Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 6

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 20 September 2011

"Kau jelaskanlah !" pintanya.
Kembali matanya si nona memain manis sekali. Kembali dia
tertawa.
"Apakah kau masih belum mengerti ?" dia balik bertanya.
"Kalau orang-orang rimba persilatan mengadu kepandaiannya,
tak peduli dia dari tingkat tua atau tingkat muda, bukankah
mereka semuanya mengandalkan senjatanya masing-masing ?
Atau kalau menggunakan tangan kosong, mereka sekalian
mengadu tenaga dalamnya ! Benar, bukan ?"
"Habis kau mempunya cara lainnya apa lagi ?" tanya It
Hiong.
Nona itu memiringkan kepalanya, ia melirik. Ia pun
menyingkap rambutnya.
"Kamilah orang perempuan." katanya kemudian. "Laginya
aku adalah seorang wanita yang masih muda sekali. Untuk
kami mencoba kepandai kau bangsa pria, jalan atau
macamnya banyak sekali ! Kalau kau mau, kau cobalah !"
Lantas nona itu mengangkat langkahnya menghampiri si
anak muda. Ia berjalan dengan perlahan, tubuhnya bergerakgerak
halus sekali. Ia sangat menggairahkan.
Hatinya It Hiong goncang. Sungguh lagak orang sangat
menggiurkan.


Bagaikan tertiup angin, bau harum semerbak mendesak
makin keras ke hidungnya si anak muda. Itulah karena si nona
telah mendatangi semakin dekat.
Hatinya It Hiong berdebaran. Ia tidak menolak orang, ia
pun tidak mundur. Ia berdiri seperti menjublak saja. Tak ada
suaranya sama sekali.
Segera juga si nona datang dekat sekali sampai sebelah
tangannya di ulur ke jalan darah hongku di bahu si anak
muda, lalu dengan suaranya yang merdu ia kata : "Kakak
yang baik, kau sempurnakanlah keinginannya adikmu ini.......
Kakak, aku ingin sekali mencoba-coba kepandaianmu yang
sejati......"
Baru saja tangan nona itu menyentuh bajunya, It Hiong
sudah lantas mengelit bahunya itu. Tubuhnya pun mundur
sekalian. Ia menatap tajam si nona.
"Kau mau apa ?" tanyanya.
Si nona menunda langkahnya. Ia menatap si anak muda.
"Hatinya seorang anak perempuan," katanya. "Kau
mengerti atau tidak...."
"Aku mengerti maksudmu !" kata It Hiong. "Kau menjual
lagak, lalu secara diam-diam kau hendak membokong !"
Nona itu melengak. Hanya sedetik, dia tertawa.
"Kaulah orang Kang Ouw, jago Bu Lim !" katanya. "Sudah
sewajarnyaitu kalau kau berhati-hati menjaga dirimu dari
perbuatan curang ! Dalam hal itu, nonamu tidak mau


menyesalkanmu. Aku pun tidak akan menjadi kurang senang.
Akan tetapi, hendak aku memberitahukan kau dalam hal
meramalkan orang, penglihatanmu keliru !" Ia berdiam
sesaaat, lalu ia menambahkan : "Apa juga yang kau kehendaki
dari nonamu, akan nonamu iringi ! Aku cuma ingin kau...."
Mendadak alisnya si anak muda terbangun, matanya pun
mendelik.
"Tutup multu !" bentaknya.
Karena kata-katanya dirintangi bentakan itu, si nona
tampak kurang puas. Nyata wajahnya menunduk. Dia
menyesal dan penasaran. Tapi dia tidak bergusar. Terus ia
menatap muka si anak muda.
"Kau tunggulah aku sampai aku bicara habis, baru kau
bicara." katanya agak penasaran.
Berkata begitu, mendadak matanya si nona berlinang air.
Dua butiran matanya lantas menetes jatuh..
It Hiong melihat wajah orang serta air matanya itu, ia pun
mendengar suara yang halus dan bernada sedih itu. Ia
menyesal, tanpa merasa muncullah kesannya yang baik. Ia
tunduk lalu menghela napas dan berkata : "Apa yang kau
hendak utarakan itu, telah aku ketahui !"
Si nona sudah berpaling ke arah lain. Lantas ia menoleh
pula. Ia mengawasi si pemuda. Air matanya masih meleleh
tetapi ia toh tertawa.
"Jika kau sudah mengerti, nah, kau hiburlah hatiku !"
katanya. "Aku ingin hatiku dilegakan ! Kau menerima baik,
bukan ?"


Sembari berkata begitu, si nona maju mendekati.
Tetapi It Hiong mengulapkan tangan.
"Kau pergilah !" katanya.
Nona itu cerdik. Ia menerka bahwa hatinya si pemuda
sudah menjadi lunak.
"Jika aku pergi, apakah kau tidak bakal menyesal ?"
tanyanya, tetap dengan gerak geriknya yang menggiurkan.
"Kau telah keliru melihat orang, nona !" kata It Hiong
sungguh-sungguh. "Tidak, aku Tio It Hiong. Aku tidak bakal
menyesal !" Ia berhenti sejenak. "Aku tidak berniat
membinasakanmu ! Kau pergilah !"
Si nona berbaju hijau mencibir, dia tertawa.
"Kau mirip seorang beribadat !" katanya. "Kau tidak kenal
asmara, benarkah ? Aku rasa mulutmu lain dari pada hatimu !"
Ia maju setindak mendekati, ia mengeluarkan sapu
tangannya. Agaknya ia hendak menyusut air matanya tetapi
tahu-tahu sapu tangan itu dikebutkan ke mukanya si pemuda !
Hanya sekejap, tersiarlah bau harum yang sangat keras.
It Hiong terkejut. Inilah ia tidak sangka. Karena mencium
bau itu yang tersedot masuk ke dalam hidungnya terus ke
otaknya, mendadak ia merasai sesuatu yang luar biasa. Tanpa
tahunya, napsu birahinya telah terbangun, karena mana
hatinya pun goncang.


Si nona berbaju hijau sudah lantas berada di sisinya si anak
muda kita. Agaknya dia hendak melemparkan tubuhnya ke
dalam rangkulan orang. Sedang matanya bersinar kecentilan
dan wajahnya tersungging satu senyuman manis sekali.
Semua tampang dan gerak geriknya sangat menggiurkan hati.
Di matanya It Hiong, nona itu sangat menarik hati, sangat
menggairahkan. Ia mengawasi dengan hatinya terus
memukul. Ia menatap terus-terusan. Hingga sinar mata
mereka beradu satu dengan lain.
Dadanya kedua muda mudi itu segera juga mau bertemu
satu dengan lain. Tidak cuma dada si pemuda, juga dada si
pemudi bergolak.
Ruang besar itu sunyi sekali. Cahaya hijau membuat
suasana sangat sejuk hingga sarang bajingan itu bagaikan
suatu rumah pelesiran. Kedua tubuh pun hampir saja
bersentuhan.....
Segera tibalah saat yang paling genting. Kedua tangannya
si nona sudah lantas merangkul tubuh orang dan kedua
tangannya si pemuda membalasnya. Ketika itu digunakan si
nona akan menekan jalan darah bwe-in dari It Hiong untuk
dengan jalan itu menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam
tubuh si anak muda !
Di luar sangkanya si nona, totokannya itu mendapat
perlawanan yang kuat. Ia memang tidak tahu yang It Hiong
mempunyai tenaga dalam yang istimewa tangguh. Pertamatama
si anak muda berbakat, lalu dia telah makan darahnya
belut emas yang berkhasiat luar biasa. Kemudian dia sudah
melatih diri dengan ilmu Hian-bun Sian Thian Khie-kang yang
istimewa yang mana diperkuat dengan latihan Gie Kiam Sut,
ilmu pedang mirip terbang melayang. Si nona sebaliknya.


Usianya masih terlalu muda dan dia cuma mengandalkan
paras eloknya serta obat biusnya itu. Ketika ia mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya, akan menekan lebih keras,
dia lantas merasai sesuatu yang membuatnya kaget.
Tenaga kokoh kuat dari It Hiong telah menolak tekanan itu
! Si nona tidak melainkan merasa tangannya tertolak keras.
Bahkan dia pun merasai hawa panas terasalurkan ke jalan
darahnya ! Dia kaget, tak dapat dia mempertahankan diri.
Celakanya, ketika dia hendak menarik pulang tangannya itu,
tiba-tiba saja tenaganya habis. Tangannya menjadi kaku dan
tak dapat digerakkan........
"Celaka !" serunya di dalam hati dan ia menjadi sangat
kaget dan takut.
It Hiong di lain pihak sudah lantas berhasil menekan
hatinya hingga di lain saat ia memperoleh kembali ketenangan
dirinya. Tak lagi ia terganggu napsu birahinya. Dengan telah
makan obat kay-tok-wan dari pendeta dari Bie Lek Sie, ia
memang sukar terserang pelbagai macam racun.
Di saat si anak muda sadar, tubuhnya masih dipeluji si
nona berbaju hijau. Sedangkan kedua tangannya pun belum
dilepaskan hingga mereka berdua saling rangkul....
"Kau bikin apa, eh ?" It Hiong menegur.
Dengan perlahan si nona mengangkat kepalanya, akan
menatap si anak muda.
"Kau lihatlah !" katanya perlahan. "Sebenarnya akulah yang
membuat kau tak sdar atau kaulah yang membikin aku tak
ingat akan diriku...."


It Hiong membuka kedua tangan orang dan menolak
tubuhnya dia itu.
"Kau lihat !" tegurnya. "Apakah kau tidak malu ? Lepaskan
tanganmu !"
Nona itu menggeleng kepala, wajahnya menjadi suaram.
"Aku sudah kalah, aku menyerah......" katanya lemah. "Aku
suka mati ditanganmu....... Inilah lebih baik daripada aku
terbinasa tersiksa hebat ditangan guruku......"
"Apakah kau masih mau main gila ?" It Hiong membentak.
"Masihkah kau hendak merayu aku ? Tak nanti aku terkena
akal muslihatmu ! Baiklah kau tahu diri !"
Air matanya si nona turun meleleh. Dia menangis.
"Aku....." katanya. "Aku.........."
Dengan perlahan It Hiong menolak bahu orang.
"Mengingat usiamu yang masih terlalu muda, suka aku
memaafkan kau." kata It Hiong. "Aku percaya segala
perbuatanmu masih belum berbau darah. Aku tahu
perbuatanmu sekarang ini disebabkan orang telah
menyesatkanmu. Karena kau terpaksa. Karena itu, suka aku
membukakan satu jalan hidup ! Sekarang pergilah kau, untuk
kau kembali ke jalan yang lurus !"
Nona itu mengangguk. Agaknya dia sangat tertarik hati.
"Tuan Tio," katanya. "Kau telah tidak membunuhku,
budimu ini akan aku ingat baik-baik. Nasihat emasmu juga aku


nanti ukir di dalam hati sanubariku. Cumalah aku....
aku........."
"Sudah !" kata It Hiong yang ingat sesuatu. "Tak usah kau
bicara lagi. Kau pergilah !" Lantas ia menotok jalan darah Pekjie
nona itu hingga lengan kanannya jadi dapat digeraki pula
dengan bebas. Tadi, tanpa merasa ia kena totok jalan darah
itu.
Dengan sinar mata bersyukur --bukan lagi sinar mata
centil-- nona itu mengawasi si anak muda. Sedangkan lengan
kanannya itu digerak-geraki guna membikin pulih jalan
darahnya. Kemudian dengan suara berbisik ia kata : "Tempat
ini tempat berbahaya. Maka itu tuan, baiklah kau lekas-lekas
mundur teratur. Nah, kau berhati-hatilah tuan ! Sampai jumpa
pula !"
Nona itu memberi hormat terus ia memutar tubuh
bertindak ke arah pojok kamar dari mana tadi ia muncul.
Tiba-tiba saja terdengarlah satu siulan sangat nyaring dan
tajam yang memekakkan telinga. Suara itu pun sangat seram.
Mendengar suara itu, si nona berhenti melangkah dan
tubuhnya lantas menggigil. Mukanya terus menjadi pucat.
It Hiong turut terkejut, apa pula kapan ia melihat si nona.
Tetapi cuma sedetik, lantas ia mengerti. Perubahan nona itu
tentulah disebabkan dia telah makan Thay-siang Hoan Hun
Tan, obat pengganggu syaraf yang lihai itu.
Menyusul itu dari pojokan terdengar suara yang sayupsayup,
suara musik yang merdu. Sebentar rendah, sebentar
tinggi. Suara itu bagaikan dibawa datang oleh sang angin.


Mendengar suara itu, si nona mendadak meloloskan ikat
pinggangnya yang terasalut benar emas. Selekasnya dia
mengibaskan tangannya, ikat pinggang itu menjadi panjang
dua atau tiga tombak hingga tampak warnanya.
Mengikuti irama musik itu, si nona berbaju hijau lantas
menggerak-geraki kedua tangannya membuat main ikat
pinggangnya itu yang terus berkelebatan. Kedua kakinya pun
turut bergeraka akan mengimbangi gerakan tangannya dan
tubuhnya. Dia nampak seperti orang yang lagi menari. Gerak
geriknya itu cepat dan perlahan menuruti irama. Bahkan terus
ia mengitari si anak muda. Hingga karenanya, It Hiong mesti
turut berputaran untuk memasang mata.
Sebenarnya anak muda kita sudah memikir mencari jalan
keluar guna pergi turun gunung. Siapa tahu ia telah
menyaksikan gerak gerik si nona yang terang sudah
menarikan tarian "Thian Mo Biauw Bu -- tari Bajingan Langit".
Untuk meloloskan diri, ia tidak menghiraukan tarian itu. Terus
ia pergi kepojok guna mencari pintu rahasia. Hanya dalam
usahanya itu, ia terintang si nona yang terus saja menari-narik
memutarinya. Kalau dia sadar akan dirinya, sekarang terang
nona itu telah terjatuh di bawah pengaruh orang. Ya, dibawah
pengaruh obat yang mengacaukan urat syarafnya itu ! Dia
bergerak-gerak secara indah dan menarik hati.
It Hiong mencari terus di sekitar dinding. Ia tidak
memperoleh hasil. Maka juga kemudian ia berdiri diam.
Matanya diarahkan ke empat penjuru kamar. Selagi
mengawasi, otaknya tak henti-hentinya bekerja.
Si nona dengan tarian ikat pinggang itu masih terus
mengganggu seperti juga mengganggunya lagu yang merdu
itu yang entah dari mana datangnya. Halus sekali gerak gerik
pinggang langsing dari nona itu.


Hatinya It Hiong goncang ketika ia mengawasi si nona.
"Oh, kakak yang baik," kemudian nona itu kata, matanya
mengawasi tajam. Sinar matanya memain. "Kakak, kalau kau
ketarik dengan tarianku ini, Bajingan Langit, maka kau
tentulah tertarik juga mendengari nyanyianku, yaitu lagu
Daging Sakti...... Benar bukan ?" Dan si nona tertawa manis.
Tanpa menanti jawaban si naak muda, nona itu lantas
mulai dengan nyanyiannya :
Kekasihku -- diujung langit....
Kekasihku -- di dalam istana rembulan........
Kekasihku -- di dalam hatiku....
Bukan, bukan ! Hanya di depanku !
Lagi menantikan kasihnya daging sakti.......
Nyanyian itu sangat halus dan merdu. Sangat sedap untuk
telinga, sedangkan tubuh si nona bergerak-gerak halus
merayu sang mata. Sinar matanya pun sangat menawan
hati......
Masih berputaran dengan ikat pinggangnya itu, si nona
mendesak si anak muda. Dengan sinar matanya memain, ia
bernyanyi pula :
Kekasihku -- dialah jago di selalu tempat !
Kekasihku -- adalah ahli asmara !
Kekasihku -- dialah bangsawan halus Pekertinya !
Bukan, bukan ! Dialah orang gagah.
Dialah laki-laki sejati !
Dan kau, kaulah adanya. Lekaslah !
Kenapa kau tak mau merangkul aku ?....
Kenapa kau tak mau menerima cintaku ?.......


Ya, cintaku........
Tetap lagu itu sangat merdu, sangat sedap untuk telinga.
Yang bernyanyi sudah menutup multnya tetapi suara nyanyian
masih seperti terdengar di telinga.
Baru setelah dia berhenti menyanyi, maka berhenti juga si
nona menari. Hanya sekarang dengan tindakan halus, dia
menghampiri si anak muda. Ia menatap dan tertawa manis.
"Oh, kakak. Kakak yang baik. Kau kenapakah ?" demikian
sapanya lemah lembut. "Seharusnya orang yang berhati besi
atau batu pun hatinya akan tergerak ! Maka itu, mari aku
tanya, hatimu tergerak atau tidak ?"
"Hm !" It Hiong memperdengarkan jawabannya. "Toh
kepandaianmu cuma sebegini saja. Apakah masih ada yang
lainnya ? Coba kau keluarkan ! Tak ada halangannya, akan
aku mengujinya.
Matanya si nona memain galak.
"Baik, baik !" sahutnya. "Kaulah arhat besi, kakak. Kaulah
arhat tembaga, pendekar sejati. Tetapi hendak aku coba !
Lihatlah !"
Si nona bertindak ke tengah ruang. Sembari berjalan ia
melirik. Tubuhnya melangkah lemas dan menarik hati. Kata
dia : "Kau lihat, kakak. Adikmu akan memberikan pula
pertunjukannya yang jelek......"
Segera nona itu bersilat dengan ikat pinggangnya itu. Ia
bagaikan tengah menari. Hebat ikat pinggang itu dapat ia
geraki dalam pelbagai gerakan. Ikat pinggang berputar-putar,
bergulung-gulung.


It Hiong heran dan kagum. Nona itu diluar sangkaannya.
Dia masih muda tetapi ilmu silatnya sudah sedemikian lihai.
Karena ini, timbullah rasa kasihannya akan nasib orang yang
terjatuh di bawah pegnaruh manusia jahat.
Sesudah menonton sekian lama, diam-diam hatinya It
Hiong gatal. Maka ia pun hendak menunjuki kepandaiannya.
Demikianlah mendadak ia melonjorkan tangan kirinya,
diarahkan ke ikat pinggang si nona seraya ia menggapai.
Hanya sedetik itu, ikat pinggang telah tertarik ke dalam
genggamannya !
Mendapatkan ikat pinggangnya ditarik itu, si nona
bukannya gusar bahkan sebaliknya. Dia tertawa. Dia girang
luar biasa. Sembari tertawa dia kata : "Kakak, apakah kau
jemu melihatnya ?"
"Menurut aku, kepandaianmu ini sama saja dengan
pertunjukannya tukang jual silat yang mencari arak dan nasi !"
sahut It Hiong. "Tidak ada yang bagus dan menarik hati untuk
ditonton !"
Kedua biji matanya si nona berputar, dia nampak berpikir.
Kemudian dia tertawa dan kata : "Oh, kiranya bukanlah
permainan semacam ini yang kakak ingin lihat ! Kiranya itu !
Benar, bukan?"
"Apakah itu ?" si pemuda tanya. "Apakah artnya itu ? Ada
macam apakah lagi ?"
"Itulah bagian bawah dari tarian Bajingan Langit serta
Daging Sakti !" sahut si nona. "Aku jamin, melihat itu, kau
bakal menjadi sangat tertarik hati !"


Begitu dia mengucap, begitu si nona menepuk tangannya
atas mana musik tadi berbunyi pula. Menyusul itu, ia pun
mengangkat kakinya serta menggerak-geraki kedua belah
tangannya untuk mulai menari, sedangkan mulutnya lantas
memperdengarkan nyanyiannya yang merdu :
Aku ada maksudku, tuan ada hatinya.
Bagaimana kalau Daging Sakti dirapatkan ?
Diatas semangat terbetot.
Dari air, dari tanah, itu dapat dicampur aduk.
Kalau baju dilolosi, kakak.
Hatimu pasti goncang !
Tak puas It Hiong mendengar kata-kata menyeleweng itu.
Justru ia lagi berpikir, si nona telah membuka baju hijaunya itu
hingga terlihat dadanya yang tertutup dengan semacam
kutang merah dadu. Sembari berbuat begitu, matanya
memain tak hentinya. Setelah itu, dia melanjuti nyanyiannya.
Kali ni nyanyiannya itu makin mendekati kecabulannya.
It Hiong menjadi tidak puas, apa pula ketika ia mendapat
kenyataan sembari bernyanyi itu tangan si nona pun bekerja
meloloskan pakaiannya hingga dia hampir telanjang hingga
berpetalah tubuhnya yang montok.
"Pergilah !" bentak anak muda kita yang menguatkan
hatinya untuk mencegah dirinya disesatkan si nona yang
benar-benar telah terjatuh ke dalam pengaruh sesat hingga
dia lupa malu.
Si nona tapinya tidak menghiraukan. Dia menari terus, dia
melanjuti nyanyiannya. Selalu dia melirik secara menggiurkan.
Memperlihatkan tubuh asli hadiah ayah dan ibu.


Dari sana timbullah rasa sesar dan sadar !
Ah ! Cinta ? Penasaran ? Semangat ? Daging ?
Bagaimana ?
Semenjak dahulu hingga sekarang.
Orang menipu orang !
Habis menyanyi, si nona lari pada It Hiong, untuk
memeluknya. Sebelaum si anak muda tahu apa-apa, lehernya
telah dirangkul dan bibir dia itu telah nempel di pipinya hingga
disitu tertinggal bekas yancie dadu !
Bukan main terkejutnya si anak muda. Karena ia
berkasihan, tidak dapat dia menolak dengan kekerasan. Si
nona sebaliknya merangkul erat-erat. Lekas ia menjatuhkan
diri untuk duduk bersila ditanah guna mengheningkan cipta. Ia
bersemadhi !
Tidak lama maka merasalah si anak muda bahwa hatinya
tenang. Dengan demikian juga pulihlah ketenangan hatinya.
Ia sadar seluruhnya. Maka ia lantas dapat menggunakan
otaknya.
"Aku berkasihan, hampir aku celaka." pikirnya. "Hebat
pengaruh obatnya si jahat ! Sekarang bagaimana aku harus
bertindak terhadap nona ini yang menjadi lupa daratan karena
dia terpengaruh ?"
Perlahan-lahan It Hiong membuka matanya akan
mengawasi si nona yang masih saja merangkul lehernya.
Begitu ia melihat muka orang ia menjadi terkejut. Nona itu
menjadi pucat. Sinar matanya sayup-sayup. Yang hebat ialah
mulutnya mengeluarkan darah segar !
"Sungguh jahat !" seru It Hiong di dalam hati. "Sungguh
telengas !"


Tak tega ia membiarkan orang mati keracunan.
"Aku mesti tolong padanya !" pikirnya. Maka ia
mengeluarkan peles obatnya yang hijau, enam butir pil ia
jejalkan ke dalam mulut nona itu. Kemudian ia berbangkit
bangun sambil mengangkat juga tubuh si nona.
Nona itu lemas sekali. Tenaganya seperti telah habis.
Karena itu, ia dipondong dibawa ke pembaringan untuk
direbahkan di sana.
Lekas sekali bekerjanya obat. Belum lama jalan napasnya si
nona menjadi tak lemah seperti barusan, kemudian terdengar
dia merintih.
Menampak demikian, lega juga hatinya It Hiong. Jiwanya si
nona ada harapan akan tertolong. Dengan berdiri di depan
pembaringan, ia menguruti tubuh orang guna meluruskan
jalan darahnya. Tetapi melihat tubuh orang yang separuh
telanjang, ia jengah. Mana dapat ia meraba-raba tubuh nona
itu, malah nona yang tidak dikenal ? Sekian lama, ia
mengawasi saja muka orang.....
Si nona merintih semakin keras lalu dia bergulak gulik.
Terang dia tengah menderita. Racun dan obat pemunahnya
rupanya sedang bertarung. Itulah saat mati atau hidup..
It Hiong mendengar, ia berdiam saja. Hati nuraninya
sedang digempur. Ia membantu atau tidak. Kasihan nona itu.
Tak dapat ia dibiarkan tersiksa lama-lama. Giris hatinya
mendengari suara lemah orang !
Tanpa bantuan pengurutan, sulit nona itu tertolong. Obat
harus dibantu tenaga dari luar, baru bisa dapat dibasmi


seluruhnya. Bagaimana sekarang ? Dapatkah ia membiarkan
orang menghembuskan napasnya dihadapannya tanpa ia
berdaya ? Kalau si nona mati, bukankah seperti dialah yang
membiarkannya putus jiwa ?
It Hiong pula berada di dalam sarang penjahat, sarang
musuh. Bagaimana kalau ada musuh yang muncul ? Ia
terancam bahaya, ia pula dapat dituduh, difitnah secara tidaktidak
!
"Ha, kenapa hatiku menjadi begini lemah ?" pikirnya
kemudian. "Kemana semangat kegagahanku ? Aku mesti
mengambil keputusan !"
Sampai di situ anak muda kita lantas bertindak. Paling
dahulu ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya. Ia pun
menjemput baju hijau si nona yang tadi dilemparkannya ke
lantai. Setelah itu ia kembali ke pembaringan.
Si nona masih merintih, darah dimulutnya berubah menjadi
hitam. Pembaringan kotor dengan darah itu.
Cepat sekali It Hiong membeber baju orang diatas tubuh
pemiliknya, menyusul itu ia mengerahkan tenaga Hian-bun
Sian Thian Khie-kang buat akhirnya mulai meraba tubuh orang
buat diuruti. Sebelah tangannya diletaki diatas jalan darah
tan-tian, buat menekannya guna menyalurkan tenaga
dalamnya.
Demikianlah pertolongan diberikan.
Lewat kira setengah jam, rintihan si nona lantas berkurang
bahkan terus berhanti. Tetapi sekarang tubuhnya lantas
bermandikan peluh. Malah peluh itu berbau tak sedap.


Rupanya hawa racun telah keluar dengan perantaraan peluh
itu.
Lega hatinya pemuda kita. Jiwa si nona sudah dapat
ditolong. Maka ia lantas menghentikan mengurutnya serta
juga mengangkat tangannya. Terus ia bangun berdiri. Atau
mendadak ada angin yang menyambarnya. Ia kaget sekali. Ia
mengerti itulah serangan gelap. Tidak ada waktu buat dia
menghunus pedang, maka terpaksa ia mengegos tubuh ke sisi
terus membalik badan dengan kedua tangannya segera
ditolakkan keras !
Kiranya serangan itu berupa tiga buah senjata rahasia Yan
bwe Hui-hoan Piauw, yaitu piauw yang dapat berputar dan
berbalik mirip bumerang. Dan ketika kena tertolak, piauw itu
tidak jatuh ke tanha hanya kembali ke arah dari mana
datangnya. Juga aneh, penyerangan bukan ditujukan kepada
si anak muda, hanya terhadap si nona !
Lantas It Hiong dapat menerka. Si orang jahat mau
membinasakan orang itu yang gagal dalam tugasnya.
Tentunya dengan maksud menutup mulut orang ! Sungguh
kejam !
Habis menghalau senjata rahasia, It Hiong menoleh kepada
si nona. Dia masih rebah, matanya sudah dibuka tetapi sinar
matanya itu sangat bodoh. Dia tampak seperti orang yang
baru sembuh dari penyakit berat. Kelihatannya dia tidak
bertenaga sama sekali. Walaupun demikian, dia memegangi
bajunya. Rupanya dia telah insaf akan keadaan tubuhnya itu.
Mulanya It Hiong memikir menganjurkan orang pergi kabur.
Akan tetapi melihat keadaannya dia itu, dia batal membuka
mulutnya. Dalam keadaan selemah itu, tidak nanti dia
mengangkat kaki.


Waktu It Hiong memandang muka orang, si nona justru
mengawasi padanya. Empat sinar mata lantas beradu !
Kesudahannya si nona lekas-lekas tunduk. Nampak dia sangat
likat. Telinga dan mukanya pun menjadi merah. Itulah
menyatakan dia sudah sadar dan malu sendirinya. Itu pula
menandakan yang dia belum tersesat. Dia hanya korban racun
yang lihai sekali.
Dalam malunya, si nona rebah tak berkutik. Tubuhnya
ditutupi bajunya. Dia pun terus membungkam. Kalau dia
membuka mulut, dia khawatir si anak muda nanti menoleh ke
arahnya....
Sementera itu, piauw bumerang itu masih berputaran.
Menyaksikan demikian, It Hiong menjadi panas hati. Itulah
berbahaya buat ia sendiri terutama buat si nona yang jiwanya
di arah. Maka ia lantas menghunus pedangnya terus ia
memutarnya dengan keras. Kesudahannya itu ialah ketiga
buah piauw runtuh, semua jatuh ke lantai.
Baru sekarang anak muda kita mendekati si nona seraya
berkata : "Nona, lekas kau mengenakan pakaianmu ! Lekas
kau menyingkir dari sini, guna membantu dirimu !"
Sembari berkata begitu dengan pedang ditangan, It Hiong
memasang mata ke sekitarnya buat menjaga kalau-kalau
datang pula serangan pengejut.
"Aku mengerti !" berkata si nona. Dia melihat si anak muda
membaliki belakang, hatinya lega. Segera ia membalik tubuh,
akan turun dari pembaringan buat berdandan dengan cepat.
Ia mengenakan pula pakaian hijaunya itu. Selesai merapikan
rambutnya yang panjang, ia maju ke muka si pemuda. Ia tidak
berani mengangkat kepala akan mengawasi anak muda itu,


hanya sambil tunduk ia kata : "Tuan, kau telah membantu
jiwaku. Budi besarmu ini tak nanti kau lupakan selama aku
masih hidup."
Ia lantas menangis, akan tetapi ia menjura memberikan
hormatnya.
Inilah It Hiong tidak sangka, ia melengak. Biar bagaimana,
ia pun rada likat. Lalu ia kata : "Jangan mengucap terima
kasih, nona. Kita sama-sama orang Kang Ouw. Tak usah kita
memakai banyak ada peradatan."
Si nona menyusuti air matanya dengan ujung bajunya. Dia
menghela napas.
"Biar bagaimana, tuan, kau telah menolong jiwaku."
katanya. "Kaulah orang yang telah menghidupkan pula
nyawaku. Sekarang aku insaf, maka aku hendak menyingkir
dari jalan yang sesat ini. Akan aku menyingkir buat seterusnya
mengembalikan wajahku yang asli !'
"Nona, memang aku telah menolong kau. Tetapi sama
benarnya kau telah menyelamatkan dirimu sendiri." kata It
Hiong. "Kau tahu, aku telah memberikan kau obat guna
membasmi obat yang mengeram di dalam tubuhmu.
Selanjutnya tinggal kau beristirahat guna menjaga
kesehatanmu supaya tubuhmu bersih dari godaan napsu
hatimu."
Si nona mengawasi. Ia agaknya belum mengerti jelas katakatanya
si anak muda.
"Tuan." katanya. "Sekarang ini, apa juga nanti terjadi, aku
mengharapkan bantuanmu supaya aku dapat menyingkir dari
tempat ini. Aku ingin tidak lagi menjadi boneka orang hingga


aku dapat diperintah melakukan segala apa di luar
kesadaranku !"
"Tetapi nona," kata It Hiong, "bukan maksudku menyuruh
atau menganjurkan kau berdurhaka terhadap gurumu.
Aku......"
"Aku mengerti, tuan !" si nona menyela. "Akan tetapi,
apakah tuan tak sudi menolong aku dipermulaannya lalu terus
sampai di akhirnya ? Apakah tuan bermaksud menyuruh aku
tetap berdiam disini supaya aku menderita siksaan hebat ? Di
sini aku dapat dihukum picis......"
Lantas si nona menangis tersedu sedan, tubuhnya sampai
menggigil.
It Hiong terkejut. Tak dapat menerka kekejamannya guru si
nona.
"Baik, nona." katanya akhirnya. "Baik, akan aku melindungi
kau sampai kau lolos dari sini !"
Nona itu menahan tangisnya.
"Dengan kau menjanjikan aku untuk membantu aku keluar
dari sini tuan, itu berarti bahwa bagiku barulah terbuka
kesempatan buat hidup baru pula !" demikian katanya
bersyukur.
It Hiong berdiam sebentar, baru dia menanya : "Nona,
siapakah gurumu ? Apakah nama atau gelarannya ?"
Di tanya begitu, si nona melengak. Akan kemudian
menggeleng kepala.


"Aku berada di sini bukannya karena aku mengangkat
orang menjadi guruku." sahutnya. "Di luar tahuku, orang telah
menculik dan membawaku kemari....."
It Hiong heran, sepasang alisnya bangkit berdiri.
"Nona, baiklah kau bicara secara terus terang saja."
katanya.
Nona itu menggeleng pula kepalanya.
"Tak sepatah kata juga aku mendusta !" bilangnya. "Aku
berani bersumpah !"
Berkata begitu, si nona nampak berduka pula dan air
matanya meleleh.
It Hiong lantas memperlihatkan pula wajah sabar.
"Kalau begitu, nona, selama dirumahmu, kau telah belajar
silat, bukan ?" tanyanya pula
Kembali si nona menggeleng kepala.
"Tidak." sahutnya.
It Hiong tertawa dingin. Dia tak percaya.
"Kalau begitu, sungguh aneh !" katanya keras. "Kau
sebenarnya orang golongan apa ?"
Si nona melengak. Dia menatap si anak muda. Agaknya dia
sadar.


"Ya, tuan." katanya sabar. "Aku ini orang macam apakah ?"
Ia mengangkat kepalanya, agaknya dia berpikir keras akan
mengingat-ingat.
Nona itu menunjuki bahwa ia sudah keracunan hebat.
Walaupun dia telah mendapatkan obat mujarab, ingatannya
masih kurang sempurna. Ia belum sehat seluruhnya.
It Hiong menatap. Ia dapat melihat keadaan sebenarnya
dari nona itu. Jadi ia siapa telah tidak mendusta. Karena itu, ia
tidak mau mendengar.
Lewat sekian lama, si nona berkata pula.
"Aku ingat sekarang." bilangnya. "Pada tiga tahun yang
lalu, pada suatu malam, tengah aku tidur nyenyak ada orang
yang menculikku......"
It Hiong mengawasi, ia masih tidak mau menanyakan
sesuatu.
Si nona menambahkan : "Akulah anak dari seorang
gembala yang biasa hidup mengembara. Selama hidup kami,
kami berada di gurun pasir, memelihara kambing dan kuda.
Menyusuri tempat-tempat berumput dimana ada perairan.
Kami selalu berpindahan, dimana kami tiba, disitu kami
berkemah...". Ia berhenti pula sejenak, baru ia menambahkan
lagi : "Di rumahku, aku mempunyai ayah dan ibu serta kakak
laki-laki juga banyak kawan kerabat........"
"Sudah nona, tak usah kau bicaraterlalu banyak." It Hiong
memotong. "Yang aku ingin ketahui ialah ilmu silatmu.
Darimanakah kau pelajari itu ?"
Si nona berpikir pula.


"Aku ingat sekarang." sahutnya. "Aku mempelajarinya dari
Paman Kim...."
"Siapakah paman Kim mu itu ?" It Hiong tanya. "Dia toh
gurumu ?"
Si nona melengak.
"Paman Kim tidak ada namanya. Dia juga bukannya
guruku."
It Hiong heran.
"Bagaimana caranya pamanmu itu mengajari kau ilmu silat
?"
"Panjang buat kau menutur, tuan." sahut si nona. "Apakah
tuan tidak sebal kalau aku bercerita panjang lebar ?"
"Bukannya aku sebal mendengarnya, nona." sahut It Hiong.
"Hanya sekarang ini kita berada di dalam sarang bajingan. Ini
bukannya tempat memasang omong. Baiklah nona
menjelaskan yang paling penting saja !"
Nona berbaju hijau itu mengangguk.
"Aku ingat." demikian ia mulai dengan keterangannya.
"setelah aku siuman, aku mendapatkan yang aku bukan
berada di rumahku lagi. Yaitu bukannya kemah dimana
terdapat kambing dan kuda kami. Aku justru berada di dalam
gua yang sunyi senyap ! Di situ pula tidak ada seorang lain
juga kecuali seorang yang berewokan dan kulit mukanya
hitam. Baru belakangan aku mendapat tahu dialah orang yang
dipanggil Paman Kim......"


Lantas si nona memperlihatkan tampang sangat berduka.
"Mulanya aku menangis terus, aku merengek minta
diantarkan pulang." kemudian ia meneruskan ceritanya.
"Lantas paman Kim memberi aku makan sebutir pil. Habis
mana selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi, kecuali sampai
sekarang ini......."
"Apakah kau pernah dengar namanya Im Ciu It Mo ?"
"Tidak."
"Apakah kau pernah melihat seorang pelajar tua yang
mukanya keriputan ?"
Si nona membuka matanya lebar-lebar. Matanya itu
dikesap-kesipkan.
"Sudah, sudah !" sahutnya.
"Apakah namanya si pelajar tua itu ? Apakah dia yang
mengajari kau ilmu silat ?"
"Namanya dia itu belum pernah aku dengar. Tapi
sehabisnya Paman Kim mengajari ilmu silat, lantas ada orang
yang bicara disebelah tembok yang mengajari aku ilmu secara
lisan."
"Aneh !" pikir It Hiong. "Ada biasa saja kalau orang
mengajar silat tetapi dia tidak sudi dianggap sebagai guru.
Yang aneh ialah kalau dia tidak mau memberitahukan she dan
namanya juga wajahnya ! Apakah yang terkandung di dalam
hatinya orang itu ?"


"Dengan begitu, nona." ia lantas berkata pula. "Ilmu silat
kau jadi diajari oleh Paman Kim yang berewokan itu.
Sedangkan orang disebelah tembok itu mengajarkan kau ilmu
tenaga dalam. Benar begitu, bukan ?"
Si nona mengangguk.
"Benar." sahutnya. Dia mengangkat kedua tangannya, akan
menyingkap rambutnya. Kemudian dia menengadah langitlangit
rumah untuk melanjuti berkata sabar : "Secara
demikian, tiga tahun sudah aku belajar ilmu silat ini. Selama
hari-hari dan bulan-bulan yang dilewati itu, sudah berapa
banyak gunung dan rimba yang kami telah pergikan, berapa
banyak rumah batu yang kami diamkan, sampai paling
belakang ini kami tiba dan berdiam disini......"
"Sudah berapa lama kalian tinggal disini ?"
Nona berbaju hijau itu berpikir.
"Sudah berapa lama kami tinggal disini, itulah aku tidak
ingat." sahutnya kemudian. "Menurut perasaanku, itulah
rasanya baru kemarin....."
"Apakah si pelajar tua yang bermuka keriputan itu datang
bersama Paman Kim mu itu ? Apakah ada orang lainnya lagi ?"
Si nona melengak, matanya menatap si anak muda.
Kemudian dengan polos dia tertawa.
"Eh, eh, kenapakah kau menanya begini banyak ?" dia balik
bertanya. "Selama beberapa tahun ini aku cuma berada
bersama Paman Kim, belum pernah ada orang lain....."
Si anak muda memperlihatkan tampang sungguh-sungguh.


"Nona." katanya pula buat kesekian kalinya. "Bukankah
barusan nona berkatai aku bahwa nona pernah melihat si
pelajar tua yang bermuka keriputan itu ? Kenapa sekarang
nona bilang tidak pernah ada lainnya orang ?"
Di tanya begitu, nona itu bungkam. Ia berpikir keras.
"Heran, apa kataku barusan ?" katanya. "Kenapa aku jadi
bicara tidak ketentuan, tidak jelas......."
It Hiong menghela napas.
"Mungkinkah barusan nona keliru bicara ?" ia
mengingatkan.
Nona itu tidak menjawab hanya dia terus bicara seorang
diri : "Sungguh menyesalkan ! Semakin dipikir otakku semakin
tumpul !"
It Hiong tidak menanya lagi, ia hanya mengawasi. Ia tahu
orang keracunan hebat, karena mana kesadarannya yaitu
tenaga ingatannya tidak mudah segera pulih. Kalau dia
ditanya terus menerus, pikirannya Bisa menjadi kacau.
Nona itu beberapa kali hendak menggerakkan bibirnya,
saban-saban dia gagal. Ia agaknya tengah berpikir keras guna
memberikan jawabannya.
Lewat sekian lama, baru ia berkata pula.
"Pelajar tua yang keriputan mukanya itu, memang benar
pernah aku melihatnya." demikian katanya. "Hanya kesanku
mengenai dia bagaikan impian saja. Di dalam impian itu,
rasanya dia pernah mengajari aku beberapa jurus ilmu silat,


antaranya ilmu silat yang menggunakan senjata tajam, juga
bertangan kosong dan ilmu ringan tubuh serta latihan
pernapasan... Hanya selekasnya aku mendusin, aku cuma
melihat Paman Kim sendiri....."
Aneh si nona, tetapi melihat lagak polosnya orang mesti
percaya. Maka itu It Hiong menganggap tidak bisa lain dia itu
belum sadar seluruhnya, ingatannya masih lemah. Di lain
pihak, ia tertarik hati.
"Selama dalam keadaan seperti bermimpi itu, selama kau
berlatih," ia tanya sambil tertawa. "bagaimana kalian
berbahasa satu pada lain ? Dan apakah kalian tidak bicara
juga tentang lain-lain partai persilatan ?"
Si nona juga rupanya merasa aneh, bahwa ia bergembira.
Karenanya ia tertawa.
"Tuan, kau sangat cerdik !" katanya. "Bagaimana kau dapat
ingat urusan selama aku seperti bermimpi itu dan
menanyakan justru urusan yang aku ingin menyebutkannya ?"
Ia berdiam sejenak, lalu melanjuti : "Di dalam hatiku melihat
orang tua itu, hatiku jeri berbareng jemu. Akan tetapi aku
tidak berani mengutarakan apa juga terhadapnya. Asal aku
bertemu dengannya, lantas aku belajar silat, ak melatih
pelajaranku ! Aku tidak tahu menahu tentang nama partai !"
It Hiong tertawa. Ia mau menahannya tetapi tidak dapat. Si
nona agak jenaka.
"Selagi kau belajar silat atau berlatih itu," ia tanya pula,
"apakah kalian tetap tidak memanggil atau membahasakan
satu pada lain ? Tak sepatah kata juga ?"


"Itulah bukannya. Aku memanggil dia paman dan dia
memanggil aku A Hoa -- si Hoa. A Hoa itu aliasku”
Dengan "paman" si nona maksudkan "piehu" paman yang
terlebih tua.
"Apakah pamanmu itu tidak menyuruh kau memanggil guru
padanya ?"
"Rasanya dia pernah berkatanya. Katanya sesudah aku
belajar sempurna, baru aku memanggil dia guru. Dia pula
membilangi aku, buat aku turut perintahnya. Yaitu aku
diharuskan membunuh dahulu seratus orang ! Bahkan orang
yang aku tidak niat bunuh, juga dia mestikan aku
membinasakannya ! Itulah syaratnya buat mengangkat dia
menjadi guru !"
"Habis, apakah kau telah lakukan kemestian itu ?"
Nona itu nampak masgul.
"Pasti tidak aku lakukan." sahutnya. "Kenapa aku mesti
membunuh orang ? Apa pula membinasakan seratus orang
dengan siapa kau tidak bermusuhan atau bersakit hati ? Lagi
pula, kenapa aku mesti mengangkat seorang yang aku paling
jemu menjadi guruku ?"
It Hiong berpikir, lalu berkata : "Jika kau tidak menerima
baik syaratnya itu, itu tandanya kau merenggangkan diri dari
dianya ! Itulah suatu tanda bahwa kau terancam bahaya !"
"Kau benar, tuan." kata si nona. Agaknya dia hendak
mengajukan pengaduan atau mengutarakan kesukarannya itu.
"Orang tua itu telah menyuruh Paman Kim berkatai aku, jika
aku tidak meluluskan kehendaknya buat aku membunuh


seratus orang, dia hendak membinasakan aku. Dia pula
menyuruh aku memilih kematian macam apa ! Katanya itulah
kemurahan darinya maka dia memberi aku kebebasan
memilih............."
"Apakah orang sekejam dia masih mempunyai kemurahan
hati ?"
Si nona mengangguk.
"Itulah kemurahannya yang dia menyuruh aku memilih.
Dari pada disiksa, lebih baik mati wajar saja......."
It Hiong menghela napas.
"Jadi kau memilih yang belakangan itu ?"
Mukanya si nona menjadi merah.
"Biar bagaimana, aku hendak berdaya meloloskan diri dari
tangannya dia itu !" katanya. "Aku tidak sangka bahwa dia
justru memerintahkan aku melakukan apa yang aku telah
berbuat atas dirimu ini!"
"Sudah, jangan kau sebut pula urusan kita barusan !" It
Hiong mencegah. "Sekarang mari bicara tentang dirimu ! Kau
tahu, kau masih tetap terancam maut. Tidak nanti mereka
madah saja membebaskanmu !"
Nona itu memperlihatkan tampang duka tetapi ia
menggertak gigi dan berkata dengan keras. "Mereka boleh
menebas kutung tubuhku menjadi dua potong ! Mereka boleh
berlaku itu sembarang waktu ! Aku tidak takut !"


Kata-kata bersemangat itu membangunkan juga
semangatnya si anak muda. Dia kagum sekali yang seorang
nona bernyali demikian besar. Bukankah nona itu tak usah
kalah dari kebanyakan pria ? Maka ia lantas berkata sungguhsungguh
: "Nona, telah aku bilang hendak aku membantu kau
! Akan kau membantu kau lolos dari tangannya si bajingan
jahat ! Sekarang aku ketahui bahwa kaulah orang baik-baik
yang telah terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Maka akan
kau lakukan segala apa guna membuktikan janjiku ! Tak nanti
aku hiraukan ancaman golok atau kapak di batang leherku !"
Si nona nampak senang sekali mendengar janji itu. Tetapi
di saat ia hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba terdengar
suara parau yang datangnya dari pojok ruang, disusul dengan
tawa dingin serta kata-kata ini : "Di depan seorang wanita,
kau bicara enak saja ! Bocah she Tio, apakah kepandaianmu ?
Cara bagaimana kau dapat membantu jiwanya budak hina
dina itu ?"
It Hiong mendongkol sekali.
"Aku bukannya orang yang berjumawa dengan
kepandaianku !" sahutnya nyaring. "Akan tetapi menghadapi
bangsa sesat dan jahat, aku bersumpah tak akan hidup
bersama-sama dengannya !"
Suara parau di pojok itu terdengar pula. Kali ini nadanya
dingin : "Murid yang dididik Tek Cio si imam tua sungguh
bersemangat ! Melihat kau, lohu senang sekali ! Maka itu
mengingat akan kepandaianmu, suka aku memberi ampun
padamu ! Supaya kau dapat hidup terus. Kau tahu diri atau
tidak ?"
Suara itu terdengar tegas tetapi wujud orangnya tidak
tampak.


Saking murka, It Hiong mendelik mengawasi ke pojok. Kata
dia bengis : "Sudah, jangan kau bicara seenaknya saja ! Jika
kau berani, kau keluarlah ! Kenapa kau membawa lagak
bajinganmu, main sembunyi di tempat gelap ? Kenapa kau
takut dilihat orang ?"
Orang dengan suara parau itu terdengar pula suaranya.
Nyatanya dia tidak mendongkol atau gusar walau It Hiong
telah mendampratnya. Ketika dia berkata pula, suaranya tetap
perlahan, tetap dingin.
"Apa yang lohu bilang menyayangi kau." demikian katanya.
"Itu bukan berarti aku menyayangi kepandaianmu, aku hanya
menyayangi keberanianmu ! Kau bersemangat, itulah
menyenangi aku!"
It Hiong sangat mendongkol. Ia meluncurkan tangannya ke
pojok tembok itu. Itulah serangan di udara terbuka. Maka
gempurlah sinar-sinar hijau yang nempel ditembok itu.
"Oh, orang tak tahu mati atau hidup !" terdengar pula
suara parau, datangnya dari pojok yang lainnya. "Kau baik
dengar dahulu aku bicara sampai habis. Baru kau umbar
napsu amarahmu ! Belum terlambat, bukan ?
It Hiong segera memutar tubuh tanpa berkata apa-apa. Ia
hendak menyerang pula ke arah pojok dinding itu, atau
mendadak ia membatalkannya karena ia insyaf, ia berada di
tempat terbuka dan terang. Sebaliknya musuh tidak dikenal itu
di tempat gelap. Itulah berbahaya untuknya. Laginya, dengan
mengumbar hawa amarahnya, ia menjadi membikin keruh
otaknya sendiri. Itulah satu pantangan besar kaum rimba
persilatan ! Maka juga dengan hati bercekat, ia lantas
menyabarkan diri.


"Kau hendak bicara apa ?" kemudia ia menegur, sabar.
"Bicaralah, akan aku mendengarnya !"
"Oh, bocah she Tio." kata suara itu. "Bagus sekali. Disaat
bergusar kau dapat menentramkan hatimu ! Hanya sayang
kau telah keliru berguru hingga kau tidak dapat mempelajari
ilmu yang luar biasa mujizatnya. Dengan apa kau dapat
membunuh orang tanpa orang dapat melihatmu !"
It Hiong menahan marah hingga tubuhnya menggigil. Ia
memang paling benci mendengar orang menghina gurunya. Ia
mengepal keras kedua tangannya. Ia terus berdiri diam, cuma
matanya dipasang, telinganya siap sedia.
Si suara parau itu tertawa dingin berulang-ulang. Lagi-lagi
dia memperdengarkan suaranya yang tidak sedap : "Kau tahu,
kau beruntung sekali yang kau telah berhasil melintasi
benteng-bentengku, benteng tarian bajingan langit dan
nyanyian daging sakti..."
Mendengar suara itu, mukanya si nona menjadi pucat. Ia
tidak berkata apa-apa. Tetapi dia menarik ujung bajunya si
pemuda, membuat si anak muda datang dekat satu tindak
padanya.
It Hiong membiarkan nona itu.
"Kau telah bicara habis atau belum ?" tanyanya pada si
suara parau yang orangnya tak nampak itu.
Si parau tidak menjawab. Dia hanya melanjutkan katakatanya
: "Untung bagus kau ini bocah she Tio. Itu adalah
pemberian orang lain ! Itulah bukan disebabkan kepandaian
tenaga dalammu yang mahir......"


"Manusia pengecut !" It Hiong mendamprat. "Kau takut
bertemu orang, maka juga cuma suaramu saja yang terdengar
! Itu pula kata-kata yang takut menemui orang ! Apakah
artinya tarian Bajingan Langit dan nyanyian Daging Sakti ?
Pengaruh apakah keduanya memiliki ? Apakah kau sangka
tarian dan nyanyian itu dapat merintangi aku ? Hm !"
Mendengar suaranya si anak muda, si nona diam-diam
mengangguk sendirinya. Ia menganggap anak muda ini gagah
dan laki-laki sejati. Bicaranya terus terang. Pemuda itu pun
tidak cabul. Ia menjadi sangat mengaguminya.
"He, bocah !" kata pula si parau itu. "Apakah kau masih
tidak mengenal budi ? Bagaimana aku telah memberi hadiah
padamu ? Kau rupanya telah melupakan diri dan menjadi
takabur sekali !"
"Apakah artinya kata-katamu ini, sahabat ?" It Hiong tanya.
"Siapa bilang aku mendapat hadiah? Aku bebas dari tarian dan
nyanyianmu karena kepandaianku sendiri ! Tidak ada orang
yang membantui dan menolongku ! Kau bicaralah !"
Tiba-tiba si nona berbisik : "Itulah gurumu, tuan !" Habis
itu dia pun tertawa.
It Hiong tidak berkatai apa-apa, ia hanya mengangguk.
"He, bocah. Kau rupanya sudah lupa !" terdengar pula si
parau itu. "Kau tahu nama lohu ?" Dia terus menyebut dirinya
lohu, si tua yang harus dihormati. "Namaku itu pada beberapa
puluh tahun dahulu sudah menggetarkan rimba persilatan !
Itulah sebab lihainya obat yang aku buat ! Ketika itu, tidak ada
seorang juga yang dapat menentang aku. Kalau toh ada satu
orang, dialah si keledia gundul bernama Pek Yam dari kuil Bie


Lek Sie ! Dan itu peles hijau kecil ditubuhmu, itu tentulah obat
Wan Ie Jie miliknya keledia botak itu ! Maka juga, untuk
bagusmu hari ini adalah untung bagus hadiah dari si keledia
gundul Pek Yam itu ! Nah, kau mengaku atau tidak ?"
It Hiong telah bertemu dengan pendeta dari biara Bie Lek
Sie itu. Ia pula telah diberikan itu satu peles obat pemunah
racun yang mustajab. Walaupun demikian, ia masih belum
ketahui namanya si pendeta. Karena sang alim tidak mau
menyebutkan namanya, ia juga tidak berani menanyakannya.
Sampai di sini si parau itu menyebutkan nama orang !
Di dalam kalangan Siauw Lim Pay atau biara Siauw Lim Sie,
pendeta tingkat tua dari turunan huruf "Pek" sudah tinggal
beberapa orang lagi saja. Maka itu, Pek Yam ini mestinya
saudara seperguruan dari Pek Cut Taysu. Mungkin dia suheng
atau sute, kakak atau adik seperguruan ketua Siauw Lim Sie
itu.
Mengetahui namanya si pendeta yang telah melepas budi
padanya itu, It Hiong girang sekali. Sendirinya ia lantas
menaruh hormat. Setelah itu ia kata pada si parau : "Memang,
aku lolos dari bahaya tarian dan nyanyian karena
pertolongannya obat LoSiansu Pek Yam dari Bie Lek Sie itu.
Akan tetapi gelarannya loSiansu, tidak aku tahu. Karena ia
belum pernah menyebutkannya. Kau ketahui gelerannya
loSiansu, cianpwe ? Bagaimana sebabnya itu ? Maukah kau
memberi keterangan padaku ?"
Karena orang menyebut namanya Pek Yam, It Hiong jadi
memanggil cianpwe -- orang dari tingkat tua -- pada si parau
ini.
Si parau tertawa secara jumawa.


"Eh, bocah. Berapa luaskah pengetahuanmu ?" tanyanya.
"Bagaimana sekarang kau berani menantang lohu ?"
It Hiong tidak puas. Ia menanya kemana, dijawabnya
kemana. Maka itu, dengan sungguh-sungguh, dengan suara
nyaring ia kata : "Cianpwe, si sesat dengan si lurus tidak dapat
berdiri atau hidup bersama ! Aku Tio It Hiong, memang aku
tidak memiliki kepandaian yang berarti. Akan tetapi tetap
hendak aku membasmi kawanan bajingan guna menegakkan
keadilan ! Pendeknya, tidak dapat aku menahan sabar
membiarkan orang-orang yang biasa menggunakan racun
secara sewenang-wenang hidup malang melintang di dalam
dunia Kang Ouw ini !"
Si parau bersuara pula, agaknya dia gusar.
"Sudah, jangan mengoceh tidak karuan." dia membentak.
"Aku tanya kau, bagaimana kepandaianmu dibanding dengan
si rahib tua Tek Cio ?"
Kembali It Hiong menjadi mendongkol. Tek Cio Siangjin,
gurunya itu, disebut secara demikian memandang rendah !
Bukankah gurunya itu menjadi salah satu dari Sam Kie, tiga
orang berilmu dijamannya itu ?
"Sudah !" bentaknya. "Sekarang mari kau coba ilmu Hianbun
Patkwa Kiam dari guruku itu !"
Lantas It Hiong menghunus pedangnya untuk diputar.
Si parau menyambut dengan tawa dingin.
"Lohu tidak memikir menurunkan derajatnya dengan
melayani menempur kau si orang muda dari tingkat rendah !"
demikian katanya mengejek. "Aku pula tidak memikir akan


bicara lebih banyak pula denganmu ! Sekarang aku
membiarkan kau dapat hidup lebih lama sedikit. Nah, kau
larilah ke belakang untuk melihat-lihat di sana !"
Habis si parau berkata, maka sunyilah ruang itu. Sebaliknya
lewat sedetik, maka di sebuah pojok tampak terpentangnya
sebuah pintu yang kecil.
Melihat pintu itu, It Hiong segera berpaling pada si nona
berbaju hijau. Agaknya ia ingin bicara atau menanya. Akan
tetapi ia ragu-ragu.
Nona itu melihat gerak geriknya si anak muda, dia cerdik,
dia lantas mengerti. Maka ia lantas berkata : "Di belakang
ruang itu ada sebuah lorong yang menembus sampai ditanah
datar di kaki puncak. Mungkin itulah jalan untuk turun gunung
!"
Alisnya si anak muda bangkit.
"Kita jangan hiraukan itu !" katanya nyaring. "Mari kita
maju !"
Dengan tangan kanan bersiap dengan pedangnya dan
tangan kiri mencekal tangan halus lembut si nona, It Hiong
lantas berjalan berendeng menghampiri pintu kecil itu untuk
memasukinya. Ia melihat suatu tempat mirip gua dimana
terdapat sinar terang yang lemah. Segala sesuatu tampak
cukup nyata. Ke empat dinding temboknya tidak rata dan ada
celah-celah atau renggangan dimana molos sinar terang. Di
atas --pada langit-langit-- terlihat stalakmit yang merakar ke
bawah, panjang dan pendeknya tidak rata. Tempat itu demek
dan mendatangkan rasa dingin. Jadi tempat itu beda seperti
langit dan bumi dibanding dengan ruang besar tadi.


"Nona, pernahkah kau datang kemari ?" tanya It Hiong
selekasnya kakinya melangkah masuk.
Si nona bukannya menjawab, dia justru menjerit. Eh,
kenapa dapat berubah begini ? Kenapa berubahnya begini
cepat ?"
Mendengar itu, insaflah It Hiong yang mereka sudah kena
perangkap. Maka segera ia memutar tubuh atau ia menjadi
kaget ! Pintu yang barusan itu sudah lenyap ! Pintu tertutup
tanpa suara apa-apa !
Si nona sebaliknya kaget hingga dia menjerit. Maka tahulah
si anak muda yang nona ini masih hijau pengalamannya. Maka
ia lantas menghibur dengan suara perlahan : "Jangan takut,
nona ! Di dalam keadaan seperti ini hilang jiwa juga jangan
kita gentar ! Segala apa sudah terlanjur, kita harus besarkan
hati ! Apakah yang harus ditakuti ? Walaupun pesawat mereka
lihai, mereka tak akan dapat berbuat apa-apa terhadap
pedangku ini ! Seluruh tubuh kita adalah jadi merah !"
Dengan memasang matanya, It Hiong segera mengawasi
tajam ke empat penjuru. Ia tidak percaya ruang itu tidak
mempunyai jalan keluar. Di lain saat maka ia melihat sesuatu
yang mencurigai. Di dinding tampak menonjol sepotong
rebung batu warna hijau. Besarnya seperti jeriji tangan.
Biasanya batu semacam itu tidak akan menarik perhatian,
tidak demikian bagi pemuda kita.
Juga si nona baju hijau yang turut memasang mata melihat
batu itu. Ia pula melihat perhatiannya si anak muda.
"Tuan, apakah tuan hendak mengambil batu itu ?"
tanyanya.


It Hiong menjawab perlahan sekali. "Mungkin batu itu
alatnya pesawat rahasia..... Mungkin juga orang telah
menaruh racun hingga tak dapat orang merabanya...."
Si nona mengawasi tajam.
"Nanti aku coba." katanya. "Kita tak dapat terlalu lama
berdiam disini."
Berkata begitu, si nona melepaskan tangannya dari cekalan
It Hiong. Terus ia berduduk bersila di tanah untuk
bersemadhi. Kedua matanya dipejamkan.
It Hiong berdiri di sisi si nona. Ia pun memusatkan
perhatiannya. Ia meluruskan otot-ototnya. Ia bernafas dengan
perlahan-lahan. Satu kali ia ingat Kiauw In dan Giok Peng,
tiba-tiba saja pikirannya menjadi terganggu. Ia tak tahu
bagaimana dengan mereka itu. Ingat Giok Peng, terus ia ingat
Hauw Yan, puteranya. Karena pikirannya tidak tenang itu,
lantas ia teringat juga kepada Tan Hong dan Ya Bie...
Syukur Tan Hong dan Ya Bie dapat kembali ke jalan
lurus.... demikian pikirnya.
Lalu ia ingat juga Hong Kun. Hebat kawan itu yang menjadi
saingan dalam asmara hingga mereka berdua menjadi musuh
satu dengan lain. Atau tegasnya, Hong Kun yang
memusuhkannya hingga ia mau dibikin celaka.
"Dia tersesat, dia harus dibinasakan." pikirnya lebih jauh.
"Tapi dialah bekas sahabatku, pantas kalau dia diberi maaf."
Kemudian It Hiong ingat gerakan Bu Lim Cit Cun. Itulah
pergerakan besar dan berbahaya yang dapat merusak dunia
Kang Ouw atau Bu Lim. Saatnya pertemuan sudah mendatangi


semakin dekat. Sebaliknya pedang Keng Hong Kiam masih
juga belum di dapat pulang. Pedang itu sangat perlu guna
menaklukan para pengacau sungai telaga itu....
"Dan sekarang aku lagi menghadapi Tok Mo yang lihai
ini......" pikirnya pula.
Tanpa merasa, anak muda kita menghela napas dalamdalam.
Karenanya pemusatan pikirannya menjadi buyar.
"Ah !" serunya kemudian.
Tengah bermasgul itu, It Hiong lantas merasai hawa rada
hangat. Segera ia sadar pula. Maka ingatlah ia yang tidak
dapat berdiam lebih lama pula di dalam sarang lawan.
Kemudian It Hiong menoleh kepada si nona berbaju hijau.
Nona itu masih terus duduk bersila tanpa bergeming. Matanya
terus dipejamkan. Terang nona itu tengah memusatkan
perhatiannya. Melihat keadaan si nona, ia merasa berpikir....
Ingat akan keadaan dirinya, It Hiong lantas memikir jalan
buat meloloskan diri. Pertama-tama ia melihat dua jalan. Satu
ialah menggempur pintu atau tembok buat keluar dengan
paksa. Satu lagi ialah mencari dan menemukan pintu rahasia.
Pintu rahasia sukar dicari. Pintu batu itu mestinya sangat
tangguh hingga tak mudah didobrak dengan kekuatan
tenaga......
Sesudah berpikir keras sekian lama, It Hiong bertindak
menghampiri batu menjol itu. Ia sudah mengulur tangannya
akan memegang batu itu atau segera ia menarik pulang
tangannya itu. Tiba-tiba ia ingat kalau-kalau batu itu ada
racunnya. Kalau ia terkena racun, bisa-bisa ia roboh atau
mungkin jiwanya akan melayang pergi.....


Sesaat itu, It Hiong lupa yang ia telah menelan Wan Ie Jie,
obat si pendeta dari biara Bie Lek Sie.
Tapi sehabis menarik tangan kirinya, It Hiong sebaliknya
meluncurkan pedangnya di tangan kanan. Ujung pedang
disentuhkan kepada batu itu. Nyata batu itu nancap keras,
pedang tak dapat membuatnya bergeming. Batu itu pula licin
seperti memangnya sudah lama berada disitu. Hanya adakah
itu batu wajar dan bukannya dipasang oleh tangan manusia ?
Di awasi sekian lama, batu itu tidak memperlihatkan
sesuatu yang mencurigai.
"Mungkinkah ini bukannya alat rahasia ?" pikir anak muda
kita. Ia agak menyesal. Tapi ia penasaran. Ia mengawasi lebih
jauh. Formasi batu luar biasa sekali. Tak mungkin batu itu
wajar saja berada disitu ! Batu lainnya tidak ada yang seaneh
itu !
Lalu dengan ujung pedangnya, It Hiong membentur batu
itu pergi dan pulang, ke kiri dan ke kanan, dari perlahan
sampai keras. Masih batu rebung tetap tak berkutik !
Kemudian It Hiong menekan batu dengan ujung pedang,
dari perlahan sampai keras. Maka itu dengan sendirinya ujung
pedang melesak ujungnya sedikit ke dalam batu. Karena itu,
terdengarlah suara batu tergorok pedang.
Anak muda kita bercuriga, telinganya pun terang sekali.
Kapan ia mendengar suara goresan itu, kecurigaannya
menjadi bertambah. Maka akhirnya ia mau percaya, batu itu
memang pesawat rahasia. Hanyanitu alat ini terpasang
dengan kuat sekali hingga tak mudah tergoyah.


Tidak bersangsi pula, It Hiong mengerahkan tenaga
dalamnya, lengan kanan. Ia tidak mau berlaku sembrono.
Tenaganya ditambah sedikit demi sedikit. Tak lama maka
terdengarlah satu suara keras, suara menjublaknya pintu
rahasia. Maka dihadapan mereka berdua terbentanglah
sebuah pintu !
It Hiong girang bukan main. Mau ia memanggil si nona
berbaju hijau yang sejak tadi duduk bersila terus. Justru ia
berpaling, justru si nona maju padanya hingga mereka hampir
saling bertabrakan, muka mereka hampir menempel satu
dengan lain !
Dua-dua muda mudi itu terkejut, mereka melongo saling
mengawasi. Mulut mereka tertutup rapat. Barusan si nona
mendengar suara menjublak, dia membuka matanya. Melihat
pintu rahasia, dia girang tak terkirakan. Lantas dia berlompat
bangun dan lari pada si anak muda, justru anak muda itu
berpaling hingga hidung mereka hampir beradu !
It Hiong lekas juga menentramkan hati. Ia pun dengan
berani lantas memutar tubuh pula. Buat bertindak masuk ke
dalam pintu rahasia itu.
Si nona mengikuti tanpa berkata apa-apa.
Keduanya berlaku waspada.
It Hiong mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah
kamar yang empat penjuru dindingnya berbatu granit. Kedua
sisi tembok tidak ada jendelanya. Ruang pun kosong, bahkan
tanpa kursi atau meja. Cuma nempel pada tembok terdapat
sebuah pembaringan yang hitam mengkilat, entah terbuat dari
kayu atau semacam logam. Di atas pembaringan itu duduk


numprah seorang tosu, rahib Agama To, melihat siapa anak
muda kita menjadi heran hingga ia terus menatap.
Tosu itu sudah berusia lanjut. Dia mengenakan jubah putih,
tubuhnya tegak, mukanya merah segar, rambutnya sudah
putih seluruhnya sedangkan alisnya panjang. Ketika itu dia
duduk samil memejamkan mata.
Yang membuat It Hiong heran ialah ia kenali tosu itu
adalah Tek Cio Siangjin, gurunya sendiri !
Maka anehlah yang gurunya berada di tempat itu hingga ia
terus mengawasi dengan dadanya bergelombang sebab
jantungnya memukul keras. Sudah banyak tahun karena
perantauannya, ia tak bertemu gurunya itu hingga ia pun tidak
tahu gurunya berada dimana. Segera timbul rasa hormatnya,
tanpa ragu pula ia menekuk lutut di depan tosu itu untuk
memberi hormat seraya ia memanggil perlahan : "Suhu !" Pula
tanpa merasa, saking gembiranya, air matanya turun meleleh.
Tetapi aneh adalah si guru. Beberapa kali dia dipanggil
muridnya itu, dia berdiam saja. Dia duduk tidak bergeming.
Dia seperti tidak mendengar suara orang atau kehadirannya
orang lain di dalam kamar itu.
Si nona berbaju hijau berdiri di sisinya It Hiong. Ia pun
mengawasi saja si tosu hingga ia melihat dan mendengar
dengan nyat. Karena si tosu berdiam saja, timbullah rasa
anehnya. Sendirinya ia menjadi bercuriga.
"Kakak." katanya pada It Hiong sesudah ia menantikan
sekian lama pula. "Kakak, coba kau perhatikan ! Coba kakak
lihat, tosu itu masih hidup atau sudah mati !"


Tidak cuma berkata, si nona pun memegang lengannya si
anak muda buat diangkat dikasih bangun terus ia berkata pula
: "Kakak, apakah kakak tidak merasa aneh ? Bukankah guru
kakak seorang pertama yang lurus ? Kenapa ia justru datang
kemari dan berdiam disini ?"
It Hiong menepas air matanya. Ia lantas berpikir. Benar
kata-kata si nona. Gurunya itu bersikap aneh. Tak biasanya
gurunya pendiam sedangkan ia tahu benar, biasanya guru itu
ramah tamah.
"Kau benar juga, nona....." katanya perlahan.
Sambil mengawasi tajam, It Hiong menghampiri gurunya
itu lebih dekat. Ia meneliti rambut dan muka orang. Ia merasa
tak salah lagi, tosu itu benar gurunya.....
"Suhu !" ia memanggi pula. Kembali ia menekuk lutut.
"Suhu, maafkan muridmu ! Aku telah mengganggu pertapaan
suhu ! Suhu, tolong suhu membuka matamu, melihat pada
muridmu ini....."
Kembali si murid menangis, walau tanpa suara.
Si tosu terus duduk bagaikan patung. Ia tak bergerak, tak
membuka matanya, tak mengatakan sesuatu. Dia bagaikan
tak mempunyai perasaan.
Dari berlutut It Hiong mendekam di lantai. Ia bingung. Ia
juga lantas ingat segala sesuatu yang telah berlalu selama ia
berdiam di Pay In Nia melayani gurunya itu pada siapa ia
belajar silat dan surat. Guru itu menyayang dia sebagai juga ia
adalah seorang anak. Guru itu keras mendidiknya tetapi belum
pernah ia ditegur atau dirotani. Maka heran sekarang,


menghadapi murid kesayangannya, guru itu berdiam saja
sebagai patung.
"Mungkinkah suhu tengah bersemadhi sampai di bagian
yang paling genting ?" demikian si murid berpikir. "Kalau
benar, kalau kena terganggu, suhu bisa celaka karena
kegagalannya. Inilah berbahaya......"
Diam-diam It Hiong mengeluarkan peluh dingin, hatinya
berdebaran.
It Hiong menyesal sekali, maka ia terus mendekam tanpa
berkutik. Tapi pikirannya terus kacau. Ia heran dan bingung,
ia ragu-ragu...
Karena semua orang berdiam, kamar menjadi sunyi seperti
semula tadi.
Si nona berbaju hijau berdiri mematung, matanya
mengawasi It Hiong. Ia pun heran hingga ia berpikir keras.
Dengan lewatnya sang waktu, It Hiong mulai dapat
berpikir. Ia ingat kata-kata si nona yang meragukan gurunya
itu. Memang, kenapa gurunya bertapa di tempat rahasia itu
yang menjadi sarang si bajingan ? Itulah tak mungkin, bukan
? Hek Sek San bukan tempat yang cocok dimana orang dapat
mensucikan diri. Bukankah Kiu Hoa San jauh terlebih baik ?
Saking heran, pikirannya si anak muda menjadi kacau.
Hingga ia mau menerka, pa-apa yang tak menjadi, lantaran
kejujurannya, gurunya itu telah kena orang akali hingga dia
kena makan racun dan karenanya menjadi terpengaruhkan
orang jahat.
Giris memikir demikian, It Hiong menggigil saking berkuatir.


"Tidak ! Tidak mungkin !" ia berseru tanpa disengaja.
"Tidak mungkin !"
Kembali murid ini mengangkat kepalanya, mengawasi
gurunya itu. Kembali air matanya menetes jatuh !
Si nona berbaju hijau terperanjat.
"Kakak !" serunya. "Kakak, kau kenapakah ?"
Si nona kaget karena menyaksikan lagak orang serta
mendengar seruannya itu.
Segera It Hiong berlompat bangun, matanya mengawasi ke
seluruh kamar. Sekarang ia telah berpikir tetap. Matanya pun
bersinar berapi.
"Jahanam yang malu bertemu orang !" demikian katanya
keras. "Kenapa kau bersembunyi saja? Kalau kau benar
mempunyai kepandaian, perlihatkan dirimu ! Mari kau
bertempur denganku, Tio It Hiong !"
Nadanya itu mengandung penasaran.
Segera terdengar jawaban parau yang dingin : "Kepandaian
? Kau mau bertempur ? Hm ! Oh, bocah tak tahu hidup atau
mati ! Memangnya kau sudah bosan hidup ?" Suara itu
mendengung di dalam kamar itu. Baru suara itu lenyap, lantas
terdengar pula sambungannya : "Bocah ! Kau telah melihat
tegas atau tidak ? Kau mau menempur aku ? Hm ! Lihat
gurumu itu, Tek Cio si hidung kerbau ! Dia tersohor kosen
tetapi dia toh tak mampu lolos dari tanganku ! Telah aku
tahan dia, telah kukurung disini ! Bagaimana kepandaian


gurumu ? Jangan kau membuat lohu gusar, itu cuma berarti
kau meminta mampusmu saja !"
Suara tak sedap itu ditutup dengan suara batuk-batuk
kering !
Bukan kepalang gusarnya It Hiong. Dadanya bergolak,
matanya berapi, alisnya pun berdiri.
"Jika kau benar berani, muncullah !" bentaknya. "Kalau kau
berani bertanding hidup mati denganku, barulah kau benarbenar
mempunyai kepandaian !"
"Hm ! Hm !" demikian suara mengejek tawa, jawaban
lainnta tidak ada. Baru lewat sejenak, si parau itu berkata :
"Kau mau menempur aku ? Hm ! Kau tahu, hari ini aku mau
berurusan dengan Tek Cio si hidung kerbau ! Kau mengerti !"
"Iblis !" seru It Hiong. "Iblis !"
"Bocah, kau harus mengerti !" kata si suara parau. "Kau
tahu bocah, aku minta keadilan !"
"Kau mengoceh saja !" bentak It Hiong. "Keadilan apa yang
kau minta ?"
Si parau tertawa. Tapi kemudian dia menghela napas.
"Buat aku menjelaskan bocah, itulah suatu cerita panjang."
katanya. "Kalau aku tidak menuturkan kau tentunya tidak
tahu. Itulah satu peristiwa yang menyedihkan. Karena itu,
keadilan pun telah terpendam......"
"Jangan kau mengoceh saja !" It Hiong membentak. "Lekas
kau perlihatkan dirimu. Lekas kau beri keterangan padaku !


Ingat, Tio It Hiong dapat menggempur kamar ini dan
menginjak rata sarangmu !"
Dalam sengitnya, si anak muda menikam kepada dinding
hingga batu granitnya gempur dan rontok.
"Jangan galak, bocah !" kata si suara parau. "Kau dengar
dulu ceritaku ! Di saat aku bercerita habis, itu pula saatnya
jiwamu lenyap !"
Mendengar itu, si nona berbaju hijau menarik ujung
bajunya si anak muda terus dia berbisik : "Kakak, tidak ada
halangannya untuk mendengarkan ceritanya......."
"Hm !" It Hiong perdengarkan suara tawar, lantas ia
berdiam. Cuma pedangnya yang disiapkan.
Kembali terdengar suara parau tadi.
"Nah, dengan berlaku begini barulah artinya kau tahu
selatan !" demikian katanya. "Kalau kalian mengerti ceritaku,
itu pun ada baiknya....
It Hiong berdiam saja, juga si nona. Si anak muda
menyabarkan diri.
Suara parau itu terdengar pula, nadanya sedikit lain. Suara
itu lebih keras.
"Cerita yang hendak aku tuturkan ini adalah peristiwa pada
empat puluh tahun dahulu !" demikian si parau mulai. "Itulah
cerita yang menyedihkan dan hebat. Maka itu lohu demi
pembalasan dendam sudah membunuh juga membinasakan
beberapa orang Kang Ouw. Semua itu guna meminta keadilan
! Kau tahu, perbuatanku itu telah menarik perhatiannya apa


yang dinamakan kaum sadar dan lurus ! Mereka para ketua
dari sembilan partai besar. Mereka itu mencari dan mengejarngejar
lohu, yang mereka hendak binasakan ! Di antara
mereka itu terhitung juga Tek Cio si hidung kerbau, gurumu
itu bocah !"
Dia berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas.
"Ketika itu," begitu dia melanjuti. "Lohu berada seorang
diri. Tidak dapat lohu melawan mereka. Kau tahu, jumlahnya
mereka belasan dan semuanya orang-orang tersohor !
Seorang diri lohu diperhina mereka itu ! Apa juga mau
dibilang, buatku ialah lohu mesti melindungi diriku. Karenanya
lohu selalu membela diri sambil mundur setapak demi setapak.
Tapi mereka itu telengas sekali, terus-terusan lohu dikejar
mereka. Akhirnya lohu telah di desak sampai di tepi jurang es
di gunung Thian San. Adalah gurumu, si hidung kerbau itu
yang mengandalkan ilmu pedangnya yang lihai telah memaksa
aku mundur ke tepi jurang itu. Disitulah kesembilan ketua
partai tidak lagi menghormati sopan santun kaum Kang Ouw.
Berbareng mereka menyerang lohu dengan pengerahan
tenaga dalam mereka. Tak lagi lohu berdaya. Maka robohlah
lohu ke dalam jurang ! Dasar orang baik dilindungi Tuhan,
lohu tak mati walaupun lohu telah terlempar ke dalam jurang
itu. Lohu roboh terasangkut di sebuah pohon besar dan lebat,
dimana selembar jiwaku ketolongan........."
lagi si parau berhenti sebentar. Lewat sejenak baru ia mulai
pula. "Sejak itu lohu hidup di dalam penderitaan. Lohu
mencari hidupku dan ilmu kepandaian pula. Lewat belasan
tahun, barulah lohu muncul pula dalam dunia Kang Ouw.
Demikianlah kali ini, lohu berhasil membekuk Tek Cio si hidung
kerbau dan mengurungnya disini. Meski begini, lohu tidak
menghendaki jiwanya. Lohu menaruh belas kasihan


terhadapnya. Sebaliknya, lohu mau mencari penggantinya dari
siapa lohu hendak meminta keadilan ! Dan itulah kau !"
Kembali dia berhenti, lalu batuk-batuk. Agaknya dia puas
sudah dapat menutur lakonnya itu. Dia pun mengeluarkan
napas lega. Setelah itu dia kata pula : "Nah, bocah.
Bagaimana pikirmu sesudah kau mendengar peristiwa hebatku
ini ? Sekarang ini maksudku yang utaman yang ingin lekaslekas
aku lakukan ialah membalas sakit hati itu. Dan itu
mungkin soal paling menyedihkan untukmu ! Bocah,
bagaimana kau pikir andiakata kita balik keadaan kita ini ? Kau
menjadi aku dan aku menjadi kau. Bagaimana kau hendak
bertindak ?"
It Hiong mendongkol sekali.
"Hm !" ia memperdengarkan suara dinginnya. "Itulah
urusan kalian dahulu hari ! Semua itu cuma diketahui oleh
para ketua dahulu itu ! Aku sendiri, aku tak menghiraukannya
! Aku cuma mau mengurus kejadian di depan mata kita ! Jika
kau tidak pulihkan kesehatan guruku sebagaiman adanya, aku
cuma mau mengadu jiwa denganmu !"
Si suara parau itu tertawa dingin.
"Bocak cilik, kau benar-benar bernyali besar !" katanya.
"Tetapi bocah, tentang ilmu silatmu, lohu ketahui sampai di
dasarnya ! Buat apa kau berlagak galak begini ? Lihat saja
gurumu itu ! Kau lihatlah tulang selangkanya ! Telah aku
belenggu erat-erat ! Begitu juga ingatannya, telah lohu kekang
! Dia sekarang cuma mayat hidup ! Dia sudah bercacat, dia
tidak ada dayanya samasekali !"
It Hiong kaget dan gusar menjadi satu. Ia masuki
pedangnya kedalam sarungnya dan bertindak menghampiri


pembaringan akan melihat ke belakang gurunya itu. Maka ia
lantas mendapat kenyataan benarnya kata-kata si parau itu !
Pada punggungnya si rahib tua tampak sehelai rantai,
ujungnya yang satu masuk ke pungung, ujung yang lain
mendam ke dalam tanah !
Maka bergolaklah darah si anak muda, darahnya itu seperti
naik ke otaknya. Itulah penglihatan dahsyat luar biasa. Lupa
segala apa, ia menghunus pedangnya dan pakai membacok
rantai besi itu hingga terdengar suara sangat keras dari
beradunya barang logam -- pedang kontra rantai besi!
Di waktu begitu, It Hiong lupa yang pedangnya bukan
pedang Keng Hong Kiam, hanya pedang biasa. Pedang Keng
Hong Kian dapat memapas besi hingga kutung, pedang biasa
tidak ! Akan tetapi si anak muda mempunyai tenaga dalam
mahir sekali. Dia pula sedang meluap angkara murkanya.
Walaupun pedangnya pedang biasa, toh terbabat putus !
Sementara itu, kejadian yang terlebih hebat menyusul
penyerangan dahsyat kepada rantai itu ! Karena putusnya
rantai, roboh juga tubuhnya si rahib yang tercancang tulang
selangkanya itu. Bahkan robohnya dengan tubuhnya terkutung
menjadi dua potong, roboh berbareng jatuh ke tanah !
Bukan main kagetnya It Hiong. Lupa ia akan segala apa.
Dia lompat menubruk tubuh gurunya itu, tak dapat ia menjerit
menangis, cuma air matanya yang mengucur deras. Pula
hanya sedetik saja, terus dia roboh tak sadarkan diri !
Si nona berbaju hijau kaget sekali. Hingga ia menjublak
saja. Tanpa merasa, air matanya pun mengucur turun. Dia
sampai lupa segala apa. Matanya cuma mengawasi It Hiong
serta itu dua potong tubuhnya si rahib tua....


Tengah kamar menjadi sunyi itu, sebab si pemuda pingsan
dan si pemudi berdiam sebagai patung. Mendadak daun
jendela yang satunya menjublak roboh dengan menerbitkan
suara keras. Di situ lantas terlihat sebuah liang sebesar liang
anjing. Sebab jendela itu kecil dan sempit, cuma dapat muat
sesosok tubuh manusia saja !
Itulah apa yang dinamakan lobang anjing.....
Menyusul robohnya daun jendela, dari sebelah daLam Sana
sudah tampak munculnya sesosok tubuh hitam yang nyeplos
ke sebelah sini. Dialah seorang usia setengah tua, yang
mukanya hitam. Dia pula Kim Tay Liang !
Setibanya di dalam kamar, Tay Liang mengawasi It Hiong
dan si nona baju hijau. Lantas dia bertindak menghampiri
nona itu. Sebelum orang sadar dari menjublaknya, dia sudah
menyambar tangan orang untuk dicekal keras dan ditarik.
Nona itu kaget, dia juga merasai nyeri pada tangannya
hingga dia tak sadar terus menjerit. Cuma satu kali dia dapat
membuka suaranya, selanjutnya dia bungkam sebab jalan
darahnya telah ditotok Tay Liang.
It Hiong siuman disebabkan kaget mendengar jeritan si
nona. Lantas ia membuka matanya, terus ia berlompat
bangun. Dengan begitu lantas ia mendapat lihat si nona
berada dibawah pengaruhnya Tay Liang. Bahkan pria itu
sudah menarik si nona ke jendela. Rupanya dia berniat
membawanya pergi !
Tay Liang mendapat kesulitan akan menyeploskan si nona
ke dalam lubang anjing itu. Kalau ia masuk lebih dahulu, si
nona mesti dilepaskan. Kalau ia menolak lebih dahulu nona


itu, berarti ia menyusul belakangan. Sulitnya jalan tengah
terpengaruhkan urat syarafnya hingga ia tidak dapat berpikir
jernih seperti orang yang sehat otak. Ketika ia mencekal si
nona, ia pun mencekal tanpa pikir-pikir lagi. Maka juga ia
membuat nona itu habis tenaganya sampai dia tak dapat
berdaya....
It Hiong menyaksikan kesulitan Tay Liang itu, ia menjadi
puas sekali. Tanpa banyak pikir pula, dia lompat pada pria itu
untuk menotok jalan darahnya yang dinamakan hek-tiam. Ia
berhasil dengan mudah sebab orang she Kim itu tidak
menyangka dan dia juga kalah cepat. Lantas saja dia roboh
terkulai, rebah seperti orang lagi tidur pulas !
It Hiong segera memegangi si nona, buat dipondong dan
direbahkan setelah mana ia membantu dengan menotok
menyadarkannya serta menguruti membuat tenaganya pulih.
Tidak ada niatnya It Hiong membinasakan Tay Liang sebab
dia tahu orang she Kim itu sedang terpengaruhkan obat jahat
hingga ia tak sadar akan segala pebuatanya itu. Bahkan kalau
ada kesempatan, hendak ia membantu kenalannya itu.
Setelah si nona sadar dan dapat bangun berdiri, It Hiong
mengeluarkan napas lega.
Nona itu lantas ingat segala apa, terus ia mengawasi tubuh
mayatnya Tek Cio Siangjin. Tiba-tiba ia menunjuk tubuh itu
sambil berkata nyaring : "Kakak, lihat !"
It Hiong terperanjat. Segera ia berpaling. Maka dia pun
melihat seperti apa yang dilihat nona itu. Untuk sejenak, dia
melengak saking herannya.


Tubuh itu kutung sebatas pinggang. Anehnya kutungan itu
berikut jubahnya juga. Dan jubah itu, warna biru rembulan
sudah terlalu tua dan habis kekuatannya, mudah pecah dan
hancur sendirinya. Di tengah-tengah tubuh itu tampak tulang
punggung yang dirantai.
Maka sekarang teranglah ternyata, tubuh itu bukan tubuh
berdarah daging. Hanya tubuh dari anak-anakan yang terbuat
dari lilin ! Pantas hebatnya serangan pedang pada rantainya,
tubuh itu roboh sendirinya !
Hanya apa yang mengagumkan, buatan boneka itu sangat
hidup dan mirip sekali dengan Tek Cio Siangkin. Sampai
muridnya yang telah tinggal bersamanya tujuh tahun lamanya
masih kena dikelabui !
Tapi tak aneh kalau It Hiong membuat kekeliruan itu. Di
saat seperti itu, pikirannya tak jernih seluruhnya. Ia kena
dikacaukan kapan ia ingat halnya gurunya tertawa dan dirantai
!
Berdua bersama si nona, It Hiong segera menghampiri
tubuh palsu itu sampai dekat sekali untuk meneliti. Mereka
memegang jugah yang sudah usang itu dan merobeknya
secara mudah sekali.
Sekarang lega hatinya, It Hiong menghela napas dalamdalam.
Hilanglah kaget dan kekhawatirananya. Sebaliknya,
terbangunlah semangatnya. Maka ia mendongkol sekali yang
ia telah dipermainkan musuh yang bersuara parau itu, yang
masih belum ketahuan siapa adanya.
Satu kali si anak muda menoleh pada si nona hingga
mereka saling memandang. Berbareng dua-duanya


bersenyum. Leganya hati membuat mereka sesaat itu seperti
lupa yang mereka masih berada di tempat yang berbahaya itu.
"Nona" kata si anak muda kemudian, "Inilah yang dibilang,
melihat satu tambah pula satu pengetahuan ! Inilah dia
pengalaman kita kaum Kang Ouw ! Aku malu yang
pengalaman kurang. Kali ini aku telah kena dipermainkan
musuh yang licik !"
Si nona mengawasi.
"Sebenarnya kakak, ini bukanlah disebabkan
pengetahuanmu yang kurang." bilangnya. "Tadi kau telah
dibikin kacau saking kau kaget melihat gurumu yang kau
sangat sayang dan hormat. Buatku, aku justru mengagumi
kecintaanmu terhadap guru itu......."
Suara si nona belum berhenti, atau mereka berdua lantas
mendengar suara si parau. Katanya : "Kenyataan tinggal
kenyaan, demikian si manusia palsu dan tulen ! Aku pun
mengagumi kepada murid ajarannya Tek Cio si rahib tua. Kau
hebat anak muda ! Hm !"
"Bagus kata-katamu !" kata It Hiong keras. "Akal busukmu
telah pecah. Apa lagi yang hendak kau bilang ? Kenyataan ?
Kenyataan apakah ?"
Jilid 58
"Tapi aku bicara hal lain, bocah." kata si parau yang tidak
mau kalah bicara, yang hendak mendoja orang. "Aku bicara
dari hal gurumu si hidung kerbau ketika dia dahulu mendesak
aku hingga aku terjungkal ke dalam jurang ! Itulah
pengalamanku ! Aku tidak bicara dusta !"


"Kau keliru, sahabat !" kata It Hiong yang mau berlaku
tenang. "Permusuhan kalian toh sudah berselang puluhan
tahun, bukan ? Bukankah kau sekarang sudah berusia lanjut ?
Kenapa kau tidak dapat melihat lebih jauh ? Kenapa kau tidak
mau membuka hatimu ? Kenapa kau tidak mau menyudahi
ganjelan itu ?"
Si parau tertawa. Mungkin dia tertawa meringis.
"Bocah, kau harus ketahui sifatku !" katanya keras. "Kalau
aku berkata satu, itu bukannya dua ! Apakah kau sangka sakit
hati dan soal pembalasannya itu dapat dibereskan dengan
satu atau dua patah kata saja ? Hm !"
"Jangan salah mengerti, sahabat !" kata It Hiong. "Aku
bukannya memohonkan ampunan bagi guruku ! Kalau aku
berbuat demikian, aku jadi merusak nama baik guruku itu !
Aku hanya Bicara dari hal kenyataan ! Bukankah ada pepatah
yang berkata, dimana dapat orang harus memberi ampun ?
Maka itu, kau harus tahu diri. Seharusnya kau mundur teratur
!"
"Eh, bocah ! Kau tahu apa ? Bukankah Co Beng Tek telah
berkata, biar aku mengecewakan orang tetapi tak dapat orang
mengecewakan aku ! Itulah kata-kata yang tepat sekali, yang
cocok dengan rasa hatiku !"
Co Beng Tek ialah Co Coh, seorang perdana menteri atau
dorna di jaman kerajaan Han.
It Hiong tertawa bergelak.
"Oh, orang yang bersisa jiwa di ujung pedang guruku !"
katanya. "Bagaimana kau masih memikir untuk membalas


dendam ? Andiakata kau bertemu dengan guruku, dapatkah
kau melawan ilmu pedang Khie-bun Patkwa Kiam guruku ?
Dapatkah kau melayani Hian-bun Sian Thian Khie-kang guruku
? Bukankah kau bakal menderita pula dan bertambah malu
hingga kau seperti menyusun sakit hatimu ?"
"Hm !" si parau memperdengarkan suara dinginnya. "Kau
tahu, telah lama lohu berdiam di jurang es dimana aku
mempelajari ilmu hawa dingin yang beracun. Karena mana
lohu berani muncul pula dalam dunia Kang Ouw terutama
guna mencari gurumu si hidung kerbau itu ! Baik dalam hal
ilmu silat biasa maupun dalam ilmu pedang, hendak aku
menempurnya pula ! Andiakata aku tetap kalah maka masih
ada kepandaianku yang istimewa ialah hawa dingin yang
beracun itu ! Dengan ilmuku ini, akan aku merebut
kemenangan terakhir ! Hm !"
"Hm !" It Hiong memperdengarkan suara dinginnya.
"Dapatkah kau mewujudkan niatmu itu ? Guruku hidup di
dalam pengembaraan. Ia tak ketentuan dimana adanya !
Bukankah sia-sia belaka kau mencarinya hingga kau membuat
boneka dari lilin yang kau sengaja rantai dan kurung di dalam
kamar ini ? Apakah artinya siksaan semacam itu ? Tak lain tak
bukan, itu melainkan guna mempuaskan hati busukmu yang
kecewa, niatmu tak tercapai ! Kau cuma menghibur diri !"
Si parau menjadi gusar sekali. Telak ia terserang katakatanya
si pemuda.
"Oh, bocah ! Kau berani menghina lohu ?" tegurnya. "Kau
benar-benar tidak tahu mampus atau hidup !" Ia hening
sejenak lalu menambahkan : "Kau catat ! Di dalam waktu satu
tahun, jika lohu tidak berhasil mencari gurumu itu si rahib
hidung kerbau guna lohu membalas dendamku, maka


perhitungan ini bocah, akan lohu timpakan atas dirimu ! Nah,
kau ingatlah baik-baik !"
Alisnya It Hiong bangkit.
"Jangan kau membuang-buang waktu !" katanya lantang.
"Bagaimana kalau sekarang juga kau perhitungkan sakit
hatimu itu terhadap guruku kepadaku ?"
Berkata begitu, si anak muda menyiapkan pedangnya dan
matanya diarahkan tajam ke arah dari mana suara datang.
Si parau memperdengarkan pula suaranya. Dari nadanya,
terang dia sangat gusar.
"Hendak lohu memegang kata-kataku !" demikian suara
mendongkolnya itu. "Kalau lohu kata satu, itu tidak nanati
menjadi dua ! Barusan lohu menjanjikan waktu satu tahun,
janji itu akan lohu hormati ! Eh, bocah apakah kau sudah
bosan hidup ?"
It Hiong tertawa dingin.
"Oh, manusia yang takut melihat manusia !" ejeknya.
"Kiranya kaulah si mulut besar belaka ! Nyata-nyata kau cuma
mencari alasan buat mundur teratur ! Ha ha ha !"
Si parau menjadi semakin gusar.
"Jangan takabur, bocah !" teriaknya. "Jika lohu hendak
mengambil jiwamu, itu mudah sama seperti lohu membalik
telapak tangan ! Sama mudahnya seperti lohu merogoh saku !
Tetapi lohu mesti memegang kata-kataku, lohu mesti mentaati
janjiku ! Hari ini lohu tidak bersedia menempur kau ! Tapi kau


lihat, bocah ! Sekarang hendak aku pertunjuki kepandaianku
supaya kau tidak tak tahu mati atau hidup mendapat bukti !"
"Kepandaian apakah itu ?" It Hiong tanya tawar. "Coba kau
pertunjukkan ! Aku yang rendah hendak melihatnya !"
"Baik, bocah !" teriak si parau. "Sekarang hendak aku
mengasi bukti ! Kau pentang matamu lebar-lebar ! Kau lihat si
Kim yang rebah di lantai itu. Hendak aku merampasnya pulang
!"
Begitu lekas si parau menutup mulutnya, begitu lekas di
dalam ruang itu timbul angin besar seperti topan hingga debu
beterbangan naik, menyerang mata dan hidung sampai orang
mesti memejamkan mata serta menutup hidung, hingga orang
sukar bernapas !
Walaupun sambil meram, It Hiong memutar pedangnya
melindungi dirinya sendiri serta si nona yang ia suruh mendak
di depannya. Syukurlah "topan" itu tidak berjalan lama dan
juga tidak ada senjata rahasia yang membokong. Selekasnya
topan sirap, si anak muda pun berhenti bersilat. Lalu
keduanya membuka mata mereka.
Satu hal aneh segera tampak. Kim Tay Liang yang tadi
rebah di lantai lenyap tidak karuan paran dan daun jendela
yang tadi menjeblak, tertutup rapat pula seperti semula !
"Hm !" si anak muda kita memperdengarkan suaranya,
meskipun dia sebenarnya heran. "Segala ilmu jejadian ! Ada
apakah yang aneh ? Apakah kau kira kau dapat mengandalkan
tembokmu ini buat mengurung kami ?"
Si nona baju hijau menggebriki pakaiannya dan merapikan
rambutnya. Kemudian ia pun mengebuti pakaiannya It Hiong.


Ketika ia mendengar kata-kata si anak muda, ia berkata : "Kau
berhati-hati, kakak ! Kita mesti waspada terhadap akal
muslihat liciknya !"
Belum lagi It Hiong menjawab atau ia sudah mendengar
suaranya si parau, suara yang jumawa sekali ! Katanya :
"Taruh kata tembok ini tidak dapat mengurung kalian tetapi
kalian harus waspada. Sekeluarnya dari kamar ini, kalian bakal
menghadapi Barisan racun lohu ! Bocah, kau lihat bagaimana
nanti kau tahu rasa !"
"Jangan kau mengoceh saja !" It Hiong menegur. "Kau
bilang kau pandai membuat hawa beracun tetapi itu tentulah
untuk menggertak belaka ! Kau dapat menggertak mereka
yang tolol tetapi kami tidak ! Menurut dugaanku, hawa
racunmu itu belum tentu menjadi hawa racun yang
teristimewa !"
Kembali si parau menunjuki kemurkaannya.
"Hm, manusia tak tahu mampus atau hidup !" teriaknya.
"Apakah kau tidak ketahui tentang kebinasaannya kelima Ngo
Lo dari ruang Ciang Ih Siauw Lim Sie serta si rahib tua ketua
Ngo Bie Pay ? Mereka pada pulang ke Tanah Barat tanpa
tubuhnya terluka ! Dengan demikian, bukankah ilmu
kepandaianku itu ada nomor satu di kolong langit ini ?"
Tapi It Hiong menyambutnya sambil tertawa lebar.
"Bajingan tua, bagus !" serunya. "Bagus sekali ! Tanpa
dikomper, kau telah mengakui kejahatanmu melakukan
pembokongan. Kau telah membuka rahasiamu sendiri.
Tadinya orang tidak tahu sebabnya kematiannya semua orang
tertua itu. Sekarang terbuktilah yang hutang darah mesti
dibayar dengan darah juga ! Manusia jahat, lekas juga akan


tiba saatnya keadilan di jalankan ! Sudah, manusia busuk. Baik
sekarang kita jangan bicarakan soal itu ! Mari aku beri tahu
padamu, jangan kau membuka mulut besar sebab kau berhasil
menciptakan hawa beracunmu itu ! Kau harus ketahui, di luar
langit ada langit lainnya, di atas orang ada orang lainnya lagi !
Di dalam dunia ini ada hidup seseorang yang pasti dapat
melumpuhkan hawa dinginmu itu, Tok Mo ! Kau tahu atau
tidak ?"
"Hm !" si parau bersuara pula, suaranya selalu dingin. Kali
ini sengaja disuarakan panjang. Dia agaknya berpikir. Setelah
itu baru dia melanjuti : "Eh, bocah, apakah kau maksudkan
Pek Yam si kepala keledia gundul dari kuil Bie Lek Sie ?"
"Benar !" It Hiong menjawab cepat. "Ya, dialah LoSiansu
Pek Yam dari Bie Lek Sie ! Kalau begitu, kau tahu diri juga ya
?"
Kembali si parau, yang si anak muda menyebutnya Tok Mo
-- si Bajingan Beracun -- memperdengarkan suara tawanya :
Hm !" Kemudian dia lantas menambahkan : "Aku tahu
kepandaiannya Pek Yam si kepala keledia botak itu ! Kitab
racun Tok Kang miliknya adalah kitab bagian yang kedua,
sedangkan kitab milikku adalah bagian yang kesatu ! Karena
itu, mana dapat ia mempunahkan racunku ?"
"Sudah, Tok Mo ! Tak usah kau mengadu bicara !" It Hiong
menyenggapi. "Kenyataan lebih menang dari pada bicara
melulu ! Lihatlah aku sendiri ! Dengan menggunakan Wan Ie
Jie dapat aku menerjang tempatmu yang berbahaya hingga
aku dapat menolong nona ini yang kau siksa !"
Agaknya si parau seperti kalah bicara.


"Mungkin itu hanya kebetulan saja !" katanya rada lunak.
"Tak mungkin Wan Ie Jie demikian lihai ! Tak mungkin
racunku tidak akan mengalahkannya ! Nah, kau lihat saja
nanti !"
"Cukup, Tok Mo !" ejek It Hiong. "Kepandaian racunmu itu
telah aku buktikan beberapa kali, jadi tak perlu kau panjang
lebarkan lagi ! Sekarang begini saja ! Hendak aku mencoba
ilmu silatmu. Dari itu, beranikah kau melayani aku ?
Sengaja si anak muda kita berjumawa supaya si parau itu
mau memperlihatkan dirinya. Ia ingin melihat wajah orang
atau sekalian mengetahui asal usulnya.
Tapi si parau gusar. Dia berteriak : "Kau kira lohu orang
dari derajat apa ? Mana dapat lohu mudah saja bertempur
denganmu ! Bukankah itu bakal mendatangkan buah
tertawaan ? Jika kau bisa lolos dari kamarku ini, kau nanti
lantas masuki Barisan rahasia yang beracun yang aku atur,
yang aku beri nama Nyo Tok Tin ! Kalau kau benar kosen, di
sanalah kau boleh coba-coba kepandaianmu !" Dia berhenti
sebentar, terus ia menambahkan : "Lohu adalah seorang lakilaki
sejati ! Lohu biasa berlaku terus terang, tak mau lohu
main selingkuh ! Sekarang lohu kasi tahu padamu, kalau
sebentar kau memasuki Barisan rahasiaku, itulah sebab kau
sendiri yang mencari mampusmu ! Jangan nanti kau katakan
lohu kejam !"
It Hiong tidak gusar. Sebaliknya dia tertawa.
"Jangan berpura bermurah hati, bajingan !" ejeknya pula.
"Aku telah berani masuk kemari, tentu saja aku berani
menerjang keluar !"


Lantas pemuda kita merapikan pakaiannya, sedang
matanya dikedipi pada si nona berbaju hijau supaya si nona
selalu mengiringinya.
Si nona bersenyum, dia mengangguk. Nyata dia bernyali
besar.
Selagi orang berbicara dengan gerak gerik mata, si parau
sudah berkata pula. Dia seperti dapat melihat gerak gerik
orang itu. Kata dia : "Lohu cuma mengijinkan kau, bocah she
Tio menerjang Barisanku ! Tentang si budak wanita itu,
jangan harap dia nanti dapat berlalu dari sini dengan masih
hidup ! Oh, orang yang tak tahu hidup atau mati !"
Hebat si parau itu. Selalu dia menyebut-nyebut tentang
"tak tahu hidup atau mati!".
Mendengar suara orang itu, si nona kaget hingga mukanya
menjadi pucat. Baru saja ia bersenyum atau sekarang
mendadak air matanya meleleh turun. Itulah sebab ia telah
ketahui kekejamannya si parau itu !
It Hiong mengawasi nona itu, ia dapat mengerti
kekhawatiran orang. Karena ini hatinya panas, ia menjadi
membenci sangat pada si parau yang belum dikenal itu, yang
ia menyebutnya Tok Mo, si Bajingan Racun sebab orang
sangat licik. Si nona berbaju hijau bekas lawan tetapi sekarang
berdua mereka menjadi kawan, bahkan kawan senasib.
Karenanyaia menjadi berkesan baik sekali terhadapnya, malah
ia merasa kasihan. Seperti tabiatnya, ia selalu berpihak kepada
si lemah.
Segera anak muda ini memutar pedangnya sembari terus ia
berkata : "Sahabat yang baik, aku yang rendah hendak


menguji pedangku ini ! Pedang yang terlebih keras atau
mulutmu ! Dan kau, nona, kau keraskan hatimu !"
Tapi si nona menjawab : "Tuan, kalau toh aku mesti mati,
tolong kau mendayakan mengirim mayatku kepada ayah
bundaku. Dapatkah kau menolong ?"
Alisnya si anak muda terbangun.
"Aku berjanji, nona !" sahutnya. "Bahkan aku berjanji tidak
hanya mengantar mayatmu tetapi juga tubuhmu yang masih
bernyawa ! Kalau aku hanya mengantar mayat, itulah hal yang
memalukan ! Nona, jiwamu ialah jiwaku ! Maka itu, mari kita
hidup atau mati bersama !"
Si nona sudah lantas menyusut keras air matanya. Ia
menjadi berbesar hati hingga dadanya menjadi berombak.
Hanya itu ia telah salah paham. Ia menyangka pemuda itu
justru mencintainya. Sejenak itu, lupa dia pada bahaya maut
dan mukanya yang tadi bersedih tampak menjadi gembira.
"Baik, tuan !" katanya perlahan. "Baik, selembar jiwaku kau
serahkan pada kau !"
Dengan sapu tangannya lantas nona itu mengikat
rambutnya yang riap-riapan terus ia bertindak mendekati anak
muda itu. ia menempelkan tubuhnya pada tubuh orang.
Ketika itu terdengar pula suara "Hm !" berulang-ulang dari
si parau.
It Hiong tidak mempedulijan lagi suara itu. Ia hanya
menghampiri pintu untuk menusuknya dengan satu serangan
Heng Hong Hek Hoan Kiam. Tak usah disebutkan lagi yang ia


telah mengerahkan seluruh tenaganya. Maka juga tampaklah
lubang besar, sedangkan tembok bagikan tergetar seluruhnya.
Selagi pasir-kupa meluruk, It Hiong berlompat nyeplos di
lobang itu sambil sebelah tangannya menarik lengan si nona.
Tiba di luar kamar, muda mudi itu berdiri terbengong.
Mereka berada disebuah tempat terbuka seluas dua sampai
tiga puluh tombak. Itulah semacam lembah. Di sebelah kiri
ada tanjakan yang berbatu. Di kanan terdapat beberapa buah
puncak, diantaranya ada sebuah jalan kecil yang mendakinya
berliku-liku menuju ke atas atau ke dalam gunung. Entah
kemana arah tujuannya jalan kecil itu.
Berdua mereka berdiri diam sekian lama, ragu-ragu untuk
mengambil jalan. Tidak lainnya yang mereka lihat, tida ada
Ngo Tok Tin, Barisan rahasia Lima Racun seperti katanya si
parau yang belum dikenal wajahnya itu. Kecuali angin, sunyi
segala apa. Bahkan sinar matahari pun lemah, entah
disebabkan ketika itu sudah lewat lohor atau bagaimana.......
Tetapi tak usah lama mereka berdiam berdiri menjublak.
Lantas juga mereka mendengar suara yang menarik perhatian.
Itulah suara bergeraknya satu batu besar di kaki sebuah
puncak sebelah kanan hingga karenanya terlihatlhat mulutnya
sebuah gua.
Melihat gua itu, It Hiong tertawa.
"Kiranya di sana terdapat pintu rahasia !" katanya nyaring.
"Benar-benar si bajingan parau ini sangat pintar dan cerdik !"
Hebat si anak muda. Dia bernyali sangat besar. Bukannya
dia kaget atau jeri, ia justru tertawa kegirangan ! Toh dia
belum tahu gua itu menembus kemana dan di dalamnya ada


perangkapnya atau tidak ! Aneh, batu terbuka sendiri
merupakan sebuah lobang.........
Si nona sebalinya melengak.
"Jangan-jangan itulah Ngo Tok Tin......." katanya raguragu.
"Kenapa kakak tertawa ?"
It Hiong berlaku sabar ketika ia menjawab : "Kita bakal
menyingkir dengan turun gunung. Apakah kau kira dapat kita
menyingkir dengan mudah saja ? Kalau benar si bajingan
mengatur Barisan rahasianya itu, mana dapat kita tak
melintasinya ? Biar bagaimana, kita mesti bertempur ! Maka
itu, bukankah lebih baik kita bertempur siang-siang ?"
Si nona mengerutkan alisnya.
"Aku hanya mengkhawatirkan hawa beracunnya....."
katanya. "Bagaimana kalau dia menyebarkannya di luar tahu
kita ?"
It Hiong bagai terasadara.
"Kau benar juga, nona !" katanya. Lantas ia mengeluarkan
peles obatnya, enam butir pil diserahkan pada si nona seraya
berkata : "Kau makanlah obat ini, obat buatan LoSiansu Pek
Yam, lalu kau jangan kuatirakan apa juga !"
Nona itu mengawasi, matanya dibuka lebar, ia menggeleng
kepala.
"Obat ini telah menolong jiwaku," katanya. "Bagaimana
sekarang dapat aku menghamburkannya dengan memakannya
pula ? Kau baik sekali kakak, kau menerima baik kebaikanmu
ini !"


It Hiong tertawa.
"Lekas kau makan !" desaknya. "Jiwa kita paling berharga !
Kaulah orang Kang Ouw, kenapa kau membawa lagak seperti
caranya si kutu buku ?"
Bukan main meresapnya kata-kata itu dalam hatinya si
nona. Ia menerka pula kepada rasa cinta si anak muda
terhadapnya. Ia lantas mengawasi obat ditangannya anak
muda itu. Ia ragu-ragu sebab ia tak mementingkan dirinya
sendiri. Kemudian ia balik menatap orang di hadapannya itu.
"Bukankah tadi aku telah makan obat ini cukup banyak ?"
katanya pula. "Aku rasa khasiatnya obat dapat bertahan lama,
dari itu tak usahlah sekarang aku memakannya pula....."
It Hiong balik mengawasi. Ia tidak mencintai nona itu, ia
hanya mengasihani. Ia menduga memang selayaknya
pengaruh obat itu bertahan lama tetapi kalau ia toh menyuruh
orang makan pula, itulah guna menjaga keselamatan nona itu.
Siapa tahu sisa obat tak dapat menentang racunnya si parau
yang licik dan jahat itu ? Kalau si nona tidak terganggu racun,
itu artinya ia bebas untuk melayani si parau. Jika sebaliknya,
pasti dia menjadi repot sekali, mau membela diri berbareng
harus membantu atau sedikitnya terus melindungi nona itu !
Dengan menyuruh si nona makan obat, itu pun guna
membikin tenang hatinya nona itu agar dia jangan takut lagi
racun lawan.
Mengawasi si nona hingga sinar mata bentrok, diam-diam
It Hiong menggigil di dalam hati. Sinar mata si nona itu lain
dari pada sinar mata orang umumnya, hingga ia memikir,
"Inikah pula bencana asmaraku ? Kalau sekarang juga aku
menjelaskannya, bagaimana hatinya ? Bagaimana andiakata


dia kecewa dan putus asa ? Tidakkah aku bakal
memperbahayakan jiwanya andiakata dia nekat ? Bagaimana
aku harus berbuat ?"
Dasar ia telah berpengalaman, segera juga pemuda ini
mendapat satu pikiran.
"Biarlah tak usah aku hiraukan dia." demikian
keputusannya. "Terhadap rasa cintanya itu, tak boleh aku
memberikan apa-apa. Sekarang ini aku perlu mencari kakak
Kiauw In dan Ya Bie. Aku mengajak nona ini karena aku ingin
membebaskan dianya. Asal aku telah bertemu dengan Kiauw
In, urusan dia ini mudah diselesaikannya. Harap saja dia nanti
mundur teratur kalau dia ketahui bahwa aku telah mempunyai
isteri......"
Lantas menatap pula nona itu, It Hiong tertawa dan kata :
"Nona, aku tahu maksudmu kenapa kau tidak suka makan
obat ini ! Tentunya kau menyayanginya, bukan ? Sekarang
begini saja, kau makan separuhnya selaku penjagaan untuk
dirimu ! Kalau kau tidak makan obat ini, hatiku tidak tenang."
Lantas si anak muda menyimpan tiga butir obatnya itu dan
yang tiga lagi ia angsurkan di muka nona itu, ke mulut orang.
"Kau makanlah !" ia menganjurkan.
Nampak nona itu sangat bersyukur, kembali sinar matanya
nampak menyala. Itulah sinar mata dari sang cinta. Kemudian
ia tertawa dan kata : "Kakak, lebih baik kaulah yang
memakannya. Kakak, jiwaku ada ditanganmu..... aku telah
menyerahkannya !"
It Hiong menjadi kewalahan. Tapi ia menganggap perlu
nona itu makan obatnya, maka supaya ia tidak usah menyiaKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

nyiakan waktu lagi, ia mengambil tindakan yang berani. Tibatiba
saja dengan tangan kanannya ia merangkul tubuh orang,
untuk ditarik dekat padanya sedangkan dengan tangan kirinya
ia menjejalkan tiga butir obat itu ke dalam mulut orang hingga
si nona mirip anak kecil yang tengah dicekoki ! Sembari
berbuat begitu, ia tertawa dan kata : "Kalau kau telah
menyerahkan jiwamu padaku maka haruslah kau menyayangi
jiwamu itu !"
Si nona berbaju hijau menelan obat itu, dia bersenyum
tetapi dia memejamkan matanya. Rupanya selain menikmati
obat juga rasa puasnya sebab si anak muda merangkulnya,
memaksa dia memakan obat secara prihatin. Sama sekali dia
tidak meronta yang si anak muda memperlakukannya
demikian rupa, malah dia menerimanya mesra !
It Hiong adalah seorang muda, dia bukannya Liu Hee Hui
dijaman dahulu yang tak goyah dari godaan asmara. Benar dia
telah memikir yang dia tidak mencintai nona itu, akan tetapi
setelah tubuh mereka nempel satu pada lain sedemikian lama,
hatinya toh berdebar-debar. Memangnya dia telah merasa
berkasihan terhadap nona itu. Bukankah rasa kasihan berupa
satu langkah kepada sang asmara ? Bukankah mereka berada
berduaan saja ?
Tepat di saat keteguhan hati si anak muda ini hampir
gempur, tiba-tiba telinganya mendengar suara bentroknya
senjata-senjata tajam yang keluarnya dari dalam gua di depan
mereka itu. Kontan ia bagaikan terguyur air dingin. Duaduanya
lantas bagaikan sadar dengan kaget dari mimpinya.
Lantas keduanya memasang telingan lebih jauh sambil
sekalian memasang mata ke arah gua itu.
Segera juga tampak dua tubuh orang berlompat keluar dari
dalam gua itu, yang satu terlebih dahulu, yang lainnya


belakangan. Kembali senjata mereka itu beradu satu dengan
lain. Karena yang satu menyerang, yang lain menangkis.
Orang yang keluar pertama bersenjatakan kaitan Bwe-hoa-
Toat. Dialah wanita cabul dari Kwan-ga, Hiat-ciu Jie Nio. Dan
yang menyusul, yang bergenggaman pedang, adalah Cio
Kiauw In dari Pay In Nia !
Teranglah Jie Nio kalah dan karenanya dia sedang mencoba
mabur !
Bukan main girangnya It Hiong, tak kepalang lega hatinya
melihat kakak seperguruannya itu.
"Kakak !" serunya lantas tanpa merasa lagi. "Kakak Kiau In
! Kakak !"
Si nona berbaju hijau melengak mendengar pemuda itu
memanggil kakak. Ia belum tahu wanita yang mana yang
dipanggil kakak itu, tetapi ia telah berpikir : "Oh, kiranya
mereka kakak beradik mereka datang kemari....."
It Hiong tidak cuma memanggil-manggil, ia sudah lantas
lari menghampiri. Bahkan hampir ia lantas maju membantu
kakak seperguruannya itu atau tiba-tiba ia ingat aturan Kang
Ouw bahwa orang tak dapat main mengerubuti. Kalau ia
maju, ia bakal mendapat nama jelek dan gurunya pun bakal
ditertawai orang banyak. Maka itu lantas ia menunda majunya
lebih jauh.
Kiauw In tengah mengejar Hiat-Cin Jie Nio ketika ia
mendengar suara orang memanggilnya, suara yang ia rasa
kenali. Segera ia pun menoleh, bukan main girangnya ia
kapan ia pun mengenali orang itu It Hiong adanya. Saking


bersuka cita itu, tanpa ia merasa gerakan tangannya menjadi
rada lambat.
Sementara itu, Jie Nio juga kaget sekali apabila ia
mengenali It Hiong. Ia memang sedang sangat terdesak
Kiauw In. Ia sudah melakukan perlawanan seberapa ia
mampu. Tentu sekali melihat It Hiong, jerinya bukan main.
Kiauw In ditambah pemuda itu berarti jiwanya terancam
bahaya. Memangnya ia telengas, lantas ia menjadi nekat. Tak
sudi ia binasa secara kecewa. Justru ia memikir nekat itu,
justru Kiauw In berayal. Tidak waktu lagi, kesempatan baik ini
ia gunakan dengan segera. Ia memikir untuk mati bersama
Nona Cio ! Begitulah dengan senjatanya yang istimewa ia
menangkis Kiauw In ! Jurus silatnya yang ia gunakan juga
"Kong Hong Kian Te -- Topan melanda bumi". Senjatanya
ditangan kanan membabat Kiauw In di bagian bawah !
Berbareng dengan itu, senjatanya di tangan kiri juga
menyerang -- menyerang ke atas dengan jurus "Keng See Pok
Bian -- Pasir menyambar muka".
Hiat Ciu Jie Nio tersohor telengas. Gelarannya saja telah
menunjuki itu. Hiat Ciu berarti Tangan Berdarah. Kali ini dalam
nekatnya, dia menunjuki ketelengasannya itu.
Bukan main kagetnya Kiauw In kapan ia menyaksikan
lawannya yang sudah keteter, yang tengah dikejar-kejar
menyerang secara demikian hebat. Syukur ia bermata jeli dan
cepat. Di dalam keadaan sangat terdesak itu masih sempat ia
melindungi dirinya. Cepat luar biasa, ia menutup diri dengan
jurus silat "Heng Pay Lok Kak -- Menjejer Tanduk Menjangan"
hingga ia bisa menghalau serangan maut bagian atas dari
lawannya itu berbareng dengan mana ia menjejak tanah
berlompat tinggi menyingkir dari serangan di sebelah bawah
itu.


Hampir berbareng dengan lolosnya Nona Cio dari serangan
nekat dari Jie Nio maka terdengarlah si Tangan Berdarah itu
menjerit keras sebab tubuhnya tiba-tiba saja roboh terguling.
Tetapi dasar lihai, begitu dia roboh begitu dia terus
menggulingkan tubuhnya hingga dia berhasil memisahkan diri
dari Kiauw In sejauh dua tombak lebih. Ia telah menggunakan
jurus silat "CaCing Bergulingan di pasir".
Jie Nio roboh bukan wajar, bukan ia terpeleset atau
terdesak perlawanannya Kiauw In, ia hanya menjadi korban
dari tolakan keras dari pukulan Han Liong Hok Houw Ciang --
Menaklukan Naga, Menundukkan Harimau dari It Hiong, siapa
sudah terpaksa membantu kekasihnya sebab dia melihat sang
kekasih terancam bahaya hebat. Kalau dia mau, dia dapat
merobohkan wanita itu hingga tak dapat berbangkit pula.
Akan tetapi ia telah tidak melakukan itu sebab ia ingat
kehormatan dirinya serta gurunya juga.
Bertepatan dengan robohnya Jie Nio itu, orang mendengar
satu suara parau. Mulanya ejekan "Hm ! Hm !" berulang-ulang
lalu disusul dengan kata-kata dinginnya ini : "Beginilah
perilakunya seorang murid dari rumah perguruan lurus yang
ternama ! Yang banyak mengepung yang sedikit ! Sungguh
memalukan ! Lohu......."
Tapi Kiauw In memotong ejekan itu : "Bagus perbuatanmu
! Bagaimana dengan lagakmu sendiri ? Sudah kau menyerang
dengan hawa beracun, itu pula dilakukan secara menggelap !
Adakah kelakuanmu itu kelakuan laki-laki sejati ? Mudah saja
kau menggoyang lidahmu !"
Justru Kiauw In menegur itu, justru Jie Nio mencelat
bangun untuk terus kabur ke dalam gua. Sebagai seorang
yang cerdik dan licik, si Tangan Berdarah pandai sekali
menggunakan kesempatan yang baik itu !


Kiauw In melihat orang kabur, ia tidak mengejar. Ia hanya
tertawa tawar mengawasi tubuh orang lenyap di dalam gua.
Habis itu ia lantas berpaling kepada It Hiong.
"Adik !" tanyanya. "Adik, kenapa kau berada disini ? Kau
tahu, kau telah membuat aku menderita mencarimu !"
Baik sinar matanya maupun wajahnya, Kiauw In menunjuk
keprihatinannya yang luar biasa terhadap kekasihnya itu.
Itulah pertanda dari kasihnya yang sangat.
It Hiong menghampiri untuk mencekal erat-erat tangannya
si kakak seperguruan, ia menghela napas.
"Oh, kakak. Panjang kalau aku mesti bercerita....."
demikian sahutnya perlahan. "Hampir aku bercelaka di dalam
perangkapnya si bajingan jahat, bahkan aku telah terkena
pula bencana asmara.... Kakak aku menyesal, aku malu
terhadapmu........"
Terhadap kekasihnya yang demikian cantik dan luwes, yang
sabar luar biasa, yang cerdas dan berpandangan jauh, It
Hiong selalu berlaku jujur, tak sedikit jua ia memikir selingkuh.
Ia mencintai berbareng menghormati kakak seperguruan itu
yang sebaliknya pun sangat mencintai dan menghargainya.
Mendengar kata-katanya si pemuda, Kiauw In mengawasi
orang dengan sinar matanya yang sangat mengasihi. Tak ada
rasa jelus atau iri hatinya mendengar pengakuan si kekasih
tentang bencana asmara itu.
"Syukurlah kau tak sampai kena perangkap, adik." demikian
katanya, lemah lembut. "Ah, kau aneh ! Lihat ! Kau sekarang


bertemu dengan kakakmu, jangan lagakmu seperti bocah cilik
bau......."
Mukanya It Hiong merah, ia likat sekali. Ia ingat bagaimana
tadi ia dengan si nona baju hijau, biarpun hatinya keras, ia toh
tertarik juga oleh nona itu.......
"Pengalamanku hebat, kakak." katanya jengah. "Aku telah
menghadapi saat-saat yang berbahaya yang menggoncangkan
hati bahkan semangatku. Hampir saja.......
Kaget juga Kiauw In mendengar kata-kata pemuda ini.
"Apakah kau terperangkap dan terkena racun hingga
musnah kepandaian silatmu ?" tanyanya Bingung.
It Hiong menggeleng kepala.
"Dalam hal menghadapi racun, aku senantiasa bersedia,
kakak." sahutnya. "Selainnya telah memakan obat
pemunahnya, aku juga selalu menyediakannya. Apa yang
membuat hatiku hampir copot jatuh tadi ketika aku
menyaksikan suhu terkurung dan tersiksa di dalam kamar
rahasia !"
Terpaksa, Kiauw In kaget sekali. Mukanya sampai menjadi
pias. Tapi hanya sebentar, lantas ia memperoleh kembali
ketenangannya.
"Adik." katanya sabar. "Bukankah itu cuma seorang
manusia palsu yang segala-galanya mirp dengan suhu ?
Apakah kau telah melihatnya dengan teliti ? Dimanakah
adanya kamar rahasia itu?"


Si nona pun menjadi tenang karena sekarang ia lagi
menghadapi si anak muda yang sadar dan tenang seperti
sediakala.
It Hiong mengeluarkan napas lega.
"Kakak." katanya. "Andiakata kakak ada bersamaku itu
waktu, tidak nanti aku kaget sampai pingsan......"
Kiauw In menatap kekasihnya itu, lalu ia bersenyum.
"Kau melihat sendiri suhu terkurung dan tersiksa, adik.
Tidak heran kalau kau kaget tak terkirakan." katanya.
"Memang, kakak. Dalam hal pandangan jauh dan
kesabaran serta ketelitian, aku kalah jauh dari kakak. Buktinya
sekarang. Lantas saja kakak bisa menerka tepat. Memang
itulah manusia palsu!"
Kiauw In tertawa, matanya melirik manis.
"Adik, sejak kapan kau mempelajari ilmu mengangkatangkat,
memuji-muji orang untuk membuat orang senang hati
? Pantaslah kalau dimana-mana selalu saja kau mendatangkan
rasa suka orang hingga kau memancing bencana asmara !"
It Hiong tunduk, mukanya merah. Ia jengah sekali. Ia
memuji si kakak dengan sesungguhnya hati. Siapa tahu
kakaknya menggunakan itu untuk berkelakar. Tetapi ia
senang, ia puas sekali. Sungguh kakak ini sangat baik hati,
sabarnya luar biasa.
Melihat lagak orang itu, Kiauw In tertawa.


"Eh, eh, kau kenapakah ?" tanyanya. "Apakah ini
disebabkan kakakmu menyebut-nyebut hal bencana
asmaramu itu ?"
It Hiong mengangkat kepalanya, menatap nona manis di
depannya itu terus dia mengasi lihat wajah sungguh-sungguh.
"Kakak," katanya. "Biar bagaimana, dalam hal asmara, aku
masih mempunyai keteguhan hatiku. Hanya mengenai nona
ini, benar-benar ia harus dikasihhani......"
Lantas pemuda ini menuturkan tentang si nona berbaju
hijau yang telah keracunan dan tersiksa tetapi ia berhasil
membantu hingga selanjutnya si nona bersedia mengikuti dia.
Ia menuturkan segala apa dengan jelas. Tentu saja tak lupa ia
menyebut bagaimana segala ia pingsan, ia sadar sebab
jeritannya nona itu. Kalau lama ia tidak sadar, entah
bagaimana jadinya jika musuh menyerangnya..........
Mendengar keterangan itu, Kiauw In tertawa geli. Tapi
kemudian ia menghela napas dan berkata dengan perlahan :
"Adik, kakakmu adalah wanita Kang Ouw sejati. Aku bukannya
itu macam orang perempuan yang tak dapat menghindarkan
dirinya dari rasa jelus, iri hati dan cemburu !"
Berkata begitu, Nona Cio menoleh pada si nona berbaju
hijau yang sejak tadi berdiri diam saja sebab dia bingung
menyaksikan si pemuda kenal si pemudi.
"Adi, adik yang baik, mari !" panggilnya. Tangannya pun
menggapai.
Si nona berbaju hijau mengawasi dengan ragu-ragu tetapi
ia toh bertindak menghampiri dengan perlahan-lahan. Ia
berhenti di depan Nona Cio.


"Ada perintah apa dari kau, kakak ?" tanyanya, perlahan.
Sebagai seorang anak perempuan yang terlahir dan
menjadi besar di Kwan ga, sebagai seorang anak nomad,
penggembala, si nona berbaju hijau bisa hidup bebas dan
polos. Ia tidak kenal adat kebiasaan di Tionggoan. Ia
menyangka Kiauw In sebagai kakak, saudara perempuan dari
It Hiong, maka ia lantas saja memanggil kakak juga.
Kiauw In lantas mengawasi nona itu.
"Kalian berdua bertemu secara kebetulan ditempat yang
berbahaya." katanya kemudian. "lalu kalian bersama-sama
pula menderita. Maka itu sekarang kalian menjadi kawan
senasib satu dengan lain. Benar, bukan ?"
Nona itu mementang lebar matanya yang jeli, mengawasi
nona dihadapannya.
"Aku dengan dia," katanya sembari menunjuk It Hiong,
"bukan melainkan kawan saja, namun........"
Mendadak si nona berhenti berkata, ia berdiam, mukanya
merah. Dengan berpura menyingkap rambutnya, ia mencoba
menutupi mukanya itu.
Kiauw In tertawa.
"Kau belum bicara habis, adik !" katanya. "Bolehkah
kakakmu meneruskan dengan menerkanya? Adik, usiamu
masih terlalu muda. Bagaimana kau dengan mudah saja
menyukai seorang pria yang masih asing bagimu ?"


Nona baju hijau itu mengawasi Nona Cio. Ia menunjuk It
Hiong.
"Kakak, jiwaku dialah yang membantu !" sahutnya terus
terang. "Tentang kesucian diriku, dia juga yang
menyaksikannya. Dia pula telah menyatakan padaku bahwa
kami berdua harus hidup dan mati bersama ! Kakak, dapatkah
ini dikatakan bahwa dialah seorang asing bagiku ?"
Tak tenang hatinya Kiauw In mendengar keterangannya
nona itu. Di dalam hatinya itu tak dapat ia tertawa atau
menangis. Benar-benar hebat bencana asmaranya It Hiong
yang keteguhan hatinya tergoyah sedemikian rupa.
Si pemuda sendiri berdiam saja. Ia malu dan jengah.
Begitulah ketiga orang itu, semua berdiam, semua
bungkam.
Lewat sekian lama, Kiauw In juga yang berkata. Ia segera
mendapat pulang ketenangan dirinya. Kata ia sungguhsungguh
: "Urusan kalian berdua, lain kali saja kita bicarakan
pula ! Yang paling penting sekarang ialah bagaimana kita
dapat berlalu dari tempat berbahaya ini !"
Kata-kata itu menyadarkan It Hiong dan juga si nona
berbaju hijau. Memang, mereka belum keluar dari tempat
yang sangat berbahaya itu. Maka itu, sikap mereka bertiga
lantas menjadi wajar pula. Tapi It Hiong toh masih tidak enak
hati karena ia tak dapat menyelami kata-katanya Kiauw In ini.
Ia mengira nona itu menyangka diantara dia dan si nona
berbaju hijau telah ada persetujuan pernikahan, sedangkan ia,
ia cuma maksudkan kawan, persahabatan sejati.


"Kakak !" katanya kemudian, matanya menatap kakak
seperguruan itu.
Si nona berbaju hijau sebaliknya. Saking gembiranya dia
kata : "Kakak, kakak benar ! Kita memang harus berdaya agar
kita dapat berlalu dari gunung Hek Sek San ini ! Kakak,
bukankah benar kata-kataku ini ?" Kata-kata yang belakangan
ini ditujukan kepada It Hiong, kepada siapa ia berpaling.
It Hiong menjadi serba salah, hingga ia memperdengarkan
suara yang tidak jelas. Hendak ia membuka mulutnya tetapi
Kiauw In segera mengedipi mata padanya seranya si nona
berkata pada si nona berbaju hijau : "Adik, apakah adik
ketahui jalan untuk berlalu dari gunung ini ? Aku maksudkan
untuk kita turun gunung ?"
Nona itu balik mengawasi. Ia membuka matanya lebarlebar.
"Aku tidak tahu !" sahutnya.
Justru itu, It Hiong mendadak mengeluarkan suara
tertahan.
"Mana Ya Bie ?" demikian tanyanya.
"Aku telah kehilangan dia karena kami berpisahan tanpa
merasa." sahut Kiauw In sabar. "Kau tahu, adik. Ketika Ya Bie
dan aku memasuki sebuah kamar, di sana kami mempergoki
Hong Kun bersama Peng Mo tengah berkasih-kasihan.
Mulanya aku mengira Hong Kun kaulah adanya, setelah kami
masuk di dalam kamar itu, baru kami memperoleh kepastian
dia bukannya kau, adik. Kiranya dialah Hong Kun ! Setelah aku
keluar dari kamar itu, tahu-tahu adik Ya Bie sudah hilang......."


Si nona tak menjelaskan perbuatan busuk dari Hong Kun
dan Peng Mo, si Bajingan Es. Biar bagaimana, ia malu.
It Hiong melengak.
"Kalau begitu," katanya kemudian. "Kalau kita turun dari
gunung ini, terlebih dahulu kita mesti mencari ketemu pada
adik Ya Bie ! Akulah Tio It Hiong, tak dapat aku meninggalkan
kawan yang demikian setia ! Itulah perbuatan tak pantas dari
aku !"
Kiauw In pun bingung. Di dalam hal ini, sukar ia
menggunakan kecerdasannya. Ya Bie terperangkap atau dia
sudah turun gunung ? Dia sudah tertawan musuh atau masih
berputar-putar ditempat musuh ini ? Cuma dua
kemungkinannya tetapi sulit menerkanya........
Semua orang berdiam, semua mengasah pikiran mereka.
Akhirnya, Nona Cio yang membuka mulut paling dahulu.
"Buat mencari adik Ya Bie, kita harus menggunakan akal."
katanya kemudian, tenang. "Kita mesti menggunakan tipu
Melempar Batu Menanyakan Jalan, lainnya jalan tidak
ada........."
Tipu itu ialah yang disebut "Touw Sek Bun Liuw."
It Hiong mengangguk. Lantas ia melihat sekelilingnya.
"Kemana kita menimpuknya ?" tanyanya kemudian.
"Kepada siapa kita menanyakan jalan ?"
Si nona berbaju hijau diam melengak. Dia tak mengerti apa
yang kakak beradik itu bicarakan. Dia pula tidak berani
mencampur bicara.


Tapi Kiauw In tertawa.
"Ha, kutu buku !" katanya. "Percuma kau belajar surat,
sampai mati pun tidak ada terpakainya ! Dapatkah dalam
urusan begini kita menganut pepatah Mengukir Perahu
Mencari Pedang ?"
Mulanya It Hiong melengak, lantas dia sadar dari jengah,
dia tertawa.
"Kakak benar !" katanya. "Mari kita maju !"
Sambil mengibaskan tangannya, pemuda ini lantas
mengajak kedua nona itu lari ke arah gua karang. Akan tetapi
segera juga ia kecele. Pintu gua tadi telah tertutup rapat pula.
Bahkan tak terlihat tanda-tandanya atau bekas-bekasnya !
"Aneh !" pikir si anak muda, matanya mengawasi ke
dinding puncak di tempat yang tadi rasanya pintu rahasia
menjublak.
Kiauw In dan nona berbaju hijau tiba belakangan, sebab
barusan mereka tak lari sekeras si anak muda. Mereka melihat
si anak muda berdiri menjublak.
Hanya sejenak, Kiauw In lantas tertawa. Ia mengangkat
tinggi tangannya, guna menghunus pedangnya yang digendol
di punggungunya, lantas dengan ujung pedang ia mengguratgurat
di dinding batu guna mengukir enam buah huruf yang
besar : "Tok Mo Pie Tek Ie Cie" yang berarti : "Tok Mo, si
Bajingan Beracun, disini dia menyingkirkan diri dari
kawannya."


Selekasnya Nona Cio selesai mengukir, si nona kawannya
membacanya dengan keras.
Baru berhenti suaranya si nona atau satu suara serak
menyusulnya.
"Oh, budak setan !" demikian suara itu. "Rupanya sebelum
kau tiba di lain dunia, belum juga hatimu mati ! Marilah
masuk, hendak aku melihat berapa besar kepandaianmu !"
Satu suara keras segera terdengar, segera pintu batu
rahasia terbuka pula hingga tampaklah mulut sebuah gua.
It Hiong dan Kiauw In saling memandang. Keduanya terus
bersenyum, setelah itu dengan satu pengerahan tenaga dalam
tiba-tiba si anak muda melakukan penyerangan ke dalam ! Dia
menggunakan suatu pukalan Hong Liong Hok Houw Ciang.
Segera terdengar satu suara yang menandakan serangan
itu mendapat halangan ialah dari dinding gua, jauh serangan
itu mungkin cuma sepuluh tombak. Sedangkan penyerangan
itu dilakukan guna mencoba mencari tahu di dalam gua itu
masih bersembunyi atau tidak buat membokong lawan yang
memasukinya.
Menyusul serangannya itu, It Hiong berlompat memasuki
gua diturut oleh Kiauw In dan si nona berbaju hijau yang
mengikuti dengan selalu berdekatan.
Gua gelap sekali hingga sekalipun lima jari tangan di depan
muka, tak tampak. Jadi gua ini beda dari pada yang tadi.
"hati-hati, adik !" Kiauw In memberi peringatan.
"Aku mengerti !" sahut It Hiong.


Untuk dapat melihat keadaan gua itu, si anak muda lantas
saja mengeluarkan Lee-cu, mutiara mustika hadiah si jago Bu
Lim yang menyembunyikan diri. Dengan demikian, gua itu
lantas tampak terang. Bahkan makin gelap tempat, mutiara
makin bercahaya kuat.
Gua luas atau lebar sepuluh tombak lebih, seluruhnya
kosong. Di empat penjuru cuma dinding yang tampak.
Kiauw In mengawasi dengan seksama, maka ia ingat
rasanya ketika ia menempur Hiat Ciu Jie Nio, ia masuk dari
pintu rahasia di sebelah kiri dan tiba di gua ini.
Apa daya sekarang ? Lawan tetap bersembunyi.
Setelah berpikir sejenak, Nona Cio lantas menggunakan
tipu daya memancing kemarahan lawan. Ia teruskan kata
dengan nada mengejek : "Rupanya kepandaian Tok Mo ialah
cuma pintar menggunakan segala gua batu guna mengurung
lawan-lawannya. Kemanakah kepandaiannya yang dahulu
dipakai melakukan pembantaian kejam di antara kaum rimba
persilatan ? Hm ! Pasti rahasianya ini ada disebelah kiri sini !
Kalau dia tetap tidak berani perlihatkan dirinya, mesti kita
menggempurnya ransak ! Kita menggunakan kekerasan !"
Kembali terdengar suara parau itu : "Tempatku ini adalah
salah satu dari Barisan rahasiaku yang diberi nama Ngo Tok
Tin, namanya ini Tok Kong Tin, ialah Barisan rahasia Sinar
Beracun. Jangan kamu memandang ringan, sahabat-sahabat
!"
It Hiong tertawa.


"Gua kosong melompong begini kau katakan Tok Kong Tin
?" katanya. "Sungguh aku yang rendah tidak mengerti !
Dimana adanya sinar terangnya ? Dimana ada racunnya ?"
Si nona berbaju hijau jeri terhadap si orang tua yang
mukanya keriputan itu, sebegitu jauh tak berani dia
mencampur bicara. Sekarang dia menyaksikan sebuah gua
kosong, tak ada juga bekas-bekasnya manusia. Timbul pula
pula keberaniannya, apa pula sekarang dia berada bersama It
Hiong dan Kiauw In terhadap siapa si keriputan tidak dapat
berbuat apa-apa. Maka lupalah dia kan ancaman orang yang
melarangnya dia meninggalkan Hek Sek San dengan jiwanya
masih hidup ! Demikianlah dia menyela : "Kongcu benar !
Segala kepandaian untuk menggertak saja ! Dia sungguh
bermuka tebal.
"Budak hina durhaka !" mendamprat si suara parau.
"Rupanya kau memikir kabur mengikuti orang laki-laki ! Tak
semudah itu ! lebih dahulu lohu akan mengambil jiwamu buat
diperlihatkan kepada si bocah !"
Nona itu bungkam, suara orang telah membuat hatinya ciut
pula. Bahkan tubuhnya pun bergemetar.
Diantaranya sinarnya mutiara, Kiauw In melihat mukanya
nona yang ketakutan itu. Ia lantas menarik tangan orang
untuk membuat tubuh dia itu nempel dengan tubuhnya,
kemudian ia mengusap-usap rambutnya yang indah.
"Kuatkan hatimu, adik !" ia menghibur. "Dia cuma
mengucapkan gertakannya si orang Kang Ouw ! Jangan takut
! Kita pasti bakal dapat lolos dari sini !"
Berbareng dengan berhentinya suara nona Cio, mendadak
saja mereka melihat satu sinar yang menyorot keras,


warnanya kehijau-hijauan. Sinar itu membuat mata sukar
melihat.
Kiauw In segera memejamkan matanya. Tetapi karena
barusan ia kena tersorot, ia pun merasakan panasnya nyeri,
hingga air mata lantas meleleh keluar. Maka juga ia tunduk
membekap mukanya pada bahunya si nona berbaju hijau.
Si nona baju hijau itu turut mengeluarkan air mata. Ia pun
terkena sorotan cahaya istimewa itu yang luar biasa kerasnya.
Kiauw In lantas kata pada nona itu. "Adik, kau kerahkan
tenaga dalammu ! Sinar itu harus dilawan dengan tenaga
batin !"
Berkata begitu, nona Cio sendiri sudah lantas mengerahkan
tenaga dalamnya sendiri hingga walaupun tubuh mereka tidak
bergerak, hati mereka telah dibikin tenang dan mantap.
Hatinya Kiauw In tapinya tidak tenang. Ia memikirkan It
Hiong, siapa tak dapat ia lihat karena ia mesti merapatkan
matanya terus-terusan hingga ia tak tahu bagaimana jadinya
dengan kekasih itu. Taruh kata ia membuka matanya, tetap ia
bakal tak dapat melihat.
Sinar hijau itu tidak menyoroti ke satu tempat saja. Sinar
menuju ke pelbagai arah. Rupanya dia dapat menyinari
kemana dia suka. Tetap sinar itu keras dan panas terasanya.
Bergantian kedua nona itu dan It Hiong juga mendapat giliran.
Tidak lama maka terdengarlah tawanya si orang bersuara
parau itu.
"Inilah sinar beracun dari lohu !" kata dia, suaranya
bernada mengejek. "Kalau orang disoroti terus menerus


selama setengah jam saja, sinar bakal membakar mata orang
! Dan kalau sampai dua jam, tubuh orang bakal menjadi
daging yang berdarah dan lumer karenanya ! Kamu tidak tahu
hidup atau mampus, kamu membuat lohu gusar. Maka
sekarang kamu rasailah !"
Jadi itulah yang si parau menyebutnya Tok Kong Tin, tin
Lima Racun (Ngo Tok).
It Hiong tidak takut. Ia berkata nyaring : " Ada apakah
kelihaian lainnya dari tin kau itu ? Kau sebutkanlah ! Hendak
aku mendengarnya !"
Kiauw In mendengar nyata suara kekasihnya itu, lantas
hatinya menjadi lega. Suara itu menyatakan yang si anak
muda tidak terganggu sinar jahat itu. Apa sebabnya itu ? Ia
berpikir tidak lama. Lantas ia ingat Lee-cu, mutiara mustika
miliknya si anak muda. Rupanya mustika itu dapat
menaklukan sinar jahat lawan itu......
Demikian kecerdasannya si nona, maka tidaklah kecewa dia
menjadi muridnya seorang guru silat yang lihai luar biasa.
Habis memikir, ia lantas teriaki It Hiong. "Adik, mari ! Mari
lekas ! Kau gunakanlah mutiaramu !"
Memang It Hiong telah disoroti lawan. Akan tetapi dia tidak
kurang suatu apa. Dia tidak merasakan hawa tajam dan panas
hingga dia bebas. Walaupun demikian, dia selalu memasang
mata kalau-kalau lawan mencuranginya dengan jalan
membokongnya. Sebab ini, dia sampai melpai kedua nona itu.
Dia pula tidak menyangka yang Kiauw In dapat diganggu sinar
jahat itu.
Si nona berbaju hijau juga menderita. Tetapi masih bagus
baginya, ia telah dirangkul Kiauw In. Dengan begitu ia tak


usah mengeluh, sedangkan nona Cio sebagai wanita gagah
dapat bertahan hati, bertahan diri. Kecuali setelah ia ingat
mutiara kekasihnya itu, hingga ia memperdengarkan suaranya
tadi. Hingga si anak muda pun sadarlah akan ancaman bahaya
bagi kakaknya yang baik hati itu.
Lantas It Hiong menghampiri tunangannya serta si nona
berbaju hijau. Ia heran menyaksikan mereka itu saling
merangkul dengan kepala mereka masing-masing
disembunyikan. Tadinya ia menyangka lawan menggunakan
sinar buat main-main atau menggertak saja, sekarang........
“Kakak, kalian kenapakah ?" tanyanya sambil menyoroti.
Terkena sinarnya Lee-cu, Kiauw In dan si nona berbaju
hijau lantas merasa tubuh mereka nyaman, hilang rasa panas
dan nyeri pada matanya.
Segera Nona Cio insaf akan keadaan yang sebenarnya.
Itulah pengaruhnya mutiara yang dahsyat itu. Dalam
girangnya, ia mengangkat kepalanya dan berkata : "Lee-cu
menjadi penolong jiwa kita, kau tahu atau tidak ?"
Si nona bukannya menjawab si anak muda, hanya berkata
seperti balik bertanya.
Si nona berbaju hijau juga mengeluarkan kepalanya untuk
berdiri tegak. Ia menyusut airmatanya terus ia mengawasi
Kiauw In dan It Hiong. Ia agaknya heran.
Dengan demikian, bertiga mereka itu saling mengawasi. It
Hiong tetap memegangi mutiaranya hingga sinarnya itu
melindungi mereka bertiga. Sementara itu ia melihat matanya
kedua nona merah, sedang rambutnya Kiauw In, begitu pun


baju dibahunya seperti bekas terpanggang, seperti kering
hangus. Tahulah ia sekarang hebatnya sinar lawan.
"Aku yang keliru, kakak !" katanya sengit. "Sinar itu
demikian jahat tetapi aku tidak menyangka hingga aku tidak
memperhatikan kalian ! Kakak, apakah ada bagian tubuhmu
yang dilukai ?"
Si anak muda sangat prihatin hingga tanpa likat lagi ia
mengelus-elus rambut si nona dan mengusap-usap baju
dibahunya itu.
Kiauw In tertawa.
"Aku tidak terluka, adik !" sahutnya. "Siang-siang aku telah
mengerahkan tenaga dalamku menentang serangan sinar
jahat itu !"
Lega hatinya It Hiong. Lalu ia membawa mutiara ke
mukanya kedua nona itu sembari ia kata : "Cobalah kalian
menyedot hawa sinarnya mutiara ini, supaya kalau ada racun
yang menelusup masuk, racun racun diusir pergi !"
Kiauw In berdua menurut. Mereka menghadapkan mutiara,
terus mereka membuka mulut mereka akan menyedot hawa.
Dengan begitu mereka merasai dada mereka lapang, seluruh
tubuhnya agaknya nyaman sekali hingga mereka pun merasa
segar. Pula dengan lekas mata mereka tidak lagi merah, rasa
perihnya lenyap seketika.
Sementara itu, dengan berlalunya sang waktu, mendadak
sinar jahat itu sirna. Maka seluruh ruang kembali menjadi
gelap gulita seperti semula tadi. Hingga sekarang tampak
tinggal cahayanya si mutiara mustika bagaikan si puteri malam


di malam yang gelap petang. Sinar itu mengitari mereka
bertiga sejauh kira dua tombak.
Selenyapnya sinar terang yang jahat itu, lantas terdengar si
suara parau berbicara pula. Kata dia : "Bocah hitung saja
peruntunganmu bagus sekali ! Kamu telah berhasil
membebaskan diri dari dalam Tok Kong Tin ! Tapi kamu belum
bebas seluruhnya ! Sekarang lohu hendak mengajukan
pertanyaan kepadamu mengenai satu urusan. Lohu
menghendaki kamu bicara dengan sebenar-benarnya. Kalau
tidak, hm !"
It Hiong sementara itu panas hati. Orang telah
mengganggu rambut dan bajunya Kiauw In.
"Jangan kau mengaco belo !" bentaknya. "Lebih baik mari
kita mengadu jiwa.
Mendengar demikian, diam-diam Nona Cio menarik ujung
baju tunangannya itu separuh berbisik, ia kata : "Kita harus
menggunakan kecerdikan kita untuk lolos dari kurungan ini,
kurungan Ngo Tok Tin ! Buat apa melulu melayaninya ?"
Terdengar pula suaranya si parau itu : "Masih lebih bagus
kesabarannya si budak perempuan tua ! Memang, siapa luhur
dia mengadu kecerdasan, siapa rendah dia mengadu tenaga !
Itulah cuma kegagahan si manusia biasa melawan harimau
tanpa senjata atau menyebrangi kali tanpa perahu ! Hm !"
Selagi It Hiong berdiam, Kiauw In tertawa.
"Cianpwe," katanya. "Urusan apakah itu yang cianpwe
hendak tanyakan ? Bicaralah, jangan kau berlaku mirip si akiaki
atau si nenek !"


Suara parau itu terdengar pula.
"Bocah, dari manakah kau perolehnya mutiara itu ?"
demikian tanyanya. "Lekas bilang !"
It Hiong mengawasi Kiauw In, si kekasih yang ia sangat
hargakan. Ia menahan sabar walaupun pertanyaan itu tak
disenanginya.
"Aku dapatkan mutiara ini dari Kanglam." sahutnya.
"Sungguh licin !" bentak si parau. "Jika kau tahu gelagat,
lekas kau bicara dengan sebenar-benarnya !"
Dengan memegang mutiaranya dengan kedua jeriji
tangannya, It Hiong mengulapkan itu untuk dilihat oleh si
parau, siapa sebaliknya cuma terdengar suaranya saja.
"Coba kau sebut dahulu namanya mutiara ini !" ia balik
bertanya. "Setelah kau dapat menyebutnya, baru kau
mempunyai harga atau kehormatan untuk menanyakan hal
ikhwalnya ! Kau sebutkanlah !"
"Lee-cu." berkata si parau, suaranya keras.
"Mari aku beritahukan !" berkata It Hiong kemudian.
"Mutiara ini aku peroleh dari Kui Hiang Sian-Koan di Kanglam,
dari seorang locianpwe yang telah mengundurkan diri dari
dunia rimba persilatan ! Nah, apalagi yang hendak kau
tanyakan ?"
"Bagaimana wajah dan dandanannya si tua tak mau
mampus itu ?" tanya si parau. "Kau bicaralah !"


"Sulit buat aku menjawab pertanyaanmu ini !" sahut It
Hiong. "Ketika aku bertemu dengan locianpwe itu, itulah
secara kebetulan saja, sekilas lalu !"
Agaknya si parau tidak senang. Ketika dia bicara pula, lagu
suaranya tak sedap di dengarnya. Kata dia : "Tua bangka tak
mau mampus itu sangat menyayangi mutiaranya seperti dia
menyayangi jiwanya sendiri, kenapakah dia sampai
menghadiahkan itu padamu ?"
It Hiong tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya : "Ada
sangkut pautnya apa urusan locianpwe itu menghadiahkan
mutiara padaku dengan kau ? Kenapa kau menanyakan secara
begini kasar dan sengit ?"
Si parau menjawab, sekarang dengan suara gusar : "Aku si
orang tua hendak mencari tua bangka tidak mau mampus itu
guna membuat perhitungan dengannya ! Aku pula mau
membuktikan dahulu omonganmu ini, cocok dengan
kenyataannya atau tidak !"
"Tak dapat aku bicara banyak tentang mutiaraku ini !" It
Hiong berkata. "Ketika locianpwe itu menghadiahkan
mutiaranya padaku, beliau cuma memberi petunjuk padaku
untuk menaklukan segala bajingan guna melindungi keadilan,
juga guna membasmi segala sampah kaum rimba persilatan
yang suka merusak segala apa ! Sedemikian, tak lebih tak
kurang !"
Si parau itu seperti juga lebih dapat menerima cara keras
daripada cara halus. Ketika dia memperdengarkan pula
suaranya, sekarang suaranya itu tak sekeras tadi.
"Kau benar, kau benar." kata dia yang terus mengalihkan
pokok pembicaraan. Ketika dia meneruskan, dia kata : "Dari


Ngo Tok Tin aku si tua, kamu baru belajar kenal dengan Tok
Kong Tin, satu tin ! Di sebelah itu, masih ada empat lainnya
yaitu Tok Seng Tin --suara beracun, Tok Kie Tin --hawa
beracun dan lainnya ! Apakah kau masih hendak belajar kenal
lebih jauh dengan empat tin yang berikutnya ?"
"Coba jawab dahulu !" berkata It Hiong. "Bagaimana kalau
aku mau belajar kenal ? Bagaimana andiakata aku tidak sudi,
aku segan ?"
Si parau terdengar menghela napas dengan perlahan.
"Sebenarnya aku si tua menyayangi kepintaranmu,"
katanya. "Karenanya suka aku memberikan kau satu jalan
hidup !"
Sampai disitu, Kiauw In campur bicara.
"Murid-murid dari Pay In Nia bukannya bangsa pengecut
yang takut mati !" demikian katanya. "Meskipun demikian,
cianpwe, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan
hatimu ini !"
Si nona mendahului si anak muda karena ia khawatir anak
muda itu menuruti hawa amarahnya dan nanti mengeluarkan
kata-kata keras. Buat ia yang utama ialah lekas berlalu dari
tempat yang berbahaya itu !
Agaknya si suara parau itu puas mendengar kata-katanya si
nona. Maka ketika dia bicara pula, bicaranya perlahan.
"Oh, anak. Kau juga muridnya Tek Cio si rahib tua dari Pay
In Nia ?" tanyanya. "Nyata kau pandai bicara, kau cerdas
sekali ! Bagus, bagus !"


Kiauw In hendak mengatakan sesuatu tetapi si suara parau
mendahuluinya dengan kata-katanya : "Nah, pergilah kalian
turun gunung ! Lohu tidak mempunyai banyak ketika akan
melayani kalian !"
Mendengar itu, It Hiong tertawa.
"Lee-cu dari locianpwe yang sudah mengundurkan diri itu
serta obat pemunah racun dari Pek Yam Siansu !" kata ia
keras. "Kedua benda mustika itu memiliki khasiat luar biasa
guna membasmi segala macam racun. Maka itu kau Tok Mo si
Bajingan Racun, jika kau tidak menjual lagak, pada akhirnya,
kau bakal merasai sendiri akibatnya ! Benar, bukan ?"
"Bocah !" bentaknya. "Jika kau masih mengoceh saja, lohu
akan mengunakan Tok Seng Ting guna menahan mutiara
serta obatmu itu !"
Tok Seng Tin ialah Barisan rahasia Suara Beracun.
Belum lagi It Hiong menjawab, Kiauw In sudah tertawa dan
kata : "Kami mau turun gunung. Untuk itu kami harus
mendapatkan jalannya. Jika cianpwe tidak mau membukai
pintu rahasiamu, apakah itu bukannya berarti cianpwe sengaja
hendak menyusahkan kami ?"
Kembali suaranya si parau berubah menjadi sabar.
"Kau benar, anak. Kata-katamu menyenangkan di
dengarnya." katanya. "Dapat aku membukai jalan pada kamu
semua. Akan tetapi buat itu, kalian harus menolong lohu
melakukan sesuatu !"
Kiauw In melengak, hingga ia kata di dalam hatinya :
"Dasar kaum sesat, mulutnya saja manis, hatinya hati serigala


! Dialah si setan licik !" Tapi, meskipun demikian ia toh
menanya : "Apakah itu? Silahkan sebutkan ?"
Si parau membuka suaranya tinggi.
"Kalian harus mewakilkan lohu membersihkan partaiku !"
demikian katanya. "Kalian harus binasakan itu budak yang
menjadi murid murtadku !"
Itu artinya, si pemuda dan si pemudi diharuskan
membinasakan si nona berbaju hijau.
Kiauw In menoleh kepada nona itu. Ia melirik memberi
tanda akan si nona menyelindung di belakangnya. Kemudian
ia berpura menanya : "Siapakah muridmu itu cianpwe ?
Dimana adanya dia sekarang ? Dan, apakah kesalahannya
muridmu itu ?"
"Banyak mulut !" si parau membentak. "Lohu bilang dia
harus dibunuh, dia mesti dibinasakan ! Buat apa kau mesti
menanya begini melit ?"
Si nona berbaju hijau yang telah menggeser ke
belakangnya Nona Cio bergemetar tubuhnya. Dia takut sekali.
"Cianpwe." kata Kiauw In sabar. "Jika cianpwe tidak bicara
dengan jelas, maka maafkanlah boanpwe yang boanpwe sulit
menjalankan titahmu itu.........."
"Hm ! Hm !" si parau memperdengarkan suara dongkolnya.
"Nampaknya kalian tidak berniat turun gunung, bukankah ?"
Tapi It Hiong menjawab keras : "Apa yang aku si orang she
Tio hendak tolongi, biarnya aku mesti menyebur ke air atau
menyerbu ke api, kendati mesti mengadu jiwa hendak aku


membuktikan apa yang aku janjikan ! Laginya adik ini masih
belum ketahuan muridnya siapa dan kenapa dia bolehnya
datang kemari ! Beranikah kau omong terus terang mengenai
hal ikhwalnya dia ?"
Si parau bagaikan terdesak. Lewat sekian lama, baru ia
membuka mulutnya.
"Sebenarnya kalian mau pergi atau tidak ?" dia
menegaskan, bengis.
Sepasang alisnya si anak muda bangkit berdiri !
"Biarnya aku mesti menginjak-injak Hek Sek San menjadi
rata, mesti aku berhasil mencari sahabatku !" katanya keras.
"Setelah itu baru aku mau pergi ! Siapa yang jeri terhadap
tinmu yang beracun ?"
Begitu dia menutup mulutnya, begitu si anak muda
menghunus pedangnya.
Aneh si parau itu. Kali ini bukannya bergusar, dia justru
tertawa berkakak.
"Kau boleh pergi !" katanya nyaring. "Lihatlah ! Di saat
berhasilnya pertemuan besar di In Bu San, maka itulah
saatnya juga yang kalian semua akan habis terbasmi !
Kalianlah ikan-ikan di dalam kwali dan sang semut di dalam
telapakan tangan ! Ha ha ha !"
Tanpa menanti suara orang berhenti, It Hiong sudah
berlompat maju ke kirinya dimana dengan pedangnya ia
mengetuk tembok guna mencari pesawat atau pintu
rahasianya ruang tertutup itu.


Mendadak terdengar satu suara menjublak keras,
mendadak juga sebuah pintu tampak terbuka sendirinya
hingga disitu lantas tampak sebuah lorong. Agaknya pintu itu
terbuka tanpa dicari pula oleh si anak muda.
Dengan berani anak muda kita berlompat masuk ke dalam
pintu itu. Sembari berlompat dia memutar pedangnya guna
melindungi diri andiakata nanti datang penyerangan gelap dari
dalam terowongan itu.
Itulah semacam jurus silat bagaikan melesatnya anak
panah.
Menyaksikan tindakannya It Hiong itu, si nona berbaju hijau
menarik ujung bajunya Kiauw In, sedangkan kakinya
melangkah. Dia ingin segera menyusul si pemuda. Sebab dia
ingin sekali lekas-lekas menyingkir dari tempat yang
berbahaya itu.
Kiauw In memegang lengan orang untuk ditarik.
"Jangan bingung !" katanya. "Adik Hiong cuma hendak
menyelidiki jalanan. Sebentar dia kembali untuk kita berjalan
bersama-sama !"
Si nona berbaju hijau dengan sinar mata guram berdiri
mengawasi ke dalam terowongan, hatinya tetap tegang
sendirinya.
Benar saja, tak lama maka tampaklah berkelebatnya
bayangan dari sesosok tubuh hitam atau segera It Hiong
berdiri di hadapan mereka berdua.
"Ujungnya terowongan ini adalah sebuah tanah datar
berbatu." kata si anak muda seranya tangannya menunjuk ke


dalam terowongan itu. "Di sana, di kiri adalah kaki puncak dan
di kanan terdapat serentet rumah petak terbuat dari batu. Di
sebelah terowongan terdengar samar-samar suara
pertempuran....."
Alis indah dari Kiauw In dirapatkan, otaknya bekerja.
"Mari kita pergi !" ajaknya sejenak kemudian.
It Hiong mengangguk. Lantas dia jalan di muka memasuki
pula pintu rahasia itu hingga bertiga mereka berjalan didalma
lorong atau terowongan. Si nona berbaju hijau jalan di tenah,
agar Kiauw In yang berjaga-jaga di sebelah belakang.
Panjangnya lorong belasan tombak. Mulut jalan keluar itu
terhadang dengan selat yang teraling dengan dinding batu,
maka orang harus jalan mengidar ke kanan untuk tiba ditanah
datar berbatu.
Di dalam waktu yang singkat, It Hiong bertiga sudah tiba
disisi tanah datar itu, di pinggiran yang tinggi. Di depan
mereka adalah puncak. Di situ mereka dapat menyedot hawa
yang nyaman. Sang surya menyatakan yang sang waktu
sudah siang, sudah mendekati tengah hari.
Tanah datar itu adalah tempat dimana kemarin Gak Hong
Kun dan Ek Jie Biauw main perlip-perlipan. Itu pula tempat Ya
Bie bertempur dengan Ek Jie Biauw sekeluarnya dia dari
rumah batu.
Ketika malam itu Kiauw In kehilangan Ya Bie, ia telah
memasuki serentetan rumah batu itu serta melintasi beberapa
pintu dan pendopo guna mencarinya, hanya ia belum sampai
di tanah datar berbatu itu. Waktu Ya Bie kembali, ia


sebaliknya sudah pergi jauh. Maka juga mereka berdua tak
dapat bertemu satu dengan lain.
Selama bingung mencari Ya Bie dan It Hiong itu, beberapa
kali Kiauw In bertemu dan bertempur dengan beberapa orang
berseragam. Hanya mereka itu aneh, nampaknya mereka
semua tak beres pikiran dan cara berkelahinya tidak memakai
aturan. Tegasnya mereka berkelahi masing-masing. Mereka
pula menyerang asal orang ada ditempat jagaan mereka.
Selekasnya orang dapat melewatinya, mereka tidak mengejar.
Setelah sampai di rumah batu terakhir, disitu barulah nona
Cio bertemu dengan Hian Ciu Jie Nio dan bertempur
dengannya. Kali ini dia merasa bahwa ia tengah menempur
orang yang otaknya tidak terganggu. Ia mesti melewati tiga
puluh jurus lebih barulah lawan dapat dipaksa mundur dan
kabur hingga ia mengejarnya sampai di luar rumah batu itu. Di
situ baru ternyata, itulah bukan rumah batu hanya gua
karang.
Selama terpisah satu dengan lain, pengalamannya It Hiong
dan Kiauw In berlainan. Toh akhirnya mereka bertemu dan
berkumpul kembali. Ya Bie sebaliknya terpisah sebab dia
ketinggalan Kiauw In dan karena ilmu silatnya masih rendah
dia pasti menderita. Di antara beberapa orang Kang Ouw yang
melindunginya, ada beberapa orang rimba persilatan hingga
sangat sukar baginya melayani mereka itu. Demikianlah
sampai It Hiong mendengar di sebelah puncak gunung ada
suara pertempuran. Itu pula bukannya nona itu bergulat matimatian
guna meloloskan diri dari rintangan. Syukur baginya, ia
dibantu oleh So Hun Cian Li si orang utan yang beberapa kali
menolongnya dari serangan berbahaya dari lawan-lawannya
tiu. Dari tengah malam sampai besoknya pagi barulah ia dapat
keluar dari beberapa rumah batu itu tetapi belum bebas
seluruhnya.


Demikianlah It Hiong bertiga, setelah mendengari suara
pertempuran itu, mereka lantas mencari jalan untuk
menghampiri dan melihatnya. Mereka jalan melintasi beberapa
rumah batu, hingga suara tadi nampak makin nyata.
"Mungkin itulah adik Ya Bie yang masih bertempur di dalam
rumah batu......." kata Nona Cio setelah dia memasang
telinganya.
It Hiong heran.
"Kenapa kau menerka demikian, kakak ?" tanyanya. Ia
menjadi heran sebab ia tidak menyangka Ya Bie yang masih
begitu muda dan belum berpengalaman dapat berkelahi satu
malam lebih......
Sebenarnya sebagai murid Kip Hiat Hong Mo, Ya Bie
mempunyai suatu kelebihan ialah ilmu menyamarnya Hoan
Kak Bie Cin, hingga ia dapat mengaburkan mata orang. Ilmu
itu membuat umumnya ahli silat dapat melihat dan menerka
keliru. Demikianlah sampai It Hiong pun membutuhkan
keterangan dari si kakak......
"Panjang buat aku menjelaskan !" kata Kiauw In. "Yang
perlu sekarang ialah membantu orang ! Mari !"
Nona Cio berkata terus bekerja. Ia lompat masuk ke dalam
rumah batu dengan melewati jendela, sembari berlompat ia
menghunus pedang dipunggungnya.
It Hiong masih tetap heran tetapi ia pun tidak mau
terlambat. Mak ai lompat menyusul sambil terlebih dahulu ia
menyambar tangannya si nona berbaju hijau untuk mengajak
nona itu.


Rumah batu itu gelap, apa yagn tampak ialah sinar
berkilauan kehijau-hijauan mirip seperti terang kunang-kunang
hingga penglihatan menjadi rada seram. Meski begitu, Kiauw
In dapat maju dengan lekas. Ia seperti berjalan di tempat
yang ia kenal baik sekali. Ia melintasi kamar-kamar untuk
menuju langsung ke tempat suara pertempuran itu.
Kiranya tempat pertempuran adalah sebuah ruang
pertengahan segi empat, kiri dan kanannya berdinding
tembok. Jendela hanya satu dan juga kecil. Maka itu sekalipun
siang hari, ruang guram.
Setibanya di muka kamar, Kiauw In melihat senjata-senjata
berkelebatan dan mendengar bentakan. Ia segera memasang
mata tajam guna bisa melihat terlebih tepat.
Yang bertempur itu adalah tiga orang pria bertubuh besar
dan tegar mengepung seorang wanita dengan tubuh kecil
langsing serta seekor orang utan yang tubuhnya besar dan
berbulu.
Nona Cio pernah memasuki ruang ini dimana ia menempur
tiga orang yang bertubuh besar seperti tiga orang ini, maka
dia lantas menerka kepada Sam Mo atau tiga Bajingan dari
pulau To Liong To. Karena itu, yang lainnya ialah Ya Bie
bersama binatang piaraannya itu yang kuat dan lincah.
Dengan satu loncatan ilmu ringan tubuh Tangga Mega dan
sembari berseru juga Kiauw In lompat masuk ke dalam ruang
itu. Seruannya ialah : "Kakakmu datang ! Juga kakak Hiongmu
lagi datang menyusul !" Ia pun terus menangkis senjatanya
Lam Heng Hoan, si Bajingan nomor dua. Yang ia gunakan
ialah jurus "Pelangi Mengelilingi Langit." Menyusul itu, satu


desakannya membuat kedua Bajingan yang lainnya terpaksa
mundur seperti yang pertama itu.
Kiauw In berbesar hati melayani ketiga Bajingan itu, karena
ia tahu meski juga mereka itu lihai tetapi mereka berkelahi
tanpa menggunakan otak yang sadar. Sebabnya ialah urat
syaraf mereka itu sudah dipengaruhi obat.
Ya Bie lantas berlompat mundur selekasnya ia mendengar
seruan dan melihat sinar pedang menghadang ketiga
lawannya. Ia girang dan bersyukur hingga ia tidak dapat
segera membuka mulutnya. Ia berdiri disisi dengan naps
memburu. Cuma kedua matanya yang mengucurkan air mata
kegirangan mengetahui datangnya Kiauw In terutama It
Hiong, sang "kakak Hiong" sebagaimana Nona Cio
menyebutnya barusan !
Letih dan kegirangan dan terharu berbareng. Terutama
keletihan, membuat muridnya Kip Hiat Hong Mo tak dapat
bertahan lama berdiri di sisi itu. Mendadak saja ia merasai
napasnya sesak, lalu tubuhnya basah dengan peluh, akan
dalam detik lain roboh dengan sekonyong-konyong !
Tepat ketika itu It Hiong sampai, maka anak muda ini
berlompat akan mencegah tubuh nona itu yang ia pegang
pada pinggangnya.
"Adik Ya Bie !" panggilanya keras. "Adik Ya Bie !"
Ketika itu Kiauw In tengah melayani ketiga Bajingan. Ia
mengharap Ya Bie dapat beristirahat, maka ia terperanjat
waktu ia mendengar suaranya It Hiong memanggil Ya Bie itu.
Ia lantas mengambil kesempatan akan melirik, hingga ia
melihat si adik Hiong tengah memondong tubuhnya anak


perempuan itu. Kedua matanya nona itu dipejamkan dan
napasnya memburu keras.
Selagi nona kita menyimpangi perhatiannya itu, Lam Hong
Han menyerang pula. Ujung senjatanya mengancam dada dan
perut si nona. Hebat erang itu hingga untuk menangkisnya
pun sudah habis waktu. Karena itu, guna menyelamatkan diri,
si nona menjatuhkan dirinya terus bergulingan ke kaki
penyerangnya itu. Ia menggunakan jurus silat "Keledia Malas
Bergulingan !" Setelah bebas dari ancaman itu, ia segera
membalas menyerang. Ia menyerang tanpa berhenti sampai ia
berlompat bangun. Ia mengarah lengan kanan dan
tikamannya yaitu tikaman "Guntur Menyambar".
Lam Hong Hoan kaget sebab dia tidak menyangka lawan
justru berguling ke arahnya. Ia menjadi repot sekali ketika ia
mencoba menyelamatkan diri dengan menangkis serangan
yang berbahaya itu. Tentu sekali, karena itu senjata mereka
berdua saling bentrok dengan keras. Kesudahannya senjata si
Bajingan yang kalah, bahkan ia hampir kutung lengannya jika
tidak dia senjatanya yang malang ditengah ! Ia lantas
berlompat mundur !
Tapi juga Kiauw In tidak memikir buat mencelakai orang
yang kurang ingatan itu. Ia melainkan membela diri berbareng
hendak mengalahkan lawan bukan merobohkannya hingga
terbinasa.
Habis mengundurkan Lam Hong Hoan, Kiauw In berlompat
bangun terus berlompat lebih jauh kepada Ya Bie yang ia
lantas raba mukanya akan kemudian memeriksa seluruh jalan
darahnya. Ia merasa lega mendapatkan nona itu tidak terluka
apa-apa terutaman tidak anggauta dalam badan. Jadi orang
pingsan hanya sebab terlalu letih. Maka lekas-lekas ia
menjejalkan pil Kian tan kedalam mulut nona itu.


"Telah aku menguruti dia," kata It Hiong. "Aku rasa
keadaannya tidak berbahaya."
"Mari kita lekas menyingkir dari sini" kata Nona Cio berbisik.
Di tempat yang aman, kita akan mencoba menolongnya lebih
jauh pada adik Ya Bie ini." kemudian ia menggapaikan
memanggil si nona berbaju hijau serta si orang utan atau
untuk ia berkata : "Kalian lekas keluar terlebih dahulu dari sini,
aku yang akan berjaga-jaga di belakang !"
Si orang utan berdiri dengan tampang lesu, tampangnya
dia terlalu lelah. Sinar matanya pun sayup-sayup. Tadinya dia
duduk numprah saja di lantai.
Si nona berbaju hijau mengawasi binatang itu. Kata dia
pada Kiauw In : "Rupanya Binatang ini mengerti akan katakata
orang. Kasihan dia....."
Binatang itu sebaliknya, menunjuk-nunjuk si nona yang
berbicara itu berulang-ulang ia memperdengarkan suaranya,
cuma entah apa yang ia katakan. Kemudian ia menghampiri It
Hiong, tangannya menunjuk Ya Bie yang masih rebah, terus
dipakai menepuk-nepuk punggungnya.
Menyaksikan demikian, It Hiong mengerti akan maksudnya
Binatang cerdik itu. Ia angkat tubuhnya Ya Bie akan
digembloki di punggungnya sang binatang.
Justru bertepatan dengan itu, mendadak ada seseorang
yang berlompat kepada si orang utan lantas tampak suatu
sinar terang meluncur pada punggungnya ! Itulah serangan
terhadap Ya Bie !


Si nona berbaju hijau melihat sinar itu berkelebat. Dia
kaget hingga dia berseru dan mundur dua tindak. Tapi
sebelumnya pedang mengenai sasarannya, mendadak
serangan itu ditarik pulang dan si penyerang terdengar
suaranya perlahan !
Si orang utan sangat cerdik, dengan lantas dia lari sambil
menggendong nonanya itu.
Kiauw In pun segera menolak tubuhnya si nona baju hijau
sambil dia berkata keras : "Lekas lari!"
Nona itu mengerti, lantas dia lari menyusul si orang utan.
Ketika itu It Hiong sudah mulai bertempur dengan si
penyerang barusan, senjata mereka beberapa kali beradu
dengan keras hingga percikannya berpeletikan. Saat itu
digunakan Kiauw In akan mengawasi lawan tunangannya itu
hingga ia melihat seorang berbaju rahib To Kauw, agama To.
Tubuhnya besar, cuma matanya ketolol-tololan.
Dia pula memelihara janggut yang biasa disebut sebagai
janggut kambing gunung.
"Ah, siapakah dia ?" pikirnya menerka-nerka. Ia rasa
pernah melihat rahib itu. Ia tidak usah berpikir lama akan
terus ingat dan mengenali orang. Dialah Beng Leng Cinjin dari
Hek Keng To, tocu, pemilik pulau ikan Lodan Hitam !
Dalam penyerbuan terhadap Siauw Lim Sie diwaktu malam
dahulu hari itu, Beng Leng Cinjin turut mengambil bagian. Dia
datang bersama-sama kedua adik seperguruannya, pria dan
wanita yaitu Cek Hong Cu Cin Tong dan Giok Bin Yauw Ho Tan
Hong. Adalah di itu waktu Tio It Hiong dengan pedang Keng
Hong Kiam telah memukul mundur para penyerbu karena


dengan pedang mustikan ia dapat menundukkan bajingan
serta berbareng melindungi keadilan. Semenjak kegagalan itu,
Beng Len Cinjin insaf dan lantas mengundurkan diri dengan
tinggal menyendiri di dalam gubuk yang ia bangun di sebuah
dusun dekat Kho tiam-cu. Dan Kiauw In ketahui rahib itu dari
mulutnya Tan Hong yang menuturkan perihal kakak
seperguruannya yang tertua itu.
Akan tetapi sekarang tiba-tiba tocu dari Hek Keng To itu
yang telah mengundurkan diri, muncul di Hek Sek San ini,
ditempatnya orang sesat bahkan urat syarafnya telah
terganggu ! Tidakkah itu aneh ? Maka teranglah sudah, dia
tentunya telah kena dikekang lawan yang lihai itu.
"Kasihan !" kata si nona kemudian dalam hatinya.
Habis bentrokan dengan Beng Len Cinjin itu, It Hiong
mundur seperti juga si rahib sendiri. Keduanya berdiri diam
sambil saling mengawasi.
"Adik, kenalkah kau akan orang itu ?" Kiauw In tanya.
"Orang atau orang-orang sesat mana ada yang bersahabat
dengan kita ?" sahut It Hiong dengan suara tegas. "Buat apa
kita mengenalnya ?"
"Bukannya begitu, adik." Kiauw In bilang. "Dialah kakak
seperguruan dari adik Tan Hong ! Dia toh Beng Leng Cinjin
dari Hek Keng To !
Mendengar disebutnya nama Tan Hong, pikirannya It Hiong
bagaikan kacau secara tiba-tiba. Itulah kekusutan yang
dibilang "digunting tak putus, diberesi masih kusut juga". Tan
Hong sangat menyulitkan padanya. Nona sesat itu menjadi


sadar dan lurus karena dia dengan setulusnya hati
mencintainya !
Beng Leng Cinjin mendengar si nona menyebut namanya,
dia tertawa dingin lantas dia kata keras : "Jika kalian tahu
selatan, lekas kalian mengikat sendiri tanganmu supaya tak
usah lohu turun tangan lagi !" Ia pun mengulapkan pedangnya
dan menyingkap janggut kambingnya.....
It Hiong mengawasi jago tua itu, di dalam hatinya timbul
rasa sayang dan lucu.
"Kakak !" katanya kemudian kepada Kiauw In. "tolong kau
melindungi mereka itu, akan aku menyusul kau
belakangan........"
Justru si anak muda berkata, justru tubuhnya Beng Leng
telah mencelat ke muka pintu, pedangnya dilintangkan. Akan
tetapi Kiauw In tak dapat dirintangi karena si nona telah
berlompat dengan menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga
Mega. Maka melengak dan mengocehlah ia seorang diri saking
herannya orang dapat lewat.
It Hiong datang guna membantu Ya Bie, tidak ada niatnya
menempur para jago sesat itu. Lebih-lebih tak ingin ia
melukakan atau membinasakan orang-orang yang pikirannya
lagi sesat. Akan tetapi sekarang ia dihadang Beng Leng serta
di belakangnya berada Bajingan-Bajingan dari To Liong To,
itulah berbahaya andiakata mereka berempat dapat bekerja
sama menghadangnya. Maka ia pikir, perlu ia berkelahi cepat,
guna meloloskan diri buat mengangkat kaki.
Segera setelah berpikir itu, anak muda kita menggerakkan
pedangnya. Ia bersilat dengan jurus "Sie Toat Hong Sim" yaitu
"Anak panah menyambar sasaran merah". Ia menikam ke


dadanya Beng Leng Cinjin tetapi ditengah jalan ia merubah
sasarannya itu dari menikam langsung menjadi menebas dari
samping !
Beng Leng lihai, tidak kena dipermainkan secara begitu.
Dengan berani dia menangkis. Kakinya tak berkisar barang
setengah tindak. Dia tidak takut mengadu tenaga.
"Minggir !" It Hiong membentak. "Bukankah harimau
menyingkir melompati tembok dan manusia menghindari
ancaman bahaya ? Apakah untungnya perbuatan ngototmu ini
?"
Beng Leng tertawa dingin berulang-ulang, terdengar suara
"hm !" nya.
"Bocah, sungguh mulutmu besar !" serunya. "Kau sebutkan
namamu ! Ingin aku tahu betapa besarnya namamu itu !"
"Akulah Tio It Hiong dari Pay In Nia !" sahut It Hiong keras
dan terus terang. "Bukankah kita pernah bertemu diatas Siong
San ? Lupakah kau ?"
Beng Leng memperdengarkan suara bagaikan menggeruru.
Berulang kali ia menyebut namanya si anak muda. Terus ia
berpikir keras, alisnya pun dirapatkan satu dengan lain.
Sekonyong-konyong ia menuding dan mendamprat berulangulang
: "Penipu ! Penipu ! Ya, penipu !"
Hampir It Hiong tertawa melihat lagak orang mirip lagak
orang edun hingga ia tak menggubris yang ia katakan penipu.
"Apakah itu yang dinamakan penipu ?" tanyanya sabar.
"Coba kau jelaskan, ingin aku dengar !"


Matanya Beng Leng mendelik, mulutnya dibuka lebar.
"Masih kau berlagak gila ?" bentaknya. "Kau....... kau telah
menipu hatinya Tan Hong adik seperguruanku itu ! Bahkan
kau telah merampas juga sifatnya ! Hm ! Penipu ! Penipu !'
Belum lagi It Hiong mengatakan sesuatu maka Lam Hong
Hoan, tocu kedua dari To Liong To mendahului turut bicara.
Kata dia nyaring : "Beng Leng Toheng benar ! Penipu ini
bukan cuma menipu adik seperguruanmu, Tan Hong. Dia juga
telah menipu adik seperguruanku, Siauw Wan Goat ! Ya, cara
menipunya sama saja !'
Biar bagaimana, It Hiong toh gusar karena Lam Hong Hoan
turut menuduhnya.
"Tutup mulutmu !" Ia membentak. "Mengapa kau
mengoceh tidak karuan ?"
Lam Hong Hoan tidak mempedulikan orang gusar, dia kata
pula : "Kau bukan melainkan sudah menipu Tan Hong, kau
juga telah membujuk dan mengajaknya bersama pergi
bertualang di dalam dunia sungai telaga. Kau telah mengacau
di Ay Lao San, menyerbu kaum Losat Bun ! Itu masih tidak
apa ! Tapi yang celaka ialah setelah kau menipu Siauw Wan
Goat, adik seperguruanku itu, sampai sekarang ia tak
ketahuan berada dimana, entah dia sudah mati atau masih
hidup ! Bagaimana kau hendak memberikan pertanggungan
jawabmu terhadap kami ?"
It Hiong mengawasi tajam dua orang itu. Tuduhan itu
membuat ia bingung hingga tak tahu ia harus menjawab
bagaimana, terutama mengenai lenyapnya Siauw Wan Goat.
Ini dia yang pepatah bilang : "Kalau seorang mahasiswa
bertemu dengan pasukan perang, ada alasannya toh tak dapat


dia menjelaskannya." Pikirnya, "soal Tan Hong ada satu soal
yang dapat dimengerti, tetapi bagaimana dengan Siauw Wan
Goat yang telah ditipu dan dipemainkan Gak Hong Kun ? Aku
sekarang haru memikul kedosaannya Hong Kun ! Tidakkah
hebat ?"
Akhir-akhirnya dari mendongkol, si anak muda tertawa.
"Habis, kalian mau apakah ?" tanyanya singkat, sikapnya
menantang.
Lam Hong Hoan maju satu tindak, senjatanya diulapkan.
"Dimana adanya sekarang adik seperguruanku ?" dia tanya
bengis. "Kau bilang !"
It Hiong memang tidak tahu dimana adanya Nona Siauw
tetapi ia melihat selatan dan menjawab : "Bukankah nona tadi
yang ada bersama disini adik seperguruanmu itu, Siauw Wan
Goat ? Kenapa kau tidak dapat mengenali adik seperguruanmu
itu ? Kenapa kau justru menangih orang padaku ?"
Lam Hong Hoan melongo.
"Dimana adanya dia sekarang ?" tanyanya habis melengak.
"Dia sudah pergi !"
"Dimana adanya Tan Hong adik seperguruanku itu ?" Beng
Leng Cinjin pun menanya. "Bilanglah !"
"Kalian tidak mengenali adik seperguruanmu sendiri !" kata
It Hiong yang menggunakan kesempatan untuk mengacau
otak mereka itu, yang kadang beres kadang tidak. "Dia juga
sudah pergi !"


Ketua dari Hek Keng To pun melongo.
"Dia sudah pergi ?" tanyanya, menegaskan.
It Hiong mengawasi dua orang itu, hatinya tidak tenang. Ia
bukannya tukang mendusta, maka juga merasa tak enak yang
ia sudah membohongi mereka itu. Ia terpaksa bersikap
demikian karena orang telah berlaku keterlaluan mengatakan
ia penipu dan mencaci padanya. Tapi dengan demikian juga ia
menjadi memperoleh kepastian bahwa benar-benar pikiran
orang tak seluruhnya sadar. Buktinya mereka percaya Kiauw
In adalah adik seperguruan mereka......
Beng Leng Cinjin tunduk dan berkata-kata seorang diri :
"Adikku sudah pergi....... Adikku sudah pergi........."
Mendengar itu, Lam Hong Hoan pun berkata sendirinya :
"Adikku sudah pergi...... Adikku sudah pergi....." dan ia ngoceh
terus.
Suaranya dua orang itu menyatakan keprihatinan mereka
terhadap masing-masing adik seperguruannya, kedukaan
mereka itu mendatangkan kesan baik dan rasa terharu. Inilah
yang membikin hati It Hiong tak enak, tak tega ia
menyaksikan kelesuan dan kedukaannya dua orang itu. Tak
peduli ketika itu merekalah kedua lawan yang berbahaya dan
telah menyulitkannya...........
"Kalian menyebut-nyebut penipu," katanya kemudian.
"Apakah sekarang kalian telah insaf akan kekeliruan kalian ?"
Tiba-tiba saja Beng Len Cinjin dan Lam Hong Hoan
membentak berbareng : "Di depanku, kau masih berani


mendusta ? Kau mencari mampusmu sendiri !" Dan tiba-tiba
pula mereka menyerang dengan masing-masing senjatanya !
Menyaksikan sikap orang tak waras pikiran itu, It Hiong
merasa hatinya lega. Tapi ia tidak dapat berpikir lagi, ia mesti
melayani kedua musuh bahkan selanjutnya menjadi empat
lawan karena dua jago lainnya dari To Liong To pun turut
turun tangan.
Karena ia bukan berkelahi dengan sungguh-sungguh, It
Hiong melayani sekalian penyerangnya dengan terlebih
banyak berkelit. Maka juga ia mengandalkan Te Ciong Sui,
ilmu ringan tubuh Tangga Mega guna selalu berlompat
menjauhkan diri dari setiap tikaman, bacokan dan tebasannya
ataupun sabetan. Ia bergerak lincah ke kiri atau kanan dan ke
atas atau mendak.
Beng Leng Cinjin dan Lam Hong Hoan termasuk kelas satu,
dua jago To Liong To lainnya masih kalah dari Lam Hong Hoan
tetapi mereka bukan sembaran orang. Dari itu tidaklah heran
jika pengepungan mereka tak dapat dipandang ringan. Lebihlebih
mereka itu dalam pikiran tak waras sempurna, berkelahi
dengan sungguh-sungguh, tanpa kenal takut mati.......
It Hiong repot sebab ruang kurang luas dan ia tak berniat
membinasakan lawan. Jalan keluar juga cuma satu-satunya
jendela yang dijaga keras oleh Beng Leng Cinjin.
Setelah bertempur sekian lama, It Hiong merasa yang cara
berkelahi itu tidak sempurna. Ia yang mungkin nanti
mendapat kerugian. Ia telah membuang-buang waktu. Dan
bagaimana andiakata ia salah turun tangan ? Ia pula lantas
memikirkan Kiauw In bertiga. Apakah mereka tidak terlintang
pula oleh musuh yang licik ? Ya Bie memerlukan tempat aman


guna ia memelihara kesehatannya. Sedangkan si nona berbaju
hijau, ilmu silatnya tidak dapat diandalkan.
Setelah mengingat semua itu, anak muda kita menjadi
berpikir keras. Bagaimana ia harus bertindak.
Dengan berpikir, It Hiong ingat cara berkelahinya Beng
Leng Cinjin si penjaga pintu itu. Setiap kali ia menerjang, si
rahib menerjang dengan jurus "Pat Hong Hong Ie -- Angin
Hujan di Delapan Penjuru". Serangan itu sukar dihadapi
kecuali kalau ia melawan keras dengan keras dan itu berarti
mungkin ia mendapat rugi dilengannya. Kalau ia bersedia
melukai Beng Leng, itulah lain.
Akhir-akhirnya muridnya Tek Cio Siangjin memikir buat
menggunakan kecerdasan saja. Ialah memakai tipu, buat
mengelabui si rahib atau ketiga kawannya itu. Maka ia lantas
menanti kesempatan. Di saat Hong Hoan menghajar, ia
berkelit. Sembari berkelit itu mendadak ia berseru : "Tan Hong
datang !'
Beng Leng Cinjin melengak ! Orang bukan menyerangnya
hanya menyerukan namanya adik seperguruannya itu ! Tepat
dan telak si anak muda menyerang hati nuraninya itu. Segera
ia menoleh dan mengawasi !
Ketika yang baik itu tidak dikasihh lewat oleh It Hiong.
Habis berseru, ia pun lantas menggunakan ilmu Hoan Kak Bie
Cin, ilmu menyamar dan mengelabui mata ajarannya Kip Hiat
Hong Mo Tauw Hwe Jie. Itulah ilmu sesat, yang ia tak penuju
dan sejak ia pelajari belum pernah ia pakai. Hanya kali ini,
saking terpaksa guna mengelabui matanya jago dari Hek Keng
To itu. Tengah si rahib berdiam itu, ia terus mencoba lewat
disisinya.


Beng Leng melihat ada orang berjalan ke sisinya, wajar
saja ia mengangkat pedangnya untuk menyerang atau ia
lantas merasa ada tangan yang menahan turunnya senjatanya
itu dan waktu ia mengawasi ia melihat yang melintasi itu Tan
Hong adanya, si sumoay, adik seperguran yang ia buat
pikiran. Tanpa merasa ia berseru : Adik ! Adik !" Karena ini,
lupa ia buat menggunakan lebih jauh pedangnya !
It Hiong berlaku sangat gesit dan lincah. Selekasnya ia
lewat disisinya Beng Leng, ia lantas menjejak lantai akan
berlompat melesat melompat jendela yang menjadi pintu atau
jalan satu-satunya buat ia dapat keluar dari ruang yang
terkurung rapat itu oleh empat orang musuhnya. Hanya
sekejap saja, lenyaplah ia berikut bayangannya !
Beng Leng Cinjin bersama Lam Hong Hoan berempat
berdiri menjublak, matanya mengawasi keluar ruang. Mereka
seperti juga tidak berani setindak saja meninggalkan tempat
jagaan itu.........
It Hiong lari dengan keras. Setibanya ia ditanah datar
terkaannya ternyata terbukti. Ia melihat suatu pertempuran
yang seru. Di sisi si orang utan tampak sedang menggendong
Ya Bie dan disebelahnya mereka itu si nona berbaju hijau lagi
bersiap saja menghadapi bahaya. Matanya mengawasi tajam
ke medan pertempuran.
Di sana Kiauw In tengah dikurung oleh Cit Biauw Yauw Lie
yang bersenjatakan kim tay, sabuk sulaman air emas. Mereka
itu bergerak cepat hingga ujung baju mereka turut bergerak
tak hentinya. Demikian juga Nona Cio. Mereka itu berkumpul
dan memegat di tanah datar itu karena diperintahkan Im Ciu
It Mo, guru mereka. Caranya mereka menyerang pun dengan
memakai aturan, sebab mereka tahu Kiauw In lihai dan
hendak membikin nona itu lelah sendirinya.......


Kiauw In tidak takuti ketujuh nona itu, apa pula ia
mendapat kenyataan Im Ciu It Mo terus tidak mau munculkan
diri. Begitu bergerak, ia menggunakan ilmu pedangnya guna
mendahului membuat lawannya kalah angin. Inilah tindakan
yang perlu guna membikin ketujuh pengepungnya kalah hati !
Cit Biauw Yauw Lie kecele. Tadinya mereka memikir yang
mereka mudah saja akan mengepung dan membuat si nona
letih, semua tahu segera senjata merekalah yang justru
didesak sedangkan senjatanya mereka yang berjumlah
banyak dan selayaknya saja dapat mengurung dan
mengekang lawan itu. Sekarang justru mereka sendiri yang
kena dibikin repot !
Nona-nona itu juga heran mendapatkan Kiauw In lekas
sekali pulih kesehatannya. Disamping pedangnya, nona itu
senantiasa bergerak dengan pasti dan lincah sebab nona ini
menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega. Tak ada
tanda-tandanya yang ia masih dipengaruhkan obat Thay siang
Hoan Hun Tan.
Si orang utan pun menyaksikan pertempuran dengan
matanya dibuka lebar. Serta dia memperdengarkan
Pekikannya. Rupanya dia bersitegang hati seperti si nona
berbaju hijau. Mereka sama-sama mengharapkan Nona Cio
lekas menang.........
Tak sudi It Hiong menonton lama-lama pertempuran yang
tak seimbang itu. Tujuh orang mengepung satu orang ! Ia
bahkan melihatnya dengan sepasang alisnya bangkit berdiri
karena hatinya tak puas. Maka ia berlompat maju sambil
berseru : "Tahan !" Terus pedangnya berkelebat dan tubuhnya
berada disisinya Nona Ciu !


Cit Biauw Yauw Lie berhenti menyerang secara serentak.
Mereka terkejut. Lantas mereka mengawasi oang yang baru
datang itu. Lantas mereka menjadi melengak saking jeran.
Itulah orang yang tampang muka dan pakaiannya tak asing
lagi bagi mereka ! Bahkan hati mereka lantas goncang
disebabkan ketampanan dan sikap gagah dari si anak muda.
Bahkan hatinya Ek Jie Biauw bergoncang lebih keras.
Ketujuh nona itu mengurung tetapi mereka berdiri diam,
mereka tidak menyerang dan juga tidak mundur.
It Hiong mengawasi semua orang. Lalu dia kata pada Yauw
Lie yang tertua, katanya : "Nona Ek Toa Biauw, tolong kau
sampaikan pada gurumu bahwa Barisan Cit Biauw Tin lain hari
saja aku datang pula untuk belajar kenal dengannya ! Hari ini
kami perlu lekas-lekas meninggalkan gunung Hek Sek San !"
Ek Toa Biauw mengawasi dengan membuka lebar matanya.
"Bagaimana jika guru kami hendak memaksakan tuan
berdiam disini ?" tanyanya sembari tertawa tawar.
It Hiong mengulapkan pedangnya hingga sinar pedang itu
berkilauan.
"Biasanya aku si orang she Tio sabar terhadap setiap
orang," sahutnya. "Suka aku mengalah dan melepas budi.
Tetapi kesabaran itu ada batasnya. Bukankah senjata tajam
tidak ada matanya? Maka itu siapa tidak takut darahnya nanti
muncrat berhamburan, dia majulah mencoba-coba !"


Jilid 59
Ketika It Hong melayani nona-nona itu, bicara, tanpa
mengtakan sesuatu, Kiauw In lantas meninggalkannya. buat
ia menghampiri Ya-Bie, guna segera membantu nona itu, yang
ia bantu dengan emposan tenaga dalamnya. Itulah ilmu yang
dinamakan "menyambut yin menyebrang Yang." tangannya
diletaki pada jalan darah. itulah cara yang menghamburkan
tenaga dalam sendiri tetapi cepat sekali menyembukan orang
yang ditolongnya.
Demikian Yan-bie, dalam waktu yang singkat sekali, ia
lantas sadar. waktui ia melihat nona Cio, lantas ia berseru:
"kakak kiauw-in!"
Kiauw In menepuk bahu orang.
"Jangan khawatir, ada apa lagi adik!" katanya, menghibur.
"buatmu sudah tidak ada ancaman bahaya lagi! kau
beristrirahatlah!"
Ya-bie turun dari punggungnya So-Hun Cian Li. ia mau
bertindak, atau tubuhnya terhuyung, hampir saja ia roboh
baiknya Kiauw In segera meyambarnya.
“Kau berhati keras melebihi aku, adik" kata nona Cio
tertawa. "lekas kau berdiam dipunggung si orang utan, untuk
beristirihat!"
Ya Bie tahu tenaganya belum pulih, ia berduka sekali,
sehingga air matanya melel keluar. sebenarnya ia ingin sangat
dapat bergerak pula dengan bebas. terpaksa ia membiarkan
tubuhnya digendong pula binatang piarannya itu, untuk
bersiap turun gunung.


Tepat itu waktu, terdengar suara nyaring dari It Hong pada
kiauwin "kakak, mari kita pergi!"
Ek Toa Biauw agak terperanjat, dia lantas menglapakan
tubuhnya.
"Kami datang kemari bukan untuk membantu kau
menyampaikan kabarmu, tuan!" kata dia. "Aturan guru kami
keras sekali, tak dapat itu diabaikan cuma karena beberpa
patah kata dari kau bagaimana kami nanti harus berurusan
dengan guru kami?"
It Hong tidak puas. ia tapinya menahan sabar.
"Habis kalian mau apa?" tanyanya
Nona itu menjawab dengan tertawa dingin "Hek Sek San
bukannya gunung dimana orang dapat datang dan pergi
menuruti suka hatinya sendiri! jika kalian mau turun gunung
maka kalian harus menuruti aturan pihak tuan rumah,
sedikitnya kalian harus meningalkan sesuatu!"
It Hong pun tertawa.
"Kami perlu lekas-lekas melakukan poerjalanan kami, tak
usah nona -nona mengantarkan kami!" demikian katanya,
"bagaimana kalau aku persilakan nona-non pulang saja?"
Ek Toa Biauw gusar, alisnya berdiri wajahnya bengis, tapi
dia mencoba tertawa.
"Masihkah kau berlagak pilon tuan?" tanyanya dingin "guru
kami meletakkan kakinya didalam dunia kang-ouw, dia telah
menjadi orang tingkat tinggi yang ada kepala dan mukanya!
maka itu, setiap kata-kata yang diucapkannya, itu mesti


dilakukan dan diwujudkannya, itu tak pernah dirubah!
pendeknya, siapa yang menentang guru kami, maka.
janganlah dia mengucap akan dapat berlalu dari sini dengan
masih bernyawa!"
Alisnya It Hong berdiri.
"Kau bicara berputar-putar. nona Ek" tegurnya. "bagaiman
jika kau omong terus terang saja?"
Ek Toa Biauw menatap tajam.
"Benarkah tuan mau mendengar pesan guru kami?" dia
menegaskan "Apakah tuan tak nanti habis sabarnya"
Panas hatinya It Hong, hampir ia bersikap keras kalau ia
tidak melirik Ya Bie dipunggungnya si orang utan dan ingat
yang nona itu memerlukan waktu istirahat, ia pula melihat si
nona berbaju hijau bersama kiauw. Ia lagi mengawasinya,
buat mendengar apa katanya. mengenai si nona berbaju hijau,
ia juga ingat janjinya akan nanti mengantarkannya pulang
kerumahnya. maka ia lantas mengenadalikan diri.
"Nona Ek kalau kau mau bicara ya bicaralah" katanya
kemudian, sungguh-sunggih.
Ek Toa Biauw mengawasi. ia dapat melihat orang sabar dan
keras hati. terpaksa, iapun menghargai sikap orang itu. maka
ia juga tertawa, sembari tertawa , ia berkata: itulah cuma dua
urusan kecil! guruku tidak nanti memaksakan orang membuat
orang sulit!"
It Hong menatap, telinganya ia pasang.


"Pertama-tama," kata Ek Toa Biauw kemudian, "Yaitu
tentang perbuatanmu sendiri yang telah lancang memasuki
wilayah Hek Sek San ini dimana kau telah menembusi lembah
Kiau gee kiap serta menjelajah beberapa bagian tempat yang
terlarang, hingga kalian mengetahui beberapa rupa rahasia
kami. oleh karena itu guru kami menghendaki kau makan
sebutir pil sintan supaya dengan begitu kau jadi dapat lupa
segala apa yang kau telah lihat dan lakukan disini"
Untuk sekejap mata, It Hong nampak gusar, akan tetapi
dengan lekas ia nampak sabar pula.
"Dan yang kedua?" tanyanya. "Apakah itu?"
Toa Biauw membuat main matanya. lalu tangannya
diangkat, menunjuk si nona berbaju hijau.
"Guruku berkata untuk menyampaikan kepada kau tuan.
menasehati supaya kau jangan terpincut anak perempuan
itu.!" sahutnya, tertawa "kalau sampai nama dan tubuh tuan
tercemar dan rusak karena dia, itulah harus disayangi. maka
itu baiklah tuan tinggalkan disini, buat kami mengantar pulang
agar guru kami yang mendidiknya begitu bagus, bukan?"
Suara itu halus dan rapih tetapi bagi It Hiong, terdengar
tajam, ia rupanya dianggap sebagai penggemar paras elok
serta dituduh telah melindungi seorang murid murtad, saking
mendongkolnya serta menahan amarahnya, ia sampai berdiam
diri saja.
Ek Toa Biauw tertawa dan kata pula "Tak salah bukan?
bukankah ada pepatah kuno yang berkata, dikolong langit ada
hanya wanita cantik, kenapakah mesti hanya dianya seorang?
saudara Tio, cobalah pikir bukankah dibalik keberuntungan
adalah kecelakaan?....."


Kata-kata itu ditutup dengan tertawa geli.
Dari mendongkol dan gusar, dapat It Hiong menguasai
dirinya. sebaliknya dari pada menyatakan amarahnya, ia
tertawa. "Kaulah seorang wanita terhormat. nona Ek,
mengapa sekarang, kau bicara begini. seperti juga kaulah
seorang perempuan hina dina?" tanyanya, "Baiklah kau
menjaga kehormatan dirimu!"
Muka Toa Biauw menjadi merah.
"Cisss" serunya, gusar lalu dia tanya dengan bengis
"Bagaimana, kau terima dua syarat ini atau tidak?"
Hebat nona Ek, selama ini, tiga macam panggilannya pada
It Hiong, mulai dengan "tuan" lalu "saudara" dan sekarang
"kau"
It Hiong tetap berlaku sabar,
"Aku yang rendah cuma dapat menerima sebagian saja"
sahutnya.
Mendengar demikian, Toa Biauw girang, hingga lupa ia
pada mendongkolnya barusan, semua itu tidak lain, ialah
sebabnya sebenarnya ia sangat tertarik pada pemuda itu,
yang diam-diam ia gilai sendiri.
"Saudara It Hiong yang mana kau pilih ?”tanyanya.
"Makan Sin-tan!" sahut It Hiong tegas. Toa Biauw tertawa,
dia nampak sangat girang.


"Jadinya saudara Tio lebih menghargai paras daripada
jiwa!" katanya "Benar, bukan"
Pemuda itu tak sudi melayani orang bicara.
"Dengan memandang muka gurumu, maka aku mau makan
obat itu." katanya, "dengan jalan ini, hendak aku menghargai
aturan gurumu, sekarang sudah tak siang lagi. kami mau
lekas-lekas melakukan perjalanan kami, aku minta lekas kau
keluarkan obatmu itu!"
Toa Biauw berhenti tertawa.
"Jadi budak itu akan pergi bersamamu turun gunung
bukan?" dia masih bertanya,
It Hiong mengangguk.
"Ya" Jawabnya, "Aku yang rendah hendak mentaati janjiku
buat mengantarkan dia pulang kerumahnya supaya dia dan
keluarganya hiudup berkumpul rukun dan damai!"
"Melindungi murid orang yang murtad, itu berarti
melanggar pantangan besar kaum rimba persilatan kata Toa
Biauw, "Itulah pelanggaran yang tak terampunkan! saudara
Tio, pernahkah kau memikirkan itu?"
"Kira-kira bicara, nona" kata It Hiong .
"Tak sanggup aku menerima kata-katamu ini! bukankah hal
yang benar ialah nona ini pada mulanya diculik oleh Tok Mo si
manusia beracun, yang kemudian dia obati dan membuatnya
menjadi boneka perkakasnya? disini tidak ada soal perguruan,
karenanya. mana ada soal murid mendasarkan? aku
sebaliknya, aku lagi menjalankan keadilan dalam dunia kang


ouw, aku hendak menolong seorang sampai pada akhirnya!.
kalau seorang laki-laki sejati bekerja, mana dia jeri terhadap
kesukaran atau bencana? memang sulit menghindarkannya
kalau aku langgar janjiku, bukan cuma terhadap sahabat
terutama aku mendatangkan malu besar pada guruku"
Sampai disitu Ek Jie Biauw, yang sejak tadi berdiam saja
bersama lain saudaranya, lantas bercampur bicara, dia
memang pandai bicara. katanya dia "kalau seorang laki-laki
menggilai seorang wanita, dia suka menggunakan alasan
keadilan dan perikemanusiaan sebagai senjatanya, guna
menutupi kejahatannya itu, dia biasa mangoceh balelo, hingga
dia mau menipu orang tetapi jadi menipu dirinya sendiri. Dia
kata ada Tok Mo disini, di Hek Sek San! siapakah yang dapat
membuktikan itu? disini bukan tempatnya Tok Mo"
Tok Mo ialah bajingan racun.
"Kenyataan adalah bukti lebih menang dari penyangkalan"
Kata It Hiong. "Dan pendengarannya kalah dengan
penglihatannya! dengan mataku sendiri aku pernah melihat
Tok Mo muncul disini"
"Bagaimana macamnya Tok Mo yang kau lihat itu!" tanya
Cie Biauw "Coba kau jelaskan buat kami mendengar!"
"Dialah seorang tua yang mukanya keriputan, yang
berdandan sebagai pelajar," It Hiong memberi keterangan
"Dia sangat gemar menggunakan racunnya! didalam gua
digunung ini, dia telah membangun Barisan rahasianya yang
dia beri nama Ngo Tok Tin dan pembantunya ialah sepasang
pria dan wanita muda, yang pria bersenjatakan sepasang
tongkat, dan yang wanita kaitannya Bwe-hoa taot cukup dia
itu buka Tok Mo atau bukan"


Mendengar itu, ketujuh nona tertawa ramai, lalu Ek Cit
Biauw kata nyaring: "Pintar belingar! kiranya kalian kembali
dipermainkan Couw Kong......"
"Tahan " Ek Toa Biauw menyela saudaranya.
Cit Biauw berhenti mendadak, tak dapat dia
meneruskan.........put lo"
Tanpa terasa It Hiong melengak, ia lantas menerka, tentu
ada rahasia apa-apa maka juga Cit Biauw dicegah bicara
terus. Tanpa disebutnya nama "Couw Kong" membikin ia ingat
pada Couw Kong Put Lo dari Ceng Lo Ciang. yang memiliki
tentang So Lie Keng, kitab tentang wanita, maka ia berkata
dalam hatinya" pantas pelajar tua itu yang bermuka keriputan
itu berulang kali bertemu dengan diriku tetapi dia tidak sudi
memperlihatkan dirinya, kiranya dia takut rahasianya
terbuka........." karena itu ia menerka pasti Im Ciu It Mo telah
mengurung dan mengekang banyak jago kang-ouw tua
didalam gunung Hek Sek San ini dan mereka itu semua telah
dipakai sebagai boneka atau perkakas......
Darahnya It-Hiong bergelok. tahulah ia sekarang siapa si
manusia jahat, yang hendak merebut kemenangan dalam
pertemuan Bulim Ciu Cun nanti, dan pengaruh obatnya,
membikin orang-orang kosen menjadi perkakasnya.
Lantas pemuda kita menyabarkan diri. ia kembali pada
persoalan mereka. katanya: "Telah aku beritahukan hal
Ihwalnya adik berbaju hijau itu dengan sebenarnya dia bukan
murid murtad! dalam halnya dia, aku si orang she Tio, aku
berani menjaminnya dengan jiwaku! maka itu aku minta guru
kalian suka memberi muka padaku supaya dia dilepaskan dan
dibiarkan turun gunung"


Ketujuh nona itu tertawa, tidak ada yang menjawab, semua
cuma nmenatap tajam anakmuda itu mata mereka juga dibuat
main. Nyata sekali kebencian mereka itu, Rupanya mereka
tetap menyangka ada apa-apa diantara pemuda itu serta si
nona berbaju hijau.
Panas hatinya It-Hiong.
"Kalian dengar atau tidak apa yang aku katakan?"
Tanyanya keras.
Ek Toa berhenti tertawa,
"Kami cuma percaya separuh" sahutnya. "Sebenarnya
masih ada soalmu, soal asmara yang manis."
Kata-kata itu dihentikan secara tiba-tiba.
Dalam panasnya hati, It Hiong katakan :”Walaupun ada
sesuatu diantara aku dan nona berbaju hijau, kalian tak perlu
campur tahu? bukankah kamu semua nona-nona remaja?
kenapa kalian begini tidak tahu malu?"
Toa Biauw merasa pipinya panas.
"Ciss" Serunya, "Jangan kau menyangkal tentang
perbuatanmu dengan nona itu memang tidak ada
hubungannya dengan kami tetapi di sana ada wanita yang iri
hati dan jelas yang akan mengurusnya? dialah yang akan
membuat perhitungan denganmu! hati-hati kau dengan
dengkulmu!......."
Habis berkata , kembali si nona tertawa, guna menggoda
si anak muda.


Kiauw In tidak puas menyaksikan tingkahnya nona-nona
itu, akhirnya dia maju ke depan dan berkata keras: "Sudah
cukup kalian bicara? kalian masih ada urusan, aku yang
bertanggung jawab. Aku Cio Kiauw In! Jika kalian sudah tidak
punya urusan lagi, hendak kami berangkat pergi! sampai
jumpa!"
Segera ia menutup mulutnya, nona Cio menghunus
pedangnya, terus ia membuka jalan buat berlalu dari situ.
Si orang utan yang cerdik, yang menggendong Ya Bie,
lantas lompat akan menyusul, akan berjalan di belakang nona
Cio itu. karenanya, si nona berbaju hijau turut menyusul juga.
Cit Biauw Yauw pun segera bergerak. dengan memutar
sabuk mereka, mereka lantas melompat maju untuk mengatur
diri, buat merintangi. Sedangkan Ek Toa Biauw lantas berkata
pula: “Saudara Tio, tadi kau telah berjanji akan makan sin-tan,
bagaimana dengan janjimu itu? janji itu masih berlaku atau
tidak?"
It Hiong di belakang nona berbaju hijau itu berkata pula:
"Bagaimana bendanya kalau obat sin-tan gurumu itu
dibandingkan dengan Wan Te Jie?" tanyanya.
Ketujuh nona itu bingung, tak tahu mereka itu apa itu "Wan
Te Jie," yang dapat diartikan "main main" adakah itu mainmain
diantara pria dan wanita, tegasnya bercumbu-cumbuan?
mereka belum tahu bahwa yang dimaksud ialah obat mujizat
anti racun dari Pak-yam Siansu dari biara Bie Lek Sie.
Toa Biauw mengawasi si anak muda, matanya berlinang
air mata, kata dia "Obat guruku itu berkhasiat dapat
membetot arwah dan merusak tulang-tulang serta membikin
dunia berputar, setelah makan nanti barulah kau mengerti.!"


It Hiong tidak menjawab. kata-kata nona itu seperti
mengandung dua maksud : “Benar-benar dan menyindir.”
Melihat sikap orang, Cie Biauw turut bicara. ia tertawa dan
berkata : "Bagaimana saudara Tio? bukankah kau telah
memberikan janjimu pada kakakku? apakah kau takut nanti
arwahmu terbetot dan tulang-tulangmu hancur remuk?"
Cit Biauw juga tertawa geli.
"Kau benar kakak kedua!" kata dia,
"Kalau seorang pria telah memberikan janjinya tetapi dia
sangkal itu. itulah tak dapat ! tak dapat tidak, dia mesti makan
obat dari kakak kita!"
It Hiong sementara itu, dengan pedang ditangannya,
mengawasi formasi Cin atau Barisan nona-nona itu, kemudian
ia berkata: “Bagaimana kalau aku makan itu, habis kalian
minggir? apakah dengan begitu lantas sudah saja"
"Ciss" Cit Biauw meludah. "Berapa lihainya ilmu
kepandaianmu?"
"Kalian lihat saja!"kata It Hiong keras.
Demikian nona-nona itu mengganggu si anak muda.
Ketika itu Kiauw In sudah maju sampai diantara Sam Biauw
dan Su Biauw, tanpa mengatakan sesuatu, ia menyerang
mereka itu dengan suatu jurus dari Khie Bun Pay Kwa Kiam
yang di teruskan, kedua nona itu berlompat mundur, mereka
tidak menangkis , dengan begitu mereka membiarkan nona
Cio lewat dan disusul So Hua Ciante yang menggendong Ya


Bie, selekasnya si nona berbaju hijau mau turut lewat , lantas
keduanya bergerak pula mengambil kembali kedudukan
mereka seperti tadi guna menghadang nona itu.
Si nona berbaju hijau loloskan ikat pinggangnya. Dengan
itu ia lantas menyerang kedua orang yang merintanginya.
Melihat nona itu berani membuka jalan, Sam Biauw dan Su
Biauw menarik sabuk mereka, sebaliknya mereka bersama
menolakkan tangan kirinya, menyerang dengan satu jurus dari
Tauwlo-ciang.
Dasar ilmu silatnya masih sangat rendah, si nona berbaju
hijau repot mengelakkan diri. setelah mana bergeraklah tin
lawan dan kedudukan Yauw Lie segera mengurung padanya.
tapi walaupun kepandaiannya masih sangat terbatas. nyalinya
si nona besar sekali, ia menjadi nekat lantas ia menyerang
dahsyat ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang.
kepada sekalian pengurungnya itu! itulah jurus silat "Loan Sek
Ta Tiok Lim," dengan satu kali menimpuk kalang kabutan
dalam rimba bambu-.
Jadi ia menyerang siapa saja diantara ketujuh Yauw Lie itu!
Satu kali Cie Biauw adalah yang menerima giliran diserang
si nona baju hijau. dia menggunakan senjatanya menangkis
dengan sampokkan keatas, apa mau, ujung ikat pinggang
meluncur kekepalanya. justru itu si baju hijau menarik
senjatanya itu, yang ia khawatir nanti kena terlibat sabuk
lawan, dan kebetulan sekali, seutas rambutnya nona Ek kena
tarik hingga dia kenekatan dan menjadi gusar sekali
karenanya. dalam sengitnya, dia membalas menyerang
kemuka orang, jurusnya ialah "Tok Coa Touw Sin," ular
beracun muntahkan racun


Kembali si nona berbaju hijau menjadi repot. serangan itu
sangat berbahaya, untuk menyelamatkan diri. ia melompat
berjumplitan mundur dengan jurus silat "ikan gabus meletik"
Justru nona kita menginjak tanah, justru Ek Toa Biauw tibatiba
ke belakang karena ketujuh nona main berputaran.
dengan cepat nona Ek meluncurkan tangannya, menolok
lawannya itu pada jalan darah sin tong.
Si nona baju hijau tidak berdaya lagi, maka habis menjerit,
robohlah dia.
Cit Biauw berlaku cepat melihat lawan roboh, ia lantas
melompat kesana, guna di pondong untuk dibawa pergi
Ketika itu It Hiong terpisah dari si nona baju hijau kira-kira
tiga tombak, ia ketinggalan karena ia mesti melayani Toa
Biauw dan lainnya berbicara. ia terkejut mendengarakan
jeritan kawannya itu dan lalu melihat tubuh si kawan roboh,
sedangkan Cit Biauw hendak menangkap lawannya yang
sudah tak berdaya itu, tidak ayal barang sedetik saja juga ia
melompat menghampiri kawan itu, dalam hal ini. ilmu Tangga
Mega membantu banyak padanya, ia sampai sebelumnya Cit
Biauw sempat meraba tubuh orang, maka mudah saja ia
menyambar si nona baju hijau, terpisahnya mereka berdua
hanya dua kaki.
Dengan tangannya kirinya, It Hiong memondong nona yang
ia tolongi itu, justru itu, tubuhnya kena ditabrak tubuhnya Cit
Biauw sebab nona Ek, yang pun menyambar, tak keburu
berkelit lagi, Hingga tiga buah tubuh bagaikan menjadi satu!
hingga mereka bukan seperti lagi saling berebutan hanya
mirip tengah rangkul-merangkul!


Mukanya Cit Biauw menjadi merah, biar bagaimana, dia
jengah. sambil lekas-lekas memisahkan diri, dia
memperdengarkan suara penasarannya: "Cis,! Kau mau
menjadi si pelindung Bunga, ya? siapa kesudian melayani
kau?........."
Justru It Hiong pun jengah maka Yauw Lie lainnya sudah
merangsak pula. empat nona lantas mengurung anak muda
kita, karena tiga yang lainnya lari pergi, mungkin mereka
hendak menyusul Ya Bie dan Kiauw In.
Selama itu Kiauw In bersama si orang utan sudah lari jauh
tigah puluh tombak kapan ia menoleh dan tidak melihat si
nona baju hijau masih sangat lemah ilmu silatnya, sebaliknya
Barisan Cit Biauw tin sangat lihai. terpaksa ia memberi isyarat
akan si orang utan menantikan, ia sendiri lantas lari balik,
maka itu, tepat sekali, ia berpapasan dengan ketiga Yauw Lie
lagi terus mengepung padanya!.
Siasatnya Ek Toa Biauw benar sekali, dengan begitu,
rombongannya dapat merintangi lawan kabur, hanya ia tak
ingat tentang kepandaian silat mereka sendiri. bertujuh
mereka tidak sanggup melawan Kiauw In, apapula sekarang si
nona dikurung melainkan tiga orang, juga hati si nona sedikit
lega sebab ia tahu, kalau It Hiong pun berada terkepung
cuma harus melawan empat orang lawan bukankah bersama
It Hiong pun berada si nona baju hijau? cuma ia tidak tahu
nona baju hijau itu justru mengurangi kebebasanya si anak
mudah sebab dia pingsan dan mesti dipondong bagaimana
kalau Im Cit It Mo sempat mengirim bala bantuan kepada Cit
Biauw Yauw Lie.
It Hong sebaliknya berlega hati melihat Kiauw In kembali,
itu tandanya, meski si nona belum lolos dia tapi tidak kurang


suatu apa dan senang ketika melihat musuh memecah
Barisan. hingga tenaga mereka itu pasti berkurang sendirinya.
Ke empat Yauw Lie mengurung, mereka tidak lantas
menyerang, inilah saat yang menguntungkan bagi anak muda
kita: “Lekas-lekas ia membebaskan totokan si nona baju hijau,
membuatnya siuman, walaupun dia lemah ada baiknya nona
itu sadar, dan dengan cepat sadar, dia tak usah terancam
bahaya akibat totokan lawan. terlalu lama pingsan dapat
menyebabkan kesehatannya terganggu.
dengan segera si nona berbaju hijau membuka kedua
matanya.
It Hiong segera menyuruh si nona berdiri seraya ia
menanya:"Kau tidak kurang suatu apa, bukan?"
Nona itu mengawasi si anak muda, ia menggelengkan
kepala.
Disaat itu Kiauw In mulai diserang tiga orang lawannya,
hingga ia membuat perlawanan, hingga mereka berempat jadi
bertempur pula. Maka berkilauanlah pedangnya, diantara
berkibarannya ketiga helai sabuk sekalian lawannya itu. Kali ini
ketiga lawan itu menjadi bingung sendirinya, tak dapat
mereka merobohkan si nona sebaliknya, tak mudah buat
mereka sendiri mundur teratur....
It Hiong itu secara diam-diam memperhatikan keadaan
sekitaranya, hingga ia merasa sudah tibalah saatnya buat
mengangkat kaki, lalu ia berkata dengan sabar kepada ke
empat orang nona yang mengurungnya: " Nona-nona, aku
yang rendah hendak pergi turun gunung, oleh karena itu aku
minta sudi apakah kalian memberi muka padaku!"


Berkata begitu, tanpa menanti jawaban sebagaimana
seharusnya. karena dia mengajukan pertanyaan. anak muda
kita terus saja menuntun tangannya si nona berbaju hijau
guna diajak pergi.
Ek Toa Biauw tertawa.
"Saudara Tio, tegakah kau meninggalkan nona Cio
sendirian?" tanyanya.
Ditanya begitu It Hiong juga dapat ingat sesuatu, ia
tersenyum dan berkata: "Sang malam bakal lekas tiba dan
jalanan berbatu disini pun sangat licin. oleh karena itu aku
tidak memikirkan akan bertempur dengan kalian! bagaimana
kalau kita bertaruh?"
Toa Biauw heran, alisnya bangkit. ia lantas berpikir.
"Coba kau terangkan dahulu, taruhanmu itu taruhan apa?"
tanyanya kemudian.
"Bagaimana kalau nona Ek sendiri yang mulai?" It Hiong
tanya ramah.
"Bukankah barusan kau mengatakan yang kau tidak suka
bertempur?" nona itu bertanya. "Apakah kau bukannya
maksudkan supaya kita berkelahi cara bun, tanpa
menggunakan senjata, hanya dengan cara lunak"
It Hiong lantas menjawab: "Nona menjadi seperti nyonya
rumah dan aku tamu karena aku bersedia bertaruh secarah
bun ataupun Bu putusannya terserah pada kau sendiri nona!"
Ek Toa Biauw melirik tajam pemuda di depannya itu, lantas
ia tertawa manis, gerak-geriknya menggiurkan. ia merogoh


kedalam sakunya, ketika tangannya ditarik keluar, semua
jarinya dikepal, seperti menyembunyikan sesuatu dalam
kepalannya itu. setelah itu, lantas ia berkata: "Coba kau
terka, didalam genggamanku ada barang apa? jika kau
menebak jitu, barang ini aku berikan padamu dan akan aku
biarkan kalian turun gunung"
It Hiong berpura-pura kurang mengerti.
"Jika aku gagal, dan menerkanya tidak tepat, bagaimana ?"
Tanyanya berlagak pilon. tak ada perlunya untuk ia menanya
menegaskan.
Ek Toa Biauw tertawa geli.
"Jika kau menerka salah, masih juga kami memberi ijin
buat kau pergi turun gunung!" katanya "Asal kan tinggalkan
budak berbaju hijau itu"
It Hiong tertawa.
"Tadi nona menginginkan aku melakukan dua hal" katanya.
"Ialah aku makan obat Sin-tan atau aku menyerahkan nona
berbaju hijau ini! Bukankah ini sama saja dengan
kehendakmu sekarang ini? kalau begitu, buat apa kita
bertaruh!...."
Toa Biauw mementang matanya lebar menatap si anak
muda, terus sinar matanya memainkan, separuh tertawa
separuh gusar. ia berkata: " Inilah kehendak pihak si nyonya
rumah, yang mengajukan syarat! kenapa pihak tamu yang
menyarankan akan bertaruh, sekarang menampik?"


"Tetapi nona" sahut It Hiong. "Aku bersedia memakan sintan,
namun si nona aku menghendaki supaya dibiarkan turut
aku turun gunung"
Berkata begiru, si anak muda maju, tangannya
diangsurkan, guna menyambuti obat.
Nona Ek membuka genggamannya. maka terciumlah bau
harum, sedang diatas telapak tanganya tangan itu tampak
sebiji Lok Ho Hoa seng, kacang tanah. yang disebut 'siang sutauw'
kacang rindu. maka itu teranglah maksudnya nona
bahwa ia mengutarakan rindu hatinya terhadap pemuda itu?
It Hiong menyambut kacang itu, tanpa ragu, ia masuki itu
kedalam mulutnya, tanpa gigit lagi. ia menelannya, habis
mana ia berkata, "Aku yang rendah mentaati janjiku, maka
dimana sekalipun Sin-tan. obat beracun buatan gurumu. aku
berani makan dengan mempertaruhkan nyawaku!"
Berkata begitu, anak muda kita menatap tajam nona di
depannya itu. sikapnya itu menunjukkan halnya ia tidak
mempedulikan kacang tanah itu kacang tanah tulen atau sintan,
obat dari Ciu It Mo
Ek Toa Biauw juga mengawasi si anak muda. Maka sinar
mata mereka seperti bertemu. maka juga mukanya menjadi
merah karena dia likat sendiri. biar bagaimanapun diapun
sangat tertarik pemuda tampan dan gagah itu. itulah
sebabnya kenapa dia mainkan perasaannya ini!
Sebenarnya itulah racunnya si nona sendiri ketika dia
mengajukan syarat agar It Hiong makan sin-tan serta
menyerahkan si nona baju hijau, ia cuma mau
mempermainkan si anak muda. dari pihak gurunya tidak ada


titah demikian. bahkan Sin-tan, obat mujarab gurunya, juga
tidak ada gurunya tidak menyerahkan kepadanya.
It Hiong tidak ketahui rahasia hati orang ia menduga benarbenar
Im Ciu It Mo yang tak mengijinkan ia beramai turun
gunung hingga si bajingan mengajukan syarat seperti itu.
sengaja ia makan Sin-tan, atau lebih benar kacang tanah itu,
sebab ia tidak takut racun apa juga. bahkan dengan itu, ia jadi
memegang kepercayaannya. maka itu melengaklah si nona,
yang menemui batunya.
It Hiong memandang terus sehingga melihat sinar mata si
nona, yang juga terus memandanginya, itulah sinar mata
cinta.
"Bagaimana nona?" ia menegur. "Kenapa kau berdiam saja
? apakah kau hendak mencari alasan lain buat menyangkal
taruhan kita ini?"
“Cisss" berludah si nona, yang ia lantas berhenti
memandang orang. "Siapa yang menyangkal, aku atau bukan,
kau sendirilah yang ketahui! tapi kau benar cerdas, kau
menyangkal secara menarik hati ! baiklah kali ini aku memberi
ampun padamu?"
Lega juga It Hiong mendengar suara itu.
"Terima kasih nona" katanya seraya terus menarik
tangannya si nona baju hijau buat diajak berjalan ke arah ke
empat nona-nona she Ek itu.
Mendadak Ek Toa Biauw menggerakkan senjatanya yang
istimewa itu, maka bergeraklah ketiga saudaranya serentak
hingga mereka menjadi berdiri menghadang. diapun berseru
dengan perintahnya: "Berhenti"


It Hiong bertindak dengan segera ia berdiri tiga langkah di
depannya nona-nona itu. ia mengawasi mereka saling heran.
"Kau telah bertaruh, nona apakah masih kau tidak puas?"
tanyanya.
Toa Biauw tertawa dingin.
"Dalam urusan taruhan kita, siapakah yang kalah?" diapun
balik bertanya. "Dan bagaimana caranya kalah?"
It Hiong menjawab sabar: “Taruh kata kita tidak kalah dan
tidak menang, nona tidaklah selayaknya kau mengganggu aku
begini rupa kau lihat di sana" dan ia menunjuk ke arah Kiauw
In. yang lagi dirintangi ketiga nona Ek lainnya.
Toa Ek Biauw tertawa.
"Habis bagaimana?" tanyanya.
Mendengar begitu, ketiga orang lainnya tertawa nyaring.
It Hiong mendongkol saking serba salah sebab terhadap
nona -nona itu ia tidak berniat berlaku keras. Kemudian ia
membangkkitkan alisnya terus ia pun tertawa dan katanya
"Baiklah, hendak aku menyaingi cara kalian ini marilah kita
main menahan sabar sampai sebentar terang tanah! hendak
aku lihat!"
Begitu habis ia berkata itu, begitu mendadak It Hiong
menyambar pinggangnya si nona berbaju hijau, terus kakinya
menjejak tanah, guna melompat mengapungi diri. itulah jurus
silat "Peng Te Seng Kui" -guntur ditanah datar- dengan jitu ia
melompat tinggi lewat diatas kepalanya nona-nona itu,


sehingga lain detik dia telah turun di jalan gunung sebelah
bawah nona-nona itu!.
Ke empat nona-nona itu kaget hingga mereka
mengeluarkan seruan tertahan, menyusul mana semua lalu
lari berlompatan akan menyusul, hingga dilain detik mereka
dapat menghadang dan mengurung pula muda-mudi itu
berdua.
Tanpa merasa, kedua belah pihak telah memperlihatkan
kepandaiannya masing-masing dalam ilmu meringankan
tubuh. sebab It Hiong kembali berlompat melintasi orang,
hingga orangnya menyusul pula, begitulah mereka berkejarkejaran
turun gunung. Hingga setengah jalanan telah dilintasi.
Sampai disitu, ke empat nona-nona menjadi bermandi
keringat dan napasnya tersengal-sengal tetapi mereka masih
mencoba menyusul terus......
It Hiong menjadi heran. sang malam telah tiba, orang
masih menjejarnya-ngejarnya.
"Heran mau apakah mereka?" pikirnya.
"Mereka tidak mau berkelahi, mereka hanya mengurung
kami. mereka merintangii aku. nyata mereka memiliki
kepandaian ringan tubuh yang tak dapat dipandang enteng
begitupun keuletan mereka!"
Kemudian It Hiong ingat tidak dapat ia melayani nona-nona
itu secara demikian terus menerus. Hal itu akan menyulitkan si
nona berbaju hijau. nona itu pasti tidak dapat dibawa berlarilari
terus. Tentu, kesehatannya dapat terganggu karenanya, si
nona justru harus istirahat, demikianlah, ketika ia meletakkan
kakinya di tanah dan berhenti berlari, terus dengan perlahanlahan
ia menurunkan nona itu, membiarkan dia duduk. Ia


sendiri berdiri disisi nona itu, merapikan rambut dan
pakainannya, sesudah itu ia pun beristirahat secara tenang.
Belum terlalu lama, tiba juga ke empat nona Ek, yang
mengejar, atau mengekor mereka tak hentinya. belum lagi
beristirahat, mereka itu sudah menempatkan diri, dua di
depan dan dua lagi lagi di belakang It Hong berdua. tetap
mereka mengurung siap menjagai.......
It Hiong melirik mereka itu bergantian.
"Benarklah kalian hendak merintangi aku sampai terang
tanah?" tanyanya sabar.
Tidak ada jawaban. ke empat nona membisu.
Si anak muda mengulangi pertanyaannya, sampai berapa
kal;i, terus ia seperti bicara sendiri. maka dia lantas
mengawasi mereka itu.
Kiranya ke empat nona itu lagi duduk bersila beristirahat!
Menyaksikan hal demikian It Hiong bersenyum lalu
menyeringai. ia merasa lucu dan berbareng merasa kasihan
juga. maka ia pun berdiam.
Sementara itu, kita melihat kepada Kiauw In yng dirintangin
ketiga Yauw Lie lainnya. ia tidak seleluasa It Hiong, ia mesti
berkelahi dengan sungguh-sungguh melayani ketiga lawan itu.
ia menang unggul tetapi ketiga saudara Ek berkelahi secara
teratur hingga tak mudah buat mereka dipukul mundur. langit
pula sudah gelap sebab sang sore tiba dengan cepat. keadaan
tempat dan sang malam membuat ketiga nona itu dapat
bertahan terus.


Kiauw In memancing ketujuh lawan memisahkan diri
dengan harapan agar It Hiong dapat dapat bebas, ia tidak
menduga bahwa ia sendiri diganggu begini rupa. seperti It
Hiong. ia juga tidak memikir melukai nona-nona itu. siapa
tahu, orang justru melibatnya dengan keras, sehingga salahsalah
ia dapat keliru menggerakkan tangannya.
Kapan nona Cio ingat pada It Hiong, ia menerka tentu anak
muda itu telah lolos bersama-sama si nona baju hijau, maka ia
pikir baiklah ia jangan berdiam lebih lama pula disitu, ia lantas
mengambil keputusan dan melaksanakannya itu. dengan satu
jurus 'angin puyuh menyapu salju" Khan Bin Patkwa Kiam, ia
membikin seorang lawan yang terdekat kaget dan berkelit.
Kesempatan itu digunakannya untuk satu loncatan Tangga
Mega, hingga ia berhasil menjauhkan diri. hanya setelah sang
malam menjadi gelap itu, sukar buat melihat jauh, hingga It
Hiong tak nampak pula sedangkan dari tempat dimana semula
tadi si anak muda bertempur, tidak terdengar suara apa juga,
itulah tanda bahwa pertempuran dimana sudah berhenti dan
entah orang telah pergi atau berada dimana sekarang............
Menduga bahwa It Hiong sudah lolos, Kiauw In terus berlari
trus, ia masih disusul oleh musuh-musuhnya tapi ia
membiarkannya. tetap ia lari keras, membuat orang tetap
ketinggalan.
Di belakang orang yang berkejar-kejaran itu ada mengikut
sesosok tubuh hitam dan besar, jaraknya kira-kira sepuluh
tombak, itulah So Hun Cien Lie. yang menggendong Ya Bie,
sebab orang utan itu cerdas sebagai manusia, tahu ia akan
tugasnya menolong nonanya.
Ketika Kiauw In menyuruh si orang utan berhenti, dia ini
lantas meletakkan tubuhnya Ya Bie dibalik batu, terus dia


berdiam menjaganya. diam-diam dia menonton pertempuran
diantara Kiauw In dan ketiga nona lawannya.
Dengan lewatnya sang waktu, kesegarannya Ya Bie pulih
perlahan-lahan, tetapi belum mampu ia menggunakan
tenaganya, apa pula buat berkelahi, maka ia pun duduk dia
saja mengasuhkan diri, mereka juga tetap menyembunyikan
diri.
Tidak lama So Hun Cien Lie memberikan isyarat bahwa ada
orang datang. Ya Bie lantas memasang mata. dalam satu
kelebatan, terlihat orang berlari lewat dengan sangat cepat, ia
tidak melihat tergas, ia pun membiarkannya.
Lewat sesaat si orang utan memberi isyarat pula, kali ini dia
berpikir beberpaa kali, menyusul itu. si nona melihat pula
orang lari lewat dengan saagat cepat.
"Mari" kata Ya Bie kemudian kepada binatang
peliharaannya, setelah mana ia bangkit dan minta si orang
utan menggendongnya pula, buat terus berlari-lari menyusul
orang barusan leawat itu.
Tak lama, Ya Bie melihat bahwa bayangan itu ada sosoksosok
tubuh dari empat orang, maka ia lantas menerka pada
empat orang Yauw Lie, karenanya ia segera menyuruh So Hun
Cian Li memperlahan larinya agar mereka tak dapat di lihat
empat orang itu.
Sang malam merayap terus, si puteri malam, yang tadinya
dekat dengan permukaan laut, telah memisahkan diri naik
makin jauh ke timur. dengan begitu juga sang malam tak lagi
gelap gulita semula. samar-samar segala sesuatu mulai
nampak.


Tepat itu waktu Kiauw In yang lagi lari melihat jauh di
depannya "It Hiong tengah berdiri ditepi jalan, kedua
tangnnya digendongkan ke belakang, agaknya anak muda itu
menantikan sesuatu, ia menduga anak muda itu lagi
menunggunya. senang hatinya, lantas ia mempercepat larinya,
untuk menghampiri anak muda itu.
Setelah dekat, Kiauw Ini heran juga. ia mendapatkan tak
jauh dari It Hiong ada beberapa orang nona tengah duduk
bersila beristirahat justru itu, ia pun mendengar suara
memanggil si anak muda: "Kakak!" suara itu sangat prihatin!
Bangga ia menjadi bersyukur.
Tanpa menjawab lagi, nona Cio melompat lari pada anak
muda itu, setelah tiba segera ia menunjuk ke empat nona itu
seraya berkata :"Apakah barusan kau melayani mereka itu
bertempur?"
It Hiong menggelengkan kepala.
"Bukannya bertempur," sahutnya. "Cuma percobaan
mengadu ilmu ringan tubuh dan ternyata mereka itu tidak
dapat bertahan lama!"
Ketika si anak muda berkata itu. si nona baju hijau bangkit
bangun. ia telah pulih kesegaran tubuhnya.
"Kakak Cio," katanya, "Kakak baru baru sampai ?”
Kiauw In mengangguk, tetapi melihat nona itu, ia latas
ingat pada Ya Bie dan orang utannya. maka ia segera menoleh
kebelakangnya.
"Ah…kemanakah mereka itu? ..."


Tepat waktu itu, ketiga Yauw Lie si pengejar pun tiba,
tetapi mereka demikian letih hingga mereka tak dapat
berkata-kata, mereka berdiri diam saja dengan napasnya
tersengal-sengal.
Dilain detik dari tibanya ketiga Yauw Lie, tiba juga sesosok
tubuh yang besar dan hitam, ialah So Hun Cian Li, yang terus
saja mendekam, guna menurunkan Ya Bie. karena nona itu
menitahkan ia lari menghampiri It Hiong.
Belum sempat rombongan itu berbicara satu dengan lain.
mata jeli dari It Hiong dapat melihat ketiga sosok tubuh
tengah lari dipinggang gunung mendatangai dengan sangat
pesat.
"Kembali musuh" kata si anak muda.
"Kalau mereka orang-ornag kosen yang pikirannya telah
dikekang, kita bakal mengalami kesulitan......"
Tatkala itu si putri malam lagi mendekati tengah langit,
cahayanya, cahayanya sangat terang, ayu dan indah
cemerlang
Kiauw In menoleh ke arah ketiga orang yang disebutkan It
Hiong itu. ia merasa bahwa ilmu meringankan tubuh mereka
itu tidak lemah, mereka itu mengikuti jalan gunung menuju ke
tempat mereka lagi berkunjung.
"Sekarang ini sulit buat kita menyingkir dari mreka" berkata
si nona. "Mari kita menantikan dan melihat pasti siapa mereka
itu. jika mereka kaum sesat, barulah kita lihat apa yang harus
kita lakukan..?"


“Jika mereka orang-orang jahat, baik kita habisi saja"
berkata Ya Bie. yang turut bicara, suaranya sengit. "Jangan
kita kasih mereka itu banyak tingkah! bukankah begitu, kakak
Hiong?"
"Barusan kakak In berkata, kalau mereka orang-arang yang
otaknya terganggu jangan kita malakukan banyak
pembunuhan" sahut si anak muda. "Tak baik kita menambah
badai pembunuhan!"
Si nona tertawa lebar, tak puas dia nampaknya.
"oiarlah aku yang turun tangan!" katanya pula. "Kalau ada
kutukan, biarlah aku yang bertanggung jawab! Kau tak
sangkut pautnya, kakak,!" dan ia pun segera mengeluarkan
ularnya.
Baru saja Ya Bie menutup mulutnya atau tibalah sudah
ketiga orang yang mereka bicarakan itu, yang pertama muncul
adalah seorang hwesio, pendeta agama budha, dan dua yang
lainnya ialah seorang tosu atau Tojin, rahib agama To, dan
seorang nikouw, wanita suci agama budha juga, dan kiranya
merekalah Hong Gwo Sam Mo, tiga bajingan kalangan
pertapaan.
It Hiong dan Kiauw In menggeser tubuh mereka, sedikitpun
mereka tidak menaruh perhatian kepada tiga orang itu.
Hiat Mo hwesio mengawasi muda-mudi itu dan juga yang
lainnya, lantas ia tertawa tergelak-gelak, terus dia kata
gembira! "Selamat berjumpa! selamat berjumpa! sungguh kau
sangat gembira, Gak sicu! Pada tengah malam begini kau
telah berada bersama-sama nona-nona dan empat muda
remaja! sungguh suatu kehidupan seorang berbahagia seperti
cara hidupnya seorang raja!."


Ada sebabnya kenapa Hiat Mo si bajingan berdarah
mengucapkan demikian! sebab itu ialah ia menyangka keliru
terhadap It Hiong! ia mengira anak muda di depannya ini
Hong Kun adanya!.
Peng Mo, si bajingan Es, sebaliknya menatap tajam pada
pemuda kita, kemudian dia mengawasi Cit Biauw Yauw Lie,
masih pada duduk bersemedi ditanah, setelah itu barulah ia
bekata dingin: "Pantaslah didalam sekelebatan saja kalian
telah menghilang bagaikan menggunakan ilmu lenyap masuk
kedalam tanah! kiranya kalian semua tengah membuat
pertemuan perjanjian istimewa disini!"
Kiauw In mengerti kenapa kedua biksu dan nikouw itu
mengatakan demikian, ia telah memergoki waktu Hong Kun
bersama-sama Peng Mo bercumbu-cumbuan. ia merasa lucu
yang Peng Mo tidak dapat membedakan antara It Hiong
dengan Hong Kun, sedangkan pergaulan mereka itu berdua
demikian erat. Di lain pihak, ia merasa sebal sebab si nikouw
bersikap demikian.
It Hong adalah yang menjadi bingung sekali. namun ia pun
sebal. Peng Mo telah mengucapkan kata-kata yang tak manis
untuk telinga.
"Hmm!" ia memperdengarkan suara dinginnya. tak lebih!
"Hmm!" si nikouw mengulangi. dia menjadi mendongkol.
"Kau mau menyangkal, ya? apakah ini disebabkan kau telah
mendapat kawwan baru.
It Hiong tetap diam.


Tam Mo Tosu, si bajingan tamak, bertindak maju. dia
tertawa.
"Tuan Gak," katanya sebat, "Baiklah kau minta maaf
terhadap adik sepergurunku ini, supaya kalian berdua hidup
akur dan rukun! buat apa beselisih?"
It Hiong masih menahan sabar.
"Totiang, mengapa totiang begini lancang?" tegurnya.
"totiang, mengapa kau mengeluarkan kata-kata yang tidak
bersih?"
Matanya Tam Mo terbuka lebar, lalu mukanya menjadi
merah padam.
"Pinto bicara untuk kebaikan kalian berdua." katanya keras.
"Ialah guna kerukunan kalian, supaya kalian menjadi bersatu
kenapa kau tidak mau menerima kebaikanku ini kenapa kau
bersikap begini keras?"
Seperti biasanya kaum rahib agama To, si bajingan tamak
ini menggunakan kata "pinto" sebagai gantinya "aku" pinto itu
berarti "rahib melarat"
Peng Mo sudah berusia mendekati empat puluh tahun
tetapi terhadap kedua kakak seperguruannya itu dia manja
sekali, demikian dengan tingkah seperti di bikin-bikin dia
berkata: "Nah, kalian lihatlah, kakak! lihat, bagaimana dia tak
mengenal budi kebaikan kakak, aku minta supaya kalian
memberikan keadilan pada adikmu ini!..."
Habis berkata si nikouw pun membanting-banting kakinya
melampiaskan kedongkolannya dan penyesalan...


Menyaksikan tingkahnya si pendeta wanita, Ya Bie bersama
si nona baju hijau tertawa geli.
Parasnya Tam Mo hweshio menjadi merah padam.
"Hong Gwa Sam Mo bukanlah orang yang dapat dibuat
permainan!" katanya bengis. "kau harus tahu gelagat!
janganlah kau menampik arak kebahagiaan dan sebaliknya
menerima arak dendam?"
It Hiong mengawasi tajam pada nikouw itu.
"Kelihatannya kalian salah mata, para bapak suci!"
demikian katanya. "Kau juga ibu yang murah hati! orang yang
kalian cari bukanlah aku Tio It Hiong dari Pay In Nia!"
Anak muda kita mengharap, setelah menyebut nama dan
gunungnya, urusan akan sudah selesai, kan tetapi terkaannya
meleset.
Tam Mo tidak mengerti dia tertawa tawar.
"Tuan Gak, pandai kau menggunkan akal tongret
meloloskan kulit rangkahnya!" demikian sindirnya, "Bagaimana
kau berani menyangkal? apakah ini perbuatannya seorang
laki-laki kang ouw."
It Hiong berdiri tegak.
"Segala tindak tandukku, semuanya terang dan tegas!" ia
berkata, nyaring. "Jangan totiang memfitnahku! jangan kau
membuatku penasaran.
Melihat semua itu, air mata nya Peng Mo berlinang-linang,
sambil menggigit gigihnya, dia bertindak maju.


"Tak kusangka kau begini licik dan kejam" teriaknya. "Kau
mesti memberi kepuasaan padaku!"
Tidak cuma berkata demikian, si nikouw juga melompat
kepada It Hiong sambil
Sebelah tangannya diangsurkan guna menjambak bajunya
si anak mudah.
It Hiong waspada. mudah saja ia berlompat menyingkir,
justru ia menjauhkan diri justru Kiauw In dan Ya Bie bergerak
berbareng. nona Cio menyampok dan Ya Bie meluncurkan
tangannya yang memegang ular hijaunya, mereka ini bukan
cuma menghadang tetapi menyerang dengan sikap menjepit,
sebab mereka tak kerasan menyaksikan orang demikian tak
tahu malu!.
Peng Mo melompat mundur, dia kaget dan jeri. bukannya
dia gusar, dia justru lantas menangis, justru begitu, dia
menyebabkan Hiat Mo dan Tam Mo menjadi gusar. dalam
murkanya, Hwesio dan tosu itu sama-sama lompat menerjang
Kiauw In dan Ya Bie.
"Tahan!" teriak It Hiong, yang mencoba malang ditengah,
"Mari kita bicara secara baik-baik?"
Kiauw In dan Ya Bie menurut. mereka mundur satu tindak.
"Jika kita mesti berkelahi maka harus kita ketahui dahulu
sebab musababnya" It Hiong lantas berkata pula. "Bapak
guru, bukankah apa yang kukatakan ini?"
Tak dapat It Mo membeberkan lakon asmara dari adik
seperguruannya itu. itulah hal yang memalukan mereka.


karena itu, tak sudi ia menjawab anak muda kita, ia malah
menyimpangkannya.
"Eh budak liar" tegurnya pada Ya Bie, "Jika aku tidak
melihat pada gurumu, tentu dengan satu hajaran sebelah
tanganku akan aku bikin darahnya berhamburan disini. Hm!"
Dengan jalan ini, Hiat Mo hendak meredakan suasana. Tapi
Ya Bie muda dan belum berpengalaman, dialah yang dibilang
tak tahu mundur atau maju, maka juga mendengar suara si
biksu, dia mementang matanya terhadap pendeta itu dan
katanya dengan jumawa : "Memang hebat ilmu
kepandaiannya Bong Gwa Sam Mo! jika kau benar laki-laki
mari rasakan cambuk ular hijauku! coba merasakan satu
pagutan saja!"
Tantangan itu membuat jeri pada Hiat Mo. dahulu Peng Mo
pernah terpagut ular itu hingga dia merintih dan menderita
karenanya dan Ya Bie justru yang membantu memberikan
obat pemunahnya.
"Hm!" ia perdengarkan suara dingin. dia tak mau kalah
gertak. terpaksa ia mesti maju menyambut tantangan si nona
remaja. atau Peng Mo menarik ujung jubahnya seraya terus
membisikinya.
Menyaksikan demikian. Kiauw In tahu apa yang mesti ia
lakukan. Ia mirip si tukang perahu memasang layar setelah
melihat arah angin.
"Bapak guru beramai, kami memohon diri!" katanya,
hormat. "Sampai berjumpa pula!"
Habis berkata, nona Cio memberi isyarat kepada It Hiong
dan si nona baju hijau, supaya mereka itu berangkat terlebih


dahulu, setelah itu ia sendiri bertindak pergi sambil menarik
tangannya Ya Bie.
Dengan berlalunya mereka bertiga maka mengitlah So Hun
Cian Li!
Peng Mo berdiri menjublak, kekasihnya itu-- tak pedulikan
dia Tio It Hiong atau Gak Hong Kun-- telah meninggalkannya.
tadinya ia memikirkan akal, guna mencapai maksudnya, ia
tidak sangkah, kakaknya mencampur bicara dan pergilah
kekasihnya itu.......
Tam Mo dan Hiat Mo menjadi panas hati, sang kekasih adik
seperguruannya sebaliknya ia sangat berduka, sampai dia
membanting-banting kaki. kapan dia melihat Cit Biauw Yauw
Lie, mendadak dia menumplak kemarahannya kepada ke
tujuh orang nona itu, yang masih saja bersemedi tanpa
memperdulikan tempat itu tempat apa.
"Dasar itu segala budak bau" katanya sengit, pada
kakaknya, "Kalau bukan dikarenakan adanya mereka disini,
tak nanti kekasihku berangkat pergi! kakak, hayo kau beri
keadilan pada adikmu!"
Tam Mo sebaliknya menggoda adiknya itu. katanya dia
:"Banyak nona yang muda dan jenaka tetapi dalam hal bicara,
sukar dicari nona yang melebihkan kau pandainya, adik! kau
sangat pandai membujuk!"
Sang adik seperguruan menarik janggut kambing kakak
seperguruannya itu.
"Kau bisa saja!" katanya. "Kau menghina aku, ya? kau
lihat, janggutmu dapat tumbuh lebih banyak atau aku yang


menjambaknya lebih cepat!" dan dua kali ia membetot
janggutnya si kakak yang nomor dua itu!.
Si rahib menjadi jeri, dia berkaok-kaok meminta ampun,
barulah adik itu tidak membetotnya pula.
Selama itu, Cit Biauw Yauw Lie telah ketahui tentang
datangnya Hong Gwa Sam Mo, sengaja mereka berdiam saja,
berpura-pura terus semedi, hingga mereka dengar apa yang It
Hiong semua bicarakan. mereka jeri terhadap ketiga bajingan
itu. karenanya mereka pikir, baik mereka berlagak pilon,
hanya pada waktu Peng Mo menjahili kakaknya. tanpa merasa
mereka tertawa sendirinya.
Hiat Mo sedang mendongkol, mendengar tawanya nona,
maka ia menerka bahwa orang hanya berpura-pura
beristirahat, maka timbullah hawa amarahnya, terus ia
mengumbarnya terhadap mereka itu, dengan sekonyongkonyong
ia menyerang mereka itu dengan kedua tangannya
saling susul. ia hendak membinasakan mereka, guna
menyumpal mulut mereka semua.
Semua nona Ek menjadi kaget sekali. tahu-tahu angin
serangan dahsyat itu mengenai muka mereka, hingga terasa
pedas, Toa Biauw bersiul pendek, tubuhnya mencelat bangun,
segera disusul oleh enam orang saudaranya, maka dilain saat,
bertujuh mereka sudah menggunakan sabuk mereka
menyerang si bajingan darah!
Peng Mo gusar. tetapi dia masih suka bicara, tegurnya
dengan mengancam "Kalian mau hidup atau mau mampus?
lekas pilih jangan nanti kalian sesalkan kami tidak memandang
lagi."


"Bagus benar suaramu?" Toa Biauw membalas "Siapakah
yang lebih dulu menyerang kami, hingga muka kami terasa
nyeri? adakah itu perbuatan baik, perbuatan memandang?"
Peng Mo mau mengatakan dia memandang mata pada Im
Ciu It Mo. terhadap Cit Biauw Yauw Lie, ia bertiga saudaranya
tak jeri barang sedkitpun. Toa Biauw dapat menerka maksud
kata-kata orang itu tetapi ia toh menanggapi. ia berkata
pula:"Wilayah gunung Hek Sek San ini menjadi tempat
terlarang kami. kalian bertiga sudah lancang datang kemari,
apakah kata kalian?"
Hiat Mo mengelus janggutnya yang masih terasa nyeri, dia
berkata sengit :"Budak bau, masih kau banyak mulut! rupanya
jika kamu tidak diajar adat. kamu masih tidak tahu kelihaian
kami?" dan kata-katanya itu disudahi dengan satu srangan
kedadanya si nona.
Toa Biauw berkelit dengan lincah. berbareng dengan itu
dengan satu pukulan tauwlo hiang, ia membalas kepada jalan
darah cun kwan dari si bajingan!
Hiat Mo terkejut. ia menarik pulang lenangnya. kembali ia
menyerang.
Toa Biauw melayani. maka itu bertempurlah mnereka.
Sampai disini, keenam Yauw Lie lantas mengambil
tempatnya masing-masing, mengurung ketiga bajingan itu.
Peng Mo menjadi bingung. maksudnya hendak menyusul Gak
Hong Kun, dengan kakaknya itu untuk berkelahi. waktunya
jadi terbuang secara sia-sia. pula pertempuran itu tidak ada
artinya. saking jengkelnya, ia membanting-banting kakinya,
lalu ia berseru-seru menganjurkan orang berhenti bertarung!


Tam Mo tahu adatnya adik seperguruannya itu, ia khawatir
orang nanti rewel, terpaksa ia melompat mundur.
Toa Biauw pun tahu keadaan, ketika baik itu ia
pergunakan, ialah ia membiarkan orang mundur, tak mau ia
menyusul guna menyerang terus, tapi ia tidak mau kalah
gertak, maka ia lantas kata nyaring:"Kau tidak mau berkelahi,
nonamu juga tidak mau keterlaluan! asal kalian suka
berurusan dengan guruku, suka kami bukakan jalan hidup!"
Suara itu keras tetapi itulah umum dalam dunia kang ouw,
itulah cara buat mundur teratur.
"Kalian mau apa?" tanya Hiat Mo, yang hatinya masih
panas, iapun maju satu tindak, kedua belah tangannya
disiapkan, supaya sembarang waktu ia dapat menyerang
secara dahsyat. terus ia berkata pula:"Beginilah aku bersedia
mengiringi kehendak kalian, budak bau! kau ingin mencobacoba,
budak? kalau tidak, pergi, pergilah kau berlindung!"
Kembali satu serangan, sebab si pendeta tak dapat
mengekang dirinya.
Toa Biauw kaget, dia berkelit sambil melompat
menjatuhkan diri, dengan gerakan tipu "tambra emas
menembus gelombang" dia mundur sampai setombak lebih,
baru dia bebas.
Enam orang nona lainnya menjadi repot, hingga mereka
menyelamatkan diri secara kacau. mereka justru berada di
belakang si kakak dan tidak menyangka yang orang bakal
menyerang pula!


Toa Biauw insap yang mereka tidak dapat melayani hong
Gwa Sam Mo, terpaksa ia bersiul pendek, terus ia lari
menyingkir. maka semua saudaranya lantas lari menyusulnya!.
Menyaksikan itu, Tam Mo bersorak sambil tertawa
menepuk-nepuk tangan.
"Kakak hebat!" pujinya. "Dengan serangan itu kakak, cukup
sudah kau melayani mereka itu!"
Hiat Mo tertawa, dia puas sekali.
"Murid-muridnya Im Ciu si bajingan tua cuma pandai
bermain asmara!......." katanya, dan mendadak ia menutup
mulutnya, sebab mendadak juga ia ingat justru adik
sepergurunnya lagi mabuk cinta, dengan mencaci Cit Biauw
Yauw Lie, ia seperti mencaci adik seperguruannya
sendiri,........
Matanya Tam Mo memainkan melihat kesekitaranya,
kepada kedua saudaranya itu.
"Sayang, kamilah orang-orang yang menuntut hidup suci"
katanya kemudian "Kalau tidak. disini, selama malam yang
indah ini, dapat kita berpelesiran puaslah.......kita murid-murid
sang budha, kita sudah bersih bebas dari satu akar..........
Peng Mo heran mendengar kata-kata kakaknya yang nomor
dua itu,
"Kenapa kau menyebut satu akar, kakak?" tanyanya,
"bukankah kaum agama kita mempunyai enam yang harus
semua bersih?"


Yang disebut "enam akar" itu, Lion-kin, ialah mata, telinga,
hidung, mulut, tubuh dan hati (pikiran). Seorang suci harus
membersihkan harus membersihkan diri dari semua itu,
hingga dirinya menjadi kosong seluruhnya (su tay kay khong).
"Kau benar, adik ," kata Tam Mo. "Tapi dapatkah kau
bersih dari semuanya ?"
"Aku baru dapat membersihkan yang lima, kakak. tinggal
satu yang belum.....
"Hu, kalian bicarakan apa saja?" Hiat Mo campur bicara.
Peng Mo tidak menjawab, hanya bertanya "Kakak, sudah
lama kau menyucikan diri, apakah kau telah bersih dari enam
akar? Baru satu bukan?"
Hiat Mo mengangguk.
"Ia"sahutnya
Tertarik hatinya ketiga saudara itu bicara tentang sari
agamanya, hingga mereka jadi berbicara panjang lebar,
sampai Peng Mo dapat kenyataan, kedua kakaknya itu gagah
dan galak, apa saja mereka lakukan, cuma satu hal yang tak
menarik perhatian mereka, yaitu paras elok. pantas selama
bergaul, kedua kakak itu tidak pernah membicarakan soal
tersebut dan seingatnya, ia belum pernah diganggu mereka.
kedua saudara seperguruan itu bahkan menyanyangi seperti
saudara kandung sendiri.
"Kedua kakak tak dapat mempuaskan dirinya, bagaimana
aku dapat membantunya?" kemudian Peng Mo berpikir.
"Mereka harus hidup seperti orang umumnya....."


Selagi berpikir keras mendadak bajingan es ingat
seseorang.
"Couw Kong Put Loo!" serunya perlahan. hanya orang itu
yang namanya diingat secara tiba-tiba.
Hiat Mo melengak.
"Ada apakah adik?" tanyanya. heran.
"Apakah dia pun orang....... yang sangat kau perhatikan?"
Hampir kakak ini menyebut "kekasih" syukur dia lantas
ingat dan segera merubahnya.
Peng Mo tidak menjawab, hanya menatap kakaknya itu.
"Apakah kakak kenal dia?" tanyanya.
"Buat apa berkenalan dengannya!" sahut Hiat Mo. "dalam
hal ilmu silat, dia telah ditindih, Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe
Cie"
Si adik tersenyum.
"Kakak kenal baik dia itu, rupanya kakak dan dia sahabatsahabat
kekal?" katanya.
Hiat Mo menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya, ada apa adikku menanyakan tentang
dia?"
"Bukankah itu mengenai soal kekuranganmu, kakak?" ia
berbalik bertanya.


Hiat Mo heran. tapi ia menjadi girang.
"Apakah dia mempunyai surat obat yang mujizat, adikku?"
tanyanya, "Coba bilang?"
"Oh, adikku yang baik!" Tam Mo memuji.
Puas hati Peng Mo mengetahui kakaknya itu
memperhatikan kata-katanya. ia mengawasi mereka dan
tertawa, terus ia berkata:" Touw Kong Put lo memahami
bunyinya kitab So Lie Keng, rupanya dia telah berhasil baik.
dia bagaikan menyulap kekuatan pria, jika kakak berdua
mendapat bantuan pengobatan dari dia, pasti kakak pun akan
memperoleh kebaikan!"
"Dimana adanya Touw Kong Put Lo sekarang?" tanya Tam
Mo Si To kauw. "Dimana dia menyakinkan ilmunya?"
"Sejak beberapa puluh tahun, tempatnya ialah Tiang Lo
Jiang. didalam rimba pohon bambu" sahut Peng Mo, "Hanya
selama yang belakangan ini, orang bilang dia sudah muncul
pula dalam dunia kang ouw hingga orang tak tahu pasti
dimana dia tengah merantau...."
Hiat Mo m,enghela napas, nampaknya dia berduka.
"Kalau begitu, sulit buat mencari dia, adik" katanya masgul.
"Dengan mencari sembarangan saja, sadma dengan kita
merogoh rembulan didalam air."
"Jangan mudah putus asa, kakak" Tam Mo menghibur,"
Didalam segala hal biasanya terjadi sesuatu yang diluar
perkiraan! coba adik ingat-ingat pula dimana kau pernah


mendengar tentang dia?........" ia meneruskan namanya adik
seperguruannya.
Peng Mo berpikir, lalu ia ingat pertemuannya dengan Touw
Kong Put Lo dalam penginapan Kui Hiang San Koan di Kang
lam. tapi ia hendak "mengekang" dua saudaranya itu, ia
berpura-pura belum mengingatnya, ia melihat sana melihat
sini, ia berjalan mondar mandir perlahan-lahan.
Hiat Mo tidak sabaran.
"Sudah adik, tak usahlah kau pikirkan pula?" katanya.
"Biarlah kekuranganku itu kami derita selama hidup
kami..........."
Peng Mo berhenti berjalan. dia menoleh "Kenapa, kakak?"
tanyanya. "Kenapa kakak habis sabar? baru saja aku ingat
tentang dia, sekarang tinggal soalnya, dia akan dapat di cari
tidak! inilah tergantung dengan peruntungan baik dari kakak
berdua......."
"Kau bicaralah terus terang adik!" katanya Hiat Mo,
suaranya menjadi sabar pula "aku minta kau jangan bicara
setengah-setengah......."
"Demi kakak berdua, telah aku kuras otakku, kakak,
berkata adik seperguruannya yang manja itu. "Kalau nanti aku
berhasil mencari dia, buatku tidak ada untungnya. itulah buat
kebaikan kakak berdua..."
Tam Mo tertawa.
"Syukur adik!" katanya "kami berterima kasih padamu!"
Peng Mo puas, alisnya terbangun.


"Nah, kakak, dengan apa kalian akan membalas budiku?"
tanyanya, "Bagaimana kalau kau mengajariku aku limu silat
Thian Lui Ciang? kau toh tak akan menyimpannya buat dirimu
sendiri. bukan?"
"Thian Lui Ciang" ialh ilmu silat "Guntur tangan" atau
"tangan guntur"
"Akan aku ajari kau ilmu itu, adik!" Hiat Mo memberi
janjinya.
Peng Mo tertawa.
"Memang kesohor ilmu silatmu itu kakak!" katanya memuji.
"Tapi telah aku mempunyai satu ilmu silat tangan kosong
lainnya. bukankah kaum persilatan paling pantang kemaruk?
mana dapat aku mempelajarinya pula? kakak, terimah kasih
untuk kebaikanmu itu......."
*****
Sementara itu It Hiong dan Kiauw In beramai telah dapat
berkumpul bersama-sama. banyak soal yang mereka
bicarakan terutama ialah urusan pertemuan besar digunung in
Busan nanti, guna menghadapi Pihak Thian Liong pang.
Sang waktu berjalan terus dan saatnya pertempuran terus
mendatangi semakin dekat, karena itu, Perlu It Hiong
membuat persiapan, biar bagaiman, Thian Liong Pang tidak
dapat dipandang ringan. bukankah katanya Tong Thian Tok
Liong Sian Hiauw telah mengundang, mau meminta bantuan
gurunya dan lainnya. yang semuanya ada orang-orang lihai


maka itu harus ia teliti. Oleh karena nya, ia pasti perlu
mendapat bantuan,
Demikianlah, serbua perundingan permintaan bantuan akan
diminta dari pihak pejuang dan utusan segera ditetapkan,
keputusan yang akhir ialah Cukat Tan bersama Tan Hiong
yang diminta harus pergi terlebih dahulu ke In Bu San guna
menentukan siapa-apa guna membantu menyambut, orang
rimba persilatan golongan sadar dan lurus yang diundang itu.
Semua orang sangat menyetujui pikiran It Hiong itu, maka
lantas juga mereka mau berkemas-kemas, agar mereka semua
dapat berangkat ketempat itu , si nona berbaju hijau tiba-tiba
saja dia mengeluarkan air mata deras dan menangis
sesunggukan terus dia menghampiri It Hiong. untuk memberi
hormat sambil berlutut dan mengangguk-angguk.
"Tuan Tio," kata dia selagi menangis sangat sedih itu.
"Budimu yang beasr, entah kapan dapat aku
membalasnya.........dan perpisahan kita ini, sampai kapan kita
bakal dapat bertemu pula....."
Mendengar suara nona itu, semua orang menjadi terharu,
hingga air muka mereka menjadi suaram.
"Ah, adik!" berkata It Hiong jangan memperlihatkan sikap
tegang, walaupun hatinya terharu bukan main, "Apakah begini
cara lakunya seorang nona kaum kang Ouw? bukankah
manusia itu, dia berpisah atau berkumpul, semua itu telah
ditakdirkan? kenapa kau begitu bersedih dengan perpisahan
kita ini? kita menjelajah sungai telaga. dunia yang luas
menjadi sempit mirip satu kaki, oleh karena itu, hari-hari
pertemuan kita yang mendatang masih banyak sekali! adik,
kau pulanglah dengan hati tenang!"


Nona itu menghapus air matanya.
"Aku berjanji"katanya, "setelah pulang ini, akan aku belajar
dengan sungguh sungguh, agar kemudian hari dapat aku
membasmi semua orang jahat kaum sesat, guna sekalian
membalas dendamku!"
It Hiong tertawa.
"Kau benar adik!"katanya. "Baiklah-baiklah saja kau
menjaga dirimu"
"Adik" Teng Hiang campur bicara, "bagaimana kalau kau
meninggalkan she dan namamu? di belakang hari. apabila ada
jodoh kita bertemu pula, dapat aku mengenal dan dapat
memanggilmu..."
Mendengar kata-katanya Teng Hiang itu, semua orang tak
terkecuali It Hiong bagaikan baru mendusin dari tidurnya! ia,
sudah lama berkumpul tetapi tak ada satu yang ingat akan
menanyakan nama orang, sebegitu jauh nona itu cuma
dikenal dan dipanggil sebagai si nona berbaju hijau.
Si nona berbaju hijau agak bersangsi, tetapi kemudian ia
toh menjawab:"Aku she Tio nama Toan, biasa dipanggil Toan
jie, anak Toan, aku asal Kwan tiong. kakekku menyingkir dari
musuhnya maka itu kami merantau dan tinggal di Kwan gwa.
hidup kami berkelana. ayah pernah berkata aku bahwa satu
waktu kami akan pulang kekampung halam kami......."
"Oh kiranya adik Toan jie" berkata Teng Hiang,
tertawa."Sungguh satu nama yang bagus!"
"Kau ingin melanjuti pelajran silatmu, adik. itulah bagus
seali!" Kiauw In turut berkata. "Ilmu silat memang sangat


baik, baik guna kesabaran maupun guna pembalasan sakit
hati, terutama buat menegakkan keadilan! buat sekarang ini.
adik. selama dalam perjalanan pulang, baik-baiklah kau
terlebih dahulu mempelajari ilmu istimewa Hoan Kuk Bie Cin
dari adik Ya Bie. itulah suatu kepandaian sangat berharga
terutama bagi kaum wanita, guna dia membela dirinya"
Si nona berbaju hiaju mengangguk, ia mengucap terima
kasih.
Sementara itu hatinya It Hiong lega buka main. inilah
disebabkan ia ketahui si nona berbaju hijau ada orang dari
satu she dengannya, syukurlah, selama bergaul erat dengan
nona itu, ia berlaku jujur dan hormat terhdap nona itu!
bagaimana celakanya andiakata ia tersesat! untuk sejenak ia
mengeluarkan peluh dingin, hatinya berdebar-debar.
"Syukur..."pujinya dalam hati.
Kemudian tibalah saatnya Toan jie diantar pergi keluar dari
dusun Kho Tiam cu disitu, ditengah jalan kedua bela pihak
lantas berpisahan. Toan jie memberi hormat. ia mengucap
terima kasih terus ia memohon diri. tentu sekali ia berangkat
dengan hati berat....
Disitu bukan cuma Toan jie yang memisahkan diri, juga
lain-lain. satu pada lain, karena masing-masing mempunyai
tugasnya sendiri-sendiri.
Lebih dahulu, kita mengikuti It Hiong. pemuda ini
berkeinginan sangat lekas-lekas mendapat pulang pedangnya
yang hilang, pedang mustika Keng Hom Kiam, maka juga ia
membuat perjalanan dengan cepat.


Pada suatu hari sampailah anak muda itu kita dikaki
gunung Bu Ie San. ia mengangkat kepalanya mengawasi
gunung itu, bagian atas dan sekitarnya. otaknya pun
berbareng bekerja. ia memikirkan dimana adanya kali Kiu Kiok
ceng koan.
Selagi It Hiong mencari tempat tujuannya itu, baiklah kita
belajar kenal lebih dahulu dengan orang-orang atau anggota
keluarga Tong Hong Se kee, ialah keluarga Tong Hong.
Tiada orang ketahui asal usulnya keluarga Tong Hong itu
akan tetapi di Bu Ie San mereka sudah tinggal kira-kira empat
puluh tahun. dan mereka telah terdiiri dari tiga turunan, kakek
sampai pada cucunya.
Tong-hong Tan, sang kakek, ketika dimasa mudahnya,
tatkala diadakan rapat Bu Lim yang kelima, telah berhasil
menundukkan semua lawannya, hingga ilmu pedangnya jadi
kesohor, tapi disaat sedang terkenal itu, entah apa sebabnya ,
tahu-tahu ia mengundurkan diri dengan mengajak istri dan
anaknya laki-laki tinggal berdiam di Kiu Kiok Ceng Kee yang
sunyi. ia membangun gubuk buat hidup dalam ketenangan.
kemudian ternyata, ia tak dapat berumur panjang.
Selang satu tahun habis hidup menyendiri, pada suatu
malam Tong Hong Tan kedapatan telah menutup mata,
Nyonya Tong Hong menjadi heran, dia pun memanggil
putrinya seorang guru silat dan dia pandai ilmu pedang, maka
dia periksa mayat suaminya itu, juga semua barang didalam
kamarnya,
Tak ada sesuatu yang mencurigakan kecuali sehelai kertas
yang ada tulisannya empat buah huruf, sebenarnya itulah
bukan kertas hanya sehelai sulaman sutera dengan sulaman
huruf-hurufnya yang berbunyi "Giok Leuw Kio Ciauw" artinya


"panggilan kilat dari neraka" sulaman itu berkilauan mirip api
kunang-kunang. Nyonya itu bingung dan berduka, juga anak
dan menantunya, tak berdaya mereka mencari keterangan,
mereka cuma mengira pasti kematian itu disebabkan musuh,
yang belum diketahui siapa adanya....
Dengan lewatnya sang waktu, akhirnya keluarga Tong
Hong tinggal terdiri dari seorang nenek dengan seorang
cucunya, sebab anak dan menantunya yang pergi mencari
musuh, pergi dan tak kembali selama belasan tahun, hingga
tak diketahui mereka telah menutup mata atau bagaimana.
Sebagai pembantu rumah tangga sinenek memelihara
pelayan.
Sebagai nenek Tong Hong sudah berusia diatas enam
puluh tahun, rambutnya sudah putih semua. maka orang
memangilnya Tong-hong Po--Nyonya Tonghong. nyonyanya
ialah Tonghong Liang.
Kecuali dua tiga orang kang-ouw yang menjadi kenalannya,
sangat jarang Tonghong Po menerima tamu kunjungan, lamalama
hanya beberpa lewat dua bulan yang lampau, ia
kedatangan seorang sahabatnya dengan siapa sudah banyak
tahun ia tak pernah bertemu muka. dialah Couw Kong Put Lo,
yang ada bersama seorang nona yang masih muda sekali.
Nona itu cantik. pakaiannya yang singsat memperlihatkan
tubuhnya yang langsing, dipunggungnya dia menggendong
sebatang pedang, nampaknya dia mirip seorang nyonya
muda, apa yang luar biasa ialah dia mempunyai mata bersinar
ketolol-tololan hingga mudah untuk diterka yang urat
syarafnya tak tak sehat wajar, rupanya dia telah terkena
pengaruh semacam obat bius.


Habis dia minum teh, yang disuguhkan nyonya rumah,
Couw Kong Put Lo memberitahukan halnya nona itu adalah
muridnya yang baru dan telah mempunyai bakat silat baik. ia
berkata ia datang buat minta si nyonya rumah mengajari nona
itu ilmu pedang keluarga Tonghong, ilmu pedang "Koay Kiam"
atau pedang kilat, yang sangat kesohor, dalam dunia rimba
persilatan. bahkan si tamu mengatakan lebih cepat nona itu
belajar pedang hingga sempurna terlebih baik pula!
Habis berkata, Couw Kong Put Lo menyerahkan dua peles
berisi obat pada Tonghong Po. obat yang satunya buat
membebaskan nona itu dari gangguan ingatannya, dan obat
yang lainnya. namanya "Sek Sim Tan" guna membikin dia lupa
pada she dan namanya serta asal usulnya.
Tonghong menerima dua peles obat itu, dia tertawa dan
berkata: "Aku si tua lagi menganggur, tugas yang kau berikan
ini dapat aku guna mengisi waktu menganggurku itu, tetapi
sekarang kau harus beritahukan aku perguruan atau asal
usulnya si nona , juga she dan namanya, supaya kelak di
belakang tak nanti muncul soal yang menertawakan....
Couw Kong Put Lo berpikir sekian lama, barulah dia
menjawab:"Muridku ini berasal dari pulau To Liong To,
namanya Siauw Wan Goat, dia sendiri yang datang padaku
buat minta diajari silat, jadi bukanlah aku yang memaksanya
menjadi muridku"
Sinyonya mengawsi sahabatnya, dia tertawa dingin.
"Dihadapan sahabat karib, buat apakah kau mendusta?"
Katanya "Kalau dia benar datang atas kehendak sendiri,
mengapa kau mengekang syarafnya dengan obat?"


Si tamu tua jengah, tapi ia menjawab:"Baik, kau katalah
aku telah mendusta! hanya sekarang aku minta, nyonya tua,
tolong lah aku memeriksa dia, buat mengajarinya ilmu pedang
yang kesohor itu dari keluargamu itu"
"Jika demikian maksudmu, kau sebenarnya tidak boleh
bekerja kepalang tanggung." kata si nyonya Tonghong
kemudian. "Sudah ingatannya dikekang, baik juga sekalian
saja tampang wajahnyapun dirubah, supaya dia tak lagi
berupa seperti diri asalnya!...."
Couw Kong Put Lo girang ia memuji sambil bertepuk
tangan.
"Bagus-bagus" demikian serunya.
Demikian karena mampunya Couw Kong Put Loo itu, Siauw
Wan Goat menjadi berada dirumah Tong Hong Sie Kee dimana
dia belajar silat, dia telah dikasih makan obat hingga dia lupa
diri asalnya, dan wajahnya pun menjadi lain daripada wajah
semula, dia tidak ingat lagi nama Siauw Wan Goat!
selanjutnya dia cuma tahu dirinya ialah Tong Hong Kiauw
Couw, hingga dia menjadi seperti juga "Tong Hong Kiauw
Couw" cucu perempuan dari sinyonya hidup pula,
Belajar ilmu pedang tidak mudah, waktu yang diperlukan
pun bertahun-tahun. akan tetapi Tonghong Po pintar dan
cerdik, dia mendapat akal. dia memakai jalan singkat.
"Dia harus mengangkat nama Tonghong Sie Kee!" demikian
pikir sinyonya tua dan dengan demikian dia mengambil
keputusannya.
Jalan singkat itu termasuk jalan sesat. untuk itu, si nyonya
mencoba obatnya Couw Kong Put Lo, sebab sekalian ia mau


membuktikan, obat itu benar mujizat atau tidak, kalau obat itu
dimakan satu satu butir, maka dalam waktu satu bulan
dengan latihan tidakk lengahnya, tenaga dalam si nona bakal
seperti latihan dari sepuluh tahun.!
Latihan itu perlu dibarengii latihan semedhi, supaya pikiran
tidak tergoda urusan lainnya, jika tidak si nona bakal terseret
dan gagal, tubuhnya bakal rusak dan binasa.
Dengan memakan dua rupa obat itu, Siauw Wan Goat tidak
lagi nampak tolol, hanya sekarang ia lupa asal-usul dirinya, tak
ingat ia pada namanya dan padanya cuma ia tahu adalah
Tonghong Kiauw Couw dan menjadi cucu si nenek Tonghong.
Hanya satu hal yang tak dapat dilupakan oleh obat Sek
Sian Wan dari Couw Kong Put Lo. itulah nama atau wajah Tio
It Hiong, meski sebenarnya It Hiong palsu, ialah Gak Hong
Kun, samar-samar otaknya masih seperti terbelenggu......
Rupanya ikatan sang asmara sangat kuat. Maksudnya Tong
Hong po tercapai. didalam waktu dua bulan, Tong Hong Kiauw
Couw telah berhasil mempelajari Koay Kiam, ilmu pedang kilat
itu. dia bahkan memilkiki hasil latihan seperti dua puluh tahun,
lamanya. maka juga dia jadi gesit, lincah dan lihai.
Bukan main girangnya Tonghong Po hingga ia menyayangi
Siauw Wan Goat seperti cucunya sendiri, hingga ia lantas
menyuruh cicitnya itu pergi merantau. katanya buat
mengangkat naik pula nama baru dari Tonghong Sie Kee.
Tonghong Kiauw Couw menerima tugas itu hanya diamdiam
mau sekalian mencari Tio It Hiong!
Disaat Kiauw Couw mau berangkat maka Tonghong Liang
sang adik ingin turut serta bersama. anak ini meminta dengan


memaksa hingga akhirnya ia mendapat perkenan dari
neneknya itu, yang cuma memesan "berhati-hatilah kau!"
sinenek masih bersemangat dan tak menghawatirkan apa-apa
mengenai cucunya itu.
Demikian Tonghong Kiauw Couw dan Tonghong Lian
meninggalkan Kiu Kiok Ceng Kee, tempat halamannya, untuk
melakukan pengembaraanya, selama mana senantiasa si nona
mencari tahu tentang Tio It Hiong, hingga akhirnya ia berhasil,
bahkan paling belakang ia mendengar halnya si anak muda
berada di Kho-tiam Cu justru malam itu ia mau cari It Hiong,
ia bertemu dengan Couw Kong Put Lo dan si orang tua terus
mengajari ia bagaimana harus berbuat, guna memancing anak
muda itu supaya datang ke Kiu Kiok Ceng Kee! malah orang
tua itu memberikan bubuk serta sulaman empat huruf "Giok
Lauw Kip Ciauw" itu.
Demikian terjadi It Hiong kehilangan pedangnya dan di
anjurkan datang ke Kiu Kiok Ceng Kee guna mendapatkan
pulang pedangnya itu. Selama ia masih ada lain
pengalamannya kiuw couw, seperti halnya dia bertemu Gak
Hong Kun si Tio It Hong palsu.
Terjadilah malam itu Gak Hong Kun menyusul Kiauw Couw,
maksudnya ada dua mendapatkan pedang Keng Hom Kiam
serta juga tubuhnya si nona, guna ia milikinya!.
Ada sedikit kecurigaan Kiauw Couw terhadap Hong Kun,
kendati begitu, ia toh terus memancing anak muda itu
sehingga Hong Kun terus mengintilnya, sedangkan It Hiong,
diapun telah tiba dikaki Bu Ie San seperti yang dituturkan
dibagian atas ini.


Sesudah berdiam dikaki gunung sekian lama. It Hiong
segera mendakinya. ia menggunakan ilmu ringan tubuh
Tangga Megah.
Bu Ie San banyak puncaknya yang kecil. banyak rimbanya,
juga kali dan lembah. It Hiong harus melintasi semua itu, ia
hanya nampak kesulitan sebab majunya tanpa sasaran yang
tentu, ke arah mana ia mesti menuju? ia cuma menerka-nerka
maka sedapat-dapatnya ia mencari tempat dimana ada kali
atau selokan, sebab "kee" dari Kiu Kiok Ceng Kee berarti "kali"
dengan demikian, disamping telah menyaksikan perbagai
pemandangan alam yang indah, sering ia mendengar air
tumpah.
Selain itu, tak pernah anakmuda kita menemui orang.
gubuk pun tidak, sudah setengah hari ia menjelajah, sampai
akhirnya di satu tempat sayup-sayup ia mendengar orang
berbicara,suara mana dibawa sang angin, segera ia
memasang telinga dan membuka matanya lebar-lebar.
"Mungkin mereka tukang cari kayu!" Pikir It Hiong, girang
lantas ia lari mendekati, ke arah suara itu datang, selagi
mendekati ia melihat dua sosok tubuh orang, yang lagi duduk
berandeng diatas sebuah batu besar di hulu kali, selagi
mendatangi semakin dekat, tampaklah sepasang pria dan
wanita.
Hari sudah lohor, matahari bersinar layung, magrib akan
segera tiba, puncak gunung berbayang di muka air, begitupun
tubuhnya sepasang pria dan wanita itu.
Datang semakin dekat It Hiong merasa pasti orang
bukannya tukang kayu. pada punggungnya mereka itu
masing-masing pun terdapat pedang. maka ia mau menerka,
jangan-jangan itulah pencuri pedangnya, selagi berpikir


begitu, ia tetap melangkah terus, hingga di lain saat ia sudah
berada di dekat dengan mereka itu, hanya berjarak tiga
tomabak.
"Sahabat" ia lantas menyapa, untuk mana ia menahan
sabar seberapa bisa, "Sahabat, aku menumpang bertanya
dimanakah letaknya kali Kiu Kiok Ceng Kee? dapatkah kau
menunjukkan padaku?"
Kedua orang pria dan wanita itu agak melengak sebab
keduanya lantas mengangkat mukanya dan mengawasi hingga
mereka seperti lupa menjawab.
It Hiong menanya pula, tetap ia dapat mengusai dirinya,
akan tetapi kali ini suaranya menjadi terlebih keras, katanya
:"Sahabat, adakah kau berlagak pilon? akulah Tio It Hiong dan
aku datang kemari untuk memenuhi janji undangan!"
Mendengar nama Tio It Hiong itu kedua orang pria dan
wanita itu terkejut hingga mereka bagikan sadar dari
mimpinya yang nyenyak.
"Ya, ya" kata si wanita, yang mirip orang terlepasan bicara.
Yang pria mengawasi terus, kali ini mukanya menunjukkan
rasa heran berbareng girang, lantas ia bangkit berdiri, untuk
memberi hormat, serunya balik bertanya :"Tuan, benarkah
kau It Hiong adanya?"
It Hiong membalas dengna suara keren :"Apakah kau
khawatir aku memalsukannya?"
Sebelum si pria menjawab, wanita mendahului :"Tio It
Hiong yang palsu, telah nonamu melihatnya bahwa kau dan
dia itu bukanlah satu orang, itulah sukar untuk dibilang pasti!"


It Hiong bagaikan habis sabar.
"Baiklah kita tangguhkan soal Tio It Hiong tulen dan Tio It
Hionga palsu!" katanya, kaku, "Sekarang aku tanya kalian
berdua, tuan dan nona, benar atau bukan kalian penduduk Kiu
Kiok Ceng Kee ?"
Si nona tertawa manis. dia tidak menjawab hanya bertanya
:"Baiklah kau sebutkan dahulu she dan namamu yang
sebenar-benarnya begitupun gelaranmu! setelah itu barulah
kau menanyakan tentang diri orang lain! dapat, bukan?"
It Hiong menjadi tidak senang, tapi ia toh menjawab :
"Barusan telah aku memberitakukan bahwa akulah Tio It
Hiong yang tulen, akulah Tio It Hiong murid dari Pay In Nia!"
Wanita itu menatap tajam. ketika ia berkata pula, suaranya
lunak : "Karena ada satu urusan maka kami menanya pelit
tentang she dan namamu. ini toh urusan kecil, bukan? kenapa
kau nampaknya gusar? apakah demikian prilakunya seorang
kang ouw ternama?"
Mendapat pertanyaan itu, It Hiong merasa tidak tentram
hati, sendirinya lantas kemarahannya mereda, lantas ia
berkata:"Nona, telah aku beritahukan namaku yang sejati
serta asal perguruanku, maka itu sudah selekasnya kalau
sekarang nona menjawab pertanyaannku barusan!"
Nona itu mengangguk,
"Kau benar!" bilanglah. lantas ia menoleh kepada pria
disisinya, akan mengedipi mata sambil membuat main
bibirnnya.


Si pria segera bertindak mendekati It Hiog. kembali ia
memberi hormat.
"Sahabat she Tio" katanya, "Ada satu urusan dalam hal
mana kami mengharapkan bantuanmu untuk
menyempurnakannya........"
It Hiong heran hingga ia melengak.
"Tuan, apakah she dan nama besarmu?" ia bertanya.
"Aku In Go!" si nona mendahului memberikan jawabannya.
"Akulah muridnya Gwa Toa Sin Mo dari lembah Houw Touw
digunung Tiam Cong San" ia menunjuk si pria dan
menambahkan "dan dialah Bu Pa, kakak seperguruanku!"
It Hiong pernah medengar nama gwa To sin mo hanya
dengan orangnya belum pernah ia bertemu, demikian muda
mudi di depannya ini, mereka itu asing baginya. satu hal yang
menarik perhatiannya ialah, persoalan apakah dari mereka ini?
bukankah mereka datang jauh dari Tiam Cing San? mau apa
mereka mendatangi gunung Bu Ie San ini? Aneh, bukan?
"Saudara Bu Pa" kemudian ia bertanya. "Buat urusan
apakah saudara mencariku? nampaknya kalian mempunyai
urusan yang sangat penting......dapatkah saudara memberi
penjelasan kepadaku?"
Si nona mengawasi, agaknya dia tidak sabaran, lantas dia
membanting kaki.
"Kakak, kau bicaralah" desaknya "kakak" itu ialah suheng,
kakak seperguruan.


Bu Pa menggusai dirinya, supaya ia tidak jengah, tapi
ketika ia toh bicara, suaranya perlahan sekali, kartanya.
:"Kami mencari kau, sahabat she Tio, yaitu untuk memohon
kau membantu menyempurnakan perangkapan jodoh kami
berdua...."
It Hiong heran hingga dia bagaikan ditutupi halimun, suara
orang pun tidak lancar, ia heran bukan main. lantas ia
mendapatkan dugaan yang tidak-tidak, ia pikir: "Ah, ini juga
soal yang sulit,....Mungkinkah nona kaum sesat ini mencintai
aku?....", ia menerka demikian karena ia segera ingat lakonnya
Tan Hong dari pulau Ikan lodan hitam, Siauw Wan Goat dari
pulau naga melengkung, Ya Bie dari Ciang Lo Ciang. dan juga
terakhir. Tio Toan Cie si nona berbaju hjau dari gunung Hek
Sek San...."Ah!..."ia menghela napas masgul. maka ia ingat
kata-kata gurunya bahwa ia bakal terlibat soal asmara.
Hanya kali ini ia terkaannya keliru jauh sekali.
Sama sekali In Go tidak mencintai Tio It Hiong. dia hanya
menyukai kakak seperguruannya dan mereka berdua seluruh
seperguruannya sudah bersepakatan merangkap ikatan jodoh
mereka. hanya dalam hal itu, si nona mengajukkan suatu
syarat istimewa. syarat mana itu ialah:"Bu Pa harus
bertanding melawan It Hiong!
It Hiong tengah mencari orang, ia ingin mendapat pulang
pedangnya karena nya tak suka ia bercengkrama dengan
muda mudi itu, lantas ia memberi hormat pada Bu Pa dan
berkata "Saudara Bu Pa, kau telah keliru mencari orang!
memang aku bernama It Hiong tetapi aku bukanlah orang
jahat yang kalian cari. silakan kau cari Tio It Hiong dia itu
sejati, agar kalian dapat mencari dia maka persoalan dari


merangkapkan sempurna jodoh kalian ! nah, ijinkanlah lah aku
pergi!"
Dengan kata-katanya itu, tanpa terasa It Hiong
mengatakan dialah It Hiong palsu, habis itu, ia lantas memutar
tubuh dan bertindak pergi!
"Sahabat, tahan" Bu Pa berseru, memanggil. "Sahabat
dengar dahulu aku"
Begitu berkata, begitu si pria lompat menyusul. hanya
sebentar, ia sudah berada di depannya si anak muda kita, In
Go si wanitanya menyusul bersama.
"Sahabat she Tio, dengar dulu penjelasan kami," berkata si
nona itu. "Dapat bukan? kita toh baru saja bertemu dan
berkenalan! kenapakah tuan begini tergesa-gesa?"
It Hiong tidak puas, ia masih menyangka orang tergila-gila
padanya, walaupun demikian, ia masih juga memberi muka
pada muda mudi iotu, maka ia berhenti berjalan, ia
mengekang rasa jemunya.
"Silakan bicara nona" katanya.
Matanya si nona bersinar, lantas ia tertawa perlahan pada
anak muda kita,
"Barusan kakak Bu Pa bicara kurang jelas" katanya. "Kau
agaknya tak puas. sahabat she Tio! benarkah?"
"Seorang wanita kang ouw, dia dapat bebas bicara!" kata It
Hiong, "Maka itu, nona aku minta kau jangan bicara secara tak
langsung itu hanya membuang waktu!"


Si nona menoleh pada Bu Pa.
“Kakak kau bicaralah sekali lagi" kata dia pada kakak
seperguruannya itu. "Kau bicara terus terang, jangan seperti
lagak nenek-nenek! nanti aku tak mau mengerti!"
Bu Pa menggaruk-garuk kepala, sepasang matanya
memainkan, nampaknya dia ragu.
"Sahabat she Tio" katanya akhirnya: "Aku bersama adik
seperguruanku, kami telah berjanji akan mengikat jodoh.
untuk menikah nanti...." Sampai disitu, pria itu berhenti,
Mendengar demikian, sekarang mengertilah It Hiong,
bukannya In Go hendak merecokinya ia tetapi sebenarnya
mereka telah bertunangan, hanya tingagal soal syarat saja.
maka legalah hatinya.
“Kalian telah mengikat janji" katanya "Habis, apakah kalian
kehendaki lagi? coba kalian bicara biar jelas!"
"Ya, kaka bicaralah" In Go mendesak , dia membanting
kakinya. "Kenapa kakak pemaluan melebihkan orang
perempuan?"
Bu Pa terkejut, diapun malu, dia dikatakan melebihi wanita!
dia juga berkhawatir si nona mundur teratur....
"Begini tuan!" akhirnya ia berkata pada It Hong, suaranya
terang dan tegas "Kami sudah mengikat janji buat menikah,
tetapi dengan satu syarat, dan syarat itu ialah aku mesti
menempur dahulu pada Tio It Hiong, yaitu kau sendiri, tuan. ?
seperti telah aku sebutkan tadi. beginilah janji kami. kalau kau
suka mengalah barang satu jurus atau dua jurus, sahabat,
maka dapatlah kami menikah!"


It Hiong mengawsi muda mudi itu. ia heran dan juga
merasa lucu, itulah syarat aneh. sudah suka sama suka, sudah
setuju, habis buat apa syarat itu,? kenapa harus bertempur
dahulu? dan, kenapa justru ialah yang dicari buat diajak
bertempur? mana ada tempo ia melayani? ia sendiri
mempunyai urusan yang sangat penting! pedangnya harus
didapat kembali. agar nanti ia dapat menghadiri rapat umum
Bu Lim Cit Cun.
"Oh, kiranya demikian!" katanya kemudian sambil tertawa.
"Inilah janji pernikahan yang luar biasa istimewa! bagaimana
kalian dapat memikir untuk kalian menguji aku? saudarasaudara,
aku memberi selamat kepada kalian! semoga kalian
hidup rukun dan berbahagia! nah, maafkan aku!"
Begitu ucapan itu ditutup, begitu tubuhnya anak muda kita
menjelat sejauh satu tombak lebih, untuk terus berlari,
hingga didalam sekejap, ia sudah pergi belasan tombak!
Bu Pa dan In Go terperanjat akan tetapi mereka pun segera
berlari menyusul! keduanya memanggil manggil meminta si
anak muda berhenti berlari...
Tiga orang itu terus berlari-lari disepanjang tepi kali, cepat
larinya mereka, lantas juga mereka tiba disebuah tikungan.
diatas itu ada sebuah batu karang tinggi dan bayangannya itu
berpeta di jalanan, melihat itu, It Hiong memikir guna
menyembunyikan diri dibalik bebatuan itu, akan tetapi ia
mendapat kenyataan, ditengah jalan dimana terdapat
bayangan batu itu justru ada seorang lagi berdiri diam.
Ketika itu, rembulan baru saja muncul dan cahayanya
terang cemerlang, hingga orang itu nyata berpeta sebagai
bayangan hitam juga. It Hiong terkejut lantaran ia sedang


berlari keras, dikanan itu ada dinding batu gunung, dan kirinya
tepian kali, celaka kalau ia kena tubruk orang itu, sedangkan
jalanan disitu tidak cukupo buat dua orang jalan
berendeng....syukur ia telah dapat melihat orang dari sedikit
jauh, maka sempat ia melompat tinggi untuk melewatinya,
waktu ia tiba di depan orang itu sekali, mendadak telah terjadi
hal yang membuatnya terperanjat dan heran. orang itu
mendadak menghunus pedang dan dengan mengangkat
pedangnya itu dia menghadang!
Dalam keadan berbahaya itu, It Hiong dapat berlaku tabah
dan gesit, dengan satu loncatan Tangga Mega, ia melompat
terus melewatinya, sejauh dua tombak, baru ia turun, akan
menjejaki kaki ditanah, justru itu ia mendengar berisiknya
suara senjata-senjata beradu, maka ia lantas memasang mata
hingga ia menyaksikan bayangan-bayangan orang lagi
bertempur. It Hiong mendapatkan, itulah ujung tikungan,
disitu terlihat sebuah tempat terbuka. mungkin itulah belakang
bukit, itulah sebuah tanah yang penuh rumput dan pohon!
bunga hutan serta pohon-pohon kayu kecil, dari situlah
datangnya suara beradu itu, disitu pula ia menyaksikan
pedang-pedang berkelebatan berkilauan diantara terangnya si
putri malam.
Maka terlihat jelas, yang bertempur itu adalah dua orang,
dan yang satu besar, yang lain kecil, keduanya bergerak
dengan sangat gesit, orang yang besar itu memang unggul
dalam ilmu kegesitan, sebaliknya orang yang kecil itu pesat
sekali gerakan pedangnya, maka juga, mereka berdua jadi
imbang.
Diam-diam It Hiong memuji kedua orang itu, ia berdiri diam
menonton hingga ia lupa pada orang yang menghadang dan
yang menyusulnya! mereka itu tiba dengan cepat, In Go dan


Bu Pa seperti di belakangnya oleh seorang pria tua, yang
berdandan sebagai pelajar, yang mukanya sudah keriputan.
Pertempuran sangat menarik hati hingga It Hiong
menontonnya dengan asyik, tak dapat ia melihat jelas
wajahnya kedua orang itu, tetapi dari cara gerak -geriknya
mereka itu, ia menerka pada ilmu pedang Heng San Pay,
entahlah ilmu pedang orang yang kecil itu, yang sukar buat
lantas dikenali, ini pula yang menambah keasyikannya sebab
sebagai ahli ilmu pedang ia toh tak mudah mengenali ilmu
pedang orang...
Kiranya itulah ilmu pedang Koay Kiam, atau pedang kilat,
dari Tonghong Sie Kee--keluarga Tonghong, sebab yang lagi
bertempur itu, yang satu adalah Gak Hong Kun yaitu It Hiong
palsu, dan yang lainnya adalah TonghongLling, adiknya
Tonghong Kiauw Couw.
Malam itu ditanah datar gunung Hek Sek San, Tonghong
Kiauw Couw mendapat tau Gak Hong Kun menyusulnya,
ketika itu, si nona mengira Hong Kun adalah It Hiong, didalam
benaknya otaknya, masih berbayang tampang atau tubuhnya
Gak Hong Kun---yang ia sangka It Hiong adanya, bukankah
didalam penginapan Lap Kee, mereka berdua telah bermain
asmara-asmara? hanya itu ketika itu Kiauw Couw masih
merupakan Siauw Wan Goat, dan Siauw Wan Goat kemudian
menyesal, waktu ia mengetahui ia telah keliru, menyangka
Hong Kun sebagai It Hiong, hingga ia menjadi menyesal
berbareng penasaran, hanya peristiwa itu sukar ia lupakan,
hingga sekarang sebagai Kiauw Couw masih ada sisa
bayangan dalam ingatannya.
Nona Tonghong tahu, orang yang menyusulnya mungkin
bukannya Tio It Hiong tetapi karena pengaruh sisa ingatannya
itu, yang masih berbekas, ia mau memancingorang ke Bu Ie


San, guna nanti mencoba mendapatkan bukti kenyataan bagi
keragu-raguannya itu.
Demikianlah Tonghong Ling, si adik, dititahkan memancing
anak muda itu, agar orang tak kehilangan menguntitnya, dua
hari satu malam mereka telah lewati didalam perjalanan,
sampai mereka tiba ditempat terbuka itu, dan It Hong tiba
belakangan, hingga kesudahannya anak muda itu dapat
menyaksikan Tonghong Ling tengah melayani Hong Kun,
bedanya merekka tiba cuma kira dua jam.
Mulanya pertempuran diantara Tonghong Ling dan Gak
Hong Kun ialah, selagi Hong Kun masih mengejar, Kiauw
Couw berkata pada adiknya:"Adik, pergi kau turun tangan
lebih dahulu, akan menguji ilmu silatnya orang muda itu!"
Tonghong Ling girang menerima titah sang kakak, dia
memang paling gemar berkelahi. lantas dia berlari memapaki
Hong Kun, bahkan segera dia menegur dengan kaku "Eh,
sahabat, mau apa kau selalu mengikuti kami? apa bukannya
mau mengambil pedang tuan kecilmu ini?"
Selama dikaki gunung Hek Sek San, pernah Hong Kun
bertempur dengan bocah itu, ia ketahui baik kepandaiannya
orang, tetapi walaupun demikian, ia tidak memandang mata .
ia percaya seorang bocah tak akan lihainya luar biasa dan tak
dapat bertahan lama melawannya. maka itu, ia tidak
menggubris teguran oarang, ia lari terus ke arah nona
Tonghong!.
Tonghong Ling menjadi tidak puas, segera dia
menghadang.
"Tahan" teriaknya keren.


Bahwa sekarang Hong Kun mengawasi bocah itu.
"Kakakmu lagi menunggui aku?" katanya sengaja "Masih
kau tidak suka memberi jalan padaku! awas kalau nanti kau
pulang, kau bakal mendapat hajaran!"
Berkata begitu, si anak muda ini mengegos tubuh akan lari
melewati penghadangnya itu.
Tong Hong Ling mendongkol, ia melompat maju sambniil
terus menyerang punggung orang!
Hong Kun mengawasi Kiauw Couw, nampak mata airnya
telah meleler keluar, maka itu hampir punggungnya tertikam
pedang, disaat terakhir, dapat ia berkelit menyelamatkan diri,
hal ini membuatanya gusar, maka ia lantas menghunus
pedang mustikanya dan menebas sambil ia berseru: "Kau
sambutlah pedangku!....."
Hanya belum berhenti seruannya, tebasannya sudah
mengenai sasaran kosong, hingga ia menjadi heran! menurut
ia, mestinya berhasil....
Tonghong Ling berdiri di depan lawan, dia tertawa.
"Serangan pedangmu barusan terlalu lambat!" kata si
bocah, "lebih lambat daripada sang keong merayap naik
pohon! buat apa kau heran?"
Hong Kun mendongkol dan gusar sekali, "Kau terlalu,
saudara kecil" tegurnya, "Aku telah mengatakan, siapa tahu
kau jadi begini kurang ajar! awas, jangan kau nanti
mengatakan aku kejam!"
Tonghong Liang mengangkat mukanya.


"Tunggu dulu" kata dia kemudian, "Kiu Kiok Ceng Kee
digunung Ie Bu San ini menjadi kampung halamanku, maka
itu berada disini, kau mesti menyebutkan dahulu she dan
namamu serta apa perlunya kau datang kesini! itu barulah
pantas!"
Mendengar demikian, Hong Kun suka melayani.
“Aku yang rendah adalah Tio It Hiong." demikian jawabnya,
"aku datang kesini tanpa maksud sesuatu kecuali...karena aku
sangat mengagumi ilmu silat lihai dari nona!...." dia menunjuk
ke arah Kiauw Couw, yang lagi berdiri menonton. sebab si
nona mau mengetahui kesudahan ujian adiknya itu.
Sebenarnya Hong Kun mau mengatakan si nona cantik luar
biasa tetapi disaat terakhir ia merubah itu menjadi ilmu silat.
Sampai disitu barulah Kiauw Couw berbicara. "Tuan Tio"
sapanya, "Benar apa tidak yang kau kemari guna meminta
pulang pedangmu?"
Sebenarnya Hong Kun tidak tahu menahu urusan pedang
itu tetapi karena ia mengaku diri sebagai It Hiong, lantas saja
ia menjawab: "benar! benaar!"
Kiauw Couw tertawa pula--manisnya tertawanya.
"Kalau benar demikian. tuan harus pertunjuki dahulu
kepandaianmu menggunakan pedang!" katanya.
Kembali Hong Kun menjawab cepat: "Aku yang rendah
justru lagi memikirkan buat belajar kenal dengan ilmu silatmu
yang lihai, nona!"


"Tetapi sabar tuan, tunggu dahulu!" berkata nona itu, "Buat
menguji kepandaianmu, lebih dahulu kau mesti main-main
dengan adikku! kau melayanilah dia buat beberapa jurus!"
Hong Kun mendongkol akan tetapi dia berpura-pura
tersenyum. dia tertawa.
"Hanya aku khawatir yang aku tidak sanggup
mengendalikan pedangku!" katanya tembereng, "aku khawatir
yang aku nanti kena melukai adikmu itu! aku harap nona
tiidak bergurau..."
Nona Tonghong tertawa pula.
"Nada suaramu besar sekali tuan!" katanya"Apakah tuan
tak takut nanti dikatakan si katak dalam di tempurung ? kau
harus ketahui keluargaku, Tonghong Sie Kee, sangat terkenal
buat ilmu pedangnya yang disebut Koay Kiam! sudah
beberapa puluh tahun, nama tersohor itu bukannya nama
curian belaka! jika kau dapat mengalahkan adik nonamu ini,
barulah kau dapat dibilang orang kosen kelas satu!
mengertikah kau?"
Biarlah ia melukai si nona, bahkan tergila-gila tehadapnya,
Hong Kun toh mendongkol juga, kata-kata si nona terasa
sebagai hinaan besar terhadapanya, maka ia lantas memikir
menggunakan ilmu pedang Heng San Pay akan menundukkan
nona itu, lantas ia berkata:"baiklah aku menurut perintahmu,
nona! akan aku layani adikmu bersilat buat beberapa jurus!"
Tonghong Liang gusar mendenagar suara orang.
"Lidah dan mulutmu serampangan saja!" bentaknya. "Kau
terlalu lancang mulut, berhati-hatilah dengan batok kepalamu
kau lihat!"


Kata-kata itu ditutup dengan satu serangan dahsyat,
gerakan pedang memperdengarakan suara angin yang keras.
Hong Kun percaya akan ketangguhannya sendiri, ia
memikir akan melaewan keras dengan keras maka iapun
segera menggunakan tenaga dan pedangnya!
Bocah she Tonghong itu kecil tetapi cerdik, diapun tahu
tentang pedang lawan pedang mustika, maka tak sudi dia
membuat pedangnya beradu dengan pedang lawan. begitu
ditangkis, dia mengelit padanya, buat diteruskan dipakai
menyerang pula, hingga Hong Kun menjadi kedodoran dan
repot berkelit.
Demikian saja bergebrak, keduanya sudah lantas
bertempur seru, Koay Kiam benar-benar dapat bergerak
bagaikan kilat cepatnya, dar itu, sejenak itu, Hong Kun masih
menjadi pihak yang membela diri. dia berlaku waspada dan
gesit, agar dia tak sampai roboh ditangannya bocah itu, yang
mulanya ia pandang ringan.
Kuat penjagaan diri dari Hong Kun, memang Heng San Pay
tidak dapat dipandang ringan, ia pun lihai dan telah
berpelangalaman, tidak demikian dengan Tonghong Liang
yang masih terlalu muda, hingga dia galak karena bengisan,
pengalamannya belum ada serta latihan tenaga dalamnya
juga belum mencukupi. dia hanya berani dan gesit. dilain
pihak, Hiong kun menang senjata.
Perlahan-lahan pertempuran berlangsung dengan sengit,
hingga lantas mulai memasuki tahap mati atau hidup, sinar
pedang terus berkelebatan dan anginnya menyambarnyambar,
tubuhnya kedua orang muda itu bergerak dengan
sangat gesit dan lincah.


Adalah disaat itu, yang It Hiong dan Bu Pa tiba bersama In
Go hingga bersama-sama mereka menonton dengan asyik, tak
terkecuali si orang tua keriputan yang berdandan sebagai
pelajar itu, dia hanya berdiam seorang diri sebab dia tidak
berkawan.
Masih ada seorang lain, yang menonton dengan
perhatiannya tak berkurang, bahkan bertambah, dan dialah
nona Tonghong Kiauw couw, kakaknya Tonghong Liang, nona
ini memasang mata sebab yang lagi mengadu jiwa adalah
adiknya, hanya nona ini tidak tahu hal adanya orang tua
berkeriputan itu,
Selama pertempuran berlangsung, sang putri malam
bergeser terus hingga tahu-tahu dia telah berada ditengahtengah
langit, di atas semua orang yang lagi bertarung serta
menonton itu, mereka itu berdua tak menghiraukan rembulan
yang permai.
Lewat lagi sekian lama, Hong Kun mendapat kenyataan
lawannya, mulai bernapas memburu, maka giranglah ia, sebab
ia tahu yang orang sudah mulai letih, bocah itu kalah ulet,
maka ia lantas menanti ketika ada yang baik buat turun
tangan...
Tanpa menanti lama pula, Gak Hong Kun segera
menggunakan jurus silat "Hong Kun Sauw Hoat" badai
menyapu salju, ia mau mengandalkan pedangnya yang tajam
luar biasa. guna menguntungkan padang lawan, bahkan ia
ingin dapat menebas sekalian pinggangnya si bocah! pedang
Kie Koat tidak dapat ditangkis kecuali oleh sesama pedang
pusaka!,


Demikian pernyerangan pedang Hong Kun yang berbahaya
itu selekasnya ia memperoleh kesempatannya yang baik
sekali, maka diantara suara nyaring dari beradunya senjata
tajam dan berpeletakan , percikan api serta jeritan kaget "ayy"
yang keras, empat sosok tubuh manusia tampak mencelat!
Didalam waktu sejenak, maka berhentilah pertempuran
dahsyat itu.
Gak Hong Kun memperdengarkan suara "hm!" dingin,
pedangnya ia masukkan kedalam sarung, terus ia mengawasi
tajam pada pihak lawannya dan orang yang menyela diantara
ia dan lawannya itu, kemudian ia menghadapi Tonghong
Kiauw Couw nona yang berdiri di depannya, sambil bertanya :
"Apakah artinya perbuatanmu ini?"
Belum lagi nona Tonghong memeberikan jawabannya,
Tonghong Liang sudah mendahului dengan berkata: 'Kau
menggunakan padang mustika, dengan begitu barulah kau
berani memakai jurusmu barusan! apakah kau tidak malu?"
Hong Kun mengawasi tajam.
"Bocah harum. mulutmu hebat!!" katanya.sengit. "Nah,
marilah coba satu kali lagi !"
Mendengar suara orang itu, Kiauw Couw gusar.
"Mulutmu ringan sekali!" katanya. menegur, "Apakah
dengan kata-kata kasarmu ini kau tidak merobohkan sendiri
nama tersohor dari Tio It Hiong?"
Diantara empat sosok tubuh yang bergerak itu, yang ketiga
ialah tubuhnya Tio It Hiong, bahkan dialah yang mendahului
Nona Tonghong lompat maju kekalangan pertempuran, sebab


dia menggunakan pedangnya menangkis sampingnya pedang
Kie koat dari Gak Hong Kun, hingga Tonghong Liang bebas
dari ancaman maut, nona Tonghong berlompat maju setelah
It Hiong itu, kemudian It Hiong sendiri Mundur satu tindak
sedangkan si nona itu terus maju menghadapi Hong Kun,
demikian nona itu jadi berselisih mulut, dengan jago muda
dari Heng San Pay itu.
Sembilan puluh satu
Selekasnya It Hiong mendengar si nona itu menyebut
namanya, ia lantas berkata pada nona itu "Nona, aku cuma
membantu adikmu mengelakkan bahaya, tidak ada maksud
lainnya dari aku"
Tonghong Kiauw Couw melengak sedetik, lantas ia
mengawasi Hong Kun dan It Hiong bergantian, ia heran bukan
main. di depannya berdiri dua orang yang mirip saudara
kembar
"Apakah kalian berdua sama-sama bernama Tio It Hiong?"
tanganya, "Siapakah diantara kalian telah kehilangan
pedangnya?"
Hebat pertanyaan itu, yang telak dan tegas.
Tapi Hong Kun cerdik, dia lantas menjawab: "Siapa yang
kehilangan pedangnya soal? yang penting ialah mana buktinya
keterangannya? dan siapa Tio It Hiong yang sebenarnya ialah
lagi sekali -buktinya mana, buat apakah kau usilan sampai
begini?"


Jilid 60
Mendengar demikian, Kiauw Couw memperdengarkan
suaranya: "dalam hal itu, nonamu ada punya maksudnya
sendiri!"
Sampai disitu, It Hiong bicara pula, ia memberi horamat
pada si nona ketika ia menanya: "Nona, apakah she dan nama
nona yang mulia? dan Kiu Kiok Ceng Kee tempat apakah itu?
sudikah nona memberi keterangan padaku?"
Kiauw Couw balik menatap pemuda yang tampan itu,
sepasang alisnya yang lentik terbangun.
"Namaku Yang rendah ialah Tonghong Kiauw Couw,"
sahutnya halus, "dan Kiu Kiok Ceng Kee adalah kampung
haklamanku!"
It Hiong menggangguk.
"Nona, aku yang rendah dartang kemari guna memenuhi
undangan nona," katanya. "aku ingin belajar kenal dengan
ilmu pedang nona supaya dengan demikian dapat aku
meminta pulang pedangku!"
Belum sempat nona menjawab, Hong Kun sudah
mendahului. lebih dahulu dia tertawa dingin, untuk mengejek,
lalu katanya tajam:"Segala penipu! telah kau memalsukan she,
nama dan tampang wajahku, sekarang kau berani mendusta
di depan orang terhormat! di depan Tio It Hiong sejati!
sungguh tak tahu malu! Jika kau tahu diri, lekas
menggelinding pergi?"
It Hiong mengawasi pemuda itu yang ia tahu cerdik dan
licik, ia tidak sudi melayani, ia cuma ingat urusan meminta


pulang pedangnya, agar ia dapat lekas berangkat ke Bu San,
dilain pihak, sedikitnya ia terharu juga bagi pemuda itu yang
gagal memperoleh Giok Peng sebab Giok Peng justru
mencintai ia, maka ia merasa kasihan dan tak tega mendesak
orang sampai dipojok, siapa tahu, kelemahannya hatinya ini
digunakan oleh Hong Kun, hingga ia seperti kalah angin...
Tanpa menghiraukan orang, It Hiong berkata pula pada
Tonghong Kiauw Couw "nona, ketika pedangku lenyap di Khotiam
cu, aku menyangka itulah perbuatan seorang sesama
kaum kang-ouw yang menaruh harga padaku, yang telah
bergurau dan bermain main denganku, nona, tentang
bagaimana syaratnya supaya pedang dapat dikembalikan
padaku, asal yang aku sanggup, aku suka akan mengiringi
segala kehendakmu."
Nona Tonghong tertawa.
"Mengembalikan pedang?" katanya "Itulah sangat
sederhana! cukup asal kau memberi pelajaran beberapa jurus
ilmu pedang padaku, supaya mataku menjadi terbuka!"
It Hiong segera mundur dua tindak, terus ia memberi
hormat.
"Bagaiman kalau sekarang juga kita main-main beberapa
jurus nona" demikian ia tanya. "Silahkan nona mulai!"
Kata-katanya anak muda itu disusul dengan gerakan kedua
tangannya, tangan kirinya diturunkan, tangan kanannya
menghunus pedang dipunggungnya, menyusul itu, ia berdiri
tegak, akan menantikan si nona.
Kiauw Couw mengawasi gerak-gerik si anak muda, hatinya
tergerak bukan main. ia rada likat, ia merasa seperti telah


bertemu pula dengan kekasihnya dengan siapa ia telah
berpisah lama....tapi tak dapat ia berdiam lama-lama. maka
iapun maju, tangan kanannya di gagang pedang Keng Hong
Kiam, hanya, pedang itu tidak ia segera hunus.
Masih ada satu pertanyaanku"katanya perlahan,"Dapat atau
tidak aku ajukan itu?"
"Silakan nona!" sahut It Hiong lantas.
Tak puas Hong Kun menyaksikan tingkahnya si nona
terhadap It Hiong. ia menerka nona itu menyukai orang muda
di depannya. tanpa merasa, timbullah iri hati dan jelusnya, ia
menahan sabar, hingga ia mesti menggertak gigi. mendadak
timbul pikirannya jahatnya.
"Biar, aku tunggu sebentar!" demikian pikirnya itu. "Selagi
mereka bertempur, akan aku serang dia dengan senjata
rahasia, supaya si nona yang nanti bertanggung jawab?"
Sementara itu Tonghong Liang waspada, terus ia
memperhatikan gerak-geriknya Hong Kun. ia cerdas dan
curiga, diam-diam ia menggeser tubuh ke dekat orang yang
dicurigai itu. Hong Kun tidak menyangka apa-apa sebab
pikirannya tengah ditumpakan atas dirinya It Hiong dan Kiauw
Couw.
Ketika itu Kiauw Couw tertawa dan berkata pada anak
muda kita: "Menurut kau nama Tio It Hiong itu namamu dan
bukan nama palsu?" ia bicara manis dan mantap.
Mulanya melengak, akhirnaya It Hiong tersenyum.


"Kenapa nona begini prihatin pada nama Tio It Hiong?" ia
balik betanya :"Kenapa nona begini jelas untuk mengetahui
palsu dan tulennya?"
Pertanyaan itu membuat Kiauw Couw mendapat kepastian
bahwa Tio It Hiong ini adalah Tio It Hiong yang tulen, maka
timbullah kehendaknya mengembalikan pedang pada anak
muda kita. ia maju pula satu tindak, pedangnya segera di
hunus hingga terdengar suara menyeretnya serta tampak
sinarnya yang berkilauan.
"Nah, tolong kau memberikan beberapa petunjuk padaku!"
katanya, yang terus menggerakan pedangnya.
Tepat itu waktu sebuah sinar pedang meyambar ke arah It
Hiong dan Kiauw Couw, hingga muda mudi itu yang lagi
hendak bertempur, menjadi kaget sekali, hingga mereka
masing-masing mencelat mundur menyusul itu,
tampakaTonghing Lian sudah bergebrak pula dengan Hong
Kun. sebab barusan itu, Hong Kun telah membokong muda
mudi, ia demikian bernafsu akan percaya bahwa ia bakal
berhasil, sama sekali ia tidak menyangka, si bocah di sisinya
selalu mengawasinya, maka begitu ia menyerang, begitu
bocah itu melompat juga seraya menyampok padangnya!
Hingga beradulah senjata mereka, maka gagallah serangan
selap itu. Bahkan karena Tonghong Liang menyerang terus,
mereka jadi kembali bertarung!
Bukan main panas hatinya Hong Kun, orang telah
menggagalkan usahanya yang telah dipikir matang itu, maka
tanpa dapat mengekang diri lagi, ia menyerang bengis pada si
bocah.
Sementara itu, dengan wajaha merah. Tonghong Kiauw
Couw mengawasi It Hiong.


"Tuan Tio." katanya, manis, "Entah kenapa, aku seperti
pernah mengenalmu! Apakah tak mungkin yang dahulu hari
kita pernah bertemu satu pada lain?...."
It Hiong mengawasi, ia tidak kenal nona itu, tidak ada
bekas-bekas tampangnya Siauw Wan Goat pada wajah nona
itu, sebaliknya si nona, dia cuma mengingat samar-samar
sebab tenaga ingatannya telah diperlemah oleh pengaruh
obat-obat, jangan kata si anak muda kita, sebab sekalipun Gak
Hong Kun, dia pun tak dapat mengenali wanita yang dia
pernah ganggu....
Coba kedua anak muda ketahui bahwa Kiauw Couw adalah
Wan Goat, entah bagaimana perasaan mereka masing-masing
dan juga setahu bagaimana perasaanya nona andiakata ia
mendapat tahu, Hong Kun adalah orang yang pernah
mencemarkan kesuciannya......
Tio It Hiong mengawasi si nona, hatinya bekerja, sia-sia
belaka ia mengingat-ingat, ia merasa tak pernah mempunyai
kenalan nona she Tonghong, kemudian ia lalu menanya
:"Nona, apakah nona tidak keliru mengenali orang?"
"Apakah kau bukannya Tio It Hiong?" mendadak si Nona
tanya pula, “sebenarnya, kau siapakah?"
It Hiong mendelong. orang bukannya menjawab hanya
menegaskannya. ia menjadi merasa tidak enak hati. lantas ia
menghela napas, akan melegakan hatinya, setelah itu dapat ia
menentramkan diri.
"Begini saja nona," katanya, sabar, "Nama Tio It Hiong itu,
siapa saja di dalam dunia ini dapat memakainya! maka guna
mendapatkan kepastiannya, baik itu disaksikan pada


kepandaianya saja, pada prilakunya baik atau buruk! dari situ
nona nanti ketahui, siapa yang tulen siapa yang palsu? tidak
benarkah begitu?"
Nona Tonghong tidak mengatakannya lagi, ia pun tidak
menyerang pula buat mengadu kepandaian ilmu silat
pedangnya masing-masing, sebaliknya lantas mereka
menonton pertempuran diantara Tonghong Liang dan Gak
Hong Kun, si nona menyimpan pedangnya, dia mundur terus
dia mengawasi adiknya.
It Hiong mundur, ia merasa kecele. ia juga mesti menonton
saja.
"Tahan!"Tiba-tiba terdengar satu seruan mengguntur
sedangnya dua orang itu bertarung dengan hebat, menyusul
itu maka disitu muncul seorang laki-laki yang sikapnya kereng,
sebab diallah yang dikatakan mempunyai "kepala macan tutul
serta mata bundar gelang" dia berdiri tegak dengan sebatang
pedang dipunggungnya!
Tonghong Liang dan Gak Hong Kun terperanjat, mereka
heran, maka dengan sendirinya mereka berhenti saling
menyerang, sama-sama mereka mundur.
"Hari sudah lewat jauh malam," kata orang yang baru
datang itu, "sekarang sudah jam empat, apakah kalian masih
juga belum selesai berkelahi?"
Tonghong Liang mengawasi orang itu, dia tidak menjawab
hanya balik bertanya, "Apakah kau juga sudah gatal tangan?"
demikian tanyanya. "apakah kaupun ingin bertempur?
benarkah?"


"Tidak ada waktuhnya buat aku berkutat denganmu!"
sahutnya si orang bertubuh gagah itu. "Aku hanya ingin
mengadu kepandaian dengan Tio tayhiap, buat beberapa jurus
saja, supaya urusan besar kami segera dapat diselesaikan?"
Dengan "urusan besar" orang itu maksudkan urusan
perjodohannya, sebab ia bukan lain orang diaripada Bu Pa,
yang telah menyusul It Hiong itu bersama In Go dan berhasil
menyandak si anak muda, yang kepergiannya, atau kaburnya
itu, terhalang oleh pertempuran diantara Tonghong Liang dan
Hong Kun tadi.
It Hiong tak tenang hati melihat porang dapat
menyusulnya.
Juga Gak Hong Kun tidak puas, dia mengenali Bu Pa
sebagai muridnya Gwa To sin Mo dan dia khawatir orang nanti
juga mengganggunya. dia dalam usahanya mendapatkan
Kiauw couw, maka itu dia lantas berpikir, jalan apa dia harus
diambil supaya Bu Pa tidak sampai mengeroyoknya. dia
berpikir keras tidak lama, lantas dia mendapat sati jalan, maka
juga dia segera menghadapi Bu pa dan menanya dengan
keras: "Bu Pa, mari aku tanya kau!, kau hendak mencari aku
Tio It Hiong yang tulen atau yang palsu?"
Bu Pa suka menjawab.
"Aku mau mencari Tio It Hiong tayhiap sendiri! demikian
jawabnya.
Hong kun segera menunjuk pemuda kita.
"Itu Dia Tio It Hiong yang tulen! Nah, kau pergilah
membereskan urusanmu dengannya!"


Dibawah sinar rembulan, Bu Pa mengawsi Tio It Hiong,
kemudian ia mendekati Hong Kun, untuk menatap dengan
tajam.
Kemudian lagi. ia mengawasi mereka bergantian berapa
kali. ia melihat seorang muda yang sama potongan tubuhnya,
sama pakaiannya, terutama sama tampang mukanya. ia
menjadi heran dan bingung, toh ia merasa seperti
mengenalnya...
Gak Hong Kun tertawa lebar karena ia sudah menyaksikan
tingkahnya Bu Pa itu, yang bingung hingga nampaknya Tolol.
"Bagaimana, Eh?" tegurnya keras. "Bagaimana apakah kau
tak percaya perkataanku?"
Bu Pa membuka mata lebar, ia mengawsi tajam.
"Tuan kau siapakah?" ia menegaskan.
Hong Kun menjawab segera, dia berlaku berani mati.
"Aku adalah Tio It Hiong palsu?" demikian sahutnya keras.
Hebat si licik ini. dia menggunakan akal muslihatnya perang
syaraf. saking terdesak, dia mengambil sikap ini. tak malu dia
mengakui demikian. Dengan begitu dia hendak membuat
bimbang pikirannnya Kiauw Couw dan lainnya. orang dapat
menyangka pula mana It Hiong palsu dan mana It Hiong
tulen.
Segera setelah mendengar kata-kata Hong Kun itu,
Tonghong Kiauw maju mendekati, seperti Bu Pa, bergantian
mengawasi Hong Kun dan It Hiong, wajah mereka berdua
menandakan keraguan-raguan mereka.


Tengah orang bernagansan itu, tiba-tiba terdengar suara
saluran Toan Im Cip bit :
"Wajah Tio It Hiong sejati mana dapat lolos dari mataku si
orang tua? dua mahluk ini palsu dua-duanya!"
Semua orang menoleh, maka terlihatlah oleh mereka
semua siapa yang memperdengarkan suara itu, dialah si orang
tua berdandan sebagai pelajar, yang mukanya keriputan, yang
lagi berjalan mundar-mandir perlahan sambil kedua belah
tangannya digendongkan pada punggungnya, berulang kali
diapun menengadah ke langit, mengawasi rembulan yang
sudah tidak purnama lagi....
In Go dan Bu Pa telah melihat orang itu, yang tadi
mengintili Tio It Hiong, hanya mereka tidak menghiraukannya,
mereka berdua repor mikirin urusan mereka sendiri hingga tak
ada kecurigaaan sama sekali, siapa tahu sekarang mendadak
pelajar tua itu menyela diantara mereka dengan kata-katanya
yang membingungkan itu.
Semua orang lantas menerka, orang tua itu mesti orang
kang ouw tingkat atas tetapi tak ada yang mengenalnya.
Cuma It Hiong yang tertawa di dalam hati mendengar katakata
orang tua itu, ia menerka, dia orang tua juga orang yang
palsu, maka hendak ia mencoba membuka rahasia orang,
tinggallah ketika dia caranya.
Hong Kun turut bingung, ia tahu ia adalah Tio It Hiong
palsu, di depannya ada Tio It Hiong tulen. sekarang si tulen
dikatakan palsu oleh si orang tua, bagaimana? benarkah
perkataan orang tua?


Kalau benar, Saipa Tio It Hiong yang dianggapnya tulen ini?
dan. siapakah orangnya kecuali ia sendiri, yang
memalsukannya Tio It Hiong? apakah perlu, atau maksudnya,
orang tersebut menyamar menjadi si pemuda she Tio?
Tonghong Kiauw Couw baru saja mengambil keputusan,
mana It Hiong tulen dan It Hiong palsu, sampai ia mengingat
baik-baik dimana It Hiong berdiri, maka sekarang ia menjadi
heran di buatnya. benarkah kata-katanya orang itu? benarkah
It Hiong tulen inipun It Hiong palsu?
Bu Pa bercuriga selekasnya dia mendengar perkataan si
orang tua, hingga ia berpikir keras, akan tetapi dilain saat, ia
pun dapat menenangkan diri, ia pikir peduli apa It Hiong tulen
atau palsu, buat ia asal ia menempur It Hiong, habis perkara!
Tengah orang masih berdiam itu, kembali terdengar
suaranya si orang tua, yang tajam, agaknya diapun puas
sekali dengan hasil kata-katanya yang pertama tadi. kata dia"
separuh kata-kataku si orang tua jauh lebih menang daripada
pertempuran kalian setengah hari! Hm! Hm!"
In Go yang sekian lama berdiam diri saja, sampai disitu lalu
membuka mulutnya, ia toh ragu-ragu.
"Cianpwe," tanyanya pada si orang tua, "Kalau cianpwe
ketahui mereka itu adalah It Hiong palsu, sekarang sudikah
kau memberi tahu aku mana It Hiong yang tulen? Bukankah
Cianpwe ketahui itu dengan baik?"
Bu Pa telah memikir, maka itu, mendengar suaranya si
kekasih, lantas ia mencela:"Adik, jangan kau sembarang
percaya kata-kata orang! kau tahu sendiri didalam dunia kang
ouw terdapat banyak manusia licik yang suka mengoceh tidak
karuan.


Habis berkata, ia lantas maju ke depannya It Hiong, untuk
memberi hormat sambil berkata dengan perlahan:"Tayhiap,
aku harap kau sudi mengalah sedikit dengan beberapa
jurusmu, supaya perjodohanku dengan adik seperguruanaku
dapat disempurnakan! buat itu seumur hidupku akan aku
bersyukur sekali terhadapmu..."
Suaranya pemuda itu belum berhenti satu tubuh langsing
berlompat kepada ia dan It Hiong dan orang itu lantas
berkata:"Kakak, apakah yang kau bicarakan dengan Tio
tayhiap? kenapa kau membisik ?apakah kau memintah Tio
tayhiap suka berpura guna memperdaya aku? awas, akan aku
tak mau mengerti!"
Memang, itulah In Go, yang mencurigai pacarnya itu, maka
juga dia lantas menegur.
"Aku tidak mengatakan apa-apa adik!" berkata Bu Pa.
terpaasa ia mesti menyangkal kalau ia tak sudi adik
seperguruannya itu rewel terus, "jangan kau menerka yang
tidak-tidak....."
It Hiong berdiam saja, ia sebal berbareng merasa jenaka
melihat tingkahnya sepasang muda mudi itu. yang lakon
jodohnya unik sekali.
In Go tidak mudah mempercayai kakak seperguruannya itu,
berulang kali ia masih mengatakannya :"aku tidak mengerti!
aku tidak mengerti!"
Sebenarnaya It Hiong sudah memikir, maka ia menegaskan
pada Bu Pa, agar itu berdua dapat menikah, akan tetapi
melihat tingkahnya si nona, yang manja itu, ia lantas berpikir


lain. diam-diam ia meninggalkan mereka itu, akan mendekati
nona Tonghong.
"Nona" sapanya sabar, "Jika sudah tidak ada urusan lainnya
lagi, aku mohon sudilah kau menyerahkan pedangku..."
Sepasang alis lentik dari Kiauw Couw terbangun, ia
menatap tajam wajahnya si anak muda.
"Apa tanyanya. "Kau menghendaki pedangmu? oh. tak
semudah itu"
"Bagaimana caranya aku harus memintanya, nona?"
tanyanya It Hiong. "Coba kau tolong tunjuki!"
Selagi berbicara itu, ke empat buah mata beradu sinarnya
satu dengan yang lain. Dua--dua pihak saling tertarik lebihlebih
si nona, It Hiong melihat raut muka yang cantik manis
serta mata yang jeli. si nona melihat muka orang yang tampan
dan mata yang tajam.
"Sebetulnya, pedang ini adalah pedangnya Tio It Hiong"
kemudian si nona berkata perlahan, kalau pedang diserahkan
pada Tio It Hiong itulah sudah sepantasnya....."
It Hiong mengangguk.
"Pandangan nona tepat," bilangnya.
Nona itu menghela napas perlahan.
"Hanya....ah!" katanya, tertahan. "Sekarang ada
kesukarannya, yaitu kesukaran mencari Tio It Hiong yang
benar-benar Tio It Hiong !"


Alisnya It Hiong terbangun, lalu rapat satu pada lain.
"Kalau begitu, nona, nyatanya kau percaya aku!" katanya,
ia menyesal tetapi ia bersikap tenang.
Kiauw Couw tersenyum, terus ia menggeleng kepala.
"Bukannya begitu tuan," kata ia. "Tuan. maukah tuan
memperlihatkan sesuatu bukti padaku?"
It Hiong tidak lantas menjawab, ia mesti berpikir.
"Nona, bukti apakah yang kau minta?" tanyanya kemudian.
"Bukti manusia! atau bukti barang!" sahutnya si nona, terus
terang dan tegas, toh ia mengawasi si anak muda, nampaknya
ia berkasihan...
Si anak muda menghela napas perlahan.
"Apa kau tak khawatir nanti mempersulit orang, nona?"
tanyanya. "Sekarang ini, ditempat seperti ini, mana dapat aku
mencari bukti untuk diajukan kepdamu? disini dimana aku
mesti mencari saksi?"
"Kalau saksi tidak ada, bukti barangpun boleh!" kata si
nona, yang memperlunak syaratnya.
It Hiong merasa sukar sekali, akan tetapi aneh, terhadap
nona, tak sedikit juga ia merasa gusar atau kurang senang. ia
justru berpikir. ia menganggap si nona lucu! pula sungguh
aneh ia yang mau meminta pulang pedangnya, ia justru mesti
memperlihatkan bukti atau menonjolkan saksi!


Kemudian ia berkata, sungguh-sungguh:"Nona, aku tengah
merantau, maka juga tak ada persiapanku mengadakan
barang bukti atau saksi. oleh karena itu, sekarang aku cuma
dapat menyebutkan diriku sebagai pualam asli, aku ingin kau
dapat mengandalkan ketajaman matamu sendiri akan melihat
aku palsu atau bukan!"
“Mau tidak mau, nona Tonghong mengangguk. pemuda itu
bicara benar.
"Tetapi tuan" katanya "Apakah pada tubuhmu benar-benar
tidak ada ssuatu barang yang dijadikan bukti untuk dirimu?"
"Ada, itulah pedang Keng Hong Kiam." sahutnya It Hiong,
"Namun...."
"Itulah tak usah disebutkan lagi!" menjelaskan si nona.
"Pedang itu telah berada ditangan nonamu!"
Tiba-tiba It Hiong tersadar.
"Ada, ada bukti sekarang!" katanya lantas.
"Apakah itu?" tanya si nona, ccepat. dia agak terkejut,
"Bukti apakah itu? mari aku lihat!"
It Hiong tenang pula.
"Itulah bukan bukti barang" sahutnya sabar."Aku
maksudkan ilmu silat, yaitu pelajaran yang aku peroileh dari
rumah perguruanku, seperti ilmu pedang Khie-Bun-patkwa
Kiam, ilmu tenaga dalam Hian Bun Sia Thian Khie-kang, dan
ilmu meringankan tubuh Te Ciong sut. ,masih ada satu lagi
yaitu ilmu tenaga dahsyat Hong Liong Hok Houw Ciang


ajarannya ayah angkatku, Sin Ciu Cui Kiu. apakah semua bukti
itu masih belum cukup?"
Menyebut perbagai macam ilmunya itu, It Hiong puas. ia
percaya si nona bakal menerimanya dengan baik, dan
pedangnya bakal segera kembalikan.
Akan tetapi nona Tonghong menggeleng kepala perlahanlahan,
hingga tusuk kundianya yang berupa burung-burungan
pionix emas, turut bergoyang-goyang juga. meski demikian,
airmukanya tenang, bahkan ayu dan mendatangkan kesan
baik bagi siapa yang melihatnya. kemudian ia berkata dengan
sabar:"Semuanya itu cukup, akan tetapi janganlah
mengatakan nonamu licik serta mau mempersulitmu,
sebenarnya sukar buat aku menaruh kepercayaan
sepenuhnya. semua kepadiaan perguruanmu itu mana dapat
dijadikan bukti bagiku?...."
It Hiong mengaswasi.
Si nona segera menambahkan: "Memang kepandaian tuan
itu sebenarnya dapat juga dijadikan bukti, hanya sayang...."
It Hiong tetap mengawasi. ingin ia ketahui, ada keberatan
apa lagi dari si nona
Kiauw couw mengasi lihat tampang sayup-sayup, ia puas
mengawasi si anak muda. lalu katanya pula:"Sayang bahwa
pengalamanku masih kurang sekaai, mengenai ilmu silat
perbagai partai, pengetahuanku masih sangat terbatas, jangan
kata tenaga dalam Hian bun sian Thia Khie kang yang sukar
dibedakna, sekalipun ilmu pedang Khie Bun ptkwa kiam,
belum pernah aku melihatnya. bukankah sia-sia belaka
andiakata kau pertunjukkan semua itu di depanku? ...."


It Hiong bungkam, inilah ia tidak sangka. ia menatap si
nona dengan mata mendelong, ia harus memikirkan bukti
lainnya.
Tonghong Kiauw Couw berkata pula, memberikan
penjelasannya, selalu ia bicara dengan sabar dan halus,
katanya: "Keng Hong Kiam adalah pedang mustika dan
terutama pedang yang membuatnya namanya Tayhipa Tio It
Hiong menggetarakan sungai telaga. maka pedang itu harus
dihargai. baik aku jelaskan bahwa aku mencuri pedang itu
melulu dikarenakan aku ingin dapat berjumpa dengan kau
sendiri, tuan, supaya kita dapat membandingkan ilmu pedang
kita berdua. oleh karena itu, untuk membayar pulang pedang
itu, harus aku memperoleh bukti yang mengesankan. agar
hatiku lega, maka itu, dalam hal ini. aku minta tuan suka
apalah memaklumi aku...."
It Hong mengangkat kepalahnya.
"aku dapat memaklumi kau nona," bilangnya.
Kiauw Couw tersenyum.
"Kau lihat sendiri, tuan, sekarang telah muncul dua Tio It
Hiong" katanya pula
“Bagaimana....." mendadak ia tertawa hingg ia mesti lekas
mengeluarkan sapu tangannya untuk memebekap mulutnya
yang mungil.
It Hiong tetap bungkam, ia cuma mengawasi,
"Sekarang ada lagi yang aneh!" kata lagi si nona. "sekarang
ada orang yang mencari Tio It Hiong guna mengadu
kepandaian ilmu pedang! bagaimana? karena adanya dua Tio


It Hiong, maka tak tahulah aku, siapa pemilik yang
sebenarnya dari pedang itu..."
It Hiong tidak menjawab, cuma sebentar, matanya tampak
bersinar, kemudian menghela napas.
"Sekarang kita bicara dari hal suara saluran Toan Im Cip Bit
barusan." berkata pula Tonghong Kiauw Couw. "itulah suara
dari seorang cianpwe. dia mengatakan yang kalian kedua Tio
It Hiong, dua duanya palsu! ah, bagaiman itu ? memang tak
dapat kata-kata itu lantas dipercaya habis , akan tetapi katakata
itu pula telah menggoyah kepercayaanku atas dirimu,
tuan! mana dapat aku menyerahkan pedang pada pemiliknya
yang belum dipastikan?"
It Hiong bingung. ia mengerti si nona, tetapi ia merasa
sulit. ia cuma menghendaki pedangnya. ia tidak dapat
memikirkan alasan lain, walaupun ia memakluminya.
"Aku mengerti, nona," katanya kemudian.
"Sekarang coba jelaskan, apa lagi kehendakmu supaya
urusan kita dapat segera diselesaikan?"
Nona Tonghong mengawasi si pemuda tampan.
"Bagaimana kalau kita mengambil kepastian dengan jalan
mencoba-coba ilmu pedang kita" demikian tanyanya, "Dengan
demikian pertama akan tercapai maksud keinginanku semula
dan kedua aku jadi akan mendapat tambahan pengetahuan
yang berharga. demikian begini akan tenanglah hatiku,
bagaimana kau pikir?"
It Hiong kewalahan, pergi pulang, soal tetap harus
diselesaikan dengan satu pertandingan ilmu silat pedang!


itulah justru yang ia buat keberatan! tapi sekarang! apa boleh
buat! tidak ada jalan lain...
"Jika begitu nona,"katanya akhirnya, terpaksa, silahkan
nona mulai memberikan pengajarannya padaku..." ia pun
segera menghunus padangnya, untuk bersiap menangkis
penyerangan,
"Baik"menyambut si nona, "lihatlah!"
Menyusul bergeraknya bahu kanannya, si nona sudah
lantas menghunus Keng Hong Kiam dengan apa ia segera
menyerang dengan jurus "Tit To Oey Liong" langsung
menyerbu istana naga kuning.
Dengan jurus "Peng Se Seng Lui"--guntur ditanah datar---
mendadak serangannya itu tersampok keras hingga kedua
pedang bentrok, menyebabkan letupannya bagaikan kembang
api.
Kiauw Couw heran, sebab ia ketahui pedang lawan adalah
pedang mustika, tetapi ia lebih heran pula ketika ia melihat
bahwa penentangnya itu justru Tio It Hiong yang satunya lagi!
ia sudah lantas mundur sambil mengawasi tajam pada
pemuda itu.
Hong Kun berdiri diantara kedua muda mudi itu, memang
dialah yang barusan menangkis pedangnya si nona, lantas ia
mengawasi bergantian kepada muda mudi itu. Nona
Tonghong menjadi tidak puas.
“Mau apakah kau?" tegurnya, “Kenapa kau tidak mematuhi
aturan pertempuran kaum rimba persilatan? apakah kau
memangnya mau mengacau?"


"Kau bertindak putar balik, nona!" sahutnya Hong Kun
dingin. "Kau bertindak tidak adil kenapa kau masih menegur
aku?"
Nona itu mengawasi tajam.
"Tidak adil bagaimana?" tanyanya. "Coba jelaskan.”
Dengan pedangnya, Hong Kun menuding It Hiong.
"Apakah nona merasa pasti dialah Tio It Hiong tulen?"
tanyanya.
Kiauw Couw diam. telak pertanyaan mengenainya, yang
lagi ragu-ragu.
Hong Kun menerka keraguan-raguan si nona, dia puas, tapi
dia bertindak terus kata dia pula: "Kalau nona sudah merasa
pasti, tidak ada halangannya nona menyerahkan pulang
pedang Keng Hong Kiam pada nya. buat apa kau mengadu
pedang segala! kalau sebaliknya, baik nona meminta dia
segera menggelinding pergi dari gunung ini! buat apa
membuang bunag waktu saja"
Kiauw Couw membuka lebar-lebar matanya.
"Dalam hal ini mataku tidak cukup tajam akan menembusi
wajah orang," katanya, "Karena itu tak dapat aku
memutuskan dia si tulen atau si palsu! karena itu juga tidak
ada jalan lain jalan dari pada mengadu pedang..."
Hong Kun senang menerima jawaban itu.


"Aku pun orang yang datang buat meminta pedangku,"
katanya pula, "Bagaimana nona pikir tentang diriku? bukankah
nona juga masih menyangsikannya?"
Kiauw Couw bingung, dia kerena diajak bicara, dia
mengangguk.
"Ya" sahutnya
Hong Kun melengak, lalu tertawa.
"Nah inilah yang kukatakan nona tidak adil!" bilangnya.
Nona Tonghong heran hingga ia melengak. ia merapikan
rambutnya didahinya.
"Kalau bicara, bicaralah biar terang!" tegurnya. "Kenapa
kau bicara setengah-tengah kenapa mesti berputar-putar?"
Kembali si pemuda girang, ia percaya si nona telah kena
dipengaruhinya,
"Nona" katanya, "Bukankah syaratmu mengadu pedang,
mulanya kau mengajukan dahulu adikmu dan kalau adikmu
mengalah barulah kau sendiri yang turun tangan? sahabat itu
mau meminta pulang pedangnya, bukankah dia pun harus
mentaati syarat itu?"
Nampak si nona menyesal.
"Oh!" serunya, tertahan, "Kiranya kau bicara panjang lebar
ini cuma buat urusan itu!"
Hong Kun memperlihatkan roman jumawa.


"Nah, nona!" serunya. "Itu dianya" barusan aku meladeni
adikmu, syukur dia suka mengalah, maka itu menurut
bunyinya syarat sekarang nona harus bertanding denganku!"
"Gila!" si nona mencela. "Bagaimana kau dapat
mengatakan begini? bukankah kau sendiri tadi mengakui
bahwa kaulah Tio It Hiong palsu? apakah katamu sekarang?
kau mengaku tanpa dipaksa!"
Hong Kun bungkam. itulah sanggapan diluar dugaanya, ia
lupa yang tadi ia telah mengatakan, demikain. tapi ia berani
mati dan cerdik, hanya sejenak, ia lantas tertawa dan berkata:
"Bagaimana dengan sahabat itu? apakah dia dapat
memberikan bukti? habis, apakah dia bukannya si palsu?"
Kiauw Couw habis sabar.
"Kau lihat saja!" serunya. "Tuan ini akan bertanding dengan
adikku!" dan ia menggapainya saudaranya.
Tonghong Liang lompat menghampiri ia berpaling senang
kalau kakaknya menitahkannya ia bertempur, ia memang tidak
kenal takut, ia pula menyangka bakal disuruh bertanding
dengan Hong Kun, ia berbuat membals kegagalannya tadi....
"Kali ini kau berhati-hatilah" demikian ia berkata pada
Hiong kun yang ia tuding sekali, "Tuan kecilmu tidak mau
sudah jiklau diantara kita belum ada keputusannaya.
Hong Kun mememperlihatkan sikap tak memandang mata,
"Apakah kau masih tidak mau mengaku kalah" tanyanya,
"Bertempur dengan kau bocah, memang juga tidak ada
artinya!"


Mendadak darahnya si kacung meluap, mendadak ia
menghunus pedangnya dan menikam!
Hong Kun melihat serangan, ia tidak menangkis hanya
mencelat mundur,
“Tahan!" Kiauw Couw berseru.
"Tonghong Liang tidak menyusul lawannya, ia bahkan
menyimpan pedangnya ke dalam sarungnya.
Selama itu It Hiong berdiam diri saja menonton tingkahnya
Gak Hong Kun, tapi ia melihat kelicikannya pemuda she Gak
itu, ia lantas mencari keletakan tempat yang menguntungkan
baginya, katannya, ia terus menggeser tubuh, untuk terus
berkata pada nona Tonghong: "Baik, nona, akan aku
menerima baik syaratnya itu, nona, suka aku melayani adikmu
bertempur buat beberapa jurus...."
Kiauw Couw girang, dia mengangguk. "Baiklah" sahutnya.
lantas ia menepuk bahunya Tonghong Liang, yang berdiri
disisnya, seraya berkata:"Adik, pergi kau melajyani tuan itu
buat beebrapa jurus!"
Diluar sangkahnya si nona, adiknya itu menggeleng-geleng
kepala.
"Kenapa?" tanyanya heran. "Apakah akau letih"
"Aku menyerah kalah!" sahutnya adik itu, lebih diluar
dugaan.
Kiauw Couw mendelong mengawasi adiknya itu.


"Kau kenapa adik?" tanyanya pula. "Kau letih atau terluka
didalam?"
Si adik balik menatap, matanya dipentang lebar. dia
menjawab gagah: "Sekarang tanganku masih gatal! aku letih?
mana mungkin ? mustahil aku akan mendatangkan malu? aku
hanya tidak mau kena terperangkap akal muslihatnya dia itu!"
ia menuding Hong Kun.
Mendengar itu, It Hiong, Kiauw Couw dan Hong Kun
kagum, lebih-lebih Hong Kun sendiri. kacung itu sangat cerdik.
karenanya, ia pun kecele, sebab gagal maksudnya mengadu It
Hiong dengan si bocah !
Maksudnya Hong Kun mengadu domba It Hong ialah guna
mempersulit pemuda itu saingannya itu dalam lakon asmara.
kalau It Hiong kalah dari Tonghong Liang, sekarang dia tak
akan menempur si nona, biar bagaimana, Tonghong Liang
lihai, tak mudahh ia kalahkan. kalau It Hiong kalah, dia pasti
mendapat malu dan mengundurkan diri atau bersembunyi .
seri juga tak ada kemungkinannya. Dan, kalau dia menang,
dia sebenarnya sungkan melayani nona Tonghong..."
Justru anak muda kita bingung, justru Tonghong Liang
menunjuki kecerdasannya. dia menampik bertanding
dengannya! Bukan main menyesalnya Hong Kun, dia mendelu
sekali terhadap si bocah, pada wajahnya tampak kedongkolan
itu.
Tonghong Kiauw Couw tidak memaksa adiknya. maka ia
berkata pada Hong Kun: "Adikku sudah menyerah kalah, apa
katamu sekarang, sahabat?"
Hong Kun licik sekali. dia tersenyum.


"Nona," katanya, "Apakah nona tidak khawatir yang adikmu
ini membuat runtuh nama Tonghong Sie Kee yang tersohor
itu?"
Nona itu jemu. tak sudi ia melayani orang bicara lebih lama
lagi. maka ia lantas berpaling pada It Hiong.
"Bagaimana tuan?" tanyanya, "Maukah kau menjalankan
beberapa jurus terhadapku?"
It Hiong tidak melihat jalan lain.
"Dengan segala senang hati, nona!" sahutnya. Bahkan ia
segera menghunus pedangnya.
Tiba-tiba dua sosok tubuh maju kepada mereka berdua.
"Tuan tio, tunggu dahulu!" terdengar satu diantaranya
berseru.
Kiranya itulah Bu Pa serta In Go, dua saudara seperguruan
yang aneh itu.
Terpaksa It Hiong menunda pertandingannya.
"Kau mau apa lagi?" tyanynya.
Bu Pa memberi hormat, dia menjawab:"Dengan banyak
susah akhirnya dapat juga menunjuki adik seperguruanku agar
dia suka menerima baik bahwa kau, tuan adalah tayhiap Tio It
Hiong! itulah pula berarti untung bagus kami!"
It Hiong tersenyum, dia merasa lucu.


Justru itu. In Go berkata:"Tuan, kalau sebentar kau
mengadu kepandaian dengan kakakku ini. aku melarang kau
menggunakan akal! aku tak sudi yang kau berpura kalah!"
It Hiong menatap si nona, ia heran sekali, melihat lagak
orang itu, ia jadi tak berkeinginan bicara dengannya.
"Jangan kau khawatir adikku" berkata Bu Pa selagi si anak
muda berdiam saja. " Tak nanti tayhiap Tio It Hiong yang
namanya termasyur berbuat demikian....."
"Cis!" si adik seperguruan meludah, mencela. kemudian ia
mengawasi It Hiong dan berkata pada pemuda itu :"Sahabat
she Tio. kau menerima baik, bukan, akan melayani adikku
ini?"
Bu Pa pun menjelas selagi It Hiong belum menjwab, kata
dia:"Tayhiap, terima! terimalah!"
In Go b, meludah pula pada kekasihnya itu.
"Aku tak suka kau turut bicara!" bentaknya,
Bu Pa lantas diam. ia mengawasi saja pada It Hiong,
nampak ia sangat bingung.
Tonghong Kiauw Couw mengawasi muda mudi itu. ia
menganggap mereka itu jenaka. lantas ia menyimpan
pedangnya sembari tertawa, ia berkata pada It Hiong:"Tuan
Tio, kau terima baiklah permintaan nya nona ini!"
It Hiong suka menerima baik permintaanya Kiauw Couw.
"Nona, kau menghendaki apakah?" tanyanya pada In Go.


"Kau harus bersumpah bahwa kau tak nanti berpura-pura
kalah!" demikian jawabnya kemudian, singkat dan getas.
Itulah permintaannya yang sederhana akan tetapi hebat
artinya, It Hiong justru seorang jujur dan paling menghargai
janji. ingin ia menyempurnakan jodohnya muda-mudi itu akan
tetapi bagaimana habis bersumpah, mana dapat ia melanggar
sumpahnya ia sendiri? Bu Pa murid pandai dari Gwa To sin Mo
dan Hong Kun jeri melawannya, kalau tidak mengalah
berpura-pura? kalau ia melawan menang, pasti gagallah
jodohnya mereka itu...
Maka itu aneh keinginan In Go ini. dia mencintai Bu Pa
tetapi toh dia mempersulitnya!
"Nona" kemudian kata si anak muda, "Akan aku terima
permintaanmu ini tetapi buat apakah aku mesti mengangkat
sumpah "katanya.
In Go nampak likat waktu ia menjawab: "Pernikahan,
adalah urusan besar mana dapat itu dilaksanakan dengan cara
sembrono? oleh karena itu aku minta, sahabat Tio, tolonglah
kau tak menganggap remeh!"
Bu Pa berda di sisi mereka. dia tertawa.
"Seorang lelaki sejati, apakah halangannya buatnya
mengatakan sepatah dua sumpah?" katanya. "tayhiap, kau
bersumpahlah, buat menenangkan hatinya adikku ini!"
Hong Kun melihat dan mendengar saja, sampai disitu dia
campur bicara,.
"Benar! tidak berani bersumpah berarti hendak berlaku
palsu!" demikian katanya. Guna mengejek It Hiong. "Didalam


dunia ini, orang yang menipu perempuan, didalam sepuluh
orang, delapan atau sembilannya adalah orang laki-laki! jodoh
atau pernikahan memang bukan permainan anak-anak, maka
itu, nona. pantaslah kalau kau berlaku hati-hati!"
Kata-kata Hong Kun penghabisan itu ditujukan kepada In
Go, guna membikin panas hatinya si nona. dia pernah
menggilai nona itu tetapi dia gagal. inilah sebabnya kenapa
dia telah mengeluarkan kata-katanya yang berbisa itu! dia
mengipasi api yang sedang berkobar itu!
Semua orang menoleh mengawasi orang si she Gak. semua
bersinar jemu. melihat demikian , mau tidak mau, Hong Kun
jengah sendiri. ia tidak menyangka yang orang semua tidak
menyukainya.
Tonghong Liang tidak sabaran, dia masih muda dan belum
tahu banyak soal asmara, maka itu seperti juga orang lagi
menggerutu, dia berkata seorang diri :"Kalau seorang wanita
mau menikah, menikahlah! buat apa menciptakan segala
aneka warna ini? Hm!....."
In Go berpaling dengan cepat.
"Eh, saudara kecil, apakah katamu?" tanyanya. dia
mendengar tetapi tidak jelas.
Tonghong Liang mengangkat kepalanya menghadapi nona
itu.
"Aku menyuruh kakak she Tio ini jangan bersumpah dan
juga jangan turun tangan!" sahutnya dengan nyaring, "Biarlah
kau, budak. menjadi budak tua. supaya seumur hidupmu kau
tidak menikah!"


Mendengar jabawan, yang bernada lucu itu, semua orang
tertawa.
In Go menjadi malu dan gusar karenanya.
"Kurang ajar!" teriaknya. "Kau masih berusia muda tetapi
kenapa kau dapat bicara begini rupa?"
Tonghong Liangpun tidak puas tetapi dia tidak menjadi
marah. dia hanya berkata :"Kau tunggulah, lewatnya beberapa
tahun pula. lantas kau boleh tanya dirimu sendiri, pria mana
yang sudi menikah denganmu yang pasti telah menjadi
bertambah tua! sekarang ini ada orang yang penujui dan mau
menikah denganmu. kenapa kau banyak tingkah seperti ini?
sungguh, aku sangat berkhawatir buat hari kemudianmu
nanti!..."
In Go gusar sekal;i.
"Jika kembali kau banyak bacot. nonamu akan menghajar
padamu!" teriaknya.
"Tetapi benar katanya-katanya saudara kecil ini. nona,"
berkata It Hiong, "Baiklah nona suka memikirkannya dengan
hati yang tenang..."
In Go tak bergusar tadi. ia cuma mengawasi bengis pada si
bocah.
"Kata-kataku tidak dapat berubah!" sahutnya pada si anak
muda kita, "Sabahat she Tio. jika kau berniat membantu
akakak seperguruanku itu, supaya maksudnya tercapai, nah.
kau bersumpahlah!"
Hebat nona ini, dia hanya menyebut Bu Pa Seorang.


Mendengar demikian, Tonghong Liang tidak dapat
menahan sabar.
"Hm," ia perdengarkan pula suara dinginnya, Eh, saudara
Tio!" ia menambahkan pada It Hiong, "Kalau nanti perempuan
ini menjadi seorang nenek-nenek, apa sangkut pautnya
dengan dia? apa perlu nya kau memberi nasihat begini rupa
padanya?"
"Fui!" In Go meludah. "Inilah urusanku bocah, apakah
sangkut pautnya urusanku denganmu? buat apa kau usil
urusanku?"
Tonghong Liang berkata pula: :Dengan meniru lagak si
nona. kata ia dengan lagu suara seperti sedang menghapalkan
buku bacaan: "Bagaikan bunga adalah manisnya sebuah
rumah tangga, bagaikan air yang mengalir tenang atau sang
waktu yang lewat dengan tenteram, berduka kalau hari sudah
larut, seperti musim semi yang indah telah berlalu, "Nah itu
waktu, kau rasailah nanti!"
In Go menyabarkan diri. maka dengan memonyongkan
muka ke si kacung, dia berakta:"Oh, orang dengan lidah
busuk, yang kata-katanya jahat, kau lihatlah nanti kapan telah
tiba saat berputaranya roda di dalam neraka! itu wakrtu kau
boleh rasai bagaimana lidahmu ditarik keluar!"
Bu Pa menjadi bingung. lekas-lekas ia memberi hormat
pada semua orang.
"Para hadirin, maaf," katanya, "Aku minta kalian sukalah
memberi muka padaku dengan kalian mengurangi pembicaran
kalian..." terus ia maju dua tindak pada It Hiong, buat
menjura dan berkata:


"Tolong Tayhiap menyempurnakan kami berdua! aku minta
sukalah tayhiap memberikan sumpahnya."
It Hiong bingung akan tetapi belum sempat ia mengusai
dengan pikirannya tahu-tahu Hong Kun mencela pula. Si
dengki itu berkata "Siapa tidak mempunyai kepandaian, dia
memang banyak lagak dan akalnya! apakah susahnya
bersumpah terhadap seorang wanita? bukankah itu mudah
seperti seorang mencaplok barang makanan saja? saudara Bu
Pa sendianya kau minta bantuanku, selaksa kali bersumpah
pun segera akan aku habis mengucapnya dalam waktu
sekelebatan!"
Pemuda itu bicara seenaknya saja, tanpa merasa ia telah
membuat merosot kehormatan atau derajat dirinya sendiri,
mungkinkah oarng bersumpah semudah itu?
It Hiong melirik, mau ia membuka mulutnya atau ia batal.
Hong Kun melihat sikap orang, dia tertawa berkakakan,
Tonghong Liang telah berpikir, maka juga sembari
tersenyum, ia berkata pada muridnya Gwa To Sin Mo
:"Saudara Bu Pa! baiklah kau merubah dan sekarang kau
minta It Hiong ini yang mengangkat sumpah untukmu! dia
sudi bersumpah untukmu, sungguh dialah orang kang ouw
sejati!"
Diam-diam Bu Pa dan In Go melengak keduanya
mengawasi Hong Kun. tak sedetik juga yang mata mereka
berkedip.
Hong Kun kaget sekali, kata-katanya Tong Hong liang itu
membuatnya sadar bahwa ia seperti telah membuka rahasia


sendiri. ia menyebut nama Tio It Hiong sedangkan ia sendiri
mengaku menjadi Tio It Hiong yang tulen. tadinya ia pernah
mengatakan dialah Tio It Hiong palsu, mudah akan
mengangkat sumpah tetapi merobohkan Bu Pa itulah sukar...
Tapi murid dari It Yap Tojin itu tidak kekurangan akal. ia
bermuka tebal, terus ia berlaku tidak tahu malu, ia pikir,
biarlah orang ragu-ragu terus tentang dirinya dan It Hiong,
maka ia lekas berkata lagi:"Akulah Tio It Hiong palsu! mana
mungkin nona In Go Mau percaya aku?"
Tepat itu waktu, terdengar pula suara tajam dari si orang
tua keriputan tadi. dia itu berdiri terpisah jauh dari mereka.
kata dia :"Apa kataku si orang tua? kalian berdua semuanya
Tio It Hiong palsu? nah, sekarang ini tampaklah ekornya si
rase?"
Suara itu dsusul dengan tawa nyaring tak sedap didengar
Semua orang melengak. Justru itu suara tersebut kembali
terdengar, kali ini:" Sebenarnya masih bagus aku cuma
mengatakan kalian adalah Tio It Hiong palsu! sebenarnya
kalian adalah dua buah kantung nasi! bahwa saja mendengar
nama-nama murid Gwa To Sin mo--kamu sudah takut
melawannya, kamu berdualah saling dorong, saling tolak
menolak ! sungguh sangat memalukan!--Hm!"
Dua-duanya It Hiong dan Hong Kun mendeongkol sekali
mendengar kata-katanya arang tua berkulit muka keriputan
itu, bahkan si orang se Gak yang terlebih gusar, maka juga dia
mendahului It Hiong membentak keras:"Seorang tua bangka
masih tidak mengharagakan dirinya sendiri! bagaimana kau
suka usil orang lain! Kenap akau mengaco belo? benarbenarkah
kau berani? kalau benar, kemarilah kau? mari kita


main-main buat beberapa jurus coba lihat siapa yang
memalukan saja!"
Hebat dampratan itu semua menerka tentunya si orang tua
akan sangat gusar. Bahwa bakal terjadilah peristiwa, semua
orang lantas menoleh, dan mengawasi orang tua itu, guna
menyaksikan apa sambutannya.
Sambutan itu sungguh diluar dugaan!
Si orang tua berdiri tenang, kepalanya di angkat, matanya
mengawasi si putri malam, kemudian dia bertindak perlahan,
kedua tangannya digendongkan dipunggungnya, ia berjalan
mondar-mandir, ia berdiam saja, sedikitpun ia tidak
menghiraukan suaranya Hong Kun itu.
It Hiong kemudian memperdengarkan suaranya, tetapi ia
tidak berlaku kasar seperti itu.
Hong Kun ia hanya berkata:"Cianpwe, kau mengatakan kau
dapat membedakan Tio It Hiong yang tulen dan palsu, aku
kira itulah cuma kata-kata buat menipu orang saja. jika
cianpwe benar pandai dan juga bernyali besar, silakan
cianpwe datang kemari, guna membuktikan kami berdua siapa
sebenarnya kantung nasi! coba cianpwe pastikan, siapa Tio It
Hiong dan siapa si palsu!"
Baru saja mendengar suara tajam anak muda itu. si orang
tua keriputan itu menoleh, terus dia mengawasi dengn
suaranya yang dingin :"Jika kalian berdua memikir menyuruh
aku si tua turun tangan buat memberi hajaran kepadamu,
buat itu kamu harus menantikan kesempatan yang baik, kalau
telah tiba saatnya yang aku sedang bergembira! apa saja
kamu kira dengan dua tiga dampratan saja kamu dapat


membuat aku gusar atau turun tangan? tidak! Tidak demikian
mudah!"
Bu Pa gusar sekali, si orang tua itu, menurut anggapannya,
telah mengganggunya, suaranya juga tidak sedap di telinga.
"Tua bangka tak mau mampus!" dampratnya, sengit
"Bagaimana di depan Tio Tayhiap kau berani omong tentang
tulen dan palsu? lekas kau pergi!"
Masih si pelajar tidak bergusar, dia cuma tertawa dingin
berulang-ulang.
*****
sembilan puluh dua
"Tio It Hiong sudah kabur keluar lautan?" kata dia, "Dia
telah terdampar sampai di kouw long-ta. Jika tidak ada aku si
tua yang menolongnya, pasti dia sekarang sudah tinggal
tulang belulangnya yang berserakan di pesisir pasir! Mana dia
mempunyai jiwanya lagi?"
It Hiong mendapat kesan bahwa bicara nya si tua itu benar
adanya, hanya saja kapannya dia telah tiba di kouw long-ta?
maka itu ia lantas berpaling kepada Gak Hong Kun, yang diam
melengak.
Hong Kun menginsafi kata-katanya si tua. ia menerka si tua
mestinya Hay Thian It siuw, si kokok beluk laut, yang tinggal
menyembunyikan diri di kouw long ta, hanya itu, setahunya,
Hay Thian iT Siauw bermuka merah, berhidung bengkung dan


potongan mukanya mirip muka kuda, dia ini sebaliknya
berkulit muka keriputan, ia menundukkan kepala seakan mikir
itu.
It Hiong mengawasi, ia melihat lagak orang itu, ia menerka
apa yang dia itu pikir.
"Saudara Gak, kenalkah kau akan orang tua ini?" ia tanya
sabar. "siapakah dia?"
Panggilan "saudara Gak" itu membikin Hong Kun terkejut,
panggilan itu menyatakan sendiri bahwa It Hiong ialah It
Hiong, toh terpengaruh pertanyaan itu dia menjawab singka"
Mungkin dialah Hay Thian It Siauw yang hidup menyendiri di
kouw long ta......"
Nama Hay Thian It Siauw membuat It Hiong terkejut di
dalam hati. Jago tua itu muncul pula, mungkin dia ada
sangkut pautnya dengan pertemuannya di In Bu San nanti,
maka itu makin perlu saja ia mendapatkan pulang pedangnya
mustikanya.
"Bagaimana?" ia tanya dirinya sendiri.
"Apakah perlu aku merampasnya dengan kekerasan?"
karena berpikir begini, ia lantas mengawasi Kiauw Couw.
Justru itu terdengar tawanya Bu Pa, yang terus berkata
keras "Mahluk menjemukan itu benar-benar mengacau kata!
adik, kau lihat, hendak aku mengusirnya pergi!"
Tatkala itu, sang fajar tengah mendatangi, sang rembulan
telah tenggelam ke arah barat, sang angin mendadak saja
datang menderu-deru, membuat pepohonan tergoyanggoyang
keras.


"Cis"In Go memperdengarkan suaranya, "Buat apa
memperdulikan dia? urusan kita lebih penting! Kau mau urus
atau tidak ?"
Bu Pa heran hingga ia membuka matanya lebar-lebar.
"Sabar,adik" katanya bermohon, "Sekarang ini hatiku
sedang bingung, tak dapatkah kau mengalah sedikit dengan
kau merubah syarat itu dengan yang terlebih ringan?"
Sang adik seperguruan menggeleng kepala.
"Kakak, apakah kau takut akan kesulitan dan hatimu telah
berubah?" tanyanya.
"Kenapa? benarkah kau menghendaki aku menukar
pikiranku?"
Suara si nona halus tetapi nadanya tajam.
Nona Tonghong mendengar pembicaraan orang, dia
tertawa.
"Aku mendapat sebuah pikiran, yang ada baiknya buat
kedua belah pihak!" katanya.
"Tinggal kau, adik, kau sudi menerimanya atau tidak?...."
In Go mengawasi Kiauw Couw, dia agak tertarik hati.
"Pikiran apakah itu, kakak?" tanyanya cepat. "Coba kakak
jelaskan!"


Tonghong Kiauw Couw mengawasi nona itu, dia bersikap
sungguh-sungguh.
"Menurut kau, adik apakah sudah pasti yang kau baru mau
menikah dengan kakakmu kalau kakakmu itu telah dapat
mengalahkan Tio It Hiong?" tanyanya.
Mukanya In Go menjadi merah, tetapi dia mengangguk.
"Ya" sahutnya.
"Sekarang ini Tio It Hiong telah dapat dicari" Kiauw Couw
berkata pula "Tapi disamping itu, adik. kau kuatir kakakmu
dan saudara Tio itu berkongkol, kau bercuriga yang mereka
berdua akan main gila supaya Tio It Hiong berpura-pura kalah
karena itu, benarkah kau menghendaki Tio It Hiong mesti
mengangkat sumpah?"
In Go mengangguk pula.
"Benar" sahutnya, dia tetap likat.
Tonghong Kiauw Couw tertawa.
"Rupanya kau masih belum sadar, adik!" demikian katanya.
"Taruh kata benar mereka berdua bersekongkol dan Tio It
Hiong berlagak kalah, bukankah itu baik sekali untukmu?
bukankah mereka telah melakukan perbuatan mereka dengan
maksud baik?"
"Siapa yang menghendaki mereka bersekongkol dan Tio It
Hiong mengalah?" kata In Go, suaranya tetap. "Aku hendak
menguji kepandaian sungguh dari kakak seperguruanku itu!"


"Nah, bagaimanan andaikata kakakmu kalah?" nona
Tonghong menanya pula.
"Aku akan menjadi pendeta!" sahut In Go tanpa berpikir
pula. "akan aku cukur gundul rambutku dan menjadi nikouw!
demikianlah perjanjiannya kami dahulu! dalam hal itu aku
tidak menyesal!'
Kiauw Couw terharu mendengar jawabannya nona itu, yang
tabiatnya aneh dan teguh, biar bagaimana, ia bingung juga,
lalu ia menghela napas perlahan.
"Sungguh cinta sejati!" katanya kemudian "hanya itu dibalik
itu sang penasaran dan penyesalan tengah mengancamnya!
oh, adik yang baik, aku harap janganlah sampai tejadi
kesalahan besar di belakang hari, sebab Yaitu akan berarti
penyesalan seumur hidup!"
In Go mementang mata lebar mengawasi nona di depannya
itu, hatinya tergugah mendengar disebutnya penasaran dan
penyesalan tanpa terasa, air matanya meleleh keluar.
"Perjanjiannya tak dapat dapat disangkal!" katanya, "hal itu
tak dapat dibuat sesalan. kesudahan urusan ini, bagus atau
buruk, tergantung kepada kepandaiannya kakakku ini?"
"Orang yang palsu atau yang sengaja mengalah, tak aku
terimah baik. !" sahut si nona tergas.
"Siapa yang tulen dan siapa yang palsu tak dapat aku
menentukannya," berkata Kiauw couw, walaupun demikian,
aku kira, dapat kita minta mereka jangan mau mengalah..."
In Go berdiam dia hanya mengawasi nona di depannya ini.


Nona Tonghong menunjuk pada It Hiong, ia tanya nona itu
:"Bukankah tadi kakakmu menunjuk Tio It Hiong ini untuk
diajak bertempur?"
In Go mengangguk.
"Tetapi dia tidak mau mengangkat sumpah. dia harus di
curigai!" sahutnya.
Nona Tonghong menunjuk Gak Hong Kun,
"Dan ini tuan Tio It Hiong, dia telah mengatakan suka
mengangkat sumpah, bukan ?" tanyanya.
"Benar" jawab In Go, "Tetapi kakakku tidak sudi bertempur
dengan dia!"
Kiauw Couw tertawa.
"Nah, disinilah terletak cara pemecahannya!" bilangnya,
"Maksud ialah membuat mereka dua Tio It Hiong! biarlah yang
bersedia bersumpah mengangkat sumpahnya dan yang suka
bertempur melakukan pertempurannya dengan kakakmu!
bukankah itu bagus?"
"Bagus!" Bu Pa mendahului menyatakan persetujuannya,
bahkan dia bertepuk tangan. "Cuma kau yang cerdas, nona
yang berhasil mendapatkan cara pemecahannya ini! nona, aku
sangat kagum terhadapmu!"
In Go melirik kakaknya itu, dia membungkam.
Hong Kun mendengar semua itu, dia berpikir: "Memang
aku menyatakan bersedia buat mengangkat sumpah, tetapi
aku mengatakannya itu cuma guna mendorong hatinya Tio It


Hiong supaya dia berkutat melayani Bu Pa bertempur, tak
peduli siapa yang kalah atau menang diantara mereka, aku
hanya tetap menyaksikan suatu tontonan yang menarik hati!
baiklah, akan aku berikan sumpahku!" Maka ia lalu berkata
"Demi membantu menyempurnakan jodoh kalian berdua, aku
suka mengangkat sumpah! nah, kalian dengarlah!"
Dengan sikap gagah, Hong Kun mengajukan diri, lantas ia
menunjuk keatas lalu kebawah! segera terdengar sumpahnya
:"Raja di langit dan ratu di bumi menjadi saksi, disini Tio It
Hiong dan Bu Pa hendak mengadu kepandaian silat, jika ada
salah satu yang mengalah dan berpura kalah, biarlah dia
dikutuk biarlah bajingan membetot arwahnya dan siluman
merampas sukmanya, supaya tubuhnya dikutungkan dua dan
dicincang!...."
"Bagus! bagus! " nona Tonghong berseru memuji, hingga
karenanya , kata-katanya Hong Kun kena diputuskan, dia tidak
meneruskan hanya terus dia menghampiri It Hiong kkan
berkata pada pemuda itu:"Sekarang tinggal kau, sahabat"
It Hiong segera berpikir :"Aku tidak bersumpah, tidak apa
aku mengalah terhadap Bu Pa ini pun guna membantu jodoh
mereka itu dapat dirangkap! bukankah itu bagus dan baik
sekali?"" maka segera ia mengambil keputusan, terus ia
menyapa Bu Pa "Saudara Bu Pa, mari! sudilah kau memberi
pengajaran padaku?"
"Baik!" sahut Bu Pa lantas, bahkan ia segera lompat
menghampiri sejauh dua tombak!
It Hong pun lompat menghampiri, ia memberi hormat, yang
dibalas oleh muridnya Gwa To sin mo, yhabis itu, keduanya
sudah lantas merapatkan diri, buat mulai mnyerenag dan
menangkis buat bertempur.


Bu Pa menggunkan Ilmu silat "Ngo heng Ciang,"--tangan
panca berdua, sedangkan It Hiong mengeluarkan hang liong
Hok kuhouw kun. mulanya Biasa saja, lambat laun
pertandingan berubah menjadi seru.
In Go adalah orang menaruh perhatian paling besar,
mulanya ia memasang mata guna menjaga agar ia tidak
sampai kena diselomoti. mulanya itu, ia terus curiga, hatinya
lega selekasnya ia menyaksikan kedua pemuda itu bertempur
dengan seru, dengan bersungguh-sungguh.
Orang kedua yang perhatiannya sama sseperti si nona
adalah Gak Hong Kun, si licik yang tengah mengadu domba, ia
mau mencelakai It Hiong, maka ia mencari cara rahasia orang
andaikata It Hiong berlagak kalah. ia ingin membangkitkan
kecurigaan dan kemarahannya In Go.
Tonghong Kiauw Couw menaruh perhatian tetapi ia hanya
untuk menyaksikan cara kerjanya It Hiong, ia ingin pemuda itu
tidak digembrengi pula oleh In Go, si nona aneh, tipu apakah
yang It Hiong bakal gunakan?
Tonghong Liang tak terdengar lagi suaranya, kiranya dia
tengakh duduk bersemedi di tanah, mata dan mulutnya rapat,
hidungnya bekerja dengan tenang, ia mirip orang yang lagi
tidur pulas.
Di tengah kalangan, kedua pemuda itu terus bertarung,
angin, yang disebabkan gerak-gerik mereka terdengar jelas.
Hang Liong Hok Houw Ciang dan Ngo Heng Ciang memiliki
masing-masing keistimewaan, buat sementara, tak terlahat
yang mana yang terlebih lemah.


Dalam hal tenaga dalam. It Hiong mencapai kesempurnaan
tetpai juga Bu Pa adalah hasil latihan selama kira-kira dua
puluh tahun, di dalam kalangan kaum sesat, dia menjadi
bintanganya yang mentereng!
Lewat satu jam kemudian maka tampak sang pagi yang
cerah, di ufuk timur muncul cahaya terang, burung-burung
pada bernyanyi, angin fajar pun halus dan mendatangkan rasa
nyaman.
Pertarungan berlangsung terus , tetap makin seru, kalau
tadinya In Go merasa hatinya lega, perlahan-lahan ia mulai
berkhawatir, biar bagaiman ia menguatirkan kakaknya salah
tangan dan itu dapat mendatangkan ancaman maut,
karenanya pada parasnya tampak tampang lesu atau tak
tenang hati. lantas ia menghampiri Tonghong Kiauw couw....
"Kakak!"....panggilnya, suaranya tidak lancar.
Nona Tonghong menoleh.
"Ada apa?"
"Kakak,"tanyanya pula In Go, "Bagaimanakah pandangan
kakak? siapa yang bakal kalah atau menang?"
Kiauw Couw menatap muka orang, ia pun memperhatikan
suaranya si nona.
"Siapa tahu?" kemudian jawabnya, yang berupa pertanyaan
juga, "kalau angin dari hujan dahsyat saling bermunculan,
siapa tahu apa akibatnya nanti?"
In Go menarik napas perlahan.


"Aku cuma menghendaki mereka menguji kepandaian,
siapa tahu mereka seperti berkelahi, untuk hidup dan mati,"
katanya suaranya tak wajar lagi.
Kiauw Couw mengawasi nona itu.
"Kalau dia terhajar mati dengan satu tangan, itulah
sepantasnya," katanya sengaja, "siapa suruh pelajaran
silatnya tidak sempurna?"
In Go terkejut, kata-katnya nona itu telak mengenai
perasaan khawatirnya.
"Kakak, lihat!" tiba-tiba dia berkata nyaring.
Nona Tonghong terperanjat juga, segera ia menoleh,
hingga ia masih sempat melihat It Hiong berkelit dengan
melengakan tubuhnya kebelakaag, menyelamatkan diri dari
satu hajarannya Bu Pa, sebab nampak dahsyat itulah pukulan
yang dahsyat sekali. hanya itu selagi tubuhnya itu melengak
sebelah kakinya anak muda ini diluncurkan mengarah ke ulu
hati lawannya!
Menyusul suara nyaring dari In Go, tubuhnya Bu Pa
nampak roboh terjengkang, hanya saja, dia bukan terus roboh
terguling untuk terkulai di tanah, dia justru dapat meneruskan
berjumpalitan, hingga diapun bebas dari dupakan lawannya itu
Menyaksikan kesudahan itu, tiba-tiba In Go tertawa dan
berkata:"Oh, sungguh hebat, kakak! nyata ilmu silatmu
sempurna sekali" inilah sebab dia merasa lega dan bersuka
cita.
Tonghong Kiauw melirik nona itu diam-diam dia tersenyum.


Sementara itu, pertempuran telah dilangsungkan, tetap
makin seru,
Gak Hong Kun menonton dengan hati puas, ia percaya
akhirnya kedua pemuda itu akan kehabisan tenaga dan itu
dapat mengakibatkan mereka dapat terluka didalamnya. Di
Hek Sek Han, pernah ia berkelahi sehebat ini demikian
melawan Bu Pa, syukur ia dapat ditolong dengan obat
mujarab dari Gwa To Sin Mo, sekarang, kalau mereka berdua
itu roboh, siapa nanti yang menolongnya? maka juga jiwa
mereka adalah bagian mati.....
Saking girang, tanpa merasa muridnya Yap To jin ini
tertawa sendirinya!
In Go menoleh, dia heran.
"Kenapakah kau tertawa?" tergurnya.
Hong Kun tertawa lagi. geli tawanya.
"Nona salah mata!" sahutnya. "mereka itu tengah bersilat
balik mengawasi nona yang lagi menangis dengan ilmu silat
kembang, cuma kau saja yang kena dikelabui!"
"Ngaco belo!" bentak si nona.
Hong Kun tertawa pula.
"Habis," tanyanya, "Habis apakah nona sangka mereka itu
tengah berkelahi dengan sungguh-sunggguh?"
"Apakah itu perlu dibilang lagi?"


Hong Kun menoleh, mengawasi pertempuran, ia agaknya
sangat memperhatikan karena heran.
"Kalau mereka bersungguh-sungguh, sungguh mereka
berdua seimbang kepandaiannya!" katanya kemudian,
nadanya mengejek. "Nona, pertempuran mereka itu bakal
menyebabkan mereka berdua kehabisan tenaganya!
bagaimana kalau kejadian mereka terbinasa karenanya?
apakah dengan demikian nona tak bakal menjadi janda?"
Hatinya In Go tercekat, itulah kata-kata yang ia tidak siap.
ia memang lagi menghawatirkan keselamtan kakak
seperguruannya itu.
"Kalau sampai terjadi begitu, terserah kepada
takdir...."katanya sambil menghela napas.
Hong Kun tertawa.
"Tak dapat kau menjadi janda nona!" katanya, "Jangan
terlalu berduka!"
In Go heran, lalu ia menjadi bergirang, tiba-tiba saja ia
memperoleh harapan.
"Bagaimana kau lihat kakak seperguruanku itu?" ia
bertanya, "apakah ia bakal menang?"
"Bukankah begitu, nona...."jawab Hong Kun, karena dia
memang memikir lain, dia bukan mau mengatakan Bu Pa
bakal menang, dia memikir sesuatu buat kepentingan dirinya
sendiri, dia mengarah nona itu....
"Kau bicaralah!" desak si nona, yang seperti telah habis
sabarnya, "Kenapa kau bicara setengah-setenagah?"


Hong Kun mengawasi, alis dan matanya bertemu.
"Jikalau kakak seperguruanmu itu mati" katany sembari
tertawa, "Masih ada aku! maka itu mana dapat kau menjadi
janda!"
In Go kaget saking gusarnya, matanya lantas mendelik.
"Jahanam!" dam pratnya. "Bagaimanan kau menjadi begini
kurang ajar! lihat" dan tanganya segera melayang!
Hong Kun berkelit.
"Hargailah dirimu nona!" katanya. "Jangan kau turuti saja
adatmu dan mudah menyerang orang!----hahaha.."
Kiauw Couw maju menghampiri nona itu, ia tarik
lengannya.
"Jangan layani dia," bujuknya, "Sebenarnya apakah yang
dia katakan barusan?"
Dadanya In Go berombak, tak dapat ia menjawab, ia justru
menjerit menangis.
Tonghong Liang tersadar tangisan itu. ia membuka
matanya dan berjingkrak bangun, untuk terus melemaskan
pinggangnya, kemudian ia mengawasi Hong Kun sambil ia
memperlihatikan wajah tersungging senyuman, kemudian lagi
ia balik mengawasi nona yang lagi terseguk-seguk itu.
Segera bocah ini mengerti bahwa terntunya si pria telah
menggoda si nona, memang ia jemu terhadap pria itu,
sekarang ia jadi membenci, diam-diam ia mengumpulkan


ludahnya serta juga tenaga dalamnya, setelah itu mendadak ia
meludah pada pemuda itu yang dibencinya itu!
Hong Kun kaget sekali, dia tengah menggoda In Go,
serangan gelap itu diluar dugaannya, telak mukanya kena
terludahkan, selagi kaget itu, ia pun merasakan mukanya
panas dan nyeri, serangkum hidungnya mencium bau yang tak
sedap, tapi ia tidak menjadi gusar, ia menyangka In Go yang
meludahinya, dengan sabar ia menyusuti mukanya.
"Kau baik sekali, nona!" katanya semabari tertawa, "Kenapa
nona tidak meludahi saja mulutku? pasti harapannya
bertambah-tambah dan itu menandakan cintamu padaku"
Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Bagaimana kalau sekali lagi?" tanyanya, yang terus
meludah pula!
Hong Kun melengak. lalu gusar, kiranya dia diganggu si
bocah nakal lantas mendadak saja dia serang bocah itu!
Tonghong Liang melihat serangan, dengan mudah ia
berkelit, habis itu ia melompat maju, untuk membalas
menyerang dengan pedangnya.
Hong Kun panas hati, dia berkelit lalu terus menyerang
pula, maka dengan demikian, bertempurlah mereka berdua,
hanya sementara itu, belum sempat ia menghunus
pedangnya,
Diantara dua orang, walaupun Hong Kun tanpa senjata, dia
menang latihan serta pengalaman pertempuran, dan si bocah
menang bunga dan pedangnya yang cepat gerak-gerakannya,
maka sekilas, Hong Kun kalah angin.....


Sedikit demi sedikit, Tonghong Liang mendesak lawannya
sampai si lawan mundur dua tombak lebih, maka juga ketika
itu ditanah datar berlumpur itu tampak dua rombongan orang
yang lagi mengadu kepandaian.
In Go dan Tonghong Kiauw Couw lagi memperhatikan Bu
Pa dan Tio It Hiong mereka sampai seperti melupakan
Tonghong Liang dan Gak Hong Kun,
Didalam rombongan It Hiong, si anak muda mesti berkelahi
dengan berhati-hati sekali, ia tidak dapat memperlihatkan
kelemahan yang dibuat-buat atau nona In Go bakal
mencurigainya, maka juga, ia mesti mencari suatu
kesempatan, yang mana segera gunakan.
Mula-mula anak muda kita menyerang dengan Jurus, "kay
bun kaiu san" --membuka rimba melihat gunung,--disusul
dengan" tongcu pay hud,--kacung memuja sang budha. kedua
tanganya dilonjorkan. maksudnya buat memancing Bu Pa
mengunakan jurus silat "ngo lui kek liang,"--Lima guntur
menindih batok kepala.
Benar-benar muridnya Gwa To sin Mo kena dipancing,
benar-benar dia lantas menyerang dengan jurusnya yang
dahsyat itu, tangan kanannya yang berupa seperti sambaran
guntur itu.
It Hiong segera menggunakan akal biasa, ia membuang
tubuhnya ke belakang, mengelak dengan jurus "sia kwa leng
kie,"--miring menggatung bendera, hanya kali ini ia sambil
berseru seperti berbisik:"gunakanlah kesempatan ini! "isyarat
itu disusul dengan satu tendangan.


Bu Pa tercengang sedetik atau segera dia menyambar
dengan tangannya, menyambar kaki orang, ketika It Hiong
menarik kakinya, sepatunya copot sebab terus terpegang kena
oleh lawannya.
Lantas Bu Pa tertawa dan berkata :"Terima kasih, Tio
taihiap! kau telah mengalah terhadapku"
It Hiong menghela napas, ia menunjuki tampang sangat
menyesal.
Bu Pa tidak menghiraukan lagi keadaan orang, dia hanya
lantas menoleh kepada adik seperguruannya, buat terus
berlari seraya berkaok girang :"Adik, adik In Go, kau lihat!"
dan ia mengancungkan sebelah tanganya, mengangkat tinggi
sepatunya It Hiong yang terus ia pegang saja.
In Go meliat itu, diapun lari menghampiri, kegirangannya
bukan kepalang ia menubruki dan merangkul Bu Pa dengan Ia
tak dapat bicara, ia merangkul erat-erat dan meletakkan
kepalanya didada sang suheng, kakak seperguruannya.
Tonghong Kiauw Couw juga lari menghampiri.
"Saudara Bu Pa. kau hebat" pujinya. "Kau mengagumkan!
aku beri selamat padamu, buat perjodohan kalian yang
terangkap dengan indah.
Bu Pa sangat girang, dengan sebelah tangannya,
merangkul In Go, tangannya yang lain mengangkat tinggi
memperlihatkan sepatu rampasannya.
"Terimah kasih! terima kasih! kau memuji saja!" serunya.


Dengan langkah jingkat. It Hiong terus menghampiri, ia
memberi hormat pada Bu Pa seraya berkata :"Saudara Bu Pa.
terimah kasih untuk kebaikanmu, yang menaruh belas kasihan
padaku,"
"Oh, saudara, kau terlalu merendahkan diri!" kata Bu Pa.
"Saudara Bu Pa! kata pula It Hiong menggoda. "Kalau nanti
tiba saatnya buat minum arak kebahagiaan, aku harap kau
jangan lupa aku--tapi , eh. adikmu itu, kenapa dia berdiam
saja?"
In Go mendengar semua, ia girang berbareng jengah, ia
malu sendiri, maka ia mendekam terus di dada kakaknya
seperguruannya itu, sang kekasih.
Kiauw Couw tertawa melihat lagak nona itu, kemudian ia
tertawa pula kapan ia melihat mengawasi sepatunya It Hiong,
ditangannya Bu Pa.
It Hiong pun ingat sepatunya.
"Saudara Bu Pa, bagaimana kalau kau kembalikan padaku
barang tanda kemenanganmu itu?" tanyanya tertawa.
Bu Pa lupa pada sepatu orang, atas tawa dan kata-katanya
muda-mudi itu, dia bingung .
"Apa?" tanyanya pada It hinog.
"Itu, sepatu yang menjadi perantara jodoh kalian berdua!"
sahut si anak muda, "maukah kau memulangkannya padaku?"


Baru sekarang Bu Pa sadar, ia melihat sepatu ditangannya,
terus ia tertawa, maka lantas ia melepaskan tubuhnya In Go.
akan ia melompat pada It Hiong.
"Aku lupa!" katanya seraya terus memakaikan sepatu
orang.
Selagi Bu Pa bekerja itu, telinga mereka berempat
mendengar suara nyaring dar bentrokan senjata tajam, maka
semua lantas menoleh, maka sekarang baru mereka ingat
yang Tonghong Liang sedang bertempur hebat dan suara itu
disebabkan beradunya senjata mereka itu berdua!
Selama bertempur, terus Tonghong Liang mendesak
lawannya, ia dapat berbuat begitu sebab ia bersenjatakan
pedang dan ilmu pedangnya ilmu pedang kilat, Hong Kun
terus main melompat, mundur atau menyamping ke kiri dan
kanan, desakan si bocah membuatnya tak sempat menghunus
pedang dipunggungnya, untung buat ia ialah keuletannya dan
tenaga dalamnya yang terlebih mahir. beberapa kali ia
menghajar dengan hebat tetapai selalu gagal, sebab lawannya
gesit sekali, barulah selagi Bu Pa dan In Go kegirangan, selagi
Kiauw Couw dan It Hiong mengghoda dan meminta sepatu
itu, waktu itulah baru Hong Kun memperoleh kesempatannya.
Tiba-tiba murid cerdik dan licik ini dari It Yap Tojin
menggunakan waktunya, disaat ia diserang mendadak ia
menjejakkan tanah melompat jauh setombak jauhnya, dan
selekasnya ia menaruh kaki sebat luar biasa, ia menghunus
pedangnya, maka itu, ketika Tonghong Liang menyusul dan
menikam pula, sempat ia menangkis dengan pedangnya,
hingga senjata mereka beradu keras, habis itu, segera ia
membalas menyerang, dengan menggunakan pedangnya,
dengan cepat ia mencoba membalas menyerang.


Kiauw Couw terkejut mendengar suara pedang, apapula
selekasnya ia melihat adiknya mulai didesak Hong Kun, tidak
ayal lagi ia melonpat berlari, akan menghampiri adiknya, cepat
ia tiba, tepat Hong Kun membacok adiknya itu, terus saja ia
mewakili adiknya menangkis, selagi si anak sendiri mengegos
tubuhnya, begitulah pedang mereka beradu keras, menyusul
mana Hong Kun melompat mundur, karena pedangnya
mustikanya keras lawan keras, karena si nona telah
menggunakan Keng Hong Kiam pedang mustika juga!
Dengan sinar mata gusar, Kiauw Couw mengawasi tajam
pada Hong Kun, habis itu ia menarik tangan adiknya, buat di
ajak pergi ke rombongannya It Hiong bertiga Bu Pa dan In Go.
Hong Kun tidak berkata apa-apa, dengan langkah perlahan
ia susul muda-mudi itu, pedangnya ia masukkan kedalam
sarungnya selagi ia berjalan.
Bu Pa dalam kegirangannya menyambut Tonghong Liang
tahu siapa terus ia tepuk-tepuk.
"Saudara, hari ini kita berdua beruntung sekali!" katanya,
gembira, "Kita telah dilindungi tuhan yang maha kuasa!"
Ketika itu hatinya Tonghong Liang masih sedikit berdebaran
sebab ia ingat ancaman bahaya dari lawannya tadi, syukur
kakaknya ia dapat menolong pada saatnya yang tepat, ia
mengawasi Bu Pa tanpa mengatakan sesuatu.
Tio It Hiong sebaliknya, pemuda ini dengan bersemangat
berkata: “Setiap laki-laki sejati, dia mesti bersedia menghadapi
golok yang dapat mengucurkan darah atau pedang yang akan
menerbangkan semangat, siapa yang dapat berbuat barulah
dia sanggup mengangkat namanya didalam dunia sungai
telaga! kali ini satu ancaman bahaya berarti tambahan


pengalaman! maka itu, saudaraku yang muda, kau harus ingat
ini baik-baik! jangan sekali-kali kau menjadi takut!"
Kata-kata gagah itu sangat meresap dalam hatinya
Tonghong Liang.
"Akan aku ingat baik-baik!"demikian jawabnya. "Kalau
mesti bertempur lagi sekali, akupun tidak takut!, " lantas dia
menoleh pada Kiauw Couw, sang kakak, untuk
berkata:"Kakak, pedangmu itu hebat! bagaimna kalau lain kali
ada kesempatan, dapatkah kau mencurikan pula sebuah
untukku?"
Dasar masih seorang bocah, enak saja si Liang ini
,mengutarakan kata-katanya itu. satu kali kakaknya "Mencuri"
pedang orang, ia menyangka lain kali kakaknya itu boleh
mencuri pula.
"Hus!" berseru sang kakak, yang terus tertawa. "dirumah
ada sebuah golok mustika yang tajam luar biasa, yang dapat
dipakai menguntungkan emas atau membelah batu kemala,
kenapa kau justru menghendaki pedang?"
Matanya Tonghong Liang berputar, otaknya bermain.
"Tidak" sahutnya, "Golok tidak cocok bagiku! aku menyukai
sekali pedang!"
Inilah sebab dia terpengaruh pedang lihai dari Hong Kun.
It Hiong rada bingung, ia khawatir anak itu menginginkan
Keng Hong Po Kiam. kalau begitu, urusannya dapat menjadi
berlarut-larut, sedangkan pedang itu ia sangat butuhkan,
bagaimana kalau ia terlambat hadir di In Busan? maka ia
lekas-lekas berkata pula:"Adik, siapa hidup merantau,


pribadinya harus melebihi golok dan pedang mustika!
mengertikah kau akan hal itu?"
Tonghong Kiauw Couw mengawasi Tio It Hiong, mulanya ia
heran, atau dilain detik, ia insaf, maka ia lantas
menandingi:"Benar, kata-katamu benar, tuan Tio! hampir aku
kena dilibat keinginan memiliki pedang mustika!"
It Hiong mengangguk, masih ia berkata pula:"Masih ada
satu hal ! buat apa memiliki pedang mustika kalau kita tidak
sekalian memiliki pribadi tinggi? dengan begitu, mudah sekali
kita mengundang datangnya bahaya maut, tanpa pedang
tetapi hanya membekal pribadi luhur, dapat juga kita
merantau, keselatan atau ke utara, dan di empat penjuru
lautan, kita menanam memupuk persahabatan!"
Mendengar itu Hong Kun turut bicara, katanya, "Itulah
cuma cara bicaranya si orang sekolah, cuma buat mengelabui
orang banyak, --Hm! bagaimana dengan jiwanya bocah ini
barusan? dia telah ditolong oleh pribadi luhurkah, Hahahaha!
siapakah hendak kau perdayakan?"
Tonghong Liang tunduk, ia memikirkan kata-katanya dua
pemuda itu.
It Hiong menjadi gusar sekali. orang she Gak itu menjadi
pengacau!
"Gak Hong Kun!" serunya.
Hong Kun kaget, orang menyebut she dan nama
lengkapnya, sinar matanya lantas berputar, otaknya bekerja,
hanya sebentar, ia lantas mendapat pikiran.


"Dengan mata berputar, ia berkata keras."Gak Hong Kun,
benarkah kau tidak tahu malu?" Ia menyebut Gak Hong Kun
walaupun Gak Hong Kun adalahnya dirinya sendiri. didalam
keadaan seperti itu, masih ia hendak mengacaukan pikirannya
Kiauw Couw berempat.
Hong Kun berbuat begitu karena ia takut ada langkah dari
Tonghong Kiauw Couw, ia ingin mengacaukan pikirannya nona
itu, agar jangan berpihak pada saingannya itu, orang yang ia
tengah sarukan tampang dan namanya, tegasnya, It Hiong ia
jadikan Hong Kun! kembali ia mau perang uraf syaraf.
It Hiong gusar hingga ludeslah sisa kesan baiknya
terhadapnya, dari merasa kasihan ia menjadi benci. maka
dengan alis berdiri dan sinar mata bengis, ia menatap
muridnya It Yap Tojin itu, lalu sembari menoleh kepada
Tonghong Kiauw Couw, ia berkata:"Nona, aku memintah
sudikah apakah kau mengembalihkan pedang mustika padaku,
sekarang ingin aku membinasakan dahulu manusia jahat ini,
kemudian baru aku mau pergi ke In Bu San guna membasmi
semua bajingan agar tidak ada sisanya sekali pun satu iblis
saja!"
Dalam murkanya itu, It Hiong menjadi keren sekali. lantas
ia menghampiri nona Tonghong, untuk mengulurkan tangnya,
buat mencabut pedang Keng Hom Kiam yang berada di
punggungnya nona itu.
Kiauw Couw berkelit dengan ia mundur selangkah.
"Tahan dullu!" katnya saabr,
Hong Kun sendiri sudah lantas melompat mundur sejauh
lima tindak, untuk ia menghunus pedangnya-Kie Koat Kiam,


untuk segera menantang:"Apakah kau sangka aku takut
padamu? Hm,"
Nona Tonghong mengawasi It Hiong dan Hong Kun
bergantian, terhadap It Hong kepadannya luar biasa, ia
mencuri pedangpun melulu dengan maksud mencari pemuda
itu, hanya buat apa, ia mencari pemuda itu, hanya buat apa ,
dia sendiri tidak tahu jelas, ia cuma merasa ada sesuatu yang
mengingatkannya pada pemuda itu, tetapi itu tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata, diluar dugaannya, sekarang
muncul dua orang Tio It Hiong yang membuatnya ragu-ragu
pikirannya Bimbang, disaaat terkhir itu, ia memikirkan
pemecahannya. dan ia percaya kalau kedua anak muda itu
dibiarkan bertempur, akan ketahuan siapa yang terlebih lihai
dan pada orang itu ia ingin serahkan pedang Keng Hong Kiam.
Paling akhir ia melirik Hong Kun, yang sikapnya tembereng
itu, setelah maju ia berkata:"Ada pedang mustika tanpa
kejujuran, itu memudahkkan kebinasaan diri sendiri, maka itu
kau sahabat, kau memmiliki pedang mustika tetapi kau tidak
jujur, kau kurang bijaksana! kenapa kau menantang pada
orang tanpa senjata mustika?"
Hong Kun tertawa.
"Habis, apakah maksudmu, nona?" dia bertanya.
Tonghong Kiauw Couw tertawa.
"Supaya adil, baik kau tukar pedangmu dengan pedang
biasa saja!" sahutnya "setujukah kau?"
Hong Kun tersenyum, otaknya bekerja, tak sudi ia
mempercayai nona itu, ia curiga, bahwa mungkin orang
mengarah pedangnya itu.....


"Siapa tidak mempunyai pedang mustika, baiknya dia
terima nasib saja!" kemudian katanya getas, "Buat apa aku
diharuskan menukar pedang?" ia lantas menoleh, akan
menatap It Hiong, untuk berkata keras:" "Gak Hong Kun, jika
kau suka menyerah kalah maka aku, Tio It Hiong, akan
memandang kepada persahabatan kaum kang-ouw, akan aku
tak membinasakan kau habis-habisan! kau insaf sekarang?"
Hebat muridnya It Yap Tojin itu, sampai disaat itu, ia masih
hendak membikin kacau pikirannya Tonghong Kiauw Couw!
masih dia menyebut dirinya Tio It Hiong dan menyebut It
Hiong sebagai Hong Kun!
Mendengar suara itu, hampir dadanya anak muda kita
meledak saking panas hati, bagaimana rendah orang yang
tadinya ia kasihani itu! tapi dasar sudah mahir latihan tenaga
dalam, masih ia dapat menguasai dirinya. sebaliknya dari pada
mengumbar hawa amarahnya, diam-diam ia mengerahkan
tenaga dalamnya, akan menyalurkannya pada pedangnya,
guna sewaktu-waktu siap digunakan.
Tonghong Kiauw Couw mengawasi kedua pemuda tu
bergantian, ia tersenyum.
"Sahabat." katanya pada Hong Kun, "Tidak apa jika kau
tidak sudi, menukar pedangmu. sekarang aku mempunyai satu
cara lain, yang patut" ia memegang gagangnya pedangnya,
lantas ia berkata:"Itulah cara pedang mustika melwan pedang
mustika! Nah, bagaimana anggapan kalian berdua?" setelah
berkata begitu, ia pedang Keng Hong Kiam pada ujungnya,
terus menyodorkan gagangnya kepada It Hiong, ia mengulur
tangannya perlahan.
Hong Kun tercekat hati.


"Ah, aku tolol!" ia sesalkan diri, "Kenapa aku justru
menyebabkan nona itu menyerahkan pedangnya pada lawan?
mana mungkin pedang itu dikembalikan pada pemiliknya?"
karena itu, dalam sejenak itu, , ia mengambil keputusannya
dan segera melaksanakan itu! dengan kecepatan luar biasa, ia
membabat pada tangannya si nona yang lagi diulur itu.
Penyerangan gelap itu tapinya gagal, selagi penyerangan
dilakukan, satu serangan lain dilakukan terhadap si orang
rendah, yang terhajar sikutnya, hingga tengannya tertolak
keras dan pedangnya terlepas dan terbang! dengan
menggertak gigi menahan nyeri, dengan tangan kiri
memegangi sikut kanannya, dia lompat mundur menjauhkan
diri!
Itulah It Hiong yang menyerang secara tiba-tiba sebab ia
melihat nona Tonghong terancam bahaya, ia menyerang
mendahului tanpa pikir lagi, sebab itulah perlu guna
melindungi Kiauw Couw, iapun dapt menyerang lantas dengan
dahsyat sebab ia telah mengerahkan tenaga dalamnya sejak
tadi.
Ketika It Hiong sudah menyambut pedangnya, yang
diberikan si nona selekasnya nona itu melihat bagaimana
oarang berlaku kejam hendak menyerangnya, maka sambil
menuding ia berkata keras, " Gak Hong Kun, pungutlah
pedangmu! mari kita bertempur secara laki-laki! bagaimana
hina kau membokong terutama terhadap seorang wanita!"
"Sungguh hebat!" Tonghong Liang berseru dengan
pujiannya. "Sungguh cepat!" dia ia bersorak bertepuk
tanganbp!


Hong Kun tidak mengatakan sesuatu, lekas-lekas ia
mengeluarkan obatnya untuk di telan tanpa bantuan air lagi,
setelah mana ia melompat pada pedangnya guna
menjemputnya itu, tapi ia tidak mencekal pedang
memasukinya kedalam sarungnya! lalu dengan tampang gusar
ia menegur anak muda kita kau sendiri, bukankah kau juga
membokong aku? bagaimana nyaring kau berbunyi!"
Begitu ia berkata itu, begitu ia memutar tubuhnya buat
berjalan pergi!
Ketika itu, Tonghong Kiauw Couw tertawa, ia telah melihat
dan mengetahuinya,
"Emas sejati tak takut panasnya api" demikian katanya,
nyaring, "kiranya kaulah si Tio It Hiong palsu!"
It Hiong panas.
"She dan nama dia yang sebenarnya ialah Gak Hong Kun,"
katanya pada si nona. "sudah sekian lama dia telah menyaru
menjadi Tio It Hiong!!"
Justru itu Hong Kun, yang sudah ngeloyor pergi, balik
kembali, langsung dia menghadapi nona Tonghong dan
berkata secara temberang, "Nona, jika nona mau menyaksikan
aku yang rendah menempur jahanam ini, silahkan kau datang
kegunung In busan! sekarang ini aku tidak mempunyai
kesempatan buat melayani dia!"
"Benarkah itu?" ejek Tonghong Liang, yang mendahului
kakaknya membuka mulut. ia pun membuat main kedua belah
tangannya di depan mukanya.
Biar bagaimana, panas juga hatinya Hong Kun.


"Orang mulut jail, kau mencari susahmu sendiri!"
bentaknya. "Kau lihat, nanti akan tiba saatnya aku memberi
hajaran padamu!"
Kiauw Couw mengulapkan tangan pada adiknya, kemudian
ia berkata pada orang jumawa tetapi licik itu:"Kalau orang Bu
Lim mengadu kepandaian, biasanya dia mulai secara
memuaskan, oleh karena itu kalian berdua buat mengadu
kepandaian apa perlunya kau mesti menanti sampai waktu
lainnya? kenapa naniti sampai di In busan?"
Hong Kun melengak, mukanya merah, ia bungkam.
It Hiong lantas berkata:"Rupanya nona belum tahu! lagi
beberapa hari, yaitu tanggal lima belas bulan pertama saatnya
kaum sesat menempur kaum sadar, sekalian kaum sesat
berikut bajingan-bajingannya dari luar lautan, bakal berkumpul
di gunung In Bu San, guna mengadakan pertemuan atau
pertempuran yang mereka namakan Bu Lim Cit Cun. guna
disana mendapatkan kepastian paling pandai, gagah dan
lihai!"
"Benar demikian!" Hong Kun menyelutuk. "kau yang
menamakan dirimu kaum sadar, jika kau berani, datanglah
keau kesana! beranikah kau?"
It Hiong tertawa.
"Telah pasti aku akan menyambut tantangan itu" sahutnya.
"Di sana aku nanti minta pengajaran dari kau kaum Heng San
Pay!"
Hong Kun berdiam, karena ia ingat bahwa ia harus
menjawab si nona, maka ia lantas berkata:"Kau benar, nona


memang kalau kaum rimba persilatan bertempur, tak usah
mereka memiliki tempat dan waktu, akan tetapi lainlah halnya
aku dan jahanam ini, kami mau mengadu ilmu pedang kami
sebab aku hendak memperoleh keputusan dalam urusan
merampas isteri orang! di sana akan dapat diputuskan siapa
yang bakal memperoleh julukan yang nomor satu dikolong
langit ini!"
Tonghong Kiauw Couw Heran mendengar kata-kata?
Merampas isteri orang" itu pikirnya : "Siapakah yang
merampas isteri orang? bagaimana duduknya itu? ia adalah
seorang wanita, bahkan seorang nona, tidak heran kalau ia
memperhatikan sekali soal itu, maka dalam herannya, ia
tanya:" kalian bukannya mengadu pedang, kalian justru
berebutan isteri! buat itu, kalau mau bertempur hidup atau
mati! kenapakah?"
Hong Kun dengan sikap dan suara gagah berkata:"Di
antara kami tidak ada satu jua yang dapat hidup bersama,
karenanya kami harus mengambil keputusan dengan cara
kekerasan! maka itu kebetulan sekali, kami hendak
menggunakan saat pertemuan di In Bu San untuk mengambil
keputusan! keputusan akan diambil di muka orang-orang
gagah supaya jahanam ini mati puas! disini, cuma nona
seorang yang menyaksikannya! biarlah dunia rimbah
persilatan semuanya mengetahui segala kejahatannya dan
dosa-dosanya!"
Gusarnya It Hiong bukan kepalang, akan tetapi ia masih
dapat mengendalikan diri, maka juga sebaliknya daripada
mengumbar hawa amarahnya, ia justru tertawa.
"Sahabat she Gak, benar katamu ini!" katanya. "Siapa yang
tubuhnya penuh kejahatan dan dosa, nanti di In Busan dapat


diputuskan! itu waktu sang pedanglah yang bakal memberikan
keadilan!"
Hong Kun menunjuk pedang berikut sarungnya ditangan It
Hiong, ia berkata pada nona Tonghong "Nona, kau telah kerna
tertipu! bagaimana mudah kau menyerahkan pedang pada
jahanam ini! bukankah nona seperti menampar pipi sendiri?
bukankah nona bakal ditertawai orang?"
"Urusan mengembalikan pedangku adalah urusanku sendiri,
bukan urusanmu!" menjawab si nona terang dan tegas.
"Karena itu, tak berhak kau untuk mencampur tahu! aku tahu
apa yang aku lakukan!" ia berdiam sebentar, baru ia
menambahkan:"Sebenarnya aku ingin menyaksikan kalian
berdua mengadu kepandaian, siapa yang menang dialah Tio It
Hiong sejati, dia pula pemilik asli dari pedang Keng Hong
kaim! siapa sangka, kau telah melepaskan hakmu? siapa yang
harus disalahkan?"
Hong Kun terdesak, tetapi dia tertawa. "Aku yang rendah
bukan melepaskan hakku!" katanya membela. "Aku hanya
menjanjikan tempat dan waktu kepada jahanam ini! maka itu,
nona, kalau aku benar-benar seorang yang menepati janji, aku
minta kau jangan dahulu menyerahkan pedang sebelum ada
pertempuran yang memutuskan!"
Kembali orang she Gak itu hendak menghasut, supaya si
nona batal mengembalikan pedangnya.
Kiauw Couw cerdas sekali, tak mudah ia terpedayakan.
maka juga ia berkata:" Bu Ie San tak dapat disamakan dengan
In Bu San, dari itu, urusan pemulangan pedang dengan
urusan pertandingan kalian berdua tak dapat disangkut
pautkan! pedang itu terserah padaku, pada siapa aku merasa
senang, kepadanya akan aku menyerahkannya! kau telah


melepaskan hakmu, maka pedang aku serahkan pada sahabat
ini!"
Gak Hong Kun melengak, gagal ia dengan lidahnya yang
tajam.
"Nah, sampai jumpa pula di In Bu San!" kemudian ia
berseru, terus ia melompat pergi, akan terus lari turun
gunung!
It Hiong lantas memberi hormat pada si nona.
"Nona, kau baik sekali, telah kau mengembalikan
pedangku," katany "Nona aku menghaturkan banyak-banyak
terima kasih! nona, lain waktu kita akan bertemu pula! sampai
jumpa lagi!"
Begitu ia menutup mulutnya, It Hiong pun mau berlalu.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba si nona mencegah It Hiong
menundah kepergiannya.
"Kalau ingin bicara apa, nona?" tanyanya sabar.
Dengan tampang sungguh-sungguh, Kiauw Couw berkata:"
Sebenarnya aku mengembalikan pedang ini, bertentangan
dengan maksudku yang semula, maka juga hal itu kalau
diketahui kang ouw, orang akan menertawakan aku, ah......"
Nona itu berhenti bicara dengan tiba-tiba , mukanya merah
sendiri.
It Hiong dapat menerka kekhawatirannya si nona.


"Bagaimana caranya mengembalikan pedang itu yang
dapat membuat hatimu tenang, nona?" ia tanya.
"Coba kau memikirkannya" sahut si nona, dia justru
membalikan.
It Hiong heran hhingga ia melengak, bagaimana justru ia
yang harus memikirkannya.
"Jika aku yang memikirkannya nona, mungkin nona justru
nanti tak menyetujuinya," sahutnya.
Nona itu tersenyum.
"Cobalah kau utarakan itu," katanya si nona "Percaya, tak
nanti aku mempersulitmu. buatku sudah cukup asal itu
selayaknya atau selaras..."
It Hiong heran juga, setelah urusan sampai begini jauh,
masih ada ekornya yang berupa syaratnya aneh ini,
"Bukankah mudah saja buat aku meninggalkan pergi" pikirnya,
disaat itu, ia memang tidak mendapat memikirkan sesuatu,
maka sekian lama ia berdiri diam saja.....
Ketika itu sudah mendekati tengah hari, diantara rantingranting
pohon, burung-burung kecil beterbangan pergi datang
dan turun naik sambil ramai mengasi dengan celotehnya.
ditanah datar itu, sunyi segalanya.
Dalam keadaan diam itu, It Hiong mengangkat kepalanya
melihat kelangit. Tiba-tiba ia melihat beberapa ekor burung
elang lagi beterbangan. tiba-tiba juga ia ingat sesuatu.
Pikir, inilah saatnya buat ia memberi kepuasan pada si
nona, siapapun telah berdiam saja.


"Saudara Bu Pa, silahkan kalian datang kemari!" ia
memanggil muda-mudi murid -muridnya Gwa To sin mo itu.
yang tengah duduk berduaan dan berbicara asyik akan
mencicipi madu asmara, hingga mereka melupai segala urusan
lainnya, tak peduli It hiong dan Hong Kun telah bentrok.
Si anak muda masih harus mengulang-ulang panggilannya,
baru Bu Pa berdua mendapat dengar dan menoleh, lantas si
pria menarik tangannya si wanita, buat diajak lari
menghampiri.
"Ada Perintah apakah tayhiap?" Bu Pa tanya sambil
memberi hormat.
"Aku hendak meminta kembali pedangku ini, suka apalah
kalian berdua menjadi saksinya, " kata It Hiong.
Bu Pa segera menepuk dadanya dan berkata:" Tayhiap,
urusanmu ialah urusanku si Bu Pa, maka itu tak peduli ada
urrusan bagaimana besar, aku berani bertanggung jawab"
In Go melirik dan berkata perlahan:"Orang belum lagi
menjelaskan urusannya kau sudah tergesa-gesa tidak
karuan...."
"Begini duduknya hal ini" It Hiong segera memberi
keterangan:"Mulanya syarat si nona Tonghong akan
mengembalikan pedang ialah si pemilik pedang harus
bertempur dahulu dengan nona, dan kalau si pemilik menang
satu atau setengah jurus , barulah pedang itu dikembalikan,
tetapi sekarang telah berubah, maka si nona mengubah juga
syaratnya itu, bahkan ia menghapus, tapi si nona khwatir
orang kang ouw nanti menertawakannya, kalau ia
menyerahkan dengan bersahaja, dari itu ia....."


"Kau menghendaki kami berbuat apa, sahabat she Tio?" In
Go bertanya .....
"Bagaimana harusnya aku bilang, kalian berdua cuma
diminta menjadi saksi saja" sahutnya It Hiong. "kami tidak
berani mmbikin berabeh atau sulit, "ia terus menghunus
pedangnya. "Maka itu di depan kalian dan nona Tonghong,
hendak aku pertunjukan ilmu silat pedangku yang buruk,
itulah Gie Kiam hui Hong sut, ilmu pedang terbang, dengan
pertunjukan ini aku harap akan dapat meyakinkan nona
Tonghong dan membuatnya kelak tidak mendapat tertawaan
orang yang tidak tahu duduknya urusan kita ini."
"Itulah bagus!" berseru Bu Pa dan In Go "Aku akur! suka
aku menjadi saksinya."
Nyatanya Tonghong Kiauw juga menyetujui cara itu,
katanya:"sahabat, dengan mempertontonkan ilmu
kepandaianmu itu, aku anggap itu melebihkan cukupnya Bila
kita mengadu pedang, bahayakan itu justru membuat kami
tambah penglihatan serta pengetahuan! silahkan!"
"Baiklah, nona!" berkata si anak mudah, "Saudara Bu Pa,
kalian saksikanlah,"
Segera setelah suaranya berhenti, It Hiong sudah lompat
mencelat dengan Te Ciong sut, ilmu meringankan tubuh
Tangga Mega, sembari berlompat itu, ia mementangkan kedua
belah tangannya dalam sikap jurus "Pek ho liang ce," --jenjang
putih membuka sayap, ia melompat tinggi dan kaki lebih
berbareng itu, ia menghunus pedangnya, seterusnya ia
melompat tak hentinya, tinggi jauh, hingga gerak-geriknya itu
nampak mirip orang yang lagi terbang melayang mundar
mandir, selama mana selain pedangnya dibulang-balingkan,


hingga sinarnya pedang berkilauan, ia bergerak dengan
sangat cepat dan lincah, hingga ujung bajunya pun terus
berkibar-kibar.
Bu Pa berdua In Go, terutama Tonghong Kiauw Couw ,
juga Tonghong Liang, mengawasi tanpa berkedip, mereka
sangat tertarik hatinya, kagumnya bukan main. bahkan
Tonghong Liang yang kekanak-kanakan turut menjadi
mendelong saja, dia merasa tegang sendirinya, tanpa merasa
ia mendekati kakaknya akan memeluknya.
Lewat sekian lama maka tiba-tiba saja It Hiong mencelat ke
depannya ke empat orang penontonnya itu, dia menginjak
tanah tanpa suara, menandakan kesempunaan dari ilmu
peringan tubuhnya itu, ia tersenyum dan berkata
merendah:"Telah aku memperlihatkan pertunjukan yang
buruk......"
Tonghong Kiauw Couw berempat masih mengawasi anak
muda itu,
"Nona, bagaimana sekarang?" tanya si anak muda.
"Cukupkah pertunjukanku ini menenangkan hatimu?"
Dari diam mengawasi, nona Tonghong lantas tersenyum.
sekarang tenanglah hatinya, maka ia menjadi girang sekali.
diam-diam ia sangat mengagumi pemuda tampan di depannya
itu, yang memiliki kepandaian demikian lihai.
"Tadinya aku keliru memandang kau, tayhiap?" katanya
kemudian mengakui kekeliruan pandangannya. "Aku harap
tayhiap suka maafkan aku"
Selagi berkata begitu, nona ini melirik pada In Go dan Bu
Pa, maka ia mendapatkan si nona In masih merangkul


pacarnya, sebab tadi itu dia kagum berbareng ngeri
menyaksikan pertunjukan luar biasa dari It Hiong itu, dia
ternyata mendapat serupa kesan seperti Tonghong Liang
mengenai kepandaian It Hiong, menyaksikan tingkahnya Nona
In itu, ia jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah
dadu.
Justru Kiauw Couw melirik padanya, justru In Go menoleh
juga, maka dia menjadi likat sekali, sebab orang pergoki dia
lagi merangkul Bu Pa, lekas-lekas dia melepaskan
rangkulannya, sembari memisahkan diri, dia merapikan
rambutnya, guna menutupi rasa malunya itu,...
Bu Pa sebaliknya sudah lantas berkata nyaring "Inilah
dibilang bahwa kenyataan mengalahkan segala apa! inilah
ilmu pedang yang langkah dikolong langit ini! kalau nanti ada
oarng yang usil mulut, yang berani menyatahkan yang tidak
tidak, maka aku Bu Pa, aku suka menjadi saksinya! malah
sebagai saksi, aku sangat girang, mukaku menjadi terang!"
Tidak cuma berkata begitu, Bu Pa bertindak menghampiri It
Hiong, guna memberi hormat buat mengutarakan
penghargaannya.
Maka It Hiong menjadi tersipu-sipu membalas hormat itu.
"Ah, saudara Bu Pa bisa saja!" katanya.
"Terima kasih, saudara, yang kalian suka menjadi saksi
kami!"
Tonghong Liang pun menghampiri It Hiong, tangan siapa ia
cekal keras-keras.


"Kakak, aku minta sukalah kau mengajari aku ilmu Gie
Kiam Hui Heng Sut itu!" pintanya.
It Hiong menyukai bicoh itu, tak tega ia menampiknya,
maka ia berkata:"Nanti adik, setelah selesai pertemuan besar
di In Bu San, baru aku mengajari kau"
Tonghong Ling menerima baik janji itu, dia girang sekali.
"Inilah janji!" katanya.
Bu Pa dan In Go sementara itu tercekat hatinya. keduanya
menjadi tidak enak, mendengar di sebutnya gunung In Bu
San, mereka jadi ingat pesan guru mereka disaat guru dan
murid mau berpisah, ketika itu sang guru. Gwa To Sin Mo,
memesan mereka buat datang tepat di In Bu San Nanti!
karena Ini, mereka menjadi merasa sukar.
Muda-mudi itu berasal dari kalangan lurus-lurus sesat, Gwa
To Sin Mo tidak terkenal jahat, hanya dialah ahli racun, hingga
dia memperoleh julukannya itu, Sim Mo, bajingan Sakti, dan
bantuannya dibutuhkan Im Ciu It Mo, yang hendak membikin
"Hoa Hiat Thian Lo," Jaring langit yang dapat mencairkan
darah. karena itu, tak dapat tidak, sin mo mesti pergi ke In Bu
San, karenanya kedua ,muridnya ini pun di pesan mesti pergi
ke gunung itu, tentu saja kedua murid ini menjadi sulit
sendirinya, di Bu Ie San ini mereka telah bertemu Tio It Hiong
dan telah mendapat pertolongan dari pemuda kaum lurus
yang baik hati itu, bagaimanan nanti di In Busan andaikata
mereka mesti menghadapi It Hiong sebagai lawan?
Mulanya Bu Pa dan In Go tidak memikirkan soal
pertentangan diantara kedua golongan sadar dan sesat,
gurunya p[un tidak bersangkut paut, sampai Im Ciu It Mo
membujuk gurunya berpihak pada kaum sesat itu, baru


mereka merasakan kesulitannya itu, demikianlah kali ini, selagi
mereka berdiri menjublak, It Hiong sudah berpamitan dari
Tonghong Kiauw Couw sambil ia berkata: "Nona, berkat
pedang ini, kita telah bersahabat! nona, gunung itu tinggi, air
itu panjang, maka itu, sampai berjumpa pula lain kali!"
Kiauw Couw berduka sekali, ia merasa berat berpisah dari
anak muda itu. tanpa merasa, air matanya berlinang-linang.
"Sahabat she Tio," katanya dengan berduka, "Jika kau tidak
memandangku sebagai orang luar, aku minta sembarang saat
kau sudi datang menjenguk kami....." dan mukanya pun
merahlah......
It Hiong mengawasi, ia bingung untuk memberikan
jawabannya, menghibur atau menampik? ia jeri untuk lakon
asmaranya. dilain pihak, tak ingin ia membuat si nona
bersusah hati, ia mesti menjawab dengan tepat! ia mengawasi
sekian lama, lalu ia menghela napas, untuk akhirnya berkata:"
Sampai jumpa pula, nona Tonghong! sampai jumpa pula, "
segera ia memutar tubuhnya, buat melangkah dengan cepat
sekali hingga lekas juga ia lenyap dikaki gunung!
Tonghong Kiauw couw berdiri mengawasi, matanya
mendelong saja, semangatnya seperti telah disedot anak
muda yang tampan dan gagah itu!
Jilid 61
Bu Pa dan In Go berpamitan tetapi nona Tonghong seperti
tak melihat atau mendengarnya, sebab sebab ia masih terus
berdiri menjublak, matanya tak berkedip mengawasi kekaki
gunung dimana It Hiong menghilang.....


Masih lama nona ini berdiam terus, ketika kemudian ia
bagaikan tersadar, seperti orang melamun ia berkata seorang
diri, "aku mesti pergi melihat dia...."
Tapi Tonghong Liang, sang adik, mengwasi saja lagak
kakaknya itu, kemudian ia menyambar tangan orang, buat
ditarik, buat diajak pulang ke Kiu Kiok Ceng Kee.
*****
Dunia Bu Lim, Rimba persilatan, atau kalangan kang Ouw--
sungai telaga, telah digemparkan berita tentang Bu Lim Cit
Cun, pertemuan besar kaum Bu Lim, diwaktu mana bakal
dilakukan pertandingan mati hidup diantara kaum sesat dan
kaum sadar dikarenakan kaum sesat hendak merebut
pengaruh, untuk menjadi jago tunggal agar kelak dunia
menjadi dunianya sendiri, supaya selanjutnya mereka dapat
melakukan apa yang mereka suka, lebih-lebih setelah tibanya
hari-hari pertama dari permulaan tahun, sebab pertemuan
akan diadakan pada tanggal lima belas bulan pertama hingga
waktunya sudah datang dekat sekaali.
Dari perbagai penjuru angin orang telah datang kegunung
In Bu San, tempat pertemuan besar itu, telah datang orangorang
dari dua golongan, terutama mereka yang bersangku
paut, karena datangnya dari berbagai arah banyak yang tanpa
berjanji, maka juga datangnya pun masing-masing, cuma
sedikit yang berombongan, setelah sampai digunung, barulah
orang belkelompok masing-masing.
Semua orang yang datang itu pula terdiri dari berrbagai
golongan, sebagaimana dari cara berpakaiannya atau
berdandannya. ada orang-orang biasa, ada imam To kauw,


atau biksu dan nikouw kaum hud kauw, ada pelajar, ada juga
pengemis, usianya pun tak tentu, ada yang tua, ada yang
muda atau setengah tua, hanya yang seragam senjata
mereka, pedang dan golok.
Diatas gunung kau sesat dan kaum lurus memisahkan diri,
masing-masing ada gubuknya sendiri, ada gubuk yang ketiga
dan itulah dari kaum penonton, maka juga gunung, yang
tadinya sepi dan sunyi, sekarang menjadi ramai.
Diatas puncak utama, yang dipilih sebagai medan
pertempuran, terdapat tanah datar yang luas, yang beralaskan
rumput, hingga itu merupakan tempat yang tepat sekali buat
maksud tersebut, disekitar itu, yang gundul, terdapat banyak
batu berserakan serta juga pepohonan kecil.
Puncak itu dinamakan Pek Lok Hong, di kiri dan kanan itu
terdapat puncak-puncak lainnya yang sambung menyambung,
juga rimbanya, oleh karena kaum sesat mengambil tempat
disebelah kiri, maka sedirinya kaum lurus menempati bagian
sebelah kanan.
Tio It Hiong berangkat dari Bu Ie San, propinsi Hokkian, dia
melakukan perjalanan cepat, tanpa singgah kalau tidak ada
perlunya, waktu ia sampai di tempat, tujuan itu, waktunya
sudah tanggal lima belas, bahkan diwaktu magrib, ia ulet
tetapi toh ia merasa lelah juga, hanya setelah tiba, hatinya
merasa lega, ia tak terlambat, dikaki gunung ia berhenti, buat
lantas menangsal perutnya, ia membekal rangsum kering,
sembari makan dan beristirahat itu, ia mengawasi orang-orang
yang baru tiba, yang bagaikan berbelok berjalan mendaki
gunung.
Dipermulaan musim semi, sisa hawa dingin belum lenyap,
seluruhnya, maka juga diwaktu magrib, mega masih tebal,


akan tetapi matahari sore cerah, hawa udarapun nyaman
sekali.
Satu kali, It Hiong melihat tibanya serombongan orang,
yang menarik perhatiannya. Itulah kira-kira sepuluh orang
pendeta, diantaranya ada sebuah tandu atau usungan terbuat
dari rotan peranti ditanah pegunungan, diatas itu bercokol
seorang biksu yang telah berusia lanjut yang tampangnya
tenang sekali, sedangkan jubahnya kuning serta lehernya
digantungkan rantai mutiara Liam Cu.
Dengan lantas It Hiong mengenali biksu tua itu, ialah Pek
Yan Siansu. orang suci dari kuil Bie Lek Sie ,orang yang
pernah menghadiakan Wan Ie Jie, obat yang pernah
menolongnya bebas dari kematian keracunan.
Di belakang tandu itu berjalan sekalian biksu, dua yang
depan adalah Liang Houw Siang Ceng, sepasang biksu naga
dan harimau, yang gelang-gelang emasnya dilengannya
bercahaya berkilauan! gan Sek Sie digunung Ngo Tay San,
murid-murid dari kepala Pie Sie Siansu, yang lainnya, yang
anak muda kita kenali, adalah Bu Kie hwesio dari Siauw Lim
Sie.
Tadinya It Hiong hendak muncul, akan menemui para biksu
itu, tetapi ia gagal sebab kedua tukang mengusung tandu itu
jalan cepat bagaikan lari, maka agar tidak mencurigai orang,
ia batal menyusul.
Sebenarnya Pie Sie Siansu sudah sampai terlebih diatas In
Bu San, dia datang dengan mengajak Pie Te Siansu, adik
seperguruannya, adalah ia yang mengirim surat mengundang
Pek Yam Siansu karena bantuannya Biksu ahli racun itu perlu
guna menghadapi para bajingan yang beracun


Baik kuil Gwan Sek Sie dari Ngo Tay San maupun kuil Bie
Lek Sie dari Ciong Lam San, dua-duanya menjadi cabang dari
Siauw Lim Sie gunung Siong San, karenanya Pie Sie dan Pek
Yam terhitung sebagai pendeta-pendeta dari satu kaum dan
satu tingkat juga, juga Liauw In taysu dari Siauw Lim Sie telah
mengirim undangan pada Pek Yan Siansu, hingga biksu tua itu
dan berilmu ini tak dapat tidak turun gunung, maka itu para
biksu yang mengiringi Pek Yam, kecuali Bu Sek dan Bu Siang,
semuanya pendeta dari Siauw Lim Sie.
It Hiong tidak mendapat tahu sebab musabab dari
datangnya Pek Yam Siansu itu. maka ituy ia merasa heran,
tengah ia berpikir itu, tiba-tiba telinganya mendengar
beberapa kali seruan, yang datangnya dari kaki gunung. ia
lantas menoleh, ia melihat mendatangi sebuah joli, yang
dilarikan keras, tendanya dikasihh turun, dan jendelanya
tertutup dengan jala hitam, hingga tak terlihat siapa
penumpangnya, sebentar saja, joli itu sudah lewat jauh.
Walaupun sudah magrib, itu waktu masih saja ada orang
yang datang mendaki gunung, seperti tak putusnya.
Tidak lama, dengan suara sedikit berisik, tampak
mendatangi serombongan wanita, yang berambut panjang
dan dikasih turun terlepas, semua mereka itu mengenakan
ikat pinggang tersulam, disebelah depan mereka berjalan
belasan orang lainnya.
"Ah, mereka pun telah tiba!" kata It Hiong didalam hati,
sebab ia kenal semua wanita itu ialah tujuh orang muridnya
Im Cin It Mo, belasan orang yang berjalan di muka itu, sinar
matanya semua sinar mata bodoh dan jalannya pun sambil
tunduk.....


Ketika Ek Toa Biauw lewat di sisi It Hiong, dia mengangguk
memberi hormat, di menyapa, sebab dia mengenali anak
muda kita dan dia tak jumawa, dan dia menyapa terlebih
dahulu, maka si anak muda mengangguk menyambutnya.
"Apakah kalian saja yang baru tiba? “It Hiong tanya.
Ek Toa Biauw tertawa.
"Guru kami duduk di joli, tadi telah jalan lebih dahulu,"
sahutnya.
Mendengar itu maka mengertilah It Hiong bahwa joli tadi
diduduki Im Ciu It Mo.
Selewatnya rombongan Cit Biauw Yauw-lie itu, cuaca makin
suram.
"Apakah aku pun sudah waktunya naik keatas," pikir si
anak muda.
Atau hampir bertepatan dengan itu, tiga orang perrempuan
tampak mendatangi, mereka semua bertubuh ramping, semua
membekal pedang pada punggungnya, dan jalannya pun
tenang-tenang saja, sebab sembari mendaki mereka itu sambil
bicara. diantaranya terdengar kata-kata:" kakak Kiauw In...."
Mendengar demikian, tiba-tiba saja semangatnya It Hiong
terbangun, segera dia memasang mata, atau lantas hatinya
menjadi girang luar biasa.
Meskipun dengar samar-samar, segera ketiga wanita itu
dapat dikenal si anak muda sebagai tiga orang terhadap siapa
dia paling prihatin! maka tidak waktu lagi, ia berlari pergi
memapaknya.


"Kakak!" panggilnya setelah ia datang dekat.
Dengan lantas ketiga orang perempuan itu menghentikan
langkahnya, semua mengangkat muka, mengawasi ke depan,
hingga mereka pun mendapat lihat siapa yang menyapanya
itu.
Ketiga orang itu ialah Kiauw In yang terdepan, lalu Pek
Giok Peng, lalu Tan Hong si nona kaum sesat yang telah sadar
dan mengubah tingkah lakunya.
"Oh, kau adik Hiong?" nona Cio menanya. "Kau sendiri
saja?"
Belum lagi orang menyahuti. Giok Peng sudah lompat
menyambar lengan orang seraya dia berkata keras:"Oh,
bagaimana sukarnya aku mencari kau!"
"Kakak Hiong, Tan Hong pun menyapa dengan girang luar
biasa, "Bagaimana kesudahannya kau meminta pulang
pedangmu, kakak? bagaimana kau dapat tiba terlebih dahulu
dari pada kami?"
It Hiong demikian gembira hingga ia tidak tahu siapa yang
ia mesti jawab.
"Mari!" Kiauw in lalu mengajak, ia insaf bahwa jalanan itu
bukannya tempat mereka memasang omong, ia menarik
tangannya Giok Peng sambil menambahkan:"Adik Hiong tak
bakal lari, maka itu mari kita cari tempat yang aman di mana
kita dapat berbicara dengan bebas"
Giok Peng semua setuju, maka berempat mereka berjalan
bersama, mereka pergi jauh tiga tombak dari jalanan, di sana


ada sebuah batu besar, di belakang batu itu mereka
menempatkan diri, hingga mereka tak mudah dilihat orang
lain.
It Hiong segera memberika penuturan bagaimana caranya
ia berhasil mendapatkan pulang pedangnya. ia bercerita jelas,
dan akhirnya ia memberitahukan, Tan Hong halnya kakak
seperguruan kakak nona itu yaitu Beng Leng Cinjin, kedapatan
digunung Hek Sek San dalam keadan ingatannya terganggu
disebabkan terpengaruhkan orang jahat.
Tan Hong kaget, berduka dan gusar berbareng, hingga ia
menggertak gigi.
"Sungguh jahat, Im Ciu It Mo!" berkata si nona dalam
sengitnya, " Bairlah, akan aku mencara balas terhadapnya,
supaya aku dapat membantu kakakku itu!"
"Adik, kau sabarlah, " Kiauw In memberikan nasehat, "
Janganlah kau terpengaruhkan kemarahanmu hingga
pikiranmu menjadi kacau. mernurut aku, lebih dahulu kita
pergi ke In Bus San, di sana kita tuturkan perihal kakakmu itu
dan kemudian pikirannya para cianpwe. aku kira mereka tentu
akan memberi petunjuk bagaimana kita harus bertindak.
"Menurut terkaanku tentunya Gak Hong Kun turut
memainkan peranan dalam urusan ini" Giok Peng
mengutarakan sangkaannya.
"Itulah benar," It Hiong kasih tahu, "It Yap Tojin justru
menjadi pemimpin di belakang layar dalam usaha Bu Lim cit
Cun itu! laginya...."
Sudah terlanjur bicara, It Hiong memikir buat mengasih
tahu halnya, bahwa dalam pertemuannya dengan Hong Kun di


Bu Ie San, pemuda she Gak Itu telah menentangnya
bertempur di In Bu San nanti.
Justru itu, Giok Peng telah mencelanya:"Lagi apa? kau
bicaralah, apa mungkin kau menyangsikan aku masih berat
memikirkan manusia buruk itu?"
It Hing tertawa, tak sudi ia menimbulkan urusan lama, itu
cuma akan membuat nona Pek menjadi menyesal, berduka
dan mendongkol saja, ia tertawa dan berkata, :"Urusanmu
dengan Hong Kun ada bagaikan awan yang telah buyar dan
lenyap, oleh karena itu tak usah kakak masih mengingatnya!
Tio It Hiong bukanlah seorang laki-laki yang cemburu...."
Kiauw tertawa.
"Kau bicara tidak lancar, adik, maka juga adik Giok Peng
menjadi tidak sabaran!" katanya, "kau mengatakan
lagian.......Nah, kau bicaralah terus! lagian apakah itu?"
"Lagiannya begini kakak...."sahut It Hiong, yang terus
menceritakan bagaimnan ia meminta pedangnya tetapi di
gunung Bu Ie San ia bertemu dengan Hong Kun yang ngotot
mengaku diri sebagai" Tio It Hiong," hingga kesudahannya
pemuda itu she Gak itu, menantangnya buat mengadu
kepandaiannya di gunung In Bu San.
Mendengar itu , Giok Peng tertawa.
"Kalau begitu aku keliru menerkamu!" katanya, yang
mengakui kekeliruan terkaannya.
Habis itu, masih mereka bicara lain-lain urusan, mereka
asyik sekali hingga tanpa ,merasa mereka ditinggal pergi sang
waktu, hingga tahu-tahu sang malam telah tiba dan si putri


malam mulai memperlihatkan cahayanya yang indah permai,
malam itu terang mirip seperti siang hari....
Tiba-tiba malam yang sunyi dipecahkan suara siul yang
nyaring dan tajam seperti menikam telinga, hingga It Hiong
berempat lantas menggerakkan tubuh mereka, untuk berbalik
dan mengawasi dari mana suara hebat itu datang, dengan
demikian mereka lantas melihat seorang wanita tua bersama
seorang nona muda sekali mendatangi mereka, mereka
berdua itu mirip nenek dan cucunya.
Kedua orang perempuan itu menggunakan masing-masing
baju panjang dengan tangan pendek, kaki mereka tanpa
sepatu, dan bajunya itu disulam dengan kupu-kupu warna
merah maron, hingga nampak sangat mencorong dan
mentereng!
Si nona yang berjalan disebelah depan, meriap-riapkan
rambutnya yang turun kebahunya, usianya baru tiga atau
empat belas tahun, dialah yang memperdengarkan suara
siulan tajam itu, berulang-ulang, tak hentinya, hingga
sikapnya itu yang aneh pasti membuat orang merasa heran.
It Hiong melengak, ia telah melihat dan mendengar banyak
tetapi tidak kenal nenek dan kacung wanita itu, demikianpun
Kiauw In dan Giok Peng, tidak demikian dengan Tan Hong,
nona yang menjadi salah satu Cin dari Hek Keng To, pulau
Ikan lodan hitam dari Hay-lam, ingat yang ia pernah
menemukan dua orang itu ditengah jalan disuatu tempat
dalam propinsi Ouw lam, bahwa ia kenal mereka itu.
"Eh, kakak Hiong, kenapa kau nampak bingung?" tanyanya
pada It Hiong, ia tertawa. "Apakah kakak lupa halnya kau
pernah bertemu dengan mereka itu?"


It Hiong menggeleng kepala.
"Seingatku, belum pernah aku bertemu dengan
mereka...."sahutnya.
"Kalau demikian, benar-benar kau lupa!" berkat si nona, "Si
orang tua adalah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Le Kong Sam
di Haylam...." kemudian ia menunjuk si nona kecil seraya
melanjutkannya: "anak itu bernama Cio Hoa, muridnya, dan
siulannya itu ialah ilmu kepandaian yang istimewa dari Ang
Gan Kwie Bo, namanya Toat Pek Im Po, yang dia sangat
andalkan, Cio Hoa masih muda, kepandaiannya itu dia
pergunakan sebagai semacam barang mainan, dia belum
melatihnya sampai sempurna kepadiaan itu, hingga suaranya
cuma terdengar tajam, tidak demikian apabila Ang Gan Kwie
Bo, sendiri yang menyuarakannya, orang menjadi putus
nyawa karenanya...
"Jika perempuan dari Lamhai itu begitu rupa, dia bakal
menjadi lawan berbahaya bagi kita," kata Giok Peng.
Tan Hong tertawa.
"Dengan kata-katamu ini, kakak, kau jadinya mengangkat
Ang Gan Kwie Bo terlalu tinggi?" katanya. "Dia lihai cuma
dalam siulannya itu, sedangkan kepandaiannya silatnya belum
berarti banyak!"
"Bagaimana kau pikir kalau kepandaiannya Ang Gan Kwie
Bo itu dipadu dengan suara seruling maut Kwie Tiok Mo Im
dari Kwie Tiok Giam Po, kaucu dari Losat Kauw dari gunung Ay
lo san,"katanya. kemudian, "karena aku harus membantu
melindungi cianpwe Beng Kee Eng, aku telah turun gunung
terlebih dahulu, jadi aku tidak dapat mendengar siulannya itu,
cuma kau sendiri yang mendengar........."


It Hiong berdiam, akan tetapi otaknya berpikir,
terbayanglah peristiwa digunung Ay lao san itu dimana ia telah
menempuh bahaya, hampir jiwanya melayang disebabkannya
terjatuh kejurang....
Kiauw In yang sejak tadi berdiam saja, turut bicara.
"Bagaimana lihainya ilmu kaum sesat, jangan kita gentar
hati," demikian katanya, "Tak dapat pikiran kita terganggu
oleh karena itu, bukankah buat kau adik, sama saja itu adalah
Toat Pek Im Po atau Kwie Tiok Mo Im? kau toh telah makan
belut emas! kita harus berlaku tenang dan tabah,
It Hong diingatkan pada darahnya binatang itu, maka
segera juga pikirannya menjadi tenang, karena itu, ia sangat
bersyukur pada kakak seperguruannya itu, Giok Peng dan Tan
Hong pun mengagumi ingatannya tajam dari si nona.
"Ingatanmu sangat tajam, kakak," kata It Hiong,
menggoda, "Pantaslah kalau kakak menjadi separuh
guruku!......"
Kiauw In tersenyum, sedangkan Giok Peng tertawa dan
segera berkata pada suaminya:"Kau pintar sekali bicara, ya?
kalau kau mau mengangkat kakak In sebagai separuh
gurumu, lebih dahulu kau mesti menjalakan kehormatan besar
padanya"
Disebutnya kata guru membuat nona Cio ingat barang
sesuatu, lantas ia merogoh kedalam sakunya, buat menarik
keluar dua pucuk surat tertutup, itulah "kim long" surat
rahasia, dari gurunya, yang ia telah menyimpannya dengan
berhati-hati, setelah itu ia mendekati It Hiong, katanya:"Ketika
guru kita mau melakukan perjalanan merantau, ia telah


meninggalkan tiga pucuk surat rahasia untuk kita, sampai
sebegitu, baru sepucuk yang telah kita buka. sekarang masih
ada dua buah lagi kau lihat, adik, ditempat dan disaat ini,
bukankah saat buat membukanya? Aku maksudkan surat yang
kedua"
It Hiong menyambuti.
"Kakak benar, " sahutnya. ia melihat sampul surat
bertuliskan empat buah huruf, bunyinya "Ban Hoa Pie Teng"
yang berarti "selaksa bunga menutupi langit (atau kepala)" ia
lantas menyobek pinggiran sampul, akan menarik keluar
suratnya.
Ketiga nona datang dekat sekali pada si anak muda, hingga
berempat mereka merubung menjadi satu, sebab semuanya
ingin segera melihat bunyinya surat, setelah surat dibeber,
maka mereka membacanya sebaris dari enam belas huruf
kecil, beginilah bunyinya: Gie Kiam Siauw Seng, Ban Ho Apie
Teng Ay Lao Tek Cie, Hek Sek Yu Keng"
Berempat muda-mudi itu lantas mengawasi saja, tak
mudah mereka membacanya mengerti, mereka harus
menggunakan otak memikirin.
Lewat sekian lama, Kiauw In yang mulai bicara, katanya:
"Menurut dugaanku, surat rahasia ini, kita terlambat
membukanya. ada disebut-sebut nama Ay lao dan Hek sek,
itulah toh gunung Ay lao sian dan Hek Sek San? bukankah
adik Hiong telah menjelajah sarang-sarang bajingan dikedua
gunung itu?"
It Hiong mengangguk.


"Aku sepakat dengan kau, kakak," katanya. "Rupanya
sampul ini harus dibuka setelah kita meninggalkan Ay lao san
atau sebelumnya pergi Ke Hek Sek San, benar demikian,
bukan?"
"Tapi, apakah artinya dua baris, atau delapan huruf yang
pertama itu?" tanya Giok Peng.
It Hiong berpikir, sampai ia bagaikan tersadar.
"Empat huruf dari baris kedua, itulah kata-kata rahasia,
atau kunci buat mempelajari Ilmu Gie Kiam Hui Heng Sut,"
katanya, "ban hoa pie teng berarti berlaksa bunga menutupi
langit, maksudnya ialah di waktu mempelajari ilmu pedang
orang harus mencapai batas kesempurnaan, buat mana, hati
mesti tetap, belajar mesti tekun, hingga akhirnya orang dapat
terbang mengedalikannya pedang, Yakni Gie Kiam Siauw
Seng, jadi artinya ringkasnya belajar harus sungguh-sunguh
sampai maksudnya tercapai,"
"Jika demikian," Tan Hong turut bicara, "Rupanya gurumu
itu. kakak, bermaksud memberi anjuran pada kau, yaitu
setelah kau mememperoleh Ilmu Ay lao san, kau mesti
mempelajari itu sampai sempurna, seperti berlaksa bunga
menutupi langit, setelah mana, di Hek Sek San nanti, haruslah
kau berhati-hati, harus waspada sebab mungkin di sana ada
ancaman malapetaka."
"Aku kira taksiran adik Tan Hong cuma benar separuhnya
saja," kata Giok Peng, "menurut aku, empat huruf dari baris
ke empat, yang terakhir, berarti menunjuk pada kakak Kiauw
In, yang digunung Hek Sek San sudah terkena racun yang
mengekang kesadarannya, maksudnya ialah kita harus
berjaga-jaga akan ancaman bahaya itu,..."


"Aku percaya kau benar! adik Peng," Berkata Kiauw In,
"Hanya sekarang ini, semua telah berlalu lewat, nah, adik
Hiong, coba kau buka sampul yang ketiga itu, supaya kita
tidak menyia-nyiakan waktu dan terlambat seperti sampul!
kedua itu!"
It Hiong menurut, ia lantas membacanya muka sampul itu,
ketiga nona bersama melihatnya, nyata tulisannya ialah " Cit
Mo Tong Hian," Yang berarti "tujuh bajingan muncul
bersama,"
"Kleihatannya kali ini kita tidak terlambat" kata It Hiong
pada ketiga nona kawannya, sembari tertawa.
"Masih kau bicara saja!"" kata Giok Peng, "Bukannya lekas
buka sampulnya"
It Hiong menurut, ia merobek sampul dan menarik
suratnya, maka ia lantas membacanya Bunyinya:"satu racun
berubah tiga racun, seratus tak suka daging atas nampan,
darah bajingan mencuci pelangi kaget, laki-laki atau suami
kenal mulia dan hina malu,"
Kiauw In bertiga turut membacanya.
Lalu berulang-ulang mereka membacanya dan mengulangi
sebelum mereka dapat menangkap artinya maksudnya tulisan
itu, yang terbagi dalam empat baris, mereka sampai pada
"menunduk kepala akan mengasah otak," sebab semua katakata
itu sulit untuk segera ditangkap artinya dengan satu kali
melihat atau membaca saja.
"Bagaimana kalau kita masing-masing menerka satu baris?"
tanya Tan Hong.


Gio peng mengangguk.
"Sepakat," sahutnya, "Bagaimana caranya?"
Tan Hong mengulur tangannya, bergantian menunjuk
Kiauw In, It Hiong dan si nona Pek, katanya:" Kakak beramai
mengambil satu baris menurut runtunannya, dan aku baris
yang ke empat, yang terakhir! Bagaimana ??"
It Hiong semua setuju, maka itu, lantas mereka masingmasing
mengapali satu baris untuk mengingatanya diluar
kepala, hingga mudahlah bagi mereka itu buat memahami arti
dan maksudnya, karenanya lantas mereka itu berpikir, seperti
lakunya anak-anak sekolah.
"Aku mendapatkan baris yang ketiga," Kata Giok Peng
kemudian, "Aku anggap kata-kata itu sederhana sekali,
karenanya aku mengartikannya menurut sebagaimana
adanya,"
Baris ketiga itu ialh "darah bajingan mencuci pelangi langit
kaget," tegasnya darah bajingan dipakai mencuci pelangi
kaget, dan "pelangi kaget" ialah pedang mustika Keng Hong
Kiam, Keng=kaget, dan Hong=pelangi.
Kiauw In mengangguk, katanya, "Tepat! Keng Hong Kiam
dicuci dengan darah bajingan, itu artinya, kapan adik Hong
menghadapi ketujuh bajingan, ia mesti menghadapi
pertempuran yang berdarah, seteleh itu 'baru' ia akan berhasil
menumpas kawanan bajingan itu. tegasnya adik Hiong harus
menggunakan kekerasan!--dan aku, aku mendapatkan baris
pertama--satu racun berubah tiga racun, dengan racun pasti
diartikan si bajingan beracun, sulitnya buat aku ialah
pengetahuan atau pengalamanku yang kurang mengenai


sekalian bajingan itu? kenapa satu bajingan berubah tiga
bajingan? disaat ini, belum dapat aku menerkanya pasti...."
Juga Giok Peng dan Tan Hong kurang mengtahui halnya si
bajingan beracun--Tok Mo, cuma satu kali mereka pernah
melihat empat huruf "Giok Lauw Kip Ciauw" di pendopo Tay
Hong Tian didalam vihara Siauw Lim Sie, empat huruf
beracun, pertanda pembunuhan oleh Tok Mo, lainnya tidak,
kakek itu, tak dapat mereka membantu kakak yang tertua itu.
"Apakah tak mungkin bahwa si bajingan beracun itu, Tok
Mo ada satu yang tulen dan tiga yang palsu?" It Hiong turut
mengutakan terkaannya.
Kiauw In berpikir.
"Memang ada kemungkinannya adik, "sahutnya kemudian,"
Tapi, cobalah kalian memikirkannya terlebih jauh, kita
membutuhkan kepastian"
"Apakah tak boleh jadi, namanya saja satu Tok Mo tetapi
sebenarnya ada tiga orangnya?" Tan Hong turut membantu
berpikir.
"Mungkin kau benar adik, hong," berkata It Hiong, "didalam
satu bulan terakhir ini aku telah melihat dua orang Tok Mo
yang sama rupa dan tampangnya, ialah seorang pelajar tua
yang kulit mukanya sudah berkerut-kerut, entahlah Tok Mo
yang ketiga itu...."
Giok Peng nampaknya heran.
"Kalau baru menemui dua orang adik," Giok Peng pun
turut bicara, "Bagaimana kau dapat memastikan merekalah
dua orang? siapa tahu meerka itu cuma satu, yaitu pertama


kali kau ketemu yang satu, lalu yang kedua kali, dia juga
sebab mereka bagaikan kembar dan tentulah sukar
memastikan merekalah dua orang...."
"Inilah sebab aku memperhatikan suara mereka," It Hiong
menjelaskan, "Suara mereka berdua berlainan, bahkan halnya
Tok Mo yang satu itu, yang berada didalam sarangnya Im Ciu
It Mo, aku mendengarnya dari mulut Cit Biauw Yauw Lie,
katanya dialah Couw Kong Put Lo yang menyamar, entahlah
Tok Mo yang kedua itu...."
"Jika demikian adanya adik,"Kiauw in turut bicara pula,
"mungkin sekali Tok Mo yang ketigapun si Tok Mo yang palsu,
jadi benar seperti katanya guru kita, bahwa Tok Mo satu
berubah menjadi tiga Tok Mo.........guru kita mengerti ilmu
meramal, mestinya ramalannya itu tidak salah!"
"Ya, demikianlah terkaanku," kata It Hiong, "ketiga Tok Mo
palsu tiga-tiga!'nya.
"Taruh kata benar demikian adanya" tanya Tan Hong,
"Habis bagaimana dengan Tok Mo yang satu itu, yang tulen?"
"Bukankah tadi adik mengatakan ada satu saja namanya
tetapi tiga orangnya?" It Hiong tanya, "Kenapa sekarang adik
mengatakan begini? tentang itu baik kita tak usah repotkan
pula, pedang Keng Hong Kiam menjadi pedang pembela
keadilan dan penakluk bajingan, sekarang tak usah kita
rewelkan pula dia bajingan tulen atau si bajingan palsu,
biarlah ujung pedang yang nanti menentukan!"
Gagah bicaranya si anak muda, dia nampak sangat
bersemangat.


"Dari ke empat baris surat rahasia, yang tiga telah dapat
kita tafsirkan," kata Giok Peng. "Sekarang tinggal yang ke
empat adik Hong, coba kau menjelaskan pendapatmu."
Tan Hong lantas membaca mengapali baris terakhir itu,
"Laki-laki atau suami kenal mulia dan hina atau malu," terus ia
berpikir, baru ia berkata"Menurut aku, aku kira maksud
singkatnya yaitu setelah seseorang berhasil dalam usahanya,
dia menepi digunung atau dalam rimba, akan mencuci tangan
dari kalangan sungai telaga, bagaimana, apakah kakak
beramai setuju?"
Kiauw In mngenagguk.
"Menurut pikiranku," katanya, "Kalau nanti di In Bus san
pihak kita berhasil menumpas kawanan bajingan sesat itu
maka selayaknya apabila Adik Hiong bertindak sebagai
seorang laki-laki sejati yang kenal akan kemulian dan
kehinaan, buat menjadi orang gagah yang tahu gelagat, guna
selanjutnya menutup diri dan menyepi di tanah pegunungan
atau rimba, akan menempuh sisa hidup selanjutnya...."
Mendengar itu, alisnya It Hiong terbangun.
"Bagus, " serunya, "semua pesan suhu, akan aku Tio It
Hiong mentaatinya! selesai urusan di In Bu San, akan aku
mengajak kakak bertiga tinggal bersama ditanah pegunungan!
di sana kita bersama akan melewati hari-hari kemudian kita
!....."
Kata-kata itu dikeluarkan secarah sungguh, maka juga
ketiga orang nona itu menerima dan menyambutnya dengan
berkesan sekali, lebih -lebih Tan Hong, yang kenal diri, sampai
dengan perlahan ia berkata:"Tan Hong adalah perempuan asal
kaum sesat, mana dapat ia memikir yang tidak-tidak? mana


dia mempunyai rejeki besar akan hidup bersama kalian, para
kakak? Ah......."
Dengan tampang sangat mengasihi, It Hiong
berkata:"didalam halnya manusia bergaul atau bersahabat,
yang paling diutamakan ialah mengenal hati satu sama lain!
maka itu, apabila telah tiba saatnya, akan aku mengambil
keputusan yang bijaksana, yang pasti tak bakal
mengecewakan kalian!, sekarang ini masih terlalu pagi buat
menyebutkan itu!"
Mendengar kata-kata "Tak bakal mengecewakan kalian" itu,
bukan main terbukanya hatinya Tan Hong, dia merasa sangat
lega dan bersyukur, dia girang sekali.
"Aku....Aku......" katanya dan tak dapat ia meneruskannya,
sebab Kiauw In mencelanya:"Apa lagi yang hendak kau
katakan, adik? kita adalah sesama orang kaum sungai telaga,
dada kita harus lebar bagaikan perahu, kepalan kita harus
keras dan ulet! bukankah soalmu soal remeh, dari itu buat
apakah kau memikir dan mengkhawatikrkannya?"
Tan Hong terdiam, matanya mengawasi nona Cio, sinarnya
menyatakan yang ia sangat beryukur, sebab Kiauw In sangat
sabar dan lapang dada, pikirannya terbuka sekali, dia tak iri
atau jelus, dia bahkan sangat mulia!
Begitulah mereka berempat, memasang omong, sampai
rembulan mulai selam ke arah barat, barulah mereka berjalan
mendaki gunung.
Besoknya pagi. makin banyak orang yang naik ke In Bu
San, hingga ke kiri dan kanan puncak Pek Lok Hong,t ampak
hanya kilauan dari golok dan pedang.


Lagi satu hari lewat maka tibalah di hari yang dinantinantikan
cia-gwee-cap gouw, tanggal lima belas bulan
pertama. malam itu diperbagai kota dan kampung di seluruh
negeri, orang merayakan pesta Goan siauw, atau Cap go meh,
sebaliknya, diatas puncak In Bu San, kedua belah pihak
menghadapi saat-saat pertempuran yang memastikan ,
disamping mereka yang hadir untuk menonton.....
Kedua belah pihak yang berkelompok sudah bersiap sedia
didalam masing-masing rombongannya. di pihak sesat orang
memilih It Yap Tojin sebagai ketua di bantu oleh Kip Hiat
Hong Mo Touw Hee Cie dari lembah Ceng-lo Ciang gunung Bu
liang san serta Im Ciu It Mo dari Hek Sek San, it yap tenang
sekali melihat datangnya sedemikian banyak kawan yang
tersohor.
Dipihak sadar, pendatangpun bukan main banyaknya,
disamping wakil-wakil kesembilan partay persilatan besar,
hadir juga banyak guru silat tersohor, bahkan orang yang
tadinya sudah lama tak muncul dalam dunia kang ouw,
terutama orang yang tak disangka-sangka, yang sudah empat
puluh tahun lebih hidup menyendiri. dialah Pek Yam Siansu
dari vihara Bie Lek Sie.
Perubahan terjadi selekasnya pihak sesat melihat pasti
keadaan rombongan pihak lurus itu, orang lantas pada saling
mengalah, bahkan Gwa To Sin Mo lantas mengundurkan diri
sebab dia kena bujuk Bu Pa Dan In Go kedua muridnya, yang
tidak sudi bermusuhan dengan Tio It Hiong.
Kerugian lain dari pihak sesat itu ialah dengan mundurnya
juga Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Cie, sebab dia itu, setelah
melihat It Hiong, ia lantas ingat pada janjinya dahulu dengan
anak muda itu, dan dia mundur seketika.


Karena mundurnya dua anggota penting itu, susunan
penyelenggara pun turut berubah. telah diadakan pemilihan
ketua yang baru, It Yap Tojin tidak dapat sesatu penuh
disebabkan dia adalah orang kaum "sama tengah" sebab
tadinya dialah orang lurus dan baru belakangan masuk ke
dalam kalangan sesat, setelah pemilihan baru, kedudukan
ketua di pegang oleh Im Ciu It Mo di bantu oleh hong gwa
Sam Mo dan ketiga Tok Mo, si bajingan tunggal.
Im Ciu It Mo lantas mengirim Ek tou Biauw, murid pertama
diantas Cit Biauw Yauw Lie, buat pergi ke pihak lurus, buat
menyampaikan tantangan untuk memulai pertempuran besar
yang memutuskan.
Dengan berjalan cepat, sebentar saja Toa Biauw sudah
sampai digubuknya pihak sadar, dengan mudah ia diijinkan
masuk kedalam kemah terakhir, untuk menghadap Liauw In
Tianglo yang lagi di temani It Hiong bersama Kiauw In, Giok
Peng dan Tan Hong.
Ek Toa Biauw mengenali It Hiong dan Kiauw In, Giok dan
Tan Hong asing baginya, Liauw In mengenakan jubah kuning.
biksu itulah yang dihampirinya, akan memberi hormat
padanya seraya berkata:"Ek Toa Biauw dari Hek Sek San
datang menghadap bapak pendeta ketua dari Siauw lim pay!"
Liauw In memblas hormat seraya menanya nona itu ada
punya pengajaran apa untuknya.
Toa Biauw mengawasi dahulu pendea itu dan orang-orang
lainnya. baru ia menjawab:"ketuadari bu-lim Cit cun, yaitu
guru kami, Im Ciu It Mo, mengutusku menyampaiakn surat,
kepada loSiansu untuk memohon loSiansu sudi membacanya,"


Dengan membungkuk hormat, si nona mengeluarkan
surtanya dan terus menghaturkan itu,
Pek Giok Peng berbangkit akan menyambuti surat itu,
setelah itu ia berkata:"silahkan pembawa surat menunggu
dipinggiran gua menantikan balasan!" Terus ia menyerahkan
surat lawan pada tetua Siauw Lim Sie itu.
Liauw In menyambuti surat itu, karena ia tahu apa
bunyinya itu, ia tidak membuknya, hanya terus ia berkata
pada si nona pengantar surat, bahwa ia sudah mengerti dan
meminta si nona menyampaikannya balasan bahwa pihaknya
telah siap sedia menerima tantangan.
Ek Toa Biauw menyahuti dan berpamitan. ia baru berjalan
beberapa tindak, atau si biksu, yang tampangnya sangat
berkesan baik, memanggilnya kembali, maka lekas ia memutar
tubuhnya dan menanya, biksu itu mempunyai titah apa.
Liauw In menangkapkan tangannya dan
berkata:"Sebenarnya di antara kita berdua kaum tidak ada
permusuhan untuk mati atau hidup, yang hanya perselisihan
belaka, hal mana mudah dibataskan asal kedua belah pihak
dapat membataskan diri dan tak usah membinasakan, maka
itu lolap hendak memberi nasehat kepada gurumu itu supaya
dia mundur teratur, guna mencegah bencana, ia, asal gurumu
itu suka menghapus niatnya menjagoi dunia Bu Lim, suka
lolap mengajak para ketua dari sembilan partai meninggalkan
tempat ini, agar selanjutnya kita hidup rukun sama-sama,
maukah nona menyampaikan pesanku ini pada gurumu?"
Demikianlah pendeta tua itu, yang hatinya pemurah, yang
tak menyukai pertumpahan darah, hingga ia suka bicara
demikian halus maka sayang sekali, pihak sesat tetap sesat,
jalannya kesasar, tak sudi mereka menoleh akan melihat


pantai keselamatan, yang masih muda sama pendiriannya
seperti gurunya itu.
Begitulah nona ini bersenyum dan menjawab, "losiansu,
maaf, tugasku bukan untuk menyampaikan kata-kata
losiansu ini kepada guruku, nah, ijinkalah aku yang muda
mengundurkan diri!"
Begitula suara ditutup, begitu orangnya memutar tubuh
melanjutkan perjalanannya pergi.
Menyaksiakn kelakuan orang itu, Laiuw In menghela napas.
"Amitabha budha, inilah takdir, yang tak dapat diubah!"
katanya, masgul, ia terus duduk sambil tunduk seraya mendoa
perlahan sekali, lewat sesaat ia mengangkat tangannya,
diletaki di depan dada, terus ia menengadah kelangit untuk
memberi hormat seraya mengucap:"Budha kami yang maha
pemurah, maafkanlah muridmu ini yang tidak mempunyai
guna, yang tidak mampu menyingkirkan malapetaka, hingga
kekerasan mesti diambil juga, supaya kawanan bajingan dapat
disingkirkan, guna membela keadilan, terpaksa muridmu mesti
memegang pimpinan dalam usaha penindasan kepada kaum
sesat yang ganas dan kejam itu!"
Ketika itu Ek Toa Biauw sudah kembali kepada gurunya,
guna menyampaikan jawabannya pihak lurus itu, maka Im Ciu
It Mo segera bekerja, menitahkan orang-orang pihaknya
bersiap sedia, terutama didalam urusan menyiapkan perbagai
racun, guna dipakai menghadapi lawan, ia ingin, pada
saatnya, musuh dapat diserang dengan senjata yang sangat
berbahaya itu!.
Kapan sang magrib dan sore telah lewat tibalah sang
malam, rembulan indah, udara pun bersih dari sang mega,


cahayanya si putri malam membuat tanah lapang, yang
dijadikan medan laga itu, terang mirip siang hari.....
Tidak lama maka muncullah rombongannya kaum sesat,
mereka mengambil lapangan sebelah barat, menghadap pihak
sadar disebelah timur, mereka sudah lantas mengatur
kedudukan dengan Cit Biauw Yauw Lie berdiam di depan
gurunya, untuk dapat menerima segala titah.
Liauw In duduk rapi bersama ketua delapan partai. Pek
Yam Siansu duduk tetap diatas usungannya, yang diletaki di
belakang Liauw In beramai, sebab ia tak mau maju kemuka, ia
duduk sambil memejamkan mata, nampaknya ia seperti tak
memperdulikan soal pertempuran hidup mati itu, ia hanya
dikawal empat orang biksu bersenjatakan golok kayTo, yang
berdiri dikedua sisinya, di depannya setiap biksu itu terdapat
sebuah guci besar berisi arak, yang baunya keras tersiarnya!.
Sudah rembulan terang, di kedua belah pihak orang pun
memasang banyak obor yang besar-besar, hingga dilapangan
itu terlihat suasana malam disebabkan cahaya semua obor itu.
Sang waktu berjalan terus.
Tepat kira jam permulaan maka ditengah udara lantas
terdengar siulan yang nyaring dan panjang, suaranya tajam
seperti menusuk telinga, terasa nyeri, itulah pertanda dari
pihak barat, pertanda bahawa pertandiangan akan dimulai.
Disaat itu, sunyilah suara orang di sebelah timur dan barat,
bahkan sunyi juga diantara rombongan penonton, yang
berkelompok sendiri dilain bagian dari tanah lapang itu, untuk
sejenak, mereka itu kaget dan khawatir, syukur suara tajam
itu lenyap tak lama kemudian.


Menyusul berhentinya pertanda itu, seorang perempuan
lompat keluar dari bagian barat, untuk maju kelapangan
dimana dia terus memberi hormat krarah timur seraya
berkata:"pertemuan sudah dimulai! silahkan ketua dari
golongan lurus maju kemuka buat berbicara!"
Duduk disisi kiri Laiuw In ialah Hay Thian sin lie dari
haylam. dia memuji sang Buddha, terus berkata pada tertua
siauw lim pay itu:"suheng, bagaimana kalau dititahkan murid
kami Cukat Tan keluar untuk menemui lawan?"
Liauw In mengangguk.
"Baiklah, Sin-ni!" sahutnya. "Lolap setuju!" lantas ia
memberi isyarat pada seorang murid di depannya, siapa sudah
lantas berkata nyaring:"Cukat Tan murid dari Ngo Bie pay,
silahkan maju!"
Cukat Tan yang berada di dalam rombongan murid tingkat
dua, sudah lantas menyahuti seraya terus bertindak maju,
akan terus memberi hormat pada ketua lalu terus maju lebih
jauh sampai ketengah medan pertempuran. dia memberi
hormat pada si nona dari pihak barat itu serta menanya:
"nona akulah Cukat Tan dari Ngo Bie pay, aku ditugaskan buat
berada disini, maka itu, ada pengajaran apakah dari nona?
silahkan beritahukan!"
Wanita itu tertawa tawar.
"Oh, segala orang tak berarti!" katanya, "kaulah Cukat Tan
dari Ngo Bie pay? tapi kau berani maju kesini, kau boleh
dibilang berani juga!"
Cukat Tan mendongkol hingga sepasang alisnya bangkit
berdiri.


"Nama Cukat Tan memang tidak mengangetkan orang
tetapi dia berani menyebut namanya terang-terangan!"
katanya keras, "tidak sebagai kau, nona, kau tak punya nama
sama sekali!"
Nona itu tertawa dingin.
"Sahabat, silahkan berdiri biar tegak!" katanya keras,
"nonamu hendak memberi tahukan namanya!"
"Hm!" sambutnya Cukat Tan, mengejek.
Nona itu cuma berhenti sejenak, segera terdengar pula
suaranya yang nyaring:"Kau dengar baik-baik! Nonamu ialah
Ek Toa Biauw muridnya Im Ciu It Mo dari Hek Sek San!"
Dia memang murid kepala dari sibajingan tunggal dari Hek
Sek San.
Cukat Tan tertawa.
"Kiranya kaulah anggota dari Cit Biauw Yauw Lie!" katanya,
"Aku khawatir dari Toa Biauw kau bakal berubah menjadi put
Biauw!"
Itulah ejekan, "Toa Biauw" berarti "cantik luar biasa"
sedang "put Biauw" ialah "tidak cantik" alias jelek! maka itu,
mendnegar demikain, matanya Toa Biauw melotot.
"Kau pandai memainkan lidahmu!" bentaknya. "Bilang, kau
datang kemari untuk berbicara atau bertempur?"
"Untuk bicara!'


"Nah, kau dengarlah ! Guruku, Im Ciu It Mo, berkatai
bahwa, pertama kali kita bertarung, kita menggunakan
senjata! pihakmu akan mengajukan siapa?"
Cukat Tan merabah gagang pedangnya.
"Aku yang akan belajar kenal dengan pihakmu," sahutnya.
Ek Toa Biauw lantas saja pergi kepihaknya, dirombongan
sebelah barat itu, guna menyampaikan kabar pada gurunya,
segera muncul seorang yang bertubuh besar, yang mukanya
hitam dan brewokkan, serta senjatanya sebuah tok kak
tongjin, boneka terbuat dari tembaga, dia berjalan cepat
memasuki kalangan.
"Akulah Peklie cek, tongcu nomor satu dari losat kauw dari
gunung Ay lao san!" demikian katanya dengan nyaring.
"Bocah, kalau kau melawan aku, aku khawatir usiamu yang
muda membuatmu tak tahan menerima satu kali saja
hajaranku!"
"Cukup!" seru Cukat Tan sambil memberi hormat,
"silahkan?"
Berkata begitu anak muda kita menghunus pedangnya.
Melihat demikian, Pek lie cek sudah lantas menggerakkan
senjatanya yang hebat dengan apa dia menghajar pedang
lawan, maksudnya untuk dengan satu gerakan saja membuat
senjata lawan runtuh!
Cukat Tan tidak mau mengadu senjata, pasti pedangnya
yang ringan kalah dari boneka yang berat itu, maika ia
menggunakan kegesitan tubuhnya dan kelincahannya, ia


menarik pulang pedangnya untuk diteruskan menyerang pula,
hingga lawan menjadi repot ketika ia menyerang terus-terusan
tiga kali!
Pek lie kaget, terpaksa ia melompat mundur.
Cukat Tan tidak mau mengerti, ia melompat menyusul,
untuk mengulangi serangan saling susul, dengan demikian, ia
seperti mengurung lawan itu.
Peklie repot sekali, dia selalu mesti membela diri, karena
mana menjadi kena terdesak, bonekanya yang berat dan
panajng seperti membuatnya sulit bergerak dengan leluasa,
dia menang latihan tetapi kalah gesit.
Dengan mengandalkan kegesitannya, Cukat Tan menampak
menang unggul dan keunggulan itu ia pergunakan sebaikbaiknya.
"Awas!' teriaknya mendadak setelah bertempur puluhan
jurus.
Pek lie kaget dan menjerit kesakitan, tubuhnya mundur,
bahu kirinya mengucurkan darah sebab ujung pedang lawan
menikam tepat.
Cukat Tan berhenti sampai disitu, ia melompat maju, guna
mengulangi serangannya, atau dari dalam rombongan lawan
terlihat seseorang lompat maju pada si hitam yang brewokan
itu, guna menolong dengan dia lantas menghajar pedangnya,
hingga senjata mereka beradu.
"Siapa kau?" bentaknya orang baru itu. "bagaimana kau
merasakan kim tay tongcumu ini?"


"Kim tay" adalah senjata sabuk sulam.
Cukat Tan heran, ia mengawasi penghadangnya itu,
seorang wanita cantik tetapi tampangnya bengis, matanya
sangat tajam.
Dia berdiri tegak di depannya Pek Lie cek.
"Kau sebutkan namamu!" kata Cukat Tan nyaring sesudah
ia mengawasi orang perempuan itu' "pedangnya Cukat tak
membinasakan perempuan siluman yang tak bernama!"
Wanita itu tertawa, dia mengawasi si anak muda yang
tampan, yang sangat menarik hatinya.
"Lou hong hui muncul guna main-main beberapa jurus
denganmu!" sahutnya tersenyum.
Cukat Tan tidak mau banyak bicara, pengalaman
memperingati ia untuk jangan memasang omong dengan
wanita centil itu atau genit, maka ia lantas maju menikam.
Wanita itu melompat muhndur, untuk mendapat
kesempatan memutar sabuknya yang panjang setombak lebih,
dengan cara itu, hendak ia melihat pinggangnya anak muda di
depannya itu!
Cukat Tan merasa sulit melayani senjata yang panjang
yang dapat diulur panajng itu, sedangkan pedangnya cuma
tiga kaki kira-kira, karena itu, perlu ia menggunakan siasat,
apa akal? mendadak ia menjatuhkan diri dengan jurus silat
"cacing bergilingan di pasir," tubuhnya terus menggelinding
menghampiri lawan, dengan demikian sambil berkelit, terus ia
membalas menyerang dibagian bawah, ia menyerang sambil
tubuhnya mencelat bangun.


Lou hong hui terkejut dan repot sekali, tidak dia sangka
lawan dapat lolos dari libatan sabuknya seraya terus
menghampiri dekat padanya serta menyrang dengan serangan
berbahaya itu, tapi dasarnya sudah berpengalaman, ia tidak
menjadi gentar atau bingung, ia berkelit dari ujung pedang
dengan tubuhnya lompat jumplitan, diwaktu mana, sebelah
kakinya terulur mendepak lawan!
Itulah berbahaya buat Cukat Tan, yang gagal menikam
lawannya, sulit buat ia menggunakan pedangnya atau berkelit
tubunhya. didetik yang sangat berbahaya itu, ia menjadi
nekat, terpaksa, terpaksa ia menyerang terus, buat celaka
bersama, demikian ia tidak menangkis atau berkelit ia justru
meneruskan tikamannya!
Tang hiang dipinggiran kaget sekali melihat pacarnya itu
dalam ancaman bahaya, dalam bingungnya ia menjerit sambil
berlompat maju, hendak mia membantui sang pacar atau
justru ia maju, justru ia menyaksiakn sesuatu yang
membuatnya heran dan tercengang!
Mendadak hoa hong hui dan Cukat Tan mencelat mundur
masing-masing, dua-daunya selamat tak kurang suatu
apapun!
Apakah yang telah terjadi?
Itulah sebab hong hui, yang banyak pengalamannya, tidak
mau celaka bersama, disaat yang tepat, dia dapat
membatalkan serangannya, sebaliknya dari pada menentang
terus, kaki lainnya dipakai menjejak tanah, buat melompat
mundur juga.


Menyusul itu terdengar siulan nyaring, yang menjadi abaaba
buat menunda pertempuraan, maka lou hong hui segera
mengundurkan diri dan Cukat Tan balik kedalam
rombongannya bersama-sama Teng Hiang, ketika itu Pek lie,
yang terluka sudah ditolong dan dirawat kawannya.
Pertandingan itu ditundah, bukannya dihentikan, maka itu
tak lama dari mundurnya hong hui berdua Cukat Tan, dipihak
sesat muncul lain pahlawannya,seorang pria setengah tua,
yang tangannya bersenjtakan golok dan tangan kirinya pisau
belati, dia betubuh besar, matanya bersorot bengis, yang luar
biasa ialah rambutnya hijau.
Melihat lawan itu, Teng Hiang mengenali Lek hoat jin long,
maka ia lantas menghadap ketuanya, mohon ijin maju buat
melayani lawan, ia memperoleh perkenan lantas ia maju.
Lek hoat jin long mengenali si nona mereka berdua pernah
bertemu di Kho-tiam cu. maka itu, tak mau Teng hiang bicara
lagi, bahkan ia lantas menyerang!
Lek hoat jin long menangkis serangan itu, dia lantas
tertawa, dialah si mata keranjanag, tak dapat ia melihat muka
kelimis atau timbullah maksudnya yang bukan-bukan.
"Oh, nona Teng Hiang!" katanya, "kembali bertemu pula
gunung dan air! sungguh kita berdua berjodoh!"
"Siapa kesudian mengadu mulut denganmu!' bentak si
nona, "lihatlah pedangku!'
Kembali Teng Hiang menyerang, kali ini ia menikam dan
menebas hingga tiga kali ini.


Masih Lek hoat jin long menggoda dengan kata-kata dan
tertawanya, ketiga serangan itu dengan mudah saja ia
menghalaunya, tapi sekarang Teng Hiang melihat sesuatu
pada lengannya lawan, lengan itu kaku dan bergeraknya
kurang lincah.
Memang, sepasang tangannya jin long telah dikutungkan
Kiauw In dan So Hun Cian Li si orang utan ketika diluar kota
Hen yang dia itu bertemu si nona dan Ya Bie serta binatang
paraannya itu, dia lihai, dia membuat sepasang tangan besi
dan masih tak mau tobat.
"Tanganmu kejam, nona." katanya tertawa, matanya
melirik Teng Hiang. "akan tetapi aku tahu, hatimu sebenarnya
baik bahkan manis, nah, marilah kita berdua main-main buat
beberapa jurus!"
Pria itu menggunakan golok, dengan senjatanya itu dia
menerjang lawannya, tetapi dia bukan menyerang seperti
biasa, hanya selalu menarik buah susu Teng Hiang, hingga
hatinya nona Teng menjadi sangat panas, dengan mendadak
ia membalas menyerang secara hebat!
******
Terpaksa Jinlong maju mundur, tetapi dia mundur sekalian
hendak menggunakan kesempatan, dia pun gusar sebab
terdesak itu. Mendadak dia meluncurkan lengan kirinya.
Kelihatannya dia menunju, tak tahunya tangannya
meluncurakn pisau belatinya itu, yang cahayanya berkilauan.
Teng Hiang kaget sekali, inilah ia tidak sangka, syukur
dalam keadaan terancam masih sempat ia menyampok pisau


belati itu,. tapi itu justru membuat kemarahannya meluap, ia
melompat sambl menebas bengis.
Masih Lek hoat jin long tertawa ceriwis, ia menangkis
dengan goloknya, kembali ia menyerang dengan tangan
kirinya yang sudah tidak bersenjata lagi, nampaknya ia
meninju, tidak tahunya mendadak tangannya itu
menyamburkan sesuatu seperti uap ungu, sebab itulah senjata
rahasianya, bubuk beracun Bie hun Tok-hun!
Teng Hiang terkejut, ia kena menyedot bubuk itu, tetapi ia
tidak takut, ia telah makan obatnya Pek Yam Siansu, bubuk
beracun itu tidak mempan terhadapnya.
Lek hoat jin long menggunakan bubuknya dengan dia
merasa sangat girang, dia percaya bubuknya itu bakal
berhasil, hingga mungkin dia dapat menawan nona buat
dibawah pulang, kedalam rombongannya, akan seterusnya
memiliki......
Justru bubuk itu belum buyar dan si pria ceriwis lagi
mengawasi tajam, mendadak dia melihat satu sinar berkelebat
ke arahnya, dia menjadi kaget, akan tetapi sebelum dia tahu
apa-apa, tubuhnya sudah roboh dengan jiwa melayang
seketika, sebab secara sangat cepat, Teng Hiang sudah maju
menyerang dengan satu tebasan ke arah pinggang hingga
pinggang itu putus!
Menyaksikan demikian, dari pihak barat lompat maju
seorang laki-laki yang tubuhnya jangkung kurus, yang kedua
tangannya memegang siang kauw, yaitu sepasang kaitan yang
menjadi senjatanya, dia gusar dan berkata bengis kepada
nona teng: "Eh, budak bau, kenalkah kau pada siauw tiong
beng dari to liong to?"


Teng Hiang menunjuk pada mayatnya Lek hoat jin lomnng
sambil ia berkat: "siapa yang tak kenal kamu dari pihak To
Liong To? kamu telah mengucurkan banyak darah yang
berbau bacin dalam dunia sungai telaga! semua orang
membenci kamu! hanya mengenai kau sendiri, sayang
pendengaranku kurang luas, belum pernah aku dengar
namamu! apakah kau mau turut teladan dia ini supaya kau
pun mati puas?"
Mata Tiong beng mendelik.
"Jangan mengoceh saja?" bentaknya. "lihat senjataku"
Dan sepasang kaitannya menyerang Teng Hiang itulah
jurus "sepasang naga keluar dari laut,"
Teng Hiang menangkis, terus ia membalas, bahkan segera
ia mendesak, tapi siauw cong beng tidak sudi mengalah, dia
mencoba-coba mendesak, hingga keduanya jadi bertarung
seru sekali.
Dalam ilmu pedang dan kaitan, keduanya sama-sama
sempurna, hanya dalam hal tenaga dalam, atau keuletan, si
nona kalah setingkat, rupanya, itu disebabkan perbedaan usia
dari mereka itu berdua, hanya dalam hal keringanan tubuh,
Teng hiang lebih unggul, dengan begitu dapat ia menutupi
kelemahannya.
Pertempuran seru dan berisik disebabkan sering beradunya
kedua senjata, diantara penonton didua-dua pihak pun kadang
terdengar puji-pujian buat masing-masing jagonya, disebelah
itu, kedua pihak sama-sama waspada, buat membantu
pihaknya apabila bantuan mereka diperlukan.


Mendadak saja satu sinar putih berkelebat, munculnya dari
arah barat, meluncur ketengah kalangan, maka segera tampak
Teng Hiang menjerit keras dan tubuhnya roboh ketanah, pada
bahunya tertancapkan sebilah golok lu yan To, dan dari
lukanya darah mengucur keluar sedang pedangnya lepas dari
gengamannya!
Justru itu si nona terjatuh maka siauw tiong beng
melompat ke arah lawannya itu sambil dia mengayun
kaitannya, sebab ingin dia merampas nyawa orang. Justru itu
juga dari arah timur bergerak tubuh melompat bagaikan
bayangan, melompat ke arah kalangan pertempuran, dan
sebelum lagi Tiong beng tahu apa-apa senjata kaitannya
terjun itu tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang dan darahnya
mencrat, dia rebah ditanah, tak berkutik pula.
Hebat penyerangnya Tiong Bneg itu, karena gerakannya
bagaikan kilat. Justru si orang she Siuaw roboh, dia justru
mengangkat bangun Teng Hiang, yang terus dipayang
dibawah pulang kedalam rombongannya. Dia bersenjatakan
sebatang pedang.
Semua orang dikedua belah pihak kagum sekali atas
gerakan penolong itu, sedangkan pihak kaum sesat kagum
berbareng kaget, kiranya dialah nona, yang sudah
menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega serta Ilmu
pedang Khie-bun patkwa kiam!
Dan dialah Cio Kauw In dari Pay In Nia, yang terpaksa
berbuat demikian guna membantu Teng hiang. Bukankah
nona itu pun roboh sebab terbokong?
Tengah nona Cio memayang Teng Hiang pulang, di
belakangnya tampak sesosok bayangan menyusul edngan
sangat cepat, didalam satu kelebatan, bayangan itu sudah


menghampiri sejauh dua tombak lagi! Menyususl itu, sehelai
sabuk panjang menyambar pada nona dari Pay In Nia itu,
bahkan itulah serangan “tok coa touw sin,--ular beracun
mementahkan racun”
Tepat orang menyerang padanya tepat Kiauw in memutar
tubuhnya seraya dia menebaskan pedangnya ke belakang,
maka itu dengan satu suara “sreet” perlahan, terkutunglah
senjata musuh, yaitu sabuk yang lihai itu. Kemudian tanpa
menoleh lagi, nona kita berjalan terus mengantarkan Teng
Hiang pulang kedalam rombongannya.
Bukan main mendongkolnya si penyerang gelap itu. Dialah
seorang bertubuh besar dan jangkung. Dia gusar dan malu.
Dila gusarnya, dia mengumbar hatinya. Maka juga dia
mendamprat:”Oh, budak hina dina! Kamulah bangsa palsu
semuanya siapakah diantara kamu yang mau datang kemari
akan menerima bisa?’
Suara itu keras dan keren, muka orang pun merah dan
membara, matanya melotot. Hanya sinar mata itu nampak
guram, kelihatannya ketolol-tololan.
Bu Sek hweshio dari liong houw Siang ceng segera maju
menyambut tantangan itu. Dia bertindak lebar hingga
jubahnya berkibar-kibar, pada lengannya tampak sepasang
kim hoan emas, yang bersinar berkeredipan. Dia menghampiri
lawan sambil memuji sang Buddha yang maha suci, terus dia
memberi hormat sambil berkata:”sicu, usiamu sudah lanjut
sekali, kenapakh masih begini tidak dapat bersabar?
Bagaimana kalau pin ceng yang menerima pengajaran
beberapa jurus dari kau?”
“Akulah kang Teng Thian dari to liong to!” orang itu
berseru memeprkenalkan dirinya. “Eh, keledai gundul yang


tidak mempunyai nama, jangan kau membuat ruyungku
menjadi kotor!”
Bu Sek tidak menjadi kurang senang. Sebaliknya ia tertawa.
“sicu, pin ceng adalah Bu Sek dari Gwan Sek Sie!” iapun
memperkenalkan dirinya. “pasti sicu pernah mendengar
namanya liong houw siang ceng!”
Mana Teng Thian tertawa lebar.
“Memang itulah nama yang bukan kecil!” katanya, baiklah
sekarang ini lohu hendak mencoba coba kepandaian, taysu,
untuk mendapat kenyataan nama besarmu itu, nama curian
atau bukan!”
Didalam keadaan otak tak sadar seluruhnya, kang Teng
Thian menyebut orang sekenanya saja, nama kepala keledai,
nanti taysu—panggilan suci untuk seorang biksu. Disaat itu, ia
lupa pada siauw tiong heng, adiknya yang ia hendak bela, dan
begitu dia menutup mulutnya, begitu dia menyerang lawan
tanpa menanti jawaban dari lawan itu!,
Bu Sek berkelit kesamping, dari situ lantas ia membalas
menyerang dengan gelang emasnya, ia galak seperti lawannya
itu, maka itu. Keduanya lantas saling menyerang atau
bergantian berkelit, nayta snejata mereka, satu panajng yang
lain pendek, menyulitkan msaing-masing, Teng Thian mau
renggang, Bu Sek sebaliknya, dengan demikian, masingmasing
ada kelemahannya, asal Bu Sek merangsak, Teng
Thian mundur, hingga karenanya, sipendeta selalu maju
mendekati! Sebaliknya dengan jago to liong to itu, karenanya
demikian,keduanya tak mudah dapat memperlihatkan
serangan-serangan yang dahsyat. Yang terang ialah Teng
Thian seperti kena desak….


Kang Teng Thian juga terganggu oleh pikirannnya, tak
dapat dia memikir dengan sadar. Maka itu, dalam cara
berpikir, dia menang unggul, baik diwaktu menyerang,
maupun disaat berkelit dapat ia mengira dengans seksama.
Diwaktu menyerang, ia pula dapat mencuri kesempatannya
yang baik.
Nampaknya kedua lawan itu sama tangguhnya, akan tetapi
dimata ahli. Teng Thian adalah yang kalah angin. Bahkan dia
sudah memasuki tahap berbahaya. Dia bukan kalah lihai
hanya kalah dengan kekuatan otaknya.
Lewat kira setengah jam. Pertempuran berlangsung makin
hebat.
Im Ciu It Mo senang menyaksikan pertempuran itu. Dia
memang hendak mengadu jiwanya jago-jago kaum sesat buat
keuntungan dirinya sendiri, supaya pihak lurus mendapat
kerugian jiwa, buatnya, kematian jago-jago tidak berarti apaapa,
tentu saja, Teng Hiang semua tidak insaf yang mereka
tengah dijadikan perkaakas.
Lewat lagi sesaat maka berakhirlah sudah pertarungan
dahsyat itu, tahu-tahu pedangnya si orang suci telah
menyambar batok kepalah siornag sesat, maka robohlah jago
dari toliong to, pulau naga melengkung, dengan kepalanya
pecah terbelah!
Im Ciu It Mo menyaksikan kekalahan pihaknya itu. Segera
merubah siasatnya, begitulah di lantas bersiul, memberi
isyarat kepada ketujuh orang muridnya:”Cit Biauw Yauw Lie,
supaya mereka itu yang mengajukan diri.


Ek Toa Biauw menerima titah. Ia memberi hormat pada
gurunya, lantas ia mengajak enam orang saudarinya maju
ketengah tanah lapang. Hanya disaat ia hendak mulai
mengatur tin, Barisan rahasianya tiba-tiba ia didahului
dihampiri Gu Tauw Kong, murid kepala dari Ceng Shia Pay
sebab orang she gu itu mengenali Ek ci Biauw sebagai murid
murtad dari partaynya., ia tidak sangka adik seperguruannya
itu kabur terus masuk menjadi murid kaum sesat, lebih dahulu
tauw kong menemui gurunya buat mengasih keterangan
tentang ji Biauw serta memohon perkenan memberikan
hukuman pada adik seperguruannya itu, setelah memperoleh
ijin barulah dia maju, dia menghunus pedangnya dan
menghadap Im Ciu It Mo, habis memberi hormat, ia
berkata”Aku adalah Gu Tauw Kong murid Ceng Shin Pay, ingin
aku melaporkan pada bapak ketua dari Bu Lim cit cun tentang
Ek Ji Biauw Yauw Lie, bahwa dialah murid Ceng Shia Pay
yang buron dan sedang dicari, kerananya sekarang aku
datang untuk menawan dan menghukumnya!”
Im Ciu It Mo tahu, memang benar Ek Ji Biauw adalah orang
Ceng Shia Pay yang lari kepadanya di Hek Sek San dan
menerimanya sebagai murid, tentu sekali tak berani ia
melindungi murid itu secara terang-teragan. Maka ia berlagak
pilon. Maka juga sengaja ia menegur:”Eh, Gu Tauw Kong,
bukankah disini ada terselip soal pribadi, yang kau hendak
mengumbar secara umum? Tidakkah dengan demikian kau
bakal memnbuat orang penasaran?”
Gu Tauw Kong menjawab dengan hormat:”Dia benar-Benar
murid murtad dari partai kami. Disini hadir paman guru dari
kami dan beliau dapat dijadikan saksi dari kebenarannya katakataku
ini!”
“Gu Tauw Kong!” kata pula Im Ciu It Mo, “kalau benar kau
hendak membersihkan partaimu, buat itu kau harus


menggunakan kepandaianmu, kalau kepandaianmu belum
berarti maka janganlah kau menyesal atau menyesalkan orang
lain! Terutama jangan kau nanti mengatakan aku kejam!”
“Itulah aturan kaum Bu Lim yang harus ditaati!” sahut
Tauw kong singkat.
Terpaksa mau Im Ciu It Mo, mesti membatalkan
penggunaan Barisan , ia panggil Ek Ji Biauw datang dekat
padanya, buat diberikan pesan sekalian diberikan juga secara
diam-diam sebungkus bubuk racun, guna si murid pakai
merobohkan lawannya, lawannya yang menjadi kakak
seperguruannya.
Ek Ji Biauw tidak menjadi jeri, ia mengandalkan pada
gurunya ini, bahkan ia girang sekali. Selekasnya ia
menghampiri Gu Tauw Kong, ia lantas menegur:”Eh, orang
she Gu, benarkah kau tidak memandang persahabatan lama
dan hendak membinasakan aku ?”
Tauw kong mengasih dengar suara dinginnya “Hm!”
berulang kali.
“Ek Ji Biauw, apakah kau masih tetap tak sadar?” tegurnya,
“kaulah si murid durhaka! Apakah kau menganggap dunia
kang ouw masih dapat menerima dirimu? Kau berbuat
pelanggaran, kau yang cari penyakit sendiri kenapa kau masih
membandel?’
Ji Biauw tertawa dingin.
“Siapa hidup siapa mati,. Dia harus mengandalkan
tangannya sendiri!” sahutnya keras dan gagah. Bahkan segera
dia menyerang dengan sabuk sulamnya, senjata yang
ujungnya kelihatan barang keras berupa seperti bulan sabit,


tapi itulah perkakas belaka, untuk ia mengtahui sampai
dimana sudah kemnjuan sang kakak seperguruannya yang
bengis itu.
Tauw kong berdiri tegak, ketika senjata sampai kepada
kepalanya, ia cuma berkelit, sikap tenang itu membuat si
nona percaya sang kakak telah menjadi lihai sekali, hingga
sulit buat ia mengalahkannya. Dari itu. Ia mau mengandalkan
racun bubuk gurunya. Lantas ia menyerang pula, kali ini
dengan sungguh-sungguh terus, terus dengan keras, hingga
sabuknya naik turun, ke kiri dan kanan, berputaran dan
melibat, menyambar-nyambar!
Gu Tauw Kong berlaku waspada dan gesit. Ia menangkis
dan berkelit dengan beraturan, ia pun membalas menyerang
setiap ada kesempatan, karena ia tidak mau hanya menjadi
sasaran, ia malah ingin lekas-lekas menyudahi pertempuran
itu!.
Segera setelah lewat banyak jurus, nampak Ek Ji Biauw
keteter, dia kalah lihai dan kalah hati juga. Oleh karena itu, dia
menjadi penasaran dan gusar sekali, hingga dia mengertak
gigi. Lantas dia mencari saat baiknya.
Gu Tauw Kong tidak menyangka jelek, ia mengira adik
seperguruan murtad itu sudah mogok, ia mendesak. Siapa
tahu, mendadak Ji Biauw menyerangnya dengan bubuk
beracunnya Im Ciu It Mo. Tak sempat ia menangkis atau
berkelit, dalam sekejap saja ia gelagapan, lantas ia roboh,
bahkan lantas keluar darah dari mulut, mata, hidung dan
telinganya.
Bukan alang-kepalang girangnya Ji Biauw yang ia berhasil
memperoleh kemenangan, sambil menuding mayatnya sang


suheng ia berkata:” kau mencari mampus sendiri maka jangan
kau sesalkan siapa juga….”
Baru Ek Ji Biauw mengeluarkan ejekannya itu atau
mendadak saja tubuhnya roboh tergulung dengan jiwa segera
melayang, hingga orang –orang kedua belah pihak menjadi
heran, tak terkecuali Im Ciu It Mo yang senantiasa mengawasi
gerak-gerik muridnya itu.
Ek Toa Biauw kaget dan heran tetapi ia lantas lari pada
adiknya itu, untuk mengangkat tubuhnya, buat dibawah
pulang, ketika ia memeriksa tubuh si adik seperguruannya,
tidak ada luka yang ditemui kecuali sebelah pelipisnya
berlobang kecil dan dari situ tampak darah meleleh keluar.
Im Ciu It Mo gusar sekali, tahulah dia yang muridnya itu
telah terbokong. Maka juga dia mengawasi ke arah lawan
dengan matanya merah seperti darah.
Berbareng itu waktu di sebelah timur. Hay Thian Sin Nia
berbangkit untuk terus memberi hormat pada Liauw In Tianglo
seraya berkata:”Saudara ketua, pin-ni memohon maaf atas
perbuatanku!’
Liauw In membalas hormat, sepasang alisnya bergerak.
“Sinni tidak bersalah apa-apa,” sabutnya. “Sinni toh tengah
menghukum muridmu yang murtad yang telah menjadi sesat”
Pi sie Siansu tertawa dan berkata: ”Sinni, sungguh lihai
ilmumu Tan ciu sinthong serta Bie lip ta hiat sungguh jitu dan
tepat, hingga lolap menjadi sangat kagum!”


Tan ci sin-thong ialah ilmu menyentil dengan jari tangan
serta Bie lip ta hiat adalah ilmu menimpuk jalan darah dengan
sebutir beras.
“Kalian baik sekali saudara-saudara!” Hay thian sinni
berkata pula. “perbuatan itu pinni lakukan karena terpaksa,
buat itu pinni bersedia menerima kutukan thian!’
“pinni” ialah sebutan ‘aku’ buat seorang nikouw.
Pi sie Siansu berkata pula: “seorang murid murtad harus
menerima hukumannya, apapula murid yang bandel dan
menjadi sesat dan jahat, hingga ia tak segan menggunakan
racun membinasahkan kakak seperguruannya sendiri. Orang
kejam semacam dia, kalau dia hidup terus, dia bakal berbuat
lebih banyak dosa, dia akan mencelakai lebih banyak orang
terutama kaum Bu Lim, sin ni telah membinasakannya,
Buddha kita tentu maklum dan akan memaafkan!’
Mendengar pembicaraan itu barulah semua pihak timur
ketahui sebab musababnya kematian Ek Ji Biauw. Hanya
selama itu, kedua belah pihak pada berdiam selama sekian
lama.
Sang malam makin larut, rrembulan sekarang berada
ditengah-tengah langit, angin gunung keras dan hawanya
sangat dingin sekali meresap di tulang.
Im Ciu It Mo sementara lantas berpikir keras, kekuranganya
Ek Ji Biauw menyebabkan Barisan Cit Biauw tin tidak dapat
dikerahkan. Jadi perlu dicari lain orang untuk diajukan guna
menantang lawan. Dia ingin sekali memperoleh kemenangan
…..


Tepat itu waktu. Ang gan kwi bo bangkit dari tempat
duduknya dan bicara dengan ketua Bu Lim cit cun,
menawarkan diri buat maju menempur musuh.
Im Ciu It Mo mengenal baik si biang iblis dari pulau Lee san
di Haylam itu, dia jarang mengembara, kurang
pengalamannya, dalam pertempuran, ilmu silatnya juga
sangat terbatas. Yang dia sangat andalkan adalah ilmu
sesatnya, yaitu:”Toat Pek mo im”—suara bajingan membetot
arwah, ilmu itu membuatnya menjadi jumawa. Sedangkan
senjatnya adalah sebatang tongkat rotan. Biasanya dia tidak
memakai sepatu, maka itu, dia melangkah ketanah lapang
dengan sepasang kakinya telanjang!
Bagi pihak timur, Ang Gan Kwie Bo boleh dibilang asing, dia
pun berwajah sangat luar biasa. Sudah rambutnya riap-riapan,
mukanya merah. Dia berjubah panjang, tetapi bertangan
pendek. Pada bajunya terdapat sulaman kupu-kupu warna
merah maron.
Cuma Tan Hong yang tertawa selekasnya si nona melihat
bajunya jago dari Lee san itu, dia lantas berkata:”Ditanah siok
sudah tiada panglima perang lagi, hingga Liauw hoa menjadi
sianhong, perwira yang maju di muka lihat, Ang Gan Kwie Bo
pun maju berperang!”
Tanah siaok ialah tempat formasi kerajaan tau dinasti Han,
dari Lauw pie, di jaman Sam Kok, tiga kerajaan.
Mendengar demikian, Pek Giok Peng berkata :”Biarlah aku
yang mencoba-coba bagaimana lihainya Biang iblis itu!”
“Ay ..ah, kau berhati-hati, kakak!” Tan Hong pesan.


Nona Pek lantas minta perkenannya Laiuw In Tianglo, terus
itu maju akan menghampiri yang baru itu. Bahkan tiba di
depan lawn, ia lantas menegur:”Ang Gan Kwie Bo, bukannya
kau bertapa digunung lee san, haylam, untuk hidup dengan
aman dan damai. Kenapa justru kau datang kemari
mencampuri diri dalam air keruh? Apakah kau tidak takut
mati?”
Orang yang ditegur tertawa terkekeh-kekeh, pertanda
bahwa dia berani sekali:”Nona, kau she apa dan nama apa?”
tanyanya. “Kau harus bicara dahulu!”
Sama sekali tak tampak tanda yang jago wanita dari Lam
Hay ini berniat berkelahi.
Terpaksa, Giok Peng pun tertawa menyaksikan lagak orang
itu.
“Akulah Siauw Yan Ji Pek Giok Peng!” demikian jawabnya.
“Pekerjaanku ialah menaklukan bajingan dan membekuk
iblis!”
Belum berhenti suaranya nona kita, atau Ang gwan Kwie Bo
sudah perdengarkan suara iblisnya, “Toat Pek Im Po,” –
gelombang suara memebtot arwah, --jeritan mana diulangulang
beberpa kali.
Suara itu sangat tajam masuk ke telinga bagaikan
mendatangkan rasa nyeri, sangat mengagetkan, dan bulu
roma bangkit berdiri karenanya, hingga tanpa merasa, orang
jeri sendirinya, demikian dengan Giok Peng. Dadanya
bagaikan bergolak, jantungnya berdebaran, darahnya
mengalis deras, hingga tubuhnya turut menjadi limbung,
terhitung mau jatuh! Karena itu jangan kata buat berkelahi,
buat menggengam pedang saja sukar…..


Bukan saja nona Pek, juga orang lainnya. Di sebelah timur
itu turut merasakan hebatnya Pekik iblis tersebut, darah
mereka terasa berjalan keras dan hati mereka goncang…..
Sementara itu. Tio It Hiong sudah memasang mata
semenjak Ang Kwie Bo mulai muncul, ia melihat dan
mendengar, begitu lekas ia mendengar suara orang dan
mendapatkan tubuhnya Giok Peng terhuyung-huyung, segera
ia melompat maju dan lari menghampiri, sedangkan
tangannya sudah menarik keluar Lee-cu, mutiara mustika dari
sakunya. Ia lari pada istrinya, yang mulutnya terus ia
desakkan mutiaranya itu, kemudian ia melompat mundur,
akan memasang mata, guna memberikan pertolongan lebih
jauh bila perlu…..
Ang Gan Kwie Bo girang sekali dapat menggunakan suara
jahatnya itu, ia terus memperdengar-kan lebih jauh. Hingga
suaranya makin mengentarkan, bagaikan Pekik burung
bajingan itu, ia sampai lupa menggunkan tongkat rotannya!
It Hiong mundur bukan melulu buat mengawasi Giok Peng,
diam-diam ia mengerahkan tenaga dalamnya menurut ilmu
Khie Bun Hian Thian Khie Kang, guna menutup semua jalan
darahnya, agar darahnya tak bergolak. Iapun terbantu
khasiatnya darah belut emasnya serta hasilnya latihan Gie
Kiam Sut. Maka juga suaranya si biang bajingan cuma
membuat darahnya bergerak sedikit. Ia dapat tetap berdiri
tegak menjagai isterinya.
Lain-lain orang tergempur hebat sebab Toat Pek Im po
diperdengarkan terus-menerus, orang telah menutup telinga
tetapi toh hati mereka goncang dan muka mereka pucat pasi.


Luar biasa khasiatnya Lee-cu, di dalam waktu yang pendek,
Giok Peng dapat pulih kesegarannya dan kesehatan tubuhnya.
Ia seperti tak terganggu sama sekali oleh suara aneh tapi
dahsyat dari lawannya. Maka diam-diam ia mengawasi
lawannya itu, lalu selagi mulutnya orang bekerja, tiba-tiba ia
menyerang dengan pedangnya!
Hanya dengan satu gerakan itu, tongkatnya Kwie Bo kena
dibikin terbang!
Nona Pek bergerak terus dengan sangat cepat. Dengan
pedangnya ia menuding si biang bajingan, sedangkan dengan
tangan kirinya ia menyambar rambut orang. Terus ia
mengancam:”tutup mulutmu! Apakah kau kira dengan ilmu
iblismu ini dapat kau menakuti nonamu?”
Giok Peng paksakan bicara, meskipun mulutnya lagi
mengulum mutiara mustika.
Ang Gan Kwie Bo kaget sekali, ia tidak menerka sama sekali
akan gerakan si nona lawannya itu. Memangnya ilmu silatnya
tidak lihai, lantas ia menjadi tidak berdaya, bahkan tubuhnya
gemetaran saking takutnya. Di dadanya sudah terancam ujung
pedang mustika. Hatinya berdebar keras, tubuhnya lantas
bermandikan peluh dingin. Ia menggoyang-goyangkan
tangannya. Mukanya menjadi sangat pucat, karena ia tidak
dapat lantas membuka suara, gerakan tangannya itu
merupakan permintaan ampunnya….
Cio Hoa sang murid menjadi kaget dan ketakutan. Diapun
tidak berdaya. Maka dia menghampiri gurunya, akan memeluki
kaki orang sambil dia menangis sesugukan.
Baru sekarang Ang Gan Kwie Bo menyesal, sampai air
matanya tergenang……


Giok Peng menggerakkan pedangnya, ia membabat kutung
rambut orang yang panjang, yang ia cekal dengan tangan
kirinya, menyusul itu, ia mendepak tubuh si biang bajingan
sambil ia membentak:”kau menggelindinglah!”
Benar-benar tubuhnya Ang Gan Kwie Bo bergulingan lebih
jauh dan hatinya pun mulai tenang, dengan muka kemerahmerahn
saking malu, ia merayap bangun, terus dia
mengawasi nona Pek, sinar matanya menunjukkan yang dia
bersyukur sebab jiwanya tidak dirampas. Setelah itu, tanpa
mengatakan sesuatu, dia menarik tangan muridnya buat
diajak berlari pergi!
Sampai disitu, hati semua orang sudah tenang kembali,
maka juga, menyaksikan tingkahnya si biang bajingan, mereka
tertawa.
Adalah Im Ciu It Mo di sebelah barat yang menjadi kaget,
malu tak enak hati. Dia khawatir, dia pula panas hati, maka
berulang-ulang dia mengetuk-ngetuk tanah dengan
tongkatnya.
It Yap Tojin melirik Im Ciu It Mo, sang kawan yang tadinya
ia biarkan menjadi pemimpin, atau ketua diantara mereka. Ia
pikir sekarang tibalah saatnya buat ia merampas kedudukan
tanpa menyentuh rasa tinggi diri dari si bajingan tunggal,
maka sembari tertawa lebar, ia berkata:”saudara ketua,
apakah kau membutuhkan bantuanku tauwto si rahib?”
Im Ciu It Mo menoleh mengawasi, mednadak ia tampak
tenang, ia tampak girang. Maka tak lagi ia bermuka kebirubiruan
saking masgul dan bareng mendongkol. Iapun lantas
menyahuti:”Toheng, janganlah kau mengucap begini!
Terhadapmu bahkan memintapun aku tak berani!”


It Yap Tojin tersenyum..
“Cuma,” katanya, “kalau pinto sendiri yang turun tangan itu
tidak mungkin kurang bagus kesudahannya!.......
Im Ciu It Mo melengak. Dia manatap rahib itu, dasar cerdik
dan licik, dia dapat menerka hati orang, maka ia lantas
berkata :”asal lotiang turun tangan, pasti kita bakal
memperoleh kemenangan! Setelah ini, Toheng, tidak nanti aku
berani menyangkal jasa besarmu!’
It Yap tertawa lebar itulah jawaban yang ia tunggu-tunggu.
Tapi ia menggunakan alasan. Katanya :”Pinto tak memikir
sedemikian jauh, bukankah kita satu sama lain sahabatsahabat
dari satu hati dan satu tujuan? Dibawah dari cit cun,
kedudukan yang terakhir bagiku pun sudah cukup!”
Bukan main girangnya Im Ciu It Mo mendengar kata-kata si
rahib, hatinya menjadi sangat lega, maka lantas ia berkata
:”Baiklah, dengan cara begini kita berjanji silahkan Toheng
turun tangan!”
It Yap mengangguk.
“Baiklah, akan pinto coba, “ sahutnya
Walaupun ia mengatakan demikian, It Yap Tojin tidak
lantas maju sendiri hanya sambil mengulapkan tangannya ia
menyuruh Gak Hong Kun, muridnya.
Hong Kun mau maju pada permulaan pembukaan, ia
dicegah oleh gurunya, ia telah meminta beberpa kali tapi
selalu gurunya itu mengisyaratkan buat ia bersabar, sampai
sekarang tibalah saatnya ia maju, maka ia juga girang bukan


main, tidak ayal lagi ia memegang gagang pedangnya, terus ia
melompat maju, dan terus pula ia menantang :”Mana dia Tio
It Hiong? Mari maju! Bukankah cepat kalau sekarang kita
mencari keputusan?”
It Hiong mau menyambut tantangan itu, inilah kesempatan,
sebab ia akan dapat menempur si manusia licik di muka
umum. Hanya belum lagi dia maju, Giok Peng sudah
mendahuluinya, nona itu panas hati, sekarang sudah tidak ada
sisa kasih atau kesan baiknya terhadap anak muda itu,
sebaliknya. Ia sangat membencinya. Maka dengan menempur
si anak muda, hendak ia melampiaskan dendam hatinya yang
telah tertahan sekian lama. Bahkan setibanya di tanah lapang,
ia tanpa membuka mulutnya lagi, ia sudah lantas menerjang!
Gak Hong Kun pun membenci nona Pek, sebabnya mudah
dimengerti. Si nona telah meninggalkannya, sekarang tiba
kesempatan akan mengumbar sakit hatinya. Maka ia
menyambut serangan si nona dan lantas saja melawan,
bahkan membalas menyerang, dengan hebat sekali!
Setelah bertemu dengan gurunya, meski juga didalm waktu
yang pendek, Hong Kun telah memperoleh petunjuk dari
gurunya itu hingga ilmu silatnya mendapat kemajuan yang
berarti.
Diantara pasangan ini, dalam halnya ilmu silat, mereka
seimbang, sulit buat mengatakan siapa terlebih lihai, tetapi
toh Hong Kun menang diatas angin, disebabkan senjatanya
pedang mustika Kie kwat kiam yang tajam luar biasa! Ia jadi
dapat menangkis pedang si Nona tanpa rasa khawatir.
Sebaliknya, Giok Peng harus waspada. Ia mesti menjaga
supaya pedang mereka tidak beradu satu sama lain—beradu


bagian tajamnya, kecuali mengadu bagian samping atau
sisinya. Karenanya si nona tampak kalah rangsak.
Pertempuran segera menjadi seru sekali. Keduanya
berkelahi seperti untuk mati atau hidup. Bagusnya mereka
masih dapat menggunakan otak mereka. Mereka sama-sama
bersikap keras tetapi tidak membabi buata.
Tentu sekali, pertempuran sangat menarik perhatian kedua
rombongan barat dan timur itu, terutama pihak timur, It Hiong
bersama Kiauw In dan Tan Hong yang perhatiannya tertarik
sepenuhnya, lebih-lebih si pemuda, sedikit banyak, ia khawatir
buat isterinya itu sebab ia tahu Hong Kun lihai dan licik,
sedangkan Giok Peng jujur.
Lama pertempuran berlangsung, sampai orang dikejutkan
suara beradunya senjata yang keras sekali disusul jeritannya
Giok Peng, si nona mana terus tampak melompat mundur dan
pakaiannya basah dengan darah dan tubuhnya pun
terhuyung-huyung!
Kiauw In berdua Tan Hong sudah lantas melompat maju,
guna memayang saudaranya itu, sebaliknya It Hiong
melompat pada Hong Kun, guna terus menyerangnya. Ia
sekarang menggunakan Keng Hong Kiam, pedang mustikanya
yang telah dikembalikan oleh Tonghong Kiauw couw. Hingga
ia dapat berkelahi dengan hati mantap. Ia pun sudah lantas
menyerang dengan keras sekali sebab hatinya panas
menyaksikan isterinya dilukai si pemuda jahat dan licik.
Sebenarnya kekalahannya Giok Peng tadi bukannya
kekalahan lantaran kalah pandai, itulah sebab disaat sedang
murka itu, ia kehilangan kesabarannya, ia tahu yang senjata
lawan senjata mustika, toh disaat itu ia lalai, Hong Kun
menyerangnya, ia menangkis, ia menangkis dengan jurus


“melintang menyapu seribu serdadu” itulah tangkisan yang
wajar, tapi Hong Kun sangat cerdik. Dia membatalkan
serangannya ditengah jalan, selagi si nona menangkis, ia
membabati pedang nona itu, disaat demikian, tak keburu Giok
Peng menarik pulang pedangnya. Maka pedang itu kena
terbabat kutung dan ujung pedangnya si pemuda meluncur
terus mengenaikan lengannya tanpa ia berhasil
mengelakkannya. Hanya syukur, pedang lawan tak sampai
menebas kutung lengannya itu, karena ia masih bisa mengelit
tangan dan tubuhnya.
Sekarang Hong Kun mesti melayani It Hiong. Sekarang ia
bukan menempur orang seperti pertempuran dahulu hari di
Heng San, sekarang mereka bukan lagi sahabat dan It Hiong
pula tak lagi memandang-mandang. Sekarang merekal musuhmusuh
besar.
Selama di Heng San, kepandaian mereka berdua dapat
dikatakan seimbang sekarang lain sekali, selain
pengalamannya bertambah It Hiong pun pandai ilmu Gia Kiam
Hui Heng Sut, sedangkan kemajuannya Hong Kun lain lagi,
tapi sekarang Hong Kun berkelahi nekat, dengan keberanian
luar biasa, dibelakangnya, di sana, ada gurunya, yang
membuat nyalinya menjadi besar. Dia pula sangat ingin
merobohkan bahkan membinasakan musuhnya ini, yang ia
anggap menjadi saingan hebat dalam urusan asmara, ia tetap
menganggap It Hiong merampas Giok Peng dari tangannya.
Dengan bersenjatakan Kie Kwat Kiam, Hong Kun menjadi
tidak kenal takut, dia melawan dengan sungguh-sungguh hati.
Hanya kali ini. Seperti di Bu Ie San, pertempuran mereka
tampak luar biasa. Itu karena Hong Kun tetap dalam
penyamarannya, hingga wajah dan dandanannya sama
dengan It Hiong. Hingga mereka mirip dua orang kembar,


hingga sangat sulit orang membedakannya. Selagi bertempur,
tubuh mereka bergerak dengan sangat gesit! Mana It Hiong ?
mana Hong Kun? Karena tampang dan pakaian, pedang
mereka pula sama-sama pedang mustika, yang bentuk dan
tampangnya sama pula.
Setiap terdengar suara nyaring dari beradunya senjata,
selalu tampak letupan api berpeletikan dan berkilauan. Hingga
pertempuran bagaikan disemarakkan kembang api…..
Semua penonton menyaksikan pertempuran dengan
berdiam saja, melainkan mata mereka yang dipasang tajam,
sebisanya kedua pihak ingin mengenali, yang mana satu jago
mereka. Tentu sekali, berbareng pun ada yang hatinya
berkebat-kebit sebab melihat serunya pertempuran.
Demikian semua penonton seperti mereka menonton
sambil melongo. Siapakah bakal menang? Siapakah bakal
roboh dan runtuh?
Tentu sekali, walaupun pertempuran berjalan cepat,
mereka itu telah memakan waktu yang lama. Sekian lama itu.
Mereka tetap sama tangguhnya, sama gesit dan lincahnya!
Tentu sekali, sama-sama mereka pun terancam maut…..
Meski juga sudah berjalan lama, pertempuran tidak
berubah menjadi kendor, kedua pihak tetap bergerak dengan
cepat dan keras.
Lagi setengah jam berlalu, maka disaat itu barulah tampak
perubahan. Hong Kun mulai bermuka merah. Napasnya mulai
terengah-engah. Dan gerak-geriknya tak lagi segesit semula.
Tidak demikian dengan It Hiong. Pemuda itu tampak segar
seperti semula.


Kemudian tibalah saat yang memutuskan. Sekonyongkonyong
satu tusukan dari It Hiong merupakan susulan dari
satu tangkisan atas serangan dahsyat Hong Kun. Yang
membuat pedangnya pemuda she Gak itu terpental. Dibarengi
satu teriakan yang mengerikan. Lantas tubuhnya roboh
bermandikan darah. Roboh tanpa berkutik lagi. Karena rohnya
sudah lantas melayang pergi meninggalkan tubuh kasarnya!
Habis merobohkan lawan itu, It Hiong berdiri diam
bagaikan tonggak. Wajahnya tidak memberikan perubahan
apa-apa. Hingga dia tak tampak seperti orang yang baru
merebut kemenangan. Karena di detik itu, pikirannya rada
kacau memikirkan nasibnya orang she Gak itu!
“Adik Hiong, kau kembalilah!” demikian satu suara perlahan
tetapi tegas terdengar It Hiong. Suara itu dikeluarkan setelah
orang menghela napas. Dan itulah suaranya Pek Giok Peng,
yang terharu menyaksikan gerak-gerik suaminya itu.
It Hiong mendengar suara si nona. Ia bagaikan sadar,
maka mau ia memutar tubuhnya buat kembali kedalam
rombongannya, mendadak ia medengar bentakan bengis
terhadapnya :”Diam, jangan pergi!” dan bentakan itu disusul
dengan berkelebatnya sesosok tubuh, yang berlompat ke
arahnya!
Itulah It Yap Tojin, yang hatinya bagaikan pecah sebab dia
mesti menyaksikan muridnya binasa, maka juga selekasnya
dia datang dekat, dia berteriak setinggi-tingginya :”Kau ganti
jiwa muridku! Kau…..kau….ganti jiwa muridku!”
It Hiong menghadapi imam itu. Ia memberi hormat sambil
menjura.


"Totiang," katanya sabar, "Aku yang muda mengharap
supaya totiang mengerti akan keadaan kita. totiang menjadi
orang tua kenamaan dan mengerti segala aturan, jadi totiang
pasti dapat memberikan pertimbangan secara adil.
pertempuran barusan adalah pertempuran buat mati atau
hidup, karenanya dari itu tidak dapat diharap kesudahan yang
sempurna bagi kedua belah pihak! Di dalam hal ini maka
hanya harus disesalkan murid totiang, yang kepandaiannya
kurang sempurna....."
"Ganti jiwa muridku!' teriak pula si rahib, yang telah
menjadi seperti kalap. sikapnya pun mengancam.
It Hiong tetap sabar, akan tetapi ketika dia berkata pula.
suaranya terang dan tegas :"Totiang, bagaimanakah pendapat
totiang andaikata yang rebah binasa di situ bukannya Gak
Hong Kun tetapi aku Tio It Hiong? apakah yang totiang akan
bilang?"
Ditanya begitu, agaknya It Yap Tojin tersadar, berhentilah
ia dengan teriakan kalapnya itu. lantas ia mengawasi si anak
muda, dia tercengang. tetapi hanya sebentar, sinar matanya
lantas menyala! cepat luar biasa, ia melompat kepada Hong
Kun guna menyambar pedang Kie Kwat muridnya itu,
kemudian dengan mencekal pedang itu, dia menghadapi anak
muda kita, untuk memperdengarkan suaranya yang keras
sambil dia menuding :"Orang She Tio, beranikah kau
membereskan sakit hati muridku yang telah kau binasakan
itu?"
"Totiang," kata It Hiong, sabar luar biasa, "Sekarang ini
totiang tengah dipengaruhikan hawa amarahmu yang meluapluap,
karena itu tak berani aku melayani kau, sebab aku
dengan begitu bisa menjadi seorang Bulim muda yang


berdosa telah melawan seorang tua, maka itu waktu akan aku
pergi kepda totiang guna mohon maaf..."
"Hm!" sirahib memperdengarkan ejekannya. "Jangan kau
mengoceh tidak karuan! itulah tak perlu! kau bersiaplah. pinto
hendak turun tangan sekarang!"
Si rahib sudah lantas mengangkat tanganya, hendak ia
melangkahkan kakinya.
"Tahan!" It Hiong berseru, "Aku masih hendak bicara!"
Masih saja si anak muda berlaku hormat.
"Kau mau bicara apa lagi?" tanya si rahib bengis. "Lekas"
"Totiang," kata It Hiong, sabar, "Totiang bersama guruku
serta ayah angkatku terkenal sebagai tiga orang gagah luar
biasa di kolong langit ini, nama totiang tersohor sekali dan
nama itu pastikan berada buat selam-lamanya, oleh karena
itu, dirusak dalam satu saat cuma disebabkan kemarahan?
bukankah sebagai seorang ketua partai, nama totiang telah
harum sekali? dapatkah totiang merusak itu didalam satu hati?
Nampak parasnya si rahib tidak sebengis tadi, tetapi ketika
dia berkata, suaranya tetap keras.
"Siapa membunuh orang, dia harus mengganti jiwa"
demikian jawabnya. "Siapa berhutang darah, dia mesti
membalas dengan darah juga! bocah, apakah kau hendak
bersilat dengan lidahmu? apakah kau hendak menentang
kenyataan? jadi kau hendak menyingkir dari keadilan? Hm!"
It Hiong dapat mengendalikan dirinya. ia menuding pada
mayatnya Hong Kun dan menanya:"Totiang, coba totiang


perhatikan tampang muka dan dandanya orang itu! coba
totiang bilang, dia Gak Hong Kun atau bukan?"
It Yap Tojin mengawasi muridnya itu, lantas ia berdiri
menjublak. sudah sekian lama. baru sekarang dia sadar.
memang, Hong Kun sangat mirip dengan It Hiong! maka dia
heran, kenapa tak dari siang-siang dia melihat penyamaran
muridnya itu!
Selagi orang berdiam. It Hiong mengawasi saja. ia menanti
jawaban.
Justru itu diam-diam, diluar tahunya si rahib dan juga si
anak muda, disisi mereka sudah muncul seorang lain, ialah
seorang pendeta yang tubuhnya tinggi dan kekar akan tetapi
sikapnya sangat alim, entah kapan datangnya dia! dan dialah
Pe Sie Siansu dari vihara Gwan Sek Sie digunung Ngo Tay
San.
Segera biksu itu memperdengarkan batuk-batuk perlahan,
segera dia merangkapkan kedua belah tangnya terhadap It
Yap Tojin.
"Toheng!" sapanya terhdapa rahib itu.
It Yap Tojin mengangkat mukanya, dia mengawasi orang
yang menyapanya. dia masih mengenali pendeta itu walaupun
sudah beberapa puluh tahun tak pernah mereka bertemu pula.
"Toyu dari Gwa Sek, ada pengajaran apakah dari kau?" dia
tanya.
Pie Sie Siansu tersenyum.


"Maksudku tak lain tak bukan," ia menjawab, "Berdasarkan
pantang mudah murka dan membunuh dari sang buddha
kami. lolap ingin menyampaikan sepatah dua patah kata pada
Toheng, agar....."
Ia berhenti sebentar, baru ia melanjutkan:"Toheng sudah
berusia mendekati tahun ke seratus, itu pertanda bahwa harihari
mendatang kita sudah tidak lama lagi, bahwa di dalam
waktu sekilas lalu, kita bakal menjadi tulang belulang di dalam
peti dalam tanah! jika telah tiba saatnya itu, dimanakah
adanya budi atau permusuhan?"
Alisnya It Yap Totjin bangkit, kumisnya bangun.
“Hm,” terdengar suara tawarnya. Ia tidak menjawab atau
mengatakan sesuatu, bahkan pedangnya ia masuki kedalam
sarungnya.
Pie Sie Siansu mengawasi. Ia berkata pula:”Kaum rimba
persilatan umumnya, karena soal nama atau hawa amarah,
suka sekali menerbitkan peristiwa-peristiwa berdarah, hingga
mereka saling menanam permusuhan besar, hingga
selanjutnya mereka gemar saling menyantroni, itu artinya bagi
kita sudah tak ada lagi saat-saat tenang dan berbahagia!
Bukankah ada dibilang, siapa membunuh ayah orang, ayahnya
dibunuh orang lain? Siapa membunuh kakak orang, kakaknya
akan dibunuh juga, demikianlah orang saling membinasakan,
langsung dan tidak langsung! Kenapakah demikian? Oleh
karena itu lolap memohon sudilah kiranya Toheng
menjernihkan otakmu menyingkirkan pikiran sesat, terus
berlaku tenang untuk memahami artinya kata-kataku ini.
Amidha Buddha,”


It Yap Tojin masih berdiam, nasehat itu meresap kehati
sanubarinya. Dia memang asal sadar tetapi belakangan berat
kepihak sesat.
Si biksu batuk-batuk. Terus dia melanjuti katakatanya:”
Diantara tiga orang yang bersama –sama Toheng
ternama besar, Tek Cio Toyu sudah pergi merantau untuk
melepaskan diri dari dunia kita ini, sudah kemana perginya,
sedang Pat Pie Sie Kit In Gwan Sian, dia telah menutup
matanya buat selama-lamanya tak dapat melihat pula, akan
tetapi mereka berdua berlalu dengan meninggalkan namanama
yang besar dan harum, maka itu tinggal Toheng sendiri
sekarang ini, sudah selayaknya jika Toheng pun sudi
menyempurnakan diri sebagai layaknya, agar nama kalian
bertiga harum bersama, agar namanya ketiga orang tak
ternodakan! Demikian apa yang hendak lolap katakan,
Toheng, maka sekrang terserahlah kepada Toheng sendiri!”
Mendadak saja, It Yap Tojin bagaikan mendengar khotbah
penerangan, mendadak ia sadar sesadar-sadarnya, hingga
otak dan hatinya menjadi jernih, hingga lenyap juga rasa
marah dan mendongkolnya, lalu, dengan tiba-tiba ia
melemparkan Kie Kwat Kam ke sisinya Hong Kun, terus ia
membuka langkah lebar, lari turun gunung In Bu San, hingga
selanjutnya orang tidak mendengar pula perihal dia!
Pie Sie Siansu bersama Tio It Hong mengawasi orang
menghilang dikaki gunung. Lalu, bersama-sama mereka
kembali ke dalam rombongan mereka kemana Pek Giok Peng
telah dipayang pulang buat diobati dan beristirahat.
Di pihak Bulim Cit Cun, orang saling memandang dengan
melongo, diluar dugaan mereka, It Yap Tojin dan Hong Kun,
hilang dan mati tidak karuan, diam-diam hati mereka


menjeblos, sebab mereka kehilangan orang–orang yang dibuat
andalan.
Selain itu, menyaksikan pertempuran diantara It Hiong dan
Hong Kun, hati mereka gentar dan ciut. Hebat pertempuran
itu, terutama hebat adalah It Hiong. Si anak muda yang gagah
dan lihai luar biasa!
Tapi Im Ciu It Mo sendiri tidak puas dan penasaran.
Sekarang saatnya buat dia berkuasa sendiri. Karena sudah
tidak ada lagi It Yap Tojin yang bisa menjadi saingannya yang
hebat. Lantas ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata pada
sekalian kawannya :”Saudara-saudara, ditempat dan saat
seperti ini. Tidak ada lagi saat buat kita bersantai dan berpikirpikir
pula! Saat ini ialah saatnya kita menghajar musuh, buat
melabraknya habis-habisan, inilah saat mati hidup kita
semua!”
Hiat Mo hweshio berani, dia menjawab nyaring :”Bapak
ketua benar, apakah yang kita takuti? Biarlah kami Hong Gwa
Sam Mo membinasakan mereka!”
Ketiga Tok Mo palsu pun turut berseru :”Sahabatku, kau
benar sekali, nah kalian bertiga majulah, supaya kita dapat
mengangkat nama Bu Lim Cit Cun kita!”
Hiat Mo mengangguk, dia mendapat persetujuan dari Peng
Mo dan Tam Mo, dua orang saudara angkatnya, maka ketiga
mereka lantas mengajuhkan diri. Mereka menantang Tio It
Hiong? Mereka percaya, asal It Hiong, roboh, tentu hancurlah
kaum sadar itu. Mereka tidak takut, mereka bertiga, It Hiong
sendiri, dan mereka pun memiliki senjata rahasia mereka yang
lihai -bubuk beracun-.


Di sebelah timur banyak orang yang hatinya tidak tenang
mendengar It Hiong ditantang seorang diri. Nama Hong Gwa
Sam Mo memang terkenal sekali. Maka ada memikir untuk
memajukan seorang pembantu. Tidak demikain anggapannya
Liauw In Tianglo dari Siauw Lim Pay. Biksu tua ini justru
percaya betul kepandaiannya si anak muda. Maka juga ia
berkata : ”Baiklah. Tio sicu dapat menyambut tantangan
mereka itu! Bahkan dengan begini, kita jadi membuat puas
hatinya ketiga bajingan itu!”
Mendengar suaranya sang ketua, semua orang berdiam.
Hanya itu Hay Thian Sin-ni seorang yang menganggap baiknya
Tio It Hiong makan lebih banyak obat pemunah racun. Maka
lantas ia menoleh dan mengawasi Pek Yam Siansu dari Bie Lek
Sie. Terus ia mengedipkan mata pada It Hiong, supaya si anak
muda meminta obat dari biksu tua itu.
It Hiong tidak menyambuti isyarat itu, ia hanya dengan
tenang merogoh sakunya dan mengeluarkan peles kecilnya,
dari mana ia menuang enam butir obatnya, yang terus ia
masuki kedalam mulutnya dan telan, baru setelah itu, ia
menjura pada si nikouw seraya berkata:”Baiklah, aku yang
muda menurut nasehat, aku makan obat,”
Hay Thian Sin-ni heran, lantas ia pikir, tentulah It Hiong
muda dan keras tabiatnya. Bahwa anak muda ini tak sudi
sembarang tunduk pada orang lain, hingga ia menyayangi
anak muda itu, maka hatinya menjadi kurang tentram. Tidak
ayal pula, ia bangkit, akan memutar tubuh menghadapi Pek
Yam Siansu, untuk berkata pada pendeta tua itu :”Suheng,
mengapa kau berlagak pilon saja? Hayolah keluarkan Wan Ie
Jie, obat mujarab itu!”
Pek Yam Siansu , yang terus duduk bercokol sambil
memejamkan matanya, membuka matanya itu, ia terus


mengawasi nikouw, untuk kemudian berkata :”Oh, nikouw
yang tak sabaran! Baik kau ketahui Wan Ie Jie sudah berjalan
masuk sampai kedalam kantung nasinya Tio sicu!”
Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, begitu si biksu
meram pula. Hay Thian Sin Ni heran hingga ia melongo.
Menyaksikan demikian, It Hiong berkata hormat pada
nikouw tua itu :”Terima kasih untuk kebaikanmu ini, sin ni,
Obat yang aku makan adalah obatnya losiansu sendiri”
Mendengar demikian Hay Thian Sie Ni tersenyum, terus ia
duduk pula.
Selama itu, Hong Gwa Sam Mo sudah tidak sabaran, hingga
Hiat Mo mengulangi tantangannya.
It Hiong sebaliknya tidak puas, maka waktu ia bertindak
maju, ia berkata nyaring :"Orang sudah tua-tua tetapi tidak
mengenal aturan kaum kang ouw! buat apakah kalian
berteriak tidak keruan juntrungannya?"
Peng Mo tidak puas dia sudah berusia empat puluh tahun
tetapi dia benci kalau orang mengatakan dia tua. Maka diapun
berkata:"Eh, bocah, buat apa kau mengadu lidahmu? marilah
maju kita mengadu kepandaian kita!" baru dia berkata begitu,
dia merasa sebutannya kurang tepat, maka lekas-lekas dia
menambahkan:"Eh, orang muda, saudara yang baik! mari,
saudara, kakakmu hendak main-main beberapa jurus
denganmu!"
Kagum Peng Mo, Bajingan Es, melihat It Hiong berwajah
demikian gagah dan tampan, hatinya menjadi sangat tertarik,
maka hendak dia beraksi, memperlihatkan tingkahnya yang
menggiurkan guna menggempur hati muda orang.....


Dasarnya gemar paras tampan, Peng Mo menjadi tak tahu
malu, sekalipun di depan banyak orang kaum sesat dan sadar,
dia membawwa tingkah centilnya itu,
"Hm," It Hiong memperdengarkan suara dingin seraya ia
menghunus Keng Hong Kiam, pedang mustikanya itu,
kemudian barulah ia menjawab nyaring :"Pedangku ini yang
panjangnya tiga kaki tidak kenal orang dan juga tidak dapat
mengadu lidah, oleh karena itu aku mohon kalian bertiga
harap berhati-hati, supaya kalian tak nanti menyesal setelah
kasip!"
Hiat Mo gusar mendengar suara besar dari si anak muda,
tanpa mengatakan apa-apalagi, ia maju sambil mengirim satu
hajarannya!
Melihat saudaranya sudah turun tangan, Peng Mo
menggertak gigi, iapun menyambuti goloknya dan turut
menerjang juga, maka kecuali seranagnnya si Bajingan Darah,
It Hiong mesti membela diri dari serangan si Bajingan
Kemaruk dan Bajingan Es!
Demikianlah It Hiong kena dikurung ketiga penjuru, hingga
ia mesti berkelahi sambil berputaran, sebelahnya sepasang
pedang dan sebatang golok, ia mesti berjaga-jaga dari tangan
kosong tetapi lihai dari Hiat Mo, mereka itu justru ingin
berkelahi cepat, guna cepat-cepat juga menyudahi
pertempuran.
It Hiong sendiri juga ingin lekas-lekas merobohkan ketiga
lawannya itu, supaya ia berhasil cepat-cepat membasmi kaum
sesat tukang bikin kacau golongan sadar dan lurus. Maka itu ia
memutar pedangnya bagaikan kitiran.


“Diantara ketiga bajingan, Hiat Mo si bajingan darah adalah
yang paling lihai ilmu silatnya dan dia juga paling telengas,
sudah begitu, dia berkelahi dengan bengis sekali, maka,
karena kedua belah pihak sama-sama ingin pertempuran lekas
selesai, dapat dimengerti hebatnya jalan pertempuran.
Sepasang golok Peng Mo si nikouw mengeluarkan cahaya
kebiru-biruan, selain senjata itu termasuk senjata mustika,
yang tak takut segala macam senjata logam lainnya, golok
pula diberi racun. Karenanya, bisa dimengerti yang dia
mencoba merangsek dan mendesak lawannya.
Adalah Tam Mo si kemaruk yang licik, sebab dia takut mati,
dia ingin hidup panjang umur, dia benar membantui dua
saudaranya tetapi ia merangsak secara waspada. Dia lebih
banyak berkelit menyingkir daripada mendesak menghajar
lawan.
It Hiong dapat melihat ketangguhan dari lawannya itu,
lantas ia berlaku cerdik. Ia mengguna-kan akal. Tam Mo si
licik termakan umpan. Disaat dia merangsak untuk
menyerang, mendadak dia dipapak anak muda kita.
“Aduh….’ Demikian jeritan tertahannya, sebab tubuhnya
terus roboh bermandikan darah dan jiwanya melayang pergi!
Hiat Mo dan Peng Mo kaget sekali, itulah tidak mereka
sangka, mereka jadi sangat gusar, hingga mereka berniat
menuntut balas, segera mereka memperhebat serangannya!
Diam-diam Peng Mo telah menyiapkan bubuk beracunnya.
Dia mendesak hebat sekali. Berbareng menyerang dengan
kehebatannya, ia pun menyebarkan racunnya, maka


berhamburanlah bubuk racun itu, bagaikan halimun yang
menututpi muka It Hiong!
Bukannya kepalang girangnya si bajingan es, dia percaya
yang bubuknya sudah meminta korban,
Hiat Mo pun girang, ia melihat adiknya sudah turun tangan.
Ia percaya, seperti si adik. It Hiong bakal roboh tak berdaya.
Bahkan ia tertawa dan memuji adiknya :”Sungguh hebat
kepandaianmu adik!”
Justru karena ia berbicara itu, dengan sendirinya si
bajingan darah desakannya mengendor. Pada saat itulah sinar
pedang berkelebatan!
“Aduh!.....” menjerit si Bajingan darah, yang lengan
kanannya mendadak tertebas kutung, hingga dengan
berlumuran darah, dia jatuh terduduk. Dia tertikam rasa nyeri
berbareng sangat penasaran dan gusar tetapi tanpa
berdaya…….
Peng Mo menyangka, sesudah terkena bubuk beracunnya,
It Hiong jadi kalap dan menyerang kakaknya itu dengan
segenap kekuatan yang penghabisan, iapun gusar sekali,
lantas ia menyerang secara hebat dengan sepasang goloknya.
Keinginannya akan dapat mencincang lawannya itu.
Kembali bajingan ini mendapat hal yang tak disangkanya.
Ketika bubuknya buyar, ia melihat It Hiong berdiri tetgak di
depannya dengan tidak kurang suatu apa-apa. Hingga ia
menjadi tercengang.
Kenapa It Hiong tak mempan bubuknya beracun itu?


Justru itu Hiat Mo sudah dapat menyelamatkan dirinya
sendiri. Ia makan obat dan membalut lukanya, terus ia
melompat bangun, buat berkelahi pula. Ia sangat penasaran!
It Hiong melayani kedua musush itu. Ia panas hati sebab
orang tidak kenal jera. Tak roboh terus. Dalam
mendongkolnya, ia mendesak si bajingan darah. Kembali ia
satu tikaman dahsyat.
“Aduh….” Sekali lagi Hiat Mo menjerit tertahan. Hanya kali
ini buat yang penghabisan kali. Sebab sekarang dadanya yang
terpanggang pedang It Hiong! Itulah akibatnya serangan jurus
silat ”Sie Toat Ang Sim,” -anak panah mengenakan sasaran-,’
Peng Mo kaget bukan main. Baru sekarang hatinya menjadi
ciut. Bubuknya tidak memberikan hasil, maka ingin dia
melarikan diri. Segera dia mengibaskan sepasang goloknya
seraya melompat kesamping buat pergi kabur!.......
It Hiong melihat gerak-gerik orang, ia dapat , menerka
maksud orang itu, segera ia menjejak tanah, buat melompat
melesat, pedang dan tubuhnya bagaikan satu, karena itulah
satu gerakan, dari Gie Kiam Hui Heng Sut. Sejenak saja. Dapat
ia menyusul lawan. Maka ketika pedangnya ditebaskan. Maka
kutunglah barang lehernya si bajingan es. Hingga dia roboh
binasa tanpa sempat berkaok lagi….
Segera setelah memperoleh kemenangan yang luar biasa
atas Hong Gwa Sam Mo yang kesohor dan di segani. It Hiong
maju terus kepda rombongan di sebelah barat itu, ia telah
berkeputusan akan melabrak habis kawanan kaum sesat!
Im Ciu It Mo bersama Tok Mo palsu kaget sekali, melihat
ketiga bajingan mati secara demikian cepat. Mereka insaf
bahaya. Maka lantas mereka bersatu hati mempertahankan


diri. Tindakan mereka yang pertama ialah selekasnya It Hiong
mendekati mereka, lantas mereka menyambut dengan
pelbagai senjata rahasianya masing-masing!
Anak muda kita tidak jadi mundur karena penyambutan
yang istimewa dan sangat berbahaya itu. Ia memutar hebat
pedangnya menghalau setiap senjata rahasia yang mengarah
tubuhnya. Akan tetapi, setelah ternyata serangan lawan tidak
ada hentinya. Ia tidak mau sembrono menempuh bahaya.
Lekas-lekas ia melompat mundur kembali ke tanah lapang
tempat tadi!
Sementara itu kaum lurus, melihat majunya anak muda
kita, sudah bergerak maju bersama. Mereka lantas mengambil
sikap mengurung musuh, bahkan kali ini. Yang luar biasa ialah
Pek Yam Siansu, ia tadinya selalu bersiam di sebelah
belakang, sekarang ia justru maju di muka!
Melihat majunya musuh, Im Ciu It Mo mengeluarkan
Pekiknya yang luar biasa nyaring, yang membuat orang kaget
sebab bulu roma orang pada berdiri. Karenanya kaum lurus
yang tenaga dalamnya masih terbelakang pada lekas-lekas
mundur sambil menekap telinga mereka.
Tiba-tiba terdengarlah suara nyaring bagaikan Guntur.
Itulah “Say Cu hauw” atau “Auman Singa,” suatu ilmu tenaga
dalam yang istimewa dari kalangan agama Buddha. Gunung In
Bu San bagaikan mendengung jadinya. Dengan demikian
maka lenyaplah Pekiknya si bajingan tunggal, bahkan
orangnya sendiri roboh dengan seketika dengan jiwanya
terbang melayang serta darah keluar dari mulut hidung, mata,
dan telinganya!
Menyaksikan kebinasaannya Im Ciu It Mo, ketiga Tok Mo
mnejadi bernyali kecil, dengan bersatu hati, mereka


menerobos untuk membuka jalan darah, guna mengangkat
kaki. Mereka licik, maka itu, mereka menyerbu diantara lawanlawan
yang lemah, mereka seperti mengobral senjatasenjatanya
mereka yang beracun. Karena itu, banyak orang
lurus yang roboh keracunan, ada yang telah terluka parah.
Selekasnya It Hiong menyakkikan sepak terjangnya ketiga
bajingan beracun itu, ia lompat lari menyusulnya. Ia
menggunakan lari ilmu lari Gie Kiam Sut, maka dengan cepat
ia menyandak mereka itu, akan tetapi, belum sempat ia turun
tangan, ia telah didahului oleh Hay Thian Sie Ni, karena
nikouw yang membenci ketiga orang jahat dan telengas itu,
yang berkhawatir, mereka itu nanti dapat lolos, sudah lantas
menyerang dengan “Ciang sim luiji---pukulan tangan Guntur—
yang dapat dilakukan dari tempat jauh, maka itu, tanpa
ampun lagi, ketiga bajingan beracun itu roboh berbareng
dengan rohnya pada terbang melayang, mereka roboh
terbinasa, dengan nadi dan otot-otot terputus sebab
gempuran dahsyat sekali!
Dengan terbinasanya Im Ciu It Mo dan ketiga Tok Mo,
selesai sudah pertempuran dahsyat itu, karena pihak sesat
yang tidak berarti itu pada lari meloloskan diri yang tinggal
ialah mereka yang terbinasa.
It Hiong menyimpan pedangnya kedalam sarungnya, lekaslekas
ia pergi mencari Giok Peng serta Kiauw In dan Tan
Hong.
Tepat itu waktu, Pek Yam Siansu mengirup arak yang ia
bawa-bawa itu, ia menyemburkan berulang-ulang kepada
semua orang pihaknya yang telah roboh akibat Pekik hebat
dari Im Ciu It Mo, maka itu didalam waktu singkat, mereka
yang tengah bergeletakan ditanah lapang lantas pada


bergerak dan bangun sendirinya, sebab mereka telah sadar
cepat sekali.
Sementar itu sang waktu, yang berjalan terus, telah
membawa orang pada waktu fajar, karena mana banyak
orang Bu Lim yang sudah lantas berpamitan dari Pek Yam
Siansu dan Liauw In Tianglo sekalian buat mereka lantas pergi
pulang, hingga In Bu San menjadi sunyi, tak ramai seperti
kemarin-kemarin tengah malam itu, para penonton sudah
kabur siang-siang disaat mereka kaget mendengar Pekik
dahsyat dari Im Ciu It Mo.
Tengah Liauw In semua masih berkumpul sekonyongkonyong
mereka melihat seorang nona lari mendatangi
dengan pesat, hingga sebentar saja ia sudah sampai tiba di
rombongan.
Segera It Hiong mengenali nona Tonghong Kiauw In dari
Bu Ie San, maka itu ia yang menyambutnya. Kiranya nona itu
datang buat menonton pertempuran antara It Hiong dan Hong
Kun tetapi ia terlambat.
Melihat nona yang baru datang itu, Hay Thian Sin Ni segera
menyambut dengan tegurannya : ”Nona Tonghong,
bagaimana denganmu? Kenapa kau tidak mau kembali pada
wajah diri asalmu?”
Tonghong Kiauw heran, dia tertawa.
“Sinni bercanda denganku!” katanya, “bukankah boan pwe
tidak memalsukan siapa juga?”
Sebagai seorang nona muda, si nona dapat merendah
dengan menyebut dirinya “boanpwe” orang dari tingkatan
muda.


Mereka berdua berdiri berhadapan, dengan kecepatan yang
luar biasa, sinni menyambar mukanya si nona dan menggeset
kulitnya, sembari tertawa ia berkata pula:”Nona, pinni toh
tidak salah mata, bukan?”
Selekasnya kulit mukanya disingkirkan maka kembalinya
Tonghong Kiauw couw pada diri asalnya, yaitu Siauw Wan
Goat hingga It Hiong dan Kiauw In dan lainnya menjadi heran
sekali, lebih-lebih si anak muda sebab ia tidak sangka Kiauw
couw ialah Wan Goat dari To Liong To, si bajingan wanita dari
pulau naga melengkung itu, mereka itu sampai
berseru:”Oh!........”
Lantas Hay Thian Sinni berkata pula :”Nona ini telah kena
dipengaruhi obat yang menggangu ingatannya, hingga ia tak
ingat akan diri asalnya. Tio sicu, tahukah she dan asalnya
dia?”
“Dialah Siauw Wan Goat dari To Liong To,” sahut si anak
muda.
“Dia berjodoh dengan agama sang Buddha,” kata pula sin
ni,”Kalau dia dibiarkan hidup terus merantau, dia akan
tersesat lebih jauh dan dapat pula menciptakan berbagai
macam gara-gara, karena itu pinni mau ajak dia pulang ke
gunungku supaya ia dapat menuntut penghidupan suci dan
damai,--Nah, kau dengarlah!”
Kata-kata itu diakhiri pada Wan Goat, yang sedari tadi
berdiri diam saja, nona itu tampak terkejut dan tubuhnya
terus bergemetar.
Sin ni lantas menyuruh Teng Hiang dan Cukat Tan
membujuk keenam Yauw Lie supaya insaf dan merubah cara


hidupnya, mereka itu menurut, maka bersama Kiauw Couw,
mereka lantas diajak pergi oleh Hay Thian Sinni.
Sampai disitu, orang berpamitan, buat pulang ke masingmasing
gunungnya.
It Hiong mengajak Kiauw In bersama Pek Giok Peng dan
Tan Hong pulang langsung ke Pay In Nia, buat hidup
menyendiri digunung yang sunyi dan damai itu, tak lagi
mereka pergi merantau.
Sampai itu waktu maka tahulah Tan Hong akan cinta kasih
yang murni…………………
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 6 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 6 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-6.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 6 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 6 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 6 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-6.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar