Cersil : Pendekar negeri Tayli 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 23 September 2011

361




nyonya rumah yang lagi memilih sayur atau ayam daging
bila sedang belanja di pasar.

Melihat wanita jahat yang itu hampir mengiler oleh
karena bakal korbannya yang bermutu pilihan itu, Co Cubok
menjadi khawatir dan gusar sekali. Walaupun tahu
bukan tandingan orang, tapi mengingat sekejap lagi
putranya bakal dimakan, tanpa pikir lagi pedangnya terus
menusuk ke depan dengan tipu serangan "Yu-hong-tiaugi"
atau ada burung Hong datang menghadap, kontan ia
tusuk tenggorokan Yap Ji-nio.

Namun Yap Ji-nio hanya tersenyum saja, ia sodorkan
badan Co San-san ke depan, kalau tusukan Co Cu-bok
itu diteruskan, pasti akan menembus badan putranya
sendiri.

Syukur ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya,
belum sepenuhnya pedang ditusukkan cepat ia tarik
sedikit, ujung pedang menyendal, sekali putar, segera
tipu serangannya sudah berganti dengan "Thian-mahing-
kong" atau kuda langit terbang di angkasa, tahutahu
pundak kanan Yap Ji-nio yang diarahnya sekarang.

Tapi Yap Ji-nio tetap tidak berkelit, kembali tubuh Co
San-san digeser ke samping untuk dijadikan tameng lagi.

Hanya sekejap saja berturut-turut Co Cu-bok
menusuk lima kali, tapi Yap Ji-nio hanya melayani
dengan seenaknya saja, selalu ia sodorkan badan Co
San-san ke arah tusukan Co Cu-bok, sudah tentu,
terpaksa ketua Bu-liang-kiam itu urung menyerang.

362




Dalam pada itu, sesudah diudak Lam-hay-gok-sin,
rasa dongkol In Tiong-ho belum terlampiaskan, melihat
kelakuan Co Cu-bok itu, ia menjadi gemas, mendadak ia
melompat maju, cakar baja sebelah kiri terus
mencengkeram kepala Co Cu-bok.

Namun Cu-bok sempat menangkis dengan
pedangnya, "trang", kedua senjata saling beradu, pikir Co
Cu-bok sekalian hendak mendorong ujung pedangnya ke
tenggorokan lawan dengan gerakan "Sun-cui-tui-ciu"
atau mendorong perahu menurut arus air, tapi mendadak
jari cakar baja lawan bisa mencakup hingga batang
pedangnya tergenggam dengan kencang.

Kiranya senjata In Tiong-ho itu terpasang alat
jeplakan yang sangat praktis, asal tekan pegasnya,
segera jari baja mencengkeram menurut keinginan
pemakainya, hingga mirip benar dengan jari manusia.

Sebagai seorang ketua sesuatu aliran persilatan,
dalam hal ilmu pedang, Co Cu-bok mempunyai latihan
yang sangat mendalam, meski kepandaiannya masih
kalah tinggi daripada In Tiong-ho, tapi juga tidak sampai
keok hanya dalam satu dua gebrakan saja.

Dalam kagetnya tadi, ia tidak rela melepaskan
pedangnya begitu saja, cepat ia kerahkan tenaga dalam
untuk menarik sekuatnya. Tapi pada saat itu juga, "cret",
cakar baja In Tiong-ho yang lain telah mencengkeram
pula pundaknya.

Masih untung baginya karena jari cakar itu
sebelumnya sudah terkutung dua oleh gunting congor
buayanya Lam-hay-gok-sin, maka lukanya tidak parah,

363




namun darah segera bercucuran juga, sedang ketiga jari
cakar baja itu masih tetap mencengkeram kencang
tulang pundaknya. Terus saja In Tiong-ho melangkah
maju menambahi sekali depakan hingga Co Cu-bok
ditendang roboh.

Hanya sekali dua gebrakan saja ternyata seorang
ketua suatu aliran persilatan terkemuka itu sama sekali
tak bisa berkutik.

Segera Lam-hay-gok-sin berseru, "Hebat, Losi! Dua
jurusmu barusan ini tidak jelek, tidak sampai bikin malu
kawanmu ini!"

Sebaliknya Yap Ji-nio berkata dengan tertawa, "Cotayciangbun,
ingin kutanya padamu, apakah kau lihat
Lotoa kami atau tidak?"

"Siapakah Lotoa kalian? Aku tidak melihatnya!" sahut
Cu-bok dengan meringis menahan sakit karena tulang
pundaknya masih dicengkeram oleh cakar baja.

"Kau bilang tidak tahu siapa Lotoa kami, kenapa kau
jawab tidak melihatnya?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin
menyela. "Hm, Sammoay, lekas kau makan saja
anaknya!"

Bab 8

"Pagi hari ini aku sudah sarapan, sekarang masih
kenyang," sahut Yap Ji-nio. "Co-tayciangbun, boleh kau
pergi saja, kami takkan cabut nyawamu!"

364




"Jika demikian, Yap ... Yap Ji-nio, harap kembalikan
putraku itu, biar kucarikan 3-4 anak lain untukmu.
Sungguh aku terima kasih tak terhingga."

"Ehm, baik juga!" seru Yap Ji-nio dengan berseri-seri.
"Pergilah kau carikan delapan anak yang lain. Kami
berjumlah empat orang, masing-masing membopong
dua, cukup untuk makananku selama delapan hari. Nah,
Losi, boleh kau lepaskan dia!"

Segera In Tiong-ho kendurkan jari cakarnya
melepaskan Co Cu-bok. Dengan menahan sakit, Co Cubok
berbangkit, lalu memberi hormat kepada Yap Ji-nio
sambil ulur tangan hendak terima kembali putranya.

"Eh, sebagai tokoh kalangan Kangouw, kenapa Cotayciangbun
tidak kenal aturan?" ujar Yap Ji-nio dengan
tertawa. "Tanpa ditukar delapan orang anak, masakah
demikian gampang kuserahkan kembali putramu?"

Melihat putranya berada dalam rangkulan wanita itu,
walaupun dalam hati sebenarnya seribu kali tidak rela,
tapi apa daya, kepandaian sendiri jauh di bawah orang,
terpaksa Co Cu-bok manggut dan menjawab, "Baiklah,
biar kupergi mencarikan delapan anak yang putih gemuk
untukmu, harap engkau menjaga baik-baik anakku."

Yap Ji-nio tak mau menggubrisnya lagi, kembali ia
bernyanyi-nyanyi kecil menimang anak dalam
pangkuannya itu.

"San-san anakku yang baik, sebentar ayah akan
datang lagi untuk membawamu pulang ke rumah!" seru
Cu-bok kemudian.

365




Co San-san menangis keras-keras minta ikut sang
ayah dan meronta-ronta di pangkuan Yap Ji-nio.

Dengan rasa berat Co Cu-bok pandang beberapa kali
pada sang putra, sambil memegangi luka di pundak,
segera ia putar tubuh hendak berangkat.

Apa yang terjadi itu dapat diikuti Bok Wan-jing. Ia
pikir, Co Cu-bok tentu akan memerintahkan anak
muridnya pergi menculik anak kecil keluarga petani di
sekitar Bu-liang-san untuk menukar putranya sendiri, hal
itu dapat dikatakan demi cinta kasih ayah pada anaknya,
soalnya terpaksa.

Tapi betapa pun juga adalah terlalu egoist, terlalu
mementingkan diri sendiri, sebaliknya delapan anak
keluarga orang lain yang tak berdosa akan menjadi
korban.

Tanpa pikir lagi, segera ia melompat keluar dan
mengadang di depan Co Cu-bok, bentaknya, "Orang she
Co, kau kenal malu tidak, hendak merebut anak orang
lain untuk menukar jiwa putramu sendiri? Apakah kau
masih ada muka buat menjadi ketua suatu aliran
persilatan?"

"Pertanyaan nona memang tepat," sahut Co Cu-bok
dengan kepala menunduk. "Co Cu-bok selanjutnya tiada
muka buat tancap kaki di kalangan Bu-lim lagi, segera
aku akan simpan pedang dan cuci tangan mengasingkan
diri."

366




"Aku melarang kau turun gunung!" bentak Wan-jing
pula dengan pedang terhunus.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari jauh
berkumandang suara suitan orang yang nyaring. Dengan
girang Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berseru, "Itu dia,
Lotoa sudah datang!"

Berbareng kedua orang terus melompat pergi sambil
bersuit sahut-menyahut ke arah datangnya suara nyaring
tadi, hanya sekejap saja keduanya sudah menghilang di
balik batu karang sana.

Sebaliknya Yap Ji-nio masih acuh tak acuh sambil
menimang-nimang anak di pangkuannya, bahkan ia
melirik sekejap kepada Bok Wan-jing, lalu katanya
dengan tertawa, "Nona Bok, ternyata kau masih
mempunyai jiwa kesatria pula."

Kontan Wan-jing mengirik ketika sinar matanya
kebentrok dengan pandangan Yap Ji-nio yang tajam itu,
cepat ia tenangkan diri sambil genggam pedangnya
kencang-kencang.

Dengan tersenyum Yap Ji-nio berkata pula,
"Sepasang matamu ini sungguh sangat jeli, aku ingin
sekali bisa bertukar denganmu. Kemarilah, boleh kau
cungkil dulu kedua biji matanya itu!"

Ucapan terakhir itu ditujukan kepada Co Cu-bok.

Sebenarnya Co Cu-bok tidak bermaksud memusuhi
Bok Wan-jing, tapi putra sendiri berada di bawah
cengkeraman orang, terpaksa ia menurut perintah.

367




Begitu pedang bergerak, segera ia membentak, "Nona
Bok, lebih baik kau turut pada perintah Yap Ji-nio saja,
supaya tidak lebih banyak menderita siksaan."

Sambil berkata, segera ia menusuk.

"Manusia hina!" damprat Bok Wan-jing sambil
menangkis. "Trang", kedua pedang saling beradu, tapi
ujung pedang si gadis tahu-tahu menyelonong ke bahu
musuh.

Tipu serangan ini sebenarnya hanya pura-pura
belaka, maka sesudah tiga jurus, ia sengaja geser tubuh
sedikit, sekonyong-konyong tiga panah berbisa
dibidikkan ke belakang mengarah Yap Ji-nio.

Serangan itu sangat keji dan di luar dugaan, Bok
Wan-jing berharap dapat mengenai sasarannya dalam
keadaan musuh tidak berjaga-jaga.

"Jangan melukai putraku!" demikian Co Cu-bok
menjerit khawatir.

Di luar dugaan, walaupun meluncurnya ketiga panah
itu cepat luar biasa, tapi hanya sekali Yap Ji-nio kebas
lengan bajunya, semua panah itu sudah disampuk jatuh
ke samping. Berbareng itu sekenanya ia copot sebelah
sepatu kecil yang dipakai Co San-san, terus ditimpukkan
ke punggung Bok Wan-jing.

Mendengar sambaran angin dari belakang, cepat
Wan-jing putar pedangnya menangkis ke belakang,
namun biarpun menyerempet batang pedang, sepatu

368




kecil itu tetap meluncur ke depan, "plak", tepat pinggang
Bok Wan-jing tertimpuk.

Ternyata Yap Ji-nio telah memakai daya efek dalam
sambitannya. Dalam keadaan sudah terluka, cepat Bok
Wan-jing mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan.

Sementara itu sepatu kedua sudah disambitkan lagi
oleh Yap Ji-nio, sekali ini dengan tepat mengenai
punggung Bok Wan-jing. Pandangan Wan-jing menjadi
gelap, tak tertahan lagi ia jatuh terkulai ke tanah.

Kesempatan itu segera digunakan Co Cu-bok, ujung
pedangnya mengancam di dada si gadis, sedang tangan
lain diulur hendak mencolok biji mata Bok Wan-jing.

Dalam keadaan tak berdaya, Wan-jing hanya menjerit
tertahan sekali, "O, Toan-long!"

Sekonyong-konyong ia menubruk maju memapak
ujung pedang lawan. Nyata ia sudah bertekad daripada
menderita siksaan dicukil matanya, lebih baik mati di
ujung pedang saja.

Syukurlah pada saat itu juga sekonyong-konyong
menyambar tiba sinar kilat, tahu-tahu pedang yang
dipegang Co Cu-bok itu mencelat ke udara, begitu hebat
daya pental itu sampai ketua Bu-liang-kiam itu ikut
sempoyongan ke belakang dan hampir-hampir terjungkal.

Keruan ketiga orang di atas puncak itu kaget semua.
Berbareng mereka berpaling ke arah pedang yang
mencelat ke atas itu.

369




Kiranya pedang itu terlilit oleh seutas tali pancing ikan
yang panjang, ujung tali pancing itu adalah sebatang
galah bambu, pemegangnya adalah seorang nelayan
yang memakai caping dan bermantel ijuk.

Usia nelayan itu kira-kira 30 tahun, gagah berwibawa
dan sedang tertawa dingin.

Segera Yap Ji-nio dapat mengenalnya sebagai orang
yang tempo hari bertempur dengan In Tiong-ho, ilmu
silatnya tidak lemah, tapi kalau dibanding dirinya masih
selisih setingkat, maka ia tidak perlu takut. Cuma tak
diketahuinya, apakah seorang kawannya yang lain ikut
datang atau tidak?

Ketika ia melirik, benar juga segera tertampak
seorang laki-laki berbaju pendek dan bersepatu rumput
sudah berdiri di sebelah kiri sana. Pada pinggang laki-laki
ini terikat seutas tali rumput yang kasar, di tengah tali itu
terselip sebatang kapak pendek.

Sedang Yap Ji-nio hendak buka suara, tiba-tiba
terdengar pula ada suara keresek perlahan di
belakangnya. Cepat ia berpaling. Maka tertampaklah di
sana-sini masing-masing juga sudah berdiri pula
seorang.

Yang di sisi sana berdandan sebagai sastrawan,
tangan kanan membawa kipas lempit, tangan kiri
menggenggam segulung buku. Dan yang berdiri di
sebelah sini adalah seorang laki-laki berkaki telanjang,
alisnya tebal, matanya besar, pundaknya memanggul
cangkul garuk bergigi lima. Keempat orang terbagi pada
empat jurusan hingga berbentuk mengepung.

370




Diam-diam Yap Ji-nio pikir, "Jika ilmu silat keempat
orang ini setara, seorang diri mungkin aku tak sanggup
melawan mereka. Baiknya Lotoa berada di sekitar sini,
kalau mendengar suaraku, tentu segera datang. Biarlah
orang-orang ini kubereskan dahulu, agar kelak kalau
menyerbu istana Tayli bisa banyak menghemat tenaga."

Tapi sebelum ia berteriak, tiba-tiba terdengar Co Cubok
berseru, "Eh, keempat tokoh 'Hi-jiau-keng-dok' dari
istana telah datang semua, terimalah hormatku Co Cubok
dari Bu-liang-kiam ini!"

Sembari berkata ia terus memberi hormat kepada
keempat laki-laki itu.

Hanya si sastrawan tadi yang membalas hormat
dengan sopan, sedang ketiga laki-laki lainnya hanya
diam saja tak menggubris.

Tiba-tiba si nelayan tertawa dingin sambil
menggoyang-goyangkan alat pancingnya hingga pedang
Co Cu-bok yang masih terlilit tali pancing itu berkilat-kilat
oleh sinar sang surya, lalu ejeknya, "Huh, 'Bu-liang-kiam'
kan juga suatu aliran persilatan terkemuka di negeri Tayli
ini, sungguh tidak nyana bahwa Ciangbunjinnya justru
adalah seorang yang begini rendah memalukan.
Bagaimana dengan Toan-kongcu? Di mana dia?"

Dalam keadaan putus asa dan sudah bertekad untuk
mati, kini tiba-tiba datang penolong, tentu saja Bok Wanjing
sangat girang, kini mendengar pula orang
menanyakan Toan-kongcu, keruan ia tambah menaruh
perhatian.

371




Maka terdengarlah jawaban Co Cu-bok, "Toankongcu?
Ya, beberapa hari yang lalu memang pernah
kulihat Toan-kongcu, dia ... dia berada bersama dengan
... dengan nona ini."

Segera pandangan si nelayan beralih kepada Bok
Wan-jing dengan penuh tanda tanya.

Maka kata Wan-jing, "Tadinya Toan-kongcu berada di
atas puncak karang sana, tapi selama beberapa hari ini
ia menghilang, mati-hidupnya tidak diketahui."

Nelayan itu mengamat-amatinya sejenak, lalu
membentak, "Jadi engkau inilah Hiang-yok-jeh Bok Wanjing
yang terkenal jahat itu? Di manakah Kongcuya kami?
Lekas katakan!"

Semula sebenarnya Bok Wan-jing rada suka pada si
nelayan karena kata-katanya yang sangat memerhatikan
dirinya Toan Ki. Tapi kini mendadak dirinya dibentak dan
ditanya seperti pesakitan, seakan-akan dirinya dituduh
membikin celaka Toan Ki.

Dasar watak Bok Wan-jing memang juga angkuh,
mana ia sudi dihina seperti itu. Kontan ia balas tertawa
dingin dan menjawab, "Siapakah kau? Berani kau tanya
aku dengan sikap demikian?"

Nelayan itu menjadi gusar, katanya, "Kau malang
melintang di wilayah Tayli, membunuh orang dengan
semena-mena, memang sudah lama kami ingin mencari
kau. Sekarang kebetulan bisa bertemu di sini, jika kau
mengaku terus terang di mana beradanya Toan-kongcu,

372




urusan dapat diakhiri dengan mudah, kalau tidak, hm,
hm!"

"Toan Ki sudah dibinasakan oleh kawan perempuan
itu," seru Wan-jing tiba-tiba sambil menuding Yap Ji-nio,
lalu menyambung, "Orang itu katanya bernama 'Kionghiong-
kek-ok' In Tiong-ho, tubuhnya tinggi kurus bagai
galah bambu ...."

Nelayan itu sangat terkejut, bentaknya memotong,
"Apa benar katamu ini? Benar-benar orang itu yang
membunuh Toan-kongcu?"

Di antara keempat laki-laki itu, si petani yang
membawa pacul garuk itu berwatak paling berangasan.
Demi mendengar Toan Ki sudah mati, seketika ia
menangis keras-keras, serunya, "Toan-kongcu, biarlah
kubalaskan sakit hatimu!"

Berbareng garuknya terus menyambar kepala Yap Jinio.


Namun sekali mengegos Yap Ji-nio dapat
menghindar, tanyanya dengan tertawa, "Apa engkau ini
Tiam-jong-san-long di antara 'Hi-jiau-keng-dok' itu?"

"Benar! Rasakan dulu garukku ini!" sahut petani itu
sambil menyerampang pula dengan senjatanya yang
khas itu.

Beberapa hari yang lalu Yap Ji-nio pernah
menyaksikan si nelayan dan si tukang kayu menempur In
Tiong-ho, kini berhadapan sendiri dengan Tiam-jong-san-

373




long atau si petani dari pegunungan Tiam-jong, nyata
memang sangat hebat kedua kali serangan tadi.

Mendadak Yap Ji-nio tertawa terkekeh-kekeh. Tapi
hanya beberapa kali tertawa, tiba-tiba suara tawa itu
berubah menjadi menangis sambil sesambatan, "Aduh,
'Hi-jiau-keng-dok' keempat anakku dari negeri Tayli,
kalian telah mati semua dalam usia pendek, sungguh
ibumu ini sedih tak terhingga! O, anak-anakku, tunggulah
ibumu Yap Ji-nio ini di akhirat!"

Padahal tokoh 'Hi-jiau-keng-dok' atau si nelayan, si
tukang kayu, si petani dan si sastrawan, semuanya
berusia setaraf dengan Yap Ji-nio. Tapi kini ia sendiri
menyebut sebagai ibu mereka, sambil sesambatan, "O,
anak-anakku sayang" dan sebagainya. Keruan Tiamjong-
san-long menjadi gusar, ia mainkan pacul garuknya
terlebih kencang hingga berwujud segulung kabut putih
yang mengurung rapat lawannya.

Namun Yap Ji-nio tidak balas menyerang, ia tetap
peluk Co San-san sambil berkelit kian kemari, betapa
pun kencang Tiam-jong-san-long memutar garuknya,
tetap tak bisa menyenggol ujung baju lawannya.

Sebaliknya ratap tangis Yap Ji-nio masih tetap
berkumandang dengan sedih memilukan, suaranya
makin lama makin keras.

Tiba-tiba hati Bok Wan-jing tergerak, serunya segera,
"He, dia sedang memanggil kawan-kawannya. Kalau
'Thian-he-su-ok' (empat durjana di dunia) datang semua,
mungkin kalian tak sanggup melawannya."

374




Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari balik
gunung sana berkumandang suara seruling yang nyaring
merdu hingga suara tangis Yap Ji-nio yang memilukan itu
terpengaruh seakan-akan paduan suara dari dua nada
yang tinggi dan rendah.

Diam-diam Bok Wan-jing terkejut, "Jangan-jangan
orang jahat nomor satu di jagat ini sudah datang
sekarang."

Dalam pada itu si tukang kayu sudah cabut kapak
pendek dari pinggangnya terus membentak, "Bu-ok-putcok
Yap Ji-nio memang tidak bernama kosong, biarlah
aku 'Jay-sin-khek' (si Tukang Pencari Kayu) belajar kenal
dengan kepandaianmu."

Habis berkata, segera ia membuka serangan dengan
cepat.

Ternyata ilmu kepandaian si tukang kayu itu adalah
'Boan-kin-co-ciat-cap-pek-poh' atau 18 jurus ilmu
permainan kapak pembabat akar, ia mengapak ke sini
dan ke sana, yang diincar selalu bagian bawah musuh.

"Hah, bocah ini hanya mengganggu saja. Ini, boleh
kau bacok mati dia!" ujar Yap Ji-nio dengan tertawa
sambil sodorkan Co San-san ke arah kapak.

Keruan Jay-sin-khek terkejut, lekas ia tarik kembali
senjatanya. Tak terduga, sedikit ayal itulah ia sendiri
harus telan pil pahit, mendadak Yap Ji-nio ayun kakinya
mendepak hingga tepat kena pundaknya. Syukur
perawakan Jay-sin-khek kekar kuat, hingga depakan itu

375




hanya membuatnya terhuyung-huyung dan tidak sampai
terluka.

Dan dengan memperalat anak itu sebagai tameng,
Tiam-jong-san-long dan Jay-sin-khek menjadi rada repot,
pada waktu menyerang mereka menjadi ragu-ragu.
Apalagi dari samping Co Cu-bok bergembar-gembor,
"Awas anakku! Jangan melukai anakku!"

Sedang pertarungan itu berlangsung dengan sengit,
terdengar suara seruling tadi semakin mendekat. Dari
balik karang sana muncul seorang laki-laki berjubah
longgar dan bertali pinggang kendur. Kedua tangan
memegang sebuah seruling kemala sedang ditiup
dengan asyiknya.

Bok Wan-jing melihat orang ini berjenggot cabang
tiga, mukanya tampan, kulit badannya putih bagai salju,
jari-jarinya yang memegang suling itu tampak sama
putihnya dengan kulit mukanya.

Menampak datangnya orang itu, dengan langkah
cepat si sastrawan tadi terus mendekati dan bisik-bisik
berbicara dengan dia dengan sangat hormat. Tapi orang
itu masih terus meniup serulingnya, hanya sinar matanya
yang tampak mengerling ke arah Bok Wan-jing.

"Kiranya orang ini adalah segolongan dengan
keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok ini," demikian Bok Wanjing
membatin.

376




Dalam pada itu, sambil masih meniup seruling,
perlahan orang itu lantas mendekati Yap Ji-nio bertiga
yang masih bertempur dengan seru itu.

Meski si tukang kayu ayun kapaknya begitu keras dan
Tiam-jong-san-long putar garuknya begitu kencang,
namun orang itu seakan-akan tidak melihatnya saja,
mendadak suara serulingnya meninggi keras hingga
anak telinga semua orang serasa pekak.

Dan sekali jari-jari orang itu menutup rapat lubanglubang
serulingnya dan meniupnya dengan keras, tahutahu
dari ujung seruling menyembur keluar serangkum
angin tajam ke muka Yap Ji-nio.

Dalam kagetnya, Yap Ji-nio cepat menghindar,
namun pada saat lain, ujung seruling lawan tahu-tahu
sudah mengancam tenggorokannya.

Dua kali serangan itu dilakukan dengan kecepatan
dan kegesitan yang mengejutkan, biarpun Yap Ji-nio
dapat berkelit dengan cepat, tidak urung ia merasa
kerepotan juga. Dalam seribu kerepotannya itu, ia
paksakan diri mendoyong badan bagian atas ke
belakang untuk menghindari tutukan seruling yang
mengancam tenggorokan itu.

Tak tersangka, mendadak Koan-bau-khek atau si
jubah longgar itu, menggunakan tenaga dalam dengan
seruling menimpuk ke ulu hati Yap Ji-nio yang sedang
mendoyong itu.

Dalam keadaan demikian, Yap Ji-nio tidak berani
sembrono lagi, segera ia lemparkan Co San-san ke

377




tanah dan ulur tangan hendak merampas seruling orang.
Namun sekali Koan-bau-khek kebas lengan bajunya
yang longgar itu, anak itu kena digulung olehnya,
katanya, "Serahkan sini!"

Sambil berkata, ia pun angsurkan tangan kirinya.

Saat itu tepat Yap Ji-nio baru saja dapat memegang
seruling yang diluncurkan pemiliknya, seketika ia merasa
seruling itu panas seperti dibakar, hal ini benar-benar di
luar dugaan Yap Ji-nio, pikirnya, "Jangan-jangan seruling
ini dipoles racun?"

Maka cepat ia lepas tangan dan tak jadi
merampasnya.

Dalam pada itu tangan kiri Koan-bau-khek yang
terulur tadi tepat dapat merebut kembali serulingnya,
sekalian ia terus sodokkan senjata itu ke bahu Yap Ji-nio,
berbareng lengan bajunya yang menggulung Co San-san
itu dikipratkan hingga bocah itu terlempar ke arah Co Cubok.
Dengan tersipu-sipu cepat Co Cu-bok menangkap
putranya itu.

Dua gerakan Koan-bau-khek, merebut anak dan
menyerang musuh itu dilakukannya dengan cepat dan
sewajarnya tanpa dipaksakan, gayanya indah,
sasarannya jitu, sampai Bok Wan-jing pun ternganga
saking kagumnya.

Yap Ji-nio sendiri, ketika orang menangkap kembali
serulingnya tadi, sekilas dapat melihat telapak tengah
Koan-bau-khek itu merah membara, ia menjadi kaget,
"Jangan-jangan dia sudah berhasil meyakinkan Cu-se-jiu

378




(tangan pasir merah) yang sudah lama hilang di kalangan
Bu-lim itu? Jika demikian, terang di atas serulingnya
bukannya dipoles dengan racun, tapi adalah tenaga
dalamnya yang lihai itu telah membakar serulingnya
hingga panasnya mirip habis dikeluarkan dari tungku."

Maka cepat ia mundur beberapa tindak, lalu katanya
dengan tertawa, "Wah, ilmu silat saudara sungguh hebat.
Tidak nyana bahwa di wilayah Tayli ini masih ada tokoh
lihai begini. Numpang tanya siapakah namamu yang
terhormat?"

Si jubah longgar hanya tersenyum saja, sahutnya,
"Atas kunjungan Ji-nio ke wilayah kami ini, harap maaf
kami tidak menyambut sebelumnya. Biarpun negeri Tayli
ini hanya negeri kecil dan rakyatnya miskin, tapi
sepantasnya memenuhi juga sekadar kewajiban sebagai
tuan rumah."

Dalam pada itu Co Cu-bok yang sudah mendapatkan
kembali putranya dengan selamat, dalam girang dan
herannya itu, tiba-tiba teringat seseorang olehnya,
pikirnya, "Dilihat dari wajahnya, orang ini memang mirip
benar dengan tokoh yang sering dibuat cerita itu, tapi
beliau mengapa bisa berkecimpung di kalangan
Kangouw lagi?"

Namun begitu, tak tertahan juga rasa ingin tahunya,
segera ia tanya, "Apakah tuan ini adalah ... adalah Kohouya?"


Si jubah longgar itu tidak menjawab benar atau tidak,
tapi lantas berkata kepada Yap Ji-nio, "Di manakah

379




Toan-kongcu kami, bagaimana keadaannya, harap suka
memberi tahu?"

"Aku tidak tahu," sahut Ji-nio dengan tertawa dingin.
"Andaikan tahu juga takkan kukatakan."

Habis itu, sekonyong-konyong ia melayang turun ke
bawah gunung.

"Nanti dulu!" seru si jubah longgar terus mengudak.
Tapi mendadak pandangannya menjadi silau, tahu-tahu
senjata rahasia musuh bagai hujan menghambur ke
arahnya. Cepat ia putar serulingnya, sebagian senjata
gelap itu dapat dihindari, sebagian lagi kena dipukul jatuh
dengan seruling. Namun tangannya terasa pegal juga
terbentur oleh sambitan senjata gelap yang kuat itu,
diam-diam ia membatin, "Sungguh hebat perempuan ini."

Sementara itu Yap Ji-nio sudah sempat melayang
pergi bagai hantu cepatnya, untuk mengejarnya terang
tak keburu lagi. Ketika senjata gelap tadi ditegasi,
ternyata terdiri dari macam-macam bentuk mainan.
Segera Koan-bau-khek teringat, "Ya, barang-barang ini
tentu diperolehnya dari anak-anak yang menjadi
korbannya. Penyakit ini kalau tak dibasmi, entah betapa
banyak anak kecil di negeri Tayli ini akan dicelakai pula!"

Di sebelah sana, si nelayan lantas ayun pancingnya
hingga pedang yang terlilit oleh tali pancingnya
mendadak mencelat ke arah Co Cu-bok dengan gagang
pedang di depan. Dengan gugup, cepat Co Cu-bok
menangkap pedangnya sendiri itu dengan wajah merah
malu.

380




Lalu nelayan itu berpaling kepada Bok Wan-jing dan
membentaknya dengan bengis, "Sebenarnya bagaimana
keadaan Toan-kongcu? Apa benar telah dicelakai oleh In
Tiong-ho?"

Walaupun dalam hati Bok Wan-jing rada mendongkol
karena dibentak, tapi pikirnya, "Ilmu silat orang-orang ini
sangat tinggi, tampaknya mereka adalah kawannya
Toan-long. Biarlah kukatakan apa yang sebenarnya
kepada mereka agar bersama-sama mereka bisa
mencarinya ke sekitar jurang sana."

Tapi sebelum ia buka suara, tiba-tiba di bawah
gunung sana ada suara teriakan seorang, "Bok-kohnio ...
Bok-kohnio ... apakah engkau berada di sini?... Lam-haygok-
sin, aku sudah datang, jangan engkau bikin susah
Bok-kohnio!"

Mendengar suara itu, Koan-bau-khek dan kawankawannya
itu tampak kegirangan luar biasa. Berbareng
mereka berkata, "Itulah Kongcuya!"

Memang benar itulah suara Toan Ki. Dengan susah
payah Bok Wan-jing telah menanti tujuh-hari tujuhmalam,
kini mendadak mendengar suara orang yang
diharapkan itu, saking girang dan kejutnya, sekonyongkonyong
pandangannya terasa gelap terus jatuh pingsan
....

Dalam keadaan sadar tak sadar, ia dengar ada suara
orang menyebut namanya, "Bok-kohnio! Aku sudah
berada di sini, lekas engkau siuman!"

381




Perlahan Bok Wan-jing siuman kembali, ia merasa
dirinya berada di dalam pelukan orang, seketika ia ingin
melompat bangun, tapi lantas teringat olehnya, "Ah, ini
Toan-long yang memeluk aku."

Dengan rasa manis madu bercampur masam getir,
perlahan ia membuka matanya, segera tertampak
sepasang mata jeli yang berkilau-kilau sedang
memandang padanya, siapa lagi dia kalau bukan Toan
Ki.

"Hura, akhirnya engkau siuman juga!" demikian Toan
Ki berseru girang.

Sementara itu Bok Wan-jing tak dapat lagi menahan
air matanya yang bercucuran bagai hujan. Mendadak ia
baliki tangannya, "plok", kontan ia persen Toan Ki sekali
tamparan. Meski ia menggampar Toan Ki sekali, tapi
badannya masih tetap berada dalam pangkuan pemuda
itu, seketika ia pun tiada tenaga untuk melompat bangun.

Sejenak Toan Ki melongo sambil meraba-raba pipi
yang ditampar itu, kemudian katanya dengan tertawa,
"Kenapa engkau selalu suka memukul orang? Sungguh
tiada nona sewenang-wenang seperti engkau ini!"

Habis ini, mendadak wajahnya berubah muram dan
tanya, "Di manakah Lam-hay-gok-sin? Kenapa dia tidak
menungguku di sini?"

"Orang sudah menunggu selama tujuh-hari tujuhmalam,
apa masih belum cukup?" sahut Wan-jing. "Dia
sudah pergi sekarang!"

382




Seketika Toan Ki berubah girang, serunya, "Bagus,
bagus! Aku justru khawatir setengah mati. Bila dia paksa
aku mengangkat guru padanya, kan runyam?"

"Dan kalau engkau tidak suka menjadi muridnya,
kenapa kau datang lagi ke sini?" tanya Wan-jing.

"Eh, lalu bagaimana dengan dirimu?" sahut Toan Ki.
"Bukankah engkau berada di bawah cengkeramannya.
Kalau aku tidak datang kemari, dia tentu akan bikin
susah padamu, mana aku tega tinggal diam?"

Hati Wan-jing terasa bahagia, katanya pula, "Hm,
engkau ini sungguh jahat, ingin sekali kutusuk
membinasakanmu. Coba katakan, sebab apa tidak
lambat dan tidak telat engkau justru datang pada saat
sudah mendapat bala bantuan dan musuh sudah pergi,
lalu berlagak kesatria hendak menolong aku? Kenapa
selama tujuh-hari tujuh-malam engkau tidak datang
mencariku?"

Toan Ki menghela napas, sahutnya, "Sudah tentu
engkau tidak tahu bahwa selama itu aku berada di
bawah cengkeraman orang dan tak bisa berkutik.
Padahal siang dan malam aku selalu merindukan dirimu,
sungguh aku khawatir setengah mati, coba kalau aku
bisa melepaskan diri, tentu sejak tadi aku sudah datang.
Nona Bok, apakah lukamu sudah sembuh? Orang jahat
itu tidak ... tidak menganiaya engkau bukan?"

"Pernah apa aku dengan engkau? Kenapa masih
panggil nona apa segala terus-menerus?" omel Wan-jing.

383




Melihat paras si gadis yang kemerah-merahan dan
semakin menambah kecantikannya, perasaan Toan Ki
terguncang hebat. Sesungguhnya selama tujuh hari ini ia
memang sangat merindukan gadis itu. Tak tertahan lagi
ia merangkul lebih erat dan berkata, "Baiklah, Wan-jing,
Wan-jing! Kupanggil demikian padamu, suka tidak
engkau?"

Habis itu, terus saja ia tunduk kepala ke bawah
hendak mencium bibir si nona.

Keruan Bok Wan-jing kaget, ia menjerit sekali sambil
melompat bangun dengan wajah merah, serunya, "Ada
orang luar di sini? Mana boleh engkau .... He, di
manakah orang-orang itu?"

Waktu ia perhatikan, ternyata di sekitar situ sudah
tidak kelihatan lagi bayangan Koan-bau-khek alias si
jubah longgar bersama keempat jago Hi-jiau-keng-dok
itu.

"Siapakah yang berada di sini? Apakah Lam-hay-goksin?"
tanya Toan Ki dengan wajah menampilkan rasa
takut pula.

"Sudah berapa lama engkau berada di sini?" tanya
Wan-jing.

"Baru saja, belum lama," sahut Toan Ki. "Begitu aku
naik ke sini lantas kulihat engkau rebah tak sadarkan diri
di sini, kecuali itu, tiada lagi bayangan orang lain. He,
Wan-jing, marilah kita lekas pergi, jangan-jangan nanti
akan tertawan pula oleh Lam-hay-gok-sin yang jahat itu!"

384




"Baiklah!" sahut Wan-jing. Lalu ia bergumam sendiri,
"Aneh, hanya sekejap saja mengapa sudah menghilang
semua?"

Saat itulah tiba-tiba dari balik batu karang sana
terdengar seorang sedang bersenandung, lalu muncul
seorang yang membawa kipas dan buku, itulah dia si
sastrawan dari empat tokoh "Hi-jiau-keng-dok."

"Cu-heng!" seru Toan Ki girang.

Cepat sastrawan itu masukkan kitab dan kipasnya ke
dalam baju, lalu memburu maju dan menjura kepada
Toan Ki sambil berkata dengan girang, "Kongcuya,
syukur engkau dalam keadaan selamat, tadi ketika
mendengar ucapan nona ini, sungguh kami khawatir tak
terhingga!"

Dengan ramah Toan Ki membalas hormat orang,
sahutnya, "Jadi kalian sudah bertemu tadi? Ken ...
kenapa baru sekarang muncul? Sungguh sangat
kebetulan!"

"Kami berempat saudara diperintahkan menjemput
Kongcuya pulang dan bukannya bertemu secara
kebetulan," ujar si sastrawan. "Kongcuya, engkau juga
terlalu gegabah, seorang diri merantau Kangouw,
untunglah kami mencari ke rumah Be Ngo-tek, lalu
menyusul ke Bu-liang-san sini, selama beberapa hari
kami benar-benar teramat khawatir."

"Banyak juga penderitaan yang kurasakan," ujar Toan
Ki tertawa. "Paman dan ayah tentu marah-marah
bukan?"

385




"Sudah tentu," sahut si sastrawan. "Cuma pada waktu
kami berangkat, kedua junjungan sudah reda marahnya
dan sebaliknya merasa khawatir atas diri Kongcuya,
kemudian Sian-tan-hou juga mendapat berita
kedatangan Su-tay-ok-jin ke Tayli sini, beliau khawatir
kalau Kongcuya dipergoki mereka, maka beliau sendiri
pun ikut datang mencari engkau."

"Su-tay-ok-jin apa? Jadi Ko-sioksiok juga ikut datang
mencariku? Ah, aku jadi tak enak, di manakah beliau
sekarang?"

"Barusan kami berada di sini semua," sahut si
sastrawan. "Ko-houya telah berhasil mengusir seorang
wanita jahat, dan ketika mendengar suara datangnya
Kongcuya, mereka merasa lega dan suruh aku
menunggu engkau di sini, sedang mereka pergi
menguber si wanita jahat itu. Kongcuya, marilah
sekarang juga kita pulang ke istana agar tidak dibuat
beban pikiran lebih lama oleh kedua tuan besar."

"Kiranya sejak tadi engkau sudah berada di sini," ujar
Toan Ki kikuk. Teringat olehnya apa yang dia bicarakan
dengan Bok Wan-jing yang meresap tadi, semua itu tentu
telah didengar juga oleh sastrawan ini, tak tertahan lagi
wajahnya menjadi merah jengah.

"Tadi aku lagi asyik membaca syair indah gubahan
Ong Jiang-ling yang penuh semangat itu, di luar dugaan
Kongcuya sudah lama berada di sini," demikian kata si
sastrawan dengan maksud menghilangkan rasa malu
Toan Ki.

386




Maka dengan masih rada kikuk Toan Ki berpaling
kepada Bok Wan-jing dan berkata, "Bok ... Bok-kohnio,
ini adalah Cu Tan-sin, Cu-siko, dia adalah kawanku yang
paling karib."

Segera Cu Tan-sin melangkah maju dan memberi
hormat kepada si nona, katanya, "Terimalah hormat Cu
Tan-sin, nona!"

Dengan ramah Wan-jing membalas hormat, ia
menjadi senang melihat orang begitu merendah
padanya, sahutnya, "Cu-siko, engkau sungguh sangat
ramah, tidak seperti kawan-kawanmu tadi yang kasar
dan bengis itu."

Cu Tan-sin tertawa, katanya, "Ketiga saudaraku itu
tentu khawatir karena mendengar berita buruk atas diri
Kongcuya, maka ucapannya rada kurang sopan, harap
nona suka memaafkan."

Dalam hati Cu Tan-sin heran juga, kejahatan "Hiangyok-
jeh" paling akhir ini sering didengar olehnya, tak
terduga olehnya bahwa tokoh itu ternyata seorang gadis
sedemikian cantiknya. Ia menjadi khawatir atas
Kongcuya yang masih muda dan belum berpengalaman
itu akan tenggelam dalam pengaruh kecantikan si nona
hingga akhirnya merusak nama baik sendiri.

Cu Tan-sin adalah seorang yang lihai, biarpun diamdiam
ia sudah waspada kepada Bok Wan-jing, tapi
lahirnya ia tidak mengunjuk sesuatu tanda, bahkan
dengan tertawa ia berkata, "Kedua tuan besar sangat
mengkhawatirkan diri Kongcuya, maka hendaknya
Kongcuya lekas pulang saja. Bila Bok-kohnio juga tiada

387




urusan lain, silakan ikut bertamu ke rumah Kongcu
barang beberapa hari."

Ia menduga melulu kekuatan sendiri mungkin tak
mampu mengatasi Bok Wan-jing, tapi kalau nona ini juga
diajak pulang tentu Toan Ki akan merasa senang.

Dengan ragu Toan Ki menyahut, "Tapi cara
bagaimana aku ... aku harus berkata pada paman dan
ayah?"

Wajah Bok Wan-jing menjadi merah, cepat ia
berpaling ke arah lain.

"Kudengar bahwa ilmu silat Su-tay-ok-jin itu sangat
tinggi, tadi meski Sian-tan-hou dapat mengenyahkan Yap
Ji-nio yang jahat itu pun berkat serangan di luar
perhitungan musuh. Demi keselamatan Kongcuya,
marilah kita lekas berangkat saja," demikian kata Cu
Tan-sin pula.

Bila ingat betapa buasnya Lam-hay-gok-sin, kembali
Toan Ki merinding. Ia manggut dan berkata, "Baiklah,
mari kita berangkat. Cu-siko, jika musuh terlalu lihai, lebih
baik engkau pergi membantu Ko-sioksiok saja, biar aku
pulang sendiri bersama nona Bok."

"Tidak," sahut Cu Tan-sin. "Dengan susah payah
akhirnya Kongcuya dapat kutemukan, sepantasnya aku
mengawal engkau pulang. Betapa tinggi kepandaian
nona Bok, memang sudah lama juga kukagumi. Cuma
melihat keadaannya, agaknya lukanya masih belum pulih
sama sekali, bila di tengah jalan nanti kepergok musuh

388




lagi, tentu akan susah, maka lebih baik Cayhe mengawal
pulang saja."

Sebenarnya Toan Ki tidak ingin langsung pulang, tapi
sekali sudah diketemukan Cu Tan-sin, untuk minggat lagi
terang tidak gampang. Terpaksa ia menurut dan bertiga
lantas turun ke bawah gunung.

Dalam hati Bok Wan-jing ingin sekali tanya Toan Ki ke
mana perginya selama tujuh-hari tujuh-malam, cuma Cu
Tan-sin berada di samping mereka, untuk bicara rasanya
kurang leluasa, terpaksa ia bersabar sebisanya.

Tan-sin membawa ransum kering, di tengah jalan ia
keluarkan dan dibagikan kepada Toan Ki dan Wan-jing.

Sampai di bawah gunung, tertampaklah di bawah
pohon tertambat lima ekor kuda bagus, itulah kuda
tunggangan rombongan Jay-sin-khek.

Segera Tan-sin membawakan tiga ekor di antaranya,
ia silakan Toan Ki dan Wan-jing naik dulu, kemudian ia
sendiri mencemplak ke atas kuda yang lain terus
mengikut dari belakang.

Malamnya mereka bertiga menginap di suatu hotel
kecil dan masing-masing mendiami sebuah kamar.
Setelah tutup kamar, Bok Wan-jing duduk termangumangu
bertopang dagu menghadapi api lilin di atas meja,
pikirnya, "Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri
Toan-long sudi datang sendiri mencari aku, suatu tanda
cintanya yang mendalam padaku. Sebaliknya selama
beberapa hari ini dalam hatiku selalu menyumpahi dia

389




berhati palsu segala, nyata aku telah keliru menyalahkan
dia.

"Melihat sikap Cu Tan-sin yang sangat hormat,
agaknya Toan-long kalau bukan putra keluarga
bangsawan, tentu adalah angkatan muda dari tokoh
persilatan terkemuka. Seorang nona seperti aku meski
sudah bertunangan dengan dia, tapi begini saja aku
lantas ikut pulang ke rumahnya, betapa pun aku merasa
kikuk.

"Tampaknya ayah dan pamannya juga sangat bengis
padanya, bila nanti aku pun dihina olehnya, lantas
bagaimana baiknya? Hm, paling-paling kulepaskan
panah beracun untuk membunuh mereka semua, hanya
Toan-long seorang yang kubela."

Selagi berpikir cara bagaimana kelak akan
mengganas, tiba-tiba terdengar suara keletakan perlahan
dua kali di daun jendela. Cepat Bok Wan-jing ayun
tangannya hingga api lilin tersirap.

Maka terdengarlah suara Toan Ki lagi berkata
perlahan di luar jendela, "Akulah, nona Bok!"

Mendengar pemuda itu tengah malam datang ke
kamarnya, hati Wan-jing menjadi berdebar-debar, dalam
kegelapan ia merasa wajahnya merah membara. Dengan
berbisik ia coba tanya, "Ada urusan apa?"

"Bukalah jendelamu, biar kukatakan padamu," sahut
Toan Ki.

390




"Tidak, aku tak mau buka," ujar si nona. Sungguh
aneh, dengan ilmu silatnya yang sangat tinggi itu,
biasanya ia tidak gentar pada siapa pun juga, tapi kini ia
merasa jeri hanya kepada seorang pelajar yang lemah,
sungguh ia sendiri pun tidak tahu apa sebabnya.

Toan Ki heran juga mengapa si gadis tak mau
membuka jendela, segera ia membisiki lagi, "Jika begitu,
lekas engkau keluar, kita harus segera berangkat."

Mendengar itu, cepat Wan-jing bertanya lagi, "Sebab
apa?"

"Cu-siko sedang tidur nyenyak, jangan kita bikin
mendusin dia, aku tidak ingin pulang!" demikian kata
Toan Ki.

Wan-jing menjadi girang, ia memang sedang khawatir
cara bagaimana nanti kalau bertemu dengan ayah-bunda
pemuda itu. Kini diajak minggat, tentu saja ia akur tanpa
syarat. Segera ia buka jendela perlahan, lalu melompat
keluar.

"Ssst! Perlahan, jangan sampai diketahui Cu-siko!"
demikian Toan Ki mendesis. "Kau tunggu di sini, biar
kupergi mengambil kuda."

Tapi Wan-jing lantas menggoyang tangannya, sekali
ia rangkul pinggang Toan Ki, ia terus lompat ke atas
rumah dan melayang keluar tembok sana. Katanya
kemudian, "Jangan kita naik kuda, suara lari kuda akan
mengejutkan Cu-sikomu."

391




"Benar juga, cermat sekali engkau," sahut Toan Ki
dengan tertawa.

Maka dengan bergandengan tangan mereka cepat
berjalan ke arah timur. Setelah beberapa li jauhnya tidak
terdengar orang mengejar, mereka merasa lega. Kata
Bok Wan-jing, "Sebab apa engkau tidak suka pulang?"

"Begitu pulang, tentu paman dan ayah akan
menyekap aku dan dilarang keluar lagi," sahut Toan Ki.
"Dan untuk bertemu lagi dengan engkau tentu susah."

Senang sekali hati Bok Wan-jing mendengar
pernyataan itu, katanya, "Engkau tidak suka pulang,
itulah sangat baik, biarlah mulai sekarang kita merantau,
bukankah kita bisa hidup bebas tenteram? Dan sekarang
kita harus pergi ke mana?"

"Pertama kita harus menghindari pengejaran Cu-siko,
Ko-sioksiok dan lain-lain," sahut Toan Ki. "Lalu kita
menghindari Lam-hay-gok-sin yang buas itu."

"Benar," kata Wan-jing. "Paling baik kita menuju ke
barat-laut, kita memondok dulu di rumah seorang desa
untuk menghindari pengejaran, lewat belasan hari
kemudian, kalau luka di pundakku sembuh sama sekali,
tentu kita takkan khawatir lagi terhadap apa pun."

Segera mereka berdua membelok ke arah barat-laut
dengan cepat, di tengah jalan mereka tak berani berhenti
dan banyak bicara, harapan mereka adalah semakin jauh
meninggalkan Bu-liang-san, semakin baik.

392




Sampai fajar menyingsing, sudah sepuluh li mereka
tempuh. Kata Wan-jing, "Musuhku terlalu banyak, kalau
kita berjalan siang hari tentu akan menarik perhatian
orang. Lebih baik kita mencari suatu tempat mengaso,
siang hari kita makan-tidur dan malam hari meneruskan
perjalanan."

Terhadap urusan-urusan Kangouw, sedikit pun Toan
Ki tidak paham, maka sahutnya, "Baiklah, terserah
kepada keputusanmu."

"Nanti sehabis kita sarapan, harus kau ceritakan ke
mana engkau telah pergi selama tujuh-hari tujuh-malam
ini," kata si nona pula. "Tapi kalau kau bohong, hm, awas
...." berkata sampai di sini, mendadak ia berseru heran
sambil menuding ke depan.

Ternyata di bawah pohon yang rindang tertambat tiga
ekor kuda, di atas sepotong batu besar duduk seorang
yang sedang membaca kitab sambil goyang-goyang
kepala asyik bersyair. Siapa lagi dia kalau bukan Cu Tan-
sin.

"Wah, celaka!" segera Toan Ki tarik tangan si nona
dan diajak lari ke jurusan lain.

Namun Wan-jing cukup paham bahwa rencananya
melarikan diri semalam tentu sudah didengar semua oleh
Cu Tan-sin. Sastrawan itu menduga Toan Ki tak bisa
Ginkang, tentu larinya takkan cepat, maka setelah tahu
arah lari mereka, lalu ia naik kuda mengitari jalan lain
untuk mengadang di depan.

393




Maka dengan bekernyit kening Wan-jing berkata,
"Tolol, sudah diketahui orang, masakan masih bisa lari
lagi?"

Terus saja ia mendekati Cu Tan-sin dan menegur,
"Wah, pagi-pagi buta sudah asyik membaca di sini,
senang benar tampaknya!"

Tan-sin manggut-manggut sambil tertawa, katanya
kepada Toan Ki, "Kongcu, coba terka syair apa yang
sedang kubaca?"

Lalu ia keraskan suaranya bersenandung sebait syair.

Selesai mendengarkan, segera Toan Ki menjawab,
"Bukankah ini 'bisikan kalbu' gubahan Gui Tin?"

Tan-sin tertawa, katanya, "Pengetahuan Kongcuya
sungguh sangat luas dan dalam, Tan-sin merasa sangat
kagum!"

Toan Ki dapat memahami maksud syair orang yang
mengatakan sebabnya malam buta mau menyusul dan
mencarinya, yaitu karena merasa utang budi pada ayah
dan pamanmu, maka tidak berani mengecewakan
kepercayaan yang kuterima dari beliau-beliau itu.

Maka Toan Ki menjadi rikuh untuk minggat lagi,
segera ia ajak Bok Wan-jing ikut pulang.

"Entah jalan yang kami tempuh ini benar tidak menuju
ke Tayli?" dengan kikuk Bok Wan-jing tanya.

394




"Toh tiada urusan penting yang lain, ke timur atau ke
barat serupa saja, akhirnya juga sampai di Tayli," sahut
Tan-sin.

Kalau kemarin ia memberi Toan Ki seekor kuda yang
paling bagus, adalah sekarang kuda bagus itu ia
tunggangi sendiri untuk berjaga-jaga kalau pemuda itu
melarikan diri lagi dan dirinya tentu akan sukar
menyusulnya.

Segera Toan Ki mencemplak ke atas kuda dan
berangkat ke jurusan timur. Khawatir pemuda itu
mendongkol padanya, sepanjang jalan Tan-sin berusaha
membikin senang hatinya dengan mengajak bicara
tentang syair dan sastra.

Saking asyiknya Toan Ki dibuai oleh syair, hingga Bok
Wan-jing yang berada di sampingnya itu tak terurus.

Keruan gadis itu mendongkol, pikirnya, "Pelajar tolol
ini bila sudah asyik bicara tentang syair segala menjadi
lupa daratan."

Tidak lama, sampailah mereka di jalan raya.
Kemudian mereka berhenti di suatu kedai di tepi jalan
untuk sarapan pagi sekadarnya. Baru selesai mereka
pesan makanan, tiba-tiba dari luar melangkah masuk
pula seorang yang bertubuh tinggi kurus.

Begitu ambil tempat duduk, segera si jangkung itu
menggebrak meja sambil membentak, "Lekas bawakan
lima kati arak, tiga kati daging rebus, lekas, cepat!"

395




Mendengar suara orang, tak usah melihat, segera
Bok Wan-jing dapat mengenali si jangkung itu pasti In
Tiong-ho adanya. Syukur ia menghadap ke dalam hingga
tidak dilihat oleh tokoh jahat keempat itu. Segera ia
gunakan jarinya mencelup air kuah untuk menulis nama
In Tiong-ho di atas meja.

Tan-sin terkejut, segera ia pun menulis di atas meja,
"Lekas berangkat, tak perlu menunggu aku!"

Terus saja Wan-jing berbangkit, ia tarik baju Toan Ki
dan diajak menuju ke ruangan belakang.

Sejak masuk tadi, In Tiong-ho lantas duduk
menghadap ke luar seperti sedang mengintai orang
lewat. Tapi dia sangat cerdik, begitu mendengar ada
suara orang bergerak di belakangnya, ia lantas menoleh
dan masih keburu melihat bayangan Bok Wan-jing
menghilang di balik pintu, segera ia membentak, "Siapa
itu? Berhenti!"

Berbareng ia terus berbangkit dan memburu ke
belakang.

Saat itu Cu Tan-sin sedang memegangi semangkuk
bakmi kuah panas, ia sengaja menjerit keras sekali
seakan-akan orang kaget, semangkuk bakmi panas itu
disiramkan ke muka In Tiong-ho.

Jarak kedua orang memang sangat dekat, gerakan
Cu Tan-sin itu sangat cepat pula, ditambah lagi sama
sekali In Tiong-ho tak menyangka si sastrawan yang
lemah itu mendadak bisa menyerang, pula ruangan kedai
itu terlalu sempit untuk menghindar, mendingan juga

396




Ginkangnya sudah mencapai tingkat tiada taranya,

dengan cepat ia masih sempat mengegos sedikit hingga
semangkuk bakmi panas itu dapat dielakkan sebagian,
tinggal isi setengah mangkuk yang tetap mengguyur
mukanya hingga pandangannya seketika menjadi kabur.

Dalam gusarnya segera In Tiong-ho mencakar dada
Cu Tan-sin dengan niat sekaligus binasakan orang. Tak
tersangka, begitu Tan-sin guyurkan bakminya tadi,
menyusul ia lantas angkat meja hingga mangkuk piring
berhamburan ke arah In Tiong-ho. "Crat," kelima jari In
Tiong-ho yang mencakar itu pun menancap di muka
meja.

Betapa tinggi ilmu silat In Tiong-ho, karena mendadak
diserang ia menjadi kalang kabut juga dan kerepotan.

Lekas ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi
tubuh sendiri hingga mangkuk piring yang berhamburan
ke badannya itu semua terpental jatuh dan tak
melukainya. Namun begitu, bajunya menjadi basah
kuyup juga oleh siraman kuah bakmi itu.

Pada saat lain, terdengarlah derap lari kuda yang
ramai di luar kedai, ada dua penunggang kuda telah
kabur ke utara.

Cepat In Tiong-ho mengusap mukanya yang tersiram
bakmi tadi, tapi pada saat itu juga sekonyong-konyong
angin tajam menyambar pula, suatu benda keras telah
menutuk ke arah dadanya. Cepat ia tarik napas dalamdalam
hingga dadanya tertarik mundur beberapa senti,
berbareng telapak tangan kiri lantas menebas dan dua
jari tangan lain dipakai menjepit kipas orang.

397




Ruji kipas milik Cu Tan-sin itu terbuat dari baja murni
dan merupakan senjata ampuh yang diyakinkan sejak
kecil, ia dapat memainkannya dengan cepat dan sesuka
hati. Maka ia menduga dalam keadaan kelabakan
terkena siraman bakmi panas tadi, sekali serang
dapatlah merobohkan In Tiong-ho yang lihai itu.

Tak tersangka, bukan saja In Tiong-ho dapat
menghindar serangan itu dengan baik, bahkan kipasnya
hendak dijepit pula. Keruan Tan-sin terkejut, cepat ia tarik
kembali kipasnya.

Bicara tentang tenaga dalam, Cu Tan-sin masih kalah
setingkat daripada lawannya, tapi kipas adalah senjata
kesayangannya, maka sekuatnya ia tarik, untung juga
tangan In Tiong-ho basah oleh kuah bakmi, jarinya
menjadi licin hingga kurang kencang jepitannya, maka
dapatlah Tan-sin merebut kembali kipasnya itu.

Dalam keadaan demikian, mendadak Tan-sin
mendapat akal, cepat ia berteriak-teriak, "Hai, kawankawan
yang memakai pancing dan kapak, lekas kalian
tutup pintu, si jangkung ini takkan mampu lari lagi!"

Kiranya Tan-sin pernah mendengar ceritanya "Busian-
tio-to" atau si tukang pancing dari danau Bu-sian,
dan Jay-sin-khek, bahwa malam itu mereka pergoki
seorang jangkung bagai galah bambu, dengan tenaga
mereka berdua barulah sekadar bisa mengalahkan
lawan. Sebab itulah sekarang ia sengaja main gertak, ia
menggembor pura-pura memanggil kawan untuk
menakutkan lawan itu.

398




In Tiong-ho tidak menyangka itu cuma gertakan
belaka, ia pikir bisa celaka kalau benar si nelayan dan
tukang kayu itu muncul, tentu dirinya sukar untuk
meloloskan diri.

Ia menjadi gugup dan tidak mau bertempur lebih
lama, terus saja ia terjang ke ruangan belakang dan
melarikan diri melintasi pagar tembok.

"Wah, sudah lari, si jangkung sudah lari! Lekas kejar,
lekas kejar!" demikian Tan-sin masih berteriak sambil
berlari keluar kedai dan mencemplak ke atas kudanya,
tapi bukan mengejar si jangkung, melainkan menyusul
Toan Ki berdua.

Saat itu Toan Ki dan Wan-jing sudah melarikan kuda
mereka beberapa li jauhnya, lalu melambatkan kudanya
perlahan. Tidak lama, terdengar derapan kuda yang
cepat dari belakang, waktu menoleh, kiranya Cu Tan-sin
sudah menyusul tiba.

Mereka hentikan kuda untuk menunggu, setelah
dekat, belum lagi mereka sempat tanya kawan itu,
sekonyong-konyong Wan-jing berseru, "Celaka, orang itu
mengejar kemari!"

Maka tertampaklah sesosok tubuh yang jangkung
sedang memburu datang dengan cepat luar biasa,
saking tinggi tubuh orang hingga mirip galah bambu
dalam permainan jelangkung yang bergontai-gontai
sempoyongan ke kanan dan ke kiri.

Kejut Tan-sin tak terhingga, sungguh tak terduga
olehnya bahwa Ginkang si jangkung bisa begini hebat.

399




Cepat ia menyabat beberapa kali bokong kuda
tunggangan Toan Ki dan Wan-jing, dalam kagetnya,
kuda-kuda itu meringkik sekali terus membedal ke depan
dengan kencang. Maka hanya sekejap saja In Tiong-ho
sudah jauh ketinggalan di belakang.

Kira-kira beberapa li lagi, Bok Wan-jing mendengar
napas kudanya sudah megap-megap, terpaksa ia
lambatkan larinya, membiarkan binatang itu bernapas.
Tapi karena sedikit ayal itu, kembali In Tiong-ho
menyusul datang.

Biarpun kecepatan lari dalam jarak pendek In Tiongho
tidak bisa memadai kuda, tapi tenaga untuk jangka
lama ternyata tidak putus, ia masih mampu mengejar
terus.

Cu Tan-sin tahu akal menggertaknya tadi sudah
diketahui orang, untuk menakut-nakuti pula terang takkan
mempan lagi, tampaknya dalam jarak belasan li tentu
akan disusul olehnya.

Padahal asal bisa sampai di kota Tayli, betapa pun
besarnya urusan tentu tidak perlu takut. Soalnya cuma
ketiga ekor kuda mereka yang sudah payah, makin lama
makin lambat, keadaan pun makin lama makin gawat.

Beberapa li lagi, sekonyong-konyong kuda Toan Ki
kesandung hingga pemuda itu terbanting jatuh ke bawah.
Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, belum lagi
tubuh Toan Ki menempel tanah, tangan si nona sudah
sempat menjambret kuduk bajunya terus diangkat ke
atas kuda sendiri.

400




Terhadap gadis itu sebenarnya Cu Tan-sin
mempunyai kesan jelek, tapi ketika Toan Ki terjungkal
dari kudanya, ia sendiri masih ketinggalan di belakang
untuk merintangi musuh bila perlu, untuk menolong
terang tidak keburu. Syukur gadis itu sempat turun
tangan dengan cepat, melihat gerakan Bok Wan-jing
yang cekatan itu, mau tak mau ia memuji juga.

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari
belakang angin tajam menyambar, sepotong senjata
rahasia menyerang ke arahnya.

Cepat Tan-sin putar kipasnya untuk menangkis,
"trang", cakar baja In Tiong-ho tersampuk ke samping,
tapi senjata aneh itu tidak lantas ditarik kembali oleh In
Tiong-ho, sebaliknya terus menggaruk ke bawah hingga
pantat kuda tercakar dan terluka.

Saking kesakitan, kuda itu meringkik terus
mencongklang terlebih cepat hingga lagi-lagi In Tiong-ho
tertinggal di belakang.

Namun demikian, kini Toan Ki dan Wan-jing harus
bersatu kuda, sedang kuda Cu Tan-sin terluka pula,
dengan sendirinya mereka sangat khawatir. Hanya Toan
Ki yang sama sekali tidak kenal bahaya, ia masih tanya,
"Wan-jing, apakah orang itu sangat lihai? Dapatkah Cusiko
melawan dia?"

"Tidak, biarpun aku bersama dia mengeroyoknya juga
tak bisa menang," sahut si gadis.

Tiba-tiba timbul suatu akal dalam hatinya, katanya
pula, "Eh, aku dapat pura-pura jatuh dari kuda dan rebah

401




di tanah, nanti kalau dia mendekati aku, dalam keadaan
tak tersangka-sangka akan kulepaskan panah, tentu
dapat kurobohkan dia. Nah, lekas kau larikan kuda
sendirian, tak perlu tunggu aku!"

Keruan Toan Ki gugup, tanpa pikir sebelah tangannya
memeluk leher si gadis dan tangan lain merangkul
pinggangnya sambil berkata, "Jangan, jangan! Aku
takkan membiarkan engkau menempuh bahaya itu!"

Wan-jing menjadi jengah, omelnya, "Tolol, kenapa
main pegang-pegang? Lekas lepaskan aku! Kalau dilihat
Cu-siko, macam apa kelakuanmu ini?"

"O, ya! Maaf, jangan engkau marah!" seru Toan Ki
terkejut sambil melepaskan rangkulannya.

"Engkau adalah suamiku, masakah pakai minta maaf
segala?" ujar si nona.

Tengah bicara, dari jauh tampak In Tiong-ho
memburu tiba lagi dengan gayanya yang gentayangan.

Sekilas Toan Ki melihat wajah Wan-jing mengunjuk
rasa khawatir, seketika timbul rasa kasih sayangnya.
Saat itulah tiba-tiba si gadis menjerit tertahan, tertampak
Cu Tan-sin melompat turun dari kudanya dan sedang
memberi tangan menyuruh mereka lari cepat. Lalu ia
pentang kipasnya mengadang di tengah jalan hendak
menempur In Tiong-ho.

Tak terduga maksud tujuan In Tiong-ho adalah ingin
menawan Bok Wan-jing yang cantik itu. Sekonyongkonyong
ia membelok ke pinggir hingga Cu Tan-sin

402




dilalui, lalu mengejar terlebih cepat ke arah Toan Ki
berdua.

Terus-menerus Bok Wan-jing mencambuk kudanya
agar berlari lebih cepat, mulut binatang itu sudah
berbusa, napasnya megap-megap, tapi masih tetap lari
mati-matian.

"Wan-jing," ujar Toan Ki dengan menyesal, "coba
kalau kuda yang kita tunggangi ini adalah si Mawar Hitam
milikmu itu, jangan harap orang jahat itu mampu
menyusul kita."

"Tentu saja," sahut Wan-jing.

Dan setelah kuda itu membelok ke suatu bukit, tibatiba
di depan tampak sebuah jalan lapang lurus, di
samping jalan juga tanah datar yang luas tanpa sesuatu
tempat yang dapat dibuat sembunyi, hanya di ujung barat
jalan sana tampak tetumbuhan rindang menghijau
mengelilingi sebuah telaga kecil, di sisi telaga sana
tampak menongol sebagian dinding berwarna kuning.

Melihat itu, Toan Ki bersorak, "Hura, lekas kita menuju
ke sana!"

"Di sana adalah jalan buntu, apa cari mampus menuju
ke sana?" sahut Wan-jing.

"Turutlah kataku, tentu kita akan selamat," ujar Toan
Ki sambil bedal kudanya lebih cepat menuju ke semak
pohon yang rindang itu.

403




Sesudah dekat, ketika Bok Wan-jing menegas, ia lihat
dinding tembok yang kuning itu kiranya adalah sebuah
bangunan kuil, di atas papan kuil itu tertulis "Jing-hoakoan",
nyata itulah sebuah To-koan atau kuil pemeluk
agama To (Tao).

Hanya sepintas saja Wan-jing memandang kuil itu,
dalam hati ia sedang berpikir, "Si tolol ini ajak lari ke sini,
terang menghadapi jalan buntu, bagaimana baiknya
sekarang? Ah, biarlah kusembunyi dulu untuk menyerang
In Tiong-ho itu dengan panahku."

Saat itu kuda mereka sudah berlari sampai di depan
kuil dan sedang Wan-jing hendak menoleh ke belakang,
sekonyong-konyong terdengar suara tertawa orang
terbahak-bahak di belakang, terang itulah In Tiong-ho
adanya.

Tiba-tiba Bok Wan-jing merasa kudanya berhenti
serentak sambil menegak dan meringkik keras, hendak
melangkah maju setindak lagi juga tak bisa. Dalam
keadaan hampir merosot dari pelana kuda, cepat Wanjing
berpaling ke belakang, ia lihat kedua tangan In
Tiong-ho memegangi ekor kudanya, pantas binatang itu
berjingkrak dan meringkik sebab ekornya diganduli dari
belakang.

Tenaga Kiong-hiong-kek-ok ini sungguh mengejutkan,
kuda yang lagi membedal dengan cepat begitu ekornya
ditarik lantas tak bisa berkutik sama sekali.

Segera terdengar juga Toan Ki lagi berteriak-teriak,
"Ibu, Ibu! Lekas kemari, lekas!"

404




Sungguh mendongkol sekali Bok Wan-jing oleh
gembar-gembor Toan Ki yang lucu seperti anak kecil itu,
bentaknya gusar, "Tutup mulut, tolol!"

In Tiong-ho menjadi geli juga, ia terbahak-bahak dan
mengejek, "Hahaha, biar kau panggil nenek moyangmu
juga percuma!"

Mendadak Bok Wan-jing ayun tangan kanan ke
belakang, sebatang panah terus menyambar ke
tenggorokan In Tiong-ho.

Tapi sedikit mengegos, dapatlah Tiong-ho hindarkan
serangan itu. Dari demi tampak Wan-jing hendak
melompat pergi dari pelana kudanya, cepat cakar baja di
tangan kiri terus mencengkeram pundak gadis itu.

Tapi Bok Wan-jing sangat cerdik dan cekatan,
sekonyong-konyong ia merosot ke bawah terus
menyelusup ke bawah perut kuda.

Dan selagi Tiong-ho melepaskan ekor kuda yang
diganduli tadi dengan maksud hendak melabrak si gadis
lebih jauh, ia menjadi tertegun ketika tiba-tiba dilihatnya
dari dalam kuil itu berjalan keluar seorang To-koh (imam
wanita) setengah umur dan berparas cantik, wajahnya
tersenyum simpul, tangan kanan membawa sebuah
kebut pertapaan.

Melihat To-koh itu, cepat Toan Ki berlari
mendekatinya. Segera To-koh itu merangkul bahu anak
muda itu sambil berkata dengan tertawa, "Kembali kau
bikin onar lagi, ada apa bergembar-gembor!"

405




Melihat To-koh secantik itu sedemikian mesranya
terhadap Toan Ki, bahkan tampak pemuda itu pun
gunakan tangan kanan memeluk pinggang si To-koh
dengan kegirangan, seketika timbul rasa cemburu Bok
Wan-jing, tak terpikir olehnya bahwa musuh masih
berada di situ, ia terus menubruk maju, telapak tangan
lantas membacok kepala si To-koh sambil membentak,
"Kau ... kau apanya?"

"Jangan kurang sopan, Wan-jing!" cepat Toan Ki
berseru.

Mendengar pemuda itu membela si To-koh, rasa
dongkol Wan-jing semakin berkobar, bacokannya tadi
dilontarkan lebih keras lagi.

Tapi dengan tenang To-koh itu angkat kebutnya ke
atas, sedikit berputar, tahu-tahu pergelangan tangan Bok
Wan-jing terlilit oleh benang kebutnya. Seketika Wan-jing
merasa tenaga lilitan kebut itu tidak kepalang kuatnya,
tapi lunak pula, sedikit To-koh itu kebas kebutnya, kontan
Wan-jing terhuyung-huyung ke samping.

Dalam gugup dan kalapnya, Wan-jing terus memaki,
"Engkau adalah Cut-keh-lang (orang beragama), kenapa
sedemikian tidak tahu malu!"

Semula, ketika tiba-tiba melihat muncul seorang Tokoh
yang cantik, diam-diam In Tiong-ho sangat girang,
pikirnya hari ini aku benar-benar lagi dirundung dewi
amor, sekali tangkap dua wanita cantik, biar nanti
kugondol pulang semuanya.

406




Tapi kemudian demi menyaksikan cara bagaimana
To-koh itu mematahkan serangan Bok Wan-jing dengan
mudah. Sebagai seorang jago silat berpengalaman,
hanya sejurus itu saja lantas diketahuinya ilmu silat si Tokoh
sangat hebat. Segera ia mencemplak ke atas kuda
Toan Ki tadi, tapi tidak lantas turun tangan.

Terdengar To-koh tadi sedang berkata dengan gusar,
"Kau sembarangan omong apa, nona cilik? Kau … kau
sendiri pernah apanya?"

"Aku ... aku istri Toan-long!" demikian Wan-jing
menjawab. "Lekas engkau melepaskan dia!"

To-koh itu tercengang sejenak, tiba-tiba air mukanya
berubah senang berseri-seri, ia jewer kuping Toan Ki,
tanyanya dengan tertawa, "Apa betul perkataannya?"

"Dapat dikata betul, boleh dibilang tidak betul pula,"
sahut Toan Ki.

To-koh itu cubit sekali pipi pemuda itu sambil
mengomel, "Huh, suruh kau belajar silat tidak mau, tapi
lebih suka meniru watak ayahmu yang bangor, ya? Hm,
lihatlah kalau aku tidak hajar kau."

Lalu ia berpaling mengamat-amati Bok Wan-jing,
kemudian katanya, "Ehm, nona ini juga sangat cantik,
cuma terlalu liar, perlu dididik dulu."

"Liar atau tidak peduli apa?" semprot Wan-jing
dengan gusar. "Jika engkau tidak lekas lepaskan dia,
jangan menyesal bila aku menyerang dengan panah."

407




"Jika kau suka, boleh kau coba-coba," ujar si To-koh
tertawa.

"Jangan, Wan-jing!" demikian Toan Ki menyela. "Kau
tahu tidak siapa beliau?"

Namun Bok Wan-jing sudah kadung minum cuka
(cemburu), ia tak tahan lagi, begitu ayun tangan, "serser",
dua panah kecil terus menyambar ke arah si Tokoh.


Melihat bidikan panah berbisa gadis itu, wajah si Tokoh
yang tadinya berseri-seri itu seketika berubah hebat.
Sekali kebutnya mengebas, setiap benang perak dari
kebut itu seakan-akan bertenaga sembrani, kedua panah
itu dibungkus oleh bulu kebut.

"Kau pernah apanya 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian?" tibatiba
To-koh itu membentak.

"Apa itu 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian segala? Aku tak
pernah dengar!" sahut Wan-jing.

Melihat wajah si To-koh yang pucat pasi saking
marahnya, cepat Toan Ki menghiburnya, "Engkau jangan
marah, ibu!"

"Apa katamu, dia ibumu?" jerit Wan-jing terkejut oleh
ucapan Toan Ki itu. Sungguh ia tidak percaya akan
telinganya sendiri.

"Memang tadi aku sudah memanggil ibu, masakah
engkau tidak dengar?" sahut Toan Ki tertawa. Lalu ia
berpaling pada si To-koh dan berkata, "Mak, inilah nona

408




Bok Wan-jing, selama beberapa hari ini anak banyak
menghadapi bahaya dan kepergok orang jahat, tapi
berkat pertolongan nona Bok ini, jiwa anak masih
selamat sampai sekarang."

Pada saat itulah tiba-tiba dari sana terdengar seorang
lagi berteriak-teriak, "Yau-toan-siancu, Yau-toan-siancu!
Engkau harus hati-hati, ini dia satu di antara Su-ok!"

Kiranya yang datang ini adalah Cu Tan-sin yang
ketinggalan di belakang tadi. Sesudah dekat dan melihat
wajah si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah
dicederai oleh In Tiong-ho, dengan khawatir segera ia
tanya, "Yau-toan-siancu, apa engkau … engkau sudah
bergebrak dengan dia?"

Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak tertawa, serunya,
"Dimulai sekarang juga belum terlambat!"

Habis berkata, ia terus berdiri di atas pelana kuda.

Dasar perawakan In Tiong-ho sudah jangkung, berdiri
lagi di atas kuda, keruan mirip tiang bendera menegak.
Sekonyong-konyong tubuhnya mendoyong ke depan, ia
gantol pelana kuda dengan kaki kanan, kedua cakar baja
terus menggaruk ke arah si To-koh alias Yau-toansiancu.


Cepat Yau-toan-siancu mengisar ke sisi kiri kuda,
sekali kebutnya menyabat, segera kaki kiri In Tiong-ho
diincar.

Sama sekali In Tiong-ho tidak menghindar, sebaliknya
ia tetap ulur cakar baja sebelah kiri untuk mencengkeram

409




punggung si To-koh. Tapi cepat sekali To-koh itu mendak
tubuh terus menerobos lewat di bawah perut kuda,
menyusul kebutnya mengebas, beribu benang perak
yang kemilauan terus menancap ke kaki kanan lawan.

Namun kaki kanan In Tiong-ho segera melangkah
maju, ia berdiri di atas kepala kuda dengan ringan, dari
tempat yang lebih tinggi itu kembali ia menyerang, cakar
baja kanan terus menyerampang.

"Turun!" tiba-tiba Cu Tan-sin membentak terus ikut
terjun ke kalangan pertempuran. Mendadak ia pun
melompat ke atas pinggul kuda, dari situ ia memukul
pinggang lawan dengan kepalan kiri, sedangkan kipas di
tangan kanan berbareng menutuk kaki.

Senjata yang dipakai Cu Tan-sin sangat pendek dan
sangat menguntungkan untuk bertempur dari jarak dekat.

Cepat In Tiong-ho menangkis dengan cakar sebelah
kiri, berbareng cakar baja yang lebih panjang itu
mencengkeram ke depan. Namun dengan cepat Yautoan-
siancu sudah tarik kembali kebutnya terus
menyabat pula kaki lawan.

In Tiong-ho benar-benar sangat lihai, biarpun
dikeroyok dua ia masih dapat memainkan sepasang
cakar bajanya dengan kencang, sedikit pun tidak
terdesak di bawah angin.

Melihat orang berdiri di atas kuda, kedudukannya
lebih menguntungkan. Segera Bok Wan-jing
membidikkan sebatang panah kecil hingga menancap di
mata kiri kuda itu.

410




Racun panahnya itu sangat lihai, begitu masuk mata,
seketika binatang itu roboh binasa.

Pada saat itu juga kebut Yau-toan-siancu dapat melilit
sebelah cakar baja lawan, berbareng Cu Tan-sin ikut
menubruk maju dan menyerang tiga kali beruntun-runtun.

Karena kedua senjata terlilit menjadi satu, Yau-toansiancu
dan In Tiong-ho saling betot sekuatnya. Meski
tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannya,
karena sebagian tenaganya harus dipakai menangkis
serangan kipas baja Cu Tan-sin, pula mesti berjaga-jaga
serangan panah beracun dari Bok Wan-jing, maka ia tak
kuat lagi memegangi senjatanya itu, cakar baja dan kebut
pertapaan mencelat ke udara berbareng.

Namun sekali tangan kiri Yau-toan-siancu terayun,
tahu-tahu seutas selendang sutera yang melibat di
pinggangnya ditarik dan disabatkan pula.

"Huh, kawanan bangsat negeri Tayli hanya pintar
main keroyok saja!" damprat In Tiong-ho. Ia insaf takkan
bisa menang lagi, sekali entak kaki di atas pelana kuda,
secepat panah orangnya terus melesat ke sana, cakar
baja yang masih tertinggal itu menggantol pagar tembok,
orangnya terus mengapung ke atas dan sekali
berjumpalitan, menghilanglah dia keluar.

Pada waktu yang sama Bok Wan-jing membidikkan
pula sebatang panah, tapi tetap kalah cepat, "plok",
panah itu menancap di atas pagar tembok, sedang In
Tiong-ho sudah lenyap bayangannya.

411




Menyusul mana terdengarlah suara gemerantang
yang nyaring, kebut dan cakar baja jatuh ke tanah
bersama. Diam-diam Yau-toan-siancu saling pandang
dengan Cu Tan-sin dan Bok Wan-jing, mereka
tercengang oleh kecepatan In Tiong-ho yang luar biasa
itu.

Selang sejenak, barulah Cu Tan-sin membuka suara,
"Yau-toan-siancu, kalau engkau tidak turun tangan, hari
ini Tan-sin pasti tewas di tangan musuh."

Yau-toan-siancu tersenyum, sahutnya, "Sudah
belasan tahun tidak pakai senjata, sudah kaku rasanya.
Cu-hiante, siapakah sebenarnya orang tadi?"

"Kabarnya Su-tay-ok-jin (empat orang mahajahat)
telah datang ke Tayli, orang tadi adalah nomor empat
dari Su-tay-ok-jin itu. Tapi ilmu silatnya sudah begini
tinggi, maka tiga orang yang lain tak usah ditanya lagi,"
demikian sahut Tan-sin. "Maka lebih baik engkau
menghindarinya sementara ke Onghu saja sampai nanti
kalau keempat durjana itu sudah dibereskan."

Wajah Yau-toan-siancu rada berubah, sahutnya
kurang senang, "Guna apa aku pulang ke Onghu (istana
pangeran)? Kalau Su-tay-ok-jin datang semua dan aku
tak bisa melawannya, biarlah aku terima nasib saja."

Cu Tan-sin ternyata sangat menghormat pada padri
wanita itu, ia tidak berani bicara lagi, sebaliknya berulang
kali mengedipi Toan Ki agar anak muda itu ikut
membujuk.

412




Maka berkatalah Toan Ki, "Mak, keempat durjana itu
benar-benar terlalu jahat dan kejam, jika engkau tidak
mau pulang, marilah kita pergi ke tempat Pekhu (paman)
saja!"

"Tidak, aku tidak mau!" sahut Yau-toan-siancu sambil
menggeleng, matanya lantas merah seakan-akan
meneteskan air mata.

"Kalau ibu tidak mau pulang, biarlah aku
menemanimu di sini," ujar Toan Ki. Lalu katanya pada Cu
Tan-sin, "Cu-toako, harap engkau suka laporkan pada
Empek dan ayahku, katakan bahwa kami ibu dan anak
tetap tinggal di sini untuk melawan musuh."

Yau-toan-siancu tertawa, katanya, "Tidak malu,
kepandaian apa yang kau miliki, berani bilang akan
melawan musuh bersamaku?"

Walaupun ia tertawa geli karena kelakuan Toan Ki itu,
tidak urung air mata yang mengembeng di kelopak mata
itu menetes juga, lekas ia berpaling dan mengusap air
mata dengan lengan baju.

Diam-diam Bok Wan-jing heran, "Kenapa ibu Toanlong
seorang padri? Dan dengan perginya In Tiong-ho,
selekasnya akan datang pula bersama ketiga orang
kawannya, lalu apa ibunya sanggup melawannya? Tapi
dia sudah bertekad tak mau menyingkir pergi. Ah,
tahulah aku! Memang laki-laki di dunia ini berhati palsu
semua, pasti ayah Toan-long punya kekasih baru lagi,
hingga ibunya tirakat menyucikan diri."

413




Berpikir demikian, ia menjadi solider pada Yau-toansiancu,
katanya segera, "Yau-toan-siancu, biar aku
membantumu melawan musuh."

Yau-toan-siancu mengamat-amati paras Bok Wan-jing
sejenak, mendadak ia tanya dengan suara bengis, "Kau
harus mengaku terus terang, sebenarnya 'Siu-lo-to' Cin
Ang-bian itu pernah apamu?"

Bok Wan-jing mendongkol juga oleh sikap orang,
sahutnya, "Bukankah sudah kukatakan bahwa
selamanya aku tidak pernah kenal nama itu. Apakah Cin
Ang-bian itu laki-laki atau perempuan, manusia atau
setan, sama sekali aku tidak tahu."

Baru sekarang Yau-toan-siancu mau percaya, sebab
kalau gadis ini adalah sanak keturunan Siu-lo-to, tidak
mungkin berkata tentang "setan" segala. Maka sikapnya
berubah ramah kembali, katanya dengan tersenyum,
"Nona jangan marah, soalnya karena tadi aku melihat
cara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita
yang kukenal, parasmu juga rada mirip, maka timbul rasa
curigaku. Nona Bok, siapakah nama kedua orang tuamu?
Ilmu silatmu sangat bagus, tentu juga keluaran perguruan
ternama!"

Bok Wan-jing menggeleng kepala, sahutnya, "Sejak
kecil aku sudah piatu, Suhu yang membesarkan aku.
Maka aku tidak tahu siapa ayah-bundaku."

"Jika begitu, siapakah gerangan gurumu itu?" tanya
Yau-toan-siancu lagi.

"Guruku bernama 'Bu-beng-khek'," sahut Wan-jing.

414




"Namanya Bu-beng-khek?" Yau-toan-siancu
mengulangi nama itu sambil termenung sejenak,
kemudian ia pandang Cu Tan-sin dengan maksud tanya
apakah kenal akan nama itu.

Tapi Cu Tan-sin menggeleng kepala, katanya, "Tan-
sin tinggal terpencil di daerah selatan, sempit
pengalamannya, maka banyak kaum kesatria gagah di
Tionggoan tidak dikenalnya. Cianpwe Bu-beng-khek itu
tentunya seorang kosen yang mengasingkan diri di
pegunungan sunyi."

Tengah bicara, tiba-tiba di luar sana ramai dengan
suara derap lari kuda, dari jauh ada seorang sedang
berseru, "Site, Kongcuya baik-baik bukan?"

"Ya, Toako, Kongcuya tidak kurang sesuatu apa!"
sahut Tan-sin.

Hanya sebentar saja, empat penunggang kuda sudah
berhenti di depan Jing-hoa-koan, Bu-sian-tio-to, Jay-sinkhek
dan Tiam-jong-san-long bertiga tampak masuk,
terus menyembah kepada Yau-toan-siancu.

Sejak kecil Bok Wan-jing dibesarkan di pegunungan
sunyi, ia menjadi heran melihat tata krama yang kolot itu,
pikirnya, "Orang-orang ini sangat hebat ilmu silatnya,
mengapa melihat seorang wanita lantas menyembah
semua?"

Keadaan ketiga orang itu kelihatan rada runyam,
muka Tiam-jong-san-long, si petani dari pegunungan
Tiam-jong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Jay-

415




sin-khek, si tukang kayu, badannya juga berlepotan
darah, sedang alat pancing Bu-sian-tio-to, si tukang
pancing dari danau Bu-sian, sudah terkutung sebagian.

Maka cepat Yau-toan-siancu tanya, "Bagaimana, apa
musuh terlalu hebat? Parah tidak luka Su-kui?"

Tang Su-kui adalah nama Tiam-jong-san-long, si
petani.

Mendengar pertanyaan itu, matanya seakan-akan
berapi saking penasaran, sahutnya keras-keras, "Su-kui
percuma belajar, sungguh memalukan hingga Onghui
ikut berkhawatir."

"Kau sebut aku Onghui apa segala?" omel Yau-toansiancu
dengan perlahan. "Masa ingatanmu begitu jelek,
ya?"

Seketika Tang Su-kui menunduk, sahutnya, "Ya,
harap Onghui memaafkan!"

Walaupun mengaku salah, tapi mulutnya tetap
menyebut "Onghui" atau nyonya pangeran. Rupanya
panggilan itu sudah terlalu biasa diucapkan hingga sukar
berubah.

"Di manakah Ko-houya? Kenapa tidak ikut datang?"
demikian tanya Tan-sin.

"Houya berada di luar, ia terluka sedikit, tidak leluasa
untuk turun dari kudanya," sahut Bu-sian-tio-to, si
nelayan, yang bernama Leng Jian-li.

416




"Ah, jadi Houya juga terluka? Apa ... apa parah?" seru
Yau-toan-siancu terkejut.

"Ko-houya tadi mengadu tenaga dalam dengan
keadaan tak terpisahkan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio
menyerangnya dari belakang hingga punggungnya
digaplok sekali," tutur Leng Jian-li.

Setelah ragu-ragu sejenak, mendadak Yau-toansiancu
menarik Toan Ki dan berkata, "Marilah, anak Ki,
kita keluar menjenguk Ko-sioksiok."

Segera mereka mendahului keluar diikuti empat tokoh
"Hi-jiau-keng-dok" atau si nelayan, si tukang kayu, si
petani dan si pelajar. Begitu pula Bok Wan-jing ikut
keluar.

Bab 9

Benar juga, segera tampak Sian-tan-hou Ko Sing-thay
tengkurap di atas kudanya, baju di bagian punggung
tampak robek dan jelas kelihatan bekas telapak tangan.
Cepat Toan Ki memburu maju dan tanya, "Ko-sioksiok,
bagaimana keadaanmu?"

Waktu Ko Sing-thay mendongak dan tampak Yautoan-
siancu berdiri di depan pintu, cepat ia meronta turun
dari kuda untuk memberi hormat.

"Ko-houya, engkau terluka, tidak perlu banyak adat
lagi," kata Yau-toan-siancu.

Namun Ko Sing-thay sudah menyembah dari jauh dan
berkata, "Sing-thay menyampaikan salam bakti kepada
Onghui!"

417




"Anak Ki, lekas bangunkan Ko-sioksiok!" seru Siancu
segera.

Diam-diam Bok Wan-jing bertambah curiga, pikirnya,
"Ilmu silat orang she Ko ini sangat lihai, dengan
serulingnya yang pendek itu, hanya dalam beberapa
gebrak saja sudah mengalahkan Yap Ji-nio, tentu ia
sangat terkemuka di dunia persilatan, tapi kenapa
melihat ibu Toan-long, ia lantas begitu menghormat dan
menyebutnya 'Onghui'? Apa mungkin Toan-long adalah
... adalah Ongcu (pangeran) segala? Tapi, ah, seorang
pelajar ketolol-tololan seperti dia masa mirip seorang
Ongcu?"

Dalam pada itu terdengar Yau-toan-siancu lagi
berkata, "Jika Ko-houya terluka, silakan segera pulang
Tayli untuk merawat dirimu."

Ko Sing-thay mengiakan sambil berbangkit. Tapi
segera katanya pula, "Su-tay-ok-jin telah datang ke Tayli,
keadaan sangat berbahaya, harap Onghui suka pulang
istana untuk menghindarinya sementara."

Yau-toan-siancu menghela napas, sahutnya, "Selama
hidupku ini takkan pulang ke sana lagi."

"Jika begitu, biarlah kami tinggal dan menjaga di luar
Jing-hoa-koan ini," ujar Sing-thay. Lalu ia berpaling pada
Tang Su-kui dan berkata, "Su-kui, pulanglah dan lekas
laporkan kepada Hongsiang dan Ongya."

418




Su-kui mengiakan terus mencemplak ke atas
kudanya. Meski lukanya tidak ringan, tapi gerak-geriknya
masih sangat cekatan.

"Nanti dulu!" tiba-tiba Yau-toan-siancu mencegah. Ia
menunduk dan berpikir. Sorot mata semua orang
terpusat padanya, tapi dari air muka Siancu yang
berubah-ubah itu, terang dia lagi menghadapi
pertentangan batin yang serbasulit.

Selang agak lama, mendadak ia menengadah dan
berkata, "Baiklah, marilah kita pulang ke Tayli semua,
tidaklah patut kalau melulu lantaran diriku mesti bikin
susah semua orang tinggal di sini."

Keruan Toan Ki berjingkrak saking girang, terus saja
ia peluk sang ibu dan berkata, "Beginilah ibuku yang
baik!"

"Biar kupergi memberi kabar dulu!" seru Su-kui terus
melarikan kudanya.

Dalam pada itu Leng Jian-li sudah membawakan kuda
untuk Yau-toan-siancu, Toan Ki dan Bok Wan-jing.

Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke
Tayli. Yau-toan-siancu, Toan Ki, Bok Wan-jing dan Ko
Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Bu-siantio-
toh Leng Jian-li, Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pitbak-
seng Cu Tan-sin berjalan kaki.

Tidak jauh, dari depan tampak datang seregu
pasukan berkuda negeri Tayli, Leng Jian-li memberi
tanda kepada komandan pasukan itu serta berkata

419




beberapa patah padanya. Segera komandan pasukan itu
memberi perintah, semua prajurit melompat turun dari
kudanya serta menyembah di tanah.

Toan Ki memberi tanda dan berkata, "Silakan berdiri,
tak perlu banyak adat!"

Segera komandan pasukan itu membawakan tiga
ekor kuda lain untuk Leng Jian-li bertiga. Lalu ia pimpin
pasukannya mendahului di depan.

Melihat suasana yang luar biasa itu, Bok Wan-jing
menduga Toan Ki pasti bukan orang biasa, tiba-tiba ia
menjadi khawatir, "Semula kusangka dia hanya seorang
pelajar miskin, makanya aku pasrahkan diriku padanya.
Tapi melihat gelagatnya sekarang, kalau bukan sanak
keluarga kerajaan, tentu dia pembesar negeri, bukan
mustahil aku akan dipandang hina olehnya. Suhu pernah
berkata bahwa laki-laki itu semakin kaya dan berpangkat,
semakin tidak punya Liangsim (perasaan), cari istri juga
minta yang sederajat. Hm, syukurlah bila dia tetap
memperistrikan aku dengan baik, kalau tidak, bila ragu
dan macam-macam, huh, lihat saja kalau tidak kubacok
kepalanya, peduli apakah dia anggota keluarga raja atau
pembesar negeri!"

Karena berpikir begitu, ia tak tahan perasaannya lagi,
segera ia larikan kudanya menjajari Toan Ki dan tanya,
"He, sebenarnya siapakah kau? Apa yang kita putuskan
di atas gunung itu masih tetap berlaku tidak?"

Melihat di depan umum si gadis terang-terangan
menegur padanya tentang urusan perjodohan, keruan

420




Toan Ki menjadi kikuk, sahutnya dengan tersenyum,
"Setiba di kota Tayli, tentu akan kujelaskan padamu."

"Awas kalau kau ingkar janji ... aku ...." berkata
sampai di sini, suaranya menjadi tersendat dan tak
sanggup diteruskan lagi.

Melihat wajah si gadis kemerah-merahan menahan
isak tangis, air matanya mengembeng berkilau-kilau
hingga makin menambah cantiknya, rasa cinta Toan Ki
menjadi berkobar, katanya dengan lirih, "Wan-jing,
janganlah khawatir, lihatlah, ibuku juga sangat suka
padamu."

Seketika dari menangis Bok Wan-jing berubah
tertawa, sahutnya perlahan, "Ibumu suka atau tidak
padaku, aku tidak urus!"

Di balik kata-katanya ini seakan-akan menyatakan,
"asal saja kau suka padaku, sudahlah cukup."

Tentu saja perasaan Toan Ki terguncang, waktu ia
berpaling ke arah ibunya, ia lihat Yau-toan-siancu lagi
memandang kepada mereka dengan paras yang tertawa
tidak tertawa. Keruan muka Toan Ki merah jengah.

Menjelang petang, kira-kira masih 30 li di luar kota
Tayli, tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi di depan
sana, sepasukan tentara yang berjumlah beberapa ratus
orang mendatangi dengan cepat. Dua buah panji kuning
jingga tampak berkibar, yang sebuah tertulis dua huruf
sulam "Tin-lam" dan yang lain "Po-kok" (menduduki
selatan dan membela negara).

421




Segera Toan Ki berseru, "Mak, ayah sendiri datang
memapak engkau!"

Yau-toan-siancu hanya mendengus saja dan
menghentikan kudanya.

Ko Sing-thay dan lain-lain lantas turun dari kuda dan
berdiri di pinggir jalan. Sedang Toan Ki segera bedal
kudanya ke depan. Bok Wan-jing ragu-ragu sejenak, tapi
cepat ia pun larikan kudanya menyusul ke sana.

Tidak lama, pasukan itu sudah dekat, segera Toan Ki
berseru, "Tiatia (ayah), ibu sudah pulang!"

Maka tertampaklah dari tengah pasukan itu muncul
seorang berjubah kuning menunggang seekor kuda putih
yang tinggi besar, begitu datang terus membentak, "Anak
Ki, gara-garamu sehingga Ko-sioksiok ikut terluka parah,
lihatlah nanti kalau tidak kuhajar patah kedua kakimu!"

Bok Wan-jing menjadi khawatir, pikirnya, "Hm, kedua
kaki Toan-long hendak kau patahkan? Tidak bisa, pasti
akan kurintangi, biarpun engkau adalah ayahnya!"

Ia lihat orang yang berjubah kuning ini bermuka lebar,
sikapnya sangat gagah dan kereng, alis tebal, mata
besar, berwibawa sebangsa raja atau pangeran. Meski
ucapannya tadi kedengarannya bengis, tapi melihat sang
putra telah pulang dengan selamat, air mukanya lebih
banyak girangnya daripada gusarnya.

Diam-diam Wan-jing membatin, "Untung paras Toanlong
lebih banyak mirip ibunya, kalau macammu yang
garang bengis begini, tentu aku takkan suka."

422




Ia lihat Toan Ki sudah memapak maju sambil berkata
dengan tertawa, "Ayah, engkau baik-baik saja bukan?"

"Baik, hitung-hitung tidak mati gusar oleh
perbuatanmu!" sahut orang berjubah kuning itu dengan
marah.

"Tapi kalau anak tidak keluar rumah, ibu tentu juga
takkan pulang. Jasa anak ini rasanya bolehlah
mengimbangi kesalahannya, harap ayah jangan gusar
lagi," demikian kata Toan Ki dengan tertawa.

"Seumpama aku tidak menghajarmu, Empek (paman)
pasti juga tidak mau mengampunimu," ujar si jubah
kuning. Dan sekali ia kempit kudanya, secepat terbang
kuda putih itu lantas mencongklang ke arah Yau-toansiancu.


Melihat prajurit pasukan itu semua berbaju perang
yang mengilat dengan senjata lengkap, 20 orang di baris
depan membawa panji dan papan yang bercat emas
bentuk naga dan harimau, di atas salah sebuah papan
merah itu tertulis tanda pangkat ayah Toan Ki sebagai
Po-kok-tay-ciang-kun atau panglima besar pembela
negara, papan lain bertulis gelar kebangsawanannya
sebagai Tin-lam-ong she Toan dari negeri Tayli.

Meski biasanya Bok Wan-jing tidak takut langit dan
tak gentar bumi, tapi menyaksikan perbawa barisan yang
angker itu, mau tak mau ia prihatin juga. Tiba-tiba
tanyanya pada Toan Ki, "He, apakah Tin-lam-ong, Pokok-
tay-ciang-kun ini adalah ayahmu?"

423




Toan Ki mengangguk, sahutnya lirih, "Dan juga ayah
mertuamu."

Sesaat Bok Wan-jing menjadi termangu, di sekitar
jalan besar itu penuh dengan orang, tapi ia merasa
hampa tak terkatakan, ia menjadi lega setelah
berdampingan dengan Toan Ki.

Sementara itu Tin-lam-ong tampak sudah berhadapan
dengan Yau-toan-siancu, kedua orang saling pandang
kian kemari, tapi tiada satu pun yang mulai bicara.

"Mak, ayah sendiri datang menyambutmu," seru Toan
Ki.

"Kau pergi dan katakan pada Pekbo (bibi) bahwa aku
akan tinggal beberapa hari di tempatnya, sesudah
menghalau musuh, segera kukembali ke Jing-hoa-koan,"
demikian kata Yau-toan-siancu.

Maka dengan tertawa, Tin-lam-ong berkata, "Hujin,
apakah engkau masih marah padaku? Marilah pulang
dulu, nanti akan kuminta maaf padamu."

Yau-toan-siancu menarik muka, sahutnya, "Tidak, aku
tidak pulang, aku akan ke istana."

"Bagus," seru Toan Ki tertawa, "kita ke istana dulu
untuk menjumpai paman dan bibi. Mak, anak telah
keluyuran keluar tanpa permisi, paman tentu akan
marah, ayah jelas tidak mau membelaku, mohon ibu
suka mintakan ampun pada paman."

424




"Tidak, semakin besar semakin bandel kau, biar
paman memberi hajaran setimpal padamu," sahut Yautoan-
siancu.

"Tapi kalau anak dihajar, yang merasa sakit tentu ibu,
maka lebih baik jangan sampai dihajar," kata Toan Ki
dengan manja.

Yau-toan-siancu tertawa, katanya lagi, "Tidak,
semakin keras kau dihajar, semakin senang aku."

Begitulah, suasana pertemuan kembali Tin-lam-ong
dengan sang istri itu sebenarnya serbakikuk, tapi karena
banyolan Toan Ki itu, perasaan suami istri itu seketika
terasa bahagia.

"Ayah," tiba-tiba Toan Ki berseru pula, "kudamu lebih
bagus, kenapa tidak bertukar kuda dengan ibu?"

"Tidak," kata Yau-toan-siancu terus larikan kudanya
ke depan.

Segera Toan Ki memburunya dan menahan kuda
sang ibu. Sementara itu Tin-lam-ong sudah turun dari
kudanya serta menyusul.

Dengan tertawa Toan Ki terus pondong sang ibu ke
atas kuda putih ayahnya dan berkata, "Mak, wanita
secantik engkau menjadi lebih ayu bila menunggang
kuda putih ini."

"Nonamu she Bok itu barulah benar-benar cantik tiada
bandingannya, kau sengaja menertawai ibumu yang
sudah nenek-nenek ini ya?" sahut Siancu tertawa.

425




Baru sekarang Tin-lam-ong berpaling ke arah Bok
Wan-jing, tanyanya pada Toan Ki, "Anak Ki, siapakah
nona ini?"

"Ia adalah ... nona Bok, ia adalah ... adalah kawan
baik anak," sahut Toan Ki gelagapan.

Melihat sikap putranya itu, segera Tin-lam-ong tahu
apa artinya. Ia lihat Bok Wan-jing cantik molek, putih
halus, diam-diam ia memuji kepandaian putranya yang
pintar pilih pasangan.

Tapi demi tampak sifat liar Bok Wan-jing, sama sekali
tidak memberi hormat atau menyapa, diam-diam pikirnya
dalam hati, "Kiranya dia seorang gadis desa yang tidak
kenal peradaban."

Ia khawatir keadaan luka Ko Sing-thay, segera ia
mendekatinya dan memeriksa urat nadinya.

"Hanya terluka sedikit, tidak apa-apa, jangan engkau
buang tenaga ...." demikian kata Ko Sing-thay.

Namun Tin-lam-ong sudah lantas ulur jari telunjuk
kanan dan menutuk tiga kali di punggung dan
tengkuknya, berbareng telapak tangan kiri menahan
pinggangnya.

Lambat laun tampak asap putih mengepul dari ubunubun
Tin-lam-ong, selang sejenak lagi barulah
melepaskan tangan kirinya.

426




"Kakak Sun, kita bakal menghadapi musuh tangguh,
buat apa engkau membuang tenaga dalammu?" ujar Ko
Sing-thay.

"Lukamu tidak enteng, lebih cepat disembuhkan lebih
baik, kalau terlihat Toako, tanpa diminta tentu dia akan
turun tangan sendiri," sahut Tin-lam-ong alias Toan Cingsun.


Melihat wajah Ko Sing-thay yang tadinya sepucat
mayat itu, hanya dalam sekejap saja sudah bersemu
merah, lukanya sudah disembuhkan, diam-diam Bok
Wan-jing terkejut, "Kiranya ayah Toan-long memiliki
Lwekang mahatinggi, tapi ken ... kenapa ia sendiri tak
bisa ilmu silat?"

Sementara itu Leng Jian-li sudah membawakan
seekor kuda lain untuk Tin-lam-ong dan meladeni
pangeran itu naik ke atas kuda. Tin-lam-ong larikan
kudanya berjajar dengan Ko Sing-thay dan mengajaknya
bicara tentang kekuatan musuh.

Toan Ki juga pasang omong dengan senangnya
dengan sang ibu, berbondong-bondong pasukan tentara
kerajaan Tayli itu berangkat kembali, hanya Bok Wan-jing
yang merasa kesepian karena tiada yang mengajak
bicara.

Petangnya rombongan sudah memasuki kota Tayli, di
mana panji bertuliskan "Tin-lam" dan "Po-kok" tiba, di situ
rakyat jelata bersorak-sorai memuji kebesaran
panglimanya.

427




Tin-lam-ong balas memberi tangan kepada rakyat
yang mengelu-elukannya itu, tampaknya ia sangat
dicintai oleh rakyat.

Bok Wan-jing melihat kota Tayli sangat ramai, gedung
berdiri di sana-sini dengan megah, jalan raya yang
berlapiskan batu hijau besar rata penuh berjubel orang
yang berlalu-lalang.

Setelah melalui sebuah jalan kota, kemudian tampak
di depan membentang sebuah jalan batu yang lebar, di
ujung jalan itu tampak berdiri beberapa istana berwarna
kuning indah dengan kaca yang kemilauan tersorot oleh
cahaya matahari waktu senja.

Rombongan sampai di depan sebuah gapura,
semuanya lantas turun dari kuda. Bok Wan-jing melihat
di atas papan gapura itu tertulis empat huruf "Cip-tokiong-
cu," artinya jalan menuju istana bijaksana.

Bok Wan-jing pikir, "Tentu inilah istana raja Tayli.
Paman Toan-long tinggal di dalam istana, agaknya
kedudukannya sangat tinggi, kalau bukan pangeran,
tentu sebangsa panglima besar dan sebagainya."

Setelah lewat gapura itu, sampailah di depan istana
raja "Seng-cu-kiong." Tiba-tiba seorang Thaykam
(dayang kebiri) berlari keluar dengan cepat, katanya
sambil menyembah, "Lapor Ongya, Hongsiang dan
Nionio (baginda raja dan permaisuri) sedang menunggu
di Onghu, silakan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lamonghu
untuk menghadap Hongsiang!"

428




Tin-lam-ong mengiakan dengan girang. Begitu pula
Toan Ki lantas berseru, "Aha, bagus, bagus!"

"Apanya yang bagus?" omel Onghui dengan melototi
sang putra, "kutunggu Nionio di dalam istana sini."

"Tapi Nionio pesan agar Onghui diharuskan
menghadapnya sekarang juga, beliau ingin berunding
sesuatu yang penting dengan Onghui," demikian
Thaykam itu menutur.

"Ada urusan penting apa? Huh, tipu muslihat belaka!"
Yau-toan-siancu menggerundel perlahan.

Toan Ki tahu itulah rencana yang sengaja diatur oleh
Honghou (permaisuri), sebab diduganya ibu tentu tak
mau pulang ke istana pangeran, maka sengaja
menunggu di Tin-lam-onghu untuk mempertemukan
kembali ayah-bundanya di sana. Maka ia pun tidak mau
banyak bicara lagi, cepat ia bawakan kuda untuk sang
ibu dan menaikkannya ke atas kuda.

Rombongan segera putar balik ke istana pangeran. Di
sana suasana tampak sangat khidmat, pasukan
pengawal berdiri dengan rajin memberi hormat atas
pulangnya Tin-lam-ong dan permaisuri.

Tin-lam-ong mendahului masuk ke pintu istana, tapi
Yau-toan-siancu masih ogah-ogahan, begitu naik ke atas
undak-undakan, segera matanya basah. Namun dengan
setengah mendorong dan setengah menyeret Toan Ki
dapat mengajak sang ibu ke dalam istana, katanya,
"Ayah, anak telah mengajak ibu pulang ke rumah, jasa

429




anak sebesar ini, hadiah apa yang akan ayah berikan
padaku?"

Saking senangnya, Tin-lam-ong menyahut, "Boleh
kau tanya ibumu, ibu bilang hadiah apa, segera
kuberikan."

"Kubilang paling tepat beri hadiah gebukan," kata
Yau-toan-siancu dengan tertawa.

Toan Ki melelet lidah dan tak berani bicara lagi.

Setelah ikut masuk ke ruangan pendopo, Ko Singthay
dan lain-lain tidak ikut masuk lebih jauh. Kata Toan
Ki kepada Wan-jing, "Bok ... Bok-kohnio, silakan
menunggu sebentar di sini, setelah kuhadap Hongsiang,
segera kudatang lagi."

Terpaksa Wan-jing mengangguk, walaupun dalam
hati sangat berat ditinggal pemuda itu. Tanpa peduli lagi
ia terus duduk di atas kursi pertama yang tersedia di situ.
Sebaliknya Ko Sing-thay dan lain-lain tetap berdiri,
setelah Tin-lam-ong bertiga masuk ke ruangan dalam,
barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, yang lain-lain
tetap berdiri dengan tangan lurus tegak.

Bok Wan-jing tidak ambil pusing terhadap mereka, ia
lihat di dalam pendopo penuh terhias pigura lukisan dan
seni tulis, begitu banyak hingga dia bingung melihatnya,
apalagi memang banyak juga huruf yang tak dikenalnya.
Maklum gadis gunung yang tak banyak "makan" sekolah.

Tidak lama, seorang dayang membawakan teh,
dengan berlutut dayang itu angkat nampan tinggi-tinggi

430




menyuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-jing dan Ko
Sing-thay.

Diam-diam si gadis menjadi heran mengapa hanya
dirinya dan Ko Sing-thay yang mendapat minum, sedang
Cu Tan-sin dan lain-lain tidak. Padahal jago itu ketika
menghadapi musuh di puncak gunung, perbawanya tak
terkatakan kerengnya. Tapi berada di dalam Tin-lamonghu,
mereka menjadi begitu prihatin, sampai bernapas
pun tak berani keras-keras.

Sesudah lama menunggu, ternyata Toan Ki belum
juga keluar. Wan-jing menjadi tak sabar, teriaknya tak
peduli, "Toan Ki, Toan Ki, kerja apa kau di dalam, lekas
keluar!"

Ruangan itu hening sunyi, bahkan setiap orang
berdiam dengan menahan napas, tapi mendadak Bok
Wan-jing menggembor, keruan mereka kaget. Tapi
segera mereka merasa geli juga. Kata Ko Sing-thay,
"Harap nona Bok suka sabar, sebentar Siauongya akan
keluar."

"Siauongya apa katamu?" tanya Wan-jing.

"Toan-kongcu adalah putra Tin-lam-ong, bukankah
Siauongya (putra pangeran) namanya?" sahut Sing-thay.

Bok Wan-jing menjadi heran, gumamnya,
"Siauongya? Huh, pelajar ketolol-tololan begitu masakah
mirip seorang Ongya segala?"

431




Sejenak kemudian, dari dalam keluarlah seorang
Thaykam dan berseru, "Titah baginda, Sian-tan-hou dan
Bok Wan-jing diperintahkan masuk menghadap!"

Waktu melihat keluarnya Thaykam itu, Ko Sing-thay
sudah lantas berdiri dengan sikap hormat. Tapi Bok Wanjing
sama sekali tak peduli, ia tetap duduk di tempatnya
dengan enaknya.

Dan demi mendengar namanya disebut begitu saja, ia
menjadi kurang senang, omelnya perlahan, "Masakan
menyebut nona juga tidak, apakah namaku boleh
sembarangan kau panggil?"

Ko Sing-thay tersenyum, katanya segera, "Marilah
nona Bok, kita masuk menghadap Hongsiang."

Biarpun Bok Wan-jing tidak pernah gentar terhadap
siapa dan apa pun, tapi mendengar akan menghadap
raja, tanpa terasa ia jadi merinding. Terpaksa ia ikut di
belakang Ko Sing-thay, setelah menyusur serambi
panjang dan menerobos beberapa ruangan lagi, akhirnya
sampailah di sebuah ruangan besar yang indah.

Segera Thaykam tadi berseru sembari menyingkap
kerai, "Sian-tan-hou dan Bok Wan-jing datang
menghadap Hongsiang dan Nionio."

Ko Sing-thay mengedipi Bok Wan-jing agar mengikuti
caranya, lalu ia mendahului masuk ke ruangan dan
berlutut ke hadapan seorang laki-laki dan seorang wanita
agung yang berduduk di tengah.

432




Sebaliknya Wan-jing tidak ikut berlutut, bahkan ia
mengamat-amati laki-laki yang berjubah sulam kuning
dan berjenggot panjang itu, lalu tanya, "Apakah engkau
ini Hongte (kaisar)?"

Memang laki-laki yang duduk di tengah dengan
agungnya itu adalah Toan Cing-beng, raja Tayli sekarang
yang arif bijaksana dengan gelar Po-ting-te.

Tay-li-kok atau negeri Tayli itu berdiri sejak zaman
Ngotay, sudah bersejarah lebih 150 tahun. Po-ting-te
sudah belasan tahun naik takhta, tatkala itu seluruh
negeri aman sentosa, rakyat hidup sejahtera, negara
makmur, rakyat subur.

Melihat Bok Wan-jing tidak berlutut, sebaliknya tanya
apakah dirinya kaisar atau bukan, Po-ting-te menjadi geli
malah, sahutnya, "Ya, akulah kaisar. Bagaimana, senang
tidak pesiar di kota Tayli ini?"

"Begitu masuk kota aku lantas datang kemari, belum
ada waktu untuk pesiar," sahut si nona.

"Biarlah besok anak Ki mengajakmu pesiar menikmati
keindahan kota Tayli ini," ujar Po-ting-te dengan
tersenyum.

"Baiklah," kata Wan-jing. "Dan engkau juga akan
mengiringi kami?"

Mendengar itu, semua orang ikut tertawa geli. Namun
Po-ting-te menoleh kepada permaisurinya dan tanya,
"Honghou, anak dara ini minta kita mengiringi dia,
bagaimana pendapatmu?"

433




Belum lagi permaisuri itu menjawab, Bok Wan-jing
sudah lantas buka suara pula, "Apakah engkau
Honghou-nionio? Sungguh cantik sekali!"

Po-ting-te terbahak-bahak, serunya, "Anak Ki, nona
Bok ini memang polos dan kekanak-kanakan, sungguh
menarik."

"Kenapa kau panggil dia anak Ki?" tiba-tiba Wan-jing
tanya lagi. "Empek (paman) yang sering dia sebut itu
apakah engkau adanya? Kali ini dia berkeluyuran keluar,
dia takut dimarahi olehmu. Harap jangan kau hajar dia,
ya?"

"Sebenarnya aku akan persen dia 50 kali rangketan,"
sahut Po-ting-te dengan tertawa. "Tapi engkau mintakan
ampun baginya, baiklah kuampuni dia. Nah, anak Ki,
lekas kau berterima kasih kepada nona Bok?"

Melihat Bok Wan-jing membikin hati sri baginda
sangat senang, Toan Ki ikut bergirang juga, ia cukup
kenal watak sang paman yang suka turuti permintaan
orang, maka cepat ia berkata kepada Wan-jing, "Terima
kasih atas kebaikanmu, nona Bok."

Si gadis membalas hormat serta menyahut dengan
perlahan, "Tak perlu berterima kasih, asal kau tak dihajar
pamanmu aku sudah merasa lega."

Lalu ia berkata pula kepada Po-ting-te, "Semula
kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis
menakutkan, siapa tahu engkau ... engkau sangat baik!"

434




Sebagai kaisar, umumnya orang hanya disegani dan
dihormati, tapi belum pernah ada orang memujinya
"engkau sangat baik", keruan Po-ting-te sangat senang,
terutama lihat sifat si gadis yang polos kekanak-kanakan
itu, maka katanya pada permaisurinya, "Honghou,
barang apa yang akan kau hadiahkan padanya?"

Segera Honghou tanggalkan sebuah gelang kemala
dari pergelangan tangannya dan disodorkan pada Bok
Wan-jing dan berkata, "Nih, kuhadiahkan padamu!"

Wan-jing tidak menolak, ia terima hadiah itu dan
dipakai di tangan sendiri, katanya kemudian dengan
tertawa, "Terima kasih, ya! Lain kali aku pun akan
mencari sesuatu barang bagus untuk dipersembahkan
padamu."

Honghou tersenyum dan belum lagi menjawab,
sekonyong-konyong di luar rumah sana, terdengar atap
rumah berbunyi keresek sekali. Segera Honghou
berpaling pada Po-ting-te dan berkata, "Itu dia, ada orang
mengantar hadiah untukmu!"

Belum selesai ucapannya, kembali suara keresek
berbunyi pula di atas rumah sebelah.

Bok Wan-jing terperanjat, ia tahu musuh yang datang
itu berilmu Ginkang yang mahatinggi, entengnya laksana
daun jatuh, bahkan cepat luar biasa.

Dalam pada itu segera terdengar juga beberapa
orang telah melompat ke atas rumah, menyusul
terdengar suara Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li lagi

435




menegur, "Siapakah tuan ini, ada urusan apa malammalam
mengunjungi Onghu?"

"Aku ingin mencari muridku! Di mana muridku sayang
itu? Lekas suruh dia keluar!" demikian jawab seorang
yang mengerikan mirip logam digesek. Itulah dia suara
Lam-hay-gok-sin.

Diam-diam Bok Wan-jing berkhawatir, meski ia pun
tahu penjagaan di luar istana itu sangat keras dan kuat,
Tin-lam-ong sendiri dan Yau-toan-siancu serta tokohtokoh
Hi-jiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnya, tapi
Lam-hay-gok-sin itu memang teramat lihai, pula dibantu
Yap Ji-nio dan In Tiong-ho, belum lagi "orang jahat
nomor satu di dunia" yang belum muncul itu, jika mereka
bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudah
untuk melawannya.

Sementara itu Leng Jian-li lagi tanya, "Siapakah
muridmu? Di dalam Tin-lam-onghu dari mana ada
seorang muridmu?"

Sekonyong-konyong terdengar "brak" sekali, tahutahu
dari udara menyelonong turun sebuah tangan besar
hingga kerai di depan pintu tersingkap semua, menyusul
bayangan orang berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah
berdiri di tengah ruangan dengan matanya yang mirip
kedelai itu lagi mengamat-amati setiap orang yang hadir
di situ.

Ketika melihat Toan Ki, segera ia terbahak-bahak,
"Haha, memang benar apa yang dikatakan Losi, muridku
sayang ternyata berada di sini, marilah lekas ikut pergi
bersamaku untuk belajar."

436




Sembari berkata, tangannya yang mirip cakar itu terus
mencengkeram badan pemuda itu.

Mendengar sambaran angin cengkeraman Lam-haygok-
sin itu sangat keras, Tin-lam-ong menjadi khawatir
sang putra bisa dilukai. Tanpa pikir ia memapak dengan
sebelah telapak tangannya hingga kedua tangan saling
beradu dan sama-sama merasakan getaran tenaga
dalam masing-masing.

Diam-diam Lam-hay-gok-sin terperanjat, tanyanya,
"Siapakah kau? Aku hendak mengambil muridku, peduli
apa denganmu?"

"Cayhe Toan Cing-sun," sahut Tin-lam-ong. "Pemuda
ini putraku, bilakah dia mengangkat guru padamu?"

"Dia yang paksa menerimaku sebagai murid,"
demikian Toan Ki menyela dengan tertawa. "Sudah
kukatakan padanya bahwa aku sudah punya guru, tapi ia
tidak percaya."

Lam-hay-gok-sin memandang Toan Ki, lalu perhatikan
Tin-lam-ong Toan Cing-sun pula, kemudian berkata,
"Yang tua ilmu silatnya sangat hebat, tapi yang muda
sedikit pun tidak becus, aku tidak percaya kalian adalah
ayah dan anak. Toan Cing-sun, sekalipun dia benar
anakmu, namun cara mengajar ilmu silatmu tidak tepat,
anakmu ini terlalu goblok. Sayang, hehe, sungguh
sayang."

"Apanya yang sayang?" tanya Toan Cing-sun.

437




"Bangun tubuh putramu ini lebih mirip diriku, boleh
dikatakan adalah bahan belajar silat yang sukar dicari di
dunia ini, asal dia belajar 10 tahun padaku, tanggung dia
akan jadi seorang jago muda kelas satu di Bu-lim," sahut
Gok-sin.

Sungguh geli dan mendongkol Toan Cing-sun. Tapi
dengan gebrakan tadi ia pun tahu ilmu silat orang sangat
hebat.

Selagi hendak buka suara, tiba-tiba Toan Ki telah
mendahului, "Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu
cetek, tidak sesuai untuk menjadi guruku. Silakan kau
pulang ke Ban-gok-to di Lam-hay untuk berlatih lagi 10
tahun, habis itu barulah engkau ada nilainya buat bicara
tentang ilmu silat."

Keruan Gok-sin menjadi gusar, bentaknya, "Kau
bocah ingusan ini tahu apa?"

"Kenapa aku tidak tahu?" sahut Toan Ki. "Coba, ingin
kutanya padamu, apa artinya, 'Hong-lui-ek, kun-cu-ihkian-
sian-cek-ih, yu-ko-cek-kay'. Ayo jawab, lekas!"

Lam-hay-gok-sin melongo tak bisa menjawab, tapi
segera ia menjadi gusar, bentaknya, "Ngaco-belo!
Apakah artinya itu? Artinya kentut!"

"Hahaha!" Toan Ki terbahak-bahak. "Hanya kalimat
yang cetek artinya saja engkau tak paham, tapi engkau
masih bicara tentang ilmu silat segala?"

Semua orang ikut geli mendengar Toan Ki
menggunakan isi kitab "Ih-keng" untuk mempermainkan

438




Lam-hay-gok-sin itu. Meski Bok Wan-jing juga tidak
paham apa yang diuraikan Toan Ki itu, tapi ia dapat
menduga tentu si pelajar tolol itu lagi putar lidah.

Sebaliknya Lam-hay-gok-sin lantas sadar dirinya lagi
dipermainkan demi tampak wajah semua orang
menertawai dirinya. Dengan menggerung sekali, segera
ia hendak menyerang.

Namun Toan Cing-sun telah melangkah ke depan
sang putra.

Dengan tertawa Toan Ki berkata lagi, "Apa yang
kukatakan tadi adalah istilah ilmu silat yang mukjizat,
engkau terang takkan paham. Haha, katak dalam sumur
macammu ini juga ingin menjadi guru orang, sungguh
gigi orang bisa copot tertawa geli. Padahal semua
guruku, kalau bukan kaum terpelajar, tentu adalah padri
saleh. Sebaliknya macam dirimu, biarpun belajar 10
tahun lagi juga belum tentu sesuai untuk menjadi
guruku."

Lam-hay-gok-sin menggerung murka, bentaknya,
"Siapa gurumu, ayo suruh dia keluar dan unjukkan
beberapa jurus padaku!"

Melihat Lam-hay-gok-sin hanya datang sendirian,
untuk melawannya tidaklah sulit, maka Toan Cing-sun
tidak mencegah kelakuan Toan Ki, apalagi suami istri
bisa berkumpul kembali, ia pikir biar putranya menggoda
orang jahat ketiga itu sekadar bikin senang hati sang istri.

Keruan Toan Ki bertambah berani, ia berkata pula,
"Baiklah, jika kau berani, tunggulah sebentar, biar

439




kupanggil guruku dulu, kalau jantan sejati, jangan kau
lari!"

Gok-sin menjerit murka, "Selama hidup Gak-loji
malang melintang di seluruh jagat, pernah kutakut pada
siapa? Ayo lekas panggil, lekas!"

Benar juga Toan Ki lantas pergi keluar. Tinggal Lam-
hay-gok-sin yang memandangi setiap orang yang hadir di
situ dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak jeri
biarpun seorang diri berada di tengah lawan sebanyak
itu.

Tiada lama, terdengarlah suara tindakan orang, dua
orang kedengaran mendatangi. Ketika Gok-sin
mendengarkan, langkah orang yang datang itu kacau tak
bertenaga, terang orang yang tak paham ilmu silat.

Terdengar suara seruan Toan Ki dari luar, "Mana itu
Gak-losam, tentu dia sudah lari ketakutan? Ayah, jangan
biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah datang!"

"Buat apa aku lari?" bentak Gok-sin dengan gusar.
"Kurang ajar, bocah ini bikin gusar padaku melulu."

Belum selesai ucapannya, tertampak Toan Ki
melangkah masuk sambil menyeret satu orang. Melihat
itu, seketika semua orang bergelak tertawa.

Ternyata orang yang dibawa datang Toan Ki itu kurus
kecil, pakai topi bentuk kulit semangka, berjubah panjang
longgar, berkumis tikus, kedua matanya merah sepat
seakan-akan kurang tidur selalu, kepalanya mengkeret
takut-takut, sikapnya lucu menggelikan.

440




Segera Yau-toan-siancu dapat mengenal orang ini
sebagai juru tulis di kantor Tin-lam-onghu. Juru tulis she
Ho ini setiap hari suka mengantuk saja dan kerjanya
berjudi dengan para pelayan di dalam istana. Dalam
keadaan setengah mabuk, ia diseret Toan Ki ke dalam
ruangan, dengan takut cepat juru tulis itu berlutut dan
menyembah ke hadapan Po-ting-te dan permaisuri.

Sudah tentu Po-ting-te tidak kenal siapa juru tulis kecil
itu, ia perintahkan orang berbangkit. Segera Toan Ki
gandeng Ho-sinshe itu ke hadapan Lam-hay-gok-sin,
katanya, "Nah, Gak-losam, di antara guru-guruku,
Suhuku inilah ilmu silatnya paling rendah. Maka lebih
dulu kau perlu mengalahkan dia, baru ada harganya buat
menantang guru-guruku yang lain."

Gok-sin berkaok-kaok murka, teriaknya, "Macam
begini gurumu? Haha, dalam tiga jurus saja kalau aku tak
bisa bikin dia hancur seperti perkedel, biar aku angkat
guru padamu."

Seketika sinar mata Toan Ki terbeliak mendengar itu,
tanyanya cepat, "Ucapanmu ini benar-benar atau tidak?
Seorang lelaki sejati, sekali bicara harus bisa pegang
janji, kalau ingkar janji, itu berarti anak kura-kura, haram
jadah!"

"Baik, mari, mari!" Gok-sin berteriak-teriak.

"Dan kalau cuma tiga jurus saja, tidak usah guruku
turun tangan, biarlah aku sendiri sudah lebih dari cukup
untuk melayanimu," ujar Toan Ki.

441




Mendengar pemuda itu hendak maju sendiri, keruan
Lam-hay-gok-sin bergirang. Datangnya ke istana
pangeran ini atas berita In Tiong-ho yang menyatakan
calon muridnya yang hilang itu diketemukan di dalam
istana, maka tujuannya melulu ingin "jemput" Toan Ki
untuk menjadi ahli waris Lam-hay-pay.

Tapi ketika bergebrak sekali dengan Toan Cing-sun,
ia menjadi kaget oleh kepandaian pangeran itu. Apalagi
di samping itu masih banyak juga lainnya, kalau hendak
menggondol Toan Ki begitu saja rasanya tidaklah mudah.
Ia menjadi girang mendengar pemuda itu sendiri yang
akan bergebrak dengan dirinya, sekali ulur tangan ia
yakin dapat menawan anak muda itu.

Maka katanya segera, "Bagus, jika kau yang maju aku
pasti takkan menggunakan tenaga dalam untuk
melukaimu."

"Kita janji dulu di muka, dalam tiga jurus kalau engkau
tak bisa menjatuhkan aku, lantas bagaimana?" tanya
Toan Ki.

Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak, ia tahu pemuda itu
adalah seorang pelajar lemah yang ibaratnya memegang
ayam saja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga
jurus dengan dirinya, mungkin setengah jurus saja tidak
tahan. Maka sahutnya segera, "Dalam tiga jurus kalau
aku tak bisa menang, segera aku angkat guru padamu!"

"Nah, semua hadirin di sini sudah dengar semua,
jangan engkau mungkir janji nanti!" seru Toan Ki.

442




Gok-sin menjadi gusar, teriaknya, "Aku Gak-loji
selamanya kalau bilang satu ya satu, bilang dua tetap
dua!"

"Gak-losam!" seru Toan Ki.

"Gak-loji!" bentak Gok-sin.

"Gak-losam!" Toan Ki mengulang.

"Sudahlah, cerewet apa lagi, ayo lekas mulai!" teriak
Gok-sin tak sabar.

Segera Toan Ki melangkah maju hingga berhadapan
dengan tokoh ketiga Su-ok ini.

Di antara hadirin, dimulai Po-ting-te dan permaisuri ke
bawah, setiap orang menyaksikan dewasanya Toan Ki,
semuanya tahu anak muda itu gemar sastra dan tidak
suka ilmu silat, selama hidupnya tidak pernah belajar silat
sejurus pun. Malahan ketika dipaksa oleh Po-ting-te dan
ayahnya supaya belajar silat, ia lebih suka minggat dari
rumah. Jangankan bertanding melawan jago kelas wahid
macam Lam-hay-gok-sin, biarpun melawan seorang
prajurit biasa juga kalah. Semula semua orang mengira
pemuda itu sengaja menggoda Lam-hay-gok-sin, siapa
duga benar-benar akan bertanding.

Sebagai seorang ibu yang sangat sayang pada
putranya, segera Yau-toan-siancu membuka suara, "Ki-ji,
jangan sembrono, orang liar macam begitu jangan kau
gubris padanya."

443




Cepat Honghou pun memberi perintah, "Sian-tan-hou,
lekas kau perintahkan tangkap perusuh ini!"

Sian-tan-hou Ko Sing-thay mengiakan dan segera
berseru, "Leng Jian-li, Tang Su-kui, Siau Tiok-sing dan
Cu Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah
Nionio, lekas tangkap perusuh kurang ajar ini!"

Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li berempat menerima
perintah itu.

Melihat dirinya hendak dikerubut, segera Lam-haygok-
sin membentak, "Biarpun kalian maju semua juga
aku tidak gentar. Ayo, Hongte dan Honghou juga silakan
maju sekalian!"

"Nanti dulu, nanti dulu!" demikian cepat Toan Ki
mencegah sambil goyang-goyang kedua tangannya.
"Biarlah kuselesaikan tiga jurus dahulu denganmu."

Po-ting-te kenal tindak tanduk keponakannya itu
sering di luar dugaan, boleh jadi diam-diam dia sudah
atur perangkap untuk menjebak musuh, apalagi dirinya
dan saudaranya berjaga di samping, kalau Lam-hay-goksin
hendak bikin susah pemuda itu, rasanya juga tidak
bisa. Maka dengan tersenyum ia berkata, "Mundurlah
kalian, biarkan perusuh ini belajar kenal betapa lihainya
Ongcu dari Tay-li-kok, supaya dia tahu rasa!"

Mendengar perintah itu, Leng Jian-li berempat yang
sudah bersiap-siap mengerubut maju itu lantas
mengundurkan diri.

444




"Gak-losam," segera Toan Ki berkata, "marilah kita
janji sebelumnya secara tegas. Kalau dalam tiga jurus
engkau tak bisa merobohkan aku, harus kau angkat guru
padaku. Tapi meski aku menjadi gurumu, melihat
tampangmu yang tolol begini, rasanya percuma
kuajarkan ilmu silat padamu. Jadi aku tak mau ajarkan
apa-apa padamu, setuju?"

"Siapa ingin belajar silat padamu?" bentak Gok-sin
gusar. "Huh, ilmu silat kentut anjing apa yang kau miliki?"

"Baik, itu artinya sudah kau terima syaratku," ujar
Toan Ki. "Dan sesudah kau angkat guru, segala perintah
guru selanjutnya harus kau turuti. Kalau membangkang,
itu berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang
Bu-lim. Kau terima tidak syarat kedua ini."

"Hahaha, sudah tentu," Gok-sin terbahak-bahak. "Dan
begitu pula bila kau yang mengangkat guru padaku."

"Ya, namun kalau kau ingin menerima aku sebagai
murid, kau harus kalahkan dulu setiap Suhuku untuk
membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi
daripada guru-guruku itu, dengan begitu baru ada
harganya mengangkat guru padamu."

"Baik, baik, tak perlu cerewet, ayo lekas maju!" sahut
Gok-sin tak sabar.

"Buat apa buru-buru? Lihatlah seorang guruku sudah
berdiri di belakangmu ...." kata Toan Ki dengan
tersenyum sambil menuding ke belakang Gok-sin.

445




Lam-hay-gok-sin tidak merasa kalau di belakangnya
ada orang, namun begitu toh dia menoleh juga.
Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki dengan baik,
mendadak ia melangkah miring ke kiri, dengan cepat dan
lucu ia terus mencengkeram "To-to-hiat" di punggung
Gok-sin.

Gerak-gerik Toan Ki sama sekali tidak mirip seorang
pesilat, tapi Hiat-to yang dipegangnya itu adalah salah
satu jalan darah penting di tubuh manusia. Begitu
tercengkeram, seketika Lam-hay-gok-sin merasa
dadanya sesak. Sementara itu tangan Toan Ki yang lain
lantas tekan di "Ih-sik-hiat" bagian pinggangnya, jari
jempol tepat menekan di tengah Hiat-to itu.

Dalam kagetnya cepat Lam-hay-gok-sin meronta
dengan tenaga dalam. Tapi dua Hiat-to penting sudah
diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannya
terlepas dari cengkeraman Toan Ki, sebaliknya kedua
tenaga itu saling terjang hingga seketika ia menjadi
lemas tak bisa berkutik. Terus saja Toan Ki angkat tubuh
Lam-hay-gok-sin dan dibanting ke lantai. Untung lantai di
ruangan pendopo itu digelari permadani hingga
kepalanya yang botak itu tidak sampai benjut.

Walaupun begitu, dengan nama besar Lam-hay-goksin,
dengan begitu saja ia kena dibanting Toan Ki, tentu
saja ia malu. Saking murkanya, sekali lompat dengan
gerakan "Le-hi-tah-ting" atau ikan lele melejit, begitu
berdiri, ia terus balas mencengkeram Toan Ki.

Hadirin yang berada di ruangan itu adalah jago
terkemuka semua, tapi tiada seorang pun yang
menyangka Toan Ki yang diketahui sama sekali tidak

446




pernah belajar silat dan lemah itu, ternyata bisa
membanting Lam-hay-gok-sin dengan begitu mudah.
Dalam kaget mereka, sementara itu Lam-hay-gok-sin
sudah melancarkan serangan tadi kepada Toan Ki.

Toan Cing-sun menjadi khawatir, tapi belum sempat
turun tangan melindungi sang putra, tahu-tahu anak
muda itu sudah menggeser miring ke kiri, langkahnya
aneh gesit, hanya satu langkah itu saja sudah dapat
menghindarkan serangan kilat Lam-hay-gok-sin.

"Bagus!" seru Toan Cing-sun memuji.

Menyusul mana serangan Gok-sin yang kedua sudah
dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki tetap tidak membalas,
hanya melangkah maju dua tindak malah dan kembali
serangan itu luput.

Dua kali menyerang tidak kena sasaran, Lam-haygok-
sin menjadi gusar dan kejut. Ia lihat Toan Ki hanya
berdiri satu meter di depannya, sekonyong-konyong ia
menggerung keras-keras, kedua tangannya berbareng
mencengkeram dada dan perut pemuda itu.

Ini adalah salah satu ilmu silat tunggal mahalihai yang
dilatihnya sepuluh tahun ini, namanya "Tok-liong-jiau"
atau cakaran naga berbisa. Ilmu ini sebenarnya
disiapkan untuk melawan Yap Ji-nio guna merebut gelar
dari Thian-he-su-ok atau empat orang mahajahat
sedunia.

Tapi kini, setelah dibanting, pula balas menyerang
berulang tidak kena, Gok-sin menjadi kalap, tak terpikir

447




lagi olehnya apakah cakarannya itu bakal membinasakan
"calon ahli waris" itu atau tidak.

Dalam pada itu Po-ting-te, Honghou, Toan Cing-sun,
Yau-toan-siancu dan Ko Sing-thay menjadi khawatir juga,
berbareng mereka memperingatkan Toan Ki, "Awas!"

Namun dengan enteng pemuda itu melangkah ke
kanan setindak menyusul menggeser pula ke kiri
selangkah, tahu-tahu ia sudah berputar sampai ke
belakang Lam-hay-gok-sin. "Plok," ia keplak sekali atas
kepala Gok-sin yang botak itu.

Sungguh sedikit pun Gok-sin tidak menduga bahwa
anak muda itu bisa menabok kepalanya secara demikian
ajaibnya. Ketika merasa tangan orang sudah sampai di
atas kepala, diam-diam ia menjerit, "Matilah aku!"

Tapi demi kepala kena dikeplak, segera ia tahu
serangan Toan Ki itu sedikit pun tidak bertenaga dalam.
Tanpa ayal lagi ia angkat tangan kiri ke atas, "cret,"
kontan punggung tangan Toan Ki tercakar lima jalur luka
oleh kuku jarinya.

Waktu Toan Ki tarik kembali tangannya dengan cepat,
serangan Gok-sin itu masih belum bisa direm,
cakarannya masih merosot ke bawah hingga jidatnya
juga ikut tercakar.

Sebenarnya sesudah berhasil menghindarkan tiga
jurus serangan lawan, Toan Ki sudah menang dan dapat
mengakhiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat bocahnya
masih belum hilang, biarpun dirinya tak bisa Lwekang,
namun ketika tampak ada kesempatan untuk menabok

448




kepala orang, terus saja ia keplak sekali kepala Lam-haygok-
sin yang gundul itu, akibatnya hampir dirinya kena
tertawan. Keruan kejutnya bukan buatan, buru-buru ia
sembunyi ke belakang sang ayah dengan muka pucat
ketakutan.

Yau-toan-siancu melotot sekali ke arah putranya itu,
katanya dalam hati, "Bagus, jadi selama ini diam-diam
kau belajar Kungfu sehebat itu kepada ayah dan
pamanmu, tapi aku sama sekali tak diberi tahu."

Dalam pada itu Bok Wan-jing telah berseru, "Nah,
Gak-losam, sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan
dia, sebaliknya kau sendiri kena dibanting olehnya.
Sekarang lekas menyembah dan panggil Suhu padanya."

Muka Lam-hay-gok-sin menjadi merah, ia garuk-garuk
kepalanya yang tak gatal itu dan menyahut, "Dia toh
belum bergebrak sungguh-sungguh denganku, kejadian
tadi tak bisa dihitung."

"He, tidak malu?" seru Bok Wan-jing. "Kau tidak mau
mengaku guru padanya, itu berarti kau rela menjadi anak
kura-kura. Sebenarnya kau mau mengangkat guru saja
atau terima menjadi anak kura-kura?"

"Tidak semua," sahut Gok-sin. "Aku ingin mengulangi
bertanding dengan dia."

Melihat gerak langkah putranya tadi sangat hebat dan
bagus luar biasa, sampai dirinya juga tidak paham di
mana rahasia kepandaian itu. Segera Toan Cing-sun
membisiki Toan Ki, "Boleh maju lagi, jangan pukul dia,
tapi cari kesempatan mencengkeram Hiat-tonya."

449




"Tapi anak menjadi takut sekarang, mungkin takkan
berhasil," sahut Toan Ki lirih.

"Jangan khawatir, aku mengawasimu dari samping,"
kata Cing-sun.

Nyali Toan Ki menjadi besar lagi karena mendapat
dukungan sang ayah. Segera ia melangkah ke depan
dan berkata pada Lam-hay-gok-sin, "Sudah tiga jurus tak
mampu kau robohkan aku, kau harus menyembah guru
padaku!"

Tapi tanpa menjawab lagi, Gok-sin menggerung
sekali terus menghantam dengan telapak tangannya.

Lekas Toan Ki melangkah miring ke kiri, dengan
enteng saja ia hindarkan serangan itu. "Brak," pukulan
Gok-sin menghancurkan sebuah meja.

Toan Ki pusatkan pikiran sambil mulutnya perlahan
mengucapkan istilah, "San-ta-pak, Hwe-te-cin ...." dan
seterusnya, yaitu istilah di dalam kitab Ih-keng. Sama
sekali ia tidak hiraukan datangnya serangan Lam-haygok-
sin, ia hanya urus langkah sendiri yang ke kanan, ke
kiri, maju dan mundur sesukanya.

Dalam pada itu semakin lama makin cepat dan keras
pukulan Lam-hay-gok-sin hingga terdengar suara
gedubrakan dan gemerantang yang riuh di dalam
ruangan pendopo, meja kursi dan mangkuk cangkir sama
pecah berantakan kena pukulan Gok-sin. Tapi dari mulai
sampai akhir, sedikit pun ia belum mampu menyenggol
ujung baju Toan Ki.

450




Hanya sekejap saja lebih 30 jurus sudah berlangsung.
Selama itu Po-ting-te Toan Cing-beng dan Tin-lam-ong
Toan Cing-sun dapat melihat langkah Toan Ki enteng
tetapi kaku, memang sedikit pun tak bisa ilmu silat. Cuma
entah dari mana pemuda itu mendapatkan ajaran
seorang kosen dalam sejenis ilmu gerak langkah yang
ajaib dengan mengikuti perhitungan Pat-kwa ciptaan
Hok-hi di zaman baheula, yaitu yang mempunyai dasar
hitungan 8x8=64 segi.

Padahal kalau dia benar-benar bertempur dengan
Lam-hay-gok-sin, mungkin cuma sejurus saja pemuda itu
akan dibinasakan orang. Tapi dia justru mengurusi gerak
langkah sendiri sambil mulut mengucapkan istilah-istilah
yang bersangkutan, dan sebegitu jauh pukulan Lam-haygok-
sin tetap tak bisa menyenggolnya.

Diam-diam Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun saling
pandang sekejap, sekilas mereka mengunjuk rasa
khawatir juga. Dalam hati mereka sama berpikir, "Bila
Lam-hay-gok-sin itu menyerang dengan memejamkan
mata misalnya dan tak perlu melihat ke mana anak Ki
melangkah, sekenanya ia lontarkan sejurus pukulan saja
dan tanpa susah lagi tentu pemuda itu akan
dirobohkannya."

Tapi Lam-hay-gok-sin ternyata tidak mempunyai
pikiran seperti mereka. Sebaliknya wajahnya makin lama
makin beringas, matanya juga semakin mendelik hingga
biji mata yang tadinya sebesar kacang, kini melotot
sebesar gundu, ia masih tetap memukul sejurus demi
sejurus dan tetap tak bisa mengenai sasaran, biarpun ia
telah berganti tipu serangan dengan cepat, Toan Ki

451




selalu dapat menghindar ke tempat yang sama sekali di
luar perhitungannya.

Namun pertarungan demikian itu kalau diteruskan,
sekalipun Toan Ki tidak sampai dirobohkan, tapi untuk
mengalahkan lawan juga tidaklah mungkin.

Setelah melihat sebentar, tiba-tiba Po-ting-te berkata,
"Anak Ki, melangkah perlahan sedikit, papak dari depan
dan cengkeram Hiat-to di dadanya."

Toan Ki mengiakan sambil melambatkan langkahnya,
segera ia memapak Lam-hay-gok-sin dari depan. Tapi
ketika sinar matanya kebentur dengan sorot mata Goksin
yang beringas itu, ia menjadi jeri, sedikit kakinya
merandek, tempat kedudukannya menjadi rada
menceng. Sekali cakar Lam-hay-gok-sin menyambar,
kebetulan menyerempet samping kuping kirinya hingga
berdarah. Bila cakaran itu sedikit geser ke kanan, tentu
Toan Ki sudah menjadi mayat di situ.

Dan karena kupingnya terasa kesakitan, Toan Ki
semakin jeri, ia percepat langkahnya menyingkir ke
samping, terus mundur ke belakang sang ayah sambil
berseru dengan menyengir, "Pekhu, aku tak sanggup!"

Cing-sun menjadi gusar, serunya, "Keturunan
keluarga Toan dari Tayli tidak ada yang mundur
ketakutan di garis depan? Ayo, lekas maju lagi, apa yang
dianjurkan Pekhu tadi memang tidak salah!"

Yau-toan-siancu terlalu sayang pada sang putra,
cepat ia menyela, "Ki-ji sudah bergebrak hampir 60 jurus
dengan dia, keluarga Toan mempunyai keturunan

452




sehebat ini, apakah engkau masih belum puas? Ki-ji,
sejak tadi kau sudah menang, tak perlu diteruskan lagi."

"Tidak," kata Toan Cing-sun, "tak perlu kau ikut
campur putraku, aku tanggung dia takkan mati."

Sedih dan dongkol rasa Yau-toan-siancu, air matanya
berkilau-kilau akan menetes.

Melihat itu, Toan Ki menjadi tak tega, ia beranikan diri,
segera ia melangkah maju dengan membusungkan
dada, bentaknya, "Marilah kita teruskan bertempur!"

Sekali ini ia sudah nekat, ia berputar kian kemari
dengan teratur, makin lama makin lambat, ketika
berhadapan dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu sinar
mata lagi, tapi kedua tangan terus mencengkeram dada
lawan.

Melihat tangan Toan Ki yang terulur itu lemas tak
bertenaga, Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak geli, ia
miringkan tubuh terus hendak pegang bahu pemuda itu
malah. Tak terduga gerak langkah Toan Ki ternyata bisa
berubah dengan sukar diraba, kedua orang berbareng
menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-goksin
seakan-akan disodorkan pada jari tangan Toan Ki.

Tanpa ayal lagi Toan Ki incar "Tan-tiong-hiat" dan "Giko-
hiat" dengan tepat, sekaligus terus mencengkeram.

Sama sekali Toan Ki tidak punya tenaga dalam, meski
berhasil memegang kedua tempat Hiat-to di badan
lawan, kalau Lam-hay-gok-sin tidak menggunakan
tenaga dalam dan perlahan meronta melepaskan diri

453




secara biasa, sebenarnya Toan Ki juga tak bisa
mengapa-apakan dia.

Namun karena merasa Hiat-to penting kena
dicengkeram lawan, dalam kagetnya tanpa pikir Lam-
hay-gok-sin mengerahkan tenaga dalam untuk menutup
kedua Hiat-to itu, berbareng kedua tangannya balas
menyerang muka Toan Ki.

Serangan Gok-sin ini mengarah kedua mata Toan Ki,
sebenarnya sangat tepat pemakaiannya, yaitu sesuai
apa yang disebut "menyerang tempat musuh yang
terpaksa harus menolong diri sendiri lebih dulu", betapa
pun lihainya musuh, kalau menghadapi serangan
demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannya untuk
melindungi diri sendiri. Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan
dapatlah terhindar dari malapetaka.

Tak tersangka olehnya bahwa Toan Ki sedikit pun
tidak paham tentang menyerang atau diserang segala,
ketika jari Gok-sin mencolok ke arah matanya,
hakikatnya ia tidak pikir harus cepat tarik kembali
tangannya untuk menangkis, sebaliknya kedua
tangannya masih tetap mencengkeram kencang di
tempat Hiat-to tadi.

Dan kesalahan ini ternyata malah membawa
kebetulan baginya. Ketika Lam-hay-gok-sin
mengerahkan Lwekang tadi, sekonyong-konyong ketemu
rintangan di tempat kedua Hiat-to itu, seketika hawa
murni dan darah bergolak hebat dalam tubuh, kedua
tangan yang sudah terjulur kira-kira belasan senti di
depan mata Toan Ki tahu-tahu terasa lemas tak mau

454




turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan
tenaga dalam lebih kuat.

Tapi lebih celaka lagi baginya, sekali tenaga
dikerahkan, ia merasa dua arus tenaga mahadahsyat
saling terjang di dalam tubuh hingga aliran darah ikut
kacau dan mogok, seketika matanya berkunang-kunang.

Sebaliknya mendadak Toan Ki juga merasakan dua
arus tenaga mahakuat membanjir ke tangannya hingga
tubuhnya ikut sempoyongan. Ia sadar keadaan waktu itu,
asal kedua tangannya melepaskan Hiat-to lawan, segera
jiwanya akan terancam. Sebab itulah meski rasanya
menderita sekali, sedapat mungkin ia bertahan.

Jaraknya waktu itu dengan Toan Cing-sun hanya satu
meteran saja. Ketika melihat air muka sang putra makin
lama makin merah, terang anak muda itu lagi menahan
rasa derita, segera Cing-sun ulur jari telunjuknya untuk
menahan "Tay-cui-hiat" di punggung Toan Ki.

"It-yang-ci" atau ilmu jari betara surya dari keluarga
Toan di negeri Tayli sudah tersohor di seluruh jagat.
Maka begitu jari Toan Cing-sun menempel punggung
Toan Ki, seketika suatu arus hawa hangat yang halus
tersalur ke badan pemuda itu. Kontan badan Lam-haygok-
sin tergetar, perlahan roboh dengan lemas.

Segera Toan Cing-sun pegang Toan Ki sambil
mengerahkan tenaga jarinya lebih kuat. Hanya sebentar
saja, lambat laun air muka Toan Ki sudah kembali merah,
tapi untuk sejenak ia pun belum sanggup bicara.

455




Bagaimana diam-diam Toan Cing-sun memakai ilmu
"It-yang-ci" untuk membantu sang putra hingga Lam-haygok-
sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap
orang di ruangan itu. Namun begitu toh Lam-hay-gok-sin
tetap jatuh di bawah tangan Toan Ki, betapa pun hal ini
tak bisa dibantah.

Hiong-sat-ok-sin itu benar-benar lihai luar biasa.
Begitu tangan Toan Ki melepaskan Hiat-to di badannya,
seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki
dengan kedua matanya yang bundar kecil itu penuh rasa
heran, gemas dan sedih pula.

"Nah, Gak-losam," demikian Bok Wan-jing lantas
berteriak, "sekarang kau sudah kalah lagi, kulihat engkau
lebih suka menjadi anak kura-kura daripada mengangkat
guru, bukan?"

"Tidak, justru kuingin berbuat di luar dugaanmu," seru
Gok-sin murka. "Angkat guru ya angkat guru, malu-malu
apa? Aku Gak-loji sekali-kali tidak sudi menjadi anak
kura-kura."

Habis berkata, benar juga ia terus berlutut dan
menyembah empat kali kepada Toan Ki sambil berteriak,
"Suhu, Tecu Gak-loji memberi hormat padamu!"

Untuk sejenak Toan Ki terkesima, dan belum lagi
sempat menjawab, mendadak Lam-hay-gok-sin sudah
melompat bangun terus mencelat ke atas wuwungan
rumah. Tiba-tiba terdengar suara jeritan sekali di atas
rumah menyusul suara gedebuk sekali, dari atas
terbanting ke bawah tubuh seorang.

456




Waktu semua orang menegasi, kiranya seorang
pengawal istana pangeran, dadanya sudah berlumuran
darah dan berlubang, buah hatinya telah dikorek oleh
Lam-hay-gok-sin untuk dimakan. Wi-su atau pengawal itu
masih berkelojotan, keadaannya sangat mengerikan.

Sebenarnya kepandaian pengawal itu pun tidak
rendah, walaupun tidak setingkat dengan empat tokoh
Hi-jiau-keng-dok, tapi hanya dalam satu gebrakan saja
ternyata hatinya sudah kena dikorek orang. Keruan
semua orang saling pandang dengan terkejut.

"Longkun, muridmu itu benar-benar kurang ajar, lain
kali kalau ketemu, harus kau hajar dia sampai minta
ampun," seru Bok Wan-jing dengan gusar.

"Kemenanganku tadi hanya secara kebetulan saja
berkat bantuan Tiatia," sahut Toan Ki tersenyum. "Tapi
lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri
juga bisa dikorek olehnya, kepandaian apa yang kumiliki
untuk hajar dia?"

Waktu bicara itulah, Leng Jian-li dan Siau Tiok-sing
sudah gotong keluar mayat pengawal tadi. Toan Cingsun
memberi perintah agar diberi pensiun pada
keluarganya dan suruh Ho-sinshe tadi mengundurkan
diri.

"Ki-ji," kata Po-ting-te kemudian. "Poh-hoat (ilmu
gerak langkah) yang kau mainkan tadi berasal dari
falsafah Pat-kwa ciptaan Hok-hi, kau boleh belajar dari
siapa?"

457




"Anak mempelajarinya secara ngawur dari dalam
sebuah gua, entah tepat atau tidak, masih
mengharapkan petunjuk dari Pekhu," sahut Toan Ki.

"Dari sebuah gua bagaimana, coba ceritakan."

Maka berceritalah Toan Ki tentang pengalamannya.

Kiranya tempo hari waktu dia ditinggal di atas puncak
karang, Bok Wan-jing digondol pergi oleh Lam-hay-goksin,
dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak.
Tapi baru beberapa tindak tiba-tiba ia menginjak badan
seekor ular sawah besar. Bundar dan licin badan ular itu
penuh lendir yang basah. Toan Ki terpeleset dan
tergelincir ke pinggir jurang.

Dalam keadaan bahaya, untung tangannya yang
meraih serabutan itu dapat memegang akar pohon
hingga badannya tidak terjerumus lebih jauh ke bawah,
mati-matian ia pegang erat akar pohon itu tak dilepaskan
lagi demi keselamatannya.

Dalam keadaan badan setengah terjuntai, kaki Toan
Ki merasa menginjak di atas batu karang, telinganya
mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendeburdebur
hebat di bawah sana.

Ia coba tenangkan diri dan mengawasi sekitarnya,
ternyata dirinya berada di tengah tebing yang terjal
sekali, untuk merambat ke atas terang tidak mampu,
kalau turun ke bawah akan kecebur ke sungai. Terpaksa
merembet ke kiri sana, di situ masih ada tempat untuk
berpijak. Begitulah segera ia menggeremet ke sana
dengan hati-hati.

458




Setelah merayap sebentar, ia mengaso sejenak.
Kalau ketemukan tempat yang curam, terpaksa tabahkan
diri dan akhirnya dapat merayap lewat juga dengan
selamat.

Sampai hari sudah magrib, ia lihat di depan masih
tetap tebing jurang yang terjal, sedikit pun belum ada
tanda-tanda akan sampai di tempat datar, diam-diam
Toan Ki putus asa. Ia coba merayap lagi sebentar,
sekonyong-konyong pikirannya tergerak, pemandangan
di depan ini lamat-lamat seperti sudah dikenalnya.

Waktu ia perhatikan lebih jauh, tak tertahan lagi ia
berteriak, "Aha, ingatlah aku! Ketika aku keluar dari gua
di luar danau itu, pemandangan yang kulihat tak-lain takbukan
adalah seperti ini!"

Toan Ki senang sekali demi mengenal keadaan
tempat itu, ia masih ingat bila dia merayap lewat
beberapa tebing curam, ia akan sampai di suatu jalan
kecil dan kalau jalan terus belasan li pula, ia akan tiba di
jembatan "Sian-jin-toh".

Jadi mulut gua itu berada tidak jauh dari tempatnya
sekarang ini, bila teringat pada patung dewi di dalam gua
yang cantik tiada bandingannya itu, perasaannya lantas
bergolak, ia tak tahan lagi, betapa pun ia ingin pergi
menjenguk patung itu.

Tanpa pikir lagi segera ia merangkak terus. Tiada
belasan meter jauhnya, benar juga ia sudah sampai di
mulut gua tempat keluarnya dari bawah danau tempo
hari. Cepat ia menyusup ke dalam gua, mengikuti jalan

459




lama dan akhirnya mencapai kamar batu yang dulu.

Hari sudah gelap, tapi di dalam kamar batu itu tetap
terang benderang oleh cahaya mutiara mestika yang
menghias seputar dinding kamar. Toan Ki termangumangu
memandangi patung dewi itu, pikirnya, "Untung
ini hanya patung belaka dan bukan manusia. Bila di
dunia benar-benar ada gadis secantik ini, aku Toan Ki
bukan mustahil rela mati asal dapat
mempersuntingkannya."

Begitulah ia terkesima di hadapan patung ayu itu
sampai kakinya sudah terasa lemas toh dia masih belum
merasa capek, nyata saat itu segala Bok Wan-jing, Lam-
hay-gok-sin dan lain-lain sudah dibuang olehnya ke
awang-awang. Sampai akhirnya ia benar-benar tidak
tahan lagi, lalu ia rebah di bawah kaki patung itu dan
terpulas.

Dalam mimpi, patung itu bisa bergerak dan
memberikan Toan Ki sebilah pisau serta menyuruh dia
membunuh 36 orang laki-laki dan wanita yang tak
berdosa. Tanpa membantah, Toan Ki terima pisau itu
dan membunuh serabutan hingga dalam sekejap lebih
dari 50 orang telah dibunuhnya hingga mayat
bergelimpangan dan darah berceceran.

Patung itu tersenyum senang seakan-akan memuji
perbuatan Toan Ki itu, lalu menyuruh pergi membunuh
ayahnya sendiri. Tentu saja Toan Ki tidak mau, patung itu
menjadi marah, katanya, "Kau tidak turut perintah, lebih
baik kau bunuh diri saja!"

460




Tanpa ragu Toan Ki terus angkat pisau dan menikam
ulu hatinya sendiri. Dalam kagetnya ia menjerit hingga
tersadar dari tidurnya dengan berkeringat dingin, hatinya
masih berdebar dengan kerasnya. Ia lihat di dalam kamar
sudah terang benderang oleh cahaya matahari, nyata ia
sudah tertidur semalam.

Ia pandang patung itu pula, macam-macam pikiran
berkecamuk, tiba-tiba teringat olehnya, "He, kamar ini
berada di dasar danau, dari mana datangnya sinar
matahari itu?"

Ia coba pandang ke arah datangnya sinar sang surya,
ia lihat di ujung kanan atas kamar itu tergantung sebuah
cermin perunggu, sinar matahari itu memantul balik dari
cermin itu. Ketika cermin perunggu itu diperhatikannya
lebih jelas, lamat-lamat ternyata di atas cermin ada
ukirannya.

Tergerak pikiran Toan Ki, "Di dalam kamar ini penuh
cermin seperti ini, bukan mustahil ada udang di balik
batu?"

Segera ia ambil cermin tadi, ia kebut debu di atasnya
dan diusap lebih bersih, maka tertampaklah di atas
cermin itu memang terukir banyak sekali garis-garis
tegak dan miring, di samping garis-garis itu terukir pula
huruf "It-poh", "Liang-poh", "Poan-poh" (satu langkah,
dua langkah, setengah langkah) dan seterusnya. Dan
tiap ujung garis itu terukir pula penjelasan "Tong-jin",
"Tay-yu" dan macam-macam huruf kecil lain.

Toan Ki pernah membaca "Ih-keng," maka tahu
"Tong-jin", "Tay-yu" dan sebagainya itu adalah nama

461




segi-segi Pat-kwa yang seluruhnya berjumlah 8x8=64
segi itu.

Waktu cermin itu ia balik, di punggung cermin terukir
pula empat huruf kuno "Leng-po-wi-poh" atau langkah
lembut dewi cantik. Kalimat ini mengingatkan Toan Ki
pada syair Co Cu-kian, putra Co Cho di zaman Sam-kok,
yaitu syair yang memuja wanita cantik. Tapi bagi Toan Ki,
ia merasa syair itu masih belum cukup untuk melukiskan
betapa cantiknya patung di depan matanya ini.

Untuk sekian lamanya ia termenung-menung di situ
sambil memegangi cermin perunggu. Kemudian teringat
pula olehnya tulisan di papan perunggu di bawah kaki
patung yang pernah dibacanya itu. Kata tulisan itu,
"Sesudah kau genap menjura seribu kali padaku, itu
berarti sudah menjadi muridku. Pengalamanmu
selanjutnya akan sangat mengenaskan, hendaklah kau
jangan menyesal. Ilmu silat perguruan kita yang tiada
bandingannya di jagat ini berada di dalam ruangan batu
ini, harap melatihnya dengan tekun."

Malahan tempo hari waktu dia berpisah dari patung itu
pernah mengatakan, "Enci Dewi, aku tidak mau menjadi
muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingannya itu juga
takkan kupelajarinya."

Tapi kini sesudah memandang lebih mesra terhadap
patung itu, pikirannya menjadi kabur tak terkendali,
pikirnya sekarang, "Di manakah beradanya ilmu silat
tiada bandingannya itu? Apa barangkali terukir di atas
cermin-cermin perunggu ini? Enci Dewi suruh aku belajar
silat, tak boleh tidak aku harus mempelajarinya
sekarang."

462




Berpikir begitu, segera ia balik cermin perunggu tadi
dan menghafalkan hitungan ke-64 segi Pat-kwa itu lalu
setindak demi setindak mulai berlatih.

Semula ia hanya melangkah mengikuti petunjuk yang
terukir di atas cermin itu tanpa mengetahui di mana letak
keajaibannya, terkadang tulisan di cermin itu sangat
aneh, setelah melangkah setindak, langkah selanjutnya
menjadi buntu rasanya. Tapi ketika kemudian mesti
melompat sambil berputar tubuh, jalan selanjutnya
terbuka lagi dengan lancar. Sering pula harus disertai
dengan melompat maju atau mundur untuk bisa cocok
dengan petunjuk di atas cermin itu.

Dasar Toan Ki memang sudah biasa tekun belajar,
maka sekali sudah mau, biarpun menemukan persoalan
sulit tentu dipecahkannya dengan peras otak baru mau
berhenti. Dan bila kemudian sudah paham, ia lantas
berjingkrak girang seperti orang sinting. Pikirnya, "Elok
benar! Jadi ilmu silat juga bisa membikin orang senang,
bahkan tidak kurang menariknya daripada orang
membaca kitab."

Lalu pikirnya pula, "Aku tidak suka bikin susah atau
membunuh orang, makanya selama ini aku tidak sudi
belajar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu gerak langkah) ini tak
bisa dipakai membunuh orang, sebaliknya dapat
menghindarkan maksud jahat musuh, kalau dipelajari,
ada manfaatnya tiada jeleknya. Sekalipun ilmu silat
lainnya kalau digunakan untuk menolong sesamanya,
sebenarnya juga tidak jelek."

463




Begitulah, sekali dia sudah suka, ia lantas merasa
tiada salahnya belajar silat. Dan dengan demikian, ia
lantas belajar terlebih giat. Hanya dalam satu hari saja,
Poh-hoat yang tertulis di atas cermin itu sudah 2-3
bagian dapat dipahaminya.

Malamnya, ia merasa sangat lapar. Segera ia
keluarkan "Bong-koh-cu-hap" agar binatang itu bersuara
memanggil ular. Ia pilih seekor ular yang gemuk, lalu
menyembelihnya, ia keluar ke tepi sungai itu untuk
mencari kayu bakar dan memanggang daging ular untuk
dimakan.

Selama beberapa hari, kecuali makan ular dan tidur,
senantiasa Toan Ki terbenam dalam pelajaran "Leng-powi-
poh" yang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas,
begitu mendongak dan memandang patung dewi itu, ia
lantas merasa patung cantik itu lagi mengomeli dia, ia
terkesiap dan kembali belajar lagi dengan tekun.

Hari keempat, seluruh pelajaran ilmu langkah itu
sudah dapat dihafalkannya. Selama itu sering juga
teringat olehnya akan Bok Wan-jing yang tak diketahui
bagaimana nasibnya selama digondol Lam-hay-gok-sin
itu, tentu gadis itu lagi menunggu pertolongannya,
demikian pikirnya.

Tapi bila sinar matanya kebentrok dengan pandangan
patung cantik itu, ia menjadi seperti kesurupan dan lupa
daratan. Tapi kini ia telah ambil ketetapan yang tegas,
"Aku harus pergi menolong nona Bok dahulu, kemudian
baru aku kembali lagi ke sini!"

464




Segera ia kembalikan cermin perunggu itu ke tempat
asalnya, sekilas ia dapat melihat pula bahwa di atas
cermin perunggu lain yang berada di lantai juga lorangloreng
penuh terukir tulisan dan garis-garis. Ia tahu bila
terus melatih ilmu di atas cermin itu, tentu akan makan
waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok masih
berada di bawah cengkeraman orang jahat dan sedang
menanti kedatangannya untuk menolong.

Namun begitu, dalam hati kecilnya timbul juga
semacam rasa berat untuk meninggalkan patung cantik
itu Kalau dia pergi, jelas dirinya takkan mampu
mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan terpaksa
mengangkat guru padanya baru nona Bok mau
dibebaskan. Padahal bila dia disuruh angkat orang
sejahat itu menjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati
daripada mesti menurut.

Sebab itulah, pertentangan batinnya menjadi hebat, ia
ragu sampai sekian lama. Akhirnya merasa bila dirinya
tidak pergi menolong Bok Wan-jing, itu berarti tidak
berbudi dan tak bisa dipercaya, seorang laki-laki sejati
tidak nanti berbuat demikian, sekalipun akhirnya dirinya
mesti celaka, sekali sudah berjanji harus ditepati.

Karena itu, segera ia menjura kepada patung dewi itu,
katanya, "Enci Dewi, bila aku bisa meloloskan diri dari
Lam-hay-gok-sin yang jahat itu dengan ilmu 'Leng-po-wipoh'
ajaranmu, kelak tiap tahun aku pasti akan tinggal
bersamamu di sini setengah tahun lamanya."

Habis itu, segera ia bertindak keluar gua dengan gaya
berlenggang menurut gerak langkah Leng-po-wi-poh.

465




Tak tersangka, baru saja ia menginjak sudut "Tay"
dan menggeser ke segi "Koh," sekonyong-konyong suatu
arus hawa panas menerjang ke atas dari dalam perutnya.
Seketika badannya terasa lumpuh, kontan ia ambruk ke
lantai.

Dalam kagetnya cepat Toan Ki bermaksud menahan
lantai dengan tangannya untuk merangkak bangun. Tak
terduga semua anggota badannya juga terasa kaku
pegal tak mau turut perintah lagi, bahkan untuk
menggerakkan sebuah jari saja terasa susah.

Kiranya "Leng-po-wi-poh" yang tertera di atas cermin
perunggu itu adalah semacam ilmu silat mahatinggi,
kalau orang melatihnya sudah mempunyai dasar ilmu
silat yang baik, maka setiap gerak-geriknya akan selalu
disertai dengan tenaga dalam yang kuat.

Sebaliknya Toan Ki sedikit pun tidak mempunyai
dasar Lwekang, jalannya tergantung ingatannya melulu,
melangkah sekali, pikir sekali dulu, lalu berhenti,
kemudian melangkah pula, cara demikian tidak menjadi
alangan karena pergolakan darah yang disebabkan
gerak langkah itu mendapat cukup waktu untuk berhenti.

Tapi kini sesudah dia hafal, lalu sekaligus berjalan
begitu saja, seketika darahnya berontak sehingga
menerjang balik, seketika ia lumpuh di lantai, hampir
darahnya tersesat atau apa yang disebut "Cau-hwe-jipmo"
dalam ilmu silat. Untung dia baru melangkah dua
tindak dan tidak terlalu cepat pula, maka urat nadinya
tidak sampai pecah atau putus.

466




Dalam keadaan kaget itulah, Toan Ki coba meronta
bangun, tapi semakin bergerak semakin kaku, rasanya
ingin tumpah, tapi tidak tumpah. Akhirnya ia menghela
napas dan pasrah nasib.

Aneh juga, sesudah dia pasrah masa bodoh, rasa
mualnya malah hilang lambat laun.

Dan sekali dia sudah menggeletak tak berkutik,
keadaan itu berlangsung hingga esok paginya masih
tetap begitu. Diam-diam ia pikir, "Papan perunggu di
bawah kaki Enci Dewi itu tertulis bahwa pengalamanku
selanjutnya akan sangat mengenaskan, aku diminta
jangan menyesal. Kalau aku cuma mati kelaparan begini
saja, rasanya masih belum terhitung mengenaskan."

kira-kira pukul 10 pagi itu, sinar matahari menyorot
miring dari luar hingga persis menerangi sebuah cermin
perunggu. Mata Toan Ki menjadi silau oleh pantulan
cahaya matahari itu. Pikirnya ingin menghindari sinar
menyilaukan itu, tapi apa daya, antero badan tak bisa
bergerak. Tiba-tiba ia melihat di atas cermin itu samarsamar
seperti terukir huruf "Bi-ce", "Soi-ko" dan lain-lain.
Oleh karena kepalanya tak bisa bergerak, ia lantas baca
tulisan itu secara cermat, lalu direnungkan dalam-dalam.

Dari cermin pertama tadi ia hanya dapat belajar 32
segi dari 64 segi itu. Kebetulan apa yang terukir di atas
cermin sekarang ini adalah sisa 32 segi yang lain.
Segera ia mempelajarinya lebih jauh.

Meskipun kakinya tak bisa bergerak, tapi pikirannya
bekerja seakan-akan kakinya lagi bergerak menurut
langkah yang ditunjukkan di atas cermin itu. Sampai

467




petang, sudah ada belasan langkah dapat dipahaminya,
rasa muaknya jauh berkurang.

Bab 10

Sampai esok paginya lagi, ke-32 langkah itu sudah
dapat dipecahkan seluruhnya. Diam-diam ia
menghafalkan lagi seluruh ke-64 segi itu dari awal
sampai akhir. Dan nyatanya memang berjalan dengan
lancar.

Ibaratnya orang yang mogok di tengah jalan karena
menghadapi jalan buntu, kini mendadak jalan itu dapat
ditembus, keruan Toan Ki sangat girang, terus saja ia
meloncat bangun sambil bertepuk tangan dan berseru,
“Bagus, bagus!”

Mendadak ia tertegun heran teringat pada dirinya kini
sudah dapat bergerak lagi tanpa terasa.

Kejut dan girang Toan Ki tidak terkira, ia khawatir
lupa, maka ke-64 gerak langkah itu diulanginya beberapa
kali hingga hafal benar-benar, ia melangkah perlahan
setindak demi setindak hingga akhirnya tercapai dengan
bulat, ia merasa semangatnya tambah kuat dan segar.
Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi toh tidak
terasa lapar.

Ia memberi hormat ke arah patung dan mengucapkan
terima kasih, lalu cepat berlari keluar dari gua itu.
Dengan mengikuti jalan yang pernah dilaluinya, ia
melintasi “Sian-jin-toh” dan kembali ke Bu-liang-san,
akhirnya berjumpa pula dengan Bok Wan-jing.

468




Demikianlah ia ceritakan pengalamannya itu kepada
ayah dan paman, hanya mengenai patung cantik itu tidak
ia ceritakan, ia bilang menemukan dua buah cermin
perunggu dan dari tulisan ukiran di atas cermin itulah
dapat diperoleh ilmu gerak langkah yang ajaib itu.

Ia merasa di hadapan orang sebanyak itu tidak pantas
menceritakan dirinya kesengsem atas sebuah patung
ayu, apalagi Bok Wan-jing tentu akan marah besar dan
bukan mustahil dirinya bisa digampar pula.

Selesai Toan Ki bercerita, Po-ting-te lantas berkata,
“Ke-64 gerak langkah itu terang mengandung semacam
ilmu Lwekang yang mahatinggi, coba kau lakukan sekali
lagi dari awal sampai akhir.”

Toan Ki mengiakan dan segera mulai berjalan
selangkah demi selangkah menurut perhitungan Pat-kwa.

Po-ting-te, Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay adalah
ahli Lwekang, tapi terhadap keajaiban ilmu langkah itu
mereka cuma bisa menangkap satu-dua bagian saja,
selebihnya mereka pun merasa bingung.

Selesai Toan Ki melangkah ke-64 segi itu, persis ia
putar suatu lingkaran besar dan tiba kembali di tempat
semula.

Po-ting-te sangat girang, serunya, “Bagus sekali! Pohhoat
ini tiada bandingannya di seluruh jagat, sungguh
beruntung sekali Ki-ji dapat memperolehnya, harap Ki-ji
melatihnya lebih masak. Sekarang silakan omong
dengan ibumu yang baru pulang istana.”

469




Lalu ia berpaling pada permaisurinya, “Marilah kita
pulang!”

Honghou mengiakan sambil berbangkit. Segera Toan
Cing-sun dan lain-lain mengantar Hongte dan Honghou
keluar istana Tin-lam-ong.

Setelah berada di dalam istana sendiri, segera Toan
Cing-sun mengadakan perjamuan untuk menyambut
pulangnya sang istri dan datangnya Bok Wan-jing. Satu
meja perjamuan hanya empat orang, yaitu Toan Cingsun
suami istri, Toan Ki dan Wan-jing, tapi dayang yang
melayani hampir 20 orang banyaknya.

Sudah tentu selama hidup Bok Wan-jing belum
pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula semua
masakan yang disuguhkan di situ jangankan melihat,
bahkan mendengar pun tidak pernah. Tapi demi tampak
ayah-bunda Toan Ki memandang dirinya sebagai
anggota keluarga sendiri, diam-diam ia pun sangat
senang.

Melihat sikap ibunya terhadap ayahnya tetap dingin
saja, tidak mau minum arak dan tidak makan daging,
hanya dahar sedikit sayuran saja, segera Toan Ki
menuang satu cawan arak dan berkata, “Mak, marilah
anak menghormati engkau secawan!”

“Tidak, aku tidak minum arak,” sahut Yau-toan-siancu.

Tapi Toan Ki menuang lagi secawan dan mengedipi
Wan-jing, katanya pula, “Minumlah Mak, nona Bok juga
ingin menyuguh engkau secawan!”

470




Segera Bok Wan-jing mengangkat cawan yang
diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri. Yau-toan-siancu
menjadi tidak enak kalau bersikap dingin terhadap Bok
Wan-jing, maka katanya dengan tersenyum, “Nona,
putraku ini terlalu nakal, ayah-bundanya sukar
mengendalikan dia, selanjutnya perlu kau bantu
mengawasi dia lebih keras.”

“Tentu,” sahut Wan-jing, “kalau dia tidak menurut,
kontan kujewer dia!”

Yau-toan-siancu mengikik geli oleh jawaban itu sambil
melirik sang suami. Dengan kikuk Toan Cing-sun
tertawa, ujarnya, “Memang harus begitu!”

Lalu Yau-toan-siancu menerima cawan arak suguhan
Bok Wan-jing itu. Di bawah sinar lilin yang terang, Wanjing
melihat lengan nyonya pangeran itu putih halus
bagai salju. Tiba-tiba dapat dilihatnya pula di punggung
tangan dekat pergelangan terdapat sebuah andengandeng
(tembong) merah sebesar mata uang. Seketika
badan Wan-jing tergetar, cepat ia tanya dengan suara
gemetar, “Apa ... apakah engkau ber ... bernama Si Pekhong?”


“Dari mana kau tahu namaku?” sahut Yau-toan-siancu
dengan tertawa.

“Engkau ... benar-benar Si Pek-hong?” Wan-jing
menegas pula dengan terputus-putus. “Bukankah dahulu
engkau memakai senjata ... senjata pecut?”

Melihat sikap gadis itu rada aneh, namun Yau-toansiancu
alias Si Pek-hong masih belum curiga, sahutnya

471




pula dengan tersenyum, “Sungguh Ki-ji sangat baik
padamu, sampai nama kecilku juga diberitahukan
padamu.”

Mendadak Bok Wan-jing berteriak, “Budi guru
mahatinggi, perintah guru tidak boleh dibangkang!”

Berbareng tangannya bergerak, dua batang panah
beracun lantas menyambar ke dada Yau-toan-siancu.

Dalam perjamuan yang diliputi suasana riang gembira
di antara anggota keluarga sendiri itu, sudah tentu siapa
pun tidak menyangka bakal terjadi penyerangan
mendadak dari Bok Wan-jing. Biarpun ilmu silat Yautoan-
siancu jauh lebih tinggi daripada Bok Wan-jing, tapi
jarak kedua orang sangat dekat, pula terjadinya secara
tiba-tiba, tampaknya kedua panah itu segera akan
menancap di dada sasarannya.

Toan Cing-sun duduk di sebelah kiri Bok Wan-jing,
begitu melihat gelagat jelek, cepat jarinya menutuk, tapi
It-yang-ci yang lihai itu juga cuma membikin Bok Wanjing
tak bisa berkutik, sedang kedua panah masih tetap
menyambar ke depan.

Sebaliknya Toan Ki duduk di sisi kanan, sudah
beberapa kali ia pernah menyaksikan Bok Wan-jing
menyerang dengan panahnya yang berbisa maut itu.
Maka begitu tampak gadis itu ayun tangannya, segera ia
tahu bakal celaka.

Ia tak mahir ilmu silat, tapi dengan “Leng-po-wi-poh”
yang cepat luar biasa, tahu-tahu ia menyelinap
mengadang di depan sang ibu hingga kedua panah

472




berbisa tepat menancap di dadanya. Berbareng itu Bok
Wan-jing sendiri merasa badan kaku dan tak bisa
berkutik karena ditutuk Toan Cing-sun.

Betapa cepatnya Tin-lam-ong, menyusul sekaligus ia
tutuk pula beberapa kali di sekitar luka Toan Ki yang
terpanah itu agar racun tidak menyerang lebih dalam.
Habis itu, ia putar balik dan memuntir tangan Bok Wanjing
hingga terlepas dari ruasnya, dengan demikian
supaya gadis itu tak bisa melepaskan panah pula. Lalu ia
bebaskan Hiat-to yang ditutuknya dan membentak,
“Lekas keluarkan obat penawarnya!”

“Aku ... aku tidak bermaksud memanah Toan-long,
aku ingin ... ingin membunuh Si Pek-hong!” demikian jerit
Wan-jing setengah meratap. Dengan menahan sakit
lengannya yang keseleo, cepat ia keluarkan dua botol
kecil obat penawar racun, katanya, “Yang merah
diminum, yang putih bubuhkan pada lukanya, lekas,
harus lekas! Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!”

Yau-toan-siancu melotot sekali kepada gadis itu,
melihat begitu perhatiannya terhadap putranya yang
sungguh-sungguh timbul dari lubuk hatinya, diam-diam ia
dapat menduga sebab musabab kejadian ini. Segera ia
rebut obat penawar itu dan mengobati Toan Ki menurut
petunjuk Bok Wan-jing tadi.

“Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa ...
bahwa jiwanya dapat diselamatkan, kalau ... kalau tidak
....” demikian Bok Wan-jing tak sanggup meneruskan lagi
ratapannya.

473




Sementara itu setelah terpanah, Toan Ki lantas jatuh
pingsan di pangkuan sang ibu. Suami-istri Toan Cing-sun
terus memerhatikan luka Toan Ki, melihat darah yang
mengalir keluar dari luka itu dari hitam sudah berubah
ungu, lalu menjadi merah kembali, mereka baru merasa
lega karena tahu jiwa sang putra sudah dapat
diselamatkan.

Segera Yau-toan-siancu pondong putranya ke dalam
kamar, lalu keluar lagi ke ruangan makan itu.

“Tidak apa-apa bukan?” tanya Toan Cing-sun pada
sang istri.

Tapi Yau-toan-siancu tak menjawabnya, sebaliknya
lantas berkata kepada Bok Wan-jing, “Pergilah kau dan
katakan pada Siu-lo-to Cin Ang-bian bahwa ....”

Mendengar disebutnya “Siu-lo-to Cin Ang-bian” itu,
seketika air muka Toan Cing-sun berubah hebat,
tanyanya dengan tergegap, “Kau ... kau bilang apa?”

Tapi Yau-toan-siancu tak menggubrisnya, ia tetap
berkata kepada Wan-jing, “Katakanlah padanya, jika dia
menginginkan jiwaku, pakailah cara terbuka dan terangterangan,
tapi kalau main licik begini, tentu akan dibuat
tertawaan orang saja.”

“Aku tidak kenal siapa gerangan Siu-lo-to Cin Angbian!”
jawab Wan-jing keras-keras.

“Habis, siapa yang menyuruhmu membunuh diriku!”
tanya Siancu.

474




“Guruku,” sahut Wan-jing. “Guruku menyuruhku
membunuh dua orang. Yang seorang adalah engkau.
Beliau menerangkan padaku bahwa pada tanganmu ada
tembong merah besar, namanya Si Pek-hong, parasnya
cantik, bersenjata pecut. Tapi dia tidak bilang engkau
berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat
engkau memakai kebut pertapaan, bernama Yau-toansiancu
pula, sungguh tidak nyana bahwa engkaulah
orang yang harus kubunuh menurut perintah guruku,
lebih-lebih tak kusangka bahwa engkau adalah ibu Toanlong
....”

Berkata sampai di sini, tak tertahan lagi air matanya
bercucuran.

“Dan orang kedua yang ingin dibunuh gurumu
bukankah juga seorang wanita cantik, tangan kanannya
kehilangan tiga jari?” tanya Si Pek-hong alias Yau-toansiancu.


“Benar,” seru Wan-jing heran. “Dari mana engkau
tahu? Wanita itu katanya she Keng ....”

Tiba-tiba pipi Si Pek-hong basah oleh air mata yang
berlinang-linang, ia pikir sejenak, lalu berkata kepada
sang suami, “Cing-sun, harap kau rawat Ki-ji baik-baik!”

“Pek-hong,” sahut Tin-lam-ong, “suka duka masa lalu
buat apa tetap kau pikir?”

“Kau tidak pikir, tapi aku tetap memikirnya dan orang
lain pun tidak pernah melupakannya,” sahut Si Pek-hong
dengan rasa pedih. Habis ini, sekonyong-konyong ia
melompat keluar melalui jendela.

475




Cepat Toan Cing-sun hendak menarik lengan
bajunya, namun Si Pek-hong sempat angkat tangannya
terus dan mengebas ke muka sang suami, untung Tinlam-
ong sempat mengegoskan kepalanya, “bret,” hanya
kain lengan baju Si Pek-hong kena dirobeknya.

“Apa kau ajak berkelahi?” seru Si Pek-hong dengan
gusar sambil menoleh.

“Pek-hong, kau ....” baru sekian Toan Cing-sun
menjawab, segera Si Pek-hong melesat pergi dengan
cepat.

Dari jauh terdengar bentakan Leng Jian-li yang keras,
“Siapa itu?”

Lalu terdengar Si Pek-hong menjawab, “Aku!”

Terdengar Leng Jian-li berseru gugup, “Ah, kiranya
Onghui!”

Habis itu, lalu sunyi senyap tiada suara lagi.

Cing-sun termangu-mangu berdiri di tempatnya,
akhirnya ia menghela napas dan memandang Bok Wanjing
yang sementara itu tampak pucat pasi menahan
sakit, tapi toh tidak melarikan diri. Ia mendekati gadis itu
dan pegang lengannya, “krak,” ia betulkan lagi ruas
tulang yang sengaja dipuntir keseleo tadi.

“Aku telah panah istrinya, entah siksaan keji apa yang
hendak dilakukannya atas diriku?” demikian Wan-jing
membatin.

476




Tak terduga Toan Cing-sun hanya diam saja, dengan
lesu kemudian ia berduduk di atas kursinya, perlahan ia
angkat cawan araknya tadi dan diminum habis sekaligus.
Pandangannya terpaku ke arah perginya Si Pek-hong
tadi dengan termangu-mangu.

Sejenak kemudian, ia menuang arak dan ditenggak
habis lagi. Dengan cara menuang sendiri dan minum
sendiri, tidak lama sudah 13 cawan dikeringkannya,
kalau poci arak yang satu sudah kering, lantas menuang
dari poci yang lain. Menuangnya sangat lambat, tapi
meneguknya sangat cepat.

Makin lama Bok Wan-jing menjadi semakin kesal,
saking tak tahan, akhirnya ia berteriak keras-keras, “Cara
bagaimana hendak kau siksa aku, lekas kau lakukan!”

Baru sekarang Toan Cing-sun mendongak ke arahnya
serta memandangnya tanpa berkedip. Selang agak lama,
ia berkata, “Sungguh mirip! Seharusnya dapat kulihat
sejak tadi. Ya, beginilah wajahnya dan beginilah
tabiatnya ....”

Mendengar ucapan yang tak keruan tujuannya, Bok
Wan-jing berseru pula, “Kau bilang apa? Ngaco-belo!”

Tapi Cing-sun tak menjawabnya, tiba-tiba ia
berbangkit, perlahan telapak tangan kiri memotong miring
ke belakang dengan perlahan, tahu-tahu sumbu lilin yang
berkobar di belakangnya terpadam sebatang. Menyusul
telapak tangan kanan memotong pula ke belakang dan
lagi-lagi api lilin yang lain disirapkan.

477




Berturut-turut ia memadamkan lima batang api lilin,
tapi pandangannya selalu melihat ke depan, gerak
tangannya perlahan, tapi enteng dan indah gayanya.

“He, bukankah ini ... ‘Ngo-lo-gin-yan-ciang’? Kenapa
engkau juga bisa?” demikian tanya Wan-jing dengan
heran dan terkejut.

“Pernahkah gurumu mengajarkan ilmu ini
kepadamu?” tanya Cing-sun dengan tersenyum getir.

“Tidak pernah,” sahut si gadis. “Suhu bilang
kepandaianku belum cukup masak untuk berlatih ilmu
pukulan ini. Pula, Suhu menyatakan ilmu pukulannya ini
pasti takkan diturunkan pada orang lain, kelak akan
dibawa serta ke liang kubur.”

“O, jadi dia bilang takkan mengajarkannya pada orang
lain dan akan dibawa serta ke liang kubur kelak?” Cingsun
menegas.

“Ya,” sahut Wan-jing. “Cuma Suhu masih sering
melatihnya di luar tahuku, karena itu diam-diam aku
sudah sering melihatnya juga.”

“Dia sering berlatih ilmu pukulan ini seorang diri?”
Cing-sun menegas pula.

Wan-jing mengangguk, sahutnya, “Ya, setiap kali
Suhu berlatih ilmu pukulan ini, tentu dia uring-uringan
dan mendamprat aku. Tapi ken ... kenapa kau pun bisa?
Eh, malahan engkau seperti lebih pandai memainkannya
daripada guruku.”

478




Toan Cing-sun menghela napas, katanya, “Ilmu ‘Ngolo-
gin-yan-ciang’ ini akulah yang mengajarkan kepada
Suhumu.”

Wan-jing terkejut, tapi ia percaya. Sebab setiap kali
gurunya berlatih pukulan ini, sering kali diperlukan duatiga
kali gerakan baru dapat memadamkan api lilin. Tapi
Toan Cing-sun cukup sekali kebas sudah bisa sirapkan
api lilin, geraknya indah dan dilakukan seperti seenaknya
saja. Maka dengan tak lancar ia tanya pula, “Jadi engkau
adalah gurunya Suhuku? Engkau adalah ... adalah kakek
guruku?”

“Bukan!” sahut Tin-lam-ong dengan menggeleng
kepala. Kemudian ia komat-kamit sendiri sambil
bertopang dagu, “Setiap kali dia berlatih tentu uringuringan
dan menyatakan ilmu ini takkan diajarkan pada
orang lain, tapi akan dibawa ke liang kubur ....”

“Dan bagaimana engkau ....?”

Baru Wan-jing hendak tanya, tiba-tiba Toan Cing-sun
menggoyang tangan mencegahnya supaya jangan
bersuara. Lewat sebentar, ia tanya pula, “Tahun ini kau
berumur 18, kau lahir dalam bulan sembilan, betul tidak?”

“He, dari mana kau tahu? Engkau pernah hubungan
apa dengan Suhuku?” tanya Wan-jing heran.

Maka tertampaklah air muka Toan Cing-sun penuh
rasa derita, dengan suara parau ia menjawab, “Aku
merasa ber ... berdosa pada gurumu, berdosa pula ...
padamu, Wan-jing, kau ....”

479




“Ada apa?” sahut si nona. “Kulihat engkau ini sangat
ramah tamah, sangat baik.”

“Apakah nama gurumu tak pernah diberitahukan
padamu?” tanya Cing-sun pula.

“Suhu bilang namanya ‘Bu-beng-khek’, tapi
sebenarnya she apa dan namanya siapa, aku tidak
mengetahuinya.”

“Bagaimana penghidupan gurumu selama bertahuntahun
ini? Di mana kalian tinggal?” tanya Cing-sun lebih
jauh.

“Kami tinggal di balik suatu gunung yang tinggi dan
tidak pernah bertemu dengan siapa pun, sejak kecil aku
pun demikian.” sahut si gadis.

“Siapakah ayah-bundamu, apakah tak diberi tahu oleh
gurumu?”

“Kata Suhu, aku adalah anak piatu yang dibuang oleh
orang tua, Suhu menemukan aku di tepi jalan.”

“Kau benci pada ayah-bundamu atau tidak?”

Bok Wan-jing tidak lantas menjawab, ia menggigitgigit
kuku jarinya, berpikir sambil miringkan kepala.

Melihat sikap demikian itu, tak tertahan lagi hati Toan
Cing-sun menjadi pilu dan meneteskan air mata.

Wan-jing tambah heran melihat pangeran itu
menangis, tanyanya, “He, kenapa engkau menangis?”

480




Lekas Tin-lam-ong berpaling dan mengusap air
matanya, lalu paksakan diri tertawa dan menjawab, “Ah,
masakah aku menangis? Karena pengaruh arak, mataku
menjadi pedas!”

Sudah tentu si gadis tak percaya, katanya, “Terang
kulihat engkau menangis. Biasanya cuma wanita yang
menangis, jadi laki-laki juga bisa menangis? Aku tak
pernah melihat orang laki-laki menangis, kecuali anak
kecil.”

Melihat gadis itu sama sekali tidak mengerti
peradaban orang hidup, Tin-lam-ong menjadi lebih
terharu, katanya kemudian, “Wan-jing, harus kujaga baikbaik
dirimu barulah dapat sekadar mengganti
kesalahanku yang lalu, adakah sesuatu cita-citamu, coba
katakan padaku, pasti akan kulaksanakan sepenuh
tenaga bagimu.”

Sebenarnya hati Bok Wan-jing kebat-kebit karena
habis memanah nyonya Toan, tapi demi mendengar
ucapan Toan Cing-sun ini, ia menjadi girang, serunya,
“Jadi engkau tidak marah lagi karena aku memanah
istrimu?”

“Justru seperti apa yang kau katakan tadi, ‘budi guru
mahatinggi, perintah guru sukar dibantah’, urusan orang
tua masa dahulu tiada sangkut pautnya dengan dirimu,
maka aku takkan marah padamu. Cuma lain kali jangan
lagi kurang sopan kepada istriku.”

“Tapi kelak bila ditanya Suhuku lantas bagaimana?”
kata Wan-jing.

481




“Bawalah aku menemui gurumu, biar kubicara
padanya,” kata Cing-sun.

“Bagus!” seru Wan-jing dengan girang sambil
bertepuk tangan. Tapi segera ia berkata pula dengan
berkerut kening, “Namun guruku sering bilang bahwa
laki-laki di dunia ini semuanya berhati palsu. Selamanya
dia tidak sudi menemui orang laki-laki.”

Sekilas Cing-sun mengunjuk rasa heran, tanyanya
cepat, “Gurumu selamanya tidak mau bertemu dengan
orang laki-laki?”

“Ya, untuk keperluan sehari-hari, Suhu selalu suruh
pelayan perempuan tua yang melakukannya,” sahut
Wan-jing. “Satu kali, pelayan tua itu sakit dan suruh
putranya mewakili belanja keperluan dapur, Suhu
menjadi marah dan suruh dia taruh jauh-jauh di luar pintu
dan melarangnya masuk ke rumah.”

“Ai, Ang-bian! Buat apa engkau menyiksa diri begitu?”
demikian gumam Cing-sun sambil menghela napas.

“Kau sebut ‘Ang-bian’ lagi, sebenarnya siapakah
gerangan ‘Ang-bian’ itu?” tanya Wan-jing.

“Urusan ini tak dapat membohongimu selamanya,
biarlah kukatakan padamu. Gurumu asalnya bernama
Cin Ang-bian, orang memberi julukan Siu-lo-to (si Hantu
Ayu) padanya.”

“O, kiranya begitu! Pantas begitu melihat caraku
membidikkan panah, nyonyamu lantas tanya aku pernah

482




hubungan apa dengan Siu-lo-to Cin Ang-bian. Tatkala itu
aku benar-benar tidak tahu, jadi bukan sengaja berdusta.
Kiranya guruku bernama Cin Ang-bian. Ehm, indah benar
namanya!”

“Tadi aku telah puntir tanganmu, masih sakit tidak
sekarang?” tanya Cing-sun dengan menyesal.

Melihat sikap pangeran itu begitu ramah tamah,
dengan tersenyum Wan-jing menjawab, “Sekarang sudah
baik. Marilah kita pergi menjenguknya? Kukhawatir racun
panahku itu belum lagi bersih dari lukanya.”

“Baiklah.” sahut Cing-sun sambil berbangkit. Lalu
katanya pula, “Kau mempunyai keinginan apa, coba
katakan padaku.”

Paras Bok Wan-jing menjadi merah jengah, ia
menunduk dan menyahut, “Sesudah ... sesudah kupanah
istrimu, kukhawatir dia ... dia akan marah padaku.”

“Kita minta maaf padanya, boleh jadi dia takkan
marah lagi,” kata Cing-sun.

“Sebenarnya aku tidak pernah minta maaf pada siapa
pun juga. Tapi demi Toan-long, tidak apalah biar kuminta
ampun padanya kelak,” habis ini, tiba-tiba Wan-jing
memberanikan diri dan berkata pula, “Tin-lam-ong,
apabila kukatakan cita-citaku, apa benar engkau akan ...
akan melaksanakannya bagiku?”

“Sudah tentu, asal tenagaku mampu untuk
melakukannya, pasti akan kulaksanakan bagimu,” sahut
Cing-sun.

483




“Apa yang kau katakan ini, jangan kau mungkir janji,”
ujar Wan-jing.

Tin-lam-ong tersenyum, ia mendekati si gadis dan
membelai rambutnya dengan penuh rasa kasih sayang,
jawabnya, “Aku pasti takkan mungkir janji.”

“Baiklah, jika begitu, urusan pernikahan kami harap
engkau melaksanakannya, dia tidak boleh mengingkari
janji dan berhati palsu,” habis mengucapkan kata-kata ini,
wajah Wan-jing tampak berseri-seri.

Sebaliknya air muka Toan Cing-sun berubah guram
dan perlahan menyurut mundur, lalu jatuhkan diri di atas
kursinya dengan lesu. Sampai lama sekali tetap tidak
bicara.

Melihat gelagatnya kurang benar, segera Bok Wanjing
mendesak lebih jauh, “Engkau ... engkau
menyanggupi tidak?”

“Tidak, kau pasti tidak boleh menikah dengan Ki-ji,”
sahut Cing-sun kemudian dengan suara parau berat, tapi
tegas.

Seketika hati Bok Wan-jing menjadi dingin, seakanakan
diguyur seember air, tanyanya dengan terputusputus,
“Sebab apa? Se ... sebab? Dia ... dia sendiri
sudah berjanji padaku.”

Tapi Toan Cing-sun hanya menjawab singkat,
“Karma, karma!”

484




Wan-jing semakin gugup, serunya, “Jika dia tidak mau
lagi padaku, aku ... aku lantas membunuhnya, lalu ... lalu
membunuh diri. Sebab aku telah ... telah bersumpah di
hadapan Suhu.”

“Tidak bisa!” sahut Cing-sun sambil geleng kepala
perlahan.

“Mengapa tidak? Biar kutanya dia!”

“Ki-ji sendiri pun tidak tahu,” ujar Cing-sun. Dan ketika
melihat rasa duka si gadis yang memilukan itu mirip
benar dengan kejadian 18 tahun yang lalu, di mana
ketika mendadak Cin Ang-bian mendengar berita duka,
tidak bisa menahan perasaannya lagi, tercetuslah dari
mulutnya, “Kau tak boleh menikah dengan Ki-ji, juga tak
boleh membunuhnya!”

“Sebab apa?”

“Sebab ... sebab Toan Ki adalah kakakmu sendiri!”

Seketika mata Bok Wan-jing terbelalak lebar, sungguh
ia tidak percaya pada telinga sendiri, tanyanya dengan
suara gemetar, “Ap ... apa katamu? Kau ... kau bilang
Toan-long adalah kakakku?”

“Ya,” sahut Cing-sun tegas. “Wan-jing, apa kau tidak
tahu siapakah sebenarnya gurumu itu? Dia adalah ibu
kandungmu dan aku ini ayahmu!”

Terperanjat dan gusar tak terhingga rasa Bok Wanjing
hingga wajahnya pucat pasi, katanya dengan

485




terputus-putus, “Aku tidak ... tidak percaya, aku tidak
percaya!”

Sekonyong-konyong terdengar seorang menghela
napas panjang di luar jendela, lalu suara seorang wanita
berkata, “Wan-jing, marilah kita pulang saja!”

“Hei, Suhu!” teriak Wan-jing sambil putar tubuh
dengan cepat.

“Srek,” mendadak jendela terbuka, maka
tertampaklah di luar berdiri seorang wanita setengah
umur, berwajah bulat telur, alis lentik, mata jeli, parasnya
sangat cantik, sinar matanya bercahaya bengis
menandakan kekerasan hatinya.

Melihat bekas kekasihnya, yaitu Siu-lo-to Cin Angbian
mendadak muncul di situ, Toan Cing-sun kaget dan
girang, serunya keras, “Ang-bian, Ang-bian! Selama
beberapa tahun ini, entah betapa aku merindukan dikau!”

Namun Cin Ang-bian tidak menjawab, katanya pula
kepada Bok Wan-jing, “Wan-jing, marilah keluar! Rumah
manusia yang tipis budi dan berhati palsu, jangan tinggal
terlalu lama di sini!”

Melihat sikap sang guru terhadap Toan Cing-sun itu,
perasaan Bok Wan-jing menjadi lebih tertekan, serunya
tak lancar, “Suhu, dia ... dia dusta padaku, katanya
engkau adalah ... adalah ibuku dan dia ... dia ayahku.”

“Ibumu sudah lama meninggal, begitu pula ayahmu,”
sahut Cin Ang-bian dengan dingin.

486




Mendadak Toan Cing-sun berlari ke ambang jendela,
serunya dengan suara memohon, “Ang-bian, marilah
masuk ke sini, biar kupandang engkau barang sebentar.
Jangan lagi engkau tinggalkan daku, marilah selanjutnya
kita hidup berdampingan bersama.”

Tiba-tiba sinar mata Cin Ang-bian berkilat-kilat,
tanyanya, “Kau bilang kita akan hidup berdampingan
untuk selama-lamanya? Benar demikian maksudmu?”

“Ya, benar, benar!” sahut Cing-sun. “O, Ang-bian,
selama ini tidak pernah sedetik pun kulupakan dikau.”

“Tapi apa engkau tega meninggalkan Si Pek-hong?”
tanya Ang-bian.

Cing-sun tertegun, ia ragu dan tidak bisa menjawab,
wajahnya mengunjuk rasa serbasulit.

Maka Cin Ang-bian berkata pula, “Bila engkau masih
menaruh kasihan kepada putri kita ini, maka marilah
engkau ikut pergi bersamaku dan selanjutnya tidak boleh
ingat lagi pada Si Pek-hong, untuk selama-lamanya
jangan pulang lagi ke sini.”

Mengikuti percakapan itu, perasaan Bok Wan-jing jadi
semakin tenggelam, makin tertekan, air matanya berkilau
di kelopak matanya hingga bayangan sang guru dan
Toan Cing-sun tampak samar-samar.

Sekarang ia yakin bahwa kedua orang di hadapannya
ini memang benar-benar adalah ayah-bunda kandung
sendiri. Dan yang lebih memukul perasaannya adalah
kekasih yang selama ini dicintainya itu ternyata adalah

487




saudara laki-laki sendiri dari satu ayah lain ibu. Maka
segala impian muluk yang pernah dibayangkan olehnya
selama ini dalam sekejap saja telah buyar sirna semua!

Terdengar Toan Cing-sun menjawab, “Tapi, Ang-bian,
aku adalah ... adalah Tin-lam-ong kerajaan Tayli ini, aku
memegang kekuasaan militer dan sipil, sebentar ...
sebentar pun tak boleh meninggalkannya ....”

“Delapan belas tahun yang lalu kau bilang demikian,
delapan belas tahun kemudian engkau tetap berkata
begini, Toan Cing-sun, wahai Toan Cing-sun, engkau
manusia berhati palsu dan tipis budi ini, aku benci ...
benci padamu ....” demikian mendadak Cin Ang-bian
mendamprat dengan suara bengis.

Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar di atas rumah
sebelah timur sana ada suara orang bertepuk tangan
beberapa kali, lalu dari sebelah barat juga ada orang
membalas dengan bertepuk tangan, begitu pula dari
kedua jurusan yang lain.

Menyusul mana lantas terdengar suara Ko Sing-thay
dan Leng Jian-li sedang berseru, “Ada musuh! Para
saudara harap jaga di tempat masing-masing dan jangan
sembarangan bergerak.”

Melihat keadaan mulai genting, segera Cin Ang-bian
membentak, “Wan-jing, kenapa kau belum keluar?”

Wan-jing mengiakan dan melayang keluar jendela
dan menubruk ke pangkuan sang guru merangkap
ibunda tercinta.

488




“Ang-bian, apa benar-benar engkau akan
meninggalkan aku begini saja?” tanya Cing-sun. Ketika ia
pandang ke atas rumah, ternyata di empat penjuru sudah
penuh terjaga dengan orang.

Hendaklah diketahui bahwa di dalam istana pangeran
Tin-lam-ong ini banyak berkumpul tamu terhormat, tidak
sedikit jago silat kelas tinggi yang mengabdi di bawahnya
dan dipimpin oleh Sian-tan-hou Ko Sing-thay bersama
tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, maka sekali ada tanda
bahaya, serentak para jago itu lantas siap siaga di
tempatnya masing-masing.

Tiba-tiba Cin Ang-bian menjawab dengan suara
rawan, “Sun-ko, sudah berpuluh tahun engkau menjadi
Ongya, rasanya juga sudah cukup. Marilah ikut padaku,
selanjutnya aku akan menurut pada segala keinginan
dan perintahmu, sekecap pun aku takkan memakimu dan
sedikit pun aku takkan memukulmu. Lihatlah putri kita
yang cantik ini, masakah tidak disayang olehmu?”

Tergerak hati Toan Cing-sun, serunya tanpa pikir,
“Baik, aku ikut pergi bersamamu!”

Girang sekali Cin Ang-bian, ia ulurkan tangan kanan
menantikan jabatan tangan Toan Cing-sun.

Tapi mendadak terdengar suara seorang wanita
sedang berkata dengan dingin di belakang, “Cici, kembali
engkau diakali lagi. Paling-paling dia cuma
mempermainkan engkau beberapa hari saja, lalu pulang
ke sini pula untuk menjadi Ongya!”

489




Terguncang perasaan Toan Cing-sun demi mengenali
suara itu, serunya, “He, A Po, jadi engkau juga datang!”

Waktu Wan-jing berpaling, ia lihat orang yang bicara
itu adalah seorang wanita berbaju sutra hijau, ternyata
adalah Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok. Di belakangnya
terdapat pula tiga orang, yaitu Yap Ji-nio dan In Tiong-ho,
seorang lagi adalah Lam-hay-gok-sin yang sudah pergi
tadi, tahu-tahu kini kembali lagi. Bahkan yang lebih
mengejutkan Bok Wan-jing adalah Lam-hay-gok-sin itu
memondong pula seorang yang ternyata adalah Toan Ki.

“He, Toan-long, bagaimana engkau?” seru Wan-jing
khawatir.

Tadinya Toan Ki rebah di tempat tidurnya dalam
keadaan terluka, dalam keadaan sadar tak sadar, tibatiba
Lam-hay-gok-sin melompat masuk ke kamarnya
serta memondongnya lari. Saking kagetnya pikiran Toan
Ki menjadi sadar malah, sebab itulah ia dapat
mendengar sebagian percakapan antara ayahnya dan
Bok Wan-jing serta Cin Ang-bian. Meski tidak seluruhnya
dapat didengar, namun ia sudah dapat meraba sebagian
besar duduknya perkara.

Kini mendengar gadis itu masih memanggil dirinya
sebagai “Toan-long,” ia menjadi pilu, sahutnya dengan
rawan, “Moaycu (adikku), selanjutnya asalkan kita kakak
beradik selalu kasih sayang, bukankah serupa juga.”

“Tidak, jauh bedanya!” seru Wan-jing dengan gusar,
“Engkau adalah lelaki pertama yang telah melihat
wajahku.”

490




Tapi bila dia ingat bahwa pemuda itu adalah saudara
satu ayah dengan dirinya, betapa pun kakak dan adik
tidak mungkin boleh kawin. Bila dalam hal ini kekuatan
manusia yang coba merintangi pernikahan mereka, tentu
ia bisa binasakan orang itu dengan panah beracunnya.
Tapi kini yang menjadi pengalang mereka adalah takdir
Ilahi, biarpun setinggi langit ilmu silatnya atau
mempunyai kekuasaan juga tidak mampu
menghapusnya.

Seketika itu perasaan Bok Wan-jing serasa hampa.
Dalam keadaan putus asa, tanpa pikir ia melompat keluar
kamar terus berlari pergi.

“Wan-jing, Wan-jing! Hendak ke mana kau?” seru Cin
Ang-bian khawatir.

Namun Wan-jing tidak gubris lagi pada sang guru
merangkap ibunda tersayang itu, serunya, “Engkau bikin
susah padaku, aku takkan peduli padamu lagi.”

Berbareng itu, larinya bertambah cepat.

“Siapa itu?” tiba-tiba di depan mengadang seorang
pengawal istana.

Tanpa menjawab lagi Bok Wan-jing terus bidikkan
sebatang panah hingga mengenai tenggorokan
pengawal itu dan roboh terjungkal. Si gadis sendiri
setindak pun tidak berhenti, hanya dalam sekejap saja
bayangan tubuhnya yang ramping itu sudah menghilang
dalam kegelapan.

491




Melihat putranya digondol Lam-hay-gok-sin, Toan
Cing-sun menjadi khawatir, ia tidak urus lagi ke mana
putrinya lari pergi, tapi jarinya terus bekerja, kontan Lam-
hay-gok-sin hendak ditutuk.

Namun dari samping Yap Ji-nio menangkis sambil
memotong urat nadi pergelangan Cing-sun. Cepat
pangeran itu baliki tangannya untuk menangkap tangan
lawan, tapi tahu-tahu Yap Ji-nio malah menjentik
punggung tangan Cing-sun dengan jari tengahnya.

Begitulah dengan cepat lawan cepat, hanya sekejap
saja kedua orang sudah saling serang beberapa jurus.
Diam-diam Toan Cing-sun terkesiap, “Sungguh hebat
perempuan ini.”

“Toan Cing-sun!” tiba-tiba Cin Ang-bian berseru
sambil ulur tangan mengancam di atas kepala Toan Ki.
“Kau masih inginkan jiwa putramu atau tidak?”

Cing-sun terkejut, cepat ia berhenti menyerang lagi. Ia
cukup kenal wataknya Cin Ang-bian yang aneh, bencinya
kepada Si Pek-hong, yaitu istrinya sendiri sekarang ini
boleh dikata merasuk tulang, maka bukan mustahil bila
jiwa Toan Ki benar ditamatkan olehnya. Cepat ia
menjawab, “Ang-bian, luka anakku sangat parah karena
dipanah oleh putrimu.”

“Dia sudah diberi obat penawar, takkan mati, biarlah
sementara ini aku membawanya pergi,” demikian kata
Cin Ang-bian pula. “Dan kau boleh pilih, inginkan
putramu atau lebih suka tetap menjadi Ongya.”

492




“Hahahaha!” tiba-tiba Lam-hay-gok-sin terbahakbahak.
“Bocah ini akhirnya toh harus juga mengangkat
guru padaku!”

“Ang-bian,” sahut Cing-sun kemudian, “biarlah
kuterima segala permintaanmu, asal engkau bebaskan
putraku.”

Sebenarnya cinta Cin Ang-bian kepada Toan Cingsun
belum pernah tawar biarpun sudah lewat 18 tahun
lamanya. Maka demi mendengar ucapan Toan Cing-sun
yang penuh rasa khawatir itu, hatinya menjadi lemas,
sahutnya, “Apa ben ... benar engkau akan menurut
segala permintaanku?”

“Ya, ya!” seru Cing-sun tanpa pikir.

“Cici, jangan kau percaya lagi kepada laki-laki yang
berhati palsu ini,” tiba-tiba Ciong-hujin menyela, “Gaksiansing,
marilah kita pergi!”

Tanpa bicara lagi Lam-hay-gok-sin melompat ke atas,
sekali membalik badan di udara, ia tancap kaki di atas
rumah seberang sana, menyusul terdengar suara
gedebuk dua kali, Yap Ji-nio dan In Tiong-ho masingmasing
telah merobohkan dua jago pengawal istana
yang berusaha hendak merintangi Lam-hay-gok-sin.

Toan Cing-sun tahu meski mengerahkan antero
kekuatan penjaga istana belum tentu kawanan musuh itu
bisa dicegat. Namun keselamatan putranya sendiri
terancam, betapa pun tidak boleh bertindak gegabah,
tindakan kekerasan bukan tindakan yang baik, apalagi
dua wanita di hadapannya ini sangat luar biasa

493




hubungannya dengan dirinya. Maka terpaksa ia
menyahut dengan halus, “A Po, ken ... kenapa engkau
juga ikut-ikut memusuhi aku?”

“Aku adalah istri Ciong Ban-siu, jangan sembarangan
kau panggil, tahu?” seru Ciong-hujin.

“A Po, selama ini, sungguh aku sangat merindukan
dikau,” demikian Toan Cing-sun merayu pula.

Ciong-hujin menjadi terharu, matanya merah basah,
sikapnya berubah lunak seketika, sahutnya rawan,
“Tempo hari, begitu kulihat Toan-kongcu, segera aku ...
aku tahu dia adalah anakmu.”

“Sumoay, sekarang kau sendiri kena dibujuk olehnya!”
seru Cin Ang-bian.

“Ya, baiklah, mari kita pergi!” sahut Ciong-hujin sambil
tarik tangan Ang-bian. Lalu ia berpaling kepada Cingsun,
“Bila engkau menginginkan putramu dengan baikbaik,
bawalah Si Pek-hong sambil menyembah tiap
langkah pergi ke Ban-jiat-kok.”

“Ban-jiat-kok?” Cing-sun menegas.

Sementara itu dilihatnya Lam-hay-gok-sin sudah
makin jauh berlari pergi dengan menggondol Toan Ki. Ko
Sing-thay, Leng Jian-li dan lain-lain tampak sedang
mengudak dan mencegat dari berbagai jurusan.

Cing-sun menghela napas, serunya kemudian, “Kohiante,
biarkan mereka pergi!”

494




Sahut Ko Sing-thay, “Tapi Siauongya ....”

“Biarlah, perlahan kita cari akal lain,” kata Cing-sun.
Sembari bicara, ia terus memburu Ko Sing-thay dan
berkata pula, “Musuh sudah pergi, semua orang supaya
kembali ke tempatnya masing-masing.”

Habis itu, mendadak ia melompat ke samping Cionghujin,
katanya dengan suara halus, “A Po, baik-baikkah
engkau selama ini?”

“Sudah tentu, apa yang kurang baik?” sahut Cionghujin
ketus.

Sekonyong-konyong jari Toan Cing-sun terus bekerja,
secepat kilat ia telah tutuk “Tan-tiong-hiat” di dada
nyonya itu. Dalam keadaan tak berjaga-jaga, kontan
Ciong-hujin roboh.

Cepat Cing-sun tahan tubuh nyonya itu dengan
tangan kiri sambil pura-pura kaget dan berseru, “He, A
Po, ken ... kenapa engkau?”

Keruan Cin Ang-bian ikut terkejut, tanpa curiga ia
lantas mendekat dan tanya dengan khawatir, “Ada apa,
Sumoay?”

Dan tatkala Ang-bian berjongkok hendak memeriksa
keadaan Ciong-hujin, secepat kilat jari Toan Cing-sun
bekerja lagi, tepat Hiat-to Cin Ang-bian kena ditutuknya
juga.

Dalam keadaan tertutuk kaku, Cin Ang-bian dan
Ciong-hujin dipeluk oleh kedua belah tangan Toan Cing-

495




sun, mereka sama melototi pangeran bangor itu, dalam
hati masing-masing sama berpikir, “Ai, kembali aku
teperdaya lagi! Kenapa aku begini sembrono, dulu sudah
pernah masuk perangkapnya, mengapa sekarang aku
tertipu pula?”

Dalam pada itu Toan Cing-sun telah berkata pada Ko
Sing-thay, “Ko-hiante, lukamu belum sembuh, harap
engkau pulang ke kamarmu untuk mengaso saja. Jian-li,
kau pimpin kawan yang lain berjaga di sekitar sini.”

Dengan hormat Ko Sing-thay dan Leng Jian-li
mengiakan sambil membungkuk badan. Lalu Cing-sun
kempit kedua wanita itu kembali ke ruangan tadi dan
suruh koki menyediakan hidangan pula, perjamuan
segera diperbarui lagi.

Setelah selesai menyediakan santapan dan para
dayang sudah mengundurkan diri, Cing-sun tutuk pula
Hiat-to bagian kaki kedua tawanannya supaya mereka
tidak bisa berjalan, lalu melepaskan Hiat-to yang
ditutuknya semula.

Segera Cin Ang-bian berteriak sesudah bisa
bersuara, “Toan Cing-sun, sampai sekarang engkau
masih ingin menghina kami berdua?”

Toan Cing-sun berputar ke hadapan kedua wanita itu,
ia memberi hormat sambil berkata, “Maafkan aku berbuat
kasar, terimalah hormatku ini.”

“Siapa ingin kau beri hormat?” seru Cin Ang-bian
dengan gusar. “Lekas lepaskan kami!”

496




“Kita bertiga sudah belasan tahun tidak berjumpa,
kebetulan hari ini bisa berkumpul lagi, banyak sekali ingin
kubicarakan pada kalian,” demikian sahut Cing-sun.
“Ang-bian, ternyata watakmu masih keras begini. Dan
kau, A Po, makin lama engkau makin ayu, kenapa sedikit
pun tidak kentara tambah tua?”

“Lekas kau lepaskan aku,” teriak Ang-bian dengan
gusar sebelum Ciong-hujin berkata, “Kalau A Po makin
tua makin cantik, jadi aku makin tua makin jelek bukan?
Ayo lepaskan aku, buat apa kau tahan seorang nenek
jelek seperti aku?”

“Ang-bian,” kata Cing-sun dengan gegetun, “cobalah
engkau berkaca, bila engkau seorang nenek reyot dan
jelek, maka sastrawan yang biasa melukiskan kecantikan
wanita perlu ganti ungkapan menjadi sejelek bidadari.”

Karena geli, tak tertahan Cin Ang-bian mengikik tawa,
karena kaki tak bisa bergerak, terpaksa ia menggerutu,
“Huh, siapa yang ajak berguyon denganmu? Cengarcengir,
masa begitulah kelakuan seorang pangeran?”

Melihat sikap orang yang bersungut tapi menawan
hati itu, hati Cing-sun terguncang, terkenang olehnya
cinta kasih masa lampau, tak tertahan lagi ia mendekati
Cin Ang-bian, “ngok”, ia cium sekali pipi wanita itu.

Meski kakinya tak bisa bergerak, tapi tubuh bagian
atas Cin Ang-bian dapat bergerak dengan bebas, “plok”,
kontan ia persen sekali tamparan di muka pangeran
bangor itu.

497




Kalau mau menghindar sebenarnya tidak susah bagi
Toan Cing-sun, tapi ia sengaja menerima pukulan itu,
bahkan ia terus berbisik di telinga orang, “Mati digampar
Siu-lo-to, jadi setan juga rela!”

Seketika badan Cin Ang-bian tergetar mendengar itu,
air matanya bercucuran, ia menangis keras-keras,
ucapnya dengan parau, “Kembali ... kembali engkau
gunakan kata-kata demikian lagi.”

Kiranya pada masa dulu Cin Ang-bian pernah malang
melintang di kalangan Kangouw dengan sepasang
senjatanya yang berupa golok Siu-lo-to, karena itu juga ia
mendapat julukan dari nama senjatanya itu. Ketika
kesuciannya dirusak oleh Toan Cing-sun, kejadian itu
adalah mirip seperti sekarang, yaitu dicium dulu, lalu ia
tampar pipi pangeran itu, lalu ia lantas dirayu dengan
bisikan “mati di bawah Siu-lo-to, jadi setan pun rela”.

Kalimat itu entah sudah beratus ribu kali mengiang di
telinganya selama belasan tahun ini. Kini, mendadak
didengarnya pula dari mulut Toan Cing-sun, sungguh ia
merasa sangat bahagia dengan aneka macam perasaan
yang bercampur aduk.

“Suci, orang ini paling pandai merayu, pintar bermulut
manis, tapi jangan kau percaya lagi padanya,” tiba-tiba
Ciong-hujin memperingatkan sang Suci atau kakak
seperguruan.

“Ya, benar, aku tidak mau percaya lagi pada
bujukanmu!” demikian kata Ang-bian yang ditujukan
kepada Toan Cing-sun.

498




Tapi dengan cengar-cengir Toan Cing-sun lantas
mendekati Ciong-hujin, katanya, “A Po, kalau aku juga
‘ngok’ pipimu, boleh tidak?”

Keruan Ciong-hujin rada kelabakan dan khawatir,
dalam keadaan tak bisa berjalan, kalau orang benarbenar
berbuat seperti apa yang dikatakan, kan bisa
runyam.

Cepat ia berseru, “Tidak, jangan kurang ajar! Aku
adalah wanita bersuami, sekali-kali tidak boleh
kucemarkan nama baik suamiku, asal kau berani
menyentuh badanku, segera akan kugigit lidah sendiri
biar mati di hadapanmu.”

Melihat kata-kata itu diucapkan dengan nekat dan
sungguh-sungguh, Cing-sun tidak berani sembrono lagi,
tanyanya kemudian, “A Po, bagaimanakah macam
suamimu itu?”

“Suamiku sangat jelek, tabiatnya juga aneh, ilmu
silatnya jauh di bawahmu, orangnya tidak segagah
engkau pula, lebih-lebih tiada punya pangkat dan
kedudukan seperti dirimu. Namun demikian, dengan hati
suci murni ia mencintai aku, maka aku pun membalasnya
dengan sama baiknya. Bila aku berbuat sedikit
menyeleweng, itu berarti aku berdosa padanya, biarlah
aku terkutuk, untuk selama-lamanya tak bisa menjelma
kembali.”

Mau tak mau Toan Cing-sun menaruh hormat kepada
sikap tegas nyonya Ciong itu, maka ia tidak berani
mengungkat-ungkat peristiwa asmara masa lalu lagi.
Katanya kemudian, “Kalian telah menculik putraku,

499




sebenarnya apa maksud tujuan kalian? A Po, Ban-jiatkok
yang kau katakan itu letaknya di mana?”

“Jangan katanya padanya!” tiba-tiba seorang berkata
di luar jendela dengan suara serak.

Keruan Toan Cing-sun terkejut. Ia sudah perintahkan
Leng Jian-li dan kawan-kawannya berjaga di luar, kenapa
diam-diam ada orang asing menyusup sampai di luar
kamar situ?

Maka terdengar Ciong-hujin buka suara dengan
menarik muka, “Lukamu belum sembuh, buat apa
engkau menyusul kemari?”

Lalu terdengar pula suara seorang wanita sedang
berkata, “Silakan masuk, Ciong-siansing!”

Mendengar suara itu, Toan Cing-sun terlebih kejut
hingga air mukanya merah jengah. Dan begitu kerai
tersingkap, masuklah seorang wanita yang bukan lain
adalah Yau-toan-siancu, di belakangnya menyusul
seorang laki-laki bermuka sangat jelek, panjang mukanya
itu hingga mirip muka kuda. Itulah dia muka yang
istimewa dari Ciong Ban-siu, Kokcu atau pemilik lembah
Ban-jiat-kok.

Ciong-hujin menjadi heran demi tampak sang suami
mendadak juga datang ke situ, ternyata datangnya
bersama nyonya Toan alias Si Pek-hong itu.

Kiranya sesudah lama Bok Wan-jing berkelana dan
belum pulang, Cin Ang-bian menjadi khawatir, segera ia
keluar mencarinya ke tempat sang Sumoay, yaitu Ciong-

500




hujin dari Ban-jiat-kok, kemudian mereka berdua lantas
keluar pula mencari jejak Wan-jing.

Di tengah jalan mereka telah bertemu dengan Yap Jinio,
Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho. Ang-bian sudah
kenal dengan Yap Ji-nio, sebab di antara perguruan
mereka ada sedikit hubungan, cuma biasanya tidak
pernah saling bergaul. Ketika mendengar Bok Wan-jing
telah ikut pergi ke Tayli, segera “Sam-ok” itu ikut
menyusul ke situ.

Sebaliknya Ciong Ban-siu yang sangat mencintai
sang istri itu, rasa cemburunya juga sangat besar, sejak
sang istri pergi, ia menjadi tidak enak makan dan sukar
tidur, tanpa peduli lagi bahwa lukanya belum sembuh,
serta tak pikir bahwa selama ini dirinya pura-pura mati
dan mengasingkan diri di lembah sunyi itu, segera ia
berangkat menyusul sang istri.

Sampai di luar istana pangeran, kebetulan ia pergoki
Si Pek-hong sedang berlari keluar dengan marah-marah,
begitu kepergok, segera kedua orang saling gebrak.
Tengah sengit pertarungan mereka, tiba-tiba sesosok
bayangan orang berbaju hitam melayang lewat di
samping mereka, orang itu tampak menutupi mukanya
sambil menangis, ternyata Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.

Melihat gadis itu, Ciong Ban-siu menjadi khawatir atas
diri sang istri, katanya segera, “Paling penting harus
kucari istriku dulu, aku tiada tempo buat menempurmu
lagi.”

“Ke mana hendak kau cari istrimu?” tanya Si Pekhong.


501




“Ke rumah si bangsat Toan Cing-sun,” sahut Ciong
Ban-siu. “Bila istriku ketemu Toan Cing-sun, wah, bisa
runyam!”

“Sebab apa bisa runyam?” tanya Pek-hong pula.

“Toan Cing-sun bermulut manis, pintar membujuk
rayu, ia seorang hidung belang ahli pikat wanita, harus
kubunuh dia nanti!” sahut Ban-siu gemas.

Diam-diam Si Pek-hong pikir sang suami sudah
berumur lebih empat puluh, jenggotnya sudah panjang,
masakah disamakan pemuda hidung belang segala?
Tapi tentang sifat sang suami yang memang bangor itu,
ia percaya kepada apa yang dikatakan orang bermuka
kuda itu.

Segera ia coba tanya nama dan asal usul suami-istri
Ciong Ban-siu. Dan ketika mengetahui Ciong-hujin
adalah salah satu bekas kekasih sang suami, Pek-hong
menjadi curiga, segera ia lari kembali ke istana bersama
Ciong Ban-siu.

Meski waktu itu penjagaan di sekitar Tin-lam-onghu
dilakukan dengan sangat ketat, tapi demi tampak Onghui,
para pengawal tidak berani merintangi. Sebab itulah Si
Pek-hong dan Ciong Ban-siu dapat mendekati ruangan
belakang tanpa sesuatu peringatan dari para penjaga.
Dan dengan sendirinya bujuk rayu Toan Cing-sun
kepada Cin Ang-bian dan Ciong-hujin yang dilakukan
dengan cengar-cengir dapat didengar semua oleh kedua
orang di luar jendela itu.

502




Keruan hampir-hampir meledak dada Si Pek-hong
saking gusarnya oleh kelakuan sang suami itu.
Sebaliknya Ciong Ban-siu girang tidak kepalang
mendengar istrinya sedemikian teguh imannya.

Cepat Ciong Ban-siu lari ke samping sang istri
dengan rasa kasih sayang tercampur girang, ia terus
mengitar kian kemari mengelilingi sang istri sambil
berkata, “Biar, bila dia berani menghina engkau, segera
aku adu jiwa dengan dia!”

Dan selang sejenak, baru teringat olehnya bahwa
Hiat-to sang istri masih tertutuk, segera ia berpaling
kepada Toan Cing-sun dan berkata, “Lekas, lekas
lepaskan Hiat-to istriku!”

“Kalian telah menculik putraku, asal putraku itu kalian
bebaskan lebih dulu, dengan sendirinya akan kulepaskan
istrimu,” demikian sahut Cing-sun.

Saking khawatir cepat Ciong Ban-siu memijat dan
menepuk pinggang sang istri, tapi biarpun Lwekangnya
sangat tinggi, betapa pun ia tak mampu memunahkan
tutukan “It-yang-ci” keluarga Toan yang tiada
bandingannya itu.

Sebaliknya karena dipijat dan ditepuk, Ciong-hujin
menjadi sakit dan geli, sedang Hiat-to kaki yang tertutuk
itu belum lagi bebas, maka omelnya, “Tolol, bikin malu
saja!”

Terpaksa Ciong Ban-siu berhenti dengan kikuk,
saking dongkolnya, terus saja ia membentak, “Toan

503




Cing-sun, marilah maju, biar kita bertempur 300 jurus
dulu!”

Sembari gosok-gosok kepalan segera ia hendak
melabrak Toan Cing-sun.

Namun Ciong-hujin telah berkata, “Toan-ongya,
putramu diculik oleh Lam-hay-gok-sin dan begundalnya,
biarpun suamiku minta mereka bebaskan putramu belum
tentu mereka mau menurut. Tapi kalau aku dan Suci
sudah pulang dan mencari kesempatan untuk menolong,
mungkin ada harapan. Paling sedikit putramu takkan
dibikin susah oleh mereka!”

“Tapi aku tidak percaya,” sahut Cing-sun sambil
menggeleng kepala. “Ciong-siansing, silakan pulang
saja, bawalah putraku kemari untuk ditukar dengan
istrimu.”

Ciong Ban-siu menjadi gusar, teriaknya, “Istanamu ini
tempat cabul dan kotor, kalau istriku ditinggalkan di sini,
wah, berbahaya!”

Muka Toan Cing-sun menjadi merah, bentaknya,
“Tutup mulutmu! Berani mengoceh tidak keruan lagi,
jangan menyesal bila aku berlaku kasar.”

Sejak masuk tadi Si Pek-hong diam saja, kini
mendadak menyela, “Kau ingin menahan kedua wanita di
sini, sebenarnya apa maksud tujuanmu? Untuk
kepentingan sendiri atau demi keselamatan Ki-ji?”

Cing-sun menghela napas, sahutnya, “Ternyata
engkau juga tidak percaya padaku.”

504




Mendadak ia menutuk pinggang Cin Ang-bian untuk
melepaskan jalan darahnya. Menyusul segera hendak
menutuk juga pinggang Ciong-hujin.

Tapi cepat Ciong Ban-siu mengadang di depan sang
istri sambil goyang kedua tangannya kepada Toan Cingsun,
katanya, “Jangan kau main pegang-pegang badan
wanita, orang macam kau suka main cubit, tubuh istriku
tidak boleh kau sentuh!”

“Namun istrimu tertutuk, biarpun kepandaianku tidak
berarti, tapi cara Tiam-hiat ini tak dapat ditolong oleh
orang lain, kalau terlalu lama, mungkin kedua kaki istrimu
akan cacat,” ujar Cing-sun tersenyum mendongkol.

Ban-siu menjadi murka, dampratnya, “Bila istriku yang
cantik molek ini benar-benar menjadi cacat, pasti akan
kucencang juga putramu.”

“Kau ingin kulepaskan Hiat-to istrimu, tapi melarang
aku menyentuh tubuhnya pula, lantas bagaimana aku
harus berbuat?” ujar Cing-sun tertawa.

Ban-siu bungkam tak bisa menjawab, sekonyongkonyong
ia menjadi gusar, bentaknya, “Habis, mengapa
kau tutuk dia tadi? He, wah, celaka! Kalau begitu, waktu
kau tutuk dia tadi tentu sudah menyentuh tubuhnya. Biar
aku pun menutuk sekali tubuh istrimu!”

“Kembali engkau ngaco-belo tak keruan!” omel Cionghujin
sambil melototi sang suami.

“Habis, aku tidak mau dirugikan!” sahut Ban-siu.

505




Tengah ribut-ribut, tiba-tiba tirai tersingkap, dengan
langkah perlahan masuk seorang berjubah sutra kuning,
berjenggot cabang tiga, alis panjang, mata besar, muka
putih, itulah dia Toan Cing-beng, raja Po-ting-te dari
negeri Tayli.

“Hong-heng (kakak baginda)!” segera Cing-sun
menyapa.

Po-ting-te mengangguk tanpa menjawab, tiba-tiba dari
jauh ia angkat jarinya menutuk pinggang Ciong-hujin,
samar-samar seperti ada seutas benang putih mirip asap
terpancar dari ujung jarinya ke samping pinggang nyonya
itu. Seketika Ciong-hujin merasa perutnya hangat, dua
arus hawa panas terus mengalir ke kaki, cepat darahnya
berjalan dengan lancar dan bisa berdiri dengan leluasa.

Melihat raja Tayli itu mengunjukkan ilmu sakti “Kehkong-
kay-hiat” atau membuka jalan darah dari tempat
jauh, saking kagum dan kagetnya sampai Ciong Ban-siu
ternganga tak bisa bicara, sungguh tak tersangka
olehnya bahwa di dunia ini ada orang memiliki
kepandaian sedemikian hebatnya.

“Hong-heng,” kata Cing-sun kemudian, “Ki-ji telah
digondol lari oleh mereka!”

Po-ting-te mengangguk, sahutnya, “Ya, Sian-tan-hou
sudah lapor padaku. Adik Sun, kalau keturunan keluarga
Toan kita ada yang jatuh di tangan musuh, tentu orang
tua atau pamannya yang harus pergi menolongnya, kita
jangan menahan orang lain sebagai sandera.”

506




Muka Toan Cing-sun menjadi merah, sahutnya
membenarkan ucapan kakak bagindanya itu.

Ucapan Po-ting-te itu sangat gagah penuh harga diri,
yaitu merasa merosotkan pamor keluarga Toan bila adik
pangeran itu menahan musuh sebagai jaminan
keselamatan putranya. Dan sesudah merandek sejenak,
kemudian katanya pula, “Sekarang silakan kalian pergi
saja. Dalam tiga hari, keluarga Toan tentu ada orang
akan mengunjungi Ban-jiat-kok.”

“Tapi tempat Ban-jiat-kok kami itu sangat
dirahasiakan, kalian belum tentu mampu
menemukannya, untuk mana perlukah kuberi tahukan
tempatnya?” tanya Ciong Ban-siu. Dalam hati ia berharap
Po-ting-te akan minta diberitahukan tempatnya itu, dan
kalau lawan tanya, ia justru tidak mau menerangkan.

Tak tersangka Po-ting-te tidak gubris pertanyaannya
itu, sekali mengebas lengan baju, katanya pula,
“Antarkan tamu keluar!”

Ciong Ban-siu sendiri berjuluk “Kian-jin-ciu-sat” atau
melihat orang lantas membunuh, suatu tanda sifatnya
yang kejam tak kenal ampun, dengan sendirinya
wataknya sangat keras, terutama pada waktu sebelum
dia mengasingkan diri, namanya sangat ditakuti oleh
orang Kangouw umumnya, asal mendengar
kedatangannya, setiap orang tentu kebat-kebit khawatir
dibunuh olehnya.

Sebab itulah, maka Sikong Hian, itu ketua dari Sin-
long-pang menjadi sangat ketakutan juga ketika
mengetahui bahwa Ciong Ling adalah putri Ciong Ban-

507




siu. Tapi berdiri di depan Po-ting-te yang berwibawa itu,
aneh juga, gembong iblis yang tak kenal apa artinya
takut itu menjadi jeri dengan sendirinya dan bingung.
Begitu mendengar Po-ting-te bilang antar tamu pergi,
segera ia berseru, “Baik, marilah kita pergi! Hm,
selamanya aku paling benci pada orang she Toan, tiada
seorang she Toan pun di dunia ini adalah manusia baikbaik!”


Habis bicara, ia gandeng tangan sang istri terus
melangkah keluar dengan marah-marah.

“Cici, marilah kita pergi!” demikian Ciong-hujin
menjawil lengan baju Cin Ang-bian.

Sekilas Cin Ang-bian memandang Toan Cing-sun, ia
lihat pangeran itu berdiri terpaku dengan bungkam,
hatinya menjadi pedih, dengan mata basah dan gemas ia
melotot sekali ke arah Si Pek-hong, lalu ikut pergi dengan
menunduk.

Begitu keluar ruangan, segera ketiga orang melompat
ke atas wuwungan rumah.

Di atas emperan situ sudah berdiri Ko Sing-thay, ia
membungkuk tubuh sambil berkata, “Selamat jalan!”

“Cuh!” Ciong Ban-siu meludah dengan sengit. “Huh,
munafik, tiada satu pun manusia baik-baik!”

Dengan cepat mereka melompat pergi melintasi
rumah sekitar situ, ketika kompleks istana pangeran itu
hampir habis dilalui, tinggal melintasi pagar tembok luar
saja, segera Ciong Ban-siu genjot tubuh sekuatnya, kaki

508




kiri hendak berpijak di atas pagar tembok kurung istana
pangeran itu.

Tak tersangka, mendadak di depan bertambah
seorang yang persis berdiri di atas pagar tembok tempat
yang akan dipijaknya itu.

Orang itu berjubah longgar, ikat pinggangnya kendur,
siapa lagi kalau bukan Ko Sing-thay yang tadi berdiri di
emper istana sana, entah dari mana tahu-tahu sudah
mendahului berada di hadapan Ciong Ban-siu, bahkan
begitu tepat perhitungannya bahwa tempat itulah yang
akan dipijak oleh kaki Ciong Ban-siu, maka ia
mendahului mengadang di situ.

Dalam keadaan tubuh terapung di udara, untuk
mundur lagi terang tidak mungkin, membelok ke jurusan
lain juga tak bisa, keruan Ciong Ban-siu kelabakan,
terpaksa ia sodok kedua tangannya ke depan sambil
membentak, “Minggir!”

Dengan tenaga sodokan kedua tangan yang bisa
menghancurkan batu itu, Ban-siu taksir bila lawan
menangkis, tentu lawan itu akan terpental ke bawah.
Andaikan tenaga lawan sama kuatnya dengan dirinya,
paling sedikit juga dapat meminjam tenaga aduan itu
untuk bergeser ke atas pagar tembok di sampingnya.

Sungguh tak tersangka, ketika kedua tangan hampir
menyodok dada orang, sekonyong-konyong Ko Sing-thay
doyongkan tubuh ke belakang, dengan separuh tubuh
terapung Ko Sing-thay gunakan gerakan “Tiat-pan-kio”
atau jembatan papan baja, hanya kedua kakinya yang
menancap di atas tembok. Dan karena tubuhnya

509




mendoyong ke belakang itulah, ia dapat menghindarkan
tenaga sodokan Ciong Ban-siu yang hebat itu.

Sekali menyerang tidak kena, diam-diam Ciong Bansiu
mengeluh bisa celaka. Sementara itu tubuhnya sudah
melayang lewat di atas tubuh Ko Sing-thay yang
mendoyong ke belakang itu. Dalam keadaan begitu,
Ciong Ban-siu takkan mampu berbuat apa-apa bila
diserang oleh Ko Sing-thay.

Untung baginya sama sekali Ko Sing-thay tidak
melontarkan serangan hingga dengan selamat Ciong
Ban-siu dapat menancapkan kakinya di tanah. Menyusul
mana Cin Ang-bian dan Ciong-hujin juga melompat
keluar.

Sementara itu Ko Sing-thay sudah berdiri tegak lagi di
atas pagar tembok dengan gagah, katanya, “Maaf tidak
mengantar lebih jauh!”

Ban-siu menjengek, mendadak celananya melorot ke
bawah, hampir ia kedodoran di depan umum, untung
cepat ia sempat menariknya ke atas lagi. Baru sekarang
ia tahu bahwa tali kolornya telah putus.

Rupanya tadi waktu melayang lewat di atas tubuh Ko
Sing-thay, tali kolor celananya kena diputus orang. Coba
bayangkan, bila bukan Ko Sing-thay sengaja murah hati,
sekali tutuk di bagian Hiat-to penting, mungkin jiwanya
sudah melayang sejak tadi.

Mengingat itu, Ciong Ban-siu tidak berani lama-lama
lagi tinggal di situ, cepat ia ajak sang istri dan Cin Angbian
meninggalkan Tayli ....

510




*****

Kembali bercerita tentang Hiang-yok-jeh Bok Wanjing.


Ketika berlari keluar dari istana Tin-lam-ong sambil
mendekap mukanya, meski kepergok dan ditegur oleh Si
Pek-hong dan Ciong Ban-siu, namun ia tidak ambil peduli
dan berlari terus ke depannya tanpa tujuan.

Ia lari di lereng gunung dan hutan belukar, sampai
fajar sudah menyingsing baru merasakan kedua kakinya
linu pegal, ia berhenti sambil bersandar pada pohon
besar, mulutnya komat-kamit sendiri, “Lebih baik aku
mati saja, lebih baik aku mati saja!”

Meski hatinya penuh rasa benci dan sesal, tapi ia
tidak tahu siapa yang harus dibencinya.

“Toan-long tidak mengingkari diriku, soalnya karena
takdir Ilahi, ia justru adalah saudaraku sendiri satu ayah.
Sedang guruku sendiri ternyata adalah ibu kandungku.
Selama belasan tahun ini dengan susah payah ibu telah
membesarkan aku, budi sebesar itu mana dapat
kusalahkan dia?

“Adapun Tin-lam-ong Toan Cing-sun itu adalah
ayahku, meski dia berdosa kepada ibu, namun bukan
mustahil di dalam persoalannya ada banyak kesulitan

511




yang sukar dijelaskan. Dia sangat ramah dan kasih
sayang padaku, katanya kalau aku mempunyai sesuatu
cita-cita, beliau pasti akan berusaha untuk memenuhi
harapanku.

“Tetapi untuk persoalanku ini beliau justru tak mampu
berbuat apa-apa. Sebabnya ibu tak bisa menikah dengan
ayah mungkin disebabkan adanya rintangan Si Pekhong,
maka ibu menyuruh aku membunuhnya. Tapi
diukur menurut hati nurani, bila aku menikah dengan
Toan-long, rasanya sekali-kali aku pun tak mengizinkan
dia menyukai wanita lain.

“Apalagi Si Pek-hong sudah menjadi padri, dapat
diduga karena ayah juga berbuat salah padanya dan
melukai hatinya. Aku telah panah dia dua kali, tapi putra
satu-satunya juga terluka, namun dia tidak dendam
padaku, tampaknya dia toh bukan seorang wanita yang
kejam dan galak ....”

Begitulah makin dipikir hati Bok Wan-jing makin
berduka, gumamnya, “Sejak kini aku akan melupakan
Toan Ki, aku takkan pikirkan dia lagi!”

Namun omong memang gampang, untuk melupakan
begitu saja masakah begitu mudah? Setiap detik
bayangan Toan Ki yang tampan itu selalu timbul dalam
benaknya.

Kemudian dia coba menghibur diri sendiri, “Biarlah
untuk selanjutnya aku anggap dia sebagai kakak.
Asalnya aku adalah anak yatim piatu, kini ayah sudah
punya, ibu pun sudah ada, malah bertambah pula

512




seorang saudara tua, kurang apa lagi? Bukankah aku
sebenarnya harus bergirang, sungguh tolol aku ini!”

Akan tetapi, seorang kalau terlibat dalam jaring
asmara, makin meronta semakin ruwet dan sukar
melepaskan diri. Kalau dia sabar menanti selama tujuhhari
tujuh-malam di puncak Bu-liang-san, nyata akar
cintanya sudah bersemi secara mendalam dan susah
dihapus lagi.

Ia dengar suara gemuruh ombak yang mendebur
semakin keras, dalam keadaan putus asa, timbul juga
maksudnya membunuh diri. Ia mendekati arah suara
ombak itu, setelah melintasi sebuah bukit, akhirnya
tertampak ombak sungai Lanjong mengalir cepat di
bawah tebing sungai itu. Ia menghela napas dan berkata
seorang diri, “Ai, bila aku menceburkan diri ke dalam
sungai, rasa kesalku tentu takkan terasa lagi.”

Perlahan ia menyusuri tepi sungai. Sang surya yang
baru menyingsing itu mulai memancarkan cahayanya
yang gemerlapan menyilaukan mata. Ia termangu-mangu
berdiri di atas batu karang di tepi sungai dengan
perasaan bergolak sehebat ombak yang mendebur.

Sekonyong-konyong sekilas dilihatnya di atas sebuah
batu karang sebelah sana duduk seorang. Cuma orang
itu sejak tadi tak bergerak sama sekali, bajunya berwarna
hijau mirip warna batu karang yang berlumut, maka tak
diketahui olehnya sejak tadi.

Waktu Wan-jing memandang lagi lebih jelas, ia
terkejut, “Tentu orang ini sudah mati.”

513




Sudah banyak manusia yang dia bunuh, dengan
sendirinya Bok Wan-jing tidak takut pada orang mati.
Karena tertarik, segera ia mendekatinya, ia lihat orang
berbaju hijau itu adalah seorang kakek, jenggotnya
panjang sampai di dada dan hitam gilap, matanya
terpentang lebar sedang menatap pusar sungai tanpa
berkedip.

“Kiranya bukan orang mati!” ujar Wan-jing sendiri.

Tapi ketika ditegasi pula, ia lihat tubuh orang itu
sedikit pun tidak bergerak, bahkan kelopak matanya juga
tidak berkedip sama sekali, terang juga bukan orang
hidup. Maka gumamnya pula, “Ah, kiranya orang mati!”

Tapi sesudah diamat-amati sebentar lagi, ia merasa
kedua mata orang mati itu bersemangat, wajahnya
bercahaya merah pula. Ia coba periksa pernapasan
hidung orang, terasa napasnya seakan-akan ada dan
seperti tak ada, waktu meraba pipinya, tiba-tiba terasa
dingin dan lain saat berubah hangat. Dalam herannya
terus saja Wan-jing meraba dada orang, kini terasa
jantung orang kedat-kedut, seperti berdenyut, seperti
juga berhenti.

Keruan Wan-jing bertambah heran, katanya seorang
diri, “Orang ini sungguh aneh, katakan dia orang mati, toh
seperti orang hidup, bilang dia orang hidup, mirip orang
mati pula.”

“Aku adalah orang hidup-mati!” tiba-tiba terdengar
suara orang berkata.

514




Wan-jing menjadi kaget, cepat ia menoleh, tapi tiada
bayangan seorang pun yang dilihatnya. Di sekitar itu
adalah batu karang tandus yang tak dapat dibuat
sembunyi orang. Sejak tadi dia berhadapan dengan
orang aneh itu dan tidak kelihatan bibirnya bergerak
ketika terdengar suara tadi.

Dengan penasaran segera Bok Wan-jing berseru,
“Siapa berani menggoda nonamu? Apa barangkali kau
sudah bosan hidup?”

Sembari berkata ia terus putar tubuh membelakangi
sungai, maka ketiga arah lain dapat dilihatnya dengan
jelas.

Tapi lantas terdengar suara tadi berkata pula, “Ya,
aku memang sudah bosan hidup, sangat bosan hidup!”

Kejut Wan-jing sungguh tak terkatakan, sudah terang,
kecuali orang aneh yang berada di depannya ini, dapat
dipastikan tiada orang lain lagi. Namun terang gamblang
kelihatan bibir orang aneh ini sama sekali tidak bergerak,
mengapa bisa bicara?

Segera Wan-jing membentak lagi, “Siapa yang
sedang bicara?”

“Kau sendiri sedang bicara?” sahut suara itu.

“Dan siapa yang bicara dengan aku?” seru Wan-jing.

“Tidak ada orang bicara denganmu!” sahut suara itu
pula.

515




Dengan cepat Wan-jing putar tubuhnya tiga kali, tapi
selain bayangan sendiri, tiada sesuatu tanda aneh yang
kelihatan.

Ia yakin pasti Jing-bau-khek atau orang berbaju hijau
di hadapannya ini yang sedang menggoda padanya,
dengan tabahkan hati segera ia mendekat lebih rapat, ia
coba dekap bibir orang, lalu tanya pula, “Apakah engkau
yang bicara denganku?”

“Bukan!” kembali suara itu menjawab.

Sedikit pun tangan Wan-jing tidak merasakan getaran
suara, maka tanyanya lagi, “Sudah jelas ada orang
sedang bicara padaku, kenapa bilang tidak?”

“Aku bukan orang, aku pun bukan aku, di dunia ini
tiada seorang aku lagi!” demikian sahut suara itu.

Seketika Bok Wan-jing mengirik, pikirnya, “Janganjangan
ada setan?”

Segera ia tanya lagi, “Apakah eng ... engkau setan?”

“Kau sendiri tadi bilang tidak ingin hidup lagi, tentu
kau akan menjadi setan juga, tapi mengapa kau
ketakutan pada setan?” sahut suara itu.

“Siapa bilang aku takut pada setan? Aku tidak takut
pada langit juga tidak gentar pada bumi!” seru Wan-jing
dengan berani.

“Jika begitu, ada sesuatu yang kau takutkan,” kata
suara itu.

516




“Hm, tidak, segala apa pun aku tidak takut!” sahut
Wan-jing tegas.

“Takut, jelas kau takut! Yang kau takutkan ialah
seorang calon suami yang mendadak berubah menjadi
saudara sendiri!”

Kepala Bok Wan-jing seperti dikemplang oleh ucapan
itu, dengan lemas ia duduk terkulai di tanah. Ia termangumangu
sejenak, lalu katanya dengan komat-kamit,
“Engkau adalah setan, engkau setan!”

“Jangan khawatir, aku dapat menolongmu,” demikian
kata suara tadi. “Aku dapat menjadikan Toan Ki bukan
kakakmu, dapat pula menjadikannya suamimu yang
tercinta.”

“Tidak, kau ... kau tipu aku,” kata Wan-jing dengan
suara gemetar. “Nasibku ini sudah ditakdirkan, tak bisa ...
tak bisa berubah lagi.”

“Peduli apa dengan takdir segala,” ujar suara itu. “Aku
mempunyai akal untuk mengubah kakakmu menjadi
suamimu, kau mau tidak?”

Dalam keadaan putus asa dan hilang harapan,
ucapan itu benar-benar merupakan suara wahyu yang
turun dari langit, meski ragu juga, cepat Wan-jing
menjawab, “Ya, mau, aku mau!”

“Sesudah aku selesai membantumu, dengan apa kau
berterima kasih padaku?”

517




“Apa yang kumiliki? Aku tidak punya apa-apa!” sahut
Wan-jing dengan pilu.

“Kini kau tak punya, tapi kelak mungkin akan punya.”

“Baiklah, apa yang kau inginkan, akan kuberikan
padamu.”

“Tapi sampai saatnya nanti, jangan-jangan kau ingkar
janji,” ujar suara itu.

“Aku pasti akan pegang janji!” seru Wan-jing. Dalam
hati ia pikir, “Di dunia ini ada barang apakah yang bisa
melebihi Toan-long yang akan menjadi suamiku?
Seumpama aku menjadi raja, rela juga kuberikan
takhtaku kepada orang aneh ini.”

Namun suara itu berkata pula, “Ucapan kaum wanita
sukar dipercaya. Bila kelak tidak kau berikan padaku,
lantas bagaimana?”

“Kepandaianmu begini sakti, bolehlah kau bunuh
aku!” ujar Wan-jing.

“Tidak, aku takkan membunuhmu. Kalau kau tidak
pegang janji, suamimu yang akan kubunuh,” kata suara
itu.

Diam-diam Wan-jing berpikir, “Kecuali Toan-long, aku
pasti takkan menikah. Dan bila Toan-long berubah bukan
lagi kakakku tapi menjadi suamiku, maka segala apa aku
tidak mau lagi, tidak mungkin aku merasa berat memberi
apa pun kepada hantu ini.

518




Maka segera jawabnya, “Baiklah, aku menerima
syaratmu.”

“Dan sampai waktunya nanti, jangan lagi memintaminta
padaku dengan menangis, sebab aku paling benci
bila ditangisi wanita,” kata suara itu.

“Aku pasti takkan memohon padamu,” sahut Wanjing.
“Eh, siapakah engkau sebenarnya? Dapatkah
engkau unjukkan mukamu padaku?”

“Sudah sekian lamanya kau lihat aku, masakah masih
belum cukup?” kata suara itu pula. Sejak mula sampai
sekarang nada suara itu selalu sama saja, tidak keras,
tidak rendah, datar tanpa irama pula.

“Jadi engkau adalah ... adalah engkau ini?” tanya
Wan-jing.

“Entahlah, aku pun tidak tahu apakah aku ini aku. Ai
....” demikian suara itu. Helaan napas paling akhir itu
telah menandakan rasa masygul hatinya yang tak
terkatakan.

Keruan Bok Wan-jing bertambah sangsi, tapi kini ia
sudah yakin benar bahwa suara itu memang keluar dari
kakek berbaju hijau di depannya ini. Segera ia tanya
pula, “Engkau tidak buka mulut, mengapa bisa bicara?”

“Aku adalah orang hidup-mati, bibir tak dapat
bergerak, tapi bersuara dari dalam perut,” sahut suara
itu.

519




Dasar sifat kanak-kanak Bok Wan-jing belum hilang
sama sekali, kalau tadi ia sangat berduka dan putus asa,
adalah sekarang demi mendengar ada orang mampu
bicara tanpa buka mulut dan gerak bibirnya, ia menjadi
sangat ketarik, segera ia tanya pula, “Engkau bicara
dengan perut? Sungguh aneh!”

“Kau tidak percaya?” sahut Jing-bau-khek itu.
“Cobalah kau pegang perutku, tentu kau akan percaya
nanti.”

Tanpa pikir Wan-jing terus ulur tangan untuk meraba
perut orang.

“Kau merasakan getaran perutku atau tidak?” tanya
Jing-bau-khek.

Bab 11

Benar juga Wan-jing merasa perut orang naik turun
dengan perlahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia
menjadi geli, “Haha, sungguh aneh!”

Kiranya apa yang dilatih Jing-bau-khek atau orang
berbaju hijau itu adalah semacam “Hok-gi-sut” atau ilmu
bicara dengan perut.

Ilmu bicara dengan perut itu pada zaman sekarang
masih banyak yang mahir, yaitu terutama dalang ‘boneka
bicara’. Cuma untuk bicara dengan tegas dan jelas
seperti Jing-bau-khek ini tentunya tidak mudah, sebab
diperlukan Lwekang yang tinggi.

Dengan keheranan, Bok Wan-jing masih mengitar
beberapa kali sambil mengamat-amati orang, kemudian

520




tanyanya, “Mulutmu tak bisa bergerak, lalu cara
bagaimana engkau makan?”

“Begini!” sahut orang itu sambil angkat kedua
tangannya, ia pentang bibir atas dan tarik rahang bawah
hingga mulutnya ternganga, lalu ambil sebutir makanan
terus dijejalkan ke dalam mulut, “keruyuk”, makanan itu
ditelan sekaligus.

“O, kasihan!” ujar Wan-jing melihat cara makan orang,
“Bukankah tiada rasa apa pun?”

Baru sekarang ia tahu kulit daging muka orang kaku
beku, kelopak matanya tak bisa terkatup, dengan
sendirinya tiada sesuatu tanda perasaan pada mukanya
itu, dari itulah maka mula-mula Bok Wan-jing
menyangkanya orang mati.

Ia pikir orang aneh ini sendiri tak dapat mengatasi
kesulitan sendiri yang luar biasa, mana mampu
mengubah kakak sendiri menjadi suami baginya?
Agaknya apa yang dikatakannya tadi hanya bualan
belaka.

Setelah pikir sejenak, lalu Wan-jing berkata, “Aku
akan pergi saja!”

“Ke mana?” tanya si jubah hijau.

“Entah, aku sendiri tidak tahu!” sahut si gadis.

“Aku akan membikin Toan Ki menjadi suamimu,
jangan kau tinggalkan aku,” ujar orang itu.

521




Wan-jing tersenyum tawar sambil berjalan beberapa
tindak ke depan, tiba-tiba ia berhenti dan tanya pula
sambil putar tubuh, “Selamanya kita tidak kenal, dari
mana kau tahu perasaanku? Engkau ... engkau kenal
Toan-long?”

“Sudah tentu kutahu isi hatimu,” sahut orang itu. Tibatiba
katanya pula, “Kembalilah sini!”

Berbareng tangan kirinya terjulur dan menarik dari
jauh.

Aneh juga, tiba-tiba Bok Wan-jing merasakan suatu
tenaga mahakuat yang tak bisa ditahan, tanpa kuasa
tubuhnya terseret mentah-mentah oleh tenaga tak
kelihatan itu dengan sempoyongan dan tahu-tahu sudah
berdiri lagi di depan Jing-bau-khek.

Kejadian itu benar-benar sangat mengejutkan Bok
Wan-jing, katanya dengan suara gemetar, “Apakah ...
apakah kepandaianmu disebut Kim-liong-ciong-hokang?”


“Ehm, luas juga pengetahuanmu,” kata Jing-bau-khek.
“Tapi ini bukan Kim-liong-ciong-ho-kang (ilmu
menangkap naga dan menawan bangau), hanya
khasiatnya sama, cara berlatihnya berbeda.”

“Habis apa namanya?” tanya Wan-jing.

“Namanya ‘Kui-gi-lay-hi’!” sahut Jing-bau-khek.

“Kui-gi-lay-hi (kalau sudah pergi, pulanglah)! Hah,
nama ini jauh lebih bagus daripada Kim-liong-ciong-ho-

522




kang, bila Toan-long mendengar nama demikian, tentu
dia ... dia ....” teringat pada Toan Ki, kembali Wan-jing
berduka.

“Marilah berangkat!” kata Jing-bau-khek tiba-tiba
sambil mengeluarkan dua potong tongkat bambu dari
bajunya. Sekali tongkat bambu kiri menutul, tubuhnya
terus melayang ke depan dan dengan enteng sudah
melangkah setombak lebih jauhnya.

Melihat tubuh orang ketika terapung di udara, kedua
kakinya tetap tertekuk seperti waktu duduk bersila, Wanjing
menjadi heran, tanyanya, “He, kedua kakimu ....”

“Ya, sudah lama kedua kakiku buntung,” sahut Jingbau-
khek. “Sudahlah, sejak saat ini, urusanku dilarang
kau tanya lagi.”

“Kalau aku tanya lagi?” baru kalimat ini diucapkan Bok
Wan-jing, sekonyong-konyong kedua kakinya terasa
lemas, tubuhnya terbanting roboh.

Kiranya dengan kecepatan luar biasa si jubah hijau
sudah melesat ke tempatnya, tongkat bambu sebelah
kanan beruntun-runtun menutuk dua kali di balik lutut,
menyusul mengetuknya sekali lagi, keruan Bok Wan-jing
kesakitan seakan-akan remuk tulang kakinya, saking tak
tahan sampai ia menjerit. Menyusul mana Jing-bau-khek
menutuk lagi dua kali untuk membuka Hiat-to si gadis.

Dengan cepat Wan-jing melompat bangun,
dampratnya dengan gusar, “Kenapa engkau begini
kasar?”

523




Berbareng panah dalam lengan baju sudah siap
dibidikkan.

“Jangan coba-coba main kayu denganku, ya!”
demikian kata Jing-bau-khek. “Berani kau panah aku
sekali, segera kuhajar bokongmu sekali, kau panah
sepuluh kali, aku pun gebuk sepuluh kali bokongmu.
Kalau tidak percaya, boleh coba kau lakukan!”

Wan-jing menjadi ragu, pikirnya, “Jika sekali aku
dapat memanahmu, seketika jiwamu lantas melayang,
mana dapat kau balas hajar diriku? Tapi ilmu orang ini
sangat sakti, tampaknya ilmu silatnya jauh lebih tinggi
daripada Lam-hay-gok-sin, rasanya susah kalau hendak
memanahnya. Orang ini berani bicara berani berbuat,
kalau benar-benar bokongku digaplok olehnya, kan
runyam!”

“Nah, jika kau tidak berani memanah aku, kau harus
menurut perintahku dengan baik, jangan membangkang!”
demikian kata orang itu pula.

“Hm, aku justru tidak mau menurut perintahmu!” sahut
Wan-jing. Walaupun begitu katanya, namun panah yang
sudah disiapkan tadi disimpan kembali juga.

Segera Jing-bau-khek gunakan kedua tongkatnya
sebagai kaki terus bertindak ke depan dengan cepat.

Bok Wan-jing mengikutinya dari belakang. Ia lihat
kedua tongkat bambu orang sangat kecil, tapi keras
seperti baja, meski digunakan menyangga ketiak, namun
sedikit pun tidak bengkok. Tongkat bambu itu
panjangnya lebih satu setengah meter, sekali melangkah,

524




jauhnya melebihi langkah orang biasa. Terpaksa Bok
Wan-jing harus mengerahkan Ginkang sekuatnya
barulah sekadar dapat menyusulnya.

Tangkas sekali cara berjalan Jing-bau-khek ini, biar
mendaki gunung atau melintasi bukit, jalannya seperti di
tanah datar saja cepatnya. Bahkan yang dia pilih bukan
lagi jalan besar yang rata tapi hutan belukar atau jalan
pegunungan yang berbatu karang, keruan yang payah
adalah Bok Wan-jing, ia megap-megap dan baju sobek
oleh duri belukar. Namun dasar wataknya memang
keras, biarpun menderita, sedikit pun ia tidak mau unjuk
lemah.

Setelah melintasi beberapa lereng bukit, kemudian
tertampak dari jauh banyak sekali kuburan, diam-diam
Wan-jing heran, “Kenapa mendatangi Ban-jiat-kok ini?”

Benar juga Jing-bau-khek itu terus menuju ke kuburan
yang batu nisannya tertulis, “Kuburan Ban Siu Toan”,
segera tongkatnya menghantam batu nisan tepat di atas
huruf Toan.

Sudah beberapa kali Bok Wan-jing mendatangi Banjiat-
kok, tiap kali ia gunakan rahasia cara memasuki
gerbang lembah maut itu, yaitu mendepak beberapa kali
pada huruf “Toan” di batu nisan itu. Tapi kini demi melihat
huruf itu lagi, tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh
yang dahulu tidak pernah ada.

“Untuk apa kita datang ke Ban-jiat-kok ini?” demikian
ia coba tanya.

525




Tapi mendadak Jing-bau-khek membalik tubuh,
tongkatnya terus mengetuk sekali ke paha kanannya
sambil membentak, “Kau berani ceriwis lagi tidak?”

Kalau menuruti watak Bok Wan-jing yang berangasan
itu, betapa pun ia tidak sudi dihina secara demikian,
biarpun ia tahu takkan mampu melawan orang. Tapi kini
lamat-lamat terasa olehnya bahwa Jing-bau-khek ini
tentu memiliki kepandaian di atas orang lain, bukan
mustahil akan dapat membantu melaksanakan citacitanya,
yaitu bersuamikan Toan Ki.

Maka omelnya, “Hm, jangan kau sangka nona takut
padamu, biarlah sementara ini aku mengalah padamu.”

“Ayo jalan!” seru Jing-bau-khek pula.

Segera Bok Wan-jing mendahului masuk ke liang
kubur dan disusul oleh Jing-bau-khek, mereka telah
masuk ke Ban-jiat-kok tempat tinggal Ciong Ban-siu.

Agaknya Jing-bau-khek sudah hafal terhadap
keadaan di dalam lembah Ban-jiat-kok. Beberapa kali
Bok Wan-jing ingin tanya, tapi khawatir digebuk oleh
tongkat orang, maka urung buka mulut.

Orang aneh itu membawanya mengitar ke sana dan
membelok ke sini terus menuju ke belakang lembah.

Bok Wan-jing pernah juga tinggal beberapa hari di
lembah Ban-jiat-kok ini, yaitu ketika ia mengunjungi bibigurunya,
Ciong-hujin. Cuma sifat mereka berdua berbeda
jauh, pada hari pertama juga mereka sudah lantas
cekcok mulut. Tapi kini tempat yang didatanginya

526




bersama Jing-bau-khek ini ternyata sebelumnya tidak
pernah dikunjunginya. Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa di tengah lembah sunyi ini masih ada tempattempat
yang lebih terpencil.

Setelah beberapa li lagi, mereka masuk ke sebuah
rimba raya yang pohonnya tinggi besar menjulang ke
langit, biarpun waktu itu siang hari, namun sinar sang
surya ternyata tak bisa menembus ke dalam rimba yang
rindang itu. Makin jauh tetumbuhan di situ pun semakin
lebat hingga sampai akhirnya untuk lewat saja diperlukan
miringkan tubuh.

Setelah beberapa puluh meter lagi jauhnya,
tertampaklah di depan tumbuh barisan pohon tua yang
tinggi rapat bagai pagar yang kukuh, untuk masuk ke
dalam sana terang sangat sulit.

Mendadak Jing-bau-khek tancap tongkatnya ke tanah
untuk menyangga bahunya, lalu kedua tangannya
menjuju dua batang pohon terus dipentang ke samping
sekuatnya. Sungguh sangat mengagumkan, kedua
pohon besar itu perlahan terbentang lebar ke samping
hingga cukup untuk menyelinap tubuh manusia.

“Lekas masuk ke sana!” bentak orang aneh itu.

Tanpa pikir lagi Bok Wan-jing menyusup ke balik
pagar pohon itu.

Waktu diperhatikan, ternyata di situ terdapat sebidang
tanah kosong yang luas, di tengah tanah lapang sebuah
rumah batu yang dibangun dengan bentuk sangat aneh,
yaitu terdiri dari tumpukan batu besar hingga mirip

527




piramida. Rumah batu itu hanya terdapat sebuah pintu
yang besarnya mirip gua.

“Nah, masuk ke sana!” kata Jing-bau-khek pula.

Wan-jing coba memandang ke dalam rumah batu itu,
ia lihat keadaan di dalam gelap gulita, entah tersembunyi
makhluk aneh atau tidak, dengan sendirinya ia tidak
berani masuk begitu saja.

Sedang Wan-jing sangsi, sekonyong-konyong
punggung terasa ditempel oleh sebuah telapak tangan,
cepat ia bermaksud mengelak, namun sudah terlambat,
tenaga dorongan Jing-bau-khek itu sudah dikerahkan.
Tanpa kuasa lagi tubuh Bok Wan-jing mencelat ke depan
seakan-akan terbang masuk ke dalam rumah batu itu.

Walaupun terapung, namun Bok Wan-jing segera
melindungi badan sendiri dengan sebelah tangan, ia
gunakan gaya “Hia-hong-hut-liu” atau angin pagi
mengembus pohon, tangan lain dipakai melindungi muka
sendiri. Ia khawatir dalam keadaan gelap jangan-jangan
akan diserang oleh sesuatu makhluk aneh.

Dalam pada itu, segera terdengar suara gemuruh
yang keras, pintu rumah ditutup orang dengan benda
keras.

Keruan Wan-jing terkejut, cepat ia lari ke arah pintu
dan mendorong, tapi di mana tangannya memegang,
rasanya kasap dan keras sekali. Ternyata tutup pintu itu
adalah sepotong batu karang raksasa.

528




Sekuatnya ia coba membukanya, namun sedikit pun
batu itu bergeming, bahkan goyang pun tidak. Dalam
khawatirnya, ia berteriak-teriak, “Hai, hai! Mengapa
engkau mengurung diriku di sini?”

Terdengar suara Jing-bau-khek menjawab, “Apa yang
pernah kau mohon padaku, mengapa kau lupakan
sendiri?”

Suara orang itu menyusup masuk dari lubang batu
tadi, tapi kedengaran cukup jelas.

Wan-jing tenangkan diri sejenak, ia lihat lubang yang
ditutup dengan batu karang itu sekitarnya masih banyak
celah-celah, cuma untuk diterobos dengan tubuh
manusia terang tidak bisa. Terpaksa ia berteriak-teriak
lagi, “Lepaskan aku, lepaskan aku ke luar!”

Tapi yang terdengar hanya suara keresekan daun
pohon di luar, agaknya Jing-bau-khek itu sudah pergi
melintasi pagar pohon itu. Waktu mengintip keluar, yang
dilihat Wan-jing hanya rontokan daun pohon yang
berhamburan, selain itu tiada sesuatu lagi yang terlihat.

Ketika ia putar tubuh ke dalam dan coba mengawasi
keadaan rumah batu itu, ia lihat di pojok sana ada
sebuah dipan, di atas dipan duduk satu orang. Keruan ia
kaget, tanyanya terputus-putus, “Sia ... siapa kau?”

“Jing-moay, kiranya kau masuk ke sini juga!” demikian
sahut orang itu. Suaranya penuh rasa girang tercampur
heran. Kiranya Toan Ki adanya.

529




Dalam keadaan putus asa, tiba-tiba Wan-jing
ketemukan Toan Ki lagi, saking girangnya jantung serasa
mau melompat keluar dari rongga dadanya. Cepat ia
menubruk ke pangkuan anak muda itu.

Remang-remang terlihat muka si gadis pucat lesi,
kasih sayang Toan Ki sungguh tak terkatakan, ia peluk si
gadis dengan erat, melihat bibir si nona yang merah
mungil itu, tak tertahan lagi terus dikecupnya.

Tapi demi bibir menempel bibir, segera kedua mudamudi
itu teringat, “Hai, kami adalah kakak beradik, mana
boleh berbuat tidak senonoh?”

Cepat kedua orang melepaskan tangan masingmasing
dan sama-sama menyurut mundur. Kedua orang
berdiri bersandar dinding batu dan saling pandang
dengan terkesima.

Bok Wan-jing yang menangis lebih dulu. Namun Toan
Ki lantas menghiburnya, “Jing-moay, rupanya nasib kita
sudah ditakdirkan begini, hendaklah engkau jangan
sedih. Mempunyai seorang adik perempuan seperti
engkau, sungguh aku sangat senang.”

“Aku justru tidak senang, aku merasa sedih,” demikian
seru Wan-jing sambil membanting-banting kaki sendiri.
“Jadi engkau merasa senang? Itu berarti engkau tidak
punya perasaan.”

“Apa mau dikatakan lagi, kenyataan memang begini,”
ujar Toan Ki sambil menghela napas. “Coba kalau dulu
aku tidak bertemu dengan engkau, urusan tentu akan
menjadi lain.”

530




“Toh bukan aku yang ingin bertemu denganmu,” sahut
Wan-jing. “Habis, siapa suruh kau cari padaku, dan kalau
engkau tidak kembali hendak memberi kabar padaku,
belum tentu aku akan kenal engkau. Ya, semuanya
adalah salahmu, kau yang mengakibatkan kematian
mawar hitamku, bikin hatiku luka, bikin Suhuku berubah
menjadi ibuku, bikin ayahmu ikut menjadi ayahku. Tapi
aku tidak mau, semuanya itu aku tidak mau, engkau
membikin susah aku pula hingga terkurung di sini, aku
ingin keluar, aku ingin keluar!”

“Ya, sudah, Jing-moay, memang semuanya salahku,”
sahut Toan Ki, “Janganlah engkau marah, marilah kita
mencari jalan untuk lari keluar dari sini.”

“Tidak, aku tidak mau keluar, mati di sini atau mati di
luar sana sama saja bagiku. Aku tidak mau keluar!”
demikian Wan-jing berteriak-teriak.

Sungguh lucu juga, semula minta keluar dari situ, tapi
sebentar lagi bilang tidak mau. Toan Ki tahu perasaan si
nona terlalu terguncang, seketika juga sukar diberi
mengerti. Maka ia tidak bicara lagi.

Dan setelah muring-muring sejenak, melihat Toan Ki
diam saja, Wan-jing lantas tanya, “Kenapa kau tidak
bicara?”

“Habis, apa yang harus kukatakan?” sahut Toan Ki.

“Coba terangkan, untuk apa engkau berada di sini?”
tanya Wan-jing.

531




“Aku ditawan muridku ke sini ....”

“Muridmu?” Wan-jing memotong dengan heran. Tapi
segera teringat olehnya, ia tertawa dan berkata, “Ya,
benar, itulah Lam-hay-gok-sin, dia yang menawan dan
mengurungmu di sini?”

Toan Ki mengiakan.

“Kenapa tidak kau gunakan pengaruhmu sebagai
guru dan menyuruh dia melepaskan dirimu dari sini?” ujar
si nona.

“Sudah, entah sudah berapa kali aku suruh dia, tapi ia
bilang aku harus ganti mengangkat dia sebagai guru,
barulah dia mau melepaskan aku.”

“Ah, mungkin lagakmu sebagai guru kurang
berwibawa, maka dia berani membangkang,” kata Wanjing.


“Ya, mungkin begitulah,” sahut Toan Ki gegetun. “Dan
engkau sendiri bagaimana, siapa yang menangkapmu ke
sini?”

Maka berceritalah Bok Wan-jing tentang Jing-baukhek
yang dijumpainya itu. Cuma tentang janji orang
aneh itu hendak “mengubah kakak menjadi suaminya” itu
tak diceritakannya.

Mendengar ada seorang yang bisa bicara dengan
perut tanpa gerak mulut, bisa berjalan secepat terbang
meski kakinya buntung, Toan Ki menjadi sangat tertarik,

532




berulang-ulang ia berkecek-kecek kagum dan tanya lebih
jelas.

Setelah lama mereka berbicara, tiba-tiba terdengar
suara keletak di luar, dari celah-celah tampak disodorkan
masuk sebuah mangkuk, terdengar suara orang berkata,
“Ini, makanlah!”

Segera Toan Ki menyambut mangkuk itu, ternyata
isinya adalah Ang-sio-bak yang masih hangat dan
berbau sedap.

Menyusul dari luar diangsurkan masuk pula
semangkuk ham keluaran Hunlam yang terkenal,
semangkuk lagi sayur dan beberapa potong bakpao.

“Kau kira di dalam makanan ini ditaruh racun tidak?”
tanya Toan Ki kepada Wan-jing sesudah taruh makanan
itu di atas meja.

“Umpama mereka hendak membunuh kita, tentunya
tidak perlu susah-susah menaruh racun di dalam
makanan,” ujar Wan-jing.

Benar juga pikir Toan Ki, ia memang sudah sangat
lapar, maka katanya, “Marilah makan!”

Terus saja ia mendahului serbu Ang-sio-bak yang
lezat itu bersama bakpao.

“Habis makan lemparkan keluar mangkuk-mangkuk
itu, nanti ada orang yang membereskannya,” demikian
terdengar suara orang di luar tadi. Habis berkata, orang
itu lantas tinggal pergi.

533




“Engkau jangan khawatir, Jing-moay!” demikian kata
Toan Ki sembari makan. “Paman dan ayah pasti akan
datang menolong kita. Biarpun ilmu silat Lam-hay-gok-sin
dan kawan-kawannya cukup hebat, tapi mereka belum
tentu sanggup melawan ayah. Apalagi kalau paman mau
turun tangan sendiri, tentu saja mereka bisa disapu
bersih dengan mudah.”

“Hm, dia cuma seorang raja negeri Tayli, masakah
ilmu silatnya ada sesuatu yang hebat?” demikian Wanjing
berolok-olok. “Aku tidak percaya dia mampu
mengalahkan orang aneh berbaju hijau itu, paling-paling
dia hanya bisa mengerahkan pasukannya secara besarbesaran
untuk menyerbu ke sini.”

“Tidak, tidak!” berulang-ulang Toan Ki menggoyang
kepala. “Leluhur kita adalah tokoh Bu-lim daerah
Tionggoan, meski menjadi raja di negeri Tayli ini, selama
ini tidak pernah melupakan peraturan Bu-lim yang
berlaku. Kalau mengalahkan musuh dengan jumlah lebih
banyak, bukankah keluarga Toan kita akan ditertawai
orang persilatan di jagat ini?”

“Ehm, kiranya sesudah familimu menjadi raja dan
Ongya, mereka tetap tak mau melupakan kedudukan
mereka di dunia Kangouw,” ujar Wan-jing.

“Ya, paman dan ayah sering berkata, itu namanya
tidak melupakan asal usul,” sahut Toan Ki.

“Huh,” jengek si nona tiba-tiba, “di mulut selalu
tentang kebajikan dan kebaikan, tapi yang diperbuat tak
lain adalah hal-hal yang rendah memalukan. Coba jawab,

534




ayahmu sudah mempunyai ibumu, kenapa ... kenapa
mencederai guruku lagi?”

“He! Kenapa kau maki ayahku? Ayahku kan juga
ayahmu?” sahut Toan Ki rada tercengang. “Lagi pula
setiap pangeran atau orang bangsawan di jagat ini,
siapakah yang tidak punya beberapa istri? Sekalipun
mempunyai delapan atau sepuluh orang istri kan tidak
menjadi soal dan lumrah?”

Tatkala itu zamannya dinasti Song utara. Di bagian
utara ada negeri Cidan, di tengah adalah kerajaan Song,
di barat laut negeri He, di barat daya ada negeri Turfan,
sedang di selatan adalah negeri Tayli, seluruh Tiongkok
waktu itu terbagi lima negeri. Dan memang benar, bukan
cuma rajanya, pangeran-pangerannya dan bangsawanbangsawannya,
setiap orang mempunyai beberapa istri,
bahkan berpuluh selir pula. Hal mana sudah menjadi
kelaziman zaman feodal, kalau setiap bangsawan itu
hanya memiliki seorang istri melulu, hal mana malah
dipandang sebagai luar biasa.

Akan tetapi Bok Wan-jing menjadi gusar demi
mendengar pembelaan Toan Ki itu, “plok”, kontan ia
tampar pipi pemuda itu.

Keruan Toan Ki kaget hingga separuh bakpao yang
masih dipegangnya terjatuh ke tanah. “Ada ... ada apa?”
tanyanya bingung.

“Tidak, aku tidak mau panggil dia sebagai ayah!”
demikian seru Wan-jing. “Kalau lelaki boleh punya
beberapa istri, kenapa wanita tidak boleh bersuami dua
atau tiga?”

535




Geli dan dongkol Toan Ki, sambil meraba pipinya
yang sakit pedas itu, ia berkata dengan tersenyum getir,
“Engkau adalah adikku, kenapa engkau pukul Engkohmu
sendiri?”

Namun marah si gadis masih belum reda, tangannya
terangkat terus hendak menggampar lagi. Tapi sekali ini
Toan Ki sudah berjaga-jaga, sedikit kaki menggeser,
cepat ia keluarkan langkah “Leng-po-wi-poh” yang aneh,
tahu-tahu ia sudah menyelinap ke belakang Bok Wanjing.
Ketika tangan si nona menghantam ke belakang,
kembali Toan Ki dapat menghindar pula.

Meski luas kamar batu itu tidak lebih dua meter,
namun “Leng-po-wi-poh” itu benar-benar sangat ajaib,
biarpun pukulan Bok Wan-jing makin lama makin cepat,
dari awal sampai akhir tetap tak dapat mengenai Toan Ki.

Keruan semakin marah Bok Wan-jing, tiba-tiba ia
mendapat akal.

“Auuh!” ia pura-pura menjerit terus menjatuhkan diri
ke lantai.

“He, kenapa!” seru Toan Ki khawatir sambil
berjongkok untuk memayang si nona.

Dengan lemas saja Wan-jing menyandarkan tubuhnya
di pangkuan Toan Ki, tangan kiri terus merangkul leher
pemuda itu, mendadak ia merangkul kencang sambil
berkata dengan tertawa, “Sekarang engkau bisa
menghindar tidak?”

536




Menyusul tangan kanan diayun lagi, “plok”, lagi-lagi
pipi Toan Ki dipersen sekali tamparan.

Dalam sakitnya, Toan Ki menjerit pula, mendadak
semacam arus hawa panas memburu ke atas dari dalam
perut, seketika denyut nadinya bekerja keras, nafsu
berahinya berkobar hingga sukar ditahan.

Bok Wan-jing berjuluk “Hiang-yok-jeh” atau si Hantu
Wangi, memang tubuhnya membawa semacam bau
harum yang memabukkan orang, kini tubuhnya dirangkul
erat oleh Toan Ki, bau harum yang semerbak itu makin
mengacaukan pikiran anak muda itu, tanpa terasa ia
mencium bibir si gadis.

Dan sekali dicium, seketika Bok Wan-jing lemas
lunglai. Segera Toan Ki mengangkat tubuh nona itu dan
dibawa ke atas dipan ....

“Engkau ... engkau adalah kakakku!” tiba-tiba Wanjing
berbisik.

Meskipun pikiran sehat Toan Ki waktu itu sudah
kabur, namun kata-kata Wan-jing itu mirip bunyi geledek
siang bolong. Ia tertegun sejenak, sekonyong-konyong ia
lepaskan gadis itu dan menyurut mundur beberapa
tindak, menyusul “plak-plok” beberapa kali, ia berondongi
pipi sendiri dengan tamparan keras sambil memaki,
“Mampus kau, mampus kau!”

Melihat kedua mata pemuda itu merah membara
menyorotkan cahaya yang aneh, kulit daging mukanya
berkerut-kerut, hidungnya berkempas-kempis, Wan-jing

537




menjadi kaget, teriaknya, “He, Toan-long, kita teperdaya,
di dalam makanan ada racun!”

Waktu itu Toan Ki merasa antero badan panas bagai
dibakar. Demi mendengar si gadis bilang di dalam
makanan ada racun, ia menjadi girang malah, pikirnya,
“Ah, kiranya racunlah yang telah mengacaukan pikiran
suciku hingga timbul maksud tidak senonoh terhadap
Jing-moay dan bukan karena jiwaku yang kotor dan
mendadak hendak meniru perbuatan binatang yang
rendah.”

Akan tetapi panas badan benar-benar sukar ditahan,
saking tak tahan satu per satu ia copot bajunya hingga
akhirnya melulu tinggal pakaian dalam saja, untunglah
pikirannya masih rada jernih hingga tidak mencopot lebih
jauh, cepat ia duduk bersila menenangkan diri untuk
melawan pikiran jahat tadi.

Bok Wan-jing sendiri juga merasakan badan panas
seperti Toan Ki, sampai akhirnya saking tak tahan, ia pun
menanggalkan baju luarnya.

Namun Toan Ki lantas berteriak, “Jing-moay, jangan
lepas baju lagi! Lekas tempelkan punggungmu ke
dinding, tentu terasa segar sedikit!”

Begitulah segera mereka bersandar di dinding batu.
Namun racun di dalam badan tetap bekerja dengan
hebat, meski punggung terasa sedikit dingin, anggota
badan lain malah bertambah panas. Toan Ki melihat
kedua pipi Wan-jing merah membara, cantiknya sukar
dilukiskan, matanya berkilau-kilau seakan-akan ingin
sekali menubruk ke pangkuannya, ia pikir, “Dengan iman

538




teguh kita lawan terus bekerjanya racun. Namun tenaga
manusia terbatas juga, kalau akhirnya berbuat hal-hal
yang tidak senonoh, ini benar-benar akan menodai
habis-habisan nama baik keluarga Toan dan selamanya
sukar menebus kesalahan ini.”

Maka cepat ia berkata, “Jing-moay, lemparkanlah
sebatang panahmu kepadaku!”

“Untuk apa?” tanya Wan-jing.

“Supaya ... supaya kalau aku sudah tak tahan lagi,
sekali tikam aku akan membunuh diri dengan panah
berbisa itu, agar tidak membikin susah padamu,” sahut
Toan Ki.

“Tidak, aku tidak mau memberi,” kata si gadis.

“Jika begitu, janjilah padaku untuk memenuhi sesuatu
permohonanku,” pinta Toan Ki.

“Tentang apa?” tanya Wan-jing.

“Bila tanganku sampai menyentuh badanmu, sekali
panah boleh kau binasakan aku,” kata Toan Ki.

“Tidak, aku tidak mau!” sahut si gadis.

“Jing-moay, terimalah permintaanku itu,” pinta Toan Ki
dengan sangat. “Nama baik keluarga Toan kita yang
sudah bersejarah ratusan tahun ini tidak boleh hancur di
tanganku. Kalau tidak, mati pun aku tidak bisa
mempertanggungjawabkan pada leluhur di alam baka?”

539




“Huh, apanya yang hebat dari keluarga Toan di
Tayli?” tiba-tiba suara jengek seorang di luar rumah batu
itu. “Paling-paling di mulut saja selalu bicara tentang
kebaikan dan kemanusiaan, tapi apa yang diperbuat
lebih rendah daripada binatang. Apanya yang perlu
dipuji?”

“Siapa kau? Ngaco-belo belaka!” damprat Toan Ki
dengan gusar.

“Dia ... dia adalah si baju hijau yang aneh itu,” dengan
lirih Wan-jing membisiki Toan Ki.

Maka terdengar Jing-bau-khek itu berkata lagi, “Bokkohnio,
sudah kusanggupi akan menjadikan kakakmu
sebagai suamimu, kutanggung pasti akan memenuhi
harapanmu.”

“Kau sengaja pakai racun untuk mencelakai kami, apa
sangkut pautnya dengan permohonanku padamu?” sahut
Wan-jing gusar.

“Di dalam Ang-sio-bak yang sudah kalian makan itu
telah dengan banyak kucampur dengan ‘Im-yang-ho-hapsan’
(puyer menjodohkan negatif dan positif), sesudah
minum, kalau tidak terjadi pembauran hawa Im dan
Yang, kalau laki-laki dan wanita tidak melakukan tugas
suami istri, maka antero badannya segera akan
membusuk, mata hidung dan telinga akan mengucurkan
darah dan akhirnya mati. Bekerjanya obat Ho-hap-san itu
makin lihai, sampai hari kedelapan, sekalipun dewa juga
takkan mampu menolong,” demikian orang itu
menjelaskan.

540




Toan Ki menjadi gusar, dampratnya, “Selamanya aku
tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa kau
perlakukan aku begini keji? Kau sengaja membikin kami
berbuat hal-hal yang durhaka, agar ayah dan pamanku
malu selama hidup, namun biar seratus kali aku harus
mati, tidak nanti aku masuk perangkapmu!”

“Kau memang tiada permusuhan apa-apa denganku,
tapi leluhur keluarga Toan kalian justru mempunyai
permusuhan sedalam lautan denganku,” demikian sahut
Jing-bau-khek. “Hm, bilamana Toan Cing-beng dan Toan
Cing-sun dirundung malu selama hidup hingga tiada
muka buat bertemu dengan orang luar, itulah paling
bagus, paling bagus!”

Rupanya karena mulutnya tak bisa bergerak, maka
meski hatinya sangat senang, namun tak dapat bergelak
tertawa.

Dan selagi Toan Ki hendak mendebat pula, sekilas
dilihatnya paras Bok Wan-jing yang cantik bagai kuntum
bunga baru mekar itu, hatinya berdebar-debar keras lagi,
seketika benaknya menjadi kacau pula, pikirnya, “Aku
memang ada ikatan perjodohan dengan Jing-moay,
andaikan kami tidak pulang ke Tayli, siapa lagi yang tahu
kami adalah kakak dan adik? Apa yang terjadi ini adalah
hukum karma akibat dosa leluhur, peduli apa dengan
kami berdua?”

Berpikir begitu, segera Toan Ki bangkit dengan
sempoyongan. Terlihat sambil berpegangan dinding, Bok
Wan-jing juga sedang berdiri perlahan.

541




Sekonyong-konyong terkilas pula pikiran sehat dalam
benaknya, “Wah, tidak boleh, tidak boleh! Wahai Toan Ki,
perbuatan binatang yang hendak kau lakukan ini
tergantung pada pikiran sekilas saja, bila hari ini kau
terjerumus, bukan saja nama baikmu sendiri akan hancur
lebur, bahkan nama baik ayah dan paman serta leluhur
juga ikut tercemar.”

Karena itu, mendadak ia membentak, “Jing-moay, aku
adalah kakakmu dari satu ayah, dan engkau adalah
adikku sendiri, tahu tidak kau? Kau paham Ih-keng
tidak?”

Dalam keadaan sadar tak sadar Bok Wan-jing
menjawab, “Ih-keng apa? Aku tidak paham.”

“Baiklah, biar kuajarkan padamu,” kata Toan Ki.
“Pelajaran Ih-keng ini rada sulit dan sangat dalam,
engkau harus mendengarkan dengan cermat.”

“Untuk apa aku mempelajarinya?” tanya Wan-jing.

“Besar manfaatnya sesudah kau belajar,” sahut Toan
Ki. “Boleh jadi sesudah belajar kita berdua akan dapat
melepaskan diri dari kesulitan ini.”

Kiranya Toan Ki merasa nafsunya semakin menyalanyala.
Dalam pertentangan batin antara kemanusiaan
dan kebinatangan itu, sungguh keadaannya sangat
berbahaya, asal Bok Wan-jing mendekatinya dan sedikit
menggoda, rasanya pertahanannya akan bobol.

Sebab itulah ia bermaksud mengajarkan Ih-keng
padanya untuk menyimpangkan pikirannya dari

542




kesesatan. Maka katanya pula, “Dasar Ih-keng terletak
pada Thay-kek (asas alamiah) dan Thay-kek melahirkan
Liang-gi (langit dan bumi). Liang-gi menciptakan Susiang
(empat musim), Su-siang menimbulkan Pat-kwa
(delapan unsur). Kau paham tidak lukisan Pat-kwa?”

“Tidak! Wah, gerah benar! Toan-long, marilah maju ke
sini, aku ingin bicara padamu!” demikian kata si gadis.

“Aku adalah kakakmu, jangan panggil aku Toan-long,
tapi harus panggil Toako,” sahut Toan Ki. “Coba
dengarkan, aku akan menguraikan kalimat-kalimat
bentuk Pat-kwa itu, harus kau ingat dengan baik, Kiansam-
thong, Kun-liok-toan dan ....”

“Apa Kian, apa Kun? Entahlah, aku tidak paham!”
kata Wan-jing.

“Itu menggambarkan bentuk Pat-kwa,” tutur Toan Ki.
“Harus kau tahu, Pat-kwa itu meliputi segala benda di
alam semesta ini, dari langit dan bumi sampai semua
makhluk di dunia. Misalnya keluarga kita, Kian adalah
ayah dan Kun adalah ibu, Cin menyimbolkan putra dan
Soan menandakan putri .... Kita berdua adalah kakakberadik,
aku adalah unsur Cin dan engkau adalah unsur
Soan.”

“Tidak, engkau unsur Kian dan aku unsur Kun,”
demikian sahut Wan-jing dengan kemalas-malasan.
“Biarlah kita berdua menikah, kelak melahirkan putra dan
putri ....”

Mendengar ucapan si nona yang tak keruan itu, hati
Toan Ki terguncang, serunya khawatir, “He, Jing-moay,

543




jangan kau pikir yang tidak-tidak, dengarkanlah uraianku
lebih jelas!”

“Kau duduklah di sampingku sini dan aku akan
mendengarkan uraianmu,” ujar Wan-jing.

“Bagus, bagus! Sesudah kalian berdua menjadi suami
istri dan melahirkan putra-putri, aku lantas melepaskan
kalian keluar,” demikian terdengar Jing-bau-khek yang
aneh itu berkata di luar rumah batu. “Dan bukan saja aku
takkan membunuh kalian, bahkan akan kuajarkan kalian
macam-macam kepandaian, biar kalian suami istri
malang melintang di seluruh jagat.”

“Ngaco!” seru Toan Ki gusar. “Sampai saat terakhir,
akan kubenturkan kepalaku ke dinding. Anak-cucu
keluarga Toan lebih suka mati daripada dihina. Kau ingin
membalas dendam atas diriku, jangan harap!”

“Kau mau mati atau ingin hidup, aku peduli apa?”
sahut Jing-bau-khek. “Bila kalian berdua mencari mati,
aku akan belejeti pakaian kalian hingga telanjang bulat,
akan kutuliskan keterangan di atas mayat kalian bahwa
inilah putra-putri Toan Cing-sun yang telah berbuat
maksiat, tapi kepergok orang, saking malu maka lantas
membunuh diri. Akan kubawa mayat kalian berkeliling ke
setiap kota sesudah aku mengawetkan dulu mayat
kalian.”

Sungguh tidak kepalang gusar Toan Ki, bentaknya
murka, “Ada permusuhan apakah sebenarnya keluarga
Toan kami dengan dirimu sehingga kau balas secara
begini keji?”

544




“Urusanku, buat apa kuceritakan padamu?” sahut
Jing-bau-khek. Habis ini, suaranya tak terdengar lagi,
mungkin sudah pergi.

Toan Ki tahu, banyak bicara dengan Bok Wan-jing,
bahayanya akan bertambah besar pula. Segera ia duduk
menghadap dinding untuk memikirkan langkah-langkah
“Leng-po-wi-poh” yang ajaib itu. Setelah terdiam agak
lama, tiba-tiba teringat olehnya, “Enci Dewi di dalam gua
itu berpuluh kali lebih cantik daripada Jing-moay, bila aku
bisa memperistrikan dia, rasanya tidak sia-sia hidupku
ini.”

Dalam keadaan sadar tak sadar ia berpaling, ia lihat
muka Bok Wan-jing samar-samar mulai berubah menjadi
patung cantik di dalam gua itu.

“O, Enci Dewi, betapa deritaku ini, tolonglah aku!”
demikian Toan Ki berteriak. Mendadak ia menubruk ke
depan merangkul betis Bok Wan-jing.

Justru pada saat itu juga, di luar ada suara orang,
“Makan malam dulu ini!”

Berbareng sebatang lilin yang sudah dinyalakan
diangsurkan. Dengan tertawa orang itu berkata lagi,
“Nah, lekas sambut ini, malam pengantin, mana boleh
tanpa lilin?”

Dalam kejutnya Toan Ki terus berbangkit, di bawah
sinar lilin yang terang itu, ia lihat mata Wan-jing yang jeli
itu berkilau-kilau penuh arti, cantiknya sukar dilukiskan.
Cepat ia sirap lilin, lalu membentak, “Di dalam nasi ada
racun, lekas bawa pergi, kami tidak mau makan!”

545




“Sudah banyak racun yang masuk perutmu, tidak
perlu ditambah lagi,” sahut suara itu sambil tetap
menyodorkan makanan.

Tanpa terasa Toan Ki sambut juga dan ditaruh di atas
meja. Pikirnya, “Kalau sudah mati, musnahlah segalanya,
apa yang terjadi sesudah itu, mana bisa aku
mengurusnya lagi?”

Lalu pikirnya pula, “Tapi betapa kasih sayang ayahbunda
dan paman padaku, mana boleh aku menodai
nama baik keluarga Toan hingga ditertawai orang?”

Tiba-tiba terdengar Bok Wan-jing berteriak, “Toanlong,
aku akan bunuh diri dengan panahku, supaya tidak
bikin susah padamu!”

“Nanti dulu!” seru Toan Ki, “Biarpun kita mati, keparat
yang mahajahat itu pun takkan mengampuni kita. Orang
ini sangat keji dan licik, dibanding Yap Ji-nio yang suka
isap darah bayi dan Lam-hay-gok-sin yang suka makan
hati manusia, orang ini jauh lebih jahat! Entah siapa dia
sebenarnya?”

“Ucapanmu memang tidak salah,” tiba-tiba terdengar
suara Jing-bau-khek itu menjawab, “Lohu tak-lain takbukan
adalah ‘Ok-koan-boan-eng’ (kejahatan sudah
melebihi takaran), kepala Su-ok aku adanya!”

*****

546




Kembali mengenai keadaan di istana Tin-lam-ong.

Si Pek-hong alias Yau-toan-siancu menjadi sangat
khawatir atas diri sang putra yang digondol kawanan Suok
itu, tanyanya pada Po-ting-te, “Hong-heng, di
manakah letak Ban-jiat-kok itu, apakah Hong-heng sudah
tahu?”

“Nama Ban-jiat-kok juga baru kudengar hari ini,” sahut
Po-ting-te Toan Cing-beng. “Tapi rasanya tidak jauh dari
Tayli ini.”

“Dari nada ucapan Ciong Ban-siu itu, agaknya tempat
itu sangat dirahasiakan,” kata Pek-hong dengan khawatir.
“Dan kalau terlalu lama Ki-ji berada dalam cengkeraman
musuh, mungkin ....”

“Ki-ji terlalu dimanjakan di rumah, biarkan dia
mengalami sedikit gemblengan juga ada baiknya,”
demikian sela Po-ting-te dengan tersenyum.

Si Pek-hong tidak berani banyak bicara lagi meski
dalam hati khawatir sekali.

Maka Po-ting-te berkata pula kepada Toan Cing-sun,
“Sun-te, suruh keluarkan santapan lagi, mari kita
menjamu diri sendiri dahulu.”

Cing-sun mengiakan dan memberi perintah, hanya
sebentar saja perjamuan lengkap sudah disediakan lagi.
Segera Po-ting-te suruh semua orang duduk semeja
untuk makan minum.

547




Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi tempatnya
bukan di istana, biasanya ia tidak suka banyak adat,
maka Toan Cing-sun, Si Pek-hong dan Ko Sing-thay
lantas sama duduk mengiringinya tanpa rikuh.

Dalam perjamuan itu, mereka sama sekali tidak bicara
tentang kejadian tadi.

Ketika dekat fajar, tiba-tiba seorang pengawal masuk
melapor, “Pah-sugong ingin menghadap Hongsiang!”

Maka masuklah seorang laki-laki kehitam-hitaman,
bertubuh pendek kurus. Ia memberi hormat kepada Poting-
te dan berkata, “Lapor Hongsiang, untuk ke tempat
itu harus melalui Sian-jin-toh dan jembatan rantai, mulut
lembahnya adalah sebuah kuburan.”

“Wah, bila tahu Pah-sugong sudah turun tangan,
masakah sarang musuh takkan diketemukan dan aku
pun tidak perlu khawatir lagi,” seru Pek-hong dengan
tertawa.

“Onghui terlalu memuji, Pah Thian-sik tidak berani
terima,” sahut laki-laki hitam itu.

Kiranya Pah Thian-sik ini meski bermuka jelek dan
potongannya kecil, tapi dia sangat cerdik dan pintar,
sudah banyak berjasa bagi Po-ting-te. Pangkatnya
sekarang di negeri Tayli adalah Sugong.

Gelar pangkat Suto, Suma dan Sugong sangat
terhormat dalam kerajaan kecil ini. Pah Thian-sik sendiri
ilmu silatnya sangat tinggi, lebih-lebih dalam ilmu

548




Ginkang. Kali ini ia ditugaskan Po-ting-te untuk menguntit
jejak musuh, dan benar juga ia dapat mengetahui tempat
Ban-jiat-kok itu.

“Thian-sik, duduklah dan makan yang kenyang,” kata
Po-ting-te kemudian dengan tertawa. “Habis makan, kita
lantas berangkat.”

Thian-sik cukup kenal watak sang raja yang biasanya
tak suka orang berlutut dan menyembah padanya, kalau
terlalu kukuh pada adat-adat kolot itu, sang raja malah
kurang senang. Maka ia hanya mengiakan sekali dan
ambil tempat duduk, terus saja ia serbu apa yang
tersedia di atas meja itu.

Setetes arak pun Pah Thian-sik tidak minum, tapi
takarannya makan ternyata sangat mengejutkan, hanya
sekejap saja hampir sepuluh mangkuk nasi telah
dilangsir ke dalam perutnya.

Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain sudah lama
bersahabat dengan Pah Thian-sik, maka mereka tidak
menjadi heran akan kelakuan orang aneh itu.

Habis makan, segera Thian-sik berbangkit, ia usap
mulutnya yang berlepotan minyak itu dengan lengan
baju, lalu berkata, “Marilah Hongsiang, biar hamba
menunjukkan jalannya.”

Dan segera ia mendahului melangkah keluar.

Berturut-turut Po-ting-te, Toan Cing-sun suami istri
dan Ko Sing-thay lantas mengikuti di belakangnya.

549




Sampai di luar istana, tampak tokoh-tokoh Hi-jiaukeng-
dok sudah menanti di situ sambil menuntun kuda, di
samping itu ada belasan pengawal lain yang
membawakan senjata Po-ting-te.

Nyata, biarpun kedua saudara Toan ini mempunyai
kedudukan terpuji, namun mereka tidak pernah
meninggalkan etiket sebagai orang persilatan daerah
Tionggoan yang diwariskan leluhur mereka. Sering kali
mereka pun menyamar sebagai rakyat jelata untuk pesiar
keluar, kalau ketemukan orang Bu-lim hendak menuntut
balas atau mencari mereka, selalu mereka pun
menghadapinya menurut peraturan Bu-lim, selamanya
tidak gunakan pengaruh kedudukan mereka untuk
menghina orang.

Sebab itulah, maka keluarnya Po-ting-te sekarang ini
sedikit pun tidak mengherankan para pengiringnya,
mereka anggap sudah biasa.

Melihat di antara beberapa orang pengiring itu ada
yang membawa pacul dan sekop, dengan tertawa Si
Pek-hong tanya, “Pah-sugong, apakah kita hendak pergi
menggali pusaka pendaman?”

“Pergi menggali kuburan!” sahut Pah Thian-sik.

Begitulah segera rombongan mereka berangkat
beramai-ramai, kuda yang mereka pakai adalah pilihan,
maka tidak sampai tengah hari mereka sudah tiba di
tanah pekuburan di luar Ban-jiat-kok itu.

“Gali situ!” kata Pah Thian-sik segera sambil
menunjuk kuburan besar yang ketujuh.

550




Terus saja pengiring-pengiring yang membawa alatalat
galian itu bekerja cepat.

“Wah, penghuni di Ban-jiat-kok ini rupanya dendam
tiada tara terhadap keluarga Toan kita!” demikian kata
Po-ting-te dengan tertawa sambil menuding batu nisan
yang bertuliskan “Kuburan Ban Siu Toan” atau kuburan
orang beribu sakit hati pada orang she Toan.

Dalam pada itu Jay-sin-khek Siau Tiok-sing sudah
lantas ayun kapaknya dengan cepat pada batu nisan itu
hingga batu kerikil bertebaran, hanya sebentar saja batu
nisan itu sudah dihancurkan olehnya dan melulu
tertinggal huruf “Toan” yang masih tetap utuh.

Sementara itu para pengiring juga sudah meratakan
sebagian besar kuburan itu hingga kelihatan jalan masuk
ke bawah tanah itu.

Segera Siau Tiok-sing mendahului masuk ke dalam,
lalu keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok mendahului
membuka jalan, di belakangnya adalah Pah Thian-sik
dan Ko Sing-thay, menyusul lantas Toan Cing-sun suami
istri dan paling akhir Po-ting-te.

Setelah masuk ke dalam lembah itu ternyata keadaan
sunyi senyap tiada seorang pun yang menyambut
kedatangan mereka.

Pah Thian-sik menuruti peraturan Kangouw, ia bawa
kartu nama Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun menuju
ke depan rumah utama di lembah itu, serunya keras-

551




keras, “Dua saudara she Toan dari negeri Tayli ingin
bertemu dengan Ciong-kokcu!”

Baru selesai ucapannya, sekonyong-konyong dari
semak-semak pohon sisi kiri sana berkelebat keluar
sesosok bayangan orang yang panjang sekali, dengan
cepat luar biasa tahu-tahu melayang ke arah Pah Thiansik
terus hendak menyambar kartu nama yang
dipegangnya itu.

Namun Thian-sik cukup cepat juga gerakannya, ia
menggeser ke samping sambil membentak, “Siapa?”

Kiranya itulah “Kiong-hiong-kek-ok” In Tiong-ho.
Sekali sambar tidak kena, ia tidak berhenti tapi terus
putar balik dan menubruk ke arah Thian-sik.

Melihat Ginkang orang sangat hebat, timbul keinginan
Pah Thian-sik untuk menjajal kepandaian orang yang
sesungguhnya, maka cepat ia geser pula ke samping
lain. Segera In Tiong-ho mengudak juga.

Maka tertampaklah dua bayangan orang, yang satu
jangkung dan yang lain pendek, dalam sekejap saja
sudah saling uber kian kemari beberapa kali. Meski
langkah In Tiong-ho sangat lebar, namun dengan gesit
sambil berlompatan, Pah Thian-sik dapat menyusup
pergi datang dengan lincah, jarak kedua orang tetap
terpisah lebih satu meter. In Tiong-ho tak bisa menyusul
Pah Thian-sik, sebaliknya Thian-sik juga tak mampu
melepaskan diri dari kejaran Tiong-ho.

Biasanya kedua orang itu sama-sama sangat
mengagulkan Ginkangnya sendiri, tapi kini ketemukan

552




lawan setanding, diam-diam mereka sama terkejut.
Makin berlari makin cepat, begitu cepatnya hingga baju
mereka berkibaran menjangkitkan angin yang menderuderu.


Meski hanya dua orang yang kejar-mengejar, namun
bagi penglihatan orang menjadi seperti beberapa orang
yang sedang saling udak kian kemari. Sampai akhirnya,
saking cepatnya lari mereka hingga orang merasa
bingung apakah sebenarnya In Tiong-ho yang lagi
mengejar Pah Thian-sik atau Thian-sik yang sedang
mengudak Tiong-ho?

Tiba-tiba terdengar suara keriut pintu dibuka, Ciong
Ban-siu tampak keluar dari rumah itu.

Melihat tuan rumah itu, tanpa berhenti berlari, Pah
Thian-sik mengerahkan tenaga dalam terus
menyambitkan kartu nama yang enteng dan lemas, tapi
Thian-sik ternyata dapat menimpuknya dengan lurus
enteng, apalagi dia sedang berlari diuber musuh, angin
yang terjangkit karena larinya itu cukup keras, tapi kartu
nama itu mampu menembus sambaran angin dan tetap
menuju ke arah Ciong Ban-siu, maka dapatlah
dibayangkan betapa lihai Lwekang Pah Thian-sik.

Ban-siu lantas tangkap kartu yang terbang ke arahnya
itu, serunya dengan gusar, “Orang she Toan, jika kau
datang ke lembah ini menurut peraturan Kangouw,
mengapa kau rusak peralatan pintu lembahku?”

“Hongsiang mahaagung, mana boleh menerobos
liang kuburmu dan peti matimu yang busuk itu?”
demikian sahut Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li.

553




Si Pek-hong sendiri paling khawatir keselamatan
putranya, maka segera ia tanya, “Di manakah anakku,
kalian mengurungnya di mana?”

Belum lagi Ciong Ban-siu menjawab, sekonyongkonyong
dari belakangnya tampil seorang wanita,
dengan suara yang tajam ia berseru, “Kedatanganmu
sudah terlambat, bocah she Toan itu sudah kami
sembelih dadanya dan isi perutnya kami buang sebagai
umpan anjing!”

Kedua tangan wanita itu tampak memegangi
sepasang golok, batang golok itu sangat ciut bagai daun
pohon Liu, tapi bersinar kemilau. Itulah dia Siu-lo-to yang
ditakuti orang Kangouw bila melihatnya.

Kedua wanita ini, Si Pek-hong dan Cin Ang-bian,
pada masa belasan tahun yang lalu sudah saling
bermusuhan. Meski Si Pek-hong tahu apa yang
dikatakan Cin Ang-bian tadi tidak benar, namun ucapan
orang yang mengerikan atas diri putranya, membuat Si
Pek-hong menjadi gusar, dendam lama dan benci baru
meledak sekaligus, dengan dingin ia balas berolok-olok,
“Huh, aku bicara sendiri dengan Ciong-kokcu, siapa yang
sudi omong-omong dengan perempuan rendah tak kenal
malu hingga mengotorkan diri sendiri.”

“Creng-creng,” sekonyong-konyong kedua golok Cin
Ang-bian membacok secepat kilat ke atas kepala Si Pekhong.
Serangan “Sip-ji-gam” atau bacokan bersilang,
yang satu malang ke sana dan yang lain melintang ke
sini, jurus ini adalah kepandaian khas Cin Ang-bian yang
telah banyak menjungkalkan jago dunia Kangouw.

554




Maka lekas Si Pek-hong ayun kebut pertapaannya
untuk menangkis, berbareng tubuhnya bergeser ke
samping, ujung kebut lantas balas menyabet punggung
lawan.

Menyaksikan itu, Toan Cing-sun menjadi serbasalah.
Yang seorang adalah istri kesayangannya, dan yang lain
adalah bekas kekasih. Dalam pertarungan sengit itu,
siapa pun terluka, dirinya yang sudah pasti akan
menyesal selama hidup. Maka segera ia membentak,
“Berhenti, berhenti dulu!”

Ia terus melompat maju dengan pedang terhunus
hendak memisah.

Melihat Toan Cing-sun, marah Ciong Ban-siu lantas
berkobar, ia lolos golok “Tay-goan-to,” golok tebal yang
bergelang hingga menerbitkan suara gemerantang
nyaring, tanpa bicara lagi terus membacok kepala Toan
Cing-sun.

“Tak usah Ongya maju sendiri, biar hamba
membereskan dia saja,” kata Leng Jian-li sambil menjuju
dengan senjata pancingnya.

“Haha,” Ban-siu tertawa mengejek. “Memang kutahu
orang she Toan hanya besar omong saja, paling-paling
cuma pandai main keroyokan.”

“Mundur Jian-li!” seru Cing-sun dengan tertawa, “biar
kubelajar kenal sendiri dengan kepandaian Ciong-kokcu
yang lihai.”

555




Berbareng ia lantas menangkis tangkai pancing Leng
Jian-li, sekalian pedang terus menempel punggung Taygoan-
to lawan yang dipakai menangkis tangkai pancing
Leng Jian-li tadi, untuk memotong jari tangan Ciong Bansiu.


Ban-siu terkejut oleh tiga gerakan yang dilakukan
sekaligus, yaitu menangkis, menempel dan memotong,
diam-diam ia harus mengaku orang she Toan ini benarbenar
lihai. Maka ia tidak berani marah lagi, tapi ia
hadapi lawan dengan sungguh-sungguh. Meski wataknya
kasar, namun kalau sudah berhadapan dengan musuh,
ia bisa berlaku hati-hati.

“Coba kalian masuk dan geledah sana!” perintah Poting-
te kepada Leng Jian-li.

Jian-li mengiakan, segera tokoh-tokoh Hi-jiau-kengdok
menyerbu ke dalam rumah orang. Tapi baru sebelah
kaki Siau Tiok-sing melangkah masuk, tiba-tiba dari
depan menyambar sebatang golok tipis ke mukanya.
Untung ia sempat mengkeret kembali dengan cepat,
kalau tidak tentu mukanya sudah rata terpotong, paling
tidak batang hidungnya pasti terpapas.

Saking kagetnya sampai Siau Tiok-sing berkeringat
dingin. Ia coba perhatikan siapa gerangan penyergap itu.
Kiranya seorang wanita yang berparas cantik, itulah dia
Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio adanya.

Golok yang dipakai Yap Ji-nio itu bentuknya sangat
aneh, enteng tipis, senjata tajam luar biasa. Sambil
memegangi gagang golok yang pendeknya cuma

556




belasan senti itu, hanya sedikit diputar seketika terjadilah
segulung sinar putih.

Kaget Siau Tiok-sing semula memang luar biasa, tapi
sesudah tenangkan diri, segera ia membentak, kapak
baja diayun, terus saja ia bacok senjata musuh.

Namun Yap Ji-nio lekas putar goloknya yang tipis
tajam itu, ia tidak berani adu senjata dengan kapak
lawan.

Siau Tiok-sing mainkan 36 jurus “Khay-san-po-hoat”
atau ilmu permainan kapak membelah gunung, ia
membacok ke atas dan membabat ke bawah. Sebaliknya
Yap Ji-nio terus-menerus mengejeknya dengan kata-kata
yang menusuk hati.

Melihat perempuan itu sambil bicara seenaknya saja
melayani serangan Tiok-sing, Cu Tan-sin menjadi
khawatir jangan-jangan kawannya teperdaya musuh.
Maka cepat ia pun menerjang maju, kipasnya berputar
terus menutuk.

Tatkala itu In Tiong-ho masih tetap main putar kayun
dengan Pah Thian-sik. Ginkang kedua orang sama
lihainya, mereka tahu juga dalam waktu singkat sukar
untuk menentukan kalah menang, tapi yang diuji
sekarang adalah tenaga dalam, siapa yang tahan lama,
dia akan menang.

Tapi Thian-sik tahu lawan sudah mengerahkan
sepenuh tenaga untuk mengejar, berbeda seperti dirinya
yang main melompat dan melejit, tenaga dalam masih
terpelihara, bila sewaktu-waktu dirinya mendadak

557




berhenti berlari terus menyerang serentak, tentu lawan
tak kuat menahannya.

Cuma tujuannya memang ingin menguji Ginkang
lawan, maka ia masih terus berlari dan belum ingin
menundukkan lawan dengan ilmu pukulan.

“Setan alas, dari mana datangnya kawanan anjing ini,
bikin berisik melulu hingga aku tak bisa tidur!” demikian
tiba-tiba terdengar suara makian orang. Lalu tertampak
Lam-hay-gok-sin melompat datang dengan senjatanya
yang istimewa, yaitu Gok-cui-cian atau gunting moncong
buaya.

Segera Tiam-jong-san-long menjawabnya dengan
suara keras, “Ini dia ayah gurumu yang datang kemari!”

“Apa ayah guruku?” bentak Lam-hay-gok-sin dengan
bingung.

“Ini,” sahut Tiam-jong-san-long sambil tunjuk Toan
Cing-sun, “Tin-lam-ong adalah ayah Toan-kongcu, dan
Toan-kongcu adalah gurumu, masakah kau berani
menyangkal, ayo?”

Biarpun perbuatan Lam-hay-gok-sin mahajahat, tapi
ada suatu sifatnya yang baik, yaitu apa yang pernah dia
ucapkan, tentu ditepatinya.

Maka demi mendengar jawaban itu, mukanya menjadi
merah padam saking gusar, tanpa menjawab benar atau
tidak, segera ia membentak pula, “Aku angkat guru
padanya adalah urusanku sendiri, peduli apa dengan
anak kura-kura macam kau ini?”

558




“Hahaha! Aku toh bukan anakmu, kenapa kau panggil
aku anak kura-kura?” sahut San-long bergelak tertawa.

Lam-hay-gok-sin tertegun, ia bingung akan jawaban
itu. Tapi kemudian ia menjadi sadar bahwa secara tidak
langsung orang telah memaki dia sebagai kura-kura alias
germo.

Sadar akan hal itu, keruan ia berjingkrak gusar,
senjatanya yang aneh itu menggunting beberapa kali ke
arah musuh.

Walaupun otaknya rada bebal, tapi ilmu silat Lam-
hay-gok-sin memang sangat lihai. Gok-cui-cian yang
dipakai itu penuh dengan gigi buaya yang tajam, baru
Tiam-jong-san-long menangkis tiga jurus dengan pacul
garuknya, kedua lengannya sudah mulai terasa linu
pegal.

Melihat kawannya terdesak, segera pancing Bu-siantio-
toh Leng Jian-li bergerak, sekali terayun, cepat kait
pancingnya melayang ke mata kiri Gok-sin.

“Huh, senjata apaan ini?” jengek Lam-hay-gok-sin.

“Aku berjuluk Lam-hay-tio-toh, kerjaku memancing
buaya!” sahut Leng Jian-li dengan tertawa.

“Kau paham kentut, masakah buaya dapat dipancing,
sekali gigit sudah putus pancingmu ini,” sahut Gok-sin tak
mau kalah.

559




“Baik, boleh kau coba-coba,” ujar Jian-li tertawa.
Kembali tali pancingnya terayun dan kait pancing hendak
mencantol mulut Lam-hay-gok-sin.

Namun Gok-sin tidak lengah, mendadak Gok-bwepian
atau ruyung ekor buaya terus dilolos, sekali sabat,
segera tali pancing lawan hendak digulungnya.

Ruyung lawan kasar antap, sedang tali pancingnya
halus enteng, maka Leng Jian-li tak berani sembrono,
cepat ia tarik pancingnya dan putar sekali di udara,
menyusul batok kepala belakang Gok-sin hendak dikait
lagi.

Menyaksikan situasi pertarungan itu, Po-ting-te
menaksir pihaknya tidak berbahaya, cuma sepasang Siulo-
to Cin Ang-bian yang dimainkannya dengan cepat luar
biasa dengan aneka macam perubahannya, di atas
golok-golok tipis itu dilumasi racun pula. Dalam hal ilmu
silat sejati tidak nanti Si Pek-hong kalah, tapi kalau
tersentuh senjata lawan yang beracun, itulah yang
dikhawatirkan.

Segera Po-ting-te berkata pada Ko Sing-thay, “Jaga
dan awasi keadaan di sini, kalau perlu boleh kau rampas
sebilah golok nyonya itu.”

Ko Sing-thay mengiakan, dengan tenang ia berdiri
mengawasi kalangan pertempuran dengan gagahnya.

Po-ting-te lantas masuk ke dalam rumah, serunya
keras-keras, “Ki-ji, apakah kau berada di sini?”

560




Tapi sama sekali tiada jawaban orang. Ia coba
membuka pintu kamar sebelah kiri dan berseru pula, “Kiji!”


Belum hilang suaranya, sekonyong-konyong sesosok
bayangan hijau berkelebat, seutas tali panjang secepat
kilat menyambar lehernya.

Walaupun benda hijau itu menyambar dengan
terapung di udara, tapi ternyata adalah makhluk hidup.
Po-ting-te terkejut, segera ia dapat melihat jelas bahwa
benda itu adalah seekor ular hijau yang panjang. Dengan
lidahnya yang mulur mengkeret, ular itu hendak
menggigit tenggorokannya.

Tanpa pikir lagi Po-ting-te segera menyelentik dengan
jarinya hingga tepat kena bawah leher ular itu.

Tenaga selentikan Po-ting-te ini sungguh bukan main
hebatnya, biarpun ular hijau itu keras sebagai kawat baja,
sekali kena diselentik, seketika patah juga tulang
lehernya, ular itu jatuh ke lantai, setelah mengesot
beberapa kali, lalu mati.

Maka terdengarlah suara jeritan kaget seorang gadis
cilik, “Haya, kau bunuh aku punya Jing-leng-cu!”

Waktu Po-ting-te memerhatikan tertampak seorang
nona cilik berusia 15-16 tahun muncul dari balik pintu
dengan wajah yang kaget tercampur takut.

“Di mana Toan-kongcu berada?” tanya Po-ting-te.

561




“Untuk apa kau cari Toan-kongcu?” berbalik gadis itu
tanya.

“Aku hendak menolongnya keluar!” sahut Po-ting-te.

“Engkau takkan dapat menolongnya,” ujar gadis itu.
“Ia terkurung di dalam sebuah rumah batu, di luar ada
yang jaga pula.”

“Harap bawa aku ke sana,” kata Po-ting-te, “akan
kurobohkan orang yang jaga, membuka rumah batu itu
dan menolong keluar Toan-kongcu.”

“Tidak bisa!” sahut si gadis cilik. “Kalau aku membawa
engkau ke sana, tentu ayah akan membunuh aku!”

“Siapa ayahmu?” tanya Po-ting-te.

“Aku she Ciong, ayahku adalah tuan rumah lembah
ini,” sahut si gadis cilik yang bukan lain adalah Ciong
Ling itu. “Dan engkau sendiri siapa?”

Po-ting-te hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia
pikir terhadap seorang nona cilik begini, baik
memancingnya dengan kata-kata atau mengancam
dengan kekerasan, semuanya tidak pantas digunakan
atas diri gadis cilik ini. Kalau Toan Ki sudah terang
dikurung di dalam lembah itu, tentu tidak sulit untuk
mencarinya.

Karena itu, ia lantas keluar lagi dari rumah itu dengan
maksud mencari jalan lain untuk menemukan Toan Ki ....

562




*****

Kembali mengenai Toan Ki dan Bok Wan-jing yang
dikurung di dalam kamar batu sebagai “ternak” yang
disuruh mengembang biak itu. Ketika mengetahui bahwa
Jing-bau-khek yang mengeram mereka dengan muslihat
keji itu adalah “Ok-koan-boan-eng” atau kejahatan sudah
melampaui takaran, tentu saja mereka bertambah kejut
dan khawatir.

Dan karena pikiran kacau, keteguhan iman mereka
semakin tipis, sampai akhirnya, entah bagaimana
jadinya, tiba-tiba mereka duduk saling berdekapan.

“Jing-moay,” demikian Toan Ki berkata perlahan, “kita
sudah jatuh dalam cengkeramannya, mungkin sukar
menyelamatkan diri.”

Wan-jing hanya mengiakan sekali, ia merasa pipinya
panas bagai dibakar, terus saja ia susupkan kepalanya di
pangkuan Toan Ki.

Perlahan Toan Ki membelai rambut si nona, keringat
kedua orang sudah membasahi baju masing-masing
hingga mirip orang habis kecemplung dalam air. Dan
begitu mencium bau badan masing-masing, keruan
makin bertambah daya tariknya.

Jangankan mereka adalah muda-mudi yang belum
berpengalaman, seumpama tidak terpengaruh oleh
racun, tentu mereka pun sukar mengendalikan diri,

563




apalagi racun “Im-yang-ho-hap-san” yang mereka minum
itu sangat banyak, biarpun nabi sekalipun kalau sudah
minum racun itu juga akan gugur imannya.

Untunglah dalam keadaan lupa daratan itu, dalam
benak Toan Ki masih timbul setitik sinar terang yang
mengingatkan nama baik dan kehormatan keluarga Toan
mereka, maka sekuatnya ia terus bergulat dengan nafsu
kebinatangannya.

Yang paling celaka adalah si baju hijau alias “Okkoan-
boan-eng” itu masih terus membakar dari luar,
katanya, “Ayolah lekas kalian laksanakan cita-citamu.
Lebih cepat kalian mempunyai anak lebih cepat pula
kalian akan keluar dari kurungan ini. Nah, aku akan
pergi!”

Habis itu, terdengar suara daun pohon berkeresekan,
agaknya orangnya sudah pergi jauh.

Toan Ki berteriak-teriak, “Gak-losam! Gak-losam!
Gurumu ada kesulitan, lekas menolongnya!”

Namun sampai tenggorokannya bejat tetap tiada
seorang pun yang menyahut, pikirnya, “Dalam keadaan
begini, biarpun aku harus angkat guru padanya juga tidak
soal lagi. Soal salah mengangkat orang jahat sebagai
guru adalah urusan pribadiku dan tak ada sangkut paut
dengan ayah dan paman.”

Segera ia berteriak-teriak pula, “Gak-losam! Lam-haygok-
sin! Aku rela mengangkat guru padamu, terima
menjadi ahli waris Lam-hay-pay, lekas menolong

564




muridmu ini. Kalau tidak cepat, tentu takkan kau peroleh
murid berbakat!”

Tapi sampai ia capek sendiri, tetap tiada suatu
bayangan setan pun yang kelihatan.

“Toan-long,” tiba-tiba Wan-jing berkata, “sesudah kita
kawin, engkau lebih suka anak pertama kita nanti laki-laki
atau perempuan?”

“Laki-laki,” sahut Toan Ki dalam keadaan sadar tak
sadar.

“Hai, Toan-kongcu, engkau adalah Engkohnya, tidak
boleh kalian kawin!” tiba-tiba suara seorang gadis cilik
menyela dari luar.

Toan Ki terperanjat, cepat ia tanya, “Ap ... apakah
Ciong-kohnio adanya?”

“Ya, benar, memang akulah!” demikian sahut gadis itu
yang memang benar adalah Ciong Ling. “Sudah
kudengar semua ucapan Jing-bau-khek yang jahat itu,
tapi jangan khawatir, aku pasti akan berdaya untuk
menolongmu!”

“Bagus!” seru Toan Ki girang. “Nah, lekas kau pergi
mencuri obat penawarnya untuk kami.”

“Akan lebih baik kugeser batu besar ini untuk
menolong kalian keluar dahulu,” demikian ujar Ciong
Ling.

565




“Tidak, tidak! Lekas kau curikan obat penawar
dahulu,” sahut Toan Ki cepat. “Seb ... sebab aku tak
tahan lagi, aku ham ... hampir mati!”

“Mengapa tak tahan? Apakah engkau sakit perut?”
tanya Ciong Ling khawatir.

“Bu ... bukan,” sahut Toan Ki.

“Habis, apakah sakit kepala?” Ciong Ling menegas
pula.

“Juga bukan,” sahut Toan Ki.

“Habis, apamu yang tidak tahan?”

Toan Ki menjadi sulit menjawab, masakah urusan
begituan boleh diterangkan pada seorang nona cilik yang
masih hijau? Terpaksa ia menjawab, “Seluruh badanku
terasa tidak enak, cukup asal kau berusaha
mendapatkan obat penawarnya.”

“Tapi engkau tidak terangkan apa penyakitnya, dari
mana kutahu obat penawar apa yang diperlukan?” ujar
Ciong Ling berkerut kening. “Ayahku pandai mengobati
segala macam penyakit, tapi dia harus tahu dulu apakah
kau sakit perut, sakit kepala, atau sakit jantung?”

“Ak ... aku tidak apa-apa,” sahut Toan Ki sambil
menghela napas. “Tapi aku salah ... salah minum
semacam racun yang disebut ‘Im-yang-ho-hap-san’.”

“Bagus,” seru Ciong Ling, “asal kau tahu namanya,
mudahlah urusan diselesaikan.”

566




Lalu dengan cepat gadis itu pulang ke rumah hendak
minta obat penawar “Im-yang-ho-hap-san” pada
ayahnya.

Tak tersangka begitu Ciong Ling menyebut tentang
“Im-yang-ho-hap-san”, belum lagi ia menerangkan lebih
lanjut, kontan Ciong Ban-siu terus menarik muka yang
berbentuk muka kuda itu, dampratnya, “Anak perempuan
sekecil ini untuk apa tanya ini dan itu, kalau berani
sembarangan omong lagi, sebentar kujewer kupingmu.”

Dan sebelum Ciong Ling sempat bicara lebih lanjut,
saat itulah Po-ting-te dan rombongannya menyerbu ke
dalam lembah Ban-jiat-kok, maka cepat Ban-siu keluar
menghadapi musuh sehingga Ciong Ling ditinggal
sendirian di dalam kamar.

Ketika mendengar di luar sudah terjadi pertarungan
sengit, Ciong Ling tidak ambil pusing sama sekali, ia
asyik membongkar lemari obat simpanan sang ayah. Ia
ubrak-abrik beratus botol obat Ciong Ban-siu yang
tersimpan di dalam lemari, setiap botol obat itu tertempel
etiket yang menunjukkan nama obat masing-masing, tapi
obat penawar “Im-yang-ho-hap-san” itu justru tidak
terdapat.

Dan sedang Ciong Ling bingung entah ke mana harus
mencari obat penawar yang dibutuhkan, tiba-tiba
terdengar suara orang mendobrak pintu dan melangkah
masuk. Tanpa pikir lagi ia lepaskan Jing-leng-cu, siapa
tahu badan Jing-leng-cu yang kuat seperti besi itu, sekali
diselentik Po-ting-te lantas binasa.

567




Dalam pada itu, Toan Ki yang menunggu-nunggu
kembalinya Ciong Ling hingga lama itu, pikiran tak
senonohnya sudah semakin berkobar-kobar, beberapa
kali hampir saja ia menubruk maju untuk memeluk Bok
Wan-jing. Sampai akhirnya, saking tak tahan, segera ia
berteriak, “Jing-moay, aku tidak ingin hidup lagi, lekas
berikan panahmu yang berbisa itu!”

“Tidak, aku tak mau memberi,” sahut Wan-jing
dengan suara serak dan mata merah.

Toan Ki terus memukul dada dan perut sendiri sambil
berteriak pula, “Mati, matilah aku!”

Dan mendadak kepalan yang menghantam dada
sendiri itu memukul sebuah benda keras, itulah kotak
kemala yang berada dalam bajunya. Seketika pikirannya
tergerak, “Hah, biarlah kugunakan Bong-koh-cu-hap ini
untuk memanggil ular beracun, biarlah aku digigit mati
ular berbisa saja.”

Segera ia keluarkan kotak kemala itu dan membuka
tutupnya. Benar juga sepasang katak aneh itu lantas
menguak keras-keras.

Namun di lembah Ban-jiat-kok itu berhubung Ciong
Ling suka main Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu, maka ular
berbisa lainnya sudah jauh menyingkir ke tempat lain
sehingga tidak mungkin mendengar suara menguaknya
katak raja ular ini.

Sampai lama Toan Ki menunggu, namun tiada seekor
ular pun yang muncul. Sebaliknya badan semakin panas,
mulut terasa kering, keringat membasah kuyup bajunya.

568




Pikirnya, “Sepasang Cu-hap ini bisa mengatasi ular
berbisa, agaknya racun pada badan binatang ini pasti
jauh lebih lihai daripada ular beracun yang paling jahat.”

Karena dia sudah ambil keputusan hendak
membunuh diri, dalam keadaan pikiran gelap, tanpa
banyak pikir lagi ia terus comot seekor katak merah itu, ia
masukkan binatang itu ke dalam mulut terus
dikunyahnya.

Ia merasakan air segar mengalir masuk
tenggorokannya, rasanya sangat enak. Ternyata katakkatak
itu adalah binatang berdarah dingin. Maka hanya
sekejap saja seekor katak merah yang merupakan
makhluk mestika yang jarang ada di jagat ini sudah
dimakannya habis. Bahkan ia belum lagi puas, segera
katak yang kedua dimakannya pula.

Melihat muka Toan Ki sangat beringas sambil makan
katak hingga mulutnya penuh berlepotan darah,
rambutnya kusut masai pula, Bok Wan-jing menjadi rada
takut.

Sementara itu setelah makan dua ekor Cu-hap
mestika itu, pernapasan Toan Ki bertambah megapmegap,
ia justru berharap racun binatang itu lekas
bekerja agar dirinya lekas mati, supaya terhindar
daripada siksaan yang sukar ditahan itu ....

*****

569




Kembali mengenai Po-ting-te. Sesudah tinggalkan
Ciong Ling, ia coba mencari pula terkurungnya Toan Ki.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tindakan orang,
cepat ia menoleh, ternyata Ciong Ling yang sedang
menyusulnya. Segera ia pun berhenti menanti gadis cilik
itu.

Sambil mendekat, Ciong Ling berkata, “Aku tidak
menemukan obat penawarnya, marilah kubawa engkau
ke sana. Tapi entah batu itu dapat kau geser atau tidak?”

Sudah tentu Po-ting-te tidak tahu tentang obat
penawar segala, tanyanya, “Obat penawar apa? Dan
batu apa lagi?”

“Marilah ikut padaku, sebentar engkau akan tahu
sendiri,” sahut Ciong Ling dan mendahului jalan ke
depan.

Meskipun jalanan di Ban-jiat-kok itu berliku-liku penuh
rahasia, namun di bawah petunjuk Ciong Ling, sebentar
saja ia sudah membawa Po-ting-te sampai di depan
pagar pohon yang mengelilingi rumah batu itu.

Dengan enteng Po-ting-te pegang bahu Ciong Ling,
sama sekali tidak tampak raja itu bergerak, tahu-tahu ia
sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng dan
anteng sambil membawa Ciong Ling.

Keruan gadis itu kagum dan kegirangan, ia bertepuk
tangan memuji, “Bagus, bagus, engkau seperti bisa
terbang saja, sungguh hebat! Wah, celaka!”

570




Tiba-tiba seruannya ditutup oleh jeritan khawatir.

Kiranya tiba-tiba dilihatnya di depan rumah batu itu
berduduk seorang, itulah dia Jing-bau-khek atau si baju
hijau yang aneh itu.

Rupanya Ciong Ling sangat takut terhadap manusia
yang setengah-mati setengah-hidup itu, ia membisiki Poting-
te, “Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang itu
sudah enyah, barulah kita kembali lagi.”

Po-ting-te sendiri rada heran juga melihat Jing-baukhek
yang luar biasa itu. Ia coba menghibur si gadis,
“Jangan khawatir, ada aku di sini. Apakah Toan Ki
terkurung di dalam rumah batu ini?”

Ciong Ling mengangguk, lalu sembunyi di belakang
Po-ting-te.

Perlahan Po-ting-te mendekati Jing-bau-khek,
tegurnya dengan ramah, “Dapatkah saudara menyingkir
sedikit?”

Namun Jing-bau-khek itu anggap tidak melihat dan
tidak mendengar, ia tetap duduk bersila dengan tenang
di tempatnya.

“Jika saudara tidak suka menyingkir, maaf kalau aku
berlaku kasar,” kata Po-ting-te pula. Sekali miringkan
tubuh, segera ia melayang lewat di samping Jing-baukhek
terus hendak mendorong batu penutup pintu rumah.

Tapi sebelum Po-ting-te mengeluarkan tenaga,
sekonyong-konyong Jing-bau-khek menarik keluar

571




sebatang tongkat bambu terus menutuk ke “Koat-bunhiat”
di bawah ketiaknya. Anehnya tongkat bambu itu
bergetar terus dan tidak lantas ditutukkan, bila Po-ting-te
mengerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali
tongkat itu ditusukkan, tentu Po-ting-te sukar
menghindarkan diri.

Keruan Po-ting-te terkesiap, pikirnya, “Ilmu Tiam-hiat
orang ini sungguh sangat pandai. Di zaman ini, siapakah
gerangan tokoh kosen selihai ini?”

Cepat ia ayun tangan yang lain untuk membelah
tongkat bambu orang, sedang tangan lain tetap menahan
di atas batu untuk sewaktu-waktu mendorongnya. Namun
reaksi Jing-bau-khek itu benar-benar sangat cekatan,
sekali tongkatnya berputar, kembali ia ancam “Thian-tihiat”
di dada lawan.

Secepat kilat Po-ting-te berganti serangan sampai
beberapa kali, tapi selalu diatasi lebih dulu oleh tongkat
bambu si baju hijau yang tetap mengancam sesuatu
tempat Hiat-to berbahaya di tubuhnya.

Pertarungan di antara kaum ahli memang tidak perlu
setiap serangan mesti mengenai sasarannya dengan
telak. Maka sesudah belasan kali berganti tipu serangan,
selalu Jing-bau-khek berhasil membuat Po-ting-te tidak
sempat mengerahkan tenaga untuk mendorong batu
besar itu. Betapa jitu caranya mengincar Hiat-to, Po-tingte
harus mengakui lawan itu tidak kalah daripada dirinya,
bahkan masih di atas adiknya, yaitu Toan Cing-sun.

Sekonyong-konyong Po-ting-te memotong miring ke
bawah dengan tangan kiri, menyusul mata telapak

572




tangan itu mendadak berubah dengan tutukan jari. “Cus”,
ia keluarkan Lwekang It-yang-ci untuk menutuk tongkat
lawan. Kalau tutukan ini kena, jangankan hanya tongkat
bambu, biarpun tongkat baja juga akan dibuatnya
bengkok.

Bab 12

Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itu pun
bergerak, “cus”, tongkat itu menutuk ke arahnya hingga
kedua tenaga tutukan itu saling bentur di udara.

Kontan Po-ting-te tergetar mundur setindak,
sebaliknya Jing-bau-khek juga tergeliat. Muka Po-ting-te
sekilas memerah, sebaliknya wajah Jing-bau-khek
sekilas bersemu hijau, namun sama lantas lenyap dalam
sekejap saja.

Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnya,
“Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bahkan sudah terang
satu sumber dengan diriku. Jelas kelihatan ilmu
permainan tongkatnya ini ada hubungannya dengan Ityang-
ci.”

Karena itu, segera ia memberi hormat dan bertanya,
“Siapakah nama Cianpwe yang terhormat, sudilah
kiranya memberi tahu?”

“Kau ini Toan Cing-beng atau Toan Cing-sun?”
terdengar suara mendenging berbalik tanya padanya.

Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bicara,
Po-ting-te menjadi lebih heran, sahutnya, “Aku Toan
Cing-beng!”

573




“Hm, jadi kau inilah raja Po-ting-te negeri Tayli
sekarang?” jengek orang aneh itu.

“Benar,” sahut Po-ting-te.

“Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa
lebih tinggi?” tiba-tiba Jing-bau-khek itu tanya.

Untuk sejenak Po-ting-te berpikir, lalu menjawab,
“Bicara tentang ilmu silat, memang engkau lebih menang
sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku
bisa mengalahkan engkau.”

“Benar,” Jing-bau-khek itu mengaku, “betapa pun
karena badanku sudah cacat. Ai, sungguh tidak nyata
bahwa sesudah menjadi raja, sedikit pun engkau tidak
telantarkan ilmu silatmu.”

Walaupun suaranya keluar dari perutnya dengan
nada yang aneh, tapi tetap dapat terdengar ucapannya
yang terakhir itu penuh mengandung rasa bimbang, sesal
dan kecewa.

Karena tak bisa menerka asal usul orang, dalam
sekejap itu benak Po-ting-te berputar macam-macam
tanda tanya.

Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu
berkumandang keluar suara jeritan seorang yang keras
dan serak. Itulah suara Toan Ki.

Cepat Po-ting-te berseru, “Ki-ji, kenapa kau? Jangan
khawatir, segera dapat kutolongmu!”

574




Kiranya sehabis makan kedua ekor Bong-koh-cu-hap
mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak
segar. Tak tersangka sepasang katak merah itu adalah
makhluk ajaib yang jarang terdapat di alam semesta ini,
hidupnya berkat hawa Yang atau positif (lelaki) yang
murni. Bila yang memakannya itu adalah Bok Wan-jing,
maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika
racun yang berkobar di dalam tubuh si gadis akan dapat
dihapus.

Tapi sekarang yang memakannya adalah Toan Ki
yang bertenaga Yang juga, tenaga kaum lelaki.
Memangnya hawa Yang itu sedang bergolak di dalam
tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari
Cu-hap, keruan sebentar saja hawa Yang katak-katak itu
bekerja, keadaan Toan Ki menjadi mirip api disiram
minyak, saking panas oleh bergolaknya hawa Yang itu,
sampai akhirnya Toan Ki hanya megap-megap dengan
mulut menganga, dengan demikian dapatlah hawa yang
bergolak di dalam tubuh itu sekadar dikeluarkan.

Tentang percakapan antara Po-ting-te dan Jing-baukhek
itu di luar rumah batu serta Po-ting-te menyuruhnya
jangan khawatir segala, Toan Ki hanya dapat
mendengarnya, tapi tidak sadar lagi akan maksudnya.

“Hm, Siaucu ini boleh juga dasar imannya, setelah
minum ‘Im-yang-ho-hap-san’ ternyata masih mampu
bertahan sampai sekarang,” demikian tiba-tiba Jing-baukhek
berkata.

Keruan Po-ting-te kaget, tanyanya ragu, “Kau ... kau
beri racun sejahat dan secabul itu, apa maksud tujuanmu
sebenarnya?”

575




“Di dalam rumah ini terdapat pula adik
perempuannya,” sahut Jing-bau-khek.

Maka mengertilah Po-ting-te akan muslihat keji orang.
Sekalipun biasanya ia sangat sabar, kini ia tak tahan lagi,
dengan ilmu It-yang-ci yang mahalihai itu menutuk.
Segera Jing-bau-khek membalasnya dengan tongkat
bambunya.

Menyusul tutukan kedua Po-ting-te dilancarkan pula,
kali ini mengarah “Tan-cong-hiat” di dada lawan. Hiat-to
ini adalah tempat yang mematikan, ia menduga musuh
tentu akan menangis sepenuh tenaga.

Tak tersangka Jing-bau-khek itu hanya mendengus
dua kali, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, ia
membiarkan dadanya ditutuk. Dalam pada itu jari Po-tingte
sudah menyentuh baju orang, ia menjadi curiga
melihat lawannya terima saja diserang, segera ia tahan
tutukannya itu di tengah jalan sambil tanya, “Kenapa kau
rela mati?”

“Kalau aku mati di bawah tanganmu, itulah paling
baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan
bertambah lagi setingkat,” sahut Jing-bau-khek.

“Siapakah engkau sebenarnya?” tanya Po-ting-te
pula.

Dengan perlahan Jing-bau-khek itu mengucap satu
kalimat.

576




Mendengar itu, seketika wajah Po-ting-te berubah
hebat, katanya dengan terputus-putus, “Ak ... aku tidak
percaya!”

Tiba-tiba Jing-bau-khek oper tongkat bambunya ke
tangan kiri, lalu jari telunjuk tangan kanan menutuk ke
arah Po-ting-te. Namun cepat Po-ting-te mengegos ke
samping, berbareng balas menutuk sekali.

“Cus”, lagi-lagi tutukan kedua Jing-bau-khek itu
dilontarkan dengan jari tengah. Dengan sikap prihatin
Po-ting-te membalas pula dengan jari tengah pula.

Menyusul Jing-bau-khek menutuk pula dengan jari
manis yang menyambar dari samping, kemudian tutukan
keempat dilancarkan dengan jari kecil dengan gaya
mencukit.

Dengan wajah sungguh-sungguh Po-ting-te
membalas semua tutukan itu dengan jari-jari yang sama.
Ketika tutukan kelima kalinya terjadi, kini Jing-bau-khek
menggunakan jari jempol dengan gaya menekan ke
depan.

Ciong Ling yang menonton di samping menjadi
terheran-heran, sifat kanak-kanaknya menjadi timbul lagi
hingga lupa rasa takutnya pada Jing-bau-khek itu.
Dengan tertawa ia berseru, “He, apakah kalian sedang
main sut-sutan)? Siapakah yang menang?”

Sembari berkata, Ciong Ling berjalan mendekati. Tapi
sekonyong-konyong serangkum angin keras menyambar
ke arahnya, seketika dadanya sesak seakan-akan
ditikam senjata tajam.

577




Untung Po-ting-te sempat ayun sebelah tangannya
hingga tubuh Ciong Ling dapat didorong mundur,
menyusul Po-ting-te sendiri pun melesat mundur untuk
memegang badan si gadis dengan wajah guram,
katanya, “Apakah kau sudah tidak sayang pada jiwamu
lagi?”

“Huak,” terus saja Ciong Ling tumpahkan darah segar,
dengan tercengang ia menjawab, “Ap ... apa dia hendak
membunuhku?”

“Bukan,” sahut Po-ting-te. “Aku sedang mengadu
kepandaian dengan dia, orang luar tidak boleh
sembarangan mendekat.”

Habis itu, Po-ting-te urut beberapa kali punggung
Ciong Ling hingga pernapasan gadis itu lancar kembali.

“Sekarang kau percaya tidak?” demikian Jing-baukhek
bertanya pada Po-ting-te.

Segera Po-ting-te melangkah maju, ia memberi
hormat dan berkata, “Toan Cing-beng memberi hormat
pada Cianpwe.”

“Kau panggil aku Cianpwe, jadi tidak sudi mengakui
siapa diriku atau memang belum mau percaya?” tanya
Jing-bau-khek itu.

“Cing-beng adalah pemimpin suatu negeri,
mempunyai tanggung jawab yang berat, setiap tindak
tanduk dengan sendirinya tidak boleh sembrono,”
demikian jawab Po-ting-te. “Cing-beng sendiri tidak

578




punya anak, Toan Ki itu adalah satu-satunya anak lakilaki
keluarga Toan kami, maka mohon Cianpwe suka
memberi ampun dan lepaskan dia.”

“Tidak, aku justru ingin keluarga Toan rusak moral
dan runtuh iman, hilang anak putus turunan. Dengan
susah payah kucari kesempatan dan baru hari ini
berhasil, mana boleh sembarangan kubebaskan dia?”

“Toan Cing-beng tidak dapat terima perbuatanmu ini!”
seru Po-ting-te dengan suara keras.

“Hehe, kau mengaku sebagai raja Tayli, tapi bagiku
kau tidak lebih daripada pemberontak yang rebut
kekuasaan. Jika kau berani, boleh kau kerahkan pasukan
dan pengawalmu ke sini. Tapi ingin kukatakan padamu,
memang kekuatanku tidak bisa melawanmu, namun bila
aku mau bunuh si bangsat cilik Toan Ki rasanya teramat
mudah.”

Wajah Po-ting-te menjadi pucat pasi. Ia tahu apa yang
dikatakan orang memang benar, bila dirinya bertambah
lagi seorang pembantu, tentu Jing-bau-khek ini takkan
mampu melawannya, tapi Toan Ki segera akan menjadi
korban, apalagi orang terhitung kaum Cianpwe, mana
boleh dirinya melawan orang tua. Maka terpaksa ia
tanya, “Habis, cara bagaimana baru engkau bersedia
membebaskan Ki-ji?”

“Tidak susah, mudah sekali!” sahut Jing-bau-khek.
“Lekas kau jadi Hwesio dan serahkan takhtamu padaku,
segera akan kubebaskan Toan Ki.”

579




“Warisan leluhur, mana boleh sembarangan kuberikan
pada orang lain?” sahut Po-ting-te.

“Jika begitu, boleh menanti saja, bila Toan Ki dan adik
perempuannya sudah melahirkan anak, segera
kulepaskan dia,” kata Jing-bau-khek.

“Lebih baik lekas kau bunuh dia saja,” sahut Po-tingte.


“Tidak,” kata Jing-bau-khek. “Selain itu, masih ada
lagi dua jalan.”

“Dua jalan apa?” tanya Po-ting-te.

“Pertama, secara mendadak kau serang aku, karena
tak sempat jaga diri, dapat kau bunuh aku dengan
mudah dan tentu dapat kau tolong keponakanmu itu.”

“Aku tidak pernah membokong orang, juga tidak
padamu!” ujar Po-ting-te.

“Hm, sekalipun kau hendak kau bokong aku juga
belum mampu,” sahut Jing-bau-khek. “Dan jalan kedua,
boleh kau suruh Toan Ki tempur aku dengan It-yang-ci,
asal dia bisa menang, bukankah dia dapat lolos? Hehe,
hehe!”

Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia
masih dapat mengendalikan diri, katanya pula, “Ki-ji tak
tahu ilmu silat, ia tidak pernah belajar ilmu It-yang-ci.”

“Putra keluarga Toan tak bisa It-yang-ci? Hah, siapa
yang mau percaya!” jengek Jing-bau-khek.

580




“Sejak kecil Ki-ji hanya baca kitab dan tekun
beribadat, hatinya welas asih, ia bertekad tidak mau
belajar silat,” demikian Po-ting-te menjelaskan.

“Huh, kembali seorang laki-laki berhati palsu lagi.
Orang demikian kalau menjadi raja Tayli juga takkan
menguntungkan rakyatnya, lebih baik lekas dibunuh
saja.”

“Cianpwe,” tiba-tiba Po-ting-te berseru dengan bengis,
“kecuali itu tadi, apakah masih ada jalan lain pula?”

“Dahulu kalau aku diberi jalan lain, tentu tak jadi
seperti sekarang ini,” sahut Jing-bau-khek dingin. “Kalau
orang lain tidak memberi jalan padaku, kenapa aku harus
memberi jalan padamu?”

Po-ting-te menunduk dan berpikir sejenak, mendadak
ia angkat kepala dengan sikap yang penuh kepercayaan,
serunya, “Ki-ji, selekasnya aku akan berdaya untuk
menolongmu, janganlah kau lupa bahwa kau adalah
keturunan keluarga Toan!”

Terdengar Toan Ki berseru menjawab, “Pekhu, lekas
masuk ke sini dan ... dan menutuk mati aku saja!”

“Apa? Jadi kau sudah melakukan perbuatan yang
merusak kehormatan keluarga Toan kita?” bentak Poting-
te.

“Tidak! Tapi Titji (keponakan) merasa panas bagai
dibakar, tak sanggup ... tak sanggup hidup lagi!”

581




“Mati atau hidup sudah takdir Ilahi, biarkan saja terjadi
apa mestinya!” seru Po-ting-te.

Habis itu ia gandeng tangan Ciong Ling dan
melompat lewat pagar pohon.

“Nona cilik, terima kasih engkau telah tunjukkan
jalannya, semoga engkau mendapat ganjaran yang
pantas,” kata Po-ting-te pada Ciong Ling, lalu tinggal
pergi kembali ke depan rumah utama tadi.

Dalam pada itu pertarungan yang berlangsung itu
sudah mulai kentara kekuatan masing-masing, Bu-siantio-
toh Leng Jian-li dan Tiam-jong-san-long Tang Su-kui
berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah jelas di atas
angin. Sebaliknya Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pitbak-
seng Cu Tan-sin yang mengerubut Yap Ji-nio malah
terdesak oleh golok tipis tokoh kedua Su-ok itu.

Si Pek-hong tampak putar kebutnya dengan kencang
hingga sepasang Siu-lo-to lawannya susah menembus
pertahanannya.

Di sebelah sana In Tiong-ho masih main udak-udakan
dengan Pah Thian-sik. Napas In Tiong-ho tampak
megap-megap bagai kerbau sekarat, sebaliknya Thiansik
masih dapat melompat dan melejit dengan enteng
dan cekatan.

Sedang Sian-tan-hou Ko Sing-thay tetap acuh tak
acuh menggendong tangan mondar-mandir di samping,
nyata ia sudah yakin akan kemenangan di pihaknya,
maka terhadap pertarungan sengit di depannya itu
dianggapnya sepi saja. Padahal ia justru pasang telinga

582




dan mata memusatkan antero perhatiannya mengikuti
situasi medan pertempuran, asal tidak ada kawannya
menghadapi bahaya, ia pun tidak perlu turun tangan
membantu.

Dan karena tidak melihat adik pangerannya berada di
situ, segera Po-ting-te tanya, “Ke mana adik Sun pergi?”

“Tin-lam-ong mengejar Ciong-kokcu dan sedang
mencari Toan-kongcu,” sahut Sing-thay.

Segera Po-ting-te berseru, “Kita sudah ada rencana
lain, harap semua mundur dulu.”

Mendadak Pah Thian-sik berhenti lari. Tapi In Tiongho
masih terus menubruk ke arahnya. “Plak”, cepat
Thian-sik melontarkan pukulan ke belakang. Ketika In
Tiong-ho menangkis, kontan dada terasa sesak, darah
hampir tersembur keluar dari mulutnya. Sekuatnya ia
tahan, namun pandangannya menjadi remang-remang,
susah lagi melihat datangnya lawan.

Untung Thian-sik tidak menghantam lebih jauh,
sebaliknya cuma menjengek dan berkata, “Terima kasih!”

Dalam pada itu, tampak Toan Cing-sun telah muncul
juga dari semak-semak pohon sana, segera ia tanya,
“Hong-heng, apakah Ki-ji sudah ... sudah ditemukan?”

Sebenarnya ia hendak tanya apakah sudah
“tertolong”, tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia tanya
apakah sudah diketemukan atau belum.

583




“Sudah ketemu,” sahut Po-ting-te mengangguk.
“Marilah kita pulang saja dahulu.”

Mendengar perintah “gencatan senjata” raja mereka,
Leng Jian-li dan kawan-kawannya lantas hendak
berhenti. Namun Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Cin
Ang-bian sedang bernafsu melabrak lawannya, seketika
mereka tidak rela berhenti begitu saja.

Po-ting-te bekernyit kening melihat itu, katanya pula,
“Marilah kita pergi saja!”

Ko Sing-thay mengiakan, berbareng ia keluarkan
senjata “Giok-tik” atau seruling kemala, sekali bergerak,
segera punggung Cin Ang-bian ditutuknya.

“Huh, tidak malu, main keroyok!” damprat Ang-bian
dengan gusar sambil menangkis.

Maka terdengarlah suara “crang-cring” dua kali,
sepasang Siu-lo-to kena ditekan ke bawah, kesempatan
mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat
mundur.

Menyusul Ko Sing-thay kebas lengan bajunya yang
longgar itu hingga berjangkit serangkum angin keras, ia
tahan agar Cin Ang-bian tidak menyerang lebih jauh
lawannya, lalu serulingnya menutuk pula ke arah Lam-
hay-gok-sin, dan sekali serulingnya membalik, kini Yap
Ji-nio yang diincar.

Kedua gerak serangan itu semuanya menyerang titik
kelemahan musuh yang terpaksa mesti menghindar.

584




Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Ji-nio menjadi kaget,
cepat mereka melompat mundur beberapa tindak.

Sebenarnya ilmu silat Ko Sing-thay tidak lebih tinggi
daripada ketiga lawannya itu, soalnya sudah lama dia
mengikuti pertarungan mereka dari samping, sebelumnya
ia sudah merencanakan tipu serangan hebat untuk
melayani ketiga orang itu. Asal tipu serangan yang sudah
disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang
itu pasti kelabakan dan terpaksa melompat mundur.

Mendelik mata Lam-hay-gok-sin yang bundar kecil
sebesar kacang itu, ia terkejut tercampur kagum,
serunya, “Setan, hebat benar, sungguh tidak nyana ....”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya yang bermaksud
“tidak nyana begini lihai kepandaianmu, rasanya aku
memang bukan tandinganmu.”

Dalam pada itu Si Pek-hong lantas tanya Po-ting-te,
“Hong-heng, bagaimana dengan Ki-ji?”

Meski dalam batin Po-ting-te sangat khawatir, namun
lahirnya ia tetap tenang saja, sahutnya, “Tidak apa-apa,
saat ini justru adalah kesempatan yang paling bagus
untuk menggemblengnya, lewat beberapa hari lagi tentu
dia akan bebas.”

Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului
berangkat.

Cepat Sugong Pah Thian-sik berlari ke depan sebagai
pembuka jalan. Sedang suami istri Toan Cing-sun
menyusul di belakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan

585




tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, paling akhir adalah Ko
Sing-thay yang mengawal dengan berlenggang
seenaknya.

Nyata, dengan serangan yang lihai tadi, Ko Sing-thay
telah bikin lawan-lawannya merasa jeri. Biarpun Lam-
hay-gok-sin biasanya sangat garang dan buas, kini juga
tidak berani sembarangan menantang pula.

Setelah belasan tindak berjalan, tiba-tiba Toan Cingsun
menoleh dan memandang Cin Ang-bian. Saat itu,
dengan termangu-mangu Ang-bian juga sedang
memandang bekas kekasihnya itu. Dua pasang mata
ketemu, seketika mereka sama terkesima.

“Keparat!” mendadak Lam-hay-gok-sin membentak,
“Apakah kau masih belum mau pergi dan ingin berkelahi
pula dengan Locu (bapakmu)?”

Toan Cing-sun kaget, cepat ia berpaling kembali, ia
lihat sang istri sedang memandangnya dengan sikap
dingin, dengan kikuk lekas ia percepat langkah dan
keluar Ban-jiat-kok.

Sesudah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te
berkata, “Mari kita berkumpul semua di istana untuk
berunding!”

Sampai di pendopo istana, Po-ting-te duduk di
tengah, Toan Cing-sun suami istri di sisinya, sedang Ko
Sing-thay dan lain-lain hanya berdiri.

Segera Po-ting-te suruh dayang membawakan kursi
dan suruh semua orang ikut duduk. Habis itu, ia

586




perintahkan semua dayang keluar ruangan, lalu
menceritakan keadaan Toan Ki yang dikurung oleh
musuh itu.

Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kunci dari
mati hidup Toan Ki terletak pada diri Jing-bau-khek itu.
Tapi demi mendengar Po-ting-te bilang orang aneh itu
pun paham It-yang-ci, bahkan lebih lihai daripada sang
raja, keruan tiada seorang pun yang berani sembarangan
buka suara.

Sebab harus diketahui bahwa It-yang-ci adalah ilmu
khas warisan keluarga Toan turun-temurun, hanya
diajarkan pada anak laki-laki dan tidak kepada anak
perempuan. Dan kalau Jing-bau-khek itu pun mahir ilmu
sakti itu, dengan sendirinya dia pasti juga berasal dari
keturunan keluarga Toan.

Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te
berkata pada Toan Cing-sun, “Adik Sun, coba kau terka
siapakah gerangan orang itu?”

Cing-sun geleng kepala, sahutnya, “Aku tidak bisa
menebaknya, barangkali orang dari Cing-peng-si kembali
menjadi orang preman dan menyamar?”

“Bukan,” sahut Po-ting-te, “dia adalah Yan-king
Taycu!”

Mendengar nama “Yan-king Taycu” atau putra
mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkejut.

587




“Yan-king Taycu?” Cing-sun menegas. “Bukankah
sudah lama dia meninggal? Besar kemungkinan orang itu
memalsukan beliau untuk menipu belaka.”

“Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-ci juga
dapat dipalsu?” sahut Po-ting-te dengan menghela
napas. “Memang banyak juga orang Bu-lim mencuri
belajar ilmu silat aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang
It-yang-ci kita cara bagaimana bisa dicurinya? Maka
menurut pendapatku, orang ini pastilah Yan-king Taycu
adanya, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.”

Cing-sun pikir sejenak, lalu berkata, “Jika Toako
sudah jelas mengenalnya, ini berarti dia tokoh pilihan
keluarga Toan kita, tapi sebab apa dia malah hendak
merusak nama baik keluarga kita sendiri?”

“Orang ini cacat badan, dengan sendirinya sifatsifatnya
sangat menyendiri dan aneh, segala tindak
tanduk dengan sendirinya juga abnormal,” demikian Poting-
te menjelaskan. “Apalagi takhta kerajaan Tayli sudah
kududuki, dengan sendirinya ia tidak senang, maka kita
berdua hendak dihancurkannya habis-habisan.”

“Toako sudah lama naik takhta dan didukung penuh
oleh seluruh rakyat, negara pun aman tenteram, rakyat
hidup sejahtera, jangankan Yan-king Taycu datang
kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali juga sukar
menggantikan takhta Toako,” demikian ujar Cing-sun.

Segera Ko Sing-thay juga bangkit, dan berdatang
sembah, “Apa yang dikatakan Tin-lam-ong memang
tepat. Urusan akan menjadi beres bila Yan-king Taycu
mau bebaskan Toan-kongcu dengan baik-baik, kalau

588




tidak, kita pun tidak kenal lagi apakah dia itu Taycu apa
segala, kita hanya anggap dia sebagai kepala Su-ok
yang mahajahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu
silatnya tinggi, akhirnya juga takkan mampu lawan kita
yang berjumlah lebih banyak.”

Kiranya pada masa 14 tahun yang lalu, tatkala itu raja
Tayli Toan Lian-cit dengan gelar Siang-tek-te, telah
dibunuh oleh menteri dorna Nyo Cit-ceng. Kemudian
keponakan sang raja dapat membasmi pemberontakan
Nyo Cit-ceng, lalu naik takhta sendiri dengan gelar Siangbeng-
te.

Tapi Siang-beng-te tidak suka menjadi raja, ia hanya
bertakhta satu tahun, lalu mengundurkan diri untuk
menjadi Hwesio, ia serahkan takhtanya kepada adik
sepupunya Toan Cing-beng, yaitu Po-ting-te yang
sekarang.

Siang-tek-te sebenarnya mempunyai seorang putra
kandung yang disebut oleh para menteri dengan gelar
Yan-king Taycu. Tapi sewaktu terjadi kudeta oleh Nyo
Cit-ceng, Yan-king Taycu telah menghilang hingga
semua orang menyangka dia juga dibunuh oleh
pemberontak. Siapa duga setelah belasan tahun
lamanya, kini mendadak muncul kembali.

Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay
tadi, Po-ting-te berkata sambil geleng kepala, “Tidak, aku
tidak setuju. Takhtaku ini memangnya adalah hak Yanking
Taycu. Tatkala itu disebabkan dia menghilang,
makanya Siang-beng-te menerima takhta ini, kemudian
diserahkan padaku. Tapi kini kalau Yan-king Taycu

589




sudah kembali, takhta kerajaan ini sepantasnya
kukembalikan padanya.”

Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menyambung,
“Andaikan mendiang ayahmu masih hidup, tentu ia pun
sependapat denganku.”

Kiranya Ko Sing-thay ini tak-lain tak-bukan adalah
putranya Ko Ti-sing, itu menteri setia yang membantu
Siang-tek-te membasmi pemberontakan.

Segera Ko Sing-thay melangkah maju, ia menyembah
dan bertutur pula, “Mendiang ayahku membaktikan
dirinya kepada negara dan cinta pada rakyat. Padahal
Jing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok
yang mahajahat, kalau dia yang merajai negeri Tayli ini,
maka susah dibayangkan betapa celakanya rakyat jelata
akan menderita akibat angkara murkanya itu. Maka
pendapat Hongsiang tentang akan menyerahkan takhta
padanya, hamba sekalipun mati tak bisa terima.”

Cepat Leng Jian-li pun menyembah, katanya, “Tadi
Jian-li juga mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin
itu, katanya kepala Su-ok mereka berjuluk ‘kejahatan
sudah melebihi takaran’. Coba pikiran, andaikan benar
orang itu adalah Yan-king Taycu, lalu Hongsiang
menyerahkan takhta ini kepada seorang yang kejam dan
durhaka seperti dia untuk memerintah rakyat Tayli ini,
maka pastilah negara akan hancur dan rakyat akan
celaka!”

“Harap kalian bangun, apa yang kalian katakan
memang ada benarnya juga,” sahut Po-ting-te. “Cuma Ki-

590




ji berada dalam cengkeramannya, kecuali kuserahkan
takhta padanya, jalan lain rasanya tiada lagi.”

“Toako,” kata Cing-sun, “selama ini kita kenal
peraturan ‘orang tua ada kesulitan, yang muda harus
berusaha menolong’. Meski Ki-ji sangat disayang oleh
Toako, mana boleh Toako rela melepaskan takhtamu
hanya untuk keselamatannya seorang? Andaikan Ki-ji
dapat diselamatkan, rasanya ia pun merasa berdosa
pada rakyat negeri Tayli ini.”

Po-ting-te tidak berkata pula, ia bangkit sambil
berjalan mondar-mandir di ruangan pendopo itu, tangan
kiri mengelus jenggot, tangan lain ketuk-ketuk perlahan
jidat sendiri.

Semua orang tahu bila sang raja sedang menghadapi
sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti
demikian, maka tiada seorang pun yang berani bersuara
mengganggu.

Sesudah mondar-mandir agak lama, kemudian
berkatalah Po-ting-te, “Perbuatan Yan-king Taycu ini
benar-benar keji sekali, racun ‘Im-yang-ho-hap-san’ yang
dia minumkan pada Ki-ji itu sangat lihai, orang biasa
sangat sukar bertahan. Maka kukhawatir saat ini Ki-ji
sudah ... sudah khilaf oleh pengaruh racun serta sudah
berbuat .... Ai, tapi kejadian ini adalah muslihat yang
sengaja diatur musuh, tak dapat menyalahkan Ki-ji.”

Toan Cing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab,
kalau soal ini diungkat secara mendalam, semuanya
adalah gara-gara perbuatannya sendiri yang sok bangor
itu.

591




Tiba-tiba Po-ting-te berpaling pada Ko Sing-thay dan
tanya, “Sing-thay, tahun ini putrimu itu berusia berapa?”

“Siauli (putriku) tahun ini berumur delapan belas,”
sahut Sing-thay.

“Bagus!” ujar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada
Cing-sun, “Sun-te, kita tetapkan untuk melamar putri
Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sugong, harap kau
pergi ke bagian protokol untuk mengatur peresmian
lamaran ini serta menyediakan emas kawin yang
diperlukan. Peristiwa ini harus dirayakan semeriahnya
hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui
semua.”

Suami-istri Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan Pah
Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak
datangnya. Namun segera mereka pun paham bahwa
tindakan Po-ting-te ini adalah demi nama baik keluarga
serta kehormatan Toan Ki yang masih suci bersih itu.

Asal setiap orang di seluruh negeri sudah tahu bahwa
istri Toan Ki adalah putri Sian-tan-hou Ko Sing-thay,
sekalipun kemudian Yan-king Taycu menyebarkan
desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak
susila dengan adik perempuannya sendiri, tentu orang
luar akan menganggapnya sebagai dusta dan fitnah
belaka, paling-paling juga cuma setengah percaya
setengah tidak.

Maka Toan Cing-sun menjawab, “Siasat Hong-heng
ini memang sangat bagus. Sudah lama kudengar putri
Sian-tan-hou cantik molek, pintar lagi berbakti, sungguh

592




seorang istri yang susah dicari. Tetapi tabiat Ki-ji agak
aneh juga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia sudah
lolos dari bahaya, kemudian beri tahukan hal ini
padanya, lalu mengatur emas kawin untuk memastikan
perjodohan ini.”

“Sudah tentu aku pun tahu watak Ki-ji memang suka
bandel,” ujar Po-ting-te. “Misalnya waktu kita hendak
ajarkan It-yang-ci padanya, tapi betapa pun ia tidak mau
belajar, sungguh seorang yang tidak tahu adat. Tapi
mengenai perjodohan, selamanya harus tunduk pada
pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani
membangkang perintah kalian suami istri? Apalagi hal ini
demi menyelamatkan nama baik keluarga Toan, demi
kehormatan selama hidupnya, bagaimanapun ia tidak
boleh membangkang.”

“Kabarnya putri Ko-hiante itu badannya rada lemah,
maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak
dulu,” ujar Cing-sun.

Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu
dicari-cari, maka katanya pula, “Soal badan lemah bukan
soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia
ajarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu
singkat tentu badannya akan sehat kuat.”

“Namun ... namun .....” kata Cing-sun.

“Sun-te,” demikian Po-ting-te memotong sebelum adik
pangeran itu bicara lebih lanjut, “sejak tadi kau selalu
menolak saja, sebenarnya apa maksudmu? Apakah
dalam hatimu ada sesuatu yang kurang senang terhadap
Ko-hiante?”

593




“O, tidak, tidak!” cepat Cing-sun menjawab.
“Hubungan Ko-hiante denganku laksana saudara
sekandung. Kalau kami berdua dapat besanan lagi, tentu
lebih bagus. Ehm, ka ... kabarnya Pah-sugong juga
mempunyai seorang putri dan Hoan-suma juga ada dua
anak perempuan. Marilah kita pun ajukan mereka itu
sebagai calon.”

Thian-sik tertawa, katanya, “Tapi anak Thian-sik itu
baru lahir tahun yang lalu, sampai sekarang pun usianya
belum genap setahun. Sedang kedua putrinya Hoansuma,
yang satu adalah menantuku yang tertua, sedang
yang lain konon sudah bertunangan, yaitu mendapat
putra sulung Hoa-suto.”

Po-ting-te menjadi kurang senang juga atas sikap
adiknya itu, segera katanya pula, “Sun-te, percumalah
engkau sama bertugas dengan Thian-sik bertiga,
masakah urusan mereka itu sedikit pun tak kau ketahui?”

Melihat kakak bagindanya rada gusar, Cing-sun tidak
berani buka mulut lagi.

“Tin-lam-ongya,” tiba-tiba Sing-thay berkata, “sejak
kecil Sing-thay sudah bergaul dengan Ongya, hubungan
kita boleh dikatakan melebihi saudara sekandung, di
antara kita biasanya tidak pernah kenal istilah rahasia,
maka sudilah katakan bila ada dengar sesuatu yang
menjelekkan nama baik putriku hingga terasa tidak
sesuai untuk menjadi menantumu? Jika benar begitu,
hendaklah katakan terus terang, Sing-thay tak nanti
merasa tersinggung.”

594




Cing-sun agak ragu, tapi kemudian berkata, “Jika
demikian, biarlah Cing-sun bicara, tapi harap Ko-hiante
jangan marah.”

“Silakan Ongya bicara terus terang saja,” sahut Singthay.


“Begini,” kata Cing-sun dengan merandek sejenak,
“sejak kecil putrimu sudah kehilangan ibu, betapa pun
Hiante rada memanjakan dia. Konon watak putrimu
sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnya dia
sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan
katanya lebih hebat daripadamu. Jika begitu, kelak bila
dia sudah menjadi menantuku, mungkin ... mungkin,
hehe, aku menjadi khawatir kalau Ki-ji akan menderita
selama hidupnya. Ki-ji sedikit pun tidak suka ilmu silat
dan melulu mahir beberapa langkah ‘Leng-po-wi-poh’ itu
untuk berlari kian kemari di dalam kamar guna
menghindarkan hajaran putrimu, hidup demikian
bukankah tiada artinya lagi.”

Po-ting-te terbahak-bahak oleh keterangan itu,
katanya, “Sun-te, sebabnya kau ragu-ragu kiranya melulu
soal demikian saja.”

Cing-sun melirik Si Pek-hong sekejap, lalu menyahut
dengan tertawa, “Toako, adik iparmu selalu selisih
paham denganku, pada waktu cekcok, untung
kepandaian kami berdua sama kuatnya hingga Siaute
tidak sampai dihajar olehnya, kalau sebaliknya, wah, bisa
runyam.”

Mendengar itu, mau tak mau semua orang tersenyum
geli juga.

595




Dengan dingin Si Pek-hong berkata, “Asal Ki-ji dapat
mempelajari It-yang-ci keluarga Toan, tentu tiada
tandingannya di dunia ini, biarpun dia menikah dengan
lima atau sepuluh perempuan bawel juga tidak perlu
takut.”

Di balik kata-katanya itu terang ia sengaja berolokolok
“It-yang-ci.”

Namun Cing-sun hanya tersenyum saja tanpa
menjawab.

Segera Ko Sing-thay bicara pula, “Siauli (putriku)
meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanya juga
takkan berbuat sembarangan. Sing-thay sudah banyak
menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar
lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong.”

Po-ting-te tertawa, katanya, “Jika putrimu bisa bantu
menghajar sedikit anak kami yang suka bikin gara-gara
itu, kami bersaudara justru merasa sangat berterima
kasih, itu berarti putrimu telah berjasa mendidik anak
kami itu. Sing-thay, siapa nama anak itu? Apakah benar
rada ... rada keras wataknya?”

“Putri hamba bernama ‘Bi’, hanya satu huruf saja,”
sahut Sing-thay. “Sejak kecil ia tidak pernah keluar
rumah, tabiatnya sangat ramah. Mungkin ada orang yang
dendam pada Sing-thay, maka sengaja menyebarkan
kabar tidak benar itu dan dapat didengar Ongya.”

Nyata dia menjadi kurang senang karena mendengar
Tin-lam-ong menyatakan watak putrinya kurang baik.

596




Maka cepat Cing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia
gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan
tertawa, “Ko-hiante, aku tadi salah omong, hendaklah
engkau jangan pikirkan lebih jauh.”

“Nah, urusan boleh diputuskan demikian,” kata Poting-
te kemudian dengan tersenyum. “Thian-sik, aku
menugaskanmu sebagai Lap-jay-su, supaya kau bisa
menarik komisi sebagai comblang dari kedua belah
pihak.”

Lap-jay-su atau duta pengantar emas kawin di
kalangan kerajaan adalah sama dengan comblang di
kalangan rakyat jelata. Kalau urusan selesai, umumnya
dari pihak pengantin laki-laki dan perempuan akan
memberi hadiah cukup besar.

Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas
itu sambil mengucapkan terima kasih.

“Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih
(bagian perpustakaan) mencatat dalam buku silsilah, aku
mengangkat adikku Cing-sun sebagai Hong-thay-te (adik
pangeran mahkota),” demikian perintah Po-ting-te lebih
lanjut.

Cing-sun terperanjat, cepat ia berlutut menyembah,
“Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan
bijaksana, tentu akan diberkahi Thian yang mahakuasa
dengan keturunan banyak, maka keputusan tentang
Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu.”

597




Po-ting-te bangunkan adik pangeran itu, katanya,
“Kita bersaudara adalah dwitunggal, dua badan satu jiwa.
Nasib negeri Tayli ini terletak di tangan kita berdua,
jangankan aku memang tidak punya anak, sekalipun
punya keturunan juga takhtaku kelak akan kuturunkan
padamu. Sun-te, keputusanku sudah lama tersirat dalam
hatiku, pula rakyat di seluruh negeri pun sudah lama
tahu, hari ini hanya kutetapkan secara resmi saja, biar
Yan-king Taycu yang bertujuan jahat itu hilang
harapannya!”

Karena berulang menolak tetap tak diizinkan, akhirnya
terpaksa Cing-sun menerima dengan baik serta
mengaturkan terima kasih pada Hongsiang.

Segera Ko Sing-thay dan lain-lain saling memberi
selamat kepada Toan Cing-sun.

Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang
tidak punya keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi
bahwa kelak yang akan menggantikannya pasti Tin-lamong,
hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.

Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan juga
kepada Ko Sing-thay, maksudnya memberi selamat
bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan takhta ayahnya,
dengan sendirinya putrimu adalah permaisuri, maka uang
jasaku sebagai comblang ini harus istimewa.

Akhirnya Po-ting-te berkata, “Sekarang silakan semua
pergi mengaso. Tentang urusan Yan-king Taycu itu
harap jangan sampai bocor.”

598




Semua orang mengiakan dan memberi hormat lalu
mengundurkan diri.

Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika
bangun, ia dengar di luar ramai dengan suara musik
yang meriah, suara letusan mercon bergemuruh di manamana.
Dayang yang melayaninya itu memberi laporan,
“Oleh karena putra Tin-lam-ong mengirim Lap-jay kepada
putri Sian-tan-hou, maka di luar istana rakyat ikut
merayakannya dengan meriah.”

Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli
dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahan
yang bijaksana, rakyat hidup makmur sejahtera, maka
dukungan rakyat kepada raja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou
dan para pembesar lain, luar biasa besarnya. Ketika
mendengar keluarga Toan dan Ko besanan, segenap
penduduk kota Tayli ikut riang gembira.

Segera Po-ting-te memberi perintah, “Sampaikan
titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar
kembang api, segala larangan di kota Tayli dicabut untuk
sementara, semua angkatan bersenjata diberi cuti agar
bisa ikut merayakan, orang tua dan anak piatu diberi
hadiah tersendiri.”

Ketika titah raja itu disampaikan kepada umum,
segenap rakyat Tayli seketika makin bersorak-sorai
gembira.

Menjelang petang, Po-ting-te menyamar dengan
pakaian preman dan keluar sendirian. Ia tarik topinya
yang lebar itu ke bawah hingga hampir menutupi
matanya, dengan demikian orang lain sukar

599




mengenalnya. Sepanjang jalan ia lihat rakyat menyanyi
dan menari dengan riangnya, laki-perempuan, tua-muda
hilir mudik dengan ramai.

Betapa bersyukurnya Po-ting-te menyaksikan
negerinya yang sentosa itu. Diam-diam ia berdoa,
“Semoga rakyat negeri Tayli turun-temurun senantiasa
diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Cingbeng
sekalipun tidak punya keturunan juga takkan
menyesal.”

Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas
dipercepat, makin lama makin sunyi tempat yang dituju,
kira-kira belasan li jauhnya, setelah melintasi beberapa
lereng bukit, sampailah di suatu kelenteng kuno kecil, di
atas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf “Liam-hoa-si”
atau kelenteng petik bunga.

Po-ting-te berhenti di depan kelenteng sambil berdoa
sejenak, lalu mengetuk pintu dengan perlahan.

Tidak lama, pintu dibuka dan muncul seorang Hwesio
kecil, tanyanya sambil memberi hormat, “Ada keperluan
apakah kunjungan tuan tamu ini?”

“Harap sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan sobat
lama Toan Cing-beng mohon bertemu,” sahut Po-ting-te.

“Silakan masuk,” kata padri cilik itu.

Po-ting-te dibawa ke ruangan tengah melalui suatu
pekarangan yang sunyi, kata padri kecil itu, “Harap tuan
tamu suka menunggu sebentar, biar kulaporkan kepada
Suhu.”

600




Po-ting-te mengiakan, ia mondar-mandir di ruangan
itu sambil menggendong tangan.

Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri di luar
rumah untuk menunggu orang, yang selalu terjadi ialah
orang lain menanti di luar istana hendak menghadap
padanya. Namun begitu, ternyata sedikit pun ia tidak
gelisah, ia tetap menanti dengan sabar di dalam
kelenteng yang seakan-akan memberi rahmat padanya
itu, sama sekali ia lupa bahwa dirinya adalah seorang
raja.

Agak lama kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara
seorang tua berkata dengan tertawa, “Toan-hiante,
rupanya engkau sedang dirundung sesuatu kesulitan?”

Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang padri
tua bermuka sudah penuh keriput, berperawakan tinggi
besar, sedang melangkah masuk dari pintu samping.

Kedua alis padri tua ini sangat panjang hingga
melambai ke bawah, bulu alisnya bersemu kuning
hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio yang hendak
ditemuinya itu.

Po-ting-te memberi hormat, lalu katanya, “Maafkan
mengganggu ketenteraman Taysu.”

Ui-bi Hwesio (padri alis kuning) hanya tersenyum,
sahutnya, “Mari masuk.”

601




Po-ting-te ikut masuk ke suatu pondok kecil, di situ
tampak enam Hwesio setengah umur berjubah abu-abu
serentak membungkuk memberi hormat kepada mereka.

Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid
Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu
duduk bersila di atas tikar di sisi kiri sana.

Sesudah Ui-bi Hwesio juga duduk di tikar sebelah
kanan, Po-ting-te lantas berkata, “Aku mempunyai
seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu berusia
tujuh tahun, pernah kubawa dia ke sini untuk
mendengarkan khotbah Suheng.”

“Ya, anak itu memang pintar, sungguh anak bagus,
anak bagus!” ujar Ui-bi.

“Setelah mendapat rahmat Buddha, wataknya juga
welas asih, tidak mau belajar silat, katanya agar tidak
membunuh sesamanya,” tutur Po-ting-te.

“Tidak bisa ilmu silat juga bisa membunuh orang.
Sebaliknya mahir ilmu silat, belum tentu akan membunuh
orang,” ujar Ui-bi.

Po-ting-te membenarkan. Lalu ia pun bercerita
tentang Toan Ki yang bandel, tidak mau belajar silat,
minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wanjing
dan kemudian tertawan oleh Yan-king Taycu yang
bergelar “orang jahat nomor satu di jagat” itu.

Dengan tersenyum Ui-bi mendengarkan cerita itu
tanpa menyela. Keenam muridnya yang berdiri di

602




belakangnya dengan tangan lurus ke bawah pun diam
saja, bahkan bergerak sedikit pun tidak.

Habis Po-ting-te bicara, kemudian Ui-bi berkata
dengan perlahan, “Jikalau Yan-king Taycu adalah
saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak
bergebrak dengan dia, seumpama kau kirim bawahanmu
untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanya juga
tidak pantas, maksudmu demikian bukan?”

Po-ting-te mengangguk, sahutnya, “Suheng memang
bijaksana!”

Ui-bi tersenyum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak
mengulur jari tengah terus menutuk perlahan ke arah
dada Po-ting-te.

Po-ting-te tersenyum juga, ia pun ulur jari telunjuknya
tepat menutuk ujung jari orang. Seketika tubuh kedua
orang sama tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan
masing-masing.

Dengan berkerut kening berkatalah Ui-bi, “Toanhiante,
aku punya Kim-kong-ci-lik toh tidak bisa
menangkan It-yang-cimu yang hebat?”

“Tapi dengan kebijaksanaan dan kecerdikan Suheng,
tidak perlu menang dengan tenaga jari,” ujar Po-ting-te.

Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk berpikir.

Tiba-tiba Po-ting-te bangkit dan berkata, “Sepuluh
tahun yang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan
cukai garam bagi segenap rakyat negeri Tayli. Tapi

603




tatkala itu, karena perbendaharaan negara belum
mengizinkan, pula Siaute bermaksud menunggu bila
adikku Cing-sun menggantikan takhtaku, barulah aku
melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakyat
jelata berterima kasih kepada adikku. Tetapi kini aku
berpikir lain, besok juga Siaute akan memberi perintah
pembebasan cukai garam demi kebahagiaan rakyat.”

Ui-bi berbangkit juga dan memberi hormat, katanya,
“Hiante sudi beramal bagi rakyat seluruh negeri, aku
merasa terima kasih tak terhingga.”

Lekas Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa
bicara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.

Pulang sampai di istana, segera Po-ting-te
memerintahkan dayang mengundang Pah Thian-sik dan
Hoa-suto serta memberitahukan kepada mereka tentang
keputusan menghapuskan cukai garam itu.

Mengetahui itu, kedua Sugong dan Suto ikut
berterima kasih dan memberi pujian atas kebijaksanaan
sang raja.

“Dan untuk selanjutnya, segala pembiayaan di dalam
istana harus diperkecil dan dihemat,” demikian pesan Poting-
te lebih lanjut. “Sekarang pergilah kalian, coba
rundingkan dan periksa secara teliti, apakah ada
pengeluaran lain yang dapat dihemat pula.”

Segera kedua pejabat tinggi itu mengiakan dan
mengundurkan diri.

604




Meski urusan diculiknya Toan Ki diperintahkan oleh
Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoansuma
adalah orang-orang kepercayaan Po-ting-te,
dengan sendirinya tidak perlu dirahasiakan, maka sejak
tadi Pah Thian-sik sudah beri tahukan hal itu kepada
kedua rekannya itu.

Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa
yang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannya yang
dipanggil menghadap ke istana itu. Maka sesudah Pah
Thian-sik dan Hoa-suto memberitahukan tentang
keputusan raja akan membebaskan cukai garam serta
menghemat anggaran belanja negara, Hoan-suma ikut
bergirang, katanya, “Hoa-toako dan Pah-hiante,
sebabnya Hongsiang memutuskan untuk menghapuskan
pajak garam, tentunya disebabkan putra Tin-lam-ong
masih berada dalam cengkeraman musuh, maka ingin
mohon belas kasihan Tuhan agar calon mahkota itu
diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga
sama sekali tak bisa ikut menanggung beban kesukaran
junjungan kita, masakah kita masih ada muka menjabat
kedudukan setinggi ini di pemerintahan kerajaan?”

“Ucapan Hoan-jiko memang tidak salah, apa
barangkali engkau mempunyai tipu daya yang bisa
menolong Toan-kongcu?” tanya Thian-sik.

Hoan-suma ini bernama satu huruf “Hua” saja,
tabiatnya jenaka, tapi banyak tipu akalnya, maka
jawabnya kemudian, “Jika musuh benar-benar adalah
Yan-king Taycu, terang Hongsiang tak ingin bermusuhan
dengan dia secara terang-terangan. Siaute sih
mempunyai suatu akal, cuma diperlukan pengorbanan
tenaga Hoa-toako.”

605




“Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani
menolak? Lekaslah terangkan tipu akalmu!” sahut Hoasuto
cepat.

“Menurut keterangan Hongsiang,” demikian Hoan
Hua, “katanya ilmu silat Yan-king Taycu itu lebih tinggi
daripada Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai
kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongcu.
Kalau Hoa-toako sudi, dapat juga pekerjaan Hoa-toako
yang dulu coba-coba dilakukan lagi sekarang.”

Wajah Hoa-suto yang lebar dan rada kekuningkuningan
itu menjadi merah, sahutnya dengan tertawa,
“Ah, kembali Jite hendak menggoda aku.”

Kiranya Hoa-suto ini asalnya bernama A Kin, meski
sekarang berkedudukan tinggi di negeri Tayli, tapi
dahulunya berasal dari kaum miskin, sebelum dia
mendapat pangkat, kerjanya ialah membongkar kuburan.
Kepandaiannya yang paling mahir adalah mencuri isi
kuburan keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab
dalam kuburan orang-orang demikian tentu banyak
disertai pendaman harta pusaka. Dan Hoa A Kin lantas
menggangsir dari tempat jauh, ia menggali satu jalanan
di bawah tanah sampai menembus ke dalam kuburan
yang menjadi sasarannya, di situlah dia mencuri isi
kuburan yang berharga itu.

Caranya membongkar kuburan itu dengan sendirinya
sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir
satu kuburan terkadang diperlukan waktu sebulan atau
dua bulan lamanya, tetapi dengan caranya menggangsir

606




itu justru sangat kecil sekali risikonya akan diketahui
orang.

Suatu kali, ia berhasil menggangsir ke dalam suatu
kuburan kuno, di situ ia mendapatkan sejilid kitab pusaka
ilmu silat. Ia lantas melatihnya menurut petunjuk kitab itu
hingga memperoleh ilmu Gwakang (kekuatan luar) yang
sangat tinggi, akhirnya ia pun lepaskan pekerjaannya
yang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada
kerajaan, karena jasa-jasanya selama bertugas, akhirnya
pangkatnya mencapai Suto seperti sekarang ini, yaitu
setingkat dengan pembantu menteri.

Sesudah menjadi pembesar, ia anggap namanya
yang dulu terlalu kampungan, makanya lantas diganti
menjadi Hek-kin. Di antara kawan-kawan karibnya,
kecuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain
jarang yang tahu asal usulnya.

Maka dengan tertawa Hoan Hua menjawab, “Mana
Siaute berani menggoda Toako? Tapi maksudku bila kita
dapat menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, di situ kita
menggangsir satu jalan di bawah tanah yang menembus
ke tempat kurungan Toan-kongcu, maka dengan bebas
tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat
menolongnya keluar.”

“Bagus, bagus!” teriak Hek-kin sambil tepuk paha
sendiri.

Menggangsir kuburan sebenarnya adalah pekerjaan
yang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan
tahun lamanya pekerjaan itu tak pernah lagi dilakukan,

607




namun terkadang bila teringat kembali, tangannya
menjadi gatal lagi.

Soalnya cuma pangkatnya sekarang sudah tinggi,
hidupnya tidak kekurangan, kalau mesti menjalankan
pekerjaan menggangsir, bagaimana jadinya kalau
diketahui orang? Maka kini demi ada yang mengusulkan
agar dirinya melakukan pekerjaan lama lagi, ia menjadi
girang sekali.

“Nanti dulu, Hoa-toako jangan buru-buru senang
dulu,” demikian kata Hoan Hua pula. “Dalam urusan ini
kita masih banyak kesulitannya. Terutama hendaklah
diketahui bahwa Su-tay-ok-jin (empat mahadurjana) telah
berada di Ban-jiat-kok semua. Suami-istri Ciong Ban-siu
dan Siu-lo-to Cin Ang-bian tergolong tokoh-tokoh lihai
pula, kalau kita hendak menyelundup ke sana,
sesungguhnya tidaklah gampang. Lagi pula, Yan-king
Taycu ini senantiasa duduk jaga di depan rumah batu
tempat Toan-kongcu dikurung, kalau kita harus menggali
melalui bawahnya, apakah tidak mungkin akan diketahui
olehnya?”

Hoa Hek-kin berpikir sejenak, sahutnya kemudian,
“Jalan yang akan kita gangsir itu harus menembus ke
dalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari
tempat jaga Yan-king Taycu itu.”

“Tapi Toan-kongcu setiap saat terancam bahaya,
kalau kita menggangsir perlahan, apakah masih keburu?”
ujar Hoan Hua, Hoan-suma.

608




“Kalau perlu, marilah kita bertiga kerja keras
serentak,” usul Hoa-suto. “Cuma untuk itu kalian harus
menjadi muridku sebagai tukang gangsir kuburan.”

“Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli,
biarpun mesti bekerja menggangsir, tugas ini betapa pun
tak boleh ditolak,” sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.

Maka tertawalah ketiga orang itu.

“Kalau sudah mau bekerja, marilah sekarang juga kita
mulai,” ajak Hoa-suto.

Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Banjiat-
kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin lantas
merencanakan di mana akan dimulai dan di mana akan
berakhir dari lorong yang akan digangsirnya nanti.

Sedang mengenai cara bagaimana harus
menghindari pengintaian musuh dan cara bagaimana
mengitari rintangan batu padas di bawah tanah, hal ini
memang merupakan kepandaian Hoa-suto yang tiada
bandingannya, maka tidak perlu dipersoalkan.

*****

Kembali lagi mengenai Toan Ki.

609




Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-cu-hap
itu, hawa Yang dalam tubuhnya semakin bergolak,
saking luar biasa panasnya, akhirnya ia jatuh pingsan.

Dan pingsannya itu justru menolongnya terhindar dari
penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar
bahwa sehari semalam itu di luar sudah terjadi banyak
perubahan. Ayahnya telah diangkat menjadi calon
pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan
putrinya Ko Sing-thay, Ko Bi, sebagai istri. Di seluruh
kota Tayli saat itu sedang diadakan perayaan besar
untuk memeriahkan kedua peristiwa gembira itu,
sekaligus untuk merayakan dihapus pajak garam rakyat
oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri masih bersandar
di dinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.

Sampai esok tengah hari, barulah Toan Ki agak sadar
ketika bekerjanya racun Im-yang-ho-hap-san dan Bong-
koh-cu-hap yang sangat panas itu kebetulan berhenti
bersama untuk sementara. Tapi setelah berhenti dan bila
kumat lagi, maka racun itu akan bertambah hebat. Toan
Ki tidak tahu bahaya apa yang masih mengeram di dalam
tubuhnya, dengan sadarnya pikiran, walaupun badan
masih sangat lemas, ia menyangka racun sudah mulai
hilang.

Dan selagi ia hendak bicara dengan Bok Wan-jing,
tiba-tiba terdengar di luar rumah batu itu ada suara
seorang tua lagi berkata, “Sembilan garis malang
melintang, entah betapa banyak digemari orang. Apakah
Kisu juga ada minat untuk coba-coba satu babak
denganku?”

610




Toan Ki menjadi heran, ia coba mengintip keluar
melalui celah-celah batu. Maka tertampaklah seorang
Hwesio tua bermuka keriput dan beralis kuning panjang
sedang berjongkok sambil menggunakan jari tangannya
lagi menggores-gores garis lurus di atas sebuah batu
besar yang rata. Begitu hebat tenaga jarinya itu hingga
terdengar suara “srak-srek” disertai berhamburnya bubuk
batu, lalu jadilah satu garis lurus yang panjang di atas
batu itu.

Toan Ki terkejut. Meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi
sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering juga ia
menyaksikan sang ayah dan pamannya waktu berlatih Ityang-
ci. Ia pikir wajah padri tua ini seperti sudah pernah
kenal, tenaga jarinya ternyata sedemikian lihainya,
mampu menggores batu menjadi satu garis yang dalam.
Tenaga jari demikian adalah semacam ilmu Gwakang
yang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknya
berbeda dengan It-yang-ci yang dilatih paman dan
ayahnya itu.

Maka terdengar pula suara seorang yang tak jelas
berkata, “Bagus, sungguh Kim-kong-ci-lik yang hebat!”

Terang itu adalah suara si baju hijau alias “Ok-koanboan-
eng.”

Segera tertampak sebatang tongkat bambu menjulur
ke atas batu, dengan rajin ia pun menggores satu garis di
atas batu itu, cuma kalau Ui-bi-ceng atau padri alis
kuning itu menggores garis lurus, maka garisan tongkat
sekarang melintang, hingga berwujud satu garis palang
dengan goresan padri tadi.

611




Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat
bagaimana cara bergerak Jing-bau-khek itu, ia pikir
tongkat itu dengan sendirinya lebih keras daripada jari
manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi yang
memakainya. Namun jari lebih pendek dan tongkat lebih
panjang, untuk menggores garisan di atas batu dengan
memakai tongkat sepanjang itu, terang tenaga yang
dikeluarkan akan jauh lebih besar daripada memakai jari.

Lalu terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa,
“Jika Toan-sicu sudi memberi petunjuk, itulah sangat
baik.”

Habis berkata, kembali ia menggaris lagi di atas batu
dengan jarinya.

Segera Jing-bau-khek menambahi garisan melintang
lagi seperti tadi. Dengan demikian, yang satu menggaris
lurus dan yang lain menggaris melintang, makin lambat
menggores garisan sendiri, agar setiap garis bisa
dilakukan dengan cukup dalam dan sama rajinnya seperti
semula.

Harus diketahui bahwa pertandingan di antara tokohtokoh
terkemuka, soal menang atau kalah melulu
tergantung sedikit selisih saja, asal satu garisan di
antaranya menunjukkan kurang dalam atau menceng,
maka itu berarti sudah kalah.

Maka kira-kira sepertanak nasi lamanya, sebuah peta
catur yang berjumlah 19 garis malang melintang itu
sudah selesai digaris dengan rajin.

612




Diam-diam Ui-bi-ceng membatin, “Apa yang dikatakan
Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yan-king
Taycu ini benar luar biasa dan sedikit pun tidak di bawah
Po-ting-te sendiri.”

Sebaliknya Yan-king Taycu alias Jing-bau-khek itu
terlebih kejut lagi, kalau datangnya Ui-bi-ceng memang
disengaja dan sudah siap sedia sebelumnya, adalah
Yan-king Taycu sendiri sama sekali tidak menyangka
apa-apa, maka pikirnya, “Aneh, dari manakah mendadak
bisa muncul seorang Hwesio tua selihai ini? Terang
datangnya ini adalah atas undangan Toan Cing-beng,
dalam saat demikian, kalau Toan Cing-beng ikut
menyerbu ke dalam untuk menolong Toan Ki, terang aku
tak berdaya untuk merintanginya.”

Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang berkata, “Betapa
tinggi kepandaian Toan-sicu, sungguh aku sangat
kagum, maka dalam hal kekuatan catur rasanya juga
akan berpuluh kali lebih pandai daripadaku, terpaksa
kuminta Toan-sicu suka mengalah empat biji dahulu.”

Jing-bau-khek tercengang, pikirnya, “Meski aku tak
kenal asal usulmu, tapi tenaga jarimu begini lihai, dengan
sendirinya adalah orang kosen yang tidak sembarang.
Baru mulai menantang bertempur kenapa buka mulut
lantas minta aku mengalah?”

Segera katanya, “Kenapa Taysu mesti merendah diri,
jika harus menentukan kalah menang, dengan sendirinya
kita harus maju sama tingkat dan sama derajat.”

“Tidak, tetap kuminta Toan-sicu harus mengalah
empat biji,” sahut Ui-bi-ceng.

613




“Aneh juga usul Taysu ini,” ujar Jing-bau-khek dengan
tawar. “Jikalau Taysu mengaku kepandaian caturmu
tidak lebih tinggi daripadaku, maka tak perlulah kita
bertanding.”

“Kalau begitu, sudilah memberi tiga biji saja,
bagaimana?” kata Ui-bi-ceng pula.

“Biarpun memberi satu biji, namanya juga mengalah,”
sahut Jing-bau-khek alias Yan-king Taycu.

“Hahaha!” tiba-tiba Ui-bi-ceng tertawa. “Kiranya dalam
ilmu main catur, kepandaianmu sangat terbatas, jika
demikian biarlah aku yang memberi padamu tiga biji.”

“Itu pun tidak perlu,” sahut Jing-bau-khek. “Mari kita
mulai dengan kedudukan sama.”

Diam-diam Ui-bi-ceng bertambah waspada dan
prihatin, pikirnya, “Orang ini tidak sombong juga tidak
gopoh, sebaliknya tenang dan sukar diduga, sungguh
merupakan lawan yang tangguh. Meski aku sudah
memancingnya dengan berbagai jalan, toh ia tetap tidak
berubah sikap.”

Kiranya Ui-bi-ceng menginsafi dirinya tiada harapan
buat menangkan It-yang-ci dari Jing-bau-khek itu. Ia tahu
orang yang gemar catur, umumnya suka menang sendiri,
bila diminta agar mengalah dua-tiga biji catur, biasanya
tentu diluluskan.

Sebagai seorang pertapa, Ui-bi-ceng memandang
soal nama sebagai sesuatu yang tak berarti. Asal Yan-

614




king Taycu bersedia mengalah sedikit dalam permainan
catur itu, maka dalam pertarungan sengit itu dia akan ada
harapan buat menang.

Siapa duga sifat Yan-king Taycu itu ternyata lain
daripada yang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas
orang lain, tapi juga tidak mau dirugikan orang, setiap
tindak tanduknya sangat prihatin dan tegas.

Karena tiada jalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-ceng
berkata, “Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku adalah
tamu, aku yang main dulu.”

“Tidak,” sahut Jing-bau-khek. “Tamu mana boleh
merebut hak tuan rumah? Aku yang main dulu!”

“Wah, jika demikian, rupanya kita harus sut dulu,” kata
Ui-bi-ceng. “Baik begini saja, coba kau terka umurku
tahun ini ganjil atau genap? Jika betul engkau terka, kau
main dulu, kalau salah terka, aku main dulu.”

“Umpama tepat aku menerkanya, tentu engkau juga
menyangkal,” ujar Jing-bau-khek.

“Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu yang tidak
mungkin aku bisa menyangkal,” kata Ui-bi-ceng pula.
“Coba kau terka, bila aku berumur 70 tahun, jari kakiku
akan ganjil atau genap?”

Teka-teki ini benar-benar sangat aneh. Mau tak mau
Jing-bau-khek harus berpikir, “Umumnya jari kaki orang
berjumlah sepuluh, jadi genap. Tapi dia menegaskan bila
sudah berumur 70, terang maksudnya agar aku
menyangka kelak jari kakinya akan berkurang satu, jika

615




demikian halnya, tentu aku akan menerka jarinya
berjumlah ganjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat
bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau kosong
katakanlah berisi. Jangan-jangan jari kakinya tetap
sepuluh, tapi sengaja main gertak. Mana bisa aku ditipu
olehnya?”

Karena itu, segera ia menjawab, “Berjumlah genap!”

“Salah, tapi berjumlah ganjil,” kata Ui-bi-ceng.

“Coba buka sepatu, periksa buktinya,” sahut Jing-baukhek.


Terus saja Ui-bi-ceng membuka sepatu dan kaus kaki
kiri, ternyata jari kakinya masih tetap utuh berjumlah lima.
Ketika Jing-bau-khek memerhatikan wajah padri itu, ia
lihat orang tersenyum, sikapnya tenang-tenang saja, mau
tak mau ia membatin, “Wah, kiranya jari kaki kanannya
memang cuma tinggal empat.”

Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang membuka sepatu
lagi dengan perlahan, ketika mulai menanggalkan kaus
kakinya, hampir-hampir Jing-bau-khek berseru jangan
membuka lagi dan menyilakan orang main dulu. Namun
sekilas timbul pula pikirannya, “Ah, tidak bisa, jangan aku
tertipu olehnya.”

Dan benar juga, ia lihat kaus kaki kanan padri itu
sudah dilepas dan jari kaki itu pun tampak masih utuh
berjumlah lima tanpa cacat apa-apa.

Meski badan Jing-bau-khek itu sudah cacat dan
mukanya kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa

616




yang dirasakannya waktu itu, sebenarnya dalam sekejap
itu hatinya sudah berganti berbagai perasaan untuk
menduga-duga sebenarnya apa maksud tujuan
perbuatan Ui-bi-ceng itu. Dan ia menjadi bersyukur ketika
akhirnya melihat tebakannya jitu, yaitu jari kedua kaki
padri itu toh tetap berjumlah genap sepuluh.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ui-bi-ceng terus
angkat telapak tangan kanan dan memotong ke bawah
sebagai pisau, “krek”, tahu-tahu jari kecil kaki kanan itu
telah dipotong putus.

Sekalipun keenam anak muridnya yang berdiri di
belakang sang guru itu sudah dalam belajar ilmu
Buddha, setiap orangnya bisa berlaku tenang meski
menghadapi keadaan bagaimanapun. Tapi mendadak
tampak sang guru membikin cacat anggota badan
sendiri, darah lantas mengucur pula, keruan mereka
terperanjat, bahkan murid termuda yang bernama Bohban
Hwesio, sampai berseru kaget.

Cepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan
obat luka untuk dibubuhkan di atas kaki Suhunya itu.

Menyusul berkatalah Ui-bi-ceng dengan tertawa,
“Tahun ini aku berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti,
persis jariku berjumlah ganjil.”

Tanpa pikir lagi Jing-bau-khek menjawab, “Benar.
Silakan Taysu main dulu.”

Nyata sebagai tokoh dari Su-ok yang berjuluk “orang
jahat nomor satu di dunia,” perbuatan kejam dan ganas
apa di dunia ini yang tidak pernah dilakukannya atau

617




dilihatnya, maka terhadap kejadian memotong satu jari
kaki yang sepele itu, tentu saja tidak terpikir olehnya.
Cuma bila mengingat bahwa melulu untuk rebut hak main
dulu dalam catur, Hwesio tua ini rela memotong jari kaki
sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tujuan padri ini
harus menangkan percaturan itu, dan bila dirinya kalah,
bukan mustahil syarat yang akan dikemukakan padri itu
tentu pelik luar biasa.

Maka terdengarlah Ui-bi-ceng berkata, “Terima kasih
atas kesudianmu mengalah.”

Segera ia ulur jarinya dan menekan kedua ujung peta
catur masing-masing satu kali. Karena tekanan jari itu, di
atas batu lantas melekuk dua lubang hingga mirip dua biji
catur hitam.

Segera Jing-bau-khek angkat tongkatnya juga dan
menggores dua lingkaran kecil pada kedua ujung lain
peta catur itu. Lingkaran kecil yang melekuk itu pun mirip
dua biji catur putih.

Cara pembukaan main catur dengan menaruh dua biji
catur di kedua ujung itu adalah lazim dilakukan dalam
permainan catur kuno yang mirip permainan dam zaman
sekarang.

Begitulah, maka secara bergiliran kedua orang itu
saling menaruh biji caturnya masing-masing dengan
tekanan tenaga jari dan goresan tongkat. Mula-mula cara
menaruh mereka sangat cepat, tapi lambat laun menjadi
perlahan. Sedikit pun Ui-bi-ceng tidak berani ayal, ia
tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu
tadi yang ditukarnya dengan memotong jari kaki itu.

618




Sampai belasan biji catur sudah dijalankan,
pertarungan ternyata bertambah sengit dan pertahanan
masing-masing pun semakin kuat, tapi tenaga yang
dikeluarkan kedua orang pun semakin besar. Di samping
memusatkan pikiran untuk menangkan permainan catur
itu, di lain pihak harus mengerahkan tenaga untuk
menekan atau menggores batu sekuatnya. Maka makin
lama makin lambatlah permainan mereka itu.

Di antara keenam murid yang ikut datang bersama Uibi-
ceng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio juga seorang
penggemar catur. Ia menjadi sangat kagum dan gegetun
demi tampak ilmu permainan catur gurunya dengan Jingbau-
khek yang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24,
mendadak Jing-bau-khek melakukan serangan aneh
hingga kedudukan masing-masing segera berubah
banyak, kalau Ui-bi-ceng tidak segera balas dengan
langkah yang tepat, pasti pertahanannya akan bobol.

Tampak Ui-bi-ceng berpikir agak lama, agaknya
seketika masih belum mendapat cara yang baik untuk
balas serangan lawan itu. Tiba-tiba terdengar dari dalam
rumah batu itu ada orang berkata, “Balas gempur sayap
kanan, tetap menguasai permainan!”

Kiranya sejak kecil Toan Ki juga mahir main catur.
Kini melihat permainan kedua orang itu, ia menjadi
bersemangat dan ikut-ikutan bicara.

Penonton memang lebih jelas daripada yang main.
Demikian orang bilang. Apalagi kepandaian catur Toan Ki
memang lebih tinggi daripada Ui-bi-ceng, ditambah

619




sudah mengikuti dari samping sejak tadi, ia menjadi lebih
terang di mana letak kunci permainannya.

Maka terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa,
“Memang sudah kupikir begitu, cuma masih ragu-ragu,
tapi dengan ucapanmu, aku menjadi mantap sekarang.”

Segera ia taruh bijinya di sayap kanan yang dimaksud
itu.

“Penonton yang tidak bicara adalah Cin-kun-cu
(jantan tulen), orang yang ambil keputusan sendiri adalah
Tay-tiang-hu (laki-laki sejati),” demikian Jing-bau-khek
menyindir.

“Kau kurung aku di sini, sejak kapan engkau adalah
Cin-kun-cu?” segera Toan Ki berteriak.

“Dan aku adalah Thayhwesio dan bukan Tay-tianghu,”
sahut Ui-bi-ceng tertawa.

“Huh, tidak malu!” jengek Jing-bau-khek. Segera ia
pun taruh bijinya dengan menggores satu lingkaran kecil
lagi.

Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-ceng
menghadapi serangan bahaya. Boh-tin Hwesio menjadi
khawatir karena melihat gurunya tak berdaya
memecahkannya, sedangkan Toan Ki juga diam saja.
Segera ia mendekati pintu batu itu dan tanya dengan
perlahan, “Toan-kongcu, langkah ini bagaimana harus
menjalankannya?”

620




“Jalan yang baik sih sudah kupikirkan,” demikian
sahut Toan Ki. “Cuma jalan ini seluruhnya meliputi tujuh
langkah, kalau kukatakan begini saja hingga didengar
musuh, tentu akan gagal juga rencanaku, makanya aku
diam saja tidak bersuara.”

Segera Boh-tin ulur telapak tangan kanan ke dalam
rumah itu melalui celah-celah batu, bisiknya, “Silakan
tulis di sini.”

Toan Ki pikir bagus juga akal ini, segera ia gunakan
jarinya menulis ketujuh langkah catur yang diciptakan itu
di telapak tangan Boh-tin.

Boh-tin pikir sejenak, ia pikir langkah catur yang ditulis
anak muda itu memang sangat tinggi, cepat ia kembali ke
belakang sang guru dan menulis juga di punggung
Suhunya dengan jari. Karena jubahnya sangat longgar
hingga tangannya tertutup semua, maka Jing-bau-khek
tidak tahu apa yang dilakukan orang.

Sesudah mendapat petunjuk itu, Ui-bi-ceng
menjalankannya satu langkah.

“Hm, langkah ini adalah ajaran orang lain, agaknya
kepandaian catur Taysu masih belum mencapai
tingkatan ini,” jengek Jing-bau-khek.

Tapi dengan tertawa Ui-bi-ceng menjawab lagi,
“Permainan catur memang harus mengadu kecerdasan.
Yang pintar pura-pura bodoh, mahir juga berlagak tak
bisa. Kalau tingkatan permainanku diketahui Sicu, lalu
buat apa pertandingan ini diadakan?”

621




“Huh, main licik, main sulap di bawah lengan baju,”
sindir Jing-bau-khek pula. Rupanya ia pun menduga Bohtin
yang mondar-mandir dan memegang punggung
gurunya itu pasti sedang main gila. Cuma dia sedang
mencurahkan perhatiannya di atas papan catur, terpaksa
ia tak bisa mengurus apa yang terjadi di samping.

Untuk selanjutnya Ui-bi-ceng lantas menjalankan
enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banyak
pikir, ia mengerahkan sepenuh tenaga jarinya untuk
menekan enam biji catur itu di atas batu hingga lekuknya
lebih dalam serta lebih bulat.

Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat,
Jing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras
otak memikirkan langkah-langkah perlawanan, kini
terpaksa ia mesti bertahan saja sekuatnya, lingkaran
yang digores di atas batu dengan tongkat bambu itu tidak
sedalam tadi lagi.

Di luar dugaan, ketika mesti menjalankan langkah
keenam sesudah giliran Ui-bi-ceng, mendadak ia berpikir
lama, habis itu, tiba-tiba ia jalankan bijinya pada suatu
tempat yang tak tersangka-sangka dan sama sekali di
luar taksiran Toan Ki.

Keruan Ui-bi-ceng melongo, pikirnya, “Pemikiran
ketujuh langkah Toan-kongcu ini sangat teliti dan bagus,
tampaknya aku sudah mulai mendesaknya, tapi dengan
perubahan yang mendadak dan hebat ini, rasanya
langkahku yang ketujuh ini tak bisa dijalankan lagi dan
bukankah akan sia-sia saja serangan-serangan tadi?”

622




Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main
catur memang Jing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-biceng
atau si Padri Beralis Kuning, maka begitu ia melihat
gelagat jelek, segera ia mengadakan perubahan siasat,
ternyata ia tidak mau masuk perangkap yang diatur Toan
Ki itu. Keruan yang kelabakan adalah Ui-bi-ceng.

Melihat perubahan di luar dugaan itu, pula tampak
gurunya berpikir sampai lama masih belum mendapatkan
akal yang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah
batu pula, dengan perlahan ia uraikan keadaan
percaturan itu kepada Toan Ki serta meminta
petunjuknya.

Toan Ki pikir sejenak, segera ia pun mendapat akal
lain, ia minta Boh-tin ulur tangannya agar bisa ditulis lagi
petunjuk di atas telapak tangan.

Boh-tin menurut dan ulurkan tangannya ke dalam
rumah batu itu. Tapi baru saja Toan Ki mencorat-coret
beberapa kali di telapak tangan orang, sekonyongkonyong
antero badannya terasa berguncang, dari
perutnya mendadak terasa ada hawa panas menerjang
ke atas hingga seketika mulutnya terasa kering, matanya
berkunang-kunang. Tanpa pikir lagi tangannya
mencengkeram sekenanya hingga tangan Boh-tin tadi
dipegangnya erat-erat.

Tentu saja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannya
digenggam Toan Ki dengan kencang, ia menjadi lebih
kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri
terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui
telapak tangan yang digenggam orang itu. Saking

623




kejutnya terus saja ia berteriak, “Hei, Toan-kongcu, apa
yang kau lakukan ini?”

Perlu diketahui, setiap orang yang berlatih ilmu silat
yang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam
tubuh sangat besar sangkut-pautnya dengan jiwanya,
semakin kuat hawa murninya, semakin tinggi pula ilmu
Lwekangnya. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun
orangnya tidak mati, tentu juga seluruh ilmu silatnya akan
kandas dan mirip orang cacat selama hidup.

Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun,
tapi ia tidak pernah kawin, masih berbadan jejaka,
selama berpuluh tahun ia giat berlatih Lwekang, maka
hawa murni dalam tubuhnya boleh dikatakan kuat luar
biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannya menempel
tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnya
seakan-akan air bah yang bobol tanggulnya terus
mengalir keluar tanpa bisa dicegah sama sekali.

Ia membentak berulang-ulang untuk tanya, namun
saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri.
Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannya, tapi
aneh bin ajaib, kedua tangan itu seperti lengket menjadi
satu, betapa pun sukar dipisahkan lagi, dan hawa murni
dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak mau
berhenti.

Kiranya “Bong-koh-cu-hap” atau katak merah
bersuara kerbau yang dimakan oleh Toan Ki itu
mempunyai semacam khasiat aneh pembawaan yang
bisa mengisap ular beracun dan serangga berbisa lain.
Binatang aneh itu berasal dari perkawinan campuran dari

624




bermacam-macam ular berbisa hingga beberapa
keturunan.

Bab 13

Ciong Ban-siu suami-istri dan Ciong Ling cuma tahu
bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular, tapi tidak
tahu bila orang memakannya, maka akan timbul reaksi
aneh pada tubuh orang yang memakannya itu.

Namun hendaklah maklum juga bahwa secara
kebetulan Toan Ki bermaksud membunuh diri hingga
secara ngawur pula telah makan katak-katak aneh itu.
Kalau tidak, coba siapakah orangnya yang berani makan
binatang yang dapat mengalahkan ular-ular berbisa itu?

Sesudah Toan Ki makan sepasang katak merah itu,
segera timbul pertentangan dengan racun Im-yang-hohap-
san yang bekerja di dalam perut itu. Hawa positif
atau kelakiannya menjadi luar biasa kerasnya hingga
sukar ditahan, bahkan timbul pula semacam sifat
istimewa yang bisa menyedot hawa murni orang lain.

Waktu itu hawa murni Boh-tin masih terus-menerus
mengalir ke tubuh Toan Ki, seumpama Toan Ki dalam
keadaan sadar, pemuda itu pun tidak bisa menggunakan
tenaga dalam untuk melepaskan tangan Boh-tin, apalagi
ia dalam keadaan tak sadar, hakikatnya ia tidak tahu apa
yang sedang terjadi.

Boh-tin menjadi kelabakan ketika merasa hawa
murninya terus mengalir keluar, terpaksa ia berteriakteriak,
“Tolong, Suhu, tolong!”

625




Mendengar itu, kelima murid Ui-bi-ceng yang lain
cepat berlari mendekati Boh-tin, tapi karena tidak
kelihatan apa yang terjadi di dalam rumah batu itu,
mereka hanya ribut dan tanya, “Ada apa, Sute?”

“Tang ... tanganku!” seru Boh-tin sambil berusaha
hendak menarik kembali tangannya sekuatnya. Namun
waktu itu hawa murninya sudah hilang 8-9 bagian, untuk
bersuara saja hampir tak kuat, apalagi hendak menarik
tangan?

Boh-ban Hwesio, itu murid keenam, tanpa pikir terus
ikut pegang tangan sang Suheng dengan maksud
membantu menarik.

Tak tersangka, begitu tangan menempel, kontan
seluruh badannya ikut tergetar seperti terkena aliran
listrik, hawa murni dalam tubuhnya juga bergolak
mengalir keluar, keruan ia kaget dan berteriak-teriak,
“Aduh, celaka!”

Kiranya secara tidak sengaja Toan Ki telah makan
sepasang katak ajaib itu hingga timbul semacam “Cuhap-
sin-kang” atau tenaga sakti katak merah dalam
badannya yang mempunyai daya sedot yang tak terbatas
kuatnya. Siapa yang dipegangnya, lantas diisapnya.
Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang yang
tersedot itu, secara kontan hawa murninya juga akan ikut
disedot seperti kena arus listrik ....

*****
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Pendekar negeri Tayli 3 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Pendekar negeri Tayli 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-negeri-tayli-3.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Pendekar negeri Tayli 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Pendekar negeri Tayli 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Pendekar negeri Tayli 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-negeri-tayli-3.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar