Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 5

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 20 September 2011

Sebagai orang lihai Im Ciu It Mo ketahui siapa pemilik sejati
dari rumah penginapan yang tersohor itu ialah musuh besar
dari kaum sesat, maka ia kuatir Ciu Tong tak dapat lebih jauh
oleh racunnya hingga benda pentingnya itu dibawa si orang
she Ciu ke Kui Hiang Koan. Hanya dia menerka keliru, Ciu
Tong bukan berkhianat, hanya dia lalai disebabkan urusan
asmara.
Im Ciu It Mo sangat membenci Ciu Tong, dia puas yang
Kiauw In menyerahkannya kepadanya, akan tetapi sesudah
mengawasi sekian lama dia kaget dan menjadi gusar sekali.
Dia mendapati bukannya si penghianat atau pendurhaka,
hanya seekor orang utan. Maka sambil menggertak gigi, dia
menyerang dengan pukulan mautnya, Tauw lo ciang !
Hay Thian Sin Ni menyaksikan itu. Ia menyerukan sang
Buddha, seraya terus berkata : "Sicu, binatang itu tidak
bersalah dosa, kau berlakulah murah hati terhadapnya !" Dan
ia mengulur tangannya yang kanan buat terus ditarik pulang.
Karena itulah jurus silat "Ciat Im To Yang, Menyambut Im,
Memimpin Yang" (Im dan Yang ialah wanita dan pria, atau
negatif dan positif). Maka itu tubuhnya So Han Cian Li telah
terlindungkan.


Serangan kematian dari Im Ciu It Mo meleset mengenai
batu, maka hancurlah batu itu yang terbang berhamburan dan
lantai pun melesak dalam !
Sementara itu Ya Bie terkejut. Dia tidak kenal wanita itu
yang matanya tajam sekali, dia gugup. Hingga sendirinya
runtuhlah ilmu sihirnya yang biasa dipakai mengabur mata
orang ! Itulah sebabnya kenapa si orang utan berubah
sendirinya menjadi asalnya hingga Im Cio It Mo mendapati dia
terpedayakan dan murka karenanya. Karena ia kuatir binatang
piaraannya itu bercelaka, sempat ia menetapkan hatinya,
terus ia memperdengarkan siulannya untuk menggunakan Sin
Kut Kang, ilmu memperciut tubuh sendiri, dengan begitu
tubuh besar So Han Cian Li seperti manusia berubah kecil
seperti anak kera. Karena ini ilmunya itu dapat bekerja
berbareng dengan ilmunya Hay Thian Sin Ni hingga gagallah
serangannya si nenek.
So Hun Cian Li pun cerdas, dengan tubuhnya itu berubah
menjadi kecil, dia berontak melepaskan diri dari cekalannya
Kiauw In, dia berlompat minggir untuk terus lari ke sisinya Ya
Bie buat berPekik berulang-ulang.
Im Ciu It Mo berdiri melongo, dia heran yang pukulan
mautnya itu tidak memberikan hasil seperti kehendaknya. Dia
pun mendongkol sekali. Segera dia melihat kepada semua
orang di depannya. Hatinya tercekat, selekasnya dia
mengenali Hay Thian Sin Ni, Koay To Ciok Peng dan Bu Eng
Thung Liok Cim, semua orang Kang Ouw kenamaan. Cuma Ya
Bie, si nona yang memegangi ular ditangannya yang
didampingi si orang utan, sangat asing baginya tetapi sebab si
nona pandai ilmu Hoan Kak Bie Ciu dan Sin Kut Kang, ia
menerka orang mesti ada hubungannya dengan Kip Hiat Hong
Mo Touw Hwe Jie !


Biasanya Im Ciu It Mo tidak kenal kepuasan, tak suka dia
mengalah kalau dia belum mendapatkan atau mencapai
sesuatu keinginannya, tidak mau dia sudah saja. Kali ini dia
gusar sekali. Mesti Ya Bie dibekuk dan dihajar. Tetapi dia
sekarang lagi terluka di dalam, terpaksa mesti dia menyabari
diri. Di dalamnya pula ada Hay Thian Sin Ni yang tak dapat
dibuat permainan. Maka dia menghela nafas, dia mengekang
amarahnya. Kemudian dia mengawasi Ciu Tong yang rebah
dilantai tanpa berkutik. Lantas dia mengibasi tangan pada
Kiauw In.
Itulah isyarat supaya Nona Cio menjemput Ciu Tong buat
dibawa pergi dan Kiauw In segera bekerja dengan menurut
perintah. Hanya belum lagi ia mengangkat kaki, Ciok Peng
mendahuluinya lompat ke depan Im Ciu It Mo untuk memberi
hormat seraya berkata sabar : "Locianpwe, aku mohon supaya
locianpwe sudi memberi muka padaku agar locianpwe tidak
merusak aturan penginapan kami dengan sesukanya saja
menangkap dan membawa orang pergi dari sini !"
Im Ciu It Mo mengawasi tajam.
"Hm !" dia perdengarkan suara dinginnya. "Apakah ini
namanya aku si perempuan tua merusak aturan hotelmu ini,
kalau aku datang membekuk orang yang berkhianat kepadaku
buat aku membawanya pulang guna dihukum ?"
Ciok Peng terus berlaku merendah. Kata dia hormat :
"Aturan penginapan kami ini sudah diadakan sejak tiga puluh
tahun yang lampau, maka itu locianpwe sebagai seorang
tertua pasti telah mengetahuinya......"
Mendengar suara orang itu, tiba-tiba Im Ciu It Mo ingat
kepada Kang Ouw In Hiap, si pemilik terahasia dari Kui Hiang


Koan. Maka ia lantas berpikir keras. Ia pun ingat pula akan
luka tubuhnya bagian dalam. Maka mau tidak mau ia mesti
mengendalikan dirinya. Tapi ia tertawa dingin ketika ia
membuka mulutnya.
"Saudara Ciok". katanya. "Habis sekarang kau menghendaki
aku si nenek tua bagaimana harus bertindak ?" Dengan katakatanya
ini masih dia mengharap agar Koay To suka mengalah
terhadapnya.
Ciok peng tertawa. Jawabnya : "Kami minta locianpwe suka
menyerahkan orang she Ciu ini kepada kami buat itu kami
sangat berterima kasih !"
Parasnya si nenek menjadi sangat suaram, sinar matanya
berjilatan tak hentinya. Lewat sejenak dia menoleh kepada Cio
Kiauw In seraya berkata : "Kau lepaskan murid durhaka itu !
Mari kita pergi !"
Kiauw In menurut, dia meletakkan tubuhnya Ciu Tong
dilantai, tapi baru saja dia melepaskan tangannya, mendadak
Im Ciu It Mo meluncurkan tangannya terhadap orang she Ciu
itu, hingga terdengar jeritannya yang tertahan, terus tubuhnya
bergulingan beberapa kali.
Menyusul itu dua sosok bayangan orang melesar keluar dari
pintu besar itu !
See Sie terkejut, dia berseru, dia lompat mengejar, terus
terdengar bentakannya berulang-ulang, hanya suaranya makin
lama makin jauh, sampai lenyap sendirinya.......
Ya Bie menarik So Hun Cian Li, buat diajak pergi
menyusul......


Melihat demikian, Hay Thian Sin Ni kata pada Ciok Peng
dan Lik Cim : "Mereka berdua bukan lawan dari Im Ciu It Mo.
Hendak pinni pergi menyambut mereka !"
Dan pendeta wanita ini lenyap dari ruang besar penutupnya
suaranya itu.
Kita sekarang hendak melihat dahulu kepada Bu Kie si
pendeta Siauw Lim Sie yang sebab keliru mengenali Hong Kun
sebagai It Hiong sudah menyusul ke Kui Hiang Koan tetapi
kena diserang dengan totokan kosong hingga diapun digiring
ke Toa thia dari hotel itu. Waktu Hay Thian Sin Ni
membebaskan Couw Kong Put Lo dan Ciu Tong dari totokan
istimewa itu, dia turut terbebaskan karena dia sekalian kena
terseret. Setelah itu, dia terus berdiam saja sebab dia ingin
menyaksikan si Tio It Hiong palsu. Dia pun berdiam saja sebab
dia sengaja supaya Ciok Peng tidak memperhatikannya, tetapi
sekaburnya Gak Hong Kun diam-diam dia pergi menyusul.
Sementara itu Im Ciu It Mo yang bersama Cio Kiauw In
keluar dari hotel menyangka Hong Kun bakal menantinya di
luar hotel itu. Menurut ia Hong Kun belum bebas dari
pengaruh obatnya yang lihai itu. Bukankah tadi Hong Kun
terkejut mendengar siulannya yang dahsyat ? Tapi setibanya
diluar, ia menjadi heran. Ia melihat kelilingan, Hong Kun tak
ada ! Ia pula tidak mendengar suara pertempuran apa-apa.
Karena ini ia menerka tentulah Hong Kun pergi menyingkirkan
diri ke belakang hotel, ke dalam rimba. Maka tak ayal lagi,
sambil memberi isyarat kepada Kiauw In supaya si nona
mengikutinya lari ke belakang hotel itu.
Di belakang rimba itu ada sebuah lotengnya yang banyak
batunya serta pohon-pohon yang katai, yang terkurung
pegunungan yang berlugat lagot, yang puncaknya tinggi.
Kesana Im Ciu It Mo menuju. Sekalian mencari Hong Kun, ia


perlu menyingkir dari wilayah hotel. Ia tak sudi ada yang
menyusulnya.
Jilid 52
Im Ciu It Mo mempunyai kepandaian ringan tubuh yang
lihai tetapi sekarang dia tak berani menggunakan itu
sekehendak hatinya. Luka di dalam melarang ia memakai
tenaga keterlaluan. Karenanya, ia lari kurang cepat, bahkan
perlahan. Di situ dia membelok ke sebuah tikungan hingga dia
lantas melihat cahaya pedang berkilauan sebab beberapa
orang tengah bertarung. Dengan mengajak Kiauw In, dia
lekas-lekas pergi ke sana. Baru jarak empat tombak, ia sudah
melihat tegas It Hiong tengah menempur Hong Gwa Sam Mo.
Ia pun lantas menjadi heran. Ia mendapat ilmu pedang It
Hiong lain dari biasanya selama dia terkekang obatnya,
sekarang ini It Hiong luar biasa lincah dan sinar matanya
sangat bercahaya. Dia lantas maju lebih dekat, hingga
timbullah rasa herannya. Ia menampak seorang Tio It Hiong
yang lainnya, yang lagi rebah ditanah dan disisi It Hiong ini
berdiri seorang pendeta dengan jubah kuning. Si pendeta
agaknya lagi menjagai It Hiong yang rebah itu.
Sama sekali Im Ciu It Mo belum pernah melihat Tio It
Hiong, ia cuma mengenal Gak Hong Kun yang menyamar
menjadi pemuda she Tio itu, tak heran kalau ia tak mengerti
kenapa sekarang ada dua Tio It Hiong dengan yang satu lagi
berkelahi, yang lainnya sedang rebah tak berdaya. Ia tua dan
berpengalaman, toh tak dapat ia memikir hal aneh itu ! Yang
mana It Hiong yang telah makan obatnya ? Maka ia berdiri
diam memandang ke depannya itu.
Kiauw In sebaliknya. Ia melihat dua Tio It Hiong itu,
mendadak ia berseru dan tubuhnya digeraki maju untuk


berlompat, atau segera It Mo menahannya, menarik ia
kembali.
Hal yang sebenarnya ialah yang lagi bertempur itu Tio It
Hiong dan yang rebah adalah Gak Hong Kun dan It Hiong
tengah dikepung oleh Hong Gwa Sam Mo. Walaupun
demikian, pemuda kita itu segera mendapat lihat tibanya Im
Ciu It Mo. Ia tidak kenal si nenek tetapi ia menyangka orang
adalah kaum sesat dan mungkin konco atau kenalannya Sam
Mo. Ia menempur Sam Mo guna mencegah Hong Kun nanti
dilarikan Peng Mo. Maka itu melihat ada orang datang, ia
memikir tak dapat ia berkelahi lebih lama pula. Di saat ia
henda menggunakan satu jurus istimewa dari ilmu pedangnya,
mendadak ia melihat seorang nona muncul dari belakang si
nenek, malah ia segera mengenali Kiauw In, tunangannya itu.
Tiba-tiba saja hatinya tergetal. Inilah sebab ia heran sekali.
Kenapa Kiauw In ada bersama si nenek ? Hingga ia mau
menerka, mungkinkah ada dua Kiauw In seperti ada dua It
Hiong ? Dan kenapa si nona tiu agaknya menjadi bodoh ?
Kenapa melihat dia, nona itu berdiam saja ?
Segera It Hiong memikir buat mencari kepastiannya.
Lantaran ini, ia mendongkol yang Sam Mo terus
mengurungnya. Tiba-tiba saja timbul semangatnya. Lantas ia
menggunakan "Samhong Sauw Hoat" atau "Angin puyuh
menyapu salju", salah satu jurus istimewa dari ilmu pedang
Khiebun Patkwa Kiam. Dengan memutar pedangnya, ia paksa
Sam Mo mundur dengan kaget. Dengan begitu juga, ia
mendapat peluang waktu, hingga ketika ia mencelat dengan
menggunakan ilmu pedang meluncur Gie Kiam Sut, di dalam
satu detik tiba sudah dia di depannya Kiauw In.
"Kakak !" Ia lantas memanggil.


Nona Cio terus berdiri diam, cuma matanya mengawasi
saja.
It Hiong heran dan menjadi bercuriga karenanya. Ia
menjadi bersangsi.
"Kakak !" panggilnya pula. "Kakak Kiauw In !" Ia pun maju
mendekati, guna mengulurkan tangannya mencekal tangan si
nona.
Di saat itu, hatinya It Hiong tergerak luar biasa.
Justru tangannya si anak muda diulur itu, justru ada satu
bayangan hitam yang menghajarnya, maka terkejutlah ia. Tapi
ia tak menjadi bingung. Dengan satu gerakan "Wan Te Hoan
In - Di bawah Lengan Membalik Mega", ia memutar
tangannya, berkelit dari serangan sambil berbareng mencekal
tongkat itu !
Penyerangan itu ialah penyerangannya Im Ciu It Mo, sebab
tak dapat dia mengijinkan orang meraba Kiauw In. Bukan
main herannya dia tatkala dia mendapat serangannya itu
gagal, bahkan sebaliknya ujung tongkatnya kena orang
tangkap. Dia justru menggunakan pukulan "Tauw Lo Thunghoat"
yang istimewa ! Maka luar biasalah herannya sebab dia
menyangka "Gak Hong Kun" menjadi sedemikian
lihainya.........
Habis menangkap tongkatnya si nenek lihai, It Hiong tadi
bertindak terlebih jauh. Ia justru berdiam, mendelong
mengawasi Kiauw In, yang pun tetap berdiam saja.
Juga Im Ciu It Mo berdiam sebab kagum dan herannya
buat si anak muda yang lihai itu, hingga ketiga pihak jadi
sama-sama tak berkutik......


Sementara itu berdatanganlah beberapa orang lain. Itulah
Hay Thian Sin Ni bersama Ya Bie dan So Hun Cian Li si orang
utan raksasa.
Selekasnya Ya Bie melihat It Hiong, girangnya luar biasa.
Tidak waktu lagi, ia berkaok-kaok : "Kakak Hiong ! Kakak
Hiong !" Terus ia lari menghampiri. Akan tetapi, setelah ia
datang dekat, ia melengak sebab ia melihat ditanah ada satu
Tio It Hiong lainnya yang lagi rebah menggeletak ! Maka
berhentilah ia dengan teriakannya, dengan langkahnya, terus
ia menggunakan sapu tangannya mengucak-ucak matanya
karena ia mengira matanya itu lamur !
Hong Gwa Sam Mo juga berdiri menjublak setelah mereka
ditinggalkan It Hiong, sedangkan sebenarnya itulah
kesempatan mereka buat membawa kabur pada It Hiong yang
lagi rebah itu. Itulah disebabkan mereka pun heran akan
adanya dua It Hiong !
Peng Mo heran sekali. It Hiong yang ditempur ia bertiga
berilmu silat luar biasa lihai, beda daripada It Hiong yang
dirobohkannya dengan ditotok oleh Hiat Mo, kakak
seperguruannya. Bahkan melihat It Hiong, hatinya jadi
semakin tertarik. It Hiong lebih menggiurkan hatinya....
Im Ciu It Mo melihat tibanya Hay Thian Sin Ni, ia melirik
dan terus mengawasi dengan tampang gusar. Segera
terdengar tawa dinginnya, disusul dengan tegurannya : "Eh,
nikouw tua. Setelah kau berhasil dengan usahamu, sudah
selayaknya kau memalingkan mukamu dan pergi ! Bukankah
aku si wanita tua telah mengalah terhadapmu ? Sekarang kau
datang pula ke sini, apakah maumu?"


Kapan It Hiong mendengar suaranya Im Ciu It Mo itu,
segera ia menoleh kepada Hay Thian Sin Ni. Sebenarnya ia
tidak kenal It Mo dan Sin Ni dan yang lain-lainnya lagi. Yang ia
kenal cuma Ya Bie bersama Hong Kun yang memalsukan
dirinya itu. Tentu saja, ia pun gelap mengenai segala peristiwa
di Kui Hiang Koan. Demikianlah ia berdiam saja, melainkan ia
menoleh kepada Hay Thian Sin Ni.
Nikouw tua itu tidak menjawab Im Ciu It Mo, sebaliknya ia
mengawasi It Hiong.
"Sicu, sudikah sicu memberitahukan nama besarmu padaku
?" demikian ia tanya.
Sampai disitu It Hiong melepaskan ujung tongkatnya Im
Ciu It Mo yang ia cekal terus sekian lama, ia memutar tubuh
akan menghadapi pendeta yang menyapanya itu, dengan air
muka terang ia menjawab : "Aku yang muda ialah Tio It Hiong
dari Pay In Nia ! Su-thay, dapatkah aku yang muda
menanyakan gelaran suci dari su-thay ?"
Hay Thian Sin Ni bersenyum. Ia menjawab cepat.
"Pinni ialah Hay Thian" sahutnya. "Kiranya sicu adalah
murid pandai dari sahabatku Tek Cio Toya ! Kau lihai sekali,
sicu. Sungguh, melihat padamu melebihkan daripada
pendengaran belaka!"
Mendengar pembicaraannya kedua orang itu Ya Bie lantas
saja menyela : "Kaulah Kakak Hiong dari Pay In Nia ! Habis
orang itu, siapakah dia ?" Dan dia menunjuk Hong Kun yang
tak berdaya itu. Dia pula menunjuki tampang sangat heran.
Si nona menunjuk kepada Hong Kun, tunjukannya itu
diterima So Hun Cian Li dengan salah tafsir.


Mendadak saja si orang utan berlompat kepada Hong Kun,
tubuh siapa disambar dan diangkat, dibawa kehadapan
nonanya, dibanting ke tanah !
Hong Kun ditotok Hiat Mo pada jalan darahnya yang
disebut tay-meh, ketika dia digbaruki si orang utan, jalan
darahnya itu terkena batu, maka dengan sendirinya dia bebas.
Lantas saja dia mengeluarkan nafas panjang, sesudah mana
dia berjingkrak bangun. Ketika dia menoleh kepada It Hiong,
dia berdiri melongo. Agaknya dia seperti mengenali anak
muda itu....
Selagi semua orang itu berdiam, mendadak saja Im Ciu It
Mo memperdengarkan suara dahsyat yang biasa, siulan yang
menggoncangkan hatinya Kiauw In dan Hong Kun. Habis itu,
dia berlompat lari, untuk menghilang kedalam rimba diatas
gunung. Selekasnya dia kabur itu, Kiauw In dan Hong Kun lari
menyusul !
It Hiong dan Ya Bie terperanjat saking herannya, keduanya
bergerak untuk mengejar.
"Sicu berdua, tahan !" seru Hay Thian Sin Ni mencegah.
It Hiong sudah berlompat sejauh satu tombak, dia berhenti
dan berbalik. Ya Bie, seperti dijanji atau diperintah, turut
kembali juga.
Hay Thian Sin Ni berpaling kepada Hong Gwa Sam Mo, kata
dia sabar : "Toyu bertiga, persilakan ! Disini sudah tidak ada
urusan kalian !"
Suara itu halus tetapi nadanya menyuruh pergi !


Hong Gwa Sam Mo baru saja menempur It Hiong, mereka
bertiga tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
anak muda itu, mereka tak puas tapi mereka tak berdaya. Hiat
Mo dan Tam Mo saling mengawasi,lantas mereka memutar
tubuh, buat berjalan pergi. Peng Mo sebaliknya, si Bajingan Es
masih memberati It Hiong, dia hendak diam saja.
"Sumoay !" Hiat Mo Hweshio memanggil. "Sumoay, mari
kita pergi !"
Bu Kie berada diantara mereka, sejak tadi dia terus
membungkam, dia cuma menonton, akan tetapi menyaksikan
tingkahnya Sam Mo dia tertawa dan kata : "Kalau tikus
melihat kuCing tetapi dia tidak mau lantas pergi, dia mau
menunggu sampai kapan lagi ?"
Peng Mo mendelik terhadap pendeta itu, lalu terpaksa dia
mengangkat langkahnya, pergi mengikut kedua kakak
seperguruannya itu.
It Hiong sementara itu memberi hormat kepada Hay Thian
Sin Ni.
"Cianpwe Sin Ni, ada pengajaran apakah dari cianpwe
untukku yang muda ?" tanyanya.
"Ada pembicaraan yang pinni hendak lakukan." sahut
nikouw itu. "Mari kita cari tempat dimana kita dapat bicara
dengan menyenangkan." Dan terus ia bertindak turun gunung.
Bu Kie mendekati It Hiong, yang ia pegang ujung bajunya
sebelum si anak muda mengikuti nikouw itu. Kata dia gembira
: "Tio sicu, kiranya kaulah sicu Tio It Hiong ! Aku si pendeta
kecil, mataku kabur ! Ah, aku harus dihajar !" Dan dia
menyentil kedua telinganya !


It Hiong menjublak menyaksikan tingkahnya pendeta yang
sarangu-dunguan itu, ia mengawasi, kemudia ia tertawa dan
menanya : "Bapak pendeta, adakah kau dari Siauw Lim Sie ?"
Bu Kie nampak girang sekali.
"Tak salah !" sahutnya mengangguk. "Tak salah, aku yang
muda ialah Bu Kie ! Aku hendak memberitahukan sicu tentang
suatu urusan yang aneh !"
It Hiong heran, dia menatap pendeta itu. Ingin dia
mendengar keterangan si pendeta, tetapi ketika dia menoleh,
Hay Thian Sin Ni sudah berjalan terus dan berhenti ditengah
jalan di depannya sebuah jurang dangkal. Nikouw itu lagi
bicara dengan seorang muda tetapi ia agaknya tengah
manantikannya.
"Bapak pendeta." katanya. "Kalau ada urusan, tak dapatkah
kita bicara sambil berjalan ?" ia tanya si pendeta kepada siapa
ia berpaling. Namun, tanpa menanti jawaban lagi, ia menarik
ujung jubah orang untuk diajak jalan bersama hingga mereka
berdua menjadi jalan berendeng.
Ya Bie bersama si orang utan jalan mengikuti si anak muda
itu.
Sambil berjalan, Bu Kie menuturkan segala sesuatu yang
dia lihat di kuil Gwan Sek Sie digunung Ngo Tay San. Kemudia
ia tertawa dan menambahkan : "Syukur Sang Buddha kami
amat bijaksana. Dia membuat hari itu aku bertemu denganmu,
Tio Sicu ! Maka tercapailah maksud hatiku !"


Rupanya si pendeta merasa puas luar biasa disebabkan dia
sudah melakukan sesuatu yang sangat menggirangkannya, dia
tertawa dan terus bersenyum berseri-seri.
It Hiong sebaliknya. Walaupun ia senang mendengar
penuturan si biksu, ia toh masgul. Kalau Gak Hong Kun kena
diracuni Im Ciu It Mo hingga ingatannya menjadi terganggu,
mungkin sekali Kiauw In pun diperlakukan demikian. Jadi, tadi
itu, wanita yang berada disisinya si nyonya tua bermata
kelabu mesti Kiauw In adanya, dia bukanlah Kiauw In yang
palsu !
Menerka demikian, si anak muda bergidik sendirinya. Kalau
benar, sungguh hebat bagi Kiauw In ! Nona itu harus
dikasihhani ! Dia pasti menderita sekali.
Habis bercerita, Bu Kie tidak memperhatikan anak muda
disisinya. Dia kelelap dalam kepuasannya, seorang diri dia
tertawa saja.
Dilain saat, tiba sudah mereka di depannya Hay Thian Sin
Ni, sejarak lima tombak. Di situ Bu Kie menghadap It Hong
dan kata : "Tio Sicu, semoga kau menjaga dirimu baik-baik !
Ijinkanlah aku meminta diri !" Dan ia bertindak pergi tanpa
menanti jawaban lagi. Dia turun gunung dengan tindakan
lebar.
It Hiong bagaikan sadar mendengar suara si pendeta.
"Bapak guru, tahan !" panggilnya.
Bu Kie kembali.
"Ada pengajaran apakah Tio sicu ?"


"Apakah bapak mau pulang langsung ke Siauw Lim Sie ?"
tanya si pemuda.
"Benar !" si pendeta mengangguk.
"Kalau begitu, bapak, aku mohon pertolonganmu." kata It
Hiong perlahan. "Di sana dikamar disuci ada kedua nona Pek
Giok Peng dan Tan Hong, tolong bapak....."
Tiba-tiba si anak muda memutuskan kata-katanya itu.
Bu Kie heran hingga ia mengawasi, terus ia menatap.
"Apa itu, sicu ?" tanyanya. "Kenapa sicu tidak bicara terus
?"
It Hiong berpikir, lalu dia menggeleng kepala.
"Sudah, tak usahlah........" katanya kemudian.
Bu Kie menjublak, ia sangat tidak mengerti. Ia pun tak
dapat menerka hati orang.
Hanya sebentar, It Hiong toh berkata juga. Katanya : "Aku
minta bapak sukalah memberitahukan kedua nona itu halnya
aku hendak pergi ke gunung Hek Sek San guna membantu
kakak Cio Kiauw In....."
Niatnya si anak muda ialah meminta Giok Peng dan Tan
Hong menyusulnya, buat membantu padanya atau segera ia
ingat, Siauw Lim Sie pun membutuhkan bantuannya kedua
nona itu, jadi nona-nona itu lebih tepat berdiam terus di Siauw
Lim Sie.
Bu Kie tertawa, alisnya terbangun.


"Apakah cuma sebegini pesanmu, sicu ?" tanyanya,
nadanya separoh menggoda. "Kala ada apa-apa yang sukar
dipesan dengan mulut, silahkan sicu tulis surat saja, nanti aku
sampaikan sekalian........"
It Hiong menggeleng kepala.
"Sudah, tidak ada apa-apa lagi." katanya. "Cukup asal
mereka ketahui kemana aku pergi, agar mereka tak membuat
pikiran."
Si anak muda lantas memberi hormat pada pendeta itu,
yang dibalasnya, setelah mana, ia terus menghampiri Hay
Thian Sin Ni.
Ya Bie yang sudah jalan mendahului menyambut si anak
muda. Dia tertawa.
"Kakak Hiong." katanya manis. "Kenapa ada banyak sekali
yang diomongkan dengan bapak pendeta itu ? Cianpwe Sin Ni
sudah melanjuti perjalanannya dan kita disuruh menyusulnya
ke Kui Hiang Koan. Nah, mari kita lekas pergi !"
It Hiong tidak mencintai Ya Bie tetapi gerak gerik si nona
yang manis dan wajar mendatangkan kesan baiknya. Pula,
mengingat pertolongannya Kip Hiat Hong Mo terhadapnya, Ya
Bie terhitung juga saudari seperguruannya. Maka ia mau
memandang nona itu sebagai adiknya.
"Apakah Sin Ni sendiri yang menitahkan adik
menyampaikan pesannya ini padaku ?" tanya ia bersenyum,
kemudian mengusap-usap rambut yang bagus dari nona itu.


Bukan kepalang girangnya Ya Bie mendapat perlakuan
lemah lembut dari It Hiong ini. Dengan sebenarnya ia
mencintai anak muda itu hingga ia berani secara diam-diam
meninggalkan Cianglo ciang, guna mencari padanya. Ia gagah
tetapi ia hijau dalam pengalaman. Maka ia tetap bersikap
polos. Ia girang sekali yang hari itu ia dapat menemui It
Hiong, malah si anak muda telah mengusap-usap rambutnya
itu. Ia merasai manis sekali hingga air mukanya bercahaya
dengan senyumnya berulang-ulang. Ia pun nampak seperti
tambah cantik dan manis !
Lalu bertiga mereka mempercepat langkahnya guna
menyusul Hay Thian Sin Ni. Ya Bie memegangi ujung bajunya
It Hiong hingga berdua mereka menjadi jalan berendeng. So
Hun Cian Li berlari-lari mengintil di belakangnya muda mudi
itu.
Tanpa merasa It Hiong tertawa menyaksikan nona disisinya
masih saja bersenyum berseri-seri, hingga wajahnya menjadi
ramai sekali.
"Adik, kapannya kau turun gunung ?" tanyanya kemudian.
"Apakah Touw Locianpwe gurumu itu baik-baik saja ?"
Ya Bie bersenyum menatap si anak muda. "Aku turun
gunung diluar tahunya guru." sahutnya terus terang. "Aku
turun gunung buat mencari kau, Kakak Hiong. Entah sudah
berapa bulan aku merantau, entah berapa banyak lie telah aku
lalui, banyak tempat yang aku telah pergikan, bahkan aku
telah menemui orang busuk....."
It Hiong memotong kata-kata orang, karena si nona
menyerocos terus.


"Kenapa kau demikian bercapek lelah mencari aku, adik ?"
demikian selanya. "Kenapa buat turun gunung kau sampai
berlaku secara diam-diam hingga kau mendustai gurumu ?"
Mukanya si nona menjadi merah. Ia polos, ia merasa malu
sendirinya. Ia jengah. Toh ia menjawab.
"Aku suka pada kau, Kakak Hiong !" begitu jawabnya polos.
"Karenanya aku mau mencari kau!"
Hatinya It Hiong tergetar. Kembali lakon asmara. Kembali
ada seorang nona yang tergila-gila terhadapnya. Maka ia
berpikir : "Apakah ini bukan kembali bencana asmara seperti
katanya guruku ? Ah, adik, kau harus dikasihhani.... Adik, kau
belum merasai apa itu asmara. Kau tahu, kadang kala itulah
penderitaan belaka........"
Tentu sekali, Ya Bie tak dapat mendengar kata-kata It
Hiong di dalam hati itu. Karena orang tidak mengatakan
sesuatu atas jawabannya itu, ia menatap si anak muda. Ia
mendapati orang berdiam seperti tengah berfikir.
"Eh, Kakak Hiong, apakah juga kau sedang pikirkan ?"
tanyanya halus, prihatin sekali.
It Hiong menghela nafas.
"Aku memikirkan halmu, adik." sahutnya. "Aku pikir sudah
waktunya buat kau pulang ke Ciang lo ciang. Kau harus
mencegah yang gurumu nanti memikirkan dan
mengawatirkanmu......."
Ya Bie melengak, hingga ia tak tertawa pula. Ia menatap si
anak muda.


"Kakak Hiong" tannyanya heran. "Kenapa kakak
menghendaki kau pulang ? Kakak tahu, aku ingin selamalamanya
mengikuti kau...."
It Hiong melongo, matanya mendelong terhadap nona itu.
"Kakak Hiong" si nona melanjuti. "mari aku beritahukan kau
! Sejak itu hari kau berangkat dari Ciang lo ciang, entah
kenapa, hatiku menjadi kosong, dalam hal apa juga, aku tidak
bergembira. Setiap hari aku senantiasa ingat kau dan didalam
benak otakku, melainkan wajahmu yang membayang-bayang,
hanya wajahmu yang berseri-seri yang terbayang-bayang !
Aku menjadi berjalan salah, berduduk salah juga....... Aku jadi
suka mencari tempat yang sunyi diman aku dapat berduduk
diam seorang diri, hatiku berpikir, hingga selama ini aku lupa
dahaga dan lapar, bahkan ilmu silatku, aku malas melatihnya !
Suhu sampai mengatakan bahwa aku tersesat ! Aku tidak tahu
apa itu yang dinamakan setan penggoda ! Aku cuma tahu
bahwa aku menyukaimu dan selalu memikirkanmu, aku girang
sekali apabila aku bertemu dan melihatmu !"
It Hiong berdiam. Si nona bicara terus-terusan dalam
kepolosannya. Dia tidak membuat-buatnya. Dia bagaikan
kekanak-kanakan dalam kegembiraannya yang murni.
Wajahnya ketika itu mendatangkan rasa haru, sebab dia
nampak bersedih dan diujung matanya ada air mata
mengembang......Ya, dia seperti mau menangis !
It Hiong mengawasi, berkasihan berbareng merasa lucu.
"Adik." katanya menghibur. "Jika kau tidak mau pulang,
sudahlah ! Sudah, jangan kau berduka ! Hanya, bagaimana
dapat kau selalu mengikuti kakakmu ini ? Kau tahu, aku bakal
pergi entah sampai dimana ! Apakah kau tidak takut ?"


Walaupun airmatanya berlinang, mendengar suaranya si
anak muda, nona itu tertawa. Lekas-lekas dia menepas
airmatanya itu.
"Kakak Hiong, benarkah kata-katamu ini?" ia mengawasi.
"Oh, sungguh bagus !"
It Hiong merasai hatinya tertekan batu besar dan berat.
Itulah cinta pertama yang bersemi di dalam hatinya Ya Bie.
Nona itu sangat polos hingga dia mengutarakan cintanya
dengan itu cara sangat wajar, tak berliku-liku, tanpa malumalu
"Bagaimana nantinya ?" si anak muda tanya dirinya sendiri.
"Bagaimana aku harus bertindak agar bebas dari
gerembengannya bocah ini ?"
Sementara itu mereka berjalan terus, Ya Bie pernah
singgah di Kui Hiang Koan, ia tahu jalan untuk pergi ke
restoran itu. Ia berjalan dengan gembira, tanganya menarik
ujung bajunya si pemuda. Senantiasa ia bersenyum berseriseri.
Ia cantik, ia nampak manis sekali. Ia pula dapat berjalan
dengan ringan dan cepat !
Jalan yang dilalui jalan batu diantara pohon-pohon yangliu.
Di dalam waktu semakanan nasi, tiba sudah mereka ditempat
yang dituju. Ketika itu tengah hari, maka juga restoran itu
penuh dengan banyak tamu-tamu. Mereka itu makan dan
minum dengan gembira, tak hentinya terdengar teriakan
kepada pelayan buat minta arak dan barang hidangan.
Memasuki ruang besar, It Hiong melihat kelilingan. Ia
belum tahu Hay Thian Sin Ni duduk dimeja yang mana, atau
mungkin di lain ruang. Segera juga, rombongannya itu
menarik perhatian para tamu. ia berdua Ya Bie berpakaian


seperti umumnya banyak orang lain, mereka tak menimbulkan
perhatian orang, tidak demikian dengan pengikut mereka, si
orang utan So Hun Cian Li !
Orang utan itu besar dan tampangnya bengis !
Baiknya lekas juga seorang pelayan yang pipinya terokmok
datang menghampiri It Hiong. Dia memberi hormat sambil
membungkuk seraya lantas menanya : "Tuan, apakah Tuan
Tio ?"
It Hiong mengangguk.
"Aku Tio It Hiong" sahutnya. "Apakah kau tahu Hay
Thian......"
Pelayan itu menyela, "Majikan kami memesan aku
menantikan kau, Tuan Tio. Silahkan tuan turut aku !" Dan dia
memutar tubuh buat berjalan keluar dari ruang besar itu,
terus pergi ke samping dimana ada jalanan yang terapit
pohon-pohon bunga.
It Hiong bertiga. Dari ruang yang ramai dan berisik, mereka
tiba ditempat yang sunyi dan tenang, sesudah melewati
beberapa halaman, mereka jalan disebuah lorong yang kecil
panjang, yang kedua sisinya penuh tertanamkan pohon bunga
seruni, yang warnanya kuning, putih, ungu dan merah, indah
dipandangnya. Siapa berada disitu tentu hatinya terbuka......
Ujungnya jalanan itu merupakan sebuah halaman dimana
ada sebuah bangunan rumah tak besar dan belakangnya
terbatas dengan dinding gunung. Karena letaknya, tak heran
tampang itu tenang dan nyaman.


Tiba di muka pintu Pekarangan, si pelayan menghentikan
langkahnya, untuk tangannya terus mengetuk pintu seraya
berkata pada It Hiong : "Tuan Tio, silakan masuk ! Aku
meminta diri !" Dan tanpa menanti jawaban lagi, dia ngeloyor
pergi.
It Hiong mengawasi pelayan itu dan bersenyum, kemudian
dia menghadapi pintu Pekarangan, yang terbuka sedikit,
hingga untuk memasukinya orang harus berjalan miring. Ia
menarik tangannya Ya Bie dan menyeplos masuk disitu.
"Tio Sicu, masuklah !" tiba-tiba si anak muda mendengar
satu suara halus bagaikan suara nyamuk. Sebab itulah suara
yang dikeluarkan dengan "Gie Gie Toan Seng" saluran "Bahasa
Semut". Perlahan tetapi toh sangat terang.
Pintu Pekarangan itu tertutup rapat pula selekasnya It
Hiong bertiga memasukinya, seperti juga itulah sebuah pintu
rahasia, tak ada suaranya sama sekli, seperti tadi terbuka
renggangnya.
Mereka sekarang berada didalam halaman taman bunga
yang teratur rapi, ada gunung-gunungnya yang mungil.
Halaman itu penuh dengan daun rontok, seperti juga taman
sudah lama tanpa penghuninya. Hanya keadaannya tetap
menarik hati, suasananya tenang sekali. Disitu orang tak
merasa jeri, sebaliknya menaruh hormat.
Diatas tanah penuh daun itu tak tampak tapak kaki, maka
itu untuk berjalan lebih jauh, It Hiong menggunakan "Te In
Ciong", ilmu ringan tubuh "Tangga Mega:. Ia mencekal
tangannya Ya Bie dan mengangkatnya, buat dibawa lari
bersama.
Jalanan disitu berliku-liku.


"Eh, mana So Hun Cian Li ?" tanya Ya Bie rada terkejut. Ia
melihat ke belakang dan tak nampak orang utannya.
It Hiong melihat kesekelilingnya. Binatang itu benar tak
terlihat.
"Biarlah dia menanti diluar !" katanya, lalu jalan terus.
Selekasnya mereka melintasi bukit buatan itu, muda mudi
itu mendengar satu suara berkelisik di belakangnya. Lantas
mereka menoleh, atau mereka menyaksikan si orang utan
melesat lewat disisi mereka, terus binatang itu berdiri diatas
tangga di depan sebuah rumah, yang bagaikan menghadang
di depan mereka.
Itulah sebuah rumah batu dan tangganya itu berbatu
marmer.
So Hun Cian Li memekik, kaki tangannya digerak-geraki.
Agaknya dia girang sekali.
Ya Bie mengulapkan tangannya, melarang binatangnya
berisik.
Selekasnya tiba di muka undakan tangga terakhir, It Hiong
menghadapi pintu sembari menjura, ia kata perlahan : "Tio It
Hiong bersama Ya Bie telah tiba dan memohon bertemu
dengan Sin Ni Locianpwe."
Bagaikan ada angin yang meniupnya, daun pintu lantas
terbuka, maka It Hiong segera bertindak masuk, diturut oleh
Ya Bie dan So Hun Cian Li.


Di dalam terdapat tiga buah kamar, yang satu terang, yang
dua gelap. Di tengah-tengah ada sebuah ruang kecil. Dinding
tengah tergantungkan sehelai tirai. Di depan itu, sebuah
perapian kuno kaki tiga, tubuh perapiannya terang mengkilau,
entah dari bahan apa terbuatnya. Dari dalam perapian
mengepul asap dupa yang harum.
Di sebelah kiri itu, diatas sebuah kursi kayu merah, terlihat
Hay Thian Sin Ni berduduk seorang diri. Di kanannya ada
para-para buku, meja tulis serta sebuah kursi. Jendela dan
meja bersih sekali, tak ada debunya. Di situ tak ada lainnya
orang lagi. Suasana sunyi dan nikmat, seperti diluar tadi. Apa
yang toh terdengar ialah ocehannya dua ekor burung diluar
rumah.
Selekasnya dua orang itu berada didalam, dengan isyarat
tangannya, si nikouw kata : "Sengaja pinni mengundang Tio
sicu datang kemari supaya kau bertemu dengan Bu Lim
Cianpwe disini, agar kau mendapat petunjuk buat menghadapi
rombongan bajingan rimba persilatan nanti."
It Hiong dan Ya Bie memberi hormat, baru mereka
berduduk. Ia heran mendengar nikouw itu menyebut "Bu Lim
Cianpwe" yaitu orang tingkat tua dari rimba persilatan. Disitu
toh tidak ada orang lainnya.
"Boanpwe bersedia menerima petunjuk." katanya,
walaupun dia heran sekali. Matanya kembali melihat ke
sekitarnya.
Hay Thian Sin Ni melihat sikapnya si anak muda, ia tidak
berkata apa-apa hanya berkata pula : "Bu Lim Cianpwe itu ada
hubungannya sangat erat dengan Tek Cio Totiang gurumu itu,
sicu. Hanya semenjak tiga puluh tahun dahulu ia menutup diri,
dia tak mau menemui orang pula, karena dia telah


berkeputusan buat hidup menyendiri di dalam kesunyiannya
kaum Kang Ouw golongan sesat itu, yang mudah saja main
bunuh, dia telah memikir lain. Bertambah hebat sepak
terjangnya kaum itu hingga dia tergerak hatinya dan
semangatnya. Dia lantas mengambil sikap mencoba untuk
menumpasnya ! Dia telah ketahui perbuatanmu melindungi
gunung Siong San, sicu, maka ia pikir kaulah seorang calon
yang tepat......."
Berkata sampai disitu, Hay Thian Sin Ni berhenti, matanya
terus mengawasi ke tirai.
Melihat demikian, tahulah It Hiong bahwa si Bu Lim
Cianpwe, tertua rimba persilatan itu berada di belakang tirai
itu. Lantas dia berbangkit untuk menjura ke arah tirai sambil ia
kata hormat : "Tio It Hiong, murid Pay In Nia menghunjuk
hormat kepada Cianpwe serta bersedia menerima segala
petunjuk....."
"Jangan memakai adat peradatan, Tio Laote !" terdengar
dari balik tirai itu suara perlahan tetapi jelas sekali. "Silakan
duduk ! Selama kau merantau, laote, pernah atau tidak kau
bertemu dengan seorang yang disebut Tok Mo ?"
It Hiong menurut, ia berduduk.
"Boanpwe ketahui tentang dia tetapi belum pernah melihat
orangnya." sahutnya. "Di dalam waktu satu malam, kelima
tertua dari Siauw Lim Sie menemui ajalnya disebabkan racun,
mungkin itulah hasil perbuatannya Tok Mo. Pula boanpwe
sendiri pernah pingsan dikarenakan boanpwe kena meraba
kertas lambang pembunuhannya, lambang yang berbunyi
Giok Lauw Kip Ciauw. Sejak boanpwe turun gunung, telah
boanpwe pergi ke pelbagai tempat propinsi Sucoan, Ouwlam,


Ouwpak dan Holam, tetapi tak pernah boanpwe berhasil
mencarinya....."
"Pernah aku bertemu dengan Tok Mo dan malah pernah
juga bertempur dengannya !" tiba-tiba Ya Bie campur bicara.
Dibalik tirai itu terdengar tawa nyaring, disusul dengan
kata-kata ini : "Nona kecil, Tok Mo yang kau ketemukan itulah
Tok Mo palsu !" Kemudian kata itu ditambahkan kepada Hay
Thian Sin Ni : "Toasuhu, coba bilang, menurut kau, Tok Mo
masih hidup atau sudah mati ?"
Orang yang ditanya mengernyitkan dahinya.
"Sulit untuk mengatakannya." sahutnya. "Kalau kita melihat
kematiannya kelima tertua Siauw Lim Sie, tak mungkin itulah
perbuatannya si palsu Kim Lam It Tok atau Couw Kong Put Lo.
Mereka berdua pasti tak mempunyai kepandaian semacam
itu."
Kembali si Bu Lim Cianpwe tertawa.
"Agaknya tak tepat kalau dikatakan Tok Mo muncul pula
dalam dunia Kang Ouw." katanya pula. "Tio Laote telah
mencari dia berputaran, tak mungkin dia menyabarkan diri
dan tak muncul ! Mungkinkah dia sudi terus menyembunyikan
kepalanya saja dan cuma menongolkan ekornya ?"
Setelah kata-kata itu, dari belakang tirai terdengar satu
suara perlahan, entah si Bu Lim Cianpwe melakukan apa.
Hay Thian Sin Ni tertawa dan kata : "Ketika dulu hari itu
dilakukan penyergapan kepada Tok Mo dilembah Peng Kok,
Losicu toh turut bersama menurunkan tangan, leh karena itu
kenapa Losicu tidak hendak melukiskan wajah dan potongan


tubuhnya dia itu, supaya sekarang Tio sicu dapat mendengar
dan mengetahuinya ? Dengan demikian, selanjutnya Tio sicu
dapat berlaku berhati-hati terhadapnya."
Orang dibalik tirai itu menghela nafas perlahan.
"Dahulu hari itu telah tiga kali lohu pernah bertemu dengan
Tok Mo." katanya kemudian. Dia membahasakan diri lohu, si
orang tua. "Hanya selama itu belum pernah satu kali juga lohu
melihatnya berwajah atau berdandan serupa, bahkan senjata
dan gerak gerik silatnya pun berlainan ! Karena itu,
bagaimanakah lohu harus melukiskannya ?"
It Hiong merapatkan keningnya mendengar suaranya si Bu
Lim Cianpwe itu. Pikirnya : "Kenapa di dalam dunia ada
manusia jahat dan beracun yang licin itu ?" Kemudian ia kata :
"Locianpwe, baiklah locianpwe jangan memusingkan diri
memikirkan tentang dia. Selanjutnya, asal boanpwe
menemukannya, tak perduli si asli atau palsu, hendak
boanpwe membunuhnya saja ! Tidakkah itu paling sempurna
?"
"Kakak Hiong, itu benar !" Ya Bie memuji.
Tapi Hay Thian Sin Ni memuji Sang Buddha.
"Jangan kau terlalu bengis, Tio Sicu." katanya. "Di dalam
segala hal, kita jangan melupakan Thian Yang Maha Kuasa !"
Jago yang tak dikenal itu campur bicara. Kata dia : "Lohu
sudah menyembunyikan diri tiga puluh tahun, belum dapat
lohu mencapai kesempurnaan, maka itu di dalam hal ini, lohu
menyetujui sikapnya Tio laote. Hanya, biar bagaimana, bengis
itu juga ada batasnya dan pada bengis harus ditambahkan


kecerdasan ! Oleh karenanya Tio laote, kau bertindaklah
dengan berhati-hati !"
"Terima kasih, locianpwe !" berkata It Hiong.
Tiba-tiba tirai itu bergerak keras bagaikan dipermainkan
badai, mendadak dari celah-celahnya meluncur keluar satu
sinar putih mengkilat, juga menyilaukan mata. Menyusul itu,
terdengar suaranya si jago rimba persilatan yang tidak dikenal
itu : "Tio laote, inilah sebutir mutiara Lee-cu, harap kau terima
sebagai bingkisan pertemuan kita ini. Sambutlah !"
Dengan perlahan, benda bercahaya itu bergerak ke arah It
Hiong, tapi tanpa merasa mengulur tangannya menyambuti,
hingga ia melihat tegas dan merasa, mutiara ada sebesar telur
burung merpati, tubuhnya bening, sinarnya memancar ke
empat penjuru. Hingga bisa dimengerti yang itulah mustika
adanya. Lekas-lekas dia berkata : "Locianpwe, hadiah sangat
berharga ini tak sanggup boanpwe menerimanya. Boanpwe
biasa hidup mengembara, mana dapat boanpwe membawabawa
mustika ini yang pasti akan menarik perhatian orang
banyak, terutama kaum sesat. Mungkin mutiara dapat
membahayakan keselamatanku sedangkan boanpwe
barangkali tak dapat menjaganya. Oleh karena itu, harap
locianpwe jangan kecil hati, harap locianpwe suka
menerimanya kembali......"
Lantas It Hiong menolakkan tangannya seraya melepaskan
cekalannya, atas mana mutiara itu bergerak kembali ke arah
tirai.
Bu Lim Cianpwe itu tertawa berkakak.
"Tio Laote, sungguh kau muda dan gagah, hatimu putih
bersih !" berkata dia dengan kekaguman. "Tetapi laote, lohu


mengenalmu ! Kau bukanlah si kemaruk harta dunia ! Baik
laote ketahui, kalau mutiara ini mutiara belaka, tak nanti aku
menghadiahkannya kepadamu......"
Kata-kata itu dihentikan secara tiba-tiba. Ketika itu justru
dibuat pemikiran oleh It Hiong, yang memikirnya, "Oh, kiranya
mutiara ini ada faedahnya....... hanya entah khasiatnya dan
bagaimana cara menggunakannya ?" Tanpa merasa, ia
menoleh ke arah Hay Thian Sin Ni.
Nikouw itu mengangguk kepada si anak muda. Itulah
isyarat untuk anak muda itu menerimanya.
Selama itu, mutiara masih bagaikan mengambang saja di
muka celah-celah tirai, tak mau jatuh dan sinarnya terus
mencorong ke segala arah.
Menyaksikan itu, It Hiong menerka si jago tak dikenal
sengaja menahannya.
Justru itu maka terdengarlah suaranya Bu Lim Cianpwe itu :
"Tio Laote, baiklah kau ketahui tentang mutiara Leecu ini !
Inilah mutiara berasal dari dalam karang laut cui-seng-giam di
laut utara Pak Hay dan karena besarnya, dapat dimengerti
yang umurnya pasti sudah diatas seribu tahun. Ini pula
mutiaranya naga hitam Lee Liong, yang meninggalkannya di
dalam karang disaat dia hendak menukar kulit dan entah
berapa banyak bulan harus lewat sebelumnya dia bercahaya
seperti sekarang ini. Mutiara ini berkhasiat antaranya guna
melemahkan pelbagai macam racun dan mengobati rupa-rupa
penyakit. Kalau mutiara ini dimasuki ke dalam mulut dan
dikemuh, di dalam satu jam dia bisa menghidupi orang yang
telah mati keracunan dan lainnya. Kau suka merantau laote,
kau lagi menjalankan tugas perikemanusiaan, sewaktu-waktu
kau bisa menghadapi bahaya keracunan, dari itu kalau kau


membawa mutiara di tubuhmu, pasti itu besar faedahnya.
Inilah untuk persiagaan saja, maka itu janganlah kau tampik !"
Menyusul kata-kata itu, mutiara kembali meluncur kepada
si anak muda.
It Hiong menyambuti, kali ini untuk terus menyimpan
didalam sakunya. Ia berbangkit buat menjura, memberi
hormat sambil berkata : "Terima kasih, locianpwe ! Andiakata
cianpwe sudah tidak ada pesan lainnya, boanpwe memohon
diri !"
Orang gagah tak dikenal itu tertawa.
"Saat pertapaanku juga akan berakhir, maka itu, laote,
persilakanlah !" katanya gembira. "Di dalam hal-hal lainnya,
kau dapat meminta pengajaran dari Hay Thian Sin Ni saja !"
Habis itu sunyilah ruang tersebut.
"Mari kita pergi !" kata Hay Thian Sin Ni kemudian. Ia
berbangkit dan bertindak mendahului.
It Hiong berdua Ya Bie mengikuti.
Tiba diluar taman, Hay Thian Sin Ni baru berkata pula :
"Tio sicu, apabila kau pergi ke Hek Sek San, kau harus
waspada terhadap Im Ciu It Mo, buat jala beracunnya yang
dinamakan Hoa Hiat Thian Lo, jala langit yang melumerkan
darah. Nah, sampai nanti di dalam pertemuan besar di In Bu
San, kita akan berjumpa pula !"
Kata-kata itu diakhiri dengan orangnya lompat ke sisi
mereka, ke dalam pepohonan lebat, hingga orang tak sempat
mengatakan sesuatu.


"Mari kita pun pulang !" It Hiong mengajak Ya Bie.
Nona polos itu mengikuti. Setibanya di Kui Hiang Koan,
mereka beristirahat, setelah itu dimulailah perjalanan mereka
menuju ke gunung Hek Sek San. Hatinya It Hiong tak tenang.
Ia selalu ingat Kiauw In dan mengawatirkan kakak
seperguruan itu, yang pun menjadi kekasihnya, maka itu ia
melakukan perjalanan secepat bisa. Turutnya Ya Bie dan So
Hun Cian Li membuatnya tak dapat menggunakan ilmu ringan
tubuh Tangga Mega. Pasti nona itu dan orang utannya tak
sanggup menyusulnya.
It Hiong pula pikir, Ya Bie harus diberitahukan bahwa
perjalanannya ini akan penuh dengan ancaman bencana. Di
sarangnya Im Ciu It Mo, pasti bisa akan ditemui dimanamana.
Satu kali, ia melirik nona itu. Ia mendapatkan selainnya
cantik, nona itu benar-benar polos, wajahnya sangat menarik
hati.
"Inilah sulit" pikirnya kemudian. "Dia polos tetapi dia
berasal dari tempat kaum sesat. Siapa tahu kalau hatinya
mudah berubah ? Kalau dia merasa dipersakiti, yaitu kalau aku
tinggalkan dia, mungkin dia bersakit hati. Inilah berbahaya.
Dia belum tahu apa-apa, sakit hati membuatnya sanggup
melakukan apa juga. Dia pula mudah disesatkan orang jahat.
Kalau dia menjadi sesat, itulah berbahaya. Tak mudah
menaklukan orang dengan kepandaian seperti dia....."
Anak muda kita tidak mencintai Ya Bie, walaupun nona itu
cantik manis. Ia hanya menyayangi. Ia pula menganggap, tak
dapat ia melepaskan nona itu, agar dia tak sampai terjatuh ke
dalam tangannya orang jahat. Maka ia mengambil keputusan,
sulit atau tidak, si nona dan orang utannya harus diajak
bersama !


"Adik Ya Bie" kemudian katanya kepada si nona. "kau
hendak mengikuti aku ke Hek Sek San, aku pikir lebih baik kau
menyamar menjadi pria. Inilah guna menjaga agar ditengah
jalan, kau tak usah menarik perhatian orang banyak. Kau
setujukah ?"
Nona itu menatap si anak muda, matanya dibuka lebar.
Hanya sejenak, dia mengangguk.
Senang It Hiong. Syukur nona itu suka menurut.
Di kecamatan pertama, It Hiong singgah untuk membeli
pakaian buat Ya Bie dan So Hun Cian Li. Di dalam hotel, nona
itu berdandan hingga dia serupa sebagai seorang kacung. Si
orang utan juga berpakaian, mirip seorang bujang tua. Pula
selanjutnya, mereka berjalan dengan menunggang kuda,
hingga perjalanan dapat dilakukan dengan cepat tanpa si anak
muda memikirkan nona itu dan binatangnya.
Selang beberapa hari, tiba sudah mereka di Kho-tiam-cu,
sebuah dusun yang harus dilalui buat orang pergi ke Hek Sek
San. Karena sudah magrib, mereka mencari hotel. It Hiong
minta dua kamar, satu buat dia sendiri, yang satunya buat Ya
Bie dan So Hun Cian Li.
Habis bersantap, It Hiong duduk seorang diri dikamarnya.
Kembali ia ingat Kiauw In, maka ia menyesal juga di Siauw
Lim Sie mereka jalan berpencaran hingga nona itu terjatuh
kedalam tangannya Im Ciu It Mo. Ia berpikir sambil matanya
mengawasi tajam Keng Hong Kiam, pedangnya yang
digantung di tembok.
Dengan lewatnya sang waktu, tanpa merasa si anak muda
tidur kepulasan, hingga ia terasadar dengan terperanjat


apabila ia mendengar tanda waktu tiga kali yang
diperdengarkan dari tembok kota. Ketika ia membuka
matanya, sisa lilinnya masih menyala. Justru itu, mendadak
angin menghembus dari jendela, membuat sisa lilin padam
hingga kamar menjadi gelap seketika.
Menyusul itu ada angin bertiup perlahan, membawa bau
harus dari dupa, yang membuat otak pusing hingga orang
ingin tidur.....
Sebagai orang yang telah berpengalaman, It Hiong tahu
apa artinya bau harum itu. Ada orang mau mencelakainya.
Lantas ia lompat turun dari pembaringannya, akan
menjambret pedangnya. Adalah niatnya, akan lompat keluar,
buat menyusul orang yang menyulut hio itu. Tiba-tiba
kepalanya pusing dan tubuhnya terhuyung mau jatuh. Ia
lekas-lekas menguatkan hati dan memusatkan pikirannya. Ia
lantas merogoh sakunya buat mengambil obat kay-yoh dari si
pendeta tua dari Bie Lek Sie atau tangannya mengeluarkan
Lee-cu yang didapat di Kui Hiang Koan.
Selekasnya keluar dari saku, mutiara itu lantas
mengeluarkan cahaya terang, menerangi seluruh ruang,
hingga segala apa tampak tegas, hingga tampak juga
semacam asap beterbangan.
Lekas-lekas It Hiong memasuki mutiara mustika itu
kedalam mulutnya. Lantas ia merasai hawa dingin. Seketika itu
juga, lenyap pusingnya dan tubuhnya tak terhuyung pula. Ia
menjadi girang sekali. Inilah yang pertama kali ia
membuktikan khasiatnya mutiara mustika itu. Selekasnya ia
menyimpan mutiara, dengan membawa pedangnya, ia lompat
keluar dari jendela, terus lompat naik ke tembok Pekarangan
hingga ia sempat melihat sesosok bayangan hitam kabur
keluar dusun.


"Tak perlu aku susul dia" pikirnya. Ia merasa percuma,
orang tentu takkan kecandak sebab dia bisa menyembunyikan
dirinya. Ia pun tak kurang suatu apa.
Masih sekian lama It Hiong berdiri diatas tembok, disaat dia
mau lompat turun akan kembali ke kamar, tiba-tiba ia
mendengar suara yang terbawa angin : "Anak tolol ! Pedang
Keng Hong Kiam yang mengangkat nama toh lenyap !" Itulah
suara "Gie Gie Toan Im" saluran "Bahasa Semut".
Dua kali suara itu terdengar, lantas lenyap.
Anak muda kita heran sekali. Ia mengangkat dan melihat
pedangnya, terus ia menghunusnya. Ia bukan mendengar
suara nyaring seperti biasa, hanya suara dari besi biasa.
Pedang pula bukan bersinar menyilaukan amta, cuma
mengkilat sedikit saja. Maka bukan kepalang kagetnya ! Jadi
benar pedangnya telah orang curi dengan jalan ditukar !
"Aku toh pusing hanya sejenak........"pikirnya. "Kenapa aku
tidak mendengar apa-apa san orang dapat berlalu tanpa suara
? Kalau begitu, dia telah memiliki ilmu ringan tubuh yang
sangat sempurna.....Siapakah dia ?"
It Hiong berdiri menjublak diatas tempat itu. Kemudian ia
memikiri, menerka-nerka. Siapakah pencuri pedang itu ?
Musuhkah ? Dia dari golongan manakah ? Kenapa pedangnya
dicuridengan ditukar ? Apakah maksudnya si pencuri ? Kenapa
ia dipancing mengubar ? Ia bingung sekali. Sejenak itu,
pikirannya menjadi gelap.
Tengah si anak muda berdiam, ia melihat dua sosok tubuh
mendatangi cepa sekali ke arahnya. Ia lantas menyangka
kepada musuh. Tidak ayal lagi ia mendahului menyerang


dengan satu pukulan dari Han Long Hok Houw. Atau : "Kakak
Hiong, jangan ! Inilah aku !"
Kiranya itulah Ya Bie bersama So Hun Cian Li, yang datang
menyusul. Bagus kedua-duanya dapat berkelit dari serangan
dahsyat itu. Di saat lain, keduanya sudah berdiri di depan si
anak muda.
"Malam-malam kau keluar, kakak Hiong ?" Ya Bie bertanya.
"Apakah ada musuh ?"
It Hiong menghela nafas.
"Pedangku ada yang curi......." sahutnya perlahan, tanda
kemasgulannya.
"Apa ?" tanya Ya Bie, kaget dan heran. "Pedang kakak
lenyap ? Kemana kaburnya si pencuri ?"
It Hiong menggeleng kepala, terus ia menengadah langit.
Ia membiarkan sang angin menyampok-nyampok bajunya.
Ya Bie pun berdiam. Nona ini heran dan bingung.
"Adik Ya Bie, mari kita pulang." kemudian kata si pemuda
perlahan. Dan ia mendahului lompat turun dari tembok.
Ya Bie mengikuti.
Tiba dikamarnya, It Hiong menyulut lilin. Ia memeriksa
seluruh kamarnya, tidak terlihat apa juga yang mencurigakan.
Ketika itu, asap pun telah buyar habis. Maka ia duduk
dikursinya, pikirannya kacau.


Ya Bie berduka menyaksikan orang bersusah hati itu.
Karena ia turut berdiam, kamar menjadi sangat sunyi.
Kesunyian segera diganggu So Hun Cian Li, yang masuk
belakangan. Dia muncul sambil berjingkrakan dan memekikmekik,
sedangkan sebelah tangannya memegangi sehelai kain.
Ya Bie segera mengambil kain dari tangan binatang
piaraannya itu.
"Kakak Hiong, kau lihat apakah ini ?" katanya sambil
mengangsurkannya.
It Hiong menyambuti, hingga ia lantas dapat membaca :
"Di atas sungai jernih berliku sembilan,
pedang mustika akan dikembalikan sebagai adanya.”
Itulah sehelai cita tersulam, yang tersulamkan juga empat
buah huruf dengan benang sulamnya berwarna kuning muda.
Bunyinya surat ialah "Giok Lauw Kip Ciauw !"
Itulah lambang kematian !
Mulanya heran, It Hiong menjadi gusar, maka ia banting
kain itu ke lantai ! Ia kenali lambang kematian, yang pernah ia
lihat di Siauw Lim Sie. Itulah bukti ancaman dari Ie Tok Sinshe
atau Tok Mo. Itu pula keputusan kematian !
Ya Bie menjemput kain itu, untuk dilihat teliti.
"Kakak Hiong, kau melihat apakah yang mencurigakan ?"
tanyanya.
"Ada racunnya !" It Hiong berteriak, kaget. "Lepaskan lekas
!"


Ya Bie tertawa dan kata : "Setelah sesuatu lewat
ditangannya So Hun Cian Li, racun apapun sudah tidak ada
lagi !"
Si nona bergembira sekali, tingkahnya jenaka.
It Hiong melongo mengawasi nona itu. Dia itu memang tak
keracunan. Lewat sesaat ia menarik nafas lega, hatinya
menjadi tenang.
Ya Bie sementara itu mengutip perlahan berulang-ulang :
"Kiu Kiok Ceng Kee... Kiu Kiok Ceng Kee...." Itulah kata-kata
yang terjemahannya adalah "sungai jernih berliku sembilan"
atau "sungai dengan sembilan tikungan". Ya, ditempat
manakah adanya sungai itu ?
Kemudian si nona mengawasi It Hiong, yang berduduk
menjublak saja. Kepalanya ditundukkan, sedangkan api lilin
bergoyang-goyang, cahayanya menyinari suaram wajah
pemuda itu.
"Kakak Hiong." kemudia si nona bertanya. "Mungkinkah
pencuri pedang itu seorang sangat kosen dan kau kuatir tak
sanggup melawannya ?"
It Hiong menggeleng kepala. Ia tak menjawab.
Ya Bie mengawasi, ia heran.
Tiba-tiba It Hiong menyambar surat ditangan si nona,
untuk dibawa ke depan pelita, untuk diperiksa dengan teliti,
dibulak balik depan belakang dan atas bawahnya, kemudian
sembari meletakkan itu di meja, ia kata seorang diri : "Tok Mo
? Ya, Tok Mo ! Aku memang mau mencari dia, dia mendahului
datang ! Dia mencoba main gila terhadapku !"


Ya Bie mendengar kata-kata orang, dia menjadi bertambah
heran.
"Benarkah Tok Mo si pencuri pedang ?" tanyanya. "Tok Mo
ini manusia siapakah yang menyaruh memalsukannya ?" Dia
menanya demikian sebab meski belum berpengalaman, telah
dua kali dia menemui Tok Mo palsu - Couw Kong Put Lo dan
Kin Lam It Tok ! Dia polos, mudah saja dia menerka pada Tok
Mo palsu lagi !
Suara si nona membuat It Hiong sadar bahwa benar
dikolong langit ini ada banyak Tok Mo palsu, yang suka
bergaya licik dan telengas. Hanya empat huruf "Giok Lauw Kip
Ciauw" membuatnya menerka kepada Tok Mo yang asli.
Sinarnya pun lain, yang dahulu hijau, dan ini muda, dan
dahulu beracun, ini tidak !
"Biarlah," pikirnya kemudian. "Dia yang palsu atau bukan,
aku toh harus mencari padanya ! Pedangku harus dicari dan
dirampas pulang !" Maka terus ia mengawasi Ya Bie dan
bertanya, "Adik, apakah katamu barusan ? Bukankah kau
menanya dimana letaknya Kiu Kiok Ceng Kee ?"
"Ya" sahut si nona mengangguk.
It Hiong berfikir sebentar, lantas dia menjawab : "Kiu Kiok
Ceng Kee berada di proponsi Hokkian, diatas bukit, Bu In San,
jaraknya dari sini seribu lie lebih."
Ya Bie mengernyitkan keningnya. Ia berdiam untuk
berpikir. Hanya sejenak, ia mengangkat kepalanya, wajahnya
tampak berseri-seri saking ia bergirang.


"Aku mengerti sekarang !" kata ia. "Nah, mari kita lantas
berangkat menyusulnya ke Bu Ie San, siapa tahu ditengah
jalan dapat kita menyandaknya. Hanya entahlah, dia
mengambil jalan yang mana...."
Senang It Hiong memandang nona itu, sudah cantik, dia
manis sekali, terutama dia sangat polos, segalanya wajar. Tak
mau ia mengatakan bahwa pemikiran nona itu terlalu
sederhana, agar si nona tidak menjadi kecewa. Toh ia merasa
lucu sendirinya, hingga tak dapat ia mencegah tertawanya......
Ya Bie mementang mata mengawasi pemuda itu.
"Apakah keliru apa yang aku katakan barusan ?" tanyanya.
Dia heran.
"Sebaliknya !" sahut si anak muda mengangguk.
Tiba-tiba wajahnya It Hiong suaram pula. Kembali ia ingat
Kiauw In yang berada ditangannya Im Ciu It Mo dan itulah
berbahaya. Kiauw In tak sadarkan diri, orang dapat berbuat
sesukanya terhadapnya.......
Di lain pihak, ia malu berbareng mendongkol sebab
hilangnya pedangnya. Ia boleh tak usah mengandalkan
pedang tetapi pedang itu hadiah dari ayahnya Giok Peng di
Lek Tiok Po. Maka itu, biar bagaimana, pedang itu harus dapat
dirampas pulang !
"Mana lebih dahulu ? Membantu Kiauw In atau mencari
pedang ?" demikian ia pikir dalam kesangsian. Sulitnya, tanpa
pedang, tak dapat ia menggunakan ilmu "Gie Kiam Hui Heng",
jalan terbang bareng dengan pedang. Untuk menghadapi Im
Ciu It Mo, ia pula membutuhkan pedang. Terhadap lawan
lainnya, itulah lain.


Ya Bie, yang berdiri di depan si anak muda, terus
mengawasi, hingga ia melihat air muka orang berubah-ubah
saking anak muda itu berpikir keras. Ia pun tidak berani
menanya apa-apa.
Barulah It Hiong terkejut ketika percikan lilin meletik
menyambar ke tangannya.
"Ah !" serunya. "kenapa aku jadi begini tolol ? Orang toh
lebih penting daripada pedang !"
Maka ia lantas menepuk meja.
"Mari kita pergi ke Hek Sek San !" katanya keras.
Tepukan itu membuat pedang diatas meja berlempar jatuh
ke lantai. It Hiong segera menjemput itu.
Ya Bie heran.
"Kakak Hiong...." katanya, "kau mau pergi dahulu ke Hek
Sek San, bukan ? Jadinya kau mau membiarkan
pedangmu....."
Alisnya si anak muda bangkit.
"Jiwanya Kakak Kiauw In lebih penting." bilangnya. "Dalam
segala hal kita harus dapat membedakan mana yang lebih
perlu !"
Ya Bie mementang pula matanya, sinarnya memain, terus
dia mengangguk.


"Kakak benar !" katanya kemudian. "Memang tak dapat
kakak membiarkan kekasihmu nanti tersiksa dan bercelaka,
tanpa kakak pergi menolongnya !"
Hebat si nona. Dia kenal asmara tetapi dia toh tetap polos.
Cuma, kalau ia memikirkan itu, sendirinya tubuhnya
menggigil......
Ya Bie menyinta, tak mau ia merampas kekasih lain orang
tetapi ia pun tak sudi kehilangan kekasihnya sendiri. Buat ia
cukup asal ia tak usah berpisah dari anak muda itu.......
"Kakak Hiong," katanya kemudian, "aku ingin supaya tetap
aku berada disisimu, agar aku dapat melakukan segala apa
untukmu ! Sudikah kau meluluskan aku ?"
Lagi-lagi si nona menatap mukanya si pemuda. Tak likat ia
mengawasi orang.
It Hiong tak memikir banyak tentang kata-katanya nona
polos itu sebab pikirannya dipusatkan pada Kiauw In, soal
caranya menyerbu Hek Sek San guna membantu Kiauw In.
Bagaimana ia harus bertindak.
"Baik, adik !" sahutnya. "Bagus kau suka membantu aku !"
Bukan main senangnya Ya Bie mendengar suara itu.
"Mari kita lekas berangkat !" dia mengajak. "Fajar bakal
lekas tiba !"
It Hiong melongok ke jendela. Memang fajar lagi
mendatangi. Terpaksa ia menggendol pedang palsu itu.


"Nah, mari kita berangkat !" ajaknya. Ia padamkan lilin dan
terus bertindak keluar.
Ya Bie mengikuti. Dengan satu siulan, ia memanggil So Hun
Cian Li.
Segera perjalanan dilakukan. It Hiong nampak mirip
puteranya seorang hartawan yang diikuti kacungnya.
Angin fajar bertiup halus, rembulan masih bersisa.
Sekeluarnya dari batas dusun, langsung mereka menuju ke
Hek Sek San. Mereka mendekati kaki gunung pada jam
delapan lewat, jaraknya tinggal tujun atau delapan lie lagi.
Justru itu diarah belakang mereka, mereka mendengar
suara kuda, yang makin lama terdengarnya makin keras,
pertanda bahwa orang cepat sekali datangnya, bahkan segera
juga mereka dilewati oleh empat penunggang kuda yang
tengan menuju ke Hek Sek San sebagai mereka sendiri. Empat
orang itu berdandan sebagai orang Kang Ouw dan yang kabur
di muka mirip seorang wanita. Menarik perhatian adalah dua
orang yang ditengah, sebab masing-masing menggendol
sebuah karung besar, melendung dan tinggi kira lima kaki.
Entah benda apa isinya itu!
Penunggang kuda paling belakang tampak tegas. Dia
berkepala besar dan berjenggotan. Mulanya dia mengawasi It
Hiong bertiga, sesudah lewat, masih dia menoleh satu kali,
dari mulutnya terdengar suara tertahan, "Oh !........."
Mereka itu kabur luar biasa cepat !
It Hiong merasa aneh, hingga timbul kecurigaannya, maka
ia memberi isyarat kepada Ya Bie, terus ia melarikan kudanya


buat menyusul, atas mana si nona dan orang utannya lantas
menyusul, untuk dapat menguntit.
Dari jalan besar, empat orang itu mengkol memasuki jalan
kecil, akan setelah beberapa tikungan menghilang disebuah
rimba.
Jalan kecil itu bukan jalan umum, bala dan banyak durinya,
banyak batunya juga, suasananya belukar dan sunyi. Tidak
ada lain orang berlalu lintas disitu.
It Hiong memasang mata. Ia mendapat kenyataan jalan
kecil itu menjurus ke gunung, dan jalannya lugat-legot.
Puncak gunung tinggi umpama kata nempel pada mega.
Walaupun si anak muda tidak kenal tempat, tetapi dia
menerka bahwa ia sudah tiba didekat-dekat sarangnya Im Ciu
It Mo, hingga ia pun mau menerka yang empat orang tadi
menjadi murid-muridnya si bajingan.
It Hiong dan Ya Bie cepat dapat menyusul sampai di muka
rimba. Di situ So Hun Cian Li berPekik beberapa kali. Inilah
sebab banyak buah diatas pohon yang membuatnya mengilar.
Ia sampai berjingkrakan.
Kiranya ke empat orang tadi bukan menghilang kedalam
rimba hanya mereka telah turun dari atas kudanya masingmasing.
Semua binatang itu ditambat dipohon. Mereka sendiri
duduk berkumpul. Kedua bungkusan mereka itu diletaki disisi
mereka. Mereka melihat tibanya It Hiong bertiga, semua
mengawasi terutama terhadap si anak muda. Mulanya agak
heran, mereka lekas mendapat pulang ketenangannya,
bahkan si pria yang berkepala besar bagaikan menyambuti itu
lantas menegur tawar, "Saudara Gak, dimatamu benar tidak


ada orang lain ! Kita telah bertemu disini, kenapa kau tidak
menyapa kami ? Hm !"
Belum sempat It Hiong menjawab, si wanita sudah
menambahkan pria itu : "Kenapa kau mengatakan demikian,
Toako ? Orang itu berkepandaian silat pedang Heng San Pay !
Apakah Toako mengira dapat Toako melawan dia ?
Laginya......."
"Toako" ialah kakak paling tua.
"Laginya apa ?" si Toako menyela dan matanya mencelak.
"Tampang jumawa binatang ini membuat orang sebal ! Nanti
aku coba-coba adatnya !" Dan ia bangkit berdiri untuk
menghampiri anak muda kita.
"Tahan, Toako !" seru si nona setelah dia melirik pergipulang
pada It Hiong.
Pria itu menghentikan langkahnya. Agaknya dia jeri pada
wanita muda itu.
Mendengar panggilan "saudara Gak" itu, tahulah It Hiong
yang orang telah salah menyangka padanya. Ia juga percaya
mereka itu ada kawan atau sebawahannya Im Ciu It Mo.
Inilah kebetulan. Mereka itu dapat diikuti terus sampai ke
sarangnya si bajingan. ia berpura tidak mendengar, ia ajak Ya
Bie dan So Hun Cian Li duduk dibawah sebuah pohon untuk
mereka mengeluarkan rangsum kering dan memakannya.
Si wanita, yang kepalanya dibungkus dengan pita hijau
bertindak menghampiri dengan perlahan-lahan, setelah datang
cukup dekat, dia mengawasi, terus dia memperdengarkan
suaranya : "Oh, kiranya seekor binatang."


Ya Bie tidak puas.
"Apa katamu ?" tegurnya.
Wanita itu bersenyum ewah. Dia menengadah langit. Dia
bukannya menjawab, hanya dia kata seorang diri : "Seekor
binatang menyaru menjadi manusia, mana bisa dia
mengelabui sepasang mata nonamu ! Dan kau, kau sama
dengan aku, mengapa kau menyamar menjadi pria ?"
tegurnya kemudian.
Parasnya Ya Bie menjadi merah. Ia malu kena dikenali.
Tapi ia menyangkal.
"Ngaco belo !"tegurnya. "Kau mempunyai bukti apa ?"
Wanita itu tertawa sambil melirik.
"Mau bukti ?" katanya. Mendadak tangannya disampoki ke
arah So Hun Cian Li, anginnya keras sekali hingga kopiahnya
si orang utan terbang jatuh.
Wanita dan tiga orang kawannya tertawa berkakakan.
Sebaliknya Ya Bie, ia menjadi jengah dan mendongkol !
So Hun Cian Li juga tidak puas. Walaupun dia binatang, dia
mempunyai perasaan. Tak senang dia orang permainkan.
Matanya mencilak bengis dan tubuhnya berlompat secara tibatiba,
kedua tangannya diluncurkan guna menyambar wanita
itu yang dia arah rambut kepalanya. Dia bergerak dengan
gerakan "Bayangan Tonggeret Melewati Cabang Pohon",
gerakannya sangat cepat.
Wanita berikat kepala hijau itu kaget sekali. Tahu-tahu ia
melihat satu sosok bayangan hitam berlompat kepadanya.


Segera ia berkelit. Masih ia terlambat sedikit. Ikat kepalanya
itu terasambar jatuh, tepat seperti ia menjatuhkan kopiahnya
si orang utan itu. Lantas ia berdiri diam sambil
menenteramkan hatinya.
So Hun Cian Li lompat mundur pula, akan berduduk
kembali di bawah pohon.
Tanpa ikat kepala, kusutlah rambut si wanita, apa pula itu
waktu ada angin bertiup hingga mukanya ketutupan. Terpaksa
ia menjeraput ujat kepalanya itu, untuk diambil pula. Dengan
sinar mata bengis, ia mengawasi si orang utan.
Si pria bermata gede dan berkepala harimau tutul menjadi
panas hatinya.
"Tangkap mata-mata itu !" teriaknya, tangannya menuding
It Hiong. "Jahanam itu menyamar sebagai Gak Hong Kun !
Telah aku lihat tegas penyamarannya itu !"
It Hiong mendongkol yang ia dikatakan Hong Kun palsu
dan dituduh mata-mata, tetapi ia pun merasa lucu, hingga ia
bergusar bercampur geli dihati. Ia menahan sabar, ia terus
duduk bercokol saja sambil tetap membungkam.
"Hm !" si wanita pun memperdengarkan suara tawarnya.
"Lagak mereka bagaikan lagak setan ! Mereka telah
menyelundup ke wilayah Hek Sek San ini, memang, tak
mestinya mereka orang baik-baik !"
"Benar !" seru si kepala macan tutul. "Tak mungkin mereka
orang baik-baik !" Sekonyong-konyong saja dia lompat
mencelat pada It Hiong, tangannya diluncurkan guna dipakai
menjambak dada orang !


Dengan mudah It Hiong berkelit ke sini.
"Jika kami mau bertempur, sebutkan dahulu nama kamu !"
katanya sabar.
Gagal cengkramannya, si macan tutul menyampok dengan
tangannya yang lain. Dia tak menghiraukan kata-kata orang.
Baru setelah menyampok itu, yang gagal pula, dia kata :
"Mustahil Gak Hong Kun tak tahu nama kami ? Kaulah si Gak
Hong Kun palsu, maka juga kau bagaikan orang yang tanpa
dikompas sudah mengaku sendirinya !" Baru dia menutup
kata-katanya, atau dia melengak sejenak seraya terus
bertanya : "Kau...... kau....." Inilah sebab mendadak ia ingat
keterangan muridnya Im Ciu It Mo tentang Gak Hong Kun
tengah menyamar sebagai Tio It Hiong dan dia itu sudah
menerbitkan pelbagai keonaran, hingga karenanya, Gak Hong
Kun itu telah dipengaruhi Im Ciu It Mo, buat diperintah
mengacau terlebih jauh. Belakangan Im Ciu It Mo tahu Gak
Hong Kun adalah Tio It Hiong palsu akan tetapi sudah
terlanjur, dia membiarkannya saja, melainkan murid-muridnya
dipesan untuk menyimpan rahasia.
Si kepala macan tutul itu takut nanti membeberkan
rahasianya Im Ciu It Mo tentang It Hiong palsu itu, maka
selanjutnya dia membungkam.
Si wanita kawannya si macan tutul itu berpikir lain. Dia
bahkan kata nyaring : "Tak peduli dia siapa, bekuk saja ! Kita
bicara belakangan !" Dan dia menggantikan maju, untuk
segera menyerang dengan dua-dua tangannya sebab dia
menggunakan ilmu silat "Ngo Heng Ciang" pukulan tangan -
Lima Benda Utama (itulah kelima elemen, logam, kayu, air, api
dan tanah).


It Hiong mendongkol kapan ia merasai sambaran angin
pedas dari wanita itu, maka ia menangkis dengan keras
diteruskan dengan serangan membalas "Hang Liong Hok
Houw Kun", guna memaksa orang mundur. Wanita itu bandel,
habis mundur, dia maju pula, bahkan dia berlaku telengas,
selanjutnya dia saban-saban mengincar nadi orang ! Dia
memiliki dua tangan yang lihai.
Heran It Hiong yang orang demikian lihai, umpama kata ia
terkurung kedua tangannya lawan, terpaksa ia melayaninya
dengan seksama. Orang cepat, ia gesit, orang merangsak, ia
mendesak. Selewatnya dua puluh jurus, ia menjadi habis
sabar.
"Apakah kau masih tidak mau berhenti menyerang ?"
tanyanya. "apakah artinya pertempuran kita ini ?" ia menolak,
lalu mencelat mundur.
Wanita itu tertawa dingin.
"Habis, kau mau bertempur dengan cara apa yang ada
artinya ?" tanyanya.
It Hiong menatap tajam.
"Kita tidak kenal satu pada lain." katanya. "Kita juga tidak
bermusuhan ! Kenapa kita mesti bertempur secara membabi
buta begini ?"
Wanita itu melengak. Pertanyaan itu benar sekali. Tapi
hanya sebentar, lantas dia memperdengarkan suara dinginnya
: "Hm ! Siapakah kau sebenarnya ? Kenapa kau datang ke Hek
Sek San ini ? Mau apa kau ?"
It Hiong tertawa.


"Nona, apakah kau muridnya Im Ciu It Mo ?" ia tanya,
sebaliknya daripada menjawab.
"Su-moay !" memanggil si pria berkepala macan tutul, yang
matanya berputar. "Su-moay" ialah panggilan "adik
seperguruan".
Si wanita menoleh dan melirik, terus dia tertawa.
"Jangan khawatir, Toasuko." sahutnya. "Toasuko" ialah
kakak perguruan yang paling tua. Ia lantas mengawasi It
Hiong dan bertanya, "Kau sebut dahulu namamu buat kami
dengar !"
It Hiong menerka orang bangsa licik tetapi ia tidak takut.
"Aku Tio It Hiong !" sahutnya dengan sebenar-benarnya.
Bertepatan dengan suaranya si anak muda, di pihak sana
terdengar suara tertahan, lalau tampak dua orang pria yang
menjagai dua bungkusan besar pada roboh tak berdaya, dan
kedua bungkusannya itu telah dirampas Ya Bie dan So Hun
Cian Li yang membawanya lari ke luar rimba.
Si wanita dan pria kawannya kaget sekali, tanpa
menghiraukan kawannya yang roboh itu, mereka berlompat ke
luar rimba, untuk mengejar. Si wanita pun meninggalkan It
Hiong.
Terpaksa, anak muda kita lari menyusul. Tiba di luar rimba,
ia mendapati Ya Bie berdua lari mendaki gunung, mereka itu
sudah terpisah sejauh seratus tombak lebih. Walaupun
membawa kantung besar, nona itu dan orang utannya dapat
lari sangat cepat.


Si pria berkepala mirip kepala macan tutul berseru, dia
mengejar dengan keras.
Sembari lari mengejar, si wanita berikat kepala hijau
melepaskan panah api empat atau lima kali, anak panah mana
meluncur ke udara hingga tampak seperti bunga api yang
sinarnya Biru.
Melihat itu It Hiong menghela nafas, ia menghentikan
larinya. Ya Bie dan So Hun Cian Li di lain pihak lekas juga
lenyap diantara semak rumput tebal di pinggang gunung.
Si wanita pengejar masih saja berulang-ulang melepaskan
panah apinya, sebab rupanya itulah suatu pertanda untuk
kaumnya.
Tiba-tiba It Hiong dua orang dari pihak lawan, yang tadi
kena dirobohkan. Ia pikir, mereka itu dapat diminta
keterangannya, atau mereka boleh dijadikan petunjuk jalan.
Maka ia lari kembali ke dalam rimba.
Hari tanpa terasa mulai gelap, maka di dalam rimba,
tujuannya sudah mulai suaram. Syukur masih ada sisa sinar
matahari, yang dapat menembus rimba. Maka itu, kedua
orang tadi tampak masih rebah tak berdaya, suaranya pun
tidak terdengar.
It Hiong menghampiri dua orang itu, ia mengangkat saru
demi satu untuk diperiksa. Ia mendapati orang tak berdaya
disebabkan totokan. Lantas ia menotok, buat membikin orang
tak dapat berkutik, sesudah mana ia menotok pula,
membuatnya siuman.


Dua orang itu mendusin denan lantas mengeluarkan nafas
dalam-dalam, matanya terus dibuka, akan tetapi lantaran
tubuhnya tak dapat bergerak, mereka cuma bisa mengawasi si
anak muda musuhnya itu........
"Kau mau apa ?" tanya mereka lewat sesaat. Sebab si anak
muda cuma menatapnya.
It Hiong menunjuki sikap garang.
"Jika kamu menyayangi jiwa kamu, kamu bicaralah !"
katanya. "Satu pertanyaan aku ajukan, satu pertanyaan kamu
mesti jawab !"
"Bagaimana kalau lo-cu tak menjawab ?" tanya yang satu.
Dia menyebut dirinya "lo-cu" artinya "aku si tua". Agaknya dia
pun mau bersikap keras.
Kali ini It Hiong tertawa. Ia pun mengubah sikapnya.
"Apa yang hendak ditanyakannya olehku yang muda,"
sahutnya sabar, "ialah soal yang sangat biasa saja dan juga
sangat singkat !"
Kedua orang itu merapatkan matanya. Agaknya tak sudi
mereka bicara.
It Hiong menyambar lengan seseorang, tenaganya
dikerahkan. Segera orang itu bergemetar sekujur badannya,
sebab dia merasakan nyeri sekali. Wajahnya juga menunjuki
dia mencoba mempertahankan diri. Toh dia
memperdengarkan satu kali suara "Hm !"
It Hiong perkendor cekalannya. Ia memberi ketika akan
orang itu bernafas lega.


"Saudara, kau mau bicara atau tidak ?" tanyanya, sabar.
Orang itu kembali memejamkan matanya, dadanya
dibesarkan, sedang dahinya mengucurkan peluhnya.
It Hiong mengawasi. Ia mendongkol berbareng mengagumi
keberanian orang.
"Aku yang rendah ingin tanyakan," katanya pula, tetap
sabar, "jalan mana berdiamnya Im Ciu It Mo di dalam gunung
ini. Aku minta saudara jangan terus bersikap berkepala batu
sebab itu cuma kana membuatmu menderita saja !"
Orang itu tetap tidak mengambil mumat, dia tetap
membungkam.
Terpaksa, habis juga sabarnya anak muda kita.
"Kau terlalu, sahabat !" katanya, dan ia perkeras
cekalannya. Kali ini ia membuat tulang orang berbunyi
meretak, hingga orang meringis dan peluh di dahinya turun
tetes demi tetes.
Dengan paksakan diri, orang itu memperlihatkan tampang
gusar, matanya pun mendelik. Habis menggertak gigi, dia kata
keras : "Kau... kau..... mesti.... menjawab dahulu....aku !"
It Hiong menerka orang tak tahan menderita. Ia
mengendorkan pula cekalannya.
"Apa yang kau hendak tanyakan ?" tanyanya. "Sebutkanlah
!"
Orang itu menatap beberapa detik.


"Kau jelaskan dahulu she dan namamu yang asli" katanya.
"Juga tentang dirimu ! Nanti baru aku pikir-pikir, dapat aku
menjawab pertanyaanmu atau tidak........"
It Hiong melengak. Itulah pertanyaan aneh. Ia pun merasa
mungkin barusan ia menerka keliru waktu ia menyangka orang
menyerah disebabkan tak sanggup menahan siksaan. Kiranya
orang tetap bernyali besar dan beradat keras.
"Aku she Tio dan namaku It Hiong." demikian ia menjawab
dengan suka mengalah.
Tiba-tiba orang itu mengangkat kepalanya menengadah
langit dan tertawa nyaring.
"Orang licik !" serunya. "Orang licin !"
Sepasang alisnya It Hiong bangkit. Sejenak itu, dia
mendongkol. Orang tida percaya padanya sedang ia sudah
berlaku jujur.
"Belum pernah aku mendusta !" katanya sengit, saking
gusar. "Apabila dalam hal she namaku ! Tak pernah aku
memalsukan diri ! Jika kau tetap main gila terhadapku, jangan
nanti kau menyesal !"
Orang itu berhenti tertawa, tetapi kedua matanya itu tetap
dipentang lebar-lebar.
"Orang dengan nama Tio It Hiong !" katanya keras. "Orang
itu telah aku lihat sampai dua orang! Kaulah Tio It Hiong
muridnya siapa ? Jangan kau menjawab sembarangan saja !"


It Hiong menganggap pertanyaan itu beralasan. Ia tahu
tentang adanya dua Tio It Hiong disebabkan penyamarannya
Gak Hong Kun, yang sifatnya -diluar dugaannya- berubah,
menjadi rendah, hingga namanya rusak karenanya. Karena ini,
ditanya orang itu, ia mengangguk.
"Bagus pertanyaanmu !" sahutnya. "Tepat ! Akulah Tio It
Hiong murid Pay In Nia ! Aku bukannya Tio It Hiong yang
palsu !"
Orang itu mengawasi, terutama pedang di punggungnya si
anak muda. Lalu katanya : "Kalau benar kau Tio It Hiong dari
Pay In Nia, tolong kau perlihatkan dahulu pedangmu yang
kesohor itu, supaya itu menjadi bukti yang kuat ! Dapatkah ?"
Itu pula pertanyaan yang sangat beralasan, tetapi itu
membuat sulit pada It Hiong. Baru saja pedangnya kena orang
curi. Dapatkah ia membuka rahasia ? Tidakkah itu sangat
memalukan ? Maka juga ia menggigil seluruh tubuhnya, saking
menahan mendongkolnya, ia pun merasa hatinya nyeri
bagaikan ditusuk-tusuk. Tapi, tanpa memberi keterangan,
orang ini tentunya sukar mempercayainya. Maka itu ia berdiri
diam dengan likat.
Orang itu mengawasi, hatinya menerka-nerka. Sampai ia
mau menyangka bahwa inilah Tio It Hiong palsu yang ketiga !
Karena ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya, ia
cuma bisa beberapa kali memperdengarkan ejekan "Hm ! Hm
!" dan tertawa dingin. Tapi itu sudah cukup membuat si anak
muda panas hati dan malu tak berdaya.........
It Hiong mencoba menguasai diri. Akhirnya dapat ia
mengambil keputusan buat tidak membuka rahasia tentang
tercurinya pedangnya itu. Maka ia kata : "Percuma kau
melihat Keng Hong Kiam ! Kau toh belum pernah melihatnya


dan tak tahu palsu atau tulennya ! Bagaimana kau bisa
mengenali dan membedakannya ?"
Pertanyaan ini membuat hati orang tergerak, hingga orang
ini nampak reda kemendongkolannya. Dia pula tampak
merasa heran juga. Dengan kurang tegas, dia kata kemudian,
"Selama di Lek Tiok Po, pernah aku menyaksikan sinarnya
Keng Hong Kiam. Hanya entah bagaimana bentuk aslinya......"
Mendengar suara itu, It Hiong menanya : "Kapan kau
pernah pergi ke Lek Tiok Po ? Dimana pernah kau melihat
sinarnya Keng Hong Kiam ?"
Orang itu berdiam, tetapi terang ia tengah berpikir keras,
memikirkan pertanyaan anak muda kita. Lewat sesaat, dia
menjawab pertanyaan : "Dahulu hari itu, akulah bawahannya
Loyacu Pek Kiu Jie, oleh karena aku kemaruk sama harta dan
kedudukan lebih baik, aku terpincuk memasuki rombongan
Hek Sek San, hingga sekarang aku masuk dalam kalangan
kaum sesat, hingga aku mesti melakukan segala sesuatu yang
bertentangan dengan rasa peri-keadilan ! Ya, semuanya yang
aku lakukan, semua itu tidak serasi dengan tugas orang Kang
Ouw sejati........"
Berkata begitu, orang itu menjadi lesu. Terang dia telah
menyesal. Kemudian dia menghela nafas dan melanjuti
berkata tanpa diminta pula. Katanya : "Selama di Hek Sek
San, yang pertama kali aku melihat Tio It Hiong ialah ketika
dia dibawa datang oleh Im Ciu It Mo waktu ia pulang.
Bersama dia ada seorang nona she Cio. Sifatnya muda mudi
itu bagaikan terpengaruh sesuatu yang menganggu atau
mengekang ingatannya, hingga mereka tak tampak wajar lagi.
Ketika itu aku belum tahu siapa si pemuda, hanya menerka
Tio It Hiong dari Pay In Nia. Belakangan aku ingat bahwa Tio
It Hiong ialah calon menantu dari Lek Tiok Po, yaitu


tunangannya nona Pek Giok Peng. Maka aku heran, kenapa
dia ada bersama nona Cio itu. Aku pula heran Tio It Hiong
yang kesohor gagah, yang sejak peristiwa di Siong San
namanya telah naik tinggi, kenapa dia kena dipengaruhi Im Ci
It Mo ? Demikianlah aku bercuriga dan menduga-duga...."
It Hiong mendengari orang yang mengoceh bagaikan
tengah mengigau atau ngelamun itu. Tak ia memotong atau
menanya.
Sementara itu, si puteri malam mulai menyinari rimba itu.
Dengan perantaraan sinar rembulan, tampak wajah orang itu
mirip wajahnya orang gagah. Hanya entahlah hatinya, dia
tengah memikirkan apa.
Lewat sesaat, orang itu menambahkan : "Tak lama maka
tahulah aku bahwa pemuda itu bukannya Tio It Hiong, hanya
Gak Hong Kun dari Heng San Pay, yang menyaru menjadi Tio
It Hiong ! Yang aneh ialah binatang itu memakai bahan apa
maka dia dapat menyamar menjadi demikian sempurna !"
"Cukup !" It Hiong akhirnya menyela. "Tak usah kita
bicarakan lebih jauh soal itu. Cukup asal kau memberitahukan
aku dimana sarangnya Im Ciu It Mo."
Orang itu mengawasi, tampangnya sungguh-sungguh.
Katanya, "Sebelum kau membuktikan dirimu sebagai Tio It
Hiong sejati, sekalipun kau menghendaki jiwaku, tidak nanti
aku membuka mulutku."
It Hiong bingung. Kecuali Keng Hong Kiam, tidak ada jalan
lain buat membuktikan dirinya. Ia menjadi gusar karena orang
mengotot. Maka akhirnya ia kata bengis : "Kau terang sudah
lama berdiam di Lek Tiok Po, mustahil kau tidak mengenali
aku ?"


"Tapi tak sukar buat orang mendatangi Lek Tiok Po !" kata
orang itu, tetap bersikeras. "Tak ada larangannya akan
mendatangi dusun itu, bukan ? Sekarang mari aku tanya kau.
tahukah kau aturan di Lek Tiok Po ? Tahukah kau namanya
loteng Nona Pek Giok Peng ?"
It Hiong menatap. Ia mendongkol tetapi ia menahan sabar.
"Apakah pertanyaanmu cuma ini dua macam ?" ia
menegaskan.
Orang itu mengangguk.
"Kalau demikian, kau dengarlah biar jelas !" kata si anak
muda, nyaring. "Siapa hendak berkunjung ke Lek Tiok Po,
ditempat satu lie di muka dusun itu orang sudah harus turun
dari kudanya. Dan loteng tempat kediamannya Nona Pek Giok
Peng ialah loteng Ciat Yan Lauw ! Nah, benar atau tidak
jawabanku ini ?"
Orang itu mengangguk.
"Tak salah !" bilangnya. "Namun...."
"Namun apa lagi ?" bentak It Hiong.
"Kedua pertanyaanku itu, Gak Hong Kun pun dapat
menjawabnya." sahut orang itu.
It Hiong mendongkol dan bingung. Orang sangat
membelar. Ia melihat si puteri malam yang dengan lekas
sudah mulai miring. Mungkin ketika itu sudah jam tiga. Ia lalu
memikirkan Ya Bie. Entah nona itu telah pergi atau berada
dimana. Maka ia pikir, baik ia tak usah membuang-buang


waktu lebih lama pula. Ia pula tidak berniat membinasakan
orang, yang ada satu laki-laki sejati. Diakhirnya ia menghela
nafas dan kata keras : "Dengan memandang kepada poocu
dari Lek Tiok Po, suka aku memberi ampun padamu ! Nah,
kau pergilah !"
Pengusiran itu dibarengi dengan satu tepukan pada bahu
orang yang membuat orang itu bebas bebas dari totokannya
tadi, tetapi dia heran hingga dia berdiri menjublak. Dia
menarik nafas lega, bukannya dia kabur, dia justru melongo
mengawasi si anak muda. Tadinya dia menyangka bahwa
dialah sisa mati....
It Hiong tidak mau melayani lebih lama, bahkan tanpa
menoleh lagi, ia bertindak keluar dari rimba.
"Kakak Tio, tahan !" mendadak orang itu memanggil.
It Hiong mendengar akan tetapi ia berlagak tuli, ia jalan
terus tanpa berpaling.
Orang itu menggerakkan kaki tangannya, juga tubuhnya,
habis itu dia lari menyusul.
"Kakak Hiong ! Kakak Hiong !" panggilnya berulang-ulang.
"Kakak Hiong, tunggu ! Tunggu, aku mau bicara !"
Terpaksa, It Hiong menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kau mau apa ?" ia tanya.
Habis menyusul dengan berlari keras, nafas orang itu
tersengal-sengal.


"Apakah benar kau Tio It Hiong, hiapsu yang selama
hidupku aku kagumi ?" tanyanya terengah-engah.
It Hiong masih mendongkol ketika ia menjawab : "Terserah
pada kau, kau percaya aku atau tidak ! Buat apa kau menanya
melit- melit lagi ?"
"Aku percaya, ya, aku percaya...." kata orang itu kemudian.
Di depan It Hiong nafasnya masih memburu keras, hingga tak
dapat dia melanjuti kata-katanya.
It Hiong mengawasi. Biar bagaimana ia mengherani sikap
orang itu.
"Kenapa kau jadi begini tergesa-gea ?" tanyanya. "Aku
menganggap bahwa aku tak perlu bicara lagi denganmu ! Kau
pun tak perlu bicara pula denganku !"
Orang itu berdiri tegak. Nafasnya mulai reda.
"Aku ingin bicara dengan sebenar-benarnya" katanya
kemudian. "Terhadap sesama orang rimba persilatan, aku
ingin bicara secara jujur, supaya hati nuraniku tak kecewa....."
Sepasang alisnya It Hiong bangkit.
"Kau, kamu orang-orangnya Im Ciu It Mo, masihkah kau
mempunyai hati nurani ?" tegasnya. "Hati nurani, hati tulus
dan putih bersih, itulah yang disebut liangsim."
"Tio tayhiap, aku masih mempunyai hati nuraniku !" teriak
orang itu. "Inilah sebabnya kenapa aku lari menyusulmu !
Hendak aku memberitahukan kau tentang sarangnya Im Ciu It
Mo !"


It Hiong menghela nafas.
"Jadi kau tak kuatir bahwa akulah Tio It Hiong palsu ?"
tanyanya.
Orang itu nampak jengah, tetapi hanya sejenak, dia
berwajah seperti biasa pula.
"Sekarang aku percaya kau, Tio tayhiap." sahutnya,
suaranya tetap. "Kau begini gagah dan jujur, kau tak mau
memaksa orang, kalau kau bukan Tio It Hiong asli, habis siapa
lagi ?"
Dia mengangkat tangannya, menyusuti peluh di dahinya.
Terus dia menambahkan : "Menghadapi orang semacam kau,
taruh kata kau bukannya Tio It Hiong, aku pun ingin bicara
terus terang...."
It Hiong menengadahi si puteri malam, ia bersikap tenang
dan membiarkan orang mengoceh sendirinya. Ia bagaikan tak
mendengar suara orang.
Orang itu mendekati satu langkah. Lalu katanya, perlahan
sekali. "Sarangnya Im Ciu It Mo berada disebuah gua batu
diperutnya gunung Hek Sek San ini, letaknya di lembah Kian
Gee Kiap Kok......"
Lembah itu berarti lembah sempit gigi anjing.......
Mendengar keterangan itu, It Hiong memutar tubuh cepat
sekali.
"Apa katamu ?" ia tanya.


Orang itu, dengan sama perlahannya, mengulangi
keterangannya.
It Hiong girang.
"Untuk pergi ke sana, aku mesti mengambil jalan arah
mana ?" tanyanya kemudian. "Berapa jauhnya lembah itu dari
sini ? Coba kau terangkan biar jelas !"
Orang itu menunjuk ke arah gunung, ke atasnya.
"Kalau tayhiap mendaki pinggang gunung itu,"sahutnya
seraya memberikan keterangannya, "terus tayhiap menuju ke
barat. Setelah melewati beberapa punggung puncak...."
Mendadak dia berhenti, It Hiong pun memasang telinganya.
Lantas samar-samar ia mendengar suara berdebarannya ujung
baju yang terasampok-sampok angin, suara itu tercampur
suaranya dedaunan. Suara itu pun segera didengar terang
oleh orang itu tetapi dia ini terus melanjuti keterangannya :
"Di barat itu ada sebuah lembah yang dalam, yang berada
dibawah jurang. Itulah lembah Kian Gee Kiap Kok itu.
Disitu......."
Mendadak kata-kata orang terputus. Mendadak saja It
Hiong mencekal lengannya dan menariknya kaget, hingga
orang terhuyung berpindah ke belakangnya. Gerakan itu
diikuti dua sambaran cahaya putih mengkilat, yang lenyap
diantara rumput.
"Siapa ?" tanya si anak muda nyaring.
Tidak ada jawaban. Sunyi disekitar mereka. Cuma angin
bertiup perlahan diantaranya pepohonan.


Hanya, didalam kesunyian itu, menyambar pula dua sinar
putih lainnya, habis mana, suasana sunyi kembali.
It Hiong mendongkol, dia menolak keras dengan tangan
kanannya, membuat sinar putih itu terasampok jatuh ke
samping, mengenai batu hingga bersuara nyaring dua kali.
Kiranya itulah dua batang senjata rahasia sam-leng-piauw.
Menyusul itu muncullah seorang tua dengan baju panjang
gerombongan, tangannya memegang tongkat bambu,
matanya bersinar bengis. Di belakang orang itu mengintil
seorang lain ialah salah seorang yang tadi Ya Bie totok
pingsan, jadi dialah kawan dari orang yang It Hiong lagi
mintakan keterangannya.
Si orang tua segera menuding dengan tongkat bambunya
itu.
"Kawanmu telah merampas dua kantong barangku, kemana
kaburnya dia ?" tegurnya.
Belum sempat It Hiong menjawab, atau orang di
belakangnya si orang tua menuding orang di belakangnya
anak muda kita, untuk menegur bengis : "Pengkhianat !
Kemarilah kau !" Dan dia segera menghunus goloknya.
Orang di belakangnya It Hiong itu tidak takut, ia pun
menghunus goloknya dan berlompat maju.
"Apakah kau sangka aku takut padamu ?" tantangnya.
It Hiong hendak mencegah, tetapi sudah terlambat.
Dua orang itu sama-sama menjadi orang-orangnya Im Ciu
It Mo akan tetapi ketika itu bukan lagi sebagai kawan, bahkan


mirip musuh besar. Mereka saling menyerang dengan hebat.
Kebetulan sekali, kepandaian mereka berimbang hingga
pertempuran menjadi seru sekali.
Si orang tua tak menghiraukan pertempuran itu, agaknya
dia tak bersangkut paut sedikit juga. Dia maju setindak pada
It Hiong, dia kata tawar : "Hm ! Barang lohu juga ada yang
berani ganggu! Sungguh bernyali besar !"
Dengan jumawa dia menyebut "lo-hu", aku si orang tua.
It Hiong sebaliknya. Dia sangat memperhatikan dua orang
yang lagi mengadu jiwa itu hingga sikap dan kata-katanya si
orang tua dia seprti tak melihat dan tak mendengarnya. Ia
memperhatikan orang yang tadi ia ajak bicara itu sebab ia
menganggap orang sebagai seorang laki-laki sejati. Orang toh
berani omong terus terang dan bersedia merubah perbuatan
sesatnya. Karenanya, ia kuatir orang itu nanti mendapat luka
andiakata dia kena dikalahkan kawannya yang galak itu.
Mereka itu bertempur hebat.
Si orang tua gusar sebab It Hiong tidak menghiraukannya.
"Kau dengar tidak kata-kata lohu ?" tegurnya keras.
Suaranya mendengung bagaikan genta besar hingga dapat
membuat orang kaget dan ketuliat !
It Hiong menoleh acuh tak acuh. Ia melirik si orang tua.
Tetapi ia membungkam. Ia berpaling pula akan mengawasi
dua orang yang lagi bertarung itu.
Habis sudah sabarnya si orang tua. Janggutnya yang mirip
janggut kambing gunung sampai bangkit berdiri, bergerakgerak
diantara seliwerannya sang angin. Dia tapinya tidak
segera mengumbar hawa amarahnya terhadap si anak muda,


dia cuma mengawasi, tampangnya bersangsi entah dia jeri
atau berkasihan......
Tongkat di tangan si orang tua menggetar, sebab
tangannya itu bergemetaran, mungkin disebabkan dia lagi
mengekang diri.
It Hiong menonton dengan lama-lama nampak sinar
matanya sinar tak puas. Rupanya dia sebal menyaksikan
pertempuran berlarut-larut, hebat tetapi tanpa keputusan.
Mendadak si orang tua menghadapi orang yang lagi
berkelahi itu.
"Masih kamu tidak mau berhenti ?" tegurnya, keren.
Dua orang itu mendengar teriakan, tetapi mereka
bertempur terus. Itulah saat mati-hidup bagi mereka, tidak
ada yang mau sudah saja hanya karena titah itu.
Sang waktu berjalan terus. Si puteri malam sudah mulai
doyong ke barat. Mungkin ketika itu sudah mendekati jam
lima. Angin bertiup keras dan hawa sangat dingin. Di kejauhan
bahkan beberapa kali terdengar mengaumnya sang raja hutan
!
Si orang tua terperanjat mendengar suara harimau,
mukanya sampai menjadi pucat, hanya setelah itu, dia pun
bersiul lama, suaranya keras, hingga terdengar
kumandangnya. Itulah pertanda bahwa dia memiliki ilmu
tenaga dalam yang sempurna.
Selekasnya sirap siualannya itu, orang itu agaknya gusar. ia
mengibaskan tongkatnya, terus ia maju ke medan
pertempuran. Ia pun terus menyampok. Maka beruntun


terdengar dua kali suara berkontrang. Segera goloknya dua
orang kawan yang menjadi musuh satu dengan lain itu
terlepas dari cekalannya, masing-masing dan terpental jauh.
Yang hebat ialah telapakan tangan kanan mereka, yang tadi
memegang golok itu, pecah kulitnya dan mengeluarkan darah,
nyerinya bukan main. Keduanya lantas lompat mundur dan
bersama-sama, saling mendelong, mereka mengawasi orang
tua itu.
"Kamu semua bukannya makhluk baik-baik !" bentak si
orang tua gusar. "Hampir lohu kena ditipu kamu berdua !"
It Hiong menyaksikan lihainya si orang tua, diam-diam ia
mengagumi di dalam hati. Tapi ia berdiam terus, memasang
mata sambil memasang telinga. Dia heran mendengar dua
orang itu dikatakan memperdayakan orang tua itu. Bukankah
mereka berdua orangnya Im Ciu It Mo ? Entah dia ditipu
dalam urusan apa ? Bukankah dia maksudkan dua kantung
besar yang dibawa kabur Ya Bie berdua ?
Kembali terdengar derum harimau. Lagi-lagi si orang tua
tampak kaget. Justru dia kaget, justru dia terlihat makin
gusar. Kali ini kedua biji matanya mencorong bengis.
"Eh, apakah kamu berdua masih tidak mau bicara ?"
demikian tegurnya, garang. Dia juga menuding dengan
tongkat bambunya yang lihai itu. "Apakah benar-benar kamu
sudah bosan hidup lebih lama pula ?"
Kedua orang itu saling mengawasi, keduanya mendelong.
Mereka tetap menutup mulut.
Si orang tua terus menatap, sampai orang yang tadi datang
bersamanya Bisa juga berbicara. Kata dia : "Dengan
sebenarnya barang itu tadi telah kena dirampas di dalam


hutan dan yang merampas ialah konconya bocah ini !" Dia
menuding It Hiong.
Orang tua itu gusar pula.
"Apakah katamu ?" tegurnya bengis. Dia gusar terusterusan.
"Konconya dia bukankah koncomu juga ? Hm ! Tipu
daya licik Im Ciu It Mo telah dilakukan terhadap diriku si orang
tua !"
Kiranya si orang tua menyangka It Hiong adalah Gak Hong
Kun "muridnya" Im Ciu It Mo. Karenanya, terhadap It Hiong
dia tidak lantas turun tangan, dia hanya melayani kedua orang
itu, yang berseragam hitam, sampai dia mendengar
keterangan si hitam yang mengiringinya tadi. Karena ini dia
menerka makin keras yang Im Ciu It Mo sudah menggunakan
akal, menugaskan dua orangnya menipu padanya dengan
melenyapkan dua bungkusan atau kantung besar itu.
Tegasnya dia menuduh barangnya dibawa kabur oleh dua
orang itu.
Dua orang itu berdiri menjublak. Tak dapat mereka
membuat si orang tua mengerti akan duduknya hal, mereka
tidak dipercaya.
Lewat sesaat maka si hitam bekas orang Lek Tiok Po, yang
setelah bertemu It Hiong ini hendak merubah cara hidupnya,
tidak berdiam saja. Dia memberi hormat pada orang tua itu
seraya berkata : "Harap lotiang bersabar, nanti aku pergi
mencarinya......" Begitu dia berkata, begitu dia memutar
tubuh, terus dia berlari pergi, hingga dilain detik, dia sudah
lenyap ditempat gelap.
Melihat caranya orang berlalu itu, It Hiong menerka bahwa
orang hendak menggunakan ketika itu buat mengangkat kaki.


Ia lantas mengherani si orang tua, apa pula dia mau mencari
kedua kantung besar itu ? Kenapa si orang tua sangat
menghargakannya ?
Tiba-tiba si anak muda kita ingat Ya Bie dan orang utannya.
Mereka sudah pergi sekian lama dan belum kembali ! Kemana
perginya mereka itu ? Apakah mereka menemui sesuatu ?
Karena ini, ingin ia menyusul, mencari mereka. Karenanya ia
memberi hormat pada si orang tua, terus ia pun pergi ! Ia
kabur turun gunung.
Orang tua itu menyaksikan orang pergi saling susul,
berulang kali dia memperdengarkan ejekannya : "Hm ! Hm !"
Kemudian dia menunjuk murkanya pada si hitam, yang masih
berdiri menjublak.
"Masih kau tidak mau pergi ?" bentaknya. Dan tongkatnya
dikasih bekerja.
Orang itu memperdengarkan teriakan tertahan, tubuhnya
terus roboh untuk tak berkutik pula.
Masih si orang tua mencaci kalang kabutan. Rupanya dia
tetap sangat mendongkol. Entah sebab hilangnya kedua
kantung itu, atau dia merasa terhina karena sudah
diperdayakan Im Ciu It Mo........
Habis mencaci, orang tua itu mengangkat kepalanya,
dongak melihat langit. Aneh ! Dia tertawa dua kali, tawanya
keras dan nyaring dan lama ! Tawa itu mengalun tinggi,
bagaikan melayang-layang di tengah udara.......
Berhenti tawa itu, deruman harimau menyambungnya.
Seperti harimau itu menyambuti suara majikannya. Dan benar
saja, lekas tampak seekor raja hutan lari mendatangi. Harimau


itu besar sekali. Itulah macan loreng. Dia datang bersama
angin yang berbau engas. Tiba di depan si orang tua, dia
berdiri sambil menggoyang-goyang ekornya !
"Kemana mereka itu telah pergi ?" tanya si orang tua
kepada macan itu. "Apakah kau telah berhasil mencarinya ?"
Aneh si raja hutan. Dia mengerti kata-kata orang. Dia
mengangguk. Lantas dia memutar tubuh, buat berlari pergi.
Justru itu tubuh si orang tua pun mencelat, lompat akan
duduk bercokol diatas punggungnya, hingga dilain detik
mereka berdua kabur bersama !
It Hiong kagum menyaksikan jinak dan lulutnya raja hutan
itu.
Sekarang kita melihat dahulu Ya Bie bersama So Hun Cian
Li, yang menyingkir dengan membawa dua buah bungkusan
besar itu. Mereka mendaki bukit. Sebenarnya Ya Bie tidak tahu
isinya karung. Dia berbuat begitu sebab dia sebab terhadap si
nona dengan ikat kepala hijau itu. Jadi dia mau melampiaskan
kemendongkolannya. Satu keinginannya yang lain ialah ia
berniat membekuk salah seorang dari mereka itu, guna
memaksa orang menunjuki dia sarangnya Im Ciu It Mo.
Si nona dan pria berkepala besar mirip kepala macan tutul
itu mengejar terus. Mereka mendongkol sekali. Orang lari
keras, mereka lari makin keras. Mereka ingin menyandak.
Mereka berlari-lari ke tengah atau pinggang puncak. Di situ
mereka menikung ke sebuah tikungan yang penuh dengan
rumput dan batu-batu sependirian manusia, hingga mudah
sekali akan bersembunyi disitu. Disitu pula tak ada jalan
tembusnya.


Ya Bie sudah lantas membalik tubuh, akan mengawasi
orang-orang yang mengejarnya. Ia melihat orang mendatangi
semakin dekat. Tidak ada jalan lolos lagi andiakata musuh
menggeledah tempat itu. Sekira orang terpisah sepuluh
tombak lagi, mendadak ia menarik tubuhnya So Hun Cian Li
buat disuruh mendak, sambil ia berseru menggunakan ilmu
Hoan Kak Bie Cin. Terus dua potong batu besar dilemparkan
keluar tempat sembunyinya, hingga kedua batu itu tampak
seperti kedua kantung besar tadi !
"Hm, budak bau !" berseru si nona dengan ikat kepala
hijau, yang menyangka orang kabur dengan meninggalkan
barang rampasan. "Budak bau, kau masih tahu diri ! Tapi
awas kau ! Sebentar, setelah menerima barangku, akan aku
bereskan kau !"
Kata-kata itu diucapkan berbareng dengan orangnya
berlompat kepada kedua batu yang merupakan dua kantung
besar itu. Ia tunduk, akan melihat. Tak ia mendapatkan
kantungnya. Ia heran, hingga ia menerka mungkin itu
ketutupan rumput.... Maka ia membowek rumput, hingga ular
dan tikus pada kaget dan lari serabutan. Tetap karung tak
ada, kecuali batu-batu besar.
Si pria membantu mencari berputaran tanpa hasil.
Jilid 53
Diam-diam Ya Bie tertawa di dalam hati. Dari tempatnya
berdiam, ia menonton lagak orang. Mereka itu bercapek, lelah
dan heran dan bingung dan penasaran juga ! Ia dan orang
utannya tak terlihat sebab mereka merupakan batu besar
yang diam bercokol saja.


"Heran, su-moay !" kata si pria. "Telah kita mencari di
seluruh sini, mereka tak tampak, juga tidak kedua bungkusan
besar itu ! Apakah tadi kau melihatnya dengan nyata ?"
"Tak salah, suheng !" sahut si wanita, si adik seperguruan
(su-moay), sedangkan pria itu Toasuhengnya, kakak
seperguruannya. "Kau toh tahu gelaranku ! Jangan kata baru
sejarak lima tombak, sekalipun lima puluh tombak, orang tak
akan lolos dari mataku ! Tak percuma aku dijuluki Sin Gan Go
Bie -Alis Lentik Bermata Malaikat !-"
Pria itu tertawa.
"Cuma malam ini Sin Gan Go Bie telah menjadi lamur !"
katanya. "Atau orang telah mempermainkannya !"
Wanita itu berdiam. Tiba-tiba saja ia ingat sesuatu. Lantas
ia menghampiri si pria sampai dekat sekali, untuk berbisik
ditelinganya : "Tak mungkinkah aku terkena Yam-gan-hoat,
ilmu sihir menutupi mata ?"
Pria itu memperlihatkan tampang heran.
"Mungkin....... mungkin.........." katanya ragu-ragu.
Wanita itu berpikir pula, atau tiba-tiba "Ya ! Ya !"serunya.
"Ya apa ?" tanya si pria, terperanjat.
"Aku rasanya ingat barusan," sahut si wanita. "Kedua
karung itu jatuh bagaikan bayangan, terus saja lenyap. Kalau
wanita itu membuangnya, dia dan binatangnya itu tak nanti
lolos dari mataku !"
Si pria tertawa.


"Kalau begitu, mereka pasti bersembunyi disini !" katanya.
"Habis dimanakah sembunyinya mereka ? Kita telah mencari
tanpa hasil...... Apakah mereka sempat bersembunyi di dekatdekat
sini ?"
Wanita itu berseru tertahan, matanya celigukan. Tidak ada
orang didekatnya, tampak hanya rumput tebal dan tinggi serta
batu-batu besar dan kecil. Di balik batu, di dalam semak
rumput, mereka itu tak tampak !
"Celaka ! Sungguh celaka !" di pria mengoceh seorang diri
saking panas hatinya. "Habis, bagaimana dapat kita
membekuknya ?"
Masih si wanita celingukan ke sekitarnya, tubuhnya turut
berputaran. Ia mementang lebar matanya, yang katanya
pandai ilmu SIn Gan Go Bie !
Tengah mereka itu berdua berdiam, tiba-tiba mereka
mendengar geraman harimau, disusul dengan siulan yang
panjang.
"Suhu datang !" sru si pria. "Suhu" ialah guru - bapak guru
mereka.
Si wanita berpikir keras.
"Suko, mari !" panggilnya. "Suko" ialah "kakak
seperguruan", mirip dengan Toa-suheng, kakak seperguruan
yang paling tua.
Pria itu, yang kebetulan memisahkan diri dua-tiga tombak,
bertindak menghampiri. Setelah dia datang dekat, si nona


membetot baju orang, untuk terus membisikinya. Habis itu,
keduanya memisahkan diri.
Nona itu mempunyai akal yang busuk sekali. Kewalahan
mencari Ya Bie tanpa hasil, sedangkan ia masih penasaran
dan percaya orang masih bersembunyi di dekat-dekat situ, dia
memikir menggunakan api, guna membakar hutan rumput itu.
Demikian, habis membisiki kawannya, mereka lantas melepas
api. Hingga dilain saat, rumput itu terus menyala dan apinya
mulai berkobar. Kebetulan bagi mereka, angin gunung pun
tengah meniup keras.
Orang utan paling takut pada api, apa pula ketika api mulai
menghampiri padanya. Dari jauh-jauh, hawa api sudah hangat
lalu panas, sedang asapnya mengepul berhembus-hembus.
Ya Bie pun mulai merasa panasnya api itu. Tak dapat
mereka bersembunyi lebih lama pula, apa pula So Hun Cian Li
sudah mulai berPekik-Pekik. Tidak ayal lagi, berbareng
punahnya ilmu sihir mereka, si nona menarik lengannya si
orang utan buat diajak berlompat ke tempat yang belum
dimakan api.
Si wanita, yang selalu mementang mata, melihat
berlompatnya dua sosok tubuh. Dia girang sekali. Itu berarti
akalnya sudah memberi hasil. Lantas dialompat memapaki
bahkan dia terus menyerang !
"Perempuan berkepala pria, apakah kau masih memikir
buat lolos lagi ?" dia menegur bengis. Agaknya dia puas sekali.
Serangannya pun hebat, sebab dia menggunakan dua-dua
tangannya sambil terus diulangi setelah yang pertama gagal,
begitupun yang kedua !


Ya Bie berlompat sambil berkelit, ia rada lambat, walaupun
tubuhnya tak kena terhajar tetapi mukanya terasampok
anginnya hingga ia merasai kulit mukanya pedas. Hal itu
membuatnya gusar. Belum lagi ia melihat tegas siapa si
penyerang, ia sudah lantas meraba pinggangnya meloloskan
sabuk ular hijaunya.
Si wanita penasaran, dia maju terus, dia menyerang pula,
atau dia kaget waktu dia melihat senjatanya lawan bersinar
mengkilat dan berkutik-kutik. Lekas-lekas dia menahan diri
seraya terus berkelit. Dia lompat mundur tiga tindak, lantas
dia mengawasi.
So Hun Cian Li masih tetap mengenakan baju dan
celananya, pakaiannya seorang tua, hanya sekarang ini, ikat
kepalanya sudah lolos, hingga terlihat tegas muka
binatangnya. Ia telah dihadang si pria yang berkepala besar
seperti kepala macan tutul itu dan pria itu menyerang keras
sebab dia tak memandang mata pada seekor binatang.
Si orang utan tidak mau memberi hati. Dia tidak menangkis
atau berkelit, bahkan dia menyambuti tinju penyerang dengan
satu sambaran, guna menangkap tangan orang, sedang
tangan yang sebelah lagi, menjambak dada lawan itu !
Sebenarnya pria itu berkepandaian tidak rendah, kalau toh
dia kena terjambret itu, itulah disebabkan dia sembrono,
tadinya dia memandang tak mata pada si orang utan atau
mawas. Dia kaget hingga dia mundur terhuyung. Justru itu,
dia pun mesti menoleh ke arah kawannya yang lagi berkelahi
dengan si kacung - Ya Bie, yang menyamar menjadi pria itu.
Dia mendapati adik seperguruannya itu lagi berdiri diam
mengawasi lawannya, hingga dia menjadi heran. Biasanya sumoay
yang jumawa itu tak mudah memberi ampun kepada
lawan, maka aneh akan menyaksikan ia tak bertindak terus.....


"Mungkinkah ia gagal ?" pikirnya. Karenanya ia lantas
memandang Ya Bie. Ia mendapati nona dalam penyamaran itu
lagi berdiri sambil bersenyum, tangannya memegang seekor
ular hijau yang kecil, yang tubuhnya bergerak melingkarlingkar
dan tubuhnya itu berkilauan. Ular itu mempunyai mata
yang tajam dan lidah merah seperti darah dan lidahnya lagi
diulur memain !
Semua kejadian barusan terjadi dalam sekejap. Ialah habis
si wanita menyulut rumput, dan Ya Bie berdua lompat keluar
dan mereka segera diserang. Menyusul itu, api berkobar-kobar
dan dengan cepat merembet kesana kemari, hingga
cahayanya menjadi terang, hingga berempat mereka terlihat
nyata.
Selagi api mulai mendekati mereka itu, terlihat diantara
rumput suatu sinar hijau berkilau, menyusul itu tak sedikit
bayangan hitam yang bergerak-gerak mengikuti angin, angin
mana pun menyiarkan bau baCin.
Si wanita dapat menguasai dirinya. Dia menghadapi Ya Bie
dan kata dingin : "Mana dia dua kantung kami yang kau bawa
lari tadi ? Dimana kau sembunyikannya ? Jika kau masih
menyayangi jiwa, lekas kau keluarkan dan bayar pulang
kepada kami !"
"Lekas bicara !" si pria nimbrung, tak kurang galaknya.
"Dimana barang kami itu ?"
Parasnya Ya Bie menunjuki dia likat. Dia pun merasa,
merampas milik orang bukanlah perbuatan benar. Tapi ia tak
puas yang orang berlaku kasar sekali. Lalu ia pun ingat
dimana barang ditinggalkannya.


"Itu di sana !" sahutnya sambil ia menunjuk.
Si pria dan wanita menoleh ke arah ditunjuk itu. Mereka
melihat sinar hijau samar-samar serta sesuatu yang berbayang
hitam bergerak-gerak.
"Celaka !" mendadak si wanita menjerit tajam.
"Celaka !" si pria pun menjerit sama. Bahkan dia ini terus
menghela nafas.
Keduanya melongo mengawasi sinar hijau samar-samar itu
serta bayangan hitam yang seperti berlompatan dan dari situ
pun bertiup bau yang busuk, yang dapat membuat orang mual
hendak tumpah-tumpah.
Ya Bie heran. Tak tahu ia barang apa itu. Ia hanya menerka
bahwa kedua orang itu pastilah orang-orang kaum sesat.
Justru itu si pria berpaling, untuk terus membentak :
"Budak bau, kau merusakkan dua kantung kami ! Bagaimana
kami harus bertanggung jawab terhadap guru kami ?"
Ya Bie tertawa, mulutnya dicibirkan.
"Kau aneh !" sahutnya. "Kamu sendiri yang melepas api
dan membakar barangmu itu ! Kenapa kamu menyalahkan
aku ?"
Si wanita sebaliknya, gusar sekali. Matanya mendelik.
"Awas kau !" teriaknya. "Kalau tetap kau bicara seenaknya
saja, nanti nonamu membunuhmu !" Terus dia melirik kepada
si pria, guna mengasi isyarat, setelah mana keduanya


bergerak, mengambil sikap mengepung si nona. Karena
mereka cuma berdua, mereka berdiri di kiri dan kanan orang.
Tiba-tiba terasa deburan angin keras. Belum lagi kedua
orang itu menyerang si nona, atau seekor harimau loreng dan
besar sekali sudah tiba didekat mereka, sejarak tiga tombak.
Dari atas punggung binatang liar itu lantas lompat turun si
orang tua dan dia terus bertindak ke arah api.
"Suhu !" si wanita dan pria berseru dengan berbareng.
Orang tua itu mengawasi api, hidungnya dipakai menciumcium.
Api hampir padam tetapi cahaya hijaunya masih tampak
tipis-tipis. Bayangan hitam tadi sudah lenyap. Api pun, karena
tiupan angin, menjurus ke arah lain.
Akhirnya orang tua itu menoleh kepada Ya Bie, untuk
mengawasi tajam.
"Hm !" dia bersuara dingin. "Apakah ini si bangsat yang
merampas kantung kita ?" Dia pun menuding.
"Benar dia !" menjawab si murid wanita.
Si orang tua maju dua langkah kepada nona kita. Dia
mengawasi dari atas ke bawah dan sebaliknya. Mendadak
wajahnya kelihatan suaram, matanya pun bercahaya sangat
bengis.
"Siapa kamu ?" mendadak dia bertanya keras dan keren.
Ya Bie mengawasi tampang orang yag sangat bengis itu,
diam-diam ia merasa rada jeri.


"Aku Ya Bie dan ini So Hun Cian Li." ia menjawab, suaranya
sedikit bergetar.
"Siapakah guru kamu ?" si orang tua tanya pula, sama
bengisnya. "Bicaralah sejujurnya !"
Ya Bie mempunyai sifat aneh. Ialah, ia paling senang kalau
orang menanyakan perihal gurunya. Demikian kali ini,
pertanyaannya si orang tua membuat lenyap rasa jerinya.
Sebaliknya, ia menjadi girang sekali. Hingga ia mendadak
seperti sudah lupa akan urusan itu. Ia menjadi girang sekali
hingga ia lantas tertawa.
"Guruku ialah Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie !" sahutnya
terus terang. "Kip Hiat Hong Mo dari Cianglo ciang ! Apakah
Lojinkee kenal guruku itu ?"
Sambil balik bertanya itu, ia membahasakan orang
Lojinkee, artinya orang tua yang dihormati.
Air mukanya si orang tua berubah selekasnya dia
mendengar nama Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie, hingga ia
menatap tajam, menyusul mana, wajahnya tak lagi sesuaram
dan sebengis tadi. Dia lantas berwajah ramah tamah. Perlahan
sekali terdengar suaranya, bagaikan orang mendumel.....
Orang tua ini bukan lain daripada Gwa To Sin Mo, jago dari
Houw Tauw Gay, jurang kepala harimau, dari gunung Tiam
Cong San. Sudah selama tiga puluh tahun dia memahamkan
ilmu sesat kaum kiri, yaitu Co To Pang-bun, hingga di dalam
ilmu sesat atau kepandaiannya itu, dia merupakan suatu
golongan tersendiri. Dia pandai menangkap segala macam
binatang berkaki dua atau berkaki empat, teristimewa dalam
hal menangkap ular. Pria dan wanita itu menjadi murid-murid
kesayangannya. Atas anjurannya Im Ciu It Mo, dia hendak


membuat jala hijau "Hoan Hiat Thian Lo - Jala Mencairkan
Darah". Maksud utamanya dibuat senjata rahasia itu ialah
guna membasmi semua jago pelbagai partai persilatan yang
tersohor.
Buat banyak tahun, Sin Mo sudah menangkap dan
membinasakan banyak macam ular beracun yang dicampur
menjadi satu dengan lain-lain macam benda beracun, hingga
merupakan semacam pupur, yang ia taruh didalam dua
kantung besar itu. Racun itu mau diserahkan kepada Im Ciu It
Mo di Hek Sek San. Kedua muridnya itu yang diperintah
mengantarkannya dengan diikuti dua orang muridnya Im Ciu
It Mo sendiri. Dia sendiri masih hendak mengurus sesuatu,
maka dia pergi menunggang harimaunya. Secara kebetulan,
mereka berempat bertemu Ya Bie dan barangnya kena
dirampas si nona, sedangkan kedua muridnya Im Ciu It Mo itu
ditotok nona itu, hingga, kalau yang satu kena dibawa oleh It
Hiong, yang lainnya ketolongan oleh Sin Mo sendiri. Setelah
memperoleh keterangan dari muridnya It Mo itu, Sin Mo lantas
menyusul kedua muridnya. Bertemu sama It Hiong, ia
menyangka It Hiong adalah Hong Kun muridnya It Mo. Karena
ini, dia sampai mau menyangka It Mo hendak
memperdayakannya. Sekarang, menghadapi Ya Bie, baru dia
ketahui duduknya kejadian. Lantas dia menjadi serba salah.
Dia mengenal namanya Hong Mo dan jeri terhadapnya. Dia
pun segani ilmu Hoan Kek Bie Cin dari Hong Mo hingga tak
berani dia sembarang turun tangan terhadap Ya Bie. Demikian
dia membawa sikap sabar.......
Melihat sisa sinar hijau serta baunya barang yang terbakar,
Gwa To Sin Mo tahu yang dua karung racunnya sudah
terbakar habis. Dia pula melihat dua muridnya berdiam saja
terhadap Ya Bie. Mengertilah dia yang dua orang murid itu
pasti tak dapat berbuat sesuatu terhadap muridnya Hong Mo
itu. Dia sebenarnya sangat nyeri dihati dan gusar sekali.


Bubuk racunnya, yang dikumpulkan dan dibuat begitu lama
dengan susah payah, sekarang ludas didalam sekejap !
Menuruti hatinya, hendak dia membinasakan Ya Bie, tetapi dia
segani Kip Hiat Hong Mo.......
Selama keadaan sunyi diantara mereka kedua belah pihak,
mendadak kesitu datang seseorang lain, yang segera ternyata
Tio It Hiong adanya. Inilah sebab anak muda itu lagi menyusul
dan mencari Ya Bie berdua.
"Kakak Hiong ! Kakak Hiong !" Ya Bie berseru-seru dengan
kegirangan selekasnya ia melihat pemuda itu, bahkan
setibanya si anak muda, ia lompat menubruk hingga It Hiong
mesti merangkulnya supaya orang tidak sampai terjatuh. Nona
itu berkelakuan mirip bocah cilik, saking polosnya, dia tak
kenal malu atau likat.
It Hiong mengusap-usap rambut orang, ia memperlakukan
dengan lemah lembut seperti juga nona itu adalah adiknya
sendiri.
"Ada apakah ?" tanyanya kemudian, karena ia melihat sikap
aneh dari Gwa To Sin Mo dan pria dan wanita muridnya si
Bajingan dari Houw Tauw Gay. Perlahan-lahan, ia menolak
tubuh si nona.
"Oh, kiranya kalian dari satu rombongan !" kemudian kata
Sin Mo, sesudah dia mengawasi orang sekian lama.
It Hiong tak puas menyaksikan lagak orang takabur.
"Kiranya kau juga rombongan Im Ciu It Mo ?" tanyanya
tawar.
"Apa katamu ?" Sin Mo tegaskan.


Ya Bie yang bersender pada bahunya si anak muda,
seenaknya saja, menalangi si anak muda itu menjawab.
Katanya : "Kakak Hiong ku ini menanya kau, kau satu
gerombolan dengan Im Ciu It Mo atau tidak ?"
Gwa To Sin Mo gusar sekali, kedua matanya sampai
bersinar mencorong.
"Kalau benar bagaimana ?" tanyanya, bengis. "Kalau tidak
benar, bagaimana ?"
It Hiong tertawa dan mendahului si nona menjawab.
"Aku dengan kau, lotiang, tidak bermusuhan." katanya
sabar. "Adalah dengan murid-muridmu ini kami terlibat selama
satu malam...."
Sin Mo membentak sambil menuding Ya Bie : "Kalau
bukannya budak itu merampas barangku, aku si tua, tak akan
aku memandang kau walaupun satu kali lirik saja !"
Si wanita dengan ikat kepala hijau campur bicara.
"Dia bukannya laki-laki !" dia memberitahukan gurunya.
"Dia seorang budak perempuan ! Suhu salah mata !" Dan dia
mencibir pada Ya Bie, agaknya dia memandang sangat
rendah. Dia menambahkan : "Wanita menyamar menjadi pria,
mana dia dapat menjadi orang baik-baik !"
Mendengar kata-kata orang, Ya Bie baru sadar bahwa ia
sedang menyamar. Ia tunduk melihat pakaiannya dan
mukanya menjadi merah. Hanya sejenak, mendadak ia
mengangkat kepalanya dan membentak : "Jika kembali kau


enteng mulut dan mengoceh tidak karuan, awas, di depan
gurumu ini nanti aku mengajar adat padamu !"
"Tutup bacotmu !" Sin Mo mewakili muridnya.
Hebat bentakan itu, telinga ketulian bagaikan mendengar
guntur. Dua-dua Ya Bie dan si wanita berikat kepala hijau
berdiam.
Sejenak itu, mereka semua membungkam.
Sin Mo mengawasi ke satu arah, entah apa yang dia lagi
pikirkan.
Diam-diam It Hiong berbisik pada Ya Bie : "Baik kau
kembalikan barang orang itu. Kalau kita berkata terus dengan
mereka, urusan kita sendiri bisa gagal karenanya....."
Mulutnya si nona dimonyongkan.
"Dia sendiri yang telah menyalakan api membakarnya...."
sahutnya.
Mendengar demikian, It Hiong lantas berpaling kepada si
orang tua.
"Lotiang," sapanya, "apabila sudah tidak ada pesan lain,
aku memohon diri !" Dan ia menarik tangannya Ya Bie, buat
diajak bertindak pergi.
"Tahan dulu !" seru Gwa To Sin Mo, keren.
"Ada apa, lotiang ?" tanya It Hiong. Dia menghentikan
langkahnya dan menoleh.


"Silakan bicara !"
Si kepala macan dan wanita berikat kepala hijau bertindak
maju, guna menghadang.
Dengan satu gerakan tubuh pesat, Sin Mo maju mendekati.
Lantas dia menuding si muda mudi dan kata keras : "Kalian
telah merusak bahan obatku ! Tak mudah buat kalian berlalu
dari sini dengan masih hidup !"
"Nonamu tidak percaya kau !" bentak Ya Bie, menyela.
"Apakah kau sangka kau dapat menempur kakak Hiong ku ini
? Hm !"
Sin Mo melirik nona jumawa itu.
"Kalian harus mengerti, lohu adalah orang yang mengerti
segala apa," kata dia. "Lohu dapat membedakan mana yang
benar mana yang salah !" Dia batuk-batuk. Terang dia
menahan hawa amarahnya. Kata dia pula : "Bukankah benar
barangku itu kau yang bawa lari dan yang membakar ialah
muridku ?"
Mendengar orang bicara dari hal yang pantas, reda
kejumawaannya Ya Bie.
"Kau benar, lotiang !" sahutnya.
"Walaupun demikian," kata pula si orang tua. "Siapa
merampas barangku maka kedua tangannya harus
dikutungkan !" Tiba-tiba saja dia berubah sikap pula dan
suaranya pun tegas sekali.


Ya Bie panas hati, hendak dia menegur atau It Hiong
mengutiknya. Maka ia terus berdiam, melainkan sinar matanya
serta wajahnya yang berubah menjadi suaram.
Sin Mo tertawa beberapa kali. Lalu kembali dia menjadi
sabar, suaranya menjadi ramah pula ketiak ia berkata : "Suka
aku memandang mukanya sahabat Touw si Kip Hiat Hong Mo
! Kali ini suka aku melanggar aturanku sendiri ! Aku memberi
ampun kepada sepasang lenganmu !"
It Hiong mengerti bahwa orang tengah menindak turun dari
tangga, ia lantas kata dengan tawar : "Lotiang, selesai
sudahkah kau bicara ? Aku yang muda hendak melanjuti
perjalanan kami!"
"Eh, nanti dulu !" kata Sin Mo, cepat. "Masih ada lagi !"
"Silahkan bicara !" kata It Hiong, terang dan jelas, bahkan
agak lantang. Ia mulai sebal akan lagak orang.
Sin Mo seperti tak menghiraukan itu. Dia justru tertawa.
"Beginilah tabiat anak muda, keras dan bandel !" katanya.
"Sama denganku semasa aku muda ! Sungguh itulah sifat
yang harus disayangi !"
"Lotiang !" kata It Hiong tak sabaran, "kalau ada bicara,
bicaralah. Kami perlu sekali hendak pergi ke Kian Gee Kiap
Kok dimana kami mempunyai urusan penting !"
"Baik, baik !" sahut si orang tua. "Lohu justru mau pergi ke
Kian Gee Kiap Kok itu ! Nah, mari kita pergi bersama !"
It Hiong heran hingga ia melengak.


"Kenapa lotiang mau pergi bersama kami ?" tanyanya.
Gwa To Sin Mo tertawa.
"Bersama-sama kau, lohu hendak menemui Im Ciu It Mo !"
sahutnya terus terang. "Di depan dia itu hendak aku jelaskan
dan buktikan bahwa kedua kantung obat itu telah dirusak oleh
kalian ! Dengan begitu lohu hendak membuat bahwa lohu
tidak merusak kepercayaanku disebabkan salah janji !"
It Hiong takut orang terlalu licik dan ia nanti kena
diperdayakan. Tak sudi ia nanti kena perangkap. Maka ia
memberi hormat dan kata : "Aku yang muda masih hendak
mencari seorang kawanku, dari itu silakan lotiang berjalan
lebih dahulu ! Kita bertemu saja nanti di Kian Gee Kiap Kok !
Bagaimana ?"
Alisnya si orang tua bangkit berdiri. Dia tertawa bergelak.
"Lohu bukan orang dari golongan ternama kaum rimba
persilatan yang lurus," kata dia, "walaupun demikian, dalam
dunia Kang Ouw, lohu mempunyai juga namaku sebagai lakilaki
! Tak nanti lohu menurunkan tangan hina dina terhadap
kalian kaum muda ! Apakah yang kau khawatirkan ?"
It Hiong jengah sebab rahasia hatinya dibeber orang tua
itu. Tapi ia kata, "Seorang bujang tuaku telah pergi entah
kemana, dari itu tidak dapat aku meninggalkan dia pergi tanpa
memperhatikannya......."
Masih si tua mengotot.
"Aku si tua bermaksud baik !" demikian katanya. "Aku
khawatir kamu tidak tahu dimana letaknya Kian Gee Kiap Kok !
Karenanya lohu suka menemani kalian jalan bersama-sama !


Janganlah kita menyia-nyiakan waktu. Tapi baiklah, akan lohu
berdiam disini menantikanmu, pergi kau lekas mencari
orangmu itu !"
Hatinya It Hiong tercekat juga, memang tak tahu dia
dimana letaknya lembah Gigi Anjing itu. Di lain pihak, dia
memikirkan So Hun Cian Li. Barusan itu si kera telah pergi
mengeleos entah kemana....
"Kakak Hiong," Ya Bie berbisik, "kau jeri pergi bersamanya
?"
"Bukan begitu," sahut si anak muda. "Mana So Hun Cian Li
?"
Ya Bie melihat kelilingnya. Ia tidak melihat binatang
piaraannya itu. Lantas dia bersiul nyaring beberapa kali.
Tiba-tiba muncullah sesosok tubuh yang mulanya tampak
sebagai sebuah batu besar. Itulah si orang utan.
Gwa To Sin Mo heran. Dia melihat seorang tua, tetapi
setelah diawasi, itulah seekor orang utan yang mengenakan
pakaian orang tua. Diam-diam hatinya bercekat. Heran seekor
orang utan dapat merubah diri dengan ilmu Hoan Kak Bie Cin.
Selekasnya menengok si orang utan, It Hiong mengajak,
"Lotiang, mari kita berangkat !"
Sin Mo mengangguk.
Maka berangkatlah mereka dalam rupa satu rombongan.
Cahayanya matahari pagi masih lemah.


Lembah Kian Gee Kiap Kok itu berada di sebelah barat Hek
Sek San, mukanya terapit dengan dua batu karang besar
bagaikan dinding, renggangnya kecil sekali hingga cuma muat
satu orang berlalu lintas disitu. Jalanan itu, sudah sempit, juga
berliku-liku dan tidak rata, sebentar mendaki, sebentar mudun
ke bawah. Jalannya sendiri tak rata dengan batu koral sebesar
telur ayam. Bisa-bisa orang kesandung atau terpeleset. Jalan
sulit itu cuma sepuluh tombak lebih, habis itu, tampak jalanan
lebar setombak lebih dan tertumbuhkan banyak rumput.
Dinding kiri dan kanan tinggi dan lamping, licin, tanpa
pepohonan. Rumput pun tidak.
Kapan Gwa To Sin Mo, beramai tiba di mulut gua, hari
sudah mulai tengah hari. Diantara rombongan Sin Mo, cuma si
pria dengan kepala macan tutul itu yang pernah datang ke
guanya It Mo dan mengenalinya.
"Sudah sampai !" kata si kepala macan tutul itu, yang
berjalan di muka. Terus dia menghentikan tindakannya. Dia
mengangkat kepalanya, dongak melihat ke atas.
It Hiong semua dongak tetapi mereka tidak melihat mulut
gua. Semuanya heran.
"Bo Pa, mana dia mulutnya gua ?" tanya Sin Mo, sang guru.
Bu Pa, si kepala macan tutul, menunjuk ke atas.
"Nanti, tecu memanggil !" katanya.
Bu Pa ini sebenarnya bergelar Tok Jiauw Bu Pa, si Macan
Tutul Berkabut Berkuku Beracun dan si wanita bernama In Go
gelar SIn Gan Go Bie, si Alis Lentik Bermata Sakti. Merekalah
muridnya Sin Mi.


Lantas Bu Pa mengulur sebelah tangannya, menekan
sebuah ujung batu pada dinding gunung, hingga terdengar
beberapa kali suara nyaring tingtong, menyusul mana
terbukalah sebuah mulut gua yang kecil sekali, dari mana
segera terdengar suara orang : "Siapa ?"
"Bu Pa dari Houw Tauw Gay !" sahut Bu Pa.
"Tunggu sebentar !" kata pula suara di mulut lubang kecil
itu, sedangkan pintunya tertutup pula, hingga kembali tak
tampak bekas-bekasnya.
Tak usah lama orang berdiri menanti.
"Silahkan masuk !" tiba-tiba terdengar suara mengundang.
Kali ini dinding bergerak dan bersuara, terus terbuka
sebuah pintu rahasia, bergeraknya sangat perlahan, besarnya
pintu lima kaki kira-kira, lebar dibawah, ciut diatas. Di sebelah
dalam tampak gelap, cuma terasa angin bertiup.
Pintu itu merupakan sebuah batu besar.
Bu Pa mengajak rombongannya bertindak masuk. Tanpa
bersuara, pintu rahasia itu lantas tertutup pula seperti
sediakala.
Di belakang gua itu terdapat jalan pegunungan semacam
gang atau terowongan, di kiri dan kanannya, diatasnya, juga
terdapat batu, seperti dibawahnya, batu injakannya. Rupanya
itulah terowongan buatan manusia. Di atas tampak cahaya
suaram, yang membuat orang melihat jalanan dengan samarsamar.


Sembari jalan diam-diam It Hiong kata di dalam hati :
"Tanpa bersama Gwa To Sin Mo, tak nanti aku sanggup
mencari sarangnya Im Ciu It Mo ini. Itulah lembah, atau lebih
benar gua, yang sangat istimewa."
Berjalan tak lama, habis sudah terowongan itu dilewati,
maka mereka lantas berada di sebuah tempat terbuka, sebuah
lembah yang mirip mangkuk lebar, luasnya dua sampai tiga
puluh bahu sekitarnya. Di sekitar itu, semuanya dinding bukit
yang lamping, batunya hitam-hitam. Sinar matahari
menembusi uap. Dari suatu bagian dinding terdapat air
mengalir keluar, berupa sebuah sumber atau kali kecil,
merintangi lembah itu, nyeplos di sebuah liang diseberang,
atau hadapannya. Di atas kali kecil itu melintang sebuah
jembatan kayu, yang buatannya indah, hingga indah juga
pemandangan disitu.
Menyeberangi kali itu terdapat semacam taman bunga
serta sebuah rumah batu dengan beberapa wuwungannya.
Tiba di muka rumah batu itu, selagi Bu Pa hendak memanggil
orang, atau mereka lantas mendengar tawa terkekeh yang
keluar dari dalam rumah dan kata-kata ini : "Sahabat Sin Mo,
kau telah datang ! Maaf, maaf, aku gagal menyambut siangsiang
!"
Suara itu berhenti berbareng dengan terpentangnya daun
pintu, maka diambang pintu itu lantas tampak Im Ciu It Mo,
muncul dengan air muka berseri-seri, tangannya memegang
tongkatnya.
"Wanita tua, kau sungkan sekali !" berkata Sin Mo, yang
pun tertawa. Dan ia bertindak memasuki rumah batu itu,
diturut murid-muridnya serta It Hiong dan Ya Bie bertiga.


Rumah batu itu katai tetapi ruang dalamnya lebar sekali.
Rupanya itulah perut gunung yang digali dibuat menjadi ruang
rumah.
Dengan ramah It Mo mengundang para tetamunya
berduduk dan seorang kacung wanita yang kecil segera
datang dengan air teh dengan cangkirnya yang lima hijau dan
sebuah merah.
Habis suguhan teh itu, Im Ciu It Mo tertawa dan kata manis
: "Aku membuat Sin Mo bercapek lelah datang sendiri
membawa baarng, pastilah barang-barang itu bukan
sembarang bahan ! Sahabatku, aku si perempuan tua, lebih
dahulu aku menghaturkan terima kasihku !"
It Mo telah menyuguhkan teh yang dicampuri racun,
maksudnya supaya ia memperoleh bahan obat atau racun
dengan gratis, sekalian ia hendak menguasai dirinya Sin Mo,
seperti dia telah mengekang Hong Kun dan Kiauw In.
Sin Mo, sebaliknya menghela nafas.
"Sayang, bahan obat itu telah hilang ditengah jalan......."
kata dia, lesu.
It Mo heran, hingga air mukanya berubah. Inilah diluar
sangkaan ia. Sendirinya ia tertawa dingin.
"Bagaimana, sahabat Sin," ia lantas tanya. "Adakah ini akal
untuk memperdayakan bocah umur tiga tahun ?"
"Lohu tidak pernah bicara dusta, sahabatku !" kata Sin Mo,
sungguh-sungguh. Dia jengah tetapi dia penasaran sebab dia
tidak dipercaya. "Dengan sebenarnya bahan obat itu hilang
ditangannya ketiga orang itu !"


Dan dia menunjuk It Hiong bertiga Ya Bie dan So Hun Cian
Li.
Im Ciu It Mo mengawasi It Hiong. Dia tertawa lebar.
"Dialah muridku si perempuan tua !" katanya. "Cara
bagaimana dia membuat obatmu hilang ?"
Mendadak Sin Mo menjadi gusar.
"Dia ini muridmu ?" tanyanya gusar.
It Mo mengangguk.
"Buat apa disebutkan pula," sahutnya. "Dia bernama Gak
Hong Kun !"
Gwa To Sin Mo penasaran dan mendongkol.
"Barangku itu dirampas mereka !" katanya keras. "Kalau
mereka benar muridmu, perempuan tua, kau pun harus
memberi keadilan padaku !"
"Memang barang itu dirampas mereka ini !" In Go turut
bicara seraya terus dia menuturkan duduknya kejadian.
Im Ciu It Mo putus asa berbareng murka sekali. Musnahnya
bahan obat itu membuat ia gagal membikin obat racunnya
yang lihai --Hoa Hiat Thian-lo itu. Dia gusar hingga tubuhnya
menggigil. Dengan tongkatnya, dia lantas menuding anak
muda kita.
"Hong Kun, sudah gilakah kau ?" tegurnya, bengis.


It Hiong tahu yang orang telah keliru mengenali padanya.
Dia dikirakan Gak Hong Kun. Dia berdiam saja ditegur keras
itu. Dia cuma mengawasi wanita tua itu. Dengan berdiam saja
itu, dia jadi sama dengan gerak geriknya Hong Kun yang telah
dikasih makan obat Thay-siang Hoan Hun Tan.
It Mo tidak gusar yang "muridnya" itu berdiam saja. Dia
menyangka orang tolol karena pengaruh obatnya. Maka dia
kembali berpaling kepada Sin Mo. Dia menghendaki
mendapatkan obat yang baru. Dia pula tak bergusar pula pada
sahabat atau tamunya itu. Sebaliknya, dia tertawa.
"Beginilah memang kelakuannya muridku, otaknya mirip
orang tak beres," kata dia. "Dia telah membakar bahan obat
itu, biarlah, kali ini suka aku memberi ampun padanya."
Sin Mo tertawa dingin.
"Tetapi, perempuan tua, bagaimana dengan janji kita ?"
tanyanya. "Janji itu berlaku atau tidak?"
It Mo berdiam sebentar, baru dia menjawab.
"Kenapa tak berlaku?" jawabnya, membaliki. "Namun,
sahabat Sin Mo, aku minta kau sukalah membawakan aku pula
obatmu itu."
Gwa To Sin Mo menggeleng kepala.
"Perempuan tua, janganlah kau bicara secara mudah
begini." katanya. "Kalau lohu mesti mengumpul pula bahan
obat itu, sekalipun dalam waktu satu tahun, aku masih belum
tahu akan dapat mengumpulnya lengkap atau tidak....."
It Mo terkejut, parasnya pucat.


"Kalau begitu, mana itu keburu untuk tanggal harinya Bu
Lim Cit Cun ?" katanya, bingung. "Aku hendak membuat Hoa
Hiat Thianlo justru guna menjagoi di dalam rapat persilatan
besar itu !"
"Itulah karena terpaksa," sahut Sin Mo wajar. "Aku tak
dapat berbuat apa-apa !"
Hatinya It Mo bercekat, terus wajahnya menjadi dingin.
"Sebenarnya itu ada hubungannya sangat besar denganmu
!" katanya kemudian. "Kau tahu air teh harum barusan ?"
Air teh yang disuguhkan itu, yang diminum Gwa To Sin Mo,
telah dicampurkan racun.
Sin Mo dapat menerka dari lagu suara orang bahwa air teh
itu mesti telah diracunkan, bahwa ia dan kedua muridnya
sudah kena minum racun itu, tetapi dia sendiri adalah ahli
racun, dia tak menghiraukan itu. Maka itu, mendengar suara
orang, yang seperti mengancam secara diam-diam itu, dia
tenang-tenang saja. Bahkan dia tertawa dan kata : "Kiranya,
perempuan tua, kau telah main gila dengan air tehmu itu !
Kiranya perut lohu sudah keracunan ! Ha ha ha ha !"
Im Ciu It Mo berlaku tawar. Kata dia dingin : "Racun itu
ada banyak macamnya dan di depan kau, sahabat Sin Mo,
kalau aku menggunakan racun yang umum, aku bagaikan jual
lagak di depan ahli ! Tapi racun di dalam air tehku ini racun
lain macam ! Kau tahu, itulah racun serangga Toh-hoa-ciang
asal dari tanah Biauw-kiang !"
Jago Hek Sek San berhenti sebentar, selagi tamunya belum
mengatakan sesuatu, dengan tampang bangga, dia


menambahkan : "Racun Toh-hoa-ciang sangat jahat tetapi
masih ada obat untuk memunahkannya, cuma itu harus
dipunahkan oleh orang yang membuat racun itu sendiri, tidak
oleh orang lain. Sahabat Sin Mo, aku tahu kaulah seorang ahli
racun, karenanya tak usah aku si perempuan tua menjelaskan
lagi !"
Kali ini Sin Mo kaget berbareng gusar sekali. Dia berdiri
menjublak bagaikan patung. Sebab dia menyesal yang dia
kurang berhati-hati hingga dia kalah licin dari sahabatnya yang
licik ini. Sedangkan kedua murid, Bu Pa dan In Go, mendengar
suaranya It Mo, mereka menjadi takut tak terhingga, tubuh
mereka menggigil !
Bukan main puasnya It Mo akan mengawasi ketiga orang
itu, guru dan murid-muridnya. Ia tertawa perlahan, tertawa
dingin atau mengejek. Kemudian ia berkata pula : "Sin Mo,
kita adalah orang-orang dari satu kalangan, sahabat-sahabat
baik ! Percaya aku si perempuan tua, tidak nanti aku
mencelakai kau, asal saja kau suka mendengar kataku !
Sekarang aku suka menjanjikan kau setiap kali kau melakukan
sesuatu padaku, setiap kali aku memberikan kau sedikit obat
pemunah racunku itu, nanti, sesudah kau menyelesaikan tiga
rupa Pekerjaan maka kau akan mendapatkan obat yang
terakhir yang membuatmu bebas dari racun dan menjadi
sehat walafiat seperti sedia kala !"
Sin Mo seorang berpengalaman, apa yang dikatakan It Mo
itu, tak sepatah kata yang dia jawab, sebaliknya dengan diamdiam,
dia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mau
mencoba mengusir racun yang maha dahsyat itu. Asal dia
berhasil, dia akan bebas dan tak nanti kena orang kekang dan
pengaruhkan.


Begitulah mulanya jago tua ini merasai seluruh jalan
darahnya berjalan lurus, adalah apa yang dinamakan otot "Kie
Keng Pat Meh," yang rada tak wajar, agaknya lamban. Tapi ini
saja sudah cukup menginsafkan padanya bahwa racun musuh
nyata sudah bekerja dan tak lagi berdiam disuatu anggota
tubuhnya itu. Ia jadi berpikir keras. Tiba-tiba ia tertawa lebar
dan kata : "Lohu telah berusia lanjut, karenanya buat apa aku
takuti segala racun serangga ? Lohu tidak membenci atau
bersakit hati terhadapmu, aku tidak penasaran, hanya itu aku
benci yang kau telah menurunkan tangan jahat kepada ini
anak-anak muda !'
Im Ciu It Mo tertawa.
"Sahabat Sin Mo !" katanya gembira. "Nyata kau terlalu
memandang ringan pada aku si perempuan tua ! Silahkan kau
tengok warnanya teh itu, dari situ kau akan ketahui sendiri !"
Memang, diantara enam cawan teh itu, lima berwarna hijau
dan yang satunya merah. Di situ ada tiga cawan, yang air
tehnya belum terminum. Itu artinya, It Hiong bertiga tidak
turut minum bersama, hingga mereka tak usah keracunan !
Mendengar keterangannya Im Ciu It Mo, In Go dan Bu Pa
beranggapan yang telah minum racun adalah Gwa To Sin Mo,
guru mereka sendiri, sebab itu adalah teh yang airnya merah.
Mereka kaget tetapi taklah kaget sebagai semula.
In Go licik, ia hendak mencari kepastian. Ia tertawa dan
kata pada Im Ciu It Mo : "Terima kasih locianpwe Im Ciu,
yang kau berkenan menaruh belas kasihan atas diriku......."
Im Ciu memperlihatkan tampang si tua agung-agungan. Dia
mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya dan kata : "Kalian
bangsa orang muda dan dari tingkat rendah, mana aku si


orang memandang mata pada kalian ! Kalau aku berbuat
busuk terhadap kalian, bukankah orang bakal mentertawakan
aku ?"
Selagi orang berkata jumawa itu, In Go pun turut tertawa,
hanya sembari tertawa diam-diam ia menggunakan kedua
tangannya untuk mengulapkannya perlahan, tetapi berbareng
dengan itu, segumpal jarumnya yang halus sekali, telah
terluncurkan ke mukanya si wanita tua, sembari berbuat
begitu, ia membarengi berkata : "Segala kepandaian tidak
berarti, pastilah locianpwe tidak menaruh di mata locianpwe !"
Hebat bokongan itu, Im Ciu It Mo bermata jeli dan cepat,
tetapi hampir dia kena terhajar. Satu kibasan tangan
kanannya membuat jarum beracun itu terkebut runtuh jatuh
ke tanah !
Akan tetapi In Go tidak berhenti dengan satu kali
menyerang saja, dia menyerang saling susul, segumpal demi
segumpal. Bahkan bukan si nona, malah Bu Pa turut turun
tangan bersama, hingga mereka menyerang bergantian
beruntun-runtun tak hentinya.
Gwa To Sin Mo menyaksikan penyerangan kedua muridnya
itu, yang membuat Im Ciu It Mo menjadi repot, ia puas
berbareng mendapat pikiran. Bukankah ia telah kena minum
racun yang sangat jahat itu ? Tidakkah hal itu membuatnya
sangat bersakit hati ? Maka juga, justru murid-muridnya
menyerang, dia turut menyerang juga ! Secara tiba-tiba dia
menggunakan pukulan kedua tangannya, Siang-wie-ciang !
Hebat serangannya Sin Mo ini, angin serangannya saja
telah membuat jarum-jarum yang runtuh berbalik menyerang
pula pada sasarannya tadi !


Dalam repotnya Im Ciu It Mo menggunakan dua-dua
tongkat dan tangan kosongnya menangkis setiap serangan
ketiga orang lawan itu, dan dia membuat jarum-jarum mundar
mandir diantara pelbagai serangan mereka kedua belah pihak.
Dia pun memiliki serangan yang dahsyat.
Dalam tenaga dalam, Im Ciu It Mo menang jauh dari pada
In Go dan Bu Pa, kalau toh dia menjadi repot, ialah mulanya
dia memandang tak mata pada mereka berdua, siapa
sebaliknya menyerang dengan semangat penuh, sebab
mereka hendak membantu guru mereka. Setiap serangan,
jarum yang menyambar terdiri dari lima sampai enam batang,
begitu pun jarumnya Bu Pa.
Biasanya jarum itu mengarah kerongkongan orang, siapa
terkena, dia jangan harap selamat lagi. Tapi Im Ciu It Mo
sangat lihai, dia menggunakan Tauw-lo thung, tongkatnya
yang lihai itu, secara lihai sekali. Di samping itu, ada
sampokan-sampokannya dengan tangan kirinya...........
Sampai di situ, Gwa To Sin Mo tidak menghiraukan pula
derajatnya. Dia turun tangan, membantui kedua muridnya
yang lihai itu. Dia mendesak hebat, saban-saban dia
menyampok balik semua jarum beracun itu yang dikembalikan
It Mo ! Dia bermaksud, kalau It Mo terkena jarum, hendak dia
memaksa dia itu membuat perjanjian akan saling menukar
kay-yoh, yaitu obat pemunah racun masing-masing.
Demikian berempat mereka bertempur, satu melawan tiga,
atau tiga mengepung satu. Dan dua-dua pihak, karena
digunakannya jarum beracun, sama-sama memperhatikan
jarum itu saja.
Pertempuran itu memberikan satu kesempatan baik bagi It
Hiong. Ia datang buat mencari Kiauw In. Sejak mulai


memasuki gua, ia selalu memasang mata, mengharap dapat
melihat bakal istrinya itu. Hanya, seperti telah diketahui,
selama itu ia selalu berpura-pura tolol, hingga ia mirip dengan
Gak Hong Kun, si It Hiong palsu yang dipengaruhkan obatnya
It Mo. Selama itu juga, diam-diam ia memperhatikan seluruh
ruang dan formasinya. Ia menerka-nerka dimana Kiauw In
dikurung.
Mendengar It Mo halnya air teh dicampuri racun, di dalam
hati, anak muda kita ini terkejut. Syukur ia dan Ya Bie berdua
tidak minum air teh itu. Ia dapat bersabar sampai tiba saatnya
pertempuran disebabkan In Go habis sabar. Di saat In Go
menyerang dengan jarum dan It Mo menangkis, mengertilah
dia yang ketika baiknya pun telah tiba.
Begitulah selagi orang bertarung seru, diam-diam It Hiong
menarik Ya Bie, buat menyelinap ke pojok dimana terdapat
sebuah pintu batu. So Hun Cian Li cerdik, dia segera bergerak
mengikuti. Dengan demikian, bertiga mereka memasuki pintu
pojok itu dan menghilang di baliknya.
Empat orang yang lagi mengadu jiwa itu tidak sempat
melihat mereka bertiga.
Pertempuran berjalan cepat tetapi saking serunya, sang
waktu berlalu dengan tak kurang cepatnya. Im Ciu It Mo
menjadi repot sekali. Dia nampak seperti kehabisan nafas.
Memangnya lukanya disebabkan melawan Pie Sie Siansu di
Gwan Sek Sie belum sembuh seluruhnya. Mungkin dia tak
akan bertahan lebih lama lagi.
Di lain pihak, Gwa To Sin Mo ingin pertempuran disudahi
dengan lekas. Dia seperti lupa yang dia telah kena minum
racun, dia berkelahi dengan keras sekali. Dia mendesak terusterusan.
Karenanya, diluar tahunya, dia menyebabkan


racunnya It Mo bekerja lebih cepat dari biasanya. Dengan
mengerahkan tenaga dalam terlalu keras, dia bagaikan
menyebabkan tubuhnya lebih cepat lelah dan lemah. Demikian
sudah terjadi, selagi hatinya ingin lekas-lekas merebut
kemenangan, selagi dia mendesak sekeras-kerasnya,
tenaganya berkurang sendirinya, hingga sendirinya pula
desakannya menjadi kendor.......
It Mo sendiri, kedudukannya tak menjadi lebih baik
walaupun Sin Mo sudah letih itu. Inilah karena ia sudah
menjadi lelah terlebih dahulu. Nafasnya menjadi tersengalsengal,
gerak-gerik tongkatnya menjadi lamban. Maka satu
kali telah terjadi, satu kali dia lambat menangkis, sebatang
jarum mampir dan nancap dibahunya. Mendadak saja dia
merasai nyeri yang sangat. Dengan begitu, ia jadi mendapat
luka diluar dan didalam. Ia insaf yang ia menghadapi bencana,
lantas ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya, guna
mencegah racun jarum menjalar ke lain bagian dari tubuhnya.
Berbareng dengan itu, segera ia memperdengarkan suaranya
yang nyaring dan tajam, guna memanggil murid-muridnya. Ia
merasa bahwa ia perlu memperoleh bantuan. Sedangkan
tadinya ia merasa sendiri saja ia akan sanggup bertahan.
Selekasnya It Mo berseru itu, selekasnya juga buyarlah
tenaga dalamnya, maka itu racun pun bekerja, menyerang ke
lain-lain bagian tubuhnya itu. Sekarang tak dapat ia bertahan
lama lagi, di dalam waktu satu detik, tubuhnya bergemetar
dan menggigil, segera robohlah ia !
In Go tertawa melihat orang roboh itu.
"Nah, lihatlah sekarang !" katanya mengejek. "Kau masih
menaruh mata pada kami atau tidak?"


Justru itu, racun di dalam tubuhnya Sin Mo pun bekerja
keras sekali, dia mulai tak dapat bertahan. Syukur untuk
dianya, ialah otaknya masih tetap jernih hingga dapat dia
berpikir. Selekasnya It Mo roboh, dia khawatir orang lantas
mati. Lantas dia mengeluarkan dua butir obat pulungnya.
"In Go, lekas jejalkan sebutir pil merah ke dalam mulutnya
!" Ia menitahkan muridnya yang wanita. "Ini obatnya !" Ketika
ia menyerahkan obat itu, tangannya bergemetar.
In Go menyambut obat itu tetapi ia sembari menanya :
"Suhu, buat apa membantu dia ? Nenek-nenek ini sangat jahat
dan tidak kenal malu !"
"Supaya dia jangan segera mati," sahutnya nafasnya
mendesak. "Supaya dia masih hidup dan suka mengeluarkan
obat pemunah racunnya, guna mengobati aku. Racunnya dia
itu sudah... be... bekerja....di.... di.... dalam..... tubuhku...."
Baru habis mengucap itu, Sin Mo roboh tak tertahan pula,
malah terus dia mengeluh meringis-ringis sebab dia merasa
sangat nyeri di dalam tubuhnya......
In Go tahu khasiat obat gurunya, yang sebenarnya terdiri
dari tiga macam dan warnanya merah, hitam dan putih. Obat
merah guna bertahan sedikit waktu, agar racun tidak menjalar
ke nadi. Racun menyerang nadi berarti jiwa si kurban tak
tertolong pula. Obat hitam memperlambat menjalarnya racun.
Dan obat putih buat menyembuhkan seluruhnya. Karena ini,
segera ia menjejalkan obat merah ke mulutnya It Mo
sebagaimana perintah gurunya, ia bantu obat itu dengan
secawan air teh.
Bu Pa sudah lantas membantu gurunya, yang ia pondong
dan dudukan di atas kursi. Hanya, sebab guru itu lemah dan


terus merintih, ia bingung sekali. Ia tidak tahu caranya guna
membantu.
In Go tidak memperhatikan gurunya, ia hanya menjagai It
Mo.
Dengan demikian, ruang gua yang luas itu menjadi sunyi
kecuali dengan rintihannya Sin Mo, yang makin lama menjadi
makin lemah, mulutnya bagaikan sukar bernafas.
Lewat sesaat, tiba-tiba saja tampak dua sosok tubuh
berlompat muncul, cepat bagaikan bayangan, keduanya
lompat langsung ke arah Im Ciu It Mo.
"Sumoay, awas !" teriak Bu Pa yang awas matanya.
In Go segera menoleh, hingga ia melihat tibanya dua orang
perempuan. Tanpa mengatakan sesuatu, ia menyerang
kepada mereka itu, guna mencegah mereka datang mendekati
It Mo.
"Duk !" demikian satu suara nyaring, dan nona yang baru
datang itu, yang maju paling muka, kena terhajar. Sebab dia
tidak sempat menangkis atau berkelit. Di lain pihak, nona yang
lainnya sudah lantas mendukung bangun pada It Mo, guna
memeriksa lukanya.
Kiranya kedua nona itu adalah murid-muridnya Im Ciu It
Mo, yang termasuk dalam Cit Biauw Yauw-ni, Tujuh Siluman
Wanita. Yang dua ini ialah Ek Sam Biauw dan Ek Su Biauw.
Ek Sam Biauw menyaksikan gurunya pingsan, lantas dia
menoleh ke sekitarnya, hingga dia dapat melihat Sin Mo
bertiga. Dia pun segera mengenali mereka itu.


"Bagus !" serunya dingin. "Kalian datang dengan alasan
membawa bahan obat lantas kalian menggunakan
kesempatan kalian menyerang secara menggelap kepada guru
kami ini ! Hm ! Kalau guru kami ini tidak siuman lagi, awas,
jangan harap kalian dapat keluar dari sini dengan masih hidup
!"
In Go menjawab ancaman itu sambil tertawa.
"Budak, tak dapatkah kau mengurangkan kata-katamu
yang tak sedap ini ?" tanyanya. "Kau harus ketahui yang guru
kamu itu roboh oleh jarumku !"
Ek Su Biauw gusar sekali, matanya melotot. Lantas
tangannya diayun, hingga melesatlah pisau belati yang
disembunyikan di dalam tangan bajunya, sinarnya itu
berkelebat menikam ke arah dada atau perutnya nona di
hadapannya ! Dan dia menggunakan dua-dua tangannya,
menyerang dengan dua pisau belati, disusul dengan tikaman
yang ketiga !
Dengan lincah In Go berkelit, menyusul itu, ia mengayun
tangan kirinya sambil ia tertawa dan kata nyaring : "Kau juga
boleh coba merasai jarumku yang beracun !"
Tetapi itu hanya itu gertakan belaka, sebab jarumnya tidak
melesat !
In Go cerdas. Ia tahu bagaimana harus bersiasat. Ia
membutuhkan obatnya Im Ciu It Mo guna membantu
gurunya, maka itu ia harus menggunakan tipu daya. Tak
berfaedah akan berkutat dengan Su Biauw atau Sam
Biauw......


Su Biauw tidak melihat datangnya jarum, maka dia maju
pula.
"Su-moay, tahan !" Sam Biauw mencegah.
Saudara itu menunda majunya.
"Apa ?" tanyanya seraya menoleh kepada kakaknya.
Belum lagi Sam Biauw menjawab, In Go yang cerdik sudah
mendahului : "Budak, kalau kau mau bertempur terus, kau
tunggu dulu sampai siumannya gurumu ! Waktunya masih
belum kasip..."
Ek Su Biauw mengawasi musuh itu, lalu dia kata : "Jika kau
tahu selatan, lekas kau keluarkan obat pemunahmu ! Dengan
demikian, akan aku ampuni jiwamu !"
In Go balik mengawasi dengan mata melotot.
"Nona, aku tak segalak kau !" katanya, sabar. "Mudah saja
kau mengancam jiwa orang ! Kau tahu, gurumu telah diberi
obat pemunahnya, segera dia bakal terasadar ! Buat apa kau
galak tidak karuan ?"
Tengah dua orang itu mengadu lidah, tubuhnya It Mo
tampak berkutik, terus saja dia mengeluarkan nafas panjang.
Ketika dia membuka matanya, penglihatannya masih lemah,
masih kabur. Dia pula sangat lesu.
In Go maju dua tindak.
"Locianpwe !" panggilnya. "Locianpwe, tahukah kau siapa
yang menolong menghidupkan pula padamu ?"


Baru siuman itu, otaknya It Mo masih butek. Karenan
lemahnya, ia merapatkan pula matanya dan tidak menjawab.
"Mau apa kau membuat banyak berisik ?" Su Biauw
menegur bengis.
Bu Pa memimpin bangun gurunya. Dia merasa tubuh sang
guru panas sekali. Dia bingung sekali. Selekasnya dia melihat
It Mo siuman, dia teriaki saudara seperguruannya : "Su-moay,
masih kau tidak mau minta obat ?"
Mendengar suara orang, Sam Biauw dan Su Biauw segera
sadar. Su Biauw cerdik. Dia pikir pihaknya yang lebih unggul.
Maka ia berbisik pada kakak : "Sam-cie, guru kita sudah sadar,
kita jangan berikan obat pada musuh ! Kita lihat, apa budak
itu bisa bikin terhadap kita !"
Su Biauw lain daripada adik seperguruannya itu. Dia teliti
dan dapat berfikir. Lekas dia mengasah otaknya, terus dia
berkata : "Soal pergaulan dalam dunia Kang Ouw tak semudah
pikiranmu, anak tolol !"
Sam Biauw heran, dia mengawasi kakak itu. Tapi karena
dia tahu sang kakak cerdas, dia terus berdiam.
Im Ciu It Mo menjadi terlebih sadar, sambil dibantu Sam
Biauw, dia mencoba bangun berdiri, untuk terus duduk dikursi.
In Go mengawasi orang, lantas dia berkata nyaring :
"Locianpwe sudah mendusin ! Nah, mari kita bicarakan urusan
perdagangan kita !'
It Mo berpengalaman puluhan tahun, begitu mendengar
suara orang, dapat ia mengerti maksudnya itu. Orang
mengajaknya menukar kayyoh, obat pemunah racun. Hanya ia


cerdik, ia tidak lantas menjawab. Diam-diam ia mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya. Jalan darah dibahunya
mandek, bahkan terasakan sedikit nyeri. Itu artinya racun
lawan belum bersih dari tubuhnya. Lebih tegas lagi, ia belum
bebas dari kekangan lawan. Jadi, tak dapat ia bersikeras.
Maka ia menarik nafas dalam.
"Sam Biauw, muridku," kemudian ia kata pada muridnya,
sedang matanya dipentang lebar, "pergi lekas kau mengambil
kayyoh !"
Sam Biauw berbangkit.
"Baik, suhu" katanya. Terus dia keluar dari rumah batu itu.
Ia kembali dengan cepat, tanganya membawa sebuah peles
kecil. Lantas dia menyerahkan itu pada gurunya.
It Mo menyambuti, terus ia menggapai terhadap In Go.
"Mari !" katanya. "Ini obatnya !"
In Go menghampiri, ia menyambuti peles obat itu.
"Terima kasih, locianpwe," katanya hormat. Toh sembari
berkata itu, ia mengawasi tajam pula pada It Mo sambil ia
tertawa dingin.
It Mo keras kepala, dia mendongkol sekali ! Toh dia harus
bersabar. Seumurnya belum pernah dia menerima penghinaan
semacam itu, hingga dia gusar salah, tertawa tak bisa. Maka
dia lantas katanya : "Obat itu campurkan arak, lantas kasih
minum pada gurumu !"
In Go mengawasi peles obat itu.


"Mana araknya ?" tanyanya kemudian.
Ek Su Biauw menunjuk ke pojok dimana ada sebuah almari.
"Itulah arak beracun," katanya. "Maukah kau menyaksikan
kami meminumnya ?"
In Go tidak menghiraukan kata-kata orang. Ia tahu bahwa
ia tengah diejek. Ia segera pergi mengambil arak itu, terus ia
mengaduki obatnya, yang pun terus ia kasih gurunya minum,
sesudah mana, ia menantikan sang waktu seraya ia
mengawasi gurunya itu.
"Hm ! Hm !" It Mo tertawa dingin, "Budak, kau terlalu
sembrono !" Dia pula memperlihatkan wajah suaram.
In Go mendengar suara itu, ia menoleh dengan sabar dan
mengawasi dengan tenang. Kemudian ia kata tertawa :
"Locianpwe, mengapa locianpwe memandang jiwa locianpwe
ringan sekali ? Laginya, bukankah diantara kita tidak ada
permusuhan besar ? Kenapa kita mesti mengadu jiwa hingga
dua-duanya terluka parah atau terbinasa bersama ?"
Tajam kata-kata itu. Mendengar demikian, wajahnya Im Ciu
It Mo menjadi merah padam. Ia insaf, nona di depannya itu
cerdas dan berpikiran panjang, dia tak mudah kena diakali.
"Bukankah aku si perempuan tua telah memberikan kayyoh
kepada gurumu ?" katanya kemudian. "Apakah kau belum
mau memberikan kayyoh padaku ?"
In Go bersenyum, terus dia tertawa manis.
"Locianpwe, kau dan kami memiliki kepandaian yang sama
!" sahutnya sabar. "Kita baru sama-sama memberikan obat


separuh ! Bagaimana kalau kita bicara pula sebentar setelah
guruku siuman ?"
Dua orang itu saling mengawasi, hati mereka sama-sama
bekerja.
It Mo berdiam. Ia kewalahan terhadap nona cerdik itu.
Tak lama maka Gwa To Sin Mo terlihat bergerak terus dia
menghela nafas lega. Selekasnya dia sadar, terdengar
suaranya dalam : "Teh !..... air teh !"
Menyusul itu, jago ini membuka matanya dan terus ia
berduduk tegak.
Bu Pa lantas lari ke meja, guna mengambil air teh. Di
antara enam cawan, ia mengambil yang merah.
"Suheng !" In Go berseru melihat perbuatan tergesa-gesa
kakak seperguruan itu.
Bu Pa melengak. Segera ia insyaf. Lekas-lekas ia menukar
cawan itu dengan air teh yang hijau. Ia lantas memberikan
gurunya minum.
Cepat sekali, Gwa To Sin Mo sadar seluruhnya. Lantas ia
mementang mata mengawasi sekitarnya, terutama terhadap
pihak lawan. Sambil mengawasi Im Ciu It Mo, ia tertawa dan
kat : "Eh, perempuan tua, aku kagum sekali atas
kepandaianmu !"
It Mo jengah sekali.
"Sudahlah !" katanya, memaksakan diri tertawa, "Mari kita
saling menukar kayyoh, supaya kita tak usah mengobrol tak


karuan, jadi membuang-buang waktu saja !" Ia terus menoleh
kepada Sam Biauw, akan melirik, memberi isyarat buat
muridnya mengambil obat.
Kedua pihak sama cerdiknya, masing-masing cuma
memberikan obat sebagian, baru setelah itu, menukar obat
selengkapnya. Sam Biauw memberikan In Go arak dengan
warna merah yang kental, dan In Go menyerahkan sebutir pil
hitam.
Habis makan obat, kedua bajingan berduduk diam masingmasing,
akan mengerahkan tenaga dalam mereka, guna
mencari tahu kesehatan mereka sudah pulih seluruhnya atau
belum. Sementara itu, meskipun sudah sembuh, terasa darah
mereka belum terasalurkan sempurna. Tanpa perhatian
seksama, hal itu tak akan terasakan.
Im Ciu It Mo jauh terlebih jumawa dari pada Gwa To Sin
Mo. Walaupun ia merasa yang sisa racun belum terusir semua,
ia sudah beraksi pula. Inilah sebab ia percaya habis akan
ketangguhan tenaga dalamnya yang sempurna sekali. Ia pula
telah membuat banyak kayyoh, hingga ia menjadi tak
berkhawatir sama sekali. Sekarang ia mau mempuaskan
kemendongkolannya. Ia mau mendapat pulang muka
terangnya. Habis mengerahkan tenaga dalam itu, lantas ia
tertawa terkekeh-kekeh !
"Sahabat Sin Mo !" demikian, ia kata jumawa. "Sahabat,
jiwamu tinggal satu tahun lagi ! Di dalam waktu satu tahun,
jika kau tidak mendapat obat dari aku si nenek-nenek,
tubuhmu akan berubah hancur menjadi darah semuanya ! Ha
ha ha !"
Sin Mo berlagak tidak mengerti, hingga tampak dia ketololtololan.


"Eh, eh," sahutnya kemudian, "apakah obat yang kau
berikan padaku bukan obat seluruhnya ? Jadinya kau menipu
aku si tua ?"
It Mo sangat puas, dia tertawa pula sangat girangnya.
"Di mulut kau memuji aku si perempuan tua !" katanya.
"Kau pandai pura-pura ! Baik, aku terangkan padamu, obatku
barusan obat yang asli, bukannya aku menipu kau ! Hanya
obat itu bekerjanya sangat perlahan, obat yang cuma
memperpanjang waktu saja ! Satu tahun selewatnya hari ni,
racunku masih harus bekerja pula, maka itu, tua bangka,
hendak aku melihat kepandaianmu !"
Sin Mo menjadi sangat mendongkol. Orang benar-benar
sangat licik. Tapi dapat ia mengekang dirinya. Hanya, sengaja
ia memperlihatkan wajah gusar. Kata dia nyaring : "Di dalam
dunia Kang Ouw, orang sebenarnya harus paling menghargai
kehormatan diri ! Maka itu, kalau kau benar tidak memberikan
obat yang membersihkan diriku seluruhnya, lohu hendak
mengadu jiwa denganmu !"
It Mo mengawasi, ia tertawa dan tertawa pula. Ia merasa
puas sekali sudah mempermainkan musuh itu. Habis tertawa,
ia berhenti dengan memperlihatkan sikap sungguh-sungguh.
Kata ia dingin : "Kalau kau menghendaki tubuhmu bersih
seluruhnya dari racunku, kau mesti berjanji di dalam waktu
satu tahun kau mesti mendengar segala kata-kataku ! Kau
mesti bersedia diperintah olehku ! Kau mengerti ?"
Mendengar itu, tampang gusar sekali dari Sin Mo bertukar
menjadi wajah dingin menghina.


"Kiranya demikian kehendakmu !" katanya. "Hanya baiklah
kau ketahui, peristiwa kita hari ini adalah apa yang dibilang si
buaya darat bertemu si penipu."
It Mo heran menyaksikan tampangnya Sin Mo, yang
berganti air muka tak hentinya itu. Lenyaplah rasa puasnya
tadi. Sekarang ia merasa bahwa ia benar-benar menemui
lawan yang tangguh. Habis berpikir, ia berpura tertawa dan
kata : "Sahabat, jangan menggertak aku buat mendapati
obatku ! Memangnya kau masih belum puas ?"
Gwa To Sin Mo memperlihatkan tampang sungguhsungguh.
Ia pun kata : "Im Ciu It Mo, jangan kau puas
terlebih dahulu ! Kau juga hidup senangmu tinggal setengah
tahun lagi ! Bukankah kita masing-masing masih
meninggalkan separuh dari obat kehidupan kita ? Obat yang
terakhir ? Aku bakal hidup lebih lama setengah tahun dari
pada kau, maka aku masih mempunyai kesempatan
menyaksikan bagaimana kau nanti merasai penderitaan
siksaan racunku ! Ha ha ha !"
Di dalam hati It Mo kaget. Ia memang tahu, tubuhnya
belum bersih seluruhnya dari racun lawan itu. Ia gusar,
menggertak gigi. Tapi, apa ia bisa bikin ? Lawan
menggunakan siasat, dengan gigi membayar gigi. Tak dapat ia
mengumbar hawa amarahnya ! Bahkan ia menyesal yang ia
kalah cerdik, hingga ia kalah unggul ! Bahkan sejenak itu, tak
dapat ia menjawab orang.
Ek Su Biauw bertabiat keras. Mendengar gurunya kena
terpedayakan, dia bangkit berdiri, sambil menuding Gwa To
Sin Mo, dia kata bengis : "Kau juga jangan bergirang dahulu !
Jika kau tidak menyerahkan kayyoh, apakah kau sangka kau
dapat keluar dari tempat kami ini ?"


"Budak tidak tahu adat !" In Go menegur, gusar. "Jika kau
bicara, jangan kau bermuka tebal ! Apakah kau mau berkelahi
?" Lantas dia berlompat maju, tangan kanannya yang
menggenggam jarumnya diluncurkan, sedang tangan kirinya
menolak pingang, hingga dia tampak keren sekali.
Tepat itu waktu ada datang seorang yang dandanannya
sama seperti Sam Biauw dan Su Biauw. Dia pula seorang nona
muda. Tanpa menoleh kepada siapa juga, dia lari langsung
kepada Im Ciu It Mo. Setibanya, dia membungkuk memberi
hormatnya, untuk seterusnya berbisik di telinga si bajingan
nenek. Setelah itu, tanpa menanti perintah atau pesan, dia lari
kembali. Dapat diterka bahwa dia membawa berita dari suatu
kejadian penting sekali.
Im Ciu It Mo nampak terkejut akan tetapi dia sengaja
bersikap tenang saja. Di sisi dia sebaliknya Sam Biauw dan Su
Biauw nampak bingung sendirinya ! Wajah mereka nyata tak
tenang lagi !
Gwa To Sin Mo dan murid-muridnya menonton lagak oang,
lalu Sin Mo kata dengan suaranya dalam : "Eh, perempuan
tua, bukankah kita asalnya sahabat kekal satu dengan lain ?
Maka itu, mari kita bicara secara terus terang ! Bagaimana
dengan kayyoh kita yang terakhir ini, kau mau tukar atau tidak
?"
Im Ciu It Mo seperti juga tidak mendengar kata-kata orang.
Seterimanya laporan dari nona tadi, pikirannya menjadi kacau
sekali. Saking kuatnya hatinya, dia masih dapat bersikap
tenang. Toh dia berdiam saja. Sebenarnya dia lagi berpikir
keras bagaimana harus mengambil tindakan.......
In Go tidak sabaran. Melihat pihak sana berdiam saja, dia
kata dengan suara keras pada gurunya, "Suhu, orang tidak


memperdulikan kita ! Buat apa suhu menanya dia lebih jauh ?
Di dalam keadaan kedua belah pihak bakal rusak bersama,
belum tentu suhu yang bakal menampak kerugian lebih hebat
! Suhu, kau lihai sekali, kaulah ahli racun, mustahil dalam
waktu satu tahun kau tidak sanggup mengobati dan
menyembuhkan dirimu sendiri. Aku tak percaya ! Suhu, mari
kita pergi !"
Berkata begitu, nona ini membuat main matanya, melirik
sana melirik sini, untuk kemudian dia membuka tindakan
kakinya, akan melangkah ke arah pintu.
Ek Su Biauw terkejut. Dia menyangka benar-benar orang
hendak mengangkat kaki sebelum orang menyerahkan
kayyoh. Dengan satu gerakan tubuh yang ringan, ia berlompat
maju untuk menghadang In Go.
"Kalian mau pergi, ya ?" tanyanya, mengejek. "Tak mudah,
sahabat !"
Kata-kata itu diiringi dengan satu sambaran tangan Tauwlo-
ciang, ilmu silat istimewa dari Im Ciu It Mo. Itulah justru
yang membuat It Mo mengangkat namanya !
In Go tidak takut. Ia memang sudah siap sedia. Bahkan
semenjak tadi, tangannya sudah mengenggam jarum
beracunnya. Begitulah atas tibanya serangan mendadak itu, ia
tidak berkelit atau menangkis, ia justru menyambuti tangan
lawan dengan tangannya yang berjarum itu !
"Aduh !" Su Biauw menjerit seraya dia lompat mundur.
Karena ketika tangannya bentrok dengan tangannya In Go, ia
merasakan sesuatu yang menusuk yang mendatangkan rasa
sangat nyeri. Ketika ia sudah berdiri tetap dan membawa
tangannya ke depan mukanya, ia mendapati beberapa titik


merah dan ditengah-tengah titik-titik itu ada titik hitam yang
halus sekali ! Titik merah-hitam itu seperti menjalar ke arah
nadinya !
Tiba-tiba saja titik-titik itu mendatangkan rasa nyeri yang
terlebih hebat, nyeri hampir sukar tertahankan, maka dengan
tangan kirinya memegangi tangan kanannya itu, tubuhnya
terus limbung dan mundur terhuyung-huyung.....
Sam Biauw kaget sekali. Dia lompat kepada saudaranya itu,
untuk memegangi tubuhnya agar jangan roboh. Ia lantas saja
ketahui bahwa kembali pihaknya kena dirugikan ! Sudah
gurunya, sekarang saudari seperguruan ini terkena racun
lawan !
Selama detik-detik lewat, mendadak Su Biauw roboh untuk
tak sadarkan diri !
"Kau kejam !" teriak Sam Biauw pada In Go, matanya
menyala saking gusar.
Orang yang ditegur sebaliknya tertawa.
"Budak itu sangat bermulut besar !" sahutnya, seenaknya
saja. "Aku beri rasa sedikit padanya ! Inilah tepat sebagai
ganjaran !"
Im Ciu It Mo bingung tak kepalang. Kembali roboh korban
dipihaknya. Mana dapat ia bertahan lebih lama ? Maka ia
harus memutar haluan, buat memutar arah layar !
"Sin Mo !" lalu katanya terpaksa pada lawannya itu, "benar
apa katamu barusan ! Kita memang asal satu golongan ! Kalau
kita bertempur terus, itu cuma-cuma akan merusak kerukunan


kita ! Ya, paling benar mari kita saling menukar obat
kita.........."
Gwa To Sin Mo tertawa nyaring.
"Jika kau masih mempunyai kepandaian yang lainnya, tak
ada halangannya buat kau pertunjukan terlebih jauh !"
katanya, tawar. "Lohu selalu bersedia untuk menontonnya !"
Sengaja dia menggunakan kata-kata "lohu" sebagai
penggantiannya "aku".
Im Ciu It Mo mengendalikan dirinya. Dia tidak menjawab,
hanya dari sakunya dia menarik keluar sebungkus obat bubuk,
selekasnya dia sudah memeriksanya teliti, dia melemparkan
itu kepada lawannya. Tapi dia tidak mau kalah aksi. Sembari
menyerahkan obatnya itu, dia kata seenaknya : "Aku si
perempuan tua, aku bersedia berlaku murah hati, lebih dahulu
aku menyerahkan obatku padamu !"
Sin Mo sudah lantas menjambret bungkusan obat itu, akan
dengan sama cepatnya membukanya. Tanpa ragu pula,
sebungkus obat itu ia masuki ke dalam mulutnya, buat segera
dikunyah dan ditelan !
Habis itu, ia pun merogoh sakunya, akan mengeluarkan
obatnya, sembari melemparkan itu pada Ek Sam Biauw, ia
kata : "Lekas kau kasih makan obat ini pada bocah itu !"
Kemudian ia kembali duduk, akan berdiam saja, buat
beristirahat sambil menyalurkan tenaga dalamnya. Dengan
demikian, ia belum memberikan obatnya yang terakhir pada It
Mo.
Sam Biauw menyambuti sebutir obat merah, terus ia
jejalkan itu ke dalam mulut adik seperguruannya.


Selama itu, It Mo terus diam menonton saja. Ia tahu diri, ia
membungkam. Ia kalah unggul, terpaksa ia mesti menyerah.
Ia membiarkan Sin Mo mempermainkannya. Ia tahu sengaja
Sin Mo berbuat demikian, kesatu buat menggoda atau
mempermainkannya, kedua agar dia memiliki ketika akan
menyembuhkan diri dahulu. Sin Mo berpatokan : "Lebih baik
aku mencelakai orang, jangan orang mencelakai aku !" Sebab
dia ingin selamat.
It Mo duduk berdiam terus, pikirannya tetap kacau.
Sebelum mendapat obat tak sanggup ia menentramkan
hatinya. Ia juga memikirkan laporan muridnya tadi, murid itu
sebenarnya mengabarkan hal adanya orang mengacau di
dalam guanya itu. Ia sudah pikir, begitu ia mendapat obat dari
Sin Mo, baru ia mau meninggalkan guanya itu.
Maka itu, selama itu seluruh ruang menjadi sangat sunyi.
Tidak lama, Su Biauw sudah siuman. Dia berdiam
menyender pada bahu Sam Biauw, kakak seperguruannya itu.
Dia perlu beristirahat.
Bu Pa dan In Go menempati diri di kiri dan kanan gurunya,
guna melindungi guru itu. Mata mereka dipasang tajam, buat
sesuatu kejadian yang tak diingini.
Belum terlalu lama maka ruang yang sunyi itu telah
kedatangan sesosok bayang hitam, yang mulanya berloncat
masuk dalam rupa segumpal cahaya terang. Bayangan itu
lantas berdiri tegak ditengah ruang besar itu, matanya lantas
menatap semua hadirin. Di akhirnya, dia menghadapi Im Ciu
It Mo dan tertawa gembira.


"Eh, Im Ciu, perempuan tua !" demikian tegurnya
kemudian, "perempuan tua, apakah kau tak menyesalkan aku
yang aku datang secara tiba-tiba ini, tanpa melaporkan dan
meminta perkenan lagi dari kau ? Apakah aku tidak lancang ?"
Orang asing itu tertawa geli, agaknya dia jenaka.
Segera juga semua orang melihat tegas pada tetamu yang
tidak diundang itu. Dia kiranya seorang ni-kouw atau pendeta
wanita kaum agama Hud Kauw, yang usianya baru tiga puluh
tahun. Dia mengenakan jubah suci tetapi dipinggangnya
tergantung sepasang pedang, alisnya lentik. Maka dialah
seorang pendeta yang cantik, yang nampak rada centil.....
Im Ciu It Mo mengawasi dengan melongo. Ia mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya. Setelah itu ia tertawa dingin
berulang-ulang : "Hm ! Hm !" Terus dia berkata : "Oh, kiranya
Peng Mo Nikouw yang terhormat yang datang berkunjung !
Ah, kenapakah muridku yang mengawal pintu lalai sekali ?
Kenapa dia tidak terlebih dahulu datang melaporkan padaku ?
Maafkan aku si perempuan tua, aku jadi tak dapat menyambut
sebagaimana mestinya, aku menjadi kurang hormat !"
Im Ciu It Mo bukannya jeri terhadap Peng Mo si Bajingan
Es, kalau toh dia berlaku demikian merendah, ini disebabkan
keadaannya yang sulit itu. Selagi tubuhnya belum bersih dari
sisa racun, Sin Mo pun belum berlalu dari guanya itu. Ia pun
heran yang Peng Mo bisa masuk secara demikian mudah ke
guanya yang sangat terahasia itu. Pula Peng Mo bukanlah
tamu yang disukai olehnya !
Peng Mo tertawa dan kata : "Pengawal pintumu itu
bukannya gemar memain dan lalai, dia hanya si kantung nasi !
Dia terlalu tolol !"


It Mo tidak lantas menjawab, dia hanya berpikir : "Hong
Gwa Sam Mo belum pernah berpisah satu dari lain, sekarang
Peng Mo muncul seorang diri, mestinya Hiat Mo dan Tam Mo
Tosu lagi bersembunyi atau menantikan diluar......" Tapi tak
dapat ia berdiam saja, apa pula terlalu lama, maka ia lantas
berkata : "Peng Mo, kalau kau ada urusan, kau bicaralah !"
Peng Mo tertawa geli.
"Apakah aku mesti mengatakannya pula ?" dia balik
bertanya. "Pinni datang kemari guna mencari dan menyusul
Gak Hong Kun !"
Gak Hong Kun belum pulang ke Kian Gee Kiap Kok, yang
datang bersama Sin Mo ialah Tio It Hiong, akan tetapi si
Bajingan Es ini keliru mengenalinya. Mendengar itu, It Mo
mengerti akan kekeliruannya kenalan itu. Tapi sengaja ia kata
: "Peng Mo, kenapa kau begini menggilai orang laki-laki ?
Dengan perilakumu ini, mana dapat kau menuntut
penghidupan sucimu, untuk menghadap San Buddha nanti ?"
Matanya Peng Mo mendelik.
"Jangan ngoceh tidak karuan !" bentaknya. "Itulah bukan
urusanmu ! Mana dia Gak Hong Kun?"
Dari dalam ruang itu, dari arah sebuah kursi, terdengar ini
suara nyaring : "Suhu sekalian bukankah orang sesama
golongan ? Ada urusan apakah maka kalian sampai berselisih
begini ?"
Itulah suaranya Sin Mo, yang setelah lewat sekian waktu itu
merasa kesehatannya sudah pulih. Ia kurang puas sebab Peng
Mo garang sekali. Ia tidak tahu yang It Mo dan Peng Mo


bukannya bermusuh hanya mereka lagi memperebuti seorang
pria !
Peng Mo berpaling mengikuti suara pertanyaan itu, maka ia
melihat seorang tua yang tampangnya bersih tetapi matanya
tajam, yang lagi duduk dengan diapit dua orang pria dan
wanita, yang ketiga-tiganya asing baginya.
"Siapakah kau, lo-sicu ?" ia tanya Sin Mo. "Cara bagaimana
kau berani usil urusannya Peng Mo?"
Sin Mo tetap duduk dengan tenang dikursinya itu.
"Gelaran lohu ialah yang orang luar sebut Gwa To Sin Mo,"
ia memperkenalkan dirinya. "Kalau lohu sampai berani
mencampur bicara, maksudku tak lain tak bukan keculai
mengharap kalian janganlah merusak kerukunan..........."
"Hm !" Peng Mo memperdengarkan suara dingin. "Tapi
baiklah kalau Losicu sudi memberikan pertimbanganmu, nanti
aku jelaskan duduknya perkara."
It Mo mendengari pembicaraan dua orang itu, dia tak puas.
Dia pun bingung. Sin Mo sudah makan obatnya, dia sembuh
dan kesehatannya pulih seluruhnya. Dia sebaliknya. Di
pihaknya, bahkan Su Biauw keracunan juga. Itulah tidak
menguntungkan baginya. Ia pula perlu pertolongannya Sin
Mo. Bagaimana kalau Sin Mo sampai bentrok dengan Peng Mo
? Bukankah urusannya bakal jadi rusak ? Ia bisa celaka
karenanya ! Maka dalam bingungnya, dia lantas campur
bicara.
"Eh, sahabat Sin Mo !" demikian dia menyela, "apakah kau
masih takut aku si orang tua nanti memperdayaimu ?"


Gwa To Sin Mo bersenyum. Ia dapat membaca hati orang.
Maka lantas ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa
buah butir pil, sembari menyerahkan itu pada In Go, ia kata :
"Kau bagi rata obat ini pada mereka itu berdua !"
It Mo dan Su Biauw menyambuti obat, terus mereka
menelannya, habis itu, keduanya terus duduk berdiam
bagaikan tengah bersamadhi.
Peng Mo menonton, dia heran. Ada urusan apa diantara
kedua belah pihak ?
"Kalian lagi bikin apa ?" tanyanya, saking herannya.
Gwa To Sin Mo merasa tak leluasa buat menuturkan
duduknya hal yang sebenarnya, ia tertawa dan kata :
"Bukankah suhu datang kemari mencari orang ? Kenapa suhu
tidak mau segera mencarinya ? Ha ha ha ! Lohu mau pergi !"
Begitu dia berkata, begitu Sin Mo berbangkit, terus dia
mengajak In Go dan Bu Pa bertindak pergi.
Peng Mo menerka-nerka mendengar suaranya Sin Mo itu.
Bukankah itu petunjuk bahwa orang yang ia lagi cari berada di
dalam gua itu ? Maka itu, tanpa mempedulikna orang berlalu,
ia lantas mengawasi It Mo bertiga bersama muridnya itu.
It Mo lagi menyalurkan darahnya, begitu juga Su Biauw.
Adalah Sam Biauw yang berdiri menemani mereka itu berdua.
Dia berdiam saja, tetapi dia mendapat firasat bahaya yang
mengancam mereka. Tadi dia telah melihat sikap garang dari
Peng Mo. Maka itu diam-diam dia mengawasi gerak geriknya
si Bajingan Es. Dia juga tak menghiraukan lagi kepergiannya
Sin Mo bertiga.


Habis mengawasi orang, Peng Mo bertindak menghampiri It
Mo. Dia berjalan pelahan-lahan. Setelah datang dekat, sambil
memperlihatkan senyuman aneh, dia kata : "Jiwa gurumu
bersama jiwa kamu berdua berada di dalam tanganku, oleh
karena itu jika kau tahu gelagat, lekas kau bicara secara terus
terang ! Bilanglah dimana adanya Gak Hong Kun sekarang !
Kau mengerti ?"
Sam Biauw cerdik. Tak mudah ia dipermainkan. Dia gusar
sekali tetapi dapat dia menguasai diri. Musuh mestinya
tangguh, harus dia mengalah. Dia pula mesti menang waktu.
Dia ketahui, tak dapat dia menyangkal hal Gak Hong Kun tidak
ada di dalam gua. Si nikouw pendeta perempuan, tentuanya
tidak bakal percaya padanya. Maka diakhirnya dia pikir, baik
dia pancing orang masuk ke dalam, untuk dia menjebak orang
dalam kamar rahasia. Oleh karena itu, dia lantas
memperlihatkan tampang putus asa.
"Dia berada di dalam gua disebelah dalam ruang ini,"
kaanya tawar. "Kalau Toa suhu mempunyai kepandaian, pergi
Toa suhu susul sendiri padanya di daLam Sana......."
Parasnya Peng Mo menjadi padam. Lantas dia menyeringai
tawar.
"Budak cilik !" katanya dingin. "Awas jika kau main gila
terhadapku ! Baiklah kau pikir masak-masak dahulu, baru kau
menjawab aku !"
"Mana aku berani mendustai kau, Toasuhu ?" kata Sam
Biauw lekas. "Di sana ada pintu pojok. Silahkan Toasuhu
masuk dari sana !" Dia pun menunjuk ke pintu yang
disebutkan itu di pojok kiri.


Peng Mo melengak. Sebabnya ialah ia menerka, di dalam
situ tentu ada perangkapnya. Sebaliknya, kalau ia tidak
memasuki pintu itu, ia bakal dapat malu. Laginya, tak dapat ia
melepaskan maksudnya dengan begitu saja !
Hanya sebentar ia bersangsi, si nikouw lantas menggertak
giginya. Segera ia bertindak memasuki pintu pojok itu !
Sekarang kita melihat dulu pada It Hiong bersama Ya Bie
dan So Hun Cian Li, yang kita tinggalkan semenjak dia
meninggalkan Gwa To Sin Mo dan kedua muridnya itu, guna
mereka mencari Kiauw In.
Semasuknya di pintu pojok itu, It Hiong melihat sebuah
ruang kecil di kanan mana ada sebuah pintu yang tertutup
rapat. Empat penjuru dinding ada dinding batu putih. Di satu
arah, di tengah ruang, ada sebuah gang atau lorong yang
sempit. Di dalam situ tampak cahaya api remang-remang.
Ruang atau kamar kecil itu, tidak ada orangnya. Habis
meneliti seluruh kamar, It Hiong bertindak di lorong sempit
itu. Ia mendapatkan beberapa tikungan, hingga ia mesti jalan
belok sana belok sini, jauhnya kira tiga puluh tombak. Sinar
terang lemah tampak di ujung lorong. Kiranya itulah tempat
terbuka dan sampai disitu jalanan sangat sempit, cuma muat
satu orang saja. Dari situ, orang bisa melihat langit. Kedua
lamping tinggi dan licin. Tanah pun sumPek dan basah.
It Hiong maju terus di jalan sempit itu. Setelah belasan
tombak, ia sampai di muka sebuah gua. Ia berhenti sebentar
akan menoleh, melihat kepada Ya Bie, habis itu, ia menyeplos
masuk ke dalam gua itu !
Di luar dugaan, selagi lorongnya sangat cupat, gua
sebaliknya lebar sekali dan di empat penjuru dindingnya ada


api pelita. Di suatu pinggiran terdapat banyak dapur besar dan
kecil, jumlahnya kira empat puluh buah. Apinya semua dapur
itu pun sedang berkobar. Di atas setiap dapur ada kwalinya,
kwali besi yang mirip eng atau tripod, pendupaan kaki tiga dan
pada tiap tutupnya terdapat sebatang semprong asap, hanya
warnanya berlainan dan asapnya menghembus tinggi, baru
buyar. Asap itu berwarna-warni dan dilangit kamar ada
sawang apinya.
Di setiap pinggiran dapur terdapat beberapa puluh orang
laki-laki, yang tubuhnya telanjang sebatas dada. Mereka
semua repot mengurusi api, atau dapurnya, dan atas
datangnya It Hiong, mereka tak menghiraukan sama sekali.
Ya Bie heran. Dia mengagumi warna-warni asap itu, yang
tujuh rupa. Ia tersengsam sampai ia lupa bahwa ia berada di
dalam gua yang berbahaya.
So Hun Cian Li pun gembira, hingga ia berPekik dan
menari-nari !
It Hiong memperhatikan tujuh macam warna asap itu, yang
beda dari pada asap umumnya. Kemudian ia mengawasi itu
puluhan kuli dapur. Mereka pun aneh, muka mereka sama
semuanya. Sesudah diteliti, baru ternyata yang mereka semua
mengenakan topeng seragam.
"Heran !" pikirnya. "Tempat ini tentulah tempat Im Ciu It
Mo memasak obat racunnya tetapi heran tak ada bau yang
luar biasa......"
Tidak ada pengurus atau kepala tukang masak itu. Hawa
disitu juga panas sekali.


Si orang utan takut hawa api tetapi dia sanat tertarik hati,
dengan bersembunyi di belakang Ya Bie, dia berPekik-Pekik.
It Hiong menghampiri seorang tukang masak itu.
"Tuan, dapatkah aku mengajukan satu pertanyaan ?"
tanyanya hormat.
Orang itu tidak menjawab, hanya dengan tangannya dia
menunjuk pada mulut, bibir dan telinganya.
Anak muda itu bertambah heran. Ia menerka orang tidak
berani bicara di tempat banyak orang itu. Ia mencekal
tangannya seorang dan menariknya ke mulut gua. Di sini dia
mengulangi pertanyaannya.
Di luar sangkaan, mendadak orang itu meloloskan
tangannya yang dipegang itu, terus dia meninju dibarengi satu
depakan. Nyata dia bergerak cepat sekali. Serangan itu
mengarah dada dan perut.
It Hiong kaget. Itulah diluar dugaannya. Syukur ia awas
dan gesit. Dengan muda ia berkelit ke samping, kedua
tangannya digeraki juga. Tangan yang satu dipakai
menangkis, tangan yang lain buat menangkap kaki orang !
Orang itu berontak, kembali dia meninju.
Tidak ada niatnya si anak muda mencelakai orang. Ia tidak
membalas menyerang, hanya kali ini tangannya digeraki untuk
mengekang penyerang itu. Terutama ia mencekal kaki orang
hingga orang tak dapat berkutik, sedangkan sebelah
tangannya dia itu dipegang keras sampai dia tak dapat
meronta.


"Aku cuma menanya kau, kenapa kau menyerang aku ?"
kemudian It Hiong tanya pula. Ia tertawa manis tetapi tangan
dan kaki orang itu dibikin tak berdaya ! Ia pun menarik pula,
buat membawa orang keluar. Atau mendadak, ia mendengar
bunyi kelenengan nyaring, terus di mulut gua itu jatuh turun
sebuah pintu besi, sesudah mana dari empat penjuru terlihat
asap tujuh warna menyembur !
Kalau tadi semua asap itu tidak berbau apa-apa, sekarang
tercium bau yang sangat memualkan, hingga orang mau
tumpah-tumpah. Asap pula lantas makin lama makin tebal,
hingga yang terlihat tinggal sinar api dapur.....
It Hiong pun kaget. Manyusul keluarnya asap itu, orang
yang ia pegangi itu roboh terkulai, mungkin dia terbinasakan
rekan atau rekan-rekannya, mungkin dia mati disebabkan asap
itu.
Lekas sekali tubuh orang itu menjadi dingin, akan akhirnya
nafasnya pun berhenti berjalan......
"Hebat !" pikir It Hiong, yang menjadi bingung. Tidak
disangka-sangka, Im Ciu It Mo demikian lihai.
Selagi ia berpikir keras, It Hiong merasa punggungnya ada
yang tubruk. Hampir ia menangkis sambil menyerang, kapan
ia ingat pada Ya Bie, maka batal menyerang, ia berbalik
merangkul tubuh orang. Hanya tak dapat ia memastikan,
tubuh itu tubuh si nona polos atau bukan.
Tak dapat It Hiong membuka suara, buat bicara dengan
nona itu. Sejak munculnya asap, ia sudah menahan nafas.
Walaupun demikian, asap memasuki mulut dan tenggorokan,
atau kerongkongannya menjadi perih. Matanya juga terasa
pedas.


Masih It Hiong memeluki tubuh yang lunak itu, yang ia
belum berani pastikan Ya Bie atau bukan. Dengan tebalnya
asap, tak dapat ia melihat muka orang. Ia hanya menerka,
kalau orang itu Ya Bie, tentulah Ya Bie telah pingsan
disebabkan asap itu. Ia pun pernah memikir, kalau dia itu
bukannya Ya Bie, kenapa orang menubruknya........
"Jika dia Ya Bie dan dia mati sungguh dia harus
dikasihhani....." It Hiong bagaikan ngelamun. "Dia baik sekali,
dia datang kemari buat membantui aku. Tak nanti aku dapat
melupakannya !"
Asap terus bergulung-gulung. Lama-lama It Hiong menjadi
kewalahan. Hampir ia tak dapat membuka matanya itu. Ia
membuka mata lebar-lebar tetapi ia tidak mampu melihat atau
membedakan apa juga. Hanya asap tebal yang tampak.
Akhir-akhirnya pemuda kita menjatuhkan diri, akan duduk
bersila ditanah, matanya dipejamkan. Bagaikan bersamadhi, ia
memasang telinganya. Di tempat begitu, ia terus waspada.
Terutama, ia harus dapat melawan serangannya racun.
Caranya ini membuat hatinya terbuka dan pikirannya tenang
dan terang !
Tiba-tiba It Hiong ingat mustika mutiara Leecu hadiah dari
Bu Lim In-Cin, si orang rimba persilatan yang tak dikenal di
Kui Hiang Koan. Bukankah mutiara itu katanya dapat
membasmi racun dan lainnya ? Maka tanpa ayal pula, ia
merogoh keluar mutiaranya itu.
Benar mujizat mutira Lee-cu, ketika itu sinarnya nampak
lemah tetapi segera juga buyarlah asap yang tebal itu. Si anak
muda masih belum tahu bahwa mutiaranya sudah menunjuki


khasiatnya, ia masih meram saja. Dengan tangannya, ia
meraba mukanya orang yang rebah di pangkuannya, dengan
begitu ia bisa memasuki Lee-cu ke dalam mulut orang......
Selekasnya Lee-cu berada di dalam mulut orang itu, asap
datang menyerang pula. It Hiong merasai itu pada hidung dan
mulutnya. Tapi ini membuat mengerti akan adanya perubahan
itu. Masih ia meram saja.
Tiba-tiba si anak muda merasa ada tangan lunak
menggoyang-goyang bahunya, disusul dengan suara halus ini
: "Kakak Hiong......... Kakak Hiong......."
Itulah suaranya Ya Bie.
Baru sekarang si anak muda membuka matanya. Maka ia
melihat Ya Bie, ditangan siapa tercekal Lee-cu, yang
menyiarkan sinar terang bergemerlapan. Nona itu tetap rebah
dipangkuannya, mukanya menghadapi muka ia, wajahnya
nona itu ramai dengan senyuman berseri-sei. Agaknya si nona
tengah merasai sesuatu yang membuatnya sangat gembira.
It Hiong pun girang. Suaranya si nona menandakan si nona
itu sudah sadar berkat kemukjizatannya mutiara mustika itu.
Begitulah maka ia membuka matanya, hingga ia melihat nona
itu, bahkan sinarnya empat buah mata seperti kontak satu
dengan lain. Ia melihat sinar mata si nona terang, jernih dan
halus, wajar sekali. Karenanya, tanpa merasa, hatinya
berdebaran, semangatnya bagaikan melayang-layang.
"Kakak Hiong !" terdengar pula suara si nona, halus dan
merdu. "Kakak Hiong !"


Justru panggilan itu membuat si anak muda terasadar !
Hatinya masih guncang, tetapi matanya segera dipejamkan
pula, supaya ia bisa menenangkan diri.
"Ha, It Hiong !" katanya di dalam hati, "It Hiong, kenapa
kau berbuat begini ? Kenapa hatimu tergerak oleh nona yang
kau pandang sebagai adikmu sendiri ?"
Lewat sejenak.....
"Oh, adik, kau sudah mendusin ?" tanyanya, walaupun
suaranya menggetar.
"Kakak......." kata si nona.
"Apa adik ?" It Hiong tanya.
Tubuh nona itu bergerak.
"Kakak !" katanya pula.
Segera It Hiong ingat yang mereka lagi berada di dalam
guanya Im Ciu It Mo, bahwa baru saja mereka diganggu asap
jahatnya si wanita tua. Itulah berbahaya. Setiap waktu, dapat
orang menyerang mereka. Maka ia lantas melihat kelilingnya.
Masih ada sisa asap tebal. Perlahan-lahan asap mumbul,
lenyap di langit-langit ruang.
Ya Bie masih memegangi mutiara, yang sinarnya terus
mencorong.
Ruang tetap sunyi saja, tak terdengar suara apa juga.


It Hiong tunduk, ia melihat si nona, dengan rebah tenang,
lagi membuat main Lee-cu dalam genggaman kedua
tangannya bergantian.
"Hawa beracun sudah buyar." kata si anak muda kemudian.
"Mari kita keluar !"
Tubuh si nona tak bergerak. Dia seperti ketagihan rebah
diatas pangkuan orang.
"Begitu ?" katanya, acuh tak acuh, seperti juga dia tak
insyaf yang mereka lagi berada di sarang orang jahat.......
It Hiong heran menyaksikan lagak orang, hingga ia mau
menerka mungkin si nona belum bersih dari racunnya asap
jahat itu.
"Adik, coba kau kemut pula mutiara itu." katanya. "Dengan
begitu sisa racun akan bersih semuanya........"
Si nona tapinya tertawa manis.
"Mana ada racun di dalam tubuhku ?" katanya, tertawa
pula. "Cuma, aku rasanya letih sekali, aku bagaikan ingin
rebah terus....."
It Hiong terkejut, hingga ia melengak.
Kembali si nona tertawa, hingga seluruh tubuhnya
bergerak. Dengan matanya yang celi dia menatap si anak
muda. Di saat itu, mukanya berwarna merah dadu. Ia layulayu
segar !
Itulah pengaruh kewanitaan.......


"Kakak Hiong." kata ia pula, perlahan, selagi si anak muda
masih berdiam saja. "Kakak, aku girang sekali ! Kakak, kenapa
aku merasai seluruh tubuhku letih sekali ?"
Tiba-tiba Lee-cu lepas dari tangan si nona, mutiara itu
menggelinding ke depannya So Hun Cian Li, binatang mana
lagi rebah mendekam tak jauh di sisi mereka.
Orang utan itu takut api, sejak tadi dia mendekam saja,
mukanya ditempel rapat pada tanah, tetapi asal terlalu tebal,
dia kena juga menyedot asap itu, hingga dia bagaikan lupa
daratan. Sekian lama dia dalam keadaan sadar dan tidak
sadar, tetapi selekasnya asap buyar dan mutiara jatuh ke
depan mukanya, mendadak ia sadar seluruhnya.
Sekonyong-konyong, satu bayangan orang berlompat ke
arah So Hun Cian Li.
It Hiong terkejut. Itulah seorang perempuan. Lebih dahulu
daripada itu, ia telah melihat jatuhnya mutiara mustikanya.
Justru mutiara itulah yang disambar nona itu, yang segera
berlompat mundur pula, gerakannya cepat bagaikan kilat. Mau
It Hiong mencegah atau ia telah terlambat. Lantas ia menjadi
terlebih kaget pula ! Ya Bie tidak berada lagi di
pangkuannya.....
"Ha !" serunya, yang terus berjingkrak bangun. Ia lantas
melihat gerak-geriknya bayang orang yang cepat dan ke
empat tangannya bayangan itu saling menyambar. Segera ia
mengenali, Ya Bie tengah berkutat dengan Ek Su Biauw,
muridnya Im Ciu It Mo itu !
Su Biauw muncul sesudah sekian lama sehabis ia
melepaskan asap beracunnya, karena ia mendengar suara
sunyi saja, ia menyangka It Hiong semua sudah terkena racun


dan pingsan, maka ia muncul, hingga ia menyaksikan Ya Bie
lagi rebah di pangkuan si anak muda, malah ia melihat
jatuhnya mutiara dari tangannya si nona itu. Maka ia lantas
lompat menjambret merebutnya !
Ya Bie melihat orang datang, ia berseru nyaring, ia
berjingkrak bangun, untuk terus menyerang nona penjambret
mutiara itu.
Su Biauw licik, dia dapat berkelit, tetapi Ya Bie cepat dan
menyerang pula, maka itu jadi bertempurlah mereka berdua.
Dengan tangan kanan mengepal mutiara, Su Biauw
berkelahi dengan hanya tangan kirinya. Ia menutup tubuhnya
dengan ilmu "Sebelah tangan menutup langit". Di dalam hal
tenaga dan kepandaian silat, dia menang setingkat dari pada
Ya Bie. Sebaliknya, muridnya Touw Hwe Jie menang gesit dan
lincah. Dengan begitu, mereka jadi seimbang.
It Hiong menyaksikan sekian lama, tetapi pikirannya ada
pada Lee-cu. Itulah benda mustika dan hadiah dari Bu Lim In-
Cin, tak dapat ia membuatnya lenyap. Lewat sesaat dan orang
masih bertarung saja, ia habis sabar.
"Tinggalkan mutiara !" teriaknya. "Tinggalkan atau kau tak
bakal dapat ampun !"
Walaupun dia berseru demikian itu, tubuhnya It Hiong toh
sudah mencelat ke medan pertempuran dan kedua tangannya
segera bergerak, hingga di dalam sekejap saja ia telah
memisahkan dua nona yang lagi bertempur itu, hingga mereka
pada berdiri diam !
Su Biauw melihat mutiara di tangannya. Dia tertawa. Nyata
dia tak takut.


"Adakah ini barangmu ?" dia tanya.
"Hm !" It Hiong memberikan jawabannya. "Mari serahkan
padaku !"
Su Biauw menatap si anak muda.
"Gak Hong Kun," katanya kemudian, suaranya lunak.
"Apakah budak ini yang membuat kau berubah menjadi begini
rupa ?" Ia terus menoleh kepada Ya Bie, sinar matanya
menandakan dia sangat membenci.
Alisnya It Hiong bangun berdiri.
"Jangan banyak bicara lagi !" bentaknya. "Tak ada waktu
buat mengadu lidah denganmu !"
Parasnya Su Biauw menjadi padam. Agaknya dia
mendongkol.
"Jika kau tidak mengembalikan mutiara padamu ?" dia
tanya, dingin.
"Jangan kau salahkan kalau aku berlaku keras !" ada
jawabannya si anak muda, keras.
Itu bukan jawaban belaka, jawaban itu dibuktikan
berbareng dengan perbuatan. Cepat luar biasa, sebelah
tangannya si anak muda meluncur dengan satu cengkraman
"Kim Liong Ciu -- Tangan Menawan Naga !"
Ek Su Biauw masih dapat berkelit, hanya dia kalah cepat,
bajunya kena terjambret hingga pecah, hingga ia pun merasai
kulitnya panas dan nyeri.


Berbareng dengan itu, mendadak pintu gua terpentang
lebar, lantas bayangan orang bergerak-gerak. Di dalam satu
kelebatan saja, tiga orang wanita telah muncul diambang
pintu itu, terus masuk kedalam. Dandanan mereka itu, dari
pakaian sampai cara menjalin rambutnya, serupa saja. Yang
beda melainkan usia mereka tetapi toh tak terpaut jauh.
Kiranya merekalah Ek Toa Biauw, Ek Jie Biauw dan Ek Cit
Biauw, tiga diantara Cit Biauw Lie, tujuh wanita siluman
murid-muridnya Im Ciu It Mo.
Selekasnya Toa Biauw terancam bahaya, segera ia
menyerang It Hiong yang dia hajar punggungnya dimana ada
jalan darah cie-tong. Inilah seranga yang membuat
jambretannya si naak muda gagal. Jika tidak, Su Biauw tak
akan separuh lolos.
Heran It Hiong menyaksikan ketiga nona itu sangat mirip
dengan Su Biauw. Mereka itu cantik-cantik tetapi pun
berwajah centil.
"Kalian mencari mampus," tegurnya sengit. Walaupun
demikian, ia tidak menghiraukan mereka itu, ia bergerak
menyambar pula kepada Su Biauw. Kali ini dia berlompat
dengan ilmu ringan tubuh Tangga Mega.
"Aduh !" Su Biauw menjerit sambil dia berkelit mundur,
akan tetapi sebelumnya itu, pergelangan tangannya sudah
dicekal si anak muda, yang terus merampas pulang mutiara
dari genggamannya !
Sebagai pemuda gagah, sebagai laki-laki sejati, anak muda
kita tidak mau mencekal terus pada Su Biauw. Dia
melepaskannya selekasnya dia berhasil merampas pulang LeeKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

cu. Kalau dialah seorang lain, pasti dia membekuk Su Biauw
guna memaksa orang menunjuki dimana dikurung atau
beradanya Kiauw In.
Habis melepaskan tangan si nona, ia mengawasi nona-nona
itu.
"Apakah cuma kalian saja murid-muridnya Im Ciu It Mo ?"
ia tanya dingin.
Ek Toa Biauw mengawasi pemuda itu, lantas alisnya yang
lentik terbangun, air mukanya pun berubah. Kelihatan tegas
dia licik.
"Gak Hong Kun !" katanya tawar. Dia pula tertawa dengan
suaranya tak sedap. "Gak Hong Kun! Kenapa kau menjadi
begini tidak berbudi ? Kenapakah kau menghina adikku ?" Ia
maksudkan Su Biauw. Kemudian dia berpaling pada adiknya
itu dan menanya : "Barang apakah yang dia rampas darimu ?"
Toa Biauw tidak menyangka sama sekali bahwa It Hiong
bukannya Hong Kun dan ia pula mengira Su Biauw berkasihkasihan
dengan pemuda itu hingga timbullah rasa jelusnya.
It Hiong tidak menanti orang bicara.
"Kamu dengar atau tidak perkataanku ?" ia tanya keras.
Toa Biauw berpaling pula pada anak muda itu.
"Apa ?" dia balik bertanya. Dia mengganda tertawa.
Sementara itu Cit Biauw telah mengawasi Ya Bie dan orang
utannya.


"Siapakah kau ?" tegurnya. "Kenapa kau lancang masuk
kemari ?"
Belum lagi Ya Bie menjawab nona itu, It Hiong sudah
mendahului.
"Baiklah kalian ketahui !" katanya nyaring. "Bicara terus
terang, akulah Tio It Hiong ! Aku bukannya Gak Hong Kun
kalian !"
Cit Biauw paling muda, pengalamannya masih hijau. Dia
heran mendengar keterangannya It Hiong. Timbullah keraguraguannya
hingga dia jadi menjublak saja.
Tidak demikian dengan Toa Biauw.
"Gak Hong Kun !" katanya keras. Tetap dia mengukuhi
anggapannya sendiri. "Gak Hong Kun, tak peduli kau menukar
nama apa, tak dapat kau mendustai aku !" Kemudian dia
menoleh kepada Su Biauw, akan melanjutkan menanya :
"Apakah kau yang mengajak dia masuk kemari ?
Su Biauw menggeleng kepala. Dia tidak dapat menjawab
sebab dia lagi merasa sangat heran kenapa si anak muda
demikian lihai, mudah saja mutiara ditangannya dirampas
tanpa dia sempat berdaya. Tadi pun, kalau anak muda itu
tidak dibokong Toa Biauw, dia tentu tak akan lolos. Karena
kepandaiannya anak muda itu, dia mau percaya bahwa orang
benar bukannya Hong Kun....
"Habis siapakah dia ?" demikian pikirnya. "Dia sangat mirip
dengan Hong Kun...."
Su Biauw jatuh hati pada Hong Kun semenjak semula dia
melihat orang she Gak itu, dia selalu mencoba akan mendekati


si pemuda, tetapi dalam usahanya itu dia mendapat rintangan
samar-samar dari Toa Biauw, sang kakak paling tua, hingga
dia jadi kurang bebas.
Toa Biauw tidak lantas mendapat jawaban dari adiknya itu,
dia tidak puas, maka juga --dalam jelusnya-- dia kata pula :
"Aku yang menjadi kakakmu, aku rupanya tidak disenangi kau,
mungkin disebabkan aku telah menggangu kesenanganmu,
adikku...." Suara itu pun dingin sekali.
Su Biauw malu dan mendongkol. Kakak itu telah
menyindirnya. Walaupun demikian, ia berdiam saja, melainkan
wajahnya menjadi gelap.
Toa Biauw puas melihat orang berdiam dan malu, lantas
dia bersenyum. Lalu dia berkata pula : "Oh, mungkin katakataku
berkelebihan, adikku, walaupun demikian, harap kau
tidak taruh hati....."
Habis berkata, kakak itu mengibasi tangannya terhadap Jie
Biauw dan Cie Biauw, sembari ia meneruskan : "Mari kita pergi
! Tak dapat kita berdiam disini, nanti kita mengganggu orang
yang sedang memasang omong !"
Terus kakak ini memutar tubuhnya, tetapi ketika ia
melangkah, tindakannya ayal-ayalan seperti juga dia tak ingin
berlalu dari ruang itu.......
Ya Bie mengawasi mereka itu, ia mendengar dan melihat,
tetapi ia mendengarnya dengan separuh mengerti dan
separuh tidak. Ia hanya mendapati kata-katanya Toa Biauw
keras dan tajam dan wajahnya tak mengasih. Tapi ia tak
menghiraukan mereka itu, ia hanya melirik pada It Hiong,
memberi isyarat supaya si anak muda tanya nona-nona itu
perihal Kiauw In.


It Hiong pun mendadak ingat halnya Nona Cio.
"Tahan !" teriaknya pada Toa Biauw semua.
Nona itu menghentikan langkahnya. Lantas dia berpaling.
Memang dia sengaja mau menggodia Su Biauw, jalannya pun
di buat-buat lambatnya.
"Apa ?" tanyanya pada si anak muda. "Apakah kau tidak
takut kami nanti mengganggumu ?"
"Hm !" It Hiong memperdengarkan suara mendongkol.
"Lekas bilang dimana adanya Cio Kiauw In sekarang !"
Toa Biauw bersikap ugal-ugalan. Tingkahnya centil sekali.
"Mau apa kau mencari dia ?" tanyanya dingin.
It Hiong gusar.
"Jika kamu tahu selatan, lekas kamu bicara terus terang !"
katanya keras. "Kalau tidak, harap jangan menyesal, aku yang
rendah terpaksa tak berlaku sungkan lagi terhadap kamu !"
"Aduh, aduh !" Toa Biauw berseru-seru, kembali tingkahnya
dibikin-bikin. "Sungguh mulut besar!" Terus dia berpaling pula
pada adiknya seraya berkata : "Nah, adik, kau harus sadar,
nyatanya orang datang kemari bukannya buat mencari kau
hanya orang lain !"
Habis sabarnya It Hiong sebab Toa Biauw tidak
menghiraukan dan nona itu selalu mengejek Su Biauw. Tibatiba
saja ia melayangkan sebelah tangan pada nona itu.


Toa Biauw berdiri berendeng dengan Jie Biauw dan Cit
Biauw, meliha datangnya serangan, ia berkelit berbareng
bersama dua orang adiknya itu. Berhasil mereka
membebaskan diri.
Ketujuh muridnya Im Ciu It Mo itu bukannya cuma
barengan dandanan dan senjatanya, juga caranya berkelahi,
ialah selalu mereka bertujuh, atau sedikitnya beberapa orang
seadanya mereka bersama. Itu pula yang membuatnya
menjadi lihai.
Melihat orang dapat menyelamatkan diri, It Hiong maju
terus guna mengulangi serangannya. Ia menggunakan jurusjurus
dari Hang Liong Hok Houw-ilmu menaklukan naga
menundukkan harimau.
Toa Biauw bertiga berlompat mundur buat segera
mengambil tempatnya masing-masing, dengan demikian,
dapat mereka membuat perlawanan. Mereka merenggang dan
merapatkan diri dengan sempurna. Kalau mereka maju, enam
buah tangan mereka bekerja sama.
Su Biauw pun lantas turun tangan. Menuruti suara hatinya,
tak sudi dia membantui ketiga saudara seperguruan itu, lebihlebih
Toa Biauw, akan tetapi ia mesti mentaati peraturan dan
pesan gurunya. Begitulah terpaksa ia mengambil tempatnya,
untuk maju dan mundur bersama. Karena mereka telah
terlatih sempurna, tidaklah heran apabila mereka berempat
jadi tangguh sekali, It Hiong bagaikan dikurung sekawanan
kupu-kupu.
Cit Biauw Lie terancam hukuman berat kalau mereka
menyaitui aturan gurunya. Maka juga mereka bertempur
dengan sungguh-sungguh, mereka seperti tak takut mati.


Sebenarnya, kalau mereka menempur It Hiong satu lawan
satu, tak seorang juga dari mereka yang sanggup bertahan
lebih dari tiga jurus, tetapi sekarang mereka dapat bertahan
dengan baik. Mereka mundur kalau diserang, atau mereka
merangsak pula selekasnya datang kesempatan.
Ya Bie berdiri menonton bersama So Hun Cian Li. Si nona
mementang lebar matanya. Tak ada kesempatan buat dia
turun tangan membantu It Hiong.
Terus pertempuran berlangsung. Keadaan masih
berimbang. It Hiong menang unggul, cuma bedanya, ia tidak
memiliki Keng Hong Kiam seperti semasa ia menempur musuh
di Ay Lao San. Ia pula berniat menawan musuh, supaya si
orang tawanan dapat dipaksa menyebutkan dimana Kiauw In
dikurung. Keadaan berlarut-larut membuat ia akhirnya
menjadi tidak sabaran. Kurungan lawan itu lihai sekali. Jadi
harus dia memecahkannya. Maka juga, lagi sesaat, ia harus
bertindak.
Dengan satu gerakan Tangga Mega, anak muda kita
menjejak tanah, untuk mencelat tinggi, lalu tubuhnya seperti
berada di "tengah udara", ia melihat ke bawah, kepada
musuh.
Musuh heran menyaksikan orang berlompat tinggi,
sendirinya gerakan mereka tak berjalan sebagaimana
selayaknya. Sebab musuh diatas dan tak dapat diserang
sambil berlompat tinggi juga. Terutama yang heran adalah
Toa Biauw, murid terpandai dari It Mo. Tengah dia heran itu
mendadak tubuhnya It Hiong turun ke arahnya seraya terus
menyerang padanya !
Cepat luar biasa, si nona berkelit, menyusul itu, ia
membalas menyerang. Selagi ia berkelit, tempatnya yang


kosong sendirinya diisi Cit Biauw. Dia ini justru yang
kepandaiannya terendah diantara mereka bertujuh. Dengan
begitu juga, It Hiong jadi berada paling dekat dengan nona
yang ketujuh itu, maka terus ia menyerang si nona.
Cit Biauw terkejut. Belum sempat ia memperbaiki
kedudukannya. Guna menyelamatkan diri, ia berkelit dengan
satu gerakan "Tiat Poan Kio" atau Jembatan Papan Besi.
Tubuhnya melenggak seperti terlentang sebatas perutnya.
Mestinya ia meneruskan itu dengan berjumpalitan atau
menyelosor terus. Justru begitu, It Hiong meneruskan
menggerakkan kedua belah tangannya. Maka bentroklah
tangannya dengan tangannya Taoa Biauw, yang telah
membalas menyerang itu.
Cit Biauw dapat melenggak, ia lolos dari hajaran, tetapi
anginnya tangannya si anak muda mengenai dadanya,
serangan angin itu membuatnya terkejut, hingga tak dapat ia
bergerak lebih jauh sebagaimana kehendaknya Barisannya.
Dengan begitu juga kacaulah pengurungan mereka. Ia sendiri
merasa malu hingga mukanya menjadi merah.
Toa Biauw yang tangannya beradu dengan tangannya It
Hiong, kena tergempur mundur beberapa tindak, tubuhnya
terhuyung-huyung, ketika ia dapat berdiri tetap pula, ia
merasa tubuhnya bagian dalam bergolak, hingga ia pun mesti
berdiri diam akan memperbaiki saluran nafasnya.
Dengan Toa Biauw beristirahat dan Cit Biauw berdiam,
tinggallah Su Biauw dan Jie Biauw. Mereka tidak takut. Mereka
melanjuti pengurungan. Sekarang mereka menggunakan joanpian,
yaitu cambuk lunak, dengan senjata itu, It Hiong
dikepung pula.


Habis menyerang dadanya Cit Biauw, It Hiong merasa likat
sendirinya. Justru itu, kedua cambuk menyambar padanya.
Terpaksa, ia harus membela diri. Cambuk datang dari kiri dan
kanan. Yang hebat, ujung cambuk ada senjata tajamnya. Ia
juga mengeluh, yang kedua nona itu tidak mau mengalah.
Maka buat menyambuti kedua batang cambuk, ia mementang
tangannya ke kiri dan kanan.
Itulah gerakan "Co Yu Kay Kong -- Kiri Kanan Mementang
Busur". Dengan itu, It Hiong menyambar ujung cambuk
lawan, untuk menangkap dan mencekalnya. Kedua nona lihai,
mereka berhasil lekas-lekas menarik pulang senjata lunaknya
itu. Setelah itu, mereka menyerang pula, bahkan dengan
keras. Terang maksudnya guna membikin si anak muda repot,
agar Cit Biauw dan Toa Biauw sempat bernafas......
Toa Biauw dan Cit Biauw sempat melegakan diri. Toa Biauw
lantas memikir buat menggunakan tipu daya. Mereka memang
masih mempunyai perangkap. Diam-diam dia melirik kepada
Cit Biauw. Setelah itu, bukannya dia maju akan menyerangnya
pula, dia justru bertindak ke kanannya, dimana ada sebuah
pojokan. Pada dinding sebelah kiri, tangannya menekan
sesuatu. Selekasnya terdengar satu suara perlahan, disitu
terpentang sebuah pintu rahasia, pintunya kecil. Lantas dia
bersiul dua kali, menyusul tubuhnya memasuki pintu itu.
Cit Biauw menyusul dengan cepat, akan memasukinya
juga.
Su Biauw dan Jie Biauw mendengar siulan itu, diam-diam
mereka menoleh hingga mereka melihat kedua kawan itu
menghilang ke dalam pintu rahasia. Lantas Su Biauw
menyerang keras pada It Hiong, selagi si anak muda terdesak,
mendadak ia berlompat mundur.


"Jie jia, kita menyingkir atau tidak ?" dia tanya Jie Biauw, si
kakak nomor dua.
Jie Biauw tertawa.
"Maksudmu, saudara ?" tanyanya.
"Kau tahu maksudku, hanya........." sahut si saudara ke
empat.
Jie Biauw tertawa pula.
"Hm, budak !" katanya. "Kau tak ikhlas meninggalkannya,
bukan ?"
Memang Su Biauw mencintai Hong Kun dan tak ingin
memeletnya masuk ke dalam perangkap. Ia hanya tidak tahu,
It Hiong bukannya pemuda she Gak itu. Ia tetap tidak
mengenali anak muda ini, si pemuda tulen bukan yang
palsu..... Ia pula tidak ingat halnya Hong Kun sudah minum
Thay-siang Hoan Hun Tan dan kesadarannya telah terganggu,
sedangkan pemuda ini sehat walafiat. Bahkan It Hiong selalu
menyebut-nyebut Kiauw In.
Cit Biauw pun lain lagi. Dia belum pernah merantau, dia tak
tahu mana Hong Kun mana It Hiong. Dia cuma tahu melihat
Hong Kun dan sekarang pemuda di depannya ini sama dengan
Hong Kun itu. Laginya Hong Kun jarang berdiam di dalam goa,
sebab It Mo selalu memerintahkannya bekerja di luaran.
Sedangkan kalau Hong Kun pulang ke Kian Gee Kiap Kok, It
Mo pun menjaga keras kedua pihak bercampur gaul erat-erat.
Hingga kalau mereka bertemu, bertemunya sebentaran di
depan sang guru.


Ketika itu, Su Biauw pun mendapat satu pikiran lain. Dia
mau percaya, mungkin benar pemuda ini bukannya Hong Kun
hanya lain orang yang menyamar menjadi Hong Kun itu.......
Karena berpikir demikian, gerakannya si nona menjadi
kendor, lantas dia kena didesak.
Jie Biauw pun lantas mendapat pikiran serupa. Dalam
kesempatannya, dia lompat ke sisinya Su Biauw dan terus kata
berbisik pada adik seperguruan itu : "Budak, jangan kau
sesatkan sang asmara ! Rupanya dia ini benar bukan Gak
Hong Kun...."
Selama mundur, Su Biauw telah sampai di dinding, disitu
dia menempelkan tubuhnya pada tembok, dengan mendelong,
dia mengawasi si anak muda. Tiba-tiba dia mengernyitkan alis
dan menghela nafas.......
It Hiong heran kedua nona itu menghentikan
pengepungannya, bahkan orang bediri menjublak dan
agaknya berduka. Ia lantas melihat kelilingnya. Di situ sudah
tidak ada lain orang lagi kecuali kedua nona itu. Bahkan Ya Bie
bersama So Hun Cian Li lenyap juga !
"Ah !" serunya tertahan. Lantas ia lari ke pintu, untuk
melongok. Mendadak ia mendengar suara berkelisik di
belakangnya, dengan cepat ia menoleh. Kembali ia menjadi
heran. Pintu rahasia sudah tertutup pula, Su Biauw dan Jie
Biauw pun lenyap !
Semua terjadi di dalam sekejap !
"Kemana Ya Bie dan si orang utan ?" pikirnya. Ia bingung
juga. Ia menguatirkan mereka itu kena terjebak musuh.


Jangan kata suaranya Ya Bie, Pekiknya So Hun Cian Li pun tak
terdengar.....
Kiauw In belum dapat ditemukan, sekarang Ya Bie berdua
juga lenyap. Saking bingung, It Hiong menjadi gusar.
Mendadak saja ia bersiul keras dan lama, hingga seluruh
ruang bagaikan tergetar !
Sekonyong-konyong pintu gua terbuka dan satu bayangan
orang berlompat muncul !
"Ah, kiranya kau disini !" seru bayangan itu, yang lantas
tertawa nyaring. "Berapa sengsara aku mencarimu !"
"Hm !" It Hiong memperdengarkan suara dingin setelah dia
melihat tegas orang itu, Peng Mo, si Bajingan Es.
Nikouw itu menghampiri, tindakannya halus, langkahnya
menggiurkan. Kali ini dia tertawa centil.
"Berhenti !" It Hiong membentak, melarang orang
mendekatinya.
Tanpa merasa Peng Mo menghentikan langkahnya,
parasnya menjadi suaram. Hanya sejenak, dia tertawa pula.
"Ah, kau membuatku kaget !" katanya. Dengan sama
perlahan seperti tadi, ia bertindak pula akan mendekati si anak
muda.
It Hiong memperlihatkan tampang gusar.
"Awas !" ancamnya. "Lagi satu langkah kau maju, jangan
sesalkan aku tak mengenal kasihan !"


Suara itu bengis sekali. Kembali Peng Mo menghentikan
langkahnya. Hanya kali ini dia tidak menjadi heran atau kaget.
Bahkan dia tertawa pula dan kata : "Aku ingin memasang
omong denganmu ! Toh boleh, bukan ?"
It Hiong mendelikkan matanya.
"Di antara kita ada kelainan jalan !" katanya. "Apakah yang
dapat dibicarakan ?"
Peng Mo tetap tertawa manis. Dia tak menghiraukan sikap
keras pemuda itu. Inilah sebab ia menyangka pemuda itu
adalah kekasihnya.
"Ah, kau tega........." katanya. "Kenapa kau begini tawar
terhadapku ? Tipis sekali budi rasamu ! Mustahil berbicara saja
tidak dapat ! Kau............"
"Tutup mulut !" bentak It Hiong, menyela. Dia menjadi
semakin gusar.
Sepasang alisnya si Bajingan Es bangkit.
"Apakah kau menghendaki aku turun tangan ?" tanyanya
mendongkol.
It Hiong tidak memperdulikan pertanyaan itu. Kiauw In
membuatnya bingung, lalu itu ditambah dengan hilangnya Ya
Bie berdua So Hun Cian Li. Maka ia bertindak ke dinding, akan
meneliti seluruh dinding itu, guna mencari pintu rahasia.
Dinding itu tapinya licin seluruhnya, tak ada sesuatu yang ia
dapatkan atau mencurigakannya.
Peng Mo menjadi panas hati. Orang tidak
menghiraukannya. Maka ia menggertak gigi dan kata dengan


sengit : "Jika aku tidak mengasi lihat kepandaianku kepadamu,
kau pasti tidak mengetahui lihainya Hong Gwa Sam Mo !"
Lantas ia bertindak maju, dengan perlahan, tangannya
meraba sakunya mengeluarkan Bie Hun Tok Hun, pupur
biusnya. Selekasnya ia berada di belakang si anak muda, yang
tetap memperhatikan dinding, mendadak ia berseru nyaring
dan tangannya yang memegang pupurnya, dikibaskan hingga
pupur jahatnya itu lantas tersebar menyambar ke mukanya si
anak muda. Pupur itu berupa seperti asap atau uap merah.
It Hiong mendengar seruan itu, ia berpaling dengan lantas,
selekasnya ia melihat asap, lantas ia menutup hidungnya,
untuk menahan nafas, sedangkan tubuhnya sengaja
diterhuyung-huyungkan hingga jatuh ke tanah ! Lalu, sambil
rebah itu diam-diam ia memasang mata.
Peng Mo girang melihat usahanya telah berhasil. Tapi ia
belum puas. Ia mau mendapatkan Gak Hong Kun. Maka ia
bertindak menghampiri anak muda kita. Segera setelah datang
dekat, sambil berjongkok ia mengulur sebelah tangannya, jari
tangannya dibuka, guna menotok jalan darah pingsan anak
muda itu !
Tiba-tiba si Bajingan Es menjadi kaget sekali. Belum lagi
totokannya mengenai sasarannya, tahu-tahu pergelangan
tangannya sudah ditangkap It Hiong bahkan terus dipencet
hingga dia mati kutunya !
"Tak kusangka kau begini telengas !" berkata si anak muda
sambil dia berlompat bangun, suaranya keras, wajahnya
keren.
Peng Mo tak berdaya, tetapi dia hanya kaget saja, waktu
dia ditegur itu bukannya dia jauh, dia justru tertawa manis.


"Yang telengas bukannya aku, hanya kau !" dia membalik.
"Secara baik-baik aku bicara denganmu, kau justru tidak
mempedulikan aku ! Kenapa ?" Dan ia menghela nafas.
It Hiong heran juga. Inilah karena ia tidak tahu bahwa
orang menerka siapa ianya. Ia melengak sebentar, terus ia
menanya : "Bukankah kita tidak kenal satu dengan lain, dan
tidak berhubungan juga ? Kenapa kau membokong aku ?
Apakah artinya perbuatan kejammu barusan ?"
Peng Mo merasai pipinya panas. Toh ia tetap tertawa
manis.
"Apakah kau masih belum tahu hatinya orang perempuan
?" tanyanya. Ia menghela nafas pula. Lantas ia melanjuti :
"Sejak di Ngo Tay San, aku menyusul kau sampai disini ! Toh
kau masih saja tak mengenal budi terhadapku !"
Entah darimana datangnya, tiba-tiba si nikouw bercucuran
air mata, nampaknya ia sangat bersedih berbareng penasaran
saking menyesalnya.......
It Hiong mengawasi. Ia heran tetapi ia mengerti, disini ia
menghadapi pula bencana asmara. Ia menjadi mendapat dua
rupa perasaan, orang harus dikasihhani berbareng lucu.
Sendirinya ia menghela nafas, lantas ia melepaskan
cekalannya.
"Kau pergilah !" katanya akhirnya.
Peng Mo tidak lantas mengangkat kaki, bahkan ia menatap
si anak muda. Dia mengira bahwa air matanya benar-benar
mustika wanita, sebab air mata dapat membuat hati orang
lemah. Maka ia maju lagi satu tindak.


"Mari kita pergi bersama......." katanya halus.
It Hiong sementara itu sudah bertindak ke dinding yang
lain, untuk mencari terus pintu rahasia, kata-kata orang itu ia
dengar tetapi seperti tidak mendengarnya. Ia tidak
mempedulikan.
Peng Mo menghampirkan, dengan kedua tangannya, ia
memegang kedua bahunya si anak muda. Nampak ia sangat
berduka.
"Saudaraku yang baik," katanya, "kau tidak mempedulikan
aku, kalau begitu kau bunuh saja aku....... Itu lebih baik,
bukan ?"
It Hiong tetap memekakkan telinga, terus saja ia mencari
pesawat rahasia. Hatinya Peng Mo guncang memegang bahu
si anak muda, tubuhnya bergetar. Sendirinya terbangunlah
nafsu birahinya. Ia mencoba menguasai diri, hingga giginya
seperti berjatrukan.
It Hiong tetap mencari pintu rahasia dengan asyiknya.
Panas hatinya Peng Mo. Ia menganggap orang terlalu. Kedua
matanya bersinar membara. Tiba-tiba ia mencekal keras bahu
orang dan mengajukan mulutnya buat menggigit ! Si anak
muda kaget sekali. Ia pun merasa nyeri. Maka ia memutar
tubuh sambil tangannya menyampok ! Kontan nikouw itu
terguling.
"Kau !... Kau gila ?" bentak si anak muda sambil menuding.
Ia heran orang menjadi kalap begitu. Dalam gusarnya, ia
sampai tak dapat mengatakan lebih.
Rebah ditanah, Peng Mo menangis.


"Kau kejam !" katanya. "Kau pria sangat kejam !"
It Hiong mengawasi. Tiba-tiba ia sadar. Sendirinya
berkuranglah kemarahannya.
"Kau keliru," katanya kemudian, tak bengis lagi. "Kau keliru
mengenali orang !"
Masih si nikouw menangis.
"Aku tidak keliru," bilangnya. "Dasar kau yang kejam, kau
tipis budi !"
Bukannya ia gusar, si anak muda menjadi tertawa.
"Kau kira kau tidak keliru mengenali orang ?" tanyanya
sabar. "Nah, kau bilanglah, siapakah aku ?"
Tanpa berpikir lagi, Peng Mo menjawab : "Tio It Hiong !"
Maka heranlah si anak muda, hingga dia melengak.
Peng Mo pun mengawasi, ia berkata pula : "Saudara Tio,
kau telah dicelakai Im Cit It Mo ! Dia telah memberi kau
obatnya yang lihai, yang membuat syarafmu terganggu hingga
kau tak lagi sadar sesadar-sadarnya ! Kau toh kehilangan
ingatanmu yang sehat, bukan ?" Ia berbangkis dan berjalan
menghampiri.
It Hiong mengawasi. Masih dia heran.
"Kau salah mengenali orang !" katanya pula. "Orang yang
kau maksudkan itu Gak Hong Kun, bukannya aku ! Bagaimana
hubungan diantara kalian berdua, aku tidak tahu menahu !'


Peng Mo mendelik pula.
"Masa bodoh, kau Tio It Hiong atau Gak Hong Kun !"
katanya keras, mengotot. "Tidak hari ini tak dapat aku
melepaskan kau !"
It Hiong jadi mendongkol. Ia tertawa tawar.
"Kau tak mau melepaskan aku ?" tegaskannya. "Habis, kau
mau apakah ?"
Sekonyong-konyong Peng Mo tertawa. Dia menatap.
"Saudara yang baik," katanya. "Kau dengarlah aku !
Hendak aku bicara terus terang padamu ! Asal saja kau suka
turut aku berlalu dari sini, dalam hal apa juga akan aku turuti
kau !"
Mendengar kata orang itu, mendadak It Hiong mendapat
satu pikiran.
"Benar-benarkah kau akan turut segala kehendakku ?" ia
menegaskan.
Peng Mo tertawa pula.
"Saudara yang baik !" katanya, manis --dia sangat girang--,
"Suadara, benar-benar akan kau iringi segala kehendakmu !"
Mendadak pula It Hiong memperlihatkan tampang
kerennya.
"Baik !" katanya keras. "Sekarang aku menyuruh kau pergi
! Nah, pergilah !"


Peng Mo melengak, lenyap tawanya. dia menjadi panas
hati.
"Hm !" dia perdengarkan suara dinginnya. Mukanya pun
menjadi pucat. "Baiklah !"
Jilid 54
Benar-benar si Bajingan Es memutar tubuhnya, buat terus
bertindak ke pintu !
Tapi, di muka pintu, di sana berdiri Im Ciu It Mo bersama
Ek Sam Biauw !
Im Ciu It Mo telah beristirahat cukup, dapat dia
bersemadhi, juga telah bersih racun jarum yang menyerang
tubuhnya, hingga telah pulih seluruh kesehatannya, maka
dengan mengajak Sam Biauw, dia lekas-lekas pergi ke
kamarnya ini yang menjadi kamar peranti memasak racun.
Ketika sampai di kamar dapurnya, dia menjadi heran sekali.
Tak ada barang satu muridnya di kamar tersebut, dapurnya
tapinya terus menyala. Maka dia menjadi mendongkol sekali.
Dia pula bergusar mengetahui si Bajingan Es telah lancang
memasuki guanya terus ke dapur obatnya itu, hingga rahasia
dapurnya kena terlihat orang. Karena itu, selekasnya dia
melihat Peng Mo lagi bertindak ke pintu, tiba-tiba saja dia
menyerang dengan satu pukulan Tauw-lo-ciang !
Bukan main kagetnya Peng Mo. Serangan itu, selainnya
sangat mendadak, juga tak disangka-sangka olehnya, seperti
juga dia tak mengira yang Im Ciu It Mo dengan sekonyongkonyong
saja muncul di ambang pintu. Dalam kagetnya, dia
lantas berkelit. Tak kecewa Hong Gwa Sam Mo menjagoi
dalam dunia Kang Ouw, mereka memiliki kepandaiannya.


Demikian si Bajingan Es itu. Hanya walaupun dia bebas dari
tangan lawan, anginnya serangan toh mengenai juga bahunya
hingga dia merasai nyeri sekali. Juga, belum lagi dia dapat
berdiri tegak, telinganya sudah mendengar suara dingin
berulang-ulang : "Hm ! Hm !"
Im Ciu It Mo melangkah ke dalam kamar dapurnya itu,
langkah demi langkah. Dialah yang bersuara dingin itu.
Sembari melangkah itu bergantian dia menatap tajam pada
Peng Mo dan It Hiong. Akhirnya dia kata sengit : "Siapa yang
telah melihat dapurku ini, jangan dia harap keluar dari sini
dengan masih bernyawa !" Dia terus mengangkat tongkat
Touw-lo-thungnya sambil membentak : "Siapa yang tahu diri,
lekas dia mengambil keputusannya sendiri ! Atau kalian
berdua baiklah menjadi sepasang bebek mandarin mati !
Yang dipanggil bebek mandarin itu sebenarnya ialah
burung yuan-yang atau wanyoh.
Peng Mo jeri hingga dia mundur setindak dengan setindak.
Dia mengerti baik sekali yang dia bukanlah lawan dari Im Ciu
It Mo. Ketika dia datang ke sarang orang ini, dia ada bersama
dua saudaranya, Hiat Mo si Bajingan Darah dan Tam Mo si
Bajingan Tamak. Hanya dua saudara angkat itu bersembunyi
di luar gua. Dia masuk dengan diam-diam. Di ruang besar, dia
melihat Im Ciu It Mo lagi duduk bersemadhi, tetapi dia sangat
bernafsu ingin menemui "kekasihnya", maka tanpa memanggil
lagi dua kakak seperguruannya, dia meninggalkan Im Ciu It
Mo, dia masuk terus kedalam sampai di kamar tempat
membuat obat itu. Sekarang, selain gagal menghadapi It
Hiong, dia pun kepergok pemilik gua....
It Hiong lain dari pada Peng Mo, ia tidak kenal takut. Apa
pula ketika itu ia lagi sangat berkeinginan keras mendapatkan
Kiauw In. ia pun sedang mendongkol sebab semua muridnya


It Mo kabur meninggalkannya, hingga ia merasa sulit mencari
mereka itu. Maka kebetulan sekali sekarang ia berhadapan
dengan It Mo sendiri. Inilah tepat dengan bunyinya pepatah
yang berkata "buat meloloskan genta mesti orang yang
mengikatnya sendiri". Demikianlah, sebaliknya mundur atau
berdiri tetap ditempatnya, dia justru berlompat maju akan
memapaki It Mo.
"Kebetulan sekali kau muncul !" katanya sambil tertawa
seraya terus ia menyiapkan tenaganya guna menyambut
segala kemungkinan.
Menyaksikan gerak geriknya It Hiong itu, Peng Mo keliru
menerka hati orang. Dia justru menduga It Hiong mau
membelainya. Diam-diam dia merasa manis sekali.....
Im Ciu It Mo menatap It Hiong lebih tajam pula. Dia heran
atas sikap orang.
"Kau siapakah ?" tanyanya bengis.
"Akulah Tio It Hiong dari Pay In Nia !" sahut It Hiong
dengan tegas dan terang. "Telah kau mengenalinya baik ?"
Parasnya It Mo berubah-ubah, dari pucat menjadi merah.
Dia mendongkol sekali. Lantas dia kata pula keras : "Bocah,
jangan kau berjumawa ! Akan aku si perempuan tua
mengujimu akan mengetahui pasti kau si tulen atau si palsu !"
Lantas It Mo maju sambil memutar tongkatnya dengan apa
ia terus mengurung si anak muda, tongkatnya itu bergerakgerak
bagaikan bayangan dan anginnya seperti menderu-deru.
Sebab ilmu silat yang dia gunakan itu ialah "Kwie Eng Twie
Hun -- Bayangan Bajingan Mengejar Roh".


It Hiong mengawasi tongkat lawan dengan matanya seperti
berkunang-kunang, tak tahu pasti ia yang mana serangan
benar-benar dan yang mana gertakan belaka, dari itu terpaksa
ia menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega, akan
berkelit menyingkirkan diri dari ancaman malapetaka ! Hanya
itu, belum lagi ia tetap menginjak tanah, tongkat sudah
menyambar pula !
Hebat serangannya pemilik gua itu.
Kembali It Hiong berkelit, malah ia mesti menyelamatkan
diri berulang-ulang hingga lima kali, hingga ia mesti undur
lima tindak. Yang terakhir ini, sambil berkelit, ia menghunus
pedangnya. Itulah Pekerjaan yang sulit tetapi ia berhasil
melakukannya. Barulah setelah itu, ia menyambut
penyerangan terlebih jauh. Ia menyampok tongkat panjang
lawan dengan sampokan satu jurus dari ilmu pedang Khie Bun
Patkwa Kiam.
Tongkatnya It Mo kena tertangkis, hingga terpental, atas
mana si anak muda berlompat maju, akan membalas
menyerang dengan satu susulan tikaman "Burung Sungai
Mematuk Ikan".
Begitu si anak muda membalas menyerang, repotlah Im Ciu
It Mo. Dia dapat menangkis dengan dia sambil mundur, tetapi
justru mundurnya itu membuat lawan memperoleh
kesempatan akan maju, hingga selanjutnya dialah yang kena
didesak, ditikam dan ditebas berulang-ulang. Dia
menggunakan ilmu tongkatnya dengan separuh sia-sia sebab
tak sanggup dia segera memperbaiki diri seperti semula tadi !
"Tahan !" akhirnya It Mo berseru.


It Hiong suka mengiringi kehendak orang. Begitu ia
berhenti menyerang, begitu ia berlompat mundur. Lawan
menggunakan tongkat panjang, tak dapat ia memernahkan
diri terlalu dekat dengannya, agar ia tak sampai kena
dibokong.
Im Ciu It Mo mengawasi pula si anak muda, kali ini ia
menatap dengan luar biasa sungguh-sungguh. Dari mulutnya
terdengar suara perlahan seperti orang menggerutu : "Benarbenar
dia murid dari Pay In Nia, dari si imam tua she Cio ! Dia
ini bersilat dengan ilmu Tangga Mega dan Khie Bun Patkwa
Kiam......"
"Apakah kau kenal Gak Hong Kun ?" tanyanya kemudian,
yang herannya tak segera lenyap. Sebab ia mendapati dua
orang yang segala-galanya sangat sama satu dengan lain.
"Aku kenal !" sahut si anak muda mengangguk.
"Dimana adanya Gak Hong Kun sekarang ?" Im Ciu It Mo
tanya pula.
"Aku tidak tahu," sahut lagi si anak muda.
"Apakah bukan kau telah membunuhnya lalu menyamar
datang kemari ?"
It Mo menyangka jelek maka dia bertanya begitu.
"Kau mengoceh tak karuan !" jawab It Hiong sambil
tertawa. "Bukankah kau jago Kang Ouw yang telah
berpengalaman beberapa puluh tahun ? Mengapa kau dapat
mengucapkan kata-kata jenaka itu ? Ha ha ha !"


"Hai, bocah !" teriak It Mo dengan bentakannya. "Beranikah
kau mentertawakanku ?"
It Hiong tertawa pula.
"Kenapa aku tak berani tertawa ?" jawabnya menantang.
"Sebab apa perlunya buat aku menyamar menjadi Gak Hong
Kun ? Kau yang menerkaku yang bukan-bukan !"
It Mo melengak. Dia bungkam.
"Ini........ ini.........." katanya kemudian, sukar.
Peng Mo turut menjadi heran, dia jadi ingin ketahui hal
yang benar.
"Kenapakah Gak Hong Kun menyamar menjadi kau ?" ia
tanya si anak muda. Berani ia mencampur bicara.
Di tanya begitu, panas hatinya It Hiong.
"Sebab dia mau melakukan pelbagai macam kejahatan !"
sahutnya sambil berteriak. "Dan dia telah melakukannya !
Dengan itu dia mau menimpakan segala kejahatannya atas
diriku !"
Diam-diam It Mo mengangguk.
"Jadinya kalian berdua musuh satu pada lain !" katanya.
"Sebenarnya kami berdua bukannya musuh bahkan sahabat
satu dengan lain." kata It Hiong.


Dua-dua Peng Mo dan It Mo heran sekali, maka keduanya
mengawasi mendelong kepada si anak muda. Ek Sam Biauw
turut merasa aneh, hingga dia pun mengawasi.
Habis mengucap keras itu, It Hiong menghela nafas.
"Hal yang benar ialah," katanya kemudian, dengan sabar,
"Hong Kun kalah denganku dalam urusan asmara, dia menjadi
bersakit hati dan membenci aku, maka dia telah melakukan
semua perbuatannya itu. Sebaliknya aku, terhadapnya sama
sekali aku tidak membenci atau mendendam."
Mendengar itu, Peng Mo berduka bukan main. Jadi sekian
lama ia telah kena orang permainkan, hingga ia tergila-gila
dan mencari-cari It Hiong tak ujungnya. Dalam kedukaannya
itu, ia mengangkat kepala menengadah langit-langit kamar di
dalam goa itu.......
It Mo pun berdiam sekian lama, akan akhirnya menanya si
anak muda, "Kau bilang kau tidak membenci atau mendendam
terhadap Gak Hong Kun, habis apa perlunya kau menyerbu ke
tempatku ini ? Buat apakah ?"
It Hiong tertawa nyaring.
"Aku mencari kakakku, Kakak Cio Kiauw In !"
Mendengar disebutnya nama Kiauw In, hati It Mo bercekat.
Tapi dia cerdik bahkan licin. Dia lantas bermain komedi.
"Pernah apakah kau dengan Cio Kiauw In ?" dia sengaja
menanya.
Ditanya begitu, It Hiong gusar.


"Dia pernah apa denganku, apakah perlunya kau usilan ?"
dia balik menanya.
Im Cio It Mo mengulapkan tongkatnya. Kata dia keras,
"Aku si perempuan tua memandang mata pada gurumu ! Kali
ini suka aku memberi ampun padamu ! Nah, kau pergilah,
lekas !"
"Hm !" It Hiong menjawab pengusiran itu. "Tak semudah
ini, nyonya tua ! Biarnya aku mesti menginjak-injak Kian Gee
Kiap Kok hingga rata dengan bumi, mesti aku mencari dahulu
kakak In ku itu !"
It Mo mengawasi pula pemuda itu buat kesekian kalinya.
Diam-diam ia bercekat hati. Orang berani dan telah bertekad
bulat. Ia pula telah menyaksikan kepandaiannya pemuda itu
barusan. Hingga ia harus berfikir dengan seksama. Ingin ia
menempur pula, tetapi ia ragu-ragu. Telah ia melihat tegas,
Peng Mo mencintai anak muda itu, kalau ia mencoba mengusir
It Hiong dengan paksa, pasti si Bajingan Es akan berdiri
dipihaknya anak muda itu ! Dan itulah berbahaya ! Melayani It
Hiong seorang diri ia belum merasa pasti, bagaimana kalau It
Hiong dibantu wanita yang lagi mabuk cinta itu ?
"Ah !" pikirnya kemudian. "Baiklah aku tarik Peng Mo ke
pihakku........."
Sebagai seorang berpengalaman, wanita tua ini dapat cepat
menggunakan otaknya. Maka ia lantas mengawasi kepada
Peng Mo, untuk berkata sambil tertawa : "Toyu Peng Mo,
bukankah kita berdua orang dari satu golongan ? Nah,
bagaimana jika aku sempurnakan minatmu supaya kau
berhasil berjodoh dengan Gak Hong Kun ?"


Peng Mo melongo mendengar tawaran itu. Tak ia sangkat
kata-kata semacam itu dapat keluar dari It Mo si Bajingan
Tunggal. Maka ia lantas menerka-nerka : "Hm ! Jika dia bukan
hendak menipuku, mestinya dia ingin memeras sesuatu dari
aku !"
Segera Peng Mo ingat peristiwa di Ngo Tay San. Di gunung
itu, buat merampas Gak Hong Kun, Hong Gwa Sam Mo sampai
bentrok dengan It Mo dan ketika itu mereka tidak berhasil.
Sekarang It Mo mengajukan sarannya itu.
"Hm ! Dia tentu hendak merusak perhubunganku dengan It
Hiong......" demikian pikirnya. Tetap dia bercuriga. Maka itu,
diakhirnya, dia menggeleng-geleng kepala dan kata : "Terima
kasih, sahabatku, aku bersyukur buat kebaikan hatimu
ini.........."
Habis berkata itu, ia segera berpaling kepada It Hiong.
Im Ciu It Mo menyela lagak orang. Tegurnya pada si
Bajingan Es : "Bukankah kau mau mencari Gak Hong Kun ?
Nah, habis mau apakah kau datang kemari ?"
Peng Mo tidak menjawab pertanyaan itu. Bahkan menoleh
pun tidak. Sebaliknya ia kata pada si anak muda : "Saudara
Tio, mari aku bantu kau mencari Cio Kiauw In ! Bagaimana
nanti kau hendak mengucap terima kasih padaku ?"
"Entahlah !" sahut It Hiong cepat. "Entahlah dengan cara
apa tetapi pasti !"
Peng Mo tertawa manis.
"Kata-katamu menjadi suatu kepastian, bukan ?" katanya.
"Apakah kau tak akan menyesal ?"


It Hiong menjawab keras, "Aku yang muda, belum pernah
aku omong kosong !"
Di saat itu, keras sangat keinginannya si anak muda
mendapati Kiauw In, kekasihnya yang ia paling cintai dan
hargai, Kiauw In cantik dan luas dan jauh pandangan
matanya, dia sabar luar biasa, dia tak kenal kejelusan. Cuma
ia tidak pernah menyangka apa itu yang Peng Mo bakal minta
sebagai pembalasan budi ! Maka kembali ia menghadapi
"bencana asmara".......
It Mo menjadi gusar melihat tingkahnya Peng Mo Ia tahu
yang ia gagal membujuk atau mencoba memperdayai wanita
itu. Maka ia kata keras : "Peng Mo ! Jika kau tahu selatan,
lekas-lekas kau keluar dari sini ! Jika tidak, awas, dengan
tanganku akan aku bunuh padamu !"
Mendengar suara orang itu, bukannya dia lantas
mengangkat kaki, Peng Mo justru tertawa. Malah lantas dia
kata : "Menurut aku, lebih baik kau siang-siang menyerahkan
Nona Cio ! Janganlah kau keliru pikir hingga nanti lembah Kian
Gee Kiap ini berikut kamar obatmu ini musnah tampak rata !"
It Mo sudah gusar, sekarang ia mendengar suara orang itu.
Kegusarannya meluap, hingga umpama kata rambut ubannya
pada bangkit berdiri, sedangkan sinar matanya menyala tajam
sekali. Kalau dapat, ia ingin dengan satu kemplangan saja
membuat wanita centil dan gila laki itu mampus disitu juga !
It Hiong tidak sabaran, selagi orang berbicara itu, ia justru
mencampur bicara.
"Dimana adanya Nona Cio Kiauw In ?" tanyanya bengis.
"Kau memberitahukan atau tidak ?"


It Mo mencoba menyabarkan diri.
"Jika kau berani, mari turut aku !" katanya tak sekeras tadi,
lenyap pula tampang bengisnya. Dan ia bertindak ke dinding
kiri. Dia mengangkat sebelah tangannya, akan menekan
sesuatu pada dinding itu.
Satu suara keras segera terdengar, disusul dengan
terpentangnya sebuah pintu rahasia yang keci.
Sambil membawa tongkatnya, It Mo bertindak memasuki
pintu itu. Ia lantas disusul muridnya.
It Hiong melongok sejenak, lantas ia menyusul masuk.
"Saudara Tio, awas akan pembokongan !" Peng Mo
memberi ingat. Sebelumnya pintu itu tertutup pula, ia pun
berlompat memasukinya.
Pintu rahasia itu merupakan pintu dari sebuah lorong atau
jalan terowongan. Hawa disitu sumPek dan tak menyedapkan
hidung.
It Mo dan muridnya berjalan dengan cepat sekali. Inilah tak
heran sebab mereka kenal baik guanya sendiri itu.
It Hiong berlaku berani, ia mengikuti dengan cepat, cuma
ia mengambil jarak kira dua tombak. Di belakang ia, Peng Mo
mengintil terus.
Lorong itu mendaki, sebagaimana makin jauh orang jalan
main naik. Lorong pula ada beberapa pengkolannya. Setelah
itu, jalan berubah makin lebar. Bahkan mulai pula tampak
cahaya terang.


Sesudah berjalan sekian lama, tibalah mereka di ujung
lorong. Kiranya itu merupakan bagian belakang gunung.
Sinar terang tadi ada sinarnya si puteri malam, sinar yang
lemah sekali. Di situ angin sebaliknya bertiup keras.
It Hiong percaya ketika itu sudah jauh malam.
Di sini It Mo dan Sam Biauw berjalan terus, sampai di
depannya sebuah jurang batu karang. Itulah kaki jurang.
Karena disitu ada sebuah gua batu dan cahaya api tampak di
mulut gua.
It Hiong berlompat maju, guna memernahkan dia lebih
dekat dengan It Mo dan muridnya itu. Dengan saling susul,
mereka memasuki mulut gua. Peng Mo turut juga sebab dia
tak sudi ketinggalan.
Setibanya di dalam gua, di sana tampak sinar terang dari
api. Maka It Hiong lantas melihat juga Ya Bie, dengan tangan
memegangi ular hijaunya, lagi menempur dua orang musuh.
So Hun Cian Li berada bersama di dalam gua itu,
pakaiannya sudah rubat-rabit.
Selekasnya dia berada di dalam, It Mo bersiul nyaring
sekali, atas mana kedua orang muridnya segera menghentikan
pengepungannya terhadap Ya Bie, dan Ya Bie pun suka berdiri
diam.
It Mo membuka mata lebar-lebar. Ia melihat belasan orang
laki-laki dengan tubuh besar dan seragam hitam pada rebah
bergeletakan di lantai tanah, maka juga ia segera
memperdengarkan suara dinginnya, "Hm ! Apakah semua ini


hasil perbuatannya budak itu ?" Dan dengan tongkatnya ia
menuding Ya Bie. Ia menanya kepada murid-muridnya.
Ek Toa Biauw maju setindak.
"Budak ini mengerti ilmu siluman !" menjawab murid kepala
ini sambil dia pun menuding muridnya Touw Hwe Jie. "Dan
ular ditangannya itu sangat beracun ! Semua mereka itu,
karena tidak berhati-hati telah kena dipagut ular hingga
mereka roboh tak berdaya !'
Sengaja Toa Biauw menyebut lihainya ular hijau dari Ya Bie
agar ia bisa mengelakkan tanggung jawabnya.
It Hiong sementara itu menghampiri Ya Bie. Ia puas yang
nona itu tak kena perangkap lawan. Bahkan dia berhasil
merobohkan banyak musuh.
"Adik, kau tak kurang suatu apa, bukan ?" tanyanya halus.
Nona itu masih bernafas terengah-engah.
"Aku kena ditusuk satu kali pedangnya kakak Cio !"
katanya.
It Hiong terkejut, hingga segera ia mengawasi tubuhnya si
nona, hingga ia melihat belakang bahu kiri nona itu, bajunya
telah robek dan disitu tampak darah segar ! Tidak ayal lagi, ia
menotok atasan bahu itu, guna menghentikan darahnya yang
masih mengalir keluar, kemudian dengan sama cepatnya ia
mengeluarkan obatnya akan mengobati luka itu.
Ya Bie tertawa melihat keprihatinan si anak muda.


"Kakak Hiong, aku tidak kenapa-napa......" katanya
bersenyum manis.
Justru itu terdengar suara nyaring bengis dari Im Ciu It Mo,
"Eh, bocah she Tio ! Orang yang kau hendak cari berada disini
! Hendak aku lihat, kepandaian apa kau miliki hingga kau
sanggup membantunya !"
It Hiong menoleh dengan cepat. Maka ia melihat Cio Kiauw
In berada dalam rombongannya ketujuh muridnya Im Ciu It
Mo. Nona itu memegangi pedang tetapi sinar matanya tolol
tampangnya mirip orang hilang ingatan. Bukan main sedihnya
ia.
"Kakak In !" serunya, "Kakak In !"
Dan segera ia maju untuk menghampiri.
"Serrr ! Serrrr !" demikian suara nyaring terdengar saling
susul. Itulah suara anginnya beberapa lembar cambuk lunak,
yang dihajarkan kepada si anak muda.
It Hiong terkejut, ia berlompat mundur pula.
"Kakak Kiauw In !" ia memanggil lagi. "Kakak Kiauw In !"
Nona Cio mendengar, dia mengawasi dengan berdiam saja.
Terang sekali matanya memperlihatkan sinar ketololan, suatu
bukti yang dia tak sadarkan diri seluruhnya. Dia mendengar
tetapi sebagai tiada..........
Im Ciu It Mo berkata pula, tetap dengan suaranya yang
dingin.


"Dia telah makan obatku si tua, obat Thay-siang Hoan Hun
Tan !" demikian katanya. "Mana dia mengenali pula padamu ?
Hm !"
It Hiong berduka berbareng mendongkol melihat
keadaannya Kiauw In itu serta menyaksikan lagak tengik
jumawa dari si wanita tua dan busuk, kata-katanya wanita itu
membuat darahnya bergolak, matanya merah dan bersinar
membara. Begitulah tanpa mampu mengendalikan diri lagi, ia
menghunus pedangnya menerjang lawan.
Dengan menggerakkan tongkatnya dengan jurus silat
"Mengangkat tongkat, Menutup pintu", Im Ciu It Mo
menangkis sambil dia berlompat berkelit.
"Bocah, jangan tergesa-gesa !" teriaknya. "Jika kau hendak
menempur aku, baik, tetapi masih ada waktunya, kita tak
akan kelambatan ! Mari kita bicara dahulu !"
It Hiong tetap mendongkol, ia gusar sekali.
"Apa lagi yang hendak dibicarakan ?" tegurnya.
Im Ciu It Mo menjawab dengan tenang.
"Aku si wanita tua," katanya, "aku yang tua tak sudi
menghina yang muda, aku tidak mau menjadi si besar
menindih si kecil ! Lebih-lebih sungkan kami yang banyak
merebut kemenangan dari yang sedikit ! Aku malu kalau aku
sampai ditertawai orang Kang Ouw !"
"Habis kau mau apa ?" bentak It Hiong sambil menuding
dengan pedangnya.


"Aku ingin yang kita berdua membuat garis," sahut It Mo,
tertawa tawar. "Kita mengadakan syarat atau perjanjian !
Dengan cara demikian, kalau sebentar kau mampus, kau tak
bakal penasaran !"
"Lekas jelaskan !" It Hiong membentak pula. Ia menjadi
sangat tak sabaran.
Im Ciu It Mo bersenyum ewah. Dia lantas menunjuk Nona
Kiauw In.
"Syaratku sangat sederhana !" sahutnya acuh tak acuh.
"Begini : Kalau kau dapat mengalahkan pedang ditangannya
dia itu, akan aku memberikan kebebasan padamu buat
membawanya pergi ! Percayaitu aku si wanita tua, tak nanti
aku menghalang-halangi padamu !"
It Hiong melengak mendengar syarat itu. Sungguh, itulah
diluar dugaannya ! Jadi dia hendak diadu dengan kakaknya
itu, dengan pacarnya sendiri ! Ia melengak saking mendongkol
dan gusar melewati batas !
Sulitnya bagi si anak muda. Kiauw In tengah tak sadarkan
diri, hal itu bisa mendatangkan bencana untuk dirinya si nona
demikian pun buat dirinya sendiri. Bagaimana kalau si nona
atau ia salah menurunkan tangan ?
Ya Bie melihat dan mendengar. Ia dapat mengerti
kesulitannya si anak muda. Ia pun bingung hingga ia turut
berdiam saja.
Im Ciu It Mo mengawasi si anak muda, dia puas sekali.
Beberapa kali dia memperdengarkan tawa dinginnya. Itulah
penghinaan yang sangat. Tawanya pun bernada mirip
Pekiknya si burung malam.


"Eh, bocah she Tio !" katanya pula, habis tawanya yang
paling belakang. "Eh, bocah, apakah kau tidak mau bertanding
dengan Cio Kiauw In ? Jika benar, aku si perempuan tua, aku
tidak mau memaksamu ! Baik, aku persilahkan kau berlalu dari
sini !"
Matanya It Hiong terbuka lebar hingga menjadi mendelik.
Ia pun menggertak giginya.
"Baiklah !" sahutnya singkat. "Kau suruhlah kakak In maju
!"
Sesaat itu, anak muda kita dapat juga mengambil
keputusannya.
"Tunggu dahulu !" tiba-tiba Peng Mo, si Bajingan Es,
menyela. "Aku hendak bicara sedikit."
"Siapa menghendaki kau banyak bacot !" bentak It Mo
pada nikouw itu. "Minggir !"
Tapi nikouw itu membelar. Dia mengotot.
"Cara bertempur itu tidak adil ! Syarat itu tak tepat !"
"Apa yang tidak adil ?" bentak It Mo. "Taruh kata dia kalah,
aku pun tidak menghendaki jiwanya !"
Dengan dia, It Mo maksudkan It Hiong.
Peng Mo Nikouw masih tidak mau mengerti.


"Taruh kata dia menang, Kiauw In toh tetap milikmu, bukan
?" katanya. Ia pun maksudkan "dia" dengan It Hiong. "Nona
itu lupa akan dirinya sendiri, dia bagaikan mayat hidup !"
Mendengar suaranya Peng Mo itu, hatinya menggetar. Ia
insaf kenapa Kiauw In tidak mengenali pacarnya, pula nona itu
berdiam saja. Memang, si nona telah menjadi korban obat
jahat dari Im Ciu It Mo, kalau tidak, tak nanti dia tak sadarkan
diri. Kalau ia menang obat apa bisa dipakai mengobati Kiauw
In ?
It Mo sangat cerdik. Dia berpura tidak mengerti.
"Nah, kau bilanglah." katanya pada si pemuda. "Kau
mempunyai pikiran apa ? Atau apakah yang kau hendak
ajukan ? Kau bicaralah !"
Mendengar itu, It Hiong lantas kata pada It Mo, "Cianpwe,
kau telah memberi kelonggaran padaku, baik, aku terima !
Buat itu terlebih dahulu terimalah terima kasihku ! Hanya
sebelum kami mulai bertempur, lebih dahulu hendak aku
minta sesuatu......."
Im Ciu It Mo tertawa terkekeh. Dia geli sekali.
"Begini," sahut It Hiong, "Andiakata aku berhasil merebut
kemenangan dari Nona Kiauw In, cianpwe mesti memberikan
aku obat pemunah mesti memberikan aku obat pemunah guna
menyembuhkan dia dari siksaan obat Thay-siang Hoan Hun
Tan !"
"Tak sukar buat aku memberikan obat itu !" katanya
singkat. "Asal kau hendak mencoba-coba Barisan rahasiaku,
Barisan Cit Biauw Tin !"


It Hiong menjawab tanpa berpikir pula.
"Baik !" demikian sahutnya.
Anak muda itu mau mengajukan diri, tetapi Ya Bie
menghampiri dan berbisik ditelinganya : "Kakak Hiong, kau
harus menggunakan tipu Hoan Kak Bie Cin, ajarannya guruku,
kau totok pada Kakak In, setelah itu, kita segera
membawanya berlalu !"
"Tapi," kata It Hiong, "kita membutuhkan obat
pemunahnya...."
Tapi si nona langsung melirik dan tertawa manis.
"Aku tidak percaya Thay-siang Hoan Hun Tan demikian lihai
!" katanya. "Mustahil kita tidak dapat mencari lain obat buat
menyembuhkannya !"
It Hiong menggeleng kepala.
"Obat memang banyak tetapi........"
"Tetapi," si nona menyela, "bukankah tadi hawa beracun di
dalam gua telah disirnakan oleh cahaya mutiara mustikamu,
kakak Hiong ?"
It Hiong bukannya kalah cerdas dari si nona, tetapi ia
tengah pepat pikiran. Ia pula memikir buat mencoba
kejujurannya Im Ciu It Mo. Andiakata Bajingan itu
menyangkal, itulah urusan lain. Hanya kata-katanya Ya Bie
membuat pikirannya terbuka, hingga ia dapat sedikit lebih
tenang.


"Bagaimana kalau sekarang kita mulai bertempur ?"
demikian ia tanya It Mo.
Si Bajingan mengawasi.
"Bagaimana kehendakmu," balas tanyanya. "Kau mau
menempur dahulu Tio Kiauw In atau melawan Barisan Cit
Biauw Tin ku ?"
Belum lagi It Hiong menjawab, atau ia sudah didahului oleh
Ya Bie : "Kakak Hiong ! Kau tempur dahulu Kakak Kiauw In !"
Nona itu mempunyai pikirannya sendiri. Dia memang
sangat cerdas.
It Mo mendongkol sekali.
"Budak bau !" bentaknya. "Budak bau, mau apa kau banyak
mulut ? Kau tunggu sampai sebentar lagi, aku pun hendak
membuat perhitungan denganmu !"
Ya Bie menatap, ular hijaunya dibuat main ditangannya.
"Siapa jeri padamu ?" katanya, mengejek. Ia memang
sangat berani.
It Hiong mengulapkan tangannya, mencegah nona itu
melayani It Mo mengadu lidah.
"Nah, locianpwe," katanya, "silahkan kau suruh kakak In
keluar !"
Sementara itu orang-orangnya It Mo yang dipagut ular
telah dapat ditolongi kawannya hingga terasadar pula, setelah
itu It Mo memberi isyarat buat orang-orangnya itu pada


mengundurkan, akan memberi peluang ditengah gua, yang
memangnya lebar sekali. Ruang itu luas kira-kira dua puluh
tombak persegi. Dekat dinding terdapat para-para alat
senjata, suatu bukti ruang itu ruang peranti berlatih silat.
Habis menyuruh orang-orangnya mundur, It Mo bertindak
ke pinggir kiri dimana ada sebuah kursi, di situ ia lantas
menjatuhkan diri untuk berduduk, buat membawa tingkahnya
sebagai ketua atau pemimpin. Ia lantas diapit oleh ketujuh
Biauw-Yauw-lie, murid-muridnya berikut Kiauw In.
Ya Bie bersama Peng Mo mengambil tempat di sisi kanan,
keduanya memasang mata terhadap It Mo dan sekalian
orangnya itu.
Aneh ada So Hun Cian Li, dia justru duduk tePekur dan
ngelenggut !
It Hiong sudah lantas maju ke tengah ruang kosong itu,
matanya mengawasi tajam ke arah Cio Kiauw In. Ia berlaku
tenang tetapi toh pikirannya kacau, sebab ia berduka,
berkhawatir berbareng mendongkol dan gusar. Ia terutama
sangat mengawatirkan Kiauw In, yang tak sadarkan diri itu. Ia
mendongkol hingga hampir ia memuntahkan darah saking
keras mengekang diri.
Im Ciu It Mo berlaku ayal-ayalan. Masih dia memandang
dahulu pada orang-orangnya dan ke sekitarnya.
"Eh, bocah she Tio, kau sudah siap atau belum ?" demikian
tanyanya, disengaja, meski juga ia telah melihat sendiri
bagaimana orang sudah bersiap sedia. Ia mau memperlambat
waktu, guna menegangkan pikirannya anak muda itu.


"Sudah siap !" sahut It Hiong, yang sebisanya
menentramkan hatinya. "Mari !"
Im Ciu It Mo mengerahkan tenaga dalamnya, sesudah
mana dua kali ia memperdengarkan Pekiknya yang aneh,
hanya kali ini Pekik perlahan, sedangkan dengan sepasang
matanya yang bersinar tajam, ia mengawasi Kiauw In,
menatap muka orang.
Tubuhnya Nona Cio menggetar waktu ia mendengar dua
kali Pekik itu, mendadak matanya yang bersinar tolol menjadi
bercahaya tajam, setelah mana dia mengangkat kepala atau
mukanya, mengawasi si Bajingan.
Selekasnya kedua sinar matanya beradu satu dengan lain,
Kiauw In lantas membungkuk memberi hormat pada si
Bajingan. Dia bagaikan kena sihir.
Lagi dua kali Im Ciu It Mo memperdengarkan suaranya, kali
ini dengan dua kali siulan tajam, kemudian ia menuding pada
It Hiong sembari dia memberi perintah pada nona dibawah
pengaruh gaibnya itu : "Kau bekuk bocah itu !"
"Ya !" menyahut Kiau In dengan cepat, setelah mana dia
menoleh ke arah yang ditunjuk It Mo, ialah ke arah It Hiong,
yang ia awasi dengan tampang mendelong, sedikit juga tak
ada perasaan apa-apa. Sebaliknya, sinar matanya ialah sinar
mata jahat ! Setelah itu, sambil menghunus pedangnya, nona
itu berlompat maju, akan tiba di depannya si anak muda,
sejarak empat atau lima kaki.
"Kakak !" It Hiong menyapa.


Kiauw In mendengar bagaikan tidak mendengar, masih dia
mendelong mengawasi si anak muda. Kembali sinar matanya
itu sinar mata tolol.
It Hiong mengawasi nona itu, pikirannya tetap kacau. Ia
berkasihan terhadap si nona berbareng mendongkol terhadap
Im Ciu It Mo. Justru mereka berdua tengah saling
memandang, kembali terdengar Pekiknya It Mo, dua kali Pekik
pendek seperti tadi.
Menyusul Pekik itu, Kiauw In lompat maju pada It Hiong,
pedangnya diputar terus dipakai menikam !
Saking cepatnya si nona, hampir dadanya si anak muda
terpanggang, syukur ia dapat cepat bekelit ke samping. Cuma
ujung bajunya kena terobek sedikit ! Biar bagaimana, dia
heran dan terkejut juga.
Melihat caranya si nona menyerang, maka It Hiong telah
mendapat kenyataan yang kakak In-nya sudah berhasil
menyempurnakan latihan ilmu pedang guru mereka, ilmu
pedang Khie Bun Patkwa Kiam. Hal ini menggirangkan
hatinya. Hanya ia berduka yang si nona tak ingat diri. Dan
sekarang ia mesti melayani si kakak seperguruan dalam
keadaan mirip musuh besarnya.....
Tak ada niatnya si anak muda akan sedikit juga mencelakai
Kiauw In, di lain pihak, ia mesti berkelahi dengan sungguhsungguh
sebab si nona sebaliknya menyerang ia dengan hebat
sekali. Gagal dengan tikamannya yang pertama itu, Kiauw In
terus menangkis sampai delapan kali, tikaman dan tebasannya
itu berbahaya semuanya, celaka kalau orang kurang waspada
dan kalah gesit !


It Hiong selalu menyelamatkan diri dengan pelbagai
loncatan Te In Ciong, ilmu ringan tubuh Tangga Mega. Selama
itu juga, tak pernah satu kali pun ia membalasa menyerang.
Ya Bie menonton dengan hatinya tegang sendirinya. Selagi
si anak muda tidak pernah membalas menyerang, anak muda
itu sendiri senantiasa terancam bahaya. Ia menjadi sangat
berkuatir, sulit buat ia menenangkan diri.
"Kenapa kakak Hiong tidak mau membalas ?" demikian
pikirnya. "Ia hendak menanti sampai kapan ?" Dan ia menjadi
demikian tidak sabar hingga akhirnya, ia berseru : "Kakak
Hiong ! Kakak ! Lekas hunus pedangmu !"
Memang benar, si anak muda belum juga mencabut
pedangnya.
Masih saja It Hiong bertangan kosong. Ia cuma berkelit
sana dan berkelit sini. Ia bergerak diantara pelbagai tikaman
dan tebasan pedang yang sangat membahayakan itu. Sebab si
nona berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dia tidak sadar
tetapi dia toh tak melupakan ilmu pedangnya. Itulah hebatnya
ilmu sihir dari Im Ciu It Mo, si Bajingan Tunggal !
It Hiong insyaf bahaya yang mengancam dirinya, ia
mengerti kekhawatirannya Ya Bie, tetapi ia tidak mau
menggunakan pedangnya sebab ia takut nanti kesalahan
melukai pacarnya itu, si kakak perguruan yang cantik, luwes,
yang ia sangat hargakan.
Im Ciu It Mo menonton dengan puas. Adalah keinginannya
yang utama akan mengadu domba itu dua saudara
seperguruan, supaya mereka saling bunuh, hanya keinginan
itu ia sangsikan akan berwujud. Inilah karena dia mau
menerka, biarnya It Hiong lebih lihai daripada Kiauw In,


mungkin It Hiong tidak berniat melukai, jangan kata
membinasakan, kakak seperguruannya itu.........
Syukur buat It Hiong, ia telah menyampaikan
kesempurnaannya dalam hal melatih Khiebun Patkwa Kiam,
hingga ia dapat melebihi Kiauw In.
Ditengah ruang itu, kedua lawan bergerak sangat cepat,
tubuh mereka bagaikan berputaran, maka juga banyak
penonton, ialah orang-orangnya Im Ciu It Mo, lantas saja
matanya seperti kabur disebabkan sangat cepatnya kedua
tubuh muda mudi itu bergerak-gerak, terpaksa, mereka itu
menjadi heran dan kagum, semua mengawasi dengan
mendelong.......
Im Ciu It Mo juga menjadi sangat kagum, hingga ia memuji
pada Tek Cio Siangjin yang dapat mengajari murid-muridnya
menjadi demikian lihai. Di lain pihak, dia menjadi bertambah
penasaran dan berkhawatir. Muda mudi itu bisa menjadi
lawannya yang paling berbahaya andiakata mereka berdua
tetap dikasih tinggal hidup, dari itu ingin dia yang dua orang
itu sama-sama terbinasa di depannya ini !
Lebih dahulu daripada itu, It Mo ingin sekali It Hiong kena
terpancing atau terpedayakan hingga si anak muda juga kena
makan Thay-siang Hoan Hun Tan, hingga pemuda itu dapat
dipengaruhkan sebagai si pemudi. Kalau mereka berdua dapat
menjadi alatnya.....
Sementara itu pertarungan sudah berjalan terus dan
mengalami perubahan juga. Itulah sebab, sampai itu waktu, It
Hiong mulai berubah sikap. Si anak muda kadang-kadang
membalas menyerang, walaupun hanya dengan tangan
kosong. Karena sekarang anak muda itu mau mencari ketika


akan menotok si nona. Dengan penyerangan pembalasannya
itu, ia mencari kelemahan si nona.........
Begitulah, sinar pedang berkilauan dan tangan kosong
berkelebatan.
Setelah pertarungan berjalan begitu lama tanpa tandatanda
salah satu bakal kalah, diantara para penonton muncul
kecurigaan apa tak mungkin muda mudi itu tengah membuat
pertunjukan. Nampaknya aneh mereka tetap sama
tangguhnya sedang yang satu bersenjata tajam, bahkan
pedang yang panjang, dan yang lainnya bertangan kosong.
Mestinya si tangan kosong yang bakal terdesak terlebih
dahulu......
Sedangkan sebenarnya, karena ingatannya terganggu,
Kiauw In cuma mampu berkelahi menurut gerak geriknya
yang biasa, tak dapat ia menggunakan kecerdasan atau
kecerdikan asalnya, yang sejati. It Hiong sebaliknya, dapat ia
memahamkan setiap gerak gerik si nona yang seperti itu-itu
juga.
Sampai disitu, Im Ciu It Mo yang lihai dapat melihat yang
akalnya bakal tidak memberikan dia hasil yang memuaskan.
Dia berpendapat, tak nanti muda mudi itu dapat saling
membinasakan seperti sering terjadia diantara kedua orang
musuh yang lagi mengadu jiwa. Hampir ia menghentikan
pertermpuran itu guna digantikan saja oleh tujuh orang
muridnya. Karena ini, ia terus menonton sambil otaknya
bekerja.......
Dengan berlangsungnya pertempuran, lantas juga tampak
Kiauw In mulai bermuka semu dadu dan dahinya pun mulai
mengeluarkan sedikit peluh. Itulah bukti yang ia telah
mengeluarkan tenaga terlalu banyak, hingga ia mulai


terserang letihnya. Karenanya, juga terus terlihat yang
pedangnya tak lagi bergerak gesit seperti jurus-jurus
permulaan.
Di sebelahnya si nona, It Hiong tetap tenang dan tangguh.
Ia puas melihat Kiauw In mulai bergerak kendor, tetapi ia
tidak mau berlaku sembrono dengan lekas-lekas turun tangan
menotok si nona. Ia berlaku sabar menantikan sang waktu......
Peng Mo Nikouw adalah seorang yang berpengalaman,
setelah pertempuran berjalan sekian jauh itu, dia mulai dapat
menerka hatinya It Hiong. Walaupun demikian, dia nyatanya
kurang sabar, maka juga akhir-akhirnya dia memperdengarkan
suaranya.
"Saudara Tio !" demikian teriaknya. Atau dia berhenti
dengan mendadak, sebab justru itu waktu, Kiauw In
melakukan satu penyerangan dahsyat !
Ya Bie heran, hingga dia menanya ; "Eh, Toa-suhu,
mengapa kau tidak melanjuti kata-katamu?"
"Toa-suhu" adalah panggilan yang berarti guru besar atau
guru tua.
Dengan matanya terus mengikuti gerak gerik pedang, Peng
Mo menghela nafas. Itulah jawabannya terhadap si nona yang
polos itu.
Ketika itu tujuh muridnya Im Ciu It Mo pun mulai habis
sabar, sebab mereka menyaksikan pertarungan muda mudi itu
berlarut, setelah saling memandang, mereka terus berpaling
kepada guru mereka, akan mengawasi guru itu. Mereka ingin
turun tangan membantu si pemudi mengeroyok si
pemuda.........


Im Ciu It Mo sebaliknya berpikir lain. Dia masih dapat
menyabarkan diri. Dia tidak mempedulikan sekalian muridnya
itu. Tetap dia duduk tak bergeming, cuma wajahnya yang
memperlihatkan hatinya tegang sendirinya. Parasnya si
Bajingan suaram........
Si Bajingan Tunggal dipersulit oleh janjinya tadi kepada It
Hiong, maka itu, tak dapat dia sembarang bertindak. Dia
merasa malu kalau sampai si anak muda menegurnya.
Sedangkan maksudnya adalah memegang harga diri supaya
nanti dihormati kaum rimba persilatan.
Lebih-lebih disitu berada Ya Bie, muridnya Kip Hiat Hong
Mo Touw Hwe Jie serta Peng Mo salah seorang anggauta dari
Hong Gwa Sam Mo, pasti pamornya turun seketika apabila
mereka itu mengabarkan tak tepat janjinya ini. Di lain pihak,
tak mudah untuknya membekap mulutnya dua orang ini, yang
tak sanggup dia membinasakannya.
It Mo pun mengerti maksud ketujuh muridnya itu, diamdiam
dia mengasah otaknya, ia berpikir keras. Dengan
tongkatnya, berulang kali dia mengetuk-ngetuk lantai, guna
mencari ilham........
Sekonyong-konyong It Mo dikejutkan satu teriakan "Aduh !"
disusul suara jatuhnya pedang ke lantai, dengan lantas dia
mengangkat mukanya, mengawasi ke tengah medan
pertempuran. Maka dia melihat It Hiong tengah merangkul
tubuhnya Kiauw In yang terhuyung-huyung dan pedangnya
nona itu menggeletak ditanah sejauh lima kaki.
Biar bagaimana, It Mo terkejut sendirinya dan hatinya
berdenyutan. Ia tidak menyangka Kiauw In roboh demikian
cepat. Ia tidak menerka yang si nona, sudah berkelahi keras


terus menerus, akhirnya letih sendirinya, hingga tenaganya
bagaikan habis, darahnya telah bergolak berlebihan. Tepat
disaat dia melakukan satu serangan, It Hiong menggunakan
kesempatan yang baik, sembari berkelit si anak muda
menyentil pedangnya si nona hingga terlepas, menyusul
mana, dia ditotok jalan darahnya -- jalan darah bun-hiang dan
hoa kay, hingga ia menjadi terhuyung dan mudah saja
tubuhnya disambar dan dipeluk hingga tak usah dia roboh
terguling !
Walaupun It Hiong memeluki si nona, ia toh berdiri diam
mengawasi wajah nona itu. Inilah sebab ia melihat wajahnya
Kiauw In, mukanya pucat dan matanya mendelong saja,
hingga ia menjadi terharu sekali.
"Kakak Hiong, mari kita pergi !" begitu Ya Bie berkata
setelah dia menyaksikan kesudahannya pertempuran itu. Tapi
dia masih harus mengulangi itu beberapa kali, baru It Hiong
seperti mendusin. Maka sembari terus memegangi tubuhnya
Kiauw In, dia berpaling kepada Im Ciu It Mo, akan mengawasi
si Bajingan Tunggal.
Tiba-tiba Im Ciu It Mo memperdengarkan suaranya yang
keras : "Bocah she Tio, jangan kau pergi dahulu ! Ingat, masih
ada Cit Biauw Tin !"
Si Bajingan memperingatkan orang dengan Barisan
rahasianya, Barisan Cit Biauw Tin itu.
It Hiong menjawab terang dan tegas : "Sekarang ini aku
perlu lekas-lekas mengobati kakak Kiauw In ! Tentang Cit
Biauw Tin, biarlah lain kali saja aku mencobanya !" Dan sambil
membopong Kiauw In, ia terus bertindak menuju ke mulut
gua.


Mendadak saja terdengar suara angin bergerak, segera Cit
Biauw Tauw ni, nona-nona muridnya si Bajingan Tunggal,
bergerak maju untuk menghadang.
Im Ciu It Mo pun segera berkata nyaring : "Apakah kau
mempunyai kepandaian untuk mempunahkan khasiat dari
obatku Thay-siang Hoan Hun Tan ? Lebih baik kau melayani
dahulu Cit Biauw Tin, supaya sekalian saja kau memperoleh
obatku !"
It Hiong menoleh.
"Terima kasih untuk kebaikanmu, cianpwe !" katanya
nyaring. "Tak usah, tak usahlah aku meminta obat Thay-siang
Hoan Hun Tan lagi dari cianpwe !"
Dan terus ia berjalan pula.
Ketujuh nona sudah lantas menghadang di mulut gua.
Dengan masing-masing mencekal cambuk, mereka bersikap
mengancam.
Ya Bie menyaksikan suasana itu, dengan satu siulan
nyaring ia membangunkan si orang utan yang bertubuh besar
dan berwajah bengis itu, sedangkan ia sendiri, segera
bertindak ke mulut gua sambil membulang-balingkan
tangannya dimana ularnya melilit-lilit lengannya !
"Kakak Hiong, akan aku membuka jalan untukmu !" kata si
nona berani.
Menyusul kata-katanya itu, muridnya Touw Hwe Jie sudah
mencelat ke sebelah depan It Hiong, untuk berjalan di muka
guna membuka jalan diantara ketujuh nona penghadang itu.


Ular hijau itu mengangkat kepalanya, dia membuka
mulutnya akan mempermainkan lidahnya !
Dari ketujuh nona itu, yang ditengah ialah Jie Biauw
bersama Cit Biauw, nona-nona kedua dan ketujuh. Mereka itu
telah menyaksikan belasan orangnya menempur si nona "cilik"
tetapi mereka semua kena terpagut ular dan roboh tak
berdaya, karena itu, melihat ular datang dekat, mereka lompat
menyingkir. Hanya itu, justru mereka berdua menjauhkan diri,
empat yang lainnya berbareng menyerang dengan cambuk
mereka !
Ya Bie melihat datangnya serangan, ia memutar tangannya,
ia mengangkat ularnya tinggi-tinggi. Dengan itu ia membela
dirinya. Sebab itulah yang dinamakan jurus silat "Sian So Hok
Liong" atau "Tambang Dewa Merantai Naga".
Hebat si ular hijau, dia menyambuti ke empat cambuk
untuk terus melilitnya !
Nona-nona itu kaget sekali, serentak mereka menarik
cambuk mereka, untuk mencoba meloloskannya. Di lain pihak,
Ya Bie sebaliknya menarik ularnya.
Kedua pihak jadi berkutat, karena itu majunya It Hiong
yang memeluki Kiauw In menjadi terhalang. Mereka jadi
berhenti di belakangnya si Nona Tanggung.
Peng Mo bingung menyaksikan suasana bentrok itu. Dia
insyaf, kalau pertempuran sampai terjadi, itulah tak
menguntungkan pihaknya It Hiong. Itulah mungkin yang
dikehendaki Im Ciu It Mo.
Sekian lama Peng Mo berdiam, akan tetapi otaknya diputar,
akhirnya ia dapat memikir satu jalan. Maka lantas ia berpaling


pada It Mo, sembari tertawa tawar, ia kata : "Hm, Im Ciu It
Mo yang ternama di keliling jagat, kiranya dia cuma pandai
menggunakan cara-cara yang rendah !"
Mukanya It Mo menjadi merah padam. Panas dia
mendengar ejekan itu.
"Peng Mo !" bentaknya. "Peng Mo, apakah maksudmu ?"
Peng Mo mengimplang.
"Kau masih berlagak pilon ?" jawabnya. "Kalau peristiwa ini
sampai tersiar diluaran, hendak aku lihat bagaimana mukamu,
dimana kau hendak menaruhnya ?"
Kembali parasnya It Mo berubah. Sebenarnya dia puas
yang muridnya menempur Ya Bie dan ingin melihat
kesudahannya, siapa sangka tahu-tahu Peng Mo
memperdengarkan ejekan, serta ancamannya itu !
"Hm ! Hm !" dua kali dia memperdengarkan tawa
dinginnya. Dia pun menyeringai mengejek. Terus dia
menambahkan : "Mereka itu sendiri yang hendak berkelahi,
habis apakah sangkut pautnya dengan aku !"
Peng Mo memperlihatkan tampang memandang enteng.
Dia juga tertawa dingin.
"Dengan kata-katamu, It Mo, kau telah menonjolkan
hatinya Suma Ciauw !" katanya. "Buat apakah kau bersikap
begini rendah ?"
Suma Ciauw adalah orang yang di hati lain, berkata lain
lagi.


Mendadak It Mo gusar sekali.
"Kau berani begini kurang ajar terhadapku ?" tegurnya.
"Kau berani bicara tidak karuan ?"
Dari tertawa dingin, Peng Mo menyambut teguran itu
dengan tertawa terbahak-bahak. Dia mengangkat mukanya
dan memelengoskan itu, matanya dibuat main.
"Kita sebenarnya orang-orang satu golongan !" kata dia.
"Dan itulah sebabnya kenapa pin-ni berani bicara sejujurjujurnya
memberi nasihat padamu, cianpwe. Kalau cianpwe
hendak mengangkat nama dan melindungi itu di dalam dunia
rimba persilatan, yang paling dahulu dan paling utama ialah
memegang kepercayaan atas diri sendiri, buat mengharga
nama harum ! Coba cianpwe pikir, benar atau tidak katakataku
ini !"
Telak kata-kata itu, dan It Mo merasai dia kena terejek. Di
dalam hati, dia kaget sekali.
Sementara itu pergulatan masih berlaku diantara ke empat
Cit Biauw Yauw Lie serta Ya Bie, yang melilitkan ular hijaunya
kepada cambuknya ke empat muridnya Im Ciu It Mo itu.
Kedua belah pihak telah saling menarik, saling membetot.
Ya Bie mesti memperkokoh tenaga dalamnya melayani
empat orang lawan sekaligus !
Masih ada tiga orang muridnya Im Ciu It Mo. Setelah orang
berkutat sekian lama tanpa kesudahan, mereka itu lantas
memikir buat turun tangan, guna membantui ke empat
saudara seperguruan itu. Begitulah setelah saling melirik,
dengan diam-diam mereka bergerak serempak, untuk
menyerang Ya Bie secara membokong !


Hebat buat Ya Bie. Untuk menyelamatkan dirinya, dia mesti
melepaskan ularnya dan sendirinya juga mesti berkelit sambil
terus berlompat menyingkir, akan tetapi sebelum ia sempat
bertindak, guna menyelamatkan diri itu, si orang utan sudah
mendahuluinya.
Binatang itu sangat waspada. Dia seperti tahu yang
nonanya mau dibokong. Justru orang menyerang, justru dia
berlompat maju, buat menalangi Ya Bie menjambret-meraup
tiga batang cambuk. Dia menggunakan kedua tangannya.
Ya Bie sendiri sementara itu sudah menggunakan
kecerdasan dan kecerdikannya. Di saat genting itu, ia masih
ingat bagaimana harus bertindak. Dengan tiba-tiba dia
memperdengarkan seruannya yang nyaring, dia menggunakan
ilmu gaibnya, Hoan Kak Bie Cin ! Maka didalam sekejap saja
So Hun Cian Li berubah wujud menjadi Im Ciu It Mo !
Ketiga citBiauw Yauw Lie terkejut mendengar jeritannya
nona itu, sejenak itu juga kacaulah pikirannya dan kaburlah
penglihatan matanya, sedangkan hati mereka terasakan
gentar sendirinya. Selagi membokong Ya Bie, mendadak
mereka melihat yang lompat kepada mereka adalah Im Ciu It
Mo, guru mereka sendiri !
Serentak mereka itu memperdengarkan jeritan kaget,
dengan cepat mereka menarik pulang cambuknya masingmasing
sambil mereka pun berlompat mundur.
Ya Bie menggunakan kesempatan yang baik. Kalau tadi ia
menarik, sekarang ia mendadak mengangsurkan tangannya --
ya, ularnya; dengan cara demikian, ia membuat lilitannya
menjadi longgar, berbareng dengan itu, tangan kirinya
menyusul meluncur dengan satu hajaran jurus silat "Cian Eng


Ciang" atau tangan Seribu Bayangan, untuk menghadang
sekalian lawannya itu !
Selagi ketiga nona kabur penglihatannya, empat yang
lainnya lantas saja mundur dengan terhuyung-huyung sebab
dengan tiba-tiba saja cambuk mereka lepas dari libatan,
hingga mereka mesti terpaksa mundur sendirinya, mundur
dengan tindakan kaki tidak teratur. Syukur untuk mereka,
tidak sampai mereka pada terguling roboh. Tapi hajaran Cian
Eng Ciang tidak memberi kesempatan pada mereka untuk
memperbaiki diri, sedangnya mata mereka pun kabur,
serangan tiba. Maka kali ini, tanpa ampun pula, mereka pada
roboh terduduk mendeprok !
Dengan roboh dan menyingkirnya ketujuh penghadang itu,
maka terbukalah jalan di muka pintu gua. Maka dengan saling
susul, It Hiong dan kawan-kawannya berlompatan keluar.
Selekasnya ke empat nona bagaikan sadar dan membuka
matanya, begitu mereka berlompat bangun, mereka
mendapati ketiga lawan sudah berada diluar gua. It Hiong
keluar bersama si orang utan. Hanya itu Peng Mo, selagi ia
keluar bersama, terhadap So Hun Cian Li, dia telah melakukan
sesuatu......
Ek Toa Biauw mementang matanya, terus ia berseru, lalu
tubuhnya mau berlompat menyusul.
"Tahan !" mencegah Im Ciu It Mo.
"Ada apa, suhu ?" tanya Toa Biauw sambil dia batal
mengejar, dia membalik diri sambil mengajukan
pertanyaannya itu kepada gurunya.


"Toa Biauw, mari," si guru memanggil tanpa dia menjawab
dahulu muridnya.
Murid itu datang menghampiri, sedangkan enam orang
kawannya lantas mengawasi padanya dan pada guru mereka
itu, sebab mereka ingin sekali mengetahui guru itu hendak
mengatakan atau berbuat apa.
"Ada titah apa, suhu ?" Toa Boauw menanya pula setibanya
ia di depan gurunya kepada siapa ia menjura hormat.
Im Ciu It Mo menarik muridnya sampai dekat sekali, untuk
terus membisikinya, kemudian dengan mengulapkan
tangannya, ia kata tegas-tegas : "Dengan begini aku hendak
menguji kecerdasan kalian ! Nah, pergilah !"
Ek Toa Biauw mengangguk, terus ia memutar tubuh, lalu
dengan satu gerakan tangan, ia minta kawan-kawannya turut
padanya. Ia pun mendahului bertindak pergi. Maka bagaikan
angin melesat, tubuh-tubuh yang langsing itu pada
berlompatan keluar gua.
Ketika itu diluar gua, Ya Bie yang membuka jalan dengan
jalan di muka dan Peng Mo berjalan paling belakang selaku
pelindung. Dengan memondong Kiauw In, yang tetap tak
sadarkan diri, It Hiong berjalan ditengah-tengah. Si orang
utan berada di belakang si anak muda atau di depannya si
Bajingan Es.
Mereka mesti melalui jalan yang sempit, bagaikan terjepit
antara dua dinding gunung. Jika tidak berhati-hati, mereka
akan kena menyentuh batu-batu yang nonjol keluar dari ujung
tepian dinding disitu, batu besar yang ujungnya lancip tajam.


Di dalam ini pula orang tak dapat melihat langit, hanya ada
sinar remang-remang, seperti cahaya kunang-kungan.
Syukurlah mereka masih mampu melihat jalanan untuk dapat
maju terus.
Di dalam hati, It Hiong menerka-nerka darimana datangnya
sinar terang itu. Biar bagaimana, mereka merasa sedikit
berkhawatir.....
Mereka juga tidak tahu jalan itu bakal menuju kemana, ke
arah buntu atau ke jalan keluar.....
Sekian lama mereka berjalan, mereka belum sampai juga
diakhirnya. Mereka cuma mengkol di beberapa tikungan.
Selama itu, masih tampak sinar terang itu yang warnanya
kehijau-hijauan......
Jalanan sempit sekali, hingga orang mau menerka bahwa
mereka sedang menuju ke jalan buntu.....
Jangan kata Ya Bie, yang masih hijau, Peng Mo pun
mendapati serupa kekhawatiran.
Cuma It Hiong yang tidak memikirkan itu, sebab
perhatiannya lagi dipusatkan kepada Kiauw In, yang berada
dalam pondongannya, bagaimana nona itu akan dapat
ditolong dari pengaruhnya obat Thay-siang Hoan Hun Tan
yang lihai itu....
Masih mereka berjalan terus. Kembali sebuah tikungan
dilewatkan.
Tiba-tiba Ya Bie menghentikan langkahnya. Keraguraguannya
sampai di puncaknya hingga tak berani ia
sembarangan maju terus.


"Kakak Hiong !" panggilnya sambil menoleh pada si anak
muda. Tanpa merasa, suaranya agak menggetar.
It Hiong pun menghentikan langkahnya.
"Ada apa ?" tanyanya heran. Ia heran sebab otaknya tetap
berada pada Kiauw In. Terus ia kelelap dalam pikiran
memikirkan obat untuk menyembuhkan nona Cio.......
"Kakak Hiong," kata Ya Bie. "Kita sudah berjalan lama
sekali, kita sudah melalui jauh, kenapa jalan sempit ini masih
juga belum tiba pada ujungnya. Aku pun mendapat rasa jalan
makin sempit....."
Mendengar itu barulah It Hiong bagaikan sadar. Maka
lantas ia memasang amta, melihat ke depan dan ke sisi kiri
dan kanannya.
"Adik Ya Bie benar," Peng Mo turut bicara. "Apakah tak
mungkin jalanan ini benar jalanan buntu ? Apakah tak
mungkin ada sebabnya kenapa Im Ciu It Mo membiarkan kita
lari tanpa dia mengejar ?"
It Hiong berpikir. Kata-katanya kedua kawan itu beralasan.
Terpaksa, ia pun menjadi bercuriga. Walaupun demikian,
sebagai orang yang telah banyak pengalamannya, dapat ia
bersikap tenang. Terus ia memasang matanya, maka juga,
habis si Bajingan Es berkata itu, ia melihat si Bajingan justru
berada disisinya, terpisah kira tiga kaki, dan tubuhnya
Bajingan itu cuma sebatas ketiaknya. Sebaliknya Ya Bie, yang
berada di depannya, terlihat sedikit lebih tinggi daripadanya,
lebih tinggi sebatas kepala......


Hanya sejenak It Hiong lantas menerka sebabnya mereka
jadi katai dan tinggi tak rata itu. Itulah tanda bahwa habis
menikung itu, mereka tengah mendaki. Mungkin mereka lagi
menuju ke arah puncak gunung !
Akhir-akhirnya pemuda she Tio itu tertawa.
"Maju terus !" katanya kemudian. "Mari kita maju dengan
hati tenang ! Kita tengah menuju ke puncak gunung !"
Ya Bie heran hingga dia melengak.
"Kakak Hiong," tanyanya tak mengerti, "bagaimana kau
bisa menerka begini ? Benarkah jalan sempit ini jalanan
menuju ke puncak gunung ?"
It Hiong menoleh pada Peng Mo. Kata dia : "Aku percaya
yang taysu juga telah melihat sebagai aku...."
Peng Mo pun melengak mendengar kata-kata si anak
muda, hingga ia jadi berfkir. Ia tidak segera menjawab, hanya
lalu memperhatikan formasi tempat dimana mereka berdiri.
Memang tanah agak manjat naik. Baru setelah itu, dia kata
pada Ya Bie : "Eh, adik, apakah kau tidak memperhatikan
formasi tanah yang kita injak ini, iya atau tidak ? Tanpa sejauh
satu tombak, nampak tegas tanah disini mudun ke bawah,
meninggi ke atas ! Sungguh, dalam hal ini kakak Hiongmu itu
jauh terlebih cerdik dari pada kita !"
Seruannya si Bajingan Es pun menyadarkan Ya Bie, ia
memang cerdas.
It Hiong pun lantas berkata pada nona itu : "Adik Ya Bie,
baiklah kau juga ingat bahwa itulah suatu pengalaman buat
orang yang menjelajah dalam dunia Kang Ouw !"


Ya Bie sadar, ia pun girang.
"Iya, akan aku ingat baik-baik !" sahutnya, sedangkan
hatinya lega bukan main.
Maka bertiga mereka berjalan terus mendaki, sampai
mereka mesti berjalan sambil sedikit membungkuk. Sinar
terang guram itu terus membantu mereka.
Mungkin mereka sudah melalui dua puluh tombak lebih,
lantas jalanan makin sempit. Di lain pihak, sinar itu makin
terang, seumpama terangnya cahaya si puteri malam !
Ya Bie berjalan terus bagaikan merayap, lalu merayap
benar-benar !
It Hiong mesti memondong tubuh Kiauw In, tidak dapat ia
merayap seperti si nona. Apa akal ? Lantas ia menggunakan
Gie Heng Hui Heng Sut, ilmu pedang rahasia bagaikan terbang
melayang. Itulah ilmu ringan tubuh yang teratas. Maka
majulah ia bagaikan asap mengepul naik !
Hanya sebentar, pemuda ini sudah melewati Ya Bie, dua
puluh tombak lebih.
Peng Mo Nikouw sebaliknya maju dengan menggunakan
ilmu Pek-houw Yu Cian Kang, atau Cicak Merayap di Tembok.
Maka ia dapat maju mirip tikus atau ulat.
Jalanan menanjak itu tinggi dua ratus tombak lebih, tempat
yang dapat diinjak kaki pun licin. Syukur buat Ya Bie, dia tak
menghadapi kesulitan. Sebab Kip Hiat Hong Mo telah
mewariskan dia ilmu ringan tubuh yang sangat mahir, hingga
dia tak usah kalah dengan orang Kang Ouw kelas satu yang
mana juga.


Walaupun demikian, nona itu telah dapat disusul dan
dilampaui oleh Peng Mo. Hal itu membuatnya penasaran, ia
tak mau kalah, ia lantas percepat larinya. Di lain detik,
berhasillah ia merendeng si Bajingan Es. Saking girang ia
tertawa nyaring.
Peng Mo cuma menoleh dan melirik, ia maju terus tanpa
mengatakan sesuatu.
Ya Bie tertawa tanpa sengaja, itu justru membahayakan
padanya. Siapa lagi menggunakan ilmu ringan tubuhnya,
pantang baginya buat tertawa, sebab dengan tertawa, ia
mengganggu pemusatan pikirannya sendiri. Demikian si nona,
lantaran ia tertawa, tubuhnya turun pula, sejauh sepuluh
tombak lebih, hingga ia tertinggalkan pula oleh si Bajingan Es.
Ia kaget sekali. Hampir ia jatuh. Untuk menyelamatkan diri,
selain meminta bantuan ularnya, yang ia libatkan kesisinya
dimana ada sepotong batu besar. Dengan begitu, ia bukan
saja tak jatuh terus, bahkan ia lantas dapat merayap naik
pula.
Akhirnya nona kita tiba ditempat yang aman, disitu ia
bercokol dengan mengeluarkan nafas, melegakan hati. Ia
bergidik kapan ia ingat bahaya barusan yang mengancamnya.
Itulah ancaman bahaya maut ! Syukur ada si ular hijau, yang
dapat melibat batu besar dan menahan tubuh nonanya !
Tempat aman itu berupa sebuah gua, yang gelap sekali. Di
situ Ya Bie meluruskan nafasnya.
"Adik Ya Bie ! Adik Ya Bie !" demikian berulang kali
terdengar suara panggilannya It Hiong.


"Kakak..... Hiong.... !" si nona menjawab, nafasnya belum
lurus seluruhnya. "Kakak kau.... kau dimana ?"
"Aku disini !" begitu terdengar suara Peng Mo, yang
bagaikan menalangi It Hiong menjawab. "Adik Ya Bie, mari
merayap naik kemari !"
Saking gelapnya gua, mereka tidak melihat satu sama lain.
Sebenarnya Peng Mo terpisah dari muridnya Touw Hwe Jie
cuma setombak lebih....
Ya Bie mendengar suara orang dan mengira-ngira dari
mana suara itu datang, maka ia lantas merayap menghampiri.
TIba di depannya Peng Mo, samar-samar ia melihat It Hiong
lagi duduk sambil terus memondong tubuhnya Kiauw In. Ia
terpisah dari kakak itu cuma tiga atau empat kaki.
Bagaikan anak kecil, melihat It Hiong, tiba-tiba Ya Bie
menangis ! Sebab ia sangat girang dapat menemui pula anak
muda itu. Ia lekas merayap naik, untuk mendekati, setelah
mana sambil menangis terus ia merangkul bahu pemuda itu.
It Hiong terkejut. Tak tahu ia sebabnya kelakuan si adik Ya
Bie......
Bahkan Peng Mo juga tidak kurang herannya.
Kiranya Ya Bie berduka karena ingat bahaya yang
mengancamnya selagi ia jatuh turun itu, sesudah lega hati, ia
membayangi itu, lalu ia sedih sendirinya. Ia menangis hingga
tubuhnya bergemetaran.
It Hiong mengusap-usap rambut yang hitam indah dari
nona itu.


"Sudah, jangan menangis, adikku !" katanya, menghibur,
membujuki seperti juga si nona ialah seorang bocah cilik.
"Sebenarnya kau kenapakah ?"
Mendengar pertanyaan itu, lega hati si nona. Ia
memangnya tidak berduka lara. Maka setelah mendengar
suara si anak muda, yang merdu sekali bagi telinganya, tibatiba
ia tertawa. Mendadak saja hatinya terbuka pula.
Selagi si anak muda heran, si nona jengah sendirinya. Ia
berhenti tertawa dan menyelusupkan mukanya di atas bahu
oang. Baru setelah itu, ia berkata perlahan " Barusan aku lupa
yang aku lagi mengerahkan tenaga dalamku, untuk dapat lari
keras dengan ilmu ringan tubuh, tiba-tiba saja aku tertawa,
maka sendirinya tubuhku jatuh turun, hingga hampir aku
menemui ajalku."
It Hiong heran hingga ia melengak.
"Benarkah ?" tanyanya. "Bukankah ilmu ringan tubuhmu
sudah sempurna sekali ? Kenapa kau masih takut jatuh ?
Apakah kau bukannya dibikin menjadi mendongkol atau
penasaran sendiri sebab diantara kita bertiga, kaulah yang
larinya kurang cepat ? Kalau benar begitu, kau keliru........."
Peng Mo mendengar pembicaraan itu, dia tertawa.
"Adik !" katanya. "adik, ilmu ringan tubuhmu sudah
sempurna sekali sedangkan usiamu masih sangat muda ! Aku
tahu, didalam dunia Kang Ouw, cuma beberapa gelintir orang
saja yang sanggup menyamaimu ! Memangnya kau ingin
menyaingi kakak Hiong mu ini?"
Ya Bie senang mendengar kata-kata orang dua orang itu, ia
mementang matanya, terus ia menghela nafas.


"Barusan, Toa-suhu," kata ia, "ketika aku dapat menyandak
kau, girangku bukan kepalang, maka juga aku tertawa tanpa
dipikir pula, siapa tahu lantaran tertawa, tenagaku lenyap
hingga aku jatuh turun. Syukur sekali Sian Liong, ularku, telah
menolong padaku, kalau tidak, tentulah jiwaku sudah
melayang........"
Begitu dia menyebut Sian Liong, ularnya yang Naga Sakti
itu, tiba-tiba Ya Bie ingat akan So Hun Cian Li, si orang utan,
hingga tanpa merasa, ia berseru dengan pertanyaannya :
"Mana So Hun Cian Li ?"
Diam-diam It Hiong pun terperanjat. Ia juga melupai orang
utan itu. Ia hanya tidak menyangka binatang itu kena ditawan
Im Ciu It Mo sebab So Hun Cian Li sudah mewariskan
kepandaian ringan tubuh dari Kip Hiat Hong Mo.
"Entah dia pergi kemana, " kata si anak muda kemudian.
"Sebentar, sekeluarnya dari sini, kita cari padanya ! Aku
percaya dia tak nanti terancam bahaya !"
Peng Mo tertawa. Dia pun turut bicara.
"Adik, kau legakan hatimu !" katanya. "Binatang itu menjadi
kesayangan gurumu, dia telah dididik sempurna, tidak nanti
dia roboh ditangannya Im Ciu It Mo. Pula, tidak nanti Im Ciu It
Mo berani mencelakainya ! Mana berani dia menanam bibit
permusuhan dengan gurumu ? Itu pula dapat mengganggu
usahanya membangun Bu Lim Cit Cun...."
Sejak keluar dari Cianglo ciang, belum pernah Ya Bie
ketinggalan atau berpisah dari orang utannya, sekarang
keduanya terpisah, tidak heran kalau hatinya menjadi tidak
tenang. Ia tidak tahu sebabnya kenapa So Hun Cian Li tidak


berjalan bersamanya. Dia tidak sangka bahwa Peng Mo telah
main gila terhadapnya dengan dia itu menuntun tangan gelap
terhadapnya Bienatang kesayangannya.
Disaat sama-sama molos dari mulut gua, Peng Mo berjalan
di belakangnya So Hun Cia Lie, maka itu mudah saja dia
menotok binatang itu. Si orang utan tidak bercuriga sama
sekali. Orang pula menggunakan ilmu totoknya yang lihai. Dua
jari tangan diulurkan pada jalan darah tay-meh di
pinggangnya Bienatang itu. Ilmu totok itu ilmu ciptaan Hong
Gwa Sam Mo sendiri, beda dari pada ilmu yang dimiliki orang.
Siapa kena tertotok, ia tidak segera roboh, hanya nantinya,
lewat sekian waktu. Jadinya totokan bekerja belakangan.
Peng Mo berbuat demikian karena ia takut kepada Ya Bie,
takut si nona nanti menggunakan ilmu Hoan Kak Bie Cin
terhadapnya. Kalau dia menotok So Hun Cian Li hingga
binatang itu roboh seketika, dia khawatir nanti dicurigai It
Hiong atau Ya Bie, maka dia menggunakan kepandaian
istimewanya itu.
Maksudnya Peng Mo merobohkan si orang utan tak lebih
tak kurang karena kehendaknya mendapati It Hiong, supaya
anak muda itu nanti menjadi penggantinya Gak Hong Kun !
Dia tetap ingin melampiaskan nafsu binatangnya terhadap
anak muda kita. Dia menggunakan akal bulusnya ini sebab dia
merasa gagal memancing It Hiong dengan paras elok, dengan
kecentilannya dan dengan obat beracun juga. Dengan
kekerasan terang dia telah tidak berhasil. Maka sekarang dia
memakai akal membaiki, dengan melepas budi membantui si
anak muda menentang Im Ciu It Mo, agar orang itu nanti
ingat dan mau membalas budinya. Lain dari itu, dia pula
hendak menggunakan Ya Bie buat dijadikan sandera, jaminan
manusia, agar It Hiong suka "menyerah" kepada
kehendaknya.....


Selagi Ya Bie bingung karena lenyapnya So Hun Cian Li,
Peng Mo diam-diam bergirang di dalam hatinya. Ia hanya
berpura-pura saja yang ia membantu membujuki nona yang
cerdas tetapi masih hijau itu. Benar-benar hatinya si nona
menjadi tidak tenang dan berkhawatir pula seperti semula.
Sekian lama mereka sama-sama berdiam, maka juga
terperanjatlah mereka bertiga ketika tiba-tiba saja mereka
mendengar orang menghela nafas serta suara seperti
merintih. Kiranya itulah suara dari mulutnya Kiauw In, yang
sadar di pangkuan It Hiong.
Si anak muda terperanjat berbareng hatinya lega, tidak ayal
lagi ia lantas menguruti nona itu, supaya dia bebas seluruhnya
dari totokannya yang membuat orang seperti tidur nyenyak.
Meskipun ia masih terpengaruhkan obat Thay-siang Hoan
Hun Tan, sebebasnya totokannya It Hiong, Kiauw In dapat
sadar seperti biasa, tinggal otot-otot syarafnya saja yang tetap
terganggu.
Ya Bie girang sekali mendengar Nona Cio terasadar.
"Kakak In mendusin !" katanya gembira. "Bagaimana
sekarang ?"
Saking prihatin, nona ini meraba-raba mukanya Kiauw In.
"Gua ini gelap sekali, bagaimana mukanya Kakak In dapat
dilihat ?" tanyanya kemudian.
It Hiong seperti tidak mendengar kata-katanya nona itu. Ia
sedang terbenam dalam pikiran bagaimana caranya ia harus
membantu pacarnya, bebas dari pengaruh obatnya Im Ciu It


Mo. Baru sesaat kemudian ia kata : "Kau benar, adik. Memang
kita harus dapat melihat mukanya....."
Tiba-tiba It Hiong ingat Lee-cu, mutiara mustikanya. Lantas
ia merogoh sakunya dan mengasi keluar mutiara itu. Hingga di
dalam sekejap, cahaya terang dari benda mustika lantas
menerangi seluruh gua, yang ternyata hanya sebuah gua
kecil.
Untuk dapat melihat wajah pacarnya, It Hiong membawa
tangannya yang memegang mutiara ke mukanya Kiauw In,
matanya sendiri terus mengawasi.
Ya Bie menggeser tubuh buat melihat dari dekat, sambil
separuh bersender pada tubuhnya It Hiong. Ia mengawasi
nona Cio. Dengan suara prihatin, ia menghela nafas perlahan.
Kiauw In memejamkan kedua matanya, mukanya pucat. Ia
bagaikan lagi tidur nyenyak. Nafasnya pun terasalurkan
dengan tenang.
It Hiong membawa Lee-cu ke hidungnya si nona terpisah
hanya dua dim kira-kira, dengan demikian ia bisa memandang
jelas parasnya si nona. Cuma sebab matanya nona itu
tertutup, ia tidak dapat melihat sinarnya yang guram.
Diarahkan kepada mukanya Kiauw In, aneh mutiara
mustika itu. Mendadak sinarnya menjadi suaram, atau dilain
saat, lantas terang pula seperti biasa. Kiranya mutiara itu
terkena nafasnya si nona. Samar-samar nampak, hawa nafas
nona itu bercahaya hijau. Lagi sekali, mutiara suaram dan
bercahaya kembali.
It Hiong mengawasi terus. Ia pun membiarkan mutiaranya
tetap berada diatas hidungnya sang kakak seperguruan. Maka


ia melihat tegas bagaimana saban si nona mengeluarkan
nafas, saban-saban sinar mutiara itu guram, lalu terang. Lalu
tampak suatu perubahan lain. Sinar hijau dari nafasnya si
nona perlahan-lahan menjadi makin kecil dan makin kecil,
sinar itu bagaikan buyar atu menipis dengan perlahan-lahan.
Sebaliknya, mulutnya si nona seperti juga dapat menyedot
sinar terang dari mutiara mustika itu.
Nampaknya Kiauw In senang sekali dengan Lee-cu. Dalam
keadaan seperti lagi tidur itu, terus menerus ia menarik nafas
keluar dan masuk. Keluar ia mengeluarkan hawa hijau, masuk
ia memasuki sinar putih terang dari sinar mutiara mustika itu.
Lewat lagi sekian lama, maka habis atau hilanglah sudah
cahaya hijau itu -- ialah warna kotor dari Thay-siang Hoan
Hun Tan dari Im Ciu It Mo. Habis itu, ia terus berdiam, ia
seperti lagi tidur pula dengan nyenyaknya.
It Hiong terus mengawasi, ia tidak bergerak agar tidak
mengganggu si nona.
Ya Bie mementang matanya lebar-lebar mengawasi
perubahan yang terjadi atas dirinya nona Cio itu. Tampak
tegas yang ia merasa aneh. Ia juga tidak berani
memperdengarkan suara apa-apa, supaya ia tidak
mengganggu nona itu.
Dengan sabar It Hiong menyimpan mutiaranya, matanya
terus ditatapkan ke muka Kiauw In. Ia memasang mata, tetapi
hatinya bekerja. Ia pun heran dengan kesudahannya gerakgeriknya
mutiara mustika itu. Maka ia sangat ingin tahu
bagaimana kesudahannya nanti. Perlahan-lahan ia
memperoleh harapan besar sebab ia mendapat kenyataan
pacarnya tidur sangat nyenyak. Itu bukan tanda bahaya,
hanya alamat baik........


Sehabisnya ia bicara paling belakang, Peng Mo sementara
itu duduk bersila sambil bersemadhi, guna mengumpulkan
tenaga, buat menenangkan diri. Ia terus berada di dalam
kegelapan sang gua sampai It Hiong mengeluarkan Lee-cu,
hingga ia bisa samar-samar melihat sedikit sinar terang, ketika
ia membuka matanya, baru ia melihat tegas cahaya terang itu,
hingga ia ketahui dari mana datangnya cahaya itu. Berbareng
terkejut dan heran, mendadak timbul rasa tamaknya ! Ialah ia
ingin memiliki mutiara itu !
"Bagaimana aku harus mendapatkannya ?" demikian
pikirnya. Ketika itu Ya Bie justru seperti sedang menghadang
di depannya. "Kalau aku gagal dengan satu kali rampas saja,
jangan aku harap nanti bisa molos keluar dari sini....."
Hebat si nikouw, selagi di satu pihak ia ingin memiliki
mutiara mustika, di pihak lain ia pun sangat bernafsu
mengangkangi dirinya It Hiong sendiri, si pemuda gagah dan
tampan yang setiap waktu dapat menimbulkan rasa birahinya.
Maka itu, letih berpikir ia terus duduk berdiam. Ia harap
dengan bersemadhi ia nanti dapat mengekang diri, agar ia
selalu bisa berlaku tenang.
Tiba-tiba Peng Mo dikejutkan satu suara tertahan : "Oh !"
dan menyusul itu terdengar seru girang dari Ya Bie : "Kakak
Kiauw In mendusin !"
Memang juga nona Cio sudah terasadar, ketika ia membuka
matanya, paling dahulu ia melihat It Hiong, disusul dengan
kesadarannya bahwa ia rebah di pangkuannya anak muda itu,
hingga saking terkejut dan heran ia mengeluarkan seruan
tertahan itu.
It Hiong diam menjublak selekasnya ia mendengar suara
pacarnya itu. Ia heran dan berbareng girang. Itulah berarti


yang Kiauw In sudah bebas dari pengaruh jahat dari obat
yang lihai dari Im Ciu It Mo. Hanya berbareng dengan itu,
masih ada sedikit kekuatirannya yang ingatannya si nona nanti
terganggu disebabkan sudah terlalu lama dia menjadi
korbannya Thay-siang Hoan Hun Tan.
Kiauw In mengawasi It Hiong, lalu Ya Bie, yang suara
kegirangannya ia dengar, setelah itu dengan cepat ia
menggerakkan tubuhnya, buat bangun berdiri. Nampaknya ia
mirip orang yang baru sembuh dari penyakit berat, karena
sambil berdiri itu, ia toh menghimpit tubuhnya pada tubuh It
Hiong, nafasnya kelihatan memburu.
Kemudian lagi Nona Cio mengawasi Ya Bie, untuk sembari
tertawa bertanya : "Adik Ya Bie, kenapakah kau mengawasi
saja kakakmu ini ? Memangnya kau lihat aku bagaimana ?"
Ya Bie girang tak terkirakan. Dia tidak lantas menjawab
pertanyaan orang, ia justru maju merangkul nona itu, setelah
mana barulah ia berkata : "Kau telah mengenali aku, kakak !
Kau nyata telah sadar seluruhnya !"
Kiauw In menatap nona di depannya itu.
"Apakah katamu, adik ?" tanyanya heran, sepasang alisnya
pun terbangun.
"Pantas kau masih belum tahu, kakak !" sahut Ya Bie. "Kau
telah makan obat Thay-siang Hoan Hun Tan dari Im Ciu It Mo,
lantas kesadaranmu lenyap, hingga kau tak ingat lagi dirimu
sendiri. Hal ini telah berjalan selama beberapa bulan kakak !
Sekarang kakak sadar. Inilah aneh ! Sama sekali kakak belum
diobati.


Kiauw In sudah pulih seluruhnya, maka itu mendengar
keterangan Ya Bie, ia menjadi heran. Ia tak ingat apa-apa
sejak ia terkena obatnya Im Ciu It Mo. Ia pun heran yang ia
sembuh tanpa obat! Kenapakah ? Karena itu, keras ia
memikirkannya, kepalanya ditundukkan.
It Hiong telah berbangkit bangun. Biar bagaimana, ia masih
mengkhawatirkan masih ada sisa pengaruh obatnya It Mo
terhadap pacarnya itu. Maka dengan menggunakan
mutiaranya mirip sebagai lampu, ia menerangi mukanya si
nona dan mengawasinya dengan seksama.
Kiauw In tengah berfikir keras ketika matanya disilaukan
cahaya mutiara, seperti terpengaruhkan sesuatu,
kesegarannya atau semangatnya terbangun dengan tiba-tiba.
Maka ia sudah lantas mengangkat mukanya, untuk terus
menatap It Hiong. Ia pun membuka bibirnya, buat sambil
menghadapi mutiara itu menarik nafas dalam-dalam !
Selekasnya si nona menyedot cahaya mutiara
dihadapannya itu, mendadak saja It Hiong terasadar ! Terang
sudah yang cahaya mutiara mustika itu yang menjadi penawar
bagi nona itu ! Ya, pengaruhnya Thay-siang Hoan Hun Tan
telah disirnakan Lee-cu !
Jadi Lee-cu adalah mutiara mustika serba guna !
Sampai disitu, tanpa ragu pula, anak muda kita
mengangsurkan mutiaranya ke mulut si nona, untuk
memasuki itu ke dalam mulut orang seraya ia berkata lembut :
"Kakak, kau kemutlah mutiara ini, lalu ludahmu kau telah
masuk kedalam perutmu, habis itu lantas kau rasakan
tubuhmu, bagaimanakah perubahannya !"


Ya Bie heran mendengar kata-kata si pemuda, hingga ia
melengak.
Dengan mutiara dikemut si nona, gua menjadi gelap pula
dalam seketika.
It Hiong segera meraba bahunya Kiauw In, di sisi siapa ia
berdiri. Ia bersiap sedia untuk sesuatu kejadian. Di lain pihak,
dengan perlahan ia kata pada Ya Bie : "Adik, kau berhatihatilah....."
"Ya", menjawab si nona polos, yang terus mengawasi ke
arah muda mudi itu. Ia dapat menangkap artinya kata-kata si
pemuda, sebab habis itu, gelaplah gua itu. Bahkan dengan
mengeluarkan ularnya, ia terus memernahkan diri di depannya
si pemuda. Sedangkan ularnya, dengan memutar-mutar
lidahnya, memperlihatkan sinar berkilauan pada lidahnya itu.
Sementara itu lain lagi perasaannya Peng Mo. Selekasnya
dia mendapat kenyataan gua berubah menjadi gelap pula.
Ketika itu dia telah dipengaruhi pelbagai perasaan tamak dan
kemaruk, sebab dia ingin memperoleh si anak muda serta
mutiaranya itu, karena dia menghendaki sangat memperoleh
tubuhnya anak muda itu. Gelap petang itu adalah ketika atau
kesempatan paling baik baginya, demikian pikirnya. Lebih
dahulu ia mengawasi tajam ke arah ketiga muda mudi itu
yang sedang berdiam diri, lalu mendadak ia meluncurkan
tangannya kepada mereka !
Ketika itu, Peng Mo masih belum menginsyafi khasiat dari
Lee-cu. Ia menyangka It Hiong memasuki itu ke dalam
mulutnya Kiauw In melulu untuk mencoba-coba saja. Di lain
pihak, ia tak menyangsikan lihainya obat dari Im Ciu It Mo,
hingga ia pun tidak percaya nona Cio bakal sembuh karena
mutiara itu. Ketika ia meluncurkan tangannya itu, mendadak ia


menariknya pulang. Tiba-tiba ia melihat satu cahaya kehijauhijauan,
yang bergerak-gerak. Ia kenali itulah lidahnya Sian
Liong, ularnya Ya Bie, yang ia telah ketahui dengan baik
beracunnya. Maka juga batallah ia hendak melakukan
penyerangan membokong. Di lain pihak lagi, kecerdikannya
membuatnya dapat memikir aka.
"Adik Ya Bie !" tegurnya, kemudian sembari tertawa. "Adik,
apakah nona Cio sudah terasadar ? Benarkah ?"
Ia menanya sambil bertindak menghampiri.
"Ya," Ya Bie menjawab. Tetapi dia menambahkan : "Toasuhu,
jangan kau mendekati kami !"
Kata-kata itu dikeluarkan wajar, tanpa sungkan-sungkan,
sedangkan ularnya, si nona membulang-balingkannya. Hingga
dengan mata malamnya, Peng Mo dapat melihatnya. Dia jeri
sekali dan lekas-lekas dia mundur pula. Hanya, karena sangat
panas hatinya, dia menggertak giginya sendiri. Dia sangat
membenci nona itu.
"Tio sicu..... " kemudian dia memanggil It Hiong.
Suara itu halus, akan tetapi berhenti dengan tiba-tiba.
Dengan itu Peng Mo ingin mendapat kenyataan si pemuda
membencinya atau tidak. Tegasnya ia masih dipandang
sebagai sahabat atau lawan.......
Jawabannya It Hiong diberikan dengan cepat.
"Kakak Kiauw In sudah mendusin," demikian suara si anak
muda. "Toa suhu, mari kita pergi mencari jalan keluar dari gua
ini."


Ketika itu, Kiauw In sudah mengeluarkan mutiara dari
dalam mulutnya dan menyerahkan itu pada si anak muda,
kemudian ia kata : "Oh, kiranya Toa-suhu Peng Mo pun
berada disini....."
Itulah kata-kata ringkas dan sederhana, tetapi mendengar
itu, tubuhnya Peng Mo menggigil. Inilah sebab si Bajingan
insyaf, dengan sadarnya nona Cio, makin sult buat ia
mendapatkan It Hiong. Maka itu, saking bingung, ia sampai
tak dapat menyambuti kata-katanya si nona.
Adalah Ya Bie, yang menalangi menjawab.
"Dia datang untuk mencari Gak Hong Kun !" kata nona itu.
"Setelah dia bertemu dengan Kakak Hiong, dia lantas tak
meneruskan pergi mencari orang she Gak itu !'
Tak tentram hatinya It Hiong mendengar kata-katanya Ya
Bie itu. Ia kuatir nona polos ini nanti bicara terus tanpa
pembatasan, hingga dia khawatir juga Peng Mo nanti menjadi
tak puas dan mendongkol karenanya. Berbahaya andiakata
Peng Mo bergusar dan mengambil tindakan keras. Maka itu, ia
berkata pula : "Kakak In, kau harus menghaturkan terima
kasih kepada Toa-suhu. Mengenai kebebasan kakak ini, Toasuhu
telah memberikan bantuannya........"
Lega hatinya Peng Mo mendengar suaranya It Hiong itu. Ia
justru berkuatir si nona menjadi beranggapan lain mengenai
dirinya. Ia lantas menyambungi si anak muda. Katanya : "Di
dalam kalangan Kang Ouw sudah umum orang saling
membantu ! Itulah bantuanku yang tidak berarti ! Tio sicu,
berat kata-katamu......."


Di dalam hatinya, Ya Bie mengatakan "Cis !". Ia sebal
terhadap si Bajingan Es. Tetapi ia tidak mengatakan apa yang
ia pikir itu.
"Kakak Hiong, mari kita pergi !" kata ia, sengaja dengan
suara nyaring.
Walau ia mengatakan demikian, muridnya Touw Hwe Jie
tak bergeming. Ia berdiri diam dengan waspada, ular
beracunnya tetap ditangannya, siap sedia buat menurunkan
tangan apabila saatnya tiba.....
Peng Mo melihat sikapnya Ya Bie, ia menahan sabar. Ia
harus tahu diri. Di saat seperti itu, tidak dapat ia
menggunakan kekerasan. Sesudah Kiauw In sadar, It Hiong
memperoleh tenaga bantuan yang besar sekali. Ia juga takut
Ya Bie nanti mengatakan hal-hal yang dapat menyakiti
hatinya. Bahkan saking cerdiknya, ia lantas tertawa dan kata :
"Tio sicu, mari pinni membuka jalan buat kalian !"
Peng Mo sudah lantas merubah panggilannya, tidak lagi
saudara Tio hanya Tio sicu. Habis itu, terus dia meringankan
langkahnya.
"Banyak capek saja, Toa-suhu !" kata It Hiong, yang di
dalam hatinya dapat menerka nikouw itu jeri terhadap ularnya
Ya Bie. Diam-diam ia menarik ujung bajunya si nona, guna
membiarkan pendeta perempuan itu melewatinya.
Selekasnya si nona menggeser tubuh, Peng Mo maju terus.
It Hiong memanggil Ya Bie, buat diajak berjalan bersama,
ia sendiri membuka langkahnya dengan sebelah tangan
memapah Kiau In dan tangannya yang lain mengangkat tinggi
mutiara mustikanya. Lee-cu dipakai sebagai lentera.


Berempat mereka berjalan dengan perlahan-lahan.
Gua itu memang gua yang merupakan jalanan di dalam
perut gunung, jalannya selalu berliku-liku, dikedua sisinya,
sepanjangnya hanya dinding gunung. Pada langit-langit gua
terdapat stalaktit. Yang heran ialah jalanannya yang rata
seperti buatan manusia.
Peng Mo berjalan terus di depan. Mulanya masih terdengar
suara tindakan kakinya samar-samar yang terbawa angin, atau
di lain saat, lalu tak terdengar sama sekali.
It Hiong tidak pedulikan orang yang telah pergi jauh atau
meninggalkannya. Apa yang ia pikirkan ialah halnya Kiauw In,
yang harus dilindungi keluar dari terowongan itu. Ia ingin
dapat menyingkir jauh dari Im Ciu It Mo, agar si Bajingan
Tunggal tak dapat menyusulnya.
Bertiga It Hiong berjalan terus. Entah berapa buah
tikungan telah dilalui. Rintangan tidak ada, kecuali batu
gunung yang menonjol keluar. Mungkin mereka sudah
berjalan selama satu jam lebih, baru mereka melihat sinar
terang samar-samar. Di situ pun mulai terasa siurannya angin
dingin. Angin mendatangkan hawa segar.
"Mungkin kita bakal muncul di mulut gua....." kata Kiauw In
perlahan.
"Kita harus waspada," kata Ya Bie, yang berjalan di
belakang nona Cio. "Kita mesti berhati-hati supaya jangan
sampai kita terbokong atau terperangkap di mulut goa oleh Im
Ciu It Mo !"
Kiauw In tertawa manis.


"Kau telah belajar berlaku cerdik, adik !" katanya.
"Pantaslah Peng Mo Nikouw pun rada jeri terhadapmu !"
It Hiong tertawa dan turut bicara.
"Berhati-hati berarti bernyali besar !" katanya. "Adik Ya Bie
memang tengah belajar banyak !"
Senang Ya Bie mendengar pujiannya muda mudi itu.
"Mari kasikan aku yang keluar dahulu di mulut gua !"
katanya kemudian, tertawa. "Biarlah aku dapat berlatih lebih
jauh !"
Dengan gerakan gesit, si nona polos sudah mendahului It
Hiong dan Kiauw In yang dia lewatkan, terus dia lari ke mulut
gua yang sudah berada di depannya.
"Hati-hati, adik !" Kiauw In memperingatkan.
Selama itu, dengan perlahan-lahan, tenaganya Kiauw In
mulai pulih. Selanjutnya tak lagi ia dipapah, cuma kepalanya
masih ditempel pada dada lebar dari si pemuda. Di dalam
keadaan seperti itu, tidak lagi ia merasa likat. Ia berjalan
dengan perlahan. Di dalam hati, ia pun senang yang ia dapat
berdampingan dengan kekasihnya itu. Biar bagaimana, ia
tetap seorang wanita muda....
Segera juga Ya Bie sudah sampai di mulut gua atau
terowongan luar biasa itu. Ia sekarang mau berlompat keluar.
Masih lagi beberapa kaki, ia sudah bersiap dengan ularnya,
yang dililitkan di lengannya. Ketika ia akhirnya berlompat, ia
menggunakan tipu loncat "Ya Bie Toan Hiat", Kijang hutan
loncat keluar dari lubang.


Tepat si nona bergerak, cepat Kiauw In lompat
menghadang di depannya It Hiong sebab si anak muda mau
segera menyusul.
"Sabar !" katanya. Lalu ia mengawasi ke mulut gua.
Hanya sebentar, lalu terdengar suara Ya Bie, sebagai
jeritan atau seruan.
It Hiong khawatir nona itu menghadapi lawan tangguh,
sambil menarik lengannya Kiauw In, ia lompat keluar, maka
sempat ia melihat Ya Bie berdiri sedikit jauh dari mulut gua
itu, tubuhnya terhuyung, hingga ia memegangi sebuah pohon
kecil. Masih si nona itu mengeluarkan suara tajam, sedangkan
di atasan rambutnya masih tampak sisa mirip halimun keunguunguan.
Di dalam sekelebatan saja, It Hiong menerka Ya Bie
terkena semacam bubuk bius, maka itu sambil menyuruh
Kiauw In menanti, ia berlompat pesat pada kawannya itu. Ia
menggunakan ilmu lompat ringan Tangga Mega. Selekasnya ia
tiba, ia sambar tubuh orang, buat diangkat dan dibawa
berlompat kembali. Sama cepatnya, ia mengeluarkan Lee-cu
yang terus ia dijejalkan ke dalam mulut si nona.
Tadi itu, Ya Bie telah berlaku cerdik. Ketika ia berlompat,
ulatnya dibulang balingkan dahulu dan ia pun menahan
nafasnya. Adalah setelah ia berlompat keluar, suatu benda
mirip asap yang warnanya keungu-unguan, yang ia tak lihat
dari mana datangnya, sudah menyambar kepadanya. Ia tidak
kena mencium atau menyedot uap itu tetapi mukanya
bagaikan ketutupan, terus ia merasa bingung sekali, maka
juga ia sudah lantas perdengarkan seruannya itu. Ia masih
dapat mengingat buat membela diri, maka juga sambil


menggoyang-goyang ularnya, ia lompat pula ke pohon kecil
itu, sampai It Hiong muncul dan menolongnya. Syukur ia tak
sampai roboh.
Lekas sekali mutiara kena dikemut, Ya Bie mendapat
pulang kesadarannya. Hawa yang adem dari mutiara
membuatnya --hati dan otaknya-- segar pula seketika. Bahkan
sebaliknya, ia menjadi sangat segar. Tapi ia cerdik dan nakal,
ia menyender terus di tubuhnya It Hiong, ia pula tak mau
segera membuka matanya. Ia berdiam saja, tanpa
berkutik.......
It Hiong dan juga Kiauw In, tidak menyangka apa-apa.
Mereka hanya menerka orang menjadi korbannya bubuk bius
yang berupa seperti halimun ungu itu. Karena itu, sebaliknya
dari bercuriga, mereka justru berkhawatir buat
keselamatannya nona itu.
Selagi si anak muda memeluki tubuh orang, Kiauw In lekaslekas
mengurutinya. Mereka pun memikirkan, sampai kapan
nona itu akan mendusin. Tak tahunya, orang lagi menikmati
hangatnya tubuh si anak muda serta "sedap"nya urutan
tangan halus nona Cio....
Hanya sebentar, Kiauw In lantas merasai nafasnya si nona
sudah pulih. Ia meraba nadi orang, nadi itu pun biasa saja.
"Ia tak kurang suatu apa," katanya kemudian, hatinya lega.
Ya Bie khawatir rahasianya terbuka. Habis mendengar katakatanya
Kiauw In, ia lantas memperdengarkan suara perlahan,
terus ia membuka matanya. Ia nampak terkejut, maka ia
berlompat bangun, setelah mana, ia mengeluarkan mutiara
dari dalam mulutnya.


It Hiong menyambut mustika mutiara itu buat disimpan di
dalam sakunya.
"Bagaimana rasamu, adik ?" tanyanya perlahan.
Ya Bie melirik Kiauw In, lantas ia menggelengi kepala.
Nona Cio menggenggam tangan orang dan tertawa.
"Kembali kau belajar cerdik !" katanya. "Ini pula satu
pengalaman ! Apakah kau mendapat lihat orang macam apa
yang membokongmu ?"
Ya Bie tidak menjawab, ia melainkan menggeleng pula
kepalanya sambil tangannya membuat main ularnya. Di dalam
hati ia khawatir Kiauw In nanti mendapat lihat sikap purapuranya
itu.....
"Melihat macamnya bubuk atau asap itu," kata It Hiong,
yang mengungkapkan dugaannya, "pasti penyerangan
dilakukan oleh Peng Mo Nikouw."
"Memang juga, diantara Hong Gwa Sam Mo tak akan ada
orang yang baik hatinya." kata Kiauw In.
Ya Bie berlega hati mendapat tahu nona Cio tidak
mencurigainya.
"Sayang sebelum aku melihat si penyerang, kepalaku sudah
lantas terasa pusing," kata dia.
Baru nona itu mengucapkan kata-katanya itu, atau mereka
bertiga segera mendengar tawa dingin berulang-ulang, yang
datangnya dari suatu arah, menyusul mana lantas tampak


munculnya beberapa orang, yang mulanya terlihat seperti
bayangan saja !
It Hiong yang paling dahulu berpaling. Suara dan orangorang
itu datangnya dari tengahnya tiga puncak yang
bagaikan menjadi satu. Nampaknya tak ada jalanan di sana
itu. Toh dari sana ada orang yang memperlihatkan diri.
Lekas sekali orang-orang itu sudah sampai di depannya si
anak muda bertiga. Mereka berjumlah berlima, semuanya
bersenjatakan pedang dan golok. Dilihat dari tampangnya,
mereka mestinya bukan sembarang orang Kang Ouw. Mereka
itu berdiri berbaris.
Menghadapi rombongan itu, anak muda kita berlaku sangat
tenang. Ia bukannya mengawasi orang, hanya ia menengadah
langit melihat awan disekitarnya. Ketika itu malam, mungkin
sudah jam empat. Sisa rembulan remang-remang dan angin
bertiup shilir. Masih terlihat cukup tegas, kelima orang itu
berwajah bengis. Kulit muka mereka seperti hijau.....
Dengan satu kelebatan saja, It Hiong sudah mengenali
kelima orang itu -- orang-orang Kang Ouw dari kalangan
sesat.
Ya Bie tidak kenal kelima orang itu, sedangkan Kiauw In
mengenalnya samar-samar.
Mereka itu adalah kelima bajingan dari To Liong To, ialah
Lam Hong Hoan, Cie Seng Ciang, Siauw Tiong Beng, Bok Cee
Lauw dan Tio Siong Kan. Mereka telah meninggalkan pulau
mereka dan pergi merantau setelah kematiannya ketua
mereka, To Cu Kang Teng Thian yang mati bersama Ang Sian
Taysu disebabkan mereka itu berdua berkelahi mati-matian.
Mereka mengembara buat mencari Siauw Wan Goat, adik


angkat mereka. Di luar dugaan mereka telah bertemu Im Ciu
It Mo dan roboh sebagai korbannya Thay-siang Hoan Hun
Tan, obat biusnya si Bajingan Tunggal, hingga mereka tak
sadarkan diri seperti Gak Hong Kun dan Cio Kiauw In. Setelah
urat syarafnya terganggu, mereka dikurung di puncak gunung
Hek Sek San, di sana mereka diajari ilmu menggunakan
senjata rahasia beracun yang lihai, yaitu Sun Im Ciat Sat
Kang. Sebab Im Ciu It Mo hendak menggunakan mereka itu
sebagai senjata guna nanti menjagoi dalam pertemuan Bu Lim
Cit Cun. Supaya mereka itu menjual jiwa baginya !
Im Ciu It Mo merasa penasaran kepada It Hiong, maka itu
terpaksa ia mengeluarkan orang tawanannya yang lihai itu,
guna mereka menempur si anak muda.
Rombongannya kelima Bajingan ini adalah rombongannya
It Mo yang pertama. Di setiap tikungan lainnya masih ada
jago-jagonya yang disembunyikan. Itulah orang-orang yang
diandali maka juga tadinya dia tak mau mengejar It Hiong
bertiga, hanya ia memegat di muka terowongan atau mulut
goa ini. Semua orangnya telah dibikin kacau urat syarafnya,
supaya mereka berkelahi tanpa kesadaran hanya menuruti
saja segala perintahnya.
Lam Hong Hoan yang bersenjatakan juan pian terbuat dari
baja sudah maju paling dahulu, matanya mengawasi tajam
dan bengis pada ketiga muda mudi di depannya. Ia maju
dengan membuka langkah lebar. Segera ia membentak :
"Bunuh mereka !" Dan terus ia menyerang dengan senjata
lunaknya itu !
Menyusul bentakan itu, empat Bajingan lainnya turut
bergerak serentak. Hanya mereka lebih dahulu lompat
memencar, guna mengambil sikap mengurung ketiga orang
itu, sesudahnya, baru serempak mereka menyerang !


It Hiong bermata celi, ia sudah lantas dapat melihat sinar
mata orang -- sinar mata guram seperti sinar matanya Kiauw
In sebelum nona itu sadar. Maka tahulah ia yang ia tengah
menghadapi lawan dari kalangan apa. Karena ini, tak ingin ia
yang Kiauw In dan Ya Bie menempur mereka itu. Ia sudah
lantas berlompat maju, akan melayani kelima lawan itu. Ia
segera menggunakan ilmu pedang Kie-bun Patkwa Kiam.
Kepada Kiauw In dan Ya Bie, ia menggunakan kesempatan
akan memesan : "Kalian jangan maju, hanya bersiaga saja !"
Kiauw In dapat menangkap maksudnya si anak muda, ia
terus menarik tangannya Ya Bie untuk diajak menyingkir dari
pengepungan, kemudian mereka berdua berdiri di tempat
terpisah lima kaki, buat benar-benar memasang mata.
"Bagaimana, kakak ?" tanya Ya Bie heran. "Mana dapat kita
menonton saja kakak Hiong menempur lima orang jahat itu ?
Mereka semua nampaknya kosen-kosen......."
"Kita menyimpan tenaga....." Kiauw In membisiki. "Kita
menonton dahulu, kalau perlu baru kita turun tangan
membantui kakak Hiongmu !"
Ya Bie berdiam tetapi matanya segera mengawasi kepada
It Hiong.
Pertempuran, atau lebih benar pengepungan sudah
berlaku. Senjatanya musuh berkilau tak hentinya. Mereka itu
menyerang dengan hebat. It Hiong kelihatan bergerak
bagaikan naga licin diantara para penyerangnya itu.
Sesudah terkepung sekian lama, panas juga hatinya si anak
muda. Orang seperti sangat ingin membinasakannya. Mereka


itu berkelahi seperti tak kenal ampun. Sinar mata mereka
suaram tetapi ilmu silat mereka tak berkurang lihainya.
Sejak keluar dari rumah perguruan, tak pernah It Hiong
melupakan pesan gurunya.
"Kau mengampunilah dimana kau mampu !" demikian
pesan itu. Selamanya It Hiong melakukannya. Tapi sekarang
ia didesak begini rupa. Mana mampu ia meloloskan diri kalau
ia melayani mereka seperti biasa ? Musuh pun entah masih
ada berapa banyak lagi kawannnya.
Lagi satu kesukaran dari It Hiong, ialah pedangnya telah
orang curi dan pedangnya yang sekarang ini tidak dapat
dipakai memapas kutung sejata lawan seperti kalau ia
menggunakan Keng Hong Kiam. Maka kemudian ia memikir
buat melontarkan senjata-senjata musuh dengan ia
mengandalkan tenaga dalamnya, yang disalurkan kepada
lengan atau pedangnya.
Tanpa merasa pertempuran sudah berlangsung sebanyak
empat puluh jurus, selama itu belum juga kelima Bajingan
dapat menang diatas angin. Inilah sebab, walaupun mereka
berlima lihai, tetapi It Hiong bukan lagi sembarang lawan, ilmu
silat si anak muda sudah mencapai batas kemahirannya.
Lam Hong Hoan nampak penasaran, ia perhebat tikaman
dan tebasannya bergantian. Ia bersenjatakan sebatang ruyung
panjang. Anginnya senjata itu bersuara nyaring.
Tengah pertarungan berlangsung, dari kejauhan terdengar
satu suara, sebentar singkat sebentar panjang. Itulah suara
yang tak menyenangi siapa yang mendengarnya. Itulah suara
yang umum menyebutnya tangisan bajingan..... Seram
iramanya !


Mendengar suara itu, Lam Hong Hoan berlima
memperhebat serangannya secara tiba-tiba. Mereka
nampaknya bagaikan sedang kalap. Selagi merangsak itu,
mereka mengeluarkan bentakan perlahan.
Demikianlah Siauw Tong Beng dengan golok lunaknya
menebas dari samping kepada bahu kirinya It Hiong. Itulah
tebasan "Menghunus Golok, Memutus Air". Berbareng dengan
itu, dengan sepasang rodanya, Bok Cee Lauw menyerang
iganya It Hiong kiri dan kanan.
Ketika itu It Hiong tengah menangkis bacokannya Cie Seng
Ciang serta tangan kirinya menolak ruyungnya Lam Hong
Hoan, nampaknya iganya menjadi kosong. Pasti semua
lawannya tidak tahu bahwa dengan itu ia justru lagi
memasang umpan !
Kiauw In dan Ya Bie terkejut, berbareng mereka berseru,
berbareng juga mereka berlompat maju, berniat membantu
anak muda pujaannya itu. Akan tetapi belum lagi mereka
memasuki kalangan, aau mereka sudah mendengar satu suara
nyaring, yang disusul dengan terbangnya ketiga senjatanya
lawan, sedangkan Siauw Tiong Beng dan Bok Cee Lauw
lompat mundur serentak, tubuhnya terhuyung tujuh tindak,
setelah itu baru mereka bisa mempertahankan diri untuk
berdiri tegak.
Setelah berdiri tegak itu, Siauw Tiong Beng memegangi
tangan kanannya, yang telapakannya mengalirkan darah
hidup. Bok Cee Lauw sebaliknya menurunkan kedua-dua
tangannya dan tubuhnya bergemetaran, sedang mukanya
pucat, giginya berjatrukan dan dari mulutnya terdengar
rintihan perlahan....


Kiranya It Hiong menerbangkan senjata orang dengan satu
gerakan berbareng dari kedua kakinya, yang mendupak
selekasnya dia menjejak tanah guna mengapungi tubuh.
Itulah satu tipu dari ilmu Gie Kiam Hui Heng, terbang dengan
mengendalikan pedang, sedangkan kedua belah kakinya
mengerahkan tenaga dari Hian bun Sian Thian Khie-kang.
Ketiga lawan lainnya kaget sekali apabila mereka
menyaksikan dua kawan mereka kena dibikin tak berdaya itu,
mereka berdiri diam dengan mendelong, hingga mereka lupa
membantu atau sekalipun menghibur saja.
Sementara itu dari pojok gunung terdengar pula suara
siulan nyaring tetapi pendek, selekasnya Lam Hong Hoan
mendengar itu, dia bagaikan lupa pada mendelong atau rasa
ngerinya, tiba-tiba saja dia berlompat maju akan menerjang
pula kepada lawan.
Tapi Hong Hoan bukan maju sendiri, bahkan dia telah
orang dahului.
Itulah Tio Sing Kang, yang telah menyerang selekasnya dia
mendengar suara siulan yang luar biasa itu ! Dengan sepasang
kaitannya, kaitan Wan Yho Kauw, dia menerjang It Hiong di
atas dan di bawah !
Di antara tujuh bajingan dari To Liong To, ilmu silatnya Tio
Sing Kang yang paling rendah, walaupun demikian, sepasang
senjatanya itu, telah dia latih selama dua puluh tahun lebih,
maka itu dapat dimengerti yang ilmu kaitannya tak dapat
disamakan dengan orang-orang Kang Ouw yang kebanyakan.
Dengan ilmu kaitannya itu, dia dapat termasuk orang
golongan tingkat utama. Karena dia berasal dari bajak, dia
pula pandai sekali berenang dan selusup, sedangkan gerakan
ringannya, dalam ilmu Kwie Sian Tong Hian --Iblis Berkelebat--


dia dapat disamakan dengan Siauw Wan Goat, adik angkatnya
itu.
Cie Seng Ciang juga turun tangan membarengi
penyerangannya Tio Siong Kang itu. Bajingan ini lantas
menyerangdengan timpukan senjata rahasianya yang berupa
thie-lian-cie, biji teratai besi.
Alisnya It Hiong berbangkit melihat lawan menggunakan
senjata rahasia. Ia jadinya dibokong ! Sementara itu, dengan
satu gerakan Tangga Mega, ia telah dapat menyingkirkan diri
dari beberapa senjata lawan-lawannya itu, habis mana ia terus
bertindak !
"Aduh !" demikian terdengar jeritannya Cie Seng Ciang.
Tio Siong kan menoleh dengan lantas, atau hatinya menjadi
gentar. Seng Ciang roboh dengan mandi darah, tangannya
memegangi pedangnya yang sudah menjadi buntung.
Ruyungnya Lam Hong Hoan sendiri terpental tinggi, syukur tak
lepas dari cekalannya.
Walaupun demikian, menyaksikan kebinasaannya Seng
Ciang, Siong Kang menjadi gusar sekali, hingga ia lantas maju
pula sambil berseru : "Saudara Lam, mari kita maju bersama !
Kita harus membalaskan sakit hatinya saudara-saudara kita !"
Lam Hong Hoan menyahuti sambil menjerit keras, selagi
Siong Kang menyerang dengan kaitannya, ia menyerbu
dengan ruyungnya.
Justru itu dari belakangnya dinding batu tampak munculnya
dua orang citBiauw-Yauw Lie, hanya sejenak, mereka lenyap
pula. Mereka berlalu selekasnya mereka masing-masing
menyambar dan mengempit Siauw Tiong Beng dan Bok Cee


Lauw, yang tadinya pada duduk di tanah tengah menungkuli
rasa nyerinya........
Selagi Siong Kan dan Hong Hoan menyerang ia dengan
hebat, It Hiong sebaliknya berkesan baik terhadap mereka itu.
Memangnya ia tidak berniat membinasakan ketujuh Bajingan
dari To Liong To, kalau tadi ia membinasakan juga Seng
Ciang, itulah disebabkan meluapnya amarahnya seketika
lantaran Bajingan she Cie itu menyerang ia dengan senjata
rahasia. Ia dapat mengerti kemarahannya saudara angkat
bajingan itu terhadapnya.
Demikian, karena It Hiong tidak berniat membinasakan
lawan, ia jadi melayani mereka itu bagaikan ia sedang bermain
petak. Ia menggunakan melulu kegesitan dan kelincahan
tubuhnya.
Lekas sekali, sang fajar telah tiba.
Ketika itu Kiauw In, disamping memasang mata, telah
memberesi rambutnya yang kusut, kemudian ia menengadah
langit, lalu mengeluarkan nafas melegakan kalbunya.
Ya Bie sebaliknya ! Nona itu mengawasi pertempuran
dengan dia seperti tak sanggup mengendalikan hatinya. Dia
tak sabar sekali.
"Bagaimana, eh ?" katanya kemudian. "Kenapa kakak
Hiong bermurah hati terhadap sekalian lawannya itu ?"
Kiauw In menghela nafas.
"Kakakmu itu sedapatnya hendak pantang membunuh."
katanya menjelaskan. "Dia biasa menggunakan timbangan


yang adil disebelahnya dia memang memiliki apa yang
dinamakan hati wanita......"
Ya Bie berdiam, dia agak kurang mengerti. Tapi hanya
sejenak, dia lantas kata keras : " Kakak Hiong takut melanggar
bencana pembunuhan tetapi aku, Ya Bie tidak !"
Nona ini sudah melibatkan ularnya pada pinggangnya, lalu
ia membukanya pula.
"Kakak, tolong kau waspada !" katanya kemudian tiba-tiba,
lalu sebelum lenyap suara mendengungnya kata-katanya itu,
tubuhnya sudah mencelat maju, bahkan terus ia
memperdengarkan seruannya yang tajam. Sebab ia lantas
menggunakan ilmu sesatnya --Hoan Kak Bie Cin. Dengan
suaranya itu, ia hendak mengacaukan pikirannya sekalian
musuh !
Setelah itu si polos sudah berada diantara musuh sambil ia
membulang-balingkan Sian Liong, si Naga Sakti, ular
beracunnya itu !
Tio siong Kang kalah latihan semadhinya dari pada Lam
Hong Hoan, selekasnya dia mendengar suaranya Ya Bie,
tubuhnya lantas menggigil sendirinya, menyusul mana,
hatinya pun berdebaran, bahkan segera juga gerak gerik
sepasang kaitannya lantas menjadi ayal secara tiba-tiba.
Ya Bie bermata sangat celi, ia melihat perubahan pada
bajingan she Tio itu, tidak ayal pula, ia merangsak pada
Bajingan itu, untuk meluncurkan ularnya kepada dada dan
perut orang !
Tio Siong Kang terkejut, tetapi ia belum tahu lihainya si
Naga Sakti, untuk membela diri, guna membinasakan binatang


menyelosor itu, segera ia menghajar dengan dua-dua
kaitannya kiri dan kanan. Adalah keinginannya akan dengan
satu kali kait, binatang jahat itu nanti mati dengan tubuhnya
terkutung menjadi dua potong !
Adalah diluar sangkaan dari jago dari To Liong To itu
bahwa Sian Liong lihai sekali. Tubuhnya yang bersisik, yang
tak seperti ular lain umumnya yang kulitnya cuma licin saja,
tak mempan senjata tajam, kebalnya luar biasa. Dia pula
sangat celi dan cerdas. Dia melihat tibanya kaitan, dia lantas
berkelit melejit, menyusul mana, selagi tubuhnya bebas dari
ancaman petaka, mulutnya sendiri tahu-tahu sudah memegat
lengan kanan Bajingan itu !
Ketika itu Lam Hong Hoan pun memperoleh kesempatan
menghajar ke arah pinggang si nona, ruyung panjangnya
digerakkan dengan hebat, dengan tenaga sepenuhnya,
dengan antaran seluruh tenaga dalamnya !
Ya Bie cerdik sekali. Begitu ia melihat ancaman bahaya, ia
tidak mau menangkis, hanya dengan satu gerakan lincah, ia
menjatuhkan diri ke tanah terus bergulingan sejauh lima kaki
lebih ! Hingga bebaslah ia dari ancaman maut. Tapi setelah
selamat itu, segera ia berlompat bangun, buat berlompat lebih
jauh menghampiri pula lawan, guna merapatkan ! Inilah daya
cerdik guna membuat lawan tidak leluasa mengunakan
senjatanya yang panjang.
Kembali dari kejauhan terdengar siul nyaring tetapi pendek,
berulang-ulang. Kali ini suara itu jauh lebih mendesak !
Lam Hong Hoan berlompat mundur, ruyungnya ditarik
pulang, kemudian dia mengawasi kepada Siong Kang, setelah
mana dia berlompat pula, kali ini berlompat mundur, maka


selanjutnya dia lari menghilang dari tempat dari mana tadi
mereka muncul !
Tio Siong Kang rebah ditanah. Dia roboh terkulai setelah
berdiri diam tak lama. Tubuhnya bergemetar, mukanya
menjadi pucat pasi. Hebat pagutannya Sian Liong yang
beracun itu.
Tanpa berkutik pula, ia hilang nyawanya dengan tubuhnya
tetap menggeletak di tanah.
Ya Bie melihat kaburnya Hong Hoan, saking panas hatinya,
hendak ia mengejar.
"Adik Ya Bie !" tiba-tiba ia mendengar panggilannya It
Hiong. "Adik, jangan kejar musuh !"
Mendengar suara itu, si nona mendengar kata. Dia sangat
patuh terhadap kakak Hiongnya itu ! Sebaliknya dari pada
mengejar musuh, dia memutar tubuhnya dan menghampiri si
anak muda, menghadapi siapa dia tertawa manis.
"Ada apakah kakak ?" tanyanya gembira.
Kiauw In menghampiri kawan itu.
"Adik, apakah kau ketahui namanya beberapa orang ini ?"
tanyanya.
Ya Bie membuka mata lebar-lebar, terus dia menggeleng
kepala.
Nona Cio menghela nafas, lalu ia menoleh pada It Hiong.


"Sungguh tak kusangka !" kata ia perlahan setelah ia
menatap wajahnya si pemuda. "Sungguh tak kusangka, orangorang
dari To Liong To pun dapat dipengaruhi Im Ciu It Mo,
hingga mereka kena diperintah mengadu jiwa......."
It Hiong mengawasi dua orang yang rebah ditanah.
"Kakak mengenali mereka ?" tanyanya.
Kiauw In tertawa dan menjawab. "Ketika kawanan bajingan
menyerbu Siauw Lim Sie, mereka ini telah memperlihatkan
dirinya, namun ketika itu aku mengenalinya samar-samar.
Yang aku ingat lebih tegas, itulah dia !"
Si nona menunjuk tubuhnya Tio Siong Kang.
It Hiong pun kata : "Yang barusan kabur itu adalah Lam
Hong Hoan, locu nomor dua dari To Liong To. Baru-baru ini di
pinggang gunung Heng San, pernah aku menempur Lam Hong
Hoan dan Bok Cee Lauw. Maka dua korban ini, mereka
tentulah kawan-kawannya mereka itu."
"Kalau merekalah Tujuh Bajingan dari To Liong To," tanya
Ya Bie, "kenapa sekarang cuma ada lima orang ? Mungkinkah
?"
Mendadak saja si nona menghentikan kata-katanya itu.
Tiba-tiba ia ingat mungkin masih ada dua orang, yang belum
terpengaruhkan Im Ciu It Mo atau mereka itu berdua dapat
meloloskan diri....
Kata-katanya Ya Bie mengingatkan It Hiong pada Siauw
Wan Goat, nona Bajingan nomor tujuh yang tergila-gila
kepadanya, bahkan karenanya itu sudah terpedayakan Gak
Hong Kun. Entah dimana adanya nona itu sekarang.....


Kemudian It Hiong pun ingat akan kematiannya Kang Teng
Thian, ketua To Liong To. Jago itu telah menuduh dialah
orang yang mencelakai Siauw Wan Goat itu. Bagaimana fitnah
itu sedangkan ia adalah seorang yang putih bersih ?
Kang Teng Thian mengajak Siauw Wan Goat mendatangi
Siauw Lim Sie di gunugn Siong San, di sana dia tak mau
mengerti, maka juga dalam pertempurannya dengan Ang Sian
Siangjin, ia berdua bersama biarawan itu telah membuang
jiwa bersama-sama......
"Itulah hebat" pikir It Hiong. "Semua itu gara-garanya Hong
Kun."
Mengenang Siauw Wan Goat, It Hiong menyesal dan
berduka. Bukankah nona itu sangat mencintainya, hingga dia
menjadi tergila-gila ? Karena itu, dia telah menderita, kesucian
dirinya sampai dirusak Hong Kun.
Tanpa merasa, anak muda kita menghela nafas, wajahnya
pun suaram.
Ya Bie terkejut, dia heran. Mulanya ia melengak sejenak,
cepat-cepat ia menanya : "Kakak Hiong, apakah aku keliru
bicara ?"
Pemuda itu menggeleng kepala.
Kiauw In sebaliknya dari pada Ya Bie. Ia dapat menerka
kedukaannya si anak muda, sebab ia tahu lakonnya Siauw
Wan Goat itu. Maka ia lantas melirik anak muda itu dan
bersenyum.


"Adik Ya Bie, kau tidak salah bicara !" ia pun kata. "Dia --
orang ini-- sangat berat bencana asmaranya ! Dia tentunya
telah mengingat kepada Siauw Wan Goat dari To Liong To...."
Mendengar suara si nona, mukanya It Hiong menjadi
merah, ia merasai kulitnya panas. Tepat dugaan nona itu.
Dengan alisnya berkernyit, ia berpaling ke lain arah. Tak mau
ia mengatakan sesuatu.
Tapinya Kiauw In sangat halus budi Pekertinya. Tak sedikit
juga ia menyesal atau jelus dengan lakon asmara kekasih itu.
Ia pun dapat membaca hatinya si anak muda. Maka ia lantas
tertawa dan kata : "Eh, eh, kau kenapakah ? Kecelakaannya
Siauw Wan Goat yang harus dikasihhani, aku percaya
bukanlah perbuatanmu !"
It Hiong menoleh, mengawasi pacarnya.
"Jika aku yang berbuat tak tahu malu seperti itu, apakah
kakak kira ada mukaku buat datang menemuimu ?" katanya.
Lantas nona Cio memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Sudah, jangan kita bicarakan urusan sampingan itu !"
demikian katanya. "Kita sekarang lagi berada di tempat yang
berbahaya ! Nanti saja, selolosnya kita dari Hek Sek San,
setelah ada kesempatan, kita pergi cari Siauw Wan Goat buat
membantui dia melakukan pembalasannya !"
Sekonyong-konyong It Hiong menghunus pedangnya.
"Gak Hong Kun !" katanya sengit. Terus dia membacok
batu di depannya, hingga batu itu pecah dengan
memuncratkan percikan apinya.


Itulah tanda bahwa ia sangat penasaran terhadap murinya
It Yap Tojin.
Ya Bie melengak menyaksikan perbuatannya It Hiong.
Inilah sebab ia tidak tahu tentang lakonnya Siauw Wan Goat
dengan Gak Hong Kun dan anak muda itu sendiri.
Matahari sementara itu mulai menaik dan halimun sudah
buyar, maka tanah pegunungan itu mulai terlihat terang dan
nyata.
Kiauw In segera mengawasi ke sekitarnya, hingga ia
mendapatkan sebuah jalan kecil untuk turun gunung.
"Untuk dapat keluar dari gunung ini, kita cuma dapat
mengambil jalan kecil itu," katanya, menghela nafas. Ia
masgul.
Ya Bie si polos kata : "Tadi pun musuh kita menyingkir dari
jalan dari jalan itu ! Mari kita pergi, asal kita berhati-hati !
Mungkin ada perangkap di tengah jalan sana......."
It Hiong mementang lebar kedua matanya.
"Untuk keluar dari sini, kita jangan takut pada perangkap
lagi !" katanya keras. Nyata bahwa ia masih panas hati.
"Benar !" seru Ya Bie, gembira dan bersemangat. "Apa
yang harus dibuat takut ? Mari kita pergi!"
Malah nona polos ini terus mengajak ujung bajunya Kiauw
In buat diajak berjalan.
Nona Cio mau mengikuti kawan muda itu atau It Hiong
segera menghadang di depan mereka.


"Jangan sembarangan, adik !" kata si anak muda pada Ya
Bie. "Biar aku yang membuka jalan !"
Dan anak muda ini lantas bertindak di muka, mengambil
jalan kecil itu.
Jalan kecil menanjak naik itu, banyak tikungannya. Jalan
pun sempit.
Kira setengah lie jauhnya, tiba sudah orang di jalan yang
buntu -- buntu karena terpegat sebuah jurang yang dalam
mungkin seribu tombak. Dari dalam jurang itu tampak uap
mengepul naik, diantara sorotan cahaya matahari, uap itu
memberi penglihatan aneka warna.
"Sungguh berbahaya !" kata It Hiong. "Terang kita salah
jalan !"
Kiauw In mengawasi anak muda itu. Kalau It Hiong maju
terus, dia pasti akan tercemplung ke dalam jurang. Syukur,
matahari terang sekali. Ia lalu mengawasi ke seputarnya.
Kesudahannya, bertiga mereka berdiri melengak. Tak
tampak jalan lain ! Habis, kemana perginya musuh yang kabur
tadi ?
Kiauw In berdiam sambil otaknya bekerja. TIba-tiba ia
tertawa.
"Kita tolol !" katanya. "Di sini mesti ada sebuah gua, yang
menjadi jalanan keluar ! Hanya gua itu rupanya tertutup
hingga kita tidak melihatnya........"
It Hiong dan Ya Bie membenarkan dugaan itu.


"Mari kita cari !" Kiauw In menambahkan, mengajak.
Kedua kawan itu mengangguk. Bertiga mereka lantas
memutar tubuh, buat berjalan baik. Hanya kali ini mereka
berjalan dengan perlahan sambil selalu memeriksa kedua sisi
jalanan itu.
Mereka mesti menggunakan waktu banyak sebab mereka
berjalan dengan sangat perlahan. Perjalanan yang jauh tak
ada setengah lie meminta waktu lama. Sudah satu jam tetapi
mereka belum menemui jalanan atau gua yang dicari itu.
It Hiong menjadi mendongkol dan penasaran.
"Aku tidak percaya Im Ciu It Mo demikian lihai hingga dia
mampu mengurung kita di puncak gunung ini !" katanya
sengit.
Melihat orang mengumbar hawa nafsunya, Kiauw In
tertawa.
"Adik !" katanya manis. "Sejak kapan kau belajar tak tahan
sabar ? Toh terang-terang kita melihat musuh mengambil
jalan ini ! Kalau disini tidak ada jalan keluarnya, habis dari
manakah lenyapnya mereka itu ? Mungkinkah mereka naik ke
langit ? Mulanya toh mereka datang, lalu pergi !"
"Jika kita tidak menemukan jalanan itu," Ya Bie turut
bicara, "kita merayap turun saja ! Apa yang mereka dapat
lakukan atas diri kita ?"
It Hiong tidak berkata apa-apa. Mereka berjalan balik lagi.


Tanpa merasa, selagi mereka itu naik dan turun, sang
waktu sudah mendekati tengah hari.
Tio It Hiong duduk di tanah, otaknya bekerja, matanya
melihat jauh ke depan. Ia heran yang mereka tak berhasil
mencari jalan keluar itu.
Kiauw In dan Ya Bie turut berduduk, untuk beristirahat.
Gunung itu sunyi, cuma angin bersiuran. Ya Bie membekal
rangsum kering, ia keluarkan itu dan membagi kedua
kawannya. Dengan begitu, mereka dapat mengisi perut.
Si nona sangat polos, tiba-tiba dia tertawa.
"Aku girang dapat berdiam bersama-sama kalian, kakak
Hiong !" kata ia. "Sekali pun sampai lama, ya, sampai lama
sekali, aku senang !"
Hatinya si anak muda tergetar, dengan wajah likat, ia
melirik nona Cio.
Nona itu berpura-pura tak mendapat lihat anak muda itu.
"Adik yang tolol !" katanya tertawa. "Janganlah kau bicara
setolol ini ! Paling benar, kau bersiaplah terhadap senjata
gelap dari pihak lawan !"
Ya Bie terperanjat, juga It Hiong.
Memang benar katanya Kiauw In itu. Maka mereka lantas
menoleh kelilingan.
Tiba-tiba dari sebuah tikungan muncul satu tubuh manusia
bagaikan bayangan, tubuh itu lari cepat seumpama terbang.


Kiauw In bertiga melihat orang, serempak mereka
berlompat bangun, untuk bersiap sedia menyambut. Mereka
menerka kepada musuh. Hanya It Hiong, di lain saat sudah
lantas berlompat maju, guna memapaki orang itu.
Lekas sekali orang yang mendatangi itu tiba dekat kepada
si anak muda, untuk lega hatinya anak muda itu. Dia kiranya
So Hun Cian Li. Ia lantas tak bersiap siaga lagi.
Di depannya It Hiong, si orang utan memperdengarkan
suaranya beberapa kali dan kedua tangannya yang berbulu
digerak-geraki. Entah apa yang mau dikatakan.
Syukurlah Ya Bie datang menyusul. Nona itu lantas bersiul.
Melihat si nona polos, nampak So Hun Cian Li girang bukan
kepalang. Dia berlompat menubruk, terus dia memeluki eraterat
nona itu sedang Pekiknya diperdengarkan berulang-ulang.
Baru sesudah lewat sekian lama, dia melepaskan pelukannya.
Apa yang telah terjadi atas dirinya orang utan ini ?
Sebenarnya dia telah ditotok Peng Mo, hingga dia ketinggalan,
sesudah orang berjalan jauh lima atau enam tombak, dia
roboh sendirinya. Dia kehilangan tenaganya, dia rebah
terkulai.
Sementara itu tibalah ketujuh Yauw Lie murid-muridnya Im
Ciu It Mo. Mereka diperintahkan guru mereka mengatur
perangkap guna membekuk It Hiong beramai. Ek Toa Biauw
mengajak kawan-kawannya pergi ke jalan kecil itu. Lantas
mereka melihat si orang utan sedang rebah menggeletak.
Mereka heran, tetapi mereka menerka orang utan itu sudah
mati, maka mereka tidak menghiraukannya.


Tidak demikian dengan Ek Cit Biauw, si nona bungsu. Dia
jail, sembari lewat itu dia mendepak pinggangnya si orang
utan. Dia mau tahu, binatang itu benar sudah mati atau
bukan. Justru ia mendepak, ia mendepak tepat jalan darah
orang yang ditutup Peng Mo.
Lekas sekali So Hun Cian Li siuman, hanya ketika dia
membuka kedua matanya, dia melihat beberapa orang tengah
berlari-lari pergi. Dia lantas menduga kepada Ya Bie bertiga,
maka dia berlompat bangun, terus dia lari menyusul, untuk
mengikuti.
Cit Yauw Lie menggunakan jalan rahasia, mereka tak usah
seperti It Hiong beramai yang mesti melintasi banyak
pengkolan serta mendaki tinggi dua ratus tombak. Tiba di
atas, mereka terus bekerja. Keenam nona tahu si orang utan
siuman tetapi mereka membiarkannya. Adalah Ek Cit Biauw
yang mengajak So Hun Cian Li bermain-main....
Kemudian, ketika Ek Toa Biauw mendengar tawanya Ek Cit
Biauw serta Pekiknya si orang utan, tiba-tiba ia mendapat
pikiran kenapa ia tidak mau menggunakan orang utan itu
sebagai perangsang, guna menipu It Hiong semua
menghampiri pesawat rahasia mereka. Inilah sebabnya
kenapa ia membiarkan terus si orang utan mengikuti mereka
sampai di atas puncak datar.
Jilid 55
Tindakannya Im Ciu It Mo yang pertama-tama ialah
menitahkan kelima Bajingan dari To Liong To, yang telah
roboh dibawah pengaruh gaibnya, pergi menghadang dan
menyerang It Hiong bertiga. Di luar dugaan, kelima bajingan


gagal, bahkan dua hilang jiwa, dua lagi terluka. Karenanya, Im
Ciu It Mo memanggil Lam Hong Hoan pulang.
Ek Toa Biauw melihat It Hiong bertiga, ia khawatir anak
muda itu dapat mencari jalan rahasia, setelah berpikir, mereka
sengaja membikin So Hun Cian Li pergi memperlihatkan diri,
supaya sehabis itu, si orang utan nanti mengajak It Hiong
bertiga mendatangi pesawat rahasia mereka, agar mereka itu
kena terjebak.
Segera setelah dapat membikin tenang pada si orang utan,
Ya Bie lantas mengajaknya berbicara, minta dia suka
menunjuki jalan keluar, ialah jalan yang tadi diambil si orang
utan sendiri.
So Hun Cian Li tetap binatang, dia tidak tahu perangkap Im
Ciu It Mo.
"Kita tidak berhasil mendapati jalan keluar itu, tidak ada
halangannya kalau So Hun Cian Li yang menunjuki," kata It
Hiong setelah Ya Bie memberitahukan si orang utan dapat
menjadi penunjuk jalan.
Kiauw In sebaliknya mengernyitkan alisnya. Dia berpikir
keras.
"Sia-sia saja percobaan kita mencari jalan keluar," katanya
selang sesaat. "tetapi So Hun Cian Li dapat datang kemari
dengan mudah saja, tanpa dia mendapat celaka, inilah aneh.
Aku rasa pada ini mesti ada rahasianya......" Walaupun Nona
Cio mengatakan demikian, Ya Bie tapinya tidak takut.
"Lihai ia Im Ciu It Mo menggunakan racunnya serta
kepandaiannya orang-orangnya, semau telah kita kenal !"


katanya gagah. "Karena itu, apalagi yang harus kita buat takut
?"
Kiauw In menghela nafas.
"Kau benar, adik," katanya. "akan tetapi apakah barusan
kau tidak lihat cara munculnya orang-orang To Liong To itu
serta cara kaburnya yang satunya ? Bukankah mereka pun
mengambil jalan serupa datang dan perginya ? Kenapa kita
justru gagal mencari jalan rahasia itu ?"
"Kakak benar," berkata It Hiong. "Di sini tentu ada
rahasianya. Meski demikian kakak, justru karena kita tidak
berhasil mencari jalan keluar itu, kenapa kita tidak mau pakai
perantaraannya orang utan ini ? Biarlah dia yang menunjuki
jalan !"
"Ya, biar dia menjadi penunjuk jalan kita !" Ya Bie campur
bicara. "Marilah kita ikuti So Hun Cian Li, lainnya hal biar kita
lihat saja !"
Biar bagaimana Kiauw In mesti menyetujui nona kecil itu.
Memang mereka tidak mempunyai pilihan lain.
"Baiklah," katanya diakhirnya. "Asal kita waspada !"
Begitulah mereka berangkat. Ya Bie menyuruh orang
utannya jalan di depan mereka.
Mereka menempuh pula jalan kecil tadi dimana mereka
telah berjalan bulak balik tanpa hasil Setibanya di depan
jurang, si orang utan sudah lantas berlompat turun !
Ketika itu tengah hari, jurang yang tadi tertutup uap,
sekarang uapnya telah buyar. It Hiong heran melihat So Hun


Cian Li berlompat turun, segera ia menyusul ke tepiannya
jurang, untuk melongok ke bawahnya.
Cahaya matahari dapat menembus terang sekali ke dalam
jurang itu. Maka di situ tampak sebuah apa yang dinamakan
"batu rebung", yang muncul nonjol panjang tiga atau empat
tombak, yang berupa mirip sebatang penglari melintang
diantara jurang atas dan dasarnya. Tadi itu, sebelum uap
buyar, ia beramai tak melihatnya.
Si orang utan berdiri di atas batu panjang itu, dia berPekik-
Pekik sambil menggerak-geraki kaki dan tangannya.
Kiauw In dan Ya Bie telah turut melongok ke dalam jurang
itu.
"Pasti ada gua di tempat di mana batu itu menonjol," kata
Nona Cio, "hanya....."
"Kalian tunggu," It Hiong menyela, "Nanti aku lompat turun
buat melihatnya......"
Belum habis kata-kata itu diucapkan, orangnya sudah
berlompat turun, untuk menaruh kaki di batu panjang itu,
yang jaraknya dari atas cuma tujuh atau delapan tombak.
Mudah saja buat si anak muda turun ke situ karena
kemahirannya ilmu ringan tubuh Tangga Mega serta ilmu
pedang melayang Gie Kiam Hui Heng Sut. Juga mudah saja
buatnya mendapati gua, atau lubang seperti diterka Kiauw In.
Karena gua justru merupakan mulut terowongan.
So Hun Cian Li menunjuk pada mulut gua, kembali dia
berPeki berulang kali. It Hiong mengawasi. Mulut gua itu gelap


dan dari situ bertiup keluar angin shilir. Kecuali angin halus
itu, tidak ada suara lainnya.
Anak muda kita segera menggunakan otaknya. Di dalam
situ mesti ada orang yang menjaga atau telah dipasangi
perangkap yang berbahaya.
"Mari !" kata It Hiong yang terus menarik si orang utan
buat diajak berlompat naik pula.
"Adakah jalanan di situ ?" Ya Bie paling dahulu menanya si
anak muda.
It Hiong tertawa.
"Di situ ada sebuah mulut gua." sahutnya. "Hanya
entahlah, gua itu menembus ke perut gunung atau ke
bawahnya........"
"Bagus !" seru si nona polos. "Mari kita turun !" Dan ia
maju ke tepian jurang, bersiap lompat turun ke dalamnya.
"Tahan !" mencegah Kiauw In sambil menarik lengan
orang. Kemudian dia menoleh kepada It Hiong, untuk
bertanya : "Adik, bagaimana penglihatanmu mengenai gua itu
?"
"Jika aku tidak keliru menerka, " sahut orang yang ditanya,
"itulah mesti salah sebuah gua sarangnya Im Ciu It Mo." Alis si
anak muda bangkit, tampangnya menjadi gagah sekali ketika
ia menambahkan, "Namun, walaupun itu adalah sarang naga
atau sarang harimau, pasti aku akan menerjang memasukinya
!"


Kiauw In membuka mata lebar memandan si anak muda,
lalu dia tertawa.
"Melawan harimau tanpa bersenjata atau menyeberangi
sungai tanpa perahu, itulah yang dinamakan kegagahannya si
orang biasa saja," katanya. "Adik, apakah kau tak kuatir orang
Kang Ouw menertawakanmu andiakata mereka mendengar
tentang cara lakumu ini ?"
It Hiong melengak. Ia sadar yang barusan ia telah terlalu
menuruti suara hatinya sendiri. Segera ia menatap nona di
depannya itu. Terhadap kakak seperguruan ini, disebelah rasa
cintanya, ia pun sangat menghormatinya. Lalu, sendirinya, ia
pun tertawa.
"Kau benar, kakak," katanya kemudian. "Nah, apakah
kakak telah memikir sesuatu ?"
Ya Bie sebaliknya berdiri bengong mengawasi bergantian
muda dan mudi itu. Ia pun insyaf akan kecerdasannya Kiauw
In, maka diam-diam ia menjadi menaruh hormat sekali.
Kiauw In dengan perlahan menggeleng kepala.
"Di saat ini, aku belum memikir apa-apa," sahutnya halus.
"Aku cuma ingat bahwa disini ada faedahnya jika kita gunakan
bunyi pepatah yang berkata melempar batu buat menumpang
tanya jalanan........."
Pepatah itu berbunyi "Touw-sek-bun-louw--Melempar batu,
Menanya jalan". Dengan menuruti pepatah itu, orang biasa
melempar batu dari atas ke bawah atau ke sebelah depan,
guna kemudian mendengari jatuhnya batu itu, guna
mengetahui reaksinya.


Hanya disini, Pekerjaan itu sulit juga. Untuk melempar,
atau menimpukkan batu, ke dalam mulut gua, orang mesti
berdiri di palangan batu itu. Batu panjang itu sebaliknya
meluncur hanya sebatang dan sekitarnya jurang, maka kecuali
berlompat ke atas, ke kiri dan kanan atau ke dasar jurang,
semua itu berbahaya. Bagaimana apabila muncul reaksi yang
mengancam hebat ? Orang sukar menangkis atau berkelit,
atau orang bakal tercemplung ke dasar jurang......
It Hiong menggunakan otaknya selekasnya ia mendengar
kata-kata si nona, karena ia berpikir itu, ia tidak lantas
membuka mulutnya. Kiauw In bersenyum mengawasi pemuda
itu.
"Adik," katanya, "buat apak kita memikir lama-lama ?
Menurut aku, kita gunakan saja ilmu Kiauw-keng !"
"Oh !" suara It Hiong mendengar perkataannya si nona. Ia
bagaikan baru mendusin dari tidurnya.
Ya Bie sebaliknya tidak mengerti.
"Kakak Kiauw In, apakah itu Kiauw-keng ?" tanyanya.
Menurut arti biasanya, kiauw-keng berarti tenaga kekuatan
yang dikendalikan kecerdasan.
Kiauw In mengawasi nona itu sebentar, lalu ia bersenyum.
"Biarlah Kakang Hiongmu melakukan itu buat kau lihat !"
sahutnya kemudian. Lalu ia menuntun nona itu, buat diajak
memungut tujuh atau delapan buah batu sebesar telur, batu
mana terus mereka letaki di tepian jurang.


It Hiong tertawa. Kata dia : "Kakak, siapakah yang sangka
bahwa cara bermain-main kita menggunakan batu di Pay In
Nia sekarang ada gunanya di gunung Hek Sek San ini ?"
Nona Cio tidak menjawab, ia cuma bersenyum.
It Hiong lantas mengerahkan tenaga dalamnya, Hian-bun
Sian Thian Khie-kang, untuk menyalurkan ke tangannya kiri
dan kanan, setelah itu kedua tangannya itu menjemput batu
sebesar telut itu, beberapa buah. Di lain saat, cepat sekali, ia
sudah lantas perlihatkan kepandaiannya.
Dengan digeraki sebagai dipentil, sebuah batu lantas
terpental, yang mana disusul dengan pentilan lainnya. Luar
biasa cepat adalah batu yang terpentil belakangan, yang
menyusul batu pentilan terdahulu. Bedanya ialah pentilan
pertama rada perlahan, pentilan belakangan sangat cepat
hingga yang pertama tercandak dan terhajar keras, karena
mana, batu terdahulu itu mental keras ke arah mulut gua !
Ya Bie heran dan kagum menyaksikan batu dapat dibikin
terpental demikian macam.
"Hebat !" serunya girang sekali. "Kakak Hiong, sungguh kau
pandai !"
Justru orang memujinya, It Hiong sudah menyentil pula,
sampai buat ke empat kalinya !
Kiauw In sementara itu mendekam di pinggiran jurang,
buat memasang telinga, guna mendengar hasilnya permainan
"Touw sek bun louw" itu. Ia tak usah menanti lama akan
mendengar sambutan dari dalam gua itu. "Jawaban" yang
datang setiap batu mental masuk ke dalam gua, jawaban itu
berupa menyambarnya senjata-senjata rahasia yang


disinarnya matahari bercahaya kebiru-biruan. Itulah sinar yang
menandakan senjata rahasia itu tadinya telah dicelup dahulu
ke dalam racun ! Itulah pula pelbagai pisau belati, anak panah
dan piauw !
Karena It Hiong melanjuti timpukan istimewanya itu, maka
juga Kiauw In bersama Ya Bie terus memunguti dan
mengumpuli batu-batu kolar sebesar telur itu, sampai
serangan-serangan senjata rahasia itu berhenti, baru mereka
turut berhenti juga.
Ya Bie heran, tetapi ia lantas berkata : "Serangan senjata
rahasia sudah berhenti, mari kita turun akan memasuki gua !"
"Tunggu dulu !" kata It Hiong, tangannya masih
menggenggam batu. "Dalam waktu pereang orang tak
pantang berlaku palsu ! Maka itu, kita harus waspada ! Siapa
tahu kalau musuh menggunakan akal liciknya."
Ya Bie mendengar kata, ia mundur pula. Kata-katanya
"Kakak Hiongnya" itu benar sekali.
Kiauw In bertindak ke tepi jurang, akan mengawasi ke
mulut gua tadi.
"Aku mendengar suara banyak kaki bergerak-gerak"
katanya seraya memasang telinga. "Rupanya beberapa orang
lagi berjalan mundar mandir hanya tibanya di mulut gua,
mereka pada berhenti......."
"Apakah kakak telah mendengarnya dengan jelas ?" Ya Bie
tanya. "Kenapa mereka pada berhenti di mulut gua ? Kenapa
mereka tak berani muncul ?"
Kiauw In mengerutkan alisnya, terus ia menghela nafas.


"Mungkin sekali merekalah orang-orang yang telah makan
obat jahatnya Im Ciu It Mo," sahutnya. "Mereka itu tak cerdas
lagi, semua gerak geriknya menuruti saja kendalinya si
Bajingan Tunggal........"
It Hiong melemparkan batu ditangannya, ia berjalan
mundar mandir. Otaknya bekerja. Lewat sesaat, ia
mengangkat kepalanya, menoleh kepada Kiauw In.
"Bagaimana sekarang ?" tanyanya pada si nona. "Mereka
tidak mau muncul, kita sebaliknya tidak mau turun ! Habis,
sampai berapa lamakah kita harus menanti ?"
"Kita lihat saja," sahut nona Cio. "Buat kita, tindakan yang
utama ialah kita memasuki goa di luar sangkaan mereka,
supaya mereka dapat dikekang andiakata mereka menyerang
dengan senjata rahasianya. Kita harus menjaga diri agar kita
tak terkena senjata rahasia beracun dan tidak nyemplung ke
dasar jurang !"
Ya Bie terkejut. Sungguh hebat apabila mereka sampai
tercemplung !
"Kakak benar !" katanya kemudian. Ia menyenderkan
tubuhnya pada tubuhnya Kiauw In, nampaknya ia seperti
takut nanti jatuh ke dasar jurang itu !
It Hiong berdongkol, ia menjemput pula beberapa buah
batu tadi.
"Akan aku coba !" katanya. "Hendak aku menggunakan
ilmu Gie Kian Hui Heng Sut. Kakak berdua menunggu sampai
aku memanggil, baru kalian lompat turun ke jurang ini buat
menyusulku!"


Berkata begitu, si anak muda menghunus pedangnya, buat
terus diputar, hingga terdengar suara anginnya yang keras.
Mendengar suara itu, mendadak ia melongo. Karena
mendadak ia ingat, itu bukanlah Keng Hong Kiam, pedang
mustikanya. Bahwa pedang mustikanya justru ada yang curi.
Pasti, dengan pedang biasa itu, kemahirannya akan
berkurang.
Kiauw In belum pernah menyaksikan ilmu pedang Gie Kiam
Hui Heng Sut dari adik seperguruannya itu, ia mengawasi
dengan prihatin. Ia pun memesan : "Adik, kau berhati-hatilah,
jangan kau terlalu menempuh bahaya........"
"Aku mengerti," sahut It Hiong, yang lantas saja berlompat,
sedangkan pedangnya ia putar hebat, lantas mengeluarkan
sinar berkelebatan. Berbareng, tubuh manusia dan pedang
mencelat ke dalam jurang, terus melesat ke mulut gua !
Matanya Kiauw In berkunang-kunang melihat gerakan si
pemuda yang demikian cepat itu.
Menyusul itu, satu bayangan tubuh pun turut berlompat ke
dalam gua.
Segera terdengar beberapa kali suara tertahan, menyusul
mana lantas terdengar juga suara nyaring dari It Hiong :
"Kalian turunlah !"
Kiauw In dan Ya Bie sudah siap sedia, akan tetapi,
mendengar panggilan itu, mereka melengak juga. Lantas
mereka saling melirik, baru mereka lompat menyusul ! Gua
gelap gulita, akan tetapi samar-samar tampak beberapa buah
mayat menggeletak di tengah jalan. Lewat tiga atau empat
tombak, terowongan mulai menikung. Dari sebelah dalam


segera terdengar suara nyaring dari beradunya alat senjata,
juga terdengar bentak-bentakan.
Kiauw In menarik bajunya Ya Bie, buat diajak lari terlebih
keras pula, menyelusupi jalan maju lebih jauh, akan mencari
suara berisik itu. Lagi kira sepuluh tombak, setelah sebuah
tikungan, orang telah keluar di mulut gua yang lainnya, maka
disitu tampak suatu pemandangan alam dari tanah
pegunungan. Disitu, kedua nona menyusul It Hiong yang
justru lagi masuki pedangnya ke dalam sarungnya. Pemuda itu
berdiri tenang di sebuah tempat mirip pengempang kering,
disekitarnya rebah berserakan tujuh atau delapan tubuh dari
orang-orang yang berseragam hitam, yang pakaiannya
bermandikan darah, tak ada yang tubuhnya berkutik.
Ya Bie mengawasi semua mayat itu, lantas dia tertawa.
"Sungguh kau hebat luar biasa, kakak Hiong !" pujinya.
Kiauw In sebaliknya menghela nafas.
"Semua ini ada akibatnya kejahatan dari Im Ciu It Mo......"
katanya. "Inilah badai pembunuhan disebabkan kelicikan dan
kekejamannya !"
Ketika itu keduanya telah sampai di depannya si anak
muda. Kiauw In lantas memandang ke sekitarnya. Ia melihat
dinding gunung diseputarnya itu, tinggi umpama kata mirip
langit. Cuma di tempat mereka berdiri, yang tanahnya
datarnya cukup luas. Sekitar tiga sampai empat puluh tombak,
tak ada tumbuh rumput. Semua batu karang telah berubah
menjadi hita. Di sebelah depan, jauh sepanahan, terlihat
sederet rumah batu, rumahnya katai, katai juga semua
pintunya. Deretan rumah itu bagaikan menghadang jalanan.


"Tak kusangka di dalam gua terdapat melulu orangorangnya
Im Ciu It Mo." kata It Hiong pada nona Cio. "Syukur
kepandaian mereka biasa saja dan diantaranya tak ada
pemimpin yang lihai. Aku cuma mendapatkan pesawat
rahasianya yang mengobral pelbagai senjata rahasia tadi."
"Mungkin si pemimpin sudah mundur teratur ke dalam
deretan rumah batu," Kiauw In mengutarakan dugaannya.
"Jangan jangan mereka akan bertahan di dalam rumah
itu........"
"Peduli apa !" kata Ya Bie menyela. "Apa yang harus dibuat
takut ? Dapatkah deretan rumah-rumah itu menghadang ilmu
Gie Kian Hui Heng Sut dari kakak Hiong ?"
Begitu si nona menutup mulutnya, begitu mukanya menjadi
merah. Di depannya Kiauw In, ia menyebut orang dengan
"kakak Hiong". Ia likat sendirinya.
It Hiong sebaliknya, mengawasi deretan rumah batu itu.
"Ya" katanya kemudian. "tak peduli di dalam rumah itu ada
pemimpinnya yang lihai atau pelbagai macam senjata
rahasianya yang beracun, kita toh harus menyerbunya !"
Panas hatinya karena pertempuran barusan, anak muda ini
tak lagi berhati-hati seperti semula.
Tepat itu waktu tampak So Hun Cian Li yang tadi lari di
depan sudah lari kembali. Di belakang dia terlihat dua orang
mirip bayangan-bayangan lari mengejar dengan keras sekai.
Mereka itu muncul dari salah sebuah jendela rumah batu itu.
Hanya sebentar, si orang utan dan pengejarnya sudah
sampai di depannya It Hiong bertiga. So Hun Cian Li berPekik


tak hentinya, dia kelabakan. Inilah sebab di punggungnya
menancap sebatang pedang yang berkilauan, yang pasti
adalah jarum beracun. Dia berkulit tebal dan kuat, dia toh tak
tahan nyerinya.
Melihat lukanya si orang utan, Kiauw In lekas berkata pada
It Hiong : "Adik, So Hun Cian Li dilukai senjata beracun, lekas
kau obati padanya. Nanti aku yang menghadapi musuh."
Ya Bie gusar sekali mendapat kenyataan binatangnya itu
telah dilukai, dengan mata terbuka lebar dan bijinya bagaikan
terputar, ia sudah lantas meloloskan ularnya dari libatan pada
pinggangnya, tanpa membuka mulut lagi, ia maju mengikuti
Nona Cio menghampiri musuh.
Dua orang yang keluar dari rumah batu itu berseragam
singsat, tampang dan mata mereka tampak sangat bengis.
Mereka berhenti berlari, untuk segera mengawasi tajam
kepada kedua nona yang menghampirinya.
Kiauw In lantas mengenali Yan Tio Siang Cian, sepasang si
kejam dari wilayah Yan-TIo (propinsi Cilee), ialah dua saudara
Leng Gan dan Leng Ciauw. Yang mencolok mata dari dua
orang itu yakni masing-masing kehilangan tangan kanan dan
tangan kirinya, yang lenyap selama pertarungan di puncak
Tiauw JIt Hong di gunung Tay San selama diadakan
pertemuan besar kaum sesat dan golongan lurus. Bahkan
yang menebasnya kutung justru Kiauw In bersama Giok Peng.
Dahulu itu, Kiauw In berlaku murah hati, dia tak membasmi
terus, siapa tahu sekarang mereka itu muncul pula di
depannya di gunung Hek Sek San.
Yan Tio Siang Cian tidak merasa berhutang budi,
sebaliknya, mereka bersakit hati, maka itu sesudah


meninggalkan gunung Thay San, mereka mengobati diri dan
seterusnya pergi mencari guru, akan belajar silat terlebih jauh,
maka sekarang, kalau mereka bertempur, selalu bekerja sama.
Dengan berdiri berendeng dan rapat, mereka seperti masih
mempunyai sepasang tangan kiri dan kanannya ! Mereka pula
masuk dalam rombongannya Im Ciu It Mo hingga mereka
menjadi pandai menggunakan senjata beracun, bahkan
mereka diajari juga ilmu silat Tauw-lo-ciang, hingga mereka
diandali Im Ciu It Mo sebagai pembantu-pembantu setia dan
lihai, guna nanti dia menjagoi dunia Kang Ouw.
Melihat nona Cio, yang dia kenali, Leng Gan tertawa
mengejek berulang kali.
"Hm, budak bau !" hardiknya. "Nyata disini kita bertemu
pula ! Tak nanti kami melupakan sakit hati terkutungnya
tangan kami, maka sekarang kami mau menuntut balas
berikut bunganya !"
Kiauw In tertawa.
"Tak kusangka kalian berdua, kegalakan kalian masih tak
berubah !" katanya. "Percuma saja ketika di puncak Tiauw JIt
Hong aku menaruh belas kasihan kepada kalian !"
Leng Ciauw gusar sekali. Dengan tangan kirinya, tangan
semengga-mengganya itu, dia menghunus goloknya, untuk
dikibaskan.
"Cio Kiauw In !" bentaknya. "kau kurangilah ocehanmu
yang tak ada gunanya itu ! Paling baik kau serahkan nyawamu
!"
Leng Gan juga mencabut golok dengan tangan kanannya
yang tunggal, terus dia melangkah maju hingga berdua


saudara, mereka berdiri berendeng rapat, hingga mereka
tampak seperti seorang dengan kedua tangannya lengkap. Di
lihat dari berkilauannya golok mereka, tak usah disangsikan
lagi yang kedua golok itu pernah direndam atau telah
dipakaikan semacam racun.
Ya Bie tidak puas menyaksikan lagakanya dua orang yang
bertangan buntung itu. Dia berlompat maju seraya memutar
ularnya, untuk diteruskan dipakai menyambar mukanya dua
orang yang jumawa itu. Ular hijau itu mengulur lidahnya, buat
dibuat main, sedangkan matanya bersinar beringas. Melihat
ular itu, Yang Tio Siang Cian yang ada orang-orang Kang Ouw
berpengalaman menjadi kaget.
"Sian Liong !" seru mereka berbareng.
Ternyata mereka mengenali Sian Liong, si ular beracun,
Naga Sakti. Lantas mereka berlompat mundur, sebab mereka
takut nanti kena dipagut ular lawan itu. Meski demikian, habis
mundur mereka berlompat maju pula, kali ini untuk
menebaskan golok mereka. Niat mereka agar ular itu dapat
dibacok kutung !
Ya Bie menarik pulang ularnya, atas mana ia lantas diserbu.
Kedua saudara Leng maju terus sambil mengulangi
serangannya, kali ini golok mereka mencari sasaran pada bahu
dan perutnya si nona. Hebat serangan serempak itu.
Nyata sekali, walaupun tangan mereka masing-masing
kurang satu, sekarang ini mereka itu berlipat lihai daripada
semasa di puncak Tiauw JIt Hong. Ya Bie sudah cukup
berpengalaman, tetapi toh belum pernah ia kena dibikin repot
senjata begini cepat, maka juga ia berkelahi dengan waspada.


Leng Ciauw bukan saja kejam, dia juga jail bahkan cabul.
Selamanya dia menusuk atau membacok ke arah perutnya si
nona, membuat nona itu mendongkol berbareng jengah
hingga mukanya menjadi merah. Tentu sekali, ia gusar bukan
main. Muridnya Kip Hiat Hong Mo bukan sembarang murid,
karena panas hatinya, nona polos itu jadi menggertak giginya.
Ia memasang mata dengan tajam. Begitulah ketika golok
menyambar ke bahunya, ia berkelit dengan dibarengi gerakan
kaki "Angin puyuh di tanah datar". Tubuhnya bagaikan melilit
dengan lincah sekali, hingga ia bebas dari ancaman maut.
Jangan kata tubuhnya, ujung bajunya pun tidak berkenalan
dengan golok lawan. Karenanya, kontan ia membalas dengan
meluncurkan ularnya ke dada orang !
Cepatnya gerakan senjata kedua belah pihak tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Itulah bagaikan berkelebatnya
sang kilat. Leng Gan dan Leng Ciauw merasa heran, kaget dan
kagum. Nona yang baru berusia tujuh atau delapan belas
tahun ini ternyata lihai luar biasa, sebab ia sanggup
menyelamatkan diri dari serangannya dengan jurus silat golok
"Giok Sek Hun Tuaw" atau "Batu Kemala Terbang
Berhamburan". Itulah suatu jurus mereka yang lihai sekali.
Sudah musuh lolos, lantas mereka pun dibalas serang dengan
sama hebatnya, sebab ular hijau itu, si Naga Sakti, meluncur
ke depan mereka ! Terpaksa dua saudara itu bergerak mundur
seperti semula tadi.
Ya Bie pun mengerti ancaman bahaya dari musuh barusan,
maka itu selagi kedua musuh mundur, ia tidak menyusul,
sebaliknya, ia berdiri diam untuk menatap kedua musuh itu.
Diam-diam di dalam hatinya ia mengucap syukur yang
barusan ia dapat menyingkir dari ancaman maut. Jantungnya
memukul keras, nafasnya pun mendesak.


Seperti si nona mengawasi lawannya, kedua lawannya pun
menatap tajam pada nona itu. Mereka heran sekali. Kiauw In
juga kaget ketika melihat Ya Bie terancam bahaya, hampir ia
berlompat membantunya, buat menghindarkan dia dari
bahaya atau segera ia mendapat kenyataan kawan itu lihai,
tubuhnya ringan dan gesit dan pengalamannya pun cukup. Ia
merasa hatinya lega. Walaupun demikian, tidak dapat ia
membiarkan kawan itu tetap melayani dua orang musuh yang
lihai.
"Adik, silahkan mundur !" katanya kemudian. "Biarlah
kakakmu yang berhitungan dengan mereka, buat
menyelesaikan segala-galanya !" Dan ia lompat maju ke depan
orang guna menghadapi lawan.
Ketika itu It Hiong telah dengan cepat membantu So Hun
Cian Li. Dengan bantuannya Lee-cu, ia mencabut jarum
beracun dari tubuhnya si orang utan. Sebenarnya jarum tidak
menancap dalam saking kerasnya kulit tetapi jarum beracun
dan racunnya tetap berbahaya. Berkat khasiatnya mutiara
mustika, racun itu dapat dilenyapkan dengan segera dan
lukanya lantas sembuh seperti sedia kala.
Adalah pikirannya It Hiong akan menempur Yan Tio Siang
Cian tetapi waktu ia mendengar suaranya Kiauw In, ia
membatalkan niatnya itu. Ia bersedia membiarkan si manis
yang melayani musuh. Ia hanya berdiri di sisi sambil
memasang mata.
"Fui !" Ya Bie berludah, lalu terus bertindak kepada It Hiong
untuk berdiri berendeng dengan anak muda itu.
Habis berkata itu, Kiauw In maju dengan perlahan,
kemudian ia menghentikan langkahnya sambil berbareng
merintangi pedangnya di depan dadanya. Kata ia dengan


bengis : "Orang-orang she Leng, hendak aku melihat ilmu
pedang bersatu padu dari kalian berdua ! Hendak aku
membuktikan sampai dimana kemahiran kalian menggunakan
golok kalian ! Nah, kalian majulah !"
Sepasang alisnya Leng Gan bangkit. Hebat kata-katanya si
nona.
"Hm ! Hm !" dia perdengarkan suara seramnya. "Bagus !
Memang hendak aku mencoba ilmu golokku kepadamu ! Kau
kenalilah Cu-Ngo Hap Pek To !"
Itulah nama golok yang berarti "golok bersatu padu
diwaktu tengah hari dan tengah malam". Dan menyusuli
berakhirnya kata-katanya itu, Leng Gan dan saudaranya sudah
lantas bergerak dengan berbareng, goloknya masing-masing
turut bergerak juga, hingga sinarnya berkilauan di antara
cahaya matahari. Kedua golok bergerak satu dari atas ke
bawah dan yang lainnya dari bawah ke atas.
Nona Cio sudah bersiap sedia, ia lantas menggerakkan
pedangnya buat melayani. Oleh karena percaya kedua lawan
benar-benar lihai ilmu goloknya, Kiauw In tidak sudi berlaku
sembrono. Ia berkelahi dengan berhati-hati dengan ilmu
pedangnya Sam Cay Kiam, yang berarti "Langit, Bumi dan
Manusia". Karena ia bersedia menyambut bentrokan, senjata
mereka bertiga lantas juga saling bentrok satu dengan lain
hingga terdengarlah berulangkali suaranya yang nyaring dan
membisingkan telinga.
Benar-benar lihai ilmu golok Cu-Ngo Hap Pek To dari Yan
Tio Siang Cian. Semua gerakannya cepat dan rapi, satu
dengan lain dapat bekerja sama dengan baik. Mereka
menangkis sendiri atau menyerang sendiri juga, tetapi lebih
sering mereka menyerang dengan berbareng tetapi dengan


arah sasarannya berlainan, guna membingungkan lawan. Tak
jarang mereka membatalkan atau merubah serangan mereka
melulu buat menukar siasat, guna memakai sekali jalan.
Kiauw In melayani dengan sama cepatnya tetapi pun
berbareng dengan hati dingin. Dengan bersikap tenang itu,
perlahan-lahan ia menyelami ilmu golok lawannya. Dengan
cepat ia mengetahui kedua lawan ini bukan lawan-lawan yang
dahulu. Mereka benar-benar lihai. Maka ia terus berlaku sabar
dan waspada. Ia mengerti, kedua lawan tak dapat dirobohkan
dalam tiga atau empat puluh jurus saja. Ia bergerak gesit
dengan menggunakan ilmu ringan tubuh Te In Ciong atau
Tangga Mega, yang telah dikuasai It Hiong dengan baik sekali.
Nyata ia dapat mengimbangi si anak muda. Demikian, ia
senantiasa berkelebatan bagaikan gerak geriknya seekor
walet.
Di dalam pertempuran itu, yang paling tegas tampak ialah
berkilauannya sebatang pedang dan dua batang golok, mirip
sinar membulang-baling dari sang kilat. It Hiong menonton
dengan perhatian penuh, ia pun mengagumi kedua saudara
Leng itu, yang menjadi lihai luar biasa. Tentu sekali ia sangat
perhatian terhadap Kiauw In, sang kakak seperguruan yang ia
hormati berbareng kekasih yang ia cintai.
Tanpa merasa pertempuran sudah melalui jurus
kelimapuluh. Matahari miring ke barat, sang waktu telah
mendekati magrib. Hal itu membuat hatinya It Hiong menjadi
kurang tenang. Beberapa kali ia berniat maju, guna
membantui sang kakak tetapi selalu ia batal sendirinya. Ia
malu sendirinya. Sebab ia mesti menghargai kehormatan
dirinya selaku laki-laki sejati. Bukankah ia muridnya satu partai
persilatan tersohor ? Tak dapat ia melanggar aturan kaum
Kang Ouw walaupun Yan Tio Siang Cian bukanlah orang yang


harus dihormati. Disebelah itu, puas ia menyaksikan Kiauw In
tak kalah desak.
It Hiong terus berdiri diam mengawasi pertempuran
berlangsung.
Ya Bie juga kagum bukan main. Belum pernah ia melihat
caranya Kiauw In bersilat seperti itu, bagitu pun tidak ia
sangka yang Yan Tio Siang Cin demikian tangguh. Goloknya si
penderita cacat lihai sekali, sangat berbahaya ! Pertempuran
berlangsung terus sampai mendadak dari rumah batu tampak
munculnya beberapa orang yang berlari-lari bagaikan
bayangan hitam, sebab sudah pakaian mereka seragam hitam,
muka mereka ditutup dengan topeng hitam juga.
Ya Bie bermata celi, ia mendapat lihat munculnya orangorang
itu. Segera ia menarik ujung bajunya It Hiong dengan ia
memperdengarkan suara tertahan. Menyusul seruannya si
nona, dari belakang yang terus menyambut orang-orang yang
baru datang itu. Hingga mereka itu tampak terkejut terus
memisah diri, guna melayani serangan tiba-tiba itu.
Kiranya bayangan hitam itu ialah So Hun Cin Lie. Dia ini
mendongkol yang tadi dia telah terkena jarum beracun, meski
dia selamat, hatinya toh panas sekali. Maka itu, melihat
datangnya beberapa orang itu, dia lantas maju menyerang !
Dia ingin melampiaskan kemendongkolannya itu.
Dalam halnya ilmu silat, kepandaiannnya So Hun Cian Li
sudah mencapai taraf orang Kang Ouw kelas satu, sekarang
dia berkelahi karena kemarahannya, dapat dimengerti yang
dia menjadi kosen sekali, sepasang tangannya yang berbulu
menyambar-nyambar dengan hebat !


Beberapa orang berseragam hitam itu menjadi repot dalam
sekejap, tak peduli mereka berjumlah lebih banyak serta
bersenjatakan senjata tajam. Terpaksa mereka lebih banyak
berkelit daripada menyerang. Ya Bie yang polos menyaksikan
pertempuran binatang piaraannya itu, ia senang sekali,
dengan menaruh kepalanya di dadanya It Hiong, ia tertawa
geli.
It Hiong sebaliknya berfikir keras menyaksikan dua
rombongan pertempuran itu, yang dua-duanya berimbang
serunya. Justru itu, ia bagaikan disadarkan kelakuan polos dari
Ya Bie itu, telinganya mendengar tawa halus yang merdu dan
hidungnnya mencium bau harum dari nona cilik itu. Tanpa
merasa, ia merangkul nona itu.
"Adikku, apa artinya ini ?" tanyanya.
Ya Bie berhenti tertawa, ia mengangkat kepalanya,
menatap si pemuda.
"Aih !" serunya perlahan.
Ke empat mata bentrok sinarnya, itu berarti banyak bagi
hatinya kedua orang. Mereka merasakan seperti tengah
bermimpi atau melayang-layang di udara....
Tak lama muda mudi itu bagaikan bermimpi, mendadak It
Hiong sadar. Itulah disebabkan dari medan pertempuran,
suara berisik berkurang secara tiba-tiba. Ia lantas menoleh
dan mengawasi.
Benar-benar pertempuran telah berubah sifatnya. Tiba-tiba
terdengar satu suara tertahan. Lantas tampak tubuhnya
seorang berseragam hitam terlempar tinggi, terus jatuh ke
dalam jurang disisi mereka. Di pihak lain, dua saudara Leng


bertempur tanpa rapat lagi satu pada lain seperti mulamulanya,
mereka jadi terpisah hingga meraka tidak dapat
bersilat golok bagaikan bersatu padu, akan tetapi di lain pihak,
dengan memisahkan diri, mereka merangsak, menggencet di
kiri dan kanan.
Kiauw In merubah juga caranya bersilat dari ilmu Sam Thay
Kiam, ia menukarnya dengan Khie-bun Patkwa Kiam, hingga
sekarang dapat ia mengimbangi tangkisannya dengan
serangan pembalasannya. Ia sanggup membikin sepasang
golok lawan bagaikan terkekang di luar. Tadi pun ia yang
memaksa lawan merenggangkan diri.
Walaupun mereka telah memisahkan diri, hingga ilmu golok
gabungan mereka menjadi terintang, Leng Gan dan Leng
Ciauw pun telah memikir akal mereka yang licin. Dan akal itu,
mereka tak menunda lama untuk mewujudkannya. Dengan
satu gertakan goloknya, Leng Gan si kakak menggunakan
jurus silat "Walet Menyambar Air" hingga ia mencelat ke
belakang si nona. Selagi mencelat itu, ia menggunakan
kesempatan merogoh ke dalam sakunya, menyusul mana
tangannya dikibaskan, membuat tiga buah sinar perak
berkilauan meluncur ke kepalanya Nona Cio, meluncurnya
sambil berputar ! Senjata rahasia itu pun berbunyi nyaring.
Itulah senjata rahasia istimewa dari Leng Gan, namanya
"Hui Hoan Yan-ciu Piauw atau piauw walet terbang berputar".
Sudah piauw itu direndam di dalam racun, juga meluncurnya
berputar-putar mirip bumerang. Bentuknya piauw mirip
burung walet dari mana nama itu diambil (yan-ciu). Jahatnya
racun ialah membuat daging bonyok dan lepas dari tulang !
It Hiong melihat senjata rahasi itu, diam-diam ia berkuatir
buat keselamatan pacarnya. Bukankah piauw itu telah
berputar dan bersuara membingungkan ? Dari terkejut, ia


menjadi gusar! Musuh berlaku curang ! Maka maulah ia
membantu kakak seperguruannya. Begitulah ia menolak
tubuhnya Ya Bie, berniat melompat maju.
Di luar dugaan anak muda ini, ia telah didahului si nona
polos. Tahu-tahu nona itu sudah mencelat tinggi dua tombak,
dengan loncatan "Ular Hijau Melintasi Pohon", jauhnya
setombak lebih. Berbareng denganitu, dia pula sudah lantas
menyerang dengan dua-dua tangannya, tangan kanannya
meluncurkan ularnya dengan jurus silat "Rantai Putih
Melintangi Sungai" dan tangan kirainya menolak keras dengan
tolakan "Menolak - Menumbuk" hingga tiga batang piauw
musuh kena tertolak terbang kembali !
Celakanya, piauw itu menyambar ke arah empat orang
yang lagi mengepung So Hun Cian Li, mereka itu kena
mencium bau racun, kontan kepala mereka terasa pusing.
Syukur mereka masih dapat bertahan, sedang kawan mereka
yang satunya, ialah orang yang telah dilemparkan ke dalam
jurang.
Dua batang piauw kena disampok si ular hijau, terpentalnya
keras hingga mengenakan batu gunung, suaranya nyaring,
percikannya pun terpencar terus terlihat asapnya. Yang hebat
ialah batu itu lantas menjadi hangus seperti bekas terbakar !
Maka celakalah siapa terkena piauw jahat itu !
Masih satu piauw mencelat kepada si orang utan, ketika dia
ini berkelit, piauw meluncur terus pada seseorang yang
berseragam hitam itu. Dia terkena pipinya, dia menjerit, terus
dia roboh seketika, tak berkutik pula. Ketika dia kena terhajar,
piauw mengeluarkan asap biru, waktu dia roboh terkulai,
cepat sekali dagingnya lodoh dan lepas dari tulang-tulangnya !


Tatkala itu It Hiong pun maju. Sebab ia tak dapat
membiarkan orang nanti menyerangnya dengan piauw "walet"
yang lihai itu. Ketika itu pula, Yan Tio Siang Cian sudah
berhasil merapatkan diri pula satu dengan lain, hingga golok
mereka dapat dibuat bersatu padu kembali.
Kembali Kiauw In menempur kedua musuhnya. Nampaknya
kedua belah pihak seimbang kekuatannya. Tapi setelah It
Hiong dan Ya Bie maju, perubahan sudah mengambil tempat
dengan cepat sekali. Lebih-lebih karena si anak muda tak sudi
memberi hati.
Baru sepuluh, dua saudara Leng sudah lantas kena
terkurung. Syukur bagi mereka, ilmu golok Cu-NgoHap Pek To
lihai sekali, mereka masih sanggup bertahan. Kiauw In tidak
sudi mengepung lawan. Melihat majunya It Hiong bersama Ya
Bie, ia lantas mencari kesempatan buat mengundurkan diri,
untuk berdiri diam di pinggiran seraya memasang mata,
bersiap sedia buat sesuatu kejadian. Dari empat orang
berseragam hitam, semua sudah melayang jiwanya. Kecuali
yang satu yang terbinasa piauw jahat itu, tiga yang lain
menyerahkan jiwanya pada pagutannya sang ular hijau.
Pertempuran di antara It Hiong dan YanTio Siang Cian
berjalan terus, hanya kali ini tak berlarut-larut lagi. Lewat
sesaat, sinar pedang menyambar kedua saudara she Leng itu,
Leng Gan menangkis dengan goloknya, hingga kedua senjata
bentrok keras dan berisik sekali, hanya menyusul itu, darah
muncrat berhamburan, disusul robohnya tubuh si penderita
cacat yang terguling di tanah ! Namun korban itu bukannya
sang kakak, hanya Leng Ciauw sang adik !
Apakah yang telah terjadi ? Kejadian itu membuat It Hiong
menjublak sedetik !


Sebenarnya ilmu silat Cu-Ngo Hap Pek To dari Yan Tio
Siang Cian juga berdasarkan kedudukan Ngo Heng atau panca
benda, ialah emas, kayu, air, api dan tanah, yang satu sama
lain saling menarik manfaatnya. Dengan demikian, kedua
saudara itu biasa bergerak saling mengambil atau menukar
tempat. Ketika It Hiong menikam, tepat Leng Gan dan Leng
Ciauw sedang menukar tempat, maka itu Leng Gan selamat
dan sang adik bercelaka !
Sebenarnya Leng Ciauw masih sempat menangkis, tetapi
disini mereka mengadu bukan melulu tenaga luar, golok
melawan pedang, hanya tenaga dalam, maka itu, sebab si
orang she Leng keteter, dialah yang kalah dan roboh sebagai
korban !
Kagetnya Leng Gan bukan kepalang, sendirinya tubuhnya
segera mencelat mundur, hatinya giris menyaksikan
saudaranya roboh dengan bermandi darah. Dia bergemetar
dan bermandikan peluh seketika juga. Tanpa ragu pula, dia
memutar tubuhnya buat terus melangkah, mengangkat kaki
panjang untuk kembali ke dalam rumah batu itu !
Bukan main mendelnya It Hiong menyaksikan cara
pengecut dari Leng Gan tiu. Dia bukan bergusar dan berdaya
membalaskan sakit hati adiknya, dia justru kabur. Saking
mendongkol, anak muda kita berlompat menyusul.Leng Gan
dapat berlari keras, sebentar saja dia sudah memisahkan diri
belasan tombak jauhnya dari anak muda kita, akan tetapi dia
keliru menerka anak muda itu. Orang dapat lari keras dengan
mengandalkan ilmu ringan tubuh Tangga Mega dan juga Gie
Kiam Sut, terbang mengendalikan pedang. Dalam sengitnya, si
anak muda menyerang dengan satu lemparan pedang ! Itulah
jurus silat yang diberi nama "Melemparkan Pedang Tercipta
Menjadi Naga", pedang diluncurkan dengan dorongan tenaga


dalam, dengan demikian, senjata itu racun menyerang ke
tempat jauh.
Hanya sekejap terdengarlah jeritan hebat dari si orang she
Leng, yang tubuhnya lantas roboh dengan bermandikan
darah, sedang larinya belum sejauh tiga puluh tombak. Yang
paling hebat ialah ketika kepalanya jatuh bergelutukan di
tanah sebab batang lehernya kena tertebas kutung !
Sambil berseru nyaring, It Hiong menarik pulang
pedangnya itu, yang mirip pedang mustika.
Ya Bie melongo mengawasi pedang itu atau si anak muda.
"Sungguh pedang mujizat !" pujinya.
Kiauw In sebaliknya, menghela nafas.
"Ah, adik....."katanya. "Mengapa kau bertindak secara
demikian ?"
It Hiong mengangkat alisnya, terus dia tertawa.
"Mungkin ini disebabkan kutukan pembunuhanku......"
sahutnya, singkat.
Ketika itu, gunung sangat sunyi dan dari rumah batu juga
tidak terlihat gerakan atau terdengar suara apa-apa. It Hiong
mengawasi ke rumah batu itu, kemudian ia menoleh pada
Kiauw In.
"Aku kira jalan untuk turun gunung mesti dengan melewati
rumah batu itu," katanya, "karena itu, mari kita pergi ke sana
akan melihat-lihat !"


Tanpa menanti jawaban, habis berkata itu, si anak muda
terus bertindak maju. Tanpa kata apa-apa, Kiauw In
mengikuti. Ia dibuntuti oleh Ya Bie serta So Hun Cian Li.
Kiranya rumah batu itu berpintu satu, ditengah-tengah, dan
ketika itu, pintunya pun tengah terpentang lebar-lebar !
"Tahan !" mencegah Kiauw In, waktu ia melihat It Hiong
dan Ya Bie mau lancang masuk ke dalam rumah itu.
Si anak muda segera menghunus pedangnya.
"Kepandaiannya Im Ciu It Mo mengandalkan pada racun
melulu !" katanya. "Kalau bicara tentang ilmu silat......."
Belum selesai kata-katanya si anak muda ini atau Ya Bie
telah bersiul nyaring, atas mana terus So Hun Cian Li
berlompat memasuki pintu !
Kiauw In menoleh kepada nona polos itu, katanya : "Adik
cerdas sekali dan pengetahuanmu tentang kaum Kang Ouw
telah bertambah banyak !
Nona itu tertawa.
"Kakak cuma memuji !" katanya, tertawa. "Dengan caraku
ini, aku cuma seperti melemparkan batu untuk menanyakan
jalanan !"
Kiauw In bersenyum, begitu juga It Hiong.
Langit sementara itu makin guram.
Dari pihaknya si orang utan tidak terdengar apa-apa, dia
masuk ke dalam rumah batu itu bagaikan dialah batu besar
yang tenggelam ke dalam lautan. Terpaksa, Ya Bie bertiga


menjadi heran, dari heran lantas timbul kecurigaannya. Kiauw
In bertindak maju ke undakan tangga, terus ia melongok ke
dalam rumah. Di sebelah dalam, keadaan gelap sekali. Tidak
ada api di dalam situ.
Tengah nona Cio mengawasi terus dengan otaknya bekerja,
ia mendengar suara angin bersiur di belakangnya, atau tahutahu
satu bayangan orang berlompat memasuki rumah itu,
disusul dengan jeritannya Ya Bie : "Kakak Hiong !" Dan belum
suara si nona berhenti, orang sudah lompat pada Nona Cio,
yang dia tarik ujung bajunya. Dia pun berkata tergesa-gesa :
"Kakak, mari kita masuk !"
Kiauw In melengak sebentar, lantas bersama kawannya itu
ia lari masuk ke dalam rumah batu.
Di dalam terdapat sebuah lorong, di kiri dan kanannya ada
kamar-kamar dengan semua pintunya tertutup. Setelah masuk
lagi lima tombak, gelapnya bukan main, sampai kamar pun tak
tampak. Maka itu dengan cepat Ya Bie menyalakan apinya.
Berjalan di lorong yang panjang itu, kedua nona merasai
angin dingin bersiur ke muka dan tubuh mereka, hawanya
menggigilkan tubuh, masih saja lorong panjang, masih saja
pelbagai kamar di kiri dan kanan. Tak usah diterangkan lagi
suasana sangat diam dan sunyi mencekam. Tiada terdengar
suara apapun.
Kiauw In cerdas dan berani, toh ia merasa cemas
sendirinya. Maka timbul kesangsian dan kecurigaannya. Dari It
Hiong atau dari So Hun Cian Li juga tidak terdengar apa-apa.
Ya Bie jalan terus mengikuti Kiauw In, ia tak jeri sedikit juga.
Ia berdiam saja. Ia mengandal betul kepada kakak In itu......


Mereka berjalan hingga sumbu di tangan muridnya Touw
Hwe Jie hampir habis. Justru itu baru pertama kali mereka
mengkol di sebuah tikungan. Di situ, ruang tetap gelap.
Sampai mendadak, nyala api di tangan si Nona Tanggung
padam sendirinya.
"Kakak !" panggil Ya Bie.
Kiauw In mencekal keras tangan orang. Itulah isyarat buat
sang kawan menutup mulut. Sebaliknya, sambil menarik
tangan orang, ia berjalan cepat sekali. Barusan itu, disebelah
depan tampak cahaya api, yang padam dalam sekelebatan.
Nona Cio mencurigai api itu. Ia bertindak semakin cepat,
untuk menyusulnya.
Sampai disitu, tiba sudah mereka di ujung lorong itu. Itulah
sebuah Toa-thia, ruang besar. Di sebelah kiri ada sebuah
kamar samping, yang pintunya separuh tertutup, dari situ
tampak sinar api yang memain tak hentinya. Dengan langkah
yang ringan sekali, Kiauw In menghampiri pintu itu, untuk
terus mengawasi ke dalam kamar. Ia mendapati sebuah
kamar orang perempan dan diatas pembaringan tampak dua
tubuh manusia tengah rebah merapat satu dengan lain.
Karena lain menghadapnya, muka mereka tidak terlihat. Kaki
mereka separuh turun ke sisi pembaringan.
Teranglah itu tubuhnya masing-masing seorang pria dan
seorang wanita. Karena kedua tubuh tak pernah bergeming,
entahlah orang hidup atau mayat.
Mukanya Kiauw In merah sendiri menyaksikan cara
rebahnya kedua tubuh manusia hingga ia mesti menenangkan
diri. Ia mesti mengawasi terus sebab ia perlu mendapat tahu
siapa mereka itu dan kenapa keduanya berdiam saja.


Lewat beberapa detik, Nona Cio masih terus mengawasi.
Kedua orang itu tetap berdiam saja, maka ia juga tidak
berkutik atau bersuara, keculai memasang mata. Selama itu,
Ya Bie pun membungkam.
Di lain pihak, Kiauw In memikirkan It Hiong, bahkan ia
menguatirkannya. Kemana perginya pemuda itu ? Dia
selamatkah atau menemui suatu rintangan ?
"Cis !" Ya Bie memperdengarkan suara jemunya setelah ia
mengawasi kedua tubuh diatas pembaringan itu. Ia menoleh
ke lain arah dengan kulit mukanya merah saking jengah. Ia
polos tetapi ia mengerti keadaan itu.
"Asal dia bukannya Kakak Hiong......." katanya kemudian,
perlahan.
Kiauw In terkejut mendengar suara si nona, hingga ia
membuka lebar matanya mengawasi tubuh pria di
pembaringan itu. Likat atau tidak, jemu tak jemu, ia toh mesti
mengawasinya.
"Adik, kau tunggu disini, " katanya kemudian. "Aku mau
masuk ke dalam kamar guna melihat tegas siapa mereka
itu...."
Ya Bie mengangguk, menyatakan setuju. Kiauw In berjalan
berjinjit memasuki kamar, pedangnya ia hunus ketika ia
berlompat ke depan pembaringan. Api lilin di dalam kamar
membuat orang bisa melihat cukup terang. Sekarang nona Cio
dapat melihat. Si wanita ialah Peng Mo si Bajingan Es.
Entahlah si pria, yang mukanya teraling bantal sulam. Hanya
pakaiannya menandakan dialah It Hiong....


Saking terkejut, tubuhnya Kiauw In menggigil, hatinya
goncang. Tak kelirukah penglihatannya itu ? demikian
pikirnya. Ia bingung bukan main. Selagi pikirannya kacau itu,
Kiauw In toh ingin sekali ia memperoleh kepastian. Maka juga
ia mencoba menenangkan hatinya, sembari mengawasi, ia
meluncurkan tangannya yang memegang pedang. Hendak ia
menowel tubuh pria itu. Tau-tau tiba-tiba.
"Jangan bergerak !"
Itulah suara yang tawar sekali. Yang nadanya bengis,
namun tak dapat dipastikan itulah suara pria atau wanita....
Tiba-tiba saja api lilin bergerak, terdengar suara
meletupnya bunga apinya, yang mengeluarkan sinar kebirubiruan.
Sinar itu membuat suasana di dalam kamar menjadi
seram...... Dalam terkejutnya, Kiauw In menarik pulang
tangannya yang di ulur ke pembaringan serta ia segera
berpaling, buat melihat siapa itu yang membuka suara yang
nadanya bengis itu.
Di belakangnya, Nona Cio melihat seseorang dengan
rambut panjang yang teriap-riap ke bahunya, mukanya ditutup
dengan kain hitam, hingga tampak saja dua biji matanya yang
sinarnya tajam dan galak, sinar mata itu kebiru-biruan. Tubuh
orang tertutup jubah hitam gelap, yang tangan bajunya lebar.
Ujung tangan bajunya itu sama panjangnya dengan ujung
bajunya, turun sampai nempel dengan lantai. Hingga kalau
dipakai berjalan, pasti kedua ujung itu bakal terseret-seret !
Biar bagaimana, hatinya Nona Cio toh giris, orang nampak
seram sekali. Tapi dengan lekas ia dapat menentramkan
hatinya. Maka lantas ia dapat menerka, orang tentunya
muridnya Im Ciu It Mo atau orangnya si Bajingan yang telah
menjadi korban obatnya yang lihai.


"Kau pergilah !" akhirnya dia mengusir.
Orang bertopeng itu berdiri tegak, dia seperti tak
mendengar bentakan si nona. Tetap dia menatap dengan
matanya yang tajam itu. Kiauw In menjadi tidak puas. Ia
memang paling tak menyukai orang menatapnya tanpa sebab
atau urusan. Tidak bersangsi pula, ia meluncurkan pedangnya
pada orang itu !
Aneh si orang berjubah hitam mirip bajingan itu. Dengan
mudah dia berkelit setindak, habis itu dia berdiri diam pula,
sama sekali dia tak mau membalas menyerang.
"Sahabat !" Nona Cio menegur dengan bengis, "kalau kau
tetap membawa lagakmu seperti bajingan ini, jangan kau
sesalkan yang pedang nonamu nanti tak mengenal kasihan
lagi !"
Masih orang itu tidak mau membuka mulutnya, tetap dia
membisu. Dia berdiri laksana patung dengan cuma matanya
yang terus mengawasi dengan sinarnya yang bengis. Dengan
si nona cuma terpisah kira tiga kaki.
Kiauw In meliriki kepada dua orang yang rebah diatas
pembaringan, kapan ia melihat pula yang dandanannya mirip
dengan dandanannya It Hiong, hatinya bercekat. Sedangnya
melirik itu, si orang bertopeng hitam mau dua tindak
kepadanya. Hingga sekarang mereka berdiri berhadapan
sejarak satu kaki !
Mau tak mau, Kiauw In mundur satu tindak, akan tetapi
berbareng dengan itu, dengan pedangnya ia menikam, terus
ia membabat ke kiri dan kanan pergi dan pulang -- sasarannya
ialah dada dan pinggang. Ia pula menggunakan jurus-jurus


dari Khie-bun Patkwa Kiam. Walaupun ia sabar, kali ini dia
habis sabarnya.......
Masih saja si orang berjubah hitam itu selalu berkelit, tak
sekali juga dia mau membalas menyerang. Masih pula dia
mengawasi dengan tajam.
"Aneh !" pikir Kiauw In. Lantas ia menyerang pula, secara
berantai. Kembali ia heran dibuatnya. Orang tetap tak
melayaninya.
Yang mengherankan yaitu orang pun bisa bergerak
demikian lincah di dalam sebuah kamar yang sedemikian
sempit. Mestinya orang tak dapat menyingkir dari pelbagai
tusukan atau bacokannya itu. Diakhirnya, saking herannya,
Nona Cio jadi berpikir keras. Orang aneh sekali, mesti ada
sebabnya ! Apakah sebab itu ?
Tiba-tiba muridnya Tek Cio Siangjin menyerang pula, kali
ini beruntun sampai delapan kali. Dan kali ini, si orang aneh
terus melayani dengan main mundur hingga dia berada dekat
pinggir pembaringan. Sampai disitu, disaat sinar matanya
bergemerlap bengis, mendadak dia menggerakkan kedua
belah tangannya, hingga ujung bajungay terus menungkrap
nona di depannya !
Kiauw In terkejut, akan tetapi ia menyambut dengan
sabetan pedangnya, membuat kedua ujung baju itu kutung !
Hingga kedua ujung baju itu jatuh ke lantai ! Orang berjubah
itu agak terperanjat, dia sudah lantas mundur satu tindak.
Saat ini digunakan baik sekali oleh nona Cio. Ia maju dan
menebas, gerakannya cepat bagaikan kilat ! Dan ia berhasil
!Tubuhnya orang itu sebatas pinggang telah kena tertebas,
pinggangnya kutung, kedua tubuhnya terus roboh, hanya


aneh, walaupun dia telah berlaku demikian hebat, dia tak
menjerit atau suara lainnya, dia pula tidak mengeluarkan
darah !
Kiauw In berdiri diam sambil mengawasi tajam. Sampai
disitu, lenyap sudah keheranan si nona. Kalau toh ia heran, ia
cuma mengherani orang yang membuat orang berjubah hitam
itu. Dia bukannya manusia yang berdarah daging, dia hanya
sebuah boneka !
Apa yang aneh, dari manakah datangnya tadi suara
tawanya boneka itu ?
Kiauw In melihat rahasia orang setelah dia memeriksa
pinggang orang yang terkutung itu, yang terbuat dari benang
perak.
"Hm !" si nona memperdengarkan suara dinginnya. Ia telah
menjadi korban kelihaiannya Im Ciu It Mo. Karena ini dengan
perlahan ia bertindak ke pembaringan. Ia lantas mengulur
sebelah tangannya, niat meraba tubuhnya It Hiong, guna
menyadarkannya. Atau mendadak ia menarik pulang
tangannya itu.
"Ah !" pikirnya tiba-tiba. "Bukankah dua orang ini dua
orang manusia palsu belaka ?"
Dengan merandak itu, Kiauw In mengawasi tajam. Untuk
memperoleh kepastian, ia lalu menowel dengan ujung
pedangnya, menyingkap baju si pria. Kembali ia heran
dibuatnya. Orang itu bukannya boneka, dialah orang benar.
Anehnya ialah kenapa dia terus berdiam saja.
Habis menyingkap pakaiannya yang pria, Kiauw In juga
menyingkap bajunya yang wanita. Dia ini pun manusia


adanya.Kenapa mereka tidur bagaikan mayat ? Bahkan suara
menggerosnya pun tak terdengar ? Sekarang Kiauw In dibikin
sangsi oleh si pria. Dia It Hiong atau bukan ? Ia belum melihat
muka orang. Ia menjadi berfikir keras. Ia memasuki tempat itu
saling susul dengan It Hiong. Mungkinkah It Hiong lantas
bertemu dengan Peng Mo dan keduanya terus tidur bersama ?
Kalau memangnya mereka tidur bersama, kenapa mereka
menjadi lupa daratan seperti itu ? Kalau It Hiong kena
perangkap, itu pun disangsikan si nona. Tak mudah anak
muda itu dirobohkan orang. Dia cerdas dan waspada. Dia pula
tak nanti terkena racun mengingat yang pada tubuhnya ada
Lee-cu, mutiara mustikan yang mujizat itu. Kalau bukannya It
Hiong, habis siapakah orang itu ? Kenapa dia justru
mengenakan pakaiannya si anak muda ?
Bukan main kerasnya Kiauw In berpikir, sampai akhirnya ia
menggertak giginya. Tak mestinya ia menerka-nerka saja. Tak
benar buat membiarkan dirinya terus terbenam dalam keraguraguan.
Mesti ia mengambil keputusan. Maka lantas ia
bekerja. Dengan sebelah tangannya, ia memegang dan
mengangkat tubuhnya "It Hiong", buat dikasih berduduk
diatas pembaringan !
Tubuh orang itu sangat lemas, kedua matanya ditutup
rapat. Dia rupanya sangat mengantuk.
Tapi yang membuat nona Cio kaget ialah ketika ia melihat
muka orang. Itulah mukanya Tio It Hiong !
"Ah !" serunya.
It Hiong tidur bersama-sama Peng Mo ! It Hiong yang
demikian muda-lela dan gagah perkasa !


Tanpa merasa, Kiauw In melelehkan air matanya. Ia heran
berbareng berduka, bersedih hati. Inilah diluar sangkaannya
sama sekali. Sebagai seorang wanita, ia toh merasa jelus juga.
Tapi dasar dia sabar dan luwes, hanya sejenak, lantas dapat
berlaku tenang pula. Ia tetap heran dan penasaran. Maka ia
terus menatap anak muda di depannya itu. Ia seperti hendak
menembusi muka dan hati orang !
It Hiong bukannya tidur, dia juga bukannya terkena racun.
Kiranya dia adalah korban totokan !
Maka itu, dengan satu gerakan cepat, Kiauw In menotok
tubuh anak muda itu.
Hanya sekejap, It Hiong lantas terasadar. Dia membuka
matanya, terus dia mengawasi orang di depannya. Dia
menghela nafas perlahan. Terus dia masih mengawasi saja.
"Adik, kau kenapakah ?" Kiauw In akhirnya tanya.
Orang muda itu melepaskan tangannya Kiauw In, yang
sejak tadi masih memegangi tubuhnya, terus dia bergerak
bangun, untuk melempangkan pinggangnya.
"Tidak kenapa-napa...." sahutnya kemudian.
Kembali Kiauw In heran. Ia mendengar suara orang. Itulah
bukan suaranya It Hiong. Ia mengenal baik suara adik
seperguruannya dengan siapa baru beberapa menit yang
berselang ia berpisah. Karenanya, ia segera menatap.
Si anak muda berpaling, dia memandang si nona. Maka
sekarang sinarnya empat buah mata bertemu satu dengan
lain. Lagi-lagi Kiauw In terkejut, hatinya bercekat. Ia melihat


dua buah mata dengan sinar sesat bengis. Itu bukanlah sinar
matanya It Hiong.
"Siapakah kau ?" bentaknya sambil ia lantas lompat
mundur.
Habis menatap, anak muda itu nampak telah pulih
kesadarannya.
"hm !" ia memperdengarkan suara dinginnya. "Aku ialah
aku ! Buat apa kau menanya aku selagi kau sudah tahu ?" Ia
menatap pula dengan terlebih tajam, wajahnya
memperlihatkan kecentilan. Tiba-tiba ia bersenyum. Katanya
pula : "Akulah Tio It Hiong ! Akulah adik Hiong mu ! Kenapa
kau tidak mengenali aku ?"
Kiauw In terus menatap tajam. Terang itulah bukan
suaranya Tio It Hong ! Tapi, kenapakah pakaian bahkan wajah
orang demikian mirip ? Saking heran ia menjadi bingung.
Syukur juga, lekas sekali ia memperoleh pula ketenangannya.
Ya, suara dia itu bukannya suara si adik Hiong !
Karena memikir demikian, nona Cio lantas berpikir keras.
Segera ia mengerjakan otaknya. Ia lantas dibantu
kesadarannya. Mendadak ia ingat ! Orang itu orang yang
memakai topeng ! Orang itu ialah Tio It Hiong palsu ! Dialah
Gak Hong Kun yang menyamar sebagai Tio It Hiong !
"Gak Hong Kun !" teriaknya kemudian.
"Ha ha ha !" sela Hong Kun dengan tawa tawarnya. "Nah,
kakak Cio, bagaimanakah kalau kau menganggap aku sebagai
Tio It Hiong ? Bukankah......"


Mendadak saja darahnya Kiauw In meluap. Ia menjadi
sangat gusar. Maka mendadak pula ia menebas ke muak
orang ! Itulah serangan jurus silat "Daun Yangliu Mengusap
Muka". Si nona gusar sebab Hong Kun bersikap centil.
Hong Kun sudah sadar betul-betul, dia cerdik sekali dan
matanya pun sangat tajam. Dia mengerti kemarahannya si
nona, maka dia selalu waspada. Atas datangnya sontekan, dia
lantas berkelit ke samping, tubuhnya terus berlompat maka di
saat berikutnya dia sudah mencelat keluar dari jendela dengan
lompatan "Ikan Meletik di Antara Gelombang". Hingga lantas
dia lenyap di luar jendela itu !
Untuk sedetik, Kiauw In melongo. Ia heran, menyesal dan
penasaran. Setelah itu kembali ia dapat menguasai dirinya.
Maka paling dahulu ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya.
"Ah !" katanya seorang diri, kemudian ia merasai kulit
mukanya panas, sebab kulit muka itu menjadi merah. Ia
jengah kapan ia ingat tanpa sengaja ia menjeluskan
pemandangan di depan matanya itu. Lantas ia memikir buat
mengangkat kaki dari dalam kamar itu bilamana melihat di
atas pembaringan masih ada satu orang. Orang itu entah tidur
pulas atau sebab kena ditotok orang seperti Hong Kun tadi.
Sebagai seorang kaum sadar, yang hatinya mulia, tak tega
Kiauw In meninggalkan orang itu secara begitu saja. Maka
timbul keinginannya buat membantu. Maka ia lantas
menghampiri, untuk mengawasi terlebih dahulu. Ya, dari cara
berdandannya, orang itu Peng Mo atau si Bajingan Es adanya.
Peng Mo menjadi salah satu dari Hong Gwa Sam Mo, dia
dengan nona Cio beda diantara sesat dan sadar. Si nona tidak
mempunyai hubungan dengan si Bajingan Es, tetapi itu tak
mengurangi minatnya menolong. Kecuali menumpas


kejahatan, nona kita tak nanti turun tangan membunuh atau
melukai orang. Apa pula ia tahu selama di Kiap Gee Kok dari
Im Ciu It Mo, Peng Mo pernah membantu It Hiong. Dalam hal
ini ia tidak mengambil pusing Peng Mo menolong dengan
sejujurnya atau dikarenakan mengandung sesuatu maksud
lain. Maka itu, tanpa ragu pula, ia menotok si Bajingan Es
membuat orang sadar.
Peng Mo berbangkit untuk berduduk, setelah ia membuka
matanya, ia melihat Kiauw In berdiri di depan
pembaringannya.
"Ah !" serunya seranya terus mukanya menjadi merah
karena jengah. Ia malu sendirinya kapan ia ingat lakonnya tadi
sudah berplesiran dengan si anak muda yang ia sangka Tio It
Hiong adanya. Dan sekarang ia berhadapan dengan Kiauw In,
yang ia tahu siapa adanya. Ia insyaf yang dirinya adalah orang
kaum sesat dan si nona orang golongan lurus. Betapa malu ia
merasa yang orang telah memergokinya. Tapi, kapan ia tidak
melihat "Tio It Hiong" di sisinya atau di seluruh kamar itu,
perlahan-lahan bisa ia menenangi diri. Ia mau menerka yang
Kiauw In tak memergokinya....
Walaupun semua itu, si Bajingan Es lantas menunduki
kepala dan mulutnya bungkam. Ia masih khawatir orang tahu
rahasianya. Ia hanya tidak tahu, pria kawan plesirannya itu
bukannya Tio It Hiong hanya Gak Hong Kun si It Hiong palsu !
Kiauw In terus mengawasi si Bajingan Es, menantikan
sampai ia rasa orang sudah sadar seluruhnya, kemudian sebab
orang tunduk dan diam saja, ia menyapa juga.
"Toa suhu, apakah kau bertemu dengan Tio It Hiong ?"
demikian tanyanya.


Itulah pertanyaan biasa saja dan diajukannya juga dengan
sabar tetapi Peng Mo terkejut bagaikan dia mendengar guntur,
tanpa merasa tubuhnya bergemetar, hingga sekian lama dia
tak dapat memberikan jawabannya.
Kiauw In mengawasi. Ia melihat orang likat. Tahulah ia apa
artinya itu. Ia masih belum mengulangi pertanyaannya ketika
Peng Mo berkata perlahan : "tidak..... tidak... aku tidak
bertemu dengan Tio sicu...."
Kiauw In menerka hati orang tetapi ia tidak mau
menggoda. Maka ia cuma mengatakan : "Baiklah, Toa suhu!
Aku hendak mencari adik Hiong, di sini saja kita berpisahan !"
Begitu ucapannya itu dikeluarkan, begitu Kiauw In lompat
keluar kamar. Tentu saja ia tak tahu lakonnya Peng Mo itu.
Si Bajingan Es bertemu dengan Hong Kun secara kebetulan
saja. Dari Hek Sek San, dia pergi mendahului Tio It Hiong
beramai. Dia tidak diganggu oleh Im Ciu It Mo. Sebab mereka
berdua sama-sama kaum sesat dan kedua, It Mo tidak mau
bentok dengan Hong Gwa Sam Mo. Biar bagaimana, si
Bajingan Tunggal memandang mata juga pada ketiga Bajingan
itu. Maka itu, Peng Mo dibiarkan mengambil jalan di dalam
terowongan istimewa itu. It Mo hanya mengharap orang lekas
meninggalkan wilayahnya.
Kebetulan sekali, diluar terowongan, Peng Mo bertemu
dengan Gak Hong Kun yang tetap menyamar sebagai Tio It
Hiong. Ketika itu si anak muda justru habis kabur dari wilayah
gunung Ngo Tay San dimana ia telah bertempur dengan Hiat
Mo Hweshio dan Tam Mo Tosin dari Hong Gwa Sam Mo dan
kena orang totok pingsan, sampai It Hiong menolong
menyadarkannya.


Ketika itu Hong Kun tidak sadar seluruhnya. Dia masih
terpengaruhkan obat Thay-siang Hoan Hun Tan dari Im Ciu It
Mo. Maka dia mirip orang setengah gila. Dia kabur mengikuti
jalan pegunungan, tanpa tujuan. Dia cuma tahu yang ia lapar
atau berdahaga. Dia melakukan perjalanan buat beberapa hari
dan malam, sampai dia tiba di Hek Sek San. Di kaki gunung, di
rimba yang jurang, dia berhenti untuk duduk beristirahat.
Kebetulan sekali, hari itu Gwa To Sin Mo muncul bersama
dua orang muridnya, In Go dan Bu Pa. Mereka itu dalam
perjalanan pulang ke Tian Cong San habis bertempur dengan
Im Ciu It Mo dan saling menukar obat pemunah racun. Sin Mo
melakukan perjalanan cepat tetapi toh ia sambil berfikir,
memikirkan cara bagaimana nanti ia dapat mengalahkan It
Mo. Inilah sebabnya, tanpa dikehendaki, langkahnya menjadi
pelan.
Bu Pa mengerti pemikiran gurunya itu, ia mengikuti
berjalan perlahan pula di belakangnya sang guru. Tidak
demikian dengan In Go, yang masih muda sekali, yang cuma
tahu bermain-main, yang gemar akan keindahan alam, apa
pula waktu itu pikirannya lagi terbuka habis dia berhasil
menggunakan jarumnya di Kian Gee Kiap. Terus dia berjalan
cepat hingga tahu-tahu dia sudah jauh melewati guru dan
kakak seperguruannya itu, masih saja ia berjalan terus. Dia
berjalan dengan air muka berseri-seri saking riang hatinya.
Tanpa merasa, dia memasuki rimba yang tidak lebat dimana
Hong Kun tengah duduk seperti ngelamun. Hong Kun tidak
menghiraukan si nona walaupun dia melihat nona yang cantik
itu. Di lain pihak, In Go jadi tertarik hati. Si pemuda tampan
dan gagah tampangnya. Dia sebaliknya, dia sedang muda
belianya, hatinya mudah tergoda. Ketika itu, mereka pun
berada berdua saja. Lama dia mengawasi pemuda itu,
akhirnya dia mendongkol juga. Kenapa orang berdiam saja ?
Kenapa orang tak tergiur akan kecantikannya? Dia tidak tahu


yang Hong Kun adalah korban obat dan kesadarannya seperti
lenyap.
Dalam mendongkolnya, In Go berpaling ke lain arah, akan
mengawasi burung-burung kecil tengah beterbangan
berpasangan, hanya tanpa merasa, kelakuannya burungburung
itu justru membangunkan hati mudanya itu. Dengan
perlahan-lahan hatinya bergolak, hingga pikirannya pun mulai
kacau......
Buat sejenak, In Go pun berdiri diam, sampai suara burung
mengejutkannya. Apabila dia sudah coba menentramkan
hatinya, dia tertawa sendirinya. Mengingat gejolak hatinya itu,
terasa kulit mukanya panas. Tetap dia penasaran. Masih si
anak muda duduk menjublak saja. Beberapa kali dia menoleh
dan mengawasi. Pernah dia pikir, tak usah dia hiraukan
pemuda itu. Dia ingat akan harga dirinya.
Selama itu, In Go terus berdiri diam saja. Dia masih
mengawasi burung-burung kecil itu, yang terbang bersenda
gurau. Tak tahu dia bagaimana harus mengambil keputusan,
meninggalkan rimba itu atau tidak.
Akhir-akhirnya muridnya Gwa To Sin Mo kata secara
menggerutu : "Kau tidak mempedulikanku, buat apa aku
mempedulikanmu ?"
Hong Kun sebaliknya masih berdiam terus, hanya dengan
lewatnya sang waktu, pengaruh obat Thay-siang Hoan Hun
Tan atas dirinya berkurang sendirinya, berkurang dengan
perlahan-lahan. Terlalu banyak bergerak atau hati
bergolakpun dapat melemahkan tenaga obat itu. Di lain pihak,
kalau obat itu merangsang obatnya, itu bertambah hebat.
Demikian kali ini, dia seperti sedang lupa akan dirinya hingga


dia tak tahu In Go berdiri di dekatnya lagi mengawasi
padanya.
Biasanya, dalam keadaan sadar, tak pernah Hong Kun
menyia-nyiakan waktunya andiakata ia didekati seorang nona
cantik apa pula nona seperti In Go yang hati mudanya itu
tengah terbangun hingga si nona tampak sangat cantik dan
manis. Sekarang ia telah duduk terbengong buat banyak
waktu, itu berarti yang ia sudah beristirahat cukup lama, maka
juga perlahan-lahan dengan berkurangnya tenaga obat, ia
sedikit sadar. Akhir-akhirnya, dia dapat melihat juga pada si
nona. Ia melihat tubuh orang yang langsing. Dengan melihat
punggung orang, ia toh sudah tertarik hati.
Angin rimba meniup-niup rambut dan bajunya In Go, yang
menjadi memain-main. Angin itu pula membawa bau harum
dari tubuhnya, harumnya pupur dan yancie. Bau harum itu
membantu banyak menjernihkan otaknya si anak muda. Maka
kemudian, dia berbangkit, matanya terus menatap nona itu.
Tak berani ia berlaku sembrono.
Di saat Hong Kun memikir buat menyapa nona itu,
kebetulan sekali In Go pun tengah menoleh pula ke arahnya,
maka sinar mata mereka beradu satu pada lain. Sama-sama
mereka saling melihat dengan tegas. Maka dua-duanya lantas
melengak, lebih-lebih si nona, yang memperdengarkan suara
kaget lalu menunduki kepala sebab dia likat sendirinya.
Dalam keadaan hampir sadar, hatinya Hong Kun pun
terbuka. Ia senang menemui nona cantik itu. Lantas ia
menoleh ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain kecuali
mereka berdua. Maka legalah hatinya.
Akhir-akhirnya : "Nona !" sapanya, dan ia tertawa. "apakah
nona mau pergi ke Kian Gee Kok ?"


In Go mengawasi, matanya dibuka lebar.
"Buat apa kau tanya-tanya tentang nonamu ?" dia
menjawab, suaranya keras tetapi dia tertawa. "Toh bukan
urusanmu sendiri !" Di mulut dia menegur akan tetapi kakinya
tak bergeming, tak ada niatnya buat mengangkatnya.
Hong Kun tertawa.
"Aku ialah murid dari Kian Gee Kiap !" katanya. "Aku
menyapa kau, nona, sebab aku khawatir nanti tidak dapat
menyambut kau sebagaimana selayaknya."
In Go merapikan rambutnya.
"Kau murid dari Kian Gee Kiap ?" ia balik menanya. "Kau
hendak memperdaya siapa ?"
"Tidak aku mendusta, nona !" kata Hong Kun. "Aku
memang muridnya Im Ciu It Mo !'
In Go menatap.
"Kau tahu atau tidak, apakah aku pernah mendatangi Kian
Gee Kiap ?" tanyanya.
Hong Kun melengak.
"Kita baru pernah bertemu satu dengan lain, mana aku
ketahui tentang kau, nona ?" katanya. "Laginya......."
"Sudah !" si nona menyela. Tapi dia tertawa. "Kaulah
seorang penipu !"


Alisnya Hong Kun terbangun, tetapi dia pun tertawa.
"Jangan sembarang menuduh, nona ! Siapa bilang aku
penipu ?"
In Go mengawasi dari menatap, matanya menjadi separuh
mendelik.
"Mari aku tanya dahulu padamu !" ktanya. "Tadi pagi
siapakah itu nona yang membawa-bawa ular hijau yang
muncul di ruang besar dari rumah barunya locianpwe Im Ciu It
Mo ? Nona itu ada bersama-sama kau ! Dia pernah apakah
denganmu ? Dan, kemana perginya dia sekarang ?"
In Go menerka pasti orang di depannya ini ialah It Hiong.
Sekarang ia telah mengenalinya. Hanya ia mengenali It Hiong
yang palsu. Sebaliknya, pertanyaannya itu membuat Hong Kun
melengak. Hong Kun tidak tahu peristiwa It Hiong dengan It
Mo itu.
Melihat orang berdiam saja, alisnya In Go terbangun.
"Kamu sudah menyerbu Kian Gee Kiap dan mengacau !"
tegurnya, bengis. "Kau sudah tidak sanggup melawan, lantas
kau tinggalkan nona itu ! Sekarang di depanku, kau masih
berani berpura-pura pilon begini macam ! Bagaimana kau
masih berani menipu aku dengan kau mengaku dirimu sebagai
muridnya It Mo ? Kalau kau bukannya penipu, habis apakah ?"
Di desak begitu, Hong Kun menjadi tidak senang. Ia gusar.
"Sebenarnya kau mempunyai kepandaian bagaimana lihai
maka kau berani mengatakan aku Gak Hong Kun sebagai
penipu ?" tegurnya. "Buat apakah aku menipumu ?"


"Hm !" In Go memperdengarkan suara dingin. Dia pun
mendongkol. "Kalau kau menjadi orang rimba persilatan,
tahukah kau akan harga dirimu sendiri ? Seorang jago rimba
persilatan, dia berjalan, dia berduduk, tidak nanti dia merubah
she dan namanya !"
Hong Kun maju satu tindak.
"Kau mengaco belo, ya ?" tegurnya. "Apakah maksudmu ?"
In Go mencibirkan bibirnya.
"Bilang !" katanya bengis. "Bilang sebenarnya, siapakah kau
? Kau Tio It Hiong atau Gak Hong Kun ? atau....."
"Tutup bacotmu !" teriak Hong Kun bengis.
In Go gusar hingga dia tertawa berkakak. Dia belum
berpengalaman, dia menyangka orang kalah suara dan
karenanya menjadi gusar. Dia tertawa sampai dia melengking.
Hong Kun gusar tetapi dia tetap tertarik oleh paras elo si
nona. Dia mencoba menguasai dirinya. Dia pun tertawa. Dia
lantas menggunakan akal.
"Nona," katanya. "nona, kau cerdik sekali ! Tak dapat aku
memperdayaimu ! Nona.... aku mempunyai kesulitan......."
In Go mengawasi. Memangnya dia tertarik oleh
ketampanan pemuda itu. Melihat orang menjadi sabar, ia turut
menjadi sabar juga. Tak lagi ia tertawa, ia justru lantas
menanya : "Bilanglah terus terang, sebenarnya siapakah kau
dan apa namamu ? Dan, apa kesulitanmu itu ?"


Hong Kun menghela nafas. Ia senang menyaksikan orang
berubah sikap.
"Sebenarnya musuhku ialah Tio It Hiong," katanya
kemudian. "Dia telah menyamar sebagai aku, baik wajah
maupun pakaiannya ! Dimana dia berada, disitu dia
menerbitkan onar, untuk menimpakan kesalahan padaku......"
"Benarkah itu ?" si nona menyela, "Tadi pagi ada seorang
anak muda yang datang bersama-sama seorang nona yang
membawa-bawa ular ! Dia itu memusuhkan gurumu ! Apakah
benar dia itu ?"
"Coba nona bilang, wajah dan pakaiannya dia itu, bukankah
semuanya sama benar dengan wajah dan dandananku
sekarang ini ?"
Hong Kun bicara dengan lemah lembut !
"Ya, segala-galanya sangat mirip !" sahut si nona, yang
mengangguk.
"Manusia itu sangat jahat !" Hong Kun kata pula. "Sengaja
dia datang mengacau ke Kian Gee Kiap, guna meminjam
tangan guruku supaya guruku membersihkan rumah
perguruannya ! Dengan begitu, itu artinya dia ingin aku
dibinasakan guruku !"
In Go mementang matanya lebar-lebar.
"Apakah kau tidak sanggup merobohkan musuhmu itu ?"
tanyanya.
Hong Kun menghela nafas.


"Sudah beberapa kali kami bertempur," sahutnya. "Hanya,
selama itu kami berdua sama tangguhnya, kami selalu seri
saja....."
In Go tidak puas terhadap "It Hiong", tetapi berbareng
merasa kasihan terhadap Hong Kun, pemuda di depannya ini.
Lantas ia menatap pemuda itu.
"Kau memikir atau tidak untuk menghajar musuhmu itu,
guna melampiaskan sakit hatimu ?" tanyanya kemudian.
Hong Kun berpura girang.
"Kau tentunya murid seorang guru yang ternama, nona,"
katanya. "Kau pasti mempunyai kepandaian silat yang mahir
sekali ! Nona, kalau kau benar hendak membalaskan sakit
hatiku maka kelak di belakang hari buat selama-lamanya akan
aku mendampingimu, untuk setiap saat melayani padamu...."
Hebat kata-kata bergula itu. Sedangkan sebenarnya Hong
Kun berniat memiliki tubuh orang.
In Go kurang jelas tetapi ia toh merasa senang, hatinya
puas. Manis sekali rasanya kata-kata si anak muda. Lantas ia
tertawa dan kata : "Kepandaianku tidak mahir akan tetapi
akulah muridnya Gwa To Sin Mo si Bajingan Sakti ! Guruku itu
ternama semenjak beberapa puluh tahun dahulu !"
Hong Kun terkejut mendengar si nona muridnya Gwa To
Sin Mo, tanpa merasa kulit mukanya menjadi panas. Tapi,
karena dia cerdik, dia lekas-lekas bersenyum, terus dia
tertawa.
"Oh, nona !" serunya. "Kiranya kaulah muridnya seorang
guru yang termashur ! Nona, maaf ! Memang telah lama aku


mendengar nama besar dari gurumu itu yang aku kagumi !" Ia
berhenti sedetik, lalu menambahkan, "Nona kebetulan saja
kita bertemu, sudah sekian lama kita bicara, akan tetapi aku
masih belum kenal dengan nona, maka itu, apakah dapat
nona memberitahukan aku nama nona yang mulia ?"
In Go mengangkat tangannya dan menuding. Tapi dia
tertawa.
"Jika kau hendak menanya namaku, tanyakanlah secara
langsung !" sahutnya. "Kenapa kau mesti bicara panjang lebar
dahulu ? Lagakmu mirip dengan seorang guru sekolah si kutu
buku."
Hong Kun merangkap tangannya, buat memberi hormat.
"Kau baik sekali, nona !" ujarnya. Tanpa merasa ia pun
sudah bertindak menghampiri nona itu hingga mereka terpisah
hanya satu kaki.
In Go tertawa manis, kepalanya pun digoyangi, sedangkan
sinar matanya memain dengan indah sekali. Kemudian ia
melirik pemuda itu.
"Namaku In Go !" katanya kemudian.
"Oh !" seru Hong Kun, bagaikan orang kaget. "Oh, kiranya
nona, Nona In ! Maaf, maaf,aku kurang hormat !"
Puas In Go mendengar panggilan Nona In itu.
"Ya, aku bernama In Go !" katanya. "Baguskah nama itu ?
Baik kau panggil saja aku In Go ! Kau toh terlebih tua dari
pada aku."


"Baik, nona, aku menurut perintahmu !" berkata Hong Kun.
"Adik In Go ! Adik In Go !"
Manis panggilan itu terdengarnya, In Go puas sekali.
Ketika berkata begitu, Hong Kun menatap, air mukanya
tersungging senyuman hingga tampak ketampanannya.
Dengan begitu, ia menambah girangnya si nona. Si nona
sendiri balik menatap dengan sinar matanya mengandung
arti..........
Keduanya berdiam, wajah mereka bersenyum berseri-seri.
Masih mereka saling mengawasi, sampai Hong Kun merasa
yang ia sudah memperoleh kemenangan. Lantas ia
menganggap baiklah jangan ia melewatkan ketika yang baik
itu.
"Adik". katanya. "Kita bertemu secara kebetulan, kita
menjadi sahabat, aku girang sekali !"
"Apakah kau ingin bersahabat denganku ?" si Nona Tanya,
menatap.
"Asal kau tidak menolak, adik !" sahut Hong Kun cepat.
"Bukankah sekarang kita sudah bicara dengan akrab sekali ?
Benar bukan ?"
"Benar !" kata si nona, alisnya berkerut. "Sayang,
sayang.....kita harus akan berpisah pula......."
Hong Kun melongo.
"Memangnya kau hendak pergi kemana, adik ?" dia tanya.
Dengan berani dia mengangsurkan tangannya, akan


menyingkap merapikan rambut di dahi si nona, yang
dikacaukan angin.
In Go diam saja, membiarkan orang merapikan rambutnya
itu.
"Aku harus pulang !" katanya kemudian.
Hong Kun sengaja menurunkan tangannya ke bahu orang.
"Kenapa begini tergesa-gesa, adik ?" tanyanya, prihatin.
"Buat apa kau lekas-lekas pulang ? Kita toh baru berkenalan,
bukan ? Bukankah lebih baik kita mencari tempat yang sunyi
dimana kita dapat duduk memasang omong dengan asyik ?"
Si nona menggeleng kepala.
"Kenapa ? Kenapa ?" tanya Hong Kun. Mendadak sekali,
agaknya dia bingung. "Kau bilang, bilanglah, adik ! Apakah
kau mencela aku buruk hingga aku tak pantas menjadi
sahabatmu ?"
In Go menghela nafas.
"Jangan menyebut demikian," katanya perlahan. "Bukannya
soal tidak pantas..... Aku mesti lekas-lekas pulang karena
aturan guruku sangat keras. Laginya......."
"Adik....." berkata Hong Kun, yang terus bersandiwara,
buat membikin lemah hati orang. Ia menggoyang-goyang
bahu nona itu, agaknya ia menyesal sekali. "Adik, tak
kusangka kau begini tega, lantas saja kau hendak
meninggalkan aku ! Tahu begini, terlebih baik kita tak usah
bertemu...."


Kata-kata itu menarik hatinya In Go tetapi ada sesuatu
yang membuatnya menahan diri. Itulah tak lain dan tak bukan
karena lebih dahulu daripada ini, ia sudah mencintai Bu Pa,
kakak seperguruannya, dan Bu Pa pun membalas
mencintainya. Kalau sekarang ia tertarik oleh Hong Kun, itulah
karena dimatanya anak muda ini tampan luar biasa dan
sangat menggiurkannya.
Di saat itu maka terbayanglah dua orang muda : Hong Kun
dan Bu Pa !
In Go mengenal Bu Pa semenjak mereka berguru bersama,
keduanya selalu berada berdua-duaan, sudah sekian lama
mereka mencintai satu dengan lain. Sekarang, mendengar
kata-katanya Hong Kun, ia bagaikan tidak mendengarnya.
Itulah sebabnya kenapa ia tidak lantas memberikan
jawabannya.
Hong Kun bersenyum. Ia maju lebih jauh. Ia memang
pandai beraksi.
"Adik........" katanya, seraya maju terlebih rapat setelah
mana ia memeluk pinggang langsing nona itu, "adik, tak dapat
aku berpisah dari kau........ Aku pikir, kau juga tentu tak tega
meninggalkan aku......"
In Go terkejut dipeluk laki-laki itu. Mendadak saja ia sadar.
Maka merahlah mukanya. Dia malu. Dengan satu gerakan
tubuhnya, dia meloloskan diri dari pelukan si anak muda.
Tetapi dia tidak menjadi gusar. Dia bersenyum, lalu dia kata
perlahan, nadanya berduka : "Aku mau lekas pualgn sekarang,
tentang diriku, jangan kau pikir terlalu banyak........"
Hong Kun maju mendekati pula. Dia menyangka si nona
malu-malu kuCing.


"Kalau kau toh mau pulang, adik, tak usah kau begini
tergesa-gesa," katanya tertawa. "Mari kita duduk pula, kita
bicara lebih jauh. Kita bakal berpisah, bukan ? Kenapa kita
tidakmau bicara lebih lama sedikit ? Kita harus melakukan
sesuatu yang kelak sukar kita lupakan........" Dan ia maju lagi,
berniat memeluk kembali.
In Go menatap tajam.
"Eh, eh, kau mau apakah ?" tanyanya.
Hong Kun tertawa manis.
"Mau apa ?" katanya bertanya. "Kau tentu telah ketahui
sendiri, adikku. Kita harus saling mencinta, dari semula hingga
di akhirnya. Sampai kita mati. Mustahil kau tidak tahu itu,
adikku ?" Dan dia tertawa pula, lau dengan satu sambaran, dia
memeluk pinggang si nona !
In Go kaget. Inilah ia tidak sangka. tak sempat berkelit, tak
dapat ia melepaskan pula tubuhnya. Si anak muda memeluk
keras sekali. Mendadak ia menjadi gusar. Maka ia
melayangkan sebelah tangannya !
"Plok !" mukanya si pemuda kena terhajar.
Hong Kun terperanjat. Pipinya sampai balan, bertandakan
lima jari tangan si nona, hingga ia mesti mengusapnya.
Menggunakan saatnya orang terperanjat, In Go meronta,
membebaskan diri, setelah mana ia mundur dua tindak. Ia
menatap anak muda itu, agaknya ia pun bingung
sendirinya.......


Hong Kun mengawasi pula si nona. Mulanya hendak ia
menggunakan kekerasan, akan tetapi kapan ia melihat wajah
orang, ia percaya si nona masih belum dapat membaca
maksudnya yang sebenarnya. Ia mengawasi, lalu tertawa.
"Ah, adik !" katanya sambil bertindak maju. "Adik, kau
main-main secara kelewatan. Kenapa kau menggunakan
tanganmu ?" Kembali ia maju mendekati satu tindak.
In Go menatap tajam. Ia bisa melihat wajah orang.
Nampaknya si anak muda itu bersikap keras tetapi segera
sikap itu berubah pula. Buktinya dia itu tertawa dan berlaku
manis lagi. Tapi ia sudah sadar, maka ia waspada.
"Apakah kau marah padaku ?" tanyanya, tertawa. "Aku
telah terlepasan tangan. Apakah kau masih merasa nyeri ?"
Hong Kun mengusap-usap pula pipinya, kemudian dia
mengasi lihat tapak balannya, yang masih bersemu merah.
"Nyeri di pipiku tetapi girang di dalam hati !" sahutnya.
"Mungkin inilah tanda dari cinta kasihmu, adik..."
Selagi orang maju, In Go mundur pula. Sekarang ia sadar
benar-benar, maka juga dari menyukai pemuda itu, di dalam
waktu sependek ini, ia jadi memandang tak mata. Ia mundur
dengan sepasang alisnya terbangun.
"Aku menyesal atas kelakuanmu ini," katanya. "Aku
menyayanginya !"
Hong Kun heran hingga ia melengak. Sungguh hebat
perubahan sikapnya si nona.


"Apakah yang kau sayangi, adik ?" tanyanya berlagak pilon.
"Apakah yang kau maksudkan yang pertemuan kita ini
terlambat ?"
Lagi-lagi In Go mundur satu tindak.
"Bukan itu," sahut si nona. "Aku melihat gerak gerikmu ini !
Dengan orang dengan lagak sepertimu ini, tak suka aku
bergaul lagi ! Kau harus ketahui aku bukanlah orang yang
dapat dipermainkan !"
Habis mengucap itu, In Go memutar tubuh terus
melangkah keluar rimba.
Panas hatinya Hong Kun yang kedoknya dibuka si nona,
sedangkan nafsunya memiliki nona itu keras sekali. Ia
menggertak gigi, lantas ia bertindak ringan tetapi cepat untuk
menyusul, setelah datang dekat, tiba-tiba saja dia menotok
jalan darah hektiam nona itu !
In Go tidak menyangka jelek, dia tidak bersedia sama
sekali. Begitu dia kena totok, tubuhnya terus terhuyung
beberapa tindak. Dia pun mengeluarkan jeritan kaget. Justru
dia mau jatuh itu, si pria lompat padanya merangkul
pinggangnya tanpa dia dapat berbuat apa-apa.
Hong Kun puas sekali berhasil menawan nona itu, dari
bersenyum ewah, ia tertawa bergelak. Kemudian ia
memandang ke sekitarnya, guna mencari tempat yang cocok
dimana ia dapat memuaskan nafsu hatinya terhadap nona itu.
Rimba jarang tetapi di sana sini terdapat semak-semak
pohon rendah atau rumput yang tebal dan lebat ! Ketika itu
pula, suasana sangat sunyi, sampai suara kupu atau binatang
kecil lainnya pun tidak terdengar.


Segera si anak muda melihat batu besar dan rata dibawah
pohon dimana tadi dia duduk, itulah batu yang menurutnya
pantas dijadikan pembaringan. Maka kesana dia pergi sambil
memondong In Go. Dengan perlahan-lahan ia meletakkan
nona itu di atas batu tersebut.
Di dalam keadaan seperti itu, Hong Kun ingat untuk berlaku
hati-hati. Ia lantas melihat sekelilingnya. Rimba tetap sunyi,
tak ada lain orang disitu. Kemudian ia mengawasi batu besar,
maka ia mendapat kenyataan, meskipun suasana sunyi, batu
itu toh terlalu terbuka. Tapi, selekasnya ia mengawasi In Go
yang rebah diam saja, yang kecantikannya, juga potongan
tubuhnya, sangat menggairahkan, tiba-tiba tak dapat ia
menguasai dirinya lagi. Cepat luar biasa, ia lantas membukai
kanCing bajunya si nona !
Tepat pemuda itu tengah membukai kanCing orang, hingga
dia tak memikir lainnya apa juga, mendadak saja dia merasai
kedua belah iganya ada yang sentuh hingga dia terkejut
sekali. Kedua iga itu pun terasa sedikit sesemutan. Lantas ia
menduga kepada penyerangan pembokongan, maka tanpa
ayal pula, berbareng dia memutar tubuhnya, untuk melakukan
penyerang hebat dengan dua-dua tangannya.
Akan tetapi, dia menyerang tempat kosong. Tak ada orang
disitu. Serangannya itu hanya mengenai daun-daun pohon,
yang rontok berhamburan. Dia heran sekali. Menurut dia,
sekalipun orang yang tubuhnya paling ringan tak nanti lolos
dari hajarannya itu. Toh tadi ia merasa tubuhnya tersentuh
dan tubuh itu sedikit bergemetar. Habis apakah itu kalau
bukannya serangan gelap ?
Dengan perasaan heran sekali, anak muda ini melihat pula
ke sekitarnya, terutama ia memperhatikan pohon-pohon dan


semak di seputarnya itu. Tetap ia tidak melihat suatu apa-apa,
tetapi --ia merasa-- seperti telinganya mendengar langkah kaki
di atas daun-daun dan bagaikan ada bayangan orang diantara
semak.......
Dari merasa aneh, Hong Kun menjadi bersangsi bahkan
bercuriga. Ia lantas menerka yang tidak-tidak. Ia menyangka
mesti ada orang yang mengintai dan membokongnya. Tapi,
mana orang itu dan siapakah dia ? Ia berdiam tetapi ia
waspada, matanya dibuka lebar-lebar, mengawasi tajam ke
sekelilingnya.
Rimba tetap sunyi.
"Sahabat yang mana yang berada disini ?" akhirnya si anak
muda bertanya nyaring. "Sahabat, silahkan kau perlihatkan
dirimu supaya kita dapat saling bertemu muka !"
Pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban walaupun telah
diulangi beberapa kali. Setelah itu, baru anak muda ini merasa
hatinya tenteram. Ia mengawasi pula, ia tidak melihat
bayangan orang dan tidak mendengar suara langkah kaki
diantara dedaunan. Rupanya tadi, ia merasa, bahwa ia
dipermainkan daun-daun rontok hingga ia mendapat perasaan
yang tidak-tidak......
Matahari pun bersinar terang.
Segera sesudah berfikir tenang, Hong Kun menghampiri
pula batu besar dimana In Go tetap rebah tak berdaya.
Keadaannya mirip seorang nona yang lagi tidur nyenyak.
Tubuh dan wajah nona itu sangat menggiurkan hatinya. Sang
nafas membuat dadanya si nona naik dan turun dengan
perlahan.


Mengawasi nona itu, dadanya Hong Kun pun memain naik
turun seperti dadanya si nona. Dia dipengaruhi sangat
perasaan hatinya. Darahnya lantas bergolak, dadanya itu
terasa sesak. Dia mirip si srigala kelaparan tengah
menghadapi sang kelinci !
Di dalam keadaan seperti itu, masih anak muda ini
bercuriga, hingga ia merasa batu besar itu bukanlah tempat
yang tepat untuk ia melampiaskan nafsu hatinya. Maka juga
lantas ia mengambil keputusan. Segera ia mengangkat dan
memondong tubuhnya In Go buat dibawa masuk ke dalam
sebuah ruyuk tak jauh di depannya. Dengan berada di dalam
situ, mereka berdua akan tak terlihat siapa juga. Karena
merasa senang dan puas, selagi memasuki ruyuk, ia
menggerutu seorang diri....
Tepat tengah ia melangkah masuk ke dalam ruyuk itu,
sekonyong-konyong Hong Kun merasa ada jari tangan yang
menekan sin-tong, jalan darahnya yang berarti kematian
untuk setiap orang. Dia kaget, hingga lantas saja dia memutar
tubuhnya berniat melakukan penyerangan. Atau segera dia
didahului bentakan bengis : "Jangan bergerak !" Terpaksa dia
membatalkan serangannya. Dia tahu, asal dia menyerang,
jiwanya bakal lenyap seketika........
"Hm !" ia lantas mendengar suara yang dingin. "Sahabat,
kau datang kemari, apakah maumu ? Apakah yang kau
hendak lakukan ?"
Dari suara orang, Hong Kun menerka pada seseorang yang
usianya telah lanjut. Pertanyaan itu bernada tak bermaksud
jahat. Karenanya ia memikir baiklah ia berlaku sabar,
selekasnya ada kesempatan, baru ia mau mengasi hajaran.
Maka lekas-lekas ia menjawab : "Urusanku, lotiang, tidak ada
sangkut pautnya denganmu !"


Ia membahasakan "lotiang" -- orang tua yang dihormati
karena ia percaya orang itu benar seorang tua.
"Oh !" orang itu memperdengarkan suaranya.
Hong Kun telah bersiap sedia, hendak dia menyerang tetapi
dia batal. Jari tangannya orang tak dikenal itu tetap
mengancam jalan darah kematiannya itu......
"Lotiang," kata ia kemudian, "kaulah seorang dari tingkat
tertua, kenapa kau melakukan ini ancaman menggelap atas
diriku ? Apakah lotiang tidak takut yang perbuatanmu ini akan
merendahkan derajatmu sendiri ?"
Agaknya orang itu melengak, sebagaimana terasa tekanan
tangannya tak berat seperti semula.
"Sahabat !" kemudian terdengar suaranya pula, "sahabat,
jika kau masih menyayangi jiwamu, kau mesti dengar setiap
pertanyaanku dan menjawabnya dengan sebenar-benarnya !
Jika tidak, hm !"
"Kau tanyakanlah !" sahut Hong Kun cepat. "Aku yang
rendah, biasanya tak pernah aku mendustai !"
Orang itu tidak menjawab, hanya dia lantas mulai dengan
pertanyaannya.
"Sahabat," demikian tanyanya. "Siapakah nona yang kau
pondong ini?"
Sinar mata galak dari Hong Kun memain beberapa kali.
"Dia ini sahabatku !" demikian sahutnya.


"Sungguh licik !" kata orang itu, suaranya menandakan
kemendongkolannya.
"Jangan sembarangan mencaci orang, lotiang !" Hong Kun
pun sengaja memperdengarkan suaranya yang menyatakan
dia tak puas. "Di dalam dunia ini, urusan yang paling besar
pun tak melebihkan kematian ! Kenapa lotiang mendongkol
tidak karuan ?"
Agaknya orang itu terpengaruhkan kata-kata si anak muda,
maka ketika ia bersuara pula, suaranya sabar seperti semula.
"Jika benar seperti katamu, nona ini adalah sahabatmu,"
katanya, "coba kau jelaskan she dan namanya serta juga
nama perguruannya. Kau tentunya tahu jelas, bukan ? Kau
bicaralah !"
Hong Kun melengak. Ia cuma tahu namanya In Go, tidak
perguruannya. Tapi ia toh menjawab cepat : "Sahabatku ini
bernama In Go, kami baru saja bertemu secara kebetulan,
lantas kami mengikat persahabatan."
Sebenarnya In Go pernah menyebutkan namanya Gwa To
Sin Mo tetapi Hong Kun melupai itu sebab tadi sewaktu si
nona memberitahukannya pikirannya masih belum sadar
seperti sekarang ini dan ia pun tidak memperhatikannya.
"Oh !" kembali orang itu memperdengarkan suaranya.
"Kenapa nona ini tak sadarkan diri di dalam pondonganmu ?"
Kembali Hong Kun terkejut.
"Sebenarnya kita sedang bergurau....." sahutnya kemudian,
sebab tak ada alasan lainnya yang bisa dia kemukakan.


"Sedang bergurau ?" tanya orang itu, suaranya
menandakan kemurkaannya. Dia pun terus menekan,
membuat si anak muda berjengit menahan nyeri, sampai
giginya dijatrukan atas dan bawah.
Lewat sesaat, tekanan reda pula.
"Sahabat, kau bicaralah baik-baik." katanya pula orang itu.
"Kau harus mengaku dengan sebenar-benarnya ! Jika kau
memikir mendustai lohu, itu artinya kau mencari
penderitaanmu sendiri ! Mengertikah kau ?"
Dengan kesabarannya, orang itu membahasakan dirinya
"lohu", kata-kata merendah dari seorang tua, yang sama
artinya dengan "aku".
Hong Kun cerdik sekali. Dia bukannya menjawab, dia justru
balik menanya.
"Lotiang," demikian tanyanya, "lotiang pernah apakah
dengan nona ini, maka juga lotiang begini memperhatikan
tentang dirinya ?"
Sebagai jawabannya, orang itu tertawa bergelak-gelak
hingga kumandang tawanya itu menggetarkan rimba. Lalu,
terasakan kata-kata demi kata oleh Hong Kun, dia
menambahkan, "In Go ini ialah muridku si orang tua !"
Kagetnya Hong Kun tak terkirakan. Dia seperti mendengar
guntur. Dia sampai bergemetar seluruh tubuhnya. Dengan
lantas, tapinya ia mengasah otaknya. Hingga dia bisa lekaslekas
memulihkan ketenangan dirinya.


"Oh, kiranya nona ini murid kesayangan lotiang," demikian
katanya, tertawa. "Bagus !"
Orang itu heran.
"Apa katamu ?" tanya dia.
Hong Kun tertawa pula, tertawa licik.
"Coba lotiang tanyakan dirimu sendiri," dia menjawab.
"Sebelumnya lotiang dapat membinasakan aku, mampukah
lotiang membantu murid kesayanganmu ini ?"
Si orang tua melengak. Baru sekarang ia insyaf yang
muridnya berada di dalam tangan orang. Jadinya murid itu
terancam bahaya seperti sekarang si anak muda berada dalam
ancamannya sendiri.
"Aku si tua bukanlah orang yang dapat diancam, dipaksa !"
katanya kemudian. "Kalau muridku mati, aku cuma kehilangan
seorang murid ! Sahabat, kau agaknya licik sekali, maka itu
silahkan kau ambil jalanmu ke neraka sana !"
Kata-kata itu disusul dengan satu tekanan jari tangannya.
Hong Kun kaget sekali, segera ia merasakan nyeri sampai
alisnya berkerut rapat satu pada lain. Terpaksa ia mesti
menyerah, maka ia kata susah : "Lotiang, kau berlakulah
murah hati ! Aku yang muda akan bicara dengan sebenarbenarnya......"
Orang itu mengendorkan pula tekanannya, dia tertawa.
"Hm, bocah yang baik !" katanya mengejek, "bukankah kau
barusan mengatakan manusia itu cuma mati satu kali ? Kalau


benar kaulah seorang gagah sejati, buatmu mati ialah mati !
Habis kau mau bicara apakah lagi ?"
Hong Kun meluruskan nafasnya yang sesak, dengan begitu
juga ia memperbaiki saluran nafasnya itu.
"Aku yang rendah," sahutnya kemudian, "aku sebenarnya
bukan takut mati. Aku hanya tidak memikir akan terjadinya
permusuhan diantara guruku dengan kau, lotiang.
Permusuhan itu akan berarti hebat, akan merupakan balas
membalas dengan kematian !"
Orang itu tertawa perlahan.
"Di dalam hal ini, bicaramu beralasan," katanya. "Tapi
dapat aku jelaskan pada kau, aku Gwa To Sin Mo, jika aku
bunuh kau, aku tidak takut yang gurumu nanti datang mencari
balas !"
Girang Hong Hun mendengar suara itu. Ia memperoleh
kesempatan.
"Lotiang," tanyanya. "Apakah lotiang bersahabat dengan
guruku ?"
Pemuda licik ini tidak tahu Gwa To Sin Mo mengenal
gurunya atau tidak, ia menggoyang lidah sekenanya saja.
Gwa To Sin Mo sebaliknya heran.
"Siapakah itu gurumu ?" tanyanya.
Ditanya begitu Hong Kun lekas memikir. Ia tahu Gwa To
Son Mo yang berdiam di jurang Houw Tauw Gay di gunung
Tiaom Chong san menjadi seorang lihai yang sesat bukannya


sesat, sadar bukannya sadar. Dia itu bertindak sesat atau
lurus dengan melihat suasana. Dia ingat, mesti ada sebabnya
kenapa Gwa To Sin Mo muncul di Hek Sek San ini. Maka dia
pun menerka jangan-jangan Sin Mo mempunyai hubungan
dengan It Mo dan mungkin Sin Mo mengandung sesuatu
maksud dalam urusan Bu Lim Cit Cun. Dia menduga juga,
kalau Sin Mo mengenal gurunya, ada kemungkinan ia pasti
pergi ke Heng San.
Di dalam sekejap, Hong Kun mendapat akal. Maka lekaslekas
dia menjawab : "Lotiang, guruku ialah Im Ciu It Mo !"
Mendengar jawaban itu, mukanya Gwa To Sin Mo berubah
menjadi suaram, tetapi cuma sejenak, dia terus tertawa dan
menanya : "Sahabat, apakah she dan namamu yang mulia ?
Kau sebutkanlah !"
Mendengar suara orang bernada sungkan, timbul pula
kelicikannya Hong Kun.
"Aku yang rendah bernama Tio It Hiong." demikian
jawabannya. Dia sadar pula akan peranannya.
Gwa To Sin Mo heran hingga ia berdiri melengak. Pernah ia
bertemu dengan Tio It Hiong, hanya ketika itu It Hiong
bersama Ya Bie, muridnya Touw Hwe Jie. Di Kiam Gee Kiap ia
bertemu dengan Im Ciu It Mo dan Im Ciu It Mo mengatakan
bahwa muridnya bernama Tio It Hiong, hanya ketika itu Tio It
Hiong agaknya terganggu urat syarafnya. Ketika ia dan muridmuridnya
bertiga melayani Im Ciu It Mo bertempur, Tio It
Hiong bersama Ya Bie lenyap tidak karuan. Sekarang di sini ia
bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Tio It Hiong
dan bukannya Gak Hong Kun ! Bagaimanakah duduknya hal ?


Benarkah dua nama itu tetapi orangnya satu ? Kalau It
Hiong dari Kiam Gee Kiap, maka manakah kawan wanitanya ?
Kenapa dia justru muncul disini tengah mempermainkan In Go
? Kenapakah In Go berdiam saja itu ? Ia tercelakakan atau
hanya ditotok hingga pingsan ?
Bingung si Bajingan, tetapi di akhirnya ia dapat pikiran
bahwa cuma sesudah muridnya terasadar barulah ia akan
mendapat keterangan jelas tentang duduknya hal. Dasar ia
telah berpengalaman, walaupun terbenam dalam kesangsian,
ia dapat tertawa ringan, pada wajahnya tak nampak sesuatu
perubahan.
"Kiranya kaulah laote Tio It Hiong !" katanya tertawa pula.
Bajingan ini telah memikir tak mau menanam bibit
permusuhan baru, cukup asal muridnya dapat ditolong dan
terasadar, tetapi sebab si naka muda nampak licik, ia berpikir
keras bagaimana ia harus mendapati muridnya itu.
Habis tertawa, Sin Mo lantas mengendorkan tekanannya
pada jalan darah orang.
"Kiranya kaulah orang sendiri, Tio laote !" katanya pula
kemudian. "Aku minta supaya peristiwa barusan jangan kau
buat pikiran !"
Hong Kun merasa lega mendapatkan jalan darahnya tak
tertekan pula, hanya untuk sejenak ia masih bingung.
"Terima kasih, locianpwe !" katanya yang mendadak
berlompat memisahkan diri beberapa tindak, setelah mana dia
memutar tubuhnya, terus dia menatap orang dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Orang itu sebaliknya pun


mengawasi, sebab ia tetap bersangsi, It Hiong dan Hong Kun
satu orang atau dua........
"Tio laote," tanya pula Sin Mo lewat sesaat. "kenapa In Go
tidak sadarkan diri ? Tahukah kau sebabnya ? Bagaimana
kalau lohu memeriksanya ?"
Hong Kun menjadi bingung. Sebenarnya apa yang
dipikirkan ialah segera kabur dengan membawa In Go, supaya
di lain tempat, dapat ia ganggu kehormatannya nona itu.
Sekarang si jago tua menanya demikian padanya. Buat kabur
dengan begitu saja, dia ragu-ragu. Dia memondong tubuh si
nona, tak nanti dia dapat lari cepat dan lolos dari tangannya si
bajingan. Bagaimana sekarang ?
Di dalam keadaaan sadar sejenak itu, mendadak Hong Kun
ingat halnya si nona adalah muridnya si Bajingan. Maka inilah
kebetulan, bajingan itu dapat ia pengaruhi selama si nona
belum ia bebaskan atau serahkan. Nona itu dapat digunakan
sebagai alat mengancam.
Gwa To Sin Mo menghampiri In Go. Seperti katanya
barusan, hendak ia memeriksa kenapa murid itu berdiam saja,
tak bergerak, tak sadar.
Hong Kun tak mau dengan mudah saja menyerahkan murid
orang. Maka itu selagi si bajingan menghampiri dan sudah
mendekati, mendadak ia membentak : "Tahan ! Berdiri diam
disitu !"
Sin Mo heran hingga dia berdiri melengak, setelah sadar,
dia mengawasi tajam.
"Kau kenapa, Tio Laote ?" tanyanya heran. "Kenapa
sikapmu ini ?"


Hong Kun bersikap dingin ketika dia menjawab : "Dalam
dunia Kang Ouw terdapat banyak sekali kecurangan, karena
itu, aku harus berhati-hati ! Demikian dalam urusan kita ini !
In Go ini sahabatku, dari itu lotiang, kau perlu membuktikan
dahulu bahwa dia benarlah muridmu ! Apakah bukti lotiang ?"
Gwa To Sin Mo berdiri menjublak mendengar pertanyaan
itu, tetapi cuma sejenak, lantas timbul kemarahannya. Alis dan
janggut kambing hutannya bangkit berdiri, janggut itu
bergoyang-goyang sendirinya ! Dia pun mesti menahan hawa
amarahnya. Kemudian lagi, dia tertawa dingin.
"Ka menyebut diri sebagai sahabatnya In Go, apakah
buktinya ?" dia balik bertanya.
Hong Kun tertawa. Ia mendongkol yang usahanya
dirintangi, ia lupa segala apa.
"Dia berdiam saja ditanganku, itulah buktinya !" ia
menjawab keras, sikapnya mengejek. "Dia bukan melulu
sahabatku, dia juga daging suguhanku ! Hm !"
Mukanya Gwa To Sin Mo menjadi pucat dan biru saking
gusarnya.
"Bagaimana dapat Im Ciu It Mo mendidik murid begini
bagus ?" katanya sengit. "Baik, Tio laote! Seakrang hendak
aku menyaksikan bagaimana kelicinanmu ! Hendak aku
mendapat bukti, siapakah pemilik daging suguhan itu."
Sembari berkata Sin Mo bertindak perlahan menghampiri si
anak muda.


Hong Kun bingung. Tadi ia cuma membuka mulut lebar
saja. Lantas dia mengangkat tubuhnya In Go, di bawa ke
depan dadanya. Sembari berbuat begitu, dia berkata nyaring :
"Jika lotiang maju lagi satu tindak maka aku akan
membinasakan dahulu nyawanya In Go !" Sembari
mengancam itu, dia bertindak mundur. Dia mau mundur ke
dalam rimba, untuk terus melarikan diri !
Gwa To Sin Mo tidak menghiraukan ancaman itu. Ia melihat
orang mundur, ia maju terus. Karena si anak muda mundur
tindak demi tindak, ia pun maju langkah demi langkah.
Tak berani Hong Kun membuktikan ancamannya akan
membinasakan si nona. Dia masih berat. Dia percaya, kalau In
Go mati, tentu si Bajingan tak mau sudah dengan begitu saja.
Demikian dua orang itu, dengan yang satu mundur yang
lain maju. Walaupun dengan sangat lambat, akhir-akhirnya
mereka masuk juga ke dalam rimba, diantara banyak
pepohonan ke dalam mana Hong Kun berniat lari
menyelindung agar si jago tua sukar mengejarnya.......
Mendadak Sin Mo menghentikan langkahnya. Lantas dia
kata dingin : "Kau harus ketahui sifatku si orang tua !
Seumurku, belum pernah aku menerima ancaman atau
paksaan ! Apakah kau memikir menggunakan In Go sebagai
manusia jaminan supaya aku tidak turun tangan terhadapmu ?
Hm, kau keliru ! Dengan begitu kau justru mencari
mampusmu sendiri ! Kau tahu atau tidak ?"
Hong Kun makin bingung. Jantungnya berdebaran. Tak
tega dia membinasakan In Go. Dia juga tidak berani
melakukannya ! Dia menjadi serba salah ! Tanpa merasa, dia
rangkul pula si nona dalam pelukannya.


"Tua bangka ini mengikuti aku, belum juga dia mau turun
tangan. Apakah yang dia pikirkan ?" demikian tanyanya di
dalam hatinya. "Ah, dia juga tentu cuma menggertak aku......"
Terus si anak muda mengasah otaknya. Kemudian ia
mendapat satu akal, maka ia lantas menanya : "Lotiang,
bagaimana lotiang pikir kalau keadaan kita berdua berubah
menjadi sebaliknya ? Lotiang menjadi aku dan aku menjadi
lotiang ?"
Sin Mo menjadi berpikir pula. Ia mengangguk-angguk dan
kata seorang diri : "Seorang muda dalam keadaan berbahaya,
pikirannya tidak kacau itulah pertanda dari orang yang
bersemangat......"
Lantas ia mengusuti janggutnya dan mengawasi anak muda
itu. Lalu lewat sekian lama, dengan wajah menjadi sabar lagi,
ia kata perlahan " "Kau letakan dahulu In Go ! Percaya, lohu
akan berbuat suatu kebaikan untuk dirimu !"
Jago tua ini mau menghargai orang yang bernyali besar.
Karena itu, kata-katanya itu mempunyai arti yang sebenarnya.
Dia berniat merekoki jodoh muridnya dengan jodoh si
pemuda. Dia belum tahu yang In Go adalah kekasihnya Bu Pa
!
Tapi lain adalah niatnya Hong Kun. Dia bukan mencintai In
Go. Hanya dia ingin mendapatkan tubuh orang, guna
melampiaskan nafsu birahinya.
Lantas si anak muda tertawa dan tanya : "Lotiang,
kebaikan apa itu yang lotiang hendak perbuat atas diriku ?"
dia pikir, kalau ada kesempatannya, janji si jago tua ini
hendak dia memegangnya erat-erat.


Gwa To Sin Mo tertawa.
"Laote !" katanya, yang merubah pula cara panggilannya.
"Laote, telah lohu melihat jelas segala tindak tandukmu diatas
batu besar tadi ! itulah bagus sekali ! Maka itu cobalah kau
terka, kebaikan apa hendak kuberikan terhadapmu ?"
Puas Hong Kun mendengar suaranya si Bajingan tua. Tapi
dia bermain komedi. Dia menggeleng kepala.
"Sulit, sulit lotiang !" sahutnya. Teka-teki lotiang sukar
sekali untuk diterkanya ! Aku minta lebih baik lotiang saja
yang menjelaskannya ! Sulitkah ?"
Habis berkata begitu, si anak muda menurunkan tubuhnya
In Go, untuk diberdirikan. Supaya si nona dapat berdiri tegak,
ia mengulurkan lengan kirinya guna menjagai tubuh orang.
In Go rapat kedua belah matanya. Dia berdiri menyender di
tubuhnya si pemuda.
Dengan caranya itu, Hong Kun mau mengelabui Gwa To Sin
Mo, agar si Bajingan menyangka nona itu lagi berdiri supaya
dia dikira sudah meluluskan permintaan orang itu.
Sin Mo mengawasi, dia mengangguk.
"Tio laote !" katanya. "apakah dengan sesungguhnya
hatimu yang kau mencintai In Go ?"
Hong Kun mengangguk.
"Ya," sahutnya. "Lotiang mau apakah ?"


Sin Mo menatap, dia menjawab : "Lohu berniat agar In
Go......"
Belum sempat si jago tua melanjuti kata-katanya itu,
mendadak dari antara segunduk pohon rumput tampak
mencelat keluarnya seorang anak muda, yang terus lari ke
arah Gak Hong Kun !
Pemuda she Gak itu waspada, dia melihat munculnya
orang, lekas-lekas dia memegangi tubuhnya In Go buat diajak
menyingkir dari anak muda itu. Tapi si anak muda maju terus
dengan sama cepatnya, bahkan dia segera menyerang !
Hong Kun mengenali serangan itu serangan Ngo Heng
Ciang. Lekas-lekas dia berkelit. Sekarang dia mengenali Bu Pa,
maka dia berseru dengan tegurannya : "Eh, Bu Pa, kau berani
kurang ajar ya?" Dia sengaja menyebut keras-keras namanya
anak muda tu karena ada pula maksudnya, yang supaya Sin
Mo yang mencegak sepak terjang muridnya itu. Dia mau
menunjuki yang dia sabar luar biasa, bahwa dia tak mau
sembarang bertempur........
Walaupun demikian, Hong Kun tidak pernah menyangka
yang segala gerak geriknya yang tadi dipergoki Gwa To Sin Mo
telah terlihat oleh Bu Pa sebab muridnya si Bajingan ini
mengiringi gurunya. Dan Bu Pa gusar sekali karena kekasihnya
telah orang permainkan .
Sebegitu jauh, Bu Pa terus bersembunyi di luar rimba. Ia
mengintai dan melihat segala apa. Ia telah menyaksikan gerak
geriknya In Go. Ia pun menyaksikan sikap gurunya. Biarnya ia
panas hati, ia tetap mentaati pesan gurunya buat tidak
sembarang muncul. Terus ia melihat dan mendengari. Paling
akhir habislah sabarnya kapan ia dapat menerka maksudnya
gurunya, yang agaknya tertarik hati oleh si anak muda dan


berniat merekoki jodohnya In Go dengan pemuda itu. Maka
tanpa menanti guru itu menyatakan mau menyerahkan In Go,
ia lantas muncul dan terus menyerang Hong Kun.
Si anak muda she Gak berkelit, ketika ia diserang pula,
kembali ia mengegos tubuhnya. Hal itu membuat
kemurkaannya Bu Pa meluap. Maka waktu dia menyerang
buat ketiga kalinya, dia sekalian menyiapkah tok-ciam, jarum
beracun di tangan kirinya.
Sampai disitu, tak dapat Hong Kun berkelit terus. Terpaksa
dia menangkis serangan orang, hingga tangan mereka berdua
bentrok keras. Justru kedua tangan beradu, justru tangan
kirinya Bu Pa bergerak. Menyusul mana benda-benda halus
dan berkeredepan menyambar ke arahnya.
Hong Kun melihat senjata rahasia itu. Dia tahu itulah mesti
senjata beracun. Bukankah Gwa To Sin Mo tukang membuat
benda beracun ? Maka itu, supaya tidak berkelit untuk sia-sia
belaka, ia mengajukan tubuhnya In Go guna dijadikan
semacam perisai.
Jarum rahasia dari Bu Pa dilepaskan bukan hanya satu kali.
Itulah serangan berantai. Jarum pertama mengenai tubuhnya
In Go, segera menyusul yang kedua. Inilah tidak disangka
Hong Kun. Dia baru kaget ketika ada senjata rahasia yang
mengenakan bahu kanannya dimana nancap sampai empat
atau lima batang jarum !
"Aduh !" dia berteriak disebabkan rasa nyeri, menyusul
mana bahunya itu bagaikan beku karena kesemutan dan
nyerinya.
Menyusul itu, tangan kanannya Bu Pa pun tiba. Karena dia
ini tidak berhenti sampai disitu saja.


Dengan bahu kanannya terkena jarum rahasia, tidak dapat
Hong Kun menggunakan tangannya itu buat menangkis
membela diri, terpaksa ia mengajukan pula tubuhnya In Go
yang ia masih belum mau melepaskannya.
Kali ini Bu Pa berlaku cerdik. Melihat tubuh kekasihnya
diajukan, dia membatalkan serangannya yang hebat itu. Ia
mengubahnya dengan serangan lainnya. Kalau serangan yang
pertama menuruti ilmu Ngo Heng Ciang, yang belakangan
satu jurus dari Kim Liok Ciu, Tangan Menawan Naga. Maka
juga, hanya di dalam sedetik, In Go sudah pindah ke dalam
rangkulannya.
Hampir pemuda itu menangis menyaksikan kekasihnya
pingsan bagaikan tidur nyenyak. Lekas-lekas ia menyuapi obat
pemunah racunnya. Setelah itu menyusul tepukannya pada
jalan darah si nona buat menyadarkannya.
Lewat sesaat, mendadak In Go mengeluarkan suara
tertahan, terus dia membuka matanya. Maka dia lantas
melihat yang tubuhnya berada dalam pelukan kekasihnya.
"Kakak !" panggilnya lemah, seperti berbisik.
Dengan sikap sangat menyayangi, Bu Pa tanya : "Adik, apa
yang kau masih rasakan pada tubuhmu ?"
In Go menggeleng kepala, terus ia memejamkan pula
matanya. Sebagai gantinya, airmatanya terus meleleh keluar.
Ia menangis terisak-isak perlahan.
Sampai disitu, Bu Pa mencabuti jarum rahasianya dari
tubuhnya kekasihnya itu. Bahaya sudah tidak ada lagi, karena
obatnya sudah bekerja, menolak dan membasmi racunnya.


Bahkan lekas juga si nona pulih tenaganya hingga ia bisa
berbangkit, akan bangun berdiri seperti sedia kala. Ia melirik
pada kakak seperguruannya seraya bertanya : "Kakak, kau
mengawasi saja padaku, kenapakah ?"
Bu Pa menatap, terus dia menghela nafas.
"Adik, kau tak tahukah bagaimana bahayanya keadaanmu
barusan ?" dia balik bertanya.
In Go menggigit bibinya. Ia tunduk. Mukanya pun berubah
merah sampai ke telinganya. Lagi-lagi ia melirik si anak muda.
Bu Pa tetap mengawasi, maka itu sinar empat mata mereka
beradu satu dengan lain. Sinar mata itu jauh lebih berarti dari
pada kata-kata mereka.
Tiba-tiba mereka berdua itu dikejutkan oleh satu suara
merintih. Lantas keduanya menoleh ke arah dari mana suara
itu datang. Maka mereka menoleh ke arah dari mana suara itu
datang. Maka mereka melihat si anak muda yang lagi rebah di
tanah.
"Dia kenapakah ?" tanya In Go kaget, lalu tubuhnya mau
lompat menghampiri.
Bu Pa menarik bajunya si nona.
"Adik masih mau melihatnya ?" tanya. "Dialah seorang hina
dina !"
Suara itu bernada menyesali dan beririh hati.
In Go menatap anak muda itu.


"Kakak," tanyanya. "kenapa kakak menghina orang ?
Kenapa kakak agaknya sangat membenci pemuda itu ?"
Bu Pa membuka matanya lebar-lebar, dari mulutnya
terdengar suara tawar "Hm !"
"Kau tak tahu, adikku," sahutnya kemudian. "Hampir saja
kau bercelaka ditangannya sebab lenyapnya kesucian dirimu !"
Bu Pa bicara terus, menuturkan apa yang ia saksikan
perihal gerak geriknya si anak muda, yang mau merusak
kehormatannya si nona.
Mukanya In Go menjadi merah, hatinya pun memukul
keras. Di luar dugaannya, segala perbuatannya si anak muda,
segala gerak geriknya sendiri telah terlihat gurunya serta
kakak seperguruannya itu.
Bu Pa melihat kekasih itu malu sekali. Lantas ia menghibur
: "Tak usah kau bersusah hati, adik. Dia pun telah seperti
selaruh diantara api, jiwanya tinggal sekali hembusan
saja......."
In Go mengawasi kakak seperguruan itu dengan matanya
dibuka lebar.
"Kakak" tanyanya, "apakah dia tak sanggup melawan kakak
dan telah terluka parah ?"
Bu Pa tertawa, agaknya dia puas.
"Dia terkena beberapa batang jarum beracun." sahutnya.
"Dia bersuara itu tentu disebabkan racunnya jarum sedang
bekerja."


Si nona tampak kurang puas, matanya berkesip beberapa
kali.
"Kakak, tahukah kakak siapa dia itu ?" kemudian dia tanya.
Bu Pa melihat sikapnya si nona, ia merasa tak enak hati. Ia
pun berpikir : "Aneh adik ini ! Dari ancaman maut aku
menolongnya, tak juga dia menghaturkan terima kasih
padaku.... Kenapa dia justru prihatin terhadap manusia rendah
itu ?" Tapi dia toh menjawab kekasihnya itu.
"Kau tahu dia siapa, adikku ?" demikian tanyanya. "Dialah
Gak Hong Kun muridnya Im Ciu It Mo ! Dia tampan tetapi
hatinya busuk seperti racun...."
"Eh, kakak !" si nona menyela kata-kata orang. "Kakak,
kaulah seorang laki-laki sejati. Kenapa kau bicara seperti
perilakunya seorang wanita ?"
Bu Pa tertawa terpaksa.
"Itulah hal yang harus ditanyakan kepada kau sendiri,
adik." sahutnya. Lalu ia mengangkat kepalanya dan menarik
nafas perlahan.
In Go tertawa.
"Ah, kakak kau aneh !" katanya, manis. "Kakak, kau jenaka,
kau pun harus dikasihhani !"
Tapi si anak muda kata sungguh-sungguh : "Adik, hatimu
telah berubah ! Kau telah melupakan hari kita dulu-dulu !"
In Go tertawa terus sampai terpingkal-pingkal. Kemudian ia
mendelik pada si pria.


"Tolol !" katanya keras. "Jangan jadi tolol ! Jangan kau
memikir terlalu banyak ! Apakah kau sangka aku In Go
seorang wanita yang mudah berubah hatinya ?"
Bu Pa memperlihatkan wajah dingin, sebisa-bisa ia
mengendalikan hatinya yang panas. Kata dia : "Adik, suaramu
manis didengarnya, tetapi hatimu...." Tiba-tiba ia berhenti di
tengah jalan.
In Go tertarik kata-kata pemuda itu, lenyap tawanya.
Sebaliknya, dengan jari tangannya ia menekan dahi orang,
sembari menggertak gigi ia kata : "Siapa suruh apa yang kau
katakan , kau anggap seperti tidak ada..."
"Kapan aku berbuat demikian, adik ? Thian menjadi
saksinya...."
"Tapi cobalah kau pikir-pikir !" kata si nona.
Bu Pa berdiam, otaknya bekerja. Akhirnya ia kata : "Adik,
jangan kau bergurau pula padaku ! Asal hatimu tidak berubah,
bersedia aku andiakata kau menitahkan aku naik ke langit
atau masuk ke dalam tanah !"
Si nona mengawasi.
"Aku bukannya mau menyuruh kau naik ke langit atau
masuk ke dalam bumi !" katanya manja. "Buat apa melakukan
sesuatu sesukar itu ? Asal kau buktikan kata-katamu dan
memberi itu suatu wujud, itu sudah cukup ! Itu saja akan
menjadi tanda kasihmu padaku !"
Bu Pa mencekal keras tangan si nona. Dia nampaknya
Bingung, hatinya tegang.


"Jangan main teka teki, adik." katanya perlahan. "Tak
dapat aku menerkanya. Coba kau memberikan penjelasan
padaku."
In Go menatap muka orang, terus dia tertawa.
"Itulah musuhnya Tio It Hiong !" katanya kemudian. "Kalau
kau benar mencintai aku, kenapa kau melupakan itu ?"
Mendengar itu, barulah Bu Pa sadar. Dahulu pernah satu
kali, selagi keduanya berlatih silat, mereka berjanji buat nanti
sehidup semati. Dan ketika itu In Go sembari bergurau
mengasi tahu si anak muda kalau dia sudah memiliki
kepandaian sebagai Tio It Hiong dan dapat mengalahkan
pemuda she Tio itu, baru ia -- si pemudi -- sudi menyerahkan
diri pada si pemuda, buat mereka berdua menjadi pasangan
suami istri. Bu Pa telah memberikan janjinya, hanya
kemudian, dia telah melupakan itu sampai sekarang dia
ditegur sang kekasih !
Satu hal harus dijelaskan, Bu Pa dan In Go belum pernah
merantau. Maka itu tentang namanya Tio It Hiong mereka
cuma mendengar orang buat sebutan, orangnya sendiri belum
pernah mereka menemui atau melihatnya. Laginya, tanpa
sebab musabab, tak ada alasannya buat Bu Pa mencari It
Hiong guna mengadu kepandaian kecuali dia mencari alasan
yang dibikin-bikin. Siapa tahu sekarang, si adik ingin dia
membuktikan janjinya itu. Dan justru ditimbulkan di saat si
nona habis bertemu dengan Tio It Hiong palsu !
Bu Pa tahu benar tabiatnya sang adik seperguruan yang
keras dan sukar buat ditundukkan. Tapi dia pun cerdas. Justru
Hong Kun merintih itu, justru dia mendapat suatu akal.


Jilid 56
"Adik", katanya sambil dia menunjuk pemuda itu, "kau lihat
dia ! Nah, inilah harinya yang aku akan mewujudkan katakataku
dahulu hari itu !"
"Hus !" bentak si nona. "kau mengaco belo !"
"Eh, eh," kata Bu Pa, "kalau kau tidak merasa pasti, pergi
kau tanya suhu ! Tadi dia ini sendiri yang menyebut Tio It
Hiong !"
In Go menarik tangannya, dia menunjukkan tampang tidak
puas.
"Kenapa tadi kau menyebut dia dia Gak Hong Kun ?"
tanyanya.
Bu Pa berdiam hingga sekian lama.
"Mungkin dia mempunyai dua nama," sahutnya kemudian.
"Satu Gak Hong Kun dan satu lagi Tio It Hiong ......."
In Go mencibirkan mulutnya. Ia tidak mengatakan sesuatu
lagi pada kakak seperguruannya itu hanya segera menoleh.
"Suhu !" panggilnya kepada gurunya.
Ketika itu hari mendekati magrib, uap mulai tampak di
empat penjuru jagat. Rimba sudah mulai gelap.
Sia-sia saja In Go memanggil gurunya, gurunya tidak
tampak. Jawabannya tidak terdengar, ketika ia mengulangi


memanggil beberapa kali tetap tanpa penyahutan dari
gurunya, ia lantas bertindak pergi untuk mencari.
Gwa To Sin Mo sebenarnya tidak pergi kemana-mana, dia
membiarkan murid-muridnya itu, dia sendiri bercokol diatas
pohon sambil bersemadhi, tetapi tak lama, In Go dapat
mencarinya. Maka ujung bajunya ditarik-tarik, dia dikasihh
bangun oleh muridnya itu, yang dengan manja berkata
padanya : "Suhu, mari lekas ! Mari memberikan keputusan adil
kepada muridmu......."
"Ah, anak tolol !" berkata guru itu tertawa. "Mengapa masih
rewel saja ? Sekarang langit sudah gelap, mari lekas kita
pulang !"
In Go tidak menghiraukan kata-katanya guru itu, dia
bahkan menariknya, untuk kemudian menunjuk Hong Kun, dia
berkata : "Suhu, siapakah namanya orang ini ? Aku minta
suhu menjadi saksi !"
Sin Mo mengawasi si anak muda. Ia tidak tahu kedua murid
itu rewel di dalam urusan apa, lantas ia menjawab dengan
seenaknya saja : " Dia pernah menyebut namanya yaitu Tio It
Hiong..."
"Nah, adik, kau telah dengar, bukan ?" Bu Pa menyela,
tampangnya sangat girang. "Dia memangnya Tio It Hiong !"
Si nona membanting-banting kakinya.
"Aku tidak mau mengerti !" katanya, manja. "Suhu, suhu,
kenapa suhu membantu kakak ?"
"Hus, jangan bingung !" bentak si guru. "Mungkin orang ini
tengah memalsukan diri."


"Suhu !" berseru Bu Pa. "Suhu, jangan suhu sembarang
mengatakan !"
"Nah, kakak, kau dengar tidak ?" In Go menyela. Dia
tertawa. "Kata suhu dialah si orang palsu!"
Bu Pa melengak. Lantas dia mengawasi gurunya, untuk
bertanya : "Suhu, entah dialah Gak Hong Kun atau sebaliknya
Tio It Hiong yang menyaru menjadi Gak Hong Kun ?"
"Suhu berkata apa yang benar," In Go menyela pula, "maka
itu, tak usah kita saling membantah lagi !"
"Nampaknya dia bakal kehilangan jiwa...... " kata sang
guru.
"Suhu !" Bu Pa kata, bingung, "suhu, tolonglah bilang,
sebenarnya dia ini menyamar menjadi siapa ?"
Sang guru tertawa.
"Dua-dua ada kemungkinannya !" sahutnya. "Buat apa kita
perdulikan dia !"
In Go mengawasi gurunya. Terang guru itu pun ragu-ragu.
Kemudian ia menoleh ke lain arah, mulutnya bungkam. Tapi
cuma sejenak, ia menoleh pula, sinar matanya pun memain.
"Suheng !" katanya, pada si kakak seperguruan, "aku
mempunyai satu pikiran....."
"Apakah itu ?" tanya sang suheng cepat.


In Go menghampiri, tangannya merogoh sakunya dari
mana terus ia menarik keluar sebuah peles kecil yang isinya
tiga butir yang warnanya berlainan. Ia menuang
mengeluarkan itu, buat terus dijejalkan ke dalam mulutnya It
Hiong, tubuh siapa ia angkat bangun berduduk, kemudian ia
meneruskan mencabut jarum beracun yang nancap di
bahunya orang itu.
Kemudian lagi, sembari bangkit berdiri si nona memandang
Bu Pa dan tertawa. Katanya : "Aku memberikan dia obat
pemunah racun. Aku juga mencabut jarumnya. Itulah ada
faedahnya buat dia ! Kakak, tahukah kau maksudku berbuat
begini ?"
Hatinya Bu Pa tak mengasih menyaksikan pacarnya itu
mengobati si pemuda. Akan tetapi karena ia menyayanginya,
ia mencintai nona itu, tak mau ia membuat orang mendongkol
dan bergusar. Maka ia membiarkan saja. Sekarang ia ditanya,
itulah sangat menyulitkan padanya. Ia tidak dapat menerka
maksudnya si nona itu. Namun dia ditanya, terpaksa ia
menjawab sekenanya saja : "Mungkin kau, adikku, kau....."
"Jangan sembarang bicara !" In Go menyela. "Baik, mari
aku beritahukan ! Aku mengobati dia supaya dia mendusin
dan sadar, lalu kita tunggu sampai dia pulih seperti biasa.
Setelah itu, aku ingin kau, kakak, menempur dia !"
Bu Pa mementang lebar matanya.
"Apakah yang hendak diadu pula ?" tanyanya heran. "Aku
toh telah menghajarnya hingga kalah?"
In Go memperlihatkan wajah sungguh-sungguh, matanya
menyilak.


"Melukai orang dengan senjata rahasia, itulah bukan
perbuatan secara laki-laki !" katanya sungguh-sungguh.
"Dengan caramu itu kau merebut kemenangan, itulah yang
paling aku tak sukai !"
Di dalam hati, Bu Pa ragu-ragu. Tadi pun, selagi menempur
si anak muda, ia merasa orang lihai sekali. Tak ada kepastian
baginya untuk memperoleh kemenangan dengan mudah.
Sekarang timbulnya soalnya In Go ini. Maka ketika ia berkata
pula, ia bicara secara menyimpang. Katanya : "Janji kita
bukankah janji asal aku dapat mengalahkan Tio It Hiong !
Benar, bukan ?"
In Go mengangguk.
"Tidak salah !" sahutnya lantas.
"Nah, sekarang tinggal soalnya !" kata Bu Pa. "Orang ini
benar Tio It Hiong atau bukan ! Suhu sendiri tak dapat
memastikannya. Maka itu aku pikir, baik kita tungguh sampai
dia siuman. Baru kita tanya tegas padanya dia sebenarnya
siapa ! Setelah itu masih ada waktu buat aku menguji
kepandaiannya......."
In Go mengawasi kawannya dengan dia mementang mata
lebar-lebar. Dia berpikir. Kemudian dia bersenyum.
"Kakak, kenapa kau memikir banyak begini ?" katanya.
"Apakah mungkin kau pun mendusta waktu kau mengatakan
kau mencintai aku ?"
Bu Pa melengak. Dia bingung.


"Jangan salah mengerti, adik !" katanya. "Dapat aku
membelek dadaku buat aku mengasi lihat hatiku padamu !
Adik, aku harap kau menjunjung cinta kasih kita berdua......."
In Go tunduk.
"Cinta kasih kita berdua........" katanya perlahan.
"Ya, adik ! Apakah adik memandang itu hanya main-main
saja ?"
"Bukan begitu, kakak." kata si nona. "Selama kedua orang
pria dan wanita belum menikah, cinta kasih diantara keduanya
adalah hal mengasi dan menerima bersama. Benar begitu,
bukan ?"
"Ah, kembali adik main-main !"
"Bukan, kakak ! Aku hanya ingin bicara jelas. Bukankah
dalam keadaan seperti kita sekarang, kaulah pihak yang
meminta dan aku pihak yang menerima ?"
Bu Pa mengawasi. Ia sungguh tidak mengerti. Mau apa
kekasih ini. Apakah yang dikandung di dalam hatinya.
Karenanya, tak berani ia sembarang memberikan jawabannya.
Lewat sejenak, In Go berkata pula : "Kakak, kau harus
membedakan kedudukan meminta dan menerima. Itulah
mengasi dan memberikan. Kita harus sama-sama saling
mengetahui keadaan masing-masing. Buat minta cinta kasih
seorang nona, kau harus mendengar kata-kata oarng, kau
harus membuat hati orang senang ! Tahukah kau artinya itu
?"


Bu Pa kata di dalam hatinya, "Hm, kiranya dia mau tunduk
di bawah pengaruhnya ! Keadaan tapinya adalah sedemikian
rupa......" Karena ini, ia lantas menjawab : "Adik, kau benar !
Nah, kau bilanglah, bagaimana kehendakmu !"
Alisnya In Go bangkit.
"Kata-kataku ialah perintahku." sahutnya. "Jika kau memikir
tentang cinta, kau harus mendengar kata......"
Justru si nona baru berkata sampai disitu, kata-katanya
disela Gak Hong Kun yang tiba-tiba mengeluarkan suara
tertahan. Kiranya dia sadar terus hendak tumpah-tumpah, lalu
dia memuntahkan ilarnya. Habis itu dia menghela nafas
panjang.
Tatkala itu sang malam telah tiba dan si puteri malam
sudah muncul. Di antara cahaya rembulan, In Go melihat
Hong Kun mendusin untuk terus bangun duduk.
Melihat pemuda itu siuman, Bu Pa ingat kepada janjinya
pada In Go, maka lantas ia kata : "Adik, dia sudah sadar. Coba
kau suruh dia bangun. Buat dia mengadu silat denganku !"
In Go mengangguk.
"Nah, ini barulah tandanya kau mencinta !" katanya,
tertawa, terus dia bertindak menghampiri si orang muda untuk
berkata : "Tio It Hiong, aku telah memberikan kau obat serta
mencabut jarum beracun dari tubuhmu. Itu artinya aku telah
membantu jiwamu. Maka buat itu, kau harus mengucap
terima kasih padaku ! Kau bangunlah !"


Hong Kun mengangkat kepalanya, sinar matanya tolol. Ia
mengawasi si nona. Ia tidak kata apa-apa. Ia pun tidak
bergerak sama sekali.
"Orang bertabiat keras !" kata si nona. "Kau bangunlah !
Nonamu hendak bicara denganmu !"
Hong Kun bagaikan mendengar dan tidak mendengar. Ia
duduk diam saja.
In Go heran. Ia menjadi tidak senang. Ia angkat kakinya
dan mendupak perlahan pada paha orang.
"Bangun !" bentaknya.
Hong Kun tetap tidak bangun. Ia cuma mengusut-usut
pahanya itu.
"Bangun !" si nona membentak pula. "Bangun !"
Percuma In Go memperdengarkan suaranya itu berulangulang.
Hong Kun tetap duduk diam saja. Maka makin panaslah
hatinya. Lantas ia berpaling kepada Bu Pa.
"Kau lihat, kakak." katanya. "Dia berpura-pura atau
tubuhnya belum bersih seluruhnya dari racun ?"
"Dia tidak mau berkata terima kasih kepada kau, adik."
kata si kakak seperguruan. "Dia juga tak mau mendengar kata
terhadapmu. Menurut aku, kita bereskan saja padanya. Habis
perkara !"
Bu Pa berkata dengan terus bekerja. Dengan tangannya,
dengan satu pukulan Ngo Han Ciang, ia lantas menghajar ke
arah ubun-ubun Hong Kun.


Anak muda itu melihat serangan, sewajarnya saja ia
berlompat bangun dan menangkis, tetapi karena tangkisannya
itu, tubuhnya terhuyung, terus ia jatuh pula, jatuh duduk !
Hong Kun bukannya tidak menghiraukan si nona,
sebenarnya dia belum bersih seluruhnya dari sisa pengaruh
racunnya jarum. Sebab kebetulan sekali, racun itu bekerja
sama dengan sisanya Thay-siang Hoan Hun Tan. Maka dia
kembali kepada keadaannya tak sadar seperti semula.
Bu Pa heran. Tapi ia tetap berpikir, bukankah lebih baik ia
binasakan saja pemuda itu ? Bukankah In Go pun telah
merasa tidak puas ? Dengan begitu, ia pun jadi bertinak
menuruti keinginannya si nona. Maka ia maju pula sambil
menyerang lagi.
Masih sempat Hong Kun menangkis serangan yang ia dapat
lihat. Habis menangkis, kembali ia jatuh duduk.
Menyaksikannya keadaannya si anak muda, In Go heran.
"Tahan, kakak !" serunya.
Bu Pa mengawasi si nona.
"Kau hendak menarik perintahmu, adik ?" tanyanya. Dia
agak girang.
"Bukan !" sahut si nona yang menggelengkan kepalanya.
"Aku hendak melihat dahulu padanya!" Dan lantas ia
mengawasi si anak muda.
Hong Kun bermandikan peluh pada dahinya dan sinar
matanya tolol sekali.


"Aneh !" pikir si nona. "Dia telah diberi obat, kenapa dia
masih belum sadar seluruhnya ? Apakah mungkin jarum kakak
telah dipakaikan lain racun ?" Maka ia menoleh pada kakak
seperguruan itu seraya berkata : "Kakak, mari obat
pemunahmu !"
Bu Pa tidak mau menentang adik seperguruan itu. Ia
berikan peles obatnya, walaupun demikian ia toh menanya :
"Kau hendak bikin apa, adik ?"
In Go menyambuti peles, ia buka tutupnya dan menuang
isinya ke dalam tangannya. Lalu ia periksa obat itu, memeriksa
berulang-ulang, setelah mana ia kata dingin : "Ah, kiranya
suhu pun bisa menyimpan sesuatu. Dia berat sebelah
terhadapmu, kakak !"
Bu Pa heran.
"Jangan sembarangan omong, adik !" katanya mencegah.
Terus dia berpaling ke arah gurunya. Khawatir guru itu
mendengar perkataan adik seperguruan itu.
In Go melengak melihat kelakuan kakak itu.
"Kau takut apa ?" katanya. "Akan aku beri dia obatmu ini,
kakak. Hendak aku lihat bagaimana hasilnya !" Terus dia
menuang tiga butir obat yang semua berlainan warnanya.
Obat selebihnya, ia angsurkan pada kakak seperguruannya itu.
Setelah itu ia bertindak menghampiri Hong Kun, guna
memberi makan obat itu.
Tiba-tiba saja, berbareng dengan itu terdengar batuk-batuk
dari Gwa To Sin Mo yang terus berkata : "Ah, anak tolol !
Mana dapat gurumu berlaku berat sebelah ? Sudah, jangan


kau sia-siakan obat pemunah itu yang dibikin dengan sangat
bersusah payah !"
Sembari berkata begitu, guru itu bertindak perlahan
menghampiri.
In Go terperanjat. Ia menghentikan tindakannya. Ia
khawatir gurunya itu gusar.
Lantas Sin Mo berkata pula, dengan suara dan sikapnya
yang sungguh-sungguh : "In Go, kau sudah tidak kecil lagi.
Jika kau bicara, kau berlakulah hati-hati !"
Cepat-cepat si murid menjura.
"Tak berani aku, suhu !" katanya.
Bu Pa khawatir adik dimarahi atau dihukum. Ia
menghampiri, sembari tertawa ia kata pada gurunya : "Suhu,
anak muda itu aneh sekali ! Dia sudah diberi makan obat
tetapi dia masih tetap tolol ! Coba suhu periksa, apakah dia
bukan lagi berlagak pilon ?"
Sang guru agak heran.
"Nanti aku lihat !" katanya.
Mendadak saja Sin Mo berlompat pada si anak muda,
sebelum si orang sempat berdaya, ia sudah menotok jalan
darah hek-tiam, atas mana Hong Kun terus rebah tetapi
mulutnya tidak memperdengarka sepatah kata juga.
Dengan kedua tangannya, Sin Mo lantas mengusap-usap
sekujur tubuh orang, buat mencari sesuatu. Di akhirnya, ia
menekan jalan darah Pek-hiat yang mana dilakukan beberapa


kali. Kemudian ia berbangkit sambil memperdengarkan tawa
dingin.
"Suhu, dia kenapakah ?" tanya In Go heran.
"Dia pandai berpura-pura. Tak nanti dia dapat mengelabui
suhu !" kata Bu Pa.
Masih Sin Mo menepuk-nepuk tubuh Hong Kun, membuat
orang tetap rebah. Setelah itu, dia bertindak kepada muridmuridnya
seraya berkata : "Di dalam tubuhnya pemuda ini
masih mengeram sisa racun. Itulah yang menyebabkan dia tak
sadar. Racun itu bukannya racun yang dapat disembuhkan
oleh obat kita....."
"Heran !" kata In Go. "Tadi, sebelum dia terkena jarum, dia
sehat seperti kita. Kenapa sekarang dia jadi begini ?"
Habis berkata, nona itu tunduk dan mukanya merah.
Mendadak ia ingat lakon berguraunya dengan Hong Kun tadi.
Ia menjadi malu sendirinya.
"Pengetahuan kalian tentang racun masih sangat dangkal."
berkata guru itu kemudian. "Kalian pasti tak dapat melihat.
Racun itu racun istimewa untuk mengekang urat syaraf orang
! Tidak salah, ini pasti buah tangannya Im Ciu si tua bangka !"
Mendengar demikian, Bu Pa lantas berakat : "Dia tak
sadarkan diri. Mana dapat aku menempur padanya ! Taruh
kata aku menang, itulah bukan berarti kegagahan ! Adik,
bukankah benar kata-kataku ini !"
In Go tidak menjawab. Ia tunduk saja.


"Sebenarnya telah aku menang satu kali darinya." kata pula
Bu Pa. "Maka itu, kalau aku menempurnya pula, bukankah
kesudahannya akan sama saja ?"
Dengan kata-katanya itu, ingin Bu Pa membebaskan diri
dari tugas yang diberikan kepadanya oleh In Go, si adik
seperguruan.
In Go membungkam, bahkan ia tak menghiraukan orang.
Tetapi kali ini ia mengangkat kepalanya, akan berkata kepada
gurunya : "Suhu, aku tidak mengerti kenapa obat suhu tidak
mempan terhadap racun dia itu ? Ya, racunnya Im Ciu It Mo !"
Di tanya begitu, Gwa To Sin Mo menunjukkan tampang
bersemangat. Kata dia sungguh-sungguh : "Kalau di dalam
halnya racun Im Ciu It Mo terlebih lihai dari pada aku, kenapa
dia datang ke Tiang Chong Sang memohon bantuanku ?
Mustahil dia nanti minta aku membuatkannya obat Hoa Hiat
Thian-lo ?"
"Benar,suhu !" kata si murid perempuan. "Bagaimana kalau
suhu menolong orang ini, lalu terus suhu menggunakan
tenaganya ? Aku pikir dia dapat dipakai sebagai pengkhianat
terhadap Im Ciu It Mo ! Biar dia mendekam di dalam Bu Lim
CIt Cun ! Aku percaya dengan begitu, suhulah yang bakal
menjadi kepala rimba persilatan !"
Manusia umumnya senang diangkat-angkat. Demikianpun
Gwa To Sin Mo. Dia girang sekali mendengar perkataan
muridnya ini. Lantas dia tertawa dan berkata : "Anak tolol !
Jangan kau memuji aku ! Apakah aku sangka aku tidak tahu
perasaan hatimu ?"
Mukanya In Go menjadi merah. Dia malu sendirinya.
Kembali ia tunduk.


Sinar rembulan memanjang ke mukanya nona ini. Nyata dia
cantik sekali. Tak heran kalau Bu Pa melihat wajah orang,
telah goncang hatinya......
Lewat sesaat, In Go mengangkat kepalanya dan tertawa.
"Suhu, kalau suhu hendak mengangkat diri suhu, sedikitnya
suhu harus perlihatkan kepandaian suhu menggunakan obat
beracun !" demikian katanya.
Sang guru memandang kepada si puteri malam. Ia
berdiam, hatinya bekerja. Lewat sesaat, ia kata perlahan :
"Selaksa aliran air, sumbernya ialah satu ! Demikian juga,
seratus macam racun asalnya satu saja !"
Berkata begitu, guru ini merogoh ke dalam tangan bajunya.
Ia mengeluarkan setangkai pohon obat ban-lian cie-cie. Ia
kepal remuk sedikit kemudian ia keluarkan sebutir pil merah
yang ia terus aduk dengan remasan itu hingga keduanya
menjadi serupa bubuk. Dengan tangannya sendiri, ia terus
masuki obat itu ke dalam mulutnya Hong Kun, yang rebah tak
berdaya.
In Go heran menyaksikan gerak gerik gurunya itu. Apa
yang ia tahu ialah pil merah gurunya justru pil beracun,
bukannya obat pemunah racun.
"Su... suhu !" serunya kaget. "Suhu kenapa dia dikasih
makan Cek Ang Tan Wan ?"
Cek Ang Tan Wan itu adalah namanya pil merah itu.


"Anak tolol !" sahut sang guru, tertawa. "Gurumu tahu apa
yang dia lakukan ! Aku mempunyai caraku sendiri ! Kau lihat
selewatnya satu jam, kesadarannya orang ini akan pulih !"
Terus si guru pergi ke batu besar, akan berduduk di sana.
Bu Pa dan In Go heran sekali. Karena itu mereka mau
menerka mungkin obat guru itu benar mempunyai khasiat
istimewa, bisa untuk melawan racun...... Mereka berdiam
tetapi sering mereka saling mengawasi dan mengawasi juga
guru mereka..........
Bulan purnama ketika itu sedang indahnya dan suasana
rimba tenang sekali.
Tanpa merasa, satu jam telah berlalu.
Tepat seperti katanya Gwa To Sin Mo, Hong Kun sadar
setelah lewat satu jam habis dia dikasihh makan obat oleh si
Bajingan Sakti. Obat yang pertama ialah ban-lian cie-cie yang
telah dicampur menjadi satu dengan Cek Ang Tan Wan.
Benar-benar obat istimewa itu berhasil menumpas
kejahatannya Thay-siang Hoan Hun Tan. Selekasnya sisa
racunnya si Bajingan Tunggal musnah, dia tersadar. Pulih
kesehatannya seperti sedia kala. Matanya menjadi bersinar
tajam, semangatnya terbangun. Selekasnya dia menggerakkan
pinggangnya, lantas saja dia bangun berdiri !
In Go yang melihat paling dahulu, sebab dia selalu
memasang mata.
"Tio It Hiong !" segera ia memanggil "Tio It Hiong,
sadarkah kau ?"


Hong Kun menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia
melihat tak jauh dari tempatnya berdiri sepasang muda mudi
yang wajahnya ia seperti pernah mengenalnya. Hanya ketika
itu, tak dapat ia segera mengingatnya. Maka ia terus
mengawasi.
"Jiwie, siapakah kalian ?" tanyanya sambil memberi hormat.
Bu Pa dan In Go melengak sejenak tetapi lekas-lekas
mereka membalas hormat.
Lantas Hong Kun bertindak menghampiri. Masih ia
mengawasi muda mudi itu sebelum ia tertawa dan kata :
"Jiwie, agaknya aku mengenali kalian ? Harap dimaafkan yang
aku suka lupa. Tak ingat aku dimana kita pernah bertemu satu
dengan lain......Sukakah jiwie memberi keterangan paadku ?"
Dalam syarafnya sadar seperti itu, muridnya It Yap Tojin
dapat bicara dengan rapi. In Go menjawab cepat : "Inilah Bu
Pa, kakak seperguruanku. Kakakku ini pernah bertemu
denganmu di Tiam Chong San. Aku sendiri In Go. Akulah yang
baru tadi bertemu denganmu disini !"
Tak berani In Go bicara lebih banyak. Sebab ia kuatir
pemuda itu nanti menimbulkan urusan mereka tadi di dalam
rimba.
"Oh, kiranya kakak Bu Pa bersama nona In Go !" kata Hong
Kun hormat. "Maaf, maafkan aku !"
Bu Pa mengawasi.
"Saudara, apakah kau saudara Gak Hong Kun ?" tanyanya
sengaja.


"Benar !" sahut Hong Kun cepat.
In Go tampak heran.
"Eh, eh, apakah kau bukannya Tio It Hiong ?" tanyanya.
Hong Kun melengak sejenak. Segera ia ingat yang ia
tengah mainkan peran sebagai Tio It Hiong, si saingan dalam
medan asmara. Lekas-lekas dia tertawa dan kata : "Ruparupanya
jiwie juga kena dipermainkan oleh Gak Hong Kun !
Jahanam itu telah menyamar sebagai aku, dimana-mana dia
melakukan kejahatan. Maka itu aku tengah mencarinya.
Karenanya, setiap sahabat Kang Ouw menyebut diriku Gak
Hong Kun, aku mengiakan saja. Dengan itu kuingin supaya
mudah aku mencari jahanam itu !"
Dengan kata-katanya ini, Hong Kun hendak memperbaiki
penyahutannya tadi terhadap Bu Pa, supaya pemuda itu tidak
ragu-ragu lagi.
"Maafkan aku, saudara Tio." kata Bu Pa. "Aku tidak tahu
yang saudara tengah menderita kesulitan itu !"
In Go pun girang sekali. Ia tertawa dan kata : "Harap kau
maafkan kelancangan kami ini."
Lantas Hong Kun menunjuki sikap yang gagah.
"Jangan mengatakan demikian, nona In." katanya sembari
tertawa. "Namaku yang tidak berarti itu disebabkan
kebaikannya para sahabat yang memberi muka terang
padaku. Nona, sekarang ini tak berani aku bertanding pula
dengan kakak seperguruanmu."


In Go melirik manis. Kata dia tertawa : "Kita sudah
mengikat perasahabata, sebagai sahabat-sahabat tidak ada
halangannya kita melatih diri. Lagi pula....."Ia terus menatap
dan sengaja menunda kata-katanya selanjutnya.
Hong Kun tertawa.
"Mengapa kau tidak bicara terus, Nona In ?" tanyanya
manis. "Apakah maksud nona ? Aku tolol sekali, aku tidak
mengerti. Maka itu aku mohon nona tolong jelaskan......"
"Adikku hendak mengatakan........." Bu Pa campur bicara.
Dengan adik ia artikan adik seperguruan wanita.
"Ah, kakak !" In Go menyela kakak seperguruannya itu.
"Aku......." Ia terus menoleh pada Hong Kun atau It Hiong
palsu, untuk menambahkan : "Saudara Tio, kau telah orang
bikin secara diam-diam ! Di dalam tubuhmu telah mengeram
racun yang berbahaya, yang membuat ingatanmu tidak sadar
seluruhnya. Rupanya kau tak mengetahuinya, bukan ?"
Hong Kun menunjuki tampang kaget dan heran.
"Bagaimana kau ketahui itu, nona In ?" tanyanya.
In Go memperlihatkan tampang puas. Dia tertawa.
"Guru kami menjadi ahli racun ! Orang Kang Ouw siapakah
yang tak kenal nama termashurnya?" katanya. "Racun di
dalam tubuhmu, saudara Tio, mana dapat lolos dari
pandangan matanya ?"
Hong Kun ragu-ragu.


"Entah tubuhku telah terkena racun apa ?"tanyanya.
"Tahukah kau, nona In ?"
In Go menunjuki tampang puas. Hanya kali ini dia menahan
untuk tertawa.
"Tapi kau jangan khawatir, saudara Tio !" katanya
kemudian. "Racun di dalam tubuhmu telah dibersihkan oleh
guruku !"
Hong Kun heran, ia berpikir keras. Bukankah mereka
berdua pihak tidak mengenal satu dengan lain dan tanpa budi
juga, bahkan bertemunya baru kali ini ? Kenpa orang sudah
lantas membantu, membebaskannya dari sisa racun ?
"Siapakah guru kalian itu, Nona In ?" tanyanya kemudian.
"Aku telah ditolongi, ingin aku menemuinya guna
menghaturkan terima kasih......"
Si nona melirik.
"Nama guruku itu, sudah aku beritahukan !" sahutnya.
"Coba kau ingat-ingat, akan kau ketahuinya. Sebentar, habis
kau berlatih dengan kakakku ini, baru kau menemui guru
kami."
It Hiong palsu heran sekali. Tak dapat ia menerka maksud
orang ! Kenapa dia seperti dipaksa untuk main-main dengan
Bu Pa ? Tapi ia lekas mengambil keputusan. Ia memberi
hormat dan berkata : "Baiklah, aku yang muda akan
menerima perintah. Silahkan saudara Bu Pa maju !'
Lantas pemuda itu lompat keluar dari dalam rimba akan
pergi ke tanah datar itu.


Bu Pa menyambut dan terus menyusul. Ia tahu,
pertandingan ini akan menentukan soal cinta kasihnya dengan
In Go.
Lantas keduanya berhadapan. Lantas mereka mulai
bertempur. Di sisi mereka, In Go berdiri menonton. Hatinya
puas.
Bu Pa bersilat dengan ilmu Ngo Heng Ciang ajaran gurunya
Gwa To Sin Mo dan Hong Kun dengan ilmu Tauwlo-ciang dari
Im Ciu It Mo. Ia tidak menggunakan ilmu pedang Heng San
Pay. Hanya menggunakan Tauwlo-ciang, ia kurang kemahiran.
Tidak demikian dengan Bu Pa. Sebaliknya, sebagai murid
Heng San Pay, ia memiliki kelincahan dan telah
berpengalaman. Hingga ia menjadi menang unggul.
Bu Pa ingin merebut kemenangan. Ia berkelahi dengan
keras. Karenanya, Hong Kun melayani dia dengan kecerdikan.
Namanya berlatih tetapi sebenarnya itulah pertempuran
mati atau hidup, hingga kesudahannya terjadilah pertandingan
diantara ilmu Ngo Heng Ciang dari Gwa To Sin Mo melawan
Tauwlo-ciang dari Im Ciu It Mo merangkap Keng Sin Kang,
ilmu ringan tubuh Heng San Pay. Di bawah sinar rembulan,
bayang kedua orang bergerak-gerak luar biasa cepat dan
anginnya bersiur-siur. Menarik hati untuk ditonton.
Sejak dia muncul dalam dunia Kang Ouw, baru kali ini In
Go menyaksikan pertempuran demikian hebat. Sudah matanya
berkunang-kunang dan hatinya pun berdebaran, dan beberapa
kali dia hampir menjerit kaget disebabkan menyaksikan
pukulan-pukulan yang membahayakan. Sekarang ia menjadi
bersangsi, siapa yang ia harapkan akan menang.........


Di atas batu, Gwa To Sin Mo terus duduk beristirahat. Dia
juga kena terganggu suara berisiknya pertempuran. Sang
angin pun membuat dedaunan rontok yang pada terbang
berhamburan. Saking tak dapat menguasai diri lagi, ia
membuka matanya, hingga ia pun menyaksikan pertempuran
itu. Sendirinya ia bertindak maju, akan mencari tahu siapa
yang lagi bertarung itu.
Pertarungan berlangsung terus. Kedua pemuda sekarang
mempunyai pikirannya sendiri-sendiri. Bu Pa hendak merebut
kemenangan guna merebut sekalian cinta adik
seperguruannya. Dan Hong Kun mau melindungi nama baik
perguruannya.
Lama-lama Bu Pa menjadi penasaran. Ia ingin sekali
menang. Maka itu ia lantas ingat senjata rahasianya, jarum
beracun. Di lain pihak, Hong Kun juga ingat ilmu pedangnya
hingga ia berpikir buat apa ia membuat pertempuran berteletele.......
Hanya di dalam keadaan mendesak itu, belum ada
kesempatannya akan kedua belah pihak mewujudkan apa
yang mereka masing-masing pikir. Mereka lagi repot dengan
pelbagai penyerangan dan penangkisan, sebab siapa ayal atau
lalai, dia akan bercelaka......
Sementara itu, perlahan-lahan keduanya mulai merasa
letih. Mereka telah menguras tenaga mereka. Lantas juga dahi
mereka mengeluarkan peluh dan nafas mereka mulai
terengah.
In Go melihat dan memperhatikan, baru sekarang timbul
rasa cemasnya. Ia tidak menyangka bahwa orang berlatih
sedemikian rupa. Sekarang ia merasa menyesal yang tadi ia
tidak memikir lebih jauh.


Gwa To Sin Mo mengawasi tajam. Ia melihat bahwa
tenaganya kedua orang itu bakal lekas habis. Itu berarti, duaduanya
mereka akan bercelaka bersama. Tentu sekali ia
menyayangi muridnya, yang ia telah didik bertahun-tahun dan
tak sudi ia si murid mati konyol. Siapa nanti mewarisi
kepandaiannya ? Di lain pihak lagi, ia tertarik kepandaiannya
Hong Kun dan menyayangi kepandaiannya anak muda itu.
Bahkan ia memikir juga akan membersihkan racun dari
tubuhnya anak muda itu.......
Adalah luar biasa yang Sin Mo dapat berpikir demikian.
Pertanda dari munculnya liangsim, kesadaran hati nuraninya
sebagai manusia sejati. Sedangkan tadi-tadinya dialah si
Bajingan kejam tak kenal perikemanusiaan........
Selagi pertempuran berlangsung terus, nafasnya kedua
orang itu bekerja makin keras. Dari hanya terengah-engah,
nafas mereka itu mulai memburu.
Tepat disaat genting itu, mendadak Gwa To Sin Mo
memperdengarkan seruan geledeknya : "Tahan !" Maka
berkumandanglah gemuruh suaranya itu hingga burungburung
kaget dan beterbangan sambil bercowetan berisik !
Perintah itu ditaati kedua orang yang lagi mengadu jiwa itu,
keduanya terperanjat dan berlompat mundur masing-masing.
Tubuh mereka terus terhuyung-huyung, akan akhirnya samasama
jatuh terduduk. Nafas mereka mendesak.
"Lekas tolong mereka !" Sin Mo menitahkan In Go kepada
siapa ia memberikan dua butir obat pulungnya Kiu Coan Siok
Beng Hoan Hun Tan, atas mana si murid wanita lantas bekerja
dengan cepat. Dia menjejalkan masing-masing mereka itu
sebutir pil seraya terus memesan mereka untuk beristirahat.


"Kenapa mereka bertempur ?" tanya Sin Mo kepada In Go
sesudah ia mengawasi muridnya itu.
Sang murid tidak menjawab, sebaliknya dia menangis. Baru
saja dia berhasil menenangkan diri atau datanglah pertanyaan
sulit itu. Dasar dia manja, lantas dia melempar diri jatuh dalam
rangkulan gurunya sambil terus menangis sedu sedan........
Si Bajingan tua heran. Tak tahu dia sebabnya kesedihannya
muridnya itu. Ia mengelus-elus rambut hitam indah si murid,
sikapnya sangat menyayangi.
"Anak Go," katanya sabar. "kau bicaralah ! Kenapa mereka
itu bertempur ?"
Akhirnya In Go mengangkat mukanya, mengawasi sang
guru hingga tampak air matanya masih berlinang-linang dan
kedua belah pipinya pun berpetah dengan air suci murni itu.
"Semua ini karena salahnya muridmu, suhu," sahutnya
kemudian berterus terang. "Akulah yang minta kakak Bu Pa
dan Tio It Hiong bertanding untuk mereka melatih diri, lalu
kejadiannya diluar dugaanku, mereka bertempur matimatian......."
"Hm !" bersuara si guru. "Itukah namanya berlatih ?"
In Go mengangguk.
"Begitulah keinginanku semula," katanya. "Mulanya telah
dijanjikan sampai pada batas saling towel saja......."
"Kemudian nyatanya mereka mengingkari janji, bukan ?"


"Entahlah, hal itu aku tidak tahu."
Gwa To Sin Mo lantas menunjuki tampang gusar.
"Nampaknya inilah gara-garamu, anak nakal !" katanya
nyaring. "Bagus benar perbuatanmu ini! Lekas kau bicara
terus terang ! Atau........"
In Go takut sekali menyaksikan gurunya itu gusar, maka itu
dengan terpaksa ia menuturkan sebab musababnya
pertempuran itu, pertandingan dengan sifat menguji
kepandaian tetapi berakhiran dengan pertempuran sungguhsungguh.
Katanya, ia baru mau menikah dengan kakak
seperguruan kalau kakak itu menang dari Tio It Hiong.....
Mendengar keterangan itu, di dalam hati, Sin Mo berduka
berbareng mau tertawa. Ia mengerti yang murid manja ini
telah terbangun hati kedewasaannya hingga ia mulai
mengenal asmara. Anehnya si murid dapat berpikir mengadu
kedua pemuda itu.
Lantas Sin Mo mengusut-usut janggut kambingnya, dia
tertawa. "Jika kakakmu itu tak dapat mengalahkan lawannya,
habis bagaimana ?" tanyanya.
In Go berbangkit bangun, dengan sapu tangannya ia
menyusut air mata.
"Muridmu tidak mau menikah, suhu !" sahunya. "Kakak
tidak mau menikah juga ! Kami...... kami berdua.... kami mau
mensucikan diri saja !"
Gwa To Sin Mo tertawa bergelak.


"Budak tolol !" katanya. "Pernahkah kau membayangi
bagaimana penderitaannya hidup mensucikan diri akan setiap
waktu duduk bersila saja ? Itulah artinya kesepian....."
In Go membuka lebar matanya menatap gurunya itu. Ia
menggeleng kepala.
"Muridmu tak memikir sampai kesitu, suhu." bilangnya.
"Asal kakak tak dapat melawan Tio It Hiong, kami tidak bakal
menikah. Demikianlah janji kami !"
Sin Mo heran hingga dia melengak. Dia menatap muridnya
itu.
"Tahukah kau jelas siapa Tio It Hiong itu ?" tanyanya.
"Tahukah kau siapa gurunya dan bagaimana lihainya guru itu
? Tahukah kau bagaimana Tio It Hiong dengan sebatang
pedang Ken Hong Kiam sudah mengangkat nama dengan
menggetarkan dunia sungai telaga atau rimba persilatan ?"
Sang murid berdiam saja.
"Tentang kakakmu ini," tambahnya, "dia telah mewariskan
seluruhnya ilmu Ngo Hong Ciang dari gurumu ini. Begitu pun
tenaga dalamnya serta ilmunya menggunakan senjata rahasi
beracun sudah sempurna. Walaupun demikian, dia masih ada
kekurangannya yaitu pengalaman dalam dunia sungai telaga."
"Jika demikian, suhu, kakak tentu akan berhasil
mengalahkan Tio It Hiong ?" si murid menanya menegaskan.
Sang guru bersenyum.
"Kau bicara enak saja, budak !" katanya tertawa.


In Go heran.
"Suhu," tanyanya "tolong suhu jelaskan bagaimanakah
kepandaiannya kakak dibanding dengan kepandaian Tio It
Hiong ?"
"Ilmu silat kakakmu terang bagaikan cahaya kunangkunang
!" sahut guru itu tawar. "Dan ilmu silatnya Tio It Hiong
seperti sinarnya si puteri malam !"
In Go mengira gurunya bergurau.
"Tak kupercaya, suhu !" katanya. "Kenapakah mereka
berbeda demikian jauh ? Namanya Tek Cio Siangjin serta
nama suhu dalam dunia Kang Ouw tak dapat ditetapkan siapa
lebih atas dan siapa lebih bawah. Maka itu mana mungkin
murid-murid mereka dapat dibandingkan dengan sinar
kunang-kunang dan sinar rembulan ?"
Goa To Sin Mo menghela nafas perlahan.
"Perbedaan ilmu silat mereka itu berdua bukan perbedaan
disebabkan guru mereka masing-masing." jelasnya kemudian.
"Seperti tadi aku bilang, Tio It Hiong telah dapat mengangkat
namanya itu disebabkan terutama karena peruntungannya
yang bagus sekali. Karena pengalamannya yang luar
biasa......"
In Go melengak hingga ia berdiam saja.
"Tentang pengalamannya It Hiong itu, gurumu tidak tahu
jelas." Sin Mo menambahkan. "yang pasti ialah, saban suatu
penemuan, kepandaiannya lantas bertambah maju !"
In Go bertambah heran. Dia mengangkat mukanya.


"Suhu, tolong kau jelaskan lebih jauh !" pintanya. "Apakah
penemuannya Tio It Hiong yang luar biasa itu ?"
"Di masa kecilnya dia telah makan darahnya belut emas."
berkata sang guru dengan keterangannya. "Darah itu telah
menambah kekuatan darah dan tenaganya hingga dia menjadi
ulet luar biasa. Sudah begitu, selama di jurang Ay Lao San dia
telah menemui sebuah gua di dalam tanah dimana terdapat
pelajaran rahasia Gie Kiam Sut ilmu pedang terbang
melayang. Kedua penemuan itu saja sudah menjadi
penemuan-penemuan yang langka selama seratus tahun yang
paling belakangan ini !"
"Itulah baru ceritera burung, suhu. Itu tak dapat dipercaya
seluruhnya." kata In Go tertawa. "Dalam dunia Kang Ouw
biasa terjadi orang mengangkat-angkat dan lalu orang turutturutan
seperti orang latah !'
Sin Mo terdiam. Kata-kata si murid memang benar.
"Kau benar juga, muridku." katanya mengangguk.
"Mendengar tak sama seperti melihat dengan mata sendiri.
Benar It Hiong menemukan pelbagai pengalaman, tetapi
semua itu pun masih membutuhkan pengalaman untuk
mencapai batas kemahirannya......."
Mendadak terbangunlah semangat harga diri Gwa To Sin
Mo hingga kepercayaannya atas kegagahannya Tio It Hiong
seperti ia sering dengar menjadi goyah. Bahkan melebih dari
pada itu, timbullah keinginannya akan mengadu Bu Pa dengan
It Hiong, guna memperoleh kepastian........
In Go mengawasi gurunya, hatinya puas. Guru itu telah
kena terpengaruhkan kata-katanya itu.


"Tetapi suhu," katanya kemudian. "Bukankah bukti telah
ada di depan mata ? Bukankah kakak Bu Pa dan Tio It Hiong
sama tangguhnya ?" Dan dia menunjuk pada kedua anak
muda yang masih berduduk mengistirahatkan diri masingmasing.
Gwa To Sin Mo menggeleng kepala.
"Muridku," katanya pada muridnya itu, "apakah sampai
sekarang kau masih tetap menyangka dialah Tio It Hiong
adanya ?"
Si nona merapatkan alis.
"Jadi dia bukannya ?" ia balik bertanya. "Padaku ia telah
menjelaskan yang dia adalah Tio It Hiong !'
"Melihat dari jalan ilmu silatnya, dia bukanlah asal Pay In
Nia." Sin Mo berkata. "Karena itu aku percaya mungkin dia
bukanlah Tio It Hiong!"
In Go bingung.
"Habis dia siapakah ?" tanyanya cepat.
Sang guru berpikir, kemudian katanya : "Barusan dia
menggunakan ilmu silat Tauwlo-ciang, karenanya dia mesti
muridnya Im Ciu It Mo. Hanya ilmu ringan tubuhnya, itulah
ilmu ringan tubuh dari si imam tua It Yap dari Heng San Pay !
Dia pula membawa-bawa pedang di punggungnya."
Tiba-tiba Sin Mo bagaikan terasadar, hingga dia membuka
lebar matanya.


"Bukankah dia pernah mengatakan dia bernama Gak Hong
Kun ?" katanya kemudian. "Nah, itulah namanya murid dari It
Yap Tojin !'
In Go membuka matanya lebar-lebar.
"Jika dia bukannya Tio It Hiong dari Pay In Nia," katanya,
kecele, "kakak Bu Pa telah menempur dia sekian lama,
bukankah itu sia-sia belaka ?"
Nona ini tetap masih bersangsi atau menyayangi sesuatu.
Ia masih memberati Hong Kun walaupun telah ada janjinya
dengan Bu Pa. Sedangkan gurunya tidak saja menyetujui dia
menikah dengan Bu Pa bahkan menganjurkannya. Sekarang si
guru melihat wajah murid perempuan itu, ia menerka yang
murid itu pasti menghendaki ada pertempuran yang
memutuskan kalah menang diantara Bu Pa dan Hong Kun.
Kedua anak muda itu sudah seri, tidaklah In Go merasa puas ?
Akhirnya Sin Mo tertawa dan berkata : "Sekalipun benar
orang ini Gak Hong Kun adanya, ilmu silatnya sudah mahir
sekali dan menyamakan separuh dari kepandaian Tio It Hiong
! Anak Bu Pa telah bertempur seri dengannya, itulah bagus
sekali. Maka itu anak, kalau kalian kakak beradik seperguruan
menjadi sepasang suami isteri, sungguh setimpal ! Kau tidak
terhina, anak !"
Tapi In Go masih bertanya : "Suhu, mana dapat Gak Hong
Kun dipadu dengan Tio It Hiong ?"
"It Yap Tojin dari Heng San menjadi salah satu dari Sam
Kie, tiga orang gagah luar biasa dari jaman ini." kata Sin Mo.
"Dalam hal ilmu pedang dan ringan tubuh, dialah terhitung
orang yang langka. Gak Hong Kun dididik oleh guru rahib itu,
ia pasti lihai. Kabarnya Hong Kun dan It Hiong pernah


bertarung di Heng San dan ketika itu mereka sama
tangguhnya......"
In Go mengawasi gurunya, dia menunjuki sikap manjanya.
"Sekarang begini saja, suhu !" demikian katanya. "Sekarang
tolong suhu cari tahu, dia itu sebenarnya siapakah."
Nona ini menganggap, kalau demikian, tiga orang itu --Bu
Pa dan Hong Kun serta It Hiong -- kepandaiannya berimbang
satu dengan lain. Dengan demikian, cintanya terhadap kakak
seperguruan makin kuat. Hanya karena biasa manja, dia selalu
hendak membawa kebiasaannya itu.
Gwa To Sin Mo tahu tabiatnya si murid, maka dia kata :
"Begini ! Sekarang di depanku, kau harus berjanji yang kau
bersedia sehidup semati sampai di hari tua bersama-sama
kakakmu, Bu Pa. Tentang keinginanmu, akan aku membuat
puas kau."
Walaupun dengan likat, In Go memberikan jawabannya :
"Janjiku dengan kakak Bu Pa bukan janji main-main, suhu !
Kalau suhu mengatakan demikian, baiklah aku menerima katakata
suhu !"
Senang Sin Mo memperoleh jawaban muridnya, dia tertawa
bergelak.
Ketika itu, sang waktu telah berjalan terus. Tanpa terasa,
sang fajar pun tiba. Justru begitu, satu bayangan orang
berkelebat mendatangi lantas tampak tibanya diantara guru
dan murid itu.
"Oh, tosuhu Peng Mo !" seru Sin Mo yang segera mengenali
si nikouw setengah tua.


"Selamat bertemu ! Selamat bertemu ! Aku merasa
beruntung sekali !"
"Selamat berjumpa !" menjawab si pendeta wanita.
"Kiranya kau belum pulang, Toheng !"
Berkata begitu, nikouw ini melirik kelilingan.
Tak puas In Go mendengar suara orang yang ia rasa
takabur. Orang toh bicara dengan gurunya yang ia pandang
tinggi. Maka itu, ia mendahului gurunya menyahut dengan
kata-katanya ini : "Eh, nikouw, apakah kau kira kau dapat
mencampuri urusan kami disini ?"
Sepasang alisnya si pendeta wanita terbangun.
"Selagi orang tua bicara, mana ada tempatmu untuk
campur bicara, budak !" bentaknya. "Sungguh tidak tahu adat
!"
Habis menegur itu, si Bajingan Es terus bertindak ke arah
Hong Kun dan Bu Pa.
Melihat demikian, In Go lompat mencelat. Segera dia
menghadang.
"Kau hendak berbuat apa ?" tegurnya keras.
Peng Mo tidak menjawab hanya sebelah tangannya
dikibaskan !
Nona In berlaku celi dan gesit, belum lagi tangan si
Bajingan tiba, ia sudah lompat berkelit. Hanya sembari


mengegos tubuhnya ke samping, sebelah kakinya diluncurkan
kepada penyerangnya itu !
Itulah tendangan "Kaki Di dalam Sarung".
Peng Mo terkejut. Ia pun menjadi mendongkol sekali
karena berpikir kenapa seorang nona berhati demikian kejam.
Maka itu habis berkelit, dia maju dengan pesat seraya
menjambak tangan kanannya dengan jurus "Tangan
menangkap mega" jurus "Sekalian Menuntun Kambing".
In Go sangat cerdik. Dengan cepat ia menarik pulang kaki
kanannya itu, untuk seterusnya menaruhnya ditanah. Kaki
kirinya meneruskan menendang pula. Seba ia sudah lantas
menggunakan jurus silat "Lian-hoan Wan-joh Twie" kaki
berantai Burung Mandarin yang semuanya terdiri dari delapan
belas jurus. Maka menyusuli kaki kirinya ini yang lolos, lantas
saja bergantian kedua kakinya menendang dan medepak terus
menerus !
Peng Mo menjadi repot. Dia kagum berbareng bergusar. Si
nona dianggapnya terlalu. Terpaksa dia main mundur, hingga
kesudahannya dia berkelit enam atau tujuh tindak. Beberapa
kali dia terancam kakinya nona itu.
In Go puas dapat membuat si Bajingan Es terdesak
demikian rupa. Dimata umum, dia memang menang desak.
Setelah desakannya itu, selagi lawan mundur dia berhenti
menyerang. Lalu sembari berdiri diam, dia tertawa dan
menanya separuh mengejek : "Nah, bagaimana kau lihat ilmu
kakiku ? Dapatkah kau membalas mendesak aku, nikouw ?"
Hatinya Peng Mo panas bukan kepalang. Sebenarnya dia
masih memandang mata pada Gwa To Sin Mo dan selalu


mengalah, karena mana ia menjadi terdesak. Sekarang orang
mengejeknya !
"Budak, jangan takabur !" bentaknya dingin. "Aku hanya
memandang gurumu dan aku mengalah ! Hati-hatilah jika kau
masih tidak tahu selatan ! Nanti pin-ni menjadi tidak berlaku
sungkan lagi !"
Berkata begitu, si Bajingan Es terus melirik Gwa To Sin Mo,
si Bajingan Sakti.
In Go tak berpengalaman, dia pun sangat besar kepala dan
suka menang sendiri. Mendengar suara orang itu, dia tertawa.
"Hm !" ejeknya pula. "Sudah tidak sanggup melawan, kau
menempel emas pada mukamu ! Sungguh manis kata-katamu
itu ! Sekarang baiklah, jangan kau main berkelit dan mundur
saja. Mari rasai kakiku !"
In Go menyerang pula. Dia tak jeri emang sedikit, dia
sangat mengandali gurunya, yang masih berdiam saja.
Dalam panasnya hati, Peng Mo tetap masih memandang
Sin Mo. Maka itu, ketika ia ditendang pula itu, walaupun ia
melawan, ia tidak mau berlaku kejam. Mulanya ia menolak
dengan kedua tangannya. Ketika tendangan datang, ia lekaslekas
menarik pulang kedua tangannya itu untuk berkelit.
Karena ini, lantas juga ia terdesak pula. Si nona kembali
merangsak tak hentinya. Kedua kakinya naik dan turun
dengan cepat dan secara membahayakan lawan. Sebenarnya
ia tahu dua jurus jurus silat guna memecahkan Wan Yoh Twie
itu tetapi tak mau ia segera menggunakannya. Di lain pihak, ia
melayani dengan "Hong Pa Louw Hoa", Angin Mengombak
Bunga Gelaga.


In Go mendapat hati, dia mendesak terus. Hal ini membuat
Peng Mo mendongkol sekali. Terpaksa, ia terpaksa
menggunakan dua jurus jurus silatnya itu. Mulanya dengan
tangan kanan ia menangkis dengan jurus "Sebelah Tangan
Mengalingi Langit" terus dengan tangan kirinya ia
menggunakan jurus "Sebuah Jeriji Suci". Sebenarnya dengan
tangan kiri ini ia mesti menotok sambil menekan, tetapi karena
ia ingat Sin Mo, ia tidak menotok hanya menggunakan saja
tangan terbuka akan menyentuh paha si nona, sedangkan
sasarannya totokan ialah anggota rahasia ! Maka seranganya
itu sendirinya berbalik menjadi jurus "Menyingkap Mega
Mengintai Rembulan". Serangan cuma menyentuh tidak lebih.
Baru sekarang In Go kaget sekali berbareng malu bukan
main sebab pahanya kena tersentuh walaupun penyentuhnya
bukan laki-laki hanya wanita bahkan seorang nikouw,
jantungnya jadi memukul keras dan muka dan telinganya
menjadi merah. Dengan kelabakan dia mundur dengan
lompatan mengapungi diri "Yauw Co Hoan Sin"-- Burung Eng
berjumpalitan.
"Cis, tak tahu malu !" dia menegur si nikouw selekasnya dia
menaruh kaki dengan tegak di atas tanah. Jengah dan
bergusar berbareng. Matanya mendelik terhadap si lawan,
mulutnya pun berludah.
Peng Mo pun rada jengah, selagi si nona berlompat ia juga
mundur. Ia tidak melayani si nona, hanya ia menoleh dengan
mata tajam terhadap Sin Mo.
Gwa To Sin Mo memperlihatkan tampang sungguh-sungguh
hingga ia nampaknya keren sekali.
"Budak tak tahu maju dan mundur !" ia membentak
muridnya. "Masih kau tidak mau menghaturkan terima kasih


kepada Peng Mo Su-thay yang berlaku murah hati terhadapmu
!"
"Sudah Toheng, cukup !" kata Peng Mo pada Sin Mo.
"Sebenarnya pinni hanya ingin ketahui siapa kedua orang
yang lagi beristirahat itu."
Dan ia bertinak pula perlahan-lahan ke arah Bu Pa dan
Hong Kun.
In Go masih tetap likat. Ia heran atas sikap gurunya itu. Ia
merasa ia belum roboh. Ia mundur sebab ia malu. Kenapa
gurunya justru menyuruh ia mengucap terima kasih ?
Kapannya si nikouw berbuat baik terhadapnya ? Walaupun
demikian, ia tidak berani meminta keterangan pada gurunya
itu. Karena gurunya diam saja, ia pun tidak dapat mencegah
Peng Mo menghampiri kedua anak muda itu.
Sin Mo dan muridnya saling mengawasi sekejap, lantas ia
batuk-batuk dan mengangkat mukanya menengadah langit.
Peng Mo mengawasi kedua anak muda. Melihat Bu Pa, ia
mengenali muridnya Sin Mo. Mengawasi Hong Kun, ia heran
sekali. Ia mengawasi dengan tajam, otaknya bekerja. Itulah si
pemuda melihat siapa hatinya goncang, semangatnya
terbang........
Selama di Ngo Tay San, Peng Mo telah melihat dua-dua It
Hiong dan Hong Kun dan mengenali mereka berdua. Hanya
melihat orang yang digilai itu, ia sampai tak dapat
membedakan It Hiong dari Hong Kun atau sebaliknya. Ia
percaya Hong Kun ini ialah It Hiong.
Kemudian Peng Mo ingat juga peristiwa di puncak Hek Sek
San. Di sana It Hiong ada bersama Kiauw In dan Ya Bie


bertiga. Dari puncak itu ia berlalu terlebih dahulu. Di sana ia
bisa lolos dari pelbagai pesawat rahasianya Im Ciu It Mo. Ia
tiba di kaki gunung dengan selamat. Hanya tiba di rimba sang
malam telah larut. Selama itu, ia mesti mencari tempat untuk
beristirahat. Apa mau, ia justru mendengar suara orang bicara
berisik dan bertempur. Ia heran, ingin ia mendapat tahu.
Dengan mengikuti suara angin, dari mana suara itu
datangnya, ia sampai tepat di saat Bu Pa dan Hong Kun
mencapai saat yang membahayakan mereka berdua. Ia pun
melihat Sin Mo dna muridnya menonton pertempuran itu.
Saking tertarik hati, Sin Mo dan In Go tidak ketahui tibanya
itu.
Waktu pertempuran berhenti, Peng Mo memikir buat
melanjutkan perjalanannya atau tiba-tiba ia mendengar
pembicaraan di antara SinMo dan In Go yang menyebutnyebut
halnya It Hiong tulen dan palsu hingga ia menjadi
tertarik hati dan terus memasang telinga. Di dalam hatinya,
tak mungkin It Hiong berada di tempat itu. It Hiong ada
bersama Ya Bie dan Kiauw In, tetapi ia ingin memperoleh
kepastian. Maka diakhirnya ia muncul di depannya In Go dan
Sin Mo, hingga terjadilah ia mesti melayani nona manja dan
takabur itu.
Sesudah berdiri menjublak sekian lama, Peng Mo berpikir.
Perlu ia mendapatkan Hong Kun atau It Hiong palsu ini. Hanya
di saat itu, ia masih tetap ragu-ragu.
Justru itu, Sin Mo dan In Go bertindak menghampiri buat
melihat keadaannya kedua pemuda sesudah mereka itu
beristirahat habis bertempur hebat itu.
In Go sangat prihatin terhadap kakak seperguruannya, ia
lantas meletakkan tangannya di jalan darah cie-tong dari


kakak itu untuk menyalurkan tenaga dalamnya guna
membantu si kakak pulih kesegarannya.
Gwa To Sin Mo sebaliknya kata pada Peng Mo seraya ia
menunjuk pada Hong Kun : "Kalau orang ini sahabatmu,
suthay, silahkan kau membantunya agar dia pulih
kesehatannya. Su thay bersediakah ?"
Peng Mo tertawa. Itulah pertanyaan yang dia harap-harap.
Tadinya ia masih memikir-mikir bagaimana ia harus membuka
mulutnya.
"Memang pinni tengah memikir....." sahutnya.
Tiba-tiba Sin Mo ingat sesuatu.
"Su-thay," tanyanya mendadak. "Su-thay, sahabatmu ini
orang she dan nama apakah ? Dan dia murid siapakah ?"
"Lain hari kau akan ketahu itu, Toheng." sahut si nikouw
sambil menekan jalan darah Hong Kun. Sebenarnya ia masih
ragu-ragu, orang itu It Hiong atau Hong Kun....
Sin Mo melihat Peng Mo menotok jalan darah hek-tiam. Ia
menerka orang bermaksud tidak baik, tetapi karena itulah
totokon minta jiwa ia berlagak tidak tahu apa-apa. Ia bahkan
tertawa dan berkata pula : "Kalau su-thay mau membawa
pulang dia untuk diobati di rumah, itulah terlebih baik lagi.
Lohu sendiri hendak lekas-lekas pulang ke Tiam Chong San !"
Kembali Peng Mo merasa girang. Tepat kata-katanya Sin
Mo untuknya. Lantas ia merapatkan kedua tangannya,
sembari memberi hormatdan bersenyum, ia mengucapkan :
"Terima kasih Toheng ! Di sini saja aku pamitan !" Dan lantas
ia mengangkat tubuhnya Hong Kun buat di bawa ke


pinggangnya guna dikempit. Setelah mana dia mengangkat
kaki memutar tubuh dan berangkat pergi !
Mendadak Sin Mo batuk-batuk seraya terus berkata : "Suthay,
tunggu !"
Peng Mo mendengar, segera ia menghentikan langkahnya
dan menoleh ke belakang. Ia merasa tak tentram karena
khawatir si Bajingan Sakti nanti main gila terhadapnya.
"Ada pengajaran apa pula, Toheng ?" tanyanya ramah.
Sin Mo tertawa dan kata : "Orang itu telah terkena racun
yang masih mengeram di dalam tubuhnya hingga ingatannya
masih sedikit terganggu. Sebenarnya perbuatan siapakah itu
?"
Peng Mo terkejut. Ia berkesan orang mencurigainya. Ia
pula tidak tahu pasti, si Bajingan Sakti tengah
mempermainkannya atau tidak.
"Benarkah itu ?" tanyanya sembari memaksa diri
bersenyum, supaya tampaknya dia tenang-tenang saja.
Sin Mo membuat main janggut kambingnya. Jawab dia
tenang tentram : "Orang yang menggunakan racun itu, dia
belum pandai benar. Dan racunnya juga bukan racun istimewa
! Hahaha ! Dia bertemu dengan aku si orang tua, itu artinya
dia sedang apes !'
Peng Mo berpura tertawa.
"Kalau begitu Toheng, kau telah mengobati membuat dia
bebas dari racun ?" katanya.


"Benar !" kata Sin Mo. "Karena itu, su-thay aku
menghendaki su-thay menyampaikan kata-kataku pada dia itu
!"
Peng Mo mengawasi, ia tertawa pula.
"Bukankah Toheng ingin aku berkatai dia supaya dia
menghaturkan terima kasih kepada Toheng karena budi
Toheng menyingkirkan racun itu ?"
Sin Mo tertawa bergelak.
"Jika demikian, itu berarti suthay tidak memandang mata
terhadapku ! Menyingkirkan racun adalah urusan kecil,
tentang itu tak usah dibuat pikiran lagi !'
Peng Mo heran hingga dia melengak sejenak.
"Sebenarnya Toheng, apakah maksud Toheng ?" tanyanya.
"Silahkan bicara !"
Sin Mo bersenyum. Ia dapat menerka sebabnya kenapa si
Bajingan Es mau membawa pergi pemuda itu. Ia ketahui lakon
atau kegemarannya Nikouw ini. Sebenarnya dia bahkan cabul.
Maka ia lantas menatap muka orang.
"Sebelumnya aku menyebutnya," katanya sabar, "aku suka
minta apalah su-thay memaafkan dahulu. Bicara sejujurnya
tetapi itu dapat dipandang sebagai kelakuan tidak hormat.
Itulah tidak kukehendaki. Pula bagi kaum beragama, itu hanya
mengotori saja telinga !"
Peng Mo berpaling. Likat ia akan mengadu sinar mata
dengan si Bajingan Sakti. Tapi ia menjawab.


"Jangan sungkan, Toheng ! Apakah itu ? Silahkan Toheng
sebutkan !"
Gwa To Sin Mo berayal sejenak, baru dia berkata :
"Pemuda itu telah terkena racun dan aku telah memberikan
dia obat guna menyembuhkannya. Walaupun demikian, di
dalam tubuhnya sisa racun masih tetap mengeram. Dari itu
dia masih memerlukan waktu tiga bulan untuk beristirahat
guna menanti sisa racun musnah seluruhnya. Di dalam tiga
bulan, pemuda itu tak dapat mendekati paras elok. Nah,
suthay. Inilah kata-kataku yang aku ingin disampaikan oleh
su-thay kepada si anak muda ! Dapatkah ?"
Sepasang alisnya si nikouw bergerak bangun, wajahnya
berubah. Toh tampak tegas bahwa dia kecele. Lantas dia
menjawab : "Itulah kata-kata kotor. Maafkan pinni, tidak
dapat pinni menyampaikannya !"
Sin Mo tidak menghiraukan keberatan orang. Ia berkata
pula sungguh-sungguh : "Inilah soal penting yang
menyangkut jiwanya si anak muda, su-thay ! Bukankah dia
pun sahabat karibmu ? Kenapa su-thay tidak mau berlaku
demikian -- muris akan kata-kata hingga kau tak sudi
menyampaikannya ?"
Peng Mo berpikir keras. Lantas ia dapat menerka bahwa Sin
Mo sebenarnya sedang menggoda atau mengejeknya. Maka ia
mengawasi hutan di depannya itu dengan sinar mata merah
tanda dari kegusaran. Ia pun terus berkata : ""Toheng,
dengan kata-katamu ini maka teranglah diartikan bahwa
tempat ibadatmu telah terjadi peristiwa asmara !"
Sin Mo tertawa lebar, dia tidak menjawab.


Peng Mo jeri terhadap orang di depannya ini. Walaupun dia
mendongkol dan gusar sekali, ia masih mencoba mengekang
diri. Ketika ia bicara pula, lebih dahulu ia menyingkirkan
tampang gusarnya. Sebaliknya dia tertawa !
"To-heng, telah lama aku mendengar tentang obatmu
istimewa buat memusnahkan racun," demikian katanya. "Maka
itu dengan mengandal kulit mukaku yang tipis, ingin aku
memohon obatmu yang mustajab itu ! Dapatkah Toheng
memberikan obat guna menolong sahabat muda ini?"
Sin Mo menggeleng kepala.
"Barusan telah aku jelaskan yang pemuda ini telah makan
obatku !" sahutnya. "Yang utama penting baginya ini ialah dia
harus menantang mendekati paras elok ! Nanti, selewatnya
tiga bulan, aku si tua akan memberikannya pula obat
pemunah racun itu !"
Kembali alisnya si nikouw terbangun.
"Ini artinya, Toheng !" katanya keras. "Selewatnya waktu
tiga bulan itu maka anak muda ini harus pergi ke Tiam Chong
San kepada Toheng guna meminta obat tersebut ! Benarkah
itu ?"
Sin Mo mengangguk. Katanya singkat : "Dia suka pergi
atau tidak, terserah padanya. Sekarang pun, andiakata
sahabat ini berkeinginan berplesiran, kalau dia mati
karenanya, lohu tidak dapat berbuat apa-apa !"
Lantas si Bajingan Sakti memutar tubuhnya buat berjalan
menghampiri muridnya. Tetapi ia melangkah ayal-ayalan. Baru
beberapa tindak, ia sudah menoleh pula, untuk menambahkan
kata-katanya : "Pemuda ini ada perlunya bagiku. Oleh karena


itu janganlah karena urusan dia, kita berdua menjadi bentrok
!"
Kembali Peng Mo berpikir keras. Sebelumnya menjawab ia
melirik Hong Kun. Tiba-tiba, ia merasa hatinya pepat.
Mengawasi wajah si anak muda, timbul rasa penasaran dan
cintanya ! Kemudian ia melirik pada punggungnya Sin Mo,
habis mana dengan sekonyong-konyong dia lari keras keluar
rimba !
Baru lari sejauh sepuluh tombak lebih, mendadak si
Bajingan Es berhenti. Dia lantas meletakkan Hong Kun di atas
rumput, di dalam sebuah semak. Setelah itu dia lari kembali ke
rimba tadi, tentu saja secara diam-diam guna mengintai Sin
Mo. Dia ingin ketahui gerak geriknya itu guru dan muridmuridnya
bertiga.
Ketika itu Bu Pa sudah mendapat pulang tenaganya. Ia
membuka matanya dan perlahan-lahan bangun berbangkit.
In Go telah menarik pulang tangannya, menghentikan
bantuan tenaga dalamnya.
Bu Pa memegang tangan halus adik seperguruan itu.
"Kau baik sekali, adik," katanya perlahan. "Kau begini
menyayangi aku, tak nanti aku melupakannya !"
In Go mengawasi.
"Kau tak merasa kurang apa-apa lagi, kakak ?" tanyanya.
"Tidak. Kau telah menghamburkan tenaga dalammu, adik.
Lihat bagaimana kau letih !" Dan ia mengulur tangannya, akan
menyusuti peluh di muka si nona.


"Hus !" kata In Go hampir berbisik. "Apakah kau tidak malu
? Lihat, suhu lagi mendatangi........"
Sin Mo sudah lantas tiba di belakang orang. Dia batukbatuk
perlahan.
"Anak Pa, apakah kau terluka di dalam ?" tanyanya
prihatin.
Bu Pa menjura.
"Tidak, suhu." sahutnya. "Tenagaku sudah pulih."
Tiba-tiba In Go tertawa.
"Kakak berkelahi seperti membabi buta !" katanya. "Aku
juga berkelahi serupa dengan si nikouw usilan !"
Berkata sampai disitu, si nona berhenti secara tiba-tiba dan
mukanya menjadi merah sendirinya. Itulah karena sekonyongkonyong
ia ingat yang Peng Mo telah menggunakan ilmu silat
dan pahanya telah disentuh hingga ia merasa malu sendirinya.
"Bagaimana, adik ?" Bu Pa tanya, heran. "Dengan siapakah
kau bertempur ? Siapa nikouw yang kau sebut itu ?"
In Go menggigit bibirnya, ia tidak menjawab. Ia hanya
mengawasi gurunya.
Sin Mo tertawa dan berkata : "Anak In telah bertempur
denan Peng Mo si nikouw, salah seorang dari Hong Gwa Sam
Mo. Hampir dia roboh karena ilmu silat Wan Yoh Twie dari
adikmu ini!"


Bu Pa girang sekali mendengar itu.
"Adik telah maju pesat sekali !" pujinya. "Kelak dikemudian
hari, nama In Go pasti akan menggemparkan dunia Kang Ouw
!"
In Go merasa manis sekali, ia sangat girang. Tapi ia kata
:"Sudah kakak, jangan kau memakaikan tudung padaku !"
Kemudian ia menoleh pada gurunya terus bertanya : "Suhu,
kenapa suhu ijinkan nikouw itu membawa Tio It Hiong pergi ?
Menurut penglihatanku, nikouw itu bukannya manusia baikbaik........."
Ditanya muridnya itu, Sin Mo tertawa.
"Kalau Hong Gwa Sin Mo disebut orang baik-baik, maka di
dalam dunia rimba persilatan pastilah tidak ada lagi si bangsa
busuk !" demikian jawabannya.
Alisnya si nona rapat satu dengan lain.
"Tio It Hiong dilarikan olehnya, mana dia akan
selamat............" katanya.
"Di dalam waktu yang singkat, tidak." kata Sin Mo. "Peng
Mo tahu akulah ahli ilmu racun. Maka dia tentu akan percaya
perkataanku ! Telah aku bilangi dia, di dalam waktu tiba bulan
dia mesti pantang paras elok ! Pastilah dia akan berlaku hatihati
!"
"Tapi Gak Hong Kun itu muridnya Im Ciu It Mo...." kata Bu
Pa. "Aku khawatir...."


"Oh !" In Go menyela kakak seperguruannya itu. "Kakak
menyebut dia Gak Hong Kun ? Jadi dia benar bukannya Tio It
Hiong ?"
Sin Mo segera melirik murid laki-lakinya itu.
"Kakak," si nona menambahkan, "mengenai
pertempuranmu barusan, aku suka memburaskan segala janji
kita tadi."
"Dalam hal itu, adik, terserah kepada kau !" sahut Bu Pa.
"Kalau bicara dari hal cinta, itu memang tak layaknya
didapatkan dengan jalan curang !"
In Go puas.
"Kau memang laki-laki sejati !" katanya. "Kakak, aku
bersedia membantu kau mencari kepastian tentang pemuda
itu !"
Bu Pa lantas menoleh kepada gurunya.
"Suhu," katanya, sambil menjura dalam, "aku mohon
petunjuk suhu ! Dapatkah suhu mengijinkan aku berdua adik
In Go pergi merantau ?"
"Tentang itu, memang telah aku pikirkan," menjawab sang
guru. "Kalian memang mesti belajar kenal dunia guna
memperoleh pengalaman. Hanya dalam pada itu harus kalian
menghormati aturan perguruan guna menjaga diri, terutama
tidak dapat kalian menanam permusuhan ! Kalian boleh pergi,
anak-anak. Asal kalian ingat, sebelum tiba saatnya pertemuan
Bu Lim Cit Cun kalian mesti lekas-lekas pulang ke In Bu San
untuk menemui aku !"


Bu Pa bersama In Go lantas menekuk lutut di depan
gurunya itu.
"Terima kasih, suhu !" kata mereka. "Akan aku ingat baikbaik
pesan suhu !" Lantas mereka berbangkit. "Selamat
berpisah, suhu !"
Sin Mo mengangguk.
Bu Pa melihat cuaca. Sang fajar baru tiba. Ia berdiam,
agaknya ia bersangsi untuk membuka langkahnya.
In Go menarik ujung baju kakak seperguruan itu. Ia pun
menatap.
"Bagaimana, eh ?" tegurnya. "Mari kita berangkat !"
"Kita hendak mencari Tio It Hiong......" si kakak kata
separuh berbisik. "Kemanakah arah tujuan kita ?"
In Go pun melengak. Itu memang soal sulit. Tapi ia
membuka lebar matanya. Ia berpikir, akan akhirnya berkata :
"Mari kita susul Peng Mo si nikouw. Kita kuntit dia, pasti kita
akan berhasil....."
Setelah menutup kata-katanya, tak peduli orang masih
ragu-ragu atau tidak, si nona sudah lantas menarik tangannya
kakak seperguruannya itu. Ia menuju keluar rimba, ke arah
yang tadi diambil Peng Mo.
Sin Mo mengawasi kepergiannya kedua muridnya. Ia agak
merasa berat, maka juga kemudian ia menarik nafas dalamdalam
dan lalu menghembuskannya perlahan. Akhirnya, ia pun
bersiul panjang.........


Ketika itu, berbareng dengan cerahnya sang pagi, burungburung
pun berbunyi dan beterbangan........
Sin Mo masih belum berlalu dari rimba ketika ia melihat
seseorang muncul dari balik pepohonan lebat dan orang
segera berada di hadapannya.
"Selamat pagi, Toheng !" demikian orang itu, suaranya
merdu.
Sin Mo melengak mengawasi
"Kau datang pula ?" tegurnya. "Kau hendak mengacau aku
?"
"Hm !" bersuara orang itu yang bukan lain dari pada Peng
Mo. "Toheng, bagus perbuatanmu ! Mana kau melihat mata
padaku si nikouw !"
Sin Mo mengawasi. Ia melihat tidak ada Hong Kun bersama
nikouw itu.
"Bagaimana, eh ?" tanyanya. "Kau kehilangan laki-laki itu ?
Apakah kau hendak meminta tanggung jawab dari aku ?"
Matanya Peng Mo mendelik, dia gusar sekali.
"Itulah urusanku !" bentaknya. "Tak perlu kau usil urusanku
itu ! Hanya, kalau kau tahu selatan, harus kau memberi
jawaban padaku ! Apakah yang kau perbuat atas dirinya anak
muda itu ?"
Sin Mo tertawa lebar.


"Obat beracun yang aku buat taruh kata kau beritahukan
padamu, itu pun sia-sia belaka. Cuma-cuma mencapekkan
lidah !" katanya.
Kembali si nikouw menjadi gusar sekali.
"Kalau demikian !" teriaknya. "Lekas kau keluarkan kayyohnya
!"
Sambil menyebut "kay-yoh" obat pemusnah racun, Peng
Mo meluncurkan tangan kanannya lurus ke depan, telapakan
tangannya dibalik ke atas ! Itulah caranya kalau dia meminta
sesuatu. Itu namanya sikap "Cian Ciu Pian, Perubahan Seribu
Tangan". Itu pula gerakan istimewa dari Hong Gwa Sam Mo
disaat mereka mengajukan permintaan.
Sin Mo mengawasi. Ia tahu tangan orang itu bukan wajar
mau menerima barang saja.
"Lohu tidak mau memberikan kay-yoh !" katanya. "Habis
kau mau apa ?"
Peng Mo menjawab dingin : Di Hok Houw Gay ada dua
orang bocah yang baru muncul buat belajar merantau ! Kau
menghendaki jiwa mereka itu atau tidak ?"
Sin Mo terkejut hingga ia melengak. Dia lantas dapat
menerka. Hanya sedetik, segera dia tenang kembali. Maka dia
tertawa dingin.
"Bagaikan air yang telah disiramkan atau bunga yang gugur
dari tangkainya," kata ia. "Demikian juga seorang atau muridmurid
yang baru keluar dari rumah perguruannya ! Urusan
mati hidupnya mereka tiu, ada sangkut pautnya apakah
dengan aku ?"


Di dalam hati, Peng Mo terperanjat. Kiranya ancamannya
itu tidak mempan terhadap si Bajingan Sakti. Pancingan
tangannya juga telah tidak memberikan hasil. Ia sudah
mengulur tangannya itu, maka dapat ia menarik pulang
dengan begitu saja sedangkan tangan itu masih kosong
hampa ? Untuk menggunakan kekerasan, ia pula bersangsi
yang ia nanti dapat menang di atas angin. Tetapi ia tidak mau
kalah gertak. Maka berulang kali terdenar suara dinginnya :
"Hm ! Hm !" Sambil menggertak gigi, dia kata pula : "Kau
majulah ! Kau lihat !" Tangannya itu masih ia tidak mau tarik
pulang !
Sin Mo melirik dengan lirikannya yang memandang hina.
"Sungguh mulut besar !" katanya dingin. "Baiklah, akan
lohu beri lihat padamu !"
Begitu berkata begitu Sin Mo mengibaskan tangan bajunya
hingga tampak tangannya --tangan kanan. Ia terus menyentil
dengan jeriji telunjuknya, atas mana tampak sesuatu mirip
asap putih keluar dari ujung jari tangannya itu, menghembus
ke dalam telapak tangannya si nikouw !
Itulah bukan asap biasa. Itulah asap yang merupakan hawa
beracun.
Itu pula Tan Cie Kang-hu, ilmu pukulan sentilan jari tangan
yang sengaja si Bajingan Sakti keluarkan guna pertontonkan
kepandaiannya sebab si nikouw mau memperlihatkan
kepandaian telapan tangannya.
Peng Mo terkejut. Terpaksa, ia mesti menolak hawa jahat
itu. Maka juga selekasnya dengan tersipu-sipu ia menarik


pulang tangan kanannya itu. Lantas ia meneruskan menolak
dengan tangan kiri yang dibantu tangan kanannya itu.
Itulah penolakan kepada hawa beracun. Menolaknya ke
samping, sedangkan tubuhnya sendiri mundur dua tindak
guna menyingkir dari hawa lihai itu.
Setelah itu, Gwa To Sin Mo berkata dengan keras dengan
kata-katanya keluar sepatah demi sepatah : "Aku si orang tua
malas melibatkan diri denganmu ! Toasuhu, sampai jumpa
pula !'
Sesosok tubuh yang meluncur sebagai bayangan adalah
penutup dari kata-kata tawar itu. Itulah Sin Mo yang berlalu
dengan pesat sekali, berlalu dari dalam rimba. Suaranya masih
mendengung dalam kumandang tetapi orangnya telah lenyap
seketika saking dahsyatnya ilmu ringan tubuhnya itu !
Peng Mo melongo. Ia mau minta obat, ia nampak kecewa.
Pikirannya bekerja keras sekali sebab ia tidak sanggup segera
memperoleh pemecahan. Ia pun ingat kata-katanya Sin Mo
tadi selagi ia mengintai. Sin Mo mengatakan Hong Gwa Sam
Mo, ketiga Bajingan --ialah ia dan dua saudaranya-- ada
orang-orang busuk kaum Bu Lim. Itulah ucapan hebat. Tapi ia
toh merasai kebenarannya itu. Sebab mereka bertiga memang
bukan orang kaum lurus.
"Benar ! Benar !" kemudian katanya seorang diri. Tanpa
merasa ia tertawa sendirinya. Karena tertawa ini, ia jadi ingat
Hong Kun. Maka ia kata pula di dalam hatinya : "Aku mesti
mencari kepuasan. Kepuasan dari dirinya lain orang ! Aku
mesti mendapatkan kesenangan sejati ! Dalam hal itu, aku
peduli apa kalau orang mampus habis aku plesiran puaspuasan
dengannya ?"


Di saat itu, hatinya si Bajingan Es mirip hati kala. Begitu ia
mendapat pikiran itu, begitu ia berlompat lari buat kembali ke
tempat dimana ia telah menyembunyikan Gak Hong Kun. Tiba
di sana, ia melengak. Di luar dugaannya, ia mendapatkan si
anak muda lagi duduk bersila, beristirahat sambil mencoba
memulihkan tenaga atau kesegarannya.
"Mungkinkah ada orang membebaskan dia dari totokanku
?" Peng Mo menerka-nerka di dalam hatinya. "Benarkah ada
orang menolong menyadarkan padanya ?"
Maka ia melihat kelilingan dengan mata dipentang lebarlebar.
Akan tetapi ia tidak melihat siapa juga. Di situ tidak ada
orang lainnya walaupun seorang saja !
"Ah, mungkin dia dapat membebaskan diri sebab dia
memang pandai...." kemudian si Bajingan Es berbalik pikir.
"Mungkin juga tadi aku menotoknya kurang keras sedangkan
dia bertenaga dalam tangguh sekali.........."
Sambil berpikir itu, Peng Mo bertindak menghampiri Hong
Kun hingga ia berada disampingnya si anak muda. Segera ia
mengawasi tajam. Bukan main hatinya tergiur. Di matanya,
anak muda itu tampan sekali. Ia lantas berduduk disisinya.
Lantas ia seperti lupa segala sesuatu yang tadi memenuhi
benak otaknya.
"Saudara Tio !" katanya merdu. Ia masih mengira si anak
muda It Hiong adanya. "Kau sudah mendusin, saudara ?"
Hong Kun berpaling. Dia mengawasi nikouw itu. Sama
sekali dia tidak menjawab. Bahkan habis itu, dia memejamkan
kedua matanya. Selama itu, tenaganya telah pulih demikian
pun kesegarannya. Maka sambil meram itu dia mengingatingat
nikouw disisinya ini. Orang berwajah cantik dan


menggiurkan. Dia pula ingat yang dia rada-rada mengenalnya.
Dia pun menerka-nerka si nikouw orang dari golongan
mana.........
Peng Mo tidak dapat membade apa yang di pikiri si anak
muda. Ia hanya menyangka mungkin anak muda itu masih
menderita racun yang tentunya telah merusak tubuhnya
bagian dalam. Maka sendirinya ia merasa sayang........
Nikouw ini juga masih belum dapat membedakan Hong Kun
dari It Hiong atau sebaliknya.
Selagi mengawasi si pemuda yang masih terus
memejamkan mata, ia mengulur tangannya meraba dada
orang. Lalu sembari menatap ia tertawa dan berkata dengan
merubah panggilannya: "Oh, kiranya saudara Gak -- Gak Hong
Kun !"
Si anak muda membuka matanya.
"Toasuhu, apakah gelaran sucimu ?" demikian tanyanya
sambil menatap juga.
Si nikouw tertawa.
"Saudara Gak sangat pelupa !" katanya. "Atau mungkin kau
tidak memandang mata pada pinni? Bukankah selama diatas
gunung Ngo Tay San kita telah mengikat persahabatan ?"
Nikouw ini mengatakan demikian sebab ia tidak tahu ketika
itu Hong Kun tengah dipengaruhi obat Tay-siang Hoan Hun
Tan hingga kesadarannya terganggu hingga urat syarafnya
sangat lemah. Dia separuh sadar separuh lupa segala apa.


"Oh !" kata si anak muda yang tak mau membuka rahasia
hal dirinya itu. "Kiranya kita pernah bertemu satu dengan lain
! Aku pelupaan, Toasuhu. Harap kau maklumi aku. Apakah
gelaran tosuhu ?"
Peng Mo melirik tajam, sinar matanya galak sekali.
"Nama suci pinni sudah lama tidak pernah digunakan lagi."
sahutnya. "Sahabat-sahabat biasa memanggil pinni dengan
sebutan Peng Mo saja."
Hong Kun terkejut di dalam hati. Kiranya inilah salah
seorang anggauta dari Hong Gwa Sam Mo. Ia memang pernah
mendengar tentang ketiga Bajingan itu.
"Oh, maaf, maaf, Toasuhu !" katanya cepat-cepat. "Kiranya
Toasuhu Peng Mo !"
Sementara itu Peng Mo setelah meraba dada si anak muda,
mendapat kepastian orang tidak terluka di dalam. Hanya ia
tidak tahu apa racunnya masih mengeram atau tidak di jalan
darah. Ia tertawa manis mendengar kata-kata orang.
"Saudara Gak." katanya. "Selama kau beristirahat barusan,
ada apakah yang kau rasai beda dalam tubuhmu ?" Ia
bersikap sangat prihatin.
Hong Kun menggoyangi kepala.
"Tidak !" sahutnya. "Terima kasih buat perhatian Toasuhu."
Peng Mo maju lebih dekat, terus ia menggenggam tangan
orang.


"Bagus !" katanya. "Dengan sesungguhnya kakakmu
berkhawatir terhadap dirimu, saudara."
Lekas sekali si nikouw merubah sebutan dirinya dari pinni --
si rahib melarat -- menjadi kakak -- kakak wanita.
Hong Kun sebaliknya berhati-hati. Ia tahu kejahatannya
Hong Gwa Sam Mo. Maka ia tidak sudi yang dirinya nanti kena
dipengaruhi ketiga Bajingan itu atau oleh si Bajingan Es ini. Ia
pula melihat orang bagaimana centil dan ceriwis.
"Apakah katamu, kakak ?" ia tanya. Ia pun lantas merubah
panggilan dari Toasuhu menjadi kakak, akan mengikuti cara
orang.
Sepasang alis lentik dari Peng Mo terbangun.
"Saudara yang baik," dia tanya. "Kau pernah makan
obatnya Gwa To Sin Mo atau tidak ?"
Obat itu dia anggap adalah soal penting.
Mendengar pertanyaan itu, Hong Kun lantas ingat
pertempuran dengan Bu Pa. Ketika itu dia merasa dadanya
bergolak hingga hampir mau copot. Setelah mana ia telah
diberi makan sebutir pil, habis mana, redalah pergolakan itu.
Terus ia merasa tenang dan nyaman sedangkan darahnya
lantas berjalan dengan lurus.
"Ya, aku telah makan obat." sahutnya. "Tetapi itu bukanlah
racun."
Peng Mo tertawa manis.


"Kakakmu pun menerka Sin Mo main gila !" katanya. "Dia
rupanya sengaja menggertak kakakmu ini ! Tapi bajingan itu
pernah berkatai yang kau saudara selewatnya tiga bulan, kau
bakal merasai akibatnya dari obatnya itu........"
Mau tidak mau, Hong Kun terkejut juga.
"Benarkah itu, kakak ?" tanyanya. "Habis apa maksudnya
maka si Bajingan tua itu meracuni aku ?"
"Itulah karena ilmu silatmu mengatasi banyak lain orang !"
kata Peng Mo. "Kau tahu, puterinya si bajingan tua itu
menaruh hati padamu !"
Hong Kun berpikir, terus dia menggeleng kepala.
"Tak mungkin keteranganmu ini, kakak !" katanya. "Aku
tidak percaya maksudnya si bajingan tua demikian sederhana
!"
Peng Mo mendekati mukanya, akan berbisik di telinga
orang.
"Benar, saudaraku. Benar si bajingan yang berkatai aku
begitu." demikian bisiknya. "Tapi dia pun memesan aku
supaya aku menyampaikan kata-katanya padau. Ialah kapan
telah cukup waktunya tiga bulan maka kau harus pergi ke
lembah Hok Houw Gay di gunung Tiam Chong San untuk
mencari dianya. Itu waktu dia nanti memberikan kau obat
pemunah racun. Oleh karena itu saudara yang baik, janganlah
kau berkhawatir."
Nikouw ini tidak menyampaikan seluruh pesannya Sin Mo
ialah bagian yang Hong Kun dilarang mendekati orang
perempuan selama waktu tiga bulan itu.


Sebenarnya Hong Kun pernah makan semacam obatnya
Gwa To Sin Mo, obat Pian Sim Wan yang bekerjanya lunak.
Itulah obat "Mengubah Hati." Biar bagaimana Sin Mo toh
orang kaum sesat. Maka itu dia dapat membuat obatnya yang
lihai itu. Hanya khasiatnya obat itu bukan buat mencelakai si
anak muda. Hanya guna membikin pikirannya berubah supaya
dia nanti menurut atau mendengar kata terhadap si Bajingan
Sakti.
Hong Kun memikir lain. Benar tak mau ia percaya
perkataannya Peng Mo. Tetapi ia anggap berhati-hati tidaklah
salah. Maka itu diam-diam ia lantas meluruskan tenaga
dalamnya. Ia ingin memperoleh kenyataan kesehatannya
terganggu atau tidak. Asal saja ada perasaan tidak lurus.
Kesudahannya, ia merasa tidak ada yang kurang dan
kesehatannya sempurna sekali.
Kalau toh ada yang kurang lancar itulah dua jalan darah niwan
dan cie-hu, tak lebih.
Sementara itu, karena mereka berada sangat dekat satu
dengan lain, hidungnya Hong Kun selalu diserbu bau harum
dari tubuhnya si pendeta wanita. Hingga hatinya pun turut
berdenyutan saja. Sulit buat dia mencoba menenangi hatinya
itu.....
Detik-detik yang lewat membuat hatinya Hong Kun makIn
Goncang. Hingga akhir-akhirnya tanpa merasa tangannya
merangkul pinggang orang yang langsing menyusul mana si
nikouw membalas merangkul tubuhnya ! Maka lupalah mereka
yang mereka berada di dalam gerombolan rumput dan
pepohonan. Cuma hati mereka yang terus memukul dan dada
mereka berombak-ombak.


Kapan bakal tibanya saat yang paling genting, maka diluar
semak terdengar suara panggilan berulang-ulang : "Saudara
Tio ! Tio It Hiong ! Sadar ! Sadar !'
Itulah suara seperti suara kekanak-kanakan, tetapi bagi
sepasang "bebek mandarin" itu cukup mengejutkan hati
mereka. Suara itu mirip suara guntur yang mengagetkan.
"Ada orang !" Hong Kun berbisik seraya ia menolak
tubuhnya si nikouw.
"Oh !" seru Peng Mo tertahan dan masih dia memeluki.
"Saudara Tio !" kembali terdengar suara orang memanggil.
Suara itu menandakan bahwa orang telah datang semakin
dekat dan datangnya dari sebelah kiri.
"Lepaskan tanganmu !" kata Hong Kun. "Jelek kalau orang
memergoki kita, malu !"
Peng Mo menjadi tidak puas.
"Peduli apa !" katanya mendongkol. "Cis !" Dan ia
merangkul lebih erat bahkan ia terus mencium pipi orang.
Baru setelah itu, dia melepaskan rangkulannya.
Hong Kun berlompat bangun akan mengebuti dan
merapikan pakaiannya.
Lekas sekali, di depannya pemuda itu muncul seorang
bocah usia tiga atau empat belas tahun. Kepalanya besar,
mukanya lebar, besar juga mulut dan matanya. Dia
berpakaian serba kuning, kuning juga pedangnya yang di
gendol di punggungnya.


"Kaukah saudara Tio It Hiong ?" tanyanya selekasnya dia
melihat Hong Kun.
Hong Kun tertarik gerak gerik bocah itu, yang agaknya rada
tolol.
"Siapakah kau ?" tanyanya.
"Aku Tong-hong Liang," bocah itu menjawab, "Kakakku....."
Dengan "kakakku" itu, bocah itu maksudkan cie-cie, kakak
wanita. Suaranya itu tertahan karena ia melihat Hong Kun pun
mempunyai pedang yang panjang.
"Tong-hong Liang !" kata Hong Kun keras. "Kau mencari
orang atau meau menggoda saja ?"
Alisnya bocah ini terbangun.
"Kenapa kau berlaku galak ?" tanyanya. "Kalau bukannya
kakakku menyuruh aku mencari Tio It Hiong, perlu apa aku
datang kemari !" Ia menatap tajam muka orang, setelah mana
ia menambahkan : "Kau bukannya Tio It Hiong ! Aku salah
mencari orang !" Dan terus dia memutar tubuh dan bertindak
pergi.
"Tahan !" Hong Kun membentak.
"Ada apa ?" tanya bocah itu, yang berhenti bertindak dan
terus membalik tubuh.
"Kau kata kau mencari Tio It Hiong !" kata Hong Kun. "Ada
urusan apakah ?"


"Kau bukannya Tio It Hiong, buat apa aku
memberitahukanmu ?" sahut si bocah.
Hong Kun bercuriga karena orang hanya mencari Tio It
Hiong. Ia menjadi tertarik hati. Lalu ia tertawa. Sembari
tertawa itu, ia kata manis : "Saudara Tonghong Liang, akulah
Tio It Hiong ! Ada urusan apa kau mencari aku ?"
Kembali Tonghong Liang menatap, terus dia menggeleng
kepala.
"Tak dapat kau memperdayai aku !" bilangnya.
Hong Kun tertawa bergelak.
"Saudara Tonghong Liang, siapakah mau menipumu ?"
katanya.
Kacung itu lagi-lagi menatap.
"Kau tak miripnya dengan Tio It Hiong !" katanya. "Kau
memalsukan diri ! Bukankah itu berarti kau menipuku ?"
Di dalam hati, Hong Kun terkejut. Di luar dugaannya, si
bocah dapat mengatakan demikian. Rahasianya telah dibuka !
Tapi ia tak mau menyerahkan kalah dengan begitu saja.
Bahkan mendadak timbul napsunya membinasakan kacung
itu. Maka dia tertawa dan menanya : "Kau belum pernah
melihat Tio It Hiong, kenapa kau mengatakan aku bukannya
dia ?"
Tonghong Liang menunjuk pedang di punggung orang.
"Dengan demikian, kau justru bukannya Tio It Hiong !"
sahutnya polos.


Hong Kun melengak. Tak dapat ia menerka maksudnya
bocah itu. Maka ia memikir-mikir, dalam hal apa ia telah
membuka rahasianya sendiri.......
"Saudara Tonghong" katanya kemudian. "Kau masih
berusia sangat muda, kenapa kau bicara dengan setengahsetengah
?"
"Hm !" bocah itu memperdengarkan suara tawarnya. Tibatiba
ia menjadi gusar. "Kau sudah berusia tinggi tetapi kau
pun turut bicara ngaco belo !" Ia pun berhenti sebentar akan
mengawasi tajam pedang orang, selang sedetik ia
menambahkan : "Itu pedang di punggungm ! Pedang apakah
itu ?"
Baru sekarang Hong Kun sadar. Kiranya orang
mengenalinya dari pedangnya itu. Lantas dia bersenyum.
"Jadi kau maksudkan pedang dipunggungku ini ?"
tanyanya.
"Ya ! Pedang apakah itu ?"
"Keng Hong Kiam !" sahut si pemuda setelah berpikir
sejenak.
Mendadak Tonghong Liang tertawa nyaring.
"Pedang Keng Hong Kiam dari Tio It Hiong berada di
tangannya kakakku !" dia berkata keras. "Hahaha!"
Kembali Hong Kun melengak. Tapi sekarang ia ketahui
yang It Hiong telah kehilangan pedang mustikanya itu. Lantas
ia mendapat satu pikiran. Maka ia tertawa dan kata memuji :


"Saudara Tonghong, kau sangat cerdik ! Memang juga
pedangku ini pedang biasa saja ! Dimanakah kakakmu itu ?
Bukankah dia memikir hendak mengembalikan pedangku ini ?
Benarkah ?"
"Tak demikian mudah !" sahut Tonghong Liang tegas.
Tampangnya sungguh-sungguh.
Gak Hong Kun tertawa.
"Habis, mau apakah kau mencari aku ?" tanyanya. Tetap ia
mengaku sebagai It Hiong.
Alisnya bocah itu terbangun.
"Kakakku bilang, kalau orang dapat mengalahkan dia
diujung pedang, baru dia suka mengembalikan pedang itu !"
sahutnya polos.
"Siapakah kakakmu itu ?" Hong Kun tanya. "Apakah
namanya ?"
"Tonghong Kiauw Couw !" sahut si bocah, tegas dan
terang.
"Sungguh sebuah nama yang bagus sekali !" Hong Kun
memuji, tertawa. "Baik, akan aku cari kakakmu itu buat kita
mengadu ilmu pedang !'
Tonghong Liang mencibirkan bibirnya.
"Lebih dahulu kau mesti menempur aku !" katanya, gagah.
"Kalau kau menang dari aku, baru kau menempur kakakku !
Masih ada waktunya, belum terlambat !"


Justru itu Peng Mo muncul dari dalam ruyuk.
Melihat nikouw itu, Tonghong Liang segera berkata pula :
"Kau ada bersama seorang nikouw. Entah apa yang kamu
lakukan ! Rupanya kau bukanlah orang baik-baik !"
Mukanya si anak muda menjadi merah dan terasa panas.
Segera berpaling kepada nikouw itu dengan mata mendelik,
suatu tanda dia gusar dan menyesal orang.
Peng Mo sementara itu sedang mendongkol sekali karena
dia beranggapan Tonghong Liang, si bocah, telah
mengganggu kesenagannya. Lalu haaw amarahnya meluap
setelah mendengar si bocah mencari Tio It Hiong buat diajak
bertanding pedang dan selanjutnya mendengar Hong Kun mau
pergi mencari Tonghong Kiauw Couw, nona kakaknya si
bocah. Mendadak saja ia menjadi iri hati dan jelus. Celakanya,
Hong Kun pun pergi dengan memakai namanya It Hiong !
"Hm ! Hm !" dia memperdengarkan suaranya menyaksikan
Hong Kun mendelik terhadapnya. "Siapa yang memergoki
kami, apa kiranya dia dapat berlalu dengan hidup ? Hm !
Apakah kau takut ?"
"Dengan sekali mencelat, nikouw ini segera tiba di
depannya Tonghong Liang.
"Hei makhluk tak tahu selatan !" bentanya. "Kau mencari
mampusmu ya ?"
Menyusul bentakannya itu, tangannya si nikouw sudah
lantas melayang ke kepalanya si bocah ! Itulah hajaran yang
hebat yang dapat merampas jiwa orang !


Tonghong Liang melihat orang menyerang padanya, ia
tidak berkelit. Hanya segera ia menghunus pedangnya guna
dipakai melindungi dirinya. Dengan satu kelebatan, pedang itu
berkilau di depannya menutup dirinya, sinarnya kehijauhijauan
!
Peng Mo terperanjat. Inilah dia tidak sangka. Syukur dia
lantas melihat sinar pedang itu. Di dalam kaget, dia berlompat
mundur. Dia batal melangsungkan serangannya itu atau
lengannya dapat tertebas kutung !
Si kacung berdiri tegak ditempatnya, matanya mengawasi
tajam. Melihat orang mundur teratur, dia tertawa bergelak lalu
berkata : "Kami dari keluarga Tonghong, pedang kami tak
nanti membinasakan orang yang tidak bernama atau
berjulukan !"
Peng Mo mengawasi dengan melongo ! Entah kapan
disimpannya, tangannya kacung itu tidak lagi mencekal
pedangnya. Sebab pedangnya sudah dimasuki pula ke dalam
sarungnya. Baru sekarang dia terkejut dan sadar dan juga
ingat kiranya bocah itu menggunakan ilmu pedang keluarga
Tonghong yang pernah menggetarkan dunia Kang Ouw yaitu
ilmu "Hong Eng Tam Hoa -- Bayangan Pelangi Bunga Mega
Hitam". Sementara itu dia jengah, dia malu sekali sebab
sebagai salah seorang dari Hong Gwa Sam Mo dia jeri
terhadap seorang bocah ! Maka itu, tak dapat dia sembarang
mundur pula. Malah dia memikir buat membinasakan bocah
itu !
"Hm ! Hm !" dia perdengarkan suara dinginnya. "Aku Peng
Mo, aku mengalah terhadapmu. Siapa sangka kau justru
menjadi berkepala besar ! kau berani main gila terhadapku !"
Tonghong Liang pun tidak senang.


"Jika kau tak puas," katanya keras. "tidak ada halangannya
buat kau mencoba-coba pula !"
Tak puas hanya dengan kata-kata, dasar bocah cilik,
Tonghong itu membawa kedua tangannya ke depan
hidungnya guna mengejek si nikouw itu !
Lupalah Peng Mo kepada dirinya sendiri sebagai nikouw
kosen dari tingkat terlebih tinggi, dari tingkat tua. Maka
terlihatlah sifat aslinya. Dia tertawa dingin. Lalu sembari
tertawa itu dia mengerahkan tenaga dalamnya sampai
sembilan bagian sesudah mana dia berlompat maju
menghampiri si bocah terus sebelah tangannya menyerang !
Itulah semacam pembokong guna mencelakai si anak
tanggung.
Tonghong Liang terkejut sekali. Tidak ia sangka orang akan
menyerangnya pula secara sedemikian licik. Syukur ia tidak
menjadi gugup. Cepat seperti pertama tadi, ia menghunus
pedangnya untuk dipakai menyambut serangan.
Kembali ia menggunakan jurus silat pedang yang tadi
"Hong Eng Tam Hoa". Hanya kali ini ia membabat sambil
berlompat mundur supaya ia tak terdesak dan dapat bebas
menggunakan pedangnya.
Di lain pihak, si nikouw gagal pula dan kembali mesti
berlompat mundur juga !
Sebagai seorang yang usianya masih sangat muda,
Tonghong Liong tidak kenal takut. Ia pun tidak punya
pengalaman. Barusan itu ia tertolong ilmu pedang
keluarganya. Kalau tidak, pasti ia sudah terbinasa di


tangannya si nikouw telengas. Walaupun demikian, tak tahu ia
yang ia telah memperoleh keselamatan karena ilmu
pedangnya itu yang ia dapat wariskan dengan baik.
"Eh, nikouw, apa kau dapat bikin atas diriku ?" tanyanya
pada si penyerang.
Peng Mo kaget tetapi pada parasnya ia menunjuki
senyuman. Tak sudi ia yang orang ketahui ia keteter dalam
satu gebrakan itu. Coba ia kurang cepat, tentulah tangannya
akan buntung sebelah!
"Mari aku tanya kau." katanya. "Ilmu silat pedang kalian
kaum Tonghong apakah cuma yang barusan satu jurus saja ?"
Tonghong Liang menjawab dengan jumawa : "Apakah kau
hendak mencoba jurusku yang kedua ? Aku khawatir darahmu
nanti muncrat berhamburan !"
Tepat bocah ini mau menghunus pedangnya atau ia
mendengar satu siulan yang rendah dan halus tetapi tajam.
Tidak ayal lagi ia berlompat pergi dan terus lari ke arah dari
mana suara itu datang hingga di lain detik ia sudah hilang dari
depannya Peng Mo.
Meski juga ia mendongkol, si Bajingan Es toh senang juga
dengan kepergiannya bocah itu dengan siapa ia tidak
bermusuhan. Ia membenci cuma disebabkan orang seperti
datang menggerocoki menggodanya. Ia membiarkan orang
pergi. Bahkan itu membuat hatinya lega. Sekarang ia
mendapat pula kebebasannya akan berpelesiran dengan
pemuda yang ia gilai.
"Saudaraku yang baik, mari !" ia memanggil Hing Kun
tanpa menanti sampai ia berpaling pula. "Mari, jangan kita


lewatkan kesempatan kita yang baik ini !" Baru setelah
menutup mulutnya ia menoleh. Hanya kali ini ia menjadi kaget
sekali.
Hong Kun tidak ada di depannya.
"Ah !" serunya kecewa hingga ia menjublak saja. Kemudian
ia melihat ke sekitarnya. Benar-benar si anak muda tidak ada
disitu. Entah kapan dan kemana perginya dia !
"Kurang ajar !" serunya. Saking heran, ia menjadi gusar.
Maka disaat itu, lupa ia akan napsu hatinya buat berpesta
dengan Hong Kun. "Hm !" ia perdengarkan pula suara
gemasnya setelah mana ia berlompat pergi, berlari-lari menuju
ke Hek Sek San !
Kiranya Hong Kun melepaskan diri dari Peng Mo karena ia
berniat mencari Tonghong Kiauw Couw, si nona gagah seperti
keterangannya Tonghong Liang, si bocah yang polos tetapi
lihai ilmu silatnya. Selagi si Bajingan Es melayani bocah itu,
diam-diam ia mengundurkan diri untuk bersembunyi. Ia telah
pikir kalau nanti si bocah pergi, ia hendak menyusulnya
dengan menguntit supaya ia bisa mencari dan menemui
kakaknya bocah itu. Ia ingin melihat si nona, yang ia juga
mesti cantik wajahnya.
Demikianlah sudah terjadi. Karena mendengar suara siulan,
Tonghong Liang kabur meninggalkan si nikouw atas mana
Hong Kun pun lantas lari menyusul padanya.
Tujuannya Tonghong Liang ialah pinggang gunung. Kesana
ia lari keras sekali.
Ketika Hong Kun hampir menyandak, dia menjadi heran
sekali. Dia mendapatkan bocah itu mendadak saja berhenti


berlari lalu berdiri tegak. Kemudian ia menghunus pedangnya
guna menghadang di tengah jalan !
"Hai, kau bertindak bagaikan memedi. Apakah maksudu ?"
demikian bocah itu menegur. "Kenapa tadi kau bersembunyi
dan sekarang kau menguntit aku ?"
Hong Kun berhenti berlari. Ia tertawa.
"Adik kecil" katanya. "toh dapat aku pun mengambil jalan
disini ?"
Tonghong Liang mengawasi dengan mata menjublak.
Agaknya ia dibingungkan pertanyaan itu. Di tempat umum,
memang siapa pun dapat berjalan.
Hong Kun melihat kesempatan. Dia tertawa pula.
"Sebenarnya, saudara kecil. Ingin sekali aku melihat wajah
cantik kakakmu !" kata dia terus terang. "Dan aku juga
memikir buat mencoba ilmu pedangnya ! Itulah sebabnya
kenapa sekarang aku menyusul kau ! Aku tidak berbuat salah,
bukan ?"
Kata-kata itu membuat si bocah merasa akan kelirunya
menghadang orang tanpa sebab.
"Jika kau ingin mengadu silat dengan kakakku, kau mesti
dengar kata-kataku !" katanya kemudian.
Hong Kun maju satu tindak. Dia tertawa.
"Apakah syaratmu itu, adik kecil ?" tanyanya ramah.
"Silahkan kau sebutkan ! Buat aku, asal aku dapat melihat
kakakmu apa juga yang kau kehendaki, akan aku turut !"


Tonghong Liang mengibaskan pedangnya.
"Bukankah tadi telah aku jelaskan ?" katanya. "Untuk dapat
melihat kakakku, kau mesti menangkan pedangku ini !"
Hong Kun menjublak.
"Senjata tajam tidak ada matanya, kau tahu !" katanya.
"Aku khawatir tangan kita tak dapat dikendalikan ! Itulah tak
baik. Itu dapat merusak persahabatan. Adik kecil, bukankah
dapat kita tak usah mengadu pedang ?"
Matanya si bocah dibuka lebar. Tampak dia tidak senang.
"Beranikah kau memandang ringan padaku ?" tegurnya.
"Kalau begitu, tidak ada halangannya buat kau menyambut
aku barang satu jurus !"
Tanpa menanti suaranya berhenti mendengung, Tonghong
Liang sudah berlompat maju dengan satu tikamannya !
Hong Kun tidak sempat menghunus pedangnya. Keduanya
berdiri terlalu dekat satu dengan lain. Tanah disitu pun tidak
rata, banyak batunya. Pula bergeraknya si bocah terlalu gesit.
Walaupun demikian, dia tak sampai menjadi korban pedang.
Dia bermata awas dan bertubuh lincah. Pengalamannya
bertempur juga banyak sekali. Maka dia lantas menjatuhkan
diri, buat seterusnya bergulingan menyingkir jauh tak peduli
tanah tak rata. Itulah jurus silat "CaCing Bergulingan di Pasir".
Selekasnya sudah terpisah cukup jauh, dia berloncat bangun
bagaikan ikan meletik buat terus mencabut pedangnya, buat
tanpa istirahat lagi dia maju kepada kacung itu !


Tonghong Liang tidak mengejar orang. Ia hanya berdiri
tegak mengawasi sambil menantikan gerak gerik si anak
muda. Pedangnya dipasang dengan sikap "It Cu Keng Thian--
Sebatang Tiang Menunjang Langit".
Dengan satu lompatan tinggi, Hong Kun mencoba
menyerang. Karean ia berlompat, ia jadi turun dari atas ke
bawah.
Tonghong Liang tidak merubah sikapnya. Dengan sikapnya
itu ia menyambut lawan.
Itulah bahaya buat kedua belah pihak. Siapa gagal
menyerang atau gagal menangkis, dia bakal menjadi korban
ujung pedang.
Hong Kun terkejut. Kalau kedua senjata mereka beradu.....
Maka ia lantas bergerak cepat. Di samping pedangnya, ia
membarengi menggunakan kakinya, mendupat sikutnya
kacung itu !
"Mundur !" tiba-tiba terdengar satu seruan nyaring halus !
Berbareng dengan itu, tubuhnya Tonghong Liang mendak
terus berlompat mundur karena ia berkelit dengan jurus "Hie
Yauw Kim Po -- Ikan Menerjuni Gelombang Emas". Hingga ia
bebas dari tendangan dan lolos dari ujung pedang lawan.
Sebaliknya adalah dengan Gak Hong Kun. Dia bergerak
bagaikan ditengah udara. Dengan dua-dua tangan dan
kakinya mengenakan sasarannya, dia kehilangan
keseimbangan tubuhnya. Tidak ampun lagi, dia jatuh ke tanah
dimana dia mesti menggulingkan diri kalau dia tidak mau
terbanting keras. Di saat itu, telinganya pun mendengar suara


nyaring yang menyusul : "Orang she Gak, jika kau tidak puas,
kau datanglah ke Kin Kiok Hoa Kee !"
Bukan main menyesalnya murid dari It Yap Tojin ini. Ia
tidak kalah dari Tonghong Liang tetapi ia toh kecele. Karena
melayani seorang bocah, ia tidak dapat berbuat banyak.
Lekas-lekas ia berlompat bangun. Lantas ia menghadapi bocah
itu seraya berkata : "Aku terima tantangan ! Inilah kata-kata
janjiku !"
Biar bagaimana juga, Hong Kun penasaran sebelum melihat
Tonghong Kiauw Couw atau bertanding dengan nona itu yang
ia percaya pasti sangat cantik. Sedangkan si nona pun
memiliki Keng Hong Kiam, pedangnya It Hiong yang lenyap
itu.
"Apakah kau tak takut bakal roboh pula ?" tanya si kacung,
atas mana tanpa menanti jawaban lagi lantas dia memutar
tubuh dan ia pergi mendaki bukit !
Hong Kun mendongkol. Tajam kata-katanya si kacung yang
bernada mengejek. Ia menahan sabar tetapi matanya
mendelong mengawasi bocah nakal itu yang lekas juga
tampak mirip bayangan saja.......
"Ah," katanya sambil menyeringai. Ia jengah sendirinya.
Tengah berdiri diam itu, mendadak si anak muda kaget.
Ada tangan yang menekan bahunya. Hanya belum sempat ia
menoleh, jalan darah Yauwhiat-nya terasa tertotok. Karena
itu, tubuhnya menjadi lemas terus ia roboh tak berdaya. Di
saat lainnya, ia merasa ada orang memeluk pinggangnya buat
diangkat terus dibawa lari menaiki gunung !


Hong Kun tertotok tanpa pingsan. Maka itu walaupun ia
mati kutunya, otaknya tetap sadar. Maka ia tahu, ia telah
dikuasai Peng Mo, si Bajingan Es. Ia mendongkol tak
terkirakan. Saking tidak berdaya, ia berdiam saja.
"Saudara yang baik, jangan kau bergusar padaku."
kemudian Hong Kun mendengar suara yang manis. "Kakakmu
sangat mencintai kau, kau tahu ?"
Berbareng dengan itu, Hong Kun merasai pipinya dicium. Ia
memejamkan mata. Ia menggigit rapat giginya atas dan
bawah. Saking gusar, ia mencoba menyabarkan diri.
Sementara itu, hidungnya mencium bau yang harum sekali
dan pipinya terus merasai tekanan pipi yang halus. Dasar ialah
seorang pemogor, tanpa merasa napsu birahinya telah
terbangun.
Peng Mo -- demikian orang yang menawan si anak muda--
lari terus sampai diatas gunung Hek Sek San. Disitu tanpa
memikir-mikir lagi, dia memasuii sebuah rumah batu, terus
kedalam sebuah kamar yang sunyi tetapi cukup
perlengkapannya.
"Sungguh tepat !" kata si nikouw girang tak kepalang.
"Inilah waktu yang baik dan ini pula tempat yang cocok ! Ya,
inilah kamar pengantin kita !'
Segera Peng Mo menutup pintu, kemudian ia meletakkan
tubuhnya Hong Kun diatas pembaringan. Sesudah itu ia
menubruk tubuh orang, untuk dirangkul dan dipeluk terus !
Hong Kun tidak berdaya. Untuk diajak pelesiran, totokan
pada jalan darah Yauwhiat telah dibebaskan. Sebaliknya, ia
ditotok pula jalan darah bengbun. Karena itu, ia tetapi mesti
manda dipermainkan nikouw murtad itu.


Kedua orang itu lupa daratan. Maka juga mereka tidak tahu
bahwa diluar kamar ada orang yang mengintainya. Bahkan
dengan satu timpukan dua butir batu kerikil kecil, yang
mengenakan maisng-masing jalan darahnya, lantas saja
mereka rebah tanpa berkutik. Orang telah menggunakan "Bie
Liap Ta-hoat", ilmu timpukan "Sebutir beras."
Menyusul itu, dari luar kamar itu terdengar satu suara
tajam ini : "Dua orang manusia tak tahu malu ! Nah, kalian
bercinta-cintaanlah sampai tiga hari lima malam !"
Lalu terdengar suaranya seorang kacung : "Bagus kakak !
Timpukanmu jitu sekali !"
Habis itu, sunyilah rumah batu itu.
Demikianlah lakon Hong Kun bersama Peng Mo ketika
mereka dipergoki Kiauw In dan Ya Bie. Hampir saja Nona Cio
menyangka Hong Kun itu It Hiong adanya. It Hiong yang
tengah disusul si nona berdua.
Waktu Hong Kun menggunakan kesempatannya
mengangkat kaki, di luar rumah ia justru bertemu dengan Ek
Jie Biauw, nona yang kedua dari Cit Biauw Yauw Lie.
"Berhenti !" demikian si Nona Ek yang kedua membentak si
anak muda.
Hong Kun kaget sekali. Ketika itu dia memang sedang
sangat bingung. Hatinya seperti runtuh. Dia mengira Kiauw In
yang menyusulnya, dengan lantas ia menghentikan
langkahnya.


"Nona Cio, jangan......" katanya seraya mengawasi orang
yang menegurnya itu. Diantara sinar rembulan yang lemah, ia
mendapat kenyataan orang bukannya Kiauw In. Maka juga ia
menghentikan kata-katanya itu setengah jalan.
Ek Jie Biauw pun segera mengenali pemuda she Gak itu.
Orang yang membuat hatinya goncang. Maka itu ia sudah
lantas merubah suaranya yang bengis. Ia tertawa dan kata :
"Ah, kau! Kau kenapakah ? Mengapa kau menyebut-nyebut
Nona Cio ? Kau sangat prihatin terhadap nona itu ya ?"
Juga Hong Kun dengan cepat mendapat pulang
ketabahannya. Ia pula telah bebas dari Thay-saing Hoan Hun
Tan. Sebagai seorang yang berpengalaman, lekas sekali ia
dapat menggunakan otaknya. Maka ia pun tertawa.
"Oh, Nona Ek !" katanya. "Kiranya kau ! Kau membuatku
kaget !"
Hong Kun tidak merasa cinta sedikit juga pada Nona Ek
tetapi si nona sebaliknya. Jie Biauw justru sangat terjatuh hati
terhadapnya ! Hanya dia pandai sekali membawa tingkahnya,
terutama terhadap seorang nona. Walaupun demikian, selama
di dalam lembah Kian Gee Kiap, semua gaya menggairahkan
dari Nona Ek, dia tidak tahu menahu karena ketika itu dia
masih terpengaruhkan Thay-siang Hoan Hun Tan. Sekarang
dia mengerti yang si nona tergila-gila padanya, lantas dia mau
membawakan lakonnya pula. Buat dia, bermain asmara ada
untungnya tak ada ruginya.
Satu hal Hong Kun tidak insaf. Selagi dia telah sembuh dari
Thaysiang Huan Hun Tan dari Im Ciu It Mo, maka sekarang
dia terpengaruhkan pil hitam dari Gwa To Sin Mo. Itulah pil
untuk menambah atau untuk membangunkan napsu birahi.


Hingga dengan demikian dia pun menjadi menampak bencana
asmaranya yang sesat !
Lantas Hong Kun bertindak mendekati Nona Ek.
"Seseorang tak dapat melakukan sesuatu yang tak benar."
kata Jie Biauw. "Kau kata barusan aku membuatmu kaget.
Kenapakah ?"
Hong Kun insaf bahwa barusan ia telah keliru bicara, maka
ia harus perbaiki itu.
"Nona, keangkeranmu membuatku jeri. Begitulah
mendengar bentakanmu, aku jadi kaget......." demikian ia
bermain sandiwara.
Ek Jie Biauw mengawasi, bibirnya dicibirkan.
"Benarkah itu ?" tanyanya.
"Benar, nona !" sahut Hong Kun cepat. "Tidak berani aku
mendustaimu !"
Sebenarnya Jie Biauw mau lantas menggunakan
kesempatannya atau rasa hormat dirinya membuat ia berpikir
harus bersabar.
"Masa bodoh kau berdusta atau tidak !" katanya manja.
"Namun kau harus ketahui, aku bukanlah si tolol !"
Hong Kun tertawa.
"Terhadap nona pintar sebagai kau, Nona Ek, aku mau
mendusta pun tak dapat !" katanya.


Senang Jie Biauw mendengar pujian itu. Toh ia masih
berpura bersikap tawar.
"Sudah, jangan bicara saja !' katanya. "Sekarang aku mau
tanya kau ! Tadi selagi malam gelap dan sunyi, kenapa kau
kabur dengan meloncati jendela ?"
Hatinya Hong Kun bercekat. Itulah pertanyaan yang sulit
untuk dijawabnya sebab ia justru berada dalam kedudukan
seperti terdakwa yang lagi menanti hukuman. Tak sudi ia yang
rahasianya nanti terbuka. Tapi ia tidak kekurangan akal.
Setelah berdiam sejenak, ia memperlihatkan wajah lesu dan
terus ia menarik napas panjang.
Ek Jie Biauw heran. Dia menatap. Sebaliknya dari pada
bercuriga atau menanya lebih jauh, dia justru berkhawatir si
anak muda menjadi tidak senang hati. Maka dia tertawa dan
kata : "Eh, kau kenapakah ? Aku paling tidak menyukai orang
yang saban-saban menarik napas panjang pendek...."
Hong Kun puas mendengar kata-kata si nona. Kembali ia
ketahui kelemahan nona itu.
"Kau tidak tahu, adik !" katanya yang terus merubah
panggilan dari nona menjadi adik. "Tadi itu aku kabur
melewati jendela sebab aku bertemu dengan musuh. Ah !" ia
berhenti sejenak, baru ia menambahkan : "Tidak kusangka di
Hek Sek San ini, suatu tempat yang tertutup, orang toh berani
mendatanginya ! Aku maksudkan musuhku !"
"Siapakah yang kau ketemukan itu ?" Jie Biauw tanya. Dia
tertarik hati.
"Dialah Cio Kiauw In dari Pay In Nia." Hong Kun menjawab
terus terang. Ia mengasi lihat tampang masih jeri.....


Jie Biauw tertawa.
"Ah, kenapa kau begini takuti dia ?"
Mukanya Hong Kun merah, separuh benar-benar malu,
separuh berpura.
"Itulah sebab dia datang bukan sendiri saja." sahutnya.
"Dia datang entah bersama berapa banyak kawan.."
Jie Biauw mengawasi. Mau ia percaya yang pemuda ini
takut benar-benar. Karena ini, ia lantas tertawa. Ia tertawa
terpingkal-pingkal. Ia tahu halnya It Hiong berdua Ya Bie
membantu Kiauw In dan malah ia pernah menempur pemuda
itu yang tadinya ia sangka Hong Kun adanya ! Ia tertawa
sebab ia pikir inilah saatnya untuk menarik hati orang agar
orang roboh dalam rangkulannya !
Hong Kun mengawasi. Ia mau menangkap hati orang. Jie
Biauw bersungguh-sungguh atau berpura-pura. Ia bersangsi
sebab ia ingat ia sendiri paling bisa membawa lagak.
Si puteri malam terus bergesr ke arah barat. Makin laru
malam, makin bersinar cahanya yang indah. Kedua muda
mudi ini bermandikan cahayanya si puteri ini. Suasana di
sekitar mereka sangat sunyi. Itulah saat paling tepat buat
bermain asmara.
Tiba-tiba Jie Biauw yang lagi tertawa, menghentikan
tawanya itu.
"Siapa ?" bentaknya, matanya mengawasi ke samping
dimana terdapat sebuah pohon.


Tidak ada jawaban, hanya tampak sesosok tubuh bagaikan
bayangan berlompat turun dari atas pohon itu terus dia berdiri
sejauh dua tombak dari hadapan si muda mudi. Tetap dia
tidak bersuara. Gerakan gesitnya itu membuat Hong Kun dan
Jie Biauw heran.
Hong Kun berlaku tenang mengawasi orang itu yang
mengenakan pakaian warna gelap dan potongannya singsat.
Rambutnya dikundiakan tinggi, punggungnya menggendolkan
sebatang pedang. Yang menyulitkan ialah separuh mukanya
ditutup jalan hingga tampak alis dan matanya saja. Jelas
dialah seorang wanita. Dan jelas pula, dia bermuka potongan
telur serta tubuhnya langsing, tinggi dan rendahnya sedang
sekali....
Hong Kun melengak, hingga ia hampir lupa segala apa.
Wanita itu terus mengawasi Ek Jie Biauw terus kepada si
pemuda dan dia mengawasi si anak muda sekian lama.
Sikapnya itu segera membangkitkan jelusnya Jie Biauw hingga
dia ini lantas menghunus pedangnya.
"Hei, budak hina. Darimanakah kau datang ?" demikian
tegurnya. "Lekas kau sebutkan she dan namamu ! Di Hek Sek
San ini tak dapat kau banyak tingkah !"
"Hm !" terdengar suara perlahan dari wanita itu yang terus
menengadah langit, mengawasi si puteri malam. Kemudian dia
menambahkan : "Kiranya Tio It Hiong yang namanya
menggetarkan dunia Kang Ouw toh dapat secara diam-diam
melakukan ini macam perbuatan buruk yang memalukan !"
Kata-kata itu disusul dengan gerakannya mencabut
pedangnya juga hingga pedangnya itu bergemerlapan diantara


sinar rembulan. Sebab pedang itu ialah pedang Keng Hong
Kiam kepunyaannya Tio It Hiong !
Dua-dua Ek Jie Biauw dan Gak Hong Kun mundur beberapa
tindak.
Si nona mengawasi lagak orang, dia tertawa.
"Kalian takut ?" katanya. "Apa yang harus ditakuti ?
Nonamu tak sudi bertempur dengan kalian!"
Suara itu terang dan jelas, polos nadanya. Habis itu, si
nona memasuki pula pedangnya ke dalam sarungnya.
Mungkin dia lupa bahwa sikapnya ini sikap yang kurang tepat.
Suatu pantangan dalam kalangan persilatan. Itulah sikap
memandang rendah !
Hong Kun dan Jie Biauw merasa tersinggung. Barusan
mereka bukannya takut hanya ragu-ragu. Sekarang mereka
bergusar. Si pemuda sudah lantas menghunus pedangnya.
"Tutup bacotmu !" bentaknya.
Si nona mengawasi pemuda itu. Ia tertawa.
"Pedangmu itu apa khasiatnya ?" tanyanya. "Bahkan
dihunusnya itu membuat orang tertawa. Memalukan saja !
Mana dapat pedangmu itu dibandingkan dengan pedangnya
nonamu ini ?"
Memang nona itu ialah nona Tonghong Kiauw Couw. Dia
menghunus Keng Hong Kiam bukan untuk menantang
berkelahi. Dia sengaja memperlihatkan pedangnya itu guna
menguji si anak muda itu siapa sebenarnya. Kalau dia Tio It
Hiong, melihat pedangnya sendiri pasti Tio It Hiong tertarik


dan akan menanya atau meminta pulang pedang mustikanya
itu. Siapa tahu, Hong Kun berdiam saja mengenai pedang itu,
bahkan dalam murkanya dia menghunus pedangnya sendiri.
Di luar dugaan Nona Tonghong, kata-katanya itu membuat
muda mudi di depannya menjadi gusar sekali. Secara
mendadak, si nona maju untuk menebas pinggangnya.
Saking mendongkol, Ek Jie Biauw berniat mengutungkan
pinggang orang. Maka juga dia menyerang secara tiba-tiba itu.
Memangnya dia bersama-sama enam saudaranya tersohor
telengas. Mereka kaum sesat.
Tonghong Kiauw Couw melihat datangnya serangan.
Dengan mudah saja ia berlompat mundur. Berlompat seraya
memutar tubuh. Ia tidak menghunus pedangnya, tak mau ia
membalas menerjang. Ia malah tertawa.
"Sungguh telengas !" katanya singkat.
Belum berhenti kata-kata itu mendengung atau satu
serangan lainnya. Kali ini dari Hong Kun sudah menyusul.
Sinar pedangnya berkelebat diantara cahaya rembulan. Itulah
tikaman ke arah dada.
Manis sekali Nona Tonghong berkelit pula. Ujung pedang
lewat disisi iganya. Masih ia tidak mau membuat perlawanan.
Karena gerakannya muda mudi itu, dengan sendirinya
mereka menjadi berada di depan dan belakangnya nona yang
mereka serang itu. Karena serangan mereka gagal, lantas
mereka mengulanginya. Kali ini si nona menjadi terkepung di
dua arah. Dan kali ini, bangkit jugalah hawa amarahnya. Ia
menganggap orang keterlaluan. Ia bersilat dengan ilmu silat
warisan, namanya "Loan Hoa Kong Sie -- Bunga Berserabutan,


Sutera Awut-awutan". Ia bergerak sangat gesit dan lincah.
Tubuhnya bagaikan gerakan ular diantara pelbagai tikaman.
Sementara itu, ia pun berpikir: "Kenapa pemuda ini begini
membenci aku ? Apakah ini disebabkan aku telah curi
pedangnya ? Ah, mungkinkah dia benar Tio It Hiong ?"
Mengingat pemuda she Tio ini, otak si nona menjadi
bekerja keras sekali. Dialah seorang nona muda belia yang
baru mulai mengenal asmara, maka dia cuma mengenal cinta,
lainnya tidak. Dia tak tahu cinta itu banyak liku-likunya, lebih
banyak duka cintanya daripada suka cintanya....
Justru karena berpikir demikian, tanpa merasa Kiauw Couw
berayal sendirinya. Dan justru begitu, pedangnya Hong Kun
meluncur hebat padanya ! Itulah ancaman maut !
Bukan main kagetnya Nona Tonghong. Syukur ia tidak
menjadi gugup. Sambil memaksa berkelit, ia membarengi
menghunus pedangnya dengan apa ia menyampok pedang
lawan hingga pedang mereka beradu keras hingga percikan
apinya beterbangan. Di lain pihak, saking kerasnya bentrokan,
mereka sama-sama terhuyung mundur setengah tindak
masing-masing !
Tonghong Kiauw Couw menjadi heran hingga ia mengawasi
pedang si anak muda. Bukankah ia menggunakan pedang
mustika Keng Hong Kiam ? Kenapa pedang lawan tidak
terbabat kuntung ? Maka itu, tentunya pedang lawan pun
pedang mustika.
"Benarkah dia Tio It Hiong ? Kalau benar, darimana ia
memperoleh lain pedang mustika pula ?" demikian si nona
berpikir. Ia ingat ketika ia mencuri pedang dengan
membiuskan It Hiong sampai It Hiong tak sadarkan diri.
Sekarang ternyata, kepandaiannya It Hiong ini pun lihai. Dia


melihat pakaian, raut muka dan potongan tubuh yang tak
berbeda....
"Aneh !" demikian pikirnya, pusing. Ia pun orang asing
untuk dunia Kang Ouw, maka ia kurang pengalamannya. Pasti
ia tidak ketahui yang pedangnya Hong Kun ialah pedang
mustika Kie Koat Kiam kepunyaannya Teng It Beng si sahabat
yang mengolah wajah orang hingga menjadi sangat sama
dengan wajahnya It Hiong. Ia boleh cerdas dan cerdik tetapi
dalam hal ini, kecerdasannya tak menolong padanya.
Selagi orang berdiam itu, Ek Jie Biauw maju menyerang.
Tonghong Kiauw Couw melihat tibanya serangan, ia
berkelit. Ia tidak memikir akan melayani nona itu. Ia hanya
ingin menempur Hong Kun guna ia mencari kepastian tentang
dirinya si anak muda. Tapi Jie Biauw mendesaknya, terpaksa
ia meladeni juga. Disamping itu, Hong Kun juga maju lagi.
Segera setelah Nona Tonghong mendongkol sekali, Jie
Biauw tidak dapat bertahan lama. Dengan satu tebasan,
pedangnya kena terbabat kuntung atau babatan lainnya
membuat ia memegangi saja gagang pedangnya ! Baru
sekarang dia kaget dan lompat mundur, keringat dingin
membasahkan tubuhnya.
Sementara itu Hong Kun yang cerdik lantas dapat menerka
siapa nona ini. Ia pun mengenali pedang orang. Maka
akhirnya ia tertawa terbahak-bahak.
"Oh, nona. Adakah kau Nona Tonghong Kiauw Couw ?"
sapanya. "Maaf, nona, maaf. Aku telah berlaku kurang hormat
!"
Kiauw Couw heran. Ia lantas mengawasi.


"Kau siapakah ?" tanyanya saking herannya itu.
Hong Kun tertawa.
"Akulah aku, nona !" sahutnya. "Nona sudah tahu, buat apa
nona menanyakannya ?"
Ek Jie Biauw heran menyaksikan dua orang itu berbicara.
Sejak tadi dia berdiam saja sebab kutungnya pedangnya.
Sekarang dia dibingungkan gerak geriknya dua orang itu.
Mengenai Hong Kun, dia mendapat kesan kurang baik. Hong
Kun tidak membantu dia hanya Bicara sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba saja muncul iri hatinya.
Jilid 57
"Cis !" serunya, membentak si nona. "Budak hina dina !
Bagaimana kau berani datang ke Hek Sek San ini guna
memancing laki-laki ? Sungguh perempuan lacur tidak punya
muka !"
Tonghong Kiauw Couw heran, dari heran ia menjadi
mendongkol.
"Kenapa kau menggunakan kata-kata kasarmu ?" tegurnya.
"Bukankah kita sama-sama wanita?"
Jie Biauw tidak mempedulikannya.
"Kalau kau bukan hendak mencuri laki, buat apa malammalam
kau datang kemari ?" dia balas bertanya.
Hatinya Nona Tonghong menjadi panas.


"Siapa kesudiaan bicara denganmu !" bentaknya. "Kau
mementang dan menutup mulut, selalu kau menyebut-nyebut
orang laki-laki ! Bagaimana hebat kau memfitnah orang !"
Jie Biauw tertawa kering berulang kali. Dia menunjuk Hong
Kun.
"Kau tentunya menganggap dirimu putih bersih !" katanya.
"Tetapi kenapa kau justru hendak menculik pria ini ?"
"Maksudku tak lain tak bukan hendak aku mendapat
kepastian tentang diri dia !" sahut Nona Tonghong. "Aku ingin
ketahui, dia Tio It Hiong atau bukan !"
Segera Hong Kun mendahului Jie Biauw.
"Akulah Tio It Hiong !" katanya nyaring. "Nona Tonghong,
ada apakah petunjukmu untukku ?"
Belum lagi Tonghong Kiauw Couw memberikan jawabannya
atau mengatakan sesuatu, tiba-tiba seseorang telah
menyelanya, menyela dengan suaranya yang nyaring : "Oh,
kakak Hiong. Kiranya kau disini ! Kau membuat aku bersusah
payah mencarimu !"
Dan orangnya pun segera muncul. Seorang Nona Tanggung
yang tangannya memegangi seekor ular hidup, sebab dialah
Ya Bie !
Gak Hong Kun dan Nona Tong Hong menjadi dibuat heran
karenanya. Keduanya lantas berpaling, mengawasi nona yang
baru tiba itu.


Ya Bie tidak menghiraukan sikap orang, habis mengawasi
ketiga orang disitu, ia bertindak maju ke arah Jie Biauw dan
Kiauw Couw terus ia menatap mereka, untuk akhirnya berkata
: "Kiranya kamulah berdua yang selalu mengikat kakak Hiong
!" Kemudian ia bertindak ke arah Hong Kun.
Kiauw Couw heran sekali. Ia tak kenal Nona Tanggung itu
hingga ia tak tahu orang dari kalangan mana. Ia pun heran
karena melihat si nona dapat menjinakkan ular beracun. Maka
selama itu, ia mengawasi dan mendengari saja kata-kata
orang.
Tidak demikian dengan Ek Jie Biauw. Tidak saja ia tahu
nona itu bahkan ia mengenalinya. Sebab selama di ruang
besar dari kamar batu di Kian Gee Kiap, berdua mereka
pernah bertempur hingga ia mengerti baik juga lihainya si ular
hijau di tangannya si nona cilik ! Walaupun demikian, hatinya
telah panas. Ketika itu saatnya ia untuk dapatkan Hong Kun
guna mempuasi hatinya. Siapa tahu sudah muncul Nona
Tonghong. Sekarang muncul juga ini bekas lawan. Ia jadinya
sangat terganggu. Sikapnya Ya Bie pula membuat
kegusarannya meluap, hingga timbullah niatnya
membinasakan nona itu. Beberapa kali ia memperdengarkan
suara tawar "Hm !" dan matanya mengawasi tajam.
Ya Bie tidak menerka apa yang orang pikir, ia maju
mendekati.
Jie Kiauw menanti sampai orang sudah datang dekat sekali.
Mendadak ia mengayun sebelah tangannya, menyerang
dengan serangan tipu Tauwlo-ciang, mengarah jalan darah
sin-ciang dari si nona !
Mereka berdua berada dekat sekali satu dengan lain,
seranganpun serangan bokongan yang hebat. Bahkan Ya Bie


tidak menyangka sama sekali. Walaupun ia sangat gesit, ia tak
sempat berkelit. Maka kagetlah ia, hingga sendirinya ia
memperdengarkan jeritannya yang halus tapi tajam dan
panjang yang membuat hati orang goncang.
Itulah suara dahsyat bagaikan burung malam yang
memperdengarka suaranya selagi terbang di tengah udara.
Dengan sendirinya, jeritan itu merupakan jeritan ilmu Hoan
Kan Bie Cin dari Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie.
Tak pernah Jie Kiauw mendengar suara seperti itu, hatinya
goncang seketika. Bahkan matanya pun menjadi seperti kabur.
Ia melihat tubuhnya Ya Bie tercipta menjadi sebuah batu
besar dan serangannya mengenai batu besar itu. Ia kaget
hingga ia mengawasi dengan melengak ! Tangannya pun
sudah lantas ditarik pulang.
Ya Bie mundur tiga kaki untuk berkelit. Dengan begitu,
bebaslah ia dari serangan maut itu. Tapi itu belum semua,
jeritannya itu seperti juga ia memanggil kawannya yaitu So
Hun Cian Li, si orang utan yang besar.
Tonghong Kiauw Couw heran hingga dia mementang lebarlebar
matanya menyaksikan gerak gerak aneh dari Ya Bie....
Ek Jie Kiauw penasaran. Habis melengak ia maju pula akan
mengulangi serangannya. Maka Ya Bie melayaninya. Begitulah
mereka berdua bertempur di depannya Hong Kun. Demikian
juga Nona Tonghong jadi turut menonton.
Jie Kiauw repot juga ketika Ya Bie menggunakan ularnya
sebagai senjata. Tak berani ia menangkis dengan tangannya
sedangkan ia berkelahi tanpa genggaman. Terpaksa ia main
berlompatan ke kiri dan kanan atau mencelat mundur. Hingga
ia menjadi pihak yang terdesak.


Karena ia menang di atas angin, Ya Bie tidak mau berlaku
sungkan lagi. Ia mendesak hebat, ularnya mengangkat
kepalanya dan mengulur-ulurkan lidahnya yang tajam dan
beracun. Sedangkan matanya yang merah bersinar bengis
menakutkan ! Setiap saat lidah itu dapat memagut
sasarannya.........
Oleh karena ia terus main mundur, sendirinya Jie Kiauw
mendekati Hong Kun. Ia menerka, pastilah si anak muda bakal
turun tangan membantunya. Atau sedikitnya anak muda itu
bakal menyela disama tengah, guna memisahkan mereka
berdua.
Tapi Hong Kun berpikir lain. Dia justru lagi memperhatikan
Tonghong Kiauw Couw. Kecantikan nona tiu dan tubuhnya
yang ramping sangat membuatnya kesengsam. Ia pula sangat
mengagumi ilmu pedang nona itu. Mak itu, ia seperti tidak
dengar atau melihat jalannya pertempuran diantara kedua
nona itu....
Untuk selalu mundur, Jie Kiauw mundur memutarkan Hong
Kun. Ia heran bukan main mendapat kenyataan si anak muda
tidak menghiraukannya. Bahkan ia tidak menjadi puas waktu
ia mendapat kenyataan pemuda pujaannya itu justru sedang
asyik memperhatikan Nona Tonghong !
Dalam bingungnya, Jie Kiauw berpeluh pada dahinya. Ia
jadi berpikir keras sekali. Dasar ia cerdik, tiba-tiba ia ingat
sesuatu. Begitulah ketika Ya Bie menyerang pula, ia berlompat
kepada Hong Kun. Itulah loncatan "Rase Lompat dari
Sarangnya".
ketika itu Hong Kun yang lagi mengawasi si nona Tonghong
sudah menurunkan pedangnya hingga ujung pedang nempel


pada tanah di kakinya. Itulah pedang yang diarah Nona Ek,
yang mau merampasnya guna membela diri, buat melawan
terus musuhnya dan kedua membikin si pemuda kehilangan
pedangnya hingga mungkin dia terkejut.
Pemuda she Gak itu kaget sekali ketika tahu-tahu
pedangnya telah kena orang rampas, karenanya ia sadar dari
lamunannya. Ia lantas mengenali Jie Biauw, siapa dengan
bersenjatakan pedang lantas tak main mundur pula, malah dia
mencoba akan balik mendesak Ya Bie.
"Tahan !" teriak si anak muda.
Jie Biauw tidak menghiraukan teriakan itu. Ia memang lagi
panas hati. Ia pula ingin membinasakan Ya Bie. Ia tidak tahu,
orang tak mungkin mendesaknya kalau tadi ia tidak
menggunakan Tauwlo-ciang guna menjatuhkan lawannya itu.
Pertempuran selanjutnya menjadi hebat sekali. Jie Biauw
penasaran dan dengan bersenjatakan pedang, dia hendak
mengumbar kemarahannya. Lantas dia mendesak.
"Tahan !" kembali Hong Kun berteriak dengan cegahannya.
Kali ini suaranya mendengung laksana genta. Sayang,
suaranya itu didengar tetapi tidak dihiraukan. Suara itu lenyap
dibawa sang angin.
Justru Hong Kun berseru itu, justru dia seperti membuka
rahasianya sendiri. Kalau dia selalu memperhatikan nona
Tonghong, nona itu pun sebaliknya. Sebab si nona ingin
memperoleh kepastian, pemuda itu Hong Kun atau It Hiong.
Sekarang ia merasa si anak muda bukannya Tio It Hiong.
Maka lantas ia menghela napas. Ia menyesali dirinya yang tak
berpengalaman hingga mudah saja ia menaruh hati terhadap
seseorang yang belum dikenal. Karena ini dengan diam-diam


ia mengangkat kakinya, meninggalkan tempat pertempuran itu
serta ketiga orang muda mudi, menghilang di dalam rimba
yang gelap.
Hong Kun sementara itu menjadi panas hati. Sia-sia belaka
teriakannya untuk menghentikan pertempuran. Sedangkan ia
ingin sekali mendapat pulang pedangnya. Ia berduka
menyaksikan Kiauw Ciauw meninggalkannya pergi. Nona itu
tanpa melirik pula padanya bahkan cuma menghela napas.
Untuk menyerbu merampas pulang pedangnya dari tangannya
Jie Kiauw, ia pun ragu-ragu. Dua orang itu lagi bertempur
hebat dan kepandaian mereka berdua agak berimbang.
Pemuda she Gak ini menjadi serba salah. Ingin ia menyusul
nona Tonghong tetapi ia memberati pedangnya. Senjata itu
bukan saja perlu terutama itulah pedang mustika. Kalau ia
berati senjatanya, si nona mungkin keburu lenyap hingga tak
dapat disusul lagi....
Selagi bingun dengan hatinya pun panas, tiba-tiba Hong
Kun melihat Ya Bie berhasil melibat Kie Koat Kiam, pedang
ditangannya Jie Biauw dengan ular hijaunya.
Gerakannya Ya Bie gerakan sederhana saja. Kalau toh ia
menjadi lihai, itulah sebab ia dapat mewarisi ilmu cambuk dari
Kip Hiat Hong Mo.
Jie Biauw sendiri berasal murid Ceng Khia Pay. Hanya
belum sampai ia sempurna mempelajari ilmu pedang kaum
itu, ia sudah memisahkan diri. Sebabnya ialah ia lebih suka
mempelajari ilmu yang menggunakan racun. Begitulah ia pergi
pada Im Ciu It Mo dan menjadi muridnya Bajingan itu hingga
ia menjadi berkawan bersama enam saudari seperguruannya.
Ia berhasil mendapatkan dua ilmu tongkat Tauwlo Tiang dan
pukulan tangan kosong Tauwlo-ciang. Kalau ia toh dapat


menggunakan pedang, itulah karena ia sudah mempunyai
dasar dan kemudian menggunakan ilmu tongkat sebagai
gantinya. Lebih dahulu dia dan kawan-kawannya mempelajari
Barisan rahasia Cit Biauw Tin, baru ia menggunakan ilmu
tongkatnya. Sekarang ia menghadapi Ya Bie, yang
genggamannya luar biasa. Walaupun keduanya seimbang, ia
toh repot. Maka diakhirnya itu, pedangnya kena terlibat ular
hijau. Ia menjadi kaget sekali.
Senjatanya Jie Biauw adalah cambuk lunak yang berupa
ikat pinggang, namanya cambuk Kim-tay Piancu. Tapi
senjatanya itu ia tidak bawa. Kesatu disebabkan ia terlalu
mengandalkan racunnya. Kedua karena kepalanya besar, suka
menang sendiri. Ia sangat suka bertindak "semau gue". Di lain
pihak, ia sedang gila asmara. Maka juga ia gilai Hong Kun
selekasnya ia melihat anak muda itu. Dalam hal mana ia
sampai tak menghiraukan yang Hong Kun tidak
memperhatikannya, lebih-lebih disaat si anak muda masih
terpengaruhi obat Thaysiang Hoan Hun Tan. Ia suka
mengeluh sendirinya kapan ia ingat Hong Kun acuh tak acuh
terhadap dirinya, sedangkan ia sendiri sudah menggunakan
segala dayanya guna menarik perhatian orang hingga ia
mengeluarkan lagak centilnya.
Begitulah sekarang, ia terpaksa mesti melayani Ya Bie
sendiri saja. Bukan main kagetnya mendapati pedangnya kena
dilibat. Ia menjadi bingung sekali.
Justru orang bingung itu, justru Hong Kun maju. Baru
sekarang dia mendapatkan kesempatan akan merampas
pulang pedangnya. Dengan meluncurkan sebelah tangannya,
dia henda menyerang senjata istimewa dari Ya Bie atau dia
membatalkan serangannya itu selagi Ya Bie terperanjat.
Lantas ia bersenyum terhadap Nona Tanggung itu, seraya


berkata : "Adik Ya Bie, sudahlah ! Buat apa kau mengotot
melayani dia ?"
Dengan kecerdikannya, Hong Kun membawa aksinya It
Hiong supaya Ya Bie kena diakali. Dan ia berhasil.
Ya Bie pun tertawa.
"Baik, kakak Hiong. Akan aku dengar perkataanmu !"
demikian jawabnya. Lantas nona cerdik tetapi polos ini
melepaskan libatan ularnya pada pedang Kie Koat Kiam terus
ia mundur satu tindak.
Hatinya Jie Biauw lega berbareng girang yang akhirakhirnya
Hong Kun toh datang sama tengah. Tapi ia terus
ingin menguji anak muda itu. Sampai di detik penghabisan ini,
ia masin belum memperoleh kepastian, It Hiong inii Hong Kun
atau Hong Kun sebenarnya It Hiong. Ia terus bersenyum
menatap anak muda itu.
"Oh, kau kenal budak ini !" demikian katanya. "Kiranya
kalian ada dari satu kalangan ! Nah, lihatlah jurusku !"
Berkata begitu mendadak nona Ek menyerang si anak
muda. Ia membacok ke arah kepala. Gerakanya itu sangat
cepat tetapi ia tidak menggunakan tenaga keras......
Hong Kun berkelit ke samping, bukannya dia mundur, dia
justru maju setengah tindak. Dengan tangannya, dia pun
menyangga lengan orang yang memegang pedang, hingga di
lain detik mudah saja dia dapat merampas pulang pedangnya
itu. Sembari mengambil alih senjatanya itu, ia kata : "Oh,
adikku yang baik ! Terhadapku juga kau masih bersikap begini
telengas ?"


Menutup kata-katanya itu, mendadak Hong Kun berlompat
pergi akan lari masuk ke dalam rimba buat menyusul
Tonghong Kiauw Couw !
Dua-dua Ya Bie dan Jie Biauw heran. Terutama Nona Ek,
dia bingung sekali. Kiranya dia telah kena orang permainkan !
Memang, Hong Kun bertindak secara licin sekali.
Justru itu terdengarlah suara berPekik dua kali, lantas
tampai sesosok tubuh besar dan hitam lari berlompatan ke
arah Ya Bie. Tiba di depan si nona, dengan tangannya dia
menunjuk ke arah rumah batu. Sebab dia So Hun Cian Li yang
tadi mendengar seruan si nona. Dia nampak girang sekali,
sedangkan petunjuknya itu cuma si nonalah yang mengerti.
Ketika itu, dengan berjalannya sang waktu sudah lewat jam
empat. Ketika itu pula, di dalam rumah batu sedang terjadi
pertempuran seru, umpama kata "Naga bergulat, harimau
bertarung".
Im Ciu It Mo itu, diatas gunung Hek Sek San sudah
membuat rumah batunya yang istimewa itu yang dilengkapi
dengan pelbagai pesawat rahasia. Kesanalah It Hiong masuk.
Ia mendahului Kiauw In dan Ya Bie kira setengah jam. Hanya
ketika ia masuk, alat-alat rahasia sudah lantas bekerja.
Karenanya ia menjadi terpisah dari Nona Cio dan Ya Bie.
Kiauw In dan Ya Bie tidak menghadapi sesuatu rintangan.
Mereka justru mempergoki Peng Mo bersama Hong Kun !
It Hiong sebaliknya, dia menghadapi ancaman malapetaka !
Selekasnya tiba di dalam, It Hiong lantas melihat sebuah
ruang yang besar tetapi kosong tanpa perlengkapan kursi


mejanya. Ada juga perlengkapan lainnya tetapi membuat
halaman itu lebih mirip ruang piranti berlatih silat.
Di dalam ruang itu ada sebuah pembaringan model
pembaringan selir raja. Di kiri dan kanannya terdapat parapara
senjata. Lainnya tiada. Pada dinding di empat penjuru
nampak sinar hijau berkilauan, sinar itu menerangi seluruh
lantas dan lantainya licin. Sulit menaruh kaki disitu. Anehnya
pintu cuma satu dan jendela tak ada barang sebuah juga.
cahaya terangpun tak tembus dari luar. Maka ruang diterangi
hanya sinar hijau itu.
Suasana ruang yang aneh itu dapat mendatangkan rasa
jeri.....
Ketika It Hiong baru memasuki ruangan, pintu di
belakangnya sudah lantas tertutup sendirinya. Sedangkan di
dalam ruang terus tampak sebuah sinar hijau yang keras
sekali. Ia bernyali besar, ia tidak takut. Sebaliknya, ia terus
mengawasi tajam ke empat penjuru dinding, guna mencari
jalan keluar terutama buat mencari musuh.
Ketika kemudian matanya menuju kepada pembaringan, di
atas itu tampak rebah sesosok tubuh manusia yang tidur
miring madap ke tembok. Kepalanya tertutup dengan kopian
pelajar sebagaimana jubahnya jubah pelajar juga. Kedua
kakinya tubuh itu tertekuk sampai tubuh melengkung. Di
ujung jubah tampak dasar sepatu.
Orang itu rebah tanpa berkutik, napasnya pun tidak
terdengar. Hingga tak dapat dipastikan dialah seorang hidup
atau mayat atau dia manusia benar atau boneka saja.......
It Hiong sudah berpengalaman. Ia tidak menjadi jeri
karenanya. Hal itu justru membuatnya bertambah berhati-hati.


Ia hanya menerka disitu mesti terdapat banyak pesawat
rahasia, peranti mencelakai orang. Itulah yang mesti dijaga.
Setelah mengawasi tubuh yang rebah di atas pembaringan
itu, It Hiong bertindak perlahan mendekatinya. Ia ingin
memperoleh kepastian, orang atau mayat siapa itu adanya.
Baru beberapa tindak, ia sudah berhenti. Lantas ia merogoh
sakunya dan mengeluarkan peles hijau akan menuang enam
butir obatnya yang terus ia telan. Itulah Wan Ie Jie, pil peranti
memunahkan racun, pemberiannya pendeta dari biara Bie Lek
Sie. Setelah itu, ia maju pula.
Tiba di depan pembaringan, anak muda kita menyiapkan
tangan kirinya didadanya.
"Sahabat, bangun ! Tio It Hiong datang untuk belajar !'
Tidak ada jawaban dari orang yang lagi tidur itu, pun tidak
waktu teguran diulangi sampai beberapa kali, hingga akhirnya
anak muda kita mendongkol juga. Maka ia terus berkata
nyaring : "Sahabat, Tio It Hiong tidak mau membokong. Maka
juga lebih dahulu aku menyapamu ! Aku mau berlaku hormat
terhadapmu ! Sahabat, kau bangunlah ! Mari kita bicara.
Sahabat, jika benar-benar kau tidak tahu selatan, jangan kau
sesalkan aku !"
Kata-kata itu ditutup dengan dihunusnya pedang !
Tetap saja tubuh diatas pembaringan itu tidak berkutik.
Tetapi baru lewat sedetik maka dengan sekonyong-konyong
dari bantal, kepalanya tahu-tahu menyembur asap hijau yang
makin lama makin banyak, makin tebal hingga lekas sekali
asap sudah beruap seperti awan yang bergulung-gulung
hingga di lain saat kecuali tubuh orang bahkan
pembaringannya pun tak tampak lagi sebab tertutup asap itu !


It Hiong waspada. Matanya tajam. Ia dapat lihat
mengepulnya asap. Lantas dia lompat mundur beberapa
tindak, untuk seterusnya mengawasi lebih jauh. Tengah ia
memasang mata itu tiba-tiba ia mendengar suara anginnya
senjata menyambar di belakang kepalanya. Tanpa berpaling
pula, ia berkelit ke samping guna menyelamatkan diri. Belum
lagi ia berdiri tegak, senjata sudah datang pula. Sekarang
sempat ia menangkis dengan pedangnya hingga senjata gelap
itu dapat dihalau.
Anak muda kita yang telah memutar tubuh dapat melihat
penyerangnya itu. Seorang dengan tubuh besar dan kekar,
pipinya berewokan, alisnya tebal, matanya gede dan bengis
sorotnya. Dia berumur setengah tua, mulutnya lebar, kulit
mukanya hitam. Pakaiannya singsat sekali. Senjatanya ialah
siang-koay, sepasang tongkat. Dia agak melongo setelah
serangannya tidak ditangkis.
It Hiong rasa ia seperti kenal orang itu. Hanya ia lupa
dimana orang pernah diketemukan atau siapa nama atau
gelarannya.
Orang itu bersikap gagah, melainkan matanya yang kurang
bercahaya. Mengawasi pemuda kita, dia memperdengarkan
suara tak jelas hingga terdengar bagaikan menggerutu.
Melihat mata orang itu, It Hiong segera insaf. Orang itu
mesti seorang jago rimba persilatan golongan lurus tetapi
karena sesuatu dia kena dipengaruhkan Im Ciu It Mo.
Rupanya dia telah diberi makan obat yang melemahkan urat
syarafnya hingga selanjutnya dia kena dipakai sebagai
perkakas hidup !


"Hai, sahabat !" ia lantas menyapa. "Sahabat, kenapa kau
membokong aku ? Bukankah perbuatanmu ini perbuatan
rendah ? Apakah kau tak kuatir nanti ditertawakan orang
sesama kaum Kang Ouw ?"
Ditegur begitu, orang itu nampak terkejut. Air mukanya pun
berubah.
"Hm !" dia mengasi suara di hidung.
It Hiong percaya terkaannya tepat. Maka ia lantas berkata
pula : "Sahabat, apakah nama dan gelarmu ? Bagaimanakah
aku harus berbahasa terhadapmu ?"
Orang itu melihat ke empat penjuru. Agaknya ia menjerikan
sesuatu. Habis itu barulah dia menjawab perlahan : "Akulah
Boan Thian Ciu Kim Tay Liang...."
It Hiong merasa gelaran dan nama itu asing baginya. Ia
tetap percaya orang bukannya kaum sesat atau dari kalangan
pancalongok. Maka ia lantas tanya pula : "Sahabat, kau asal
manakah ? Apakah kau murid dari lembah Kian Gee Kiap ?"
Kim Tay Liang menggeleng kepala, terus dia menghela
napas.
"Tahukah kau akan perkampungan Kim-kee-chung di kota
Haphui ?" tanyanya.
Mendengar disebutnya nama Haphui itu, hati It Hiong
menggetar. Darahnya terus bergolak. Ia telah diingatkan pada
sesuatu yang sukar dilupakan. Karena urusan itu mengenai
soal minatnya menuntut balas serta jodohnya.


Ketika dahulu hari Tio It Hiong berguru pada Tek Cio Tojin,
di dalam waktu tujuh tahun ia telah berhasil memperoleh
kepandaian yang berarti. Maka guna mencari musuhnya, ia
minta ijin turun gunung. Ia menuju ke Haphui mencari Sanbu
Ong Pa guna membuat perhitungan. Karena turun gunung itu,
ia telah bertemu Nona Pek Giok Peng dari Lek Tiok Po hingga
ia disukai si nona hingga ia dibantu si nona waktu malam itu ia
menyerbu gedung musuhnya. Setelah itu, berdua mereka
melakukan perjalanan bersama sampai mereka singgah dan
bermalam di Kim kee-chung. Kebetulan sekali pemilik dari
perkampungan itu, Kim Tay Liang menjadi sahabatnya Pek Kiu
Jie dari Lek Tiok Po. Begitulah, It Hiong jadi bersahabat
bersama chungcu itu bahkan ia berdiam beberapa hari di
rumah orang she Kim itu. Sekarang secara kebetulan ia
bertemu Tay Liang didalam keadaan Tay Liang yang tak wajar
itu, maka ingatlah ia akan persahabatan mereka dahulu.
Lekas-lekas ia memberi hormat.
"Kiranya kaulah Kim Jie-ko, chungcu dari Kim kee-chung !"
katanya. "Selamat berjumpa !"
Di luar dugaan adalah penyambutannya Kim Tay Liang.
Mendadak ia tertawa dingin dan kata bengis : "Kalau kau telah
ketahui nama dari Kim Jieko mu ini, kenapakah kau tidak mau
lantas manda kasih dirimu ditelikung ? Kau mau tunggu apa
lagi ?"
It Hiong tercengang. Orang bicara tidak karuan.
"Benarlah dia telah terpengaruhkan obat." pikirnya
kemudian. Maka tak sudi ia melayani chungcu dari Kim keechung
itu, sebaliknya ia menjadi sangat membenci Im Ciu It
Mo !


Tay Liang melihat si anak muda berdiam, dengan keras dia
menegur : "Sebenarnya siapakah kau ? Kenapa kau lancang
memasuki Kian Gee Kiap, lembah terlarang ini ? Apakah kau
tidak takut nanti kehilangan nyawamu ?"
Habis berkata itu, tanpa menanti jawaban, dia tertawa
bergelak sendirinya.
It Hiong tidak menjadi kurang senang. Bahkan sebaliknya ia
menjadi masgul. Ia menyesali dan mendukakan kesesatannya
chungcu itu. Maka ia memikir buat menolong mengobati. Ia
ingat obatnya yang mujarab.
Tiba-tiba saja sebelum It Hiong memberikan obatnya, dari
belakangnya ia mendengar teguran nyaring dan bengis ini :
"Manusia tak tahu mati tidak tahu hidup !"
Entahlah teguran itu ditujukan kepada Kim Tay Liang atau
terhadapnya tetapi It Hiong sudah lantas memutar tubuhnya
hingga ia mendapat lihat si penegur ialah seorang pelajar
sebagaimana terlihat dari kopiah dan jubahnya. Bahkan dialah
si pelajar yang tadi rebah tak berkutik di atas pembaringan
yang kemudian lenyap di dalam kegelapannya sang asap tebal
!
Ketika itu asap sudah buyar seluruhnya dan pembaringan
pun kosong.
Dengan sabar anak muda kita mengawasi si pelajar. Dia itu
dengan tenang bertindak menghampiri, kedua tangannya
digendongan di punggungnya. Nyatanya muka dia itu sudah
keriputan. Akan tetapi sepasang matanya sangat berpengaruh.
Dialah Ie Tok Sinshe, si ahli racun yang bernama Kan Tie Uh si
murid murtad dari Siauw Lim Pay telah menyerbu Siauw Lim
Sie.


"Tuan, kau bergerak gerik laksana bajingan. Apakah kau
tidak takut perilakumu ini nanti menurunkan derajatmu ?"
kemudian It Hiong menegur. Suaranya keras tetapi sikapnya
tenang dan pedangnya dibawa ke depan dadanya.
Si pelajar keriputan mengangkat kepalanya memandangi
langit-langit rumah. Tanpa menoleh atau melirik si anak muda,
dia kata perlahan : "Kau telah mengenali lohu. Apakah kau
masih tidak mau tunduk untuk memohon ampun ? Kalau
benar, itu artinya kau tidak tahu hidup atau mati !'
Jawaban itu sangat tak sedap untuk telinga.
Sepasang alisnya It Hiong terbangun. Dia gusar.
"Tok Mo, jangan kau bertingkah dengan usia lanjutmu !"
tegurnya. "Pendekar ini biasa dipakai menaklukan siluman dan
membela keadilan ! Yang aku hormati ialah tertua rimba
persilatan yang lurus dan sadar. Sebaliknya penjahat-penjahat
perusak negara, pengacau dunia Bu Lim, tak peduli dia siapa,
dengannya aku tak sudi hidup bersama di kolong langit ini !"
Begitu gagah It Hiong bicara. Si pelajar menjadi terperanjat
dan air mukanya pun berubah sejenak. Selekasnya dia sadar,
dia batuk-batuk lalu terus berseru. "Kim lo-jie, kau bekuk
bocah ini!"
"Ya !" menjawab Kim Tay Lian yang lantas turut berubah
sikapnya. Dengan sepasang kaitannya segera ia menyerang
anak muda kita.
Tidak ada niatnya It Hiong melukai Tay Liang. Atas
serangan itu ia berkelit dengan satu gerakan Tangga Mega.
Karena itu ia pun bepikir : "Apakah Ie Tok ini palsu atau si


tulen ? Perlu aku menyelidikinya lebih dahulu agar dapat aku
mengenalinya benar-benar....."
Menurut pantasnya, tidak dapat Ie Tok Sinshe berada di
Hek Sek San untuk bekerja sama dengan Im Ciu It Mo.
Biasanya orang-orang sebangsa mereka itu -- meski samasama
kaum sesat -- tak sudi mengalah satu dari lain. Mareka
biasa berjumawa dan pikirannya cupat dan juga kejam.
Pepatah pun berkatai : "Dua jago tak dapat berdiri bersama --
Sebuah gunung sukar menempatkan dua ekor harimau." Dan
kalau benar dugaannya, orang ini adalah Tok Mo, maka ia
harus bersedia mengorbankan jiwanya guan
menyingkirkannya.
Selagi It Hiong memikir, Tay Lian sudah menyerang pula
padanya. Dia jadi hebat sekali.
Tetapi si anak muda melayani dengan kelincahannya. Ia
selalu berkelit. Namun, setelah lewat sekian lama ia masih
diserang pulang pergi, mendadak ia berseru : "Tahan ! Kita
mesti bicara dahulu biar jelas !'
Kim Tay Liang telah bernapas mendesak, dahinya penuh
peluh.
"Apa ?" tanyanya. Nyatanya ia masih dapat mendengar
kata-kata orang.
It Hiong tidak menjawab orang she Kim itu. Ia hanya
menoleh kepada si pelajar yang lagi berjalan mundar mandir.
"Tuan !" sapanya. "Bagaimana emas murni tidak takut api,
demikian juga dengan kau ! Kalau kau menghargai derajat
kehormatanmu, maukan kau memberitahukan aku nama dan
gelaranmu?"


Pelajar keriputan itu menghentikan langkahnya. Agaknya
dia berpikir.
"Kau ingin ketahui nama lohu ?" sahutnya kemudian. Ia
menyebut diri lohu, si orang tua. "Apakah kau tak takut
nyalimu nanti rontok ?" Ia berhenti sejenak, baru ia
menambahkan : "Siapa yang ketahui nama lohu, dia biasanya
tak akan berjiwa pula ! Apakah kau masih memikir buat
menarik pulang perkataanmu ini ? Masih ada waktunya !"
It Hiong membuka mata lebar-lebar hingga tampak
sinarnya berkelebat.
"Jangan banyak tingkah, tuan !" tegurnya. "Kau cuma tahu
menggertak orang, sama sekali kau tidak berani menyebutkan
nama dan gelarmu ! Rupanya kaulah si manusia palsu yang
banyak orang nanti datang untuk membuat perhitungan
denganmu !'
Si pelajar keriputan tertawa dingin. Tak sedap suara
tawanya itu, yang dapat membuat orang jeri. Habis tertawa,
dia mengawasi Kim Tay Liang, untuk membentaknya : "Kim
Lojie ! Kau perlihatkan dia benda kepercayaan lohu !"
Habis berkata, dia terus menengadah dan berjalan pula
pelan-pelan.
Kim Tay Liang menyahuti, terus ia lari ke pembaringan.
Dari situ ia mengambil sehelai bendera kecil warna merah
darah untuk terus dikibarkan.
Bendera itu kecil tetapi ada empat buah hurufnya yang
bersinar hijau, bunyinya "Giok Hauw Kip Ciauw" artinya
"Panggilan kilat ke neraka".


Begitu melihat lencana itu, It Hiong mengerti. Lantas ia
ingat halnya dahulu hari di Tay Hong Poo Tian dari Siauw Lim
Sie waktu ia terkena racun hingga dia pingsan. Yang beda
ialah sekarang ini bendera kecil sedang dahulu sehelai kertas
benang sutera, sementara hurufnya sama, empat huruf serta
bersinar hijau.
Lantas juga Kim Tay Liang mau menyimpan bendera itu
atau mendadak si pelajar mengulur tangannya dan
menjambretnya.
It Hiong tertawa. Kata dia : "Bendera kecil itu milik siapa,
aku tidak tahu. Sebab pendengaran dan penglihatanku belum
banyak ! Sebenarnya bagaimanakah asal usulnya itu ?"
Pelajar keriputan itu menjadi gusar.
"Benar kau mau tahu juga ?" tanyanya bengis. "Nah,
serahkanlah jiwamu !"
It Hiong tak gentar akan ancaman itu. Sahut dia sabar :
"Tuan, kau sebutkan dahulu nama dan gelaranmu. Setelah itu
baru kau ambil jiwaku ! Umpama berdagang, kita harus
berlaku jujur satu pada lain. Kau toh tahu aturan itu, bukan ?"
"Hm !" si pelajar keriputan memperdengarkan ejekannya.
"Orang tak tahu mati atau hidup !" Lantas ia menyentilkan
jeriji tangannya membuat bendera kecil itu melesat ke arah
pemuda kita !
Hebat sentilan itu, sebab bendera melesat keras sekali
sampai terdengar suaranya. Tetapi kira-kira ditengah jalan,
mendadak lajunya menjadi kendor seperti ada tangan yang
menarik menahannya.


It Hiong mengawasi tajam. Ia mengerti si pelajar tengah
menunjuki kepandaiannya. Maka itu diam-diam ia menyiapkan
pedangnya, bersedia buat sesuatu kejadian. Ia pun berdiri
tegak, tak berkisar dari tempatnya.
Kapan bendera itu sudah sampai di depannya It Hiong
tinggal lagi satu kaki, tiba-tiba dia mundur lagi tiga kaki. Habis
mana, terus dia maju dan mundur pula. Gerak geriknya mirip
dengan lidah ular yang dikeluar masukkan. Dan itu berjalan
sekian lama, tak mau lantas berhenti !
It Hiong heran berbareng mendongkol. Tapi ia dapat
mengendalikan diri. Hanya ia lantas berpikir : "Siapa mau
membekuk penjahat, dia harus membekuk dahulu
pemimpinnya ! Demikian kali ini. Baiklah aku tak pedulikan dia
Tok Mo yang tulen atau yang palsu. Akan aku singkirkan lebih
dahulu ! Tidak nanti aku keliru membinasakan orang baik-baik
! Dengan begini pula aku jadi lantas dapat bukti kenyataan !"
Lantas secara diam-diam anak muda kita mengumpul
tenaga dalamnya, membuat Sian Thian Hian bun Khie-kang
menjalar ke seluruh tubuhnya. Setelah itu ia membungkuk
seraya kedua kakinya dimendakkan sedikit, guna
mempersiapkan loncatan "Rase loncat dari lubangnya". Habis
mana mendadak saja tubuh bersama pedangnya mencelat
kepada si pelajar keriputan !
Di luar dugaan, tubuhnya si pelajar lenyap secara
mendadak !
Dengan serangannya tanpa mengenai sasarannya,
tubuhnya anak muda kita jadi meluncur terus. Karena
serangannya dilakukan dengan ilmu Gie Kiam Sut, maka itu
supaya ia tak usah membentur dinding dengan lantas ia


menolakkan tangan kirinya. Selekasnya ia berdiri diam, segera
ia memutar tubuh melihat ke belakang terus ke kiri dan kanan.
Benar-benar si pelajar keriputan telah lenyap dari dalam
kamar itu. Bahkan bersamanya hilang juga Kim Tay Lian,
chungcu dari Kim kee-chung itu !
Sementara itu barusan karena bertolak tangan kirinya anak
muda kita, dinding bersuara nyaring dan sinar hijaunya buyar.
Syukur dinding itu kokoh kuat hingga tak usah terhajar
tergempur. Sinar hijau itu membayang-bayang, mirip kunangkunang.
Menyusul itu, ruang pun menjadi sebentar gelap dan
sebentar terang. Entah apa yang menyebabkannya.
Selagi It Hiong memasang mata dan telinga, dari satu
ujung kamar ia mendengar ini suara parau : "Bocah she Tio,
kau untung bagus sebab kau masih mempunyai daya untuk
menyelamatkan dirimu sendiri dari serangannya sinar beracun
! Pernahkah kau merasai racun itu ? Maukah kau merasainya
?"
It Hiong mendongkol. Tanpa mengatakan sesuatu, ia
menyerang ke pojok itu !
Kembali serangan itu gagal, kembali cuma sinar hijau yang
runtuh. Terus runtuhannya melayang berhamburan.
Kali ini terdengar pula suara parau tadi, didahului dengan
tawa dinginnya.
"Oh, manusia tak tahu mampus atau hidup !" demikian
ejekan itu. "Apakah kau berniat menempur aku ? Baiklah, lohu
tak akan membuatmu kecewa ! Nah, kau lihatlah !"


Mendadak saja, tembok terdengar berbunyi bagaikan pintu
menjublak hingga terlihatlah sebuah renggangan besar dari
mana muncul kepalanya satu orang, ialah kepalanya si pelajar
keriputan !
It Hiong sangat cerdik. Segera ia menerka kepada kepala
dari sebuah boneka. Ia tidak jeri sama sekali. Menuruti
amarahnya, lantas ia serang kepala itu !
Bagaikan sebuah kepala hidup, kepala itu dapat membuat
main alis dan matanya. Dia tampak seperti merasa nyeri habis
dihajar, bahkan terdengar juga suara kesakitannya ! Kepala itu
dapat merasai nyeri tetapi tidak rusak !
Serangannya It Hiong ada serangan pukulan Han Long Hok
Houw--Menaklukan Naga, Menundukkan Harimau. Suatu ilmu
silat ajarannya Pat Pie Sin Kay In Gwa Siau sedangkan
tenaganya berpokok pada tenaga dalam Hian-bun Sian Thian
Khie-kang. Maka aneh sekali kepala itu dapat bertahan, tak
terluka atau remuk !
Biar bagaimana It Hiong menjadi penasaran. Terang ia
tengah dipermainkan. Karena ini, ia memikir menggunakan
pedangnya.
Bertepatan dengan itu, dari belakangnya pemuda kita
lantas mendengar suara yang merdu bagaikan nyanyinya
seekor burung kenari. Kata suara itu : "Ayo ! Buat apa kau
bergusar tidak karuan ! Bukankah itu tak menarik hati, tak ada
artinya ? Bagaimana jika kau main-main saja denganku ?"
It Hiong terkejut berbareng redalah hawa amarahnya.
Inilah sebab ia heran mengetahui orang mempunyai
kepandaian ringan tubuh yang istimewa hingga ia tak


menyadari akan kehadiran orang di dalam kamar itu. Celaka
andiakata oang membokongnya. Ia melindungi diri dengan
satu gerakan pedang "Hoat Kong Hok Te". Pedang berputar
kilat di seputar tubuhnya yang terkurung pedangnya itu.
Berbareng dengan mana ia memutar diri untuk dapat melihat
wanita yang menyapanya itu.
Dekat pada dinding, di sana tampak seorang nona usia
enam atau tujuh belas tahun dengan seluruh pakaiannya
berwarna hijau. Tangan bajunya singsat, ujung sepatunya
lancip dan pinggangnya terlilitkan sabuk sulam. Nona itu
menguraikan rambutnya ke punggung dan kedua belah
bahunya. Alisnya lentik, matanya tajam. Dia memiliki muka
yang bulat, yang memakai pupur dan yancie hingga tersiar
keras baunya yang harum, yang menggiurkan hati....
Melihat si anak muda menggunakan pedang menjaga diri,
nona itu tertawa geli.
"Itulah berlebihan !" katanya manis. "Jika nonamu mau
membokongmu, mana sempat kau membela dirimu ?"
"Sungguh mulut besar !" si anak muda menanggapi.
Nona berbaju hijau itu bersenyum. Dia menatap tajam.
"Nonamu tidak berminat mengadu mulut denganmu !"
katanya. "Nonamu cuma memikir aka menyaksikan ilmu
silatmu yang sejati !"
Alisnya It Hiong terbangun. Ia mengawasi tajam.
"Bagaimana kalau kau dipadu dengan Im Ciu It Mo atau Ie
Tok sinshe ?" tanyanya.


Nona itu tertawa pula, alisnya memain.
"Itulah tak dapat dibanding dan disamakan !" sahutnya.
It Hiong heran juga.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 5 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 5 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-5.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 5 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 5 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 5 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-5.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar