Kilas Balik Merah Salju 2 [Serial Pisau Terbang Terakhir]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 September 2011

"Menangkap ular tangkaplah bagian belakang
kepala, meringkus bandit tangkap dulu
pentolannya", tentu saja Pho Ang-soat cukup
memahami teori itu, tapi mengapa ia justru
menyerang bagian yang paling lemah lebih
dahulu?
Hong-ling tidak habis mengerti kenapa Pho
Ang-soat berbuat begitu? Apalagi Hoa Boan-thian
sekalian.

Di antara kelompok manusia itu, agaknya
hanya orang yang nampak paling halus dan sopan
saja yang mengerti kenapa Pho Ang-soat
bertindak begitu.
Di saat kita belum tahu dengan pasti
kemampuan pihak lawan, menyerang lawan
paling tangguh lebih dulu tidak ubahnya hanya
mempercepat saat kematian sendiri.
Karena kau sama sekali tidak tahu seberapa
besar kekuatan lawan yang sebenarnya? Apakah
kau lebih tangguh dari mereka? Atau
sesungguhnya mereka hanya musuh yang tak
tahan gempuran?
Bila kau mengambil resiko dengan menyerang
musuh paling tangguh lebih dahulu, tak ubahnya
kau telah membawa dirimu ke sisi jurang yang
memat ikan.
Berada dalam kondisi seperti ini, cara terbaik
adalah menyerang dulu musuh yang paling
lemah, sebab kau tahu, seranganmu pasti dapat
menghancurkan orang itu.
Dengan merobohkan seorang lawan, berarti
telah melenyapkan sebagian kekuatan musuh,
perbandingan kedua belah pihak mendekati
berimbang.
Di saat tubuh Pho Ang-soat mulai melambung,
tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung
bibir lelaki terpelajar itu.
Menanti tubuh Pho Ang-soat melayang turun, di
kala ayunan goloknya sudah mencapai saat

tenaganya habis dan tenaga baru belum muncul,
mendadak lelaki terpelajar itu mengayun
sepasang tangannya berulang kali, segumpal
cahaya tajam berwarna hitam segera meluncur
dari tangannya, langsung mengancam punggung
lawan.
Pada saat bersamaan, sepasang saudara
kembar Ting Tang yang selama ini duduk santai
pun tiba-tiba melancarkan serangan.
Dua buah cambuk panjang bagaikan dua ekor
ular berbisa tanpa menimbulkan suara meluncur
keluar dari tangan Ting tang hengte, kemudian
secepat kilat melilit leher Pho Ang-soat.
Belakang punggungnya ditunggu sambitan
senjata rahasia yang kuat, dari kiri kanan pun
dicegat cambuk panjang bagai ular berbisa,
seluruh jalan mundur Pho Ang-soat nyaris
tersumbat semua.
Tapi semua itu masih bukan merupakan
kekuatan serangan yang paling utama, mereka
memang sengaja melancarkan serangan seperti
itu tujuannya tak lain agar Im hun kiam Sebun
Say yang masih berbaring di bawah pepohonan
dapat menusuk perut Pho Ang-soat dengan
lancar.
Bila kau tidak menundukkan kepala, jangan
harap bisa kau lihat semua gerak-gerik di tanah
secara jelas, tapi Pho Ang-soat memang tak malu
disebut Pho Ang-soat.

Ia telah menggunakan indra keenamnya untuk
melihat situasi, dia telah berhasil menganalisa,
berada dimanakah mara-bahaya yang
sesungguhnya.
Biarpun kekuatan lama telah sampai ke
ujungnya, kekuatan baru belum muncul dan
tubuhnya juga mustahil melejit secara tiba-tiba,
namun ia telah melakukan satu tindakan yang
membuat semua orang terperanjat.
Mendadak ia berjongkok, lalu menyongsong
datangnya tusukan Im hun kiam.
Melihat Pho Ang-soat berjongkok secara tibatiba,
Sebun Say tertegun, namun pedang Im hun
kiam tetap secepat kilat menusuk ke depan.
Tapi sayang justru karena ia tertegun, hal ini
telah memberi sebuah jalan hidup untuk Pho Angsoat.
Tujuan Pho Ang-soat berjongkok memang
berharap Sebun Say tertegun, asal lawannya
tertegun, otomatis tusukan pedang Im hun kiam
ikutan berhenti sejenak. Maka Pho Ang-soat pun
punya kesempatan untuk menggunakan golok
hitamnya untuk memangkas ujung pedang lawan.
Tiada suara bentrokan, tiada desingan angin
golok, juga tak ada percikan bunga api.
Saat itu hanya muncul dua titik cahaya bintang,
kemudian Sebun Say melihat pedangnya
terkutung jadi dua disusul suara golok yang
membalok tulang.

Dalam pertarungan yang terjadi kali ini,
tampaknya lagi-lagi Pho Ang-soat berhasil meraih
kemenangan.
Namun di saat ujung goloknya berhasil
membabat tulang Sebun Say, tiba-tiba paras
muka Pho Ang-soat memperlihatkan rasa takut
dan ngeri yang belum pernah terlihat
sebelumnya.
Yang kena bacokan bukanlah dia, pertarungan
kali ini pun berhasil dia menangkan lagi, kenapa
wajahnya menampilkan rasa ngeri dan takut? Apa
yang telah terjadi?
Bab 9. NAPSU YANG PALING TUA
Yang ditakuti Pho Ang-soat bukan menang
kalahnya pertempuran hari ini, dia pun bukan
ngeri karena masalah mati hidupnya. Yang
membuatnya ngeri dan takut karena pada
akhirnya dia paham maksud tujuan kedatangan
orang-orang itu.
Ketika Pho Ang-soat berjongkok, ketika mata
golok menyongsong datangnya pedang Im hun
kiam Sebun Say, dua cambuk panjang yang
semula mengancam lehernya tiba-tiba bergetar di
udara lalu menyabet taburan cahaya hitam itu.
"Pletak, pletak!", begitu ujung cambuk
menghantam senjata rahasia, kumpulan Am-gi itu
berbalik arah mengancam tubuh Hong-ling yang
masih berdiri di depan pintu.

Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian yang
selama ini berdiri tenang di sisi arena pun saat itu
bersama-sama mencabut pedangnya, lalu diiringi
desingan angin tajam mereka langsung
mengancam Hong-ling.
Ujung cambuk berputar di udara sekali lagi
memperdengarkan suara nyaring, lalu bagai ular
berbisa yang mematuk mangsa langsung
membelit sepasang tangan Hong-ling.
Biarpun Hong-ling terperanjat, ia tak kalut,
tubuhnya berputar cepat menghindari datangnya
sambitan senjata rahasia.
Tapi baru saja ia memutar badan, sepasang
pedang Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian sudah
menusuk tiba.
Sepasang lengan Hong-ling telah bertambah
dengan dua mulut luka memanj ang.
Belum lagi darah segar mengucur, kedua
batang cambuk panjang itu sudah melilit
sepasang lengan Hong-ling dengan kuatnya.
Sementara itu bacokan golok Pho Ang-soat
telah menghajar telak tulang kening Sebun Say.
Dia sama sekali tidak memberi kesempatan
kepada dirinya untuk berganti napas, mengikuti
gerakan tubuhnya yang menjorok ke depan, mata
goloknya segera membentuk gerakan setengah
lingkaran busur, lalu menghajar pedang Hun Caythian.

Belum lagi goloknya tiba, hawa serangan telah
menghimpit tubuh lawan. Dalam keadaan begini,
Hun Cay-thian tak berani mengurusi Hong-ling
lagi, segera dia tarik kembali pedangnya untuk
menangkis datangnya ancaman.
"Trang", berbareng terjadinya benturan, lagilagi
pelajar sopan itu mengayun tangan berulang
kali, senjata rahasia segera meluncur ke udara.
Semua Am-gi itu bukan tertuju ke tubuh Pho
Ang-soat yang masih di tengah udara, melainkan
diarahkan ke bawah kakinya, asal dia meluncur
turun, niscaya badannya akan terhajar.
Tiba-tiba Pho Ang-soat melakukan gerakan
aneh, dia melepaskan bacokan dengan gerakan
aneh, yang dibacok bukan orang melainkan dahan
yang tumbuh di tengah halaman.
Dengan tertancapnya mata golok di atas dahan,
Pho Ang-soat pun menggunakan kekuatan
tertahan itu untuk melejit kembali di udara, lalu
secepat kilat menyambar tubuh Ting tang hengte.
Hong-ling yang sepasang tangannya terlilit
cambuk berusaha melepaskan diri, siapa sangka
semakin dia meronta, lilitan itu semakin
mengencang, bukan saja gagal melepaskan diri,
guratan berdarah malah muncul di kedua
lengannya.
Di pihak lain, Pho Ang-soat yang sedang
meluncur ke arah Ting tang hengte mendadak
melihat tubuhnya sudah dihadang seseorang,
ternyata orang itu adalah pemuda terpelajar itu.

Tampak ia mengayunkan sepasang tangan
berulang kali, pukulan demi pukulan ditujukan ke
tubuh Pho Ang-soat yang masih melambung di
udara.
Karena sekali lagi terhadang, mau tak mau Pho
Ang-soat harus membuyarkan seluruh kekuatan
yang dimilikinya, lalu merosot ke bawah,
menghindari ancaman serangan pemuda pelajar
itu.
Karena ada hadangan ini, Ting tang hengte
segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
menarik tubuh Hong-ling ke atap rumah, lalu
dalam beberapa kali lompatan mereka sudah
meluncur ke arah hutan.
Sadar tiada harapan untuk menyelamatkan
perempuan itu, sikap Pho Ang-soat malah jauh
lebih tenang, ditatapnya ketiga orang yang masih
tersisa dengan pandangan dingin.
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian menarik
kembali pedangnya dan memandang Pho Angsoat
dengan senyum di kulum, sementara
pemuda terpelajar itu pun masih tetap berdiri
tenang.
Sesaat kemudian tampak Hoa Boan-thian
berjalan menghampiri pemuda itu, lalu kepada
Pho Ang-soat katanya, "Pho-heng, lantaran tadi
didesak oleh waktu, maka aku lupa
memperkenalkan nama Kongcu ini kepadamu"

"Lembut, sangat lembut, lambat, sangat
lambat," perlahan Pho Ang-soat bergumam, "dia
bernama Un Ji-giok"
Hoa Boan-thian agak tertegun, tapi segera
serunya sambil tertawa tergelak, "Sungguh tak
kusangka pengetahuan Pho-heng begitu luas,
sampai Un-kongcu yang sudah sekian lama tak
pernah terjun ke dalam dunia persilatan pun kau
ketahui dengan jelas."
Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Jadi kedatangan kalian hari ini hanya
bertujuan membawanya pergi?"
"Benar."
"Apakah kalian bermusuhan dengannya?"
"Tidak," Hoa Boan-thian menggeleng kepala,
"Sam-lopan kuatir kehadirannya malah
mengganggu ketenangan hidup Pho-heng, maka
beliau sengaja mengutus kami membawanya
pergi, agar Pho-heng dapat menikmati hidup
dengan tenang."
"Keliru besar!"
Ucapan Pho Ang-soat yang mendadak dan
membingungkan ini kontan membuat semua
orang tertegun, termasuk Un Ji-giok pun ikut
menarik senyumannya.
"Keliru? Apanya yang keliru? Kau bilang Samlopan
telah salah mengartikan niat baiknya?"

Pho Ang-soat tak langsung menjawab, perlahan
dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Un Jigiok,
kemudian baru ujarnya, "Kau keliru."
"Aku keliru?" Un Ji-giok tertegun, "dimana
letak kesalahanku?"
"Kau sangka sewaktu sepasang tanganmu
bersilang di udara, aku tak berhasil melihat titik
kelemahanmu atau kau sangka biarpun tahu pun
aku tak akan mampu menjebolnya?"
Tentu Un Ji-giok mengetahui letak kelemahan
jurus serangannya, namun dia pun tahu baik Pho
Ang-soat atau siapa pun tak mungkin mampu
melancarkan serangan mematikan setelah
mengetahui titik kelemahan itu, maka terhadap
ucapan Pho Ang-soat dia hanya tertawa hambar.
Belum selesai ia tersenyum, sekonyongkonyong
terlihat cahaya golok berkelebat,
kemudian terdengarlah jeritan ngeri yang
memilukan.
Rupanya secara tiba-tiba Pho Ang-soat
mencabut golok, lalu membacok dari sudut yang
sangat aneh, yang dibabat bukan Un Ji-giok
melainnya Hun Cay-thian yang berada di sisi lain.
Menanti jerit kesakitan Hun Cay-thian bergema,
Pho Ang-soat telah menyarungkan kembali
goloknya.
Paras muka Un Ji-giok seketika berubah hebat,
berubah jadi putih pucat bagai bunga salju.

Pho Ang-soat memandang dingin Un Ji-giok
sambil menegur, "Bukankah kau keliru?"
Cahaya golok yang barusan berkilat, ayunan
golok yang barusan membacok, meski Hun Caythian
yang menjadi sasaran, namun Un Ji-giok
dapat melihat gerakan yang digunakan tak
lain adalah satu-satunya gerakan yang bisa
menjebol titik kelemahan jurus serangannya tadi.
"Ya, aku salah," akhirnya Un Ji-giok mengakui.
"Tadi aku tak menggunakan jurus itu bukan
lantaran aku tak bisa atau tak mendapat waktu,"
perlahan Pho Ang-soat berkata lagi, "aku tak
menggunakan sebab saatnya tidak tepat, bila aku
nekat melakukannya juga, justru yang aku
kuatirkan adalah kegugupan Ting tang hengte
bisa berakibat terbunuhnya Hong-ling."
Dalam pada itu peluh dingin telah membasahi
tubuh Un Ji-giok, untuk sesaat dia tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba Hoa Boan-thian melangkah maju ke
depan, teriaknya, "Sekalipun kau tidak
menggunakan jurus serangan itu, Hong-ling tetap
sudah terjatuh ke tangan kami."
Jawaban Pho Ang-soat sama sekali tidak
ditujukan kepada Hoa Boan-thian, melainkan
kepada Un Ji-giok, ujarnya, "Ada semacam orang
sejak lahir sudah memiliki bakat melacak seperti
binatang, aku percaya kau pun tahu."
"Ya, aku tahu," jawab Un Ji-giok.
"Bagus, kalau begitu kau sudah boleh mati."

Ketika mata golok mulai membelah angkasa,
tubuh Un Ji-giok telah melayang ke atas atap
rumah, Ginkang yang dimilikinya memang
terhitung kelas satu dalam Kangouw, tapi sayang
yang dijumpainya justru Pho Ang-soat.
Baru saja ujung kakinya menempel atap rumah
dan bersiap meminjam tenaga untuk melejit ke
arah lain, ia sudah mendengar suara desiran
angin golok yang amat tajam, kemudian terasa
sepasang kakinya dingin sekali.
Menanti ia berhasil bersalto di udara dan
meluncur ke arah lain, secara kebetulan ia
saksikan sepasang kaki sendiri masih tertinggal di
atap rumah.
Belum pernah Hoa Boan-thian menyaksikan
ilmu golok seaneh itu, dia hanya melihat
cahaya golok berkilat, sebuah kebasan dari
Pho Ang-soat yang dilakukan begitu ringan dan
sederhana, namun tahu-tahu sepasang kaki Un
Ji-giok yang sudah sempat kabur sejauh enamtujuh
depa tertabas kutung dan ketinggalan di
atas atap.
Hoa Boan-thian ingin kabur, apa lacur sepasang
kakinya sudah tak mau menuruti perkataannya
lagi, bahkan ia sempat mendengar gigi sendiri
sedang gemerutukan karena gemetar.
Perlahan-lahan Pho Ang-soat membalikkan
badan, menatap wajah Hoa Boan-thian dengan
sinar tajam.

"Hari ini aku tak akan membunuhmu," katanya
ketus, "tapi kau harus membawa pesanku."
"Pe... pesan apa?"
"Beritahu Sam-lopan, peduli siapa pun dia, aku
pasti akan pergi mencarinya, jadi lebih baik suruh
dia menemuiku dengan wajah aslinya."
"Aku... pasti akan kusampaikan."
Di antara binatang buas, serigala termasuk
binatang yang paling pintar melacak, serigala pula
yang paling pandai menghindari pelacakan.
Kalau Pho Ang-soat diibaratkan serigala, maka
tak disangka Ting tang hengte terhitung serigala
juga.
Tak ada jejak, tak ada petunjuk, tak ada saksi
mata.
Sementara itu langit bertambah gelap, dari
balik remangnya cuaca terlihat bintang mulai
bertaburan di angkasa.
Pho Ang-soat tidak berhasil menemukan Hongling,
dia pun gagal menemukan Ting-tang-hengte,
sudah seharian melakukan pengejaran, jangankan
bersantap, minum seteguk air pun belum.
Seluruh bibirnya telah mengering, sol
sepatunya sudah robek terantuk batu tajam,
betisnya pun terasa linu dan amat sakit.
Namun ia belum juga menemukan jejak
mereka.

Berhenti di tengah jalan? Tidak mungkin! Tentu
saja harus dicari terus, bagaimana pun juga dia
harus tetap mencari, sekalipun harus mencari
sampai ke surga atau menelusuri hingga neraka,
baik mendaki bukit golok atau menelusuri minyak
mendidih, ia tetap akan mencari.
Tapi kemanakah dia harus mencari?
Dengan cara apa harus melakukan pencarian?
Persis Go Kang di istana rembulan yang ingin
menebang pohon Kui yang tak mungkin bisa
tumbang, meski sudah tahu mustahil, dia tetap
menebang terus tiada hentinya.
Apakah akhirnya pohon itu berhasil ditebang?
Pohon yang tak mungkin ditebang,
manusia yang tak mungkin ditemukan. Di
dunia ini memang banyak kejadian seperti ini.
Mengapa dia harus menemukan perempuan itu?
Bukankah dia bukan miliknya? Dia pun bukan
sanak keluarganya, atau sahabat? Mengapa ia
begitu ingin menemukannya?
Bukankah perempuan itu hendak
membunuhnya, orang yang datang untuk mencari
balas? Sekalipun berhasil ditemukan, berhasil
menolongnya, lalu apa pula yang bisa ia lakukan?
Ketika lukanya telah sembuh, di saat ia
mendapatkan kesempatan lagi, bukankah
perempuan itu bakal membunuhnya?
Di tengah jagad raya muncul taburan bintang
seperti semalam.

Dari tempat dimana Pho Ang-soat berdiri
sekarang, dengan mudah ia dapat melihat rumah
kayu kecil yang ditempatinya selama ini. Rumah
kayu itu penuh diliputi kehangatan, tapi
sekarang? Setelah melakukan pencarian seharian
penuh, Pho Ang-soat betul-betul merasa sangat
lelah, dia pun tak punya tempat tinggal lain
sehingga terpaksa harus balik ke rumah kecil itu.
Yang paling penting dia berharap Hong-ling
dapat meloloskan diri dari tangan musuh dan lari
balik ke rumah kayu itu.
Tapi mungkinkah?
Tak tahan Pho Ang-soat tertawa getir, harapan
yang mustahil bisa terjadi.
Baru saja senyuman getir tersungging di ujung
bibir, mendadak ia lihat dari rumah kecil itu
memancar keluar cahaya lentera.
Dia masih ingat dengan jelas, ketika keluar dari
rumah pagi tadi, ia sama sekali tidak menyulut
lentera, mengapa sekarang bisa muncul cahaya
lampu dari balik ruangan?
Apakah Hong-ling sudah terlepas dari sandera
dan kabur balik?
Pho Ang-soat menggunakan kecepatan paling
tinggi menerobos ke sana, ketika tiba di depan
rumah, ia sudah mendengar bergemanya suara
dari balik ruangan.

Semacam suara yang membuat siapa pun, asal
mendengar satu kali saja maka selamanya tak
pernah akan melupakannya.
Suara gabungan isak tangis, tertawa, dengusan
napas dan rintihan, suara yang dipenuhi nada
iblis dan luapan napsu.
Suara yang membuat orang paling tenang pun
tidak kuasa meluapkan hawa amarahnya.
Kembali Pho Ang-soat menerjang ke muka,
sekali tendang ia dobrak pintu ruangan.
Begitu pintu terbuka, perasaannya pun
tenggelam, api amarah langsung meluap hingga
ke ujung kepala.
Ternyata rumah kayu yang sederhana itu telah
berubah menjadi neraka.
Neraka dunia.
Hong-ling sedang tersiksa dan menderita dalam
neraka dunia.
Ting tang hengte, seorang bagai hewan buas
menindih tubuh perempuan itu, sementara yang
lain berbaring di samping tubuhnya sambil
membuka mulut perempuan itu dan melolohkan
arak.
Cairan arak yang merah bagai darah, meleleh
dan membasahi seluruh tubuh bugilnya yang
putih mulus.
Sewaktu Ting tang hengte yang sedang
kerasukan napsu birahi sadar akan kedatangan

Pho Ang-soat, secepat anak panah terlepas dari
busur, pemuda itu menerobos masuk ke dalam,
golok kematiannya yang berwarna hitam pun
langsung membabat ke bawah.
Gempuran itu mematikan, Pho Ang-soat yang
sudah terbakar oleh amarah telah mengerahkan
segenap tenaganya, hingga Ting tang hengte
menggelinding jatuh ke lantai bagai karung goni,
hawa amarahnya baru sedikit mereda.
Dari dua orang bersaudara itu, yang seorang
langsung tewas di tempat sementara seorang
yang lain dengan menggunakan sisa napas yang
terakhir memperlihatkan sekulum senyumannya
yang tak sedap dilihat, lalu dengan menggunakan
suara yang menyeramkan seolah berasal dari
neraka serunya, "Kau bakal menyesal!"
Bakal menyesal? Apa yang perlu disesali?
Selama hidup Pho Ang-soat tak pernah kenal
kata menyesal.
Dengan sekuat tenaga ia lempar mayat Ting
tang hengte keluar ruangan, lalu dengan sekuat
tenaga menutup pintu.
Pintu dalam keadaan tertutup, jendela
dibiarkan tetap terbuka, sebab dalam ruangan
penuh dengan bau arak yang menyengat.
Bukan bau pedas bercampur kecut seperti bau
golok yang dibakar, melainkan bau minyak dan
bedak yang tak sedap.

Hong-ling masih berbaring di atas ranjang
besar yang beralas kulit binatang, ia dalam
keadaan telanjang bulat.
Seluruh pakaiannya telah dilucuti, dari atas
hingga ke bawah, tubuhnya benar-benar seratus
persen bugil.
Sepasang matanya membalik ke atas,
mulutnya mengeluarkan buih putih, seluruh
ototnya tiada hentinya mengejang dan gemetar,
bahkan setiap inci kulitnya pun tampak gemetar
tiada hentinya.
Dia bukan Cui long, bukan kekasih Pho Angsoat,
dia pun bukan temannya, ia datang untuk
menuntut balas kepadanya.
Namun setelah menyaksikan keadaannya,
perasaan Pho Ang-soat tetap sakit bagai ditusuk
jarum.
Dalam waktu sekejap dia seolah lupa bahwa dia
adalah seorang wanita, lupa kalau ia berada
dalam keadaan bugil.
Dalam pikiran dan ingatan Pho Ang-soat dia
adalah seorang perempuan yang patut dikasihani,
seorang wanita yang telah disiksa dan didera oleh
ketidak adilan.
Sebaskom air, selembar handuk.
Pho Ang-soat menggunakan handuk yang
dibasahi air hangat menyeka wajahnya, menyeka
buih putih yang menodai bibirnya, lalu menyeka
air mata di ujung kelopak matanya.

Pada saat itulah dari tenggorokannya
menggema suara rintihan aneh yang membetot
sukma, tubuhnya mulai menggeliat,
pinggangnya yang ramping mulai meliuk-liuk
bagai seekor ular, pahanya yang putih mulus pun
mulai bergeser ke kiri kanan.
Tidak banyak lelaki yang bisa bertahan
menghadapi rangsangan napsu seperti ini, untung
Pho Ang-soat termasuk salah satu di antara
mereka yang tak gampang terangsang.
Dia berusaha sedapat mungkin tidak
memandang tubuhnya yang bugil, dia ingin
mencari sesuatu benda untuk menutupi bagian
tubuhnya yang paling vital.
Tetapi sebelum ia menemukan sesuatu,
mendadak Hong-ling menangkap tangannya,
kemudian memeluk tubuh Pho Ang-soat erat-erat.
Pelukannya begitu kencang dan kuat, seperti
seorang kalap di air yang sekuat tenaga memeluk
sebatang batok kayu.
Pho Ang-soat tak tega mendorong tubuhnya,
namun dia pun tak bisa membiarkan badannya
dipeluk terus.
Beberapa kali dia ingin mendorong, tapi dengan
cepat tangannya ditarik kembali.
Bila kau dapat mendorong seorang wanita
dalam keadaan seperti ini, maka kau pasti akan
tahu mengapa dia menarik kembali tangannya.

Sebab biarpun bagian tubuh wanita yang tak
boleh tersentuh oleh kaum lelaki tak banyak
jumlahnya, namun berada dalam situasi seperti
ini, bagian tubuh itu juga yang akan kau dorong.
Tubuh Hong-ling panas bagaikan air mendidih,
detak jantungnya pun cepat sekali.
Dengus napasnya juga tercium bau arak yang
sangat kental, bau itu terus menerus terhembus
keluar dari mulutnya dan masuk ke dalam
pernapasan Pho Ang-soat.
Tiba-tiba saja pemuda itu jadi paham.
Dia tahu sekarang apa sebabnya Ting tang
hengte yang berjiwa bagai binatang itu
menggunakan arak untuk melolohnya. Rupanya
arak itu telah dicampur obat perangsang.
Sayangnya di saat dia mulai mengerti akan hal
ini, dia sendiri pun ikut terpengaruh oleh obat itu.
Tiba-tiba saja ia menjumpai bagian tubuh
tertentunya mengalami perubahan yang sulit lagi
untuk dikendalikan.
Semua pikiran dan kesadarannya telah
berantakan.
Sementara itu Hong-ling telah menindih
badannya menggunakan tubuhnya yang bugil,
gadis itu mulai merangsangnya, menggunakan
tubuhnya yang telanjang menggiring dia
melakukan perbuatan dosa.
Perbuatan dosa yang paling kuno, perbuatan
dosa yang paling purba.

Arak bercampur obat perangsang telah
membangkitkan napsu birahi mereka berdua,
napsu birahi paling kuno yang tak mungkin bisa
dilawan siapa pun.
Semenjak ada manusia, napsu birahi pun mulai
menguasai jagad.
Menciptakan kesalahan memang banyak
penyebabnya, napsu birahi hanya salah satu di
antaranya.
Kini kesalahan telah dilakukan, nasi sudah jadi
bubur, tidak mungkin semuanya bisa diubah lagi.
Seorang biasa, jika dalam keadaan yang tak
bisa dilawan telah melakukan sebuah kesalahan,
kesalahan semacam ini dapatkah disebut sebagai
sebuah kesalahan fatal? Mungkinkah kesalahan
seperti ini dapat dimaafkan?
Kesalahan telah dibuat, gejolak hati telah
tenang, napsu birahi pun telah mencapai
puncaknya, kini malam yang gelap pun sudah
mendekat i akhir.
Saat itu merupakan saat yang paling gelap
sepanjang hari. Saat itu pula merupakan saat
pertarungan antara kepedihan dan rasa gembira.
Saat itu juga merupakan detik tumbuhnya rasa
penyesalan. Saat itu Pho Ang-soat telah sadar.
Lelehan lilin telah mengering, lampu pun telah
padam, dari balik kertas jendela yang buram
lamat-lamat muncullah cahaya putih yang terang.

Putih pucat, sepucat wajah Pho Ang-soat,
sepucat perasaannya. Hong-ling adalah seorang
wanita, wanita yang datang mencari balas.
Meskipun selama beberapa hari mereka pernah
hidup bersama, namun tujuan perempuan itu
hanya menanti saat yang tepat untuk membunuh
nya.
Tapi kini dia berada di sisinya, berbaring di
samping tubuhnya.
Ia dapat merasakan detak jantungnya,
kehangatan badannya serta dengus napasnya, di
samping ketenangan, kelembutan dan kepuasan
setelah dipermainkan rangsangan birahi.
Semacam ketenangan dan kegembiraan yang
membuat seorang lelaki tak segan mengorbankan
segalanya demi menggapainya.
Kini Pho Ang-soat hanya berharap bisa
memusnahkan semuanya itu.
Kini baru dia paham maksud ucapan Ting tang
hengte menjelang ajalnya.
"Kau bakal menyesal." Menyesal? Apakah dia
menyesal? Mungkinkah ia dapat memusnahkan
semua peristiwa yang baru saja berlangsung?
Tidak mungkin! Dia tak mungkin bisa!
Dialah yang telah menciptakan semua ini, tak
mungkin lagi baginya untuk menghindar, tak
mungkin pula untuk dilawan.

Karena dia yang menciptakan, dia juga yang
harus menanggung akibatnya.
Terlepas akibat macam apa yang bakal
menimpanya.
Jagad raya terasa dingin, kabut pagi pun dingin
sekali.
Sepasang tangan Pho Ang-soat telah kaku
lantaran dingin, hatinya ikut dingin, sedingin
mata golok.
Kejadian telah berlangsung, suatu kesalahan
yang selamanya tak mungkin bisa dihindari.
Bila kau menjadi Pho Ang-soat, apa yang akan
kau lakukan? Menghindar?
Setiap orang ada saatnya berusaha menghindar
dari orang lain, tapi tak seorang pun yang bisa
menghindari diri sendiri, selamanya. Pho Ang-soat
pun tak sanggup.
Perlahan ia berpaling, memandang Hong-ling
yang masih terbuai dalam alam impian.
Apa yang terjadi setelah ia mendusin nanti?
Membayangkan kembali peristiwa yang terjadi
semalam, gejolak napsu yang tak berbendung,
luapan birahi yang tak tertahan. . . Pho Ang-soat
sadar, sepanjang hidup berikutnya tak nanti dia
bisa melupakan adegan itu.
Lalu bagaimana dengan dia? Setelah mendusin,
bagaimana caranya berhadapan dengan Hongling?

Dua orang yang sama sekali tak berakar, tibatiba
melakukan hubungan yang tak akan
terlupakan.
Setelah kejadian ini, apakah mereka berdua
harus bersatu terus? Atau lebih baik
mengambil jalan sendiri-sendiri? Membiarkan
kedua belah pihak sama-sama menerima
penderitaan dan penyesalan karena kesalahan
yang telah dilakukannya?
Pertanyaan yang pelik, siapa yang sanggup
menjawabnya?
Siapa pula yang tahu, tindakan apa yang
seharusnya dilakukan?
Jendela masih terbuka lebar, sinar terang mulai
menerobos masuk ke dalam ruangan.
Langit terasa hening, lembah bukit terasa sepi,
suasana pagi pun amat tenang. Semuanya
tenang dan sepi.
Tiba-tiba Hong-ling mendusin, tiba-tiba
membuka matanya, ia memandang Pho Ang-soat
yang masih berbaring di samping tubuhnya.
Sorot matanya mulai bereaksi.
Apa reaksinya? Penderitaan? Kebingungan?
Permintaan maaf? Penyesalan? Atau amarah yang
meluap?
Pho Ang-soat tak dapat menghindari
pandangan matanya, dia pun tak sanggup
menghindar.

Ia balas menatap wanita itu, menantikan
reaksinya.
BAGIAN IV. MELAHIRKAN ANAK
Bab 1. BERTEMU SETAN PENGISAP DARAH
LAGI
Belum melangkah masuk ke rumah yang
memiliki kepribadian itu, dari kejauhan Yap Kay
telah mendengar ada orang sedang menangis.
Biarpun suara tangisan seorang wanita, tapi
Yap Kay dapat mengenalinya, bukan So Mingming
yang sedang menangis, melainkan isak
tangis seorang nyonya setengah baya.
Begitu masuk ke dalam, ia jumpai seorang
wanita setengah umur yang bertubuh gemuk dan
subur sedang duduk di tepi pembaringan,
sementara So Ming-ming berada di sampingnya
sembari menghibur.
"Apa yang telah terjadi?" Yap Kay bertanya,
"kenapa nyonya ini menangis begitu sedih?"
"Semalam suaminya telah bertemu setan
pengisap darah," So Ming-ming menerangkan.
"Setan pengisap darah? Di sini pun terdapat
setan pengisap darah?" seru Yap Kay agak
tertegun.

"Bukan hanya ada, bahkan sudah lama ada,
namun setelah mereda cukup lama, semalam
baru muncul lagi."
"Lalu suaminya...."
"Tentu saja darahnya sudah terisap kering."
Yap Kay berpikir sejenak, kemudian tanyanya
lagi, "Lantas dimana suaminya sekarang?"
"Masih di tempat kejadian, ada di halaman
belakang rumahnya." "Mari kita ke sana."
Selesai berkata Yap Kay segera beranjak
meninggalkan tempat itu.
Sebetulnya So Ming-ming ingin ikut, tapi
melihat nyonya setengah umur itu masih
menangis sedih, terpaksa dia tetap tinggal untuk
melanjutkan menghiburnya.
Menyongsong datangnya kabut pagi,
menerobos lapisan kabut yang tebal, Yap Kay
memasuki halaman belakang rumah nyonya
setengah umur itu, dari jauh ia sudah melihat
sesosok mayat terkapar di tanah.
Noda darah dari bekas lukanya di tengkuk
sudah membeku, mimik mukanya masih
memperlihatkan rasa takut bercampur ngeri,
sepasang matanya melotot besar.
Yap Kay segera berjongkok, membantu
menutup mata mayat, kemudian diawasinya
bekas luka di tengkuknya sambil berpikir keras.

Setan pengisap darah yang biasanya hanya
muncul dalam cerita ternyata muncul secara
nyata di tempat ini, sejujurnya Yap Kay merasa
amat sangsi bercampur heran.
Sekalipun ia belum pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri kemunculan setan
pengisap darah, namun sudah dua kali ia melihat
mayat bekas digigit setan pengisap darah itu,
sekali ketika masih di Ban be tong dan hari ini
kedua kalinya.
Benarkah korban yang digigit setan pengisap
darah keesokan harinya akan berubah jadi setan
pengisap darah juga?
Yap Kay berkerut kening, ia putuskan untuk
berjaga semalaman di sana nanti, dia ingin
melihat apakah mayat bekas digigit setan
pengisap darah itu benar-benar dapat berubah
pula menjadi setan pengisap darah. Konon setan
pengisap darah hanya bisa mati bila jantungnya
ditusuk kayu yang terbuat dari pohon bunga Tho,
lalu apakah malam nanti Yap Kay pun akan
menyiapkan sebatang kayu pohon Tho?
Tak kuasa lagi dia tertawa getir, banyak benar
peristiwa aneh yang terjadi tahun ini, khususnya
sekarang.
Mula-mula semua orang yang sudah mati
semenjak sepuluh tahun lalu berbondong bangkit
dari liang kubur dan hidup kembali, dan kini
muncul pula setan pengisap darah.

Seandainya semalam ia tak berkunjung ke
kebun monyet serta melihat sendiri apa yang
disebut makhluk berkepala manusia bertubuh
monyet, ia pasti akan menambahkan kasus aneh
ini ke dalam benaknya.
Perlahan Yap Kay bangkit, pikirannya
melayang, tinggalkan kota Lhasa dan kembali ke
Ban be tong, entah bagaimana keadaan Pho Angsoat
kini?
Yap Kay benar-benar kuatir rekannya itu
mengumbar watak dengan melakukan tindakan
bodoh yang justru merugikan dirinya.
Bila malam ini dia berhasil mengungkap kasus
setan pengisap darah itu, ia berencana besok pagi
akan meninggalkan Lhasa dan segera kembali ke
Ban be tong.
Matahari pagi sudah semakin meninggi, bumi
pun terasa semakin panas, sembari menyeka
peluhnya, Yap Kay berjalan keluar halaman
belakang.
Tiba di dalam ruangan, ia lihat So Ming-ming
telah menunggunya di sana. Begitu bertemu,
nona itu segera bertanya, "Bagaimana urusanmu
dengan kebun monyet? Kemana kau pergi sehari
semalam?"
"Aku melihat monyet berkepala manusia," Yap
Kay menerangkan.
"Jadi benar? Benar-benar terdapat monyet jenis
begitu?" seru So Ming-ming sambil
membelalakkan mata.

Yap Kay tertawa tergelak.
"Padahal hanya monyet yang bulu mukanya
telah dicukur hingga kelimis," jelasnya.
"Monyet yang dicukur gundul?"
"Benar, karena mukanya kelimis maka dari
kejauhan mirip kepala manusia."
"Kenapa ia cukur gundul bulu-bulu di kepala
monyet?"
"Siapa tahu? Mungkin Ong-losiansing
menganggap keisengannya menarik," sahut Yap
Kay, "siapa tahu juga kawanan monyet itu
terjangkit penyakit botak?"
Mendengar penjelasan itu, So Ming-ming ikut
tertawa. Menanti suara tawanya mulai mereda
baru ia berkata lagi, "Lalu mengapa kau berada di
sana hingga sehari semalam?"
"Siang harinya aku menonton orang bermain
catur dan malamnya kunikmati hidangan mewah
sambil mendengarkan permainan musik yang
indah dan menonton permainan akrobatik
beberapa ekor monyet lucu."
"Jadi kau tidak menemukan hal-hal yang
mencurigakan? Tidak kau tanyakan masalah Giokseng?"
"Sudah kutanyakan, tapi jawabannya tak ada."
"Tak ada? Tak ada apa?" tanya So Ming-ming
keheranan.

"Dia bilang tak ditemukan hal-hal yang
mencurigakan, tak ada pula berita tentang Giokseng,"
Yap Kay menjelaskan, "aku pun tak
berhasil melacak berita tentang Kim-hi."
"Mana mungkin bisa begitu?" gumam So Mingming,
"padahal semua petunjuk mengarah ke
sana, tapi kini kau justru mengatakan bahwa di
dalam kebun monyet tiada yang patut
dicurigai...."
"Ada seorang kenamaan pernah mengucapkan
sepatah kata, pernahkah kau mendengarnya?"
kembali Yap Kay tertawa.
"Apa yang dia katakan?"
"Tempat yang tak patut dicurigai seringkah
justru merupakan tempat yang paling
mencurigakan," Yap Kay menerangkan.
"Sungguh? Jadi maksudmu kebun monyet
adalah tempat yang amat mencurigakan?"
"Waktu sampai di dalam kebun monyet, kulihat
segala sesuatunya seperti normal dan biasa."
"Kalau memang normal dan biasa, apa lagi
yang patut dicurigai?"
"Justru lantaran kelewat normal dan biasa,
maka timbul kesan amat mencurigakan," kata Yap
Kay, "coba bayangkan saja, kebun monyet itu
sangat besar dan luas, seperti juga orang yang
bernama Ong-losiansing itu, seharusnya dia
memiliki watak yang aneh dan nyentrik, tapi dia
berusaha tampil dengan sikap normal dan wajar,

sikap yang bisa kau jumpai di rumah dan
keluarga mana pun."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya,
"Hal ini membuktikan dia memang sengaja
mengatur semuanya itu agar kita saksikan."
"Bila ia tidak berniat busuk, buat apa mesti
mengatur segalanya untuk dipertontonkan kepada
kita?"
"Benar, oleh sebab itu sekarang juga aku akan
mengunjungi kebun monyet sekali lagi."
"Sekarang?" seru So Ming-ming, "apakah kali
ini pun kau akan masuk melalui pintu gerbang
secara terang-terangan atau menyelundup secara
diam-diam?"
"Tentu saja kali ini aku akan masuk secara
diam-diam," sahut Yap Kay sambil tertawa.
"Cuma sebelum pergi aku ingin merepotkan
dirimu untuk melakukan dua hal."
"Melakukan apa?"
"Pertama, jangan biarkan nyonya setengah
umur itu kembali ke rumahnya, biarkan saja
jenazah suaminya tergeletak di kebun belakang.
Dan kedua, tolong carikan sebatang kayu pohon
Tho untukku."
"Kayu pohon Tho? Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membunuh setan."
"Membunuh setan?"

"Benar," Yap Kay membenarkan, "konon korban
yang mati karena gigitan setan pengisap darah,
setelah lewat sehari akan berubah pula menjadi
setan pengisap darah. Aku dengar setan pengisap
darah seperti itu baru bisa mati bila jantungnya
ditusuk dengan kayu bunga Tho
"Oh, jadi kau ingin membuktikan apakah
malam nanti mayat itu akan berubah pula
menjadi setan pengisap darah?"
"Tepat sekali, jawabanmu memang benar,"
kembali Yap Kay tertawa.
Biarpun dinding pekarangan sangat tinggi,
namun bagi Yap Kay hadangan itu
bagaikan seorang anak sedang bermain
lompat tali, dengan mudah dia melampaui
dinding tinggi tadi dan melayang turun di
halaman belakang kebun monyet.
Saat itu waktu menunjukkan mendekati tengah
hari, suasana dalam kebun monyet terasa begitu
hening seperti berada di tengah malam saja, Yap
Kay mencoba mengawasi seputar sana, kemudian
dengan cepat menghampiri sebuah ruangan yang
jendelanya terbuka.
Begitu dekat dinding ruangan, mula-mula Yap
Kay menempelkan telinga di atas dinding, setelah
yakin tak ada suara yang mencurigakan, baru ia
mendorong daun jendela semakin lebar.
Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah
ranjang, tak ada meja, tak ada kursi. Di atas
ranjang pun hanya tersedia sebuah selimut,

sementara pada dinding dekat ranjang tergantung
sebuah rantai besi. Saat itu ruangan dalam
keadaan kosong.
Sesudah melompat masuk lewat jendela, Yap
Kay menghampiri pembaringan itu, dipegangnya
rantai yang tergantung di atas dinding, lalu
diperiksa sejenak.
Ternyata rantai dihubungkan dengan borgol,
tampaknya borgol itu memang disiapkan untuk
memborgol seseorang di situ.
Tapi siapa yang hendak diborgol di sana?
Sambil berpikir Yap Kay meletakkan kembali
rantai borgol itu, menyingkap seprei dan
memeriksa seluruh ranjang dengan seksama.
Padahal ia tak perlu melakukan pemeriksaan
dengan seksama, sebab begitu selimut disingkap,
segera terlihat sejumlah bulu bertebaran di atas
ranjang.
Bulu-bulu pendek berwarna kuning emas.
Diambilnya beberapa lembar bulu itu dan
dirabanya dengan seksama, bulu itu terasa
sangat kasar, waktu diendus, tersiar bau busuk
yang aneh.
Bau khas seekor monyet!
Mungkinkah kamar itu digunakan untuk
memborgol seekor monyet?
Tapi mengapa monyet itu diborgol di sini? Kalau
susah dilatih, bukankah bisa dikurung dalam

sangkar? Mengapa harus diborgol dalam ruang
kamar yang begini besar?
Seingatnya, monyet berjongkok waktu tidur,
mengapa disediakan ranjang di tempat ini?
Atau mungkin monyet itu sangat besar? Bahkan
jauh lebih tinggi dari manusia?
Menurut analisanya berdasarkan fakta yang
ada, rasanya memang hanya kemungkinan itu
yang masuk akal, Yap Kay pun tertawa, dia
masukkan beberapa lembar bulu itu ke sakunya,
lalu berjalan menuju ke pintu kamar,
membukanya perlahan-lahan dan melongok
keluar.
Di luar pintu ada sebuah serambi panjang,
suasana di serambi itu pun hening, di ujungnya
terdapat lagi sebuah pintu.
Dengan kecepatan luar biasa ia segera
menerobos ke sana, sekali berkelebat Yap Kay
telah tiba di sisi pintu di ujung serambi.
Berdasarkan pantauan indra keenamnya, Yap
Kay tahu ruangan itu pasti kosong, maka dia pun
mendorong pintu, tapi tak berhasil.
Rupanya kamar itu terkunci? Tidak mungkin,
bukankah dalam ruangan tak ada penghuninya?
Mengapa justru kamar itu terkunci rapat?
Yap Kay coba memperhatikan bentuk pintu itu
dan mengetuknya beberapa kali, walaupun pintu
itu sepintas mirip pintu kayu, namun kenyataan

merupakan sebuah pintu besi yang dibungkus
kulit kayu, tak heran susah dibuka.
Sebuah pintu besi memang tak gampang untuk
dibuka dengan sekali dorongan.
Dia pun mengerahkan tenaga dalamnya sambil
mendorong kuat-kuat, kali ini pintu besi bergeser
ke dalam hingga terbuka, segulung hawa dingin
tiba-tiba berhembus keluar.
Yap Kay bersin, aneh, di udara yang begini
panas, mengapa dari dalam ruangan justru
berhembus hawa dingin bagai bongkahan es?
Setelah pintu terbuka, kamar itu memang tak
ada penghuninya.
Bukan saja tak ada penghuninya, bahkan dalam
ruangan tidak nampak perabot apa pun,
jangankan meja rias atau meja kursi, sebuah
ranjang yang sederhana pun tak nampak.
Walau begitu, bukan berarti ruangan itu
kosong melompong.
Setelah menyaksikan pemandangan dalam
ruangan itu, Yap Kay segera mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, tak tahan muncul hawa dingin
yang menggidikkan di hati kecilnya.
Persis di tengah ruangan terdapat sebuah meja
altar panjang, di atasnya tersedia berderet
bongkahan es beku.
Ternyata hawa dingin itu berasal dari
bongkahan es batu yang memenuhi altar panjang.

Di sekeliling altar tersedia lemari tinggi, lemari
itu terbuat dari batu kristal hingga semua benda
yang berada di dalamnya bisa terlihat jelas,
namun Yap Kay tak bisa mengenali barang apa
saja yang ada di sana.
Lemari itu dipenuhi kotak-kotak bulat, isi kotak
itu adalah cairan seperti arak anggur dari Persia,
hanya warnanya agak sedikit tua dan kental.
Jangan-jangan tempat ini adalah gudang es
untuk menyimpan arak anggur?
Setelah mendekati lemari itu Yap Kay baru tahu
bahwa semua rak lemari diberi label nomor,
semuanya ada empat buah.
"Jenis kesatu", "Jenis kedua", "Jenis ketiga"
dan "Jenis keempat". Jenis apa itu? Masa arak
pun mempunyai jenis?
Sampai hari ini Yap Kay belum pernah
mendengar hal semacam ini, dibukanya lemari
sebelah kanan dan diambilnya sebuah
kotak, lalu dibuka penutupnya.
Tapi begitu diendus baunya, kontan keningnya
berkerut kencang.
Darah, bau darah!
Ternyata isi kotak-kotak bulat itu adalah darah.
Darah sesegar bunga mawar.
Ternyata kotak bulat yang berada dalam lemari
kristal berisikan darah, lalu apa gunanya begitu
banyak darah tersimpan di sana?

Dalam empat buah lemari tersimpan empat
jenis darah, akhirnya Yap Kay tahu kalau jenis
darah pun terbagi jadi empat jenis. Sekarang
baru dia teringat perkataan gurunya bahwa
darah yang
mengalir dalam tubuh manusia secara garis
besar terbagi dalam empat jenis darah yang
berbeda.
Tak mungkin jenis darah yang berbeda
dicampur-aduk menjadi satu, artinya orang yang
mempunyai darah jenis kesatu hanya bisa di
transfusi dengan darah dari jenis kesatu.
Tentu saja dia pun masih ingat perkataan
gurunya, bahwa untuk menjaga kesegaran darah,
maka harus disimpan dalam suhu yang rendah
dan dingin.
Ditinjau dari semua perlengkapan yang tersedia
di sini, dapat disimpulkan bahwa Ong-losiansing
bukan saja mengetahui pembagian jenis darah
manusia, dia pun sangat mengerti cara
menyimpan darah segar.
Tapi untuk apa dia menyimpan begitu banyak
jenis darah?
Kalau dibilang dia adalah seorang tabib sakti
yang suka menolong orang, bisa jadi persediaan
darahnya akan digunakan untuk menolong nyawa
orang, tapi kenyataan dia tak lebih hanya seorang
kakek yang mempunyai banyak uang, untuk apa
persediaan darah itu?

Mungkinkah persediaan darah segar itu ada
sangkut-pautnya dengan berbagai misteri yang
terjadi dalam kebun monyet? Ataukah mungkin
darah itu bukan darah manusia, melainkan darah
monyet?
Menyaksikan ruang penyimpan darah yang
dingin membekukan itu, Yap Kay segera merasa
dalam kebun monyet telah bertambah lagi dengan
selapis misteri yang mencurigakan.
Sementara Yap Kay masih termenung,
mendadak dari luar pintu berkumandang suara
langkah manusia, dalam kagetnya ia sudah tak
sempat lagi menerjang keluar ruangan, padahal
sekeliling tempat itu tak tersedia tempat untuk
menyembunyikan diri, apa yang harus dilakukan
sekarang?
Dalam pada itu suara langkah manusia
terdengar makin lama semakin dekat.
Pintu besi telah terbuka, tampak dua orang
pemuda berbaju kuning berjalan masuk ke dalam
ruangan. Seorang di antaranya yang
berperawakan agak tinggi membawa dua buah
tabung bambu.
Mereka langsung menuju ke rak lemari
bertuliskan "jenis kedua", pemuda yang
berperawakan agak pendek segera mengeluarkan
kotak darah yang isinya paling sedikit dan
membuka penutupnya.
Pemuda agak tinggi itu pun menuang isi kedua
tabung bambu itu ke dalam kotak bulat tadi.

Tentu saja cairan yang mengalir keluar dari
tabung bambu adalah darah segar.
Menanti semua cairan dalam tabung bambu
telah tertuang dan kotak bulat itu sudah ditutup
kembali, pemuda agak pendek itu meletakkan
kembali ke dalam laci sambil katanya, "Heran
juga, aku masih ingat ketika masuk kemari tempo
hari, setiap kotak 'jenis kedua' masih terisi penuh
semua, kenapa sekarang lagi-lagi berkurang
banyak?"
"Lagi-lagi? Apa maksudmu lagi-lagi?" tanya
pemuda yang agak tinggi.
"Lagi-lagi maksudnya kejadian seperti ini sudah
terjadi berulang kali, setiap kali masuk kemari,
aku selalu menemukan kotak yang semula sudah
kuisi penuh ternyata telah berkurang banyak."
Pemuda yang agak tinggi itu memandang sekali
lagi kotak darah dalam laci, kemudian gumamnya
sambil menggeleng, "Aku benar-benar tak habis
mengerti, buat apa si tua itu membutuhkan
begitu banyak darah?"
"Si tua? Siapa si tua?"
"Dia adalah.....
Tapi sebelum dia melanjutkan kata-katanya,
pemuda yang lebih pendek telah menyumbat
mulutnya sambil berbisik, "Memangnya kau sudah
bosan hidup?"
"Aku.....

"Tak seorang pun berani menyebutnya si tua,"
bisik pemuda itu lagi, baru ia lepaskan
bekapannya setelah memeriksa pintu sekejap,
"hari ini kau berani bicara begitu keras,
memangnya sudah bosan hidup?"
"Dia tak ada di sini, darimana bisa tahu?"
biarpun pemuda agak tinggi itu masih keras
ucapannya, namun ia sudah merendahkan nada
suaranya.
"Banyak orang yang suka menyampaikan
laporan demi meraih pahala."
"Tapi di sini hanya ada kau dan aku, tak
ada...."
Sebenarnya dia hendak mengatakan "di sini tak
ada orang lain, siapa yang bakal melaporkan hal
ini", tiba-tiba ia teringat kalau rekannya bukankah
seorang juga?
Sambil tertawa paksa ia menepuk bahu
rekannya, katanya pula, "Lauko, dalam kamarku
tersimpan dua guci arak Li ji-ang berusia tiga
puluh tahun, malam ini kita bisa berpesta-pora."
Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya,
"Tentu saja Laute akan menyediakan hidangan
juga."
"Bukankah kedua guci arak itu adalah barang
mestikamu, mana aku berani meneguknya?"
"Lauko, kau kan bukan orang luar, asal Lauko
melupakan apa yang Siaute katakan tadi, apa pun
yang kau kehendaki tentu akan Laute penuhi."

"Tahu rahasia tapi tidak melapor, dosanya bisa
berlipat ganda," kata pemuda agak pendek
berlagak jual mahal.
"Kakakku yang baik, tolong ampunilah aku
sekali ini saja!"
"Hm, kalau bukan melihat hubungan kita
selama ini, aku "Terima kasih Lauko."
Setelah pemuda yang agak tinggi itu mengajak
rekannya keluar ruangan dan baru saja
merapatkan kembali pintu besi, terlihat seseorang
melayang turun dari atas wuwungan rumah
Begitu hinggap di lantai, Yap Kay segera
menggerakkan jari tangan dan kakinya, karena
harus bersembunyi di wuwungan rumah tadi
tanpa bergerak, kini tangan dan kakinya sudah
mulai membeku.
Selesai menghangatkan badan, Yap Kay baru
termenung sambil mengulang kembali semua
pembicaraan yang barusan terdengar.
Berdasar pembicaraan kedua orang itu, Yap
Kay menyimpulkan tiga hal. Pertama, cairan
merah yang berada dalam kotak bulat itu adalah
darah manusia. Kedua, semua anak buah Onglosiansing
tak ada yang tahu apa kegunaan darah
itu dan ketiga, Ong-losiansing membutuhkan
darah dalam jumlah banyak sehingga setiap
berapa hari anak buahnya harus mengisi kembali
kotak-kotak itu.

Kini dalam benak Yap Kay bertambah satu
pertanyaan, darimana mereka memperoleh darah
itu?
Jangan-jangan... ? Tapi... rasanya tak
mungkin.
Mana mungkin persoalan ini disatukan dengan
masalah setan pengisap darah?
Tak tahan Yap Kay tertawa geli.
Sebetulnya dia ingin melakukan penyelidikan
lebih lanjut, tapi sayang waktu sudah
menunjukkan 'bukan waktu yang tepat
untuk melakukan pelacakan'. Kini penjagaan
dalam kebun monyet pasti sudah kembali seperti
sedia kala.
Berarti dia harus segera mengundurkan diri dari
situ dan selesai menyelidiki kasus setan pengisap
darah malam nanti, besok dia akan menyatroni
kebun monyet lagi.
Taburan bintang semalam belum lagi muncul,
sinar senja hari ini telah tenggelam di langit
barat.
Yap Kay segera mencari sebuah tempat yang
strategis dan mulai menyembunyikan diri.
Di halaman belakang rumah nyonya setengah
umur itu terdapat sebuah sumur, tepat di depan
sumur berdiri sebuah pohon tua yang amat besar.
Pohon itu sangat besar dan berdaun lebat, di
situlah Yap Kay menyembunyikan diri, sebab dari
atas pohon bukan saja ia dapat melihat jelas

situasi di sekeliling halaman belakang, bahkan
radius seluas tujuh tombak pun tak akan lolos
dari pengamatannya.
Dengan berbekal dua poci arak dan sejumlah
rangsum ia menanti di atas pohon dengan tenang,
coba kalau bukan sedang menunggu kasus aneh,
menikmati arak di atas pohon pasti sangat
mengasyikkan.
Ketika bintang utara pertama baru muncul di
angkasa, Yap Kay telah menghabiskan separoh
poci arak dan mengusir sebagian hawa dingin
yang merongrong tubuhnya.
Posisi mayat masih sama seperti pagi tadi,
berbaring di tengah halaman. Di bawah sinar
rembulan yang baru muncul, terlihat jelas bekas
noda darah pada luka di tengkuk mayat itu telah
membeku dan berubah warna jadi kehitamhitaman.
Bila berita angin yang selama ini beredar benar,
malam ini mayat itu akan berubah jadi mayat
hidup, akan berubah jadi setan pengisap darah.
Benarkah setan pengisap darah tak bisa
dibunuh dengan senjata apa pun? Benarkah
makhluk itu baru terbunuh bila jantungnya
ditusuk kayu runcing dari pohon bunga Tho?
Omong kosong semacam itu biasanya hanya
muncul dalam cerita, tapi sekarang telah muncul
dalam kehidupannya, bayangkan saja apa yang
dilakukan Yap Kay sekarang?

Dia hanya tertawa getir, ya, dia hanya bisa
tertawa getir.
Bila malam ini mayat itu benar-benar bisa
hidup kembali, Yap Kay ingin membuktikan, apa
benar setan pengisap darah tak dapat dibunuh
dengan senjata lain, bilamana perlu dia akan
menggunakan kayu runcing dari dahan bunga Tho
untuk menghadapinya.
Sekarang kayu runcing bunga Tho sudah
terselip di pinggangnya.
Andaikata teman-temannya mengetahui
ulahnya itu, bisa jadi mereka akan tertawa hingga
terlepas giginya.
Kalau bukan menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, siapa yang bakal mempercayainya?
Bagaimana pula dengan Yap Kay?
Bila ia benar-benar berjumpa setan pengisap
darah malam ini, apakah dia akan percaya?
Yap Kay tak tahu, ia tak sanggup menjawab
pertanyaan itu.
Ada sementara kejadian, walau sudah kau
saksikan dengan mata kepala sendiri pun belum
tentu akan percaya, apalagi omong kosong yang
tak ada kepastian seperti ini.
Hawa dingin yang terbawa angin barat
membawa serta bau harumnya hidangan kota
Lhasa, teriring juga lagu gembala yang pilu dan
penuh kesedihan.

Ketika mendengar lagu yang memilukan itu,
tiba-tiba Yap Kay teringat akan seseorang.
"Bulan tiga di musim semi, kawanan domba
berpesta rerumputan. Musim salju yang beku,
siapa yang akan memberi makan serigala?
Hati lembut bagai domba, hati keras bagai
serigala.
Hati manusia sukar diterka, perasaan manusia
beku bagai salju...."
Siau Cap-it-long!
Di kolong langit hanya Siau Cap-it-long yang
paling memahami serigala, dia pula yang
menaruh simpatik terhadap serigala.
Dia sendiri seolah-olah adalah seekor serigala,
seekor serigala yang kesepian, kedinginan dan
kelaparan. Berkelana di tanah bersalju, tujuannya
tak lain hanya berjuang untuk mempertahankan
hidup.
Tak seorang pun di dunia ini yang mau
mengulurkan tangan membantunya, setiap orang
hanya ingin menendangnya, menginjaknya
sampai mampus.
Manusia di dunia ini hanya tahu kasihan dan
simpatik kepada domba, jarang ada yang
mengetahui penderitaan dan kesepian yang
dirasakan serigala. Yang dilihat umat manusia
hanya keganasan serigala ketika menerkam
domba, tak pernah menggubris bagaimana
menderita serigala ketika kelaparan di tanah

bersalju, ketika berkelana sendirian di tengah
alam yang sepi.
Ketika domba lapar, dia makan rumput.
Bagaimana kalau serigala sedang lapar? Apakah
dia harus mati kelaparan?
Yap Kay sangat memahami serigala, oleh sebab
itu dia pun sangat memahami Siau Cap-it-long.
Biarpun mereka berdua bukan berasal dari
zaman yang sama, namun Yap Kay sangat
menguasai cerita tentang Siau Cap it-long, setiap
kali teringat akan ceritanya, badannya akan
terasa panas dan darah dalam tubuhnya bergolak
keras.
Bukan tanpa sebab secara mendadak Yap Kay
teringat Siau Cap-it-long, sekalipun lagu gembala
yang pilu itu membuat dia teringat akan tokoh
besar itu, namun membuatnya teringat juga
perkataan seorang bijak: Nun jauh di negeri
seberang, konon setiap malam bulan purnama
akan muncul makhluk aneh yang suka menggigit
tengkuk manusia dan mengisap darahnya, di
negeri itu rakyat menyebutnya sebagai manusia
serigala.
Kebetulan malam ini bulan purnama.
Yap Kay mendongak memandang rembulan di
angkasa, rembulan yang bulat dan besar, apakah
setan pengisap darah sama seperti manusia
serigala, akan muncul pada malam bulan
purnama?

Yang satu terjadi di negeri barat sementara
yang lain berlangsung di negeri timur yang penuh
misteri, biarpun berbeda sebutan, mungkinkah
mereka adalah sejenis makhluk yang sama?
Yap Kay masih teringat cerita orang bijak itu:
Manusia serigala hanya bisa dibunuh dengan
benda yang terbuat dari perak.
Persis seperti setan pengisap darah hanya bisa
dibunuh dengan kayu runcing dari bunga Tho.
Korban yang digigit manusia serigala konon
akan berubah jadi manusia serigala, bukankah
korban yang digigit setan pengisap darah pun
akan berubah jadi setan pengisap darah?
Kelihatannya walaupun manusia serigala bukan
jenis makhluk yang sama dengan setan pengisap
darah, paling tidak mereka pasti punya hubungan
famili.
Bulan nampak sangat bulat, bintang bertaburan
di angkasa membiaskan cahaya yang sejuk,
hanya hembusan angin barat yang terasa dingin
membeku.
Ketika angin berhembus menggugurkan
dedaunan, tak tahan Yap Kay merapatkan kerah
bajunya, entah lantaran hawa yang dingin atau
membayangkan kejadian menyeramkan,
tubuhnya nyaris meringkuk jadi satu.
Cepat ia mengambil sisa arak setengah poci
dan menenggaknya hingga habis, setelah itu
tubuhnya baru terasa lebih nyaman.

Saat itu tengah malam sudah hampir tiba,
andaikata akan terjadi sesuatu, seharusnya
peristiwa itu sebentar lagi akan berlangsung.
Berpikir begitu, dia pun menggunakan
kesempatan itu untuk menangsal perut agar nanti
sedikit lebih bertenaga.
Baru saja pikiran itu melintas dan hendak
mengambil rangsum siap digigit, tiba-tiba
terdengar suara aneh berkumandang datang.
Suara itu mirip ringkik selaksa kuda yang
sedang berlari bersama.
Menyusul bergemanya suara itu, tampak ada
segumpal cahaya tajam memancar keluar dari
dalam sumur kering dan langsung menyorot ke
angkasa.
Sementara suara ringkik aneh itu bergema
makin keras, semburan cahaya itu pun makin
terang benderang.
Tak tahan Yap Kay segera menutup sepasang
telinganya dengan tangan, biarpun dengan segala
kemampuan ia berusaha melihat apa gerangan
yang telah terjadi, sayang pantulan cahaya itu
terlampau kuat, akhirnya mau tak mau terpaksa
dia harus memejamkan mata.
Meski mata telah terpejam, namun dia masih
dapat merasakan betapa kuatnya pancaran
cahaya itu, apalagi gendang telinganya.

Coba kalau dia tidak memiliki tenaga dalam
yang sempurna, saat ini niscaya dia sudah jadi
gila dibuatnya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Apakah kejadian ini merupakan irama pembuka
sebelum setan pengisap darah itu muncul?
Bab 2. MASA SEMBILAN BELAS TAHUN
HING BU-BING
Dalam sekejap mata, cahaya terang yang
memancar membuat suasana di halaman
belakang berubah jadi terang benderang, dalam
waktu singkat pepohonan bergetar tiada hentinya,
daun dan ranting pohon pun ikut bergoyang dan
menari di udara.
Sejak kapan kumpulan cahaya itu menghilang?
Sejak kapan suara itu berhenti? Yap Kay sama
sekali tak tahu, dia hanya tahu seakan-akan
sudah lewat lama, lama sekali, seperti sudah
lewat seabad lamanya.
Meski telinganya tidak lagi terasa sakit
bagaikan ditusuk jarum, namun sisa dengungan
suara masih bergema dalam gendang telinganya.
Biarpun sorot cahaya itu sudah tidak kuat tadi,
namun matanya yang terpejam masih tersisa
bekas sinar yang menusuk pandangan.
Menanti telinganya sekali lagi dapat menangkap
suara deru angin barat, menanti matanya
terbiasa dengan pemandangan di saat

malam, sekujur tubuh Yap Kay basah kuyup
bermandikan keringat dingin.
Apa yang barusan terjadi?
Setelah berhasil menenangkan diri, Yap Kay
mulai memeriksa keadaan di seputar sana,
semuanya tenang, aman, tak terlihat perubahan
apa pun.
Ah, tidak, tidak benar, ada sebuah benda yang
telah hilang dari halaman belakang.
Benda apakah itu? Ternyata benda itu tak lain
adalah jenazah lelaki tadi.
Mayat yang sebelumnya masih berbaring di
tengah halaman, sekarang telah berubah jadi
seonggok daun.
Dengan cepat Yap Kay melakukan pemeriksaan
di sekeliling halaman belakang, bahkan wilayah
beberapa tombak dari sana pun tak luput dari
pengamatannya, tapi sekeliling sana tampak sepi,
yang ada hanya selapis kabut tipis.
Mayat itu benar-benar hilang.
Benarkah mayat itu telah berubah jadi setan
pengisap darah? Apakah raungan suara dan
pancaran cahaya kuat merupakan perjalanan
yang harus terjadi di saat mayat itu berubah jadi
setan pengisap darah?
Kalau benar begitu, mengapa tak nampak setan
pengisap darah?

Kalau mayat itu benar-benar telah berubah jadi
setan pengisap darah, mengapa dia tak datang
menggigit Yap Kay? Masa setannya tidak melihat
atau tidak merasa?
Atau Jangan-jangan setan itu kabur gara-gara
mengendus bau kayu bunga Tho yang terselip di
pinggang Yap Kay?
Berbagai pertanyaan itu seolah membelenggu
seluruh benaknya, membuat anak muda itu
termangu untuk sesaat.
Akhirnya dia mengambil sepoci arak lagi dan
menenggaknya, sampai arak mengalir ke dalam
perut baru dia menarik napas panjang dan
melayang turun ke bawah.
Dia langsung melayang turun ke sisi gundukan
daun kering itu, kemudian dari sana perhatiannya
dialihkan ke sumur kering, kakinya pun perlahanlahan
melangkah mendekati sumur itu.
Mungkinkah dari sumur kering semacam ini
dapat muncul suara dan cahaya yang luar biasa?
Yap Kay memungut sepotong batu, lalu
ditimpukkan ke dasar sumur.
"Tuk!", memang tak keliru, suara benturan
batu ke atas tanah, dari suara pantulan, tanah di
dasar sumur itu pasti sangat keras, tak mungkin
terdapat ruang atau lorong rahasia.
Perlahan Yap Kay bangkit, sambil bertopang
dagu keningnya berkerut, masa semua yang
terlihat olehnya barusan hanya khayalan pribadi

atau fatamorgana? Sekalipun suara dan cahaya
tajam itu muncul dari khayalan pribadi, lalu
bagaimana dengan mayat itu? Bukankah terbukti
jenazah itu telah hilang?
Bila orang lain yang bertemu kasus seperti ini,
mereka pasti memilih pulang dulu untuk tidur
sampai puas, kalau ada masalah lain, besok baru
dibicarakan lagi.
Sayang Yap Kay bukan manusia semacam itu.
Bila dia adalah manusia semacam itu, tak
mungkin akan muncul banyak kejadian yang
penuh kesedihan, kegembiraan, kemurungan dan
kepiluan.
Biar sepintas sumur kering itu tak
menunjukkan pertanda yang mencurigakan,
namun bila Yap Kay tak turun ke bawah dan
melakukan pemeriksaan, selama tiga hari tiga
malam ia pasti tak bisa tidur nyenyak.
Karena itu tak lama setelah mengernyitkan alis,
pemuda itu sudah meluncur masuk ke dasar
sumur.
Dasar sumur kering itu memang keras bagai
baja, begitu melayang ke bawah Yap Kay segera
tahu di bawah sana tak mungkin terdapat ruang
rahasia atau sebangsanya, maka seluruh
perhatiannya tertuju ke sekeliling dinding sumur.
Lumut hijau tumbuh subur di dinding sumur,
perhatian Yap Kay pun segera dipusatkan pada
lumut itu.

Bukankah sumur ini kering sepanjang tahun?
Mana mungkin di atas tanah yang kering bisa
tumbuh lumut hijau?
Sesudah diperhatikan, sekulum senyuman
segera tersungging di bibir Yap Kay. Tangannya
pun mulai meraba dinding sumur yang penuh
ditumbuhi lumut.
Ketika jari tangannya menyentuh lumut itu,
senyuman yang tersungging semakin mengental,
tiba-tiba dipegangnya lumut itu, lalu ditarik ke
belakang, mendadak lumut yang menempel di
dinding sumur itu terobek sebagian.
Mana ada lumut yang bisa dirobek sebagian?
Sudah jelas lumut yang berada dalam genggaman
Yap Kay saat ini adalah lumut palsu.
Setelah lumut palsu itu terkelupas dari dinding,
kini terlihatlah empat-lima buah lubang bulat
kecil, lalu apa kegunaan lubang kecil itu?
Tampaknya lumut palsu itu memang khusus
ditempel di dinding untuk menutupi keberadaan
lubang-lubang kecil itu.
Mengapa di atas dinding sumur yang kering
bisa muncul lubang-lubang kecil? Apa kegunaan
lubang kecil itu? Ketika semua lumut palsu
dikupas, maka muncul lubang kecil yang lebih
banyak.
Yap Kay memasukkan jari tangan ke dalam
lubang itu, ternyata tidak tercapai dasarnya, ini
menunjukkan lubang kecil itu sangat dalam.

Karena gelap gulita, tentu saja ia tak dapat
melihat dengan jelas isi di balik gua, mau
didengar dengan menempelkan telinga pun tidak
terdengar suara apa pun.
Sekali lagi Yap Kay dibuat pusing tujuh keliling,
baru saja berhasil mengungkap rahasia lumut
tempelan, kini terhadang lagi dengan rahasia
lubang kecil.
Mengawasi begitu banyak lubang kecil yang
tersebar di dinding sumur, Yap Kay berdiri
termangu, dia benar-benar tak habis mengerti
apa kegunaan lubang itu?
Untunglah di saat kepalanya terasa semakin
pusing, tiba-tiba ia menemukan sesuatu,
dilihatnya antara batu di dinding dengan batuan
yang lain ternyata tidak berada dalam satu garis
lurus, di antara batu dengan batu terlihat ada
sebuah celah.
Bebatuan itu ada yang berbentuk besar ada
pula yang kecil, sehingga sekilas pandang dinding
itu nampak tidak rata dan teratur, tapi pada
dinding yang berada satu setengah meter dari
dasar sumur terlihat sederet bebatuan yang justru
tersusun rata.
Ketika bebatuan itu sampai di situ, semuanya
tersusun menjadi satu garis datar, tampaknya
tempat itu memang sengaja diatur demikian.
Begitu menjumpai penemuan itu, bukan saja
rasa pusing Yap Kay seketika hilang, senyuman

yang tersungging di ujung bibirnya juga nampak
semakin kental.
Ditatapnya celah yang rata itu beberapa saat,
ia dorong dinding itu ke dalam.
Baru saja menggunakan tiga bagian tenaganya,
dinding itu tahu-tahu sudah amblas ke bawah,
dengan amblasnya dinding sumur, maka
terasalah hawa dingin yang menyengat menerpa
keluar, bahkan diiringi suara mencicit yang sangat
aneh.
Yap Kay tahu, gejala itu merupakan akibat
bertemunya udara dari dalam dan dari luar, maka
ditunggunya hingga suara aneh itu lenyap baru
dia melangkah masuk ke dalam pintu rahasia itu.
Lorong itu sangat gelap, sedemikian gelapnya
hingga susah melihat jari tangan sendiri. Apakah
jalan itu lurus? Atau ada belokan?
Terpaksa Yap Kay berjalan sambil berpegangan
dinding, lebih kurang tujuh-delapan tikungan
kemudian secara lamat-lamat baru ia melihat ada
cahaya lentera di kejauhan sana.
Berjalan mendekati sumber cahaya, perasaan
Yap Kay malah tidak setegang tadi, karena
dimana terdapat sumber cahaya di situlah terletak
jawaban semua teka-teki ini, tentu saja tempat
itu merupakan sumber dari segala mara-bahaya.
"Kalau sudah datang, berusaha melakukan
yang terbaik", maksud perkataan itu diketahui
Yap Kay melebihi orang lain, maka dengan riang

dia melanjutkan langkahnya mendekati sumber
cahaya itu.
Cahaya lentera sangat lembut, tapi sepasang
mata itu nampak berwarna keabu-abuan.
Begitu tiba di ruangan yang bercahaya, Yap
Kay pun menyaksikan sepasang mata berwarna
abu-abu.
Bukan saja abu-abu warnanya, bahkan jauh
lebih dingin daripada salju abadi di puncak Cu mu
lang ma, begitu dingin sehingga membuat aliran
darah siapa pun terasa ikut membeku.
Yap Kay menghindari tatapan mata orang itu,
dan dia pun melihat tangannya.
Tangan kiri orang itu buntung, warna tangan
kanan pun semu abu-abu, seperti tangan mayat
yang baru keluar dari balik peti mati.
Ia mengenakan jubah panjang berwarna hijau
pupus, rambutnya panjang namun tersisir rapi,
kedua alisnya tebal dan rapat, hidungnya
mancung, tapi sayang raut mukanya kelewat
menunjukkan kesepian dan kesendirian.
Bibirnya amat tipis, tapi sekilas pandang dia
seperti orang yang selalu pegang janji. Orang
yang telah mati di tangannya juga sangat banyak,
kelihatan sekali tangannya lebih banyak dipakai
membunuh daripada mulutnya digunakan untuk
berbicara.
Sebilah pedang tanpa sarung terselip di
pinggang sebelah kiri.

Pedang itu berwarna hitam pekat, sepekat alis
matanya.
Tegasnya pedang itu tak pantas disebut sebilah
pedang, lebih cocok kalau dibilang lempengan
besi sepanjang satu meter yang tidak memiliki
mata pedang, tak punya ujung pedang, bahkan
gagang pedang pun tak ada.
Dia hanya menggunakan dua lembar kayu tipis
yang dipantekkan di ujung lempengan besi dan
menganggapnya sebagai gagang pedang.
Pedang yang dimilikinya memberi kesan seakan
sebuah mainan anak-anak, tapi Yap Kay sadar
justru mainan itu berbahaya sekali dan lebih baik
jangan mencoba untuk bermain dengannya.
Orang itu duduk di bawah cahaya lentera
dengan tenang, tapi punggungnya tetap dibiarkan
tegak lurus, tubuhnya seakan terbuat dari besi
baja, hawa dingin, keletihan, kepenatan dan rasa
lapar tak akan membuatnya takluk dan runtuh.
Di kolong langit seakan tak terdapat kejadian
apa pun yang dapat membuatnya takluk.
Alis matanya yang tebal pekat, matanya yang
besar, bibirnya yang tipis hanya nampak satu
garis, hidungnya yang mancung membuat raut
muka orang ini kelihatan begitu kurus kering, raut
muka itu gampang membuat orang teringat akan
sebongkah batu karang, batu karang yang begitu
keras, kokoh, dingin, sama sekali tak peduli
dengan urusan lain, bahkan terhadap diri sendiri
sekalipun.

Menyaksikan tampang orang ini, tak terasa Yap
Kay teringat A Fei, A Fei yang mempunyai
hubungan sehidup semati dengan gurunya.
Ada banyak bagian pada tubuh orang ini yang
mirip A Fei, satu-satunya perbedaan hanya
terletak pada matanya, kalau sinar mata A Fei
selalu memancarkan kehangatan, mata orang ini
justru mendatangkan kematian.
Yap Kay percaya, yang selalu didatangkan
pedang milik orang ini adalah kematian.
Tidak ada kehidupan di ujung pedangnya, kiri
kanan pedang pembunuh ganda.
Yap Kay yakin, orang ini pastilah si
pembunuh berwajah dingin Hing Bu-bing,
seorang pembunuh yang angkat nama berbareng
A Fei. Hing Bu-bing!
Yap Kay yakin dugaannya tak keliru, dia
percaya orang yang berada di hadapannya
sekarang adalah Hing Bu-bing, pembantu utama
Siangkoan Kim-hong.
Sebab hanya Hing Bu-bing yang bisa
mendatangkan perasaan kematian bagi siapa pun.
Sekali lagi Yap Kay mengalihkan sorot matanya
mengawasi mata orang itu, sekali lagi mengamati
cahaya abu-abu yang mendatangkan kesan
kematian.
Bila orang ini benar-benar Hing Bu-bing, berarti
hari ini Yap Kay bakal menghadapi sebuah

pertarungan paling berbahaya yang belum pernah
dialaminya sepanjang hidup.
Dia masih teringat pesan gurunya, "Walaupun
ilmu silat yang dimiliki Siangkoan Kim-hong jauh
lebih tinggi daripada Hing Bu-bing, tapi dia tidak
sengeri Hing Bu-bing, sebab dia tidak memiliki
hawa kematian yang dimiliki Hing Bu-bing".
"Aku lebih senang bertarung tiga hari tiga
malam melawan Siangkoan Kim-hong daripada
bertarung sesaat melawan Hing Bu-bing".
Itulah perkataan yang pernah disampaikan
Siau-li si pisau terbang tentang Hing Bu-bing. Dia
memang seorang yang sangat menakutkan.
Dan kini Yap Kay telah berjumpa dengannya,
berhadapan langsung dengan Hing Bu-bing.
Dulu Li Sun-hoan belum sempat bertarung
melawan Hing Bu-bing, apakah hari ini Yap Kay
harus mundur sebelum bertarung?
Di ujung lorong bawah tanah merupakan
sebuah ruangan kosong, selain Hing Bu-bing, di
sana hanya terdapat tujuh-delapan buah lentera.
Biarpun cukup banyak lentera yang tersedia,
namun cahaya yang terpancar sangat lembut.
Suara orang itu pun sangat lambat, tak ada nada
suara, juga tak terselip perasaan dan emosi.
Hanya Hing Bu-bing yang bisa mengeluarkan
suara semacam ini.
"Jenis manusia di dunia ini sangat banyak, ada
sebagian orang yang mudah dibunuh, ada pula

sebagian yang susah," mimik mukanya kelihatan
begitu suram dan layu, tapi suara maupun sorot
matanya terasa begitu dingin menggidikkan,
"tangan pun ada banyak jenis, ada yang bisa
membunuh, ada pula yang tak mampu."
Yap Kay tidak menanggapi, tidak bicara, hanya
mendengarkan, mendengarkan dengan seksama.
"Dulu aku tersohor karena menggunakan
tangan kiri, tapi sejak tangan kiriku kutung,
banyak orang menyangka aku hanya seorang
cacat yang tak berguna."
Tak salah lagi, ternyata orang ini benar-benar
Hing Bu-bing.
"Oleh karena itu orang-orang itu mampus di
ujung pedang tangan kananmu," Yap Kay
membantunya menyelesaikan perkataan itu.
Perlahan-lahan Hing Bu-bing mengangkat
tangan kanannya, sambil menatap tangan sendiri,
ujarnya, "Sejak usia sebelas tahun aku mulai
berlatih pedang, pada usia lima belas sudah
mampu memainkan pedang kilat. Tapi aku butuh
waktu hampir tujuh tahun lamanya untuk melatih
tangan kiriku memainkan pedang, tahukah kau
apa sebabnya aku berbuat demikian?" "Katakan!"
"Aku selalu percaya, di antara jagoan yang
tangguh pasti terdapat jagoan yang lebih
tangguh. Aku melatih tangan kiriku menggunakan
pedang karena aku yakin suatu ketika nanti pasti
akan bertemu juga dengan musuh yang benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benar tangguh, saat itulah pedang tangan kiriku
akan memperlihatkan kebolehannya."
Sesudah berhenti sejenak, terusnya, "Siapa
sangka belum sempat kugunakan kemampuanku,
tangan kiriku sudah keburu buntung."
Tangan kirinya bukan ditebas kutung orang,
tapi dia sendiri yang memotongnya. Walaupun
bahu kirinya terluka lebih dulu karena serangan
Siau-li si pisau terbang, tapi kalau bukan dia
sendiri yang menghujamkan pisau terbang itu
hingga melukai tulang sendinya, tak nanti tangan
kirinya bakal cacat.
Tentu saja Yap Kay mengetahui kejadian ini,
sekalipun bukan diberitahu Li Sun-hoan, namun
berita itu sudah tersebar luas dalam dunia
persilatan.
Yap Kay punya telinga, bisa mendengar sendiri,
bisa menganalisa dan mengambil kesimpulan,
oleh sebab itu selama ini dia sangat mengagumi
sepak terjang Hing Bu-bing.
Sepak terjang? Sepak terjang seorang
Enghiong? Apa yang disebut Enghiong? Apakah
sepak terjang Hing Bu-bing selama ini bisa
dianggap sebagai Enghiong? Enghiong
melambangkan apa? Bukankah tak lebih hanya
kesadisan, kekejaman, kesepian dan tidak
berperasaan?
Pernah ada orang menyimpulkan arti Enghiong,
membunuh orang bagaikan mencabut rumput,
suka judi bagai orang kalap, suka minum bagai

orang kehausan, suka main wanita setengah
mati!
Tentu saja tidak semua Enghiong berwatak
begitu, masih ada sejenis Enghiong yang lain.
Enghiong semacam Li Sun-hoan.
Tapi ada berapa banyak Enghiong macam Li
Sun-hoan di dunia ini? Namun terlepas Enghiong
macam apakah dia, mungkin hanya satu hal
mereka mempunyai kesamaan, mau menjadi
Enghiong macam apa pun, jelas bukan suatu
perjuangan yang enteng untuk mencapainya.
Hing Bu-bing telah mengalihkan pandangan
matanya dari tangan kanan sendiri ke wajah
Yap Kay yang masih berdiri di depan pintu, lalu
perlahan-lahan memperkenalkan diri, "Aku
bernama Hing Bu-bing!"
"Aku tahu."
"Peristiwa terbesar yang membuatku menyesal
sepanjang masa adalah tak sempat bertarung
melawan Li Sun-hoan," kata Hing Bu-bing lagi,
setelah berhenti sejenak terusnya, "Apakah kau
bernama Yap Kay?"
"Benar. Yap daun dan Kay membuka."
"Jadi kaulah satu-satunya murid pewaris ilmu Li
Sun-hoan?"
"Sayang aku hanya berhasil menyerap duatiga
bagian ilmu silat guruku."

Sekali lagi Hing Bu-bing menatap tajam Yap
Kay. "Mana pisau terbangmu?"
"Ada."
"Dimana?"
"Ditempat seharusnya dia berada," jawaban
Yap Kay sangat hambar. Tempat seperti apakah
seharusnya dia berada? Bagian mematikan di
tubuh lawan?
Jawaban Yap Kay kali ini sangat tepat dan
diplomatis, tentu saja Hing Bu-bing sangat
memahami artinya, oleh sebab itu dari balik
matanya yang keabu-abuan terlintas secercah
cahaya tajam, namun hanya sebentar kemudian
lenyap kembali.
"Bagus, tak ada guru pandai yang tak memiliki
murid hebat," kata Hing Bu-bing hambar, "bila di
masa lalu Li Sun-hoan pun memiliki sifat yang
bebas tak terikat, tak mungkin dia mengalami
nasib yang begitu tragis."
Yap Kay hanya tertawa, menyangkut persoalan
ini dia memang tak pernah mau menj awab.
Tentu saja Hing Bu-bing mengerti maksud Yap
Kay, maka dengan cepat ia berganti topik.
"Tanggal berapa hari ini?" tiba-tiba ia bertanya.
"Bulan delapan tanggal sebelas," lalu Yap Kay
balik bertanya, "apakah hari ini bermakna
khusus?".

"Betul," dari balik mata Hing Bu-bing tiba-tiba
muncul cahaya kabur tak jelas, dengan nada
seperti terkenang kembali masa lampau,
terusnya, "Hari ini pada sembilan belas tahun
berselang Siangkoan Kim-hong tewas di ujung
pisau terbang Li Sun-hoan."
Kemudian setelah berhenti sebentar untuk tarik
napas, tambahnya, "Hari ini pada sembilan belas
tahun berselang, aku pun sedang merayakan
ulang tahunku yang kesembilan belas."
Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun Hing
Bu-bing, berbareng juga hari ulang tahun
kematian Siangkoan Kim-hong.
Yap Kay menatap tajam wajah Hing Bu-bing,
tampaknya hari ini dia hendak menyelesaikan
semua budi dan dendam yang terjalin selama ini.
Hing Bu-bing menarik kembali sinar matanya
yang kabur, sekali lagi dia menatap wajah Yap
Kay.
"Tahun ini aku baru berusia tiga puluh delapan
tahun, namun seandainya aku tidak menyebut
usiaku, dapatkah kau sangka usiaku baru tiga
puluh delapan tahun?"
Yap Kay mengawasi wajah Hing Bu-bing
dengan seksama, bila harus menilai usianya dari
raut mukanya sekarang, siapa pun tak akan
mengira dia baru berumur tiga puluh delapan
tahun.
Biarpun wajahnya memiliki cahaya seorang
berusia pertengahan, namun ujung matanya

justru telah dipenuhi kerutan seorang lelaki tua,
sampai pipinya yang menonjol keluar pun sudah
dipenuhi kerutan.
Biarpun rambutnya masih berwarna hitam,
namun jenggotnya sudah banyak yang putih,
biarpun tubuhnya masih keras, tapi siapa
pun dapat melihat semua itu tertopang oleh
penderitaan, siksaan serta rasa dendamnya yang
membara.
Kesan yang ditimbulkan atas keseluruhan
tubuhnya bukan hanya kusut dan tua saja,
bahkan lebih tepat kalau dibilang benar-benar
sudah peyot dan rentan.
"Kau memang tidak mirip orang yang baru
berusia tiga puluh delapan," Yap Kay berterus
terang, "paling tidak wajahmu menunjukkan
usiamu sudah mencapai lima puluh delapan
tahun."
"Benar, wajahku memang mencerminkan wajah
orang yang telah berusia lima puluh delapan,"
Hing Bu-bing manggut-manggut, "ini disebabkan
selama sembilan belas tahun terakhir aku telah
menjadi jauh lebih tua dari siapa pun."
Menjadi lebih tua sembilan belas tahun dari
orang lain? Memang tak salah, kalau orang lain
sedih paling hanya sesaat, tapi selama sembilan
belas tahun dia harus menanggung derita karena
sedih, pilu dan terbakar api dendam kesumat.

Memang ada dua hal di dunia ini yang gampang
membuat orang menjadi cepat tua, satu karena
cinta, yang lain karena dendam kesumat.
Benih cinta dapat membuat orang sedih hingga
membetot sukma, sementara dendam bisa
membuat orang pilu hingga ke tulang sumsum,
sampai mati pun tak akan reda.
"Sembilan belas tahun sudah lewat," Hing Bubing
menghela napas panjang, "selama sembilan
belas tahun ini hampir setiap saat kunantikan
kesempatan berduel melawan Li Sun-hoan, tapi
hingga hari ini aku baru dapat bertemu
denganmu, dan baru sekarang kusadari akan satu
hal, jangan harap dalam kehidupanku bisa
mengungguli Li Sun-hoan. Tahukah kau apa
sebabnya?"
"Kenapa?"
"Karena dendam kesumat."
"Dendam kesumat?"
"Aku hidup demi dendam kesumat, tapi aku
pun kalah karena dendam kesumat," Hing Bubing
menerangkan, "sekalipun aku berlatih tekun
sembilan belas tahun lagi juga jangan harap bisa
menangkan Li Sun-hoan, sebab hatiku selalu
dibakar oleh rasa dendam yang membara,
sementara Li Sun-hoan memiliki hati pemaaf dan
pengampun."
Yap Kay tidak memahami maksud
perkataannya, tentu saja Hing Bu-bing juga tahu
dia tak paham, maka segera jelasnya, "Dipandang

dari luar, aku memang selalu berusaha
mempelajari ilmu silat Li Sun-hoan, berusaha
menemukan titik kelemahan jurus silatnya.
Setelah berjuang selama sembilan belas tahun,
kuakui memang aku berhasil menemukan titik
kelemahannya, tapi sayang aku tetap tak mampu
mengunggulinya."
Setelah berhenti sejenak, terangnya lebih jauh,
"Sebab selama ini aku hanya berkonsentrasi
mencari pemecahan dalam melawan ilmu
silatnya, sementara kemampuan silatku sendiri
justru terhenti pada posisi sembilan belas tahun
berselang. Padahal Li Sun-hoan tak terbeban
masalah apa pun, jelas dalam sembilan belas
tahun terakhir kungfunya telah mengalami
kemajuan yang lebih pesat...."
Bila ilmu silat tidak dilatih pasti akan
mengalami kemunduran, bila air tidak mengalir
pasti terjadi penyumbatan. Teori ini berlaku dari
dulu hingga sekarang dan tak pernah berubah.
Tapi sayang kebanyakan orang tak dapat
memahami teori ini, tak disangka dalam keadaan
seperti ini Hing Bu-bing justru menyadarinya, dari
sini dapat disimpulkan kalau kungfu yang
dimilikinya saat ini sudah berbeda jauh dengan
sembilan belas tahun silam.
Dapat menyelami berarti ada kemajuan. Teori
ini pun tak pernah berubah sejak dulu.
"Sekalipun aku tahu sulit mengungguli Li Sunhoan,
namun aku tetap akan bertarung

melawannya, karena hal ini menyangkut soal
prinsip," kemudian sambil berpaling ke arah Yap
Kay, tanyanya, "Kau paham?"
"Aku paham," Yap Kay manggut-manggut,
"sama seperti diriku, biarpun tahu dalam
pertarungan hari ini aku bukan tandinganmu,
namun aku tetap akan bertempur melawanmu,
sebab hal ini pun merupakan prinsipku."
Walau sudah tahu bakal mati, tapi tetap juga
bertarung. Karena masalahnya sudah bukan
menyangkut masalah hidup dan mati.
Masalah ini sudah menyangkut pertarungan
antara kaum lurus melawan sesat, kebaikan
melawan kejahatan, kehormatan melawan
penghinaan.
Bab 3 . MENGANDUNG ANAKNYA
Sepasang tangan Pho Ang-soat terasa amat
dingin, hatinya pun dingin.
Sebuah kesalahan yang selamanya tak
mungkin bisa dihilangkan telah terjadi, kedua
orang itu tak tahu bagaimana harus berhadapan.
Bila kau jadi Pho Ang-soat, apa yang akan kau
perbuat?
Bila kau jadi Hong-ling, apa pula yang akan
kau lakukan?
Menyusul datangnya sinar fajar, kabut
malam berangsur hilang, sinar matahari pagi

mulai menembus daun jendela, menyinari
wajah Hong-ling.
Ia sedang mementang mata lebar-lebar,
mengawasi Pho Ang-soat yang masih berbaring di
sisinya tanpa berkedip.
Pho Ang-soat tak berani balas menatap
wajahnya, dia hanya berharap apa yang terjadi
semalam hanya impian.
Benarkah kejadian semalam hanya impian?
Sekalipun memang impian lalu bagaimana?
Di atas ranjang masih tersisa bau harum yang
tertinggal karena gejolak birahi semalam, bau
harum itu tiada hentinya menyusup masuk ke
lubang hidung Pho Ang-soat, timbul perasaan
yang tak terlukis dengan kata dalam hati
kecilnya.
Jendela berada dalam keadaan terbuka, langit
di luar sana pun sudah semakin terang. Langit,
lembah dan pagi hari yang tenang, langit dan
bumi seolah tercekam dalam keheningan.
Namun perasaan Pho Ang-soat justru tak
tenang, pikirannya terasa amat kalut.
Sebentarnya dia adalah seorang yang suka
kebebasan, berkelana seorang diri, berbuat
semau hati, tapi sekarang terjebak dalam
keadaan serba salah, dia tak tahu bagaimana
harus bersikap terhadap Hong-ling.
Sikap Hong-ling sendiri masih seperti sedia
kala, sambil bangun dan duduk dia benahi

rambutnya yang kusut, lalu sambil tersenyum
tanyanya kepada Pho Ang-soat, "Pagi ini kau
ingin makan apa?"
Dalam situasi dan keadaan seperti sekarang,
setelah mereka melakukan hubungan yang begitu
bergairah, ternyata wanita itu masih bisa
bertanya kepadanya dengan nada lembut, ingin
makan apa?
Pho Ang-soat berdiri bodoh, dia betul-betul tak
tahu bagaimana harus menj awab.
Hong-ling mendelik, tegurnya, "He, sejak kapan
kau berubah jadi bisu?"
"Aku... tidak... tidak...."
Kontan Hong-ling tertawa cekikikan. "Ah,
ternyata kau bukan berubah jadi bisu, tapi rada
mirip orang bloon," ejeknya.
Sikapnya terhadap Pho Ang-soat masih seperti
sedia kala, sama sekali tidak berubah, atas
kejadian semalam pun dia sama sekali tak
menyinggung.
Dari lagaknya, seakan-akan dia tidak
menganggap peristiwa yang terjadi semalam
sebagai satu masalah serius, dia masih tetap
bersikap sebagai Hong-ling yang dulu.
Mungkinkah peristiwa berasyik-masyuk yang
terjadi di antara mereka semalam dianggapnya
sebagai sebuah impian saja?
Pho Ang-soat tak kuasa menahan diri lagi,
serunya, "Kau.....

Agaknya Hong-ling dapat menebak apa
yang hendak dia ucapkan, segera tukasnya,
"Kenapa denganku? Masa kau pun ingin
mengatakan kalau aku pun orang bloon? Kau
tidak kuatir kujitak kepalamu sampai bocor?"
Kini Pho Ang-soat sudah mengerti niat Hongling,
tampaknya dia sudah bertekad tak akan
menyinggung lagi peristiwa semalam, hal ini
dikarenakan dia tak ingin kedua belah pihak
sama-sama menderita dan tersiksa gara-gara
kejadian itu.
Pho Ang-soat menatapnya lembut, tiba-tiba
muncul perasaan haru yang tak terlukiskan
dengan kata, sekalipun dirinya dapat melupakan
kejadian semalam, namun perasaan haru dan
terima kasihnya tak pernah akan terlupakan
untuk selamanya.
"Kau tak ingin bangun?" kembali Hong-ling
menegur sambil memperlihatkan senyumannya
yang khas, "masa kau ingin berbaring terus di
atas ranjang?"
"Aku tak ingin," akhirnya Pho Ang-soat ikut
tertawa, "biarpun aku seorang bloon, paling tidak
masih belum segoblok seekor babi."
Selama hidup mungkin Pho Ang-soat belum
pernah menikmati sarapan selezat hari ini.
Tentu saja hal ini menurut anggapannya. Paling
tidak sarapan hari ini dilahap dalam suasana hati
yang amat riang dan gembira.

Riang pasti ada, tapi mengapa harus gembira?
Dia sendiri pun tak sanggup memberi penjelasan.
Dia hanya merasa dadar telur hari ini sangat
harum, ca rebungnya amat manis, ca sayurannya
amat lezat, bahkan nasi yang mengepul pun
terasa nikmat.
Sehabis sarapan pagi, Pho Ang-soat membuat
sepoci air teh dan duduk di halaman depan sambil
menikmati indahnya sinar matahari pagi.
Seusai bebenah dalam dapur, Hong-ling ikut
muncul di halaman muka sambil tersenyum,
kepada Pho Ang-soat katanya, "Hari ini aku
hendak turun gunung sejenak."
"Turun gunung? Mau apa?" tanya Pho Ang-soat
tertegun.
"Aku ingin membeli barang di dusun terdekat."
"Membeli barang? Apakah kau butuh barang di
sini?" kata Pho Ang-soat terperanjat.
"Tidak, hanya secara tiba-tiba aku ingin
membeli sedikit barang," sahut Hong-ling sambil
tersenyum, "bukankah membeli barang adalah
sebuah kenikmatan, apalagi untuk seorang
wanita."
Pho Ang-soat manggut-manggut,
menghamburkan uang memang termasuk salah
satu kenikmatan, tentu saja dia mengerti akan
teori itu.
"Membeli barang memang merupakan suatu
pekerjaan yang menyenangkan, terlepas barang

yang kau beli berguna atau tidak, namun sewaktu
membeli kau akan merasakan satu kenikmatan,"
Hong-ling menerangkan, "padahal wanita sendiri
juga tahu, terkadang barang yang dibeli belum
tentu berguna, tapi setelah melihatnya mereka
tetap tak tahan untuk membeli. Tahukah kau apa
sebabnya begitu?"
Pho Ang-soat tidak tahu.
"Hal ini dikarenakan mereka suka dengan sikap
jilat pantat yang dilakukan pelayan toko," ujar
Hong-ling lagi sambil tertawa, "sudah lama aku
tak menikmati perasaan semacam itu, maka hari
ini aku berniat menikmati lagi bagaimana
enaknya jilat pantat."
Pagi ini udara memang terasa lembut, sampai
hembusan angin pun terasa indah. Pho Ang-soat
duduk tak bergerak di tengah halaman, hari ini ia
benar-benar menikmati kehidupan yang indah.
Hong-ling sudah setengah jam meninggalkan
rumah, sebelum pergi dia berjanji akan pulang
sebelum tengah hari.
Kini jarak dengan tengah hari masih satu jam
lebih, Pho Ang-soat mulai merasa sedikit lapar,
dia berharap tengah hari segera tiba.
Perasaannya saat ini sungguh aneh, dia bukan
lapar karena ingin makan, tapi dia amat
menyukai suasana rumah ketika bersantap.
Biarpun Hong-ling baru setengah jam
meninggalkan rumah, namun dia merasa seolah
sudah ditinggal setengah tahun lamanya, hatinya

begitu gundah dan tak tenang, seperti seorang
perjaka yang untuk pertama kalinya jatuh cinta,
selalu berharap datangnya waktu untuk
berjumpa.
Mirip juga seorang bocah yang mencuri makan
gula-gula, lalu bersembunyi di balik selimut
sambil menikmatinya, selain senang, dia pun
kuatir ketahuan orang.
Seorang lelaki yang telah berusia tiga puluh
tahunan ternyata masih malu-malu macam
perjaka, membayangkan keadaan dirinya, tanpa
terasa Pho Ang-soat tertawa getir.
Andaikata Yap Kay mengetahui kejadian ini, dia
pasti akan tertawa terbahak-bahak saking
gelinya.
Teringat akan Yap Kay, tanpa terasa timbul lagi
perasaan kuatir di hati kecil Pho Ang-soat,
kemana saja dia telah pergi? Apakah telah balik
ke Ban be tong? Ataukah melanjutkan
penyelidikannya atas kehidupan Be Khong-cun?
Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah
bertemu ancaman bahaya maut?
Begitu teringat Yap Kay, Pho Ang-soat merasa
malu sendiri, ternyata demi seorang wanita dia
telah belasan hari bersembunyi di situ, ternyata
demi seorang wanita dia telah meninggalkan
sahabat, tidak menggubris keselamatan
temannya lagi.

Ai! Kalau dahulu, biar dihajar sampai mampus
pun tak bakal dia lakukan, tapi sekarang ... dia
telah melakukan semua itu.
Ah, tidak bisa begini terus! Kalau ingin
kehidupan di kemudian hari dilewatkan dengan
tenang, kau harus segera kembali ke Ban be tong
untuk membantu Yap Kay, kalau tidak hati
nuranimu pasti tak bakal tenang.
Pho Ang-soat memutuskan akan
memberitahukan rencananya pada Hong-ling
setelah ia kembali nanti, besok dia harus
meninggalkan tempat itu selama beberapa hari,
bagaimana pun dia tak boleh berpeluk tangan
membiarkan rekannya menderita.
Ia yakin Hong-ling pasti mengerti dan
memakluminya.
Di saat penantian, waktu selalu terasa seolah
berjalan sangat lambat.
Dengan susah payah akhirnya tiba juga saat
tengah hari, tiba-tiba Pho Ang-soat merasa
hatinya semakin tegang, matanya mengawasi
terus jalanan setapak di luar pintu tanpa
berkedip.
Matahari tepat di tengah langit, hawa panas
yang menyengat membuat kening Pho Ang-soat
dibasahi oleh keringat, bukan berkeringat karena
hawa yang kelewat panas, ia berkeringat karena
hingga sekarang Hong-ling belum juga kembali.
Setelah tiba saatnya, waktu pun seolah
berubah jadi amat cepat, Pho Ang-soat berusaha

menghibur diri sendiri, sebentar lagi dia pasti
akan kembali, buat apa dirinya panik? Kan belum
benar-benar lewat tengah hari.
Entah berapa lama telah lewat, kini matahari
telah bergeser ke langit barat.
Hembusan angin masih tetap seperti hembusan
angin pagi, awan pun masih sama seperti pagi
tadi.
Namun dalam perasaan Pho Ang-soat, seluruh
dunia seakan telah berubah, berubah total,
berubah jadi hampa.
Hingga kini dia masih tetap duduk di ruang
tengah, cahaya matahari senja yang memancar di
wajahnya membuat parasnya yang pucat berubah
jadi kuning keemas-emasan.
Magrib sudah menjelang tiba.
Hingga kini Hong-ling belum juga terlihat
kembali, bayangan pun tak nampak.
Perasaan gelisah Pho Ang-soat kini telah
berubah jadi perasaan kuatir, dia kuatir Hong-ling
telah menjumpai masalah, apakah ia sudah
dihadang seseorang? Atau suatu peristiwa telah
menimpanya? Jangan-jangan Be Khong-cun telah
mengirim orang lagi dan mencegatnya di tengah
jalan?
Sekarang ia mulai menyesal, mengapa pagi tadi
ia memberi izin kepadanya untuk pergi seorang
diri? Mengapa bukan pergi bersama dirinya?

Kalau kemarin jagoan yang dikirim Be Khongcun
bisa melakukan pembokongan di tempat itu,
besar kemungkinan hari ini mereka akan
menghadang di tengah jalan.
Berpikir sampai di situ, Pho Ang-soat makin
panik, kalau bisa dia ingin segera menyusul ke
dusun terdekat.
Tapi baru saja melangkah keluar pintu,
kembali pemuda itu ragu, kalau sekarang ia
menyusul ke kota sementara Hong-ling
kebetulan kembali, bukankah mereka berdua
bakal bersimpangan jalan?
Ketika Hong-ling tiba di rumah dan tidak
melihatnya, ia pasti mengira dirinya telah pergi,
dia pasti mengira dirinya sudah tak sudi
melihatnya lagi, khususnya sesudah peristiwa
yang terjadi semalam.
Walaupun langkahnya telah terhenti, namun
perasaannya tetap tak menentu, sulit baginya
untuk mengambil keputusan. Pergi? Atau tidak
pergi?
Kalau tidak pergi, dia pun kuatir wanita itu
menjumpai masalah di dusun terdekat.
Kalau pergi, dia pun kuatir mereka
bersimpangan jalan hingga tercipta salah paham
yang mendalam.
Sepanjang hidup belum pernah Pho Ang-soat
menjumpai masa pelik seperti ini, sulit
mengambil keputusan.

Magrib telah menjelang tiba.
Bau bunga liar di atas bukit terbawa angin dan
terendus hingga ke dalam ruangan.
Suasana dalam rumah kayu terasa hening,
sepi.
Jalan setapak yang tak merata di tanah
perbukitan tampak bagaikan seutas ikat pinggang
emas di bawah timpaan cahaya senja, meliuk-liuk
di antara pepohonan nan hijau.
Pho Ang-soat betul-betul gelisah setengah
mati, dia benar-benar habis daya dan tak tahu
apa yang harus dilakukan. Seluruh pakaiannya
telah basah kuyup bermandikan keringat.
Taburan bintang di langit masih seperti
keadaan semalam, angin malam berhembus
membawa bau harumnya nasi dari kejauhan, Pho
Ang-soat baru teringat sekarang, sudah seharian
ia belum mengisi perut.
Cahaya lentera di rumah penduduk di kaki bukit
telah menerangi langit yang gelap, tapi kegelapan
malam justru serasa menyelimuti Pho Ang-soat
yang panik.
Gelisah, panik, tak tenang dan kini ditambah
ngeri bercampur takut membuat Pho Ang-soat
balik kembali ke dalam rumah tanpa daya,
bagaimana pun dia harus menyalakan lentera
lebih dahulu.

Setelah menyalakan geretan dan menyulut
sumbu lentera, cahaya terang pun menyinari
seluruh ruangan.
Mendadak Pho Ang-soat menyaksikan sesuatu,
sepucuk surat, ya, sepucuk surat terpampang di
depan mata.
Surat? Apakah ia meninggalkan pesan?
Apakah pesan yang ditinggalkan Hong-ling?
Dengan tangan gemetar Pho Ang-soat
mengambil surat itu, membuka sampulnya dan
membaca isinya.
Tulisan pertama yang melompat masuk ke
dalam pandangan matanya adalah "Pho Angsoat",
nama dirinya.
Tak salah lagi, surat itu memang peninggalan
Hong-ling. Ternyata dia telah menyiapkan semua
itu, sementara dirinya sendiri masih
mencemaskan keselamatannya bagai seorang
tolol.
Isi surat amat singkat, tapi cukup membuat
hati Pho Ang-soat seperti terjerumus dalam
kubangan salju.
Pho Ang-soat,
Aku tahu, dalam hidupku selanjutnya tak
mungkin lagi bisa membunuhmu, tapi kau telah
membunuh seorang sanakku, dendam ini harus
kubalas. Maka akan kubawa pergi benih anak
yang tertinggal dalam rahimku sekarang, paling

tidak aku pun dapat memusnahkan seorang
sanakmu. Tertanda, Hong-ling.
Bukan saja perasaan Pho Ang-soat saat ini
berubah jadi dingin, seluruh tubuhnya serasa
kaku, dalam benaknya berulang kali mengulang
kata-kata dalam surat itu, "Kubawa pergi benih
anak yang tertinggal dalam rahimku". Benih
anak? Benih anak yang mana?
Apa maksud perkataannya itu?
Benih anak? Darimana datangnya benih anak?
Masa baru saja mereka lakukan semalam... lalu
sudah berbentuk benih anak?
Surat itu sudah terjatuh ke tanah, Pho Ang-soat
mengertak gigi, tangan menggenggam golok. Dia
merasa sedih sekali, hatinya serasa diremas
hingga hancur-lantak, diremas sangat kuat.
Cahaya lentera sangat keruh.
Lentera yang menyinari warung arak seakan
selalu mendatangkan perasaan pilu yang
mendalam. Arak pun tampak keruh.
Lampu dan arak yang keruh, kini semuanya
terpampang di hadapan Pho Ang-soat.
Sepuluh tahun berselang ia pernah mabuk, dia
tahu mabuk sama sekali tak dapat melupakan
segalanya, tapi sekarang dia ingin sekali mabuk.
Sepuluh tahun berselang ia pernah merasakan
derita karena cinta, dalam anggapannya kini ia
sudah sanggup bertahan atas penderitaan

semacam itu, tapi kini, secara tiba-tiba ia
membuktikan penderitaan semacam itu memang
susah ditahan dan dihadapi.
Arak yang keruh telah memenuhi cawan
kasarnya, ia putuskan untuk meneguk habis arak
kegetiran ini.
Arak getir suatu kehidupan.
Tapi sebelum tangannya meraih mangkuk arak
itu, sebuah tangan yang muncul dari sisinya telah
merampas mangkuk arak itu. "Kau tak boleh
meneguk arak semacam ini."
Tangan itu sangat besar, kuat dan kering,
sekuat dan sekering nada suaranya.
Pho Ang-soat tak mendongakkan kepala, dia
kenal pemilik tangan itu, dia pun kenal suara itu .
. . Siau Piat-li memang seorang yang kuat tapi
kering.
"Kenapa aku tak boleh meneguknya?"
"Kau boleh minum, tapi bukan minum arak
semacam ini," jawab Siau Piat-li hambar.
Dari kursi rodanya Siau Piat-li mengeluarkan
sepoci arak dan meletakkannya ke atas meja,
selesai membuang isi mangkuk tadi, dia tuang
lagi dengan arak lain.
Sepuluh tahun berselang kau pernah mabuk
satu kali.
Mimik muka Siau Piat-li tidak menampilkan
rasa simpati, juga tiada perasaan iba, dia hanya

menuang arak ke dalam mangkuk Pho Ang-soat
dan mendorong ke hadapannya.
Minumlah! Pho Ang-soat memang hanya ingin
mabuk.
Arak yang getir dan pedas bagai segumpal bara
api langsung menyambar tenggorokan Pho Angsoat.
Sambil mengertak gigi ia teguk habis isi cawan,
memaksakan diri untuk bertahan, agar tak
sampai batuk.
Namun air matanya nyaris mengucur keluar.
Siapa bilang arak itu manis?
"Itulah arak Siau to cu!"
Kembali Siau Piat-li menuang untuk mangkuk
kedua.
Ketika arak mangkuk kedua mengalir masuk
tenggorokannya, ia merasa arak itu jauh lebih
nikmat, ketika mangkuk ketiga ditenggak,
mendadak dari hati kecil Pho Ang-soat timbul
semacam perasaan yang sangat aneh.
Sepuluh tahun berselang dia pun pernah
merasakan keadaan seperti ini.
Lampu di meja yang redup seakan menjadi
terang kembali, tubuh yang semula kaku dan
hampa, tiba-tiba terasa berubah, kini dipenuhi
tenaga kehidupan yang aneh.

Dia seakan telah melupakan semua kepiluan
dan kepedihan hatinya, namun jarum yang
menusuk serasa masih tertinggal dalam hati.
Siau Piat-li menatap tajam wajahnya,
tiba-tiba ia berkata, "Sepuluh tahun
berselang kau pernah berusaha
menghancurkan diri sendiri karena seorang
wanita, sepuluh tahun kemudian apakah
kau akan mengulang kembali sejarahmu?
Hancur hanya dikarenakan seorang wanita?"
"Dari... darimana kau tahu?" cepat Pho Angsoat
mendongakkan kepala balas menatap Siau
Piat-li.
"Ketika seorang menderita dan tersiksa karena
cinta, keadaannya tak jauh berbeda seperti
sebatang pohon yang semula hijau segar tiba-tiba
menjadi layu," kata Siau Piat-li hambar, "bukan
saja Hong-ling tak pantas untuk kau kenang,
pada hakikatnya tak pantas kau tangisi karena
kepergiannya."
"Kau. . . kau pun tahu. . . tahu tentang
persoalan ini. ..." suara Pho Ang-soat terdengar
mulai gemetar.
"Aku tahu," Siau Piat-li manggut-manggut,
"tentu saja aku tahu."
"Dari... darimana kau bisa tahu," penderitaan
yang terpancar dari mata Pho Ang-soat semakin
mengental, "tahukah kau, penderitaanku bukan...
bukan disebabkan dia pergi meninggalkan aku,
tapi... tapi dikarenakan... karena....

"Karena dia hendak membunuh darah
dagingmu bukan?" Siau Piat-li bantu
menyelesaikan perkataan itu.
Setiap saat, entah berapa banyak kenangan
yang melintas?
Ada penderitaan tentu ada pula kegembiraan.
Ada saat kikuk, tentu ada pula saat mesra.
Pelukan penuh birahi yang terjadi semalam,
cumbu rayu yang penuh kemesraan, kini telah
berlalu, semuanya tinggal kenangan.
Desahan napas, cucuran keringat, luapan birahi
yang telah terukir hingga ke lubuk hati, apakah
kini harus dilupakan semuanya?
Bagaimana kalau selamanya tak terlupakan?
Bagaimana pula kalau selalu teringat?
Dua orang yang tidak seharusnya menjadi satu,
dua orang yang seharusnya terikat dendam,
bagaimana mungkin bisa terikat dalam satu
kesatuan?
Kehidupan, kehidupan macam apakah ini?
"Aku telah mendapatkan bibit darah
dagingmu."
"Aku akan memusnahkan seorang sanakmu."
Sanak? Darah daging? Kalau memang darah
dagingku, apakah bukan darah dagingmu juga?
Tegakah kau melakukannya? Tegakah kau bunuh
darah dagingmu sendiri?

Benarkah ada kejadian seperti ini di dunia yang
fana?
Bekas air mata telah muncul di wajah Pho Angsoat,
serat darah telah muncul di bibirnya yang
kering, tangannya digenggam kencang kini
berubah jadi putih pucat.
Mabuklah, dalam keadaan seperti ini lebih baik
mabuklah.
Yang bisa dia lakukan kini hanya meloloh diri
dengan arak wangi, agar dirinya mabuk, agar
sakit hatinya terlupakan untuk sesaat.
Jarum tajam telah menghujam hatinya, jarum
tajam yang dingin.
Tak ada yang bisa membayangkan betapa
dalam penderitaannya saat ini, betapa
tersiksanya dia sekarang.
Kecuali benci dan dendam, untuk pertama
kalinya dia menyadari bahwa di dunia masih
terdapat sebuah siksaan lain yang jauh lebih,
menakutkan daripada rasa benci dan dendam.
Yang dihasilkan rasa benci tak lebih hanya ingin
memusnahkan musuh besarnya, tapi siksaan
karena cinta justru dapat memusnahkan diri
sendiri, dapat memusnahkan seluruh dunia.
Baru sekarang ia sadar, ternyata tanpa disadari
dirinya benar-benar sudah jatuh cinta kepada
Hong-ling, itulah sebabnya ia sangat menderita.
Kau telah membunuh kerabatku, maka aku pun
akan membunuh kerabatmu.

Inikah yang disebut pembalasan?
Dia tak berani percaya bahwa di dunia terdapat
cara pembalasan seperti ini, namun kenyataan
telah tertera di depan mata, dapatkah kau tidak
mempercayainya?
Malam di musim panas.
Bintang masih bertaburan di angkasa, angin
malam pun masih berhembus sepoi menggoyang
dedaunan.
Bintang masih tampak, rembulan pun masih
terlihat, tapi kemana perginya si dia?
Tiga belas hari, mereka telah hidup bersama
tiga belas hari.
Tiga belas siang dan tiga belas malam, waktu
berlalu sedemikian cepat, dalam sekejap semua
kenangan bermunculan dalam benaknya.
"Kau... darimana kau bisa mengetahui
persoalanku?" seru Pho Ang-soat agak terkejut.
"Tentu saja aku tahu. Bahkan aku pun
mengetahui rahasia yang tidak kau ketahui."
"Rahasia apa?"
"A-jit datang untuk membunuhmu, Hong-ling
datang untuk membalas dendam, pengepungan di
rumah kayu, Ting-tong bersaudara meloloh
perempuan itu dengan arak perangsang,
kemudian kalian pun berhubungan badan...
padahal semuanya itu sudah tersusun rapi dalam

sebuah rencana, rencana besar yang sudah
dirancang untuk sebuah intrik j ahat."
"Intrik jahat? Maksudmu kejadian semalam aku
dan dia... semuanya merupakan hasil rancangan,
sebuah rencana besar?" "Benar."
"Aku... aku tak percaya."
"Sayang kau harus mempercayainya."
"Apa... apa tujuan mereka berbuat demikian?"
"Mereka memang sengaja berbuat begitu agar
kau menghancurkan dirimu sendiri, agar kau
menderita," Siau Piat-li menjelaskan, "sebab
mereka tahu, bukan pekerjaan gampang untuk
membunuh manusia macam kau. Tapi satusatunya
titik kelemahan yang kau miliki adalah
masalah cinta, bila ingin membunuhmu, satusatunya
cara adalah membuat kau patah hati,
biar kau menderita, biar kau tersiksa hingga
akhirnya menghancurkan diri sendiri."
Dia tatap wajah Pho Ang-soat sekejap,
kemudian ujarnya lebih lanjut, "Itulah sebabnya
mereka mengatur rencana ini, serangkaian siasat
berantai, untuk menjebakmu dan
menghancurkan kehidupanmu."
Lambat-laun gejolak emosi dalam dada Pho
Ang-soat mulai reda, memandang cawan arak di
tangan, beberapa saat kemudian baru ia
bertanya, "Siapa mereka? Kalau dilihat sepintas,
seharusnya Be Khong-cun."

Sebelum orang lain menanggapi, kembali dia
menambahkan sendiri, "Padahal bukan."
"Benar."
Pho Ang-soat menatap Siau Piat-li lekat-lekat,
mengawasi dengan pandangan dingin, kemudian
tegurnya, "Darimana kau bisa tahu tentang
rencana busuk ini?"
Siau Piat-li tidak langsung menjawab,
ditatapnya dulu wajah Pho Ang-soat dengan
tenang, setelah termenung sesaat, dia penuhi
cawan sendiri dan meneguknya hingga habis,
setelah itu dengan suara yang hambar ujarnya,
"Karena semua rencana itu adalah hasil
rancanganku."
"Hasil rancanganmu?"
"Benar."
"Tidak salah?" tegas Pho Ang-soat agak emosi.
"Tidak salah."
Bab 4. MELAKUKAN PERJALANAN JAUH
Tentu saja Siau Piat-li dapat melihat otot-otot
hijau merongkol di tangan Pho Ang-soat, tangan
yang menggenggam golok, tentu dia pun telah
melihat hawa membunuh yang terpancar dari
balik matanya, akan tetapi dia tetap acuh, tak
ambil peduli, dia tetap duduk tenang di kursi
rodanya.

"Jadi semua rencana busuk ini hasil
rancanganmu?" sekali lagi Pho Ang-soat bertanya.
"Benar," jawab Siau Piat-li hambar, "namun hal
itu terjadi pada sepuluh tahun berselang."
"Sepuluh tahun berselang?" sekali lagi Pho
Ang-soat terkesiap, "sejak sepuluh tahun
berselang kau telah merancang intrik busuk itu
dan menunggu sepuluh tahun kemudian baru
dilaksanakan?"
"Tidak, rencana ini telah dijalankan sejak
sepuluh tahun lalu," tiba-tiba Siau Piat-li tertawa,
"hanya saja sepuluh tahun kemudian, ternyata
ada orang lain yang mencoba mengulangi semua
rencanaku ini. "
Karena Pho Ang-soat tak mengerti, maka Siau
Piat-li menjelaskan lebih jauh, "Sepuluh tahun
berselang, ketika aku belum mengetahui dengan
jelas wajah Be Khong-cun yang sebenarnya, saat
itu aku memang membantunya menghadapimu,
maka aku pun merancang siasat yang khusus
tertuju pada titik kelemahanmu, yaitu mengatur
pertemuanmu dengan Cui long. Tujuanku adalah
membiarkan kau menaruh cinta kepadanya, lalu
perempuan itu mencampakkan dirimu agar kau
patah hati dan menghancurkan diri sendiri, saat
itulah kau jadi lemah dan kami pun dapat dengan
mudah membereskan nyawamu."
Setelah tertawa ringan, kembali lanjutnya,
"Sungguh tak disangka sepuluh tahun kemudian
ternyata kelompok Be Khong-cun kembali

mengulangi siasat itu dengan mengirim seorang
wanita macam Hong-ling."
Berbicara sampai di situ, ia menatap
Pho Ang-soat sekejap, kemudian terusnya,
"Tak nyana ternyata kau lagi-lagi
terjebak, dengan cara yang sama kau ingin
menggunakan arak untuk melarikan diri dari
kenyataan."
Hembusan angin di kota kecil itu sama
dinginnya dengan hembusan angin di atas bukit,
tapi Pho Ang-soat merasakan munculnya hawa
panas dalam tubuhnya, karena ia sudah mulai
tertarik dengan ucapan Siau Piat-li.
"Maksudmu kemunculan Hong-ling ini pun
merupakan bagian dari rencana busuk mereka?
Ingin menggunakan dia seperti Cui long sepuluh
tahun berselang?" tanya Pho Ang-soat.
"Benar."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
secara ringkas dia pun bercerita bagaimana si
Golok lengkung A-jit muncul mencarinya, lalu
Hong-ling ingin balas dendam, kemudian ia
membawanya ke rumah kayu untuk merawat
lukanya, bagaimana Ting tang hengte melolohnya
dengan obat perangsang dan akhirnya terjadi
hubungan badan dengan dirinya.
Dia pun bercerita apa yang terjadi hari ini,
bagaimana Hong-ling meninggalkan surat dalam
rumah dan pergi meninggalkan dirinya.

Dengan seksama Siau Piat-li mendengarkan
cerita ini, kemudian sambil tertawa ujarnya, "Kau
benar-benar dibuat linglung. Hubungan badan
baru terjadi semalam, tidak menjamin dia pasti
akan mengandung bibit darah dagingmu,
semisalnya di kemudian hari dia memang
hamil....Ditatapnya Pho Ang-soat sekejap,
kemudian melanjutkan,
"Cinta seorang ayah berbeda dengan cinta
seorang ibu, seorang ayah baru mencintai
anaknya sejak si jabang bayi lahir dari rahim
ibunya. Sejak pandangan pertama itulah seorang
ayah baru belajar mencintai anaknya.
Pho Ang-soat bungkam, dia hanya
mendengarkan.
"Berbeda dengan cinta ibu, cintanya alami,
sejak dia mulai hamil, sejak sang jabang bayi
mulai terbentuk dalam rahimnya, si ibu sudah
mulai tumbuh rasa cintanya, cinta pada calon bayi
yang berada dalam rahimnya."
"Biarpun sang bayi belum lahir, namun sang ibu
sudah menaruh perhatian khusus kepadanya. Jadi
kesimpulannya, cinta ibu adalah alami sedang
cinta ayah baru terbentuk secara perlahan-lahan."
Baru pertama kali ini Pho Ang-soat mendengar
ada orang menjelaskan perbedaan antara cinta
seorang ibu dan ayah.
Kembali Siau Piat-li berkata setelah tertawa
lebar, "Tahukah kau, ada begitu banyak wanita di
dunia ini yang mula-mula sangat membenci benih

dalam kandungannya akibat perkosaan, tapi
tatkala mereka yakin dirinya mulai mahir, bukan
saja rasa benci itu hilang, bahkan mereka sangat
berharap bisa melahirkan si bocah dengan
selamat, tahukah kau karena apa?"
"Karena cinta seorang ibu?"
"Benar. Terlepas siapa ayah bocah itu, terlepas
bocah itu bisa lahir disebabkan peristiwa apa,
namun kehamilan dapat membuat seorang wanita
belajar menjadi ibu, dapat mengubah rasa benci
mereka menjadi cinta."
Walaupun Pho Ang-soat masih mendengarkan,
namun sorot matanya telah dialihkan ke tempat
jauh, memandang suatu tempat nun jauh di sana.
"Sekalipun Hong-ling benar-benar ingin
membunuh sanakmu, ingin membunuh bocah itu,
tapi di saat benihnya telah berwujud jabang bayi
dalam rahimnya, rasa benci itu pasti akan segera
berubah menjadi cinta seorang ibu," Siau Piat-li
kembali menegaskan. "Oleh karena itu, biarpun si
perancang rencana busuk itu ingin berbuat
begitu, Hong-ling pasti akan berusaha sekuat
tenaga melindungi darah dagingnya."
Oh perempuan, sebenarnya manusia seperti
apakah perempuan itu? Pho Ang-soat merasa
dirinya benar-benar tak paham tentang wanita.
Bukan hanya dia yang tak paham, ada berapa
banyak lelaki di jagad ini yang benar-benar
memahami wanita?

Malam telah berakhir, sinar fajar kembali
muncul di ufuk timur.
Dalam hati Pho Ang-soat sudah tak ada lagi
jarum tajam yang mengganjal, ia telah
mengambil keputusan untuk melacak peristiwa ini
hingga jelas. Walau harus membayar mahal,
harus mempertaruhkan keselamatan jiwanya, dia
ingin tahu siapa dalang di balik semua itu.
Cepat dia menarik kembali sorot matanya dari
kejauhan dan memandang sekejap warung arak
itu.
Cahaya lentera tetap terasa redup, arak pun
masih keruh, dia mengambil secawan arak,
kemudian dengan sikap yang amat tulus katanya
kepada Siau Piat-li, "Kuhormati secawan arak
untukmu."
"Menghormati aku?" tanya Siau Piat-li
terperanjat.
"Sebetulnya aku tak patut minum arak lagi,
tapi secawan ini aku harus tetap
menghormatimu," kata Pho Ang-soat, "karena
kau telah membantu melepaskan simpul mati
dalam hatiku."
"Bukan aku yang melepaskan simpul mati itu,
kau sendiri yang melakukan," tiba-tiba Siau Piat-li
tertawa, "biarpun begitu, semangkuk arak ini
tetap akan kuterima, sebab merupakan peristiwa
yang langka bila Pho Ang-soat mau menghormati
orang lain dengan secawan arak."

Arak yang mereka minum bukan arak
kegirangan, bukan juga arak kesedihan, tapi arak
pembangkit semangat antara seorang lelaki
dengan lelaki lain.
Dengan cepat kedua isi mangkuk itu sudah
berpindah ke perut mereka berdua, begitu
mangkuk diletakkan, Siau Piat-li segera mengisi
lagi dengan arak wangi.
"Kali ini akulah yang akan menghormati
secawan untukmu," kata Siau Piat-li sambil
mengangkat cawan araknya, "karena sehabis
meneguk arak ini, kau harus melakukan
perjalanan jauh."
"Perjalanan jauh?"
"Benar, kau harus berangkat ke pusat tempat
ibadah orang Tibet, kota Lhasa."
"Ke Lhasa? Kenapa aku harus berangkat ke
Lhasa?"
"Demi Yap Kay."
"Yap Kay?" Pho Ang-soat tertegun, "apakah dia
terancam mara-bahaya?"
"Dia telah lenyap."
Cahaya sang surya menembus awan yang
tebal, menyinari tiang bendera yang tak terlalu
tinggi.
Biarpun bendera di atas tiang masih berkibar
ketika terhembus angin, namun sudah tidak
sementereng dan segagah apa yang pernah

disaksikan Pho Ang-soat dulu, walaupun bendera
itu masih merupakan bendera kebesaran Kwan
tang ban be tong.
Meski bendera itu masih bertuliskan Ban be
tong, namun sebagian besar sudah dalam kondisi
bekas terbakar, bukan saja bentuk panji itu
kumuh dan robek, bahkan sudah banyak
ditempeli sarang laba-laba.
Dari bentuk panji itu dapat diketahui bahwa
perubahan tidak terjadi dalam waktu singkat,
paling tidak sudah sepuluh tahun lamanya.
Sepuluh tahun.
Kegagahan dan pamor Ban be tong seakan
sudah lenyap ditelan bumi, apa yang terlihat kini
tak lebih hanya rumah bobrok, rumah kumuh
yang pernah dilihat Pho Ang-soat ketika malam
pertama tiba di tempat itu.
Rumah yang setengah roboh, dinding pagar
yang sebagian telah mengelupas, debu dan
kotoran bertebaran, seluruh kompleks bangunan
itu nyaris terbengkalai.
Sepuluh tahun kemudian, secara mengejutkan
dan mengherankan bangunan Ban be tong pulih
penuh kegagahan dan mentereng seperti semula,
lalu secara aneh dan tidak dimengerti berubah
jadi terbengkalai dan bobrok lagi.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Menyaksikan perubahan yang sama sekali tak
terduga ini, Pho Ang-soat berdiri terperangah,
setengah bodoh dibuatnya.
"Maka dari itu aku memaksamu datang kemari
untuk menengok keadaan yang sebenarnya,"
terdengar Siau Piat-li berkata, "kalau tidak kau
saksikan sendiri, siapa pun tak akan percaya
kenyataan ini. "
"Mengapa bisa berubah begini? Sejak kapan
semuanya terjadi?" tanya Pho Ang-soat.
"Sejak tiga belas hari berselang, hari kedua
setelah kau mengajak Hong-ling meninggalkan
tempat ini."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
tanyanya lagi, "Apakah perubahan terjadi dalam
semalaman, berubah secara aneh dan ajaib?"
"Benar. Malah kali ini aku berada di tempat
kejadian."
Pho Ang-soat tidak paham kata-katanya itu.
"Hari kedua sepeninggalmu, saat pihak Ban be
tong mengerahkan segenap kekuatannya melacak
jejakmu, tiba-tiba kutemui Be Khong-cun, meski
waktu pertama kali berjumpa denganku dia
nampak terkejut, namun biarpun aku teliti dengan
lebih seksama pun tidak kujumpai pertanda dia
itu gadungan."
Secara ringkas Siau Piat-li menceritakan
pengalamannya pada saat itu.

"Dia melayani aku dengan hangat, kami berdua
pun berbincang sambil minum arak di dalam
kamar bacanya, yang dibicarakan hanya seputar
rahasia pribadiku dan Be Khong-cun."
"Rahasia yang tak mungkin diketahui orang
lain?"
"Benar. Itulah sebabnya pada waktu itu aku
curiga Be Khong-cun besar kemungkinan adalah
Be Khong-cun yang telah mati sepuluh tahun
berselang dan kini hidup kembali," kata Siau Piatli,
"bicara punya bicara, tiba-tiba secara tak
kusadari ternyata aku telah mabuk berat, waktu
itu sudah tengah malam."
"Kemudian?"
"Kemudian sewaktu sadar kembali, ternyata
hari sudah terang tanah. Biarpun aku masih
duduk di kamar baca tempat kami minum arak
semalam, namun semua pemandangan telah
berubah, menjadi keadaan seperti apa yang kau
saksikan sekarang."
"Kemana orang-orang itu?"
"Tak ada orang, tak seorang pun yang
terlihat."
"Tak ada orang? Semua jagoan Ban be tong
yang bangkit kembali dari kematian ikut lenyap?"
"Benar."
Sepuluh tahun berselang Ban be tong telah
dimusnahkan, semua penghuninya telah mati,

tapi sepuluh tahun kemudian secara aneh dan tak
masuk akal mereka muncul kembali.
Kini secara aneh dan tak masuk akal mereka
lenyap kembali tak berbekas.
Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Pho Ang-soat pernah bertemu So Ming-ming,
dari mulut gadis itu dia pun tahu Yap Kay
berangkat ke Lhasa karena ingin menyelidiki
kebun monyet, tempat dimana Pek Ih-ling yang
seharusnya Be Hong-ling pernah tinggal.
Di saat mendengarkan penuturan So Ming-ming
tentang Yap Kay yang berangkat ke kota Lhasa,
dia mendengarkan dengan seksama dan teliti. Tak
sepotong kata pun yang tercecer.
Ketika mendengar Hong-ling di rumah
keliningan, walaupun hati kecilnya merasa amat
sakit, namun perasaan duka itu tak sampai
ditampilkan di wajah.
Tentu saja Pho Ang-soat pun tahu Yap Kay
lenyap karena masalah setan pengisap darah,
justru karena persoalan itulah So Ming-ming
khusus mendatangi kota kecil itu dan mengajak
Siau Piat-li berunding.
Itu pula sebabnya Siau Piat-li memaksa
menghormati Pho Ang-soat dengan secawan arak
sambil mengatakan dia bakal melakukan
perjalanan jauh.
Kini Ban be tong telah pulih dalam keadaan
yang sesungguhnya, bangunan yang tinggal

puing, bobrok dan terbengkalai. Be Khong-cun
dan para begundalnya juga lenyap. Kemana
semua orang itu telah pergi?
Tampaknya jawaban atas teka-teki itu hanya
bisa ditemukan di kota Lhasa.
Oleh karena itu Pho Ang-soat bersama So Mingming
segera berangkat ke kota Lhasa.
Bab 5. RUMAH PHO ANG-SOAT
Lhasa.
Di pegunungan nan hijau dan pepohonan yang
terbentang luas, dari kejauhan terlihat secara
lamat-lamat bangunan istana serta dinding kota.
Langit amat bersih, istana Potala di bawah
cahaya terang terlihat begitu megah dan keren.
Pho Ang-soat sama sekali tak menyangka, nun
jauh di luar perbatasan ternyata terdapat tempat
yang begitu indah, keindahannya begitu megah
dan penuh misteri, keindahannya membuat orang
terbuai dan terpikat, keindahan yang membuat
orang jadi mabuk.
Bangunan benteng didirikan sepanjang batu
karang membuat bangunan kuno ini tampak
gagah dan menakjubkan.
Seluruh kota Lhasa nampak begitu indah
bagaikan dalam impian, untuk sesaat Pho Angsoat
dibuat terperana, termangu-mangu saking
kagumnya.

Bagaimana dengan Hong-ling? Apakah dia telah
kembali ke rumah keliningan?
Bagaimana rasanya bila orang yarig
mendampinginya sekarang adalah Hong-ling?
Manusia memang sangat mengherankan, di
saat hatinya sedang tersentuh oleh keindahan,
mengapa semakin sulit baginya melupakan
seseorang yang ingin sekali dilupakan?
Bangunan kuno bagaikan selembar kulit hasil
samak, ada bagian yang licin dan indah, ada pula
bagian yang kasar dan jelek. Jalanan di luar kuil
Tay-cau-si merupakan sisi lain dari kota Lhasa.
Sepanjang jalan terlihat sampah berserakan,
kawanan pengemis tua dengan pakaian kumal,
berkepala gundul, bertelanjang kaki berdiri di
sepanjang jalan sambil menyodorkan tangannya
meminta sedekah.
So Ming-ming memang sengaja mengajak Pho
Ang-soat melalui jalanan itu, sebab ia pernah
berkata kepada gadis itu, "Aku tak ingin tinggal di
rumahmu, aku pun tak ingin tinggal di tempat
yang kotor."
Karena itulah So Ming-ming mengajak Pho Angsoat
menuju ke jalan itu, sebab di sini terdapat
sebuah penginapan yang tidak terlalu menyolok
dan jarang didatangi orang.
Merek dagang rumah penginapan ini pun
sangat hebat, sekali pandang orang akan
terkesan olehnya.

Penginapan itu bernama penginapan Sau-lay
(jarang yang datang).
Kalau nama penginapannya nyentrik,
pemiliknya pun nyentrik.
Lopan pemilik rumah penginapan Sau-lay
adalah seorang lelaki setengah baya berusia
empat puluh tahunan, walaupun dandanannya tak
jauh berbeda dengan kebanyakan orang, namun
bila keesokan harinya tamu yang menginap di
sana belum juga membayar ongkos sewa kamar,
maka dengan wajah tak berperasaan dia akan
berkata kepada tamunya, "Pergilah! Ingat, lain
kali jangan kemari lagi."
Bayangkan saja, apakah manusia semacam ini
tak pantas disebut manusia eksentrik?
Kamar yang tersedia di rumah penginapan Saulay
tidak berbeda jauh dengan kamar losmen di
wilayah Kanglam, sebuah ruangan yang
sederhana dengan sebuah lampu minyak dan
perabot seadanya.
Tapi begitu Pho Ang-soat masuk ke dalam
kamar penginapan Sau-lay, paras mukanya
kontan berubah hebat, berubah jadi amat jelek
seolah baru saja melihat setan.
Sebenarnya setan itu tidak menakutkan,
banyak orang tidak takut setan.
Pho Ang-soat pun tidak takut, jauh lebih berani
dibandingkan sebagian besar orang.

Apalagi dalam ruang kamar itu memang tak
ada setannya.
Setiap benda, setiap perabot yang tersedia di
sana persis barang-barang yang tersedia di
losmen lain.
So Ming-ming memang kurang begitu tahu
tentang Pho Ang-soat. tapi selama dua hari
belakangan ini dia tahu pemuda itu bukan
termasuk orang yang mudah terperanjat. Tapi
kini dia pun dapat melihat Pho Ang-soat benarbenar
dibuat terperana.
Dia tidak bertanya kepada Pho Ang-soat, "Apa
yang telah kau lihat?"
Sebab apa yang bisa dilihat pemuda itu, dia
pun dapat melihat jelas. Tapi dari sekian banyak
benda yang dapat dilihat olehnya, tak satu pun
yang bisa membuatnya ketakutan.
Yang terlihat olehnya hanya sebuah ranjang,
meja, beberapa bangku, meja rias, lemari baju
dan sebuah lampu minyak, semua barang amat
sederhana dan sudah kuno.
Apa yang dilihat Pho Ang-soat hanya barangbarang
itu, tak seorang pun yang tahu apa
sebabnya dia begitu ketakutan?
Jangan-jangan kamar ini adalah sebuah kamar
setan? Sebuah kamar yang dipenuhi setan, iblis
dan roh gentayangan? Sebuah kamar yang akan
mencekik dan menyiksa dirimu?

Kalau memang begitu, mengapa So Ming-ming
sama sekali tidak merasakan?
Jangan-jangan kawanan setan iblis itu hanya
menyatroni Pho Ang-soat seorang?
So Ming-ming ingin sekali bertanya padanya,
mengapa sikapnya berubah jadi begitu, namun ia
tak berani, tampang Pho Ang-soat saat ini
kelewat menakutkan.
Mimik mukanya sekarang seperti setan,
perlahan-lahan ia duduk bersandar dinding dekat
meja kayu, duduk di bangku bambu kuno.
Begitu duduk, paras mukanya kembali berubah,
berubah semakin kalut tak keruan, di samping
rasa gusar yang membara, dia pun
memperlihatkan perasaan cinta dan kangen yang
seakan selamanya sulit dihilangkan dari
benaknya.
Sebuah kamar losmen sederhana mengapa
dalam waktu sekejap dapat membangkitkan dua
macam perasaan yang saling bertentangan?
Kembali So Ming-ming ingin bertanya, namun
dia tetap tak berani.
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Walaupun Hoa
Pek-hong bukan ibu kandungku, namun ia sudah
memelihara dan mendidikku selama delapan belas
tahun."
Masalah budi dan dendam antara Pho Ang-soat,
Yap Kay dan Be Khong-cun telah didengar So
Ming-ming dari penuturan Siau Piat-li, karena itu

dia pun tahu siapakah Hoa Pek-hong yang
dimaksud.
"Biarpun sepanjang hidupnya selalu terkurung
dalam rasa benci dan dendam, namun dia orang
berhati lembut," gumam Pho Ang-soat.
Yap Kay lenyap tak berbekas, Be Khong-cun
ikut menguap, teka-teki seputar Ban be tong
belum terurai, mengapa di saat dan keadaan
seperti ini mendadak Pho Ang-soat menyinggung
Hoa Pek-hong?
Kembali So Ming-ming ingin bertanya, tapi lagilagi
tak berani, maka terpaksa dia hanya
mendengarkan Pho Ang-soat berkata lebih lanjut.
"Selama delapan belas tahun, dia yang
memelihara dan mendidik aku hingga dewasa,
meskipun dia pun selalu melolohku dengan
masalah dendam, namun dia pun amat
mencintaiku, merawatku dengan penuh kasih
sayang," ujar Pho Ang-soat perlahan.
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Aku
sengaja memberi tahu hal ini kepadamu karena
aku ingin kau tahu, meskipun Hoa Pek-hong
bukan ibu kandungku, namun dia telah memberi
kehangatan keluarga kepadaku."
Sebetulnya dia seorang anak yatim piatu,
secara tiba-tiba memiliki rumah, merasakan
hangatnya berkeluarga, meski perempuan itu
bukan ibu kandungnya, namun telah mendidik
dan memeliharanya.
Budi pemeliharaan lebih tinggi dari langit.

Tentu saja So Ming-ming mengerti teori ini.
Tiba-tiba Pho Ang-soat bangkit, berjalan
menuju ke tepi jendela, mendorongnya hingga
terbuka dan memandang kegelapan yang mulai
mencekam jagad.
Setelah lama termenung, kembali ia berkata,
"Selama delapan belas tahun aku tinggal di
sebuah rumah batu, dalam rumah batu itu hanya
terdapat sebuah ranjang, meja, beberapa bangku,
lemari baju, meja rias dan sebuah lampu
minyak."
Setelah memandang lagi kegelapan malam
beberapa saat, ia pun berkata lebih jauh, "Semua
barang yang ada dalam kamar ini berasal dari
dalam rumah batu itu."
Akhirnya So Ming-ming mengerti juga apa
sebabnya paras muka Pho Ang-soat berubah
begitu hebat sejak masuk ke dalam kamar ini.
Ternyata setiap benda yang ada di sini,
semuanya dipindahkan dari rumah batu yang
pernah ditempatinya bersama Hoa Pek-hong.
Tapi siapa yang telah memindahkan kemari?
Sudah pasti ulah dalang yang berada di balik
kekuatan Ban be tong, bisa jadi dia pula yang
menjadi penyebab hilangnya Yap Kay.
Tidak bisa disangkal si dalang pasti telah
menemukan tempat tinggal Hoa Pek-hong dan
besar kemungkinan pada saat ini Yap Kay telah
terjatuh ke cengkeraman sang dalang.

So Ming-ming hanya mengawasi Phe Ang-soat
dari kejauhan, untuk sesaat dia tak berani
mengusiknya.
Air mata mulai mengembeng, berkumpul di
balik kelopak mata, untung tak sampai mengucur,
hanya di saat kesedihan yang paling puncak, air
mata baru boleh mengucur.
Kalau Pho Ang-soat belum menangis, maka air
mata So Ming-ming telah membasahi pipinya, dia
sangat memahami hubungan batin antara Pho
Ang-soat dan Hoa Pek-hong.
Dengan mulut membungkam dia awasi
bayangan punggung Pho Ang-soat yang kesepian,
sesaat kemudian ia berbalik badan dan beranjak
keluar ruangan.
Tetapi sebelum dia melangkah keluar,
terdengar Pho Ang-soat berkata, "Kau tak perlu
keluar."
"Tak perlu keluar?" So Ming-ming
menghentikan langkah sambil berpaling,
"apakah kau tahu aku hendak kemana? Dan mau
berbuat apa?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tak bakal memperoleh jawaban apa pun,
sudah pasti bukan pemilik losmen yang
memindahkan barang-barang itu kemari, bahkan
belum tentu dia tahu siapa yang
memindahkannya kemari."

Orang yang hendak dicari So Ming-ming
memang Lopan pemilik losmen Sau-lay.
Setelah lampu minyak disulut, cahaya semu
kuning menerangi seluruh kamar, Pho Ang-soat
masih berdiri di tepi jendela, mengawasi
kegelapan malam di kejauhan.
Cahaya rembulan terasa begitu lembut,
sementara taburan bintang berkedip-kedip.
Apakah cahaya rembulan dan bintang di tempat
ini sama menariknya dengan rembulan dan
bintang di rumah batu yang pernah ditempati Pho
Ang-soat?
Sewaktu lampu mulai menyala, So Ming-ming
telah beranjak pergi dari situ.
Pho Ang-soat yang minta dia untuk pergi,
sebab malam ini dia perlu beristirahat dengan
sebaik-baiknya, dia harus menyimpan tenaga,
harus meningkatkan kewaspadaan, kesensitipan
dan perasaannya hingga ke tingkat paling tinggi.
Sebab yang bakal menyongsong dirinya besok
adalah masa depan yang tak terbayangkan.
Di bawah sinar rembulan, bukit bersalju nun
jauh di sana terlihat memantulkan cahaya
keperakan, membuat suasana di jalan yang kalut
itu sedikit lebih romantis.
Suasana romantis di tepi perbatasan.
Sepasang mata Pho Ang-soat sudah hampir
tinggal satu garis lurus, biarpun badannya terbuat
dari besi baja, kini sudah tak sanggup menahan

perubahan yang terjadi secara bertubi-tubi,
apalagi seharian ini dia disergap masalah yang
berat, termasuk masalah ibu angkatnya.
Di kala Pho Ang-soat mulai merasa lelah, ingin
beristirahat itulah mendadak dari sudut jalan ia
lihat seseorang yang sangat dikenal berkelebat,
sesosok tubuh gadis bertubuh ramping.
Begitu melihat orang itu, alis Pho Angsoat
segera bekernyit, cepat dia melompat
bangun, melompat keluar lewat jendela
dan mengejar ke jalan raya.
Angin malam yang dingin berdesir lewat di sisi
telinga Pho Ang-soat, tak selang berapa lama
kemudian Pho Ang-soat telah mengejar orang
yang sangat dikenalnya itu hingga pinggiran kota.
Antara tebing karang dengan pohon kaktus
berdiri sebuah gardu segi delapan, ketika tiba di
sana, orang itu berhenti dan berdiri tenang dalam
gardu.
Pho Ang-soat ikut berhenti, berhenti di luar
gardu, mengawasi punggung orang yang berdiri
semampai, secercah kehangatan terlintas dari
balik matanya yang dingin dan kesepian.
Hong-ling? Apakah Hong-ling yang berdiri
dalam gardu itu? Ya, pasti dia. Sebab pakaian
yang dikenakan tak lain adalah pakaian yang
dikenakan sewaktu pergi meninggalkan dirinya.
Pho Ang-soat merasa detak jantungnya
semakin cepat, bibirnya gemetar saking emosi,
sesaat dia tak tahu apa yang mesti dibicarakan.

Malam bertambah larut, rembulan pun masih
bulat, bahkan hembusan angin malam yang
begitu dingin pun terasa lebih lembut dan hangat,
sehangat hembusan angin di musim semi.
"Baik... baikkah kau?"
Pho Ang-soat benar-benar tak tahu apa yang
mesti diucapkan, terpaksa hanya beberapa patah
kata itu yang diucapkan.
Orang yang berdiri dalam gardu kelihatan
sedikit bergerak, tapi seperti juga sama sekali tak
berkutik.
Ketika ditunggu sampai lama belum juga
nampak ia bergerak, akhirnya Pho Ang-soat
berkata lagi, "Meng... mengapa kau harus pergi?"
Pho Ang-soat menundukkan kepala,
katanya lagi, "Apakah semua yang kau tulis
dari suratmu merupakan ketulusan hatimu?" Tibatiba
orang itu menghela napas sedih.
"Baru berkenalan tiga belas hari, sudah begitu
besar perhatianmu terhadapnya, apakah dalam
pandanganmu, aku tak mampu melebihi dia?"
Kembali terdengar helaan napas amat pedih,
kemudian orang dalam gardu itu baru perlahanlahan
membalikkan badan.
Di bawah sorotan cahaya rembulan yang
lembut, terlihat jelas raut muka bayangan itu.
Sekarang Pho Ang-soat baru dapat melihat
jelas siapakah orang itu, ternyata dia tak lain
adalah Pek Ih-ling yang semestinya Be Hong-ling.

"Rupanya kau?"
"Kecewa?" kembali sinar pedih terpancar dari
balik mata Pek Ih-ling, "kau tak menyangka
bukan?"
Bara api cinta yang baru akan menyala seketika
sirna kembali, sorot mata Pho Ang-soat kembali
dingin dan hambar, bahkan terselip sedikit
kepiluan.
"Kemunculanmu memang tepat waktu, aku
memang sedang mencarimu," ujar Pho Ang-soat
dingin.
"Mencari aku? Mencari aku untuk menanyakan
masalah Be Khong-cun?" kata Pek Ih-ling sambil
tertawa pedih.
"Sebenarnya siapakah kau?" tanya Pho Angsoat
sambil menatap tajam wajahnya.
"Siapa aku?" sekali lagi Pek Ih-ling tertawa
sedih, "sebenarnya siapakah aku?"
Setelah memutar biji matanya yang sayu dan
menatap sekejap wajahnya, ia melanjutkan, "Aku
tak lebih hanya sebuah keliningan kecil. "
"Keliningan kecil?"
"Ya, keliningan kecil, bila ada orang
menggoyang aku, maka aku pun berdenting, jika
orang tidak menggoyangku, aku pun
terbungkam."

Dari balik mata Pek Ih-ling seolah terlihat
cahaya air mata, tambahnya, "Keliningan kecil,
coba kau dengar, bagus bukan namaku ini?"
Kembali ia menghela napas panjang, sekarang
baru ia tahu, entah itu Pek Ih-ling atau Be Hongling,
semuanya mempunyai masa lalu yang pedih
dan penuh kesedihan.
Mengapa seorang yang tak pernah gembira
selalu bertemu dengan orang tak pernah gembira
lainnya?
"Setiap orang yang hidup di dunia ini terkadang
memang tak bisa lari menjadi keliningan orang
lain, kau adalah keliningan orang, siapa bilang
aku tidak?" ujar Pho Ang-soat hambar, "bisa jadi
orang yang menjadikan kau sebagai keliningan
pun sesungguhnya sudah terikat tali orang lain
dan dijadikan keliningan juga."
Pek Ih-ling kembali menatap wajah pemuda itu,
lama kemudian baru ia menghela napas panjang.
"Ternyata watakmu tidak sedingin dan sesadis
penampilanmu, tapi heran, mengapa ada begitu
banyak orang yang justru menginginkan
kematianmu?"
Setelah tertunduk sedih, terusnya, "Padahal
ada pula kematian sementara orang yang justru
membuat orang lain merasa gembira, meski ada
juga yang kematiannya membuat banyak orang
bercucuran air mata
Mendadak dia mendongakkan kepala,
menatapnya sekejap. "Seandai nya kau yang

mati, aku pasti akan mengucurkan air mata. Oleh
karena itu lebih baik kau segera pergi, semakin
jauh semakin baik, semakin cepat semakin
bagus."
"Oya?"
"Jangan kau sangka kedatanganmu di Lhasa
merupakan sesuatu yang amat rahasia, padahal
semua gerak-gerikmu, sepak terjangmu sudah
berada dalam perhitungan orang lain."
Kembali Pek Ih-ling memperlihatkan rasa
kuatirnya yang besar, "Semakin lama kau
berada di Lhasa, hanya kematian yang bakal
kau dapat."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menggunakan
pandangan matanya yang mendalam menatap si
gadis, memandang begitu lama sampai gadis itu
merasa j engah dan menundukkan kepala.
"Pergilah!" ucap pemuda itu, "aku pun tak ingin
menyusahkan dirimu."
"Kau minta aku pergi?"
"Padahal sudah seharusnya aku tahu siapa
dirimu," kata Pho Ang-soat, "semula aku ingin
mencari tahu jejak mereka dari mulutmu, tapi
sekarang
Mendadak ia menghentikan perkataannya.
"Bagaimana sekarang?"
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, dia
membalikkan badan, lalu menggunakan

langkahnya yang aneh beranjak pergi dari situ.
"Kau akan pergi begitu saja?"
Pho Ang-soat tidak berhenti, begitu dia mulai
melangkah, sulitlah untuk berhenti, biarpun tahu
di depan mata menghadang kematian, tak bakal
dia menghentikan langkah.
"Kalau kau pergi begitu saja, hanya kematian
yang bakal kau hadapi," hampir menjerit Pek Ihling
meneriakkan perkataan itu.
Pho Ang-soat seolah tidak mendengar teriakan
itu, dia sudah pergi jauh, biar terdengar pun apa
pula yang akan dilakukan?
Air mata mengembeng di mata Pek Ih-ling
akhirnya meleleh jatuh ke bawah, membasahi
pipinya. Ketika terkena cahaya rembulan segera
terpantul cahaya yang sendu.
Sambil mengawasi bayangan punggung yang
mulai lenyap di balik kegelapan, gadis itu berdiri
termangu, rasa pilu dan sedih semakin kental
tercermin di balik wajahnya.
Sebuah tangan penuh bekas luka yang kuat
dan besar menjulur mengangsurkan selembar
sapu tangan ke depan wajah Pek Ih-ling.
"Lupakan dia, anakku!"
Ketika Pek Ih-ling berpaling, Be Khong-cun
sudah berdiri di belakangnya dengan wajah
sendu, dengan penuh kasih sayang ia bantu
menyeka air mata di pipinya.

Gadis itu tak kuasa menahan rasa sedihnya
lagi, ia menangis tersedu-sedu, sambil memukuli
dada Be Khong-cun yang bidang, jeritnya,
"Kenapa? Kenapa harus begini?"
"Karena kita semua hanya keliningan orang
lain," jawab Be Khong-cun sambil menepuk bahu
putrinya.
Mendengar ucapan itu, tangisan Pek Ih-ling
semakin memilukan, sambil menggigit bibir
jeritnya, "Ayah!"
BAGIAN V. CINTA DAN DENDAM DI
BALIK GOLOK
Bab 1. DUEL DI GARDU
Sewaktu tersadar kembali, Yap Kay merasa
mulutnya kering, bahkan lamat-lamat dadanya
terasa sedikit sakit, dia tahu inilah gejala pertama
yang dirasakan setelah tersadar dari pengaruh
obat pemabuk.
Pertama kali membuka matanya tadi,
kepalanya masih terasa agak pening, ia tak tahu
berada dimanakah dirinya sekarang, secara
lamat-lamat dia hanya teringat bagaimana dirinya
roboh terkapar.
Berada dalam sumur kering, sebuah ruang
rahasia di ujung lorong panjang, ketika dia tahu
di sana telah menanti Hing Bu-bing, dia pun sadar

hari ini pasti akan terjadi pertarungan yang amat
sengit.
"Walaupun aku tahu bukan tandinganmu, tapi
hari ini aku tetap akan bertarung melawanmu,"
ujar Yap Kay dengan suara hambar, "ada berapa
banyak Hing Bu-bing di kolong langit? Bila aku
tidak bertarung melawanmu hari ini, mungkin
sulit bagiku untuk mencari seorang lawan macam
kau di kemudian hari."
Setiap orang yang berlatih silat, ketika ilmu
silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan,
dia akan merasa amat kesepian, sebab sampai
waktu itu sulitlah baginya untuk menemukan
seorang lawan tangguh yang sesungguhnya.
Oleh karena itulah ada sementara orang yang
tak segan mencari kekalahan, karena dia
beranggapan asal dapat bertemu seorang lawan
tangguh yang sesungguhnya, biar kalah pun tetap
membuat hatinya gembira.
Tapi Hing Bu-bing tahu perasaan Yap Kay saat
ini bukanlah demikian, dia justru siap berduel
karena semuanya itu demi Li Sun-hoan .
Bila hari ini Yap Kay mundur sebelum
bertarung, menandakan Siau-Li si pisau terbang
telah kalah di tangan Hing Bu-bing.
Perbuatan itu bukan saja akan mempermalukan
nama baik perguruan, Yap Kay pun tak akan
memaafkan diri sendiri.
Sebagai seorang lelaki sejati lakukanlah apa
yang bisa kau perbuat, ajaran ini sudah lama Yap

Kay serap dari ajaran yang diberikan Li Sun-hoan
kepadanya.
Oleh sebab itu biarpun hari ini mesti mati, dia
tetap akan melayani tantangan Hing Bu-bing.
Dalam ruang rahasia tak ada angin, tapi sudah
dipenuhi hawa membunuh yang pekat.
Pedang belum dilolos dari sarungnya, namun
hawa pedang sudah menyergap tubuh orang,
seluruh ruang rahasia telah dipenuhi hawa
membunuh yang serius dan menyeramkan.
Sepasang mata Hing Bu-bing yang keabuabuan
mengawasi terus tangan Yap Kay,
mengawasi tanpa berkedip, sebab dia tahu
tangan itu adalah tangan yang menakutkan.
Kini Yap Kay seolah telah berubah menjadi
orang lain, matanya sudah tidak memperlihatkan
sikap acuhnya, dari balik mata yang berkilat
terpancar sejenis cahaya yang menyilaukan mata.
Dia ibarat sebilah pedang yang sudah lama
tersimpan dalam kotak, tak ada pamor, tak ada
aora yang kuat, jarang ada orang bisa melihat
cahayanya yang berkilauan.
Tapi kini sang pedang telah dikeluarkan dari
dalam kotak.
Yap Kay telah menggerakkan tangannya,
sebilah pisau terbang telah tergenggam di antara
jari tangannya.
Pisau terbang milik Siau-li yang tak pernah
luput dari sasaran.

Justru yang paling menakutkan dari Siau-li si
pisau terbang adalah di saat pisaunya belum
disambitkan.
Begitu pisau terbang terlepas, tak ada lagi
yang perlu ditakuti.
Sebab orang mati memang tak kenal takut.
Hawa membunuh semakin mengental.
Hing Bu-bing telah mencabut pedangnya sambil
dilintangkan di depan dada, sementara tatapan
matanya tak pernah terlepas dari tangan Yap Kay.
Cahaya yang terpancar dari mata pedang
kelihatannya jauh lebih mencolok daripada sinar
pisau terbang itu, hawa pedang pun terasa lebih
kental, dari balik matanya yang kelabu sebetulnya
hanya ada kekosongan, kematian. Tapi kini
secara tiba-tiba terlintas secercah cahaya
bimbang, secercah cahaya ngeri dan seram.
Tentu saja semua perubahan ini tak terlepas
dari ketajaman mata Yap Kay, dalam hati kecilnya
ia betul-betul merasa heran, di saat jago silat siap
berduel, kenapa Hing Bu-bing justru
memperlihatkan sinar mata semacam ini?
Bukankah dia telah melakukan kecerobohan fatal
yang bisa berakibat kematiannya?
Tapi peristiwa yang kemudian terjadi justru
membuat Yap Kay semakin terperanjat, ia lihat
Hing Bu-bing mendadak memejamkan mata,
kemudian tubuhnya tumbang ke tanah.
Apa yang sebenarnya terjadi?

Sementara Yap Kay masih terperangah, masih
terkesiap, tiba-tiba pandangan matanya ikut
buram, kabur dan terpancar perasaan ngeri dan
kaget yang luar biasa, sekarang baru dia
mengerti apa yang telah terjadi.
Akhirnya ia sadar apa sebabnya Hing Bu-bing
menunjukkan gejala seperti itu, rupanya ada
orang ketiga yang secara diam-diam telah
memasang jebakan di situ, orang itu menanti
dengan tenang di samping arena, menunggu
sampai mereka berdua mulai saling berhadapan
dan siap bertarung, lalu secara diam-diam
melepas obat pemabuk tanpa warna tanpa bau.
Itulah sebabnya Hing Bu-bing roboh secara
mendadak, tentu saja tak terkecuali Yap Kay.
Sesaat sebelum tubuhnya roboh, hanya satu
persoalan yang terpikir olehnya, siapa yang
melepas dupa pemabuk itu? Mengapa dia berbuat
begitu?
Ketika sadar dari pingsannya, kepala masih
terasa pusing, Yap Kay mencoba menggunakan
tangannya untuk meraba kepala, sayang sama
sekali tak mampu bergerak, dia mencoba
mengerahkan tenaga dalam, ternyata hawa
murninya tersumbat. Sekarang baru dia tahu,
rupanya jalan darah di tubuhnya telah tertotok.
Menanti mata dan pikirannya mulai dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya,
Yap Kay baru menjumpai dirinya sedang

berbaring dalam sebuah ruangan yang berbentuk
sangat aneh.
Cahaya lampu di sini amat terang dan amat
lembut, tapi tak terlihat sebuah lampu lentera
pun.
Kalau tak ada lampu, darimana datangnya
cahaya terang? Darimana munculnya cahaya yang
begitu lembut dan terang?
Ternyata Yap Kay berbaring di atas sebuah
meja altar panjang yang terbuat dari batu kristal,
di samping altar terlihat banyak sekali meja altar
kecil, di atas beberapa meja kecil itu tergeletak
berbagai jenis pisau kecil. Juga ada beberapa
buah botol bulat, dalam botol berisi bubuk,
semacam bubuk obat, ada pula yang berisi cairan,
cairan warna-warni.
Di atas meja kecil yang lain terlihat juga benda
yang berbentuk aneh, Yap Kay tidak tahu apa
kegunaannya, berupa botol kristal yang bagian
bawahnya berbentuk bulat, bagian bawah yang
bulat itu sedang dibakar dengan api, sementara
cairan di dalamnya mendidih, uap putih mengepul
tiada hentinya.
Asap putih itu bergerak mengitari pipa kristal
bulat, berkumpul menjadi satu sebelum akhirnya
membeku lagi dan berubah jadi air, setetes demi
setetes mengalir masuk ke botol berbentuk bola
lainnya.
Apa kegunaan botol-botol bulat itu? Dan apa
gunanya? Yap Kay sama sekali tak paham.

Terpaksa dia mengalihkan sorot matanya ke
arah lain, di situ ia saksikan ada empat buah
lemari berisikan botol-botol berisi cairan merah
seperti darah, di atas lemari itu masing-masing
tertempel label dengan tulisan, "Jenis kesatu",
"Jenis kedua", "Jenis ketiga" dan "Jenis keempat".
Selesai memperhatikan benda-benda aneh
yang terdapat dalam ruangan itu, Yap Kay baru
menyadari tempat itu sangat bersih, teratur
bahkan terkesan dingin, sepi dan berbau obatobatan.
Ruangan apakah itu? Mengapa di situ tersimpan
begitu banyak benda berbentuk aneh? Apa
kegunaan benda-benda aneh itu?
Pertanyaan itu berulang kali melintas dalam
benak Yap Kay yang baru tersadar kembali.
Sementara dia masih bingung, mendadak
terdengar suara mencicit berkumandang datang.
Cepat dia berpaling, suara itu berasal dari balik
dinding.
Tiba-tiba terbuka sebuah pintu, lalu dia pun
menyaksikan seorang... bukan, bukan manusia
tapi seekor monyet berjalan mendekat.
Bukan, ternyata bukan monyet, tapi seorang.
Seorang! Makhluk aneh berkepala manusia
bertubuh monyet.
Yap Kay terperangah, walau tempo hari dia
pernah menyaksikan makhluk berkepala manusia

bertubuh monyet, tapi makhluk di depannya kini
bukanlah monyet yang kepalanya dicukur gundul.
Benarkah di kolong langit terdapat makhluk
seperti ini? Lalu dia termasuk jenis manusia? Atau
jenis monyet?
Ia saksikan manusia itu berjalan masuk ke
dalam ruangan, lalu memasukkan sebuah tabung
darah ke dalam lemari yang berlabel "Jenis
kesatu".
Yap Kay tak kuasa menahan rasa herannya, ia
segera menegur, "Kau... manusiakah kau? Atau
... atau monyet?"
"Manusia? Monyet?" makhluk aneh itu
menjawab, "manusiakah aku?"
Yap Kay dapat menangkap perasaan pedih
yang menghiasi wajah makhluk itu.
"Adakah manusia seperti aku di dunia ini?" dia
menatap Yap Kay sambil berkata sedih, "adakah
monyet seperti aku di dunia ini? Aku manusia
atau monyet?"
Yap Kay tak sanggup menjawab lagi, dia
memang tak tahu apa yang telah terjadi, dia pun
tak tahu dia sebenarnya masih terhitung manusia
atau monyet?
Dari balik kepedihan yang terpancar pada
wajah makhluk itu tiba-tiba muncul sinar
kebencian yang luar biasa, dengan sorot penuh
kebencian dan kepuasan itulah dia menatap
wajah Yap Kay.

"Sebentar lagi kau pun akan merasakan
penderitaan seperti aku, " di balik nada suaranya
terselip sindiran dan ejekan yang sadis dan
kejam, "tak sampai beberapa hari lagi, kau pun
akan berubah seperti bentukku."
"Berubah seperti bentukmu?" Yap Kay tertawa,
"memang ada manusia sakti yang pandai ilmu
sihir, asal dia menudingkan jari tangan lalu aku
pun berubah bentuk seperti kau?"
"Dia memang tak punya ilmu sihir, tapi
memiliki sepasang tangan yang trampil, tangan
yang sakti luar biasa," kata makhluk itu, "dalam
ruang bedah inilah dengan sepasang tangan
saktinya dia akan mengubah kau menjadi bentuk
aneh seperti aku, cukup dalam tiga hari."
Sepasang tangan yang trampil? Dalam ruang
bedah? Tak sampai tiga hari? Benarkah ia mampu
membentuk seseorang menjadi makhluk
berkepala manusia bertubuh monyet? Tapi...
mana mungkin? Tidak masuk akal.
Yap Kay tak percaya, sampai makhluk itu
berlalu cukup lama Yap Kay masih belum percaya
dengam apa yang dikatakannya.
Kalau memang tak percaya, lebih baik tak usah
dipikir, maka Yap Kay pun segera memejamkan
mata sambil mengatur napas, "Biarlah apa yang
akan terjadi, terjadilah."
Saat itulah mendadak ia teringat akan satu
kejadian.

Di negeri sebelah barat yang letaknya nun jauh
di sana, konon terdapat sejumlah orang pandai
yang mampu menggunakan ilmu pertabiban
tingkat tinggi untuk mengganti organ tubuh yang
rusak atau busuk dengan organ baru, organ yang
dicangkokkan kembali.
Organ tubuh yang diganti itu berasal dari tubuh
orang lain, organ orang lain itu dicangkokkan ke
bagian tubuh yang sudah rusak itu.
Ilmu pertabiban tingkat tinggi? Benarkah
makhluk berkepala manusia bertubuh monyet ini
merupakan pencangkokan organ tubuh dengan
ilmu pertabiban tingkat tinggi? Apakah tabib sakti
semacam itu sudah memasuki wilayah daratan?
Langit mulai terang tanah.
Kegelapan malam yang sepi telah lenyap di
balik fajar yang mulai menyingsing di kota Lhasa.
Jalan raya mulai hiruk-pikuk dengan suara
orang berlalu-lalang, kehidupan baru kembali
mulai berlangsung.
Selesai mengenakan pakaian, Pho Ang-soat
berjalan keluar dari penginapan Sau-lay dan
membaurkan diri dengan keramaian manusia, ia
mulai berjalan menuju ke masa depan yang tak
diketahui ujungnya.
"Apakah besok kau akan mulai dengan
penyelidikanmu?"
"Benar."

"Apakah akan dimulai dari posisi dimana Yap
Kay hilang?" "Tidak!"
"Tidak? Kenapa? Yap Kay lenyap di tempat itu,
seharusnya kau mulai melakukan penyelidikan
dari tempat itu."
"Orang yang mampu membuat Yap Kay lenyap
pasti bukan orang sembarangan, tak mungkin dia
akan meninggalkan jejak di tempat dimana Yap
Kay hilang agar kita mendapat petunjuk untuk
menelusuri jejaknya."
"Jadi pergi ke sana pun pasti akan sia-sia?"
"Benar."
"Lalu kita harus mulai menyelidiki darimana?
Apakah dari kebun monyet?"
"Benar."
"Baiklah, kalau begitu besok pagi aku akan
mengajakmu ke sana." "Tidak perlu."
"Tidak perlu? Masa kau akan ke sana seorang
diri?"
"Betul."
"Kenapa?"
"Karena aku tak suka bekerja bersama seorang
wanita."
Inilah pembicaraan So Ming-ming dan Pho Angsoat
menjelang pergi dari situ, akhirnya tentu
saja So Ming-ming harus pergi meski dengan
perasaan tak rela.
Kebun monyet.

Ternyata pintu gerbang menuju kebun monyet
berada dalam keadaan terbuka, di bawah cahaya
matahari tampak seperti seorang tuan rumah
yang penuh kehangatan sedang mementang
tangan menyambut kedatangan para tetamu.
Apakah mereka sudah tahu kalau hari ini bakal
ada yang datang? Apakah mereka sengaja
membuka lebar pintunya untuk menunggu
kedatangan Pho Ang-soat?
Pertanyaan semacam ini sama sekali tak
terpikir dan tak mau dipikir Pho Ang-soat, dengan
langkah lebar dia langsung memasuki pintu
gerbang kebun monyet.
Halaman depan yang amat luas terdapat
jembatan dengan selokan berair jernih, ada
gunung-gunungan dan gardu, ada aneka bunga
dan rumput, ada pula aneka jenis binatang yang
terbuat dari tanah liat, hanya manusia yang tak
terlihat.
Tak ada manusia, tak ada suara, semuanya
terkesan hening, sepi dan mati.
Setelah menyeberangi jembatan, di antara
aneka macam tumbuhan berdiri sebuah gardu
segi enam, jalan setapak berlapiskan batu hijau
yang tersusun rapi.
Sejak melangkah naik ke atas jembatan, Pho
Ang-soat sudah tahu dalam halaman yang luas itu
sama sekali tak ada penghuninya, tapi dalam
gardu segi enam, gardu yang dikelilingi

pepohonan terlihat seorang sedang duduk di sana
sambil mengisap Huncwe.
Seorang kakek kecil duduk sambil menikmati
Huncwenya, cahaya api terlihat sebentar menyala
sebentar padam.
Pho Ang-soat lihat cahaya api yang sebentar
terlihat sebentar padam itu mengikuti semacam
irama yang aneh, terkadang cahayanya panjang
terkadang pendek.
Sejenak kemudian cahaya api itu pun terang
benderang bagaikan sebuah lampion.
Belum pernah Pho Ang-soat menyaksikan ada
orang yang dapat mengisap Huncwe dengan
memancarkan bunga api seterang itu.
Setelah melewati jembatan, menapak di atas
jalan beralas batu dan mendekati gardu,
mendadak cahaya api yang semula muncul di
tempat itu lenyap. Seketika Pho Ang-soat
menghentikan langkah.
Dia berdiri tegak di atas jalan berbatu,
mengawasi kakek yang berada dalam gardu segi
enam tanpa berkutik, baru sekarang ia dapat
melihat jelas wajah si kakek pengisap Huncwe itu,
ternyata dia bukan lain adalah Tui hong siu,
kakek yang pernah berniat membunuhnya waktu
di Ban be tong kemarin.
Setelah memperhatikan lama sekali, Pho Angsoat
mengayun kaki kirinya diikuti kaki kanan,
berjalan masuk ke dalam gardu segi enam dan
berdiri tenang tepat di hadapan Tui hong siu.

Hari ini Tui hong siu mengenakan jubah
berwarna hijau yang warnanya sudah mulai
luntur, dia sedang duduk dalam gardu sambil
menunduk kepala, asyik mengisi Huncwe dengan
tembakau, sikapnya yang begitu acuh seakan
tidak tahu ada orang sedang mendekat.
Pho Ang-soat sendiri tidak bicara, ia berdiri
sambil menunduk, seluruh wajahnya nyaris
tersembunyi di balik bayangan gelap dalam gardu
segi enam, seakan tak ingin orang mengetahui
mimik mukanya.
Walau begitu matanya mengawasi tangan Tui
hong siu tanpa berkedip.
Dia sedang mengawasi setiap gerak-gerik si
orang tua, mengawasi dengan teliti.
Dari kantung tembakaunya, Tui hong siu
mengeluarkan segumpal rajangan daun,
kemudian mengambil pematik dan membakar
daun tembakau itu.
Semua gerak dilakukan sangat lamban,
tangannya terlihat mantap dan kokoh.
Setelah pematik api digunakan, ia
meletakkannya di atas meja, lalu mengeluarkan
kertas dan meletakkannya juga di meja.
Baru sekarang Pho Ang-soat maju mendekat,
begitu tiba di tepi meja, dia langsung mengambil
kertas itu.

Kertas itu amat tipis, garis lipatannya pun
nampak rapat dan rapi, agaknya terbuat dari
kualitas yang baik.
Dengan menggunakan kedua jari tangannya dia
menjepit kertas itu, setelah diperhatikan sekejap,
ia membawa kertas tadi mendekati pematik api.
"Tring!", percikan bunga api memancar ke
empat penjuru, tahu-tahu kertas itu sudah
terbakar.
Perlahan Pho Ang-soat menyodorkan kertas
yang sudah terbakar itu ke kepala Huncwe yang
berada di tangan orang tua itu ....
Setelah melewati halaman depan, melewati
pintu berbentuk bulat dan tanaman aneka bunga,
di ujung jalan terlihat rumah yang sangat besar,
di samping bangunan terdapat sebuah bangunan
loteng kecil.
Dalam ruang loteng kecil itu terlihat seorang
kakek tua dan gadis muda.
Yang tua adalah pemilik kebun monyet, Onglosiansing,
sedang gadis muda itu adalah Kim-hi.
Bangunan loteng itu dibangun menggunakan
kayu pohon Siong yang kering dan kuat, bukan
saja tidak dicat bahkan hanya terdapat sebuah
jendela yang sangat kecil.
Kim-hi duduk di sebuah bangku dalam
bangunan loteng itu, dia sedang mengawasi Onglosiansing.

Gadis itu sedang keheranan, selama ini dia
selalu menganggap diri sendiri sebagai gadis yang
paling cerdas, jarang ada masalah di dunia yang
tidak dipahami olehnya, tapi kini dia benar-benar
tak mengerti apa yang sedang dilakukan Onglosiansing?
Waktu itu Ong-losiansing sedang berdiri di
depan satu-satunya jendela kecil di loteng itu,
tangannya menggenggam sebuah tabung bulat
panjang.
Tabung bulat itu panjangnya sekitar dua kaki
dengan diameter secawan arak lebih sedikit.
Kini Ong-losiansing berdiri di depan jendela,
memejamkan mata kiri dan menempelkan tabung
bulat panjang itu di atas mata kanannya,
sementara tabung bulat itu diarahkan keluar
jendela.
Dalam posisi seperti itulah dia berdiri cukup
lama, berdiri dalam gaya dan sikap yang tidak
berubah. Ia tidak pernah memperlihatkan
perubahan emosi, kecuali menampilkan
keramahan, ia memang jarang membuat orang
lain tahu apa yang sedang dipikirnya.
Tetapi kini mimik mukanya menampilkan
banyak perubahan, bermacam emosi, seakanakan
dari balik tabung bulat panjang itulah dia
dapat menyaksikan begitu banyak kejadian yang
menarik hati.
Persis seorang bocah yang sedang bermain
tabung ajaib.

Ong-losiansing sudah tidak terhitung anak-anak
lagi, tabung bulat panjang pun bukan tabung
ajaib.
Tapi Kim-hi benar-benar tak bisa menebak apa
yang sedang dilihatnya, dia pun tak tahu apa
yang sedang dia pikirkan?
Tiba-tiba Ong-losiansing berpaling, sambil
tertawa ia sodorkan tabung panjang itu ke
tangannya.
"Kemarilah, coba kau ikut melihat."
"Melihat apa? Melihat tabung panjang itu?"
"Benar," jawab Ong-losiansing sambil tertawa,
"kujamin kau pasti dapat melihat banyak kejadian
yang menarik."
Tabung bulat panjang itu terbuat dari emas,
dibuat sangat indah dan artistik, sekilas pandang
orang tahu benda itu tak ternilai harganya, tapi
apa kegunaannya?
Ong-losiansing segera mengajarkan Kim-hi cara
memegang dan memakainya, kemudian minta dia
berdiri di depan jendela, memejamkan mata kiri
dan melihat dengan mata kanan.
"Aku tahu kau adalah amat cerdas," ujar Onglosiansing
sambil tersenyum, "tapi kujamin kau
pasti tak akan menyangka kejadian apa yang bisa
kau saksikan melalui tabung bulat ini."
Kim-hi memang sama sekali tak menyangka.

Mimpi pun dia tak menyangka kalau dari
tabung bulat itu dia dapat menyaksikan dua
orang.
Ia melihat seorang kakek tua dan seorang
pemuda.
Tentu saja dia kenal orang tua itu, Tui hong siu,
tapi belum pernah menyaksikan pemuda itu.
Seorang pemuda berwajah dingin kaku,
memiliki sepasang mata yang jeli namun terbias
perasaan tak berdaya dan pilu yang sangat
mendalam.
Bagian tengah tabung itu kosong, sedang pada
kedua ujungnya terpasang sejenis benda tembus
pandang yang bening seperti batu kristal.
Kim-hi mengambil tabung itu, menempelkan
ujung sebelah ke mata kanannya, lalu diarahkan
keluar jendela, dengan cepat ia melihat seakan
ada dua orang muncul di hadapannya.
Saking kagetnya hampir saja Kim-hi melepas
tabung bulat itu dari tangannya.
"Benda apa ini?" serunya keheranan.
"Aku sendiri pun tidak tahu," sahut Onglosiansing,
"benda ini datang dari sebuah negeri
yang teramat jauh, hingga detik ini aku belum
tahu apa namanya."
"Oh...."
"Dari dulu hingga sekarang, belum pernah
benda ini masuk ke daratan Tionggoan, sampai

detik ini, kecuali aku, mungkin hanya kau seorang
yang pernah melihatnya."
"Oya?"
"Tapi mulai sekarang aku telah menemukan
sebuah nama untuk benda ini," ucap Onglosiansing
sambil tersenyum bangga, "karena
baru saja kuberikan nama untuk benda ini."
"Sebetulnya benda itu akan kuberi nama
kacamata seribu li, tapi nama itu kelewat umum
lagi pula kedengarannya seperti barang mestika
dalam dongeng."
Bicara sampai di situ dia menuding benda bulat
yang berada di tangan Kim-hi itu, kemudian
katanya lagi, "Padahal benda ini bukan barang
mestika seperti dalam dongeng, benda itu nyata
dan kemampuan yang dimiliki adalah bisa melihat
jauh, oleh karena itu secara resmi kuberi nama
benda itu sebagai cermin untuk melihat jauh."
"Cermin untuk melihat jauh? Ehm, sebuah
nama yang bagus."
"Benda bagus tentu saja harus memiliki nama
bagus," ucap Ong-losiansing sambil tertawa, "biar
nama yang bagus ini bisa terwarisi hingga akhir
zaman."
Padahal jarak antara bangunan loteng itu
dengan gardu segi enam cukup jauh, tapi dengan
cermin penglihat jauh itu Kim-hi bisa melihat
semua gerak-gerik mereka dengan sangat jelas.

"Dari dua orang yang terlihat dalam cermin ini,
aku kenal si tua itu adalah Tui hong siu, tapi siapa
pula yang muda itu?" tanya Kim-hi.
"Dia bernama Pho Ang-soat!"
"Pho Ang-soat?"
Meskipun Kim-hi belum pernah bertemu Pho
Ang-soat, tapi nama itu pernah didengarnya dari
percakapan antara Yap Kay dan So Ming-ming.
Dia pun mengetahui manusia macam apa Pho
Ang-soat itu, yang membuatnya tidak habis pikir
adalah mau apa ia mendatangi kebun monyet
secara tiba-tiba?
Terdorong rasa ingin tahu yang besar, tak
tahan Kim-hi bertanya, "Mau apa dia datang
kemari?"
"Demi Yap Kay!"
"Darimana dia bisa tahu Yap Kay telah lenyap?"
"Tentu saja karena diberitahu oleh sahabat
karibmu, So Ming-ming."
"Sekalipun dia tahu Yap Kay telah hilang,
darimana bisa tahu orang itu ada di kebun
monyet?"
"Aku tak tahu, tapi Pho Ang-soat pasti dapat
menduga sahabatnya berada di sini."
Kim-hi masih mengintip melalui tabung panjang
itu, mengawasi gerak-gerik Pho Ang-soat dan Tui
hong siu.

"Sedang apa mereka berdua dalam gardu sudut
enam?" "Sedang bertempur."
"Bertempur? Aku tidak melihat pertarungan
apa-apa, bukankah yang satu sedang menyulut
Huncwe, sementara yang lain mengisap
Huncwe?"
"Dalam pandanganmu mereka memang seakan
sedang menyulut dan mengisap Huncwe," kata
Ong-losiansing sambil tertawa, "padahal mereka
sedang melangsungkan sebuah pertempuran yang
amat seru."
"Oya?"
"Coba kau perhatikan, panjang Huncwe dua
kaki, sementara jarak tangan Tui hong siu dari
tubuh Pho Ang-soat pun hanya dua kaki, asal
tangan Pho Ang-soat yang sedang menyulut
Huncwe sedikit gemetar atau konsentrasinya
buyar, maka Tui hong siu segera akan
melancarkan serangan mematikan."
Sesudah berhenti sejenak, kembali Onglosiansing
melanjutkan, "Asalkan dia mulai turun
tangan, setiap waktu serangan itu bisa diarahkan
ke jalan darah mana pun di tubuh Pho Ang-soat."
"Lantas kenapa hingga sekarang belum
melancarkan serangan?"
"Hingga sekarang ia belum turun tangan karena
sedang menanti kesempatan terbaik, hanya saja
kulihat Pho Ang-soat tak bakal memberi
kesempatan itu kepadanya."

Bab 2. IKAN MAS DI LOTENG KECIL
Tui hong siu masih mengisap Huncwenya.
Entah tembakaunya terlalu basah atau
lubang Huncwe sudah tersumbat kelewat
kencang, sudah cukup lama belum juga menyala.
Kertas penyulutnya nyaris sudah habis digunakan.
Cara Tui hong siu mengisap pipa memang
sangat aneh, dia menggunakan ibu jari, jari
telunjuk dan jari tengah tangan kiri untuk
memegang kepala Huncwe, sementara jari manis
dan kelingking sedikit terangkat ke atas.
Sementara Pho Ang-soat menggunakan ibu jari
dan jari telunjuk untuk memegang kertas
penyulut, sedang ketiga buah jari lainnya ditekuk
ke dalam.
Jari manis dan kelingking Tui hong siu hanya
berjarak tak sampai tujuh inci dari urat penting di
pergelangan tangan Pho Ang-soat.
Tubuh mereka berdua sama sekali tak
bergerak, kepala pun tidak terangkat, hanya
kertas penyulut itu saja yang berkedip
memancarkan cahaya.
Ketika kertas penyulut membakar tangan Pho
Ang-soat, ternyata pemuda itu tetap tak
bergerak, seakan sama sekali tidak merasakan
nya.

Pada saat itulah... "Wes!", akhirnya daun
tembakau di ujung Huncwe terbakar dan
menyala.
Jari manis dan kelingking Tui hong siu kelihatan
sedikit bergerak, ketiga jari tangan Pho Ang-soat
yang ditekuk pun nampak bergerak, apa yang
terjadi dengan kedua orang itu berlangsung amat
cepat, amat lembut, bahkan begitu bergerak pun
langsung berhenti.
Akhirnya terlihat Pho Ang-soat terdesak
mundur satu langkah, Tui hong siu pun mulai
mengisap Huncwenya, sejak awal hingga akhir
kedua orang itu sama-sama menundukkan
kepala, siapa pun tak pernah mengawasi
lawannya barang sekejap pun.
"Kelihatannya pertarungan mereka telah
berakhir?" tanya Kim-hi kepada Ong-losiansing,
"dan aku lihat tak ada yang menang tak ada yang
kalah dalam pertarungan barusan. Tapi aku yakin
pasti ada satu pihak yang lebih unggul."
"Betul."
"Siapa yang berada di pihak pemenang?"
"Tui hong siu selalu menanti datangnya
kesempatan, namun Pho Ang-soat sama sekali
tidak memberi kesempatan kepadanya, namun
pada akhirnya dia tak sanggup menahan diri, jari
manis dan kelingking digerakkan melakukan
penjajakan, jangan dilihat hanya menggerakkan
jari tangan begitu enteng, padahal di balik
gerakan enteng itu sebenarnya tersimpan

perubahan jurus yang hebat dan menakutkan,"
Ong-losiansing menerangkan, "ketiga jari tangan
Pho Ang-soat yang ditekuk itu segera memberi
reaksi yang luar biasa, setiap perubahan yang
terjadi seketika terbendung mati lagi."
Kim-hi tidak memberi komentar, dia hanya
mendengarkan dengan seksama.
"Walaupun mereka berdua hanya sedikit
menggerakkan jari, namun sudah mencakup
beribu perubahan dan ancaman, pertarungan
berlangsung amat sengit, bahkan mengancam
mati hidup mereka," kata Ong-losiansing lebih
lanjut, "biar hanya gerakan jari, namun ancaman
bahaya dan kesengitan pertarungan tak kalah
hebat dengan pertarungan orang lain yang
menggunakan golok maupun pedang."
"Kalau begitu Pho Ang-soat yang keluar sebagai
pemenang?"
"Benar."
Begitu Huncwe tersulut, Pho Ang-soat segera
mundur kembali dan balik ke posisi semula.
Tui hong siu perlahan-lahan mengisap
Huncwenya, kemudian baru mendongakkan
kepala, seolah baru sekarang dia melihat
kehadiran Pho Ang-soat.
"Oh, rupanya kau sudah datang?" sapanya
sambil tersenyum.
"Benar."
"Kedatanganmu sedikit terlambat."

"Lebih baik terlambat daripada sama sekali tak
datang."
"Aku justru berharap kau tidak kemari."
"Tapi kenyataan aku telah datang."
"Betul, akhirnya kau datang juga, kalau begitu
silakan," kata Tui hong siu, "silakan masuk ke
gedung utama."
Dari teropong itu Kim-hi dapat mengikuti
semua perkembangan itu dengan jelas, bahkan
bibirnya bergerak seakan mengucapkan sesuatu.
Melihat perbuatannya itu Ong-losiansing
tertawa, tanyanya, "Aku tahu, kau masih memiliki
semacam ilmu yang jarang dimiliki orang lain."
"Soal apa?"
"Membaca bahasa bibir."
"Membaca bahasa bibir?'
"Betul, asal kau dapat melihat gerakan bibir
seseorang sewaktu sedang berbicara, maka
segera akan kau tahu masalah apa yang sedang
mereka bicarakan."
"Kelihatannya kau sangat memahami tentang
aku, banyak hal tentang diriku yang telah kau
ketahui."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Kim-hi
sama sekali tidak menampilkan perasaan tak suka
hati, malah sambil tertawa katanya lebih jauh,
"Tentu saja kau banyak tahu tentang aku,
kalau tidak, mana mungkin kau menahan diriku?"

Ong-losiansing tertawa tergelak.
"Saat ini siapa yang sedang berbicara?"
tanyanya.
"Pho Ang-soat, dia bilang lebih baik datang
terlambat daripada sama sekali tak datang."
Mendengar itu Ong-losiansing segera
tersenyum.
"Sekarang Tui hong siu yang berkata, aku
justru berharap kau jangan kemari," kata Kim-hi
sambil melihat dengan teropong, "kemudian Pho
Ang-soat pun menjawab, tapi kenyataannya aku
telah datang."
Kembali Ong-losiansing manggut-manggut
sambil tersenyum.
Terlihat Kim-hi menggerakkan bibir berkomatkamit,
kemudian berkata lagi, "Kalau memang
sudah datang, silakan masuk ke gedung utama."
Bicara sampai di sini, gadis itu baru
menurunkan teropongnya sambil memperlihatkan
wajah sangsi.
"Kenapa kau?" tanya Ong-losiansing.
"Gedung utama? Kenapa dia mengundang Pho
Ang-soat masuk ke gedung utama?"
"Kalau ada tamu datang, tentu saja harus
dilayani secara baik di gedung utama," sahut
Ong-losiansing sambil tertawa, "masa akan kau
undang masuk ke dalam kamar tidurmu?"

Atas kata gurauan itu, bukan saja Kim-hi tidak
tertawa, dia malah menghela napas panjang.
"Aku bukan bocah tiga tahun, buat apa kau
meledek aku?"
Lalu setelah menatapnya tajam, ujarnya lebih
jauh, "Pho Ang-soat dari Ban be tong langsung
datang kemari, hal ini menunjukkan dia sudah
menaruh curiga terhadap kebun monyet, siapa
tahu dia pun memegang beberapa petunjuk yang
pasti. Dalam kondisi dan situasi seperti ini masa
kau masih tetap santai dan bergurau, sama sekali
tak terlihat kaget atau panik. Apakah sudah kau
persiapkan cara jitu untuk menghadapinya?"
Dengan perasaan bangga Ong-losiansing
manggut-manggut.
"Aku hanya tak habis mengerti, mengapa
bukannya kau giring dia memasuki ruang rahasia
milikmu yang penuh dengan jebakan maut,
sebaliknya malah mengundangnya ke gedung
utama?"
Sesudah menatap Ong-losiansing, desaknya,
"Kenapa begitu?"
Ong-losiansing tidak langsung mengemukakan
alasannya, mula-mula dia hanya tertawa,
kemudian berjalan mendekati meja, mengambil
cawan dan menuang arak, setelah dihirup seteguk
dan membiarkan arak mengalir ke dalam perut,
baru ia menjawab.
"Ada tiga hal pasti tidak kau ketahui," ujarnya
sambil tertawa, "pertama, Pho Ang-soat bisa

menemukan tempat ini karena memang akulah
yang memberi petunjuk agar dia sampai di sini,
coba kalau bukan begitu, sampai mati pun dia tak
bakal mencurigai kebun monyet. Kedua, ruang
jebakan rahasia untuk membunuh orang itu
khusus kurancang untuk menghadapi orang lain,
bila untuk orang lain mungkin bakal sangat
manjur, tapi untuk menghadapi Pho Ang-soat . . .
aku jamin sama sekali tak ada gunanya."
"Kenapa?"
"Karena dia adalah hasil didikan Pek-hong
Kongcu dari Mokau, Hoa Pek-hong," Onglosiansing
menjelaskan, "Soal alat jebakan, racun,
senjata rahasia dan berbagai ilmu sesat lainnya,
kujamin tak seorang pun di dunia persilatan yang
sanggup mengungguli kemampuan Mokau."
"Lalu siapa yang akan melayaninya di gedung
utama?" tanya Kim-hi kemudian.
"Kau!" sahut Ong-losiansing sambil menunjuk
gadis itu.
"Aku?" Kim-hi melengak, "aku yang harus
melayaninya?"
"Benar."
Begitu melangkah masuk ke gedung utama,
benda pertama yang terlihat Pho Ang-soat adalah
sebuah lukisan.
Lukisan itu berukuran luar biasa besar,
digantung membujur di atas dinding seberang.

Walau lukisan itu besar sekali, namun
pemandangan yang tertera justru amat
sederhana, hanya gambar seorang wanita sedang
duduk di sebuah kursi, sementara tangannya
menggendong seorang bayi yang sedang
menyusu.
Sang bayi adalah lelaki, sementara sang wanita
tak lain adalah lukisan Hong-ling.
Hong-ling yang berada dalam lukisan itu
secantik orangnya, sedang bayi dalam
bopongannya adalah seorang bocah berbaju
warna-warni, memakai topi merah, putih, gemuk,
menarik dan berusia sekitar dua-tiga bulan.
Meski masih kecil, tapi memiliki mata yang
besar, mata besar yang kelihatan dingin dan
kesepian.
Apakah bayi dalam bopongan Hong-ling adalah
darah dagingnya, putra kandungnya?
Mustahil, hal semacam ini jelas mustahil, tak
masuk akal.
Sejak melakukan hubungan badan dengan
Hong-ling hingga hari ini paling baru lewat
sepuluh hari, bagaimana mungkin dia sudah
melahirkan anak?
Jelas lukisan itu membawa arti lain,
mengingatkan Pho Ang-soat bahwa Hong-ling
masih berada di tangannya, berarti di kemudian
hari pun anak mereka akan terjatuh pula di
tangannya.

Sehabis memandang lukisan itu, paras muka
Pho Ang-soat sama sekali tidak menunjukkan
perubahan apa pun, sebab di hati kecilnya dia
begitu berharap bisa membopong bocah dalam
lukisan itu.
Saat ini, dalam kondisi seperti ini, dia harus
mampu menahan diri, bahkan hati dan pikiran
harus tetap terjaga tenang dan dingin.
Dia tak tahu siapakah pemilik lukisan yang
sebenarnya, manusia macam apakah dia dan ada
ancaman bahaya apa saja di tempat ini?
Semua ini dibutuhkan ketenangan, sikap dingin
dan emosi yang stabil untuk menghadapinya.
Tentu saja dalam gedung seluas itu tidak hanya
tergantung lukisan itu saja, terlihat aneka macam
senjata tergantung pula di sana.
Tapi jenis senjata terbanyak yang ada di situ
adalah dari jenis golok.
Ada golok tunggal, golok ganda, Yan ling-to,
Kui thau to, golok algojo, golok pendeta, golok
bergelang sembilan... bahkan ada pula sebilah
golok raja langit pemenggal setan yang panjang.
Yang paling menggetarkan hati Pho Ang-soat
adalah sebilah golok berwarna hitam yang
tergantung di dinding tengah.
Golok berwarna hitam pekat, hitam pembawa
kematian. Persis bentuknya dengan golok yang
berada dalam genggamannya sekarang.

Biarpun terdapat begitu banyak senjata yang
digantung sepanjang dinding ruangan, ternyata
tidak membuat dinding gedung itu dipenuhi
senjata, dari sini bisa diketahui betapa luasnya
bangunan itu.
Permukaan lantai gedung pun dilapisi berbagai
jenis karpet Persia yang indah dan menawan,
membuat suasana di tempat itu terasa begitu
hangat dan nyaman.
Hampir semua benda yang terdapat di sana
merupakan benda pilihan, selama hidup baru
pertama kali ini Pho Ang-soat menyaksikan
tempat yang begitu indah dan mewah.
Selain lukisan, senjata dan perabot rumah
tangga, dalam gedung itu tak nampak seseorang
pun, suasana begitu sepi, tenang, bahkan terselip
juga hawa dingin yang menyengat.
Sehabis memeriksa keadaan sekeliling tempat
itu, Pho Ang-soat berdiri tak bergerak, matanya
mengawasi lukisan di dinding, tapi seperti juga
menembusi dinding itu dan sedang memandang
suatu tempat di kejauhan sana.
Entah berapa lama sudah lewat, dari balik
keheningan yang mencekam, tiba-tiba terdengar
semacam suara yang sangat aneh.
Suara-itu berasal dari luar gedung, nada
tunggal, pendek terputus-putus, tinggi
melengking dan menyeramkan, suara demi suara
bersahut-sahutan dan bergema tiada hentinya.

Biarpun aneka senjata yang tergantung
di dinding memantulkan cahaya tajam, Pho
Ang-soat sama sekali tidak memandangnya
lagi, sebelum keadaan dan situasi
menjadi jelas, dia tak ingin
konsentrasinya terpecah karena urusan lain.
Tapi sekarang ia tak sanggup memusatkan
pikirannya lagi, suara lengkingan pendek yang
bersahut-sahutan masih saja bergema, suara itu
bagaikan sebuah gurdi yang tiada hentinya
mengebor urat syarat dan otaknya.
Sekalipun begitu, penampilannya masih tetap
tenang, Pho Ang-soat masih berdiri tak bergerak,
seakan-akan sama sekali tak terpengaruh oleh
suara gangguan itu.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba di
balik suara lengkingan tajam yang terputus-putus
kembali muncul suara lain.
Suara orang sedang membuka pintu, suara
gelang pintu yang sedang bergerak.
Dengan cepat sinar mata Pho Ang-soat
menangkap ada seorang nona berbaju kuning
yang amat cantik muncul dari sebuah pintu yang
terbuka di sisi kiri, muncul dan berdiri
menatapnya di depan pintu.
Gadis berbaju kuning itu sekilas mirip Hongling,
tapi dia bukan Hong-ling, usianya jauh lebih
muda.
Kecantikan nona itu jauh berbeda dengan
kecantikan Hong-ling, kecantikan Hong-ling

menunjukkan kematangan dan kedewasaan,
kecantikan gadis ini masih suci bersih dan polos,
gaun berwarna kuning yang panjang dan
bergoyang terhembus angin, sekilas tampak
seperti ekor ikan mas yang sedang bergoyang di
dalam air.
Setelah masuk ke dalam ruangan, dengan
lembut ia merapatkan pintu, lalu berjalan lewat di
samping Pho Ang-soat, menuju ke tengah
ruangan, setelah itu baru ia membalikkan badan
menghadap ke arah pemuda itu.
"Aku tahu kau adalah Pho Ang-soat," ternyata
suaranya semerdu dan semurni orangnya,
"tentunya kau tak tahu siapa aku bukan?"
Tentu saja Pho Ang-soat tidak mengetahui
siapakah dia, tapi ia tak berminat untuk banyak
tanya, si nona terpaksa memperkenalkan diri.
"Aku dari marga Kim, boleh dibilang masih
terhitung tuan rumah perempuan tempat ini, jadi
kau boleh memanggilku Kim-hujin."
Perkataannya langsung dan polos, jelas bukan
gaya seorang gadis yang suka bermanja-manja.
"Bila kau menganggap panggilan ini kelewat
resmi, boleh saja memanggilku sebagai Kim-hi."
Ternyata gadis bergaun kuning itu tak lain
adalah Kim-hi, si nona yang barusan mengintip
Pho Ang-soat dari atas loteng dengan teropong.

"Ikan mas adalah julukanku," ujar Kimhi
sambil tersenyum, "teman-temanku suka
memanggil aku dengan nama itu."
"Kim-hujin!" sapa Pho Ang-soat dingin.
Dia bukan teman gadis itu, dia memang
selamanya tak punya teman. Tentu saja Kim-hi
mengerti maksudnya, maka dia pun
tertawa gembira.
"Tak heran semua orang menyebutmu manusia
aneh, ternyata kau memang aneh sekali," kata
Kim-hi sambil tertawa, "hampir semua orang
yang pernah datang kemari pasti tertarik pada
koleksi senjata tajam yang terkumpul di sini, tapi
kau, jangankan tertarik, melirik sekejap pun
rasanya tidak."
Koleksi senjata tajam dalam ruangan itu
memang rata-rata senjata mestika, tidak mudah
untuk mengkoleksi begitu banyak senjata seperti
ini, bahkan bisa menonton pun amat susah.
Biasanya jarang ada orang persilatan yang
menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tapi Pho Ang-soat seolah tak menggubris,
seakan semua benda mestika itu tak cukup
pantas untuk dilihat.
Kim-hi berjalan mendekati dinding, mengambil
sebilah pedang besi yang antik bentuknya,
berwarna hitam dan amat berat, tanyanya,
"Tahukah kau pedang ini biasanya digunakan
siapa?"

Pho Ang-soat hanya memandang sekejap, lalu
jawabnya, "Pedang milik Kwik Siong-yang."
"Sungguh tajam pandanganmu," puji Kim-hi
sambil memainkan pedang itu, "meski senjata ini
hanya senjata tiruan, namun bentuk, bobot,
ukuran bahkan bahan yang digunakan sama
dengan pedang yang digunakan Kwik Siong-yang
tempo hari."
Pedang tiruan? Bentuknya sama seperti senjata
aslinya? Kalau senjata pun dapat dibuat
tiruannya, bagaimana dengan manusianya?
"Bahkan kuncir pedang ini pun dirajut sendiri
oleh nenek keluarga Kwik," kembali Kim-hi
menerangkan, "kecuali pedang besi warisan
keluarga mereka, rasanya sulit menemukan
keduanya di kolong langit."
Setelah menggantung kembali pedang itu, dia
mengambil cambuk panjang yang berwarna hitam
dan lentur bagaikan ular berbisa.
"Cambuk ini senjata Sebun Ji," Pho Ang-soat
berkata, "cambuk ular sakti ini berada pada
urutan ketujuh dalam kitab senjata tajam."
"Kalau kau bisa mengenali cambuk ular ini,
tentu dapat mengenali juga tongkat baja Cukat
Kong bukan?"
Sambil meletakkan cambuk panjang, kembali
dia mengambil sebuah martil berantai dari
samping tongkat baja.

"Hong yu siang liu sing (sepasang meteor,
hujan dan angin), pada urutan ketiga puluh
empat dalam kitab senjata," kata Pho Ang-soat
lagi.
"Sungguh hebat ketajaman matamu."
Suaranya dipenuhi pujian. Kali ini Kim-hi
mengambil sepasang gelang baja, katanya, "Saat
perkumpulan Kim ci pang malang melintang
dalam dunia persilatan, ketua mereka
Siangkoan Kim-hong pernah menggetarkan
kolong langit dengan mengandal sepasang gelang
naga angin ini."
"Salah, bukan senjata itu."
"Salah?"
"Itu gelang cinta, gaman andalan Thiat-hoanbun
di wilayah barat laut."
"Kalau memang senjata itu dipakai untuk
membunuh, kenapa disebut gelang cinta?"
"Karena bila senjata lawan tertempel oleh
gelang itu, maka dia akan menempel terus seperti
seorang yang terbuai oleh cinta," dari balik paras
mukanya yang pucat terlintas satu perubahan
aneh, "bila bibit cinta telah tumbuh, dia akan
melekat hingga ke tulang sumsum, sampai laut
mengering batu menjadi lapuk pun tak bakal
terlepas. Orang yang sedang jatuh cinta biasanya
gampang melakukan pembunuhan."
"Bila bibit cinta tertanam, sampai mati pun tak
akan terlepas. Terkadang bukan saja merugikan

orang, juga merugikan diri sendiri," kata Kim-hi
sambil menghela napas.
"Aku rasa justru merugikan diri sendiri."
"Betul, seringkah memang merugikan diri
sendiri."
Kedua orang itu saling berhadapan dengan
mulut membungkam, beberapa saat kemudian
Kim-hi baru berkata sambil tertawa, "Adakah di
antara senjata yang terdapat di sini tidak kau
kenal asal-usulnya?"
"Tidak ada."
"Semua senjata yang ada di sini rata-rata
mempunyai asal-usul yang hebat, senjata itu
pernah menggetarkan sungai telaga, memang tak
sulit mengenalinya satu per satu," kata Kim-hi
sambil tertawa.
"Memang tak ada masalah yang benar-benar
sulit di dunia ini."
"Sayang ada sementara senjata, meski sudah
lama menggetarkan kolong langit, sudah banyak
minta korban, namun jarang ada orang pernah
melihatnya, seperti misalnya...."
"Siau-li si pisau terbang?"
"Betul, Siau-li si pisau terbang, pisau yang tak
pernah meleset. Begitu hebatnya senjata ini
sampai Siangkoan Kim-hong yang disebut tiada
tandingan di kolong langit pun pada akhirnya
tewas oleh pisau terbang itu. Ai! Senjata ini.
memang betul-betul senjata nomor wahid di

kolong langit," ujar Kim-hi sambil menghela
napas, "sayangnya hingga detik ini, belum
pernah ada yang melihat senjata itu."
Cahaya pisau berkelebat menembus
tenggorokan, mana mungkin orang bisa
melihatnya dengan jelas?
"Oleh karena itu hingga kini masih merupakan
teka teki besar," kembali Kim-hi berkata,
"walaupun kami sudah menggunakan berbagai
cara dan akal, namun belum pernah berhasil
menciptakan sebilah pisau terbang yang
bentuknya persis sama."
"Pisau terbang milik Siau-li memang tak pernah
bisa ditiru," dengus Pho Ang-soat dingin.
Tiba-tiba Kim-hi tersenyum misterius,
gumamnya, "Untung kami tak perlu membuat
barang tiruan lagi."
Tiba-tiba tangannya diayunkan, tahu-tahu
sebilah pisau terbang telah berada dalam
genggamannya.
Sebilah pisau terbang sepanjang tiga cun tujuh
hun.
Memandang pisau terbang yang berada dalam
genggaman Kim-hi, kontan Pho Ang-soat
mengernyitkan alis.
"Pisau terbang milik Siau-li?"
"Betul," sahut Kim-hi sambil tertawa, "pisau
terbang milik Siau-li yang asli."

"Dimana Yap Kay sekarang?" tiba-tiba Pho Angsoat
bertanya.
"Yap Kay?" tegas Kim-hi tertegun, "mengapa
secara tiba-tiba kau bertanya tentang dia?"
"Pisau terbang itu milik Yap Kay," kata Pho
Ang-soat sambil menatap tajam senjata yang
berada di tangan gadis itu.
"Oh? Kenapa kau mengatakan pisau terbang itu
milik Yap Kay dan bukan milik Li Sun-hoan?"
"Li-tayhiap berkelana dalam dunia persilatan
pada empat-lima puluh tahun berselang, kini
jejaknya pun sudah menghilang paling tidak duatiga
puluh tahunan," kata Pho Ang-soat, "sewaktu
dia masih berkelana, orang susah melihat bentuk
pisau terbangnya, jejaknya pun sampai sekarang
tak ketahuan rimbanya."
Ia memperhatikan lagi pisau terbang di tangan
gadis itu, lalu ujarnya lebih jauh, "Beberapa hari
lalu Yap Kay dikabarkan menghilang, dan
sekarang secara tiba-tiba kau memiliki pisau
terbang, bukankah semua masalah menjadi jelas
sekarang?"
Kim-hi tertawa.
"Betul. Senjata ini memang pisau terbang milik
Yap Kay, sedang mengenai berada dimanakah
Yap Kay sekarang? Hehehe... bila saatnya tiba
kau akan tahu."

Kim-hi meletakkan pisau terbang itu di samping
sebilah golok berwarna hitam, lalu mengambil
golok itu.
Begitu golok dicabut dari sarungnya, cahaya
tajam pun berkilauan.
"Aku tahu golok ini bukan senjata yang boleh
dilihat orang," kata Kim-hi sambil tertawa,
"mungkin kau sendiri jarang melihatnya bukan?"
Paras muka Pho Ang-soat yang putih
pucat kini berubah makin pucat hingga
kelihatan bening, suaranya pun berubah sangat
dingin. "Aku tahu, ada sementara orang pun
begitu."
"Orang?"
"Ada sementara orang walau sudah lama
namanya menggetarkan dunia persilatan, sudah
banyak korban berjatuhan, namun belum pernah
ada orang yang bertemu dengan wajah aslinya,"
ujar Pho Ang-soat dingin, "seperti pemilik kebun
monyet ini."
"Ong-losiansing maksudmu?"
"Benar."
"Dia terkenal? Terkenal sebagai apa?"
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab,
dengan dingin ditatapnya gadis itu sekejap, lalu
ujarnya, "Giok kiam kek (jago pedang kumala)
dari Tiam-cong-pay, Ong San-seng, si pedang
kilat dari Shantung Kong Ceng-tiong, tombak
pengejar nyawa Ong Beng-meh, semuanya jago

kenamaan dunia persilatan yang susah ditemui,
hanya sayang mereka bukanlah pemilik kebun
monyet ini."
"Kenapa tak mungkin mereka?"
"Karena usia mereka terlalu muda, semenjak
ternama hingga kini baru berlangsung dua-tiga
puluh tahunan, usia mereka pun di antara lima
puluh hingga enam puluh tahun," ujar Pho Angsoat,
"sementara yang disebut Losiansing,
seharusnya usia dia sekarang sudah di atas
delapan puluh tahun."
"Oh?"
"Oleh karena itu setelah kuhitung, hanya satu
orang yang paling cocok dengan peranannya."
"Siapa?"
"Ong Ling-hoa!"
"Ong Ling-hoa," Kim-hi tertegun,
"maksudmu Ong Ling-hoa yang tersohor
bersama Sim Long, Cu Jit dan Him Miau-ji?"
"Benar!"
Bab 3. DONGENG DARI PUNCAK CU MU
LANG MA
Peristiwa yang terjadi dalam dunia persilatan
memang sukar diramal, seringkah dalam waktu
sekejap bisa terjadi peristiwa yang dipenuhi
kehebohan, kejadian romantis, menyerempat
bahaya serta menegangkan syaraf.

Setiap generasi, dalam dunia persilatan pasti
akan muncul tokoh yang menggetarkan dunia,
seperti misalnya zaman Coh Liu-hiang, waktu itu
ada Oh Thi-hoa, Bu-hoa Hwesio, Pian-hok Kongcu
Goan Sui-hun... zaman Li Sun-hoan terdapat
Siangkoan Kim-hong, A Fei, Hing Bu-bing, Lim
Sian-ji, Sun Siau-hong.
Sim Long adalah tokoh satu generasi di atas Li
Sun-hoan, tapi menyangkut kisahnya, hingga kini
masih banyak orang yang tertarik dan terpesona.
Ong Ling-hoa berasal satu zaman dengan Sim
Long, di masa itu dia sudah terhitung tokoh yang
luar biasa, setiap gerak-gerik dan tingkah-lakunya
selalu mendapat perhatian orang banyak, setiap
kali mencampuri satu kasus atau peristiwa, selalu
memancing pembicaraan hangat banyak orang.
Ilmu silat yang dipelajarinya amat banyak, tapi
yang paling menarik perhatian orang adalah
sepasang tangannya, dia mampu mengubah
bentuk wajah seorang menjadi bentuk apa pun,
hingga kini ilmu merubah mukanya masih
terhitung nomor wahid di kolong langit.
Biarpun ketika terkenal dia baru berusia dua
puluh tahunan, tapi hingga kini, walaupun dunia
persilatan telah dua kali berganti zaman, bila dia
masih hidup, paling tidak usianya sudah mencapai
sembilan puluh tahunan.
Bagi kebanyakan orang, usia sembilan puluh
sudah jadi seorang kakek tua yang peyot. Namun
bagi Ong Ling-hoa, kehebatan ilmu silatnya dan

kehebatan merubah wajahnya sama sekali tak
terpengaruh oleh bertambahnya usia.
"Ong Ling-hoa?"
Mula-mula Kim-hi tertegun, tapi kemudian ia
tertawa, bahkan tertawanya kelihatan begitu
aneh, begitu misterius.
"Atas dasar apa kau menduganya?" ia bertanya
sambil tertawa merdu, "kenapa kau tidak
menebak orang lain?"
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya dia malah bertanya lagi, "Sampai
kapan baru dia siap menjumpai aku?"
"Segera."
Dengan jawaban ini, tak disangkal lagi dia telah
mengakui bahwa Ong-losiansing pemilik kebun
monyet itu adalah Ong Ling-hoa.
"Kalau memang segera, buat apa sampai
sekarang dia masih berlatih mencabut pedang?"
jengek Pho Ang-soat dingin.
Suara tajam, pendek, tunggal dan melengking
itu masih bergema tiada hentinya, bergema susul
menyusul, apakah suara itu berasal dari suara
mencabut pedang?
"Ilmu pedang memiliki berjuta perubahan,
mencabut pedang hanya salah satu gerakan yang
paling gampang," kata Kim-hi, "begitu juga
dengan ilmu golok, berapa lama kau berlatih
mencabut golok?"

"Delapan belas tahun."
"Hanya untuk sebuah gerakan yang begitu
sederhana, kau berlatih selama delapan belas
tahun?"
"Aku merasa sayang karena tak dapat berlatih
lebih lama lagi."
Tiba-tiba Kim-hi menatapnya dan berkata, "Kali
ini kau keliru besar."
"Oya?"
"Dalam dua hal kau keliru besar," ujar Kim-hi
sambil tertawa. "Pertama, dia bukan sedang
berlatih mencabut pedang"
"Bukan?"
"Dia sedang mencabut golok."
"Mencabut golok?" tiba-tiba wajah Pho Angsoat
berkerut. "Kedua, dia pun bukan Ong Linghoa."
"Bukan?" kembali Pho Ang-soat terperanjat,
"maksudmu pemilik kebun monyet bukan Ong
Ling-hoa?"
"Bukan Ong Ling-hoa yang sedang berlatih
mencabut golok!"
Suara itu bukan berasal dari Kim-hi, melainkan
suara seorang yang amat ramah, suara itu
berasal dari belakang tubuh Pho Ang-soat.
Suara yang halus dan ramah, penuh
kesopanan, menunjukkan orang ini pernah

mendapat pendidikan tinggi dan tahu sopansantun.
Padahal kesopanan merupakan salah satu sisi
yang menunjukkan kekakuan dan sikap yang
dingin.
Untung suara orang ini membawa kesan
kehangatan, sekalipun kehangatan yang nyaris
mendekati kesadisan.
Dan hanya manusia macam Ong Ling-hoa yang
bisa menunjukkan kehangatan yang begitu
menakutkan.
Kini dia sudah di belakang tubuh Pho Ang-soat,
seandainya dalam genggaman dia membawa
senjata, setiap saat ia dapat menusuk bagian
tubuh yang mematikan di badan pemuda itu.
Pho Ang-soat sama sekali tak berpaling,
bergerak pun tidak. Dia memang tak mampu
bergerak.
Baru suara tadi berkumandang, ia sudah
merasakan datangnya ancaman hawa membunuh
tanpa wujud yang begitu kuat, begitu rapat, yang
mengancam punggungnya, asal dia sedikit
bergerak, entah gerakan seperti apa pun,
kemungkinan besar akan menciptakan peluang
bagi pihak lawan untuk melancarkan serangan.
Bahkan jika ada otot tubuh yang mengejang
pun kemungkinan besar dapat menciptakan
kesalahan yang fatal.

Tentu saja dia pun tahu, manusia macam Ong
Ling-hoa mustahil akan membokongnya, kendati
pun begitu dia tetap harus waspada dan berjagajaga.
Biarpun rambutnya sudah beruban, biar di
sudut matanya sudah muncul banyak kerut
ketuaan, namun dari balik matanya masih
terpancar kecerdasan, kesantunan, keramahan
dan kekanak-kanakan yang kental.
Setelah berdiri sejenak di belakang tubuh Pho
Ang-soat, tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya
masih halus dan penuh kesopanan.
"Ternyata kau memang tak malu disebut
jagoan yang tiada duanya di kolong langit," ujar
Ong-losiansing.
Pho Ang-soat belum juga menjawab, dia masih
berdiri tanpa bergerak.
Mendadak Kim-hi menyela, "Hingga kini dia
sama sekali tak bergerak, darimana kau tahu dia
adalah seorang jagoan hebat?"
"Justru karena dia tak bergerak, maka dialah
jagoan yang tiada duanya di kolong langit."
"Masa tidak bergerak jauh lebih susah daripada
bergerak?"
"Tentu lebih susah, bahkan jauh lebih
susah," sahut Ong-losiansing sambil tertawa.
"Aku tidak mengerti."

"Kau seharusnya mengerti. Andaikata kau jadi
Pho Ang-soat, bila tahu secara tiba-tiba ada orang
macam aku muncul di belakangmu, apa yang
akan kau lakukan?"
"Aku pasti akan sangat terkejut."
"Bila kau terkejut berarti akan meningkatkan
kewaspadaan, bila kau waspada maka tubuhmu
akan bergerak. Jika kau bergerak maka kematian
pasti akan berada di depan mata."
"Kenapa?"
"Karena kau tak tahu dari sudut mana aku
bakal melancarkan serangan, oleh sebab itu biar
mau bergerak ke arah mana pun, gerakan itu
besar kemungkinan akan menciptakan kesalahan
fatal yang bisa menyebabkan kematian."
"Oh, mengerti aku sekarang," seru Kim-hi, "bila
manusia tangguh semacam kau secara tiba-tiba
muncul di belakang tubuh seseorang, tak urung
lawan pasti akan tegang bercampur panik, biar
orangnya tak bergerak pun otot-otot
punggungnya pasti akan mengejang."
"Ya benar, sayang dia sama sekali tidak," Onglosiansing
menghela napas panjang, "biarpun
sudah cukup lama aku berdiri di belakang
tubuhnya, namun seluruh tubuhnya, dari atas
hingga ke bawah, sama sekali tak terjadi
perubahan."
"Ai! Sekarang aku baru mengerti, rupanya tidak
bergerak memang jauh lebih sulit daripada
bergerak," Kim-hi menghela napas panjang.

Bila kau sudah tahu ada seorang jagoan
tangguh macam Ong Ling-hoa berdiri di
belakangmu, tapi seluruh otot tubuhmu masih
tetap mengendor dan santai, hal ini menunjuikkan
syarafmu pasti jauh lebih dingin daripada
bongkahan salju abadi.
"Bila ia tak bergerak, masa kau tak punya
kesempatan untuk turun tangan?" kembali Kim-hi
bertanya.
Ong-losiansing tertawa lebar.
"Tidak bergerak itu bergerak, akhir dari seluruh
perubahan dan gerakan adalah tidak bergerak."
"Kosong itu isi, isi itu kosong, kenapa dari isi
bisa berubah jadi kosong, kenapa dari kosong
bisa berubah jadi isi? Sebab tubuhnya telah
berubah jadi kosong, tanpa wujud, mengapung
dan melayang kemana pun, karena dia kosong,
karena dia berubah jadi berada dimana-mana
maka kau pun tak akan tahu berada dimanakah
dia dan mau diserang darimana."
"Hahaha, sudah kuduga, kau pasti mengerti
akan teori itu," puji Ong-losiansing sambil tertawa
tergelak.
"Kalau aku pun tahu orang macam kau tak
bakal membokongnya dari belakang, kenapa dia
sendiri seolah tidak paham akan hal ini?" kembali
Kim-hi bertanya.
Ong-losiansing tidak segera menjawab, dia
menghela napas lebih dulu, kemudian berjalan
meninggalkan belakang tubuh Pho Ang-soat,

berjalan ke depan dan baru berhenti setelah
saling berhadapan dengan lawan.
"Karena dia adalah Pho Ang-soat dan aku
adalah Ong Ling-hoa."
Dengan pandangan dingin Pho Ang-soat
mengawasi Ong Ling-hoa, sementara Ong Linghoa
dengan wajah ramah balas memandang Pho
Ang-soat.
"Kesalahan kedua yang dia katakan kepadamu
tadi adalah orang yang sedang berlatih mencabut
golok di luar sana bukanlah aku," kembali Ong
Ling-hoa berkata sambil tertawa.
Pho Ang-soat tetap tak bergerak.
"Selama seratus tahun terakhir, ada begitu
banyak jago golok yang muncul di dunia
persilatan, ilmu golok hasil ciptaan baru pun ada
delapan puluh enam macam dengan perubahan
gerak dan jurus yang aneh dan sakti," kata Ong
Ling-hoa, "banyak di antaranya menciptakan
jurus yang aneh dan tak masuk akal, tapi cara
mencabut golok tetap hanya satu saja."
"Bukan hanya satu macam," akhirnya Pho Angsoat
buka suara, "hanya saja yang tercepat
memang hanya satu."
"Satu macam yang mana?"
"Yang sederhana biasanya yang paling cepat."
"Untuk mencapai taraf seperti itu pun orang
harus berlatih dan berlatih terus, memangnya
tanpa pengalaman bisa?"

Semua perubahan yang ada dalam ilmu silat,
tujuan terakhirnya memang hanya satu, cepat!
"Orang di luar sana harus berlatih hampir lima
tahun lamanya sebelum berhasil menemukan
sebuah cara, bahkan untuk sebuah cara yang
begitu sederhana, dia butuh delapan belas tahun
untuk melatihnya, malah hingga sekarang pun
setiap hari paling tidak dia harus berlatih selama
tiga jam."
Ditatapnya kembali wajah Pho Ang-soat, tibatiba
sorot matanya yang semula ramah berubah
jadi setajam mata golok, sepatah demi sepatah
ujarnya, "Tahukah kau apa tujuan dia berlatih
tekun mencabut golok?"
"Untuk menghadapi aku?"
"Lagi-lagi keliru besar," kembali Ong Ling-hoa
menghela napas panjang, "dia tidak harus
menghadapi dirimu, juga bukan gara-gara harus
menghadapimu."
"Oh?"
"Yang ingin dia hadapi adalah semua jago lihai
dunia persilatan, karena dia sudah bertekad ingin
menjadi manusia nomor wahid di kolong langit."
Kontan Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Jadi disangkanya bila berhasil mengalahkan
aku, maka dia akan menjadi jagoan nomor satu?"
"Hingga detik ini, dia memang berpendapat
begitu."

"Kalau begitu dia salah besar. Dunia persilatan
adalah sarang naga gua harimau, tak terhitung
jagoan dalam Bu-lim yang memiliki ilmu silat jauh
di atas kemampuanku."
"Tapi sampai sekarang belum ada seorang pun
yang mampu mengalahkan dirimu," sela Ong
Ling-hoa sambil tertawa, "aku sendiri pun dapat
melihat, bukan pekerjaan gampang bila ingin
mengalahkan dirimu. Di antara sekian orang yang
pernah kemari, kau memang satu-satunya tamu
yang paling istimewa."
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, dia
membungkam.
"Koleksi senjata tajam yang kugantungkan di
atas dinding itu bukan koleksi terlengkap,
semuanya merupakan barang pilihan. Asal orang
pernah berlatih silat, pasti akan tertarik dan
memperhatikan beberapa saat, hanya kau
seorang yang sama sekali tidak tertarik."
Bicara sampai di situ tiba-tiba Ong Ling-hoa
menghela napas panjang, tambahnya, "Yang
lebih aneh lagi, ternyata kau sama sekali tidak
memperhatikan lukisan yang berada di atas
dinding sebelah kanan."
"Dinding sebelah kanan? Di situ pun ada
gambarnya?" tanya Pho Ang-soat tertegun.
Seingat Pho Ang-soat, dinding di sebelah kanan
kosong tanpa lukisan, kenapa dibilang ada
gambarnya?

"Asal kau mau menengok sekejap, pasti akan
kau ketahui apakah di sana ada lukisan atau
tidak," kata Ong Ling-hoa lagi sambil tertawa.
Pho Ang-soat pun berpaling ke dinding sisi
kanan, tapi begitu melihat, dia langsung
tertegun.
Dinding yang semula kosong ternyata sekarang
telah bertambah dengan sebuah lukisan.
Sebuah lukisan tokoh silat, ada begitu banyak
tokoh terkenal yang terpampang di situ,
semuanya terlukis begitu hidup dan indah.
Tampaknya lukisan itu mengisahkan satu
cerita, dalam setiap cerita selalu muncul orang
yang sama dan orang itu tak lain adalah Pho Angsoat.
Begitu Pho Ang-soat berpaling, pada
pandangan pertama ia sudah melihat gambar
lukisan diri sendiri.
Dalam suasana yang redup, di sebuah kota
kecil yang hening, di dalam sebuah rumah
makan, terlihat dua orang sedang duduk, yang
satu adalah Yap Kay dan seorang lagi Pho Angsoat.
"Kau pasti masih teringat adegan ini bukan,
ketika pertama kali kau bertemu Yap Kay di
rumah makan Siang-ki-lau," ujar Ong Ling-hoa.
Tentu saja Pho Ang-soat masih ingat, waktu itu
untuk pertama kalinya dia mendatangi Ban be
tong di perbatasan, datang dengan membawa

golok hitamnya dan rasa dendam kesumat yang
membara untuk mencari Be Khong-cun dan
menuntut balas.
Pada lukisan kedua tergambar Pho Ang-soat
berada dalam sebuah kamar, sedang bergumul
dengan seorang wanita.
Perempuan di lukisan itu adalah Cui long, tentu
saja Pho Ang-soat tak bisa melupakan kejadian
malam itu. Ketika menyaksikan lukisan ini,
perasaan pilu kembali melintas di wajah Pho Angsoat,
namun yang dipikirkan sekarang justru
Hong-ling.
Hong-ling, dimana kau sekarang? Apa sudah
terjatuh ke tangan Ong Ling-hoa? Atau seperti
apa yang kau katakan dalam suratmu, kau
berbuat begini karena ingin membalas dendam?
Ong Ling-hoa sedang mengawasi Pho Ang-soat,
begitu juga dengan Kim-hi.
Biarpun sempat terlintas perasaan pilu di balik
matanya, namun hanya sekejap, dengan cepat
Pho Ang-soat mengalihkan pandangan matanya
ke lukisan ketiga.
Gambar ketiga melukiskan ruang gedung
penerima tamu di Ban be tong, di sana duduk
segerombol manusia, Be Khong-cun berada paling
tengah, sementara Yap Kay duduk di samping
Pho Ang-soat.
Gambar keempat melukiskan sebuah kedai
arak, dimana Cui long dan seorang pemuda
penarik kereta sedang bergandengan tangan

meninggalkan tempat itu, sementara Pho Angsoat
seorang diri duduk dalam kedai sambil
minum arak.
Melihat sampai di sini, kembali Pho Ang-soat
merasakan hatinya amat sakit.
Gambar berikut, ruang utama keluarga Ting,
banyak orang hadir di sana dan saat itulah semua
rahasia terkuak. Pho Ang-soat baru tahu dirinya
hanya seorang anak yatim piatu, bukan putra Pek
Thian-ih seperti yang diduganya semula.
Ternyata Yap Kay lah yang sebetulnya
mempunyai dendam kesumat selama delapan
belas tahun ini. Impian buruk yang dipikul hampir
delapan belas tahun pada akhirnya hanya
kehampaan, sebuah akhir yang amat tragis.
Lukisan pun berakhir sampai di situ, sekali lagi
Pho Ang-soat mengalihkan pandangannya ke
depan, bukan sedang merenungkan kejadian
yang tertera atau bersedih hati karena terkenang
masa lalu, ia sedang menunggu penjelasan Ong
Ling-hoa.
Menunggu penjelasan mengapa ia diminta
menyaksikan lukisan itu. Ternyata Ong Ling-hoa
memang tidak membiarkan dia menunggu
kelewat lama, dengan cepat penjelasan
diberikan, hanya saja penjelasan itu ditujukan
kepada Kim-hi.
"Lukisan itu menggambarkan peristiwa yang
dialami Pho Ang-soat pada sepuluh tahun

berselang," kata Ong Ling-hoa, "tahukah kau
mengapa kuperlihatkan gambar itu kepadanya?"
"Aku tahu," Kim-hi manggut-manggut.
"Oya?"
"Tujuanmu adalah untuk mengingatkan dia
akan kejadian pada sepuluh tahun berselang."
"Benar, tahukah kau mengapa aku harus
mengingatkan dia akan peristiwa sepuluh tahun
berselang?"
"Kalau soal ini aku kurang jelas."
"Sepuluh tahun lalu memang telah terjadi
peristiwa itu, bahkan telah berakhir," Ong Linghoa
membalikkan badan menghadap Pho Angsoat,
kemudian lanjutnya, "Orang-orang yang
muncul di Ban be tong waktu itu memang benarbenar
telah mati semua pada sepuluh tahun yang
lalu."
"Lantas siapa Be Khong-cun dan antekanteknya
yang muncul kembali ini?" tanya Pho
Ang-soat sambil mencorongkan sinar dingin dari
matanya.
"Be Khong-cun pribadi," jawab Ong Ling-hoa
tertawa.
"Dia pribadi? Kalau begitu Be Khong-cun yang
muncul sepuluh tahun berselang adalah Be
Khong-cun gadungan?"
"Tidak, Be Khong-cun sepuluh tahun berselang
pun tetap Be Khong-cun sendiri."

"Berarti Be Khong-cun yang tewas sepuluh
tahun berselang pun Be Khong-cun pribadi?"
tanya Pho Ang-soat dengan terkejut bercampur
heran.
"Benar."
"Dan Be Khong-cun yang sekarang pun Be
Khong-cun asli?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin? Masa setelah mati dia
bisa bangkit dan hidup lagi?" tanya Pho Ang-soat
dengan wajah diliputi perasaan kaget bercampur
ragu.
"Tidak, mana mungkin peristiwa semacam itu
bisa terjadi di dunia ini?" kata Ong Ling-hoa
tertawa, "kalau orang sudah mati, dia tetap mati,
mustahil bisa hidup lagi."
"Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Yang tewas pada sepuluh tahun berselang
adalah Be Khong-cun, yang muncul sepuluh tahun
kemudian tetap Be Khong-cun, kalau orang mati
tak bisa hidup kembali, lalu apa yang terjadi
dengan Be Khong-cun yang muncul sepuluh tahun
kemudian?
Kali ini Pho Ang-soat benar-benar dibuat bodoh.
Senyuman yang menghiasi wajah Ong Ling-hoa
masih tetap ramah, tiba-tiba ia mengajukan satu
pertanyaan yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan masalah itu.

"Tahukah kau puncak gunung yang tertinggi di
dunia, gunung Cu mu lang ma?"
Tentu saja Pho Ang-soat tahu puncak Cu mu
lang ma selalu diliputi salju abadi, bahkan konon
di puncak gunung itu banyak terdapat mestika
langka.
"Di bawah puncak Cu mu lang ma terdapat
suku terasing yang hidup jauh dari keramaian
dunia, suku terasing itu bernama suku Damu,"
ujar Ong Ling-hoa lebih jauh.
Pho Ang-soat tahu, jelas bukannya tanpa sebab
Ong Ling-hoa menyinggung suku Damu yang
tinggal di bawah puncak gunung Cu mu lang ma,
dia yakin suku asing itu pasti mempunyai
hubungan yang erat dengan masalah Be Khongcun.
"Cara hidup serta kebiasaan suku Damu yang
berdiam di bawah puncak Cu mu lang ma jauh
berbeda dengan kebiasaan hidup orang pada
umumnya, karena tempat tinggal mereka jauh di
bawah puncak gunung tertinggi di dunia, dimana
sepanjang tahun susah bertemu air hujan, apalagi
mata air atau danau."
Dari mimik muka Ong Ling-hoa, dia seakan
sedang berada di bawah puncak bukit itu.
Oleh karena itu orang-orang suku Damu tidak
biasa minum air tawar, tapi mengisap dari
batuan es.
Bagi suku Damu, air sama pentingnya seperti
nyawa sendiri, bagi mereka hanya wanita hamil

yang boleh meneguk dua tetes air, dua tetes air
yang dicairkan dari bongkahan salju.
Kehamilan pun bagi suku Damu merupakan
satu kejadian yang langka, karena jumlah
penduduk mereka amat sedikit, sementara
hubungannya dengan dunia luar pun terpisah,
maka melahirkan anak bagi suku mereka
merupakan satu kejadian penting.
Entah sejak kapan, ketika seorang wanita hamil
mengisap batu es dalam sebuah gua salju
kemudian melahirkan sepasang anak kembar,
maka sejak itulah perempuan yang melahirkan
anak kembar itu diangkat menjadi ratu kehamilan
dalam masyarakat suku Damu.
Maka semua wanita hamil dari suku Damu pun
mulai minum batu beku yang ada dalam gua
salju, asal meneguk air dari batu itu, mereka
pasti akan melahirkan bayi kembar.
Kalau bayi kembar yang dilahirkan suku lain
mungkin ada yang berbeda, maka bayi kembar
yang dilahirkan orang-orang suku Damu
mempunyai kesamaan yang nyaris tak ada
bedanya.
Jenis kelamin, tinggi pendek, kurus gemuk,
watak, kebiasaan, hampir semuanya sama persis,
biar dua orang yang berbeda namun mereka
seolah satu orang yang sama.
"Biarpun mereka berdua dipisahkan jauh jauh,
asal ada salah satu di antaranya terluka, maka

yang lain pasti akan merasakan kesakitan juga,"
Ong Ling-hoa menerangkan.
Apakah semua itu hanya cerita? Kisah nyata?
Atau dongeng?
Pho Ang-soat nyaris terpikat oleh cerita itu.
"Benarkah ada tempat semacam ini?"
tanyanya.
"Benar, ada!"
Tiba-tiba Ong Ling-hoa bertepuk tangan satu
kali, suara mencabut golok yang melengking dan
tak sedap itu pun seketika berhenti, lalu pintu
ruangan terbuka lebar, seorang bertubuh tinggi
besar muncul di depan pintu.
Orang itu tinggi besar bagaikan malaikat langit,
tapi wajahnya dipenuhi keriput, dari balik setiap
kerutannya terbesit pengalaman nya yang penuh
kegetiran dan ancaman bahaya, dia pun seakan
sedang memberitahu kepada orang lain bahwa
tiada persoalan di dunia ini yang sanggup
menjatuhkan dirinya.
Orang itu bukan lain adalah Be Khong-cun.
Menyaksikan kemunculan Be Khong-cun di
depan pintu, Ong Ling-hoa berkata lagi kepada
Pho Ang-soat, "Masih ada satu hal lagi yang lupa
kusampaikan kepadamu, anak kembar yang
dilahirkan suku Damu selalu diberi nama yang
sama."
Kemudian sambil membalikkan badan dan
menuding Be Khong-cun yang ada di depan pintu,

tambahnya, "Seperti kebiasaan yang berlaku
dalam suku Damu terhadap anak kembar yang
dilahirkan, nama mereka pun sama, dipanggil Be
Khong-cun!"
Bab 4. BE HONG-LING
Dalam sebuah negeri nun jauh di sana, Damu
mempunyai dua arti yang berlainan.
Semua anak yang dilahirkan dalam kelompok
suku Damu harus sepasang anak kembar, bukan
saja tabiat, kebiasaan, tinggi pendek, gemuk
kurus serta jenis kelaminnya harus sama, bahkan
nama mereka pun harus sama.
Pada suatu musim, dalam kelompok suku
Damu ada tujuh orang wanita hamil yang
melahirkan tujuh pasang kembar, mereka
memberi nama untuk ketujuh pasangan kembar
itu sebagai, Be Khong-cun, Kongsun Toan, Hun
Cay-thian, Hoa Boan-thian, Hwi thian ci cu, Loh
Loh-san dan Buyung Bing-cu.
Sampai di sini jelas sudah masalah yang
sebenarnya telah terjadi.
Di dunia ini tak mungkin terdapat manusia mati
yang bisa hidup kembali, tak seorang pun bisa
menciptakan manusia dengan wajah dan
perawakan tubuh yang sama.
Sepuluh tahun yang lalu Be Khong-cun,
Kongsun Toan, Hun Cay-thian, Hoa Boan-thian,
Hwi thian ci cu, Loh Loh-san dan Buyung Bing-cu

telah tewas, tapi mereka masih mempunyai
saudara kembar yang masih hidup.
Oleh karena itulah sepuluh tahun kemudian di
gedung Ban be tong telah muncul kembali Be
Khong-cun dan antek-anteknya dalam keadaan
segar-bugar.
"Walaupun Be Khong-cun telah kau kalahkan
pada sepuluh tahun berselang," ujar Ong Ling-hoa
sambil menatap Pho Ang-soat, "tapi Be Khongcun
yang muncul sepuluh tahun kemudian justru
berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan
dirimu."
"Kalau memang mereka adalah saudara
kembar, Be Khong-cun saja sudah keok di
tanganku pada sepuluh tahun berselang,
bagaimana mungkin Be Khong-cun yang muncul
sepuluh tahun kemudian dapat mengungguli
diriku?" jengek Pho Ang-soat dingin.
Be Khong-cun balas menatap Pho Ang-soat,
wajahnya sama sekali tidak menampilkan
perubahan apa pun, bahkan suaranya pun tetap
hambar, "Justru karena dia kalah, maka aku
harus menang."
Mendadak dari balik sinar matanya terpancar
perasaan pedih, lanjutnya, "Kalau tidak, akulah
yang bakal mati."
"Aku tidak mengerti."
"Kau seharusnya mengerti," sahut Be Khongcun
hambar, "karena semua kejadian itu harus
kau lakukan."

Pho Ang-soat balas menatap wajah Be Khongcun
yang penuh diliputi kedukaan, sejenak
kemudian dia mengangguk.
"Benar, memang ada sementara persoalan
yang harus kulakukan hingga tuntas."
"Aku tahu kau pasti bakal mengerti."
Pho Ang-soat tidak memandang ke arah Be
Khong-cun lagi, ia membalikkan badan
menghadap Ong Ling-hoa, tanyanya dingin, "Lalu
kau berharap kapan kami bisa melangsungkan
pertarungan ini?"
"Aku yang berharap?" kembali Ong Ling-hoa
memperlihatkan senyuman ramahnya, "masalah
ini adalah menyangkut kalian berdua, kenapa aku
yang memutuskan?"
"Kalau memang persoalan ini merupakan
persoalan pribadi kami berdua, mengapa pula kau
mengatur pertemuan ini?" dengus Pho Ang-soat
dingin.
"Kejadian di dunia bagaikan awan di angkasa,
siapa yang bisa mengatur? Siapa yang bisa
menyiapkan?" kata Ong Ling-hoa sambil tertawa,
"sepuluh tahun berselang kau telah menanam
bibit jadi kau pula yang harus memetik buah
sepuluh tahun kemudian."
"Tampaknya aku tak punya pilihan lain lagi."
"Kalau tempat untuk duel sudah ditentukan,
tentu waktunya mesti kau sendiri yang memilih,"
kata Be Khong-cun hambar.

"Tiga hari kemudian!" tanpa pikir panjang
jawab Pho Ang-soat.
"Tiga hari kemudian?"
Mendengar jawaban itu agaknya Ong Ling-hoa
merasa terperanjat, sambil membelalakkan mata
dia mengawasi Pho Ang-soat.
"Aku masih ingat, ketika kau menantang
Kongcu Gi untuk berduel dulu, waktu yang kau
gunakan hanya satu hari."
"Benar."
"Aku pun masih ingat, sepanjang perjalanan
hidupmu, baik menghadapi pertarungan besar
maupun kecil, tak pernah waktunya melebihi satu
hari."
"Benar."
"Mengapa kali ini tiga hari? Apakah musuhmu
kali ini telah memberi tekanan yang kelewat besar
terhadap dirimu?" jengek Ong Ling-hoa.
"Bukan."
"Lantas karena apa?"
"Karena masih ada tiga persoalan yang harus
kuselidiki dulu hingga tuntas."
"Tiga persoalan yang mana?"
"Apakah Yap Kay berada di tanganmu?" tanya
Pho Ang-soat.
"Benar."
"Aku boleh bertemu dengannya?"

"Boleh saja."
Baru selesai Ong Ling-hoa menjawab, ia sudah
bertepuk tangan tiga kali, dinding dekat sudut
ruangan pun bergeser ke samping.
Dengan terbukanya dinding itu, Pho Ang-soat
segera dapat melihat Yap Kay, dia berada di balik
sebuah ruangan yang dilapisi batu kristal tebal.
Pho Ang-soat lihat Yap Kay sedang berbaring di
atas sebuah meja yang terbuat dari kristal, sama
sekali tak bergerak.
Kelihatannya Yap Kay tidak tahu saat itu
sedang diawasi orang lain, dia berbaring tenang,
sepasang matanya yang jeli seolah sedang
berpikir, tapi dia pun mirip berada dalam
keadaan tak sadarkan diri.
Diiringi tepuk tangan ringan, dinding itu
kembali merapat. Ong Ling-hoa segera berpaling
lagi ke arah Pho Ang-soat sambil bertanya, "Apa
persoalanmu yang kedua?"
Kembali Pho Ang-soat menatap dingin wajah
Ong Ling-hoa, "Apakah Hoa Pek-hong berada di
tanganmu juga?"
"Tidak," sahut Ong Ling-hoa sambil tertawa,
"aku rasa tak seorang pun di dunia ini yang
bertindak bodoh dengan mengganggu tuan putri
dari Mokau."
"Lalu bagaimana dengan semua perabot yang
kulihat dalam kamar losmenku?"

"Tentu saja hasil boyonganku dari tempat
tinggal Hoa Pek-hong," kata Ong Ling-hoa
tertawa, "aku sengaja mengutus orang mengirim
perabot rumah tangga yang terbaru supaya kau
bisa lebih nyaman. Begitulah, dengan terangterangan
kuangkut semua perabot lama dari
rumah tinggalnya."
Rasanya hanya Ong Ling-hoa yang bisa berpikir
semacam itu dan melakukannya.
"Apa masalahmu yang ketiga?" tanya Ong Linghoa
sambil tertawa penuh arti, "apakah
menyangkut urusan Hong-ling? Apakah kau ingin
bertanya kepadaku, benarkah masalah yang
menyangkut Hong-ling adalah bagian dari
rencana besarku?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya
memandang Ong Ling-hoa dengan pandangan
ketus.
"Aku sengaja mengutus A-jit untuk
membunuhmu, tujuannya memang agar Hongling
membencimu, agar Hong-ling menuntut balas
kepadamu," Ong Ling-hoa menjelaskan, "tak
banyak orang persilatan yang tidak takut dengan
cara Hong-ling menuntut balas."
Pho Ang-soat sama sekali tidak menunjukkan
reaksi apa pun, dia masih mengawasi Ong Linghoa
dengan pandangan dingin, mengawasi sambil
menunggu ia melanjutkan kembali kata-katanya.
"Aku sendiri pun tidak menyangka cara Hongling
menuntut balas terhadapmu ternyata

menggunakan cara seperti ini," lagak Ong Linghoa
seolah menaruh simpatik terhadap Pho Angsoat,
"mungkin hanya dia yang bisa memikirkan
cara seperti ini dan melaksanakannya"
Mengorbankan bagian paling berharga dari
seorang wanita, agar bisa melahirkan seorang
anak untuknya, kemudian dia pun mendapat
kesempatan untuk membunuh seorang sanaknya.
Siapa yang mau percaya dengan cara balas
dendam semacam ini?
Kembali perasaan simpatik melintas di wajah
Ong Ling-hoa, namun di balik sorot matanya
justru mengembang senyum ejekan yang sinis.
Pho Ang-soat yang nyaris tanpa emosi masih
berdiri di situ tanpa bergerak, sepasang matanya
yang dingin dan kesepian masih tetap
menunjukkan rasa dingin dan kesepiannya.
"Bukankah aku telah menjawab pertanyaanmu
yang ketiga?" tanya Ong Ling-hoa.
Sekali lagi Pho Ang-soat memandang sekejap
wajah Ong Ling-hoa, kemudian ia membalikkan
badan menuju ke hadapan Be Khong-cun,
tanyanya, "Apakah Be Hong-ling itu putrimu?"
Pertanyaan ini datangnya sangat mendadak,
membuat Be Khong-cun melengak, tapi dia tetap
menjawab,
"Benar."
Pho Ang-soat tertawa, walaupun hanya
senyuman yang tawar, namun bagaimana pun

juga dia telah tertawa, selagi sisa senyuman
masih tergantung di ujung bibirnya ia telah
membalikkan tubuh memandang lagi ke arah Ong
Ling-hoa.
"Aku rasa kau tentu sudah menyiapkan peti
mati atau tempat tinggal untukku bukan?" ujar
Pho Ang-soat hambar.
"Tepat sekali," Ong Ling-hoa tertawa tergelak,
"malah aku berani menjamin ukuran peti mati itu
pasti pas untuk badanmu."
"Apakah kau merasa sangat puas?"
"Tentu saja, puas sekali."
"Baguslah kalau begitu."
Yap Kay yang berbaring di atas altar kristal
nampaknya seperti amat tenang, padahal ia
sudah hampir mendekati tak sadarkan diri.
Dia sudah tak ingat berapa lama berbaring di
tempat itu, dia pun tak tahu sekarang sudah
terang tanah atau masih malam?
Yang diketahui olehnya hanya keempat anggota
badannya semakin lemas tak bertenaga,
sepasang matanya makin lama semakin gelap.
Sudah berapa lama ia tak bersantap? Tentu
saja dia lebih tak jelas lagi, hanya lamat-lamat
dia masih ingat, sejak tersadar hingga kini sudah
sebelas kali dia diloloh cairan encer, mungkin
cairan bubur.

Dengan kondisi tubuhnya yang begitu lemah,
jangankan mau melarikan diri, melawan bocah
tiga tahun pun belum tentu dia bisa menang.
Mau melarikan diri? Mungkinkah itu?
Dengan susah payah Yap Kay tertawa getir, ia
sadar dengan kondisi tubuhnya sekarang paling
dia hanya bisa bertahan selama dua hari lagi.
Bila dalam dua hari ini tak muncul keajaiban,
maka biarpun orang lain tidak membunuhnya,
karena kelaparan yang luar biasa dia bisa mati
secara mengenaskan.
Padahal tidak banyak keajaiban yang terjadi di
dunia ini.
Hening, sepi, seakan mencekam seluruh
ruang rahasia.
Di tengah keheningan yang mencekam itulah
mendadak terdengar suara gigi roda yang
berputar, Yap Kay tahu suara itu berasal dari
terbukanya pintu rahasia.
Benar saja, dengan berhentinya suara gigi
roda, di depan pintu muncul seseorang, seorang
kakek dengan wajah penuh keriput tapi tampak
sangat ramah.
Sambil tertawa Ong Ling-hoa berjalan
menghampiri Yap Kay, dengan ibu jari dan jari
telunjuknya dia membuka kelopak matanya dan
memeriksa biji matanya, dipegangnya nadi
tangan kiri pemuda itu dan memeriksa denyut

nadinya. Setelah itu dengan penuh rasa puas dia
manggut-manggut.
"Kelihatannya besok sudah bisa dimulai,"
gumam Ong Ling-hoa.
"Dimulai? Dimulai apa?" tanya Yap Kay dengan
nada lemah.
"Dimulainya harapan terbesar dalam hidupku"
jawab Ong Ling-hoa dengan pancaran sinar 'dewa'
dari wajahnya, "merupakan juga langkah pertama
umat manusia menuju panjang usia."
"Panjang usia," Yap Kay mulai tertawa,
"kelihatannya kau seperti sudah menemukan obat
awet muda dan panjang umur."
"Obat panjang umur? Itu semua hanya omong
kosong, barang yang adanya dalam dongeng"
Ong Ling-hoa mencibir, "bagaimana mungkin bisa
dibandingkan dengan persembahan akbarku?"
"Oya" kembali Yap Kay tertawa, "jadi kau
punya persembahan akbar? Kalau begitu cepat
katakan, persembahan macam apa itu?"
"Tak usah terburu napsu, tanpa kau,
persembahanku tak bakal bisa sempurna."
"Wah, sungguh tak kusangka ternyata aku
masih mempunyai kegunaan yang begitu besar,
tapi tidak masalah bukan jika aku tahu dimana
letak kegunaanku?"
Ong Ling-hoa segera memperlihatkan
senyuman misteriusnya, kemudian dengan nada
yang ramah katanya lagi, "Tentunya kau pernah

melihat makhlukl berkepala manusia bertubuh
monyet bukan?"
"Aku benar-benar tidak mengira di dunia benarbenar
terdapat ... terdapat makhluk semacam
ini."
Memang sulit bagi Yap Kay untuk menyebutnya
sebagai manusia.
"Sebetulnya di dunia memang tak ada makhluk
seperti itu, akulah yang menciptakannya," Ong
Ling-hoa menjelaskan, "padahal apa yang sudah
ada sekarang tak lebih baru pembukaan dari
karya ciptaku."
"Jadi makhluk itu adalah hasil karyamu?"
"Benar."
"Bagaimana caramu membentuknya?"
"Gampang sekali, asal kucangkokkan kepala
manusia ke tubuh monyet, jadilah makhluk ajaib
itu."
"Kepala manusia dicangkokkan ke tubuh
monyet?" Yap Kay memaksa diri mementang
mata lebih lebar, "kau sedang bercerita tentang
dongeng 1001 malam?"
"Bukan, aku telah menghabiskan waktu hampir
lima puluh tahun sebelum berhasil menyelesaikan
ini," Ong Ling-hoa menerangkan, "tahukah kau,
untuk mewujudkan cita-citaku ini, sudah berapa
banyak tenaga, pikiran dan materi yang
kukorbankan?"

"Jadi tidak kau ketahui berapa banyak bocah
dan monyet yang telah kau korbankan nyawanya
demi terwujudnya harapanmu ini?"
"Agar manusia bisa melangkah lebih jauh
dalam hal teknik ilmu pengetahuan, apa salahnya
sedikit berkorban?"
"Kenapa tidak kau gunakan anakmu sendiri
sebagai kelinci percobaan?"
"Aku tak punya anak."
"Sudah kuduga sejak awal, manusia busuk
macam kau mana mungkin bisa mempunyai
anak."
"Dalam hal ini aku berani memberi jaminan,
aku pasti mampu memiliki anak," Ong Ling-hoa
tertawa tergelak.
"Ai... ! Kenapa orang sepertimu selalu
melupakan kenikmatan nyata yang tersedia di
depan mata," Yap Kay menghela napas panjang.
"Berapa usiamu? Berapa tahun lagi kau bakal
hidup di dunia ini? Tua bangka macam kau, biar
masih bisa hidup dua tahun lagi juga belum tentu
punya kemampuan untuk melanjutkan
keturunan."
Tiba-tiba Ong Ling-hoa mendongakkan kepala
dan tertawa terbahak-bahak, katanya kemudian,
"Kelihatannya sebelum kuterangkan semua duduk
perkara secara jelas, kau pasti tak dapat mati
dengan meram."
"Kelihatannya kau sadar juga akan hal ini."

Ketika menekan sebuah tombol rahasia, dari
balik dinding segera muncul sebuah lemari
rahasia, dari dalam lemari itu Ong Ling-hoa
mengambil sebotol arak anggur dan cawan arak
terbuat dari batu kristal.
Setelah menuang arak dan menghirupnya
seteguk, Ong Ling-hoa berkata lebih jauh, "Di
saat umurku tiga puluh satu tahun, kujumpai
seringkah penyebab kematian umat manusia
adalah tubuh yang mulai tua dan rentan, saat itu
timbul pikiranku, bila seseorang memiliki tubuh
yang sehat, dia pasti akan panjang usia. Hanya
sayang ketika manusia hidup mencapai satu
tingkatan tertentu, dia pasti akan mulai menua
dan menjadi lemah. Maka aku pun mulai memutar
otak, mencari akal bagaimana bisa membuat
kesehatan tubuh seseorang selalu langgeng dan
abadi."
Ia membalikkan badan memandang Yap Kay
sekejap, kemudian katanya lagi, "Tahukah kau
bagaimana caranya manusia agar selalu memiliki
tubuh yang sehat?"
"Kurangi minum arak, kurangi perbuatan kotor,
maka tubuhmu akan selalu sehat sejahtera."
"Cara itu paling juga memperpanjang sesaat,
paling hanya bisa hidup mencapai usia seratus
tahun lebih, akhirnya dia bakal mati juga," kata
Ong Ling-hoa, "jadi aku pikir, satu-satunya jalan
adalah di saat tubuhmu mulai berubah jadi tua,
gantilah badan yang tua dengan tubuh baru,

tubuh yang sehat dengan organ tubuh yang
masih segar. "
"Memangnya tubuh manusia ibarat pakaian?
Kalau pakaianmu sudah tua dan koyak, bisa saja
diganti dengan pakaian baru, tapi ini tubuh
manusia."
"Pada waktu lalu, tentu saja hal semacam ini
tak mungkin bisa terjadi."
"Memangnya saat ini kau sudah punya cara?
Sudah menguasai teknik pencangkokannya?"
Tiba-tiba Yap Kay teringat kejadian
pencangkokan kepala manusia dengan tubuh
monyet, segera ujarnya lagi, "Jangan-jangan
makhluk monyet berkepala manusia adalah salah
satu teknik...."
"Tepat sekali. Bila tubuh seseorang mulai
menua, bisa saja badannya ditukar dengan badan
orang muda. Karena berpendapat begitu, aku pun
mulai menggunakan monyet sebagai kelinci
percobaan, pada dua puluh tahun pertama, entah
berapa ratus kali aku mengalami kegagalan,
begitu badan monyet terpisah dari kepalanya,
sang monyet langsung mampus. Kemudian
perlahan-lahan aku pun menemukan teknik yang
lebih canggih, dengan teknik itu aku berhasil
memindahkan kepala monyet ke tubuh monyet
lainnya. Dan pada setahun berselang aku pun
berhasil memindahkan kepala manusia ke tubuh
monyet."

Biarpun dengan mata kepala sendiri Yap Kay
telah menyaksikan kenyataan itu, namun dia
masih tetap tak percaya.
"Bila tubuh monyet bisa ditukar dengan tubuh
monyet lainnya, berarti bukan masalah untuk
mengganti tubuh manusia tua dengan badan
seorang pemuda yang lebih segar dan sehat,"
kembali Ong Ling-hoa berkata.
"Sudah kau coba?"
"Belum," Ong Ling-hoa menggeleng, lalu sambil
menatap tajam tubuh Yap Kay, lanjutnya, "Tapi
segera akan terjadi, malahan kau akan menjadi
kelinci percobaanku yang pertama."
"Aku?" sekali lagi Yap Kay membelalakkan mata
lebar-lebar, "kau ingin mengganti badanku
dengan tubuh seseorang yang jauh lebih muda?"
"Akan kutukar dengan tubuh yang lebih tua,"
sahut Ong Ling-hoa sambil tergelak, "bila
berhasil, maka tubuh tua yang kucangkokkan ke
tubuhmu akan membuat kau makin tua dan
akhirnya mati. Sementara aku pun akan
mengganti tubuh tuaku dengan badanmu yang
jauh lebih muda."
Tak seorang pun yang tak bakal takut ketika
mendengar dirinya akan dijadikan kelinci
percobaan, namun Yap Kay sama sekali tak takut,
sekilas rasa ngeri pun tak nampak, dia malah
berkata sambil tertawa, "Sayangnya aku belum
tahu apakah kau pun sudah belajar bagaimana

memotong tubuh sendiri kemudian
mencangkokkan ke tubuh baru lainnya."
"Dengan kemampuanku seorang tentu saja tak
mungkin bisa menyelesaikan tugas ini, untungnya
sekarang aku telah menemukan seorang
pembantu yang pas."
"Pembantu? Siapa?"
"Aku!"
Menyusul perkataan itu Kim-hi muncul dari
balik pintu, sambil tertawa gadis itu berjalan
mendekati Yap Kay, lalu katanya, "Akulah
pembantu utamanya."
"Kau?" dengan tercengang bercampur ragu Yap
Kay memandang Kim-hi, "selama ini aku dan So
Ming-ming selalu menguatirkan keselamatan
jiwamu, tak nyana kau justru telah menjadi
pembantu utama si pencipta maha karya bagi
umat manusia."
Kim-hi bukan gadis bodoh, tentu saja dia dapat
menangkap makna sindiran di balik perkataan
Yap Kay itu, namun masih tetap dengan
tersenyum katanya, "Aku adalah perempuan yang
berani mencintai berani membenci dan berani
menerima kenyataan, ketika pertama kali kau
muncul, aku sudah tahu kau adalah jenis lelaki
yang kusukai."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Tapi aku
pun tahu kalau persainganku dengan enci Mingming
tak mungkin bisa kumenangkan, oleh sebab

itu terpaksa aku harus mencari seorang lelaki
yang menyukai aku."
"Akulah lelaki yang menyukai dirinya,"
sambung Ong Ling-hoa sambil tertawa.
"Di saat dia memberitahukan hal ini kepadaku,
aku pun berpikir, biarpun cinta tak mengenal
batas usia, namun bagaimana pun juga selisih
usia kami berdua cukup jauh, biarpun kami dapat
hidup gembira dan bahagia pun, kebahagiaan itu
tak mungkin bisa berlangsung lama. Dia pun
mengetahui akan kenyataan ini, maka dia
memberitahukan kepadaku kalau dia sanggup
melakukan karya akbar itu. "
Bicara sampai di sini, Kim-hi berpaling ke arah
Ong Ling-hoa, kemudian tambahnya, "Bila
berganti orang lain, mereka pasti akan mengira
kau sinting, gila. Tapi aku sangat mempercayai
perkataanmu itu. "
"Tentunya sejak pandangan pertama kau sudah
tahu akan kehebatan ku, tahu kalau aku memang
lelaki yang lain daripada yang lain, lelaki paling
hebat di dunia ini," kata Ong Ling-hoa tertawa.
"Huh, tak kusangka kulit mukamu begitu
tebal," Kim-hi tertawa cekikikan.
Mendengar sampai di sini, Yap Kay tak sanggup
menahan diri lagi, ia menghela napas panjang.
"Ai! Kalian berdua benar-benar sepasang sejoli
yang amat cocok, yang lelaki tampan, yang
perempuan cantik jelita."

"Terima kasih banyak atas pujiannya."
"Kalau pembantu handal pun sudah tersedia,
lantas kau berencana kapan akan mulai
membedah tubuhku?" tanya Yap Kay sambil
menatap Ong Ling-hoa.
"Besok," jawab Ong Ling-hoa cepat,
"sebetulnya besok, namun sekarang harus
ditunda sampai tiga hari kemudian."
"Kenapa?"
"Karena ada seorang sahabat karibmu yang
tiga hari kemudian akan menjadi penghuni
tempat ini."
"Sahabat karibku? Siapa?"
"Pho Ang-soat!"
"Dia?" bisik Yap Kay agak tertegun, "apakah dia
pun berada di sini?"
"Benar."
Bab 5. CINTA HONG-LING
Rembulan bagaikan seekor bayi yang baru
mendusin dari lingkupan awan gelap, meronta
dan menggeliat sambil memancarkan cahaya
yang lembut, lalu dengan lembut dan halus
membiarkan seluruh cahayanya turun ke bumi.
Sinar rembulan menyinari jendela kamar tidur
Pho Ang-soat.

Saat itu Pho Ang-soat sedang berbaring di atas
ranjang, sama sekali tak terasa mengantuk
barang sedikit pun, sepasang matanya yang
dingin dan kesepian melotot besar dan bulat.
Duel akan berlangsung tiga hari kemudian,
kalau dulu, tak nanti Pho Ang-soat mau
melakukannya, dalam menghadapi setiap
persoalan dia selalu ingin segera diselesaikan, tak
suka ditunda atau mengulur waktu, tapi kali ini
dia harus berbuat demikian.
Karena dalam tiga hari ini dia akan menunggu
datangnya sebuah kabar, ingin menuntaskan
masalah yang selama ini merisaukan hatinya.
Tiga hari, dia berharap dalam tiga hari ini So
Ming-ming dapat menyampaikan berita yang ingin
diketahuinya.
Kemarin dia memang tak mengizinkan So Mingming
ikut karena dia berharap gadis itu dapat
melakukan tugas ini untuknya, kalau bukan
begitu, dengan watak So Ming-ming, biarpun
secara terang-terangan dia tak sanggup, namun
secara diam-diam dia pasti akan mengintil
datang.
Hembusan angin malam musim panas di kota
Lhasa terasa lebih dingin dari hembusan angin
malam di musim dingin di Kanglam.
Dengan lembut angin malam menggoyang daun
jendela, membuat suasana sepi yang mencekam
jagad terasa lebih pilu dan mengenaskan.

Dari kejauhan terdengar suara kentongan yang
dibunyikan bertalu-talu, sudah mendekati
kentongan ketiga, sebentar lagi langit akan
menjadi terang, entah kejadian apa yang akan
dijumpai esok?
Dalam situasi begini, ia perlu beristirahat
sejenak, memelihara sedikit tenaga untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi
esok.
Baru saja Pho Ang-soat hendak memejamkan
mata, tiba-tiba dari luar jendela terdengar helaan
napas sedih diikuti munculnya seorang.
Begitu mendengar suara helaan napas itu, Pho
Ang-soat segera tahu orang itu bukan So Mingming
yang sedang dinantikan, orang itu ternyata
tak lain adalah Be Hong-ling, orang yang paling
tak ingin dijumpai, orang yang kini telah
menjelma menjadi Pek Ih-ling.
Biji mata yang sayu membawa kesenduan,
memancarkan cahaya redup penuh kesedihan,
sinar mata itu tertuju ke wajah Pho Ang-soat.
Begitu berhadapan dengan pemuda itu, Pek Ihling
seakan sudah kehabisan bahan untuk
berbicara, dia hanya mengawasi kaki sendiri
dengan mulut membungkam.
Begitulah, untuk sesaat mereka berdua hanya
saling berhadapan tanpa berbuat apa-apa.
Beberapa saat kemudian Pek Ih-ling baru
berkata, "Aku rasa kau pasti sudah tahu siapakah
diriku bukan?"

"Benar."
"Mengenai cerita suku Damu yang menyangkut
ayahku, tentunya kau pun sudah tahu bukan?"
"Benar."
"Tapi ada satu hal kau pasti tak tahu."
"Katakan."
"Be Khong-cun yang tewas di rumah keluarga
Ting pada sepuluh tahun berselang memang
benar-benar ayahku."
"Benarkah itu?" Pho Ang-soat mendongakkan
kepala memandang Pek Ih-ling.
"Benar."
"Lalu bagaimana dengan Be Khong-cun yang
sekarang?"
"Dia pun ayahku."
"Dia pun ayahmu?" Pho Ang-soat tidak paham
maksudnya, "jadi Be Khong-cun tidak tewas pada
sepuluh tahun berselang?"
"Sudah mati."
"Kalau begitu Be Khong-cun yang sekarang
seharusnya saudara kembar ayahmu bukan?
Mana mungkin bisa ayahmu?"
"Inilah masalah yang kubilang kau pasti tidak
tahu," Pek Ih-ling menerangkan, "padahal mereka
berdua adalah ayahku."
"Keduanya?"

"Benar, mereka pada saat yang bersamaan
mengawini ibuku."
Seorang wanita kawin dengan dua pria, tentu
saja putri yang dia lahirkan memiliki dua orang
ayah sekaligus.
"Sewaktu kau bertanya kepada ayahku di
gedung utama tempo hari, apakah aku adalah
putrinya, kau tentu mengira dia adalah Be Khongcun
yang pernah kau jumpai sepuluh tahun
berselang bukan?"
Tepat sekali, waktu itu Pho Ang-soat memang
mengira dia adalah Be Khong-cun yang pernah
dijumpai sepuluh tahun berselang, bahkan
menganggap apa cerita tentang suku Damu
sebagai bohong.
Pho Ang-soat benar-benar tak berani percaya di
dunia ini memang terdapat suku Damu, tapi
sekarang mau tak mau dia harus percaya.
Pek Ih-ling dengan sayu mengawasi wajah Pho
Ang-soat, lalu ujarnya lirih, "Melihat aku malammalam
datang mencarimu, kau pasti menyangka
aku ingin mohon kepadamu agar jangan
membunuh satu-satunya ayahku yang tersisa
bukan?"
"Memangnya bukan?"
"Justru sebaliknya. Tujuan kedatanganku
malam ini adalah berharap kau bisa membunuh
ayahku dengan sekali tebasan."

Mendengar jawaban itu, Pho Ang-soat malah
tertegun dibuatnya. "Kau minta aku membunuh
ayahmu dengan sekali tebasan?"
"Benar!"
Perlahan-lahan Pek Ih-ling membalikkan badan
berjalan menuju ke tepi jendela, sorot matanya
dialihkan memandang kejauhan. "Kau pasti
menyangka aku sudah gila bukan?" bisiknya. Pho
Ang-soat memang berpikiran begitu.
"Bila kau sudah tahu duduk persoalan yang
sebenarnya, maka kau pasti tahu keputusanku ini
tidak salah," kata Pek Ih-ling hambar. Duduk
perkara yang sebenarnya?
Apakah di balik kasus yang lambat-laun mulai
terkuak ini masih tersimpan rahasia lain?
Kalau memang ada, rahasia macam apakah
itu?
Angin masih berhembus lembut, tapi udara
terasa makin dingin.
Rambut Pek Ih-ling yang hitam nampak lebih
indah di bawah pantulan sinar rembulan.
"Aku tahu golokmu memang sangat lihai, ilmu
silatmu juga tiada taranya," ujar Pek Ih-ling
lagi, "tapi dalam duel tiga hari lagi, bila kau
gagal membunuh ayahku, maka kau sendirilah
yang bakal mati."
Perlahan ia berpaling lagi, menatap Pho
Ang-soat, tambahnya serius, "Yap Kay pun
pasti mati juga."

"Oya?"
"Kau pasti menyangsikan perkataanku ini, kau
anggap duel yang akan diselenggarakan adalah
sebuah pertarungan yang adil?"
"Biar tidak adil pun tidak menjadi masalah
bagiku," kata Pho Ang-soat hambar, "aku
percaya Thian pasti adil terhadap siapa pun."
"Tidak masalah? Bila kau tahu situasi seperti
apa yang bakal kau jumpai, pasti tak akan kau
katakan tidak menjadi masalah."
Pho Ang-soat tak menanggapi perkataannya,
hanya sinar matanya dialihkan keluar jendela,
namun dari mimik mukanya tertera jelas ia tidak
sependapat.
"Kau sangka perabot yang terdapat di
penginapan Sau-lay benar-benar seperti yang dia
katakan, khusus dipindah kemari? Kau sangka
masalah yang menyangkut Hong-ling bukan hasil
rancangannya?"
Hong-ling? Lamat-lamat Pho Ang-soat merasa
hatinya pilu dan sakit.
Baru berkumpul selama tiga belas hari, baru
terjalin hubungan satu kali... hati Pho Ang-soat
yang dingin membeku lambat-laun mulai mencair.
Setelah hening beberapa saat, Pek Ih-ling
berkata, "Sebelum kalian berduel nanti, Ong Linghoa
pasti akan memberitahukan kepadamu bahwa
Yap Kay dan Hoa Pek-hong serta Hong-ling telah

terjatuh ke tangannya, dalam keadaan begitu
sanggupkah kau mencabut golokmu?"
Tidak mungkin, dalam keadaan seperti ini,
siapa pun tak bakal mampu mencabut goloknya.
Yang seorang adalah sahabat karibnya, seorang
lagi meski bukan ibu kandungnya tapi dialah yang
telah memeliharanya hingga dewasa, kemudian
yang seorang lagi....
Sekali lagi Pho Ang-soat menatap tajam wajah
gadis itu. "Masalah Hong-ling, apa benar hasil
rancangan busuk mereka?" tegasnya.
"Benar, tapi akhir dari semua ini sama sekali di
luar dugaanku!"
Suara itu berasal dari mulut Ong Ling-hoa,
tahu-tahu dia telah muncul di depan pintu.
Begitu melihat kemunculan Ong Ling-hoa,
paras muka Pek Ih-ling berubah pucat-pasi,
seakan seorang bocah bersalah yang tertangkap
basah oleh ayahnya.
Sikap Pho Ang-soat tetap sedingin es, tak
mengunjuk rasa kaget atau tercengang.
Suara tawa Ong Ling-hoa amat ramah,
perlahan dia berjalan masuk ke dalam kamar,
setelah menatap Pho Ang-soat sekejap, ujarnya,
"Bukankah siang tadi telah kukatakan, walaupun
persoalan tentang Hong-ling merupakan hasil
rancanganku, tapi cara pembalasannya sama
sekali di luar dugaanku."

Kembali ia menatap Pho Ang-soat, lanjutnya,
"Ternyata ketika pembalasan berjalan sampai di
tengah, dari benci dia malah jadi cinta."
Berubah jadi cinta?
"Dia benar-benar telah mencintaimu," sepatah
demi sepatah Ong Ling-hoa berkata.
Begitu mendengar perkataan itu, paras muka
Pho Ang-soat berubah hebat, berubah gembira,
berubah sedikit gugup dan panik.
Gembira karena ia tahu tak percuma dia
menderita dan tersiksa selama ini, gugup dan
panik karena sadar, tak mungkin lagi baginya
untuk melepaskan diri.
Sebelum pertarungan berlangsung, Pho Angsoat
sudah kalah.
Setelah semua peristiwa berkembang sampai di
sini, tampaknya segera akan berakhir. Tentu saja
pemenangnya adalah Ong Ling-hoa, tak heran
senyumannya semakin ramah.
Bab 6. PENUTUP
Hembusan angin malam masih terasa lembut,
hawa dingin masih membeku, ketika malam hari
tiba, langit terasa makin gelap.
Gelap bukan karena cahaya rembulan tertutup
awan, inilah detik terakhir menjelang datangnya
sang fajar, saat yang paling gelap sepanjang hari.

Untung saja saat seperti itu selalu hanya
berlangsung singkat, pada akhirnya cahaya
terang pasti akan muncul juga, mengusir pergi
kegelapan.
Pho Ang-soat masih dingin dan menyendiri,
biarpun ia sadar dirinya sudah tak sanggup lagi
mencabut golok, namun hatinya tetap panas.
Baginya persoalan apa pun sudah tak penting
lagi, sekalipun harus kehilangan nyawa, dia sudah
tahu akan perasaan cinta Hong-ling.
Ia tahu kali ini pengorbanannya tidak sia-sia,
perasaan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan,
baginya hal ini sangat penting, jauh lebih penting
dari segalanya.
Oleh sebab itulah paras mukanya kelihatan
tenang dan dingin, meski sorot matanya tetap
dingin, namun sudah tiada rasa sepi lagi.
Ia sama sekali tidak memperhatikan Ong
Ling-hoa yang masih merasa bangga, ia
sedang mengawasi Pek Ih-ling yang masih
meringkuk, setelah mengawasinya sekian lama,
tanyanya, "Kau belum memberitahu kepadaku,
kenapa harus membunuh Be Khong-cun?"
Semenjak kemunculan Ong Ling-hoa, mimik
muka Pek Ih-ling sudah menunjukkan perasaan
gugup bercampur panik, apalagi sesudah
mendengar pertanyaan Pho Ang-soat, perasaan
takut dan ngerinya semakin menebal.
Diam-diam ia melirik Ong Ling-hoa sekejap,
lalu menundukkan kepala makin rendah.

Gelak tawa Ong Ling-hoa semakin ramah.
"Dia tak bakal memberitahukan lagi persoalan
itu kepadamu, selama hidup kau tak bakal tahu."
"Keliru, kau keliru besar, dia pasti akan
mengatakan sekarang juga."
Suara itu muncul dari arah belakang. Mimik
muka Ong Ling-hoa yang semula dihiasi
senyuman ramah pun seketika membeku, bahkan
berubah jadi pucat-pias. Perasaan terkejut dan
rasa tercengangnya bahkan jauh lebih kental
daripada Pek Ih-ling.
Begitu mendengar suara itu, Pho Ang-soat yang
dingin kaku masih tetap dingin dan kaku, tapi di
balik sinar matanya yang dingin justru terselip
senyuman, karena suara itu sangat dikenal
olehnya.
Tentu saja suara itu adalah suara Yap Kay.
Keadaan Yap Kay saat ini sama sekali tak mirip
dengan seseorang yang sudah kelaparan selama
banyak hari, wajah serta mimik mukanya seperti
seseorang yang kekenyangan karena menikmati
hidangan yang lezat dan arak wangi.
Sambil tertawa dia berjalan masuk,
menghampiri Pho Ang-soat, lalu katanya, "Hanya
dengan membunuh Be Khong-cun kau baru
benar-benar bisa membuat perasaan kedua belah
pihak tenang kembali, kau pun baru bisa
mengalahkan Ong Ling-hoa, karena Be Khong-cun
adalah putra Ong Ling-hoa."

Fajar telah menyingsing, cahaya pertama,
bagai segulung bara api menembus awan gelap
memancar ke bumi, membawa suasana terang ke
dalam kebun monyet.
Tawa Yap Kay amat riang, sambil membalikkan
badan dia memandang Ong Ling-hoa.
"Bukankah kau pun ingin bertanya kepadaku,
kenapa aku pun mengetahui rahasia ini? Kenapa
secara tiba-tiba aku mendapatkan kembali
kekuatanku? Kenapa secara tiba-tiba bisa muncul
di sini?" kata Yap Kay sambil tertawa, "bukankah
begitu?"
Tentu saja semua pertanyaan itu merupakan
persoalan yang ingin diketahui Ong Ling-hoa,
karena ia benar-benar tak habis mengerti, kenapa
secara mendadak segala sesuatunya bisa berubah
jadi begini?
Yap Kay tertawa semakin riang.
"Aku memang tidak menyangka, manusia
semacam ini ternyata sanggup menggunakan
obat pemabuk, obat yang memalukan itu, tapi
jangan lupa, aku pun seorang yang licik, mana
mungkin orang licik macam aku bisa roboh karena
obat pemabuk?"
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku
memang sengaja berlagak roboh, hal ini tak lain
karena ingin menonton permainan busuk apa lagi
yang akan kau lakukan."

Baru selesai perkataan itu, mendadak dari luar
pintu terdengar lagi seseorang berseru sambil
tertawa cekikikan,
"Kentut busuk, coba kalau bukan berkat seekor
ayam panggangku, mana mungkin kau sanggup
berjalan sampai di sini?"
Kontan Yap Kay mengernyit alis, sambil
menggeleng kepala serunya, "Heran, kenapa
ucapan perempuan selalu tak bisa dipercaya?"
Menyusul suara tertawa cekikikan tadi, terlihat
So Ming-ming muncul di depan pintu, katanya
lagi, "Aku hanya jengkel setelah mendengar
perkataanmu itu, kau seolah-olah
menggambarkan diri sendiri seperti dewa, semua
pahala mau diraup seorang diri."
Biarpun wajah So Ming-ming mirip orang
marah, namun sinar matanya justru dihiasi
senyuman.
"Andaikata Pho Ang-soat tidak memberitahu
kepadaku kalau di dalam sumur kering pasti
terdapat lorong bawah tanah, bagaimana
mungkin aku bisa menemukan dirimu," lanjut So
Ming-ming lagi, "kalau aku gagal menemukan
dirimu, siapa yang bakal membebaskan totokan
jalan darahmu, siapa yang bakal membawakan
seekor ayam panggang untuk menangsal
perutmu, darimana kau bisa mendapatkan
kembali kekuatanmu?"
Sambil bercekak pinggang dan melotot besar,
ujarnya lebih jauh, "Seandainya bukan Pek Ih-ling

yang memberitahu kepadaku tentang
hubungannya dengan Ong Ling-hoa, darimana
pula kau bisa tahu Ong Ling-hoa telah mengawini
orang suku Damu hingga melahirkan dua orang
Be Khong-cun."
"Baik... baiklah... kau memang benar,
semua pahala dan jasa ini memang sepantasnya
dimiliki kau seorang."
"Tentu saja."
So Ming-ming tergelak, senyumannya sangat
manis dan gembira.
Di luar kota Lhasa terdapat sebuah jalan
setapak, di ujung jalan terdapat sebuah rumah, di
depan emperan rumah tergantung sebuah
keliningan.
Suara keliningan yang merdu bergema tiap kali
angin berhembus, dalam rumah terlihat seorang
wanita sedang bebenah.
Ketika lelah, perempuan itu pun berhenti,
menyeka peluh yang membasahi jidatnya.
Pada saat itulah tiba-tiba detak jantungnya
berdebar sangat keras, dia telah melihat
kemunculan seraut wajah yang putih pucat.
Sebilah golok kesepian ditambah seorang lelaki
yang kesepian.
Mereka berdua pun saling tatap, berpandangan
dengan mulut membungkam, sampai lama sekali
belum juga ada yang buka suara, kebahagiaan

sedang membara di hati mereka, seperti bunyi
keliningan yang berdenting tiada hentinya.
T A M A T
Anda sedang membaca artikel tentang Kilas Balik Merah Salju 2 [Serial Pisau Terbang Terakhir] dan anda bisa menemukan artikel Kilas Balik Merah Salju 2 [Serial Pisau Terbang Terakhir] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kilas-balik-merah-salju-2-serial-pisau.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Kilas Balik Merah Salju 2 [Serial Pisau Terbang Terakhir] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Kilas Balik Merah Salju 2 [Serial Pisau Terbang Terakhir] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Kilas Balik Merah Salju 2 [Serial Pisau Terbang Terakhir] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kilas-balik-merah-salju-2-serial-pisau.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...