan perasaan duka
hatinya, lalu dikeluarkannya seruling samber nyawa diam-diam
ia merenung not lagu yang dulu pernah di ajarkan oleh Li
Hian, lalu pelan-pelan meniup serulingnyna.
Pembukaan lagunya ringan dan lembut seumpama
mengiring sang bidadari tengah menari dengan selendang
panjangnya, laksana hembusan angin musim semi yang
berlalu halus membuat pendengarannya menjadi nyaman dan
ngantuk- Lambat laun alunan nadanya mulai berubah nyaring
merdu kumandang menyelusuri alam semesta nan sunyi ini,
kembang- kembang serentak mekar seakan seluruh penghuni
alam ini hanyut tenggelam dalam buaian yang merdu
mengasyikan ini.
sekonyong-konyong- irama seruling berubah cepat dan
meninggi, gemuruh laksana derap kuda berlari kencang
seumpama angin topan bergulung menyelimuti seluruh
angkasa, geledek dan kilat menyamber, gunung dan bumi
terasa bergetar, ombak faut mengamuk, seakan dunia ini
hampir kiamat.

Entah berapa lama Giok liong meniup serulingnya saking
menggunakan perasaannya. Giok liong tak tahan lagi
meneteskan air mata, badannya menjadi lemas dan tiada
tenaga untuk meniup lagi. setelah menyedot hawa dingin ia
simpan kembali seruling kedalam bajunya.
Tak duga begitu irama serulingnya berhenti dari jarak jauh
lima tombak disamping sana mendadak melesat sebuah
bayangan masih di tengah udara orang itu sudah berteriak
beringas:
"Bocah keparat, Iwekang tidak lemah, tiga lima tahun lagi
tentu seluruh Bulim bakal kau kangkangi. Apa boleh buat,
Losiu si orang tua harus melenyapkan kau dulu supaya tidak
menimbulkan bencana di belakang hari"
Keruan Giok liong tersentak kaget, belum lagi ia melihat
tegas orang mendadak matanya menjadi silau oleh
menyamber datang sinar kuning yang memancar terang
laksana seekor ular emas, diantara tengah cahaya sinar
kuning menyilaukan mata inilah sebuah telapak tangan besar
tiba-tiba sudah menyelonong tiba menepuk keatas balok
kepalanya. Perbawa kekuatan pukulan telapak tangan ini
sungguh hebat bukan olah-olah .
Dalam keadaan yang tidak siaga terpaksa Giok liong harus
berusaha berkelit, badannya menggelimpang kesamping terus
menubruk kedepan sebat sekali tubuhnya jumpalitan ditengah
udara, maka dilain saat ia sudah tiba di seberang sungai
sebelah sana yang lebarnya tiga tombak lebih, untung benar
ia dapat menghindar dari serangan mematikan ini.
"Biang" dentuman dahsyat menggetarkan bumi, air sungai
muncrat tinggi kemana-mana, tempat duduk Giok liong tadi
kini sudah berlobang dalam setombak bundarannya. Maka
dapatlah dibayangkan betapa hebat dan dahsyat tenaga
pukulan yang mengejutkan ini.

Jubah putih Giok liong menjadi berlepotan kotoran lumpur,
hatinya menjadi berang, sambil mengebutkan lengan bajunya
lincah sekali ia loncat kembali keseberang, bentaknya sambil
menuding pendatang itu:
"Membokong dengan serangan ganas, apa tujuanmu?"
"Hahahaha Hahaha Hohohoooo "tidak menjawab sebaliknya
orang itu terloroh-3 kegila-gilaan.
Baru sekarang cilok-liong melihat tegas, pendatang uni,
ternyata seorang laki-laki tua yang bermuka merah, bibir
tebal, hidung besar seperti hidung singa, kedua biji matanya
melotot besar seperti jengkol berwarna merah, selain ini tiada
keistimewaan lainnya.
Begitu menghentikan gelak tawanya si orang tua muka
merah berkata dengan nada rendah sember:
"serahkan seruling samber nyawamu itu"
Giok-liong menjadi heran, dari mana dia kenal aku ? Karena
pikirannya ini hatinya menjadi gusar, semprotnya:
"serahkan kepada siapa ?"
"serahkan kepada Lohu"
"serahkan kepadamu Hehehe Mengandal apa kau ?"
"Tidak mengandal apa-apa Kalau To-ji Pang Giok berada
disini betapa juga ia harus memberi muka kepada Lohu"
sesaat Giok-liong menjadi ragu-ragu, ia kwatir kalau orang
tua ini punya hubungan erat dengan perguruannya, terpaksa
ia tekan perasaannya. ujarnya: "o, betulkah ? Siapa nama
Cian.jwe ?"
"Tak heran, kiranya kau tidak kenal pada Lohu"
bicara sampai d sini mendadak si orang tua mendelikkan
mata, seketika terpancar sinar merah dingin dari kedua biji

matanya, selebar mukanya juga semakin merah terang, begitu
tajam pandangan matanya cukup membuat orang yang
dipandang kuncup nyalinya.
Tak terasa Giok-liong menjadi merinding, cepat-cepat ia
empos semangat dan mengheningkan cipta menyalurkan
hawa murni kepusar dan diam-diam mengerah kanji lo
pelindung tubuh, sedikltpun ia tidak berani berlaku takabur.
Lama dan lama sekali kedua biji matanya besar merah dari
orang itu terus menatap wajah Giok-liong.
Entah berapa lama kemudian terdengar mulutnya berseru
heran, agaknya ia sangat terkejut sini air mukanya berubah
dan lenyaplah cahaya terang dimukanya, serunya keras:
"Sudah kenal pada Losiu belum ?"
Tersentak kaget Giok-liong mendengar pertanyaan ini, baru
sekarang ia sadar, cepat ia menjura dalam serta katanya:
"Kiranya Cian-jwe adalah Bingcu dari aliran hitam, yaitu
yang berjuluk Sip niat Ling Boan Bok-ki Licianpwe "
Orang tua muka merah mengunjuk rasa bangga, serunya
lantang sambil tersenyum:
"Akhirnya dapat kau ingat juga "
Giok-liong tersenyum simpul, cepat-cepat ia memberi
hormat serta katanya pula:
"cian-pwe sudah lama belum turun gunung, untuk
keperluan apakah sekarang muncul di Tiong-goan, sudikah
memberi sedikit penunjuk?"
Dengan muka berseri-seri Toan Bokki berkata:
"Tepat sekali pertanyaanmu perjalanan Lohu kali ini, ada
sebagian karena kau ini"

Giok liong merasa heran, lekas-lekas ia bertanya lebih
lanjut:
"Hanya karena aku yang rendah?"
"Tadi sudah kukatakan aku hendak meminjam seruling
samber nyawamu itu"
"Ah, kiranya Cian-pwe main kelakar belaka ?"
"Kelakar ? selama Hidup ini Lohu belum pernah membual"
"Kalau begini Cian-pwe betul-betul pinjam serulingku ini "
Giok liong mengerahkan Ji-o lagi buat siaga dan menjaga
segala kemungkinan, nadanya sudah tidak sehormat tadi.
"sudah tentu sungguh-sungguh " sikap sip-hiat-Ling Toan
Bok ki serius, agaknya memang bukan kelakar atau omong
kosong belaka.
"Ini... harus kupikir-pikir dulu, sebab seruling samber
nyawa adalah milik perguruan yang dipercayakan ditanganku,
Wanpwe tidak berani sembarangan ambil putusan "
" Kau tak perlu, bersitegang leher, Lohu bukan minta
milikmu itu "
Mendengar kata-kata ini Giok-liong berlega hati, batinnya,
" Kalau begitu lekaslah pergi, orang tua kalangan hitam ini
sungguh sulit dilayani sebentar marah lain saat tertawa
berseri, walaupun aku tidak perlu gentar menghadapi dia,
kalau sampai menunda yang ditentukan sampai di Pak-hay,
segalanya bisa berabe."
Karena batinnya ini segera ia menjura serta berkata:
" Kalau begitu, maaf wanpwe minta diri saja "
habis ucapannya segera ia melejitjauh hendak tinggal
pergiTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tunggu sebentar omongan Lohu masih belum selesai "
"cianpwe masih ada omongan apalagi ?"
"Musim perayaan kembang pada bulan dua tahun depan,
adalah tepat jatuh genap seratus tahun dari kelahiran Lohu..."
"Wah sungguh beruntung," ujar Giok liong sambil unjuk
hormat,
"Pada saatnya Wanpwe datang berkunjung mengucapkan
selamat-"
Kata sip-hiat Ling ToanBek ki lambil mengelus jeng gotnya:
"Sejak berusia dua puluh Lohu sudah berkecimpung di
Kangouw, sampai sekarang sudah delapan puluh tahun
lamanya, aku merancang pada hari lahirku nanti akan
kuundang para sahabat Bulim untuk berkumpul untuk
merayakan, dihadapan para sahabat Bulim itulah nanti aku
hendak mencuci tangan menyimpan golok mengasingkan diri
selamanya takkan terjun didunia persilatan lagi"
senada dengan ucapan orang segera Giok liong
menyanjung puji:
"Sungguh bahagia dan tepat benar jalan yang cian-pwe
tempuh ini "
sip hiat-Ling Toan Bok ki meneruskan obrolannya.
"selama delapan puluh tahun uni, Lohu hidup di ujung
golok, boleh dikata segala pait getir ku kenyam hanya tinggal
sebuah angan-anganku yang sampai sekarang belum bisa
terlaksana "
"cian-pwe bisa hidup bahagia sampai sepanjang umur ini,
masih ada angan-angan apa yang terlaksana?"
"Aku hendak mengoleksi empat senjata pusaka yang
terampuh dikolong langit ini sekedar sebagai hadiah hari ulang
tahunku itu"

"Empat senjata pusaka?"
"Benar, Pek sia-kiam, sian-lo-sian Tio-thian-hu dan seruling
samber nyawa ditanganmu itu."
Tergerak hati Giok-liong, pikirnya-
"Tua renta yang tamak dan membosankan, sungguh besar
dan muluk-muluk angan-angannya untuk secepatnya
meleloskan diri dari libatan orang, terpaksa dimulut Giok liong
berlaku manis dan menyanjung pula:
"O, ini betul betul berita bahagia dan menggirangkan
sepanjang umur-"
sip-hiat-ling Toan Bok ki bergelak tawa girang, ujarnya:
"Memang betul, maka terpak sa Lohu harus turun tangan
sendiri terjun pula diBulim untuk mengajar angan anganku itu,
supaya dihari tua ini tidak hidup kecewa."
"Benar juga ucapan cian-pwe ini"
"Serahkanlah seruling tamber nyawa itu kepada Lohu
setelak lewat musim perayaan kembang tentu kukembalikan
lagi kepadamu."
secara terang dan gamblang sip-hiat-ling Toan Bok ki
menyatakan langsung hendak meminjam seruling itu, sesaat
Giok liong kemekmek tak enak lantas menolaknya begini saja,
sejenak ia berpikir lalu berkata:
"Wanpwe ada dua cara"
"Cara apa?"
"Pertama dalam satu bulan ini kalau Wanpwe ketemu suhu
biar kusampaikan persoalan ini kepada beliau- kalau suhu
suka memberi ijin, tiga hari sebelum perayaan kembang
musim semi langsung kuantar sendiri ke Tiang Pek-san diatas
Hiat-hong-cay kediaman cian-pwe itu, langsung kuserahkan
kepada Cian-pwe"

"Lalu cara kedua?"
" Kedua sebelum hari ulang tahun tiba, Wanpwe akan
datang untuk mengucapkan panjang umur kepada Cianpwe
saat itujuga kuserahkan kepada Cianpwe"
Tak nyana tiba tiba muka merah sip-Uiiat-ling Toan Bok ki
bersungut, bentaknya keras.
" Kedua cara ini tidak bisa kuterima "
Cara yang diajukan oleh Giok-liong tadi boleh dikata sudah
merupakan kelonggaran yang banyak memeras pemikirannya,
terutama merupakan kebijaksanaan pula, sebab sip hiat-Ling
Toan Bok ki walaupun gembong nomer satu yaitu Bing cu dari
aliran hitam, kata-katanya merupakan perintah sekokoh
gunung, boleh mana suka ia menyebutkan dan harus dipatuhi
oleh siapa saja.
Tapi perguruan Giok-liong bukan dari aliran hitam,
peribadinyapun bukan dari keluarga golongan sesat diBulim,
maka tidak seharusnya begitu congkak dan takabur Toan Bokki
membuka mulut terhadap dirinya.
Maka cara yang diajukan tadi sudah memberikan muka
kepadanya, kalau toh tadi ia tidak segera menolaknya secara
tegas.
sekarang mendengar bentakan yang congkak ini hatinya
tidak menjadi tidak senang dan gemas, dalam keadaan yang
serba repot bagi Giok-liong ini, ia selalu bersemboyan dari
pada terlibat dalam suatu urusan yang mengikat dirinya lebih
baik mengurangi suatu beban.
Maka dengan membawa sikap tertawa yang dibuat-buat,
Giok-liong bertanya:
"Kenapa tidak bisa diterima."
Kata Toan Bok ki mengagulkan ketuaannya:

"Kalau kau tidak ketemu Pang Giok, atau sebelum hari
ulang tahunku pada perayaan kembang musim semi itu kau
tak sempat ke Tiang pekssan, bukankah akan menyapu bersih
kesenangan Lohu, ini namanya urusan besar Lohu pula.
Tatkala itu bukankah Lohu bakal menjadi buah tertawaan para
kerabat Bulim karena tidak becus bekerja."
Giok-liong menyeringai dingin:
" Kalau menurut pendapat Cian-pwe lalu bagaimana
baiknya ?"
"Sekarang juga kau serahkan seruling samber nyawa itu
kepadaku"
"Jan-hun-ti adalah peninggalan perguruan, mana boleh-.."
"Kau tidak percaya pada Lohu atau memandang rendah
Lohu ?"
"semua bukan"
"Kenapa cari alasan apa segala. Apakah kira ilmu sip hiatpok
ciang Lohu kurang sembabat menghadapi kau"
"cian-pwe jangan marah dulu, dua cara yang kuajukan tadi
anggap saja batal, aku yang rendah masih ada suatu cara lain
ku-tanggung pasti dapat terlaksana "
"Lekas katakan«
"Cara lain yaitu harus mengandalkan kepandaian sejati
masing-masing"
"Bocah, besar benar nyalimu "
"Sikapmu juga terlalu sombong, ketahuilah Kim-pitjun-hun
sebetulnya tidak gampang mandah dipermainkan"
"Bocah keparat, kau mencari mampus"
"Sekarang belum tentu siapa bakal menang dan asor"

"Lihat serangan"
"Hm, aku orang she Ma siap melayani"
Mega putih berkembang mengepul naik menyelubungi
tubuh, dua jalur pelangi merah darah juga melesat keluar
bergulung-gulung, pertempuran dahsyat yang paling seru
mulai bergerak dibalas tumpukan puing bekas perkampungan
awan terbang.
sebagai pemimpin golongan Hitam, kalau tidak membekal
kepandaian silat luar biasa serta dengan latihan yang
sempurna mana bisa menundukkan orang-orang gagah dari
berbagai aliran. Terlihat ia mulai mengembangkan ilmu sip
hiat-ling yang sangat di banggakan, seketika seluruh
gelanggang laksana diliputi kabut merah berdarah, dari
sambaran angin yang kencang itu terendus bau amis yang
memualkan, diantara taburan angin membadai itu, kedua
telapak tangan sebesar mangkok ini bergerak lincah dan kuat
sekokoh gunung, selincah ular sanca. Cara permainannya ini
benar-benar sudah begitu sempurna dan lihay betul mencapai
puncak yang tertinggi.
Kalau diperumpamakan secara seksama, bekal kepandaian
yang dimiliki Giok liong sekarang boleh dikata sudah terhitung
seorang tokoh kosen yang jarang diketemukan apalagi dengan
berlandaskan kepandaian sam-ji-cui-hun chiu yang merupakan
ilmu sakti dari aliran lurus dan murni, walaupun jurus
permainannya tidak banyak namun penuh mengandung
banyak perubahan. Cih-chiu. Hoat-bwe dan Tian-ceng satu
sama lain saling mengisi dan menambal kekosongan dan
kekurangan satu sama lain, apalagi kalau dilancarkan secara
berantai, tiga berubah enam, enam berubah dua belas tangan
pukulan begitulah jurus demi jurus berlipat ganda lebih
banyak tiada kenal putus laksana aliran sungai besar yang
bergulung-g ulung sepanjang ribuan li.

Dua tokoh silat puncak tinggi sesaat berkutet dengan seru,
satu sama lain dapat mengambil kemenangan, meskipun
sejurus saja masing masing berusaha sekuat tenaga untuk
memenangkan sejurus, atau setengah jurus, namun sukarnya
bagai memetik rembulan diangkasa raya, sinar merah darah
menerpa tiba, segera merah putih memapak maju maka
terdengarlah ledakan dahsyat berulang kali.
satu jam kemudian lima ratus juras telah berlalu tak terasa,
selama ini masih belum kuasa ditentukan siapa lebih unggul
atau asor, kepandaian kedua belah pihak memang sama kuat.
"Berhenti dulu" mendadak terdengar gerungan keras sit
hiat-ling Toan Bok ku, seiring dengan bentakannya tampak ia
meloncat keluar dari arena pertempuran. Mukanya bersungut
gusar, biji matanya mendelik tajam mengawasi Giok liong,
katanya:
"Lohu tak sabar main berkelahi lama-lama begini, dengan
bekal nama dan ketenaran selama hidup ini biarlah aku main
taruhan saja."
Giok- liong tertawa tawar, sahutnya:
"Apakah itu perlu?"
"Apa kau takut?"
"Tiada sesuatu urusan yang perlu ditakuti silakan sebutkan
cara permainan apa, semua- kulayani sesuka hatimu"
"Sombong benar katamu, mari Lohu akan menjajal sampai
dimana latihan Iwekangmu" sebetulnya si orang tua ini
hendak main licik dan mengandung maksud tak baik, menurut
pertimbangannya, ilmu simpanan Giok-liong benar-benar
hebat dan rumit sekali susah dijajaki, gerak langkahnya juga
lincah dan gesit sekali, apalagi tenaga muda lagi.
Tapi mengandal latihan Iwekangnya selama ratusan tahun
ini tentu ada pegangan dapat merobohkan musuh kecil ini.

Betapa Giok liong tidak tahu maksud yang terkandung dibalik
ajakan adu Iwekang ini, tapi janji sudah diucapkan tak
mungkin ditarik kembali, maka ujarnya sambil tersenyum sinis:
"Perhitunganmu ini cukup mengagumkan, aku terpaksa
harus melayani, coba sebutkan cara pertandingan babak adu
Iwekang ini ?"
Tak nyana mnndadak sip-hiat ling Toan Bok-ki mementang
kedua kakinya lalu memasang kuda-kuda serentak itu pula
kedua lengan dengan telapak tangan berkembang didorong
lurus kedepan, kiranya ia lebih dulu lancarkan jurus
serangannya, menyerang dulu baru mulutnya berteriak:
"Cara mengadu kekerasan beginilah "
Dua jalur sinar merah darah yang membawa tenaga hebat
menggulung tiba laksana damparan angin puyuh, seperti pula
air tercurah dari atas langit, betapa hebat kekuatannya
sungguh jarang diketemukan di kalangan persilatan, ganas
dan telengas lagi.
sontak Giok- liong menjadi beringas, geramnya rendah:
"Tua bangkotan yang licik telengas"
seiring dengan geramannya ini mendadak terasakan
segulung tenaga laksana gugur gunung dahsyatnya menerpa
tiba menindih dada, tanpa ayal sigap sekali segera ia angkat
kedua tangan sambil mengerahkan seluruh kekuatannya terus
mendorong kede-pan untuk menangkis.
Untung latihan Giok-liong sudah mencapai tenaga dapat
mengikuti kemauan, kalau tidak seketika ia akan terbanting
mampus dengan, seluruh isi perut hancur lebur, meskipun
begitu sigap ia menangkis karena dilancarkan tergesa-gesa tak
urung terasa juga tekanan besar ribuan kati menggetarkan
seluruh badannya sehingga jantungnya ikut tergetar seketika

pandangan menjadi gelap dada sesak dan mual, jalan darah
menjadi terbalik.
Untung ia membekal ilmu sakti dari aliran lurus, Hawa Ji-lo
dapat mengikuti tekanan dari luar, semakin besar tekanan
daya tolaknya juga jadi bertambah besar, sehingga tekanan
yang menindih dadanya sebagian besar bisa dipunahkan
Dengan cara menyerang secara licik hampir serupa
membokong ini tujuan Toan Bok-ki adalah cukup sejurus saja
pasti dapat merobohkan lawan kecil ini, apalagi ia merasa
serangannya cukup menggetarkan jantung Giok-Liong, keruan
girang bukan main hatinya, menurut perhitungannya dalam
beberapa detik saja darah Giok liong pasti tersungsang sumbel
dan tak kuat bertahan lagi.
Tak duga begitu tenaganya baru saja merembes masuk ke
badan orang sebelum mencapai eiasaf pusarnya, mendadak
terasa olehnya ada segulung tenaga lunak yang timbul
menahan dampratan tenaga sendiri sehingga kekuatan
tenaganya tidak dapat dikontrol lagi, bukan saia tak kuasa
meneriang jalan darah besar musuh malah semakin lama
semakin lemah dan menyurut kembali, sehingga terasa pula
kedua lengan sendiri kesemutan.
Dedongkot tua licik berpengalaman luas ini tujuan semula
sekali serang merobohkan lawan kini setelah melihat
serangannya menemui jalan buntu dan gagal total cepat-cepat
ia tarik kembali tenaganya, Tahu dia bahwa musuh muda yang
dihadapi ini betul-betul merupakan tokoh kosen yang tak
mudah di tundukkan latihan Iwekangnya betul-betul sudah
mencapai sukses yang paling di banggakan.
Maka untuk selanjutnya tak berani ia berlaku ceroboh,
diempotnya semangat tenaga dikerahkan kedua lengan,
begitulah dengan bekal latihan tenaga dalamnya ia berniat
bertahan mengadu kekuatan secara jangka panjang untuk
mengambil kemenangan.
Anda sedang membaca artikel tentang Bu Lim Su Cun 2 dan anda bisa menemukan artikel Bu Lim Su Cun 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bu-lim-su-cun-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bu Lim Su Cun 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Bu Lim Su Cun 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Bu Lim Su Cun 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bu-lim-su-cun-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar