Panji Wulung 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Paderi tua itu bimbing bangun Touw Liong dan berkata
sambil tertawa :
“Bangun ! Ada beberapa soal aku hendak tanya padamu.
Aku ingin lihat bagaimana peruntunganmu.”
Touw Liong menurut, dia berdiri di sampingnya sambil
meluruskan dua tangannya.
Paderi tua itu lalu bertanya ; “Siapa-siapa orangnya yang
paling dikagumi oleh suhumu ?”
“Tiga Dewa dari golongan pengemis, Anak sakti dari
gunung Bu-san, Seruling perak dari gunung Kun-lun-san,
Tujuh jago dari gunung Bu-tong ………! Jawab Touw
Liong tanpa ragu-ragu.
Paderi tua itu mengangguk-anggukkan kepala, suatu
tanda bahwa ia membenarkan jawababn pemuda itu.
Setelah berdiam sejenak ia bertanya pula :
“Kau tadi berkata tiga Dewa dari golongan pengemis,
siapakah mereka itu ?”
“Dewa emas, Kim Tho yang bergelar sastrawan
sembilan jari; Dewa batu Giok Ko Peng yang bergelar
manusia murni di daerah tiga sungai dan satu lagi Dewa
arak …..!” Jawab Touw Liong. Tiba-tiba ia ingat dan tanpa
dirasa memandang si paderi tua miskin itu. Sesaat
kemudian ia tercekat tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Paderi miskin itu nampaknya sangat girang, ia berkata
sambil menunjuk hidungnya sendiri ; “Teruskan …..! Aku
bukan tiga dewa.”
“Ketiga ialah Dewa arak Taysu gila.”
“Bocah ! Apa yang kau katakan semuanya benar !
Sekarang aku hendak menanya lagi. Mereka bertiga masingmasing
memiliki kepandaian istimewa apa ?”
“Dewa batu Giok memiliki ilmu kepandaian menotok
bagian jalan darah dengan senjatanya yang berupa seperti
alat tulis. Ilmunya ini dalam rimba persilatan tak ada
tandingannya.”
“Akan tetapi masih belum seampuh dengan gerak tipu
serangan suhumu yang dinamakan Thian-sing-jiauw.”
“Serangan tangan kosong Dewa emas yang dinamakan
serangan pertarungan Naga dan Harimau, merupakan suatu
ilmu serangan tangan kosong yang tak ada keduanya.”
“Tetapi hanya berimbang dengan gerak tipu serangan
Kiu-hua Sim-kiam dari suhumu. Belum terhitung suatu
ilmu yang tak ada keduanya.”
“Ilmu dari Dewa arak si Taysu gila yang dinamakan
membuka pintu langit, menjagoi seluruh rimba persilatan
dan pernah membuat sepuluh jago pedang tak bisa
berkutik.”
Paderi tua itu kembali berkata sambil menggelengkan
kepala ; “Tetapi kalau ketemu dengan Kiu-hwa Lojin,
terpaksa harus mundur jauh-jauh.”
Paderi tua itu memuji tinggi kepandaian Kiu-hwa Lojin,
tetapi Touw Liong sedikitpun tak memperlihatkan sifat
congkak, ia masih tetap berdiri dengan sikapnya yang
sangat menghormat.
Paderi tua itu setelah berpikir sejenak baru bertanya pula
;
“Tahukah kau asal-usul tiga Dewa itu ?”
“Boanpwee masih terlalu muda, juga sangat bodoh,
hingga tidak mengetahui semuanya.”
“Baik !” Berkata paderi tua itu, lalu menggantungkan
buli-buli arak kepinggangnya, dan dilemparkannya sisa
daging anjing di tangannya. Kemudian berkata dengan
sungguh-sungguh;
“Sekarang dengarlah aku akan menceritakan suatu
kisah.”
Ia menunjuk dua buah batu besar yang berada setombak
lebih ditempatnya. Ia suruh Touw Liong duduk. Touw
Liong menurut, lalu bersama paderi tua berjalan
menghampirinya dan duduk bersama-sama.
Setelah duduk, paderi tua baru melanjutkan ceritanya.
“Kim Tho adalah seorang pelajar miskin yang pernah
menempuh ujian sampai sembilan kali, tapi selalu gagal. Ko
Peng adalah seorang imam tulen yang suka mengembara.
Sedang si paderi gila adalah seorang paderi pemabokan
yang tak mempunyai selembar pakaian. Makan dan tempat
tinggal seenaknya saja, di mana saja ia dapat makan dan
dapat minum.”
“Beliau bertiga mungkin tak sesuai bakat-bakat mereka
dengan keadaan masa itu.”
“Memang nasib mereka sangat buruk, pengalamanpengalaman
hidup yang menyedihkan tiga orang itu, telah
menjadikan mereka berkecimpungan di dunia kang-ouw.
Oleh karena mereka itu mengalami nasib bersama, hingga
satu sama lain menjadi kawan baik. Sering mengembara
bersama-sama, akan tetapi mereka memiliki kepandaian
istimewa sendiri-sendiri.”
***
Bab 5
Touw Liong mendadak marah, ia berkata ; “Menurut
kabar yang tersiar di dunia kang-ouw, golongan pengemis
yang hingga sekarang masih sangat berpengaruh di dunia
rimba persilatan adalah mereka yang mendirikan. Dengan
maksud dan tujuan apa mereka membentuk golongan
pengemis ?”
Paderi tua itu mendadak menarik napas panjang, lama
baru menjawab.
“Seorang besar sekalipun hidup dalam masa yang tak
sesuai dengan kebesarannya dan tidak dapat membuat
harum namanya, tetapi juga tidak sampai membuatnya
terjerumus ke dalam lumpur kehinaan yang membuat buruk
namanya. Manusia hidup dalam dunia, yang penting
adalah menetapkan garis hidupnya di atas jalan yang benar,
membangun usaha besar yang berguna bagi sesama
manusia. Mereka bertiga dalam hidupnya penuh
pengalaman pahit getir, sehingga dapat memahami segala
ketidak adilan didalam dunia …..”
“Dalam soal apakah yang dianggap tidak adil itu ?”
“Manusia kebanyakan menghina orang yang miskin dan
suka dengan kekayaan. Tak peduli bagaimana kelakuan
orang itu, sekalipun seorang penjahat besar atau perempuan
hina-dina, asal orang itu memiliki harta kekayaan
berlimpah-limpah, dimanapun saja mereka dihormati.
Apabila kau terlunta-lunta dijalanan, sekalipun kau seorang
bersih dan jujur, juga tak seorangpun yang menghargaimu.”
“Benar !” Kata Touw Liong. “Walaupun orang dari
golongan pengemis, asal ia masih menjunjung tinggi
kepribadiannya sendiri, jujur dan tidak serakah harta milik
orang lain, bagaimana bisa dianggap sebagai orang
golongan rendah ? Kita umpamakan saja, dahulu ada
seorang pengemis bernama Ngo Hoan yang menuntut
hidup dengan jalan minta-minta sambil meniup seruling,
namun karena tingkah lakunya yang jujur dan
perbuatannya yang suka membela keadilan yang luhur,
kalau kita pandang ia sebagai orang dari golongan kelas
satu rasanya tidak berlebih-lebihan.”
“Bocah .....! Pendapatmu sama denganku. Kita berdua
boleh terhitung orang-orang yang sepaham dan sehaluan !”
Berkata paderi miskin itu sambil mengacungkan ibu jarinya,
Kemudian ia melanjutkan ceritanya.
“Tiga Dewa itu kemudian berusaha mengumpulkan
kaum jembel seluruh dunia untuk membentuk persatuan
golongan pengemis. Dalam rapat itu telah diangkat dengan
suara terbanyak bagi Kim Tho sebagai ketua, Ko Peng dan
si Taysu gila sebagai sesepuh, selanjutnya dalam rimba
persilatan orang menjunjung mereka sebagai tiga Dewa dari
golongan pengemis. Kalau seorang raja ada mempunyai cap
kerajaan, kau jangan pandang rendah pada golongan
pengemis. Tiga Dewa itu masing-masing juga memiliki
sebuah tanda kebesaran. Kim Tho memiliki cap sebagai
ketua yang berupa ukiran Naga Mas, Ko Peng memiliki
tanda kebesaran berupa batu Giok berbentuk binatang
kiling, dan si taysu gila memiliki tanda yang berbentuk
harimau putih. Tiga buah cap kebesaran yang semuanya
terbuat dari bahan batu Giok ini terbagi dalam tiga warna,
masing-masing kuning, hijau dan putih.”
Touw Liong teringat pada Lie Hu San, maka segera
memotong penuturan paderi tua itu dan bertanya ;
“Tanda apa yang dimiliki oleh ketua golongan pengemis
sekarang ?”
“T i d a k a d a ! Tetapi ia memang benar adalah ketua
golongan pengemis.”
Touw Liong tak mengerti jawaban itu, berkata pula
sambil mengerutkan keningnya ;
“Aneh ! Sebagai ketua bagaimana tidak memiliki tanda
cap kebesaran ?”
“Hal ini panjang ceritanya, harus dimulai dari semula
…..!” Berkata paderi tua itu sambil menghela napas.
“Tigapuluh tahun berselang ....., tiga Dewa yang
bermaksud hendak meninggikan derajat dan nama baik
golongan pengemis. Akan tetapi dalam usaha besar bagi
rimba persilatan harus dapat menundukkan atau setidaktidaknya
menggerakkan hati orang-orang gagah dalam
rimba persilatan. Dalam rimba persilatan pada masa itu,
sebetulnya memang tak ada seorangpun yang sanggup
melawan tiga Dewa itu. Hanya suhumu yang selama itu
belum pernah mengutarakan sikapnya merupakan salah
seorang yang terkecuali!”
“Suhu memang tak suka berebut pengaruh dengan orang
lain …..”
“Itu tidak benar !” Memotong paderi tua dan kemudian
berkata ; “Kalau tidak suka berebut pengaruh dengan orang
luar….., mengapa ia memerintahkan padamu mencari batu
Khun-ngo-giok sampai ke daerah ini ?”
Touw Liong terkejut, ia buru-buru membela suhunya ;
“Pengaruh kejahatan semakin luas, sebelum hujan harus
kita sedia payung, maka suhu mau tidak mau terpaksa
mengadakan persiapan lebih dulu.”
Paderi miskin itu berkata sambil menganggukkan kepala
;
“Benar juga ! Baiklah ....., sekarang kita bicara soal yang
perlu ! Tiga Dewa melakukan perjalanan ke gunung Kiuhoasan,
untuk mengadakan pertandingan persahabatan tiga
kali dengan suhumu. Kepandaian suhumu benar-benar
sudah melampaui batas kemampuan manusia biasa. Dalam
tiga pertandingan itu, tiga Dewa akhirnya ditundukkan oleh
kebesaran jiwanya.”
“Menurut kata suhu, dalam pertandingan itu berakhir
seri !”
“Ia memang memiliki kepandaian lebih tinggi setingkat
daripada kita. Dalam setiap kali pertandingan sebetulnya ia
dapat merebut kemenangan, tetapi ia tak mau berbuat
demikian dan mengakhiri pertandingan dalam keadaan seri.
Maka kukata ia seorang berjiwa besar !”
“Dan kemudian ?”
“Di hadapan suhumu, Kim Tho telah mengumumkan
bahwa tiga Dewa akan mengasingkan diri, selanjutnya tak
akan mengurus urusan golongan pengemis lagi. Setelah
turun dari gunung Kiu-hoa-san, orang tidak mengetahui
jejak tiga Dewa itu.”
“Aiii …..!! Mengapa harus begitu ? Suhu benar-benar
selanjutnya juga mengasingkan diri, tak mau mencampuri
urusan dunia lagi. Tidak penting bagi tiga Dewa, tak mau
mengurus urusannya, sayang golongan pengemis telah
terpecah belah menjadi dua golongan.”
“Lie Hu San adalah murid Kim Tho yang saat itu
sebagai ketua golongan pengemis, tapi Kim Tho tidak
menyerahkan tanda kebesarannya kepadanya, sewaktu ia
naik gunung Kiu-hoa-san, ia masih merangkap jabatannya
sebagai ketua dan pemimpin selama sepuluh tahun.
Sehingga duapuluh tahun berselang, ia baru benar-benar
meletakkan jabatannya. Beberapa tahun kemudian, Lie Hu
San melakukan tindakan yang tidak patut, sehingga
menimbulkan perasaan tak puas bagi orang-orang golongan
pengemis yang masih menjunjung tinggi kepribadiannya.
Mereka lalu bangkit dan mengadakan perlawanan,
kemudian mengangkat Kang Haow, murid kepala Ko Peng
sebagai ketua golongan pengemis bagian selatan.”
“Apakah Kang Haow juga tak memiliki tanda kebesaran
sebagai ketua ?”
“Tidak ada ....., tapi dia memiliki tanda kebesaran batu
Giok yang berbentuk binatang kilin milik Ko Peng yang
diwariskan kepadanya.”
Touw Liong tercengang, ia bertanya ;
“Kenapa Kim Locianpwee tidak wariskan tanda
kebesaran ketuanya kepada Lie Hu San ?”
“Lie Hu San kelakuannya tidak baik, bagaimana
suhunya dapat meninggalkan tanda cap itu kepadanya ?”
Touw Liong berkata sendiri sambil mengerutkan alis.
“Tidak baik golongan pengemis menjadi terpecah belah
demikian, dalam rimba persilatan yang memang sudah
banyak urusan. Jikalau dalam golongan pengemis terjadi
pertikaian sendiri, entah bagaimana keadaan selanjutnya ?”
“Memang benar ! Dewasa ini hanya ada suatu jalan yang
dapat kita tempuh untuk menghentikan golongan
pengemis.”
“Jalan apa ?”
“Pergi mencari Kim Tho, minta ia mengeluarkan tanda
kebesarannya.”
“Kim Pangcu tidak menentu jejaknya. Orang tidak tahu
dimana sekarang ia berada?”
“Sejak turun gunung Kiu-hoa-san, tiga Dewa itu masingmasing
melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Siapapun tak
tahu dimana mereka berada ?”
Touw Liong berpikir lama, kemudian baru berkata ;
“Seandainya kita dapat menemukan tanda kebesaran
berupa naga mas itu ..........”
Paderi tua itu mendadak menyela ; “Pikiran kita berdua
ternyata sama, hingga cara berpikirnya juga serupa. Kau
..........”
Touw Liong tak mengerti, ia angkat muka memandang
paderi tua itu.
Paderi tua itu mendadak merogoh sakunya, dari dalam
saku itu mengeluarkan sebuah batu giok warna putih.
Touw Liong yang menampak batu Giok itu lantas
berseru ; “Tanda kebesaran harimau putih ?”
“Benar ! Ini adalah tanda kebesaran harimau putih.”
Paderi tua itu membenarkan sambil menganggukkan
kepala.
Touw Liong bangkit perlahan-lahan dan bertanya
dengan perasaan terheran-heran ;
Locianpwee adalah ..........!”
“Dewa arak.”
Sekujur badan Touw Liong dirasakan menggigil ....., ia
bertanya pula dengan perasaan terkejut ;
“Tetapi tadi locianpwee ..........! toh tidak mengakui ?”
“Jikalau aku tak menyangkal, kau pasti sudah
mempunyai gambaran tentang diriku, hingga aku tak dapat
keterangan terus terang dari mulutmu !”
“Kalau begitu boanpwee telah tertipu oleh locianpwee !”
“Masih muda ....., sekali-kali tertipu toh tidak apa-apa.
Hitung-hitung sebagai pengalaman. Tahukah kau di dalam
golongan pengemis ada suatu peraturan ….. Orang luar
yang mencuri dengar rahasia golongan pengemis harus di
hukum mati !”
“Tetapi boanpwee tidak mencuri dengar, adalah
cianpwee sendiri yang menceritakan. Bagaimana bisa
menimpahkan dosa kepada orang lain …..?”
Taysu gila itu diam. Setelah berpikir sejenak lalu berkata
;
“Kita jangan urusi urusan itu lagi, bagaimanapun juga
kau sudah mengetahui rahasia golongan kita. Jikalau tidak
dihukum mati ini berbahaya. Tetapi kalau kau tidak ingin
mati, masih ada suatu jalan.”
“Jalan apa ?”
“Masuk menjadi anggota kita !”
“Boanpwee adalah seorang laki-laki jantan, sebagai
murid golongan Kiu-hwa yang terkenal sebagai golongan
kebenaran ….., bagaimana dapat meninggalkan dan
menghianati perguruannya, berbalik menjadi anggauta
golongan pengemis ?”
“Siapa tidak tahu aku paderi miskin seorang gila ? Hari
ini aku akan melakukan perbuatan gila-gilaan …..! Kau
.....bocah ....., harus menjadi penghianat perguruanmu .....,
itu sudah pasti ! Sekarang ini kau hanya mempunyai satu
jalan, kecuali kau menerima tanda kebesaranku .....,
Harimau Putih ini, yang kau gunakan untuk mencari tanda
kebesaran untuk ketua golongan pengemis dan kemudian
melakukan pembersihan golongan pengemis itu. Selain itu
....., sudah tidak ada jalan lain lagi kecuali jalan kematian !”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata;
“Locianpwee terlalu memaksa, sehingga menyulitkan
kedudukan orang ! Akan tetapi sebagai satu laki-laki, tidak
akan ditundukkan oleh kekerasan, tidak akan berubah
pendiriannya oleh pengaruh harta kekayaan. Kalau
memang harus hidup akan tetap hidup, kalau harus mati
biarlah mati, asal tidak membuat malu sebagai manusia.
Kematian apalah artinya !”
“Bocah ! Kau terlalu keras kepala. Baiklah !! Aku akan
segera mengirim kau ke akhirat.”
Touw Liong tiba-tiba ingat sesuatu, ia berkata dengan
suara keras:
“Boanpwee masih ingin memberi keterangan !”
“Katakan lekas !”
“Urusan dalam golongan pengemis, mengapa cianpwee
tak mau mengurus sendiri, sebaliknya memaksa boanpwee
yang membereskan ?”
“Dahulu di gunung Kiu-hoa-san aku pernah
mengucapkan janji, tak akan mencampuri urusan dunia lagi
! Bagaimana aku dapat melanggar janjiku sendiri?”
“Perbuatan cianpwee memaksa boanpwee untuk
mencarikan tanda kebesaran ketua golongan cianpwee,
bukankah berarti melanggar peraturan golongan cianpwee
sendiri ?”
Paderi gila itu mendadak membentak dengan suara
keras:
“Bocah ! Apa kau sudah gila ? Mengapa kau berani
mengatakan yang bukan-bukan terhadap diriku ? Apa kau
mau mencari mampus ?”
Setelah itu mendadak tangannya diangkat, lengan
jubahnya yang rombeng berkibaran menyambar Touw
Liong.
Touw Liong sebagai seorang muda keluaran dari
perguruan ternama, sudah tentu tidak mandah dibuat bulanbulanan
oleh jubah paderi gila itu. Dengan satu gerakkan
lincah ia mengelakkan kebutan itu. Sedang mulutnya
berkata:
“Boanpwee seharusnya akan mengalah sampai tiga kali
menghadapi locianpwee .....”
“Tetapi aku paderi gila tak sudi menerima budimu ini.
Awas !”
Dengan badan masih tak bergerak, paderi itu
menggunakan lima jari tangannya, mengeluarkan
hembusan angin yang disentil oleh jari tangannya.
Touw Liong yang belum sempat tancap kaki, sudah tak
keburu mengelakkan serangan itu, maka akhirnya terpukul
jatuh oleh paderi tua.
Sementara itu, paderi gila itu maju menyerbu bagaikan
kilat cepatnya, kemudian tangannya menyerang sambil
berseru:
“Bocah, kau tak dapat diampuni !”
Serangan itu benar-benar mengenakan dengan telak ke
atas kepala Touw Liong, hingga Touw Liong jatuh pingsan
seketika itu juga.
Dengan tangan masih diletakkan diatas kepala Touw
Liong, paderi gila itu kemudian duduk bersila di
hadapannya sambil memejamkan mata dan menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya.
Sang waktu telah berlalu, wajah paderi tua itu perlahanlahan
berubah, dari merah menjadi kuning dan dari kuning
kemudian menjadi pucat pasi .....
Peluh mulai membasahi jidatnya, napasnya mulai
memburu, tangannya diletakkan di atas kepala Tou Liong
seperti sudah kehilangan kekuatannya, perlahan-lahan jatuh
kebahu Touw Liong. Sebentar kemudian ia membuka
matanya yang sayu lalu menarik napas dengan wajah penuh
belas kasih menatap wajah Touw Liong yang merah dan
berkata padanya dengan tidak bertenaga:
“Bocah, aku pilih kau untuk melakukan tugas bagiku,
ilmuku kekuatan tenaga dalam – Membuka pintu langit –
sudah kusalurkan ke dalam tubuhmu, harap kau melatihnya
sendiri baik-baik. Kau harus mengerti bahwa aku memilih
kau untuk memikul tugas ini, sesungguhnya sudah kupikir
masak-masak, seyogyanya, aku yang masih ada sedikit
ganjelan hati dengan suhumu, tidak seharusnya memilih
kau. Tetapi justru lantaran ini, pula karena kau merupakan
seorang luar biasa pada dewasa ini, sedang suhumu itu
mungkin anggap dirinya sebagai orang luar biasa pada masa
ini, maka aku sengaja memberikan tugas berat ini
kepadamu, supaya ia membuka mata menyaksikan
muridnya tersayang, meninggalkan perguruannya dan
kemudian menjadi ketua golongan pengemis generasi
kedua.”
Ia menghela napas, kemudian berkata pula:
“Dengan sebetulnya, mengenai persoalan yang tidak
enak terhadap suhumu, itu adalah soal lain. Sebab utama
yang mendorong aku bertindak demikian ialah karena aku
pandang sifat kepribadianmu yang kuanggap dapat
diberikan tugas berat ! Aiii .....! Usiaku sudah lanjut, tak
lama lagi aku harus pulang menghadap kepada Tuhan.
Akan tetapi, urusan didalam golongan pengemis aku harus
bereskan lebih dahulu. Harta kekayaan peninggalan ayahku
dulu, dan dendam sakit hati ayah juga perlu aku menuntut
balas. Aku sudah menjadi anak yang tak berbakti, sudah
hidup hampir seratus tahun tidak berhasil menunaikan
tugasku, terpaksa aku angkat kau sebagai murid tak resmi
untuk melakukan beberapa tugas yang tak dapat
kuselesaikan ini !”
Berkata sampai disitu, paderi gila itu dari dalam sakunya
mengeluarkan sepucuk sampul surat dan tanda kebesaran
harimau putih, lalu dimasukkan ke dalam tangan Touw
Liong.
Perlahan-lahan ia bangkit, setelah memandang keadaan
cuaca sejenak, lalu menundukkan kepala dan berkata lagi
kepada Touw Liong:
“Selamat tinggal Touw Liong ! Semua pengharapan
suhumu terletak diatas pundakmu !”
Dengan perasaan agak berat paderi gila itu menatap
wajah Touw Liong sekian lama, barulah berlalu.
Ia berjalan demikian pesat, sebentar kemudian
bayangannya sudah ditelan oleh kegelapan.
Ketika sinar matahari pagi menyinari bumi, Touw Liong
telah siuman dan duduk untuk mengatur pernapasannya.
Apa yang dilakukan oleh paderi gila terhadap dirinya, ia
tidak tahu sama sekali. Hakekatnya saat itu ia sudah berada
dalam keadaan yang seolah-olah sudah melupakan dirinya
sendiri.
Dalam keadaan demikian, dari sebuah rimba, beberapa
tombak jauhnya dari tempat itu, muncul beberapa bayangan
hitam. Dengan cepat sudah tiba dihadapan Touw Liong.
Seorang berpakaian jubah warna hitam, mukanya
tertutup oleh kain hitam, hingga hanya tampak sinar
matanya saja yang terdapat dari dua lobang bagian mata.
Sinar tajam dan menyeramkan itu ditujukan kepada Touw
Liong.
Ketika pandangan mata itu tertuju kepada batu giok
berbentuk harimau putih, sekujur badannya gemetar.
Dengan nada suara terkejut berkata kepada diri sendiri ;
“Benda ini sudah tigapuluh tahun tidak nampak ! Tak
disangka terjatuh di tangan bocah ini !”
Orang itu membungkukkan badannya mengambil tanda
kebesaran dari tangan Touw Liong. Kemudian buru-buru
dimasukkan kedalam sakunya sendiri, setelah itu
mengeluarkan suara tertawa dingin, tangan kanannya
diangkat tinggi-tinggi, dengan sinar matanya yang bengis
berkata ; “Bocah, kau harus kuhabiskan nyawamu !”
Ketika tangannya bergerak baru setengah jalan
mendadak ditariknya kembali, lalu berkata pula dengan
dirinya sambil menggelengkan kepala ; “Mengapa aku
harus berlaku tergesa-gesa, bagaimanapun juga nyawa
bocah ini toh tinggal nanti malam saja. Tunggu setelah ia
memberitahukan tempat tersimpannya batu Khun-ngo-giok,
asal dihadapan sancu muda aku berikan keterangan dengan
ditambahi bumbu seperlunya, sancu muda tidak akan
melepaskan begitu saja .....”
Dari perkataan orang itu jelas ia sudah bermaksud
hendak menimbulkan onar buat Touw Liong. Orang itu
semakin lama berpikir semakin membenarkan
anggapannya, maka juga semakin bangga akan
kecerdikkannya.
Ia mendongakkan kepala memandang cuaca pagi,
kemudian berkata dengan suara perlahan ; “Sudah pagi
.....”
“Sudah pagi mau berbuat apa ?” demikian suatu
pertanyaan dengan suara dingin terdengar di belakang
dirinya.
Orang berkerudung itu buru-buru berpaling, seketika itu
bukan kepalang terkejutnya !
Setombak lebih di belakang dirinya, berdiri seorang tua
bermuka sawo matang, berjenggot putih, mengenakan
jubah warna ungu.
“Kukira siapa .....! Kiranya Lichungtju !” Demikian
orang berkerudung itu berkata sambil tertawa dingin.
Orang yang berada di belakang dirinya itu memang
benar adalah Lie Hui Hong, chungtju dari perkampungan
Hut-liong-chung.
“Kau tak perlu memakai kerudung untuk menutupi
mukamu, sekalipun kau sudah dibakar menjadi abu, aku
masih dapat mengenali dirimu.” Berkata Lie Hui Hong
dengan nada suara dingin.
“Tahukah kau, siapa aku ini ?”
“Lie Hu San.”
Orang berkerudung itu membuka kerudungnya dan balas
bertanya dengan nada suara gusar ; “Antara kita berdua
bagaikan air sungai dengan air sumur, yang satu sama lain
tidak saling mengganggu. Kau, Lie Hu San menuntut hidup
dengan caramu sendiri, aku juga hidup dengan caraku
sendiri. Urusan bocah she Touw ini yang sembunyikan batu
Khun-ngo-giok milik saudaraku, masih merupakan soal
kecil. Tetapi perbuatannya yang membunuh saudaraku itu
adalah suatu perkara berat, maka dendam sakit hati ini
tidak boleh tidak kuharus menuntut balas !”
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar
menghampiri Touw Liong, tangannya bergerak hendak
melakukan serangan.
Lie Hu San menggelengkan kepalanya menahan tangan
Lie Hui Hong seraya berkata ; “Aku hendak bicara sebentar
!”
Lie Hui Hong menarik kembali tangannya dan bertanya
dengan suara marah ; “Lie Hu San ! Berani kau berbuat
demikian terhadap aku ?”
Dengan tertawa mengejek, Lie Hu San berkata sambil
menggelengkan kepala ; “Bukan .....! Bukan ! chungtju
jangan salah paham ! Didalam kupel Tja-lie-tjiang-ting,
maksudmu dan maksudku ada bersama, keadaan sekarang
berlainan. Maksud kedatangan chungtju adalah hendak
membalas sakit hati adikmu, sedang maksudku adalah
terhadap batu giok itu.”
“Perhitungan pangcu salah, saudaraku telah korbankan
jiwa lantaran batu giok itu. Bagaimana aku bisa
melepaskan begitu saja ?”
“Benar …..! Benar …..! Ucapan chungtju memang benar.
Tetapi aku sekarang hendak tanya kepadamu, jikalau kau
dengan seranganmu tadi membuat jiwa bocah ini melayang,
namun masih belum mendapatkan hasil apa-apa, bukankah
sia-sia saja usaha kita ? Sementara itu dimana adanya batu
giok, chungtju sendiri juga masih belum tahu.”
Lie Hui Hong tercengang. Dengan tenang Lie Hu San
berkata pula ; “Aku juga tidak menyalahkan thungtju,
bocah ini sesungguhnya juga agak keterlaluan sedikit.
Kematian djie-chungtju sesungguhnya amat
menggenaskan.”
“Menurut pikiranmu, bagaimana kita harus berbuat ?”
“Menurut pendapatku, kita jangan bunuh dulu padanya.
Kita berikan sedikit hajaran padanya. Kita boleh bunuh
setelah dia menerangkan simpanan batu giok itu.
Kemudian, kita masing-masing mengadu kepandaian
sendiri-sendiri, siapa yang kuat berarti akan memiliki
barang itu, dan siapa yang memiliki kepandaian akan
mendapatkan batu giok itu, dialah yang harus menguasai
dunia rimba persilatan dikemudian hari.”
“Perhitunganmu memang cukup cerdik, kau hendak
mengerahkan semua kekuatan golongan pengemis untuk
bertanding ?”
“Sama .....! sama .....! Perkampungan Hui-liong-chung di
daerah utara juga merupakan suatu kekuatan cukup besar,
apalagi di belakang chung-tju masih ada susiokmu yang
menunjang.”
Dua orang itu berpaling, Touw Liong ternyata sudah tak
tampak mata hidungnya lagi !
Bukan kepalang terkejutnya dua orang itu. Lama mereka
saling berpandangan, akhirnya Lie Hui Hong berkata
sambil menarik napas ; “Aku, Lie Hui Hong yang setiap
hari kerjaku menangkap burung, tidak kusangka hari ini
telah dipatok mataku oleh burung !”
Lie Hui San tiba-tiba keluarkan suara tertawa dingin,
kemudian berkata ; “chungtju jangan bingung ! Aku tahu
kemana perginya bocah itu.”
“Kemana dia pergi ?”
“chungtju, ikutlah aku !” Sehabis berkata, Lie Hu San
lari menuju ke selatan.
Lie Hui Hong dalam keadaan demikian, sekalipun
pikirannya risau, terpaksa
mengikuti jejak Lie Hu San.
***
Malam itu rembulan terang, di tanah lapang depan
sebuah klenteng yang berada di tengah rimba, tampak
berdiri berbaris dua laki-laki dan tiga wanita. Dipandang
dari jauh, lima orang itu agaknya sangat gembira, mereka
berbincang-bincang dan bersenda gurau, akan tetapi jikalau
diteliti agaknya tidak demikian. Ternyata dua laki-laki itu
sedang bertengkar, hanya pertengkaran mereka agak sopan
hingga suaranyapun tak keras !
Jauh dari lapangan itu, diatas jalan batu, tampak dua
orang tua. Yang satu bermuka sawo matang berpakaian
jubah ungu, yang lain berpakaian jubah warna hijau,
sepasang matanya memancarkan sinar tajam.
Orang tua yang tersebut belakangan mendadak berhenti,
berkata kepada orang tua berwajah sawo matang sambil
menunjuk ke lapangan.
“chungtju ! Kau lihat atau tidak, orang yang berdiri
membelakangi kita itu bukankah bocah she Touw yang kita
cari itu ?” Orang tua berjubah ini segera menghentikan
langkahnya, setelah menarik napas panjang, baru berkata ;
“Ya .....! Benar ! Pandangan matamu sungguh tajam. Bocah
itu juga gesit sekali, dalam waktu sangat singkat sudah tiba
di sini !”
Dua orang itu tak usah dikata, adalah Lie Hui Hong dan
Lie Hu San.
Lie Hui Hong menunjuk tiga wanita dan satu laki-laki di
hadapan Touw Liong seraya bertanya ; “Laki-laki dan
perempuan yang bicara dengan bocah itu ....., Siapakah ?
Ada hubungan apa dengan bocah she Touw ?”
“Mereka .....? Hmm .....! Marilah aku ajar kenal chungtju
dengan beberapa orang kuat.”
Ia tak menunggu jawaban Lie Hui Hong, lebih dulu
berjalan menuju ke lapangan itu.
Lie Hui Hong tak berdaya, dengan otak penuh tanda
tanya ia mengikuti jejak Lie Hui San.
Ketika Lie Hui Hong dan Lie Hui San masuk dalam
lapangan, dua laki-laki dan tiga wanita itu semua berpaling
ke arah mereka. Touw Liong menyongsong kedatangan Lie
Hui Hong, sebelum orang she Lie itu membuka mulut, ia
sudah berkata lebih dahulu.
“chungtju tak perlu turut mencampuri urusan ini,
kesalahan paham antara aku dengan chungtju, nanti aku
akan berkunjung kekediamanmu untuk memberi
penjelasan.”
Lie Hui Hong nampak marah, sementara itu Lie Hui San
yang mendapat kesempatan baik segera berkata ; “Dalam
urusan ini chungtju jangan tergesa-gesa, kau toch tak akan
takut bocah ini akan lari bukan ? Siaute akan jamin pada
chungtju bahwa maksudmu hendak membinasakan bocah
ini, malam ini pasti terkabul. Mari .....! Kuperkenalkan
lebih dulu kepada beberapa orang kuat !”
Ia memberi hormat pada gadis berbaju ungu yang
berhadapan dengan Touw Liong, lalu memperkenalkan Lie
Hui Hong kepada gadis itu. “Ini adalah saudara Lie Hui
Hong, chungtju dari perkampungan Hui-liong-chung.”
Kemudian ia berkata kepada Lie Hui Hong sambil
menunjuk gadis itu ; “Dan ..... Nona ini adalah nona Pek
Giok Hwa, sancu muda dari gunung Pek-lo-san.”
Setelah kedua pihak saling memberi hormat, Lie Hui San
kembali memperkenalkan tamunya kepada laki-laki tinggi
besar ; “Saudara ini adalah Kokcu dari Siao-thian-kok
digunung Tjit-phoa-san, saudara Soa Lie.”
Lie Hui San mengerutkan alisnya, sementara dalam
hatinya berpikir ; “Semua hanya merupakan beberapa
orang yang tidak dikenal namanya, apa itu gunung Tjitphoa-
san ? Sedikitpun belum pernah dengar ada orang
kuat.”
Meski dalam hati berpikir demikian, akan tetapi ia
adalah seorang kang-ouw kawakan, menampak sikap Lie
Hui San demikian menghormat terhadap gadis itu. Ia segera
dapat menduga bahwa gadis itu bukan orang sembarangan,
maka ia juga tak berani berlaku ayal. Ia berkata ; “Sudah
lama kudengar nama nona yang besar !”
Lalu, Lie Hui San memperkenalkan Lie Hui Hong
kepada kedua wanita cantik yang hampir setengah umur.
Lie Hui San berkata kepada kedua wanita sambil menunjuk
Lie Hui Hong ; “Saudara ini adalah chungtju dari Huiliong-
chung yang tadi sudah memperkenalkan kepada nona
Pek.”
Kemudian berkata kepada Lie Hui Hong ; “Dua nona ini
pasti sudah tak asing lagi bagi chungtju, nona-nona ini
adalah sepasang burung Hong dari gunung Biu-san …..”
Dua wanita cantik itu memberi salam pada Lie Hui
Hong. Bukan kepalang terkejutnya Lie Hui Hong ketika
mendengar disebutnya nama dua wanita cantik itu, ia buruburu
memberi hormat seraya berkata ; “Sudah lama
kudengar nama nona berdua, selama itu aku merasa
menyesal tidak mendapat kesempatan berkenalan, maka
pertemuan kita hari ini, aku anggap sebagai suatu
kehormatan yang besar bagi diriku.”
Sementara itu, Touw Liong yang mendengarkan
pembicaraan itu, dalam hatinya berpikir ; “Sepasang burung
Hong dari gunung Bu-san …..! Apakah mereka itu bukan
orang yang sering disebut oleh suhu sebagai muridnya Anak
sakti dari gunung Bu-san !”
Setelah diperkenalkan dengan dua wanita cantik dari
gunung Bu-san, pandangan Lie Hui Hong terhadap gadis
cantik berpakaian ungu itu mulai berubah, pikirnya ;
“Orang-orang kuat seperti sepasang burung Hong ini, juga
menyediakan diri sebagai pembantunya, kalau begitu anak
perempuan ini tampaknya bukan dari golongan
sembarangan, mungkin keturunan dari orang ternama.”
Gadis berbaju ungu itu dengan wajah murung memberi
hormat kepada Lie Hui Hong seraya berkata ; “Nasib yang
dialami oleh Lie chungtju, siaolie turut merasa berduka,
harap Lie chungtju jangan terlalu bersedih.”
Lie Hui Hong tak menjawab, dengan mata marah
menatap wajah Touw Liong.
Touw Liong memberi hormat padanya, tetapi tidak
digubris.
Pek Giok Hwa melanjutkan kata-katanya ; “chungtju,
urusan ini sangat ruwet, tadi setelah kudengar keterangan
dari Touw tayhiap, aku agak curiga. Dengan kedudukannya
yang namanya demikian kesohor sebagai pendekar
kenamaan, rasanya tak mungkin berbuat demikian, untuk
merusak nama baiknya sendiri.” Kata-kata gadis itu
ternyata hendak membela Touw Liong.
Lie Hui Hong sudah tentu merasa kurang senang, maka
segera membantah ; “Nona jangan dengar keterangan
sepihak dari bocah itu saja, bukti sudah nyata tak dapat
disangkal lagi. Dalam urusan ini, kecuali dengan istilah
melakukan pembunuhan dengan maksud merebut
kekayaannya, rasanya sudah tak ada kata-kata untuk
menjelaskan, maka kata-kata itu merupakan kata-kata yang
berlebihan.”
Lie Hu San diam-diam merasa cemas, sementara salah
satu dari dua wanita cantik itu, memandang Lie Hui Hong
sambil tersenyum, kemudian berkata ; “chungtju jangan
marah, urusan ini jika benar seperti apa yang chungtju
katakan, perbuatan Touw tayhiap itu, malam ini sudah
tentu takkan terlepas dari hukumannya. Bagaimanapun
juga akan membiarkan chungtju menuntut balas kematian
adik chungtju dengan sepuasnya. Akan tetapi, segala urusan
dalam dunia ini semuanya tak boleh terlepas dari aturan,
pribasa bilang : - Orang yang bersangkutan selamanya tidak
mengetahui keadaan sendiri, tetapi bagi orang yang
menyaksikan selalu mengerti.- Jikalau benar Touw tayhiap
melakukan perbuatan seperti apa yang chungtju tuduhkan,
ia sudah merampas batu Khun-ngo-giok, dan kemudian
membunuh adikmu, rasanya tidak perlu ia menempuh
bahaya lagi, dengan melakukan perjalanan sejauh itu untuk
mengantarkan batok kepala adikmu keperkampungan Huiliongchung.
Mengapa ia tak mencari tempat yang aman,
untuk membuat pedang Khun-ngokiam?”
Lie Hu San merasa khawatir usahanya menghasut
takkan berhasil, maka dengan cepat lantas menjawab ;
“Orang-orang jaman sekarang, pikirannya tidak seperti
orang-orang di jaman dulu ! Jaman ini berlaku kata-kata
yang menanggapi. Generasi muda sangat menakutkan.
Siapa dapat menduga permainan apa yang dilakukan oleh
orang she Touw ini ? Maka tayhiap sebaiknya jangan
mencoba hendak menutupi dosanya dengan kata-kata yang
manis.”
Perkataan generasi muda sangat menakutkan yang
diucapkan oleh Lie Hu San bagi Touw Liong sudah sangat
menusuk, tetapi Pek Giok Hwa yang turut mendengarkan
juga merasa tidak senang. Mukanya menunjukkan sedikit
perubahan, segera ia mengeluarkan suara menggumam.
Lie Hui San agaknya telah melihat perubahan itu, ia
buru-buru menundukkan kepalanya.
Pek Giok Hwa lalu berkata kepada Lie Hui Hong ;
“Nama besar chungtju sudah terkenal di daerah Tionggoan,
maka dalam segala hal supaya bertindak dengan jiwa besar.
Dalam urusan ini, sukalah kiranya chungtju memandang
muka siaolie, sudahlah sampai di sini saja !”
Lie Hui Hong masih penasaran, tapi ketika menyaksikan
perubahan muka Pek Giok Hwa, dalam hati merasa
terkejut. Ia baru tahu bahwa ucapannya tadi telah
menyinggung perasaan gadis itu. Kini gadis itu nampaknya
sudah bertekad hendak membela Touw Liong, dan katakatanya
juga demikian tegas, maka hal ini membuat dirinya
menjadi serba salah.
Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan baik,
sudah tentu Lie Hui Hong tak mau mundur begitu saja.
Ketika mendengar perkataan gadis itu segera balas
menanya.
“Malsud nona memang baik, lebih dulu kuucapkan
terima kasih, tetapi …..! bagaimana dengan kematian
adikku ? Tentang kepala adikku itu, bagaimanapun juga
orang she Touw itu harus mempertanggung jawabkan !”
Lie Hu San buru-buru memberi isyarat dengan
pandangan mata kepadanya, untuk mencegah supaya Lie
Hui Hong jangan meneruskan kata-katanya. Sayang
peringatan itu agak terlambat, Pek Giok Hwa sudah berkata
dengan wajah pucat.
“Jikalau Li-chungtju tak mau dengar usulku tadi, siaolie
masih ada suatu cara yang mungkin akan memuaskan bagi
kedua pihak.”
“Coba nona terangkan !” Berkata Lie Hui Hong sambil
memberi hormat.
“Cara yang kuusulkan ini merupakan dua rupa jalan
yang bersifat extrem, sedikitpun takkan memberi keluangan
untuk berdamai lagi .....!” Berkata Pek Giok Hwa tegas.
Ia berdiam sejenak, matanya yang jeli memandang muka
orang-orang disekitarnya, kemudian berkata kepada salah
satu dari dua wanita cantik dari gunung Bu-san ; “Na Lo !
Kau beritahukan kepada mereka !”
Na Lo membungkukkan badan memberi hormat,
kemudian berkata ; “Sutit menerima baik perintah susiok.”
Perkataan “susiok” yang keluar dari wanita cantik itu
benar-benar sangat mengejutkan Lie Hui Hong dan Touw
Liong. Harus diketahui bahwa Anak sakti dari gunung
Busan, tingkat dan kedudukannya hampir setaraf dengan
tiga Dewa dari golongan pengemis. Wanita cantik itu
adalah anak murid tokoh kuat dari gunung Busan itu.
Sesungguhnya sangat mengherankan bahwa seorang gadis
yang usianya belum duapuluh tahun sudah menyebut nama
dua wanita cantik yang usianya lebih tua itu begitu saja.
Tinggi tingkatnya gadis itu sesungguhnya di luar dugaan
Lie Hui Hong dan Touw Liong.
Sementara itu Na Lo setelah mendapat perintah dari
susioknya berjalan menghampiri Lie Hui Hong dan berdiri
di hadapannya sekitar tiga langkah kemudian berkata
sambil tersenyum manis ; “Maksud susiok kami ialah,
pertama, kesalahan terhadap adik chungtju, Touw tayhiap
tidak dapat mengelakkan tanggung jawabnya. Berikanlah
waktu tiga tahun padanya. Dalam waktu tiga tahun ini,
Touw tayhiap harus menyerahkan pembunuh yang
sebenarnya kepada Lie chungtju, untuk membersihkan
dosanya sendiri!”
Touw Liong masih belum menyatakan pikirannya, Lie
Hui Hong sudah majukan pertanyaan ; “Bagaimana
andaikata dalam waktu tiga tahun ia tak dapat menemukan
pembunuh yang sebenarnya ?”
“Touw tayhiap toh bukan seorang sembarangan, sudah
tentu ia akan memberikan keadilan kepadamu !” Jawab Na
Lo sambil tersenyum.
“Aku orang she Touw, apabila dalam waktu tiga tahun
tidak dapat menyerahkan pembunuh yang sebenarnya,
tidak bisa lain, aku akan datang sendiri ke perkampungan
Huiliong-chung untuk menyerahkan batok kepalaku dibuat
sembahyang di hadapan arwah sahabatmu !” Berkata Touw
Liong sambil tertawa terbahak-bahak. Ucapan yang sangat
gagah itu, sudah tentu mendapat pujian bagi siapa yang
mendengarnya.
Tetapi lie Hui Hong masih belum puas, ia hanya
mengangguk-anggukkan kepala, kemudian bertanya lagi
kepada Na Lo ; “Bagaimana dengan cara kedua yang nona
bilang ?”
Na Lo merasa tidak senang, dengan nada suara dingin
dia berkata ; “Cara yang kedua ini sebaliknya juga belum
tentu chungtju dapat menerima baik !”
Dengan wajah merah padam Lie Hui Hong berkata
dengan suara keras ; “Mana bisa ! Aku ..... Lie Hui Hong
meskipun tidak memiliki kepandaian apa-apa , tetapi
perkampungan Hui-liong-chung di dalam rimba persilatan
juga tidak merupakan suatu tempat yang tidak dikenal.
Katakan saja, sekalipun harus terjun kedalam api atau
kedalam air, jikalau aku orang she Lie akan mengerutkan
alis bukanlah seorang laki-laki !”
“chungtju memang orang gagah, kata-katamu cukup
berarti. Baiklah kau dengar baik-baik !” Berkata Na Lo
sambil tertawa. Ia memandang kepada Lie Hui Hong dan
Touw Liong. Kemudian baru berkata lagi ; “Tuan-tuan
berdua sekarang harus melakukan pertandingan di tempat
ini, masing-masing harus berusaha mengalahkan lawannya
dengan kepandaian ilmu silat yang ada. Siapa yang kuat
dialah yang benar, dan orang yang kalah harus mengaku
kesalahannya serta menanggung segala risikonya !”
Berkata sampai disitu ia tertawa nyaring, kemudian
berkata pula ; “Aku percaya Lie chungtju tidak berani
terima usul ini, sebab Touw tayhiap memang berada
dipihak yang benar, dan kedua, namanya yang kesohor
hampir seluruh jagat sudah menjadi bukti betapa tinggi
kepandaiannya, rasanya bukan soal mudah kalau chungtju
ingin mengalahkan Touw tayhiap!”
Begitu mendengar kata-kata Na Lo itu, bukan main
marahnya Lie Hui Hong. Seketika ia menggeram hingga
jenggotnya pada bergerak. Dengan cepat menghunus golok
masnya dan berkata sambil menunding Touw Liong ; “Baik
.....! kita mulai !”
“Sabar dulu .....!” Berkata Na Lo mencegah kemarahan
Lie Hui Hong, kemudian berkata perlahan ; “Kata-kataku
tadi belum habis, harap chungtju jangan bertindak dulu.”
Lie Hui Hong terpaksa menunda serangannya.
Sementara itu Na Lo berkata pula ; “Kita orang-orang dari
gunung Tjit-phoa-san ada mempunyai suatu kebiasaan.
Sesuatu pertikaian yang kita bereskan, jika kesudahannya
harus dilakukan dengan suatu pertandingan ilmu silat.
Setelah pertandingan itu berakhir, bagi orang yang kalah,
menurut peraturan pihak kita, yang selalu membela pihak
yang lemah, maka kita harus memberikan perlindungannya.
Dan bagi pihak yang menang, jikalau tidak dapat
mengalahkan pihaknya orang yang berlaku sebagai
pelindung, jangan harap dapat bertindak terhadap lawannya
yang sudah kalah.”
Lie Hui Hong merasa lega, ia bertanya ; “Seandainya
aku yang menang, apakah harus bertanding lagi dengan
nona, barulah dapat membunuh bocah itu ?”
Ucapan chungtju hanya setengah yang benar, jikalau hari
ini chungtju dapat mengalahkan Touw tayhiap, bukan saja
masih harus mengalahkan aku, tetapi juga …..!”
Ia berpaling mengawasi Pek Giok Hwa dan berkata lagi ;
“Masih harus dapat mengalahkan susiokku !”
Tanpa merasa Touw Liong alihkan pandangan matanya
kepada Pek Giok Hwa yang cantik bagaikan bidadari, tetapi
sesaat itu sikapnya sangat dingin. Sementara dalam hati
berpikir : “Batas waktu bagi Panji Wulung masih dua hari,
hidup-matiku masih belum kuketahui, malam ini untuk
mengalahkan Lie Hui Hong saja sudah bukan perkara
mudah, jikalau dikalahkan oleh Lie Hui Hong dan aku
harus dilindungi oleh kaum wanita, ini sesungguhnya
sangat memalukan sekali. Daripada hidup mendapat malu
....., lebih baik mati saja ! Mati di tangan Lie Hui Hong atau
mati ditangan wanita itu ..........!”
Selagi pikirannya masih bekerja, Lie Hui Hong sudah
mengajukan pertanyaan pula ; “Jikalau aku kalah
ditangannya orang yang mendamaikan, bagaimana
akibatnya ?”
“Mudah sekali .....! Masuk menjadi anggauta golongan
gunung Tjit-phoa-san!”
Lie hui Hong berpikir sejenak, lalu bertanya pula ;
“Bagaimana kalau aku tak suka menjadi anggauta gunung
Tjit-phoa-san ?”
“chungtju seorang pintar, tidak susah untuk menduga
bagaimana akibatnya!”
Berkata Na Lo sambil tertawa.
“Baiklah ! Hari ini bagaimanapun juga jika kalau tidak
hidup, ialah mati. Sekarang saja harap nona mencarikan
seorang wasit bagi kita.”
Sehabis berkata, Lie Hui Hong hunus goloknya, lalu
pasang kuda-kuda.
Sedangkan Touw Liong juga hendak menghunus
pedangnya, tetapi mendadak berpikir lain. Pedangnya tidak
jadi dihunus, ia berkata dengan hambar ; “Dengan sepasang
tangan kosong aku hendak menyambut ilmu golok Lie
chungtju yang telah menggetarkan daerah utara !”
Pek Giok Hwa agaknya dapat menebak apa yang dipikir
dalam hati Touw Liong.
Dengan suara perlahan dia berkata kepada wanita cantik
disampingnya ; “Ciauw kun, kau dapat lihat maksud Touw
Liong atau tidak ? Orang yang berjiwa ksatria, ia tidak suka
apabila ia kalah dalam pertandingan dengan Lie Hui Hong
lalu minta perlindungan kepada kita kaum wanita. Namun
ia juga tak suka setelah menangkan lawannya lalu
bertanding dengan pihak kita lagi. Rupanya ia sudah tahu
malam ini ia sudah yakin tak dapat mengalahkan pihak
kita, itulah maka sengaja dengan tangan kosong melawan
ilmu golok emas Lie Hui Hong yang telah kesohor .....!
Orang itu sudah bertekad hendak bertempur sampai mati !”
Ciauw Kun menganggukkan kepala membenarkan
pikiran gadis itu. Pek Giok Hwa memberikan pesan kepada
Ciauw Kun ; “Kau waspada sedikit, jika perlu lekas kau
turun tangan menolong jiwanya. Orang ini dikemudian hari
besar sekali gunanya.”
Lie Hui Hong yang saat itu sudah mulai bergerak, telah
menunjukkan keahliannya mainkan golok emasnya yang
berkilauan, terus menyerang bertubi-tubi kepada Touw
Liong.
Touw Liong sambil tertawa nyaring menguji ilmu golok
lawannya, kemudian tangan kanannya didorong maju,
tangan kiri membuat satu lingkaran, dengan menggunakan
gerak tipu dari ilmu pedangnya Kiu-hoa Sin-kiam yang
diubah menjadi serangan tangan menyambut serangan
golok Lie Hui Hong. Dari kedua tangannya itu
menghembuskan angin dingin sangat hebat.
Dengan tiba-tiba golok ditangan Lie Hui Hong terpental
dan terlepas dari pegangannya.
Golok itu terbang kedalam rimba sejauh lima tombak
dari tempat mereka bertarung, ujungnya nancap disebuah
pohon sedalam setengah dim, sedang gagang goloknya
masih bergerak-gerak.
Sedang Lie Hui Hong sendiri, setelah goloknya terlepas
dari tangannya, orangnya juga terpental mundur terhuyunghuyung
sehingga setombak lebih, namun masih belum
berhasil mempertahankan dirinya, hingga akhirnya jatuh
terlentang.
Kejadian itu mengejutkan semua orang, paling terkejut
adalah Touw Liong sendiri. Ia sungguh tidak mengerti
bahwa serangan itu demikian hebat, hanya dengan satu
gebrakan sudah berhasil melumpuhkan lawannya dengan
demikian hebat ……….! Hanya dengan satu gebrakan
sudah berhasil melumpuhkan lawannya dengan demikian
menyedihkan !!..
Lie Hui San buru-buru menghampiri dan menolong
bangun Lie Hui Hong. Dengan mata merah membara Lie
Hui Hong memandang Touw Liong sejenak, kemudian
berkata kepada Pek Giok Hwa ; “Kebaikan nona, dilain
waktu aku orang she Lie pasti akan membalasnya, dalam
urusan hari ini, aku hanya dapat menyesalkan
kepandaianku sendiri yang kurang tinggi ! Sekarang aku
hendak minta diri.”
Tanpa menunggu reaksi gadis itu, dengan langkah lebar
Lie Hui Hong berjalan menuju ke dalam rimba, hendak
mengambil goloknya dan kemudian meninggalkan tempat
itu.
Lie Hui San buru-buru mencegah, ucapnya ; “Jangan
.....!” Baru keluar dari mulutnya, mendadak tampak
berkelebatnya sesosok bayangan manusia. Dan di hadapan
Lie Hui Hong pada saat itu sudah berdiri Soa Li yang
tubuhnya tinggi besar bagaikan menara.
“Kok-cu mau apa ?” Tanya Lie Hui Hong yang masih
marah.
“Sebelumnya toh sudah dijelaskan, chungtju setelah
undurkan diri dari pertempuran tadi, harus menerima
perlindungan dari orang-orang golongan kita. Sebagai
seorang laki-laki seharusnya tidak boleh mengingkari janji.
Kukira chungtju tentunya bukan seorang rendah yang suka
mengingkari janji begitu saja.” Berkata Soa Li sambil
memberi hormat.
Lie Hui Hong menarik napas panjang, lalu membatalkan
maksudnya. Kemudian berkata ; “Baiklah .....! Hari ini
apabila kalian dapat membalaskan bocah she Touw itu, aku
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Akan bersedia menyerahkan
jiwa ragaku kepada Tjit-hoasan!”
Dengan menundukkan kepala dan sikap murung, Lie
Hui Hong terpaksa balik kembali ke lapangan.
Sementara itu Na Lo telah memberi hormat kepada Pek
Giok Hwa, kemudian menghampiri Touw Liong yang saat
itu masih berdiri bingung. Ia berkata dengan suara lembut ;
“Touw tayhiap ....., mari kita mulai !”
Touw Liong tersenyum getir, berkata sambil
menggelengkan kepala ; “Kepandaian nona Na bagaikan
malaikat dari langit ….., Touw Liong hanya seorang
manusia biasa ….., Bagaimana berani melawan malaikat ?”
“Touw tayhiap jangan berlaku merendah, hari ini aku
sudah mengerti, tidak sampai sepuluh jurus pasti akan kalah
di tanganmu !” Berkata Na Lo sambil tertawa manis,
kemudian menghunus pedang panjangnya hendak melawan
Touw Liong. Ia sedikitpun tidak berani berlaku gegabah.
Jilid 3
Lie Hui San diam-diam mendekati Lie Hui Hong,
dengan suara perlahan ia bertanya:
“Hanya dalam waktu dua jam saja, bagaimana
kepandaian dan kekuatan tenaga bocah ini sudah mendapat
kemajuan demikian pesat ? Benar-benar suatu kejadian ajaib
!”
Lie Hui Hong tidak menjawab, dengan sinar matanya
yang masih mengandung kemarahan, menatap pedang Na
Lo. Dalam hatinya pada waktu itu benar-benar mengharap
kepada wanita cantik itu agar berhasil membinasakan
musuhnya.
Sementara itu Touw Liong telah berkata sambil
menyoja:
“Hari ini jikalau Na Lihiap memang akan memberi
pelajaran kepadaku, aku orang she Touw tidak bisa berbuat
apa-apa, terpaksa bersedia melayani Na Lihiap beberapa
jurus. Hanya mengharap agar Lihiap suka berlaku sedikit
murah hati.”
Setelah itu ia juga menghunus pedangnya, setelah
mempersilahkan lawannya, ia berdiri sambil pasang kudakuda
menantikan gerakkan lawannya.
Na Lo melayang kesamping, dengan suatu gerakan yang
manis pedangnya menyerang Touw Liong, sementara
mulutnya mengeluarkan kata-kata:
“Touw tayhiap, sambutlah seranganku ini !”
Serangan Na Lo yang dimulai dengan gerakan sangat
manis, disusul dengan gerakan gencar dan rapat, semua
serangan ditujukan kepada jalan darah sekujur tubuh Touw
Liong, sedangkan tangan yang lain dengan disengaja atau
tidak membuat suatu gerakkan tanda rahasia!
Touw Liong yang menghadapi serangan gencar dari Na
Lo, tidak memperhatikan sedikitpun juga, sebaliknya ia
merasa tertarik oleh gerakan tangan yang dilakukan sebagai
tanda rahasia oleh wanita cantik itu.
Touw Liong belum keburu melancarkan serangannya
sudah memutar tangan dan mundur tiga tombak, kemudian
sambil mengundurkan diri dan menarik kembali pedangnya
ia berkata:
“Kepandaian nona Na terlalu tinggi bagiku. Aku orang
she Touw merasa sangat kagum.”
Dengan kata-katanya itu dimaksudkan ia hendak
menyerah kalah, hal ini sangat membingungkan Lie Hui
Hong dan Lie Hui San. Mereka sungguh tidak menyangka
bahwa Touw Liong demikian tidak tahu malu, tidak berani
menyambut serangan wanita itu, dan belum-belum sudah
menyerah kalah, agaknya ingin buru-buru minta
perlindungannya.
“Touw tayhiap jangan berlaku merendah, kuucapkan
terimaksih atas kebaikanmu, untuk selanjutnya kita satu
sama lain akan merupakan orang-orang sendiri. Mari lekas
menemui susiokku.” Berkata Na Lo sambil tertawa.
Kemudian ia mempersilahkan Touw Liong menemui
Pek Giok Hwa.
Touw Liong menengadah, matanya memandang awanawan
yang bergerak di angkasa. Ia berpikir sejenak,
kemudian berkata sambil memberi hormat:
“Maksud baik nona Na kuucapkan banyak-banyak
terima kasih. Aku orang she Touw, meskipun menyerah
kalah di tanganmu, tetapi aku tiada maksud untuk
menerima syarat menjadi anggotamu. Sebaiknya aku minta
nona supaya suka memberi keterangan tentang tanda-tanda
yang nona tadi berikan dengan gerakan tangan.”
Belum lagi Na Lo membuka mulut mencegah, Touw
Liong melanjutkan kata-katanya. Lie Hui San yang berdiri
di samping, melihat ada kesempatan baik, lalu mencela
sambil tertawa dingin:
“Bocah she Touw, maksudmu apakah kau tidak suka
menjadi golongan Cit-phoa-san?”
Touw Liong menganggukkan kepala dan menjawab
dengan gagah:
“Aku adalah seorang golongan dari perguruan ternama,
bagaimana boleh berbuat yang menodakan nama baik
perguruan sendiri?”
“Boleh saja kau berpikir demikian, tetapi suasana hari ini
tidak mengijinkan kau berpikir menurut sesukamu. Kalau
kau demikian tidak tahu diri, asal sancu muda mau, jiwamu
akan melayang,” berkata Lie Hui San dingin.
“Seorang laki-laki tidak akan takut mati. Yang penting
ialah, kematian itu memang seharusnya atau tidak? Apakah
hari ini aku harus mati atau tidak, ini adalah soal lain.”
Bab 7
Dengan gerak langkah kaki yang lemah gemulai, Pek
Giok Hwa maju beberapa langkah sambil mengibaskan
lengan bajunya, sehingga Lie Hui San buru-buru mundur
dan berdiri di samping sambil meluruskan dua tangannya.
Pek Giok Hwa mengerling kepada Touw Liong,
kemudian berkata dengan suara lirih:
“Semangat seorang laki-laki gagah, memang tidak
mudah dipatahkan. Sikap dan jiwa ksatria Touw tayhiap,
siaolie sangat kagum. Pada dewasa ini siaolie sesungguhnya
sedang dalam kesulitan, apalagi tayhiap sudi ulur tangan
memberi bantuan, budi tayhiap ini tak akan kulupakan
untuk selama-lamanya.”
Touw Liong mengalihkan pandangan mata kearah Na
Lo, seolah-olah hendak menjajaki pikiran jago betina dari
gunung Bu-san itu. Tetapi Na Lo hanya menganggukkan
kepalanya, tidak membuka suara, hingga betapapun
pintarnya Touw Liong, juga tidak mengerti maksud dari
kata-kata gadis cantik itu.
“Nona ada keperluan apa?” Demikian akhirnya ia
bertanya.
Pek Giok Hwa mengawasi orang-orang di sekitarnya
sejenak, kemudian berkata: “Mari , Touw tayhiap ikut aku
sebentar!”
Baru habis ucapannya, gadis itu sudah bergerak dan
sebentar sudah keluar dari dalam rimba.
Di luar rimba, terdapat sebuah sungai melintang, di situ
terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan dari satu
tepi ke tepi yang lain. Pek Giok Hwa yang keluar dari
dalam rimba, tiba di atas jembatan, kemudian disusul oleh
Touw Liong. Pek Giok Hwa menyambut kedatangannya
dengan sikap manis dan lemah lembut.
Touw Liong memberi hormat dan berkata kepadanya,
“Nona ada keperluan apa ? Harap berkata terus terang.”
Pek Giok Hwa menghela napas pelahan, dan berkata
sambil menundukkan kepalanya: “Tadi, selagi melakukan
pertempuran, Na Lo telah menggerakkan tangan sebagai
tanda, dan Touw tayhiap lantas menghentikan serangan,
sehingga mengingatkan aku kepada beberapa soal penting!”
“Soal apa?” tanya Touw Liong.
Pek Giok Hwa menatap tajam wajah Touw Liong,
kemudian dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah panji
kecil berwarna hitam.
“Panji Wulung !” Demikian Touw Liong berseru
pelahan.
Sesaat itu, ia lantas mengerti tanda-tanda yang diberikan
Na Lo tadi. Ternyata adalah mengenai Panji Wulung itu.
Tanpa disadari Touw Liong mundur dua langkah,
kemudian bertanya sambil menunjuk panji di tangan Pek
Giok Hwa.
“Apakah nona ada hubungan dengan Panji Wulung?”
“Sedikitpun tidak ada sangkut pautnya ,” jawab Pek
Giok Hwa sambil gelengkan kepalanya.
“Darimana nona dapatkan panji itu?”
“Panji wulung telah mencari aku, ini berarti jiwaku
hanya tinggal tiga hari saja!”
“Ooouw …..!” Berulang-ulang Touw Liong menarik
napas, mendadak teringat pada dirinya sendiri yang juga
menerima panji serupa itu, dan baginya batas waktu itu
sudah dilewati satu hari ! Bagaimana perubahan dalam
waktu dua hari yang akan datang? Hidupkah? Matikah?
Masih belum dapat diduga. Dan kini gadis di hadapan
matanya itu juga menerima nasib yang serupa dengannya,
menerima panji yang hendak mencabut nyawanya. Dari
sikap dan pembicaraannya, gadis itu sedikit banyak
menunjukkan perasaan khawatir, hingga timbullah
perasaan simpati terhadapnya.
“Sungguh tidak kusangka! Mengapa nona menerima
panji yang berarti mencabut nyawa itu?”
Pek Giok Hwa menengadah memandang keadaan di
tempat yang jauh, lalu berkata dengan suara gagah:
“Touw tayhiap! Ketahuilah olehmu bahwa ayahku
sedang mencari kesempatan hendak melakukan suatu
gerakan yang akan menggemparkan daerah Tiong-goan.
Dengan adanya panji wulung ini, cita-cita ayah mungkin
akan terwujud semua!”
Kata-kata itu dimaksudkan, asal ayahnya melakukan
pertandingan dengan panji wulung, hal itu sudah pasti akan
menggemparkan dan membuat namanya menjadi terkenal.
Touw Liong yang mendengarkan dengan tenang, dalam
hati berpikir: “Orang yang pertama menerima panji wulung
adalah aku, dan kedua adalah kau. Kau tidak tahu aku
masih mempunyai waktu berapa hari lagi? Dan dikemudian
hari, apakah aku masih dapat menyaksikan penghidupanmu
selanjutnya atau tidak?”
Pek Giok Hwa tiba-tiba mengepal tangannya, hampir
tampak berdiri, berkata dengan sikap gagah:
“Tiga hari! Masih ada waktu tiga hari! Ayah pasti keburu
sampai ke kota Lam-yang, untuk menghadapi padanya.”
Ia berdiam sejenak, kemudian berpaling dan berkata lagi:
“Touw tayhiap keluaran dari golongan Kiu-hoa-san,
ilmu pedang Kiu-hoa Sim-kiam yang terdiri dari tujuhpuluh
dua jurus gerakan, sudah beberapa puluh tahun lamanya
namanya sangat kesohor di dalam rimba persilatan. Kini
Pek Giok Hwa ingin majukan sedikit permintaan …..”
Touw Liong yang menyaksikan gadis itu diam, tidak
melanjutkan perkataannya, lalu berkata; “Nona hendak
berkata apa, katakanlah terus terang.”
Pek Giok Hwa tertawa hambar, ia membereskan
rambutnya yang kusut. Perlahan berpaling, lalu keatas
memandang awan diangkasa dan berkata dengan suara
perlahan ; “Sebelumnya aku pernah dengar bahwa kau,
Touw tayhiap dengan Lie Hui Hong merupakan orangorang
terkuat yang sama-sama menjagoi di daerah selatan
dan utara. Tetapi tadi aku melihat kau hanya dalam
segebrakan saja sudah berhasil mengalahkan Lie Hui Hong.
Kejadian itu membuatku segera merubah pandanganku
terhadap dirimu. Dalam hal kekuatan tenaga, sepasang
burung Hong dari gunung Busan paling-paling berimbang
dengan kau, bahkan mungkin kau masih lebih tinggi
setingkat dari mereka. Maka Touw tayhiap sekarang ini
sudah merupakan tokoh terkuat di daerah Tionggoan, maka
siaoli pikir …..” Kata-katanya mendadak berhenti,
kepalanya berpaling memandang Touw Liong sejenak,
kemudian melanjutkan perkataannya ; “Dalam batas waktu
tiga hari, apabila ayah berhasil mengalahkan Panji Wulung,
kau akan merupakan orang yang menjadi saksi. Apabila
tidak beruntung ………., ayah kalah ditangannya !”
Ucapan Pek Giok Hwa mendadak terputus lagi. Dari
sinar matanya menunjukkan sikap memohon !
“Aaahh !” Demikian Touw Liong menarik napas
panjang, sedang hatinya berpikir ; “Sayang, aku sendiri
bagaikan patung menyeberang sungai yang tidak dapat
menjamin keutuhan diriku sendiri !” Meskipun dalam
hatinya berpikir demikian, tetapi ketika matanya beradu
dengan sinar mata Pek Giok Hwa, hati itu lantas menjadi
lemah. Katanya sambil anggukkan kepala ; “Apabila aku
masih bisa hidup tiga hari lagi, dan dapat melakukan
sesuatu yang menggembirakan nona, aku merasa sangat
beruntung. Sayang …..! aku sayangkan tidak bisa hidup tiga
hari lagi !”
Pek Giok Hwa kerutkan alisnya dan berkata dengan
sedih; Touw tayhiap, kau ibarat matahari diwaktu tengah
hari, yang sedang panasnya, tidak seharusnya kau berpikir
demikian.”
Touw Liong teringat dirinya sendiri yang juga
mempunyai sehelai panji hitam itu, maka matanya terus
menatap panji ditangan Pek Giok Hwa. Beberapa kali ia
pikir hendak beritahukan Pek Giok Hwa dengan terus
terang, tetapi kemudian pikir lagi, bahwa saat itu belum
perlu diberitahukan kepada siapapun juga. Maka akhirnya
maksud itu ditahan saja.
Suatu pikiran yang tidak ingin minta bantuan seorang
wanita timbul dalam otaknya. Maka ia hanya menjawab
dengan hambar; “Orang-orang yang berkecimpungan
dikalangan Kangouw, memang selalu menghadapi bahaya.
Perkara hidup dan mati, siapapun tidak dapat menduga
sebelumnya. Selama beberapa hari ini telah terjadi tidak
sedikit perkara yang aneh-aneh luar biasa. Setiap jam, setiap
menit aku merasa mondar-mandir di tepi garis antara hidup
dengan mati, maka aku tidak dapat memastikan aku masih
dapat hidup dalam tempo tiga hari itu atau tidak.”
“Oou …..!” Berkata Pek Giok Hwa sambil tersenyum.
“Touw tayhiap jangan berpikir demikian. Nanti pada waktu
tengah malam, tiga hari kemudian, tolong Touw tayhiap
datang ke panggung memetik kecapi di kota Lam-yang.”
Touw Liong terima baik permintaan itu sambil
anggukkan kepala. Pek Giok Hwa ucapkan terima kasih,
tak lama kemudian ia minta diri dan berlalu meninggalkan
Touw Liong.
Dengan perasaan mendelu Touw Liong mengawasi
berlalunya Pek Giok Hwa, kemudian berkata pada diri
sendiri sambil tarik napas ; “Panji Wulung .....! Panji
Wulung ! Sekarang sudah ada dua orang yang menerima !
Aku masih ada waktu dua hari. Jikalau aku masih hidup,
dua hari kemudian di panggung memetik kecapi itu tidak
akan bahaya apa-apa lagi. Tetapi soalnya, dalam dua hari
ini, aku masih bisa hidup atau tidak!”
Kembali ia teringat panji wulung di dalam sakunya,
lalu masukkan tangannya ke dalam sakunya, bukan
kepalang terkejutnya, sebab panji kecil dalam sakunya telah
lenyap tanpa bekas. Sebagai gantinya, dari dalam sakunya
telah menemukan sepucuk sampul.
Sungguh aneh ! Panji yang tersimpan baik-baik di dalam
saku, mengapa mendadak terbang ! Bukankah ini suatu
kejadian ajaib ?
Untuk sesaat, pikirannya telah melayang : Mungkinkah
panji itu telah diambil kembali oleh panji wulung ?
Keringat dingin membasahi sekujur badan Touw Liong.
Samar-samar ia teringat waktu ia berada di dalam
perkampungan yang misterius, belakang kepalanya ditotok
orang, kemudian hilang ingatannya.
Semakin berpikir, pikirannya semakin sedih hingga
badannya mengigil. Ia menarik napas panjang, dan berkata
kepada diri sendiri : “Nampaknya batas tiga hari itu, aku
tidak akan dapat menepati janjinya lagi!”
Ia memeriksa sampulnya, tapi hanya merupakan sebuah
sampul surat, yang lebih besar sedikit daripada sampul
biasa, terbuat dari kulit ..ampi yang putih, di muka sampul
terlukis sebuah buli-buli arak, di samping buli-buli terdapat
sebaris tulisan yang mirip cakar ayam, tulisan itu berbunyi,
‘Tiga hari kemudian batu boleh dibuka’.
Touw Liong tahu sampul itu siapa yang meninggalkan,
maka di masukkannya lagi ke dalam sakunya, dan
menggumam sendiri, “Tiga hari! Hm! Tiga hari mana aku
masih ada kesempatan untuk membuka sampul ini? Tiga
hari kemudian aku barangkali sudah menjadi bangkai!”
Ia sebetulnya malas untuk memikirkan segala urusan
yang akan terjadi pada tiga hari kemudian, dua hari yang
berada di depan matanya, ada beberapa hal yang
dianggapnya lebih penting dari segala-galanya, waktu dua
hari yang akan datang masih memerlukan untuk
menyelesaikan beberapa persoalan besar. Pertama ialah
mencari adik seperguruannya, ialah Kim Yan, kedua
mencari batu Khun-ngo-giok dan terakhir ialah mencari
pembunuh Lie Hui Pek yang sebenarnya.
Namun tiga soal ini tidak karuan pangkal pokoknya,
tiga-tiganya semua penting, entah manna yang harus
diselesaikan lebih dahulu?
Ia pejamkan mata untuk berpikir, tiba-tiba ia teringat
adik seperguruannya, lalu teringat pada diri Lie Hu San.
Kemudian berpikir, “Hendak mencari sumoy, asal tanya
kepada Lie Hu San rasanya sudah cukup.”
Setelah mengabil keputusan, dengan mengikuti tempat
bekas yang dilalui oleh Pek Giok Hwa, ia lari pergi ke
kelenteng tua di dalam rimba.
Tiba di kelenteng tua di dalam rimba itu, tempat itu
ternyata sudah sunyi senyap. Pek Giok Hwa dan Sepasang
Burung Hong dari Gunung Bu-san, ternyata sudah tidak
tampak lagi bayangannya. Dengan sendirinya Lie Hu San
dan Lie Hui Hong juga tidak ada.
Touw Liong lalu tujukan pikirannya pada tempat yang
disebut oleh Pek Giok Hwa, panggung tempat mementil
kecapi. Ia anggap orang-orang itu sudah pergi menuju ke
tempat tersebut.
Touw Liong tujukan langkahnya menuju ke tempat
tersebut tanpa mengaso.
Tempat yang dinamakan panggung mementil kecapi itu
hanya merupakan suatu gubuk kecil, di puncak bukit. Di
situ terdapat beberapa pohon cemara, di jaman dahulu,
seorang negarawan dan ahli perang Cu-kat Liang, sebelum
ketemu dengan Lao Pi, kaisar Negara Siok di jaman Sam
Kok, setiap malam terang bulan, sering datang ke tempat itu
untuk mementil kecapi dengan mengajak kedua
pelayannya. Kemudian setelah Cu-kat Liang turun gunung
membantu Lao Pi dalam urusan negeri, sehingga tempat itu
sudah tidak terdengar suara kecapinya lagi.
Sudah ratusan tahun tempat itu menjadi tempat
peninggalan jaman kuno yang bersejarah di dalam kota
Lam-jang, tempatnya masih tetap seperti sediakala, sayang
Cu-kat Liang tidak datang ke tempat itu lagi, sudah tidak
ada orang lagi yang mementil kecapi di tempat itu.
Ketika Touw Liong tiba di bawah gubuk tersebut ia telah
menangkap suara kecapi yang menarik perhatiannya, maka
ketika berada pada jarak kira-kira dua puluh tombak
jauhnya, di tempat itu, ia sudah menghentikan langkahnya,
lalu tujukan pandangan matanya ke puncak bukit.
Di waktu malam yang sunyi, angin meniup berdesir,
bayangan pohon cemara tampak bergoyang-goyang
menawan hati. Memamng benar di panggung atau mirip
dengan sebuah kupel tampak sesosok bayangan orang
menghadapi sebuah alat tabuhan musik yang sedang
dipentilnya, mengeluarkan suaranya yang merdu.
Akan tetapi bagaimanakan macamnya orang itu? Berapa
usianya? Oleh karena terpisah agak jauh, ia tidak dapat
melihat dengan tegas. Hanya ada satu hal yang dapat
dimengerti oleh Touw Liong, kekuatan tenaga dalam orang
itu sangat tinggi sekali, tiap kali jarinya mementil, hati
Touw Liong terasa bergetar.
Suatu perasaan tertarik ingin tahu telah mendorong
padanya berjalan maju, setiap kali melangkah lebih dekat
lantas merasakan suara yang lebih kuat, suatu kekuatan
yang tak terlukis, seolah-olah kekuatan yang menghimpit
badannya, sehingga ia seolah-olah tak dapat bernapas.
Sebagai seorang muda yang keras kepala, Touw Liong
setapak demi setapak maju mendekati panggung tempat
mementil kecapi itu, tanpa gentar.
Suara kecapi itu sangat merdu, iramanya rapat seolaholah
air terjun dari atas gunung, irama itu mengalun ke
udara yang tinggi.
Dengan menahan napas Touw Liong berjalan semakin
mendekat, samara-samar ia dapat lihat bahwa orang yang
mementil di bawah pohon cemara itu rambutnya panjang
terurai sampai ke dua pundaknya, dari pakaiannya yang
berwarna putih, tegas orang itu adalah seorang wanita.
Dilihat dari samping, yang mementuil kecapi itu
parasnya sangat cantik, sedang potongan kukunya sangat
indah, usianya juga belum tua. Sesaat itu Touw Liong
mendadak teringat dirinya seseorang, pikirannya mulai
tegang. Baru hendak membuka mulut untuk memanggil,
irama kecapi yang merdu tiba-tiba menyusup ke dalam
hatinya, irama itu sangat menggetarkan, seolah-olah ada
benda tajam yang mengilik. Buru-buru ia duduk bersila,
memejamkan matanya untuk mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya, guna memberi perlawanan.
Orang yang mementil kecapi itu seolah-olah tidak
menghiraukan kedatangan Touw Liong, yang hendak
menghampiri dirinya, perhatiannya seolah-olah tetap
ditujukan kepada alat musik itu, dengan tenang
melanjutkan tangannya yang mementil kecapi hinga hampir
satu jam, kemudian baru bangkit, matanya memandang
Touw Liong sejenak, lalu berkata :
“Manusia tidak tahu diri, perlu apa kau masih mengejar
aku? Asal aku mau mengorbankan kecapiku dengan
memutuskan senar kecapiku ini, kau sekalipun tidak akan
mati, setidak-tidaknya juga akan bercacad seumur hidup.”
Sehabis berkata demikian, wanita itu menarik napas
panjang, kemudian berlalu.
Sungguh aneh, setiap irama yang keluar dari kecapi itu,
terus menyusup ke bagian jalan darah seluruh
tubuhnya,seolah-olah diketok oleh palu keras, terus
mengetok dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, mau
tidak mau Touw Liong terpaksa mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya untuk melindungi dirinya lebih dulu.
Satu jam sudah berlalu, seluruh jalan darah Touw Liong
yang pernah digetarkan oleh irama kecapi tadi,
membuatnya hampir kehilangan tenaga dan pikiran,
sehingga ia duduk nglimprak tanpa bergerak.
Kapan orang yang mementil kecapi itu berlalu? Tidak
diketahui olehnya.
Ketika ia siuman kembali, matahri pagi sudah unjuk diri
di sela-sela pohon, ia seolah-olah baru sadar dari mimpi,
sekarang badannya dirasa segar, seolah-olah tidak peranah
mengalami penderitaan hebat.
Ia lompat bangun, matanya memandang ke tempat yang
berada kira-kira sepuluh tombak di hadapan matanya, tetapi
tempat itu ternyata sudah kosong, hanya pohon-pohon yang
masih tetap. Ia menarik napas dalam, menggumam sendiri,
“Pek Giok Hwa? Apakah dia memiliki kekuatan tenaga
dalam demikian tinggi? Ini benar-benar suatu hal yang tak
habis kupikirkan!”
Ia tidak dapat memikirkan lagi, lalu berkata sedih sambil
menghela napas panjang, “Hampir satu hari sudah lewat
lagi! Masih tinggal satu hari lagi, hari itu akan menetapkan
nasibku selanjutnya, entah masih bisa hidup atau tidak?”
Ia membersihkan debu-debu di atas badannya, kemudian
memutar tubuhnya dan lalu hendak tujukan langkahnya ke
kota Lam-jang, pikirannya mendadak timbul perasaan berat
meninggalkan tempat itu, ia sangat tertarik pada tempat
yang bekas dipakai mementil kecapi tadi malam, sehingga
timbul pikiran hendak memeriksa dengan teliti.
Kemudian ia menujukan langkahnya ke atas kupel.
Jaraknya terpisah hanya sepuluh tombak, sebentar saja
sudah tercapai. Begitu Touw Liong tiba di tempat itu,
pandangan matanya tertuju kepada meja batu, beberapa
saat ia berdiri terpaku.
Di atas meja terdapat selembar saputangan berwarna
ungu, hati Touw Liong ingin melihat saputangan itu, bau
harum segera menusuk hidungnya, tatkala saputangan itu
dibukanya dan diperiksanya, ternyata hanya saputangan
kira-kira lima kaki persegi, benda itu lalu digenggamnya,
matanya ditujukan ke puncak gunung sebelah timur,
pikirannya melayang, ia mengira bahwa barang itu telah
tertinggal oleh Pek Giok Hwa karena terlalu tergesa-gesa.
Ia masukkan saputangan itu ke dalam sakunya lantas
berlalu dari tempat itu.
Sepanjang jalan, otak Touw Liong menjadi butek, ia
masih memikirkan batas waktu tiga hari yang telah
ditetapkan oleh panji wulung, hari itu rasanya lebih cepat
akan tiba, tetapi urusannya yang dihadapi ternyata begitu
banyak, dan setiap urusan dianggapnya semuanya penting.
Entah mana yang harus diselesaikan lebih dulu.
Pikiran Touw Liong meskipun sangat kalut, tetapi
langkahnya semakin cepat, tanpa dirasa sudah berjalan
sepuluh pal lebih, saat itu sudah tiba dihadapan sebuah kuil
tua, dan di atas pintu kuil itu masih terdapat papan merk
yang sudah lapuk, samar-samar tampak tulisannya : Tiauw
Yang Kwan, sebagai tanda nama kuil tersebut.
Di jalan umum menuju kuil itu tampak berdiri seorang
imam yang usianya kira-kira lima puluh tahun, tatkala
berhadapan dengan Touw Liong iama itu bertanya dengan
suara dingin :
“Apakah sicu seorang she Touw?”
Touw Liong melengek, buru-buru mengganggukkan
kepala dan menjawab :
“Benar, aku adalah seorang she Touw, totiang ada
urusan apa?”
Imam itu tertawa dingin, kemudian berkata :
“Sicu, mari ikut pinto masuk ke dalam, pinto hendak
ajak sicu melihat dua sahabat.”
Sehabis berkata imam itu memutar tubuh berjalan
menuju ke kuil.
Dengan otak penuh tanda tanya, Touw Liong mengikuti
imam itu masuk ke dalam kuil.
Kuil itu hanya ada mempunyai dua ruangan, yang
pertama dinding temboknya sebagian besar sudah rusak,
ruang kedua tiang-tiangnya sudah pada patah, nampaknya
sudah hampir rubuh.
Touw Liong mengikuti imam itu memasuki ruangan
kedua, di sebelah kanan ruangan itu terdapat sebuah kamar,
begitu kakinya melangkah masuk ke ruangan itu, sudah
disambut oleh dua paderi kecil yang berusia kira-kira dua
belas tahun, paderi kecil itu menyambut kedatangannya
dengan wajah murung dan air mata berlinang-linang.
Paderi kecil itu memberi hormat kepada imam dengan
membahasakannya susiok, kemudian lantas menangis
tersedu sedan.
Imam tadi memerintahkan dua imam kecil itu minggir,
kemudian berkata padanya,
“Mengapa menangis? Ada dendam sakit hati bukankah
harus berusaha untuk membalas, sekarang tokoh utama
dalam peristiwa itu sudah datang, mengapa kalian takut
tidak dapat menuntut balas?”
Touw Liong yang mendengarkan pembicaraan mereka
hatinya tergerak, ia sudah mulai sedikit mengerti titik
persoalannya, dari perkataan imam tadi ia telah mengetahui
bahwa di dalam kuil itu sudah terjadi pembunuhan jiwa,
bahkan yang dituduh sebagai pembunuhnya justru dirinya
sendiri.
Ia lalu berpikir hendak minta penjelasan kepada imam
itu, ketika ia angkat muka, tertampak olehnya di atas balaibalai
kayu di dalam kamar, rebah membujur dua sosok
bangkai manusia.
Sementara itu imam tadi juga sudah melangkah masuk
ke dalam kamar, dengan menekan perasaan sedihnya,
imam itu menunjuk kedua sosok bangkai manusia itu
dengan sinar mata gusar memandang Touw Liong yang
baru melangkah masuk ke kamar, kemudian berkata
padanya dengan mada suara dingin.
“Touw tayhiap, silahkan periksa sendiri dengan teliti,
mereka berdua mati karena serangan tangan terampuh dari
golongan Kiu-hoa-pay atau bukan?”
Alis Touw Liong nampak bergerak-gerak, matanya
mengikuti petunjuk imam tadi, dua bangkai manusia yang
membujur di atas balai-balai itu, yang sebelah kiri adalah
seorang imam bermuka bulat berambut panjang, dia dalah
salah seorang tokoh kuat di dalam rimba persilatan, salah
satu dari tiga jago golongan Kiong-lay-pay, It Yang Tojin,
yang membujur sebelah kanan adalah seorang laki-laki
pertengahan umur bermuka merah mengerikan, setelah
melihat Touw liong segera mengenali orang itu adalah
murid kepala Kian-goan Tojin dari Gunung Thay-san. Di
dalam kalangan kang-ouw, laki-laki itu dikenal dengan
nama julukannya Cu-bo-kiam, tapi nama yang sebenarnya
adalah The Hiong.
Nama It-Yang Tojin sudah cukup terkenal dan Cu-bokiam
itu juga merupakan salah satu tokoh terkemuka dari
golongan Thay-san, Touw Liong ingat orang itu biasanya
kalau bertempur menggunakan dua rupa senjata, tangan
kanan memegang sebilah pedang panjang, sedang tangan
kiri pedang pendek kira-kira satu kaki, dua pedang itu
dinamakan Cu-bo-kiam, hebatnya kedua pedang yang
berukuran panjang dan pendek itu, dalam rimba persilatan
orang yang mampu menyebut dan melayani pedangnya
dalam sepuluh jurus, tidak banyak jumlahnya. Ilmu silat
The Hiong termasuk dari golongan keras, di dalam rimba
persilatan namanya cukup terkenal, adal orang menyebut
namanya Tu-bo-kiam, tiada seorang pun yang mengerutkan
alisnya.
Touw Liong menghampiri dua orang yang sudah
menjadi bangkai itu, dengan teliti memeriksa seba-sebab
yang menyebabkan kematiannya. Badan dua orang itu,
sedikitpun tidak terdapat tanda luka. Selagi ia merasa
heran, imam tadi sudah maju selangkah dan memiringkan
kepalanya membuka baju It-Jang Tojin di depan dada It-
Jang Tojin, kini telah tertampak nyata tanda telapak jari
tangan yang sudah menjadi biru.
Begitu melihat tanda bekas telapakan jari itu, bukan
kepalang terkejutnya Touw Liong, sehingga tanpa disadari
sudah mundur selangkah.
Imam tadi kembali membuka baju Cu-bo-kiam, di atas
dada jago dari Gunung Thay-san itu juga terdapat tanda
yang serupa.
“Touw tayhiap, kau sudah periksa dengan jelas atau
belum? Rasanya toh tidak salah, bukan? Betulkah mereka
terluka dan mati dibawah serangan tangan ilmu tunggal
golongan Kiu-hoa-san yang dinamakan Thian-seng-jiauw?”
Bab 8
Touw Liong melengak, ia cuma bisa anggukkan kepala
dan menjawab:
“Benar! Itu adalah bekas serangan Thian-seng-jiauw
golongan kita.”
“Touw tayhiap turun tangan demikian berat sehingga
menewaskan jiwa dua orang, seharusnya tahu apa
akibatnya?”
“Perkara serangan dengan ilmu Thian-seng-jiauw yang
sudah melukai orang ini, aku orang she Touw tidak
menyangkal, akan tetapi, aku dapat memberitahukan ini
secara terus terang, orang ini bukan aku yang
membunuhnya.”
“Aha … “ Demikian imam itu memperdengarkan suara
tertawa dingin kemudian berkata,
“Sute ku ini, tadi malam masih minta diri dariku dengan
baik, tetapi hari ini pagi-pagi sekali sudah terkapar menjadi
bangkai bersama Cu-bo-kiam di depan pintu kuil ini,
sedangkan tokoh rimba persilatan yang termasuk golongan
kuat yang tadi malam berada di kota Lam-Yang, hanya kau
Touw tayhiap seorang saja, bagaimana kau mengatakan
tidak melakukan perbuatan itu?”
Didesak demikian rupa, dalam hati Touw Liong terus
berpikir : Orang dari golongan Kiu-hoa-san yang tadi
malam berada di kota Lam-yang kecuali aku masih ada
adik seperguruanku Kim Yan, tetapi Kim Yan sejak
kemarin telah kehilangan jejaknya, apalagi kekuatan tenaga
Kim Yan masih selisih jauh kalau dibanding dengan
mereka, selain daripada itu, antara mereka juga tidak ada
permusuhan apa-apa sudah tentu tidaklah mungkin ia
melakukan perbuatan keji atas diri mereka. Aku sendiri dan
Kim Yan meskipun mengerti pukulan itu tetapi ilmu
pukulan itu adalah ilmu pukulan tertinggi dan terampuh
dari golongan Kiu-hoa-pay, jikalau tidak mempunyai dasar
latihan sudah tigapuluh atau limapuluh tahun, tidak
mungkin dapat menggunakan sampai sedemikian hebat.
Usia sumoy masih demikian muda, dengan sendirinya tidak
mempunyai kekuatan tenaga demikian sempurna, bahkan
aku sendiri juga tak memiliki kekuatan demikian, maka
orang yang membinasakan It-yang-Tojin dan Cu-bo-kiam
ini sudah terang perbuatan orang lain.
Namun siapa?
Kecuali suhunya ialah Kiu-hoa Lojin sendiri yang
memiliki kekuatan tenaga dalam yang setinggi itu, di antara
golongan Kiu hoa pay sudah tidak dapat dicari orang
keduanya.
Tetapi, tidaklah mungkin mereka mati di bawah tangan
Kiu-hoa Lojin, sebabnya sederhana sekali, Kiu-hoa Lojin
adalah seorang tokoh terkemuka yang terkenal
kebijaksanaannya, sejak dilakukan pertandingan
persahabatan dengan Tiga Dewa dari golongan pengemis
pada tiga puluh tahun berselang, dia belum menginjakkan
kaki di dunia Kang-ouw lagi.
Selama tiga puluh tahun, ia tidak pernah turun dari
kediamannya di Gunung kiu-Hoa-san, apakah tiga puluh
tahun kemudian ia masih timbul pikiran ingin menjagoi
rimba persilatan lagi?
Andaikata orang tua itu timbul pikirannya hendak
menerjunkan diri di kalangan kang-ouw lagi, tetapi seorang
berkepandaian tinggi yang sudah tak ada taranya seperti ia
itu, di masa dahulu saja ia belum pernah turun tangan ganas
membinasakan lawannya secara demikian keji, apakah di
masa tua sifat itu bisa berubah?
Tetapi kenyataan yang dihadapinya merupakan suatu
bukti yang kuat, dua orang itu memang benar mati dibawah
serangan ilmu Thian-seng-jiauw dari golongan Kiu-hoa-san,
kecuali Kiu-hoa Tojin sendiri, tiada seorang yang memiliki
kekuatan demikian tinggi, apa mau Touw Liong sendiri
tidak percaya kalau suhunya turun gunung dan melakukan
perbuatan yang sekeji itu.
Setelah Touw Liong habis berpikir, seperti keadaan
diliputi oleh kabut misteri, ia hanya dapat berkata kepada
imam itu untuk membersihkan dirinya:
“Bolehkah kiranya totiang memberikan waktu
kelonggaran beberapa hari, supaya aku dapat melakukan
penyelidikan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya,
kemudian aku akan hubungi sendiri ke Gunung Kiong-laysan
untuk memberi penjelasan?”
Imam itu mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:
“Tidak bisa! Hari ini sekalipun engkau hendak
menyangkal sampa mulutmu berbusa, aku juga tidak
percaya.”
Touw Liong tidak berdaya, selagi hendak cerita terus
terang bahwa ia sendiri tidak memiliki kekuatan tenaga
demikian tinggi, mendadak merasa ada desiran angin
menyambar belakang kepalanya, karena ia tidak keburu
berpaling, terpaksa menggunakan kepalan tangannya untuk
menyambar ke belakang, di luar dugaannya, setelah
terdengar suara keras, sebuah papan yang melayang hendak
menyambar kepalanya, telah dihancurkan oleh serangan
tangannya tadi. Imam tua itu setelah menyaksikan keadaan
demikian lantas berkata sambil mengeleng-gelengkan
kepala:
“Kau tadi mengatakan tidak mempunyai kekuatan
tenaga yang demikian hebat, bukankah itu suatu
kebohongan besar? Sebagai satu laki-laki seharusnya berani
berbuat juga berani bertanggung jawab, percuma saja kau di
kalangan rimba persilatan mendapat sedikit nama, tetapi
perbuatanmu ternyata seperti kepala harimau, berekor ular,
kau sudah tak berani mengakui perbuatanmu sendiri, aku
sendiri sesungguhnya merasa malu untukmu, kau kata tidak
mempunyai kekuatan tinggi, sekarang cobalah kau lihat apa
itu yang kau lakukan?”
Touw Liong agak bingung mendengar perkataan imam
itu, ia terpaksa menurut, lalu unjukkan matanya ke lantai,
dan apa yang dilihatnya? Benar-benar sangat mengejutkan
dirinya. Sekitar tempat ia berpijak terdapat hancuran kayu
yang bekas tersampok dengan tangannya, dan keajaiban itu
lebih-lebih dengan terdapatnya lobang-lobang kecil di atas
lantai, jika bukan dilakukan oleh seorang berkepandaian
tinggi dan memiliki kekuatan tenaga dalam sudah
sempurna, bagaimana dapat melakukan perbuatan
semacam itu?
Dengan adanya bukti itu, sekalipun ia hendak
menyangkal juga tidak bisa lagi. Kini mengertilah ia,
bahwa golongan Kiu-hoa-san yang memiliki kekuatan
tenaga menggunakan ilmu serangan Thian-seng-jiauw di
samping suhunya, masih ada dirinya sendiri. Tetapi apa
yang terjadi atas diri dan orang itu, sesungguhnya bukan dia
yang melakukan.
Di dalam keadaan demikian, ia terpaksa meminta sambil
mengerling kepada imam itu:
“Totiang, ketahuilah olehmu, aku si orang she Touw,
selama aku turun gunung, memang aku sudah banyak
melakukan perbuatan yang banyak menimbulkan takut
pada kawanan orang jahat tetapi aku bukanlah bangsa
pengecut, aku berani berbuat juga berani bertanggung
jawab. Dalam peristiwa mengenai suhengmu itu ternyata
masih tidak mendapat kepercayaan darimu, urusan sudah
jadi begini rupa kalau, kalau totiang menganggap itu
adalah perbuatanku, karena kenyataan dan bukti-bukti itu,
aku juga agak sulit untuk membantah. Sekarang baiklah!
Biarlah aku yang menanggung resiko, tapi aku minta
totiang memberikan waktu dua hari, besok lusa tengah
malam aku tunggu totiang di panggung tempat mementil
kecapi untuk memberikan keadilan kepadamu.”
Muka imam itu tampak berkerenyit, menunjukkan sikap
apa boleh buat, kemudian berkata dengan nada suara
dingin:
“Baiklah! Besok lusa jam tiga malam, jikalau kau tidak
datang, setidak-tidaknya arwahmu harus sampai di tempat
itu, andaikata orangnya juga tidak datang, kau jangan
sesalkan kalau kita bertindak keterlaluan, golongan Thaysan
dan Kiong-lay dalam waktu satu bulan nanti akan
menuntut balas dendam ke Gunung Kiu-hoa-san.”
Touw Liong menerima baik tantangan itu dan kemudian
keluar dari kuil tersebut.
Tanpa sadar ia menarik nafas panjang, kejadian dan
peristiwa aneh-aneh telah terjadi, dan semua itu telah
menimpa di atas dirinya.
Begitu melangkah dari kuil, pikirannya sangat kusut, ia
juga tidak tahu kemana harus pergi, soal mana yang harus
diurus lebih dahulu? Setelah berpikir, segera ia ambil
keputusan hendak pergi lebih dulu ke perkampungan
misteri untuk mencari Lie Hu San, tidak sudah baginya
untuk mencari jejak Kim Yan.
Tiba di tempat itu, ia segera mengetuk pintu dan
kedatangannya disambut oleh salah seorang penjaga
perkampungan tersebut.
Touw Liong menyebutkan namanya, dan menjelaskan
maksud kedatangannya. Tetapi penjaga pintu itu berkata:
“Pek sancu tadi malam sudah pergi hingga sekarang
belum kembali.”
“Pangcu golongan pengemis bagian utara datang kemari
atau tidak?”
Penjaga pintu itu kembali menggelengkan kepala.
Dalam keadaan demikian, Touw Liong terpaksa balik
pulang lagi dengan tangan hampa, sepanjang jalan ia
berpikir: Siapakah sebetulnya yang membinasakan Cu-bokiam
dan It-Yang Tojin? Apakah benar itu perbuatan suhu?
Tetapi kemudian ia bantah sendiri pikiran itu, sebab ia
tahu gurunya tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu.
Tanpa dirasa ia sudah memasuki kota, dengan menuruti
langkah kakinya, ia masuk ke rumah makan dan langsung
menuju ke kupel Cu-kat-ting.
Ia minum dan makan seorang diri, entah berapa banyak
arak yang sudah masuk ke dalam perutnya? Sementara itu
beberapa orang yang duduk dekat meja dekat dirinya, ramai
membicarakan urusan rimba persilatan.
Touw Liong melirik, beberapa orang yang agaknya
merupakan orang-orang rimba persilatan, satu di antaranya
lelaki setengah umur, lain lagi seorang tua berambut putih,
di samping itu masih ada laki-laki bertubuh kekar dan
berwajah merah dan penuh keringat. Terdengar suara
orang tua berjenggot putih itu berkata :
“Manusia di jaman sekarang sudah tidak karuan
macamnya, orang-orang yang merupakan sahabat karib,
karena urusan harta, tidak segan saling bunuh, sahabat
karib demikian masih bebas sekali melakukan pembunuhan
dan mengambil jiwanya, setelah saudara tuanya mencari
dirinya untuk membuat perhitungan, ia bahkan turun
tangan menghabiskan dan memusnahkan kepandaian orang
sahabat karibnya itu.”
Lelaki bertubuh kekar itu terkejut, bertanya dengan nada
suara terheran-heran:
“Apakah Touw Liong dapat menggunakan ilmu
serangan yang ampuh itu?”
Orang tua itu tertawa panjang dan menjawab dengan
tenang:
“Siaute, dalam dunia Kangouw banyak hal-hal yang
aneh, Lie Hui Hong tadi pagi telah dibawa orang dengan
kereta lewat kota ini, barang kali di bawa ke kampungnya
Hui-Liong-chung! Kejadian itu telah kusaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, bagaimana aku bisa bohong? Lie
Hui Hong sudah dimusnahkan ilmu kepandaiannya, dan
orang yang memusnahkan kepandaiannya itu justru
menggunakan gerak tipu terampuh Thian-sing-jiauw
golongan Kiu-hwa-san, coba kau pikir, kalau bukan orang
she Touw itu yang melakukan, siapa lagi yang sanggup
berbuat demikian?”
Setelah Touw Liong mendengar pembicaraan mereka
itu, tahulah ia bahwa dalam waktu belum satu malam,
Thian-sing-jiauw sudah mencelakakan diri tiga orang, apa
mau semua orang telah menuduh Touw Liong yang
melakukan perbuatan itu.
Setelah Touw Liong mendengarkan pembicaraan orang
itu, ia bangkit dari tempat duduknya, perbuatan itu sangat
mengejutkan orang-orang yang sedang ramai berbicara,
sehingga mereka menghentikan pembicaraannya dan
memandang Touw Liong dengan mata kesimak.
Touw Liong hendak maju untuk memberi keterangan,
tetapi kenyataan bahwa orang-orang itu hanya orang-orang
kangouw biasa, maka ia menahan kemarahannya, dengan
muka berseri-seri dan dengan suara lunak bertanya kepada
orang tua tadi.
“Bapak, sudah berapa lama Lie Hui Hong lewat di kota
ini?”
“Lewat pintu kota timur menuju ke kota Tio Yang Lie,
kejadian itu kira-kira setengah jam berselang!” jawab orang
tua tadi sambil menunjuk ke timur.
Touw Liong hanya mengucapkan terima kasih,
kemudian berjalan menuju keluar. Orang tua tadi
mendadak gemetar dan bertanya kepada Touw Liong,
“Siauwko, kau ini …”
“Touw Liong.” Demikian Touw Liong menjawab
sambil menoleh dan kemudian melanjutkan perjalanannya.
Jawaban itu mengejutkan orang-orang yang ada di situ,
hingga mereka saling berpandangan sebentar, satu sama
lain bertanya dengan suara perlahan:
“Oo, jadi dia itulah Touw Liong!”
Di atas jalan raya yang menuju ke kota Lam-Yang ini,
Touw Liong berjalan tergesa-gesa menyusul Lie Hui Hong.
Pagi hari, Touw Liong sudah memasuki kota tersebut.
Tio-yang-lie merupakan sebuah kota yang cukup besar,
di situ terdapat banyak toko, jalanan ramai, orang yang
berjalan hendak berdagang di pagi hari itu ramai sekali.
Touw Liong begitu menginjak kota Tio-yang-lie matanya
ditujukan pada setiap kereta yang berjalan melalui kota itu,
menurut perhitungannya, kereta yang ditumpangi oleh Lie
Hui Hong saat itu mestinya sudah tiba di kota ini. Kota
yang sangat ramai itu, manusianya berjubel-jubel sehingga
jalan harus berhimpit-himpitan.
Touw Liong yang berjalan berhimpit-himpitan dengan
orang banyak, tiba-tiba bertuburukan dengan seorang nenek
yang berambut putih yang membawa sebuah tongkat.
Di luar dugaannya, sebelum bertubrukan, ujung tongkat
itu sudah lebih dahulu menotok jalan darah Hay-to-hiat, di
belakang kepalanya.
Touw Liong sungguh tidak menduga bahwa nenek yang
berbadan loyo itu telah menyerang dirinya secara tiba-tiba,
ketika ia merasakan dirinya diserang sudah tidak keburu
untuk menyingkir, dalam keadaan tergesa-gesa, buru-buru
ia mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, untuk
melindungi sekujur tubuhnya, namun demikian ia masih
terlambat setindak, bagian jalan darah Hay-te-hiat
dirasakan bersemutan, oleh karenanya ia lantas jatuh
terduduk.
Nenek itu kemudian mendekat, dan meninggalkan
dirinya.
Touw Liong masih belum sempat melihat wajah dan usia
nenek itu, tahu-tahu sudah terserang olehnya.
Itu masih belum terhitung apa-apa, ketika nenek itu
menyenggol dirinya secepat kilat, mengulurkan tangannya
dan menyesapkan sebuah benda ke dalam saku Touw
Liong, setelah itu ia berkata dengan suara dingin:
“Anak busuk! Tiga hari! Ingat! Lusa jam tiga malam,
aku akan ambil jiwamu di atas panggung mementil kecapi!”
Perkataan nenek itu tak dapat didengar oleh orang
banyak, mereka hanya melihat anak muda itu jatuh ke
tanah, dan tidak bisa bangun lagi, sudah tentu mereka
diherankan oleh perbuatan Touw Liong itu, hingga semua
memandangnya dengan perasaan terheran-heran.
Rasa malu telah merasuk dalam otak Touw Liong,
melihat mata orang banyak, ia mengerahkan seluruh
kekuatan tenaganya untuk melompat bangun apa mau
sekujur badannya dirasakan lemas, ia tidak dapat bergerak,
maka akhirnya ia terhuyung ke kiri, matanya mengawasi
nenek tadi yang menghilang di antara orang banyak.
Semua orang yang menyaksikan rebut trheran-heran, ada
yang berkata, ia kemasukan angin jahat, ada yang kata,
mungkin ia telah …
Touw Liong segera mendapat akal, ia tersenyum kepada
orang yang mengelilinginya, kemudian berkata sendiri:
“Mungkin benar, Tuan.”
Di antara orang-orang itu, segera tampak dua laki-laki
yang menghampiri Touw Liong, yang membantu
membimbing tangannya, kemudian segera mengajaknya ke
sebuah rumah penginapan yang terletak di seberang jalan.
Hingga tengah hari, keadaan Touw Liong masih tetap,
badannya dirasakan lemas, ia terlentang di dalam kamar
sebuah penginapan, ketika tangannya merogoh ke dalam
saku ia mendapatkan sebuah panji kecil berwarna hitam,
kemudian berkata pada diri sendiri, “Aneh! Mengapa panji
ini yang sudah hilang bisa kembali ke dalam sakuku?”
Touw Liong memeriksa dengan teliti panji di tangannya,
wajahnya berubah seketika, sebentar merah sebentar pucat,
bukan kepalang terkejutnya.
Panji wulung yang semula ada di dalam sakunya, adalah
sebuah panji yang berukuran tidak lebih dari lima dim,
berukiran lukisan awan gelap di angkasa, di tengah-tengah
awan tampak sinarnya sinar pedang yang disinari oleh sinar
matahari. Gagangnya terbikin dari bahan batu giok warna
ungu sepanjang tujuh dim, sedangkan panji yang sekarang
berada di dalam tangannya, bukan saja tidak ada
gagangnya, tetapi panjinya sendiri juga terdapat banyak
perbedaan.
Sama-sama panji wulungnya, sama-sama tersulam
lukisan akan gelap di angkasa, tetapi pantulan sinar pedang
yang disinari oleh sinar matahari yang terdapat di tengahtengah
awan, sudah diganti dengan lukisan burung hong
terbang.
Gambar lukisan di dalam dua buah panji itu jauh
berlainan, tetapi ada tiga titik yang bersamaan. Kesatu,
kedua-duanya semuanya tersulam lukisan awan gelap di
angkasa, kedua-duanya merupakan panji wulung. Kedua,
warna dari dua buah panji itu sudah luntur, jadi merupakan
barang-barang kuno yang sudah tua usianya, ketiga, sulamsulaman
yang terdapat di atas panji itu, semua dari buah
tangan seseorang.
Pada seratus tahun berselang, panji wulung ini pernah
muncul, seluruhnya berjumlah dua belas buah, apakah dua
belas buah itu semuanya ada terdapat perbedaan? Tiada
seorangpun yang pernah melihat, juga tiada seorangpun
yang dapat memberi jawaban, juga tak perlu rasanya untuk
dipelajari, yang penting ialah panji yang sekarang berada di
tangan Touw Liong ini berlainan dengan panji yang terlebih
dahulu di tangannya, jadi jelaslah sudah bahwa panji yang
berada di tangannya ini bukanlah panji yang dulu
didapatkannya di atas meja kamar penginapannya. Tetapi
sejak kapankah panji itu ditukarkan oleh orang? Apakah itu
dilakukan oleh orang yang tadi malam dijumpai di
perkampungan misteri? Dan kapan panji itu dimasukkan ke
dalam sakunya.
Tetapi kalau panji itu nenek tua tadi yang memasukkan
ke dalam sakunya, apakah nenek tadi muridnya panji
wulung?
Tidak perduli panji itu ditukar bolak-balik lenyap dan
ketemu kembali, mungkin itu ada perbuatan panji wulung
yang sengaja membuat kabur pikiran korbannya, ataukah
ada sepasang manusia yang berlaku sebagai panji wulung?
Kalau benar panji wulung itu ada dua orang, maka tak lama
kemudian ia akan dapat menyaksikan kejadian ramai.
Apabila panji wulung itu sengaja berbuat demikian untuk
mempermainkan korbannya, maka ia juga tidak mengerti
apa maksud sebenarnya panji wulung itu terhadap dirinya!
Soal ini dipikirnya bolak-balik oleh Touw Liong, ia telah
mendapat kenyataan bahwa Cu-bo-kiam dan It Yap Tojin
serta Lie Hui Hong bertiga, semua terluka di bawah
serangan ilmu Thian-seng-jiauw, di dalam hal ini jelas
mengandung maksud tertentu, dan sedikit banyak ada
hubungannya dengan panji wulung. Alasannya sederhana
sekali, pertama tidak mungkin gurunya turun dari Gunung
Kiu-hwa-san; kedua, adik seperguruannya seorang yang
sifatnya halus, juga tak mungkin berbuat demikian keji,
apalagi ia juga belum memiliki kekuatan tenaga setingkat
itu. Bagi dirinya sendiri, sudah tentu tidak melakukan
perbuatan itu. Maka ia segera menarik kesimpulan bahwa
orang yang menggunakan Thian-sing-jiauw untuk melukai
orang, sembilan puluh persen adalah perbuatannya panji
wulung.
Sementara dengan cara bagaimana panji wulung
mengetahui golongan Kiu-hwa memiliki kepandaian ilmu
simpanan itu? Hampir sehari penuh pikiran Touw Liong
ditujukan kepada persoalan itu, akhirnya ia menarik
kesimpulan, apabila hendak mengetahui keadaan
sebenarnya, satu-satunya jalan ialah menangkap orang yang
main gila itu.
Yang paling mengherankan padanya ialah nenek yang
berkepandaian itu, bukan saja sepak terjangnya sangat
misteri, turun tangannya juga sangat ganas. Ada satu hal
yang membuat orang tidak habis mengerti, nenek itu turun
tangan menotok jalan darah Touw Liong, apakah maksud
yang sebetulnya? Dengan kekuatan tenaga seperti ia, nenek
itu sebetulnya sangat mudah untuk mengambil jiwa Touw
Liong, atau setidak-tidaknya memusnahkan kepandaian
ilmu silatnya, tetapi mengapa ia berbuat demikian?
Sebaliknya hanya menotok jalan darah hay-tay-hiat untuk
mengembalikan dirinya, supaya dalam waktu satu jam atau
setengah Touw Liong berada dalam keadaan kehilangan
tenaga.
Setelah dipikirnya dalam-dalam, Touw Liong dapat
menebak sikap dan maksud nenek itu. Sadarlah ia, bahwa
nenek tua itu bermaksud, supaya ia kehilangan tenaga
dalam waktu setengah jam, untuk mencegah ia mengejar
Lie Hui Hong, dan supaya ia tidak mengetahui siapa yang
menggunakan ilmu serangan Thian-sing-jiauw yang
melakukan keganasan beruntun ini.
Setelah berpikir demikian, maka ia lalu menarik nafas
dan berkata kepada diri sendiri: “Perbuatan nenek itu telah
mencegah aku, dengan demikian kereta Lie Hui Hong
tentunya sudah berada sejauh lima puluh pal dari sini,
keadaanku sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa,
nampaknya hari ini benar-benar sudah tidak dapat mengejar
padanya!”
Tangan Touw Liong meremas-remas panji wulung ia
semakin berpikir semakin mendongkol, dengan mendadak
ia bangun dan memasukkan panjinya ke dalam sakunya, ia
coba mengerahkan tenaganya, dan mengatur
pernafasannya.
Jalan darah lainnya semuanya baik, hanya jalan darah
Hai-tay-hiat seperti kemasukan sebuah benda halus…?
Jikalau darah itu mengalir ke bagian tersebut, seolah-olah
terhalang, sehingga setengah badannya merasa kesemutan.
Ia mengerutkan alisnya, dan menggumam sendiri,
kemudian ia duduk bersila, mengerahkan semua
kekuatannya, ia berusaha menjoblos sendiri jalan darah haitay-
hiat yang terganggu itu.
Setengah hari telah berlalu, Touw Liong lompat turun
dari pembaringan, dia memesut keringat yang membasahi
dahinya, setelah menarik nafas panjang, lalu keluar dari
kamarnya, dengan memandang matahari yang sudah
doyong ke barat, ia berkata kepada diri sendiri sambil
mengertek gigi: “Aku justru tidak percaya segala ilmu gaib,
aku hendak mengejar terus untuk mendapat keterangan
yang sejelas-jelasnya.”
Meskipun ia tahu bahwa perjalanannya itu banyak
rintangan dan banyak bahaya, tetapi ia sudah tidak
menghiraukan jiwanya sendiri, ia tidak memikirkan segala
bahaya, ia bertekad hendak menyelidiki peristiwa itu.
Di atas jalan kearah kota Lam-yang, tampak seekor kuda
dilarikan dengan sangat kencang.
Penunggangnya adalah seorang imam tua berusia kirakira
lima puluh tahun, di belakang punggung imam itu
menyoren sebilah pedang panjang.
Sepasang mata imam tua itu memancarkan sinar
matanya yang tajam berkilauan, agaknya membiarkan
dirinya dibawa kabur oleh sang kuda, sementara itu ia terus
menundukkan kepala seperti berpikir keras, tangannya
dikepal-kepal, tangan kanannya tampak menghitung-hitung.
“Tanggal satu jam satu, tanggal tiga … tiga perempat …
“ Demikian ia berkata sendiri.
Pada saat itu, dari hadapan, tampak seorang pemuda
berlari menuju ke arahnya.
Pemuda itu tidak lain daripada Touw liong, jago muda
dari Kiu-hwa-san.
Dua orang yang berpapasan itu agaknya sedang
memikirkan urusannya sendiri-sendiri, hingga masingmasing
tidak menghiraukan satu sama lain, meneruskan
jalannya sendiri-sendiri.
Touw Liong yang berjalan kira-kira tiga tombak, tiba-tiba
teringat sesuatu, ia lalu berpaling mengawasi imam kurus
kering yang berada di atas kuda, kemudian memanggilnya:
“Hai! Totiang! Silahkan berhenti sebentar!”
Imam kurus itu seolah-olah baru tersadar dari mimpinya,
ia menarik tali kudanya, memutar seraya berkata:
“Ada urusan apa?”
Selagi bertanya, matanya berputaran, memandang Touw
Liong dari atas ke bawah sampai ke bagian kaki.
Touw Liong maju menghampiri dan berkata sambil
memberi hormat:
“Numpang tanya, apakah totiang baru datang dari
kota?”
Imam itu menganggukkan kepala dan balas bertanya:
“Apa kau dari kota Lam yang?”
Touw Liong juga menganggukkan kepala dan menjawab:
“Dua jam berselang, apakah totiang tidak berjumpa
dengan sebuah kereta yang ditarik dengan keledai?”
Imam itu menunjukkan muka heran, sambil melongo ia
balas menanya:
“Saudara kecil, apakah yang kau maksudkan adalah
kereta yang ditumpangi oleh chungcu dari kampung Huiliong-
chung?”
“Betul, apakah totiang kenal dengan Li-chungcu?”
“Li-chungcu seorang gagah, sayang kali ini sudah habis
riwayatnya.” Berkata imam itu sambil menghela nafas dan
menggelengkan kepalanya.
Touw Liong perlahan-lahan menundukkan kepala dan
imam itu menambahkan beberapa keterangan:
“Ia terluka di bawah serangan tangan Thian-sing-jiauw
dari golongan Kiu-hwa sisa hidupnya boleh dikata sudah
tidak ada artinya lagi!” Kata imam itu dengan tiba-tiba, ia
dapat lihat sikap Touw Liong yang agak aneh maka segera
bertanya:
“Kau hendak menyusul Lie-chungcu?”
Touw Liong angkat muka dan membenarkan pertanyaan
itu.
“Ada perlu apa kau menyusul dia?” tanya imam itu
merasa tertarik oleh perasaan herannya.
“Untuk menanyakan ia terluka di tangan siapa?” jawab
Touw Liong sambil menghela nafas.
Imam itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak.
“Saudara kecil, kau benar-benar seorang yang simpatik,
dengan mencapekkan hati kau menyusul Lie-chungcu, kau
tidak menanyakan hal lainnya hanya hendak menanya ia
terluka di tangan siapa. Soal ini sangat mudah sekali, aku
boleh menjawab kepadamu.”
Touw Liong tercengang, akhirnya ia bertanya juga:
“Silahkan, siapa yang melukai Lie-chungcu?”
“Bukankah ini sangat mudah, orang yang melukai Liechungcu
adalah orang dari golongan Kiu-hwa-pay!”
“Bukan orang dari golongan Kiu-hwa, tetapi masih ada
orang lain lagi yang melukai Lie Hui Hong.”
“Orang lain lagi …?”
Touw Liong tidak memberikan keterangan, ia hanya
menguatkan keterangannya.
“Benar! Ia terluka di tangan orang lain, bukan terluka di
tangan orang golongan Kiu-hwa.”
Sehabis berkata, ia lalu memberi hormat, memutar
tubuhnya dan berlalu.
Imam kurus itu memandang bayangan belakang Touw
Liong, mulutnya komat-kamit mengucapkan bunyi kata:
“Masih ada orang lain lagi.” Dengan mendadak ia teringat
sesuatu, maka lalu mendatangi dan memanggil Touw
Liong.
“Saudara kecil! Coba kau ceritakan siapa orangnya yang
melukai Lie Hui Hong?”
Touw Liong membuka dua tangannya, menjawab sambil
menggelengkan kepalanya dan ketawa getir.
“Aku sendiri juga tak dapat menyebutkan sebelum hal ini
menjadi terang, siapakah penjahat yang sebenarnya, masih
belum dapat aku katakana.”
Kemudian ia berkata pula:
“Aku justru hendak menyelidiki soal ini, maka aku perlu
menyusul Lie Hui Hong.”
Imam kurus itu mendelikkan matanya, kemudian
bertanya:
“Saudara kecil ini siapa?”
“Aku Touw liong.”
Imam kurus itu terperanjat, berulang-ulang
mengucapkan kata-kata:
“Touw tayhiap! Touw tayhiap!”
Touw Liong membungkukkan badan memberi hormat
seraya berkata:
“Aku seorang bodoh yang hanya mendapat nama kosong
belaka, bolehkah aku numpang tanya bagaimana sebutan
totiang?”
“Pinto Ngo Yang.”
Wajah Touw Liong berubah dengan segera, ia buru-buru
bertanya:
“Kalau begitu totiang adalah salah satu dari tiga jago
golongan King-lay-pay disebut Ngo Yang Totiang.”
“Benar, pinto adalah seorang dari tiga pemain pedang
Kiong-lay-pay.”
“Ai!” Demikian Touw Liong menarik nafas kemudian
berkata:
“Kedatangan totiang terlambat setindak! Sute totiang
tadi pagi telah kedapatan mati di kuil The-Thian-kwan
bersama Cu-bo-kiam dari Gunung Thay-san.”
“Ada kejadian serupa itu?” tanya Ngo Yang sambil
kertek gigi, kemudian balas bertanya:
“Tahukah Touw tayhiap suteku itu binasa di tangan
siapa?”
Touw Liong mengeleng-gelengkan kepala, dan
menjawab sambil menghela nafas:
“Justru lantaran soal ini maka aku tadi menghentikan
perjalanan totiang.”
Ngo Yang totiang menggumam sendiri, matanya tampak
berputaran, agaknya merasa curiga maka lalu bertanya
dengan suara keras:
“Betulkah It Yang mati di bawah serangan ilmu Thiansiang-
jiauw golonganmu?”
Touw Liong menggangukkan kepala membenarkan
pertanyaan itu.
“Huh…” Ngo Yang totiang mengeluarkan suara dingin
dan kemudian berkata sambil menuding pecutnya ke arah
Touw Liong:
“Harap Touw tayhiap memberikan keadilan kepadaku.”
“Ketahuilah oleh totiang, ilmu Thian-sing-jiauw dari
golonganku, memang benar suatu ilmu yang sangat ampuh,
tetapi jikalau bukan seorang yang memiliki kekuatan tenaga
dalam sudah sangat sempurna, tidak mungkin dapat
menggunakan ilmu serangan itu untuk melukai apa lagi
untuk membinasakan orang. Di dalam golonganku, kecuali
suhu, aku sendiri dan sumoyku masih belum memiliki
kekuatan tenaga dalam setinggi itu. Totiang barangkali
masih belum lupa, pada tiga puluh tahun berselang suhu
telah mengadakan perjanjian dengan Tiga Dewa dari
golongan pengemis, yang tidak akan mencampuri urusan
dunia rimba persilatan lagi, selama itu juga belum pernah
turun gunung barang selangkah, maka itu, aku tadi katakan
bahwa orang yang membinasakan sutemu dan yang
melukai Lie Hui Hong jelas bukanlah suhu, dan jelas pula
adalah perbuatan orang lain.”
“Perbuatan orang lain?” berkata Ngo Yang sambil
tertawa terbahak-bahak, “Perbuatan Touw tayhiap yang
hendak menutupi dosa sendiri, apakah tidak akan menjadi
buah tertawaan orang banyak? Kematian suteku di bawah
serangan ilmu Thian-sing-jiauw sudah merupakan suatu
kenyataan, dan ilmu itu adalah ilmu dari golonganmu yang
tidak diturunkan kepada siapa pun juga kecuali muridmuridnya.
Sekarang aku tidak peduli siapa yang
membinasakan suteku itu, aku hanya hendak tanya
bentulkah ilmu Thian-sing-jiauw itu adalah ilmu simpanan
dari golongan Kiu-hwa? Karena Touw tayhiap adalah anak
muridnya, seharusnya mendapat warisan ilmu itu, apalagi
peristiwa itu terjadi pada kemarin malam, dan kau juga
berada di kota Lam Yang, maka dalam hal ini Touw
tayhiap tidak akan terlepas tanggung jawabnya!”
“Keteranganku agaknya percuma saja, totiang toh tidak
akan dapat mengerti. Aku orang she Touw tidak takut akan
mempertanggungjawabkan soal ini, untuk nama baik
perguruanku, terpaksa aku bertanggung jawab sepenuhnya
atas kematian sutemu.”
“Bagus…”
Ngo Yang totiang lantas turun dari kudanya, berjalan
menghampiri dan berkata:
“Hutang darah harus dibayar dengan darah. Touw
tayhiap kalau benar suka mempertanggungjawabkan
suteku, nah silahkan kau menyerahkan batok kepalamu, di
depanku untuk kupersembahkan kepada arwah suteku,
supaya ia dapat pulang ke rakhmattulah dengan mata
meram.”
Touw Liong dengan cepat mundur selangkah, tangannya
diulur untuk menahan maju Ngo Yang, dengan satu
gerakan tangannya ia berkata:
“Tunggu dulu! Batok kepalaku, kalau totiang ingin
ambil untuk kau persembahkan di hadapan arwah adik
seperguruanmu, aku memang tidak akan menyalahkan
totiang, hanya pada waktu ini aku merasa sangat keberatan.
Pertama, untuk membersihkan nama baik perguruanku, aku
tidak melepaskan kewajiban untuk menyelidiki
pembunuhnya yang sebenarnya, kedua, ai…! Aku masih
harus menepati janji untuk pertempuran yang menetapkan
mati hidupku.”
Ngo Hiang tercengang dan balas bertanya,
“Menurut pikiranmu?”
“Soal yang kita hadapi sekarang ini, bukan Cuma
merupakan persoalan kematian sutemu seorang diri saja,
murid kepala Kiam-goan totiang dari gunung Thay-san,
The Hiong yang juga sudah mati dan Lie Hui Hong yang
dimusnahkan kepandaiannya serta nama baik golongan
kita, semuanya memerlukan diadakan perhitungan. Maka
aku hendak minta totiang sabar sedikit, sebaiknya totiang
berikan waktu beberapa hari supaya aku dapat menyelidiki
lebih jelas. Saat itu, aku akan datang sendiri ke gunung
Kionglai, sudah pasti aku akan memberikan keadilan dan
kepuasan kepadamu.”
Ngo Hiang miringkan kepalanya untuk berpikir,
kemudian berkata sambil menggelengkan kepala.
“Tidak bisa, harus menunggu demikian lama,
sesungguhnya berat bagiku seandai hari lusa kau Touw
tayhiap mati dalam pertempuran. Bukankah kematian
suteku itu tidak dapat kubalas dengan tanganku sendiri?”
“Bagaimana menurut pikiran totiang?” Demikian Touw
Liong balas menanya.
“Kita tiga jago dari golongan Kionglai, meskipun hanya
tiga orang tetapi tiga orang itu merupakan satu badan,
kematian It-yang merupakan satu urusan besar bagi kita,
yang tidak dapat kita abaikan begitu saja, bagaimanapun
juga kita harus mencari orang yang melakukan kejahatan
itu!”
“Totiang hendak mencari siap untuk mengadili orang
yang membunuh sutemu?”
“Siapa yang hutang, siapa harus membayar. Suteku mati
di bawah serangan ilmu Thian-sing-jiauw. Sudah tentu
harus mencari orangnya yang memiliki ilmu Thian-singjiauw
untuk menggantikan jiwanya.”
Imam kurus itu berputaran sekian lama, tidak lain
hendak meminta Touw Liong mengganti jiwa.
Touw Liong mengkerutkan alisnya, berkata dengan
gagah sambil tertawa:
“Manusia sejak tahun kapan siap yang tidak mati? Aku
Touw Liong bukan seorang yang takut mati, aku tadi sudah
memberikan penjelasan demikian banyak, akan tetapi
totiang toh masih tetap tidak mau mengerti, apa boleh buat
terpaksa kita selesaikan secara laki-laki. Baiklah! Kepala di
atas badanku, kalau totiang menghendaki, silahkan ambil
sendiri!”
“Hai…” Imam kurus itu perdengarkan suara tertawa
dingin, kemudian menggerakkan pedangnya menyerang
Touw Liong.
Touw Liong geser kakinya, mengelakkan serangan ganas
dari imam tadi.
Dari pengalamannya tadi malam yang dengan satu kali
gerakan tangannya telah mementalkan golok emas di
tangan Lie Hui Hong, Touw Liong mengetahui bahwa
kekuatan tenaga dalamnya sendiri telah mendapat
kemajuan pesat secara mendadak, kini ketika menggeser
kakinya dan dengan seenaknya mengelakkan serangan
imam tadi, dengan mudah berhasil mengelakkan serangan
yang ganas itu. Oleh karenanya semangatnya bertambah
besar ia memikirkan masih banyak urusan yang harus
dilakukan bagaimana harus melayani imam kurus ini.
Maka ia segera ulur tangannya dan menyampok pedang
panjang imam itu.
Suatu keajaiban telah terjadi, pedang panjang di tangan
Ngo-yang telah tersampok jatuh, hal mana Touw Liong
sendiri juga hampir tidak percaya.
Bab 9
Touw Liong sedikitpun tidak menyangka bahwa Ngoyang
yang mendapat julukan sebagai salah satu tiga jago
dari golongan Kiong-Lay, ternyata hanya begitu saja
kepandaiannya, begitu ia turun tangan sudah berhasil
menyampok pedangnya, ini benar-benar merupakan suatu
kejadian yang tidak habis dimengerti.
“Bocah, bagus sekali perbuatanmu!” Demikian Ngoyang
berkata dengan mata mendelik.
“Aku tadi kesalahan tangan, harap supaya totiang
maafkan,” berkata Touw Liong sambil mengejek.
Setelah minta maaf, ia meninggalkan totiang itu dalam
keadaan kesima.
Setelah tertegun sekian lamanya, ngo-yang memungut
pedangnya dan lompat kembali ke atas kudanya, ia hanya
dapat mengawasi bayangan Touw Liong yang dengan
perlahan-lahan menghilang dari depan matanya. Ia
sungguh tidak mengerti dengan kepandaiannya sendiri yang
sudah lama terkenal di rimba persilatan, masih tidak
berdaya menghadapi anak muda yang usianya belum lebih
dari dua puluh tahun, itu masih tidak apa begitu anak muda
itu bergerak, tanpa diketahui dengan cara bagaimana ia
melakukan serangan pembalasan, pedangnya sendiri sudah
jatuh di tanah. Kalau begitu bagaimana untuk selanjutnya?
Ia semakin memikir semakin mendongkol, juga semakin
penasaran, oleh karenanya maka segera kaburkan kudanya
untuk mengejar.
Kuda itu meskipun kurus, tetapi larinya sangat pesat,
dalam waktu sekejab mata, sudah kabur setengah pal lebih.
Setelah berpisah agak dekat, Ngo-yang dengan suara
keras berkata:
“Hai, bocah she Touw! Kau hendak kabur kemana?
Apa kau tidak lihat siapa yang menunggu kau di atas
jembatan itu?”
Touw Liong mengawasi di atas jembatan seketika itu
merasa terkejut. Diam-diam ia mengenes sendiri.
Apa sebetulnya telah terjadi? Kiranya kira-kira sepuluh
tombak di hadapannya terbentang sebuah sungai besar, di
atas sungai itu melintang sebuah jembatan, di atas jembatan
berdiri seorang imam yang usianya sudah lanjut, imam
berambut putih itu tangan kirinya diletakkan di atas pundak
seorang imam bermuka sawo matang yang tangannya
membawa sebilah pedang.
Di belakang dua imam itu berdiri dua belas imam
pertengahan umur yang masing-masing menyangking
pedang di tangannya, di bawah sinar matahari pedang itu
memancarkan sinarnya yang berkilauan.
Melihat sikap imam rambut putih ini, Touw Liong diamdiam
terperanjat, dengan tiba-tiba ia teringat kepada salah
seorang tokoh terkuat yang terkenal aneh sifatnya di dalam
rimba persilatan. Tanpa sadar ia menggumam sendiri:
“Ketua golongan Kiong-lay, It-ci Cun-gwan Ciang Ko hi.”
Teringat nama Chiang Ko Hi, matanya tanpa dirasa
beralih kepada imam di sisinya yang bermuka sawo
matang, ia lalu menggumam lagi sendiri: “Kepala dari tiga
jago, Tiong-yang Siangjin.”
Sementara itu dalam otaknya lalu berpikir. Masih ada
satu hari setengah aku harus menghadapi pertempuran mati
hidup dengan panji wulung tidak kusangka sebelum
berhadapan dengan panji wulung, sudah timbul berbagai
persoalan yang menyulitkan diriku. Kini golongan Kionglay
sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, mungkin kali
ini sulit bagiku untuk melalui rintangan ini.
Selagi ia menghela nafas, imam kurus yang ada di
belakangnya berseru kepada imam berambut putih yang
berada di atas jembatan.
“Suhu! Bocah ini menggunakan ilmu pukulan Thiansing-
jiauw membunuh mati sam sute, kita tak dapat
melepaskan padanya begitu saja.”
Imam tua yang berdiri di atas jembatan, rambut dan
jenggotnya tampak berkiter-kiter, oleh tiupan angin, sejenak
ia seperti terkejut, kemudian menyahut dengn suara
nyaring:
“Urusan ini aku sudah tahu, hari ini jangan harap bisa
lolos dari tanganku.”
Imam berambut putih itu berdiri tegak di atas jembatan
tanpa bergerak, ia memberi isyarat kepada imam berwajah
sawo matang yang berdiri di sisinya, imam itu
membungkukkan badan dan memberi hormat, berkata
dengan sangat hormatnya:
“Tecu menerima baik perintah suhu!”
Pedang panjangnya lalu diangkat tinggi, dua belas imam
pertengahan umur yang berada di belakang dirinya segera
berlompatan turun dari atas jembatan.
Secepat kilat tiga belas imam itu sudah berada di depan
mata Touw Liong, imam berwajah sawo matang tadi
dengan pedangnya menuding Touw Liong dan berkata
kepada dua belas imam di belakangnya:
“Tangkap dia!”
“Tunggu dulu!” Demikian imam kurus yang menyusul
Touw liong segera melompat di atas kudanya dan
mencegah mereka bergerak, katanya pula:
“Suheng sabar dulu! Mereka tidak dapat menghadapi
bocah ini harus ….” Kata-katanya mendadak dihentikan.
Tiga jago dari golongan Kiong-lay sudah lama mereka
biasa bekerja sama, hingga satu sama lain saling mengerti,
maka imam berwajah sawo matang itu setelah mendengar
perkataan imam kurus tadi lantas diam, matanya menatap
Touw Liong sejenak, pedangnya diangkat tinggi dan
membuat lingkaran di tengah udara.
Dua belas imam lainnya segera mengambil tindakan, dua
orang ini masih tetap berdiri di tempatnya, dan yang
sepuluh lagi maju menyerbu dengan pedang terhunus.
Imam kurus hanya dengan pedang di tangan memberi
isyarat dengan mata kepada imam muka sawo matang,
kemudian berdua mereka maju berbareng menyerang Touw
Liong.
“Ouw!” Demikian Touw Liong berseru, ia kini mengerti
apa sebabnya Ngo-yang tadi tidak melanjutkan katakatanya,
ternyata hendak turut bertempur bersama
suhengnya itu. Oleh karena merasa malu terhadap diri
sendiri, maka tidak mau menjelaskan maksudnya dengan
terus terang.
Dua belas imam tadi telah mengurung Touw liong
dengan rapat, pedang mereka menyerang bertubi-tubi, hal
mana membuat Touw Liong sangat gusar, sejak ia turun
gunung belum pernah dikepung oleh demikian banyak
tokoh-tokoh kuat dari rimba persilatan, maka ia menarik
nafas panjang, dalam mengahadapi serangan pedang dari
demikian banyak lawan ia telah menghibur dirinya sendiri:
“Bagaimanapun juga kalau toh mesti mati, hari ini mati,
besok juga mati, mati di tangan orang-orang dari golongan
Kiong Lay, juga merupakan suatu kehormatan bagiku.”
“Minggir!” Demikian imam muka sawo matang itu
memberikan perintahnya dan dua belas imam yang
mengepung Touw Liong nampak menarik diri dan masingmasing
berdiri di tempatnya sendiri.
Imam muka sawo matang tadi berdiri di tengah-tengah,
dengan mata marah memandang Touw Liong, ternyata
ucapan Touw Liong tadi sangat menyinggung perasaannya,
maka ia perintahkan orang-orangnya menarik kembali
serangannya. Ia maju selangkah dengan muka merah
padam, berkata dengan suara dingin,
“Kita tiga jago golongan Kiong-lay seumur hidup belum
pernah melakukan perbuatan curang, belum pernah
menjadi buah tutur kawan-kawan rimba persiltan. Kali ini
untuk menghadapi kau tidak terkecualian. Barisan pedang
yang terdiri dari dua belas orang ini hanya untuk
menghadapi lawan yang benar-benar kuat luar biasa, tetapi
kau rasanya masih belum dapat mendapat kehormatan
setinggi itu, maka tidak perlu menggunakan banyak tenaga,
sebaiknya biarlah pinto sendiri yang minta pelajaran darimu
lebih dulu!”
Ngo-yang diam-diam mengeluh, dia berkata sambil
ketukkan kakinya di tanah.
“Celaka! Nama baik suhu akan hancur lebur pada hari
ini. Kita tiga jago dari Kiong-lay hari ini benar-benar akan
mengalami nasib buruk.”
JILID 4
Imam berwajah sawo matang melirik Ngo-yang sejenak,
kemudian kebutkan lengan jubahnya dan menyerbu Touw
Liong.
Touw Liong minggir ke samping, mengelakkan tikaman
ujung pedang imam itu, kemudian bertanya sambil
mendongak:
“Totiang, apakah totiang bukan Tiong-yang totiang yang
orang-orang sebut sebagai salah satu dari tiga jago Kionglay-
pay?”
Imam itu yang serangannya mengenai tempat kosong,
wajahnya menunjukkan perasaan heran, ia berpaling dan
menatap wajah Touw Liong, kemudian menjawab sambil
mengganggukkan kepala:
“Benar!” Bocah she Touw, kau ternyata memiliki
kepandaian cukup lumayan! Pinto sebenarnya adalah
Tiong-yang, sekarang serahkanlah jiwamu!”
Ia menggerakkan pula pedang di tangannya, untuk kedua
kalinya menyerang Touw Liong.
Kaki Touw Liong menjejak melesat setinggi empat
tombak, kemudian mengeluarkan suara pekikan panjang, di
tengah udara ia memutar kemudian lompat melesat ke atas
jembatan.
Tindakannya itu di luar dugaan dua jago Kiong-lay tadi,
mereka berseru kaget, bersama dua belas imam yang lain,
balik ke atas jembatan.
Namun gerakan Touw Liong cepat bagaikan kilat,
dengan sikap sangat menghormat ia berada di hadapan
imam berambut putih, imam berambut putih itu masih
berdiri tegak dengan mulut bungkam memandang Touw
Liong.
Touw Liong memberi hormat dan berkata:
“Murid dari Kiu-hoa-pay Touw Liong, disini menghadap
ketua Kiong-lay Chiang locianpwe!?”
Imam tua itu mengebutkan lengan jubahnya, sehingga
menimbulkan angin keras dan mengeluarkan suara
menderu-deru, baju Touw Liong nampak berkibaran,
namun badannya sedikitpun tidak bergerak.
Kebutan imam rambut putih itu yang tidak berhasil
menggerakkan Touw liong membuatnya terheran-heran,
hingga wajahnya berubah seketika. Dengan suara marah,
dia memberikan perintah kepada dua muridnya yang sudah
menghampiri padanya:
“Tiong-yang dengar, lekas tangkap bocah ini!”
Dua jago Kiong-lay itu belum pernah menyaksikan
suhunya demikian marah, jelas dan mengertilah mereka
bahwa urusan ini sangat serius, mereka mengerti baik sifat
suhunya, maka kedua-duanya segera menerima baik
perintah itu dan menyerbu Touw Liong dengan pedang
terhunus.
Dengan alis berdiri Touw Liong mengeluarkan bentakan
keras:
“Tunggu dulu!”
Dua jago itu terpaksa menghentikan serangannya, dan
Touw Liong maju selangkah berkata kepada imam
berambut putih itu sambil membongkokkan badannya:
“Harap Chiang jangan marah, aku hendak memberi
sedikit keterangan.”
Chiang Ko Hi masih tetap marah dengan nafas memburu
ia berkata:
“Jangan banyak bidara, kata-katamu itu kau simpan saja
dan tunggu sampai ketemu dengan suhumu, kau boleh bicra
di hadapannya!”
Touw Liong terkejut, ia tahu tindakan apa yang akan
diambil oleh imam itu, ia lalu berpaling memandang ke
belakang sejenak, sementara itu dua jago dari Kiong-lay
sudah membentuk barisannya bersama dua belas imam
pertengahan umur tadi.
Touw Liong mendongakkan kepala memandang
matahari yang sudah mendoyong ke barat, dalam hatinya
timbul perasaan sedih, dia merasa terharu terhadap dirinya
sendiri, saat itu ia telah menghadapi dua belas orang kuat
dari Kiong-lay seolah-olah seekor kambing yang
menantikan ajalnya.
Namun ia tidak mau menyerah begitu saja, kembali ia
mengeluarkan suara pekikan panjang, pedangnya dihunus
dan maju menyerbu barisan tadi.
Wajah Chiang Ko hi tidak menunjukkan perasaan apaapa,
ia hanya memandang belakang Touw Liong dan
berkata sambil menghela nafas:
“Alangkah indahnya matahari sore sayang sudah dekat
waktunya harus terbenam!”
Kata-kata itu tidak diketahui benar maksudnya, ia benarbenar
merasa sayang karena matahari yang hampir
terbenam ke barat, ataukah menyesalkan Touw Liong yang
segera akan binasa di dalam barisan pedang?
Ia gapekan kepalanya kepada Touw Liong agaknya ingin
berkata apa-apa, hanya kata-kata itu tidak dikeluarkan dari
mulutnya, sedangkan Touw Liong juga sudah lompat
melesat ke dalam barisan pedang.
Chiang Ko Hi menarik nafas lagi, memandang
berkelebatnya sinar pedang, lalu berkata pada dirinya
sendiri: “Barisan ini telah kuciptakan dengan menggunakan
waktu hampir tiga puluh tahun, juga merupakan modal
bagiku, tidak kusangka orang pertama yang mencoba
barisan ini adalah seorang tingkatan muda yang tidak
dikenal dari golongan Kiu-hoa-pay … sungguh sayang!
Membinasakan dia, tidak ada artinya, bahkan merusakkan
nama baik dari golongan kita Kiong-lay-pay sendiri.
Bahkan kalau binasakan dia … setan tua dari Kiu-hoa-san
itu sesungguhnya tidak boleh dibuat main-main!”
“Tahan!” demikian Chiang Ko Hi memerintahkan anak
buahnya menghentikan serangannya.
Sesaat kemudian dua belas anak buah golongan Kionglay
yang mengepung Touw Liong lalu pada lompat minggir
sejauh satu tombak; masing-masing berdiri dengan
meluruskan tangannya; sedang ditengah-tengah medan
pertempuran Touw Liong berdiri tegak, wajahnya
menunjukkan sikap terheran-heran.
Chiang Ko Hi perlahan-lahan turun dari atas jembatan,
dia mengulurkan dua jari tangannya kepada Tiong-yang
tojin untuk memberi isyarat, Tiong-yang tojin untuk
mengahampiri suhunya, sambil berlutut dia menyerahkan
pedang kepada imam tua itu.
Chiang Ko Hi menyambuti padang dari tangan
muridnya, digerak-gerakkannya sebentar, gerakan itu
menghembuskan angin menderu-deru, dengan sikap serius
ia berjalan ke hadapan Touw Liong dengan nada suara
dingin ia bertanya:
“Bagaimana rasanya barisan dari dua belas pedang itu?”
Mata Touw Liong bergerak-gerak, memandang suasana
di sekitarnya, ia sebetulnya tidak suka kebentrok dengan
pemimpin golongan Kiong-lay-pay itu, dengan sikap
merendah ia menjawab:
“Ini adalah barisan pedang terhebat yang pernah
kujumpai dalam seumur hidupku.”
Sebetulnya sejak ia turun gunung barangkali baru
pertama kali ini menghadapi barisan pedang.
Chiang Ko Hi unjukkan senyum kecut dan menganggukanggukkan
kepala. Lama sekali, ia baru bertanya lagi:
“Apakah It-yang bukan kau yang membunuh?”
Touw Liong mengeleng-gelengkan kepala menjawab:
“Ketahuilah totiang, aku sebetulnya tidak memiliki
kekuatan tenaga demikian hebat untuk menggunakan ilmu
dari golongan itu.
Dengan nada suara dingin Chiang Ko Hi membantah
keterangan Touw Liong, ia berkata:
“Tidak! Kau memiliki kekuatan tenaga dalam sehebat
itu, ketahuilah olehmu, dengan kekuatan tenaga dalammu
sekarang ini, untuk menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw
sudah lebih daripada cukup.”
Touw Liong terkejut mendengar keterangan itu,
sementara Chiang Ko Hi melanjutkan perkataannya:
“Tadi ketika aku bertemu muka denganmu, aku telah
mengebutkan lengan jubahku, aku sudah menggunakan
lima puluh persen kekuatan tenaga dalamku, tetapi
kebutanku itu ternyata tidak membuat kau bergerak, apalgai
menjatuhkan kau. Suatu bukti betapa tinggi kekuatan
tenaga dalammu, dan kedua, waktu kau tadi menyerbu
dalam barisan dua belas pedang itu, meskipun baru
bertempur dua jurus, tetapi kau sedikitpun tidak mendaapat
luka apa-apa. Ditinjau dari dua hal ini, kau sebetulnya
memiliki cukup kekuatan tenaga menggunakan ilmu Thiansing-
jiauw untuk melukai orang.”
“Betulkah aku memiliki kekuatan tenaga dalam
sedemikian hebat?” tanya Touw Liong sambil mundur dua
langkah, kemudian menggeleng-geleng dan kepala seolaholah
menyangkal kata-katanya sendiri.
Apakah ia harus menyangkal? Tetapi kenyataannya
memang ada, ia sendiri memang sudah mendapat kemajuan
pesat. Tidak mengakui, karena orang itu bukannya ia
sendiri yang membunuh.
Apa yang paling mengherankan padanya, ialah kekuatan
tenaga itu dari mana datangnya? Ia sendiri juga tak
mengerti.
Akhirnya ia menggeleng-gelengkan kepala, dan
menyangkal dengan kata-katanya:
“Memang benar aku belum pernah menggunakan ilmu
Thian-sing-jiau, juga belum pernah melakukan
pembunuhan terhadap orang-orang dari golongan baik.”
Chiang Ko Hi salah mengerti, ia berkata dengan nada
suara dingin,
“Kalau kudengar dari kata-katamu, kau agaknya tidak
pandang golongan Kiong-lay-pay sebagai golongan baik!”
Touw Liong buru-buru membantah:
“Kiong-lay-pay adalah pusat dari sepuluh partai pedang
besar dalam rimba persilatan, bagaimana tidak terhitung
golongan baik?”
Hawa amarah Chiang Ko Hi agak reda, tetapi perasaan
mendongkol dalam hatinya masih belum lenyap, sambil
lambaikan pedangnya ia berkata dengan nada suara dalam.
“Kita tidak perlu banyak bicara, engkau suka ikut dengan
baik kepadaku pergi ke gunung Kiu-hoa-san untuk mencari
suhumu, ataukah perlu aku menggunakan sedikit tenaga?”
Touw Liong berpikir sejenak, kemudian berkata sambil
menggelengkan kepala:
“Kedua-duanya aku tidak dapat terima.”
“Kupinta dengan baik kepadamu ternyata kau masih
membandel, sekarang aku sudh tidak perlu berlaku sungkan
lagi. Baiklah! Sekarang kuberikan suatu soal sulit untuk
kau lakukan. Di dalam rimba persilatanadalah ilmu pedang
golongan Kiu-hoa yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus itu
yang paling kesohor, dan kedua …”
Imam tua itu sengaja mengulur panjang nadanya,
sedangkan matanya melirik Touw Liong. Touw Liong lalu
mengerti, berkata sambil tertawa.
“Tentang ilmu pedang, dalam rimba persilatan biasanya
golongan Kiong-lay dan golongan Kiu-hoa merupakan ilmu
pedang tertinggi, kedua-duanya itu kedudukannya
berimbang.”
“Hari ini kuberikan kau suatu kelonggaran, kesempatan
untuk lari,” sebentar dia berdiam, matanya menatap Touw
Liong, lalu berkata pula:
“Ini adalah satu-satunya kesempatan bagimu.”
Touw Liong membuka lebar matanya, memberi hormat
setengah aturan, katanya, “Aku terima baik usulmu.”
“Kta tinggalkan pedang, bertanding dengan tangan
kosong. Jikalau kau sanggup melayani aku sepuluh jurus,
hari ini kubebaskan kau daripada kematian. Perkara Ityang,
aku bisa datang sendiri ke gunung Kiu-hoa untuk
mencari suhumu.”
Wajah Touw Liong menunjukkan perasaan terkejutnya,
sebab sepasang tangan kosong imam itu ini, dengan dua
belas jurus ilmu pedang golongan Kiu-hoa-pay, sama-sama
merupakan ilmu yang sangat kesohor dalam rimba
persilatan. Hari ini sekalipun Kiu-hoa Lojin datang sendiri,
jikalau tidak menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw, tidak
berani dengan mudah menerima baik tantangan imam tua
itu. Jikalau Touw Liong bertempur dengan menggunakan
pedang, mungkin masih sanggup melayani tiga atau lima
jurus, sekarang Chiang Ko Hi usulkan bertanding dengan
tangan kosong, ini berarti suatu keputusan mati baginya.
Touw Liong merasa berat menerima usul itu, namun
Chiang Ko Hi sudah berkata lagi,
“Aku tidak keberatan kau menggunakan ilmu Thian-sinjiauw.
Kalau kau menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw
melawan aku, dengan kekuatan tenaga yangkau miliki
sekarang ini, sepuluh jurus sesungguhnya sangat mudah
sekali.”
Mendengar ucapan itu, mengertilah sudah Touw Liong,
bahwa maksud Chiang Ko Hi ialah memaksa Touw Liong
menggunakan ilmu Thian-sing-jiauw, dengan demikian
hingga imam itu dapat membuktikan kesalahannya.
Touw Liong menghela nafas, ia menggelengkan kepala
sambil tersenyum getir, sementara dalam hatinya berpikir,
hingga sekarang aku baru percaya apa artinya bahwa jahe
itu semakin tua semakin pedas.
Chiang Ko Hi benar-benar lihai, melihat Touw Liong
diam saja, dia mendesak dengan kata-katanya lagi:
“Jikalau kau tidak memiliki kekuatan tenaga sehebat itu,
juga tidak apa, asal kau berlutut di hadapanku untuk minta
ampun, kemudian ikut aku ke gunung Kiu-hoa, dan
mengaku dosamu di depan suhumu sendiri.”
Ucapan itu tidak bedanya dengan menuduh Touw Liong
sebagai penjahat. Sudah tentu Touw Liong menjadi marah,
maka semua perasaannya dan semua kegusarannya lantas
meluap katanya dengan gagah:
“Kalau begitu biarlah, dengan tidak mengukur tenagaku
sendiri, aku bersedia menyambut seranganmu sampai
sepuluh jurus.”
Ia berpikir esok malam jikalau menghadapi Panji
Wulung kalau ia tidak beruntung mengalahkannya juga
mesti mati, dan hari ini demi nama baik suhunya, kalau
kalah di tangan ketua Kiong-lay-pay juga mati,
bagaimanapun juga, kalau kematian itu toh ada harganya,
lebih pagi satu hari atau lambat satu hari apa artinya?
Daripada hidup lebih lama satu hari harus menerima
hinaan, toh lebih baik mati sehari lebih pagi secara laki-laki.
Oleh karena berpikir demikian, maka akhirnya ia terima
baik tantangan imam tua itu.
Sementara itu dalam hatinya sudah diperhitungkan:
“Aku tidak pikir untuk memperpanjang hidupku, aku juga
tidak akan menggunakan ilmu Thian-sin-jiauw, supaya kau
tidak dapat alasan untuk menuduh aku.
“Baik! Baik!” Demikian Chiang Ko Hi berkata, bibirnya
menunjukkan senyum kejam. Pedangnya dikembalikan
kepada Tiong-yang.
Touw Liong juga simpan kembali pedangnya, alisnya
dikerutkan, memikirkan cara bagaimana untuk menghadapi
lawannya.
Tadi Chiang Ko Hi kata, ia sanggup menyambuti
kebutan jubahnya yang menggunakan kekuatan tenaga lima
bagian, tanpa bergerak. Ia diam-diam menetapkan siasat
bagaimana untuk menghadapi lawan kuat itu.
Sementara itu Chiang Ko Hi sudah berkata lagi:
“Sambutlah, bocah! Kalau kamu sudah menyambut
serangan sepuluh jurus kau boleh bebas dan boleh lari
sesukamu kemana kau hendak pergi.”
Touw Liong sesungguhnya sangat mendongkol, hingga
wajahnya menunjukkan perasaan gusarnya.
Chiang Ko Hi memerintahkan semua anak-anak murid
supaya mundur, hingga di situ terdapat lapangan cukup luas
untuk bertempur.
Ia lalu berdiri di tengah-tengah lapangan dan mulai
pasang kuda-kuda, kemudian memberitahukan bahwa ia
hendak melakukan serangan yang pertama.
Serangan pertama dilakukan dengan tangan kiri,
kemudian tangan kanannya menyusul sampai tiga kali.
Serangan ini menimbulkan hembusan angin hebat, Touw
Liong yang diam-diam sudah siap, mengerahkan sepenuh
bagain kekuatan tenaganya, menyambuti serangan itu.
Tatkala dua serangan itu saling beradu, badannya
tergoyang-goyang, kekuatan tenaga dua orang ternyata
sangat berimbang, masing-masing hanya mundur setengah
langkah. Jurus pertama berakhir dengan sama kuat.
Chiang Ko Hi sangat marah, dia mengerahkan sepuluh
bagian kekuatan tenaganya kedalam dua lengannya,
kemudian membentak dengan suara keras:
“Bocah, sambutlah seranganku yang kedua!”
Ucapan itu diikuti serangan yang hebat. Touw Liong
tidak berani berlaku ayal, ia menyambuti serangan
lawannya dengan kedua tangan.
Kesudahan dari itu, ia terpental mundur setengah
langkah.
Chiang Ko Hi hanya bergoyang-goyang sebentar,
akhirnya ia dapat pertahankan kedudukannya, sedikitpun
tidak mundur.
Kini ia dapat buka mulut besar, katanya dengan suara
bangga: “Sudah dua jurus, bocah, kau hati-hati menyambuti
seranganku yang ketiga!”
Serangan yang ketiga itu sudah tentu lebih hebat
daripada yang kedua. Serangan itu dirasakan oleh Touw
Liong bagaikan gunung es yang menindih, sehingga ia
hampir tidak bisa bernafas, tetapi ia masih berusaha untuk
menyambuti serangan itu.
Selanjutnya serangan keempat, kelima dan terus sampai
kedelapan bertubi-tubi datangnya. Touw Liong sudah
mandi keringat.
Touw Liong yang sudah menyambuti hingga delapan
jurus, ia tahu bahwa serangan terakhir Chiang Ko Hi pasti
merupakan serangan yang mematikan, bahkan
mengeluarkan seluruh kekuatan tenaganya, bagaimanapun
juga rasanya ia tidak dapat menyambuti serangannya yang
terakhir itu. Jikalau ia keraskan hati untuk menyambuti,
kesudahannya pasti mengenaskan. Tetapi ia sudah
bertekad hendak bertempur hingga tenaga yang
penghabisan, hanya persoalan yang dihadapinya itu ia tidak
dapat melepaskan begitu saja.
Sang waktu terus berlalu, tidak memberi kesempatan
baginya untuk berpikir lagi. Hembusan angin bagaikan
ombak yang datang menggulung dirinya, hingga ia buruburu
menyiapkan diri untuk menyambuti serangan itu.
Dalam keadaan tergesa-gesa timbullah akalnya, kedua
kakinya menjejak tanah, badannya melesat tinggi lima
tombak, mengelakkan serangan Chiang Ko Hi yang sangat
hebat itu.
Chiang Ko Hi benar-benar tidak menduga Touw Liong
akan berbuat demikian, ia membentak dengan suara marah:
“Bocah, apakah kau masih pikir hendak menyingkir?
Jurus kesepuluh ini akan menamatkan riwayatmu.”
Tanpa menunggu Touw Liong turun lagi, serangan
Chiang Ko Hi ditujukan ke tengah udara hendak memapaki
Touw Liong yang hendak turun ke tanah.
Serangan itu ternyata mengenakan denga telak kepada
Touw Liong, bagaikan layang-layang yang putus talinya,
Touw Liong telah terpental keatas dan terbang keluar dari
medan pertempuran, lalu jatuh di atas jembatan.
Jatuhnya itu dengan gaya yang sangat indah sekali, ia
dapat berdiri dengan tegak di atas jembatan, sikapnya biasa,
bedanya hanya nafasnya sedikit memburu.
“Hai! Sudahlah!” Chiang Ko Hi mengeluh sendiri
bagaikan ayam jago yang kalah bertempur, dengan kedua
tangannya ia memerintahkan kepada Tiong-yang Tojin:
“Jalan! Mari kita pulang ke Kiong-lay-san!”
“Suhu, bagaimana dengan dendam sakit hati It-yang
sute?” bertanya Tiong-yang sambil membungkukkan diri.
“Sudahlah! Urusan ini kita tangguhkan saja sampai
sepuluh tahun kemudian!”
Tiong-yang mengerti maksud suhunya, itu berarti bahwa
suhunya untuk menghadapi Touw Liong satu bocah yang
masih sangat muda dan masih belum banyak pengalaman,
toh masih belum sanggup apalagi untuk mencari suhunya di
gunung Kiu-hoa-san? Dengan demikian sakit hati It-yang
tidak terbalas, bahkan mungkin pihaknya sendiri yang akan
mendapat malu. Maka urusan untuk membalas itu,
sekarang sudah tak ada harapan lagi, semua harapannya
harus ditujukan kepada usaha latihannya untuk sepuluh
tahun lagi, sehingga ilmu barisan dua belas imam itu
terlatih benar-benar.
Touw Liong diam-diam lega hatinya. Sedang Tiongyang
Tojin maju beberapa langkah dan berkata kepada
suhunya:
“Suhu! Bocah ini tidak boleh kita diamkan, kalau kita
diamkan berarti meninggalkan suatu bencana di kemudian
hari, meskipun kita melatih sepuluh tahun lagi, tetapi
sepuluh tahun kemudian, mungkin ia sudah mendapat
kemajuan lebih pesat lagi, maka itu … hari ini jikalau kita
tidak mengambil tindakan tegas, barang kali di kemudian
hari akan membawa bencana yang tak akan habishabisnya.”
Chiang Ko Hi tertarik oleh perkataan muridnya, ia
mengangguk-anggukkan kepala, matanya melirik kearah
Touw Liong yang berdiri di atas jebmatan dengan
menunjukkan sikapa keberatan berkata:
“Ucapan yang sudah kukeluarkan bagaimana harus tidak
ditepati? Bocah itu sudah menyambuti sepuluh jurus
seranganku bahkan sedikitpun tidak terluka.”
“Suhu, mari berjalan dulu biarlah tecu yang
membereskan urusan ini,” kata Tiong-yang dengan suara
perlahan.
Chiang Ko Hi berpikir sejenak, akhirnya berkata sambil
menghela nafas:
“Akal ini memang baik, dapat menyingkirkan bocah itu,
juga tidak mengingkari janji terhadapnya. Tetapi aku masih
khawatir, apakah kau memiliki kekuatan tenaga untuk
membereskan bocah itu?”
“Suhu jangan khawatir, serangan terakhir suhu telah
melukai tubuh dalam bocah itu. Dengan tecu seorang,
rasanya tidak susah untuk membinasakannya.”
“Nampaknya memang benar bocah itu terluka parah,
baik juga! Berlakulah dengan bersih, aku tunggu kau di
kota Lam-yang.”
Tiong-yang mengantarkan suhunya berlalu dari tempat
itu, Touw Liong masih berdiri bagaikan patung di atas
jembatan.
Matahari memancarkan sinarnya keemas-emasan, angin
barat meniup kencang. Chiang Ko Hi sudah berlalu
bersama tiga belas muridnya, keadaan di situ sepi sunyi.
Hanya Touw Ling seorang diri yang masih tegak berdiri
di atas jembatan, tidak menunjukkan sikap apa-apa.
Di bawah jembatan, di tengah-tengah jalan raya, Tiongyang
tojin wajahnya menunjukkan sikap yang tidak
menentu, sejenak dua tangannya dikepal-kepal, dia
mencoba berjalan ke atas jembatan.
Terpisah waktu sesaat itu, ia sedikit banyak agaknya
timbul perasaan menyesal, ia menghunus pedang
panjangnya, dengan berindap-indap berjalan menuju ke atas
jembatan.
Terpisah kira-kira satu tombak dengan Touw Liong ia
berhenti:
“Bocah, aku sekarang hendak turun tangan! Kau jangan
salahkan aku!” demikian ia memberi peringatan kepada
Touw Liong.
Touw Liong sedikitpun tidak menunjukkan perubahan
sikap apa-apa, ia hanya menggerakkan biji matanya yang
sudah tidak bercahaya. Touw Liong memang benar terluka
tidak ringan.
Tiong-yang tojin berusaha menindas emosinya yang
berkobar-kobar, ia mengeluarkan suara batuk-batuk,
kemudian berkata dengan nada suara mengejek:
“Bocah! Sekarang ini jikalau kau suka rebah, aku akan
mengampuni jiwamu!”
Touw Liong masih tidak bergerak, sepasang matanya
dipejamkan, tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Bibir Tiong-yang menunjukkan senyum egoisnya,
lambat-lambat ia maju menghampiri, ujung pedangnya
ditujukan ke belakang punggung Touw Liong, kemudian
berkata dengan bangga:
“Mati di bawah pedangku, juga merupakan kehormatan
besar bagimu!”
Bahaya setapak demi setapak mendekati Touw Liong,
namun Touw Liong masih tetap memejamkan mata,
seolah-olah tidak merasa.
Selagi Tiong-yang hendak menggerakkan pedangnya
untuk menekan belakang punggung Touw Liong, tiba-tiba
dari bawah meluncur hawa dingin menyerang dirinya.
Ia sudah mengerti apa artinya itu, tidak keburu ia
mengelak, secepat kilat jalan darahnya Ling-tay-hiat sudah
tertotok.
Pedang di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah, kedua
matanya mendelik, dan ia sendiri sekarang rebah terlentang
di atas jembatan.
Siapa orangnya yang menotok dirinya? Ia belum melihat
dengan jelas, dan ia mendelikkan matanya, sebentar
badannya menggeliat, dan kemudian tamatlah riwayatnya.
Touw Liong yang memejamkan matanya sedang
mengatur pernafasannya untuk memulihkan kekuatan
tenaganya masih tetap dalam keadaan demikian. Ia tahu
bahwa saat itu terjadi perubahan besar di hadapan matanya,
tetapi ia sedang memulihkan kekuatan tenaganya, maka
tidak berani membuka matanya.
Sang waktu berlalu terus, tak lama kemudian matahari
sudah terbenam ke barat, di atas jalan raya tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda, seekor kuda kurus menuju
ke jembatan.
Penunggangnya bukanlah si imam kurus Ngo-yang,
melainkan Chiang Ko Hi yang sikapnya dingin.
Dengan sangat mendongkol dan hati cemas Chiang Ko
Hi menuju ke atas jembatan, kemudian lompat turun dari
kudanya, ia tidak ambil perduli dengan Touw Liong,
sebaliknya memandang muridnya lebih dulu, ia memeriksa
sekujur badannya, tiba-tiba tampak olehnya di bagian jalan
darah Ling-tay-hiat terdapat sebuah tanda luka, ia lalu
dongakkan kepala, dengan mata gusar memandang Touw
Liong yang masih berdiri tegak tanpa bergerak. Kemudian
ia berkata:
“Kembali kau bocah, sudah menggunakan ilmu Tianseng-
jiauw yang sangat ganas itu.”
Perlahan-lahan ia letakkan Tiong-yang di atas jembatan,
memungut pedang panjangnya, sedang ujung pedang
ditujukan kepada Touw Liong dengan wajah gusar berkata:
“Bocah, hari ini akan mengeluarkan hatimu untuk
melihat hatimu itu merah ataukah hitam?”
Sehabis berkata, ujung pedangnya ditusukkan ke depan
dada Touw Liong.
Mendadak berkelebat sesosok bayangan orang. Touw
Liong sudah menghilang dari depan Chiang Ko Hi, hingga
serangan imam ini mengenakan tempat kosong.
Kejadian ini, membuatnya sangat marah benar-benar,
pedangnya digerak-gerakkan kesana-kemari sehingga
menimbulkan hembusan angin hebat, sementara mulutnya
membentak:
“Bocah, kau sungguh jahat! Hari ini bagaimanapun juga
aku akan mencincang tubuhmu, baru merasa puas.”
“Ciangbunjin harap sabar!” demikian suara yang keluar
dari mulut Touw Liong, yang berdiri di tengah-tengah
jembatan sambil menyoja kepadanya.
“Apa yang perlu dikatakan lagi? Apakah dia juga bukan
mati dibawah ilmumu Thian-seng-jiauw?” berkata Chiang
Ko Hi dengan nada gusar.
Bab 10
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
“Ciangbunjin adalah seorang beribadat, sesuatu
perbuatan darimu seharusnya dipikir dulu masak-masak.
Pertama, kau tidak seharusnya mengingkari janjimu sendiri,
tidak seharusnya setelah kau menyerang sepuluh jurus lalu
tidak menepati janjimu, diam-diam kau menyuruh Tiongyang
membunuh aku. Kedua, tidak seharusnya kau tidak
memeriksa lebih dahulu, lantas marah terhadap orang yang
tidak bersalah. Kau kurang bisa berpikir dengan baik, aku
terluka oleh seranganmu yang terakhir, aku sedang
berusaha memulihkan kekuatan tenagaku sendiri, dari
mana aku masih ada sisa kekuatan untuk membunuh
orang?”
Ucapan Touw Liong itu memang benar, hingga Chiang
Ko Hi diam-diam membenarkan juga. Ia kini berada dalam
keadaan serba salah, ucapan Touw Liong itu merupakan
suatu tamparan hebat baginya, ia tidak tahu bagaimana
harus berbuat?
Touw Liong melihat hati ketua Kong-lay-pay itu
tergerak, lalu berkata sambil menunjuk kepada jembatan:
“Luka Tiong-yang totiang di bagian jalan darah Ling-tayhiat,
waktu ia menghembuskan nafasnya juga tidak
mengeluarkan suara sedikitpun juga, suatu bukti bahwa
kematiannya itu disebabkan karena ia diserang orang secara
mendadak, terhadap orang yang membokong dirinya itu,
Tiong-yang totiang juga belum melihat dengan jelas, sedang
orang yang membokong itu jikalau turun tangan dari
belakang, aku seharusnya melihat, jikalau dari hadapanku
tidak mungkin dapat melakukan serangan demikian hebat.
Maka serangan orang itu pasti dilakukan dari samping
belakang, mungkin berdirinya Tiong-yang totiang waktu itu
agak miring sedikit.”
“Jadi kau maksudkan, orang yang menyerang dari
belakang itu sembunyi di bawah jembatan dari situ
melancarkan serangan tangan berat?”
Touw Liong menganggukkan kepala mengiyakan.
Chiang Ko Hi menancapkan pedangnya di atas
jembatan, lalu berjalan menuju ke kepala jembatan.
Di bawah jembatan, air mengalir tenang, beberapa
tangkai daun kering mengambang dan mengalir di atasnya.
Jembatan itu adalah sebuah jembatan model kuno yang
panjangnya kira-kira tujuh delapan tombak, di bawahnya
terdapat tiga lobang, jembatan yang terbuat dari batu itu
sudah penuh lumut, menunjukkan bahwa usia jembatan itu
sudah tua sekali.
Di permukaan batu, terdapat beberapa baris tulisan yang
ditulis dengan jari tangan, tulisan itu berbunyi:
“Orang yang membunuh Tiong-yang bukanlah Touw
Liong! Orang yang akan membunuh Chiang Ko Hi adalah
aku!”
Di bawah tulisan itu terdapat lukisan sebuah panji
segitiga selebar kira-kira lima dim. Touw Liong yang
menyaksikan itu hatinya bergetaran sedang Chiang Ko Hi
memandang lukisan panji kecil itu dengan mengerutkan
alisnya. Rupanya ia tidak begitu mengerti, dengan wajah
seperti masih ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri:
“Dewasa ini, siapakah orang yang menggunakan tanda
panji semacam ini?”
Touw Liong menghela nafas dan menjawab:
“Panji Wulung.”
“Panji Wulung?!” tanya Chian Ko Hi kaget hingga
hampir lompat.
Touw Liong menganggukkan kepala.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Chiang Ko Hi tidak
percaya.
Touw Liong mengeluarkan panji wulung dari dalam
sakunya dan diberikan kepada Chiang Ko Hi, katanya:
“Silahkan Chiang-bunjin periksa sendiri!”
Dengan tangan gemetar Chiang Ko Hi menyambuti
panji kecil warna hitam dari tangan Touw Liong, kemudian
berkata:
“Ya Tuhan! Ini memang benar! Panji Wulung … Kau
telah menerimanya?”
Touw Liong menjawab sambil menunjuk kepada tulisan
di batu jembatan:
“Harap ciangbunjin berlaku hati-hati! Panji Wulung
selamanya berbuat seperti apa yang dikatakan, awas
terhadapnya yang akan bertindak tidak menguntungkan
bagi ciangbunjin. Ai … sementara aku sendiri, sudah satu
hari satu malam aku menerima panji ini.”
Chiang Ko Hi menghela nafas, dengan nada suara
simpatik ia berkata:
“Sayang usiamu masih begini muda, hidupmu tinggal
satu setengah hari saja! Ai! Aku pernah merasa sayang
terhdapmu, baiklah matahari di waktu sore, meskipun
indah sinarnya, sayang tidak lama akan terbenam! He!
Aku juga tidak tahu masih bisa hidup berapa lama lagi?
Sedang dendam kesumatku … dalam hidup ini … Ah!
Dendam sakit hati atas kematian muridku, entah kapan aku
bisa menuntutnya!”
Dua orang itu menjadi sama-sama senasib. Touw Liong
terhadap Chiang Ko Hi mendadak timbul rasa simpati, ia
berkata dengan suara perlahan:
“Di sini terlalu banyak persoalan, menurut pikiranku,
Chiang-bunjin seharusnya meninggalkan jauh-jauh dari
tempat yang banyak pertikaian ini.”
Chiang Ko Hi menganggukkan kepalanya, berkata
dengan suara sedih:
“Aku akan menjauhkan diri dari segala pertikaian,
barangkali sudah tidak mungkin lagi! Aku sendiri juga
tidak tahu, masih bisa hidup berapa lama lagi.”
Ia berjalan lagi ke atas jembatan dengan langkah kaki
limbung, lalu turunkan tangannya mengangkat jenazah
munridnya, kemudian meletakkan di atas punggung kuda.
Dengan melawan angin kencang, kudanya dikaburkan
menuju ke barat.
Dalam waktu hanya sekejab saja, usia Chiang Ko Hi
seolah-olah sudah berubah menjadi lebih tua, semangatnya
yang semula menyala-nyala kini telah lenyap bagaikan asap
ditiup angin.
Touw Liong memandang bayangan Chiang Ko Hi yang
perlahan-lahan lenyap dari hadapan matanya, barulah
memasukkan kembali panji wulungnya dalam sakunya,
kemudian berkata kepada dirinya sendiri: “Panji Wulung
benar-benar pembawa celaka! Selama seratus tahun,
bayangannya masih selalu hidup dan menimbulkan
kenangan menakutkan di dalam hati manusia.”
Ia berdiri terpencil di atas jembatan memandang sinar
matahari yang sudah mendoyong ke barat, ia tidak tahu
malam itu ia harus ke selatan atau ke utara, karena
terlambat hampir setengah hari, untuk menyusul Lie Hui
Hong sudah tidak mudah lagi.
Ia memandang kearah yang jauh dengan matanya yang
sayu, dari mulutnya tercetus kata-kata perlahan yang
bertanya kepada dirinya sendiri: “Entah bagaimana
macamnya orang yang mengaku Panji Wulung itu?
Mengapa ia dapat mencuri ilmu Thian-seng-jiauw dari
perguruanku untuk membunuh? Lalu sekarang ia kembali
turun tangan untuk membinasakan Tiong-yang yang berarti
juga menolong jiwaku?”
“Apakah benar ia takut sebelum waktu tiga hari tiba aku
sudah mati, sehingga ia tidak dapat mengambil batok
kepalaku?”
“Siapakah Panji Wulung itu?”
Ia tahu Panji Wulung seolah-olah bayangan yang selalu
membayangi dirinya sendiri.
Ia mulai langkahkan kakinya, berjalan terus menuju ke
jalan raya yang kedua sisisinya terdapat banyak lading yang
sudah mulai kering. Keadaan di sekitarnya sepi sunyi, di
atas jalan raya itu tidak terdapat seorangpun juga.
Satu hari telah berlalu dengan cepat, malam telah tiba,
sinar bulan menyinari jagat raya yang sepi sunyi. Pada
waktu itu, suara binatang malam terdengar di sana sini,
Touw Liong berjalan seorang diri, memikirkan nasibnya
yang mungkin hanya tinggal hidup satu hari atau satu
malam saja. Ia berjalan seperti seorang yang sudah
kehilangan tenaga, maka untuk berhenti mengaso di bawah
pohon yang rindang. Ia memejamkan matanya untuk
memulihkan tenaganya. Selagi hendak membuka matanya
untuk melanjutkan perjalanannya, samara-samar di
hadapannya seperti tampak bayangan seseorang.
Dengan perasaan kaget ia mendadak membuka mata;
saat itu justru bayangan seseorang lewat di hadapannya.
Bayangan orang itu seperti tidak asing baginya, ialah
seorang paderi tua yang kepalanya gundul dan memakai
jubah warna kelabu.
Paderi itu seperti pernah dilihatnya, tapi untuk sesaat ia
tidak ingat dimana ia pernah ketemu.
Selagi Touw Liong memikir-mikirkan, bayangan paderi
itu bergerak bagaikan angin, dalam waktu sekejab mata saja
sudah berjalan sejauh lima tombak.
Dalam hati Touw Liong diliputi tanda tanya, diam-diam
bertanya kepada diri sendiri: “Siapa paderi itu?”
Tertarik oleh perasaan ingin tahu, Touw Liong lalu
angkat kaki dan pergi mengejar.
Gerakan kaki paderi itu luar biasa cepatnya, seolah-olah
kakinya tidak menginjak tanah, ilmu lari pesat yang sudah
mencapai taraf tingakt tertinggi itu merupakan orang yang
jarang ditemukan oleh Touw Liong. Dalam ingatannya
orang yang memiliki ilmu lari pesat macam itu kecuali
gurunya sendiri yang dapat dibandingkan dengan
kepandaian orang itu, benar-benar sudah untuk mencari
yang keduanya.
Dalam otaknya tiba-tiba timbul suatu pertanyaan aneh
apakah dia itu orang yang menamakan dirinya Panji
Wulung?
Karena timbulnya pikiran demikian, maka ia lalu
mengerahkan kekuatan tenaganya dengan menggunakan
seluruh kepandaiannya, terus mengejarnya.
Ia mengejar sampai sejarak tiga pal, suatu kejadian lain
membuatnya lebih terkejut, ia mendapat kenyataan bahwa
kaki yang mengejar paderi tadi, dalam waktu cepat itu
ternyata sudah berhasil mengejanrya. Ternyata ilmu lari
pesatnya itu sedikitpun tidak kalah dengan paderi tua itu.
Hal itu sangat mengejutkan dirinya, ia benar-benar tidak
tahu dengan cara bagaimana kekuatan tenaga dan
kepandaiannya sendiri dalam waktu satu hari telah
mendapat kemajuan demikian mendadak?
Orang yang berada di depannya itu ialah orang dari
golongan agama. Ia berani memastikan bahwa orang itu
bukanlah si Dewa Arak. Akan tetapi siapa?
“Hai!” Mendadak Touw Liong teringat diri seseorang.
Bukan kepalang terkejutnya dia pada saat itu, buru-buru ia
menghentikan kakinya dan berpikir sambil menepaknepakkan
kepalanya sendiri: Bagaimana aku berlaku
demikian gila? Jikalau aku benar-benar dapat mengejarnya,
bukankah berarti mencari kesulitan sendiri?
Urusan di dalam dunia ini kadang-kadang memang
demikian aneh. Touw Liong merasa jeri terhadap orang
itu, ia baru berhasil menahan langkah kakinya sendiri,
tetapi paderi yang berada di hadapannya juga
menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, alisnya
yang panjang nampak berdiri, matanya memancarkan sinar
tajam, setelah menatap Touw Liong sejenak ia bertanya
dengan heran:
“Kau siapa?”
Benar saja, dugaan Touw Liong tidak salah. Paderi itu
Touw Liong pernah melihat, ia adalah paman guru Lie Hui
Hong, yang pernah dilihatnya di dalam kuil Lang-in Siansie,
yang kala itu sedang duduk bersemedi di atas ranjang
kayunya.
Demi ditegut oleh paderi tua itu, hati Touw Liong
berdebaran, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Paderi tua itu perlahan-lahan menghampiri dan kembali
mengajukan pertanyaannya:
“Kau murid siapa, mengapa terus mengikuti aku?”
“Aku yang rendah ini adalah Touw Liong,” demikian
Touw Liong terpaksa menjawab dengan gelagapan.
“Touw Liong?!” Paderi itu terkejut, tiba-tiba membentak
sambil mendelikkan batanya: “Bocah! Aku justru sedang
mencarimu!”
Meskipun Touw Liong sudah tahu sebab apa mencari
dirinya, tetapi ia pura-pura bertanya:
“Ada keperluan apa siansu mencari aku?”
“Perlu apa mencari kau? Tidak apa-apa, hanya ingin
mengambil nyawamu.”
“Aku dengan losiansu belum pernah bertemu muka, kita
satu sama lain juga tidak ada permusuhan apa-apa,
mengapa aku harus menyerahkan jiwkau kepada losiansu?”
demikian Touw Liong balas menanya.
“Aku tidak perlu menerangkan dosamu. Jikalau kau
merasa penasaran, dengarlah baik-baik! Aku perkenalkan
diriku lebih dulu, aku adalah Hong-hui Tianglo dari gereja
Lang-in San-sie, juga menjadi paman gurunya Lie Hui
Hong.”
Touw Liong pura-pura berlaku tenang dengan sikap
seperti biasa ia mendengarkannya, kemudian menyatakan
kagumnya kepada paderi itu.
“Tidak perlu kau memuji aku! Suhumu dalam rimba
persilatan mempunyai kedudukan tinggi, kau denganku
terhitung orang-orang yang sama tingkatnya, ucapan
cianpwe tidak berani aku menerimanya.” Paderi tua itu
menolak pemberian hormat Touw Liong.
Touw Liong tidak membantah, masih tetap dengan
sikapnya yang menghormat kepada orang tingkatan tua, ia
berkata:
“Cianpwe hendak memerintah apa, sekalipun harus
terjun ke dalam api maupun ke dalam air, bonapwe tidak
akan menolak.”
“Jangan banyak bicara! Aku sekarang hendak menanya
padamu, kau harus mati atau tidak?”
“Terserah kepada lo-siansu!”
“Pertama, kau sudah mengangkangi batu Khun-ngogiok,
itu masih belum cukup, bahkan membunuh orang
yang menjadi pemiliknya. Kau telah membinasakan Lie
Hui Pek, apa maksudmu?”
“Dalam soal ini, ternyata mengandung fitnahan hebat,
untuk sementara ini boanpwe tidak dapat memberi
penjelasan kepada cianpwe, urusan ini terpaksa kuminta
untuk ditunda dulu sehingga menjadi jelas, kalau urusan ini
sudah terang, sudah tentu tidak susah untuk mengetahui
siapa yang benar dan siapa yang salah.”
“Kedua, orang yang menggunakan ilmu serangan Thianseng-
jiauw melukai Lie Hui Hong di kota Lam-yang …”
“Itu dilakukan oleh orang lain, orang yang melukai Lie
Hui Hong dengan ilmu Thian-seng-jiaw bukan orang dari
golongan Kiu-hoa.”
“Ilmu ampuh dari golongan Kiu-hoa, adalah warisan
dari Sam Hong Cosu. Pada dewasa ini kecuali orang dari
golongan Kiu-hoa tidak ada lain orang yang mampu
menggunakan. Terang Lie Hui Hong terluka di bawah
serangan tangan Thian-seng-jiauw, mengapa kau timpakan
dosanya kepada orang lain? Kau kata itu dilakukan oleh
orang lain, siapakah orangnya?” tanya paderi tua itu marah.
“Jikalau lo-cinapwe tidak percaya, boanpwe dapat
menunjukkan bukti untuk menunjukkan bahw boanpwe
tidak bersalah.”
“Baiklah! Kau bawa aku dulu untuk melihat buktimu,
kemudian kita perlahan-lahan memperhitungkan rekening
ini.”
“Mari cianpwe ikut, nanti pasti akan tahu sendiri.”
Tanpa menunggu reaksi paderi itu, Touw Liong sudah
berjalan dulu, balik menuju ke jembatan. Paderi tua tiu
tidak berdaya terpaksa mengikutinya.
-----00000-----
Jembatan tua itu sepi sunyi, air sungai yang mengalir di
bawahnya tetap tenang, di atas jembatan tampak seorang
tua dan seorang muda, mereka adalah Hong Hui Siansu
dan Touw Liong.
Dua orang itu memandang batu jembatan. Touw Liong
menunjukkan rasa terkejut dan terheran-heran, sedang
Hong Hui nampak bingung. Kemudian terdengar kata-kata
Touw Liong seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri:
“Jelas di atas batu ini belum lama berselang terdapat tulisan
dengan jari tangan, bagaimana dalam waktu sekejab saja
sudah terhapus? Oleh kekuatan tenaga dalam pula!”
“Omong kosong, kulihat kau masih mempunyai akal apa
lagi, sebaiknya kau mengaku saja dengan terus terang,”
berkata Hui Hong dingin.
Touw Liong masih tidak mau menyerah begitu saja, ia
tidak mau melepaskan tiap detik untuk membersihkan
dirinya sendiri, katanya:
“Boanpwe sedikitpun tidak membohong, tulisan di
bawah jembatan ini ada orang yang melihatnya, boleh
dijadikan saksi.”
“Siapa? Orang lain lagi yang menyaksikan?”
“Ketua golongan Kiong-lay-pay, Chiang Ko Hi.”
“Kau maksudkan, kau hendak suruh aku pergi mencari
Chiang Ko Hi untuk menanyakan soal itu?”
“Boanpwe hanya ingin mencari pokok pangkalnya
persoalan ini, tidak akan membiarkan sutitmu dalam
penasaran terus-menerus.”
“Di atas batu jembatan itu tertulis apa saja? Coba kau
bacakan untukku!”
“Orang yang membunuh Tiong-yang bukanlah Touw
Liong, orang yang akan membunuh Chiang Ko Hi itulah
aku.” Demikian ia menyebut tulisan yang pernah
dilihatnya.
“Kau bocah ini sungguh licik, akal semacam itu dapat
dipakai untuk mengelabui mata Chiang Ko Hi, tetapi aku
tidak! Jelas bahwa tulisan ini lebih dulu sudah kau tulis di
atasnya, yang sengaja hendak mengakali Chiang Ko Hi.”
Touw Ling menggeleng-gelengkan kepala dan balas
menanya:
“Sekarang tidak usah bicarakan soal itu, tahukah locianpwe,
tulisan itu siapa yang menulis?”
“Siapa?”
Touw Liong perlahan-lahan mengeluarkan Panji Wulung
dari dalam sakunya lalu dibebernya dan berkata pula:
“Pemilik panji inilah yang menulisnya!”
“Panji Wulung???”Hong Hui agak terkejut.
“Di atas batu itu juga terlukis panji semacam ini.”
Hong Hui mengerutkan alisnya, dengan menunjuk panji
wulung di tangan Touw Liong, bertanya dengan nada suara
terkejut:
“Kau telah menerima panji ini?”
Touw Liong menganggukkan kepala.
“Sudah berapa hari lamanya?” tanya Hong Hui setengah
percaya setengah tidak.
“Dua hari! Seharusnya pada besok malam jam tiga
sudah habis batas waktu yang ditetapkan oleh panji wulung
ini.” Kemudian ia balas menanya:
“Jikalau lo-siansu ada mempunyai kegembiraan, sudilah
kiranya besok malam losiansu datang turut menyaksikan!”
“Baiklah!” Paderi tua itu terima baik undangan Touw
Liong, lalu berkata dengan nada suara dalam:
“Ada jodoh untuk menyaksikan panji wulung, juga tidak
percuma hidupku ini. Di tempat mana besok malam aku
harus datang?”
Touw Liong nampak berpikir sejenak, kemudian berkata
dengan alis berdiri:
“Di atas panggung mementil kecapi, di kota Lam-yang.”
“Panggung mementil kecapi?” balas tanya paderi tua itu,
“Kuperingatkan padamu bocah, jangan kau main gila lagi
terhadapku, jikalau tidak, kau bisa lolos dariku pada hari ini
tetapi tidak akan lolos pada lima belas hari kemudian, aku
bisa pergi mencarimu di gunung Kiu-hoa, untuk membuat
perhitungan dengan gurumu sendiri.”
“Apakah cianpwe kira boanpwe orang semacam itu?
Cianpwe tak usah khawatir.”
Kemudian ia menambah keterangan lagi: “Sebaiknya
cianpwe mengejar saudara Hui Hong lebih dulu untuk
menanyakan keterangan lebih jauh, sebetulnya terluka di
tangan siapa.”
“Sudah tentu! Kedatanganku ini justru hendak minta
keterangan kepada Hui Hong.”
-----00000-----
Di atas jembatan itu Touw Liong mengantarkan
berlalunya seorang tokoh kuat dalam rimba persilatan,
setelah paderi tua itu berlalu, ia mendongakkan kepala
memandang rembulan di atas langit, kemudian berkata
kepada diri sendiri sambil menghela nafas: “Hong Hui
Taysu pergi mengejar Lie Hui Hong, kesempatan ini
baiklah kugunakan untuk kembali ke kota Lam-yang!”
Kota Lam-yang masih tetap dengan keadaannya yang
serupa, yang berbeda ialah di waktu siang hari keadaan
demikian ramai, dan sekarang di waktu malam nampak sepi
sunyi. Touw Liong dengan melalui jalanan yang sepi balik
menuju ke kota itu.
Touw Liong berjalan seenaknya, jalannya sangat
perlahan sekali, dalam waktu satu jam baru mencapai kirakira
sejarak sepuluh pal.
Dalam perjalanan yang lambat itu, ia telah menemukan
hal-hal aneh yang terjadi di kota itu, sepuluh pal di luar
kota, di sebuah rimba di kanan jalan raya, tampak berdiri
sebuah kuil. Kuil itu memperdengarkan suara genta yang
nyaring, nampaknya para paderi sedang melakukan
sembahyang pagi, dari jauh suara paderi yang memuji
pujian nama Budha terdengar nyata.
Di jalanan raya yang menuju kuil itu terpancang dua
buah lentera yang terang-benderang, di samping itu juga
dibangun sebuah pintu gerbang dari kertas, di atasnya
tertulis dengan kata-kata “PERSEMBAHYANGAN
BESAR’. Di bawah pintu gerbang itu tampak dua paderi
setengah umur yang masing-masing membawa senjatanya
yang berupa sianthung. Sikap mereka seolah-olah sedang
menghadapi musuh besar, mata mereka sebentar-sebentar
ditujukan ke jalanan.
Ketika Touw Liong berjalan di bawah pintu gerbang itu,
lantas lompat keluar seorang paderi, yang melintangkan
senjatanya, mencegah majunya Touw Liong, dan paderi itu
bertanya:
“Dalam kuil ini sedang melakukan upacara
persembahyangan, apakah sicu sudi datang ke kuil untuk
mendengarkan dan melihat upacara itu?”
Touw Liong terkejut. Cuaca waktu itu sudah
menunjukkan lewat jam satu malam, maka dalam hatinya
lalu berpikir: untuk melihat upacara sembahyang dan
mendengarkan puji-pujian Budha bagaimana dengan cara
memaksa seperti ini? Apalagi dilakukan tengah malam buta
seperti ini?
“Maaf, aku sedang perlu melakukan perjalanan, terpaksa
tidak dapat mebagi waktu untuk menyaksikan upacara,”
Touw Liong menggelengkan kepala.
Paderi itu menggelengkan kepala dan menarik nafas,
setelah memuji nama Budha lalu berkata:
“Budha adalah penuh welas asih, selalu bersedia
menyelamatkan manusia yang berdosa, rupanya sicu sudah
ditakdirkan tidak akan terlepas dari bencana, silahkan!”
Setelah berkata demikian, paderi itu membiarkan Touw
Liong melanjutkan perjalanannya. Touw Liong tidak
mengerti maksud ucapan bencana yang keluar dari mulut
paderi itu. Ia berjalan sambil mengeleng-gelengkan kepala.
Sementara dalam hatinya berpikir: Mungkin paderi itu
memaksa menarik orang yang berjalan untuk
mendengarkan upacara, sehingga sengaja mengeluarkan
kata-kata yang menakutkan orang.
Ia tidak hiraukan lagi kata-kata paderi itu, dengan
langkah lebar melanjutkan perjalanannya. Baru kira-kira
sepuluh tombak ia berjalan, di belakang dirinya terdengar
orang berseru:
“Sicu!”
Touw Liong menoleh, paderi tadi menghampiri, ia
berhenti kira-kira setombak di belakang diri Touw Liong,
kemudian berkata sambil merangkapkan dua tangannya:
“Sicu tunggu dulu! Kami ingin berkata sepatah dua.”
Touw Liong mengerutkan alisnya, dalam hati merasa
tidak senang, tetapi ia masih menahan hawa amarahnya,
dan bertanya dengan suara lunak:
“Taysu ada keperluan apa? Silahkan.”
“Siangcu, kami suheng dan sute berdua telah mendpat
tugas untuk mengurus upacara sembahyang ini dan
menjaga di perjalanan, barang siapa yang berjalan
selewatnya jam satu malam, harus dirintangi …”
Touw Liong sangat tidak senang, maka segera menanya:
“Jikalau orang tidak mau? Apakah taysu perlu
memaksanya?”
“Kami akan berbuat sedapat mungkin, apabila sicu tidak
sudi, itu barangkali sudah ditakdirkan tidak akan terlolos
dari bencana!”
Touw Liong mendengar kata-kata itu seakan-akan ada
sebabnya, maka ia bertanya lagi:
“Harap taysu memberikan penjelasannya, apakah di
depan ada bahaya?”
“Sicu adalah orang yang mengerti, tindakan siaoceng ini
sesungguhnya bukanlah bermaksud jahat.”
“Apakah taysu keberatan memberi keterangan?”
“Budha memang welas asih, tetapi kalau sicu tetap
membandel, terserah kepada sicu sendiri.”
Touw Liong kembali mengerutkan alisnya, dan
mengucapkan terima kasih kepada paderi itu, lalu
melanjutkan perjalanannya ke selatan.
Paderi itu memandang bayangan Touw Liong, kemudian
berkata dengan suara pedih:
“Mungkin itu sudah ditakdirkan!”
Bab 11
Touw Liong menyusuri jalan raya yang menuju ke
selatan, ia sudah berjalan lagi sepuluh pal, kali ini ia
berjalan sangat cepat, hingga dalam waktu sekejab sudah
mencapai sepuluh pal jauhnya.
Di hadapan matanya terbentang sebuah rimba buah co,
ia berjalan melalui rimba itu.
Sebelum memasuki rimba, dari dalam sudah terdengar
suara seruan orang, lalu tampak muncul empat wanita,
gagah cantik dan bertubuh langsing. Mereka semuanya
tampak cantik-cantik, setiap orang menunjukkan senyum
yang menawan hati, mereka muncul dan menahan Touw
Liong melanjutkan perjalanannya.
Touw Liong tercengang, ia menyoja kepada empat
wanita itu seraya bertanya:
“Enci-enci ada keperluan apa?”
Salah seorang dari mereka lantas berkata sambil tertawa:
“Kami telah mendapat perintah dari majikan, di sini
untuk menantikan orang-orang yang berjalan, siapa kiranya
yang suka bekerja di perkampungan majikan, gajinya cukup
baik dan jikalau sudah bekerja setahun penuh akan
dikembalikan ke tempat asalnya, selain daripada itu kami
juga akan mengirimkan orang untuk memberitahukan
kepada keluarga orang yang bekerja kepada kami serta
memberikan sedikit uang untuk ongkos.”
Touw Liong memperhatikan dan mendengarkan dengan
seksama, kemudian angkat muka dan bertanya:
“Di mana? Dan bekerja apa?”
“Di mana? Kau tidak perlu tanya, tentang kerjanya,
sebetulnya ringan saja, hanya bantu membangun istana bagi
majikan kami.”
“Jikalau tidak mau?” tanya Touw Liong.
“Apa kau kira ada orang yang tidak tahu diri itu?”
berkata wanita itu sambil tertawa manis.
“Tiap orang ada mempunyai urusannya sendiri-sendiri,
setiap orang mempunyai maksud dan tujuan sendiri-sendiri,
jikalau keberatan tidak mau menerima bagaimana?”
“Mudah sekali, tidak diundang secara baik, kita akan
undang secara paksa.”
“Jikalau menemukan batunya, tidak bisa dipaksa dengan
keras, bagaimana?” demikian Touw Liong balas menanya.
Wanita itu tertawa terkekeh-kekeh kemudian berkata:
“Kami tidak percaya akan ketemu batu, kami tidak
percaya ada orang yang lebih kuat dari kami berempat.
Tetapi andaikata benar-benar telah bertemu dengan seorang
demikian, meskipun kami tidak bisa apa-apa, di situ masih
ada majiakan kami.”
“Siapakah majikanmu itu?”
“Coba kau tebak sendiri!”
Bukankah ini suatu jawaban yang aneh? Sekalipun
dengan seorang bagaimana pintarnya, juga tidak dapat
menebak, siapa majikan empat wanita itu.
“Aku kira majikanmu itu, bukanlah panji wulung!”
Berbeda tidak seberapa dengan panji wulung,” jawabnya
wanita itu dengan sikap menggoda.
Touw Liong kemudian berkata sambil menggelengkan
kepala:
“Sudahlah! Kalau kalian tidak mau menerangkan,
akupun tidak mau menebak sembarangan. Aku ingin pergi,
tapi tidak tahu kemana harus pergi. Jikalau kau mau
menerangkan lebih duku, aku suka ikut kalian untuk
melihat sendiri.”
“Mengapa perlu banyak bertanya? Kalau sudah tiba di
tempat itu,kau toh akan tahu sendiri.”
“Kapan berangkat?”
“Dalam waktu beberapa hari ini,” jawab wanita itu,
kemudian menambah penjelasan, “Sebab kami memerlukan
tenaga seratus orang, dan sekarang hanya kurang beberapa
saja!”
“Tempat tinggal kalian terpisah berapa jauh dari sini?”
“Tiga pal.”
“Aku boleh ikut kalian untuk melihatnya?”
“Orang yang tampangnya seperti kau ini, jikalau
majikanku senang, pasti akan memberi jabatan kau sebagai
kepala atau mandor.”
“Mandor?” berkata Touw Liong sambil tertawa
terbahak-bahak kemudian berkata: “Itu terlalu bagus!
Kalau begitu enci tolong ajak aku menemui majikanmu!”
“Serahkan itu!” berkata wanita itu sambil menunjuk
pedang di punggung Touw Liong.
Touw Liong mengerti, ia menyerahkan pedangnya
kepada wanita itu.
Wanita itu lalu berpaling kepada wanita yang berbaju
ungu di belakangnya, kemudian berkata dengan suara
perlahan,
“Bawalah ia!”
Wanita berbaju ungu itu menganggukkan kepala, dan
kemudian berkata kepada Touw Liong,
“Mari ikut aku!”
Ia memutar tubuh dan berjalan lebih dahulu, menuju ke
dalam rimba, dengan diikuti oleh Touw Liong.
Di belakang rimba, terdapat jalanan kecil, di ujung jalan
terdapat sebuah perkampungan, di malam yang sunyi,
suasana sunyi senyap, dalam perkampungan samar-samar
terdengar suara alunan dari alat musik kecapi.
Tak lama kemudian dua orang itu telah masuk ke dalam
perkampungan. Perkampungan itu tidak besar, suara
kecapi yang halus terdengar semakin nyata.
Wanita berbaju ungu mengajak Touw Liong menuju ke
ruangan lapis kedua. Ketika Touw Liong mendongakkan
kepala mengawasi keadaan itu, dalam hati berdebar. Di
dalam ruangan, di atas panggung, tampak sebuah meja kirakira
delapan kaki lebarnya, di atasnya berjajar tujuh buah
kecapi kuno, di depan meja ada sebuah perapian dupa yang
terbuat dari batu giok putih, asap dupa tetap mengepul
tinggi.
Seorang wanita berpakaian putih duduk bersila di
belakang alat kecapi itu, sepuluh jari tangannya yang
runcing sedang mementil senar kecapi.
Suara kecapi yang merdu tadi ternyata keluar dari ujung
jari wanita itu. Wanita berpakaian putih itu usianya belum
lanjut, wajahnya putih dan cantik molek bagaikan bidadari.
Ia sedang asyik mementil kecapinya, agaknya sedikitpun
tidak menghiraukan datangnya dua orang itu. Seluruh
perhatiannya ditujukan kepada kecapinya.
Dua pelayan perempuan yang berdiri di belakang wanita
baju putih itu, memberi isyarat kepada wanita berbaju ungu
dan Touw Liong yang sedang memasuki ruangan itu.
Wanita berbaju ungu itu membungkukkan badannya
kepada gadis baju putih untuk memberi hormat.
Touw Liong mengarahkan pandangan matanya
memperhatikan keadaan tempat itu. Dua kamar yang
berada di kedua sisi ruangan itu. Di dalam ruangan itu
tampak berduduk sejumlah orang kira-kira delapan
sembilan puluh banyaknya, mereka agaknya sedang
memperhatikan pada musik.
Setiap orang sedang pasang telinga dan memandang
dengan penuh perhatian. Sikap demikian itu jelas, bahwa
orang-orang itu semua tenggelam dalam pengaruh irama
kecapi, sehingga tiada satupun yang berani bergerak.
Mereka agaknya juga tidak tahu bahwa disitu sudah
tambah dua orang.
Pandangan mata Touw Liong perlahan-lahan ditujukan
ke dalam, ia telah merasa bahwa orang-orang itu terdiri dari
berbagai tingkatan, di antara mereka kecuali orang-orang
biasa juga terdapat lima paderi, pengemis, ketika matanya
ditujukan ke tempat yang lebih jauh, ia terkejut, sehingga
tanpa dirasa mengeluarkan seruan: “Aa …”
Di luar dugaannya bahwa suara seruan tadi ternyata
sudah mempengaruhi irama kecapi. Orang-orang yang
bagaikan patung duduk di sekitarnya mendengarkan irama
itu, juga terkejut, dan semua mata ditujukan kepadanya.
Apa sebabnya Touw Liong berseru? Kiranya diantara
orang-orang yang duduk itu juga terdapat anak murid
golongan pengemis yang pernah bertempur dengan Kim
Yan di dekat kapel Ngo-liong-kam, oleh karenanya ia
menjadi terkejut.
Perasaan terkejutnya itu bukan cuma itu saja, sebab di
samping anak murid golongan pengemis itu juga terdapat
tiga belas anak buah golongan Kiong-lay-pay yang belum
lama berselang berpisah dengannya, termasuk Ngo-liang
Tojin yang kurus kering.
Hal itu sesungguhnya di luar dugaannya!
Wanita berpakaian putih yang duduk di belakang meja
yang sedang mementil kecapi, juga dikejutkan oleh seruan
Touw Liong tadi, wanita itu mengangkat muka dan
memandang Touw Liong sejenak, wajahnya yang cantik
terlintas perasaan marah, lima jarinya mementil kecapi
sehingga menimbulkan suara irama yang tinggi.
Hati Touw Liong agak tergoncang, tetapi begitu melihat
gelagat tidak beres, buru-buru mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya; berusaha menenangkan pikirannya.
Wanita itu mementilkan irama tinggi yang serupa,
bahkan suara itu semakin lama semakin meninggi dan
semakin kuat.
Dari suara yang ketiga kalinya, Touw Liong sudah tidak
merasakan apa-apa, ia terus menunggu sampai wanita itu
mementil habis sekali, baru menarik nafas panjang.
Ia menoleh, segera tampak olehnya wajah gadis yang
cantik itu kini sudah terdapat air peluh, sedang dua pelayan
yang sedang berdiri di belakang dirinya sudah jatuh pingsan
di tanah, wanita berbaju ungu yang berada di sisinya juga
tampak duduk bersila di tanah, orang-orang yang demikian
banyak jumlahnya, keadaannya lebih menggenaskan,
sebagian besar mereka sudah pingsan.
Touw Liong menghela nafas, dalam hatinya berpikir: Ai!
Aku sebetulnya pikir hendak menolong mereka dari
bencana, tak kuduga keadaannya menjadi sebaliknya, kini
malah mencelakakan diri mereka.
Wanita berbaju putih yang mementil kecapi tadi,
perlahan-lahan bangkit sambil membawa kecapinya, lalu
menarik nafas, dan memandang Touw Liong dengan mata
sayu, kemudian berkata sambil menunjuk keluar:
“Kau lekas keluar dari sini, jikalau tidak, jangan sesalkan
aku bertangan kejam, sekalipun kekuatan tenaga dalammu
sudah sangat sempurna, aku juga masih sanggup untuk
memutuskan urat-uratmu!”
Mendengar perkataan itu wajah Touw Liong berubah,
sementara hatinya, belum tentu aku mati… ia menyapu
kepada orang-orang yang berada di hadapan matanya,
terutama ketika pandangan matanya terjatuh di wajah tiga
belas orang-orang dari Ciong-lay-pay, lalu menarik nafas
dan berpikir: orang-orang ini tidak berdosa, jikalau benar ia
harus mementil sehingga putus senar-enar kecapinya, belum
tentu urat-uratku akan terputus, apakah mereka benar-benar
tak kuat menahan getarannya?
Wanita berbaju putih wajah dan sikapnya dingin
memandang Touw Liong. Dari tangannya perlahan-lahan
diletakkan di atas senar kecapinya menantikan jawaban
Touw Liong.
Touw Liong yang sementara itu menimbang suasana di
hadapan matanya, ia menimbang-nimbang pula untungruginya,
kemudian ia menganggukkan kepala dan berkata:
“Baiklah! Aku akan pergi!”
Wanita berbaju putih itu perlahan-lahan menurunkan
tangannya, dan sepasang matanya terus menatap wajah
Touw Liong.
Touw Liong menatap tangan dan menyoja kemudian
berkata:
“Sudikah kiranya nona memberitahukan nama nona
yang mulia?”
“Tidak perlu,” menjawab wanita itu sambil
menggelengkan kepala.
Dalam otak Touw Liong tiba-tiba teringat kepada gadis
yang kemarin malam mementil kecapi di atas panggung
kecapi, gadis itu juga mengenakan pakaian serba putih.
Sejenak dia trtegun, kemudian bertanya pula.
“Apakah nona tadi malam berada di panggung mementil
kecapi …”
Wanita berbaju putih itu mengerutkan alisnya dan
memotong sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak pernah pergi ke panggung pementil kecapi.”
Touw Liong terbenam dalam alam pikirannya sendiri,
lalu bertanya kepada diri sendiri dengan suara perlahan:
“Kalau begitu siapa? Tidak mungkin Pek Giok Hwa dapat
mementil kecapi.”
Wanita berbaju putih itu menyambungnya dengan suara
dingin:
“Siapa yang tahu?”
Touw Liong masih berkata sendiri dengan suara yang
amat perlahan, “Kalau bukan dia… juga bukan majikan
tempat ini, kalau begitu siapa orang itu?”
Ia ingat bahwa kepandaian mementil kecapi orang yang
tadi malam agaknya masih di atas wanita baju putih ini.
Dia yang dimaksudkan oleh Touw Liong adalah Pek
Giok Hwa.
Wanita berbaju putih itu juga menunjukkan sikap
ketidaksabaran, katanya dengan nada suara dingin,
“Peduli apa dia siapa? Apa kau tidak bisa pergi ke
panggung untuk melihatnya sendiri?”
Ucapan itu mengetok hati Touw Liong, ia segera
memberi hormat, setelah minta diri, lalu berjalan keluar
menuju ke kota Lam-yang.
Tak berapa lama ia keluar dari perkampungan itu, di
tengah udara tampak tiga buah sinar biru, di tengah udara
sinar biru itu mengeluarkan ledakan tiga kali, dan
memancarkan tiga buah kembang api.
Kembang api yang terpencar di tengah-tengah udara
dapat dilihat dari bawah tanah sejarak sepuluh pal lebih.
Touw Liong memandang sinar kembang api itu, dalam
hati tidak mengerti, ia menduga kembang api itu adalah
pertandaan dari perkampungan tadi, tetapi untuk sesaat itu
ia tidak mengerti apa maksudnya.
Ada dua hal yang mengecewakan Touw Liong, satu
ialah diketemukannya anak buah golongan pengemis yang
pernah bertempur dengan Kim Yan di dalam perkampugan
itu, tetapi apa mau dikata, gadis itu telah mengusir mereka
pulang, sehingga ia menyia-nyiakan kesempatan yang baik
itu; yang kedua, ialah ia tidak menyelamatkan orang-orang
itu dari bencana sehingga membiarkan mereka dipengaruhi
oleh irama kecapi perempuan tadi, untuk dijadikan
budaknya.
-----00000-----
Di atas panggung mementil kecapi, sinar rembulan
terang-benderang, keadaan masih tetap seperti sediakala.
Halaman 59 – 64 ROBEK !!!!
JILID 5
Sinar rembulan saat itu menyinari wajahnya, wajah itu
memang cantik, di mata Touw Liong seolah-olah bidadari
baru turun dari kahyangan.
Sepuluh jari tangan wanita itu bergerak-gerak mementil
tali-tali kecapinya. Irama kecapi merdu sekali, hingga tanpa
sadar Touw Liong menyanyi perlahan:
“Kapan malam bulan terang? ‘Ku bertanya sambil meminum
arak; tidak ‘ku tahu di atas langit apakah ada istana, ‘ku juga
tidak tahu malam ini tahun apa?
Ingin kupulang naik angin, namun khawatir di atas angkasa
terlalu dingin.
Menari-nari sendiri, seolah-olah tidak berada dalam dunia …
Manusia punya suka dan duka, rembulan punya mata gelap
ada masa terang, itu sudah diatur oleh Tuhan sejak dahulu kala.
Semoga orang akan hidup abadi…”
Ketika ia bersajak sendiri sampai disitu, wanita itu sudah
menangis terisak-isak, kemudian jarinya bergerak cepat dan
tinggi, senar kecapi telah putus.
Irama kecapi yang merdu, telah terputus di tengahtengah
jalan. Sungguh sayang!
Wanita itu setelah memutuskan senar kecapinya, air
matanya turun berlinang-linang membasahi pipinya,
dengan mata sayu, memandang Touw Liong kemudian
menarik nafas dan berkata:
“Iramanya masih tetap sama, namun orangnya sudah
berlainan, sayang kau bukanlah dia…”
“Dia!...Siapa dia?” tanya Touw Liong kepada dirinya
sendiri.
Selagi Touw Liong dalam keadaan terkejut, wanita itu
sudah menundukkan kepala; jari tangannya gemetar, ia
agaknya tidak tega melepaskan alat kecapi di tangannya,
lama sekali ia baru berhenti menangis, perlahan-lahan
bangkit dari tempat duduknya.
Dua pelayan yang berada di belakang dirinya segera
menghampiri dan berkata kepadanya:
“Nona…”
Wanita itu berpaling dan mengawasi kepada dua
pelayannya sejenak, kemudian berkata kepada mereka:
“Jangan campur mulut!”
Dari sikap dua pelayan itu, Touw Liong mengetahui
bahwa saat itu pasti akan terjadi apa-apa, tetapi apa yang
akan terjadi, ia belum dapat meramalkan.
Dalam keadaan demikian ia terpaksa siap siaga
mengerahkan tenaganya. Ia tahu bahwa wanita di hadapan
matanya itu memiliki kepandaian sangat tinggi, bukanlah
orang dari golongan sembarangan, jikalau dengan tiba-tiba
wanita itu melakukan serangan, ia sendiri mungkin tidak
keburu melayani.
Wanita itu lantas bangkit dari tempat duduknya, jarijarinya
yang putih halus masih mengelus-elus kecapinya,
tangannya menekan bawah kecapinya tanpa bergerak,
wajahnya menunjukkan sikap serius, dan sinar matanya
jelas nampak sikapnya yang marah.
Mata Touw Liong memandang sejenak kepada kecapi
yang berada di tangan gadis itu, selagi dalam hatinya
bertanya-tanya, kemudian dengan tiba-tiba ia berseru kaget,
“Nona…” Namun seruannya itu masih agak terlambat,
dua tangan wanita itu sudah bergerak, dan dari bawah
kecapi tadi tampak mengepul asap hijau, kemudian disusul
dengan berkelebatnya api dan kecapi itu pecahlah sudah.
Sebuah kecapi kuno yang sangat indah telah terbakar
oleh kekuatan tenaga yang dikeluarkan oleh tangan wanita
tadi.
Dengan memandang api yang membakar kecapi tadi,
dari mata wanita tadi memancarkan sinar kebencian, Touw
Liong menghela nafas perlahan, dan berpikir sambil
menggeleng-gelengkan kepala: Wanita yang cantik
bagaikan bidadari ini nampaknya pernah mengalami suatu
kejadian yang menyedihkan.
Dan wanita itu perdengarkan suara tarikan nafas
panjang, kemudian angkat muka dan memandang Touw
Liong sambil mengucurkan air mata. Dengan suara lembut
dan mengandung perasaan menyesal, ia berkata:
“Touw tayhiap! Dua hari ini aku telah salah melihat
orang, aku anggap kau sebagai seorang…,” kata-katanya
berhenti dengan mendadak, wajahnya menunjukkan sikap
sedih.
Apa yang Touw Liong dapat katakan? Ia hanya
mengeluarkan suara perlahan: “Nona…”
Ia semakin percaya bahwa wanita muda itu pernah
mengalami penderitaan batin yang hebat.
Wanita itu melanjutkan kata-katanya.
“Orang kalau tidak bersedi tidak akan mengeluarkan air
mata. Jikalau aku tidak merusak kecapiku ini, barangkali
aku tidak mempunyai keberanian untuk hidup terus!”
Touw Liong diam saja sedang wanita tadi menunjuk
tangga batu yang berada di hadapannya, memberi isyarat
kepada Touw Liong supaya duduk di situ. Pada waktu itu
kecapi yang terbakar sudah dibawa pergi oleh dua pelayan
tadi. Wanita itu juga turun dari tempat duduknya, dan
duduk di tangga lain yang berhadapan dengan Touw Liong.
Gadis itu menunjukkan sebuah senyum, tetapi masih
tidak dapat menutupi perasaan dukanya.
Sementara itu Touw Liong tidak tahu bagaimana harus
menghiburi wanita yang baru dikenal dan tidak diketahui
namanya itu, ia merasa tidak tenang, namun terhadap
wanita yang sangat misterius itu, timbullah perasan
simpatinya yang sangat besar, tetapi karena wanita itu tidak
mau menerangkan asal-usul dirinya, maka ia sendiri juga
tidak berani menanya.
Wanita itu lebih dulu memberi hormat kepada Touw
Liong kemudian berkata:
“Tadi malam aku hampir saja melakukan suatu
kesalahan besar, untung kesalahan itu tidak sampai terjadi.”
Touw Liong memaksakan diri untuk tertawa, ia
mendengarkan dengan tenang, menanti apa yang akan
dikatakannya selanjutnya. Wanita itu perlahan-lahan
menundukkan kepala, dengan sikap kemalu-maluan dan
suara agak serak melanjutkan perkataannya:
“Tadi malam, tatkala pertama kali aku melihatmu, aku
telah berpikir hendak membunuhmu. Waktu itu, aku
pernah mengerahkan ilmuku membunuh dengan irama
kecapi, atau setidak-tidaknya membuatmu menjadi seorang
cacad atau terputus urat-urat nadimu.”
“Ya…!” Demikian Touw Liong berseru dengan mata
terbelalak.
Wanita itu perlahan-lahan angkat muka, di wajahnya
menunjukkan sikap penyesalan, dengan tenang ia berkata
lagi:
“Di luar dugaanku, kau Touw tayhiap ternyata memiliki
tenaga dalam demikian tinggi, semakin keras aku berusaha
untuk menotok jalan darahmu, semakin sempurna kekuatan
tenaga dalammu, dengan lain perkataan, semakin aku
menggunakan tenaga, semakin besar faedahnya bagimu.
Pada akhirnya… aku sebetulnya terlalu benci padamu,
sehingga tidak dapat menahan kemarahan, aku pernah
berpikir hendak mengadu untung denganmu, dengan
seluruh kekuatan tenaga dalamku kepada satu senar, untuk
memutuskan urat nadimu…”
“Nona…” Touw Liong memotong perkataan wanita itu,
lalu ia bertanya:
“Aku denganmu tidak ada permusuhan apa-apa,
mengapa nona hendak membunuh aku?”
Wanita itu menunjukkan senyum mesra. Dengan
menahan perasaan sedihnya ia berkata:
“Aku dengan Touw tayhiap memang benar tidak ada
permusuhan apa-apa, aku bukannya ingin membunuhmu,
melainkan…” Wanita itu tidak dapat melanjutkan katakatanya,
air matanya mengalir deras, hingga lama ia dalam
keadaan demikian, kemudian ia menekan perasaannya
sendiri untuk melanjutkan keterangannya:
“Sebab kau terlalu mirip dengan seseorang. Orang itu
justru yang kubenci. tiada satu saat aku tidak memikirkan
untuk membunuhnya.”
Touw Liong baru sadar. Ia merasa beruntung bahwa
wanita itu tidak melanjutkan usahanya. Jikalau tidak,
mungkin saat itu ia sudah tidak bisa hidup lagi.
Berpikir sampai di situ, ia lalu bertanya kepadanya:
“Orang itu dengan nona ada hubugan apa? Mengapa
nona demikian benci padanya?”
Setelah mengajukan pertanyaannya, dia baru menyesal,
tidak seharusnya ia bertanya demikian.
Di luar dugaannya, sikap wanita itu masih tetap tenang.
“Orang itu pernah menghadiahkan kecapi yang kubakar
tadi, bahkan sering sekali kita berduaan mementil kecapi di
malam terang bulan.”
Touw Liong mengerutkan alisnya, dengan nada tanya ia
berkata,
”Oo.... jadi orang itu adalah kawan dalam satu hobi dan
kawan karib ....”
Kembali di luar dugaan Touw Liong, wanita itu
tersenyum, seolah-olah terbenam kembali dalam kenangan
manis yang pernah dialaminya di masa lampau. Dengan
wajah berseri-seri ia berkata,
”Ia bukan saja kawanku sesama hobi, juga merupakan
sahabat paling karib,” kata-katanya yang terakhir diucapkan
dengan nada dingin, tetapi setelah itu wajahnya nampak
bersedih. Kesedihan itu tampak nyata di wajahnya.
Touw Liong tak dapat menebak apa yang terkandung
dalam hati wanita cantik itu, karena sebentar nampak sedih
sebentar nampak girang hingga sulit untuk ditebak.
”Orang itu kalau benar adalah sahabat karibmu,
mengapa nona demikian benci padanya?” demikian ia
bertanya.
”Orang itu memang benar adalah sahabat karibku,
bahkan pernah mencuri hatiku, tetapi juga membawa kabur
sebuah benda pusaka keluargaku, dan paling akhir .... Akh!
Terlalu menggenaskan! Ayah telah mati oleh karena
perbuatannya itu.”
Dengan sedih ia lalu menangis.
Touw Liong merasa simpati terhadap wanita yang tidak
beruntung itu. Ia bertanya sambil menghela nafas perlahan,
”Barang pusaka apa yang telah dibawa pergi, mengapa
ayahmu demikian sakit hati? Dengan kepandaian seperti
nona, apakah nona khawatir tidak dapat meminta
kembali?”
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala memesut air
matanya, dengan suara sedih hanya dapat mengeluarkan
kata-kata,
”Luka di hati susah timbul, kebencian susah dihapus.”
Touw Liong meskipun mengerti perasaan wanita itu,
tetapi ia tidak tahu bahwa persoalannya ternyata tidaklah
sesederhana itu. Selagi hendak menanya lagi, wanita itu
meneruskan perkataannya,
”Semua itu adalah salahku sendiri. Pertama aku tidak
seharusnya diam-diam mencintai orang itu; kedua, aku
tidak seharusnya diam-diam membawanya pulang; ketiga,
lebih-lebih tidak seharusnya oleh karena cinta padanya, lalu
memberitahukannya tentang barang pusaka dalam rumah
tanggaku….”
Touw Liong yang mendengarkan keterangan itu menjadi
terperanjat. Ia bertanya pula,
”Benda pusaka apa sebetulnya ...?”
”Batu Khun-ngo-giok,” jawab wanita itu sambil
tersenyum masam.
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong. Kemudian ia
bertanya pula,
”Siapakah orang itu?”
Wanita itu kembali unjukkan senyum masam, lalu
berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
”Ia sangat pandai memainkan kecapi. Ia menyebut
dirinya sebagai Sie-siang Sian-jin. Nama sebetulnya belum
pernah aku dengar ia menyebutkan. Ai ....! Aku sangat
menyesal, aku sangat menyesali diriku sendiri yang masih
terlalu muda, hingga perasaanku mudah tergoncang.
Sekarang kalau kupikir kembali, aku sangat menyesal atas
kebodohanku sendiri, sampai pun nama orang itu sendiri
juga tidak tahu. Apa yang lebih gila ialah aku telah
menyerahkan jiwa dan hatiku kepadanya.”
”Kalau begitu nona telah tertipu olehnya. Orang itu
mengandung maksud jahat, ia mendekati nona, maksudnya
ialah untuk mendapatkan batu Khun-ngo-giok.”
Wanita itu diam saja.
Lama sekali Touw Liong baru bertanya,
”Nona tadi masih belum memberi keterangan mengapa
tidak mencari orang itu, untuk minta kembali barang
pusaka keluargamu?”
”Memang benar aku seharusnya mencari dia, bukan saja
hendak minta kembali barang yang dibawa, tetapi juga
hendak membawa batok kepalanya untuk
disembahyangkan di hadapan arwah ayah, akan tetapi ....”
berkata gadis itu sambil menggeleng-gelengkan kepala,
tetapi akhirnya ia tidak dapat menahan sedihnya hingga
tidak dapat meneruskan perkataannya.
Touw Liong menatap wajah wanita itu, sedang wanita
itu meneruskan kata-katanya sambil menggigit bibir,
”Aku tahu bahwa musuh yang paling besar adalah
musuh daripada ayah, tetapi aku tidak boleh menjilat
kembali ludahku sendiri, untuk mengingkari janjjku!”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala,
sambungnya dengan suara perlahan,
”Oleh karenanya maka nona memaafkan padanya dan
tidak menuntutnya.”
”Aku pernah mencinta padanya demikian rupa, juga
pernah bersumpah sehidup semati sekalipun dunia kiamat
hatiku ini tidak akan lumer. Coba katakanlah bagaimana
aku harus berbuat?”
Dengan kedua tangannya wanita itu mendekap
wajahnya, menangis dengan sedih.
Touw Liong meskipun usianya sudah hampir dua puluh
tahun, tetapi terhadapat soal asmara, sedikitpun belum
mempunyai pengalaman, maka ditanya demikian,
sekalipun ia sangat cerdik, juga tidak berdaya, sehingga saat
itu tidak dapat menjawab, hanya mondar-mandir sambil
mengepal tangannya.
Dengan tiba-tiba ia balas menanya,
”Kedatangan nona kali ini ke kota Lam-yang apakah
hanya untuk keperluan hendak mencari tenaga, ataukah
ada maksud lain?”
Wanita itu lama berdiam, kemudian baru menjawab,
”Mencari tenaga hanya merupakan suatu alibi saja,
sebab ayah sudah tiada. Di masa hidup memang ayah
hendak membangun sebuah istana yang megah, tetapi
urusan ini kini boleh dilanjutkan, tetapi juga boleh tidak.
Dalam hatiku sebenarnya masih tetap ingin ....! Dengan
terus terang, sebetulnya aku tidak takut Touw tayhiap akan
tertawakan aku. Saat ini pikiranku sebetulnya sangat
bertentangan sendiri. Di satu pihak aku ingin mendapatkan
benda pusaka itu untuk menuntut balas terhadap kematian
ayah, tetapi di lain pihak aku juga ingin melihat orang yang
pernah kucintai itu.”
Dari pembicaraan wanita itu, Touw Liong samar-samar
dapat meraba-raba bahwa wanita itu bukanlah dari
golongan sembarangan. Sejak itu ia masih berusaha
mencari-cari, tetapi ia masih tidak menemukan suatu
gambaran entah dari golongan mana wanita itu.
”Sudikah kiranya nona memberitahukan nama nona
yang mulia, dan kediaman nona ....?” akhirnya ia
memberanikan diri untuk bertanya juga.
Wanita itu menunjukkan sikap seperti berpikir, lama
baru menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala,
”Namaku tidak ada artinya, kusebutkan hanya akan
menodai Touw tayhiap saja, untuk sementara harap tayhiap
jangan tanya dulu, di kemudian hari pasti akan mengetahui
sendiri.”
Touw Liong tahu bahwa wanita itu dalam penderitaan
batin, maka tidak berani menanyakan lebih dahulu.
Dengan tiba-tiba ia teringat soal yang lain, maka kemudian
bertanya,
”Tadi malam nona salah anggap, anggap aku sebagai
sahabat karibmu, kemudian dengan cara bagaimana nona
tahu kalau aku bukan sahabat karibmu itu? Dan lagi orangorang
yang tadi di dalam kampung ini, di mana sekarang
mereka?”
”Tadi malam, hingga setengah jam di muka, aku yang
memang benar anggap tayhiap sebagai orang yang kusebut
tadi, baru setelah kembali ke kampung ini, aku dengar
bahwa orang itu adalah kau Touw tayhiap, aku lalu
menanyakan rupa dan dandananmu, baru mengerti bahwa
wajahmu mirip sekali dengan lelaki yang pernah mencintai
diriku dan kemudian meninggalkan aku.”
Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian berkata pula,
”Dengan laki-laki itu aku kenal betul, setiap hari hampir
kami tidak berpisah. Kami merantau dan pesiar kemanamana,
ketika aku pesiar ke daerah telaga Ngo-auw, justru
kau melakukan pertempuran hebat membasmi penjahat di
gunung Tian-hok-san, dengan demikian aku telah menduga
pasti bahwa kau bukanlah lelaki yang meninggalkan aku
itu. Maka ketika adikku tadi mengatakan tentang dirimu,
aku jadi mengerti bahwa tadi malam aku hampir kesalahan
membunuh seorang baik!”
Kini Touw Liong mengertilah bahwa satu jam di muka
wanita berbaju putih yang memainkan kecapi di ruangan
tadi adalah adik dari wanita ini. Ketika ia mengingat
kepada gadis itu, Touw Liong teringat pula kepada soal
lain, ia ingin mencari keterangan tentang adik
seperguruannya dari golongan pengemis yang juga berada
di antara orang-orang itu, tetapi sekarang sudah tidak
kelihatan bayangannya. Ia berpikir sejenak kemudian
bertanya,
”Bolehkah kiranya kalau aku minta nona bawa aku
bertemu dengan orang-orang itu tadi, maksudku hanya
ingin mencari salah seorang di antara mereka untuk
membereskan persoalan kami.”
”Aku sudah kehilangan kepercayaanku sendiri, kepada
lelaki yang meninggalkan aku itu juga sudah merasa takut,
aku pikir tidak ingin menemukan dia lagi. Tentang niatku
untuk membangun istana kini juga dibatalkan. Tentang
orang-orang yang kami pekerjakan tadi, aku sudah suruh
adikku mengirim kembali ke kota Lam-yang, kemudian
membebaskan mereka.”
Touw Liong segera ingat harus kembali ke kota Lamyang,
maka ia lantas minta diri hendak berlalu dari tempat
tersebut.
Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, mencegah
Touw Liong dan berkata dengan suara perlahan,
”Touw tayhiap bolehkah sabar dulu!”
”Nona masih ada keperluan apa?”
“Tidak apa-apa, hanya ingin ….”
Lama ia berdiam, beberapa kali bibirnya tergerak, tetapi
tiada sepatah kata keluar dari mulutnya.
Akhirnya Touw Liong berkata sambil mengerutkan
alisnya,
”Nona ingin berkata apa? Katakanlah terus terang.”
Wanita itu kembali menarik nafas dan berkata dengan
suara sedih,
”Aku ada sedikit permintaan yang barangkali kurang
patut. Aku hanya ingin minta belas kasihanmu supaya sudi
menolong aku seorang yang bernasib malang ini. Aku
harap supaya Touw tayhiap jangan salah paham bahwa
permintaanku ini akan merepotkan dirimu.”
”Aii .... apakah nona sudah merubah pendirianmu,
hendak ....”
Wanita itu menganggukkan kepala dan berkata terus
terang,
”Aku benar-benar sudah merubah pendirianku. Pertama
aku hendak minta kembali benda pusaka keluargaku itu.
Kedua, aku hendak mencari lelaki yang meninggalkan aku,
untuk kuminta keterangan sebenarnya.”
Touw Liong mendongakkan kepala memandang bintangbintang
di langit. Ia menarik napas dalam-dalam, tiada
menjawab.
Wanita itu berkata sendiri dengan suara duka.
”Aku tahu bahwa permintaanku ini agak keterlaluan!
Mungkin akan mengganggu kebebasan tayhiap!”
”Tidak!!” Demikian Touw Liong buru-buru memberikan
keterangan sambil menggoyangkan kepalanya.
”Enci jangan salah paham, aku ......”
Mendadak ia sadar bahwa tidak seharusnya ia berlaku
demikian. Dengan menggunakan sebutan enci terhadap
seorang gadis yang masih asing baginya, agaknya kurang
pantas.
Tetapi sebutan enci yang dikeluarkan tanpa disengaja
tadi, agaknya telah mengharukan hati wanita tadi, sehingga
air matanya mulai bercucuran, kemudian ia berkata dengan
suara lemah lembut,
”Adik, kau terima permintaanku??”
Hati Touw Liong sangat cemas, sehingga mukanya
merah membara, tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Lama sekali ia baru menganggukkan kepala sambil
menarik napas panjang.
Sebetulnya, saat itu pikirannya terlalu risau. Persoalan
yang menimpa dirinya telah membuat ia hampir tak dapat
menguasai diri sendiri, terutama soal ancaman dari Panji
Wulung yang dihadapinya tinggal waktu satu hari ini saja,
di samping itu masih ada soal batu Khun-ngo-giok yang
oleh suhunya ditugaskan untuk mencarinya.
Kini soalnya sudah jelas, bahwa pemilik yang tulen dari
batu itu kini berada di hadapan matanya, sedangkan
suhunya sendiri telah memerintahkan dan memberi tugas
dirinya untuk mencari dan mengantarkan benda itu ke
gunung Kiu-hwa, apa mau pemiliknya justru minta ia
bersama-sama untuk mencari batu itu; apabila ia berhasil
menemukan kembali batu itu,bagaimana ia harus berbuat?
Merampaskah? Atau menyaksikan sambil berpeluk tangan?
Soal ini serba sulit baginya. Jikalau ia turun tangan dan
merampas, dengan sendirinya merupakan suatu perbuatan
yang tidak patut terhadap wanita ini, tetapi jikalau ia tidak
turun tangan di kemudian hari bagaimana harus
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada suhunya?
Dengan perasaan sangat girang, wanita itu menghampiri
Touw Liong, dengan menatap wajah Touw Liong demikian
rupa.
”Encimu ini adalah seorang yang bernama Lo Yu Im ....
dari gunung Kun-lun-san bagian barat.”
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong ketika
mendengar nama wanita itu.
”Kalau begitu Kakek Seruling Perak, Lo-locianpwe itu
adalah enci punya ....”
”Ayahku,” demikian Lo Yu Im memotong.
“Hai. Kiranya enci adalah keturunan dari seorang yang
berkepandaian sangat tinggi. Ayahmu adalah seorang yang
bijaksana, sayang sekarang sudah tiada.”
Kakek Seruling Perak itu berdiam di gunung Kun-lunsan
bagian barat, belum pernah menginjak daerah
Tionggoan, maka orang-orang rimba persilatan daerah
Tionggoan yang pernah melihat si Kakek Seruling Perak itu
jumlahnya sedikit sekali.
Empat tahun berselang, Kiu-hwa Lojin pernah
berkunjung ke gunung Kun-lun-san untuk mencari obat. Di
situ ia berjumpa dengan Kakek Seruling Perak, bahkan
pernah mengadakan pertandingan sehingga seratus jurus
lebih. Oleh karena satu sama lain tidak menanam
permusuhan, pertandingan itu hanya merupakan
pertandingan persahabatan, maka akhirnya satu sama lain
saling menghormat dan saling mengagumi. Sayang sejak
mereka berpisah, mereka tidak pernah berjumpa lagi.
Ketika masih di gunung Kiu-hwa-san, suhunya pernah
memberitahukan kepada Touw Liong tentang diri Kakek
Seruling Perak itu.
”Dalam usianya yang sudah lanjut, ayah telah meninggal
karena hilangnya batu Khun-ngo-giok. Coba kau katakan
bagaimana aku ada muka untuk kembali ke gunung Kunlun-
san?” berkata Lo Yu Im sambil menghapus air
matanya.
Touw Liong sebetulnya merasa sangat simpati terhadap
Lo Yu Im, maka ia menghiburnya.
”Enci seharusnya mencari kembali batu itu.”
“Di dalam dunia yang luas seperti ini , di mana aku akan
mencari?”
”Siaote masih ada sedikit keperluan yang perlu
dibereskan lebih dulu, maka kini siaote hendak pergi ke
kota Lam-yang. Tiga hari kemudian, apabila siaote masih
hidup, sioate bersedia mengawani enci berkelana ke dunia
Kang-ouw, untuk mencari batumu yang hilang itu. Dan
tentang sahabat karibmu dulu itu perlu juga harus
mencarinya untuk menanyakan penjelasannya, mungkin ia
mempunyai kesulitan sendiri, yang tidak boleh tidak harus
berbuat demikian.”
”Mengapa adik mengeluarkan kata-kata yang
mengandung firasat tidak baik itu? Apakah dalam waktu
tiga hari itu kau mendapat ancaman bahaya?”
Bibir Touw Liong bergerak-gerak, tetapi tidak sebuah
perkataan keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia hanya
menjawab sambil menggelengkan kepala,
”Urusan dalam dunia banyak hal-hal yang tak dapat
diduga, aku berpikir begitu saja.”
Jawabannya itu agaknya kurang memuaskan. Lo Yu Im
yang berpikiran cerdas, segera dapat menduga bahwa
ucapan yang keluar dari mulutnya itu tadi bukan keluar dari
hati yang sebenarnya, namun ia tidak berani menanya lebih
lanjut. Dengan kesampingkan urusannya ia menanya
persoalan lain,
”Apakah adik mengharap dapat menemukan
sumoymu?”
Touw Liong menganggukkan kepala. Lo Yu Im
menghampiri selangkah lagi berbisik-bisik di telinganya.
Touw Liong segera menunjukkan sikap girang. Dengan
muka berseri-seri ia berkata,
”Jalan! Mari enci lekas bawa aku ke sana!”
Sehabis berkata ia berjalan lebih dahulu menuju ke luar.
Bab 13
Sinar rembulan masih terang benderang menyinari bumi,
malam semakin larut ....
Di atas jalan raya yang menuju ke kota Lam-yang, di
dalam larut malam itu tampak dua bayangan manusia lari
bagaikan terbang, dalam waktu sekejab saja sudah melalui
jalanan beberapa pal.
Dandan dua orang itu berlainan. Orang yang
mengenakan pakaian sastrawan adalah Touw Liong, yang
mengenakan gaun putih adalh wanita dari perkampungan
misteri Lo Yu Im.
Usia mereka meskipun masih sangat muda, tetapi samasama
memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang
sangat sempurna.
Lo Yu Im berjalan di muka. Gaunnya berkibar-kibar
tertiup angin, geraknya ringan sekali. Ia lari seolah-olah
tidak menginjak tanah.
Selagi berjalan, tidak jauh di hadapan mereka tampak
sebuah kelenteng tua yang tertutup oleh pohon-pohon dari
dalam rimba.
Lo Yu Im lantas merandek, lalu bertanya kepada Touw
Liong sambil menunjuk ke arah kelenteng itu,
”Di dalam kelenteng itu ....”
Pada waktu angin malam meniup-niup kencang, pohonpohon
memperdengarkan suara keresekan, namun suasana
sepi-sunyi. Dari dalam kelenteng tua itu samar-samar
tampak sinar pelita. Di dalam malam sesunyi itu, sinar itu
kalau dipandang dari jauh nampak sangat nyata.
”Terima kasih atas petunjuk enci. Jikalau aku berhasil
menemukan orang yang berada di dalam kelenteng itu,
tidak tahu bagaimana aku harus menyatakan terima
kasihku terhadapmu.”
Dua orang itu mendekati kelenteng tersebut, lalu
sembunyikan diri dan memandang dari arah jauh. Di
depan kelenteng ternyata terpancang dua buah pelita. Dari
sinar lampu itu tampak singat batu yang berada di hadapan
pintu kelenteng. Tumbuhan rumput yang berada di depan
kelenteng nampak setinggi sampai batas lutut.
Pemandangan itu menambah suramnya kelenteng tua yang
sudah hampir rusak keadaannya.
Di dalam kelenteng keadaan sunyi-sepi tidak terdengar
suara apa-apa. Di atas pintu kelenteng tersebut, huruf-huruf
itu berbunyi ’KWI KOK SI’.
Touw Liong lalu berpaling dan bertanya kepada Lo Yu
Im,
”Apakah enci tidak merasakan bahwa dalam hal ini agak
mencurigakan? Ditinjau dari keadaannya yang sudah
rusak, kelenteng itu agaknya tidak ada orang yang
mengurus, tetapi mengapa ada pelitanya? Nama kelenteng
itu saja sudah cukup menyeramkan, apalagi pintunya
ditutup begitu saja yang nampaknya setengah terbuka,
sesungguhnya sangat mencurigakan, entah apa sebabnya?”
”Tidak bisa salah. Aku tadi telah melihat dengan mata
kepala sendiri, ada dua orang masuk ke dalam. Yang
perempuan umurnya kira-kira tujuh belas atau delapan
belas tahun, mengenakan pakaian berwarna kuning. Dia
bukankah adik seperguruanmu yang kau sebutkan tadi?
Sedangkan waktu itu hari hampir gelap, tetapi perempuan
itu pernah berpaling dan memandangku sejenak. Wajahnya
yang cantik manis, sekalipun menjadi abu, aku masih dapat
ingat dan dapat mengenali, dia justru sumoymu yang kau
pernah gambarkan kepadaku tadi.”
”Dan seorang yang lain itu siapa?” tanya Touw Liong.
”Aku hanya melihat bayangannya saja. Dari samping
tampak merupakan seorang tua yang badannya lemah
berambut putih. Tangannya membawa tongkat.
Rambutnya yang putih mencapai dada, badannya kurus
kering.”
”Bagaimana sumoyku bisa berjalan dengan seorang tua
...?”
”Kau jangan perdulikan itu semua. Mari kita masuk
melihat sendiri. Bukankah segera akan mengerti?”
Touw Liong menganggukkan kepala membenarkan
pikiran Lo Yu Im. Keduanya lalu berjalan masuk ke dalam
kelenteng.
Begitu kaki mereka menginjak tangga batu, di situ
terdapat tulisan-tulisan yang digurat dengan jari tangan.
Tulisan-tulisan itu berbunyi ’SILAHKAN MASUK’.
Keduanya yang menyaksikan itu bukan kepalang
terkejutnya.
Mereka saling berpandangan. Touw Liong balikkan
tangannya memegang gagang pedang yang berada di atas
punggungnya, kemudian maju lebih dulu dan berkata
kepada Lo Yu Im,
”Enci, mari ikut aku!”
Dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, Touw
Liong mendorong pintu hingga pintu itu terbuka. Ia lalu
menyapu keadaan di dalam kelenteng, tampak gelap-gulita
dan sepi-sunyi.
Ia terus melangkah masuk ke ruangan kedua. Matanya
tertuju ke dalam pendopo. Tanpa disadari keduanya segera
menjerit kaget, juga lantas merandek.
Pendopo yang luasnya kira-kira delapan tombak,
keadaannya seram, di bawah sinar rembulan, lima manusia
aneh berbadan kurus kering, dengan wajah yang pucat pasi
dan pakaiannya putih begitupun topinya, hingga keadaan
mereka mirip lima buah tengkorak, dengan tidak bergerak
duduk bersila di dalam ruangan itu. Jikalau bukan mata
mereka memancarkan sinar, suatu tanda bahwa mereka itu
orang hidup, sepintas lalu mereka anggap bahwa lima orang
itu adalah tengkorak-tengkorak manusia.
Lima manusia aneh yang masing-masing memegang
tongkat tanpa bergerak meskipun mata mereka ditujukan
kepada dua orang itu tetapi seolah-olah tidak menghiraukan
kedatangan mereka.
Touw Liong yang berdiri tertegun, tangannya mendadak
ditarik oleh Lo Yu Im yang saat itu menjerit dan kemudian
menubruk dirinya. Sikapnya itu seolah-olah dikejutkan
oleh kejadian yang mendadak, sehingga tanpa disadarinya
sudah menubruk.
Reaksi Touw Liong cepat sekali. Dengan sikap
melintang di hadapan Lo Yu Im, matanya jelilitan mencaricari.
Apa yang dilihatnya, bulu romanya dirasakan berdiri.
Sekalipun ia seorang pemuda pemberani, tetapi tidak urung
juga bergidik.
Di salah satu sudut dalam ruangan itu, entah sejak
kapan, muncul seorang tinggi besar berpakaian putih dan
bertopi tinggi berwarna putih bagaikan hantu yang muncul
dengan mendadak. Di belakang hantu itu ada berbaris lima
buah peti mati.
Hantu itu badannya bongkok, tangan kirinya membawa
tongkat, di atas telapakan tangan kanan terletak sebuah
kepala manusia yang darahnya masih mengetel. Kepala
manusia itu rambut dan jenggotnya sudah putih seluruhnya.
Pemandangan itu sangat menyeramkan. Touw Liong
segera memahami mengapa Lo Yu Im tadi berteriak kaget.
Kepala manusia itu, justru kepala orang tua yang tadi
dilihatnya oleh Lo Yu Im yang bersama-sama Kim Yan
berjalan masuk ke dalam kelenteng itu.
Oleh karena orang tua itu kini telah terbinasa dengan
sendirinya Kim Yan juga berada dalam bahaya. Dari situ
Touw Liong dapat menarik kesimpulan, bahwa adik
seperguruannya itu kini mungkin sedang menghadapi
bahaya besar.
Ia sangat mengkhawatirkan keselamatan adiknya, maka
dengan cepat maju dan membentak dengan suara keras,
”Berhenti!”
Suara bentakan itu bagaikan geledek. Di luar dugaan
Touw Liong, hantu itu lantas berhenti. Sinar matanya yang
tajam memandang dirinya. Kepala di dalam tangannya
digerak-gerakkan sebentar sehingga hampir menggelinding
ke tanah.
Touw Liong bertanya pula sambil menunjuk kepala di
tangan hantu itu,
”Kepala siapa?”
”Kurang ajar! Ini kepala siapa, tidak perlu kau tahu.
Kukatakan juga tidak akan tahu.”
”Siapa punya?”
Touw Liong saat itu benar-benar mengkhawatirkan
keselamatan Kim Yan. Oleh karena orang yang kepalanya
kini berada di tangan hantu itu semasa hidupnya pernah
bersama-sama Kim Yan memasuki kelenteng Kwi-kok-si,
sudah tentu ia hendak menanyakan penjelasan.
Hantu itu memperdengarkan suara tertawa panjang.
Kepala di tangannya digoleng-golengkan sebentar dengan
suara bangga dant tajam ia berkata,
”Kepala ini, kalau kusebutkan barang kali kau belum
tentu tahu, oleh karena orang ini sungguh besar
pengaruhnya. Bocah! Apakah kau pernah dengar namanya
Tiga Dewa dari golongan pengemis atau belum ?”
Touw Liong terperanjat, pikirannya segera melayang
kepada Kim Tho Si-sing. Tanpa menunggu habis perkataan
hantu itu, ia membentak dengan suara keras,
”Tiga dewa yang mana yang kau maksudkan?”
”Jangan keburu nafsu! Dia bukan Tiga Dewa.”
Touw Liong menarik napas lega. Dia memesut keringat,
tetapi dia masih belum mau melepaskan begitu saja.
Tanyanya pula dengan suara bengis,
”Kepala ini ada hubungannya dengan Tiga Dewa ....?”
”Sudah tentu ada .....”
Touw Liong sudah hampir naik pitam, tetapi hantu itu
masih bersikap tenang melanjutkan perkataannya,
”Orang ini di masa hidupnya bersahabat sangat akrab
dengan Kim Tho selama tiga puluh tahun dan orang itu
hampir berada bersama-sama tidak pernah berpisah.”
Jantung Touw Liong berdebar keras. Saat itu ia teringat
tugasnya sendiri yang diberikan oleh Si Dewa Arak untuk
mencari Kim Tho, menyelidiki lanbang Naga Mas, supaya
membersihkan keadaan dalam golongan pengemis. Orang
yang kepalanya kini berada di tangan hantu itu kalau benar
di masa hidupnya pernah bersama-sama dengan Kim Tho,
rasanya tidak susah kalau dirinya untuk mencari tahu di
mana jejak Kim Tho sekarang.
Selama Touw Liong bicara dengan hantu itu, lima orang
berpakaian putih yang bentuknya bagaikan tengkorak,
entah sejak kapan, sudah berjalan menghampiri. Dengan
tongkat di tangan masing-masing mereka telah mengurung
Touw Liong dan hantu itu.
Pada saat itu Touw Liong sedang berpikir. Orang itu
meskipun semasa hidup pernah bersama-sama dengan Kim
Tho selama tiga puluh tahun, tetapi sekarang sudah mati,
bagaimana dapat diminta keterangan? Oleh karenanya,
maka pikiran yang tadi terlintas di otakny sesaat itu lantas
gugur lagi.
”Orang itu hidupnya masih pernah apa dengan Kim
locianpwe?” demikian ia mengalihkan pertanyaannya ke
lain soal.
Di luar dugaannya, jawaban hantu itu demikian,
”Selama tiga puluh tahun Kim Tho mengasingkan diri,
bukanlah karena hendak memperdalam kepandaiannya,
sebetulnya ialah dipaksa oleh orang ini. Selama tiga puluh
tahun, hidup Kim Tho penuh penderitaan lahir dan batin
dan akhirnya binasa! Karena mengingat persahabatanku
dahulu dengan Kim Tho maka malam ini kucari manusia
ini dan kubunuh, sekalian .....”
Touw Liong teringat pula lambang Naga Mas golongan
pengemis. Dalam keadaan cemas, maka ia lalu bertanya,
”Bagaimana lambang Naga Mas milik Kim pangcu?”
”kedatanganku itu juga ingin menyelidiki lambang mas
itu. Di luar dugaanku Kim Tho berlaku sangat cerdik. Ia
menderita sudah tiga puluh tahun, bukan saja tidak
mewariskan kepandaiannya kepada orang ini, juga lambang
masnya itu kemana disembunyikannya, tiada seorang pun
yang mengetahui.”
Touw Liong teringat pula kepada adik seperguruannya.
Ia bertanya sambil menunjuk kepada kepala orang tua itu,
”Di mana adanya seorang gadis yang berjalan bersamasama
orang tua yang sudah mati itu?”
”Gadis ....?” demikian hantu itu balas menanya sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Kali ini Touw Liong menjadi cemas. Ia memberi
keterangan,
”Seorang gadis berusia kira-kira tujuh belas atau delapan
belas tahun memakai pakaian warna kuning ....”
Namun hantu itu tetap menyangkal, katanya,
”Aku sama sekali tidak pernah melihat gadis yang kau
lukiskan itu ....”
Sementara itu Lo Yu Im yang sejak tadi diam saja, ketika
mendengar jawaban hantu itu yang menyangkal terusterusan
lantas naik pitam. Dengan sikap dingin ia berkata,
”Di waktu mahgrib tadi aku pernah menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, gadis itu berjalan bersama-sama
dengan orang yang sekarang kepalanya dalam tanganmu
itu. Bagaimana kau kata tidak melihat?”
”Aku sudah kata tidak melihat, cukup,” berkata hantu
itu dengan suara tinggi.
Touw Liong mulai marah lagi. Ia berkata sambil
menudingkan jari tangannya,
”Kau siapa? Bolehkah menyebutkan namamu?”
”Aku adalah malaikat dari akhirat, Cui Hui.”
Kemudian ia menunjuk lima orang aneh berpakaian
putih,
”Mereka berlima adalah lima utusanku. Pakaian mereka
dan bentuk mereka serta usianya hampir tidak dapat
dibedakan, bagi orang lain sudah tentu tidak tahu, hanya
aku seorang yang dapat membedakan nama dan julukan
mereka.”
Touw Liong mengawasi lima orang bagaikan bangkai
hidup itu. Memang bentuk mereka mirip satu sama lain,
sehingga sulit dibedakannya.
Hantu itu berkata pula sambil menunjuk lima utusannya
satu persatu,
”Ini adalah utusan mengejar nyawa ....”
”Ini adalah utusan menangkap nyawa ....”
”Ini adalah utusan membetot nyawa ....”
”Ini adalah utusan mencengkeram nyawa ....”
”Ini adalah utusan menggiring nyawa ....”
Alis Touw Liong berdiri. Kepalanya mendongak
memandang bintang di langit, lalu menarik napas panjang
sambil berpikir : Dalam rimba persilatan pada dewasa ini,
belum pernah ada tokoh kuat yang bentuk dan sikapnya
aneh seperti orang-orang ini. Andai kata mereka baru
muncul ... juga belum tentu memiliki kepandaian tinggi.
Akhirnyaia menggeleng-gelengkan kepala, membantah
keterangan hantu itu.
”Di dalam rimba persilatan aku belum pernah dengar
nama orang yang memiliki julukan seperti kau ini. Entah
dari golongan mana kalian?”
”Di dalam rimba persilatan setiap orang boleh
membentuk atau mendirikan partai baru. Apakah kau kira
aku tidak dapat?”
”Mendirikan golongan atau partai memang boleh, tetapi
toh harus mengadakan pengumuman kepada orang-orang
rimba persilatan, bahkan harus memiliki kepandaian yang
benar-benar, lagi pula segala sepak terjang dan
perbuatannya harus sesuai dengan tujuannya. Seorang
yang memiliki pribadi seperti kau ini, apa kau kira dapat
mendirikan golongan untuk kau mencari nama di rimba
persilatan?”
Oleh karena kesannya terhadap hantu itu buruk sekali,
maka ia sengaja menggunakan kata-kata tajam untuk
menjeleki dirinya.
”Aku justru hendak mengumumkan kepada rimba
persilatan untuk mendirikan golongan kita.”
”Kau hendak mendirikan golongan apa?”
”Kiu-kiu-pay.”
”Apa artinya istilah Kiu Kiu ini?”
”Kiu Kiu adalah suatu nama yang paling seram, maka
aku menggunakan Kiu Kiu.”
”Enak saja kau bicara. Sayang perbuatanmu sangat
kejam, ini tidak sesuai dengan perbuatan orang dari
golongan baik-baik, maka aku tidak setuju.”
”Bocah, kau terlalu sombong!” demikian Cui Hui marah.
Dengan suara keras ia membentak, sedang tongkat di
tangannya lalu diangkat. Lima utusannya yang berada di
sekitarnya lalu perdengarkan suara masing-masing yang
bagaikan suara hantu. Tongkat di tangan mereka diputar,
hingga sesaat itu timbul hawa dingin yang meresap tulang.
Touw Liong dengan suara perlahan berkata kepada Lo
Yu Im,
”Enci harap berlaku hati-hati!”
Setelah itu tangannya bergerak mengeluarkan hembusan
angin ribut memukul mundur lima tongkat dari lima utusan
tadi.
Lima tongkat itu sudah terpencar, tetapi kemudian rapat
lagi. Dengan gerakan yang sangat cepat dan
menghembuskan angin dingin menyambar dan menggulung
dua orang muda tadi.
Lo Yu Im merasakan dingin di seluruh badannya, maka
lalu memesan kepada Touw Liong dengan suara perlahan,
”Adik Liong, berlakulah hati-hati! Ilmu mereka adalah
ilmu barisan Ngo-im-cun-hin-ping, yang sudah menghilang
dari rimba persilatan sejak seratus tahun!”
Touw Liong terkejut. Sesaat itu dalam otaknya terlintas
suatu gambaran. Itu adalah ketika ia baru turun dari
gunung. Pada waktu itu suhunya pernah pesan wanti-wanti
padanya, ia harus berlaku hati-hati kalau di kemudian hari
menghadapi ilmu ganas yang sudah menghilang dari rimba
persilatan itu. Jikalau bertemu dengan orang yang
menggunakan ilmu itu, harus dihadapinya dengan tenang
dan hati-hati sekali. Apabila tidak demikian, akibatnya
sangat menggenaskan, sebab barisan Ngo-im-cun-hin-ping
itu, hanya dengan menggunakan lima buah senjata, di
luarnya senjata itu hanya semacam tongkat, tetapi
sebetulnya adalah semacam benda seperti seruling yang
mempunyai sembilan lubang. Apabila diputar, dari
sembilan lubang itu mengeluarkan sembilan suara untuk
mencekam hati lawannya. Sekalipun orang yang memiliki
ketenangan cukup tinggi, tetapi bila hatinya tergoncang,
segera terkurung dalam barisan itu, sehingga semangat dan
kekuatan tenaga menjadi buyar, setelah tenaganya habis,
orangnya pasti binasa. Sekalipun dalam rimba persilatan
ada semacam ilmu yang dinamakan dari lima suara, juga
belum tentu dapat menundukkannya.
Keganasan lainnya ialah tongkat itu, besar sekali
gunanya di dalam barisan itu. Apabila tongkat itu mengejar
lawannya yang tidak mengerti apa-apa saat itu juga pasti
melayang jiwanya. Sebab dalam setiap lubang dari senjata
itu, telah disembunyikan obat beracun yang ganas sekali.
Racun itu kecuali racun mabuk yang tidak ada obat
pemunahnya, juga ada racun yang mencabut nyawa
lawannya seketika itu juga. Jikalau orang yang terkurung
dalam barisan itu adalah orang yang memiliki kepandaian
tinggi sekali, dan senjata sembilan suara itu tidak berdaya
terhadapnya, maka lima orang itu lantas mengeluarkan
racun dari dalam senjatanya, lima jenis racun yang berbedabeda
telah tercampur menjadi satu, dan digunakan dengan
berbareng, dengan demikian hingga membuat tidak berdaya
bagi lawannya.
Lo Yu Im yang lebih dulu menyadari adanya ancaman
bahaya, maka segera memperingatkan kepada Touw Liong.
Dalam terkejutnya Touw Liong buru-buru mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi dirinya. Di samping itu
juga menggerakkan tangannya untuk menghadapi lawannya
yang ganas itu.
Sementara itu si malaikat akhirat mendongakkan kepala
tertawa terbahak-bahak, dan kemudian berkata,
”Memang betul! Barisanku ini adalah barisan yang
sudah seratus tahun menghilang dari rimba persilatan.
Meskipun kalian dapat mengenali, tetapi sayang namamu
sudah tercatat dalam buku kematian! A .... kalian berdua
hanya merupakan orang-orang yang tidak ternama,
bagaimana kalau dibandingkan dengan orang yang
sekarang kepalanya di dalam tanganku ini? Dia hanya
dapat melawan sepuluh jurus saja dalam barisanku ini,
lantas bersedia menyerahkan kepalanya.”
Kemudian ia bertanya sambil menunjuk kepala di
tangannya,
”Tahukah kalian siapa orang ini? Ia .... huh! Ia adalah
orang .... yang namanya menggetarkan seluruh rimba
persilatan ....”
Hantu itu selagi hendak menyebutkan nama orang yang
kepalanya berada di dalam tangannya, tak disangka ketika
matanya mengawasi keadaan dalam barisan, dengan
mendadak maksudnya dibatalkan, kemudian berteriak,
”Celaka!”
Tongkat di tangannya diangkat tinggi-tinggi di tengah
udara ia membuat satu lingkaran, dengan sikapnya yang
aneh matanya menatap dua pemuda yang terkurung dalam
barisan.
Ternyata ia telah melihat gelagat tidak baik. Ia sendiri
terus bicara, sedang dua orang yang terkurung dalam
barisan ternyata memiliki ilmu tenaga dalam yang luar
biasa tingginya. Mereka ternyata sudah berhasil menutup
dan melindungi diri masing-masing.
Sesaat kemudian, lima senjata itu memperdengarkan
sembilan suara. Suara itu bagaikan suara hantu di waktu
malam, kedengarannya sangat menyeramkan.
Tetapi dua orang yang terkurung dalam barisan, seolaholah
bagaikan sedang bersemedi, empat tangan bergerakgerak
mengikuti suara tadi, namun hati mereka sedikitpun
tidak tergoncang dan tidak terganggu oleh suara seram itu.
Cui Hui yang melihat sembilan suara itu tidak berhasil
menjatuhkan lawannya, untuk kedua kalinya ia
menganggkat tinggi tongkatnya, dan lima tongkat dari lima
utusan lalu merubah gerakannya dengan mengikuti
perubahan gerakan, sembilan suara juga berubah.
Setelah mengeluarkan suara yang lebih menyeramkan, di
atas tongkat, kini perlahan-lahan menghembuskan asap
warna-warni.
Begitu asap itu timbul, bau harum menyerang hidung,
bau itu terus berputar-putaran dan mengurung diri Touw
Liong.
Pelajaran ilmu membuka pukulannya yang diwariskan
oleh taysu gila, apa mau baru diwariskan delapan puluh
persen saja, justru perbedaan dua puluh persen ini, apalagi
ditambah dengan suara hantu yang sesungguhnya terlalu
ganas, maka suara itu dapat menyusup ke dalam telinga
Touw Liong, sehingga hatinya mulai terguncang.
Lo Yu Im yang mengkhawatirkan Touw Liong saat itu
matanya melirik ke arahnya, ia telah mendapat kenyataan
bahwa kedua tangan Touw Liong bergerak-gerak menolak
racun, tetapi asap warna-warni yang mengitari dirinya terus
mengurung rapat, hingga Touw Liong agaknya kepayahan,
keringatnya sudah mengucur deras, jelas bahwa ia agak
berat menghadapi serangan itu.
Saat itu Touw Liong sedang menghadapi tiga macam
tekanan: Satu ialah lima buah tongkat yang luar biasa itu, ia
harus hati-hati jangan sampai tersentuh, dua ialah dari
sembilan jenis suara yang mengacaukan pikirannya, juga
memerlukan ilmu kekuatan tenaga dalam yang tinggi untuk
melawannya, dan tiga ialah asap racun warna-warni itu,
memerlukan menggunakan seluruh kekuatan tenaganya
untuk menghadapinya.
Dengan badan yang terdiri dari darah dan daging, juga
bukan penjelmaan dari Kim Tho, tiga tekanan itu, tiada
satu yang tidak memaksa ia mengerahkan seluruh kekuatan
tenaganya, demikian juga menghamburkan tenaga tidak
sedikit.
Lo Yu Im yang menyaksikan bahaya yang sudah
mengancam lalu mengeluarkan seruling batu gioknya yang
hanya lima dim panjangnnya, ia letakkan itu di bibirnya,
sesaat kemudian suara mengalun keluar dari seruling, dan
sembilan suara yang keluar dari lima tongkat tadi telah
lenyap bagaikan asap tertiup angin.
Tiga macam tekanan yang yang menekan Touw Liong,
kini telah hilang satu. Touw Liong segera merasakan
ringan, buru-buru memusatkan kekuatan tenaganya untuk
mematahkan racun asap yang warna-warni itu.
Untuk sementara, ia masih dapat bertahan. Lo Yu Im
dengan irama serulingnya telah memunahkan suara dari
lima tongkat tadi, tetapi Touw Liong kecuali
mempertahankan diri sendiri, kedua kekuatan dari
tangannya juga sudah cukup untuk menahan serangan lima
tongkat tadi.
Sayang keadaan itu tidak bisa bertahan lama, asap warna
hijau nampak semakin tebal, asap itu bagaikan tumbuh
mata, hanya berpusat dan menyerang Touw Liong seorang.
Dalam pertarungan hebat itu Touw Liong mendadak
merasakan tenaganya kewalahan. Ia menarik napas
panjang, asap beracun yang mengitari sekujur dirinya
mendadak berubah bagaikan dua buah anak panah menuju
ke hidung Touw Liong.
”Adik!” demikian Lo Yu Im berseru, tetapi Touw Liong
yang agaknya sudah terancam dengan asap itu, sehingga
pikirannya mulai butek. Saat itu mendadak terbuka lebar
matanya, dengan mata seperti orang mabuk arak, sementara
itu mulutnya menunjukkan tertawa geli. Sikap itu berbeda
dengan biasanya, setelah mulutnya menyahut enci, dua
tangan yang seharusnya melakukan serangan, tiba-tiba
ditarik kembali dan kedua tangan itu terus merangkul tubuh
Lo Yu Im.
Lo Yu Im ketakutan setengah mati, dengan satu tangan
memegang serulingnya, lain tangan mendorong dengan
perlahan.
Di luar dugaan, dorongan yang perlahan itu telah
membuat Touw Liong terjatuh di tanah.
Terjadinya perubahan itu sangat mengejutkan Lo Yu Im,
untuk sesaat itu dalam pikirannya telah terbayang suatu
ancaman; mungkin hari itu ia bersama Touw Liong akan
mati di bawah serangan hantu itu.
Berpikir sampai di situ, air mata meleleh turun, sambil
menggertek gigi, ia menatap wajah Cui Hui yang saat itu
menyaksikan sambil tertawa dingin, ia menggunakan
tangan kanannya untuk melawan, sedang tangan kiri tetap
memegang serulingnya, untuk memunahkan serangan dari
suara hantu.
Touw Liong sejak jatuh di tanah, lima tongkat itu seolaholah
tidak menghiraukannya lagi, kini digerakkan dan terus
menekan Lo Yu Im. Touw Liong benar-benar sudah
berada dalam keadaan sangat bahaya, dari dua matanya
memancarkan sinar mata aneh, sedang mulutnya
menunjukkan tertawa aneh memandang Lo Yu Im.
Lo Yu Im bergidik, diam-diam ia mengeluh,
”Ya, Tuhan! Hari ini jikalau ia tidak dapat pertahankan
dirinya, dan merintangi aku untuk menghadapi lawan,
terpaksa aku harus mati bersamanya....”
Belum lenyap pikirannya, Cui Hui tiba-tiba mengangkat
tongkatnya sambil mengeluarkan suara pekikan aneh.
Kemudian dengan nada suara dingin berkata kepada lima
utusannya,
”Kalian mengaso dulu, siap-siap menonton pertunjukan
yang mengasyikkan, nanti setelah pertunjukan mereka
selesai, baru dibereskan.”
Lima utusan tadi segera menarik kembali masing-masing
tongkatnya, lalu lompat mundur setengah tombak, hanya
mata mereka tetap ditujukan kepada Touw Liong dan Lo
Yu Im.
Touw Liong masih tetap tertawa cengar-cengir sendiri,
kedua tangannya bergerak-gerak ke atas dan ke bawah,
kelakuannya seperti seorang kemasukan setan, untuk kedua
kalinya ia hendak menerkam Lo Yu Im.
Lo Yu Im yang menyaksikan perubahan itu dengan
suara pedih ia berkata,
”Adik ....!”
Ketika Touw Liong menerkam, ia mengelakkan diri,
kemudian jari tangannya bergerak sambil mengucurkan air
mata, dengan perlahan menepuk pinggan Touw Liong.
Touw Liong lantas jatuh tengkurap, dengan hati pedih
Lo Yu Im menanggapi tubuh Touw Liong yang hendak
jatuh tengkurap, kemudian berkata sambil mengucurkan air
mata,
”Adik! Bukannya encimu tega hati untuk menurunkan
tangan keji, tetapi kalau encimu tidak bertindak demikian,
niscaya hari ini kita ....”
Cui Hui yang menyaksikan kejadian itu lalu berkata
dengan suara bengis,
”Hai, tangkap dua orang ini; untuk selanjutnya setan tua
dari gunung Kiu-hwa-san dan Kakek Seruling Perak dari
gunung Kun-lun-san tentu akan mengabdi kepada diriku,”
kemudian dengan suara bangga tertawa terbahak-bahak,
lalu melanjutkan perintahnya, ”Mengapa tidak lekas turun
tangan?”
Lima utusan dengan serentak mengerahkan tongkatnya,
dan mereka perdengarkan suara pekikan panjang, dengan
tongkat yang menghembuskan angin dingin mereka
menyerbu Lo Yu Im.
Lo Yu Im yang satu tangan masih memondong tubuh
Touw Liong, terpaksa dengan satu tangan membunyikan
serulingnya untuk menahan majunya lima utusan itu.
Ia harus menggunakan seluruh kekuatan tenaganya,
maka untuk sementara ia masih dapat menahan majunya
lima utusan itu.
Cui Hui kembali mengeluarkan suara teriakannya yang
aneh, dengan beruntun ia menganggkat tinggi tongkatnya,
lima utusan itu lalu mengeluarkan suara masing-masing
bagaikan suara setan, lalu memutar tongkatnya dan
menyerbu lagi.
Lo Yu Im mengerti bahwa serangan lima utusan kali ini
pasti hebat sekali, ia juga mengerti bagaimana
kesudahannya pertempuran ini, rasa sedih timbul dalam
kalbunya; maka dengan diam-diam ia mengeluh.
Namun demikian, ia tidak menyerah mentah-mentah
begitu saja, dengan senajta seruling yang luar biasa, ia
menyerang lima utusan secara nekad.
Sesaat sebelum mereka mengadu kekuatan, tiba-tiba
terjadi suatu perubahan besar, salah satu utusan yang
berada paling depan, tiba-tiba jatuh rubuh di tanah, tongkat
di tangannya terlepas dari pegangannya.
Apa yang lebih mengherankan, utusan itu tidak
mengeluarkan sedikit suarapun juga dari mulutnya, begitu
jatuh di tanah, lantas binasa.
Perubahan secara tiba-tiba itu, juga mengejutkan Cui
Hui, malaikat itu dengan gusarnya mengeluarkan suara
jengkelnya, kemudian lompat melesat ke samping utusan
yang binasa, untuk memeriksa sebab-sebab kematiannya.
Empat utusan lainnya juga terheran-heran, mereka
masing-masing mundur setombak, dengan mata mendelik
menyaksikan kawannya yang sudah menjadi bangkai.
Lo Yu Im sendiri, juga tidak kalah herannya, ia berdiri
tertegun di tengah lapangan sambil memondong tubuh
Touw Liong, untuk melarikan diri.
Kejadian itu, hanya dalam waktu sesingkat saja, Cui Hui
yang berdiri sebagai penonton sudah tentu mengetahui dari
mana datangnya serangan, maka cepat ia mendongak
kepala, matanya menatap ke atas genteng, kemudian
membentak dengan suara keras,
”Bangsat kecil kau berani sekali! Kau sudah berani
menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw untuk membinasakan
anak buahku, mengapa tidak kemari untuk unjuk diri.”
Setelah itu, ia lompat melesat, hingga sebentar kemudian
orangnya sudah berada di atas genteng.
Bab 14
Lo Yu Im yang berdiri tertegun, begitu mendengar
disebutnya ilmu Thian-seng-jiauw hatinya terkejut, dengan
cepat mukanya ditujukan ke atas genteng.
Di dalam keadaan samar-samar, tampak olehnya
berkelebatnya bayangan kuning yang berlari menghilang ke
dalam kegelapan.
Sementara itu suara teriakan makin Cui Hui semakin
lama semakin jauh, dan perlahan-lahan menghilang.
Lo Yu Im alihkan pandangan matanya kepada Touw
Liong yang sudah melupakan dirinya sendiri, dengan penuh
tanda tanya ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah adik
seperguruanmu itu memiliki kekuatan tenaga dalam
demikian hebat, yang dapat menggunakan ilmu Thian-sengjiauw
untuk membinasakan orang?”
Jelaslah sudah bahwa bayangan kuning yang berkelebat
di atas genteng tadi, ialah gadis berbaju kuning yang pernah
dilihatnya pada waktu senja tadi, dan juga merupakan gadis
yang disebut adik seperguruannya oleh Touw Liong.
Lo Yu Im tidak habis mengerti, gadis yang usianya
masih demikian muda belia, bagaimana memiliki kekuatan
tenaga dalam demikian hebat? Ia sudah sembunyikan diri
di atas genteng, mengapa tidak lekas turun tangan
menolong Touw Liong? Dan terus menunggu hingga Touw
Liong terluka baru turun tangan? Selain daripada itu,
manusia yang berada di tangan Cui Hui merupakan orang
yang pernah berjalan bersama-sama dengannya, mengapa
orang itu bisa mati di tangan Cui Hui sedangkan ia sendiri
selamat?
Masih ada satu hal yang menjadi suatu pertanyaan,
dengan maksud apa dia datang ke kuil tua ini?
Berbagai pertanyaan mengaduk dalam otaknya, tetapi
apa yang dihadapi olehnya pada saat itu, merupakan suatu
tanda tanya yang lebih besar lagi!
Sementara itu empat utusan yang kini masih berada di
dalam kuil itu, meskipun Cui Hui sudah berlalu, mereka
masih berdiri di situ, mata mereka terus menatap wajah Lo
Yu Im, agaknya tidak mau melepaskan diri wanita.
Namun mereka tidak menggerakkan senjatanya untuk
melakukan serangan, juga tak menggeserkan kakinya untuk
mengepung wanita itu, sikap itu seolah-olah menunjukkan
sikap mereka hendak membiarkan Lo Yu Im mengambil
tindakan sendiri.
Lo Yu Im tidak mengerti, ia menatap empat utusan itu
sejenak, kemudian timbullah suatu pikiran dalam otaknya,
sambil melintangkan seruling di dadanya ia memondong
Touw Liong, kemudian melompat keluar kuil.
Empat utusan itu benar saja masih berdiri tegak bagaikan
patung, sedikitpun tidak bergerak dari tempat masingmasing.
Lo Yu Im tidak akan melewatkan kesempatan untuk
melarikan diri ini; dengan memondong tubuh Touw Liong
ia kabur dari kuil Kiu-kok-si.
Dalam waktu sekejab dia sudah berjalan sepuluh pal
lebih, baru berhenti dan memandang keadaan di sekitarnya.
Ia menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala
menatap wajah Touw Liong, tanpa dirasa air matanya
mengalir turun, dengan suara sedih ia berkata kepada diri
sendiri,
”Racun yang tidak ada pemunahnya, apa mau dalam
keadaan cemas, aku sudah menotok jalan darah bagian
tulangnya, ini seperti juga menambah parah keadaannya,
sekalipun aku berhasil merampas tubuhnya dari mulut
harimau, tapi juga belum berarti sudah menolong jiwanya
.... Ai, sungguh sayang! Sayang, dalam usia yang masih
begini muda dan seorang yang begini gagah harus mati
secara mengecewakan.!”
Sangat sedih memikirkan Touw Liong yang sedang
menghadapi bahaya maut, dengan air mata berlinang-linang
matanya terus menatap Touw Liong, seolah-olah hendak
memandangnya sepuas-puasnya.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata dengan
suara sedih,
”Aku dapat membuka totokanmu, tetapi aku tidak
sanggup membersihkan racun dari dalam tubuhmu! Sebab
.... katanya racun semacam ini, di dalam dunia ini tidak ada
obat yang dapat memunahkan ....”
Lo Yu Im tenggelam dalam lamunannya sendiri, sesaat
kemudian, mendadak terbuka pikirannya, lalu berkata
dengan girang,
”Oh .... ada!”
Dengan semangat bernyala-nyala ia bertanya kepada diri
sendiri,
”Cui Hui, tadi bukankah pernah berkata hendak
menangkap kita berdua, supaya golongan Kiu-hwa dan
Kun-lun bisa berada di bawah pengaruhnya, suatu bukti
bahwa ia pasti mempunyai obat pemunahnya, jikalau tidak
mengapa ia berani menggunakan ilmu itu untuk memeras
dua golongan tersebut?
Racun tadi digunakan oleh Cui Hui, dengan sendirinya
Cui Hui mempunyai obat pemunahnya.
Ia mencari sebuah pohon besar yang rindang daunnya,
lalu melompat di atasnya, meletakkan tubuh Touw Liong
di atas pohon, kemudian memboloskan ikat pinggangnya
untuk mengikat tubuh Touw Liong supaya jangan jatuh,
setelah itu ia berkata dengan suara sedih.
”Adik, kau tunggulah dengan sabar! Encimu sekalipun
harus berkorban di bawah senjata Cui Hui juga akan paksa
ia mengeluarkan obat pemunahnya.”
Setelah itu ia lompat turun dari pohon, dengan
mengikuti jalan yang tadi dilalui, ia kembali ke kuil Kuikok-
si. Tiba di depan kuil, keadaan masih tetap tidak
berubah, bedanya hanya saat itu rembulan agak gelap.
Kesunyian kuil Kui-kok-si sangat mencekam hati. Ia
melangkah kaki ke ruangan satu dan kedua, seluruhnya
sunyi-sepi, kecuali empat buah peti mati yang membujur,
satu bayangan satupun tidak tertampak.
Pertempuran tadi yang terjadi di tempat itu belum lama
berselang, sedikitpun tak ada tanda-tandanya.
Begitu pula dengan empat utusannya Cui Hui sekarang
satupun tidak tampak bayangannya, sedangkan bangkainya
satu utusan yang tadi menggeletak di tengah ruangan,
sekarang juga sudah lenyap.
Dengan demikian, untuk mendapatkan obat pemunah
itu, kini merupakan suatu persoalan lagi. Jikalau empat
utusan tadi masih ada, mungkin masih dapat diminta lagi
keterangannya, dan tidak susah untuk mencari jejak Cui
Hui. Tetapi sekarang mereka sudah tidak ada semua, jejak
Cui Hui sendiri sudah tentu tidak mudah dicari, dengan
demikian obat pemunah juga tidak mungkin didapatkan.
Lo Yu Im menarik napas, ia mencari-cari seluruh kuil,
namun tidak berhasil menemukan tanda apa-apa.
Dengan perasaan sangat kecewa ia bertindak keluar dan
lari balik ke tempat di mana Touw Liong tadi diletakkan.
Dengan hati cemas dan tergesa-gesa ia kembali ke bawah
pohon besar tadi, ketika ia mendongakkan kepalanya,
bukan kepalang terkejutnya ia. Touw Liong yang tadi
diikat dengan baik di atas pohon, kini ternyata sudah
lenyap.
Menyaksikan kejadian aneh itu, ia tidak bisa berbuat
lain, hanya berdiri tertegun bagaikan patung, pikirannya
kalut, ia tidak tahu bagaimana dan kemana harus mencari?
Apakah Touw Liong mendapat bahaya lagi?
Apakah Touw Liong dibawa kabur dan sudah ditolong
orang? Siapakah yang menolong?
Kim Yan kah? Atau suhunya ....?
Ataukah mungkin itu perbuatan Cui hui yang
membawanya ke gunung Kiu-hwa?
Atau mungkin juga ketemu musuh lain yang lebih kuat,
kecuali dengan musuh lain, tidak peduli ia ditolong ataukah
dibawa kabur oleh Cui hui, ia masih ada harapan hidup.
Hanya untuk sesaat itu ia tak dapat mengatakan apa
sebabnya.
Lo Yu Im benar-benar mengharap bahwa orang yang
membawa kabur Touw Liong itu adalah adik
seperguruannya, seandai ia benar-benar ditemukan oleh Cui
Hui, sedikit masih banyak ada harapan hidup jiwanya.
Ia tidak dapat memikirkan siapa orangnya yang
membawa kabur Touw Liong? Ia berdiri di bawah pohon
itu dari jam empat sampai menjelang pagi, barulah dengan
pikiran kusut meninggalkan tempat itu.
Dengan tingkah yang lesu LoYu Im berjalan di pagi hari
itu menuju ke kota Tio-yang-li. Tiba di kota itu, perutnya
merasa lapar. Ia mencari-cari suatu rumah makan,
kebetulan ia dapat menemukan sebuah kedai yang menjual
susu kedele, di situ ada dua orang tua berambut putih
sedang repot memasak susunya, orang tua yang usianya
sudah enam puluh tahun lebih itu, badannya bongkok,
siapapun dapat menduga bahwa dua orang tua itu suami
isteri, dari wajah mereka yang sudah penuh keriputan,
orang dapat menduga bahwa dalam hidup mereka, telah
mengalami banyak kesulitan hidupnya.
Seorang laki-laki setengah umur, juga tampak berdiri di
kedai itu, ia minta disediakan semangkok besar susu kedele
sambil omong-omong dengan orang tua itu.
Lo Yu Im berjalan menghampiri, laki-laki setengah umur
itu berpaling, dan dengan perasaan terkejut menatapnya
sejenak, ia tidak berani memandang terlalu lama, cepat
memalingkan mukanya, dan mengalihkan pandangan
matanya ke susu kedelenya yang masih panas.
Lo Yu Im dengan langkah lebar maju menghampiri,
lebih dulu menyapa kepada dua orang tua suami isteri tadi.
Dua orang tua mengangkat muka dan memandangnya
sejenak, biji mata perempuan itu berputaran, kemudian
dikucek-kucek matanya, bibirnya bergerak-gerak, agaknya
terheran-heran hingga kipas yang berada di tangannya
hampir terlepas, dengan sikap terheran-heran, ia bertanya
kepada Lo Yu Im,
”O, begini pagi kau ....!”
Kemudian ia berhenti dan merubah nada suaranya,
“Apakah hatimu berduka?”
Lo Yu Im melengak, menggeleng-gelengkan kepala dan
menjawab dengan suara tidak tetap.
“Tidak apa-apa ….”
Dengan tiba-tiba ia teringat kepada dirinya dan diri
Touw Liong, ingin mengeluarkan saputangan memesut air
matanya.
Perempuan tadi menarik napas dalam-dalam, sambil
meneruskan pekerjaannya ia berkata kepada diri sendiri,
“Sang waktu berlalu dengan cepat, itu terjadi pada beberapa
puluh tahun berselang. Waktu itu aku masih semuda
seperti kau sekarang ini, ai ….! Juga seperti kau banguna
pagi-pagi dan tidur tengah malam. Semua ini hanya untuk
penghidupan ….”
Untuk kedua kalinya ia menghentikan kata-katanya,
matanya kembali menatap Lo Yu Im agaknya hendak
menegasi wanita itu, ia telah mendapat kenyataan bahwa
wanita itu tidak mirip dengan seorang yang sedang repot
mencari penghidupan, maka kemudian bertanya padanya.
“Ada urusan apa yang tidak menyenangkan hatimu,
nak?”
Sang suami yang sedang repot memasak susunya, ketika
mendengar si isteri itu bertanya demikian, lantas
menyetopnya sambil mengedipkan mata,
”Tua bangka tidak tahu diri, kau mau tahu saja urusan
orang lain!”
Sang isteri sangat takut kepada suaminya maka lantas
berdiam dan menundukkan kepala.
Lo Yu Im merasa tidak enak, sambil tersenyum getir ia
memberi hormat kepada si lelaki tua seraya berkata,
”Kakek jangan salahkan nenek ini, apa yang ia katakan
sedikitpun tidak salah, aku ....”
Lelaki tua itu kedip-kedipkan matanya, bertanya dengan
suara lemah lembut.
”Kau sebenarnya kenapa?”
Mata Lo Yu Im merah, ia menundukkan kepala, dengan
suara sedih menjawab, ”Tidak apa-apa, hanya karena tadi
malam aku kesasar jalan, sehingga adik lelakiku telah
hilang!”
Dengan keterangan itu, maksudnya supaya tidak
menimbulkan rasa curiga kepada lelaki tua itu.
Nenek itu mendadak angkat muka dan bertanya,
”Adikmu itu berapa usianya?”
”Dua puluh tahun.”
Kini sang suami nampak agak tegang, segera bertanya,
”Dua puluh tahun?”
Lo Yu Im mengangguk-anggukkan kepala.
Nenek tadi berkata pula sambil menunjuk sebuah jendela
di sebuah rumah di belakang dirinya,
”Tadi pagi-pagi sekali, ketika kita bangun, aku telah
tampak seorang muda dengan keadaan sangat letih jatuh
rubuh di tengah jalan, mungkin karena kedinginan, bibirnya
tampak biru, coba nona masuk ke sana, lihatlah sendiri ....”
Lo Yu Im merasa bimbang, bibirnya bergerak-gerak,
kemudian berkata dengan suara gelagapan,
”Tentang ini ....”
Pada saat seperti itu, ia benar-benar mengharap bahwa
orang yang di dalam rumah itu adalah Touw Liong tetapi
bagaimana ia mau percaya begitu saja bahwa pemuda yang
dikatakan oleh nenek itu adalah Touw Liong?
Kakek itu tertawa dan kemudian berkata,
”Nona! Pemuda itu, agh .... rupanya mirip seperti habis
melakukan perjalanan jauh, nampaknya ia sangat letih, juga
seperti habis sakit .... Kita justru tidak mempunyai anak,
oleh karena itu kita berikan pertolongan kepadanya, dan
suruh ia beristirahat di belakang, orang susah seperti bangsa
kita, tidak bisa berbuat banyak. Dia serupa keadaannya
denganmu, pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya
masih ada sebilah pedang ....”
Mata Lo Yu Im terbuka lebar, ia buru-buru
menghaturkan terima kasih kepada lelaki tua itu, seraya
berkata,
”Tolong kakek ajak aku kesana untuk melihat.”
Si nenek tanpa menunggu perintah suaminya,
meninggalkan pekerjaannya, dan berkata kepada Lo Yu Im,
”Mari nona ikut aku!”
Dengan jalannya yang sudah tidak cepat, ia berjalan ke
rumah yang ditunjuk tadi dengan diikuti oleh Lo Yu Im.
Di belakang rumah itu, terdapat sebuah kamar, di
ruangan sempit di atas balai-balai , rebah menggeletak
seorang pemuda yang wajahnya pucat pasi, pemuda itu
agaknya sedang tidur nyenyak.
”Adik .....” demikian Lo Yu Im berseru sambil
menubruk pemuda yang masih tidur di atas balai-balai.
Si nenek tadi menyaksikan sambil mengucurkan air
mata, kemudian meninggalkan mereka berduaan.
Sambil mengerutkan alisnya, Lo Yu Im mengusap-usap
jidat pemuda itu, ia menarik napas, dengan tangan
memegang tangan pemuda tadi, pikirannya bekerja keras.
Pemuda itu bukan lain memang adalah Touw Liong,
saat itu sedang tidur nyenyak, Lo Yu Im tidak bangunkan,
tetapi ia sedikitpun tidak berdaya.
Sang waktu telah berlalu dengan pesat, perlahan-lahan
matahari mulai naik tinggi, di luar terdengar suara orang
yang banyak berbelanja, tak lama kemudian nenek tadi
datang kembali sambil membawa sedikit makanan pagi. Lo
Yu Im memikirkan kejadian aneh yang dialami tadi malam,
mana ada pikiran untuk makan-makan? Maka hanya
minum setengah cawan susu kedele.
Dalam hatinya ada beberapa pertanyaan yang tidak
terpecahkan. Menurut aturan, Touw Liong setelah terkena
racun, telah hilang semua ingatannya, dalam keadaan
demikian, tidak mungkin ia dapat memutuskan ikatannya
dan turun dari atas pohon, serta melakukan perjalanan
beberapa pal jauhnya, kecuali ada orang yang memberi obat
pemunah padanya.
Tetapi siapakah orangnya yang memberi obat itu? Ini
merupakan suatu teka-teki yang tak dapat dipecahkan
sendiri. Kalau ditinjau menurut pikiran biasa, orang itu
setelah memberikan obat pemunah padanya, tidak merawat
baik-baik, sudah tentu pada saat ia sadar kembali, lalu
meninggalkannya, hal demikian rasanya tidak mungkin.
Oleh karenanya, maka yang menjadi pertanyaan, siapakah
orang yang memberikan pertolongan itu? Jikalau ia benarbenar
menolong, tak mungkin hanya memberikan
pertolongan setengah jalan, kemudian ditinggalkan begitu
saja.
Tanpa disadarinya, Lo Yu Im mengalirkan air mata,
matanya yang sayu menatap wajah Touw Liong. Lama ia
berpikir, tiba-tiba berseru kaget, sambil mendekap
mulutnya. Kemudian berkata kepada diri sendiri.
”Aku benar-benar gila .... Ia telah kutotok dengan ilmu
totokan gunung tunggal ....”
Ia lalu mengulurkan tangannya yang putih halus,
membalikkan tubuh Touw Liong yang sedang tidur
nyenyak, jari tangannya bergerak menotok beberapa bagian
jalan darah di belakang punggung Touw Liong.
Touw Liong mengeluarkan suara rintihan perlahan,
kemudian membalikkan badan dan membuka mata. Mata
itu agak sayu, berputaran sebentar menatap wajah Lo Yu
Im yang masih menangis, kemudian memanggil dengan
suara perlahan.
”Enci ....”
Lo Yu Im mengulurkan tangannya, tangan yang halus
itu mengusap-usap muka Touw Liong, kemudian menjawab
dengan suara lirih,
”Adik.....”
Touw Liong dengan pikiran bingung melompat duduk,
ia menggoyang-goyangkan kepalanya, lalu mengusap-usap
jidatnya, kemudian berkata,
”Aku merasa kepalaku agak berat.”
”Kecuali rasa berat kepalamu, apa kau masih merasakan
ada yang tidak enak?” tanya Lo Yu Im dengan suara lemah
lembut.
”Kaki dan tanganku merasa lemas tidak bertenaga.”
”Apakah kau masih ingat kejadian tadi malam?
Bagaimana kau bisa tidur di tempat ini?”
Touw Liong membuka mata memandang keadaan di
sekitarnya, kemudian menjawab sambil menggelenggelengkan
kepala,
”Tidak ingat lagi! Dimana aku sebetulnya berada?”
Dengan suara lemah lembut Lo Yu Im menceritakan
padanya tentang kejadian tadi malam. Touw Liong yang
mendengarkan cerita itu membuka matanya dan
mengerutkan jidatnya, kemudian bertanya-tanya kepada
diri sendiri, ”Racun itu tidak ada obat pemunahnya, tapi
siapa yang memberikan obat pemunah itu kepadaku?”
”Coba kau pikir lagi baik-baik.”
JILID 6
Touw Liong lama berpikir, akhirnya dapat menemukan
sedikit ingatannya, maka ia lalu berkata,
”Selagi aku dalam keadaan tidak ingat, samar-samar aku
dibawa pergi oleh orang, melakukan perjalanan jauh.”
”Itulah aku sendiri!” berkata Lo Yu Im sambil menghela
nafas.
Touw Liong menggelng-gelengkan kepala dan berkata,
”Bukan! Meskipun waktu itu aku dalam keadaan tidak
sadar, tetapi sekarang kalau kuingat-ingat kembali, aku
rasanya pernah melihat orang itu sejenak, dan orang itu
ternyata bukanlah kau.”
Dengan perasaan tegang, Lo Yu Im memegang tangan
Touw Liong, dan bertanya dengan suara perlahan,
”Orang itu rupanya .... bukan! Terus terang saja kau
katakan siapa orang itu.”
”Pandangan mataku saat itu sudah kabur. Aku hanya
dapat mengenali orang itu adalah seorang tua yang
rambutnya sudah putih dan kulitnya banyak keriputan,
sedang badannya agak bongkok. Sayang waktu itu
kepalaku berat sekali, hanya melihatnya sejenak, sudah
tentu tidak ingat lagi.” jawab Touw Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
”Seorang tua yang rambutnya sudah putih ...”
”Benar! Tadi pagi, pagi-pagi sekali, aku juga pernah
ketemu dengan seorang tua. Waktu itu aku hanya melihat
tegas bagian belakangnya, hanya sepintas lalu saja, lantas
menghilang di antara orang banyak! Aku tidak sangka
bahwa orang yang menolong aku itu adalah orang tua itu.”
Lo Yu Im tidak menanya lagi, ia hanya mendapat suatu
kesimpulan, orang tua itu tentunya bukan sembarangan
orang. Ia mengerti bahwa orang tua itu yang memberikan
obat pemunah kepada Touw Liong.
Selanjutnya ia telah memberi pertolongan kepada Touw
Liong, untuk membersihkan racun yang berada dalam
tubuhnya, kemudian memberikan obat minum kepadanya,
setelah itu ia memeriksa urat nadinya, hingga hatinya
merasa lega.
Setelah mendapat kenyataan bahwa Touw Liong dalam
keadaan baik-baik, barulah memberitahukan kepadanya hal
yang lainnya,
”Adik Liong, adik seperguruanmu telah menggunakan
ilmu Thian-seng-jiauw dari golongan Kiu-hoa, untuk
membunuh orang ...”
Touw Liong terkejut, ia bertanya sambil membuka lebar
matanya:
”Apa katamu? Kim Yan bisa menggunakan ilmu Thianseng-
jiauw membunuh orang ....?”
”Ya, tadi malam aku telah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri,” berkata Lo Yu Im sambil menganggukkan
kepala.
Kemudian ia menceritakan apa yang disaksikannya tadi
malam setelah Touw Liong dalam keadaan tidak ingat.
Touw Liong merasa tidak ingat, ia memandang Lo Yu
Im sejenak, pikirannya melayang kepada adik
seperguruannya. Pelahan-lahan ia menundukkan kepala,
dalam hatinya berpikir,
”Kim Yan dapat menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw
membinasakan orang, bahkan disaksikan oleh nona Lo Yu
Im sendiri, kalau begitu Lie Hui Hong, tiga jago dari Kionglay,
Cu-lo-kian dan lain-lainnya semua terluka di bawah
tangannya ....”
Ini benar-benar suatu kejadian yang tak habis dimengerti,
hal itu membuatnya tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Selain daripada itu, orang yang menggunakan jari tangan
menuliskan tanda Panji Wulung dan kata-kata di bawah
jembatan, mungkin juga perbuatan Kim Yan. Ada
hubungan apakah antara Kim Yan dengan Panji Wulung?
Dua hal itu kalau dibandingkan satu sama lain, bisa
menimbulkan kesan bahwa Kim Yan sudah berubah
menjadi Panji Wulung. Ini benar-benar suatu kejadian ajaib
yang tak habis dimengerti.
Sementara itu Lo Yu Im telah menghibur padanya
dengan suara lemah lembut,
“Sudahlah! Urusan yang sudah lalu jangan dipikirkan
lagi, yang penting bagi kita sekarang ialah lekas ke kota
Lam-yang untuk melakukan tugas kita.”
Mereka menjumpai dua suami isteri tua itu, setelah
menyatakan terima kasih kepada mereka, lalu melanjutkan
perjalanannya ke kota Lam-yang.
Begitu tiba di kota tersebut, dalam kota telah terjadi dua
peristiwa berdarah.
Satu, ketua partai Kiong-lay-pai tadi malam kira-kira jam
empat hampir pagi telah mati terbunuh di dalam suatu
rumah penginapan, luka yang paling parah dan
mengakibatkan kematiannya ialah tanda luka dari ilmu
serangan Thian-seng-jiauw yang terdapat di depan dadanya,
di atas tanda jari tangan itu masih terdapat sebuah panji
kecil berwarna hitam.
Kedua, Thian Wan-totiang dari kuil Kian-goan-koan di
gunung Thai-san juga dalam waktu yang bersamaan
terdapat mati di dalam kota itu, keadaan kematiannya
serupa dengan ketua Kiong-lay-pai, di tempat bekas telapak
jari tangan depan dadanya, ditutupi oleh sebuah panji
warna hitam yang berlukiskan burung hong terbang di
angkasa.
Dua peristiwa itu menggemparkan seluruh kota, dalam
waktu yang sangat singkat kota Lam-yang seolah-olah
diliputi oleh suasana yang mengerikan, hampir di seluruh
pelosok orang ramai membicarakan peristiwa berdarah itu.
Ketika Touw Liong yang baru tiba di kota itu mendengar
Panji Wulung kembali membawa dua tokoh kuat, diamdiam
bergidik. Ia telah memikirkan dirinya sendiri bahwa
nanti jam tiga malam adalah batas waktu yang diberikan
oleh Panji Wulung, oleh karenanya, maka sikapnya merasa
tidak tenang. Lo Yu Im yang menyaksikan keadaan
demikian menganggapnya bahw racun tadi malam belum
bersih, maka bertanya padanya sambil mengerutkan alis.
”Kau sudah sembuh seluruhnya atau belum?”
Touw Liong hanya mengangguk-anggukkan kepala,
sebetulnya karena pikirannya kalut, sedang menghadapi
banyak persoalan sulit yang mencurigakan, kecuali sudah
dapat membuktikan bahwa orang yang membunuh orangorang
itu adalah Panji Wulung dan adik seperguruannya
sendiri, sedikitpun tidak mendapatkan tanda-tanda atau
gambaran apa-apa.
Dua orang itu berjalan masuk ke sebuah toko sutera, lalu
disambut oleh pelayan toko itu. Kasir toko itu menyambut
Lo Yu Im dengan sikap menghormat sekali, ia ajak mereka
masuk ke ruangan dalam, di situ terdapat suatu lapangan
yang sangat luas.
Lo Yu Im setiba di dalam ruangan lalu mempersilahkan
Touw Liong duduk, sekarang ia telah berubah sikapnya,
dengan sikap sebagai tuan rumah bertanya kepada kasir,
”Kapan Ji si-cia pergi?”
“Pagi-pagi sekali,” menjawab kasir itu dengan sikap
sangat menghormat.
Setelah itu dari dalam sakunya ia mengeluarkan sepucuk
sampul surat diberikan kepada Lo Yu Im.
Lo Yu Im membacanya sebentar, kemudian surat itu
dilipatnya, perasaan dukanya semakin bertambah, ia diam
saja tidak berkata apa-apa.
”Mengapa enci bersedih?” Tanya Touw Liong.
Lo Yu Im memerintahkan kasir itu pergi, barulah
memberitahukan kepada Touw Liong dengan suara
perlahan,
”Adikku masih senang main, ia tidak pulang ke gunung
Kun-lun-san.”
”Ji sio-cia mungkin akan melakukan suatu pekerjaan
besar, sehingga perlu mendapat pengalaman di dunia Kangouw.”
”Ia masih terlalu muda, aku khawatir ia akan mengikuti
jejakku.”
”Ji sio-cia adalah orang gagah, Tuhan pasti akan
melindungi. Dengan bekal kepandaian yang tinggi seperti
dia, sudah sepantasnya kalau berkelana di kalangan Kangouw.”
Selagi mereka masih berbicara, kasir tadi balik kembali
dengan tindakan sempoyongan, lengannya masih
membawa sebuah buntalan kain sutra berwarna merah.
Bab 15
Kain sutera itu diberikannya kepada Lo Yu Im. Wanita
itu dengan cepat membukannya, kedua matanya
mengawasi kasir untuk menantikan penjelasannya dari
mana asal-usulnya bungkusan kain itu dan apa yang
terdapat di dalamnya.
Kasir itu setelah memberi hormat, lalu berdiri
meluruskan tangannya, kemudian membungkuk dan
berkata,
”Hamba tadi baru saja keluar, ada orang yang
mengantarkan bungkusan kain sutera ini. Orang itu
mengatakan dan suruh hamba menjelaskan kepada nona
sendiri.”
Wajah Lo Yu Im berubah seketika, matanya menatap
Touw Liong sejenak.
Touw Liong menganggukkan kepala, memberi isyarat
kepada Lo Yu Im supaya membuka bungkusan itu....
Dengan hati agak bimbang Lo Yu Im membuka
bungkusan tersebut.
Tak lama kemudian bungkusan itu terbuka. Dalamnya
ternyata hanya sebuah panji hitam. Dua orang itu dengan
serentak berseru kaget.
Touw Liong masukkan tangan ke dalam sakunya sendiri,
mengeluarkan panji wulung dari dalam sakunya, kemudian
diberikannya kepada Lo Yu Im untuk dibandingkan dengan
panji itu, ternyata serupa.
Dengan perasaan terheran-heran Lo Yu Im memandang
Touw Liong kemudian berkata,
”Jadi kau sendiri juga mempunyai sebuah panji ini ...”
Touw Liong menghela napas panjang dan
menganggukkan kepala,]
”Sudah berapa hari?” tanya Lo Yu Im dengan penuh
perhatian.
”Tepatnya tiga hari.”
”Kau pikir bagaimana hendak menghadapi Panji
Wulung ini?”
”Terserah kepada nasib, aku menantikan datangnya
kejadian itu. Manusia cepat atau lambat toh akan mati
juga.”
”Malam ini .... Hm, aku bersamamu akan menghadapi
bersama-sama. Biar bagaimana aku juga hanya hidup tiga
hari lagi, lebih siang beberapa hari juga sama saja, mungkin
dengan kekuatan tenaga kita berdua, kita masih dapat
melewati bencana ini.”
Sementara itu dalam hati Touw Liong masih diliputi
oleh pertanyaan dan penasaran, ada hubungan apa antara
adik seperguruannya dengan Panji Wulung?
”Enci ....” Demikian Touw Liong berkata, ternyata ia
tidak menolak tawaran wanita itu. Ia merasa bahwa wanita
itu berjiwa ksatria sehingga ia diam-diam menyambut baik
maksudnya.
ooooo
Rembulan di musim kemarau, nampaknya bertambah
terang. Malam itu justru malam terang bulan, suasana di
panggung mementil kecapi nampak sepi sunyi.
Lo Yu Im duduk memainkan jarinya di atas senar-senar
alat musik itu, sedang Touw Liong sendiri sambil
membelakangkan kedua tangannya, kepalanya mendongak
memandang rembulan, mulutnya menyanyi.
Sudah hampir jam tiga, tetapi tampat itu masih sepi
sunyi.
Lo Yu Im masih mainkan alat musiknya, sedang Touw
Liong juga masih menyanyi dengan lagu-lagu sedih. Waktu
berlalu merambat, hati dua manusia itu sama-sama tegang,
tetapi masih belum tampak Panji Wulung muncul.
Lo Yu Im tiba-tiba menghentikan tangannya, ia angkat
kepala memandang angkasa, sedang mulutnya
perdengarkan suara bentakan pelahan,
”Sahabat dari mana? Silakan kemari, jikalau tidak,
jangan sesalkan aku akan berlaku kasar!”
Sebagai reaksi, dari atas pohon cemara melayang dua
sosok bayangan orang.
Touw Liong agak terkejut, tetapi setelah melihat dua
orang yang baru turun, wajahnya menunjukkan perasaan
girang, sedang Lo Yu Im memandang dua orang itu, yang
ternyata dua wanita cantik berusia tiga puluh tahunan.
Lebih dulu Touw Liong menganggukkan kepala
memberi hormat kepada dua wanita cantik itu, kemudian
memperkenalkan kepada Lo Yu Im.
”Enci, marilah adikmu perkenalkan, dua nona ini adalah
sepasang burung Hong dari gunung Bu-san yang namanya
sangat terkenal itu. Ini adalah nona, dan ini Nona Ciauw!”
Setelah memperkenalkan dua wanita gagah itu kepada
Lo Yu Im, lalu memperkenalkan Lo Yu Im kepada
sepasang burung Hong.
Karena tiga-tiganya sama-sama wanita, juga sama-sama
keluaran dari golongan ternama, maka satu sama lain
merasa sangat cocok, setelah saling menghormat, maka Lo
Yu Im lalu menghormat kepada dua tamunya dan berkata,
”Enci berdua malam-malam begini telah datang
berkunjung, nampaknya sangat gembira sekali, panggung
mementil kecapi merupakan tempat bersejarah di kota Lanyang,
dengan adanya enci berdua yang datang kemari
sesungguhnya menambahkan kebanggaan tempat ini.”
”Bagaimana kita mempunyai kegembiraan seperti itu?
Malam ini kita hanya dengar kabar, bahwa Touw tayhiap
akan mengadakan pertempuran dengan Panji Wulung, aku
berdua saudara telah mendapat perintah susiok, untuk
datang kemari memberi bantuan sekedarnya kepada Touw
tayhiap,” menjawab sepasang burung Hong.
Touw Liong agak terkejut, ia tidak habis mengerti, Pek
Giok Hwa yang sudah mengandung maksud hendak
pentang sayap di daerah Tionggoan, dan ia sendiri sedang
menghadapi ancaman dari Panji Wulung, mengapa
mengutus sepasang burung Hong untuk membantu dirinya?
Karena kedatangan mereka itu dengan maksud baik,
maka ia tidak boleh tidak harus menyatakan terima kasih,
maka segera maju dan memberi hormat seraya berkata,
”Urusanku seorang diri telah mencapaikan nona-nona
berdua, lebih dulu saya haturkan banyak-banyak terima
kasih.”
Dia menjura dan memberi hormat, namun tidak
menanyakan bagaimana Pek Giok Hwa bisa tahu bahwa ia
juga menerima Panji Wulung.
”Sekarang sudah lewat jam tiga, masih belum tampak
bayangannya Panji Wulung, apakah ia akan membatalkan
janjinya?” bertanya sepasang burung Hong.
”Membatalkan janjinya? Ha .... ha....” Demikian
terdengar suara orang berkata berbareng dengan suara
ketawanya yang menyeramkan bulu roma, yang terdengar
dari sebuah pohon cemara terpisah kira-kira setombak dari
belakang burung Hong.
Selagi semua orang dalam keadaan terkejut, sesosok
bayangan orang telah melayang turun dari pohon dan
menuju ke tempat dekat panggung mementil kecapi.
Di antara berkibarnya rambut yang putih terdengar pula
suara orang tua yang berkata sambil tertawa,
”Panji Wulung seratus persen tulen, apa yang dikatakan
tidak akan ditarik kembali, siapa bilang aku membatalkan
janji? Adalah kalian sendiri yang salah ingat harinya,
perjanjian yang kuberikan kepada kalian adalah besok
malam!”
”Besok malam?” tanya Touw Liong pada diri sendiri,
tetapi ia tidak mengambil tindakan apa-apa, sedang Lo Yu
Im dan sepasang burung Hong nampak terkejut dan marah,
bertiga seolah-olah sudah saling berjanji, secepat kilat
bergerak menuju ke depan orang itu dan membentak
berbareng.
”Panji Wulung! Kalau kau masih terhitung orang,
seharusnya kau meninggalkan apa-apa baru pergi!”
Tetapi Panji Wulung tidak menghiraukan kedatangan
mereka, ia bergerak dan secepat kilat sudah menghilang dari
depan mereka.
Setiap orang sudah menyaksikan dengan tegas bahwa
Panji Wulung adalah seorang tua bongkok berambut putih
dan memakai kerudung di mukanya.
Dari jauh, terdengar suara Panji Wulung yang berkata
dengan nyaring.
”Bocah yang tidak tahu diri, kalian bertiga semuanya
sudah pasti akan mati, malam ini biarlah kutitipkan kepala
kalian di badan kalian masing-masing untuk semalam,
besok pada saat seperti ini, kalian harus mengantarkan
kepadaku sendiri. Supaya aku tidak perlu turun tangan.”
Touw Liong selagi dalam keadaan terkejut, empat orang
itu sudah menghilang, Touw Liong takut tiga wanita itu
akan terpedaya oleh Panji Wulung, maka secepat kilat ia
pergi menyusul sambil berseru, ”Enci bertiga, harap tunggu
dulu, tidak ada gunanya kalian mengejar!!!”
Touw Liong dalam keadaan cemas lari mengejar, baru
saja melompat turun, di belakang dirinya tiba-tiba terdengar
orang memanggil.
”Suheng ....”
Suara itu baru masuk di telinganya, Touw Liong
merasakan desiran angin, sesosok bayangan orang secepat
kilat sudah melalui di samping dirinya. Kemudian
membalikkan badan dan menghadang di hadapannya.
Touw Liong merandeg, matanya menyapu, orang yang
menghadang dirinya itu ternyata adalah adik
seperguruannya sendiri, Kim Yan.
Keadaan Kim Yan ternyata masih tetap seperti sedia
kala, hanya tiga hari saja tidak bertemu nampaknya agak
kurus sedikit, sebaliknya sinar matanya nampak lebih
bercahaya dan lebih tajam dari yang sudah-sudah.
Ia kegirangan dan hampir saja berteriak. Ia maju
menyongsong lalu mengulurkan tangannya menyambar
tangan Kim Yan, dan berkata dengan suara bergetar,
”Sumoy, aku telah mencarimu sudah berhari-hari,
hingga hatiku sangat cemas.”
Mata Kim Yan nampak merah, dengan suara sedih
memanggil suhengnya dan dua orang itu lantas saling
berpandangan.
Ini tidak heran, karena mereka sejak kecil sudah hidup
bersama-sama, hampir setiap hati mereka main-main di atas
gunung Kiu-hwa-san, mereka sama-sama belajar dari satu
guru, dan kali ini Kiu-hwa Lojin memerintahkan Kim Yan
turun gunung, menyuruhnya menyampaikan perintah
kepada suhengnya, tapi sebetulnya memberi kesempatan
kepada Kim Yan supaya dapat bertemu dengan suhengnya.
Apa hendak dikata, kejadian di dalam dunia banyak halhal
yang terjadi di luar dugaan manusia, beberapa hari
setelah mereka bertemu, telah berpisah lagi di Ngo-liongkang,
selama itu Touw Liong terus memikirkan diri adiknya
itu, dengan susah payah dia mencarinya, tetapi bayangan
Kim Yan tetap menghilang tak karuan jejaknya, banyak
jalan yang ia lakukan untuk mencari, tapi tak ada kabar
beritanya, hal mana membuat Touw Liong hampir lupa
makan dan tidur.
Touw Liong berdiri menjublek bagaikan patung,
pikirannya kusut, banyak perkataan tersendat dalam
tenggorokannya, entah bagaimana ia harus mulai bertanya?
Dengan memandang Kim Yan yang saat itu masih
mengalirkan air mata dan tersenyum getir, kemudian ia
berkata,
”Sumoy! Dua hari.... Dua hari ini kemana sebetulnya
kau pergi?”
Kim Yan tidak menjawab, hanya air matanya mengalir
deras, ia menarik napas panjang, dan kemudian menjawab
dengan ringkas,
”Aku berada di kota Lam-yang.”
”Kau di kota Lam-yang?” bertanya Touw Liong sambil
mengerutkan alisnya, ”Kalau begitu orang-orang yang
binasa dan terluka di bawah ilmu Thian-seng-jiauw itu
semua adalah kau....”
Kim Yan menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda
pernyataan bahwa kematian orang-orang itu bukanlah
akibat perbuatannya, tetapi kemudian ia memberi
keterangan,
”Tadi malam adalah kekecualian, utusan memanggil
nyawa, akulah yang membunuhnya.”
Touw Liong sedikit bingung, ia berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepala,
”Aku tidak mengerti.”
”Ilmu serangan Thian-seng-jiauw dari golonga kita
bukanlah suatu ilmu tunggal yang orang lain tidak dapat
mempelajarinya, lama pada seratus tahun berselang, di
dalam kitab Thay-it Cin-keng milik gereja Siao-lim-sie, di
situ terdapat tulisan tentang ilmu yang dinamakan Thay-it
Seng-jiauw. Ilmu itu serupa dengan ilmu Thian-seng-jiauw
golongan kita,” berkata Kim Yan sambil menghela napas.
”Kalau begitu, jadi ilmu Thian-seng-jiauw dengan ilmu
Thay-it Seng-jiauw itu adalah serupa saja?” tanya Touw
Liong yang mulai sadar.
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala.
”Dewasa ini siapa yang menggunakan ilmu Thay-it
Seng-jiauw untuk membinasakan orang?”
”Panji Wulung.”
”Panji Wulung?”
Touw Liong merasa agak terkejut, tetapi hal itu agaknya
juga sudah di dalam dugaannya, ia memikirkan soal yang
lainnya, memandang Kim Yan sejenak, lalu bertanya
dengan suara perlahan,
”Apakah kau sudah pernah melihat Panji Wulung?”
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong semakin terkejut dan terheran-heran,
tanyanya cemas.
”Apakah Panji Wulung paham ilmu Thay-it Sengjiauw?”
Kembali Kim Yan menganggukkan kepala.
“Panji Wulung ternyata demikian ganas, kalau ia
berhasil memahami seluruh ilmu yang tertera dalam kitab
itu, nampaknya rimba persilatan benar-benar akan
menghadapi hari kiamat!”
Kim Yan tidak berkata apa-apa, Touw Liong tiba-tiba
bertanya pula.
“Sumoy! Kepandaian dan kekuatan tenagamu
sebetulnya sudah mencapai ke tingkat mana, bagi orang lain
sudah tentu kurang jelas, tetapi kita yang sejak kanak-kanak
berdiam di satu tempat dan bersama-sama berguru selama
beberapa puluh tahun, dalam golongan Kiu-hwa, orang
yang mampu menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw untuk
membunuh orang hanya suhu sendiri, sedang kau dan aku
….”
Tanpa menunggu Touw Liong habis perkataannya, Kim
Yan sudah menyela.
“Tahukah suheng selama dua hari ini aku mengalami
kejadian apa?”
“Ha….?!” Touw Liong mundur selangkah, matanya
menatap adiknya, kemudian melongokkan kepala dan
berkata kepada diri sendiri, “Aku tahu! Kau telah bertemu
dengan Panji Wulung, nampaknya Panji Wulung ada
maksud hendak membimbing kau, dalam dua hari ini
kekuatan tenaga dalammu telah mendapat kemajuan sangat
pesat, bukan saja kekuatan tenagamu sudah mencapai ke
taraf yang sanggup menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw
untuk melukai orang, tetapi juga ilmu meringankan
tubuhmu sudah jauh lebih tinggi dari suhengmu sendiri.”
Ia dapat kesan demikian, karena tadi sewaktu Kim Yan
menghampiri dirinya, ilmunya meringankan tubuh jauh
lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Kim Yan tidak menyanggah kata-kata Touw Liong, ia
hanya menganggukkan kepala, itu berarti mengakui bahwa
Panji Wulung telah membantu padanya untuk menambah
kekuatan tenaga dalamnya.
“Sumoy! Di kemudian hari bagaimana kau
mempertanggungjawabkan kepada suhu?” bertanya Touw
Liong dengan sedih.
Pertanyaan itu berarti memperingatkan kepada Kim Yan
atas sepak terjangnya yang sudah mengkhianati
perguruannya sendiri, dan malah dibimbing oleh Panji
Wulung yang sangat kejam sehingga melakukan kedosaan
besar terhadap perguruannya sendiri.
Dengan muka dan sikap yang sedih Kim Yan
menundukkan kepala kemudian menjawab,
”Suheng.... Semua ini lantaran.... lantaran.....”
Touw Liong agak marah, ia mendesak,
”Lantaran siapa?”
Dengan kedua tangannya mendekap muka, Kim Yan
berkata dengan suara sedih,
”Sukakah kau jangan mendesak aku demikian rupa?”
”Ai....!” demikian Touw Liong menarik napas,
mengertilah sudah, bahwa adik seperguruannya itu berbuat
demikian sudah pasti ada sebabnya. Tetapi apakah
sebabnya itu?
Lantaran ilmu Thay-it Cin-keng?
Apakah lantaran hendak menyadarkan Panji Wulung
supaya tidak mengganas orang-orang rimba persilatan….
Apakah lantaran....
Lantaran apa sebetulnya? Touw Liong sebetulnya juga
tidak jelas.
Tetapi ia masih percaya kepada sumoynya itu. Kim Yan
usianya masih terlalu muda, tetapi pandangan terhadap
urusan dunia sudah seperti orang dewasa, dengan lain
perkataan, ia berbuat demikian pasti ada sebabnya. Setelah
Touw Liong memikirkan itu, dengan perasaan duka ia maju
selangkah, tangannya memegang tangan Kim Yan dengan
suara lemah lembut ia menghiburinya,
“Sumoy, bukan suhengmu mendesakmu, sebetulnya
sejak seratus tahun kita orang-orang dari golongan Kiuhwa,
tidak peduli siapa asal satu kali ceburkan diri dalam
kalangan Kang-ouw, haruslah menunjukkan bahwa ia
adalah benar-benar seorang pendekar yang berjiwa ksatria,
aku khawatir dengan perbuatanmu seperti ini, dapat
menodakan nama baik perguruan kita.”
Kim Yan mendongakkan kepala, hatinya seolah-olah
merasa terpukul, ia menangis dengan sedih, kemudian
berkata,
“Suheng, meskipun aku terdesak oleh keadaan dan
dewasa ini aku harus bersama-sama dengan Panji Wulung,
tetapi aku tahu bagaimana harus sayangkan diri sendiri dan
membersihkan diriku sendiri, aku tidak akan membuat
noda nama baik suhu kita, pendek kata, aku ada
mempunyai banyak sebab, di antara banyak sebab ini, tidak
ada satu yang aku mengingini untuk memiliki ilmu Thay-it
Cin-keng.”
Hati Touw Liong merasa lega, ia berkata sambil
menganggukkan kepala.
”Kuharap sumoy masih tetap seperti sedia kala, tetap
dengan maksud dan tujuan kita untuk menegakkan keadilan
dan membasmi kejahatan, segala sepak terjangmu jangan
sampai menodakan nama baik golongan kita.”
Kim Yan kembali menganggukkan kepala sebagai
jawaban.
Touw Liong tidak menanya lebih lanjut, dengan cara
bagaimana ia dapat berkenalan dengan Panji Wulung.
Akan tetapi Kim Yan dengan ringkas membertitahukan
padanya.
”Kiranya malam itu ketika Kim Yan bertempur dengan
orang-orang golongan pengemis, begitu Touw Liong pergi,
ia juga lantas meninggalkan musuh-musuhnya dan pergi
mengejar, ia selalu mengikuti jejak Touw Liong sampai ke
kota Lam-yang.
Siapa tahu oleh karena Touw Liong mengejar Lie Hu
San, sehingga terjadi perselisihan jalan. Kim Yan terus
mengejarnya sampai ke bawah tembok kota Lam-yang,
namun suhengnya yang dikejar tidak kecandak, sebaliknya
telah bertemu dengan Panji Wulung, dan akhirnya dipaksa
oleh Panji Wulung untuk menjadi muridnya. Selama tiga
hari itu, satu-satunya hasil yang didapat dari Panji Wulung
ialah dengan menggunakan ilmu tunggal Panji Wulung, ia
mendapat kemajuan pesat di dalam kekuatan tenaga
dalamnya.
Setelah mendengar penuturan adik seperguruannya,
Touw Liong menarik napas dan bertanya,
”Panji Wulung itu sebetulnya orang baik ataukan orang
jahat?”
Kim Yan nampak ragu-ragu, lama baru menjawab,
”Sifatnya sebetulnya baik, tetapi segala sepak terjangnya
agaknya menuruti kemauan hatinya sendiri, dalam segala
hal ia selalu memainkan emosinya, kalau turun tangan ia
tidak memikirkan akibatnya, maka baik ataukah jahat, saat
ini masih belum dapat dinilai.”
”Apa maksud dan tujuan Panji Wulung kali ini terjun ke
dunia Kang-ouw lagi...?”
Kim Yan menggeleng-gelengkan kepala, tetapi ia masih
mengerutkan alisnya sambil berpikir keras, akhirnya berkata
perlahan-lahan,
”Ia seolah-olah mengalami penderitaan batin atau
kepedihan yang selama itu terbenam dalam hatinya, kali ini
terjun di dunia Kang-ouw maksudnya hanya sekedar
melampiaskan dendam hatinya.”
”Menilik katamu demikian, di kemudian hari entah
masih berapa banyak yang akan menjadi korban atas
perbuatannya?” berkata Touw Liong sambil menarik napas.
Ia berpikir sejenak, matanya menatap Kim Yan,
kemudian berkata pula,
”Dengan menurut perkataanmu ini, kau sebaliknya
mengharap supaya kau bisa sering atau selalu mengikuti
dirinya, agar ia tidak melakukan pembunuhan secara
serampangan.”
”Itulah salah satu sebab mengapa aku rela menjadi anak
muridnya Panji Wulung.”
”Bagaimana macamnya Panji Wulung itu?”
”Ia selalu menggunakan kain hitam untuk menutupi
mukanya, tidak peduli siang hari atau malam. Meskipun
aku sudah hidup bersam-sama dengannya selama tiga hari,
aku belum pernah satu kalipun melihat wajah aslinya. Dari
wajahnya yang putih dan tak ada tanda-tanda brewoknya
dan lagi ia sering menggunakan tongkat bentuk kepala
naga, Panji Wulung itu agaknya seorang nenek.”
”Tongkat...?!” tanya Touw Liong, sesaat itu, Touw
Liong teringat kejadian kemarin di waktu pagi-pagi sekali,
ketika ia berada di kota Tio-yang-li, telah ditotok oleh
seorang nenek dengan kepala tongkat ..... Kalau begitu
orang itu tak salah lagi pasti adalah Panji Wulung.
Berpikir sampai di situ, ia bertanya pula,
”Kalau begitu sepasang burung Hong dari gunung Busan
bersama Lo Yu Im yang tadi mengejar, apakah tidak
akan mendapat bahaya apa-apa?”
”Tidak akan ada bahaya apa-apa, karena mereka pasti
tidak akan berhasil menyandak Panji Wulung. Dua malam
ini Panji Wulung tidak akan membunuh orang,” jawab Kim
Yan sambil menggelengkan kepala.
Kemudian ia memberi keterangan tambahan,
”Besok malam ia baru akan melakukan pembunuhan.”
”Besok malam siapa yang akan ia bunuh? Tanya Touw
Liong terkejut.
”Besok malam ia akan membunuh habis semua orang
yang berada di kota ini,” jawab Kim Yan sambil
mengerutkan alisnya.
Touw Liong diam saja, lama baru terdengar suara helaan
napasnya, kemudian bertanya,
”Dia sudah mengambil keputusan demikian, apakah
tidak dapat dirubah?”
Kim Yan menganggukkan kepala.
”Mengapa kau tidak coba menasehati dia supaya
mengurangi niatnya melakukan pembunuhan?” berkata
Touw Liong.
”Hari ini aku telah berkata banyak untuk menasehati
padanya, hampir mulutku berbusa, apa mau segala
sesuatunya yang ia sudah mengambil keputusan, agak susah
dirubah, pada akhirnya aku telah menggunakan akal, selagi
ia pergi ke panggung mementil kecapi untuk mencari siapa
orangnya yang mencatut namanya, aku ikut datang kemari,
maksudku ialah hendak memberitahukan kepada orangorang
yang besok malam datang ke sini, supaya besok
malam jangan datang ke panggung itu, dengan demikian ia
pasti akan terlepas dari bahaya maut.”
Touw Liong menganggukkan kepala membenarkan
pikiran adiknya, ia memikirkan satu soak lain lagi, sejenak
pikirannya bekerja, kemudian baru angkat muka dan
berkata,
”Aku sangsi, mungkin Panji Wulung itu ada dua.”
”Mengapa suheng tahu?”
Touw Liong dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah
panji kecil warna hitam, kemudian berkata,
”Panji ini sebetulnya berlatar warna hitam, tersulam
dengan awan terbang di langit, tetapi di atas itu terdapat
lukisan burung Hong terbang. Sedangkan panji yang tiga
hari berselang yang kita terima, dasarnya meskipun sama
tetapi lukisan sulaman agak berbeda, dua panji ini
meskipun sama-sama merupakan benda purbakala, sudah
ratusan tahun usianya, tetapi agak berbeda, mungkin
pemiliknya berlainan.”
Kemudian ia menceritakan bagaimana panji wulung
yang diterimanya pada tiga hari berselang telah ditukar oleh
orang lain.
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
baru berkata,
”Tentang soal ini .... memang benar, ada kemungkinan
besar Panji Wulung itu ada dua, malam ini sebelum datang
kemari ia pernah marah-marah dan menyatakan hendak
melakukan penyelidikan, yang perlu dipecahkan, kalau ia
salah ingat harinya, atau ada orang yang main gila? Karena
aku ingat tiga hari berselang, ketika kita berada di kota
keng-siang dan menerima Panji Wulung, terang bukan ia
punya, pasti lain orang yang memberikan padamu. Aku
dapat menyetujui pikiranmu, Panji Wulung itu ada dua.”
”Dua....?! Apa kau juga berpikir demikian?”
Kim Yan mengangguk-anggukan kepala, selagi Touw
Liong hendak menanya lagi, Kim Yan tiba-tiba matanya
memandang ke depan dan berkata dengan suara perlahan,
”Ingat! Besok malam kau jangan datang kemari .....”
Belum habis ucapannya Kim Yan sudah meninggalkan
suhengnya seorang diri.
”Sumoy....” demikian Touw Liong terkejut dan
memanggilnya, dua puluh tombak jauh di depan matanya
terlihat bayangan tiga sosok orang, kemudian terdengar
suara Lo Yu Im,
”Adik Liong, kita di sini!”
Sementara itu bayangan Kim Yan sudah menghilang di
belakang panggung mementil kecapi, Touw Liong seorang
diri menarik napas, tiba-tiba ingat pesan Kim Yan,
”Besok malam jangan datang kemari .....”
Ia menyambut ketiga orang itu, kemudian bertanya
kepada sepasang burung Hong, ”Bagaimana, kalian berhasil
menyandaknya?”
Tiga orang itu menghela napas, mereka menjawab
dengan kata-kata yang tidak ada sangkut pautnya, hanya
memberi keterangan bahwa Panji Wulung terlalu cepat
hingga tidak berhasil menyandak.
”Panji Wulung sudah merubah tempatnya, besok malam
akan diadakan pertemuan di Tio-yang-li, harap supaya ji-wi
beritahukan kepada sancu muda,” demikian Touw Liong
berkata kepada sepasang burung Hong.
Tiga orang itu melengak, memandangnya dengan
terheran-heran.
”Tadi ketika nona-nona pergi dari sini, Panji Wulung
telah mengutus seorang anak buahnya datang kemari untuk
menyampaikan berita ini!”
Berkata sampai di situ ia memberi hormat kepada Lo Yu
Im seraya berkata,
”Siaote pernah menerima baik permintaan sancu, jikalau
malam ini siaote tidak mati, besok malam akan bantu
tenaganya, tetapi besok malam siaote masih ada perjanjian
lain dengan enci, hendak pergi ke kota Tio-yang-li untuk
memenuhi janjiku.”
”Besok malam kau hendak bekerja?” tanya Lo Yu Im
sambil mengerutkan alisnya.
”Sumoy, besok malam jam tiga berjanji hendak datang
kemari untuk menjumpai sioate.”
BAB 16
Malam itu cuaca terang, keadaan di panggung mementil
kecapi masih tetap seperti biasa.
Di luarnya nampak tenang-tenang, akan tetapi di balik
suasana tenang itu diliputi oleh kabut dan nafsu
pembunuhan.
Touw Liong dengan sikap yang tenang duduk di bangku
panggung itu, untuk menantikan kedatangan maut.
Di luarnya Touw Liong sedikitpun tidak menunjukkan
perasaan takut, akan tetapi jikalau ia ingat bahwa malam itu
adalah malam yang menentukan nasibnya, mati atau hidup,
kalau ia memikirkan bahwa ia sedang jaya dan muda
usianya, akan tetapi harus menghadapi suatu tantangan
maut yang tanpa diharapkan sama sekali, ia merasa bahwa
hal itu sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali.
Tanpa disadari pikirannya bergolak sendiri, dalam otaknya
selalu dipenuhi oleh berbagai persoalan. Sebagai laki-laki
kalau memang harus mati, apa salahnya atau apa takutnya
kematian? Asal kematian itu pada tempatnya yang ada
harganya, tidak perlu disesalkan! Jikalau kematian
malamini, aku dapat menggunakan nyawaku yang berharga
untuk dapat ganti kepala Panji Wulung sehingga
menyingkirkan bahaya dan bencana bagi sahabat-sahabat
rimba persilatan di kemudian hari, maka kematianku ini
sesungguhnya sangat berharga, sekalipun aku harus mati,
aku juga takkan menyesal.
Jikalau malam ini aku harus diam menantikan kematian,
dengan tenang menantikan munculnya Panji Wulung, lalu
membiarkan ia menghina dan menertawakan aku, dan
kemudian mengakhiri riwayatku, ai .....! Kematian seperti
ini sungguh tidak ada harganya, juga terlalu
mengecewakan!
Malam ini meskipun aku berhasil membohongi sepasang
burung Hong dari gunung Bu-san, supaya mereka jangan
turut campur tangan atau terlibat dalam bahaya maut ini,
akan tetapi setelah hari ini, apakah Panji Wulung tidak
akan mencari mereka?
Di depan mataku masih ada banyak persoalan yang
harus kuselesaikan, aku tidak boleh mati secara begini,
jikalau harus mati, aku juga perlu minta korban, setidaktidaknya
Panji Wulung juga harus mati di tanganku.
Memikir sampai di situ, Touw Liong mendadak berdiri
dari tempat duduknya, sambil menepuk kepala sendiri ia
berteriak seperti gila,
”Aku tidak boleh mati!!”
Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu merupakan
suara hati yang membuatnya lupa akan dirinya sendiri, ini
juga merupakan suatu jeritan hati yang keluar dari suatu
perlakuan yang tidak adil, maka suara itu menggema
sampai beberapa pal jauhnya.
Ia telah menyadari bahwa ia tidak seharusnya berlaku
lemah, maka akhirnya dengan mendadak ia tidak
melanjutkan kata-katanya.
”Mana boleh tidak mati...?!” Di malam yang sunyi itu
tiba-tiba terdngar suara orang berkata, yang dibarengi oleh
suara tertawa yang nyaring, suara tertawa itu penuh rasa
bangga dan kemudian disusul suara berkatanya lagi yang
mengandung ejekan, ”Jikalau raja akhirat sudah
menetapkan kau harus mati jam tiga malam, siapa yang
berani menahannya sehingga jam lima pagi?”
Kata-kata itu diakhiri dengan munculnya sesosol
bayangan orang yang memakai kerudung di mukanya,
orang itu tubuhnya kurus kering, rambut di kepalanya
berwarna putih, nampak berkibar-kibar tertiup angin, sorot
matanya demikian tajam, dan tangannya membawa tongkat
yang berlapis emas, sambil tertawa dingin berulang-ulang
orang tua itu melompat ke atas panggung mementil kecapi,
dengan sikapnya yang garang menunjukkan telunjuknya ke
arah Touw Liong, kemudian berkata,
”Bocah!! Coba kau lihat cuaca, sekarang ini tepat jam
tiga malam, kau ingin aku turun tangan sendiri, ataukah
kau tahu diri dan menyerahkan kepalamu kepadaku?”
Touw Liong terkejut, setelah ia mengetahui bahwa orang
itu adalah seorang perempuan tua, lalu bertanya sambil
menyuja,
”Cianpwee dari golongan mana?”
”Panji Wulung, orang yang berhak menggunakan
julukan itu hanya satu, tidak ada cabangnya, aku adalah
pewaris panji wulung yang hidup pada seratus tahun
berselang, maka kau juga boleh menyebut aku sebagai Panji
Wulung saja,” menjawab nenek itu dengan nada kurang
sabaran.
”Panji Wulung .... Panji Wulung....” demikian Touw
Liong menyebut nama itu dengan suara perlahan.
Panji Wulung agaknya merasa terhina, sambil lompatlompatan
ia berkata dengan suara bengis.
”Kau mengoceh sendiri apa artinya? Apakah kau ingin
aku turun tangan sendiri?”
Touw Liong mengerutkan alisnya, kemudian menjawab
sambil tertawa dan menggelengkan kepala,
”Tidak perlu! Tidak perlu! Tidak perlu cianpwee turun
tangan sendiri, aku hanya memikirkan ucapan cianpwee
tadi, tentang panji wulung yang hanya seorang saja tidak
ada cabangnya, cianpwee mengaku sebagai pewaris Panji
Wulung yang hidup pada seratus tahun berselang, sayang
sekarang ini ada seorang lain yang juga mengaku sebagai
panji wulung. Jikalau cianpwee dapat memberi keterangan
tentang ini, maka aku si bocah yang tidak berguna, juga
tidak merasa sayang dengan batok kepalaku, aku rela
memberikan kepadamu ....!”
Tidak menunggu sampai habis ucapan Touw Liong,
Panji Wulung sudah memotong dengan suara yang tajam.
”Bocah, apa katamu?”
Touw Liong dengan tenang mengeluarkan sebuah panji
warna hitam dari dalam sakunya, kemudian dikibarkan dan
berkata sambil tertawa.
”Silahkan cianpwee lihat sendiri, panji ini dengan panji
cianpwee yang terlukis burung hong terbang di atas awan,
apakah ada perbedaannya?”
Panji Wulung dengan cepat merebut panji hitam dari
tangan Touw Liong, dengan sinar mata yang tajam ia
membolak-balikkan panji kecil itu untuk diperiksanya.
Sambil memeriksa, sebentar-sebentar mulutnya
mengeluarkan suara ocehan yang aneh, lama sekali ia
meremas-remas panji di tangannya dan bertanya dengan
suara bengis.
”Anak busuk, dari mana kau dapatkan panji ini?”
”Empat hari berselang, ketika aku menginap di suatu
rumah penginapan di kota Keng-siang, ketika aku mendusin
di atas meja telah tertancap panji ini ....”
”Hm...!” demikian Panji Wulung memotong dengan
nada suara dingin, ”Panji ini memang benar ada persamaan
dengan panji wulungku, sama-sama merupakan benda kuni
yang sudah berusia seratus tahun lebih, aku masih perlu
hendak menjernihkan urusan ini....”
Touw Liong diam saja, sementara dalam hatinya terus
dag-dig-dug, merasa sangat khawatir. Dia memandang
sinar matanya yang menembusi kerudung hitam itu,
hatinya merasa jeri.
Ia khawatir dalam keadaan demikian panji wulung nanti
akan menyerang dirinya dengan tiba-tiba, akan tetapi juga
ada kemungkinan, Panji Wulung nanti akan meninggalkan
padanya.
Waktu berlalu dengan keheningan luar biasa. Touw
Liong di luarnya masih menunjukkan sikap sangat tenang,
ia berdiri tegak, agaknya acuh tak acuh, namun diam-diam
ia sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya
kepada dua tangannya untuk menantikan kejadian
selanjutnya. Apabila Panji Wulung bergrak, kedua tangan
Touw Liong pasti akan menyerbu lebih dulu.
Lama sekali, Panji Wulung menarik pandangan matanya
yang ditujukan ke pohon cemara, lalu dialihkan kepada
Touw Liong kemudian dengan gerakan yang sangat
perlahan ia mengembalikan panji kecil itu kepada Touw
Liong.
Hati Touw Liong bergetaran, akhirnya ia maju beberapa
langkah tangannya diulurkan untuk menyambut panji dari
Panji Wulung.
Tangan kanannya diulurkan, namun tangan kiri
menyalurkan seluruh tenaganya, dengan sangat hati-hati
setapk demi setapak ia maju menghadapi Panji Wulung,
matanya terus menatap wajah perempuan tua itu.
Kakinya terus berjalan mendekati, tetapi ketika ia tiba
sejarak hampir satu kaki, tiba-tiba menghentikan kakinya,
sementara dalam hatinya berpikir” Tangan Panji Wulung
memegang gagang panji, ia suruh aku yang menyambut
ujung panjinya, apabila ia mengandung maksud jahat,
tangannya yang memegangi panji bisa saja ia mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya, disalurkan melalui gagang
panji, dengan demikian aku nanti akan tertipu oleh akal
muslihatnya!
Dalam waktu hanya sekejab saja, pikirannya telah
berubah. Panji Wulung agaknya dapat menebak apa yang
dipikir oleh Touw Liong, ia menunjukkan senyum ringan,
panjinya ditarik kembali, kemudian gagangnya dibalik
diberikan kepada Touw Liong, dan ia memegangi bagian
yang ada kainnya.
Touw Liong sebaliknya merasa tidak enak, maka lalu
menggunakan dua jarinya menjepit gagang panji itu. Di
luar dugaannya Panji Wulung tidak menunjukkan gerakan
apa-apa, ia membiarkan Touw Liong menjepit gagang
panji.
Pada saat Touw Liong hendak memegang panji itu,
dengan kecepatan luar biasa, Panji Wulung mendorongkan
panji itu kepadanya, dan gagang panji yang terjepit di
antara kedua jari Touw Liong meluncur, kemudian ujunga
gagang itu menyentuh pergelangan tangannya, sehingga
lengan tangannya dirasakan kesemutan dan kedua jarinya
tak berdaya lagi, dengan demikian usahanya untuk
memegang panji telah gagal. Kejadian itu belum habis
sampai di situ saja, Touw Liong merasa bahwa rasa
kesemutan itu menjalar terus ke sekujur badannya, sehingga
bagian darah sekujur badan merasa kejang.
Ia kini mulai merasa menyesal, juga benci sekali
terhadap kelicikan dan keganasan Panji Wulung, ia
mengerti bahwa dirinya sudah tertipu olehnya, sehingga
terjatuh di tangannya.
Tangan kiri yang sudah disiapkan degnan seluruh
kekuatan tenagam oleh karena pergelangan tangan kanan
sudah tidak berdaya, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya dengan sinar matanya yang mengandung rasa gemas
terus memandang Panji Wulung.
Panji Wulung nampaknya sangat bangga sekali, ia
tertawa terbaha-bahak dan kemudian berkata,
”Anak busuk! Kau hanya sebutir mutiara yang tidak ada
artinya, juga hendak main gila terhadapku, jauh sekali
harapanmu untuk mencapai maksud!”
Sejenak ia berhenti, perlahan-lahan ia memasukkan panji
itu ke dalam sakunya.
Touw Liong yang pada saat itu merasakan sekujur
tubuhnya sudah merasa kejang, sehingga tidak berdaya
sama sekali, ia membiarkan panji kecil hitam itu diambil
oleh Panji Wulung.
Panji Wulung setelah merebut panji hitam itu, dengan
nada suara dingin ia berkata,
”Dengan memandang muka adik seperguruanmu, hari
ini kuberi ampun jiwamu, selain dari pada itu, dengan
meminjam mulutmu, kau sampaikan pesanku kepada
suhumu, katakan kepadanya bahwa adik seperguruanmu
sudah berguru kepadaku, aku .... akan menjadikan ia
pewaris tulen dari Panji Wulug yang akan memiliki
kepandaian ilmu silat yang tidak akan ada tandingannya di
dalam dunia.”
Mulut Touw Liong tidak bisa mengeluarkan perkataan,
namun dalam hatinya ia sangat penasaran, maka ia hanya
dapat mengawasi Panji Wulung dengan penuh kebencian.
Panji Wulung berkata lagi,
”Untuk selanjutnya, kau tidak akan melihat adik
seperguruanmu lagi! Satu hari kelah jikalau kau benarbenar
berjumpa dengannya, itu bukanlah Kim Yan lagi,
mungkin raganya masih tidak berubah, tetapi pikiran dan
jiwanya, seratus persen adalah pikiran dan jiwaku, waktu
itu, ia sudah pasti tidak akan melepaskan kau, juga tidak
akan anggap kau sebagai saudara seperguruan lagi, ha ha ha
....”
Kemudian ia hentikan tertawanya, dan melanjutkan
perkataannya.
”Waktu sudah hampir pagi! Aku masih perlu hendak
mencari siapa yang coba-coba menyaru menjadi diriku!”
Sehabis berkata demikian, ujung tongkatnya diketukkan
ke tanah, kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat
badannya terbang melayang, dan sebentar kemudian sudah
menghilang di dalam kegelapan.
Touw Liong masih berdiri bagaikan patung di
tempatnya, ia coba mengatur pernafasannya untuk
memulihkan kekuatan tenaganya.
Masih untung, tak lama kemudian kedua tangan dan
kakinya perlahan-lahan dapat digerakkan, setelah itu ia
berhasil mengatur kembali pernafasannya dan ternyata
tidak mendapati halangan apa-apa.
Ia mengusap keringat yang membasahi dahinya,
kemudian menarik nafas panjang dan berkata kepada diri
sendiri, ”Panji Wulung ini benar-benar tidak boleh
dipandang ringan, kepandaian ilmu silatnya sungguh sulit
dijajaki.”
Tak lama kemudian kentongan sudah berbunyi empat
kali, Touw Liong hanya dapat menghela nafas kalau ia
memikirkan bahaya yang dihadapinya pada setengah jam
berselang, dalam hatinya ia merasa bergidik sendiri, dengan
tindakkan lesu ia turun dari panggung mementil kecapi
hendak berlalu meninggalkan tempat itu.
Dari jauh, tampak berkelebat empat sosok bayangan
manusia, bayangan itu semakin lama semakin dekat dan
sebentar kemudian sudah tiba di jalanan batu yang menuju
ke atas panggung tempat mementil kecapi.
Touw Liong kini dapat melihat dengan tegas, siapa
adanya bayangan empat orang itu, ternyata adalah Sancu
muda dari Gunung Ci-phoa-san Pek Giok hwa, Sepasang
Burung Hong dari Gunung Bu-san, dan satu lagi adalah
LoYu Im.
Touw Liong berjalan turun menyongsong kedatangan
mereka, empat wanita tadi sebetulnya menunjukkan muka
murung, ketika melihat Touw Liong masih segar bugar,
maka lantas bertanya dengan berbareng.
”Touw tayhiap, Panji Wulung sudah datang atau
belum?”
Touw Liong menganggukkan kepala, hingga semua
wanita itu menjadi terkejut. Touw Liong menceritakan apa
yang telah terjadi atas dirinya, empat wanita itu menarik
nafas lega.
Pek Giok Hwa lalu berkata,
”Ayah tidak keburu datang, sehingga Touw tayhiap
mengalami kekhawatiran seorang diri!”
Lo Yu Im juga menyesali Touw Liong, ia berkata,
”Adik! Selanjutnya apabila kau menjumpai urusan
semacam ini, sebaiknya jangan kau hadapi seorang diri, ada
urusan apa-apa sebaiknya kita rundingkan bersama, seperti
urusan yang kau hadapi hari ini, bagi kita semua sebetulnya
merupakan orang-orang yang bertanggung jawab, sedang
kau telah meninggalkan kita semua dan kau hadapi dengan
seorang diri, dipandang dari sudut kepahlawanan
tindakanmu ini memanglah perbuatan seorang laki-laki
jantan yang patut dipuji, tetapi kau telah mengabaikan
kenyataan, karena Panji Wulung itu bukanlah orang kangouw
biasa,”
Pek Giok Hwa juga berkata lagi,
”Hari ini kau bertiga sebaiknya berkunjung ke tempatku,
kau telah membicarakan soal Panji Wulung, kemudian aku
mengetahui bahwa panji wulung itu telah ditukar oleh
orang lain, setelah kupikir mungkin itu adalah kau yang
menukarnya.”
Touw Liong angkat pundak sambil tersenyum getir,
kemudian berkata,
”Sesungguhnya aku merasa malu, panji itu telah diambil
kembali oleh Panji Wulung tadi!”
Touw Liong saat itu sudah merasa curiga bahwa panji
yang ditukarkan dari tangan Pek Giok Hwa kemarin dan
yang kini telah diambil oleh Panji Wulung adalah panji
yang hari itu diberikan kepadanya di dalam rumah
penginapan, tetapi entah bagaimana panji itu bisa terjatuh
di tangan Pek Giok Hwa?
Pek Giok Hwa setelah minta diri pada Touw Liong,
lantas berlalu meninggalkan panggung mementil kecapi.
Janji pertemuan dengan Panji Wulung sudah dilaksanakan,
Kim Yan juga sudah pernah dijumpainya. Touw Liong
tahu bahwa Panji Wulung tindakannya sesuai dengan katakatanya,
kemungkinan besar, selanjutnya ia tidak akan
menjumpai Kim Yan lagi, sedangkan Panji Wulung sendiri
oleh karena terdapatnya dua jenis panji, dan ia juga sudah
mengambil panji yang tadi berada di tangannya, sudah
tentu ia akan mencari tahu asal-usulnya panji itu lebih dulu,
baru unjuk muka di dunia Kang-ouw lagi.
Lima orang itu setelah meninggalkan panggung
mementil kecapi, masing-maing menetapkan tujuantujuannya
sendiri.
Pek Giok Hwa dan Sepasang Burung Hong dari Gunung
Bu-san pulang ke gunung Cit-phoa-san.
Touw Liong oleh karena adik seperguruannya sudah
dirampas oleh Panji Wulung, urusan ini merupakan
persoalan terlalu besar, ia tidak berani bertindak lancang
sendiri, untuk mencari adik seperguruannya itu agaknya
lebih sulit dari pada berjalan menuju ke langit, satu-satunya
jalan baginya ialah pulang kembali ke gunung Kiu-hwa
untuk memberitahukan kepada gurunya Kiu-hwa Lojin,
minta advis-nya lebih lanjut.
Dan lagi .... batu Giok merah Khun-ngo-giok kini sudah
ketahuan di mana berada, pemilik aslinya yang kehilangan
benda pusaka itu justru jalan bersama-sama dengannya, hal
ini juga perlu dilaporkan kepada gurunya.
Kecuali itu, masih ada urusannya dengan golongan
pengemis, Dewa Arak si Taiusu Gila, apa yang diucapkan
olehnya itu perlu sekali diberitahukan kepada gurunya.
Dengan adanya tiga alasan itu, maka Touw Liong
mengambil keputusan hendak pulang dulu ke Gunung Kiuhwa.
Ia telah memberitahukan maksudnya itu kepada Lo Yu
Im. Sudah tentu Lo Yu Im tidak pantas ikut padanya naik
ke gunung Kiu-hwa, maka dua orang itu berjanji, di tahun
depan pada musim kemarau akan bertemu lagi di rumah
makan Gak Yiang Loo di danau Tong-teng-auw. Lo Yu Im
menggunakan kesempatan itu hendak mencari jejak
adiknya dan mencari tahu dimana adanya sang kekasih
dahulu yang telah meninggalkan dirinya.
Dua orang itu berpisah dengan mengucurkan air mata.
Touw Liong mengambil jalan raya yang menuju ke propinsi
Yan-lan terus menuju ke gunung Kiu-hwa.
Dengan tidak besertanya Lo Yu Im, maka sekeluarnya
dari kota Lam-yang, Touw Liong lalu mengeluarkan surat
dari dalam sakunya yang ditinggalkan oleh si Dewa Arak
Taisu Gila. Setelah dibacanya, sekujur badannya lalu
gemetaran. Mengapa? Sebab ia telah mengetahui suatu
rahasia besar yang telah menjadi teka-teki semua orang
rimba persilatan selama seratus tahun lamanya. Tahukah
pembaca siapakah orangnya yang pada seratus tahun
berselang menggunakan benda panji kecil warna hitam
yang kemudian disebut sebagai panji wulung sebagai tanda
ancaman, lalu melakukan pembunuhan terhadap dua belas
tokoh kuat pada masa itu. Mungkin para pembaca tidak
akan percaya, bahwa orang yang melakukan perbuatan
sangat misteri itu adalah ayahnya Dewa Arak Taisu Gila itu
sendiri, juga merupakan murid tertua dari pendekar
kenamaan Liu Kiam Hiong pada masa itu.
Menurut apa yang dikatakan oleh Taisu gila dalam
suratnya, ia sendiri sebetulnya adalah pewaris generasi
kedua dari Panji Wulung, dan sekarang Touw Liong yang
sudah diangkat menjadi murid tidak resmi olehnya, dengan
sendirinya menjadi pewaris generasi ketiga dari Panji
Wulung yang tulen, bagaimanakah kalau hal itu tidak
mengejutkan dirinya?
Dengan lain perkataan, Touw Liong sendiri bukan saja
akan menjadi pewarisnya panji wulung, juga merupakan
murid keturunan keempat dari jago kenamaan Liu Kiam
Hiong.
Persoalannya telah berubah demikian rupa, sesudah
ribut-ribut beberapa hari lamanya, kini Touw Liong yang
pertama-tama menerima panji wulung, dengan tidak
diduga-duga, ia diangkat menjadi pewaris Panji Wulung
sendiri!
Dengan demikian, hingga hutang darah yang dilakukan
Panji Wulung pada seratus tahun berselang, kini sudah
dibebankan di atas kedua pundaknya. Di kemudian hari,
apabila keturunan dari kedua belas tokoh itu hendak
menagih hutang leluhurnya, mau tidak mau ia harus
menerima tanggung jawabnya.
Di dalam surat itu Taisu Gila berulang-ulang
menyatakan bahwa ayahnya sendiri sebetulnya tidak
berdosa, maka ia suruh Touw Liong menjelajahi seluruh
gunung Oey-san (yang dahulu merupakan tempat
berdiamnya Panji Wulung) untuk mencari bukti dan untuk
membersihkan dosa Panji Wulung tua.
Persoalan semakin meningkat demikian jauh, kini panji
wulung dari dua sudah berubah menjadi tiga!
Bahkan satu di antaranya adalah dia sendiri.
Dan apa yang lebih mengherankan ialah di kemudian
hari, adik seperguruannya sendiri, Kim Yan, juga akan
muncul di rimba persilatan dengan menggunakan Panji
Wulung lagi.
Dua Panji Wulung itu ada sangkut paut apa? Dan dua
jenis panji hitam kecil itu, kedua-duanya merupakan benda
kuno yang sudah berusia lebih dari seratus tahun,
buatannya yang demikian halus, menyatakan bahwa dua
jenis panji wulung itu dibuat oleh tangan seorang,
sedangkan panji wulung tua yang pada seratus tahun
berselang melakukan pembunuhan terhadap dua belas
tokoh kuat rimba persilatan, menurut surat Taisu Gila, jelas
perbuatan itu dilakukan ayahnya, dengan demikian, Panji
wulung yang tulen adalah ayahnya. Taisu gila itu sendiri,
mengapa bisa muncul duplikat Panji Wulung yang
mengenakan kerudung muka, dan orang yang mengaku
Panji Wulung itu juga memiliki panji kecil yang sudah
ratusan tahun usianya?
Touw Liong benar-benar tidak habis mengerti, di dalam
urusan ini sebetulnya terselip peristiwa apa?
Gunung Kiu-hwa-san, terkenal dengan pemandangan
alamnya yang indak permai. Gunung Kiu-hwa-san
sebetulnya bernama Gunung Kiu Lam, oleh karena gunung
itu mempunyai sembilan puncak, dan setiap puncaknya itu
berbentuk bunga teratai, maka disebut ”Kiu Lian” yang
berarti ”Sembilan bunga teratai”.
Di jaman dahulu, pujangga dan penyair terkenal Lie Tai
Pek, oleh karena tertarik dan kesengsem keindahan
pemandangan gunung Kiu Lian, dianggap sebagai surga di
dalam dunia, maka ia telah merubah nama gunung Kiu
Lian itu menjadi Kiu-hwa. Di sebelah barat gunung Kiuhwa,
di atas puncak gunung Cui-hoa-hong ada tiga buah
rumah atap, dalam rumah itu berdiam seorang tua yang
wajahnya merah dan rambutnya putih. Puncak gunung itu
tingginya menjulang ke langit, di puncak gunung setiap
tahun diliputi oleh salju dan kabut, bagi manusia biasa
sesungguhnya sangat sulit untuk mencapai ke tempat itu,
ditambah lagi dengan jalanannya yang sulit sekali, sehingga
tidak mudah didatangi oleh penebang kayu atau pemburu,
orang-orang yang memburu binatang buas, paling-paling
cuma mencapai ke tengahnya saja, itu sudah merupakan
suatu kelebihan kemahirannya orang tersebut.
Ada kalanya udara terang dan kabut tidak menutupi
puncak gunungitu, orang tua yang menjadi penghuni satusatunya
di atas puncak gunung itu, bisa unjukkan diri untuk
menikmati pemandangan alam di bawah kakinya, maka,
beberapa orang yang memiliki pandangan mata tajam,
kadang-kadang dapat melihat wajah orang tua itu.
Munculnya orang tua itu dari mulut ke mulut yang tersiar
luas, dan lama-lama, orang menganggap bahwa di atas
gunung ada berdiam satu dewa, maka semua orang
penghuni di kaki gunung Kiu-hwa menyebutnya orang tua
itu sebagai dewa dari gunung Kiu-hwa.
Pada suatu hari, selagi cuaca terang, penghuni di atas
puncak gunung yang dianggap penduduk di sekitar itu
sebagai dewa dari gunung Kiu-hwa, kembali tampak berdiri
di atas puncak gunung sambil melihat jauh di bawah
kakinya. Beberapa di antaranya ada yang mendongakkan
kepalanya untuk menyaksikan, ada juga yang berlutut
bersujud di hadapan kakinya.
Di bawah kaki gunung, seorang pemuda baju hijau yang
menyoren pedang di punggungnya, dengan tindakannya
yang mantap berjalan menuju ke puncak gunung.
Pemuda berbaju hijau itu adalah Touw Liong sendiri.
Touw Liong ketika mendaki sampai di tengah, ia
mendongakkan kepala, segera tampak gurunya, lalu
mengeluaran siulan nyaring dan terus mendaki ke atas
gunung.
Orang itu sejenak wajahnya menunjukkan perubahan,
dari jauh ia sudah memanggil dengan ucapannya ”Liongji”,
Touw Liong yang mendengar itu, air matanya mengalir
keluar sambil mendongakkan kepala Ia memanggil
gurunya, kemudian kedua lengannya dipentang, dan
bagaikan burung terbang terus melayang ke atas gunung.
Tak lama kemudian ia sudah melompat ke puncak gunung,
ketika berada di hadapan gurunya, ia menjatuhkan diri dan
berlutut di hadapannya, orang tua itu dengan penuh welas
asih mengulurkan tangannya, membimbingnya bangun
kemudian bertanya padanya, ”Dan, di mana adik ....
adikmu?”
”Adikku ....” dengan gugup Touw Liong berlutut lagi,
suaranya agak gemetar, ”Adikku? ..... Mungkin tidak akan
naik ke gunung Kiu-hwa lagi...!”
Orang tua itu terkejut dan bertanya,
”Apakah adikmu menemukan bahaya?”
Touw Liong bersujud di hadapan gurunya, ia telah
menceritakan apa yang telah terjadi atas diri adik
seperguruannya.
Orang tua itu mendongakkan kepala memandang
angkasa, kemudian menarik nafas panjang dan berkata
dengan suara sedih:
“Bangun! Mari masuk ke rumah, nanti kita bicara lebih
jauh!”
Setelah itu orang tua itu memutar tubuhnya dan berjalan
masuk ke dalam rumah gubuknya.
Touw Liong mengikuti di belakangnya sambil
menundukkan kepala.
Orang tua itu duduk di atas kursi, sedang Touw Liong
berdiri sambil meluruskan kedua tangannya, guru dan
murid itu sama-sama bungkam sehingga suasana sangat
mencekam.
Orang tua itu dengan tiba-tiba bertanya sambil mengurut
jenggotnya yang putih panjang:
“Muridku, suhumu dahulu mengandalkan apa sehingga
menggetarkan rimba persilatan?”
“Ilmu pedang ‘Kiu-hwa Sim-kiam’ yang terdiri dari tujuh
puluh dua jurus dan ilmu serangan tangan ‘Thian-sengjiauw’
yang sangat ampuh!” menjawab Touw Liong dengan
sikap yang sangat menghormat.
“Tahukah kau ilmu pedang Kim-hwa Sim-kiam itu, siapa
yang menciptakan?”
“Suhu sendiri.”
“Bukan…!” Kata orang tua itu sambil menggelengkan
kepala.
Touw Liong tercengang, dengan perasaan terheran-heran
ia memandang gurunya.
Sang guru tidak memberi keterangan langsung, tetapi
mengalihkan pertanyaannya kepada lain soal:
“Seratus tahun berselang golongan Thian-san-pay
dengan ilmu pedang apa telah menjadi terkenal dalam
rimba persilatan?”
“Ban-ling-kim-hwat Kiam-gwat, ilmu pedang yang terdiri
dari tujuh puluh dua jurus.”
“Benar! Ilmu pedang Kiu-hwa Sim-kiam justru keluar
dan tercipta menurut jurus-jurus dan gerak tipu ilmu pedang
Ban-ling-kiam-gwat Kiam-gwat.”
Touw Liong kembali tercengang. Sementara itu orang
tua itu bertanya pula:
“Siapakah yang mendirikan golongan Kiu-hwa?”
“Suhu sendiri.”
“Suhumu menjadi pewaris golongan mana?”
“Murid adalah seorang bodoh, harap suhu memberikan
keterangannya.”
Sang suhu menarik nafas panjang, kemudian berkata
dengan suara sedih,
“Suhumu sebetulnya adalah murid golongan Thiansan…”
Touw Liong kini telah sadar, kiranya ilmu pedang
golongan Kiu-hwa itu ternyata berasal dari golongan Thiansan.
Orang tua itu bertanya lagi sambil menghela nafas,
“Suhumu tidak berani mewarisi kepandaian dan
menggunakan nama golongan Thian-san maka telah
mendirikan golongan lain yang suhumu namakan golongan
kiu-hwa, di dalam hal ini sebetulnya ada mengandung suatu
rahasia besar, ai …! Sungguh panjang kalau suhumu
ceritakan, sebab musababnya, boleh dikata semuanya itu
sudah digariskan oleh Tuhan yang Maha Esa, anak! Kau
beristirahatlah dulu, nanti biarlah suhumu menceritakan
kepadamu segala sesuatu yang menyangkut golongan kita.”
BAB 17
Di waktu tengah malam, selagi rembulan memancarkan
sinarnya yang terang benderang, di dalam gubuk di atas
puncak gunung Kiu-hwa, duduk seorang tua dan seorang
muda, mereka itu adalah Kiu-hwa Lojin dan Touw Liong.
Kiu-hwa Lojin sambil meminum teh panas, matanya
memandang bintang-bintang di langit, agaknya terbenam
dalam kenangan-kenangan di masa yang lampau.
Lama sekali, ia mengalihkan pandangan matanya,
ditatapnya Touw Liong, kemudian bertanya,
“Apakah kau masih ingat di dalam rimba persilatan
pernah terjadi suatu peristiwa besar yang merupakan suatu
rahasia, pada seratus tahun berselang, ada seseorang yang
mendaki gunung Siauw-si-hong, orang itu berhasil
membawa kabur kitab yang sudah hampir rusak dari
ranggon menyimpan kitab gereja Siauw-lim-si?”
Dengan tanpa dipikir lagi Touw Liong lalu menjawab:
“Itu adalah kitab Thay-it Cin-keng, yang dibawa kabur
oleh murid-murid golongan Thian-san yang bergelar Ki-sie
Sim Pan …”
Baru berkata sampai di situ, ia buru-buru menutup
mulutnya, ia merasa heran mengapa gurunya menyebut
persoalan yang menyangkut dengan kitab Thay-it Cin-keng
itu?
“Itu adalah kakek cowsumu sendiri!” Berkata Kiu-hwa
Lojin tenang. Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula.
“Kakek couwsumu itu setelah mendapatkan kitab Thayit
Cin-keng lalu mendaki gunung Kiu-hwa,” jari tangannya
menunjuk puncak gunung yang berada di ujung seberang
yang malam itu diliputi oleh kabut malam, lalu berkata lagi.
“Beliau mengasingkan diri di puncak gunung itu untuk
mempelajari ilmu silat yang tertera di dalam kitab tersebut.”
“Suhu, kabarnya kitab itu seluruhnya ada dua belas jilid,
kitab itu memuat segala ilmu kepandaian yang luar biasa,
couwsu di kemudian hari pasti menjadi seorang jagoan
yang all-around dalam rimba persilatan?”
Kiu-hwa Lojin menjawab sambil menggelengkan kepala.
“Tidak. Dengan menggunakan waktu hampir seumur
hidupnya, hanya dapat mempelajari ilmu Thay-it Sin-jiauw
saja, itu adalah ilmu Thian-seng-jiauw dari golongan kita
sekarang ini.”
Touw Liong baru hendak membuka mulut hendak
bertanya, orang tua itu melambaikan tangannya untuk
mencegah, kemudian berkata lagi.
“Aku tahu, kau hendak menanya apa sebabnya Thay-it
Sin-jiauw dirubah menjadi Thian-seng-jiauw? Sebabnya
sangat sederhana sekali, ilmu Thay-it Seng-jiauw adalah
suatu ilmu sangat ampuh yang belum pernah digunakan
dalam rimba persilatan, apabila masih tetap menggunakan
nama ilmu semula, bagi orang-orang rimba persilatan yang
sangat tajam otaknya, siapapun akan dapat menduga bahwa
ilmu itu berasal dari kitab Thay-it Cin-keng, dan hal itu
akan membawa kesulitan tidak sedikit bagi perguruan kita,
maka akhirnya dirubah namanya menjadi Thian-sengjiauw.”
“Dan kemudian, di manakah kitab luar biasa itu?”
“Kemudian ….” Berkata orang tua itu sambil menghela
napas, ”Dua belas jilid kitab itu kemungkinan besar ada
hubungannya dengan Panji Wulung, sehingga
menimbulkan huru-hara besar, juga menimbulkan bencana
bagi rimba persilatan.”
Touw Liong terkejut dan berkata kepada diri sendiri,
”Ada hubungannya dengan Panji Wulung?”
”Setelah sucouwmu meninggalkan dunia, lalu diteruskan
oleh muridnya ialah yang menjadi kakek gurumu sendiri,
kecuali ilmu pedang dari golongan Thian-san, masih
memiliki duabelas jilid kitab luar biasa dan ilmu Thay-it
Sin-jiauw, tetapi beliau masih merasa kurang puas dan
meneruskan usahanya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang
tertera di dalamnya selama sepuluh tahun, tetapi agaknya
tidak berhasil, pada suatu hari, ai .....! Juga lantaran beliau
itu seorang yang terlalu baik hati, oleh karena memikirkan
bahwa kitab-kitab luar biasa itu pada akhirnya toh akan
menjadi benda pusaka bagi rimba persilatan, ada beberapa
pelajaran yang terlalu dalam, seharusnya dipelajari oleh
seseorang yang berotak tajam dan berkepandaian tinggi
hingga baru dapat dimengerti, beliau terus menuju dan
berkunjung ke gunung Bu-tong, untuk mencari ketua Butong-
pay pada saat itu, ialah Giok-cin-cu, kepadanya beliau
mengutarakan maksudnya itu, untuk minta keterangan dari
Giok-cin-cu, ai .... tak disangka bahwa tindakannya itu
telah membawa akibat buruk ....”
”Giok-cin-cu yang sebagai seorang ketua salah satu
partai besar, dan memiliki kepandaian serta kecerdasan otak
luar biasa, waktu itu agaknya sangat terkejut mendengar
usul dari kakek gurumu, ketika kakek gurumu
meninggalkan gunung Bu-tong, Giok-cin-cu lalu
mengumpulkan anak murid untuk merundingkan persoalan
itu, dari situ ia mengetahui bahwa kitab itu berada di
gunung Kiu-hwa. Setelah ia mengumumkan hal itu, lalu
memerintahkan sepuluh anak muridnya, dengan
mengerahkan seluruh kekuatan golongan Bu-tong, pergi
mencari ke gunung Kiu-hwa, maksudnya untuk
mendapatkan kitab Thay-it Cin-keng itu.”
”Kitab Thay-it Cin-keng, sebetulnya adalah kitab pusaka
simpanan milik leluhur golongan Bu-tong, oleh karena
pelajaran itu terlalu dalam, dan golongan Bu-tong tidak
mempunyai seorang murid yang cerdas, maka hanya
diturunkan kepada ketuanya seorang saja, akan tetapi
ketua-ketua golongan Bu-tong meskipun sudah
menggunakan seluruh kepandaian dan seluruh
kepintarannya, juga hanya dapat mengerti satu dua rupa
saja, ini sesungguhnya sangat sayang, maka pada akhirnya
kitab pusaka itu pada segan menggunakannya, sesudah tiba
di tangan ketua generasi ke delapan, kitab itu telah hilang
tanpa bekas.
”Siapakah yang mencuri kitab luar biasa itu? Itu adalah
salah seorang paderi dari golongan gereja Siau-limsi pada
waktu itu. Sayang, paderi itu setelah mencuri kitab pusaka
itu, lalu dibawanya kembali ke gereja Siau-lim-si, meskipun
ia menggunakan waktu hampir seumur hidupnya, ia tidak
berhasil mempelajari ilmu yang tertera di dalam kitab
tersebut, dengan demikian ia menjadi sangat kecewa dan
marah, hingga kitab itu akhirnya disimpan di dalam
rangoon penyimpan kitab gereja tersebut, dan kemudian
telah dicuri oleh cosumu. Akan tetapi kepandaian ilmu silat
yang tertera dalam kitab itu, tiada satupun yang tersiar di
dalam rimba persilatan.”
“Oo … pantas saja golongan Bu-tong mengerahkan
seluruh kekuatannya untuk mencari kitab pusaka itu!”
demikian Touw Liong berkata.
“Diantara sepuluh orang anak murid golongan Bu-tong
itu, ada seseorang yang licik dan banyak akal. Pada suatu
hari, ia berhasil menemukan goa di mana cosumu
menyimpan kitab itu, ia pikir akan mengangkangi sendiri,
timbullah pikirannya yang jahat, diam-diam ia memancing
sembilan saudara seperguruannya ke goa yang lain,
kemudian menggunakan bahan peledak yang lebih dulu
sudah disediakan, sembilan saudara seperguruannya itu
telah binasa oleh akal kejinya. Kemudian, murid dari
golongan Bu-tong itu pergi ke dalam goa, di mana kitab itu
tersimpan, lalu kitab itu dibawanya kabur ….” Orang tua
itu berkata sampai di situ, berulang-ulang menghela nafas.
Touw Liong lalu berkata,
”Murid golongan Bu-tong-pay itu sesungguhnya juga
terlalu kejam.”
”Akan tetapi, Tuhan itu Maha Adil, siapa yang berbuat
salah, tidak akan terlepas dosanya. Murid dari Bu-tong-pay
itu, setelah mendapatkan kitab itu, lalu membawa isteri dan
anaknya serta dua belas jilid Thay-it Cin-keng, tinggal di
tempat yang jauh dari Gunung Bu-tong, di sana ia juga
mempelajari kitab itu sehingga sepuluh tahun lamanya,
akan tetapi akhirnya ia tidak mendapat hasil apa-apa. Dan
pada waktu ia merasa kecewa, tiba-tiba di tempat
persembunyiannya itu kedatangan beberapa orang kuat dari
rimba persilatan, memaksa padanya supaya menyerahkan
kitab tersebut.”
”Siapakah orang-orang kuat dari rimba persilatan itu?
Mengapa mereka berani mendesak kepada murid Bu-tongpay
agar menyerahkan kitab tersebut?” tanya Touw Liong.
”Tokoh-tokoh rimba persilatan itu semuanya merupakan
tokoh-tokoh kenamaan dari daerah Tionggoan pada masa
itu, juga mungkin adalah itu dua belas tokoh rimba
persilatan yang kemudian hari dibinasakan dan diambil
kepalanya oleh Panji Wulung.”
”Aaa....!” bukan kepalang terkejutnya Touw Liong
sehingga menjerit, kemudian bertanya kepada suhunya,
”Suhu, bagaimana selanjutnya tentang kitab itu?”
JILID 7
”Orang jahat mendapat pembalasan jahat, orang baik
mendapat pembalasan dengan baik. Tokoh-tokoh rimba
persilatan itu, setelah berhasil memaksa murid golongan
Bu-tong itu menyerahkan kitabnya, mereka lalu membunuh
seluruh rumah tangganya, hanya seorang oroknya yang
masih kecil yang terhindar dari bencana itu. Anak dari
golongan Bu-tong itu, selanjutnya telah ditolong oleh anak
murid Bu-tong-pay yang pergi mencari kitab tersebut,
sementara tentang kitab itu sendiri, tak lama setelah terjatuh
di tangan tokoh-tokoh rimba persilatan, lalu berjumpa pula
dengan dua tokoh kuat sehingga kitab-kitab tersebut
menjadi rebutan dan terbagi menjadi dua, masing-masing
pihak mendapat enam jilid. Kitab itu dengan demikian
telah terpecah belah. Oleh karena kejadian itu sudah
seratus tahun lamanya, hingga orang tidak tahu, kemana
adanya sekarang? Dan terjatuh ke tangan siapa?”
Touw Liong terbenam dalam lamunannya, sementara
itu, Kiu-hwa Lojin berkata pula,
”Liong-ji, aku sudah bersumpah tidak akan turun
gunung, akan tetapi kitab dari golongan kita yang dibuat
perebutan itu, sudah seharusnya kita mencari kembali. Kau
... aku pikir jikalau aku berhasil menemukan batu giok
Khun-ngo-giok, aku akan membuatkan sebuah pedang,
jikalau pedang itu berhasil kubuat, dengan pedang Khunngo-
giok di tanganmu dan ilmu Thian-seng-jiauw sebagai
bekal tidak susah bagimu mencari dua belas kitab itu.”
Kini mengertilah Touw Liong, apa sebab suhunya suruh
ia mencari batu Khun-ngo-giok, maka ia semakin menaruh
hormat kepada suhunya itu. Kiu-hwa Lojin berkata pula
sambil menggeleng kepala,
”Sekarang aku telah membatalkan maksud itu. Batu
giok itu sudah ada yang punya, bagaimana pun juga batu
itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, kita tidak boleh
merampas hak milik orang lain, apalagi merampas dari
seorang perempuan lemah.”
Pikiran Touw Liong mulai merasa terang, tiba-tiba ia
ingat kepada diri adik seperguruannya, maka bertanya pula
kepada suhunya,
”Persoalan yang menyangkut diri sumoy, bagaimana
suhu hendak bereskan?”
Sang suhu berpikir sejenak, kemudia mengerutkan
alisnya yang panjang, ia tidak segera menjawab pertanyaan
muridnya, sebaliknya ia bertanya,
”Menurut apa yang kutahu, kali ini Panji wulung pernah
menunjukkan berapa kepandaiannya yang istimewa?”
”Pertama, Kim sumoy yang baru berpisah dengan tecu
hanya dua hari saja, sudah bisa menggunakan ilmu Thianseng-
jiauw melukai orang, di sini kita dapat lihat betapa
hebat kepandaian ilmu silat Panji Wulung. Kedua, sewaktu
unjukkan diri di panggung mementil kecapi, kegesitan Kim
sumoy sesungguh sangat mengejutkan, satu bukti betapa
hebat kepandaian meringankan tubuh Panji Wulung. Dan
caranya Panji Wulung membinasakan korbannya di kota
Lam-yang, semuanya hanya menggunakan ilmu Thay-itsin-
jiauw, kecuali itu, tecu tidak melihat ia menunjukkan
lain kepandaiannya yang luar biasa.”
”Aku merasa curiga bahwa dua belas jilid kitab itu
setidak-tidaknya ada sebagian berada di tangannya, oleh
karena itu maka Kim sumoymu kalau berada di
sampingnya, rasanya tidak ada halangan. Mungkin dengan
demikian ia dapat mengusut di mana adanya kitab luar
biasa itu. Satu hal yang menjadi pikiran bagiku, ialah
tentang adanya dua orang yang mengaku diri Panji
Wulung, tidak halangan kau pergi ke gunung Oey-san
seperti apa yang dikatakan oleh Taysu Gila, siapa tahu oleh
karena petunjuknya itu kau nanti menemukan hal-hal yang
di luar dugaanmu, dengan tanpa membuat pedang Khunngo-
giok, kau nanti mungkin dapat menemukan dua belas
kitab yang telah hilang itu.”
”Mengenai soal Taysu Gila yang suruh teecu
membersihkan golongan pengemis, bagaimana menurut
pikiran suhu?”
Orang tua itu tampak berpikir sejenak, kemudian
berkata,
”Kericuhan di dalam golongan pengemis, sesungguhnya
merupakan suatu kejadian yang tidak menguntungkan bagi
rimba persilatan pada dewasa ini, jikalau kau berhasil
membersihkan golongan pengemis, itu juga merupakan
suatu pahala yang tidak kecil, ucapan Taysu Gila bukanlah
keluar dari hati dan pikirannya, ada perkataan yang boleh
didengar tetapi ada juga yang tidak usah kau hiraukan.
Umpama kata, ia suruh kau membereskan golongan
pengemis, kau boleh anggap itu suatu perbuatan untuk
kebaikan golongan pengemis itu sendiri, juga kau boleh
anggap sebagai tugas atau kewajiban sebagai orang rimba
persilatan golongan baik. Dia suruh kau meninggalkan
perguruanmu, bagi ia, sesungguhnya kurang pantas dan
tidak seharusnya ia nyatakan. Maka kau boleh tidak usah
menghiraukan, anggap saja itu sebagai perkataan mainmain.”
Touw Liong menerima baik pesan suhunya, setelah
menanyakan pula beberapa persoalan yang tidak penting,
semula dijawab dengan jelas oleh suhunya.
Pada hari ke dua, Touw Liong minta diri kepada
suhunya, lalu turun gunung dan melakukan perjalanannya
menuju ke gunung Oey-san, untuk mencari tempat
mengasingkan diri Liu Kiam Hiong pada masa yang lalu.
Harapan satu-satunya ialah hendak mencari rahasia Panji
Wulung yang melakukan pembunuhan terhadap dua belas
tokoh kuat rimba persilatan, apa sebab ia melakukan
pembunuhan itu? Dengan cara bagaimana ia melakukan
pembunuhan? Dan apa maksud dan tujuan? Selain
daripada itu, ialah hendak mencari di mana tempat
disimpannya dua belas kitab Thay-it cin-keng.
ooooo
Puncak tertinggi di gunung Oey-san adalah puncak
Thian-tie Hong, sedangkan tempat yang berbahaya di
puncak Thian-tie-hong adalah Ceng-liong-kang.
Hari itu, puncak Thian-tie-hong diliputi oleh kabut tebal,
di bawah sebuah pohon cemara tampak seorang pemuda
yang menyoren pedang, dengan langkah yang sangat gesit
berjalan menuju ke Ceng-liong-kang.
Sambil berjalan, pemuda itu berkata kepada diri sendiri:
”Hampir seluruh pelosok gunung Oey-san ini aku sudah
jelajahi, tetapi tidak menemukan apa-apa. Kabarnya pada
seratus tahun berselang, Liu tayhiap telah menganut agama
Budha, dia mengasingkan diri di puncak gunung Oey-san
untuk mempelajari kitab golongan Budha. Jikalau di
puncaknya yang tertinggi aku masih tidak menemukan
bekas-bekasnya, tampaknya seperti juga dengan si dewa
arak locianpwee, yang tidak ada jodoh dengan Liu
tayhiap.”
Di waktu biasa, jalanan yang terdapat di Ceng-liongkang
ini lebarnya hanya satu kaki lebih sedikit, panjangnya
ada beberapa puluh tombak, jalanan ini sangat berbahaya,
di ujung jalan hanya sebidang tanah yang ada batunya aneh
yang menonjol setombak lebih. Batu itu nampak menonjol
di tengah udara, sehingga merupakan puncak kecil. Oleh
karena jalanan yang berbahaya itu sangat berliku-liku dan
tajam sekali, maka orang yang berjalan di atas bagaikan
melalui jembatan di atas udara. Maka orang-orang yang
mendaki gunung Oey-san jarang yang berani melalui
jalanan yang berbahaya itu. Justeru karena tempatnya yang
berbahaya itu, maka puncak kecil yang terdiri dari batu
aneh itu, jarang didatangi oleh manusia.
Kedatangan Touw Liong hari itu, sesungguhnya tidak
tepat waktunya, oleh karena tempat itu diliputi oleh kabut
sangat tebal. Ketika ia mengeluarkan ucapannya yang
ditujukan kepada diri sendiri tadi, di luar dugaannya dari
seberang sana, di atas puncak gunung yang menonjol itu,
tiba-tiba mendapat sahutan dari suara yang sangat nyaring:
”Jikalau menghendaki ilmu dalam, batang besi harus diasah
menjadi batang jarum. Segala barang di dalam dunia, tidak
ada satu yang didapatkan tanpa bekerja. Kita umpamakan
saja kepada keadaan kita, ada jodoh, sayang, di antara kita
berdua terpisah jurang yang dalam, kita telah dipisahkan
oleh Ceng-liong-kang.”
Touw Liong terkejut, juga dengan suara nyaring ia
bertanya:
”Bolehkah boanpwee ingin tahu nama cianpwee yang
mulia?”
Suara nyaring itu kembali berkata:
”Kalau baru dengar namanya saja tidak apa-apa, hanya
lebih baik kita bertemu muka dulu, nanti akan kuceritakan!”
Ceng-liong-kang telah diliputi oleh kabut tebal, hingga
puncak gunung yang mencil sendirian itu seperti juga suatu
gunung yang mengambang di atas awan.
Touw Liong menengadah memandang gunung di atas
awan itu, lalu menarik napas. Sementara terdengar pula
suara nyaring dari seberang sana.
”Sayang kita tidak dapat melihat satu sama lain, kabut
dan awan sejauh sepuluh tombak telah memisahkan kita
berdua, sebetulnya dekat sekali, tetapi kini telah dipisahkan
oleh Ceng-liong-kang.”
Touw Liong memandang kabut yang mengambang di
angkasa, pikirannya bergolak, hingga tidak menjawab
pertanyaan suara itu.
Suara itu kembali memperdengarkan ejekannya lagi:
”Inilah yang dinamakan jodoh, kita terpisah hanya
sepuluh tombak, tapi berarti memisahkan seorang pendekar
kenamaan di luar jodoh ....”
Touw Liong yang masih berdarah panas, ketika
mendengar ejekan itu, alisnya lalu berdiri kemudian
menjawab dengan suara nyaring.
”Harap cianpwee tunggu sebentar, boanpwee hendak
kesana untuk minta sedikit keterangan.”
Sehabis berkata, ia lalu mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya, ilmunya yang didapatkan dari Taisu gila,
telah dikerahkan ke kedua tangannya, dan dua tangan itu ia
sodorkan, lalu mengeluarkan hembusan angin hebat.
Hembusan angin itu telah menembus kabut tebal
sehingga merupakan pancaran dan penerangan bagi
pandangan matanya setapak demi setapak ia menyusuri
jalanan yang diliputi oleh kabut tebal, menuju ke puncak
seberang.
Jikalau ia salah meraba, atau kakinya menginjak tempat
kosong dan terjatuh ke jurang dalam, habislah riwayatnya.
Dengan sangat hati-hati Touw Liong meraba-raba
jalanan yang berbahaya ketika ia mencapai ke tempat yang
dituju, oleh karena menggunakan tenaga terlalu banyak,
hingga wajahnya pucat pasi, badannya sudah basah oleh
keringat, tetapi bagaimanapun juga ia sudah berhasil
mencapai tujuannya.
Ia berdiri di depan sebuah batu aneh, dengan lengan
bajunya ia memesut keringat yang membasahi dahinya,
setelah itu ia menarik napas panjang. Di belakang sebuah
batu besar yang bentuknya aneh itu, dengan tiba-tiba
muncul seorang tua yang mukanya merah dan rambutnya
putih seluruhnya.
Ditilik dari alisnya orang tua itu yang putih dan panjang,
usia orang tua itu diantara tujuh puluh tahun atau delapan
puluh tahun, Touw Lioang menyaksikan orang tua itu yang
nampaknya berwibawa, hingga ia tahu bahwa orang tua itu
pastilah seorang tokoh luar biasa yang mengasingkan diri,
maka ia buru-buru memberi hormat.
Orang tua itu mengurut-urut jenggotnya yang panjang
dan berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
”Jangan rendahkan diri, Touw tayhiap, kita sebetulnya
adalah kenalan lama! Bagaimana kau memakai segala
aturan seperti ini?”
”Kenalan lama ....?” berkata Touw Liong sambil
mengawasi orang tua itu dengan perasaan terheran-heran,
kemudian dalam hatinya berpikir: ”Kapan kita ini pernah
bertemu pada sebelumnya?”
Orang tua itu melambaikan tangan padanya dan berkata:
”Di belakang batu ini ada sebuah kupel kecil, mari kita
duduk di kupel itu dulu, barulah kita nanti bicara lagi!”
Ucapan orang tua itu semakin lama semakin aneh.
Touw Liong mengikuti orang tua itu memutari batu
besar aneh, seolah-olah bertemu dengan kawan lama, orang
tua itu berkata terus sambil berjalan:
”Ingatlah kau pertemuan kita yang pertama di kota Lamyang,
malam itu kau telah mengadakan penyelidikan di
tempatnya sancu muda gunung Cit-phoa-san, Pek Giok
Hwa, waktu itu aku kuatir kau akan mendapat kesulitan,
maka aku menotok jalan darah tidurmu, panji hitam yang
berada di dalam sakumu, kuambil dan kulemparkan kepada
mereka sehingga mereka ketakutan dan dengan demikian
tidak bertindak terhadapmu ....”
”Oh, jadi locianpweekah yang menolong diri boanpwee
waktu itu?” berkata Touw Liong terkejut.
Dengan acuh tak acuh orang tua itu berjalan menuju ke
sebuah kupel kuno, setelah itu ia duduk di atas bangku, dan
berkata lagi dengan seenaknya.
”Beberapa budak perempuan itu sesungguhnya juga agak
congkak, ada baiknya juga diberi peringatan sedikit kepada
mereka. Dan pertemuan kedua antara kita, ialah ketika kau
diikat di atas sebuah pohon besar, malam itu sangat
kebetulan, aku juga berada di dekat kelenteng Kui-kok-si,
dan melihat Cui Hui sedang mengejar Kim Yan,
tergeraklah pikiranku, dengan menggunakan akal agak
licin, aku sembunyi di tempat gelap, dengan akalku itu, aku
telah berhasil membingungkan Cui Hui, hingga Kim Yan
terlepas dari kejarannya, dan kau juga mendapatkan obat
pemunahnya.”
Touw Liong lalu berlutut di hadapan orang tua itu,
dengan lakunya yang sangat hormat ia menjura sampai
empat kali seraya berkata.
”Budi locianpwee bagai lautan, maka terimalah hormat
boanpwee yang rendah ini.”
Orang tua itu juga tidak menolak, ia menerima baik
ucapan Touw Liong. Setelah itu ia lalu membimbingnya
bangun dan bertanya.
”Kenalkah kau dengan aku ini?”
”Boanpwee adalah seorang bodoh, hingga tidak tahu
locianpwee ini sebetulnya siapa?” menjawab Touw Liong
sambil menggelengkan kepala.
”Apakah kau belum pernah dengar suhumu
menyebutkan di gunung Oey-san ada namaku si orang tua
ini?”
Tiba-tiba Touw Liong ingat, siapa adanya orang tua itu,
ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan menjawab dengan
sikap sangat hormat:
”Boanpwee tidak tahu, kalau sin-lo yang datang kemari
....”
Orang tua itu melambaikan tangannya mencegah Touw
Liong melanjurkan perkataannya.
”Sudah, sudah! Kau kembali berlaku seperti anak kecil,
kau sesungguhnya terlalu banyak menggunakan peradatan,
anak! Orang banyak sangat suka menyebut aku sebagai
Anak Sakti dari Gunung Oey-san, kau telah menempel
emas di mukaku, memanggil aku Sinlo! Baiklah! Kita
sekarang bicarakan soal yang perlu saja, sebelum kau
mengajukan pertanyaan kepadaku, beritahukan dulu
padaku, apakah suhumu ada baik?”
”Terima kasih atas perhatian locianpwee, suhu baik-baik
saja!”
”Waktuku tidak banyak, kita bertemu disini, juga
terhitung jodoh, kau ada kesulitan apa, kau boleh tanyakan
satu persatu, asal aku tahu aku akan beritahukan kepadamu
dengan terus terang.”
Touw Liong mengucapkan terima kasih lagi kepada
orang tua itu, kemudian menanyakan satu persatu
urusannya kepada orang tua itu.
”Sewaktu locianpwee berada di kota Keng-siang telah
menerima sebuah panji warna hitam yang ternyata adalah
Panji wulung, siapakah sebetulnya yang meletakkan panji
itu di atas meja di dalam kamar boanpwee?”
”Itu adalah perbuatan dewa arak si Taysu Gila.”
Touw Liong menggoyang-goyangkan kepala, ia tidak
mengerti apa sebab Taysu gila itu meletakkan Panji Wulung
untuk menakuti dirinya. Satu-satunya alasan ialah, kecuali
ia hendak menguji keberaniannya, tentunya Taysu Gila itu,
yang biasa berbuat gila-gilaan, sengaja berbuat demikian
untuk mempermainkan dirinya! Kembali ia menanyakan
soal yang kedua.
”Kotak yang oleh Lie Hui Pek diberikan kepada
boanpwee supaya diberikan kepada Lie Hui Hong, kepala
orang siapakah yang ada di dalam kotak itu?”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san itu mengerutkan alisnya,
kemudian berkata sambil mengurut jenggotnya:
”Tentang ini ....”
Ia berpikir sejenak, kemudian berkata pula:
”Sesungguhnya batok kepada orang itu benar adalah
batok kepala Lie Hui Pek sendiri, sedangkan orang yang
memberikan kotak kepadamu itu, adalah Lie Hui Pek
tiruan.”
”Dengan cara bagaimana ada orang dapat menyaru
demikian sempurna? Boanpwee pernah berada bersamasama
sekian lama dengan Lie HUi Pek, tindak tanduk dan
omongan orang itu mirip benar, bahkan boleh dikata sama
benar dengan Lie Hui Pek,” berkata Touw Liong terkejut.
”Ini tidak mengherankan, di dalam kitab Thay-it Cinkeng,
ada sejilid yang menguraikan tentang ilmu menyaru.
Ilmu itu sedemikian sempurnanya, jikalau orang
mempelajarinya dengan baik dan berhasil mempelajarinya,
ia dapat menyaru menjadi siapa saja yang ia inginkan,
bukan saja bentuk dan wajahnya mirip dengan orang itu,
ucapannya dan segala tingkah lakunya juga mirip dengan
orang yang ditiru.
Touw Liong terkejut, lalu menarik napas panjang, ia
terbenam dalam lamunannya sendiri. Hatinya tertarik oleh
kitab Thay-it Cin-keng, hingga bertanya-tanya kepada diri
sendiri: ”Apakah ada orang yang mendapatkan kitab ilmu
menyaru itu?” Selagi masih berpikir, Anak Sakti dari
Gunung Bu-san itu balas menanya kepadanya:
”Coba kau pikir lagi, di antara orang-orang yang dahulu
pernah berhubungan denganmu, siapakah yang menanam
permusuhan besar yang tidak dapat didamaikan dengan
kau?”
Touw Liong berpikir lama sekali, kemudian berkata
sambil menggeleng-gelengkan kepala:
”Di dalam segala urusan boanpwee selalu menanyakan
pikiran suhu, di dalam segala hal boanpwee selalu berlaku
toleran kepada orang yang boanpwee hadapi, baik kawan
maupun lawan, kecuali orang itu terlalu jahat dan tidak
dapat diampuni kejahatannya ....”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san menepuk tangan dan
memotong ucapan Touw Liong:
”Itulah ada satu orang yang kejahatannya tidak dapat
diampuni dan dia itu mempunyai permusuhan sangat
dalam dengan Lie Hui Pek.”
Dengan nada agak curiga, Touw Liong bertanya:
”Apakah locianpwee maksudkan Burung Hantu dari
Gunung Thian-hok-san, Ko Hong?”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata:
”Tidak mungkin! Waktu itu Ko Hong telah boanpwee
pukul jatuh dan terjerumus ke dalam lautan api, hal itu
telah boanpwee saksikan dengan mata kepala sendiri....”
Orang itu itu mengangkat tangannya mencegah Touw
Liong melanjutkan kata-katanya, kemudian berkata:
”Dalam segala urusan kau jangan gampang-gampang
memberi keputusan, di dalam dunia ini banyak yang 'tidak
mungkin', tetapi kadang-kadang berbalik menjadi
'mungkin'. Sekarang coba kau pikir lagi, api itu datangnya
sangat aneh, dan setelah terjadinya kebakaran itu, juga tidak
menemukan bangkainya Ko Hong, dari sini kita dapat
memastikan, bagaimana seseorang yang sudah terbakar
sedikitpun tidak terdapat bangkai atau tulangnya?”
”Oo ....!” berseru Touw Liong, dan orang tua itu berkata
pula:
”Coba kau pikir dengan masak-masak, Lie Hui Pek yang
tidak membinasakan Ko Hong dengan tangan sendiri,
mengapa kebencian KoHong terhadapnya demikian hebat?
Tahukah kau, dimana sebabnya?”
Touw Liong berpikir lama sekali, barulah menjawab
pelahan-lahan:
”Boanpwee masih ingat, malam itu, angin meniup
kencang, Lie Hui Pek bersama dua sahabatnya bertempur
sengit melawan Ko Hong, tetapi tidak berhasil
menjatuhkannya, sedang boanpwee telah dikeroyok oleh
tiga kawannya Ko Hong. Malam itu di pihak kita orangnya
tidak banyak, maka boanpwee khawatir apabila
pertempuran itu berlangsung lama, mungkin menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginkan, maka boanpwee terpaksa
menggunakan tangan kejam memaksa mundur tiga
kawannya Ko Hong, kemudian membantu dan
menggantikan Lie Hui Pek melawan Ko Hong. Dan
mereka bertiga lalu melawan tiga kawannya Ko Hong.
Setelah bertempur agak lama, mungkin tiga kawannya Ko
Hong itu tidak mampu menandingi Lie Hui Pek bertiga
hingga pada kabur. Waktu boanpwee menengok kepada
mereka, Lie Hui Pek juga sudah kehilangan jejaknya, waktu
itu boanpwee masih khawatirkan ia mendapat bahaya, di
luar dugaan, perkampungan Ko-ke-chung telah terbit
kebakaran, sehingga dalam waktu yang sangat singkat
perkampungan itu menjadi lautan api.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata:
”Ada sedikit tanda-tandanya, coba kau teruskan
keteranganmu!”
”Kemudian Lie Hui Pek unjukkan diri lagi, ia tertawa
kepada Ko Hong dan menggapaikan tangannya kepada dua
kawannya, tiga orang itu lompat turun ke pekarangan,
selanjutnya lantas timbul suara jeritan yang mengerikan
sehingga berulang-ulang ....”
”Hmmm ....!!!” Demikian orang itu itu memotong dan
berkata:
”Sudah tidak jauh dari persoalan yang sebenarnya! Lie
Hui Pek telah melakukan pembunuhan besar-besaran!”
Touw Liong lalu melanjutkan keterangannya:
”Ko Hong waktu itu tampak sangat marah, sambil
menggertak gigi ia pernah berkata: 'kelak, apabila kau orang
she Lie jatuh ke tanganku, akan bakar kau sampai menjadi
abu .... ' Sehabis mengucapkan perkataannya itu, ia lalu
menggunakan gerak tipu luar biasa, goloknya menangkis
pedang boanpwee, kemudian terjun dari atas loteng!”
Ia menarik napas panjang, kemudian berkata pula:
”Oleh karena Ko Hong itu terlalu kejam dan jahat,
boanpwee takut ia akan kabur. Kalau ia sampai kabur,
entah berapa banyak orang rimba persilatan nanti yang
akan binasa di tangannya, maka boanpwee terus
mengejarnya. Entah oleh karena ia sudah bingung, atau
entah kejahatannya sudah melewati takarannya, hingga ia
lari terus menuju ke dalam lautan api, setelah ia mencebur
di lautan api, rumah-rumah di sekitarnya telah roboh,
sehingga dengan demikian Ko Hong terkubur di dalam
lautan api.”
Orang tua itu mendadak berkata sambil mengetukkan
kakinya:
”Apa aku kata, dengar! Oleh karena usiamu masih
terlalu muda, sehingga kau tertipu oleh akal muslihat Ko
Hong! Ko Hong telah melarikan diri dengan meminjam
tempat yang menjadi lautan api itu, mungkin ia terluka,
tetapi aku dapat memastikan bahwa waktu itu ia tidak
mati!”
Terkejut Touw Liong mendengar perkataan itu,
sementara itu orang tua itu berkata pula sambil menghela
napas:
”Yah, masih untung besar! Jikalau kau terus
mengejarnya, dan ia lari lebih cepat beberapa langkah, hari
ini ..... Hmmm! Keadaan waktu itu barangkali akan
berubah, orang yang luka terbakar adalah kau, sedangkan
Ko Hong sendiri dapat meloloskan diri tanpa dapat luka,
dan Lie Hui Pek sendiri mungkin akan binasa pada waktu
itu juga.”
Di kalangan kang-ouw sudah tersiar luas bahwa Ko
Hong telah boanpwee desak sehingga mati kebakar, kalau
begitu kata itu tidak benar?” berkata Touw Liong sambil
menggelengkan kepala.
”Tidak peduli bagaimana caranya Ko Hong menyiarkan
kematiannya tetapi, sebenarnya waktu ia belum mati.
Sekarang aku tanya padamu, bagaimana selanjutnya
peristiwa itu?”
”Memang benar seperti apa yang locianpwee katakan,
Lie Hui Pek waktu itu melakukan pembunuhan besarbesaran,
ia telah membunuh habis seluruh rumah tangga
Ko Hong yang berjumlah tujuh puluh dua jiwa, boanpwee
tidak setuju dengan perbuatannya itu, maka setelah
mengubur semua jenasah orang-orangnya Ko Hong, lantas
berpisah dengannya, karena boanpwee anggap ia terlalu
kejam.”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san pelahan-lahan bangkit
dari tempat duduknya seraya berkata:
”Benar! Lie Hui Pek telah dibunuh mati oleh Ko Hong!
Ko Hong sudah hidup kembali! Mungkin sekarang oleh
karena luka-luka terbakar di mukanya, maka sekarang ia
perlu menyaru, dengan samaran yang baru itu ia muncul
lagi di dunia Kang-ouw, mungkin ia akan menuntut balas
terhadap orang-orang yang dahulu bersikap bermusuhan
dengannya, dan lagi .... ia pasti hendak membinasakan
kalian semua, satu persatu, maka kau seharusnya berlaku
hati-hati.”
”Menurut locianpwee, bagaimana seharusnya boanpwee
bertindak ...??”
”Menolong orang dalam kesusahan adalah suatu
perbuatan mulia yang harus dilakukan oleh orang-orang
yang mengaku dirinya sebagai pendekar, hiantit seharusnya
lekas pergi ke perkampungan Hui-hong-chung, untuk
melihat keadaan Lie Hui Hong, jangan sampai keburu
disergap oleh Ko Hong. Ai ... !! Ingatlah tujuh puluh dua
jiwa! Jikalau orang mengambil tindakan membalas dendam
sakit hati, apakah kau tidak lekas-lekas mengambil tindakan
untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya kau juga harus
berusaha untuk memberi kabar kepada Lie Hui Hong!!”
”Tetapi di tempat ini boanpwee masih ada sedikit urusan
yang masih belum diselesaikan....”
”Segala hal semua tergantung dengan jodoh, jikalau kau
ada jodoh dengan Liu tayhiap, cepat atau lambat kau akan
menemukan barang-barangnya, tetapi di depan matamu ada
tujuh puluh dua jiwa yang menantikan pertolonganmu ....”
Ucapan tujuh puluh dua jiwa itu, bagaikan tujuh puluh
dua bilah pedang tajam menusuk ulu hati Touw Liong,
hingga Touw Liong alisnya berdiri dan memberi hormat
kepada Anak Sakti dari Gunung Bu-san seraya berkata:
”Boanpwee menurut!”
”Sebaiknya kau lekas bertindak.”
Ketika Touw Liong memutar tubuhnya untuk melihat di
belakangnya kabut tebal itu sudah turun, di atas puncak
Ceng-liong-kang tampak jalanannya yang sempit dan
berliku-liku, ia lalu cepat melalui jalan itu turun menuju ke
puncak Thian-ti-hong.
Ia tahu bahwa ucapan Anak Sakti dari Gunung Bu-san
tadi bukanlah suatu perkataan yang sengaja dibuat-buat dan
menakuti dirinya, bahaya yang mengancam perkampungan
Hui-liong-chung memang sebetulnya merupakan suatu hal
yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dengan tergesa-gesa ia berjalan turun gunung, ketika ia
tiba di suatu tikungan, seorang tua yang rambut dan
jenggotnya sudah putih semua, dengan tangan membawa
tongkat berkepala naga, berdiri dengan tenang di bawah
sebuah pohon cemara.
Touw Liong terkejut ketika tampak munculnya orang tua
itu secara tiba-tiba, ia lambatkan langkah kakinya, matanya
menatap jalanan gunung yang terhalang, kemudian berkata
kepada dirinya sendiri: ”Apakah itu bukan Sim Tong
locianpwee? Dimaksudkan Anak Sakti dari Gunung Busan?
Bagaimana bertindak demikian cepat, dan tahu-tahu
kini sudah berada di depanku?”
Itu adalah suatu kejadian luar biasa, betapapun cepatnya
Anak Sakti dari Gunung Bu-san tidak mungkin dalam
sekejap mata sudah berada di hadapannya dan berdiri
dengan tenang.
Touw Liong merasa sangat aneh, diam-diam ia bertanya
kepada diri sendiri, apakah Anak Sakti dari Gunung Bu-san
itu sudah menjadi dewa sehingga dapat mengganti rupa?
Tetapi kemudian ia anggap bahwa pikiran ini tidak
benar, dalam dunia ini tidak seorangpun yang bisa menjadi
dewa, maka ia lalu mempercepat jalannya dan lompat
menuju di mana orang tua itu berdiri.
Orang tua itu agaknya merasa ada orang yang lari
menuju ke arahnya, lalu membuka matanya, setelah
melihat Touw Liong lalu tersenyum lemah, sambil
mengurut-urut jenggotnya yang panjang, ia bertanya kepada
Touw Liong:
”Touw tayhiap, ada urusan apa kau berlaku demkian
tergesa-gesa?”
Touw Liong tercengang, ia sampai lupa memberi
hormat, berkata dengan suara terkejut:
”Bukankah locianpwee suruh boanpwee pergi ke
perkampungan Hui-liong-chung?”
Kali ini, tibalah gilirannya orang tua itu terkejut, maka
bertanya padanya:
”Aku suruh kau ke perkampungan Liong-ceng ....? Ada
urusan apa aku suruh kau ke sana?”
Touw Liong kembali tercengang, ia dibingungkan oleh
ucapan orang tua itu. Dengan perasaan tidak senang ia
berkata kepada diri sendiri: ”Ada orang kata bahwa orang
yang sudah terlalu tua suka menjadi pikun, terang ia tadi
suruh aku ... bagaimana baru sekejap mata saja sudah
mungkir sendiri?”
Touw Liong sudah melihat dengan tegas bahwa orang
tua itu sebetulnya Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tadi
ditemui di puncak Ceng-liong-kang, orang tadi kata-katanya
demikian sungguh-sungguh, tetapi saat ini ia telah mungkir
semua perkataannya, sudah tentu Touw Liong merasa tidak
senang.
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Lucu sekali! Touw tayhiap, meskipun aku pernah
bertemu denganmu beberapa kali, tapi antara kita barulah
pertama kali ini melakukan pembicaraan, bagaimana kau
kata aku pernah suruh kau ke perkampungan Hui-liongchung?”
Mata Touw Liong menatap wajah orang tua itu,
kemudian berkata.
”Apakah locianpwee dari Gunung Bu-san juga ada orang
yang menyamar?”
Orang tua itu terkejut dan bertanya.
”Apa katamu?!”
Touw Liong tercengang, dalam keadaan demikian,
pikirannya kalut lagi. Ada dua Anak Sakti dari Gunung
Bu-san, mereka berdua rupanya serupa, tidak tahu mana
yang asli dan mana yang palsu. Yang asli sudah tentu Anak
Sakti dari Gunung Bu-san sendiri, sedang yang palsu,
siapakah dia? Apakah Ko Hong yang menyamar?
Berpikir tentang Ko Hong, hatinya agak bergidik, kalau
benar Ko Hong belum mati, dan ia benar-benar mengambil
sikap dan tindakan pembalasan terhadap Lie Hui Pek,
memang luas akibatnya. Saat itu ia sebetulnya tidak berani
memastikan siapakah di antara dua orang itu mana satu
yang tulen. Ketika ditanya oleh orang itu, ia terpaksa
melayani sedapat-dapatnya, sambil menunjuk puncak
gunung, ia berkata:
”Di atas puncak itu juga ada seorang tua, yang mengaku
diri sebagai kau, locianpwee, muka dan sikapnya kalian
berdua mirip satu sama lain, sehingga tak dapat dibedakan,
mana yang satu adalah ....”
Orang tua itu mengetukkan tongkatnya di atas batu,
sehingga timbul percikan api, dan berkata dengan nada
suara dingin.
”Bocah, kau demikian kurang ajar, apakah di dalam
matamu masih ada aku si orang tua? Di kemudian hari,
aku hendak menanyakan sendiri kepada suhumu.”
Touw Liong menjadi gugup, katanya dengan suara
gemetaran.
”Ketahuilah cianpwee, bukanlah boanpwee sengaja
menimbulkan ....”
Dengan sinar mata tajam orang tua itu berkata dengan
suara bengis.
”Jalan! Bocah! Mari kita naik ke atas untuk mencari
keterangan keadaan yang sebenarnya, lalu aku nanti akan
membuat perhitungan denganmu.”
Orang tua itu meskipun usianya sudah lanjut, namun
gerakannya sangat gesit sekali, dengan cepat ia sudah
berlari naik ke puncak gunung.
Touw Liong tidak berani berlaku ayal, ia mengikuti di
belakangnya.
Di atas puncak Ceng-liong-kang, keadaannya masih
tetap seperti biasa, sedang batu besar yang berbentuk aneh
yang berada di seberang sana masih tetap berada di tengahtengah
awan, namun kini satu bayangan manusiapun tidak
ada. Touw Liong berdiri di atas sebuah batu, dan berkata
kepada orang tua sambil menunjuk puncak gunung di
seberangnya:
”Tadi, sewaktu kabut awan sedang tebal, orang tua itu
berada di seberang sana.”
”Apakah ia suruh kau kesana?” tanya orang tua itu.
Touw Liong menganggukkan kepala dan menyahut
dengan sikap menghormat.
Orang tua itu melihat di puncak gunung Ceng-liong-kang
masih ada tanda-tanda basah oleh air embun, maka lalu
mengerutkan alisnya dan bertanya:
”Apa tadi ada halimun juga menutupi batu-batu di atas
tempat ini?”
Touw Liong kembali menganggukkan kepala.
”Dengan cara bagaimana kau menyeberang ke sana?”
Touw Liong menceritakan apa yang telah terjadi dengan
terus terang. Orang tua itu berkata sambil menghela napas:
”Bocah, kau bodoh sekali! Kau tidak terpeleset jatuh ke
dalam jurang benar-benar suatu kejadian yang sangat ajaib,
orang itu sesungguhnya terlalu pintar memancing kau.”
Touw Liong tidak mengerti ucapan orang tua itu, maka
memandangnya dengan sikap diam. Orang tua itu berkata
pula sambil menunjuk puncak Ceng-liong-kang:
”Tidak tambah pengalaman, tidak akan tambah
kepintaran. Bocah, tahukah kau bahwa kau sekarang ini
berarti sudah dua kali menjadi manusia?”
Touw Liong cuma bisa menyahut ya, maka ia
memandang tanah dan batu-batu di atas puncak Cengliong-
kang sambil menarik napas dalam-dalam.
Orang tua itu berkata pula dengan tenang:
”Di waktu biasa, orang berkepandaian seperti yang kau
miliki sekarang ini, tempat ini tidak akan menyulitkan kau
berjalan di atasnya, sama juga berjalan di tanah datar, akan
tetapi oleh karena sangat berbahaya dan licin sekali, jikalau
tertutup oleh awan atau kabut, jalan yang panjangnya
sepuluh tombak dan apabila kakimu terpeleset dan jatuh ke
dalam jurang, kau pasti akan hancur lebur, setidak-tidaknya
tulang-tulangmu akan patah, sesungguhnya sangat
berbahaya!”
Touw Liong mengeluarkan keringat dingin, ia adalah
seorang pintar. Dari sikap orang tua itu yang sangat
memperhatikan keselamatannya, kini ia dapat memastikan
bahwa orang tua yang di hadapannya itu ialah Anak Sakti
dari Gunung Bu-san yang asli, maka ia buru-buru berlutut
dan menjura di hadapannya.
Ketika ia mengingat bagaimana ia dipermainkan oleh
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu, wajahnya
menunjukkan sikap marah.
Orang tua itu berkata pula:
”Orang tua itu benar-benar mengharapkan supaya kau
terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang, kemudian ketika ia
melihatmu berhasil melalui jalanan yang berbahaya itu,
mungkin ia hendak menantikan kesempatan selagi kau
melangkah segera melancarkan serangan dengan tiba-tiba,
supaya kau tidak keburu menolong diri sendiri, tetapi
kemudian ternyata ia berpikir lain, ia tidak turun tangan,
entah apa yang terkandung dalam maksudnya?”
”Boanpwee percaya, ia tidak akan dapat lolos, mungkin
ia masih berada di antara tempat-tempat berbahaya di
gunung ini.”
”Tempat yang sangat luas dan sangat berbahaya ini,
kalau kita cari tidak mudah, tetapi kita juga tidak boleh
membiarkan ia seenaknya saja! Baiklah! Mari kita coba
mengadakan penyelidikan!”
Dua orang itu lalu lompat melewati puncak Ceng-liongkang,
mereka telah berjanji menggunakan tanda rahasia
sebagai tanda perhubungan. Touw Liong berjalan menuju
ke kiri, orang tua itu menuju ke kanan, dengan demikian
mereka telah mengadakan penyelidikan dengan jalan
mengapit. Mereka mencari-cari di antara gerombolan
pohon dan batu-batu, Touw Liong yang berjalan menuju ke
kiri, lompat di atas sebuah batu tinggi, di sana ia
memandang jauh keadaan di sekitarnya, tepat pada saat itu,
orang tua yang mengadakan penyelidikan dari sebelah
kanan juga lompat ke atas batu, orang tua itu mengangkat
tangan kanannya melambai-lambai untuk memberi tanda
kepada Touw Liong.
Dua orang itu kembali melompat ke atas batu-batu besar
yang terdapat di tempat itu, melanjutkan penyelidikannya.
Akhirnya dua orang yang mencari dari lain jurusan itu
telah bertemu muka pula. Mereka saling memberi tanda
dengan tangan, lalu menggeleng-gelengkan kepala, sebagai
tanda bahwa penyelidikan mereka tidak berhasil, kemudian
mereka melanjutkan penyelidikannya lagi ke lain jurusan.
Tetapi, akhirnya mereka tidak berhasil juga. Orang tua
itu lebih dulu tiba di tempat penghubung dan duduk di atas
batu besar menantikan kedatangan Touw Liong, setelah
Touw Liong tiba di tempat tersebut orang tua itu berkata
sambil menarik napas.
”Sungguh aneh! Betapapun gesitnya orang itu tidak
sampai lolos dari mataku, lagi pula puncak Thian-ti-hong
ini tempatnya sangat strategis dan sangat berbahaya, di situ
hanya terdapat sebuah jalan, jikalau ia tidak lari dari sini,
mungkin masih tidak apa. Tetapi kalau ia hendak lari,
sudah tentu akan melalui jalanan Ceng-liong-kang yang
menuju ke bawah.”
Selagi bicara, di antara batu-batu yang terdapat di situ
terdengar suara orang bernapas, kemudian di belakang
gerombolan batu tampak berkelebatnya bayangan putih,
seorang tua yang berambut dan berjenggot putih telah
berjalan menghampiri, lebih dulu memberi tanda kepada
Touw Liong seraya berkata:
”Bocah, kau dapat menemukan atau belum?”
”Ou!” Touw Liong berseru kaget dan membuka matanya
lebar-lebar, ia memandang orang tua itu sejenak, kemudian
memandang kepada orang tua yang duduk di atas batu
menunggu padanya.
Dua orang tua itu dandanannya sama, sikapnya juga
mirip satu sama lain, begitupun kata-kata dan suara mereka,
sungguh susah dibedakan mana yang asli dan mana yang
palsu.
Orang tua yang duduk di atas batu tampak menggerakgerakkan
alisnya yang panjang, lalu menggerakkan
tongkatnya, kedua tangannya menginjak tanah, tongkatnya
lalu diangkat tinggi menyerang orang tua yang baru muncul
itu.
Orang tua yang baru muncul tadi, dengan cepat
mengelakkan serangan tongkat lawannya kemudian
mengibaskan tongkat di tangannya dan balas menyerang
seraya membentak.
”Anak busuk! Kau masih belum maju, perlu ada duduk
di situ?”
Oleh karena dua orang tua itu sama rupa sama
dandanannya dan sama pula suaranya, siapa yang asli dan
siapa yang palsu, tidak dapat dibedakan, bagaimana Touw
Liong dapat turun tangan untuk membantu?
Touw Liong merasa sangat cemas, hingga ia berdiri
bingung di situ, diam-diam dua orang tua itu sudah saling
berhantam dengan menggunakan senjata tongkat yang
sama bentuknya.
Touw Liong menyaksikan dengan seksama dua orang itu
bukan saja sama dandanannya, yang menherankan baginya
ialah kepandaian ilmu silat dan gerak tipu mereka juga
menandakan dari satu golongan, mereka sama-sama
menggunakan gerak tipu ilmu tongkat dari golongan Bu-san
yang terdiri dari delapan belas jurus, dan pertempuran itu
dilakukan dengan demikian sengit, sehingga tidak diketahui
mana yang lebih tinggi kepandaiannya.
Touw Liong dalam keadaan cemas, dalam hatinya
berpikir: ”Celaka, kali ini sulit dibedakan mana yang asli
dan mana yang palsu, seandainya yang palsu itu menang,
apakah tidak akan menimbulkan buah tertawaan bagi rimba
persilatan?”
Dalam keadaan demikian, Touw Liong benar kehilangan
akal, sementara itu dua orang tua itu bertempur semakin
sengit.
Lama sekali, Touw Liong tiba-tiba berseru dengan suara
nyaring:
Berbareng dengan itu, orangnya juga melesat tinggi
menyerbu kepada dua orang yang sedang bertempur.
Sebelum orangnya tiba, serangannya sudah keluar lebih
dulu, ujung pedangnya menyontek dua tongkat yang sedang
beradu.
Dua orang tua itu sama-sama terkejut, dengan mata
membelalak memandang Touw Liong.
Satu diantaranya membentak padanya dengan suara
keras.
”Kau anak busuk ini benar-benar kurang ajar, kau tidak
mau membantu aku malah sebaliknya merintangi aku, apa
maksudmu?”
Orang tua yang satu juga membentak dengan suara yang
tidak kalah nyaring:
”Anak busuk! Apa kau sudah berkhianat? Mengapa kau
membantu orang luar?”
Touw Liong menjura kepada dua orang tua itu seraya
berkata:
”Kalian berdua, di antara satu ada yang asli dan yang
palsu, maka aku harus membantu siapa? Sebelum aku
dapat memastikan siapa yang tulen di antara kalian berdua,
aku tidak akan membantu pihak yang mana, juga tidak
akan menyinggung perasaan kepada siapapun juga.”
Dua orang tua itu kembali memaki-maki, yang ditujukan
kepada Touw Liong, satu di antaranya bertanya dengan
suara marah:
”Anak busuk! Kau tidak memiliki kepandaian untuk
membedakan siapa yang tulen dan siapa yang palsu, apakah
kau lantas berdiri sebagai penonton?”
”Sudah tentu aku akan mencari mana yang tulen dan
mana yang palsu di antara kalian!” menjawab Touw Liong
dengan perasaan yang agak mendongkol.
Kedua orang tua itu berkata dengan berbareng:
”Dengan cara bagaimana kau hendak membedakan?”
”Sewaktu boanpwee belum turun dari gunung Kiu-hwa,
suhu pernah berkata bahwa ilmu silat Bu-san sudah
mencapai ke taraf yang tidak ada taranya, kepandaian ilmu
yang kini boanpwee miliki masih terpaut jauh sekali, akan
tetapi suhu pernah berkata, apabila boanpwee
menggunakan seluruh kekuatan tenaga untuk melawannya,
meskipun tidak dapat bertahan terlalu lama, akan tetapi
masih sanggup melawan setengah jam atau satu jam, maka
aku hendak menguji kekuatan tenaga dalam kalian dulu,
barulah aku dapat membedakan mana yang tulen dan mana
yang palsu.”
Dua orang tua itu semua agaknya belum dapat
memahami maksud Touw Liong, satu di antaranya berkata
dengan suara marah:
”Anak busuk! Mari, aku akan melayani kau lebih dulu!”
Touw Liong menerima baik, lalu menggerakkan
pedangnya, dengan mengerahkan seluruh kekuatan
tenaganya di tangan kanan, pelahan-lahan tangan itu
disodorkan. Orang tua yang menantang tadi menunjukkan
sikap dan tertawa dingin, juga perlahan-lahan
menggerakkan tongkatnya. Orang tua yang lain berdiri
menonton sambil mengerutkan alisnya, ia memesan kepada
Touw Liong dengan penuh perhatian.
”Hati-hati! Kekuatan tenaga dalam orang itu tidak boleh
dipandang ringan ...”
Belum lagi menutup mulutnya, Touw Liong sudah
mengeluarkan siulan panjang, menotok tongkat lawannya,
ia tidak memberikan kesempatan kepada lawannya, untuk
menggerakkan tongkatnya, sudah lompat mundur lagi tujuh
tombak, lalu berdiri dengan sikap menghormat ia berkata:
”Ilmu kepandaian dan kekuatan tenaga dalam cianpwee
benar-benar sudah mencapai ke tingkat tinggi sekali, terima
kasih atas pelajaranmu.”
Orang tua itu tampak sangat bangga, sambil
menudingkan tongkatnya ia berkata:
”Bagaimana? Kau sudah berhasil menguji atau belum?
Aku ini yang tulen ataukan yang palsu?”
Touw Liong menunjuk orang tua yang lain dan berkata:
”Harus tungguh dulu setelah boanpwee menguji
kekuatan tenaga cianpwee itu, barulah dapat
membedakan.”
Bab 19
Orang tua yang lain menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata:
”Anak! Kau tidak akan dapat membedakan! Hanya
dengan menguji kekuatan tenaga dalam aku dengan orang
itu bagaimanapun juga lebih tinggi daripadamu.”
”Perlu diuji dulu! Suhu pernah berkata bahwa ilmu Busan-
sin-kang, sewaktu kita menyambut ada semacam
perasaan, perasaan ini tidak dapat dirasakan oleh orang
lain, hanya ilmu dari golongan kami Kiu-hwa Thian-lek
yang dapat merasakan dan dapat memahami.”
Orang tua yang habis bertempur padanya tadi, berkata
sambil tertawa dingin:
”Bocah, kau hendak main gila bagaimana?”
Dalam waktu yang sangat singkat itu, wajah orang tua
itu menunjukkan beberapa macam perubahan, semua itu
telah dapat disaksikan dan tidak dapat terlepas dari
pandangan mata Touw Liong.
Touw Liong mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya,
pelahan-lahan mengeluarkan pedangnya dan ditujukan
kepada orang tua yang satu lagi.
Orang tua itu juga pelahan-lahan mengangkat
tongkatnya.
Ketika pedang dantongkat saling beradu, ketika kekuatan
tenaga Touw Liong disalurkan ke ujung pedangnya, dengan
mendadak ia merasakan bahwa kekuatan tenaga dalam
lawannya yang disalurkan di atas tongkat merasa sangat
lunak, kekuatan tenaga itu menyambut kekuatan tenaganya
sambil melakukan daya bertahan tidak seperti orang tua
yang pertama, begitu beradu lantas buru-buru melancarkan
serangan hebat!
Dalam hati Touw Liong kini mengertilah sudah, dengan
cepat ia menarik kembali pedangnya, seperti juga semula, ia
lompat mundur tujuh langkah dan memberi hormat kepada
lawannya.
Orang tua yang pertama diuji olehnya lalu bertanya:
”Anak busuk! Siapa yang tulen dan siapa yang palsu?”
Touw Liong mengangkat pedangnya dan menodong
kepada orang tua yang bicara itu, katanya:
”KAU YANG PALSU!!”
Wajah orang tua itu berubah, dengan suara bengis ia
membentak:
”Anak busuk! Apakah kau sudah gila!”
Touw Liong tertawa panjang, kemudian berkata:
”Aku sedikitpun belum gila, adalah kau sendiri yang
sudah kehabisan akal, sehingga menunjukkan
kepalsuanmu.”
”Di mana aku menunjukkan kepalsuanku?”
”Pertama, kau tidak seharusnya lebih dulu menerima
ujianku, ini menunjukkan bahwa kau sedikitpun tidak ada
perhatian terhadap diriku. Kedua, begitu turun tangan,
engkau sudah menggunakan kekuatan tenaga sepenuhnya,
sedikitpun tidak mempertimbangkan diriku, artinya
sanggup menerima seranganmu atau tidak? Dengan
demikian kau telah mengabaikan keselamataku. Dan
ketiga, di waktu kau menanyakan aku mencoba main gila,
sikapmu menunjukkan perasaan yang tidak menentu dan
timbul banyak perubahan.”
Berkata sampai disitu, ia balik menunjuk kepada orang
tua yang satu dan berkata:
”Justeru menunjukkan kebalikannya denganmu, setiap
gerakannya selalu memikirkan keselamatan diriku ....”
Orang tua yang ditegur oleh Tiauw Liong ini
mengeluarkan suara teriakan panik, kemudian berkata:
”Anak busuk! Kau telah tertipu, aku justeru ....”
Orang tua yang satu lagi berdiri dengan tenang, tidak
berkata apa-apa, ia hanya mengurut-urut jenggotnya dan
mengangguk-anggukkan kepala, dengan sinar mata yang
memuji memandang kepada Touw Liong.
Touw Liong mengeluarkan suara ketawa dingin, berkata
kepada orang tua tadi.
”Sebelum melihat peti mati, kau tidak akan
mengucurkan air mata, kalau kau benar bahwa kau adalah
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen, sekarang aku
hendak tanya kepadamu, tadi kita di tengah-tengah puncak
gunung ini bicara apa?”
Pertanyaan itu membuat orang tua itu tidak berdaya, ia
hanya mengeluarkan perkataan ”Ou ....” lantas tidak dapat
menjawab lagi. Orang tua itu selagi Touw Liong agak lalai,
tiba-tiba tongkatnya digerakkan dan menyerang kepala
Touw Liong. Touw Liong dengan sigap sekali
menggerakkan pedangnya untuk menangkis serangan
tongkat tadi, orang tua tadi mengeluarkan serangan yang
kedua dan berkata dengan marah.
”Bocah she Touw, apa kau masih belum mau
menyerahkan jiwamu?”
Orang tua yang satu lagi, yang berdiri dengan tenangnya
sebagai penonton, menyodorkan tongkatnya untuk
menahan serangan orang tua tadi. Touw Liong khawatir
dua orang tua itu bertempur lagi, sehingga ia tidak dapat
membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu, maka
buru-buru berseru.
”Locianpwee berhenti dulu! Aku masih hendak bicara!”
Dua orang tua itu masing-masing mundur setengah
tombak, kedua-duanya memandang Touw Liong dan orang
tua yang turun tangan lebih dulu tadi berkata dengan suara
bengis.
”Bocah! Kau masih hendak bicara apa lagi?”
Touw Liong ada maksud hendak mengejek dan
menimbulkan kemarahannya, maka lebih dulu ia tertawa
panjang, kemudian berkata sambil menuding padanya.
”Kau inilah yang dinamakan maling berteriak maling,
tentang pembicaraanku dengan Sin-lo yang dilakukan di
tengah puncak bukit tadi, begitu aku bertanya kepadamu
kau tidak dapat menjawab. Maksudku hanya hendak
melakukan serangan fisik terhadapmu, aku hanya ingin
membuktikan kau benar-benar merasa bingung atau tidak,
sebetulnya yang tulen dan yang palsu ada hubungan apa,
tak kuduga ketika aku menanya demikian, ternyata telah
mendapatkan hasil yang tidak kuduga-duga, karena seketika
itu juga kau telah menunjukkan belangmu.”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu itu bergerak
sambil menggedrukkan kakinya, kemudian berkata:
”Engkau ini benar-benar sangat licik, aku telah tertipu
olehmu!”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen dengan cepat
lompat maju dan bertanya sambil menuding padanya:
”Kau siapa?”
”Aku? Ha ha .....! Coba kau tebak sendiri!”
”Aku tidak peduli kau siapa, tetapi dengan perbuatanmu
hari ini yang begitu tidak tahu malu, berani menyamar
diriku, dan toh masih tidak berani menunjukkan wajah
aslimu, percuma saja kau memiliki kepandaian tinggi, aku
sesungguhnya merasa turut merasa malu melihat
perbuatanmu ini.”
”Aku memiliki kepandaian khusus dalam soal menyaru,
dahulu aku juga mempunyai ganjalan hati dengan orangorang
yang menganggap dirinya dari golongan baik,
sekarang aku merasa bangga dengan kepandaian ini, supaya
dengan wajah dan tingkah laku kalian melakukan perbuatan
jahat yang menggemparkan dunia, supaya orang tahu,
bagaimana kalian ....”
Berkata Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu
sambil tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata pula:
”Segala perbuatanku ini juga merupakan suatu hal yang
menyenangkan bagi manusia, mengapa aku harus
menunjukkan wajah asliku?”
Touw Liong tiba-tiba ingat sesuatu, lalu menyela dan
bertanya kepadanya:
”Kaukah yang membunuh Lie Hui Pek?”
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Touw Liong bertanya pula:
”Apakah kau KO HONG?”
Orang tua itu menjawab dengan nada suara dingin:
”Bukan!!! Ko Hong hanya mendapatkan beberapa
kepandaian luar biasa dariku.”
Touw Liong ingat bahwa Ko Hong masih belum mati,
Lie Hui Pek pasti dia yang membunuh dan orang yang
memberikan kotak kepadanya di kota Keng-siang juga pasti
adalah dia. Teringat akan diri Ko Hong, kebenciannya
meluap, maka lalu bertanya kepadanya:
”Di mana sekarang Ko Hong berada?”
”Dia? .... Setelah memberikan kotak kepadamu di kota
Keng-siang, ia kembali mengatur acara selanjutnya!”
menjawab orang tua itu sambil tertawa mengejek.
”Acara apa?”
”Ha ha ....!! Bukan lain adalah acara yang menyangkut
hutan tujuh puluh dua jiwa, hutang darah harus dibayar
dengan darah.”
”Apakah ia akan membuat onar di perkampungan Huiliong-
chung?”
”Bukan hanya membuat onar saja, pasti akan melakukan
pembunuhan, hendak menagih hutang terhadap
perbuatannya di gunung Thian-bok-san.”
”Peristiwa di gunung Thian-bok-san dahulu, hanya
dilakukan oleh Lie Hui Pek seorang, oleh karena Lie Hui
Pek sendiri sudah binasa, mengapa masih perlu merembetrembet
kepada orang lain? Apalagi kepandaian Lie Hui
Hong saat ini sudah musnah, perbuatan itu sebetulnya agak
keterlaluan.”
”Inilah yang dinamakan balas-membalas, dahulu
bagaimana Lie Hui Pek perlakukan kepadanya, sekarang
Ko Hong juga akan membalas perbuatannya terhadap
saudaranya.”
Touw Liong mendadak teringat soal lain, ia lalu
bertanya:
”Ko Hong hendak menyaru menjadi siapa melakukan
kejahatan di kampung Hui-liong-chung?”
”Sudah tentu menyaru menjadi kau Touw tayhiap!”
menjawab Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu itu
sambil tertawa mengejek.
Touw Liong sangat marah, ia memutar tubuh dan
memberi hormat kepada Anak Sakti dari Gunung Bu-san
yang tulen:
”Boanpwee hendak jalan lebih dahulu, sekarang juga
boanpwee akan pergi ke kampung Hui-liong-chung ....”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen mencegah
seraya berkata:
”Air dari tempat jauh susah menolong api dekat, urusan
di sini masih belum selesai !” Kemudian ia bertanya sambil
menunjuk kepada Anak Sakti dari gunung Bu-san yang
palsu:
”Ada maksud apa kau mendaki puncak gunung ini?”
”Dua belas jilid kitab Thay-it Cin-keng aku hanya
mendapatkan sejilid saja, masih ada sebelas jilid, kabarnya
berada di gunung Bu-san ini. Rahasia rimba persilatan,
setiap orang berusaha untuk mendapatkan, baru merasa
puas. Kedatangan kalian berdua bukankah juga lantaran
kitab itu?” demikian Anak Sakti dari gunung Bu-san yang
palsu menjawab.
”Kedatanganku ke sini hanya bermaksud pesiar saja.”
”Tetapi dia, toh, bukan cuma hendak pesiar saja!”
berkata Anak Sakti dari gunung Bu-san yang palsu sambil
menunjuk Touw Liong.
”Memang benar, kedatanganku kemari hendak mencari
kitab itu,” demikian Touw Liong mengakui terus terang.
”Sayang! Kitab itu sudah tidak ada di gunung Bu-san!”
”Siapa yang mendapatkan kitab itu?”
”Panji Wulung !”
”Didapatkan oleh Panji Wulung?!” tanya Touw Liong,
ketika ia teringat kepada diri nenek itu, ia agak terkejut, lalu
bertanya pula:
”Apakah kau terus mengikuti kita?”
”Sejak dari kota Keng-siang, bukan saja aku mengikuti
kau, tetapi juga mengintai setan tua ini,” jawab Anak Sakti
dari gunung Bu-san yang palsu sambil menunjuk kepada
yang tulen.
Touw Liong kini baru mengerti, bahwa Anak Sakti dari
Gunung Bu-san yang menolong padanya dua kali,
perbuatan itu semua telah diketahui oleh Anak Sakti dari
gunung Bu-san yang palsu ini, maka tadi ia dapat mengikuti
dirinya dengan mudah sehingga tertipu olehnya. Ia tibatiba
teringat soal lain, lalu bertanya kepadanya:
”Batok kepala yang digenggam oleh Cui Hui di kuil Kuikok-
si itu batok kepala siapa?”
”Maksud Cui Hui hanya ingin merebut lambang
kepercayaan Naga Mas dari golongan pengemis, dengan
susah payah ia berusaha mencari keterangan jejak Kim
Tho, kemudian entah dengan cara bagaimana ia telah
berhasil mendapat kabar, bahwa Kim Tho telah terkurung
di gunung Kiam-ceng selama tiga puluh tahun oleh Siau Su
Hin, dan dengan berbagai akal dia telah memancing Siau
Su Hin datang ke daerah Tiong-gwan, maksudnya ialah
hendak merebut tanda kepercayaan Naga Mas dari orang
she Siau itu,” demikian Anak Sakti dari gunung Bu-san
yang palsu itu memberikan keterangannya, ia berhenti
sejenak kemudian berkata pula:
”Akan tetapi, akal Cui Hui itu tidak berhasil, karena Kim
Tho bukanlah orang sembarangan. Meskipun Siau Su Hin
sudah menawan dirinya tiga puluh tahun, sayang di mana
adanya lambang kepercayaan itu Kim Tho sedikitpun tidak
mau membuka rahasia, pada akhirnya, setelah Kim Tho
mati karena tidak sanggup menahan pelbagai siksaan, Siau
Su Hin juga tidak mendapat apa-apa. Cui Hui yang masih
belum mengetahui, telah memancing dirinya datang ke
daerah Tiong-gwan, sehingga akhirnya setelah orang she
Siau itu dibinasakan, ia masih tidak mendapatkan apa-apa,
sebaliknya ia malah kehilangan salah satu dari utusannya
....”
”Dari sini telah membuktikan bahwa manusia itu tidak
boleh mengandung hati jahat .....” berkata Touw Liong
sambil menghela napas.
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen memotong
perkataannya, ia bertanya kepada Anak Sakti dari Gunung
Bu-san yang palsu:
”Kau seolah-olah tahu semua tentang apa yang terjadi di
kota Lam-yang.”
”Ah, kau terlalu memuji! Meskipun aku tidak
mengatakan, tetapi setidak-tidaknya apa yang telah kau
perbuat terhadap bocah ini semua tidak terlepas dari
mataku.”
”Baiklah! Aku sekarang mau bertanya kepadamu
beberapa soal. Jikalau kau dapat menerangkan, aku merasa
takluk terhadapmu.”
”Tidak ada hal yang dapat terlepas dari mataku, tanyalah
sesukamu!”
”Hari itu ketika di kota Lam-yang, jelasnya di waktu
lohor, adik seperguruan Touw Liong mengikuti Siau Su Hin
masuk ke kuil Kui-kok-si, kemudian mengapa Siau Su Hin
terkurung dalam barisan Ngo Im Cuh-un-tim dan
menemukan ajalnya, sebaliknya adik seperguruan Touw
Liong telah menghilang tidak ketahuan jejaknya?”
”Urusan ini terlalu panjang ceritanya. Golongan
pengemis pada dewasa ini merupakan salah satu golongan
besar dalam rimba persilatan. Anak murid golongan
pengemis tersebar di mana-mana, siapa yang berhasil
memegang kekuasaan di golongan pengemis, ini berarti ia
telah berhasil menguasai dunia Kang-ouw. Kim Yan telah
terjatuh di tangan Panji Wulung, sudah tentu ia mendapat
perintah untuk menilik gerak-gerik Siau Su Hin, tetapi
sungguh kebetulan, waktu itu ia ada lain urusan sehingga
berlalu dari kampungnya. Begitu Kim Yan berlalu, lantas
Siau Su Hin terjatuh di tangan Cui Hui.”
”Ouu ...! Pantas Kim Yan tega dan menurunkan tangan
keji, sehingga salah satu dari lima utusan Cui Hui terbinasa
di tangannya.”
Tiga orang itu berbicara dengan asyiknya, seolah-olah
sahabat lama yang baru bertemu kembali, hingga
melupakan tadi belum lama berselang mereka pernah
bertempur mati-matian.
Touw Liong telah mengalihkan perhatiannya ke lain
soal, ia bertanya.
”Tahukah kau di mana jejak Panji Wulung sekarang?”
”Panji Wulung ...? Aku sendiri juga sedang
mencarinya!”
”Kau agaknya tahu semua apa yang sedang terjadi di
dunia Kang-ouw. Di waktu belakangan ini di dunia Kangouw
ada seorang pemuda yang mukanya mirip dengan aku,
tetapi ia pandai memainkan kecapi dan seruling, tahukah
kau siapakah orang itu?”
”Sudah tentu tahu,” jawab Anak Sakti dari Gunung Busan
yang palsu sambil mengangguk-anggukkan kepala,
kemudian dengan nada suara mengejek dia berkata pula:
”Ia mirip dengan kau! Ha .... bagaimana kau tidak
berkata bahwa kau mirip dengannya? Ini sesungguhnya
sangat lucu, justeru karena kau yang mirip dengan dia,
maka aku dari dahulu mengikuti jejakmu.”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen tercengang,
ia berkata dengan tidak mengerti.
”Apakah orang itu sahabat lamamu?”
”Bukan hanya sahabat lama saja, orang itu adalah suteku
...”
”Sutemu??” Touw Liong dengan alis berdiri.
”Apa yang dibuat heran? Patut disesalkan adalah
perbuatanmu sendiri ketika pertama kali bertemu muka
denganku di telaga Tong-teng-auw, kau tidak menyapa
denganku, sehingga aku merasa mendongkol dan mengikuti
kau sampai ke kota Keng-siang.”
”Aku tidak kenal denganmu, mengapa harus menyapa?”
demikian Touw Liong balas menanya dengan merasa geli.
Tetapi ia juga mengerti apa sebabnya Anak Sakti dari
Gunung Bu-san yang palsu itu mengikuti jejaknya.
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu berpaling,
berkata kepda Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen.
”Sekarang kuberitahukan pdamu, apa sebab aku
menyaru dirimu! Tak lain, karena sewaktu aku berada di
bawah tembok kota Lam-yang, bocah she Touw itu pernah
mengucapkan perkataan kepada si taysu gila, bahwa orangorang
yang dihormati oleh suhunya, kau termasuk salah
satu di antaranya, maka aku lalu timbul pikiran hendak
menyaru menjadi dirimu.”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen ketika
mendengar dari Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu
bahwa orang yang paling dihargai oleh Kiu-hwa Lojin
termasuk dirinya sendiri, dalam hati diam-diam merasa
senang.
Touw Liong tiba-tiba teringat kepada diri Lo Yu Im,
maka ia bertanya pula:
”Bagaimana watak sutemu, dan di mana sekarang
berada?”
”Sejak ia mendapatkan batu Khun-ngo-giok, ia lalu
bertekun mempelajari segala ilmu pedang yang ada dari
pelbagai golongan, ia siap-siap hendak membuat pedang
Khun-ngo-kiam.”
Touw Liong menghela napas, kemudian dengan alis
berdiri dan dengan tidak terduga-duga suaranya ditarik
tinggi dan bertanya kepada Anak Sakti dari Gunung Bu-san
yang palsu:
”Kau siapa?”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang palsu ini agaknya
juga terkejut, hingga tanpa pikir lagi lalu menjawab:
”Aku adalah Si Kakek Seribu Muka....” Dengan tibatiba
ia sadar bahwa dirinya telah dijebak oleh Touw Liong,
maka kata-kata selanjutnya tidak dilanjutkan.
”Ou.... kiranya kau manusia yang pandai merubah
muka,” berkata Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen
sambil tertawa panjang.
”Kau jangan berkata sembarangan, nama julukanku
adalah Si Kakek Seribu Muka,” jawab Anak Sakti dari
Gunung Bu-san yang palsu dengan suara marah.
”O, kiranya kau pandai merubah muka?”
”Oleh karena aku pandai merubah muka, maka siapa
dan manusia yang bagaimana saja, setelah kulihatnya
sepintas lalu, semuanya aku bisa meniru, baik mukanya
maupun gerak-geriknya serta suaranya, aku dapat meniru
sehingga persis dengan orangnya sendiri.”
”O, aku mengerti! Kau ternyata gurunya orang yang
pandai berubah, kau bisa berubah menjadi apa lagi?”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yangpalsu merasa
bangga, tertawa cekikikan, ia hampir lupakan diri, karena
dipuji-puji oleh Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen.
Anak Sakti dari Gunung Bu-san yang tulen, juga tertawa
cekikikan dan bertanya kepadanya sambil tertawa:
”Kau pasti bisa merubah dirimu menjadi sesuatu?”
”Sesuatu apa?”
”Bajingan!” kata Anak Sakti dari Gunung Bu-san.
”Kaulah yang bajingan!” berkata Kakek Seribu Muka
dengan suara marah.
Touw Liong buru-buru menyela dan bertanya kepada Si
Kakek Seribu Muka:
”Bolehkah aku minta pertolongan padamu, tolong
sampaikan kepada sutemu, kalau mau mendapat kekayaan
boleh saja, tetapi harus dengan jalan yang selayaknya....”
Si Kakek Seribu Muka tercengang, ia bertanya:
”Kalau bicara, jangan memutar-mutar, bicaralah terus
terang!”
Touw Liong juga tidak marah, ia berkata dengan suara
nyaring:
”Batu Khun-ngo-giok adalah milik partai Kun-lun, adik
seperguruanmu telah menipu dan mencuri milik orang lain,
bahkan perbuatannya itu membawa akibat kematiannya
pemilik batu giok itu. Perbuatan itu kurang baik. Sekarang
keturunan orang-orang partai Kun-lun sudah mulai terjun
ke dunia Kang-ouw, untuk mencari jejak adik
seperguruanmu, aku harap supaya adik seperguruanmu itu
suka mengembalikan batu giok itu kepada pemiliknya yang
asli.”
Kakek Seribu Muka tertawa terbahak-bahak dan berkata:
”Sejak dahulu kala barang pusaka atau benda tajam
selalu harus dimiliki oleh orang yang berhak atau bijaksana;
umpama saja itu kitab Thay-it-cin-keng, kau dan aku samasama
tidak ada jodoh, maka kita sama-sama tidak
dapatkan.”
Anak Sakti dari Gunung Bu-san berkata dengan nada
suara dingin:
”Ucapannya yang memutarbalikkan persoalan ini, benarbenar
sangat menggelikan; maksudmu apakah kau anggap
bahwa adik seperguruanmu itu seorang yang bijaksana yang
berhak memiliki barang itu?”
Kakek Seribu Muka itu tidak membantah, kepalanya
diangguk-anggukkan berulang-ulang. Anak Sakti dari
Gunung Bu-san berkata dengan nada suara marah:
”Kuberikan batas waktu tiga bulan, benda itu harus ia
antarkan ke Gunung Kun-lun-san, jikalau tidak, jangan kau
sesalkan kalau aku si orang tua sudi gawe, seumur hidup
aku paling tidak bisa melihat perbuatan rendah yang suka
merampas barang orang lain seperti itu.”
Touw Liong juga berkata dengan tegas:
”Dalam urusan ini tidak perlu locianpwee turut turun
tangan, boanpwee....”
Kakek Seribu Muka berkata sambil tertawa dingin:
”Jangan sok berlagak, kau tidak tengok dirimu sendiri,
apa kau kira kau dapat mencari jejak suteku?”
Alis Touw Liong berdiri, dengan suara keras ia berkata:
”Jikalau kau berani mengatakan tempat sembunyinya,
aku hendak mencari tempat itu untuk minta keterangan
sendiri dari mulutnya.”
”Bocah! Kau nanti jangan sesalkan orang lain! Adalah
kau sendiri yang hendak mengantarkan jiwa! Baiklah! Aku
boleh beritahukan padamu, tetapi ada satu syarat, setelah
kuberitahukan padamu, kau tidak boleh memberitahukan
kepada orang lain,” berkata Kakek Seribu Muka dengan
nada suara dingin. Ketika ia mengucapkan perkataannya
itu, matanya melirik Anak Sakti dari Gunung Bu-san.
Anak Sakti dari Gunung Bu-san dengan sikap tidak
pandang mata tertawakan padanya, kemudian berkata:
”Jangan coba jual lagak! Siapa sudi akan barang
rampasan itu.”
Kakek Seribu Muka berpaling memandang Touw Liong.
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kakek Seribu Muka mengangkat tongkatnya dan
memberi tanda kepada Anak Sakti dari Gunung Bu-san,
tetapi Anak Sakti dari Gunung Bu-san tidak
menghiraukannya, ia berpaling memandang ke arah lain.
Menggunakan kesempatan itu, Kakek Seribu Muka lantas
berkata:
”Bocah, perhatikan baik-baik!”
Bersamaan dengan itu, ujung tongkatnya diputar
menotok ke suatu batu yang terletak tiga kaki di hadapan
matanya.
Touw Liong semula mengerutkan alisnya, kemudian
menggumam sendiri.
Si Kakek Seribu Muka bertanya:
”Anak! Percuma saja kau menjadi seorang pintar, tekateki
muda yang kuberitahukan padamu, kau masih tidak
dapat menebak, bukankah itu sangat lucu?”
”Aku mengerti! Kau maksudkan adalah Tiam....”
berkata Touw Liong sambil mengangguk-anggukkan
kepala.
Anak Sakti dari Gunung Bu-san berpaling, dengan mata
berputaran ia bertanya kepada Kakek Seribu Muka:
”Tiam.... apa??” setelah itu matanya memandang ke
arah jauh, ia juga menggumam sendiri, kemudian berkata
pula:
”Aku juga sudah mengerti! Kiranya adalah Tiam...
Cong....”
Belum habis ucapannya, dari puncak di seberang sana, di
tempat rimba di puncak gunung Thian-tu-hong, tampak
berkelebat sesosok bayangan kuning, kemudian terdengar
suara kata-katanya yang dibarengi dengan suara tertawanya
yang nyaring:
”Kucari kemana-mana, ternyata kudapatkan secara tak
terduga-duga, ha.... batu Khun-ngo-giok ternyata berada di
tangan orang partai Tiam-cong-pay.”
Touw Liong ketika melihat berkelebatnya bayangan
kuning, mulutnya tiba-tiba mengeluarkan seruan: ”Sumoy!”
kemudian orangnya juga bergerak, dengan dua kali
lompatan saja ia melesat ke puncak Thian-tu-hong.
Bab 20
Waktu itu adalah permulaan musim dingin, di waktu
pagi-pagi sekali, di tepi sungai Lok-sui, diliputi oleh kabut
dan salju tebal, di permukaan sungai tampak beberapa buah
perahu sampan.
Dengan tiba-tiba, sesosok bayangan kuning lari dan
menuju ke sungai dalam waktu sekejap mata, sudah tiba di
tepi sungai.
Sebelum orangnya tiba, suaranya sudah sampai lebih
dulu, dengan suara yang sangat merdu ia memanggil
sebuah perahu sampan yang terpisah kira-kira lima tombak
dari tepi sungai:
”Hai! Tukang perahu, aku minta kau supaya
seberangkan aku ke seberang sana, aku nanti akan berikan
kau upah yang cukup!”
Kemudian orang itu mengeluarkan tangannya yang putih
halus, di bawah tiupan angin dingin tangan itu melambailambai
ke arah tukang perahu.
Tukang perahu yang berada di atas perahu sampannya
tampak sangat terkejut, setelah menggumam sendiri,
beberapa saat lamanya, barulah memberi jawaban:
”Nona, perahu kita hari ini tidak bersedia berlayar, aku
hendak pulang untuk beristirahat.”
Belum habis kata-katanya, tiba-tiba berkelebat bayangan
kuning, melayang ke tengah udara bagaikan sinar, dari tepi
sungai melesat ke ats perahu orang tadi.
Tukang perahu yang sedang mendayung sampannya
hanya merasakan kabur matanya, sebelum ia mengeluarkan
suara jeritan, di atas perahunya sudah berdiri seorang gadis
cantik berpakaian kuning.
Gadis berpakaian kuning itu dengan alis berdiri
membentak kepada tukang perahu:
”Lekas dayung!”
Tepat pada saat itu, di tepi sana muncul seorang muda
berbaju hijau, di atas punggungnya menyoren sebilah
pedang, ketika melihat perbuatan gadis berbaju kuning tadi,
ia berseru kepada tukang perahu:
”Tukang perahu, dayung kemari!”
Pada saat itu, perahu itu sudah berjalan kira-kira enam
tujuh tombak jauhnya, pemuda itu nampak sangat cemas,
beberapa kali kakinya digebrukkan ke atas salju yang
terdapat di tepi sungai.
Tukang perahu itu memandang pedang panjang yang
berada di atas punggung si pemuda nampaknya bergidik,
sedang gadis berbaju kuning yang berdiri di atas buritan,
pandangan matanya ditujukan ke permukaan air, kemudian
memlihat kepada pemuda baju hijau yang memandang
padanya dengan sinar mata dingin. Pemuda itu kemudian
berkata kepada diri sendiri.
”Ah... aku sudah salah mengejar orang.”
Gadis yang berdiri di atas perahu, dengan nada suara
dingin berkata:
”Sungguh sial.... pagi-pagi sekali sudah dikejar-kejar
lelaki busuk yang tidak tahu malu!”
Mendengar ucapan itu, pemuda berbaju hijau itu
wajahnya merah seketika, dengan berdiri termangu-mangu
memandang gadis berbaju kuning yang berdiri di atas
perahu.
JILID 8
Gadis itu dengan wajah yang dingin, matanya
memandang pemuda berbaju hijau, kemudian berkata
kepada tukang perahu dengan suara dingin.
“Mengapa kau bingung? Lekas dayung perahumu!
Apakah pedang butut seperti itu kau juga belum pernah
melihat?”
”O ... Oh!” demikian tukang perahu itu menyahut
berulang-ulang, dan dengan tergopoh-gopoh mendayung
sampannya ditujukan ke tengah sungai.
Sementara itu, pemuda berbaju hijau yang berdiri di tepi
sungai, matanya terus memandang perahu yang berlayar ke
tengah sungai ....
Apa yang terjadi selama ini, semua merupakan rentetan
kejadian aneh-aneh yang belum pernah dialami
sebelumnya. Mengingat akan itu, ia telah menggumam
sendiri, ”Hanya dalam waktu lima hari, telah terjadi
perubahan demikian besar, hai! Sekalipun di dalam dunia
ini ada beberapa urusan yang sangat aneh dan ajaib, tetapi
tidak seperti apa yang kualami! Semua itu merupakan
kejadian-kejadian dan hal-hal yang sungguh aneh!”
Berkata sampai di situ, tiba-tiba alisnya berdiri, dan
berkata pula: “Tidak! Dalam urusan ini sangat
mencurigakan, aku harus meneliti sampai ke dasardasarnya.”
Ketika ia angkat muka, perahu sampan itu sudah hampir
tiba di tepi sana, beberapa buah perahu penangkap ikan
yang terdapat di permukaan sungai itu, sudah pada berlayar
menuju ke lain jurusan.
Pemuda berbaju hijau itu berkata sendiri dengan suara
keras:
“Mengapa aku demikian bodoh? Mengapa aku tadi
tidak memikirkan untuk naik perahu sampan tadi, lagi pula
perbuatan gadis berbaju kuning itu sangat mencurigakan,
jelas bahwa suara yang kudengar di atas puncak gunung
tadi adalah suaranya Kim Yan, begitupun dandanan dan
bentuk tubuhnya tidak satu yang tidak mirip, aku
mengejarnya sehingga ke bawah kaki bukit Oey-san,
gerakan kakiku meskipun tidak lebih cepat daripadanya,
tapi di sepanjang jalan ia masih unjukkan diri, agaknya
dengan sengaja pancing aku tiba di tempat ini, tetapi
sebentar kemudian mendadak menghilang, tak diduga-duga
tadi pagi ia sengaja unjukkan diri lagi, dan pancing aku
mengikuti sampai di sini, dengan sangat liciknya ia lebih
dahulu naik keatas perahu minta diseberangkan…
Sedangkan aku…”
“Urusan yang aneh-aneh di dalam dunia ini sangat
banyak! Aku belum pernah melihat orang yang kukejar
tiba-tiba telah berubah bentuknya, ini benar-benar suatu
kejadian yang sangat aneh! Hai! Goblok! Mungkin aku
kesalahan mengejar orang sehingga tertipu oleh akal
muslihat sumoy yang sengaja membelokkan perhatianku
kepada gadis tadi itu, dia telah memancing aku turun dari
gunung Bu-san dan oleh gadis itu tadi aku dipancing
menuju kemari, sedang dia sendiri … menuju ke gunung
Thiam-cong-san, untuk mengambil batu Khun-ngo-giok …”
Pemuda itu menepuk-nepuk jidatnya sendiri, lalu
terbenam dalam lamunannya.
Pemuda itu bukan lain daripada TOUW LIONG, setelah
berpikir sejenak kemudian berkata pula kepada dirinya
sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala:
“Kemungkinan yang paling besar, ia kini sudah menuju ke
gunung Tiam-cong-san, gadis berbaju kuning di atas perahu
itu sudah tentu bukanlah dia! Di lain pihak, jikalau dia
menggunakan akal, dengan meniru muslihat kakek seribu
muka yang merubah bentuk wajahnya bagaimana?”
Ia berdiri termangu-mangu di tepi sungai, pikirannya
terus bekerja.
Angin dan halimun pagi meniup mukanya, sehingga
merasa dingin, tanpa disadari badannya telah menggigil.
Pada saat itu kembali ia memikirkan ke lain soal, lalu
bertanya-tanya kepada diri sendiri: ‘Mengapa Kim Yan
hendak menyingkirkan diriku? Apakah di kemudian hari
apabila bertemu denganku, ia bisa berubah dan pandang
aku sebagai musuh?”
Ah, itu terlalu menakutkan! Apabila benar-benar terjadi
demikian? Ia akan meruapakan suatu kejadian yang
memalukan rimba persilatan, juga merupakan suatu
kejadian dan peristiwa yang menggenaskan bagi perguruan.
Berpikir sampai di situ, Touw Liong bergidik sendiri.
Tanpa disadari matanya memandang ke depan, perahu
yang tadi membawa gadis berbaju kuning itu dengan
gerakkan yang sangat lincah lompat ke atas tepi, agaknya
dengan sengaja matanya berpaling dan memandang kepada
Touw Liong, kemudian baru berjalan menuju ke utara, di
sana terdapat sebuah perkampungan yang terdapat banyak
pohon cemara.
Dengan berdiri termangu-mangu Touw Liong
memandang gadis berbaju kuning itu yang berjalan menuju
keperkampungan, sedang dalam hatinya bertanya-tanya
sendiri: “Perlukah aku menyeberang sungai? Untuk melihat
apa yang dilakukan oleh gadis itu? Apakah … aku perlu
perhatikan Ko Hong dulu? Ia benar-benar ke
perkampungan Hui-liong-chung atau tidak? Apakah aku
perlu segera pergi ke gunung Tiam-cong-san untuk
mengejar Kim Yan?
Dalam otaknya diliputi tiga pertanyaan itu, sehingga ia
tidak dapat memberi keputusan. Ia berpikir bolak-ballik,
dianggapnya bahwa tiga persoalan itu semuanya harus
dilakukan, juga harus secara hati-hati sekali.
Dalam keadaan demikian, pertama-tama sudah tentu ia
harus menyeberang sungai lebih dulu.
Teringat akan usahanya untuk menyeberang sungai,
matanya ditujukan ke permukaan air. Tidak jauh dari situ
tertampak olahnya beberapa buah perahu penangkap ikan.
Tanpa dipikirnya lebih jauh, ia lantas melayang menuju ke
beberapa buah perahu.
Perahu-perahu yang menepi di bawah pohon, tampak
lengkap dengan dayungnya, namun perahu itu nampaknya
sudah tua, di dasar perahu digenangi air sehingga mencapai
ke lutut, tampaknya perahu itu benar-benar sudah tidak ada
orang yang menggunakan, ditilik dari keadaannya,
beberapa perahu sampan itu, jelas tidak ada pemiliknya.
Touw Ling agak ragu-ragu, kemudian ia lompat ke atas
sebuah perahu lalu didayungnya sendiri, dengan cepat
perahu itu sudah menuju ke tepi seberang.
Begitu naik ke tepi, ia terus berjalan menuju ke
perkampungan itu. Tak lama kemudian, ia tiba di depan
perkampungan. Di bawah naungan pohon cemara yang
rindang, perkampungan itu ternyata merupakan sebuah
kampung yang terang.
Di depan pintu gerbang perkampungan itu ada dua buah
singa-singaan yang terbuat daripada batu.
Pintu yang dicat warna hitam tertutup rapat, di dalam
tampak sunyi sepi. Touw Liong memeriksanya sejenak,
lalu mengetuk-ngetuk pintu.
Tak lama kemudian, dari dalam terdengar suara langkah
kaki, kemudian pintu itu terbuka lebar.
Orang yang membuka pintu adalah seorang tua
berambut putih dan membawa tongkat kepala naga. Orang
tua itu badannya bongkok, tiba di depan pintu matanya
dibuka lebar memandang Touw liong kemudian lalu
berkata:
“Kau mencari siapa?”
Pertanyaan itu membingungkan Touw Liong, bagaimana
ia dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seorang
gadis?
Setelah lama dalam keadaan bingung, orang tua itu
agaknya sengaja mengejek Touw Liong, ia berkata sambil
tertawa-tawa:
“Kau barangkali juga sahabat tukang minum dari Samkongcu
kita!”
Touw Liong terpaksa mengiyakan sementara dalam
hatinya berpikir.
Tidak kecewa ia sebagai seorang pintar, dari ucapan
orang tua tadi, dia juga sudah dapat menduga bahwa Samkongcu
yang disebut oleh orang tua tadi, pastilah seorang
pemuda yang doyan minum dan gemar pipi licin, orang
seperti itu setiap hari kerjanya hanya makan minum dan
berfoya-foya dengan wanita-wanita, maka lalu berkata
sambi menyoja”
“Aku sebetulnya sudah lama dengar nama besar Samkongcu,
maka sengaja aku datang kemari untuk berkunjung
kepadanya.”
“O …” Berkata si orang tua sambil menganggukanggukkan
kepalanya kemudian berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya:
“Menyesal sekali! Sam-kongcu kita hari ini tidak ada di
rumah.”
Sikap dan kata-kata orang tua itu menunjukkan
perasaannya yang tidak senang, agaknya ia ingin supaya
Touw Liong lekas berlalu.
“Pergi kemana?” bertanya Touw Liong.
“Ke kota Kai-hong.”
“Sam-kongcu ini benar-benar tidak mudah
diketemukan!” berkata Touw liong dengan menunjukkan
sikap kecewa. “Aku datang dari tempat jauh datangku
tidak mudah, ternyata tidak dapat menemui Sam kongcu,
apakah di dalam perkampungan ini masih ada orang lain?
Aku ingin berjumpa dengannya sebentar, untuk
menunjukkan hormatku.”
“Tuan besar telah bekerja di kota raja, Toa kongcu kita
pesiar ke Sow-ciu, Ji kongcu … Si kongcu … aku merasa
sangat menyesal, sekarang ini hanya kaum wanita yang ada
di dalam perkampungan ini, hingga kurang pantas untuk
menemui tetamu seorang pria.”
Kembali Touw Liong merasa kecewa, dalam keadaan
demikian terpaksa, ia harus kembali, selagi hendak
meninggalkan perkampungan itu, dari dalam tiba-tiba
muncul seorang perempuan tua berambut putih dan
berpakaian warna hijau, perempuan tua itu mengangkat
tongkat di tangannya, berkata sambil menuding Touw
Liong:
“Tunggu dulu!”
Touw Liong merandek, lalu berpaling mengawasi
perempuan tua itu, melihat sinar mata sangat tajam dari
perempuan tua itu, diam-diam ia terkejut dalam hatinya
lalu timbul pikiran aneh, ia pikir: Sepasang mata nenek ini,
seperti matanya seorang gadis berusia delapan belas tahun,
jikalau ia bukanlah seorang perempuan tua yang memiliki
kekuatan tenaga dalam sudah sangat sempurna, sehingga
bisa berbalik menjadi muda lagi, tentunya adalah gadis baju
kuning tadi yang menyamar.
Touw Liong tidak tahu bagaimana harus menjawab,
selagi ia mengamat-amati perempuan tua itu, lelaki tua tadi
sudah mengundurkan diri dan buru-buru memanggil: “Ngo
…”
Perempuan itu memperdengarkan suara dari hidung,
mencegah orang tua itu melanjutkan kata-katanya.
Hati Touw Liong tergerak, dengan cepat berkata kepada
orang tua tadi.
“Toa-kongcu … Ji-kongcu … Sam … Su …”
Tadi ketika orang tua itu mengeluarkan udapan “Ngo”,
perempuan itu lantas mengeluarkan suara dari hidung,
sehingga orang tua itu tidak berani melanjutkan katakatanya,
dari sini jelaslah sudah, bahwa “Ngo” yang
dimaksud oleh orang tua tadi, kalau bukannya Ngo Wie,
pasti adalah Ngo-kow atau Ngo-kongcu. Tetapi istilah
terakhir kemungkinannya sedikit sekali, karena dengan
bentuk seorang laki-laki sudah tentu ia tidak mau
menyamar menjadi seorang perempuan:
Jikalau yang dimaksudkan tadi adalah Ngo Wie,
mengapa ia harus mencegah? Sebab Ngo Wie sudah tentu
dimaksudkan terhadap perempuan yang sudah berusia agak
lanjut.
Untuk itu jelaslah sudah bahwa Ngo itu kelanjutannya
sudah tentu adalah Ngo-kow, yang berarti nona kelima,
bahkan masih gadis pula:
Setelah berpikir demikian, Touw Liong tidak lantas
membuka rahasianya, bahkan sambil tersebyum dan
memberi hormat ia berkata,
“Nyonya ada keperluan apa?”
Perempuan tua itu membalas hormat, ia berdiri di atas
undak-undakan batu; membiarkan Touw Liong berdiri di
bawah undak-undakan. Dengan sikap yang agung ia
bertanya:
“Ada keperluan apa? Congsu mencari Sam-kongcu
kita?”
“Aku hanya ingin belajar kenal saja.”
“Siapa namamu.”
Touw Liong berpikir. Nona ini jikalau gadis baju kuning
tadi yang menyamar, dia pasti mengetahui siapa adanya
aku, maka lebih baik aku berkata terus terang. Setelah
berpikir demikian, ia lalu menjawab sambil menghormat:
“Aku Touw Liong.”
“O…” Demikian perempuan tua itu berkata, “Kiranya
adalah Touw tayhiap yang berkunjung, silahkan. Silahkan
masuk ke kediamanku ini.”
Touw Liong masih agak ragu-ragu, ia tidak beerani
berlaku lancing masuk ke dalam perkampungan, kemudian
bertanya sambil tersenyum:
“Sam-kongcu denganmu ada hubungan apa?”
Perempuan tua itu tercengang. Ia tidak tahu bagaimana
harus berbuat, dari mulutnya hanya terdengar suara: “Ini
…” Dan dengan terbirit-birit mengundurkan diri. Orang
tua tadi menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mengejarnya
dan berkata kepada perempuan tua tadi itu sambil
membungkukkan badan:
“Ngo-kow-nio, tidak perlu main kucing-kucingan dengan
Touw siangkong ini! Adalah kurang pantas kalau Touw
siangkong masuk ke perkampungan ini?”
Waktu mengucapkan perkataan itu, orang tua itu
memberi isyarat dengan matanya kepada Touw Liong.
Perempuan tua tadi lalu membuka kedok kulit manusia
yang digunakan di mukanya, sehingga tampak wajahnya
yang cantik molek, namun tongkat yang berada di
tangannya masih tetap dipegangnya, ia menganggukkan
kepala kepada Touw Liong, kemudian dengan nada suara
dingin ia berkata:
“Orang she Touw, kau ini memang mencari gara-gara
saja. Apakah kau masih penasaran jikalau belum dikasih
pelajaran? Pagi-pagi sekali kau sudah mengikuti jejakku,
dan sekarang kau masih berani datang ke tempat
kediamanku!”
Ditinjau dari perbuatan Touw Liong tadi sebetulnya
memang kurang pantas, untuk ia sudah merencanakan
jawabannya, maka dengan tenang ia menjawab sambil
memberi hormat,
”Mana aku berani? Aku ada mempunyai berapa nyali,
bagaimana berani berlaku kurang sopan terhadap nona?
Ada beberapa hal kadang-kadang memang sangat
kebetulan, aku hanya ingin tanya saja kepada nona, asal
nona menjawab dengan terus terang, aku akan segera
undurkan diri dari sini.”
Dengan wajah dan sikap yang masih tetap dingin, gadis
itu berkata, ”Katakanlah!”
Touw Liong menarik napas, matanya menatap orang tua
berambut putih tadi.
Gadis itu memberi isyarat dengan tangannya kepada
orang tua, hingga orang tua itu undurkan diri.
Touw Liong bertanya dengan suara perlahan,
”Ada hubungan apa antara nona dengan adik
seperguruanku Kim Yan?”
”Tidak ada hubungan apa-apa,” menjawab gadis itu
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
”Mengapa di atas puncak Thian-tu-hong nona pancing
aku datang kemari?”
”Orang yang unjukkan diri di puncak gunung Thian-tuhong
bukanlah aku .....”
”Apakah dia itu adik seperguruanku?”
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
memandangnya sejenak dan berkata dengan nada suara
mengejek.
”Apa yang dibuat heran? Kim Yan bergerak lebih cepat
daripadamu, kalian berdua kejar-kejaran dan aku mengikuti
di belakang kalian, waktu kau mengejar ia sampai di tengah
bukit, lantas kehilangan jejaknya.”
Muka Touw Liong merah, tetapi lekas menyadari
persoalannya, maka lalu berkata,
”O....! Kalau begitu kau sudah menggunakan akal,
dengan menggunakan pakaian warna kuning, selagi aku
mengeja-ngejar, kau lalu pancing aku menuju ke tepi
sungai?”
Gadis itu menganggukkan kepala.
Touw Liong masih belum paham, maka bertanya pula
sambil mengerutkan alisnya.
”Dengan maksud apa nona berbuat demikian?”
”Orang lelaki kebanyakan suka berlagak pintar, apa kau
anggap melakukan perjalanan ke gunung Tiam-cong-san
ada faedahnya bagimu? Apa kau kira dapat merebut batu
Khun-ngo-giok? Aku sebetulnya dengan maksud baik,
takut kau nanti mengantarkan jiwa di sana, maka aku
pancing kau datang kemari.”
Touw Liong semakin tidak mengerti, sambil
mengerutkan alisnya ia berkata,
”Aku masih belum mengerti.”
”Dengan terus terang kuberitahukan kepadamu, kakek
seribu muka adalah suhengku, aku berbuat demikian, ke
satu karena melaksanakan perintahnya, dan ke dua aku
benar-benar takut kau akan pergi ke gunung Tiam-cong-san
sehingga menimbulkan kericuhan, maka aku sengaja
pancing kau supaya tidak pergi ke sana.”
Touw Liong mengerti bahwa nona yang berdiri sebagai
musuh itu setelah mengucapkan isi hatinya timbullah
pertanyaan yang lain, bagaimanapun bodohnya orang itu
tidak nanti akan memancing musuhnya datang ke
rumahnya sendiri.
Gadis itu agaknya dapat menebak isi hati Touw Liong,
maka lalu berkata sambil menunjuk ke gedungnya,
”Apa kau kira perkampungan ini adalah benar-benar
kediamanku?”
Touw Liong tercengang, dan gadis itu berkata pula,
”Jikalau rumahku, bagaimana aku akan memancing
serigala masuk ke dalam rumah .....”
Berkata sampai di situ, ia tertawa cekikikan, kemudian
tangannya menggapai ke dalam. Sesaat kemudian beberapa
bayangan orang, dari dalam rumah muncul empat laki-laki
berbaju hijau. Gadis itu lalu berkata pula sambil menunjuk
salah satu di antaranya yang terdapat tanda hitam di
mukanya,
”Orang she Touw, kau tadi bukankah hendak mencari
Sam-kongcu?”
Touw Liong angkat muka memandang empat laki-laki
yang muncul itu satu diantaranya membawa pedang
panjang, berjalan menuju dan berdiri ke samping gadis tadi.
Gadis tadi melanjutkan pertanyaannya,
”Hari ini kau bisa datang kemari, tetapi tidak bisa pergi
lagi. Perkampungan Pak-yong-lie adalah perkampungan
hantu yang sudah terkenal. Di dalam perkampungan ini
terdapat makam, yang tidak terhitung berapa banyak
jumlahnya, dengan tambah makammu seorang, tidak
berarti apa-apa. Sebetulnya kau juga dapat mengelakkan
kematian ini. Tukang jaga pintuku yang baik hati itu
pernah meminta berkali-kali padaku supaya melepaskan
kau, tetapi kau sendirilah yang membandel tidak mau
berlalu dari sini.”
Touw Liong yang mendengar perkataan itu alisnya
berdiri, dengan suara gagah ia berkata,
”Di atas sungai, di lautan, di puncak gunung, aku si
orang she Touw pernah pergi tanpa kedok, aku justru tidak
percaya bahwa perkampunganmu yang kau sebut
perkampungan hantu ini dapat menundukkan aku. Kalau
aku benar-benar bisa terkubur di sini, aku juga merasa tidak
kecewa dengan perjalananku ini. Baiklah! Sekarang kau
boleh bertindak!”
Setelah berkata demikian, perlahan-lahan ia menghunus
pedangnya.
Gadis itu berkata sambil mengangguk-anggukkan kepala,
”Aku tahu bahwa kau pernah menggempur barisan Cuhun-
tin yang dibentuk oleh Cui Hui, sudah tentu
kepandaian yang tidak berarti dari perkampungan kita ini
tidak akan dapat menggertak kau, hari ini kita tidak hendak
turun tangan denganmu .....”
”Apakah kau hendak dengan tangan kosong untuk
memberi pelajaran padaku?”
’Tidak!” jawab gadis itu sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
Touw Liong mengangguk, gadis itu berkata pula dengan
sikap yang sangat tenagng,
”Hari ini kita akan menggunakan cara lain, kita mencari
beberapa rupa permainan yang baru, jangan hanya
menggunakan tangan atau senjata tajam untuk saling
gebuk.”
Touw Liong kembali tercengang, dengan alis berdiri ia
bertanya,
’Permainan baru apa yang kau maksudkan?”
Bab 21
Gadis itu berkata sambil menunjuk tempat laki-laki
berbaju hijau.
”Mereka berempat adalah pelindung hukum
perkampungan kita. Mereka belum pernah terjun ke dunia
Kang-ouw. Tentang kepandaian dan kekuatan tenaga
dalam mereka sebetulnya masih terpaut sangat jauh dengan
kita lima saudara, tetapi mereka berempat masing-masing
memiliki kepandaian yang sangat aneh. Kau orang she
Touw, jikalau kau masih mengakui dirimu sebagai lelaki,
beranikah kau bertanding satu persatu dengan mereka?”
Dengan wajah sangat gusar, Touw Liong memandang
empat laki-laki berbaju hijau itu, dari bentuk danwajah
mereka, ia sudah mengetahui bahwa empat orang laki-laki
itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup
sempurna, jikalau dibandingkan dengan beberapa tokoh
kuat dari rimba persilatan, mungkin berimbang
kekuatannya.
Terdengar pula suara gadis tadi.
”Touw tayhiap, aku sebetulnya merasa kurang sopan,
memancing kau datang kemari, tetapi tindakan itu telah
kulakukan karena terpaksa. Toa-suheng kakek muka seribu
dan ji-suheng, semua sudah menuju ke gunung Tiam-congsan
untuk melindungi sam-suheng, sedang su-suciku juga
sudah mendengar kabar, hingga dari daerah selatan menuju
ke sana. Semua ini hanya oleh karena ucapanmu sendiri
yang sangat sembrono, sehingga sumoymu berbalik hendak
pergi ke gunung Tiam-cong, mungkin tindakan itu akan
menimbulkan huru-hara besar. Dan aku, oleh karena perlu
pulang dulu hendak mengambil beberapa rupa barang yang
diperlukan, maka aku sengaja pancing kau datang kemari.
Aku semula ingin meninggalkan kau di kota Lok-yang,
tetapi aku benci sekali terhadapmu ....”
”Benci aku ....?” bertanya Touw Liong tidak mengerti.
”Aku benci padamu, karena ucapanmu yang tidak
dipercaya. Di atas puncak gunung Thian-tu-hong kau telah
membocorkan rahasia gunung Tiam-cong-san, maka aku
pancing kau datang kemari, kuserahkan kau kepada mereka
berempat, mereka yang akan melakukan hukuman mati
terhadap dirimu.”
Ucapan gadis itu seenaknya saja, dianggapnya Touw
Liong sebagai anak kecil yang tidak berdaya.
Dengan wajah serius gadis itu berkata pula,
”Touw tayhiap, marilah kita berbicara soal yang
sebenarnya, masih ada urusan penting, tidak ada waktu
untuk melayani kau, sebelum aku berlalu, aku ingin bicara
denganmu, empat pelindung keluargaku, satu persatu akan
melayani kau, kalau engkau berhasil melayani tiga dari
antaranya, kau boleh undurkan diri dari sini, tetapi jikalau
kau tidak berhasil melawan mereka, juga terpaksa kau harus
serahkan nasibmu.”
Touw Liong sudah marah benar-benar, ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata,
”Terserah kepadamu, sekalipun kau suruh mereka maju
berbareng, juga tidak akan bisa apa-apa terhadap diriku.”
Gadis itu juga tertawa terbahak-bahak dan kemudian
berkata,
”Mendengar perkataanmu ini, aku sudah merasa lega!
Baiklah! Silahkan Touw tayhiap lekas melayani mereka.
Maafkan aku tidak akan turut mengantar kau pulang ke
akhirat....”
Ia memandang dengan sinar mata dingin kepada Touw
Liong, kemudian alihkan pandangan matanya ke keempat
pelindungnya dan berkata kepada mereka,
”Saudara-saudara berempat, jangan berlaku gegabah. Di
dalam rimba persilatan, Touw tayhiap bukanlah seorang
yang tidak ada namanya, maka kalian harus baik-baik
melawan padanya.”
Empat laki-laki itu sangat menghormat kepada gadis itu,
dengan berbareng mereka menerima baik pesan nonanya.
Gadis itu mengenakan kedok mukanya pula, lalu
mengambil tongkatnya, dan memberi isyarat kepada Touw
Liong, setelah itu ia berjalan menuju ke jalanan dalam
rimba.
Ia berjalan sangat cepat sekali, sebentar saja sudah
menghilang.
Touw Liong berkata sendiri, ”Gadis itu .... berparas
cantik bagaikan bidadari, sayang hatinya jahat seperti ular
berbisa.”
Empat laki-laki itu perlahan-lahan mengembalikan
pedangnya ke dalam sarungnya masing-masing, seorang di
antaranya yang di mukanya ada tanda warna biru, maju
selangkah dan berkata dengan wajahnya yang seram,
”Touw tayhiap hendak mengaso sebentar, ataukah ingin
bertanding sekarang?”
Dengan sikap gagah Touw Liong melihat mereka
sepintas lalu, kemudian menjawab dengan menggunakan
kata-kata gadis tadi,
”Nonamu tadi berkata bahwa jalanan yang menuju ke
akhirat sangat dingin, ia suruh aku lekas berangkat,
kebaikannya itu tidak boleh kuabaikan begitu saja,
sebaiknya sekarang juga aku ingin belajar kenal dengan
kepandaian tuan-tuan berempat! Sebelum pertandingan
dimulai, bolehkan aku bertanya dulu siapa nama tuan-tuan
yang mulia?”
Seorang di antaranya yang mukanya terdapat tanda
tompel, lalu menjura dan berkata sambil menuding dirinya
sendiri,
”Aku yang tidak berguna ini .... bernama Kang Yauw.”
Selanjutnya ia memperkenalkan kepada Touw Liong tiga
laki-laki yang lainnya. Ia menunjuk kepada lelaki setengah
umur bermuka merah yang berdiri di sebelah kanan,
”Saudara ini adalah pelindung ke dua dari
perkampungan kita yang bernama Ouw Yan ....”
Setelah itu ia menunjuk kepada lelaki yang berdiri di
sebelah kiri, yang kupingnya bagaikan kuping tikus.
”Ini adalah saudara Kay Thay Yong, yang menjabat
sebagai pelindung hukum nomor tiga ....”
Terakhir, ia menunjuk lelaki yang berdiri di ujung kiri.
”Dan saudara ini adalah Hoo Lik Su, yang menjabat
sebagai pelindung hukum nomor empat.” Kemudian ia
berkata pula sambil ketawa.
”Kita empat orang, hanya mengerti sedikit kepandaian
kasar, kalau kita pertunjukkan barang kali akan membuat
tertawaan orang lain saja, oleh karena itu, maka selama ini
belum pernah unjuk muka di dunia Kang-ouw. Hari ini
kami merasa beruntung telah bertemu dengan Touw
tayhiap, seorang berkepandaian tinggi yang sudah sangat
terkenal, maka kita minta supaya Touw tayhiap tidak segansegan
memberi pelajaran kepada kami. Baiknya Touw
tayhiap tadi sudah menerima baik permintaan nona kami,
yang hendak memberi petunjuk kepada kami empat
saudara.”
Touw Liong menjawab juga dengan perkataan
merendah,
”Tuan Kang, kau jangan merendahkan diri, aku hanya
mendapat nama kosong belaka. Sebelum pertandingan ini
dimulai, bolehkah aku bertanya lebih dahulu, bagaimana
pertandingan ini hendak dilakukan?”
”Aku ini seorang yang tidak berguna, sejak masih muda
sekali, di dalam perguruanku aku hanya mempelajari
semacam kepandaian yang dinamakan ”Bunga
beterbangan” ....”
”Bunga berterbangan?”
”Hanya mainan anak-anak yang tidak ada gunannya.”
”Apakah Tuan Kang menggunakan senjata rahasia?”
”Tidak berarti apa-apa, biarlah aku yang melakukan
sedikit pertunjukan lebih dahulu, minta petunjuk Touw
tayhiap, kemudian Touw tayhiap melayani kepandaian Loji
dan Lo-sam ....”
Tidak sabar mendengar terus ocehan orang she Kang ini,
ia bertanya,
”Apa yang dibuat taruhan?”
”Nona kami tadi sudah meninggalkan pesan, dalam
empat kali pertandingan, asal Touw tayhiap memenangkan
tiga kali, kami berempat segera mengantar keluar ....”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, siapapun dapat
mengerti maksudnya ialah jikalau Touw Liong tidak dapat
menangkan tiga kali pertandingan, ia harus menyerahkan
jiwanya.
”Sungguh suatu pertaruhan yang hebat! Baiklah! Aku
lebih dulu ingin belajar kenal dengan kepandaian tuan
Kang,” berkata Touw Liong.
Kang Yauw menerima baik, ia masukkan tangannya ke
dalam kantong, lalu mengeluarkan lima buah benda kecil
berbentuk bunga yang terbuat dari baja, kakinya melompat
mundur sejauh empat tombak, kemudian tangannya
bergerak ke arah Touw Liong yang ingin mengundurkan
diri ke lain jurusan.
”Touw tayhiap, awas! Aku si orang she Kang hendak
mulai dengan pertunjukanku!” demikian ia berkata.
Sepasang mata Touw Liong ditujukan kepada benda baja
yang macamnya seperti bunga, diam-diam ia mengakui
keganasannya senjata itu. Ia berpaling kepada tiga orang
lainnya, mereka bertiga pada lompat sejauh tujuh tombak,
mungkin merasa kuatir apabila serangan itu meleset akan
mengenakan diri mereka.
Tiga orang itu seandainya tidak melompat demikian
jauh, mungkin tidak akan menimbulkan perasaan apa-apa
bagi orang lain, akan tetapi karena mereka mundur sejauh
tujuh tombak lebih, hal mana segera menimbulkan
kecurigaan Touw Liong, maka ia buru-buru mengerahkan
ilmunya ”Membuka Pintu Langit” siap untuk menghadapi
serangan orang she Kang itu.
Ia mengerti bahwa lima buah baja berbentuk bunga di
tangan orang she Kang itu, pasti merupakan benda sangat
ganas.
Dalam pada itu, tangan Kang Yauw sudah bergerak, dan
lima buah baja berbentuk bunga itu meluncur ke arah Touw
Liong.
Serangan orang she Kang itu boleh dikata cukup
kencang, tetapi tidak beda dengan serangan senjata rahasia
yang biasa, dalam waktu sangat cepat sudah berada di
hadapan mata Touw Liong.
Touw Liong yang sudah siap menghadapi senjata itu
sejak semula, hingga saat itu ia masih belum melihat
dimana keistimewaannya senjata rahasia itu. Seketika itu
pikirannya bekerja keras, karena ia merasa bahwa ada apaapa
dalam benda itu yang sangat mencurigakan, kalau mau
dikata bahwa benda baja berbentuk bunga itu adalah senjata
rahasia biasa, tidak mungkin orang she Kang itu menjadi
kesohor namanya dan dibanggakan oleh majikannya,
jikalau tidak, pastilah merupakan suatu benda yang sangat
berbisa, hanya pada saat itu belum waktunya untuk
menunjukkan sampai dimana dahsyatnya senjata itu.
Dalam keadaan demikian terjadi perubahan. Kesatu,
benda itu akan meledak karena tertahan oleh kekuatan
tenaga orang yang diserang, kedua ialah terkendali oleh
orang yang melancarkan.
Dengan timbulnya dugaan itu, maka Touw Liong tidak
berani menggunakan tangannya untuk menyampok senjata
tersebut.
Tindakan yang diambil Touw Liong itu ternyata benar,
tetapi lebih baik kalau ia dapat menyambuti senjata yang
meluncur dari tangan lawannya, tetapi ketika kedua
tangannya selagi hendak menyambuti benda itu, tiba-tiba
terdengar suara aneh, benda yang berada di tengah-tengah
dan disusul oleh lainnya dengan mendadak telah meledak.
Bersamaan dengan itu lima benda itu telah
memancarkan beberapa ratus jarum halus ke empat
penjuru.
Meledaknya benda baja itu menimbulkan suara peletakpeletak
berkali-kali, lalu di udara seperti hujan jarum yang
mengurung Touw Liong.
Touw Liong sangat terkejut, ia buru-buru lompat ke
belakang sejauh lima tombak.
Untung baginya, karena ia sudah siap sebelum
menghadapi kejadian itu, dan kedua senjata itu meledaknya
masih sejarak tiga tombak dengannya. Senjata rahasia itu
meskipun meledak dengan tiba-tiba, tetapi Touw Liong
masih dapat menyingkir dengan cepat, dan sudah keluar
dari kalangan yang berbahaya.
Namun demikian, Touw Liong juga sudah terkejut,
hingga mukanya pucat pasi. Oleh karena ia tahu bahwa
pertandingan hari itu bukanlah pertandingan biasa, asal ada
sebuah jarum saja yang menempek di bajunya, meskipun
jarum itu tidak menembus ke dalam kulitnya, itu juga sudah
dihitung kalah. Justru karena demikian maka Touw Liong
sudah terlepas dari serangan itu, keringat dingin mengucur
deras.
Touw Liong menggunakan lengan jubahnya untuk
membasuh keringat yang membasahi dahinya. Sementara
itu Kang Yauw tampak sikapnya yang dingin, dan lalu
menjura dan berkata kepada Touw Liong.
”Touw tayhiap benar-benar seorang gagah,
kepandaianmu sesungguhnya jarang ada, aku Kang Yauw
merasa takluk terhadapmu dan selanjutnya adalah
pelindung hukum kedua dari perkampungan kita yang
hendak belajar kenal dengan kepandaian Touw tayhiap.”
Selagi Touw Liong belum menjawab, Ouw Yan sudah
menggulung kedua lengan bajunya, tanpa bicara apa-apa
dengan langkah lebar berjalan menuju ke pintu gerbang
kemudian memasang kuda-kuda. Kedua lengannya
diulurkan untuk menyambar dua buah singa-singaan batu
yang berada di depan pintu. Mulutnya mengeluarkan suara
bentakan, singa-singaan batu yang beratnya hampir seribu
kati itu telah diangkatnya tinggi-tinggi, kemudian ia
memutar di dalam pekarangan, setelah itu ia berjalan
kembali di tempat asalnya. Sementara itu dalam hati Touw
Liong telah berpikir bahwa Ouw Yan tentu akan
meletakkan singa-singaan batu itu ke tempatnya semula,
tetapi dugaan itu meleset!
Ouw Yan tidak meletakkan singa-singaan batu itu di
tempatnya semula, melainkan kembali mengeluarkan suara
bentakan keras, dua tangannya yang memegang kaki singasingaan
batu tadi itu terangkat dan mendorongnya sehingga
singa-singaan itu terlempar jauh setinggi setengah tombak
lebih.
Perbuatan itu benar-benar sangat mengejutkan, sehingga
Touw Liong sendiri yang menyaksikan juga menahan
nafas.
Mengangkat singa-singaan batu yang beratnya hampir
seribu kati dengan dibawa berputar-putaran sekian lama, itu
saja sudah cukup mengejutkan orang, apalagi setelah itu
melemparkannya ke atas setinggi setengah tombak lebih, ini
benar-benar merupakan suatu kekuatan tenaga yang luar
biasa. Hal itu belum pernah Touw Liong mendengar atau
menyaksikannya. Selagi ia masih mengagumi kekuatan
tenaga orang itu, Ouw Yan sudah menyambuti singasingaan
batu yang meluncur turun dari tengah udara,
kemudian diletakkan di tempat semula.
Sehingga saat itu Ouw Yan masih tenang-tenang saja,
seolah-olah tidak menggunakan tenaga, nafasnya juga tidak
memburu, hingga mengagumkan perasaan Touw Liong.
”Touw tayhiap, aku si orang she Ouw, hanya main-main
saja, sekarang aku ingin menyaksikan bagaimana Touw
tayhiap menggunakan tenaganya untuk melakukan
perbuatanku terhadap singa-singaan batu itu.”
Ouw Yan yang mengangkat singa-singaan batu, lalu
berputar-putaran dan kemudian dilemparkan ke tengah
udara, semua itu dilakukan dengan sangat baik, dan seperti
sudah berlatih bertahun-tahun. Dalam hati, Touw Liong
diam-diam berpikir, untuk mengangkat singa-singaan batu
itu saja sudah cukup berat baginya, apalagi hendak
melemparkan ke atas setinggi setengah tombak, apabila
kurang tepat, singa-singaan batu itu salah-salah bisa
menindih atau mengenai kepalanya sendiri, bukankah itu
sangat berbahaya?
Tetapi dalam keadaan demikian, Touw Liong tidak ada
pilihan lain, ia terpaksa pasang kuda-kuda mengerahkan
seluruh kekuatan tenaganya, kepada dua lengannya,
kemudian dua tangannya memegang kaki depan singasingaan
batu, mulutnya lalu mengeluarkan suara bentakan,
singa-singaan batu itu terangkat naik melalui kepalanya.
Setelah itu ia melangkah lagi ke dalam pekarangan dan
berputar-putaran sambil mengangkat singa batu seperti apa
yang dilakukan oleh Ouw Yan.
Kang Yauw telah menyaksikan semua itu dengan mata
tanpa berkedip. Touw Liong setelah melakukan gerakan
putaran lalu kembali ke tempat semula, ia berdiri sejenak,
kemudia kedua lengannya bergerak, dan singa-singaan tadi
itu terlepas dari tangannya dan mumbul ke atas.
Touw Liong yang melakukan itu dengan sikap tenang,
singa-singaan batu itu terlempar satu tombak lebih di tengah
udara, sehingga Kang Yang yang menyaksikan itu juga
merasa kagum.
Singa-singaan batu itu setelah berada di tengah udara
tampak berputaran lalu menurun lagi. Touw Liong yang
sudah siap, dengan cepat menyambutnya, kemudian
meletakkannya kembali di tempatnya semula. Setelah itu ia
kibas-kibaskan kedua tangannya sambil menarik nafas lega.
Empat pelindung hukum perkampungan itu semua
nampaknya sangat kagum akan kekuatan tenaga Touw
Liong, hingga tak satupun yang perhatikan keadaan Touw
Liong pada waktu itu, yang mukanya sudah mulai pucat
pasi.
Karena saat itu Touw Liong sudah memforsir kekuatan
tenaganya, sehingga sangat kuatir akan terkalah dalam
permainannya.
Semua tidak tahu bahwa Touw Liong sewaktu
melemparkan singa-singaan batu tadi ke tengah udara,
singa-singaan itu nampak berputar-putaran di tengah udara,
bagi Touw Liong ini merupakan suatu kegagalan, karena ia
tidak berhasil mengimbangi tenaganya dengan beratnya
singa itu, maka wajahnya pucat seketika, tetapi di mata
empat pelindung hukum itu, lain lagi anggapannya, mereka
menganggap bahwa Touw Liong telah mempermainkan
singa-singaan batu itu.
Berputar-putarnya singat tadi di tengah udara itu bahkan
mengagumkan mereka. Kang Yauw memberi pujian
berulang-ulang, lama sekali baru membuka suara:
”Touw tayhiap benar-benar bukan hanya nama kosong
belaka, kita empat orang sesungguhnya amat kagum. Dan
bagaimana pertandingan ketiga ini ....?”
Mata Kang Yauw berputaran, ia memandang sejauh satu
pal lebih, di sana terdapat air sungai Lok Sui yang tenang,
kemudian dengan secara tiba-tiba ia perdengarkan suara
tertawa dingin dan berkata:
”Pelindung hukum nomor tiga pekampungan kita
hendak minta pelajaran meringankan tubuh di atas air
sungai Lok Sui.”
”Meringankan tubuh di atas air?? .....” bertanya Touw
Liong, agaknya tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
Ia sesungguhnya tidak menduga, karena ilmu
kepandaian menginjak di atas air sungai hanya mendengar
saja di kalangan rimba persilatan, ia belum pernah
menyaksikan sendiri ilmu meringankan tubuh yang
sungguh tidak ada taranya itu. Ia benar-benar tidak
menduga bahwa kepandaian itu dimiliki oleh seorang yang
tugasnya hanya menjabat pelindung hukum di dalam suatu
perkampungan yang tidak pernah dikenali ini.
Meskipun saat itu dalam hatinya agak kurang percaya,
sehingga ia harus memandang orang itu dari atas ke bawah,
ia ingin menyaksikan ada apa yang agak istimewa di badan
orang itu karena kepandaian seamcam itu bukanlah setiap
orang dapat mempelajarinya. Jikalau bukan seorang yang
berbakat luar biasa, dan mengumpulkan tenaganya kepada
suatu pusat, sebab meringankan tubuhnya sedemkian rupa
tidak mungkin dapat menginjakkan kaki di atas air.
Sementara itu Kang Yauw sudah menjawab dengan
suara nyaring:
”Benar!! Menginjak air dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh, pelindung hukum kita yang ketiga ini
mintaTouw tayhiap bertanding dengan ilmu itu.”
Sungai Lo Sui itu lebarnya kira-kira duapuluh tombak.
Touw liong mengerti bagaimanapun juga ia tidak bisa
menyeberanginya, maka ia lalu menarik nafas. Kang Yauw
tertawa bangga kemudian berkata dengan tenang.
”Touw tayhiap, kita akan menunggu di sana!”
Empat orang itu berjalan menuju ke tepi sungai Lok-sui,
Touw Liong terdiam sejenak, dengan keadaan terpaksa ia
juga berjalan menuju ke sungai itu.
Perasaannya saat itu sungguh tidak enak sekali, apalagi
kalau mengingat bahwa kepandaian empat orang itu satu
lebih tinggi daripada yang lainnya, tanpa disadari ia
berjalan terus mendekati sungai itu.
Sejenak Touw Liong terkejut, kemudian dengan tiba-tiba
otaknya timbul suatu pikiran yang aneh, ia lalu memetik
sepotong ranting pohon yang panjang sejengkal tangan, lalu
dimasukkan ke dalam lengan bajunya.
00000
Hawa udara dingin, namun permukaan air sungai Loksui
tenang-tenang saja, pelindung hukum nomor tiga dari
perkampungan Pak-bong-san sudah lama berdiri di tepi
sungai, sepasang matanya memandang ke permukaan air,
sedikitpun tidak bergerak. Wajah orang itu menunjukkan
sikapnya yang licik, terhadap permainannya sendiri yang
hendak menyeberangi sungai dengan jarak dua puluh
tombak itu, agaknya ia sudah yakin benar dapat
melakukannya dengan baik. Sebaliknya dengan Touw
liong yang berdiri terpisah dengannya sejauh enam tombak,
saat itu Touw Liong tampak ragu-ragu, ia merasa sangsi
atas kepandaiannya untuk menyeberangi sungai itu. Kang
Yauw yang berdiri di tengah-tengah antara dua orang itu,
dengan nada suara mengejek berkata:
”Dalam pertandingan ini, akan dimulai oleh pelindung
hukum kita yang ketiga lebih dahulu, kemudian akan
disusul oleh Touw tayhiap.”
Touw Liong memandang arah sungai Lok-sui yang lebar
itu, kemudian berkata dengan suara perlahan:
”Dengan kepandaian kalian orang-orang dari kelas dua
ini, rasanya siapapun tidak mempunyai kemampuan untuk
menyeberangi sungai itu!”
Baru saja menutup mulut, pelindung hukum nomor tiga
itu sudah melesat dan melompat sejauh tiga tombak, satu
kakinya menginjak permukaan air sungai yang terpisah tiga
tombak dari tepi, dengan gaya yang sangat ringan, kakinya
menginjak ke permukaan air, kemudian melesat lagi juga
sejauh tiga tombak.
Touw Liong yang menyaksikan itu benar-benar telah
merasa terkejut! Alisnya berdiri. Selagi tiga orang yang
lainnya tidak perhatikan gerakannya, ia telah dapat
patahkan menjadi beberapa potong kayu yang berada di
dalam lengan bajunya, ia lemparkan sebatang ke
permukaan air sungai sejauh empat tombak, dan sepotong
lagi dilemparkan sejauh delapan tombak.
Sementara itu pelindung hukum nomor tiga tadi, dengan
beberapa lompatan berulang-ulang, kini sudah tiba di tepi
seberang.
Saat itu dalam otak Touw Liong penuh rasa curiga,
mengingat perbuatan sendiri yang telah melemparkan dua
potong ranting kayu di permukaan air, sehingga dalam
hatinya timbul perasaan: apakah ia tidak main gila juga?
Setelah itu, ia lantas lompat melesat sejauh empat
tombak, satu kakinya tepat menginjak potongan ranting
kayu yang berada di permukaan air.
Kemudian ia melompat lagi, pada saat ia hampir
menginjak kepada suatu ranting yang lainnya, ia sudah
melemparkan sepotong lagi ke permukaan air sejauh empat
tombak.
Hanya lima kali loncatan ia sudah berhasil menyeberangi
sungai itu.
Empat pelindung hukum perkampungan yang
menyaksikan itu, semuanya tercengang dan terheran-heran,
mereka benar-benar tidak percaya bahwa di dalam dunia ini
ada orang yang mampu menyeberangi sungai tanpa
memakai perahu, lebih-lebih tidak percaya kepandaian ilmu
Touw Liong dalam meringankan tubuh sudah mencapai
kepada taraf yang tidak ada tandingannya. Dua ranting
kayu yang pertama yang dilemparkan oleh Touw Liong, di
luar tahunya pelindung hukum perkampungan itu tidak
diketahui oleh empat pelindung hukum dan potonganpotongannya
selanjutnya yang dilemparkan oleh karena
telah terpisah sudah jauh, sudah tentu lebih-lebih tidak
diketahui oleh mereka, apalagi potongan yang dilemparkan
oleh Touw Liong itu tidak besar, maka dengan mudah
mengelabuhi mata empat pelindung itu. Sebaliknya dengan
Touw Liong, karena dipengaruhi oleh perbuatannya
sendiri, maka ia memperhatikan tiap gerakan pelindung
hukum ketiga tadi, di permukaan air itu tidak mendapatkan
tanda-tanda yang mencurigakan sehingga dianggapnya
pelindung hukum ketiga itu benar-benar seperti berjalan di
atas air, dan tidak main gila. Touw Liong setelah tiba di
tepi seberang, ia berpaling memandang kepada tiga orang
yang sedang berdiri tertegun, kemudian ia memberi hormat
kepada pelindung hukum ketiga yang juga berada di satu
tepi dengannya, kemudian ia berkata:
”Sekarang tuan pelindung hukum keempat, masih ingin
melakukan pertandingan apa?”
Di luar dugaan Touw Liong, pelindung hukum ketiga itu
memberi hormat kepadanya, seraya berkata:
”Aku yang rendah, disini mewakili saudara-saudara
kami dari perkampungan ini, hendak mengantar Touw
tayhiap berlalu dari sini.”
Mata Touw Liong ditujukan ke permukaan air sungai,
dari tempat yang agak jauh, tampak beberapa batangan
kayu kecil mengambang di atas air, selain daripada itu tidak
tampak apa-apa lagi. Jelas bahwa pelindung hukum ketiga
tadi tidak seperti dirnya sendiri yang menggunakan batang
kayu kecil untuk injakan kakinya, hanya dalam hati Touw
Liong benar-benar masih tidak mau percaya bahwa
pelindung hukum itu dapat menyeberangi sungai selebar
dua puluh tombak itu tapa menggunakan benda buat
injakan kaki.
Dengan penuh pertanyaan dalam otaknya, ia tidak
berani berlalu dengan segera, sebaliknya balas bertanya
kepada pelindung hukum ketiga itu:
”Bagaimana dengan kepandaian ilmu pelindung hukum
keempat ...?”
Pelindung hukum ketiga menjawab sambil menunjuk ke
sungai bagian bawah:
”Tempat itu dalamnya kira-kira sepuluh tombak di
bawah sungai itu airnya dingin sekali, namun pelindung
hukum kita yang keempat dapat menyelam di dalam air itu
selama tiga jam.”
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong mendengar
keterangan itu, ia diam-diam merasa bersyukur, karena
seandainya tadi ia harus melakukan empat pertandingan, di
dalam pertandingan keempat ini, ia pasti akan kalah,
sebabnya ialah Touw Liong sedikitpun tidak pandai
berenang.
Ia mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
”Di kemudian hari apabila ada jodoh, aku pasti hendak
belajar kenal dengan kepandaian di bawah air saudaramu
itu!”
Berlalu dari sungai Lok-sui, pikiran Touw Liong masih
seperti diganduli oleh barang berat, ia masih merasa
penasaran, maka ketika berjalan lima pal jauhnya, ia
kembali ke sungai Lok-sui.
Tiba di tepi sungai yang tadi pernah diseberangi
permukaan air ternyata masih tenang, tetapi empat
pelindung hukum itu sudah tidak tampak bayangannya.
Touw Liong berjalan ke tempat yang tadi bekas diinjak
pelindung hukum ketiga, lalu melongok ke permukaan air,
air sungai itu tidak menunjukkan tanda-tanda
mencurigakan, hingga dalam hatinya berpikir: Benarkah ia
memiliki ilmu meringankan tubuh setinggi itu?
Pada saat itu dari bagian atas tampak sebuah sampan di
dayung menuju ke tengah sungai, Touw Liong acungkan
tangannya, dan tukang perahu itu menepi, setelah itu ia
lompat melesat ke atas sampan, dari dalam sakunya ia
mengeluarkan sepotong uang, kemudian diberikan kepada
tukang perahu, sambil menunjuk ke tepi seberang. Tukang
perahu itu mengerti, ia lalu mendayung perahunya dengan
mengambil jalan bekas dilalui oleh pelindung hukum ketiga
tadi.
Sepanjang penyeberangan itu, Touw Liong
menundukkan kepala memperhatikan keadaan air sungai,
di dalam air itu tiba-tiba menemukan sesuatu benda yang
aneh.
Kira-kira tiga kaki di dalam air, setiap sejarak tiga
tombak, di situ pasti terdapat sepotong bambu.
Touw Liong segera sadar, kiranya pelindung hukum
ketiga tadi menyeberangi sungai dengan menginjak bambu
yang sudah diletakkan lebih dahulu ke dalam sungai itu.
Bambu-bambu itu semua rata dengan permukaan air,
tetapi setelah diinjak dengan kaki pelindung hukum tadi,
bambu itu melesak ke dalam, sehingga amblas tiga kaki dari
permukaan air.
Touw Liong memberi tanda kepada tukang perahu,
minta ia mencabut sebatang. Tukang perahu mendayung
sampannya kira-kira tiga tombak di tepi sungai, di tempat
yang agak dangkal ia mencabut sebatang bambu sepanjang
lima kaki, dan diberikan kepada Touw Liong.
Touw Liong dengan membawa bambu itu melompat
naik ke atas tepi kemudian lari menuju ke perkampungan.
Sebentar kemudian, ketika ia tiba di pintu gerbang
perkampungan itu, lalu mengambil selembat daun bambu
yang agak lebar, di atasnya ditulis beberapa patah kata:
KEPANDAIAN GOLONGAN PAK BONG SAN
HANYA BEGITU SAJA; KUPERINGATKAN KEPADA
KO HONG, JANGAN GEGABAH MENIMBULKAN
ONAR DI PERKAMPUNGAN WIE LIONG CEN.
Sehabis menulis, ia mengetok pintu perkampungan itu.
Orang yang membuka pintu itu masih tetap orang tua
yang semula dijumpai oleh Touw Liong. Orang tua itu
dengan perasaan terheran-heran memandang Touw Liong,
kemudian bertanya:
”Mengapa siangkong kembali?”
Touw Liong menggapai kepada orang tua itu, lalu
memberikan bambu dan daun bambu yang telah ditulisnya
tadi seraya berkata:
”Tolong bapak sampaikan kepada tuan Kang, suruh ia
berusaha memberitahukan kepada Ko Hong, jikalau berani
menimbulkan onar di perkampungan Hui-liong-chung, aku
si orang she Touw nanti akan minta pertanggungan jawab
kepada tuan Kang.”
Kakek tua itu menyambuti bambu dan daun bambu,
setelah itu Touw Liong mengucapkan terima kasih
kepadanya dan berjalan balik menuju ke tepi sungai.
Dengan alis berdiri, ia berkata kepada diri sendiri:
”Sebaiknya aku segera berangkat ke gunung Tiam-congsan.”
Bab 22
Dari kota Lok Yang, Touw Liong mengambil jalan
menuju ke kota Lam-yang, setelah melalui kota King-siang,
kemudian lalu membelok menuju ke barat.
Sepanjang jalan, hampir tidak ada waktu untuk
beristirahat, tetapi ia masih tidak berhasil mengejar gadis
baju kuning dari perkampungan Pak-bong-san.
Hari itu cuaca cerah, perahu besar yang ditumpangi
Touw Liong melalui tiga selat di bawah kaki bukit Bu-san,
lalu tiba di pelabuhan Hong-ciat.
Hong-ciat merupakan satu kota pelabuhan yang cukup
besar, di kota itu terdapat manusia berbagai golongan dan
berbagai tingkat, tukang perahu berkata, bahwa perahunya
harus berhenti di pelabuhan itu untuk menunggu muatan
barang, kira-kira satu hari lagi baru bisa diberangkatkan.
Penumpang dalam perahu itu tidak banyak kira-kira
sepuluh orang lebih, karena masih ada waktu satu hari,
siapapun tidak mau berdiam di dalam perahu, maka
masing-masing naik ke darat dan memasuki kota pelabuhan
untuk pesiar.
Touw Liong juga terdapat di antara orang-orang itu;
mulai masuk ke dalam kota. Di sebelah barat bagian kota
yang dekat sungai ada sebuah rumah minum yang bernama
Sam-gi-yan, rumah minum itu kabarnya merupakan satusatunya
rumah minum arak yang sangat terkenal di daerah
itu. Rumah minum itu bukan saja terkenal dengan araknya,
tetapi terkenal pula dengan masakannya, Touw Liong tidak
gemar minuman arak, tetapi oleh karena rumah minum itu
merupakan suatu rumah minum yang terkenal, maka ia
tidak mau lewatkan kesempatan begitu saja.
Masuk di dalam rumah minum itu, ia mencari tempat
duduk yang dekat dengan permukaan sungai, di sebelah
tempat duduknya dua laki-laki sedang bercakap-cakap
dengan suara perlahan, tetapi yang satunya lagi suaranya
bukan saja keras, tapi juga agak serak.
Dua orang itu semua membicarakan orang-orang di
jaman Sam-Kok, katanya Kwan Kong yang segagah itu
oleh karena terkepung di gunung Lu-san sehingga hatinya
merasa cemas dan kemudian jatuh sakit di kota Hong-ciat
bahkan mati di tempat itu. Tapi kemudian orang yang
suaranya serak tadi tiba-tiba berkata: ”Kota Hong-ciat
merupakan kota bersejarah, di sini pernah ditanam jenasah
Lao Pie, raja dari jaman Sam-Kok, aku heran, mengapa
sancu kita tidak memilih tempat di kota ini untuk
pertemuan besar, sebaliknya memilih tempat gunung Lusan?”
Touw Liong yang mendengar perkataan ”sancu” hatinya
tergerak. Ia berpaling mengawasi kepada dua orang yang
sedang asyik berbicara itu. Dua laki-laki yang sedang asyik
bicara tadi, dari wajah mereka menunjukkan sudah mulai
agak mabuk, terutama orang yang suaranya serak dan kasar
tadi otot-ototnya pada menonjol dan bergerak-gerak
sehingga tampak sikapnya yang sangat lucu. Kawannya
yang bermuka merah terdengar berkata: ”Danau Siao-thianti
di gunung Lu-san merupakan suatu tempat yang
mempunyai pemandangan alam sangat indah, sudah tentu
sancu kita memilih tempat itu untuk mengadakan
pertemuan.”
Sang kawan yang suaranya serak itu berkata: ”Kita
orang-orang Sucwan memiliki gunung Ngo-li-san yang
puncaknya sangat terkenal juga indahnya, rasanya tidak
kalah dengan danau Siao-thian-ti.”
Kawannya yang bermuka merah itu agaknya tidak mau
bertengkar dengan kawannya, maka mengalihkan
permbicaraannya ke lain soal, ia berkata dengan suara
pelahan:
”Apakah benar, sancu kalian kali ini mengirim surat
undangan? Kabarnya sangat luas sekali, hampir setiap
orang yang terkenal dalam rimba persilatan tidak ada satu
yang tidak diundang?”
Kawannya yang bersuara serak tadi mukanya
celingukan, kemudian berkata dengan suara yang agak
pelahan: ”Belum dapat dikatakan luas, umpama kata, Kiuhwa
Lojin dari gunung Kiu-hwa-san, tidak dapat
undangan.”
Touw Liong yang mendengar perkataan ini, sikapnya
berubah seketika, namun ia berusaha untuk mengendalikan
perasaannya.
Karena ia tahu, bahwa Kiu-hwa Lojin di dalam rimba
persilatan merupakan seorang yang sangat terkenal tinggi
kedudukannya ia sungguh tidak menyangka bahwa ada
orang yang hendak mengadakan pertemuan besar, sudah
mengeluarkan suatu undangan, tetapi tidak mengundang
suhunya.
Berapa kali ia ingin berdiri untuk menanyakan
keterangan kepada orang itu, tetapi akhirnya ia kembalikan
dirinya untuk bersabar.
Orang yang bermuka merah itu dengan suara berbisikbisik
bertanya pada kawannya: ”Kenapa?”
Sang kawan yang suaranya serak tadi menunjukkan
tertawanya yang misteri, kemudian berkata: ”Tidak apaapa,
hanya karena Kiu-hwa Lojin pada tiga puluh tahun
berselang pernah mengeluarkan perkataan bahwa ia tidak
akan terjun ke dunia Kang-ouw lagi ....”
Touw Liong menarik napas lega, lelaki bermuka merah
agaknya tidak setuju atas perkataan kawannya tadi, maka ia
memotong dan berkata: ”Kiu-hwa juga merupakan suatu
partai besar dan ternama, pertemuan besar semacam ini,
meskipun Kiu-hwa Lojin tidak bisa datang sendiri, setidaktidaknya
juga harus mengirim anak buahnya untuk hadir,
sancumu agaknya tidak pantas kalau mengabaikan hak-hak
mereka itu.”
Touw Liong sementara itu bertanya-tanya kepada diri
sendiri. ”Pertemuan apakah yang akan diadakan oleh
sancu itu?”
Sementara itu terdengar pula suaranya orang yang
suaranya serak tadi. ”Sudah tentu, sudah tentu sancu kita
mencari jalan untuk memperbaikinya, sekalipun
undangannya tidak disampaikan langsung kepada Kiu-hwa
Lojin, tetapi kepada anak muridnya juga diberikan sebuah
undangan!”
Kawannya yang bermuka merah menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian berkata:
”Tindakan ini agaknya kurang tepat, juga agak aneh, aku
sesungguhnya tidak setuju.”
Kawannya yang bersuara serak tadi berkata: ”Justru
karena surat undangan itu yang menyulitkan diriku, di
dunia yang sangat luas ini kemana aku harus mencarinya?”
”Mencari siapa??” demikian kawannya yang bermuka
merah tadi bertanya.
”Mencari muridnya yang bernama Touw Liong.”
Touw Liong yang mendengar kata-kata orang itu, karena
tadi merasa terhina, sehingga agak marah, dari mulutnya
mengeluarkan suara gerutuan.
Dua laki-laki yang bercakap-cakap tadi ketika mendengar
suara gerutuan Touw Liong lantas berhenti bicara, dengan
serentak berpaling memandang kepada Touw Liong.
Touw Liong mengerti, bahwa pada tempat dan saat
seperti itu, ia tidak boleh bertengkar dengan dua orang itu,
karena ia masih perlu mendengar percakapan selanjutnya
dua orang itu, dan selain daripada itu, karena pembicaraan
dua orang itu dilakukan sangat pelahan dan hanya dari lakilaki
yang suaranya serak itu yang bisa didengar olehnya, ia
mengharap dari mulut orang itu dapat keterangan lebih
jauh, maka ia tetap berlaku sabar.
Sebelum dua orang tadi memandang ke arahnya, ia buruburu
alihkan pandangannya keluar jendela.
Dua laki-laki tadi ketika melihat sikap Touw Liong yang
agaknya tidak menghiraukan pembicaraan mereka, lalu
melanjutkan percakapannya.
Orang yang bermuka merah itu berkata: ”laote! Biarlah
saja kalau tidak menemukan orang she Touw itu, kau
antarkan saja undangannya ke gunung Kiu-hwa ....”
Orang yang suaranya serak itu menjawab dengan tegas:
”Tidak bisa! Itu tidak boleh! Sancu muda kita telah
memberi pesan wanti-wanti minta aku sampaikan sendiri
kepada orang she Touw itu.”
”Oo ....!” demikian sang kawan yang bermuka merah itu
menyahut sambil mengangguk-anggukkan kepala, agaknya
merasa simpati terhadap tindakan kawannya.
Sementara itu wajah Touw Liong berkali-kali berubah,
tangannya memegang cawan arak, namun otaknya bekerja,
ia sedang memikirkan dengan jalan bagaimana untuk
mengambil surat undangan dari orang itu.
Ia tidak suka mengagungkan dirinya, juga tidak suka
merampas dengan menggunakan kekerasan, ia pun tidak
mau mencuri secara menggelap, satu-satunya cara ialah
mengambil dengan terus-terang, namun dengan memakai
akal, tetapi pakai apa? Bagaimana supaya dapat
mengambilnya tanpa disadari oleh orang lain, juga janga
sampai orang itu mengetahui kalau ia yang mengambil.
Pada saat itu, ia sudah menduga pasti bahwa sancu yang
dimaksudkan oleh orang yang suaranya serak dan keras itu
pasti adalah sancu dari gunung Cit-phoa-san, Pek Thian
Hiong.
Ia tujukan pandangan matanya ke permukaan air sungai,
mengawasi bergulungnya ombak air sungai, tiba-tiba
alisnya berdiri, dalam otaknya menemukan suatu akal,
sambil menepuk-nepuk jidatnya sendiri ia berkata: ”Orang
itu tadi mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar,
seharusnya diberikan sedikit hajaran.”
Ini bukan menunjukkan Touw Liong berjiwa sempit,
sebetulnya nama Touw Liong yang sudah dikenal di
seluruh rimba persilatan, tidak seharusnya orang itu
menggunakan kata-kata yang tidak sopan terhadapnya.
Ia alihkan pandangan matanya kepada dua laki-laki tadi,
yang saat itu masih bercakap-cakap dengan asyiknya,
tampaknya, dalam waktu singkat tidak akan berlalu dari
tempat itu, maka ia segera bangkit dari tempat duduknya
dan berjalan menuju ke meja kasir.
Touw Liong minta disediakan kertas dan alat tulis,
kemudian menulis di atas kertas:
”Undangan sudah kuterima, kata-katamu tadi kurang sopan,
seharusnya kuberi peringatan. Kepada sancu muda,
Tertanda, Touw Liong”
Setelah menulis sampulnya, ia masukkan surat itu ke
dalam sampul itu, lalu ditutup rapat-rapat, di muka sampul
dialamatkan kepada Sancu Muda dari gunung Cit-phoasan,
sedang di bawahnya ditulis namanya sendiri.
Sehabis melakukan pekerjaannya itu, ia masukkan surat
ke dalam sakunya, lalu kembali lagi ke tempat duduknya
semula, dan dengan seenaknya minum lagi araknya.
Sementara itu, matanya sebentar-sebentar memandang
ke arah dua laki-laki di dekat mejanya, kini tampak olehnya
muka dua orang itu tambah merah, saat itu sudah tidak
memperbincangkan urusan surat undangan itu lagi,
sebaliknya mereka membicarakan persoalan rimba
persilatan.
Touw Liong anggap saatnya sudah tiba, dengan tenang
ia bangkit lagi, lalu menjura kepada lelaki yang suaranya
serak dan kasar, seraya berkata:
”Apakah saudara berasal dari Propinsi Sucoan?”
Lelaki yang ditegur itu tampak tercengang, kemudian
menjawab.
”Benar, saudara ada keperluan apa?”
”Aku telah mengganggu kesenangan saudara berdua,
lebih dulu minta maaf sebesar-besarnya, aku hendak minta
keterangan tentang suatu tempat, harap saudara ....”
”Tidak apa, asal aku tahu, aku pasti akan memberitahu
kepadamu, katakanlah segera.”
Touw Liong membungkukkan badan mengucapkan
terima kasih lagi, akhirnya berkata pula:
”Aku hendak numpang tanya. Kemana jalannya yang
menuju ke gunung Cit-phoa-san?”
”Gunung Cit-phoa-san?” berkata laki-laki itu, matanya
berputaran mengawasi Touw Liong, kemudian ia balas
bertanya dengan perasaan terheran-heran.
”Saudara hendak mencari siapa di gunung Cit-phoasan?”
”Siaote hanya membawa tugas untuk mengantarkan
surat ke gunung Cit-phoa-san.”
Laki-laki itu semakin terkejut, ia bertanya pula.
”Saudara datang dari mana?”
”Dari gunung Kiu-hwa-san.”
”Gunung Kiu-hwa-san?”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala.
Lelaki itu pelahan-lahan bangkit dari tempat duduknya,
dengan sikap baik, balik bertanya:
”Saudara mendapat perintah dari siapa?”
”Dari seorang pendekar yang namanya sangat terkenal
pada dewasa ini ....”
”Apakah pendekar itu Touw tayhiap?”
Touw Liong kembali mengangguk-anggukkan kepala.
Napas laki-laki itu mendadak sesak, lalu bertanya dengan
suara gemetaran:
”Surat itu ditujukan kepada siapa?”
Touw Liong memandang kanan kirinya sejenak, dengan
pura-pura berlaku misterius telunjuk jari tangan kanannya
menuding.
Lelaki itu memandang sekilas sampul yang berada di
tangan Touw Liong, ia lalu membacanya dengan suara
pelahan:
”Sancu muda?”
”Ya....” menjawab Touw Liong dengan pelahan,
”Saudara bicara harus hati-hati sedikit.”
”Ha ....” tertawa laki-laki itu, matanya dibuka lebar dan
berkata pula.
”Kedatangan saudara sangat kebetulan, bolehkah aku
bertanya, saudara ada hubungan apa dengan Touw
tayhiap?”
”Saudara seperguruan,” menjawab Touw Liong dengan
suara pelahan.
”Ai ...!!” berseru laki-laki itu sambil menyoja, ”Boleh aku
numpang tanya nama saudara yang mulia?”
”Kim Yan!” menjawab Touw Liong dengan
menggunakan nama adik seperguruannya.
”Kim Yan .... Oh! Benar! Menurut keterangan sancu
muda, murid golongan Kiu-hwa ada salah satu yang
bernama Kim Yan.”
Kembali lelaki itu memandang Touw Liong dari atas
sampai ke bawah, kemudian mengulurkan tangan sambil
berkata pula:
”Saudara Kim, bolehkah aku lihat sebentar surat itu?”
”Tidak boleh! Suheng telah pesan berwanti-wanti,
jikalau tidak bertemu sendiri dengan sancu muda, surat ini
harus kubawa kembali,” menjawab Touw Liong sambil
mengeleng-gelengkan kepala.
”Begitu penting?” tanya lelaki itu sambil mengerutkan
alisnya.
Touw Liong kembali mengangguk-anggukkan kepala.
Lelaki itu celingukan mengawasi keadaan di sekitarnya,
tampak olehnya di salah satu ruangan keadaannya agak
sepi, di situ tidak terdapat seorangpun juga, maka lalu
memberi hormat kepada Touw Liong seraya berkata,
”Kim tayhiap, aku ada urusan penting hendak minta
pertolonganmu, sudikah kiranya saudara membuang sedikit
waktu untuk bicara denganku?”
Touw Liong nampak sangsi sejenak, akhirnya ia
menganggukkan kepala, lelaki itu lalu memutar tubuhnya
dan berjalan lebih dulu ke ruangan yang kosong itu.
Touw Liong mengikuti di belakangnya dengan berjalan
lambat.
Kawan lelaki itu yang bermuka merah menganggukanggukkan
kepala sambil berkata kepada diri sendiri,
”Mereka berdua sungguh kebetulan, masing-masing
menemukan apa yang dicari. Tampaknya urusan itu nanti
akan berjalan lancar!”
Sebentar kemudian, dua orang itu melakukan
pembicaraan serius di ruangan kosong itu, masing-masing
masukkan tangannya ke dalam saku, lalu mengeluarkan
sepucuk sampul, kemudian dua orang itu kembali lagi ke
tempat duduk masing-masing.
Lelaki yang suaranya serak itu nampaknya sangat
gembira, ia berjalan menuju ke kasir membayar uang,
setelah itu berjalan keluar dengan diikuti oleh kawannya
yang bermuka merah.
Setelah dua laki-laki itu tadi berlalu, Touw Liong
mengeluarkan surat undangan yang diberikan oleh lelaki
tadi, karena saat itu keadaan agak sepi, ia lalu membaca
surat undangan, sehabis membaca alisnya lantas berdiri.
Kiranya dalam surat undangan itu telah ditulis demikian:
”Diberitahukan dengan hormat, bahwa orang yang
menamakan diri Panji Wulung itu, sebetulnya bukan seorang
yang sifatnya gaib, melainkan seorang yang sangat kejam dan
jahat; perbuatannya pada seratus tahun berselang, mengacau di
beberapa daerah Tiong-goan, dan perbuatannya yang
membinasakan dua belas tokoh rimba persilatan, sehingga saat ini
masih merupakan suatu perbuatan terkutuk yang tidak dapat
diampuni oleh siapapun juga. Dan kini seratus tahun kemudian,
ia telah muncul lagi, maksudnya hendak menyebarkan bencana
dalam rimba persilatan. Aku Thian Hiong sungguh beruntung,
merupakan orang pertama-tama yang dijadikan sasaran. Anakku
Giok Hwa, ketika pesiar di kota Keng-siang, telah menerima
sebuah panji wulung, tetapi perbuatan Panji Wulung itu yang
tidak berani berlaku terang-terangan, entah apa yang dimaksud
olehnya? Kemudian aku dengar bahwa tiga jago dari partai
Kiong-lay-pay, tokoh-tokoh dari gunung Thay-san dan
perkampungan Hui-liong-chung, masing-masing telah binasa dan
terluka di bawah tangan Panji Wulung. Jikalau perbuatan itu
dibiarkan begitu ...
halaman 59 – 62 R O B E K !!!
dua kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah, dengan
cepat sekali sudah berada di hadapan Touw Liong.
”Aaa....” demikian seruan yang tercetus dari mulut Panji
Wulung, kemudian berkata pula dengan nada suara dingin.
”Manusia di mana saja selalu bertemu. Anak busuk, kali
ini kita kembali bertemu di sini! Hari ini aku ingin lihat
dengan apa kau hendak mengelabui diriku lagi!”
Setelah berkata demikian, ia menghampiri Touw Liong
semakin dekat.
Alis Touw Liong berdiri, entah apa sebabnya dengan
mendadak dalam pikirannya timbul perasaan hormat dan
halus terhadap Panji Wulung. Touw Liong
membungkukkan badan memberi hormat, mulutnya
berkata.
”Ya, manusia memang dimana saja selalu bisa bertemu.
Apakah selama ini locianpwee baik-baik saja?”
Panji Wulung ternyata tidak mau menerima hormatnya,
ia berkata dengan nada suara dingin.
”Aku si orang tua masih bisa makan enak, masih bisa
tidur nyenyak, mengapa tidak baik?”
Touw Liong merasa kecele, tetapi ia tidak marah,
bahkan masih membungkukkan badan memberi hormat
seraya berkata:
”Ada keperluan apa cianpwee berkunjung ke gunung Busan
ini?”
”Ada dua urusan. Pertama, aku hendak mencari setan
tua dari Gunung Bu-san untuk membuat perhitungan
dengannya, dan kedua, hendak mencari kau untuk
menanyakan sesuatu hal,” jawab Panji Wulung dengan
nada suara dingin.
”Mencari aku?” bertanya Touw Liong terkejut,
sementara dalam hatinya berpikir: ”ada urusan apa mencari
aku?”
”Benar! Aku hendak mencari kau!”
Biji mata Touw Liong berputaran, pikirannya bekerja
keras, sementara itu Panji Wulung tiba-tiba perdengarkan
suara tertawa dingin, kemudian berkata pula:
”Panji Wulung ada dua, bahkan orang yang berani
terang-terangan mengaku sebagai Panji Wulung itu adalah
kamu sendiri!”
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong sehingga saat
itu ia berdiri tertegun.
JILID 9
Dengan nada suara dingin Panji Wulung berkata sepatah
demi sepatah:
“Dalam kolong langit ini hanya ada satu Panji Wulung,
itulah aku sendiri, aku tidak mengijinkan adanya orang
kedua yang mengaku-aku sebagai Panji Wulung. Tetapi
hari ini aku tidak akan ngurusi soal ini, aku tidak peduli kau
betul ataukah tidak keturunan Panji Wulung yang satu itu,
hari ini kau harus mati.”
Ucapan Panji Wulung itu sebetulnya sangat jumawa,
hingga Touw Liong yang mendengarkan lantas naik pitam,
ia bertanya:
“Dari siapa cianpwee dengar bahwa aku adalah
muridnya Panji Wulung?”
“Setan tua dari gunung Bu-san.”
“Anak sakti dari gunung Bu-san?”
Panji Wulung menganggukkan kepala membenarkan
pertanyaan Touw Liong.
Touw Liong lalu berpikir: “Tentang diriku yang menjadi
keturunan Panji Wulung, hanya suhu yang tahu, Anak
Sakti dari gunung Bu-san di dalam rimba persilatan
mempunyai kedudukan baik dan nama harum, sudah tentu
tidak suka melakukan perbuatan yang bersifat mengadu
domba atau mencuri dengar rahasia orang lain.”
“Oo…” Demikian Touw Liong berseru dan tiba-tiba
ingat diri seseorang.
Panji Wulung miringkan kepalanya dan bertanya:
“Anak busuk, mengapa kau masih berlagak?”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, seolah-olah
berkata kepada diri sendiri, juga seperti memberitahukan
kepada Panji Wulung, katanya:
“Aku teringat dirinya seseorang!”
“Siapa?”
“Kakek Seribu Muka, caranya ia menyamar menjadi
Anak Sakti dari gunung Bu-san sesungguhnya sulit
dibedakan, mana yang tulen dan mana yang palsu, orang
tua itu menyiarkan perkataan yang bukan-bukan di luaran,
maka aku hendak berkata bahwa cianpwee sudah kesalahan
mencari orang.”
Panji Wulung mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:
“Aku tidak peduli itu semua, juga tidak peduli, siapa
yang kata, aku hanya ingin tanya kau, kau mau mengaku
sebagai keturunan Panji Wulung yang lain itu atau tidak?”
Touw Liong mengerti, bahwa jikalau ia berkata terus
terang pasti akan dibunuh oleh nenek itu, tetapi ia masih
berkata secara terus terang, katanya sambil menganggukanggukkan
kepalanya:
“Boanpwee sesungguhnya adalah murid Panji Wulung
yang cianpwee maksudkan.”
Panji Wulung mendadak terbenam dalam lamunannya,
tidak mengambil tindakan dengan segera, sebaliknya
berkata dengan suara dingin:
“Bocah, kau mempunyai bukti apa, yang dapat
membuktikan bahwa kau adalah murid keturunan Panji
Wulung?”
Touw Liong tercengang, mata Panji Wulung mendadak
memancarkan sinar yang buas, lalu berkata dengan nada
suara tetap dingin:
“Muridnya Panji Wulung, memiliki dua belas panji kecil
warna hitam, jikalau kau tidak dapat mengeluarkan panjipanji
itu, itu berarti kau hanya mengaku-aku saja.”
Beberapa kali Touw Liong hendak mengeluarkan surat
dari dalam sakunya yang ditinggalkan si Dewa Arak Taysu
Gila, untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pewaris
Panji Wulung, akan tetapi ia batalkan maksud itu, dan
berkata sambil tertawa getir:
“Boanpwee kini justru sedang mencari dua belas panji
itu.”
“Akal busuk, jikalau kau bukan karena butek pikiranmu,
tentunya otakmu sudah miring. Siapa saja kau boleh
menyaru, hanya Panji Wulung tidak. Apa kiramu boleh
kau tiru begitu saja? Baiklah! Hari ini aku tidak akan
berlaku kejam terhadapmu, aku akan memberi kau suatu
kematian yang paling baik.”
Setelah berkata demikian ia benar-benar terus
mengangkat tongkatnya, perlahan-lahan disodorkan,
langsung mengarah jalan darah di bagian dada Touw
Liong.
Sebelum ujung tongkat tiba kepada sasarannya, dari situ
menghembuskan hawa dingin, yang menyusup ke dalam
kulit daging dan bagian jalan darah, sehingga sekujur badan
Touw Liong dirasakan dingin. Di dalam keadaan
demikian, jika ia ingin lari, sudah tentu percuma saja, satusatunya
jalan hanya menantikan kematian sambil
memejamkan matanya.
Henbusan hawa dingin yang keluar dari ujung tongkat
Panji Wulung semakin lama semakin hebat, tampaknya,
asal tangan Panji Wulung bergerak, Touw Liong segara
akan binasa. Akan tetapi tongkat itu masih tetap dalam
keadaan demikian, hanya kekuatan tenaganya perlahanlahan
ditambah semakin hebat.
Hati Touw Liong merasa sangat cemas, akan tetapi sikap
dan wajahnya masih tetap biasa, tidak menunjukkan rasa
takut selagi menghadapi bahaya maut.
“Bocah!” Berkata Panji Wulung dengan nada agak
lunak, dengan tiba-tiba tongkatnya ditarik kembali. Touw
Liong agak terkejut, ketika ia membuka mata, sikap bengis
Panji Wulung ternyata telah lenyap seketika, ujung tongkat
berhenti di tempat sejarak setengah kaki di hadapan
dadanya. Touw Liong tidak tahu, mengpa Panji Wulung
tidak membunuh dirinya, sementara itu Panji Wulung
sudah berkata lambat-lambat:
“Tentang bakat, keberanian dan kecerdasanmu, memang
benar seperti apa yang dikatakan oleh adik seperguruanmu,
merupakan suatu bakat yang luar biasa selama seratus
tahun ini. Oleh karena itu, aku ingin menjadikan kau orang
sempurna. Bocah, kau …”
Biji mata Touw Liong berputaran, ia tidak mengerti apa
maksudnya Panji Wulung. Sementara itu Panji Wulung
sudah berkata lagi:
“Aku akan manjadikan kau Panji Wulung yang sebenarbenarnya.”
“Budi kebaikan cianpwee, boanpwee mengucapkan
terima kasih, akan tetapi…“ berkata Touw Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Bocah! Apa kau hendak mengatkan bahwa kau adalah
Panji Wulung yang sebenarnya? Betul tidak?” Demikian
Panji Wulung memotong ucapan Touw Liong sambil
memperdengarkan suara tertawanya yang bengis dan aneh.
Touw Liong tidak berkata apa-apa, hanya
menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Heh! Heh!” demikian Panji Wulung mengeluarkan
suara dua kali dari hidung, sinar matanya yang buas tampak
berkobar, biji matanya berputar-putaran, dua tangannya
nampak gemetar, tetapi ia tidak mengambil tindakan apa.
Menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras
memikirkan suatu persoalan yang memusingkan kepalanya
itu.
Touw Liong tak menunjukkan sikap apa-apa, ia hanya
menantikan terjadinya perubahan selanjutnya.
Dengan tiba-tiba Panji Wulung memperdengarkan suara
tertawanya yang menyeramka, kemudian berkata dengan
nada suara dingin:
“Aku berikan kesempatan padamu untuk hidup terus,
aku ingin melihat dengan cara bagaimana kau hendak
bersaing denganku?”
Touw Liong seolah-olah mendapatkan keampunan
besar, baru saja ia menarik nafas lega, ujung tongkat Panji
Wulung sudah disodorkan lagi kepadanya, tempat yang
menjadi sasaran masih tetap jalan darah di bagian dadanya.
Perbuatan Panji Wulung itu sesungguhnya di luar
dugaannya, wajahnya berubah seketika, perasaan khawatir
akan datangnya bahaya maut sesaat telah memenuhi
otaknya.
Namun demikian ia masih berdiri tegak tidak bergeser
sedikitpun dari tempatnya, ia sangat menyesalkan ucapan
panji Wulung yang tidak dapat dipercaya, maka ia menarik
nafas panjang. Sementara itu Panji Wulung sudah berkata
dengan suara dingin:
“Mengapa kau menghela nafas? Jangan kau membikin
malu orang saja! Kalau muridnya Panji Wulung seperti kau
ini yang tidak mempunyai nyali, bukankah akan membikin
malu nama baik suhumu yang dipupuk sejak seratus tahun
berselang?”
Selama bicara, ujung tongkat berhenti di hadapan dada
Touw Liong sekira satu dim, hawa dingin menghembus
keluar dari ujung tongkatnya, pelahan-lahan menyusup
melalui jalan darah Hian-kie-hiat Touw Liong.
Mempertahankan hidupnya adalah kodrat pembawaan
setiap manusia, Touw Liong adalah manusia biasa, sudah
tentu tidak terlepas dari kodrat itu. Maka sesaat itu, ia telah
mengerahkan ilmunya “membuka pintu langi” untuk
menutup depan dadanya, hembusan angin yang keluar dari
ujung tongkat Panji Wulung seperti kebentur dengan
kekuatan tenaga, hingga ia mengeluarkan suara tertawa
dingin, dengan tiba-tiba ia memperhebat serangannya,
hembusan angin telah dapat menembus pertahanan
kekuatan tenaga dalam Touw Liong, terus menyusup ke
dalam tubuhnya.
Wajah Touw Liong pucat pasi, badannya jatuh terguling
di tanah tanpa bisa bergerak.
Dengan sikap bangga Panji Wulung menarik kembali
tongkatnya, mulutnya mengeluarkan suaru siulan
kemenangan, kemudian badannya bergerak menghilang ke
balik bukit.
Angin gunung meniup kencang, awan putih
menggumpal di tengah udara, keadaan dan cuaca di puncak
Sin-lie-hong tampak tenang, sedang Touw Liong yang
rebah menggeletak di tanah, tidak diketahui masih hidup
atau mati. Ia membiarkan dirinya ditiup oleh angin gunung
yang dingin, sedikitpun tidak bergerak.
OOOOO
Ketika Touw Liong sadar kembali, ia telah mendapatkan
dirinya rebah di sebuah tempat tidur yang hangat. Ketika
matanya memandang keluar jendela, tampak salju turun
bagaikan kapas, suara angin gunung menderu-deru, apa
yang dilihat hanya putihnya salju yang menutupi seluruh
jagad, ia tidak tahu berada di mana.
Ia merasakan sekujur badannya ngilu dan lemas,
kepalanya berat, bergerak saja merasa susah. Ia
memandang langitan dalam kamar, dengan perasaan
banyak tanda tanya, ia mengenangkan kembali semua
kejadian sehingga yang terakhir, ia masih ingat seperti ia
telah dirobohkan oleh serangan tongkat Panji Wulung dan
akhirnya apa yang terjadi selanjutnya, ia tidak tahu
semuanya.
Suatu perasaan takut timbul dalam otaknya, lalu
bertanya-tanya kepada diri sendiri: “Apakah aku terluka
parah dalam badanku?”
Dengan tumbuhnya kekuatiran itu, ia buru-buru
mengerahkan kekuatan tenaganya untuk memeriksa
keadaan diri sendiri.
Dua kali ia coba dengan usahanya itu, tetapi semuanya
gagal. Ia kini telah mengetahui bahwa dirinya sendiri
sudah tidak memiliki tenaga, dengan tiba-tiba wajahnya
menjadi pucat, air matanya berlinang-linang memandang
turunnya salju dari luar jendela, kemudian berkata kepada
diri sendiri: “Aku.... aku.... ai! Aku telah hilang semua
kekuatan dan kepandaian ilmu silatku!”
Bagi orang yang melatih ilmu silat, jikalau ilmu silatnya
dimusnahkan, keadaannya tidak beda sebagai manusia
biasa, apakah artinya?
Kalau ia berpikir ke bagian yang menyedihkan, perasaan
sedihnya tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga air
matanya bercucuran membasahi bantalnya.
Lama sekali, di luar kamar riba-tiba terdengar suara kaki
orang yang sangat pelahan. Touw Liong terkejut, buruburu
menghapus air matanya. Ketika matanya berpaling ke
pintu kamar, pintu kamar itu didorong dengan pelahan, dan
orang yang muncul di hadapannya ternyata adalah Lo Yu
Im.
Bagaikan bertemu dengan keluarganya sendiri Touw
Liong lantas berseru: “Enci!!” Air matanya mengucur lagi
dengan derasnya, sehingga tidak dapat mengeluarkan katakata
lagi.
Keadaan Lo Yu Im masih tetap seperti dahulu kala,
hanya agak kurus sedikit.
Dengan suara lemah lembut gadis itu menyahut, air
matanya juga mengalir keluar. Ia mengeluarkan perkataan:
“Adik Liong!” Kemudian dengan cepat berjalan menuju ke
tempat tidur Touw Liong dan berkata dengan suara lemah
lembut:
“Adik Liong! Kuhaturkan selamat kepadamu, kau kini
sudah sembuh kembali!”
Berkata sampai di situ, gadis itu menundukkan kepala,
air matanya mengalir semakin deras.
“Sudah sembuh...? Benarkah aku sudah sembuh...?”
bertanya Touw Liong sambil menghela napas. “Orang
yang sudah kehilangan kepandaian ilmu silat, apa artinya
aku hidup?”
Lo Yu Im juga tidak tahu bagaimana harus menghiburi
pemuda itu, maka ia berdiri diam saja.
Touw Liong berkata pula dengan nada suara sedih:
“Ilmu untuk memusnahkan kepandaian ilmu silat orang
adalah ilmu tunggal Panji Wulung yang terampuh.”
Lo Yu Im sedikitpun tidak merasa heran, ia seolah-olah
sudah memeriksa dan mengetahui luka-luka Touw Liong,
yang disebabkan oleh serangan siapa.
Dalam keadaan demikian, mau tak mau ia terpaksa
hanya dapat menghiburi saja.
“Adik Liong, keadaanmu lemah benar, bagaimanapun
juga kita harus berusaha memikirkan suatu cara yang
sebaik-baiknya!”
“Berusaha mencari daya upaya?” berkata Touw Liong
sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian ia alihkan kepada pertanyaan lain soal:
“Ini tempat apa?”
“Kan-ling, dahulu bernama King-ciu.”
“Oo...! Masih jauhkah berpisah dengan Gunung Lusan?”
“Aku sudah melihat surat undanganmu, kita dari
golongan Kun-lun-pay juga mendapat sebuah, tetapi aku
perlu harus merawat dan menjaga kau, maka aku sudah
mengambil keputusan tidak akan turut hadir dalam
pertemuan itu.”
“Tidak! Kita harus pergi,” kata Touw Liong tegas.
“Sekarang ini hari apa?” bertanya Touw Liong
selanjutnya.
“Tanggal empat belas bulan dua belas, terpisah dengan
hari pertemuan itu kira-kira masih setengah bulan,” jawab
Lo Yu Im.
“Aa...! Kalau begitu aku sudah setengah bulan berada
dalam keadaan sakit seperti ini!”
“Benar! Setengah bulan. Bagaimana cepat berlalunya
sang waktu? Waktu itu aku mendaki gunung Bu-san untuk
mencari itu orang yang meninggalkan diriku, hari itu di
waktu senja, aku telah menemukan kau rebah menggeletak
di puncak gunung Sin-lie-hong, maka aku lalu menolongmu
dan bawa kau turun dari gunung.”
Touw Liong berusaha hendak bangun, untuk
mengucapkan terima kasih kepada Lo Yu Im.
Ia agaknya mengingat sesuatu, maka berkata dengan
suara pelahan:
“Enci, aku akan beritahukan padamu, suatu berita baik!”
“Tentang sahabat encimu itu...?”
Muka Lo Yu Im mendadak menjadi merah, dengan agak
kemaluan ia tersenyum, matanya menatap Touw Liong,
agaknya menantikan keterangan selanjutnya.
“Dia adalah murid golongan Pak-bong nomor tiga, yang
berjulukan 'Pelajar Seribu Muka'. Nama julukan Siauwsiang-
seng-chiu yang dahulu pernah enci sebutkan itu
adalah sebuah julukan samarannya.” Demikian Touw
Liong melanjutkan keterangannya.
“Dan, di mana orangnya?”
“Sejak ia mendapatkan batu Khun-ngo-giok, lantas
sembunyikan diri di gunung Tiam-cong-san, hendak
membuat pedang Khun-ngo-kiam.”
“Gunung Tiam-cong-san?” tanya Lo Yum Im dengan
nada marah.
Touw Liong mengganggukkan kepala dan berkata:
“Dengannya aku juga mengadakan perjanjian, setengah
bulan lagi aku hendak mendaki gunung Tiam-cong-san.
Sayang, tenagaku mungkin tidak mengijinkan kemauanku.”
Lo Yu Im menghela napas pelahan. Ia tidak tahu,
bagaimana harus menghiburi Touw Liong, maka cuma
berkata:
“Adik Liong, asal kau mau pergi, encimu bersedia
mengawani kau.”
“Tidak!” berkata Touw Liong sambil menggelenggelengkan
kepala, “Mungkin aku akan membatalkan
janjiku, dan tindakan itu kuambil bukan lantaran karena
ilmu kepandaianku yang sudah dimusnahkan, melainkan
lantaran enci....”
“Kita pergi untuk Khun-ngo-giok, bukan untuk
keperluan pribadiku,” berkata Lo Yu Im dengan kemalumaluan.
“Enci ternyata sudah salah paham, siaote sedikitpun
tidak ada maksud untuk menertawakan enci, maksud
siaotee yang sebenarnya ialah dengan seorang diri enci ke
gunung Tiam-cong-san sudah cukup untuk minta kembali
batu Khun-ngo-giok, tetapi jika berjalan bersama-sama
dengan siaote, barangkali malah akan menjadi perintang
bagi usaha enci.”
Mendengar keterangan itu Lo Yu Im baru paham, ia
mengangguk-anggukkan kepala. Dua orang itu setelah
bercakap-cakap agak lama, Lo Yu Im lalu keluar dari
kamarnya, supaya Touw Liong bisa beristirahat dengan
tenang.
Mereka berdiam di suatu rumah penginapan besar, maka
Touw Liong setelah agak sembuh, tiga hari lagi mereka lalu
siap-siap hendak mendaki gunung Lu-san.
Oleh karena seluruh kepandaian ilmu silat Touw Liong
sudah dimusnahkan dan untuk keselamatannya, Lo Yu Im
mempersiapkan sebuah pakaian kulit, terpaksa harus
menyaru sebagai seorang tua yang berusia lima puluh lebih,
sedangkan ia sendiri menyaru menjadi seorang muda
tampan.
Touw Liong setelah musnah kepandaian ilmu silatnya,
keadaannya tidak beda seperti orang biasa, ditambah lagi
karena gunung Lu-san itu sangat tinggi dan dingin sekali,
apalagi Lo Yu Im sebagai seorang gadis yang belum
bersuami, dengan sendirinya merasa kurang pantas untuk
menggandeng padanya. Maka selama beberapa hari
melakukan perjalanan mendaki gunung itu, baru tiba di kuil
Thian-ti-si. Waktu itu tepat malaman tahun baru, esok hari
justru hari pertemuan besar. Akan tetapi di kuil Thian-ti-si
kecuali beberapa anggota yang diutus oleh golongan Citphoa-
san yang berlaku sebagai tuan rumah, orang-orang
atau tokoh-tokoh rimba persilatan yang datang pada hari itu
jumlahnya sedikit sekali.
Orang-orang utusan dari Cit-phoa-san yang
mempersiapkan tempat pertemuan itu, jumlahnya tidak
sedikit, mereka berlalu-lalang dan keluar-masuk ke dalam
kuil. Satu di antaranya terdapat Shoa Lie, Kokcu dari
Lembah Siau-tian-kok, di samping itu masih ada seorang
tua yang usianya sudah lebih dari setengah abad.
Touw Liong sengaja tidak mau menyapa Shoa Lie,
dengan sendirinya Shoa Lie juga tidak mengenali Touw
Liong lagi.
Malam itu, hawa di gunung itu meskipun luar biasa
dinginnya, tetapi langit terang dan angin tidak meniup,
sehingga pemandangan di gunung Lu-san nampak sangat
indah. Ketika kentongan berbunyi tiga kali, entah dari
mana datangnya kegembiraan Touw Liong, ia mengajak Lo
Yu Im berjalan-jalan ke danau Thian-ti.
Lo Yu Im yang tidak tega menolak permintaannya, lalu
menerima baik, hingga kedua berjalan keluar dengan
melalui jalanan yang penuh salju. Tibalah ke jembatan
yang terdapat di belakang kuil Thian-ti-si, mereka
mendongakkan kepala memandang puncak gunung yang
menjulang ke langit, dan lengan Lo Yu Im membimbing
Touw Liong mendaki ke atas puncak gunung.
Di tengah-tengah puncak gunung terdapat seuah danau
luasnya lima pal. Danau itu biasa disebut danau Siauwthian-
ti. Malam itu airnya sudah beku dan tertutup oleh
salju yang amat tebal. Touw Liong di bawah bimbingan Lo
Yu im berjalan di atas danau Siauw-thian-ti sambil
menikmati pemandangan alam yang indah.
Suasana sangat sunyi, di bawah sinar terang bintangbintang
di langit, air danau yang sudah beku seolah-olah
sebuah cermin yang terbentang di tanah.
Touw Liong mengepalkan tangannya dan berkata
pelahan:
“Besok, siapapun tidak akan dapat menduga bahwa
tempat sepi sunyi ini akan menjadi pertemuan besar tokohtokoh
persilatan dari pelbagai tempat, mungkin akan terjadi
suatu pertempuran sengit.”
Lo Yu Im diam saja, ia menarik Touw Liong, melompat
sembunyi ke belakang pohon cemara. Dengan suara
pelahan ia mencegah Touw Liong mengeluarkan suara.
Touw Liong dapat melihat perubahan sikap Lo Yu Im
yang aneh. Ia mengerti, perubahan itu pasti ada sebab,
maka ia buru-buru mengikutinya dan memperhatikan
keadaan sekitarnya.
Di lain ujung danau Thian-ti, tampak berkelebatnya
sesosok bayangan manusia. Bayangan itu adalah seorang
tua berbaju kelabu. Orang tua itu celingukan memandang
keadaan sekitarnya, kemudian dengan langkah pelahanlahan
berjalan menuju ke sebuah kupel yang terdapat di
bagian timur danau itu.
Touw Liong dengan jari tangannya menulis beberapa
perkataan di telapak tangannya dan menunjukkan kepada
Lo Yu Im. Kata-kata itu berbunyi: “Siapa?? Apakah enci
kenal dengannya?”
Lo Yu Im menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang itu
terpaksa berdiam menahan napas, mata mereka ditujukan
kepada orang tua yang berada di dalam kupel itu.
Orang tua itu berjalan mondar-mandir, tiba-tiba
mendongakkan kepala, seolah-olah menantikan kedatangan
seseorang.
Tak lama kemudian, di bawah danau Thian-ti terdengar
suara siulan pelahan. Setelah suara siulan itu berhenti, dari
situ tampak seorang tua lagi, dengan tegak berjalan menuju
ke kupel tadi.
Touw Liong kembali mengajukan pertanyaan dengan
isyarat: “Siapa lagi?”
Lo Yu Im menggeleng-gelengkan kepala, tetapi
kemudian ia menuliskan beberapa kata di atas telapak
tangannya dengan jarinya: “Kau diam di sini, jangan
kemana-mana. Aku hendak pergi memeriksa sebentar.”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala.
Lo Yu Im bergerak, lantas menghilang dari depan mata
Touw Liong.
Sesaat kemudian, Lo Yu Im balik kembali ke tempat
Touw Liong. Touw Liong yang sudah tidak sabar lagi,
mengajukan pertanyaannya:
“Siapa?”
Lo Yu Im menjelaskan di telapak tangannya, nama: Lie
Hu San dan Cui Hui. Alis Touw Liong berdiri, juga dengan
menggunakan tulisan di tangan, ia menulis: “Entah apa
maksudnya mereka datang kemari?”
Lo Yu Im lalu berbisik-bisik di telinganya:
“Entah dari mana Lie Hu San mendapatkan lambang
kepercayaan batu giok si Dewa Arak, dia hendak
mengumumkan maksudnya akan mempersatukan golongan
pengemis daerah selatan dengan golongannya sendiri. Cui
Hui juga akan menggunakan kesempatan itu mendirikan
partainya yang dinamakan partai Kiu-im-pay. Mereka
berdua sedang berunding, bagaimana satu sama lain harus
bekerja sama.”
Touw Liong tercengang, dalam otaknya segera terbayang
lambang batu giok golongan pengemis, sementara dalam
hatinya berkata sendiri: “Lambang batu giok itu adalah
milik Taysu Gila, bagaimana bisa berada di dalam
tangannya?”
Selama itu Lo Yu Im tiba-tiba terkejut. Touw Liong
buru-buru angkat muka memandang ke depan. Dua orang
tua yang berada di dalam kupel itu ternyata sudah lompat
melesat ke atas pohon cemara yang terdapat di belakang
kupel.
Baru saja mereka sembunyikan diri, di permukaan danau
Thian-ti dari jurusan yang baru dilalui oleh Lie Hu San
berdua, tampak seorang sasterawan berwajah cakap
tampan.
Di punggung sasterawan itu menggendong sebuah
kantongan besar. Ia berjalan di atas danau Thian-ti.
Matanya celingukan memandang keadaan di sekitarnya,
kemudian dengan lambat menuju ke tengah-tengah danau.
Munculnya sasterawan itu, membuat sekujur badan Touw
Liong gemetaran, demikian pun dengan Lo Yu Im.
Dengan perasaan yang meluap-luap, Touw Liong
mengulurkan jari tangannya menunjuk ke danau Thian-ti.
Lo Yu Im buru-buru mencegahnya, menggelengkan
kepala mencegah Touw Liong mengeluarkan suara,
kemudian berbisik-bisik di telinganya:
“Jangan bergerak! Lihat saja apa yang dilakukan
olehnya!”
Touw Liong menulis kata-kata: “Enci, lekas, minta batu
Khun-ngo-giok daripadanya!”
Lo Yu Im menunjuk tempat sembunyinya Lie Hu San
dan Cui Hui, kemudian berkata dengan suara berbisik-bisik:
“Jangan sembrono! Di sana masih ada dua iblis yang
mengintai. Sebaiknya kita jangan bertindak apa-apa, lihat
saja apa yang dilakukan oleh mereka!”
Orang-orang yang muncul secara mendadak pada malam
itu, dilihat dari luarnya, sasterawan muda tampan dan
cakap itu, rupanya mirip benar dengan Touw Liong, seolaholah
saudara kembar. Tetapi Lo Yu Im dan Touw Liong
yang sembunyi di belakang pohon, mereka mengerti bahwa
pemuda itu adalah Si Pelajar Seribu Muka yang sedang
membuat pedang Khun-ngo-giok di atas gunung Tiamcong-
san. Apa yang membuat terkejut Touw Liong adalah
gerak-gerik dan segala-galanya mirip benar dengan dirinya
sendiri.
Pelajar Seribu Muka itu seolah-olah menganggap bahwa
dirinya berada di tempat yang tidak ada orangnya. Ia
berjalan menuju ke tengah-tengah danau, setelah tiba di
tengah danau, ia menurunkan kantongan besar yang berada
di atas punggungnya, lalu dibukanya dan mengeluarkan
isinya. Apa yng dikeluarkan dari dalam kantongan itu,
ternyata adalah sebuah kepala manusia yang masih
berlumuran darah. Kepala itu diletakkan di permukaan
danau, kemudian berkata kepada diri sendiri:
“Liao Hwan, kalian orang-orang dari golongan Siao-limpay
selalu mengagungkan diri sebagai pemimpin golongan
rimba persilatan, baiklah! Sekarang aku letakkan kepalamu
di tempat terdepan....”
Kemudian ia mengeluarkan lagi dua buah kepala
manusia dan berkata lirih sambil ketawa besar: “Kepala
murid pemimpin Bu-tong-pay seharusnya menduduki
tempat ke dua....”
Lo Yu Im dan Touw Liong dua-duanya terkejut dan
terheran-heran, karena paderi Liao Hwan dari gereja Siaolim-
si bukan seorang sembarangan, dia adalah paderi kepala
dalam bagian Lo Han Tong, kecuali ketua gereja Siao-limsi,
ia merupakan salah seorang yang menduduki kedudukan
ke satu dalam hirarki paderi Siao-lim-si. Dan Hian Cing
Cu, murid kepala ketua partai Bu-tong, juga merupakan
seorang yang bakal menduduki jabatan ketua partai Butong-
pay di kemudian hari, dengan sendirinya juga bukan
seorang sembarangan.
Dengan beruntun Pelajar Seribu Muka mengeluarkan
sebelas buah batok kepala manusia, dengan sangat rapi
dijejer berbaris di tengah-tengah danau Thian-ti yang sudah
membeku itu, kemudian ia berkata beberapa patah dengan
suara sangat pelahan kepada orang-orang yang hanya
tinggal kepalanya itu, setelah itu dia mengeluarkan suara
tertawa nyaring. Lalu, dari dalam sakunya ia
mengeluarkan sebelas buah panji warna hitam sebesar kirakira
setengah kaki, setiap kepala ditancap sebuah panji.
Selesai melakukan pekerjaannya itu, kembali ia ketawa
nyaring, setelah itu ia lantas berlalu dengan perasaan puas.
Touw Liong tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia
berkata dengan suara pelahan dan gemetaran:
“Panji Wulung! Itu adalah sebelas buah panji wulung
yang lainnya.”
Bab 24
Touw Liong mengeluarkan perkataan itu bukan karena
ia terkejut melihat kepala-kepala manusia itu, atau melihat
Pelajar Seribu Muka yang mukanya mirip dengan dirinya
sendiri, melainkan terkejut karena telah melihat itu sebelas
buah panji wulung yang sedang dicari-carinya, di luar
dugaannya sebelas panji itu berada di tangan Pelajar Seribu
Muka.
Lo Yu Im tahu, apa sebabnya ia terkejut sehingga
berseru, maka ia tidak mencegah. Tetapi wajahnya dengan
tiba-tiba menunjukkan sikap terkejut, matanya ditujukan ke
atas pohon cemara belakang kupel.
Dua orang yang sembunyikan diri di atas pohon itu tidak
tampak ada gerakan apa-apa. Selagi Touw Liong
mendekati Lo Yu Im hendak mengatakan apa-apa, matanya
telah melihat Lo Yu Im memberi isyarat dengan mulutnya,
maka ia buru-buru membatalkan maksudnya.
Dari belakang kupel, telah muncul seorang aneh
berpakaian jubah warna putih. Orang itu tongolkan
kepalanya memandang keadaan di sekitarnya sebentar.
Ketika menampak tidak ada apa-apa yang mencurigakan,
barulah tangannya menggapai ke belakang pohon cemara,
setelah itu baru tampak Lie Hu San muncul.
Orang aneh berjubah putih tadi, bukan lain daripada Cui
Hui. Keduanya kini berdiri di tangga kupel, tidak berani
mengawasi sebelas buah kepala manusia dan sebelas buah
panji hitam.
Lie Hu San mengerutkan alisnya, dari situ ia menjura ke
tempat sembunyi Lo Yu Im dan Touw Liong berdua, seraya
berkata:
“Di seberang sana masih ada sahabat siapa? Sudikah
kiranya keluar untuk bertemu denganku?”
Alis Lo Yu Im bergerak-gerak beberapa kali, ia berkata
dengan suara pelahan kepada Touw Liong.
“Adik Liong, kau jangan kemana-mana, aku hendak
keluar untuk menghadapi mereka!”
Touw Liong mengerti bahwa persoalan telah menjadi
gawat, sedang ia sendiri sudah musnah seluruh
kepandaiannya, maka ia terpaksa menganggukkan kepala,
membiarkan Lo Yu Im pergi menghadapi dua orang itu.
Lo Yu Im dengan tindakan kakinya yang luwes
semampai, berjalan ke tempat di mana ada berjejeran
sebelas kepala manusia. Ia berlaku seolah-olah seperti
orang yang tidak tahu, berkata ke arah kupel:
“Sahabat dari mana tadi yang memanggil aku? Di sini
aku menunggu kedatanganmu.”
Saat itu ia mengenakan pakaian laki-laki, maka mau tak
mau suaranya harus dibesarkan seperti suara laki-laki.
Cui Hui memberi isyarat dengan mata kepada Lie Hu
San, keduanya lalu lompat melesat ke tengah-tengah danau,
mereka mengamat-amati Lo Yu Im sejenak, ketika melihat
Lo Yu Im menghadap sebelas kepala manusia yang masih
berlumuran darah, dan sebelas buah panji warna hitam
yang dikenalnya sebagai tanda maut, namun sedikitpun
tidak menunjukkan sikap terkejut atau takut, sehingga
mengherankan mereka. Keduanya saling memberi isyarat
dengan pandangan mata, mereka mengerti bahwa pemuda
itu bukanlah seorang sembarang.
Lie Hu San yang lebih licik, lalu menjura memberi
hormat dan bertanya:
“Bolehkah aku si orang tua menanyakan nama saudara
yang mulia?”
“Lo Hie Siu,” jawabnya Lo Yu Im singkat.
Lie Hu San lalu memperkenalkan dirinya sendiri:
“Aku si orang tua adalah Lie Hu San....”
“Oh, kiranya adalah pangcu dari daerah golongan
pengemis daerah utara yang namanya sangat kesohor. Kita
orang rasanya pernah bertemu muka di rumah sancu muda
di luar kota Lam-yang,” menjawab Lo Yu Im sambil
membalas hormat.
Lie Hu San terkejut, karena urusan dirinya yang sudah
masuk menjadi anggota Cit-phoa-san, di kalangan Kangouw,
jarang sekali orang mengetahui, tetapi pemuda di
hadapan matanya yang usianya ditaksir belum ada dua
puluh tahun bukan saja mengetahui dirinya adalah pangcu
dari golongan pengemis daerah utara, bahkan mengejek
dirinya sebagai ketua golongan pengemis, namun sudi
mengabdi kepada orang lain, bukan hanya itu saja ia
bahkan dapat menunjukkan tempatnya di mana ia pernah
melihat dengan mata kepala sendiri. Akan tetapi, walau
pun ia memutar otak, bagaimanapun juga tidak bisa ingat
lagi, di mana ia pernah bertemu muka dengan pemuda di
hadapan matanya itu.
Semakin berpikir, semakin bimbang perasaannya!
Dalam keadaan sangat mendongkol ia perkenalkan Cui Hui
kepada pemuda itu.
“Saudara ini adalah....”
Belum sampai menyebutkan namanya, Lo Yu Im sudah
memotong dan berkata:
“Tidak salah lagi, tuan ini adalah calon ketua partai Kiuim-
pay yang akan dibentuk. Kita agaknya pernah....”
Cui Hui dengan sikapnya yang dingin menggerutu
sendiri, matanya memandang Lo Yu Im dengan sikap
menghina, dengan tenang menantikan keterangan Lo Yu
Im lebih lanjut.
Lo Yu Im tanpa tedeng aling-aling melanjutkan
ucapannya.
“Ya, benar! Kita pernah bertemu muka, juga di kota
Lam-yang, di dalam kuil, entah apa nmanya, waktu itu di
tangan tuan ada membawa batok kepala Siauw Su In, betul
tidak?”
Ucapan itu agaknya tidak mengejutkan Cui Hui, yang
membuat heran padanya adalah pemuda itu ternyata dapat
menyebutkan nama orang yang kepalanya berada di
tangannya.
Dengan demikian, orang she Cui ini juga tidak berani
memandang rendah kepada Lo Yu Im lagi.
Padahal, dua peristiwa itu, satu pernah disaksikan sendiri
oleh Lo Yu Im, sedang yang lainnya pernah mendengar
dari mulut Touw Liong.
Maka sekarang setelah ia terangkan dua persoalan itu,
boleh dikata tepat pada tempatnya. Maka sesaat itu muka
Lie Hu San sebentar pucat, putih, sebentar biru, muka itu
dilihatnya sangat tidak enak sekali, sedang apa yang
dikandung dalam hatinya, hanya ia sendiri yang mengerti.
Ia sesungguhnya merasa malu terhadap diri sendiri, karena
pemuda itu dalam usia yang begitu muda sudah dapat
mengenali dirinya sendiri dan apa yang dilakukan olehnya,
sedang ia sendiri yang merupakan orang Kang-ouw
kawakan, sedikitpun tidak mengetahui siapa adanya
pemuda itu.
Namun sebagai seorang Kangouw kawakan, ia tidak
kehabisan akal, sesaat itu ia lantas robah sikapnya demikian
ramah, ia berkata sambil memberi hormat.
“O, kiranya adalah Lo tayhiap!”
Dalam hati Lo Yu Im merasa geli, sementara itu Lie Hu
San dengan mukanya yang licik, tangannya menunjuk
kepala manusia dan panji hitam di permukaan danau,
seraya bertanya:
“Saudara banyak pengetahuan, aku si orang tua
sesungguhnya merasa sangat kagum. Apakah saudara tahu,
siapakah yang melakukan pembunuhan terhadap sebelas
orang ini?”
Mata Lo Yu Im menyapu sebelas kepala manusia itu,
kemudian berkata sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya:
“Dengan sebetulnya Tuan-tuan berdua dalam hati juga
sudah tahu siapa orangnya yang melakukan perbuatan itu,
mengapa masih pura-pura tanya kepadaku...? Sudah tentu,
aku sendiri juga menduga dia yang melakukan....”
“Siapa?” bertanya Lie Hu San.
“Orang yang Tuan-tuan berduga duga bukankah Touwtayhiap
Touw Liong?”
Cui Hui balas menanya dengan alis berdiri:
“Apakah yang saudara duga bukanlah dia?”
Lo Yu Im nampak berpikir sejenak, setelah itu baru
berkata sambil mengangkat pundak:
“Semula aku juga mencurigai dia, tetapi setelah
mengingat keadaan Touw-tayhiap yang mengalami suatu
kejadian yang mengenaskan, tidak mungkin ia dapat
melakukan perbuatan itu. Lagipula, waktu dan perangai
dia di waktu yang lalu, juga tak mungkin ia melakukan
perbuatan yang serendah itu, karena perbuatan itu berarti
menentang secara terang-terangan terhadap sepuluh partai
besar di rimba persilatan.”
“Dalam hal ini saudara sudah salah melihat orang! Lain
dengan mata kita berdua, yang tidak bisa salah lagi.
Menurut apa yang tersiar dalam rimba persilatan, bocah itu
karena disukai oleh susiokku, telah diberi petunjuk olehnya
pergi ke gunung Bu-san mengambil barang-barang
peninggalan Liu-tayhiap pada zaman dahulu, termasuk dua
belas buah panji hitam. Oleh karena itu, maka perbuatan
itu sudah pasti dia yang melakukan,” berkata Lie Hu San
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Lo Yu Im tidak mau membantah, ia hanya angkat
pundak dan menunjukkan sikap yang sangat misteri. Ia
hanya berkata dengan sikap seenaknya:
“Besok pagi, urusan ini sudah pasti akan terbuka sendiri,
siapa sebetulnya yang melakukan.”
Berkata sampai di situ, ia sengaja mendongakkan kepala
memandang keadaan cuaca, kemudian berkata kepada diri
sendiri: “Sudah hampir subuh!”
Cui Hui juga mendongakkan kepala mengawasi bintang
di langit, kemudian memberi isyarat dengan mata kepada
Lie Hu San, seraya berkata:
“Mari kita jalan!”
Lie Hu San minta diri kepada Lo Yu Im, kemudian
meninggalkan padanya bersama-sama Cui Hui.
Setelah dua orang itu berlalu dari hadapan matanya, Lo
Yu Im mengambili sebelas panji hitam yang ditancapkan di
dekat sebelas kepala manusia itu, kemudian dengan
menggunakan jari tangan, ia menulis dua baris tulisan di
atas air danau yang sudah membeku, setelah itu ia berjalan
kembali ke tempat persembunyian Touw Liong. Sementara
itu Touw Liong yang sudah menunggu dengan perasaan
tidak tenang, telah menyambut kedatangannya dengan
perasaan agak heran:
“Enci mengambil panji itu, apakah tidak takut...?”
Dengan cepat Lo Yu Im memotong ucapannya dan
berkata:
“Takut apa? Apa kau masih takut ada orang lain yang
meneropong perbuatanku? Sebelas panji ini seharusnya
adalah milikmu!”
Sehabis berkata demikian, ia menyerahkan panji itu
kepadanya, minta ia yang menyimpan.
Touw Liong menerima baik pemberian itu. Setelah
diperiksanya satu persatu, benar saja itu adalah panji yang
ia sedang cari, tetapi ia masih belum dapat memahami
perbuatan Lo Yu Im itu, maka bertanya pula:
“Apabila Pelajar Seribu Muka itu besok datang dan
menanyakan tentang panji itu, siapa yang akan menyambut
kedatangannya, atau menjawab pertanyaannya?”
“Engkau jangan kuatir! Besok dia pasti tidak akan
datang!”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa! Itu hanya pikiranku saja, di waktu ini.
Ia ibarat seekor burung yang sayapnya belum tumbuh
cukup banyak, ia pasti tidak akan berani menghadapi Panji
Wulung yang satu lagi. Maka malam ini ia berbuat
demikian untuk menggertak kepada Panji Wulung itu.”
“Maksud Enci apakah meskipun ia sudah mendapatka
sebelas panji hitam ini, akan tetapi ia masih belum memiliki
kepandaian dari Panji Wulung yang asli?”
Lo Yu Im mengangguk-anggukkan kepala sebagai
jawaban.
Touw Liong bertanya pula:
“Seandainya Panji Wulung yang satu lagi, ialah
perempuan tua yang memakai kerudung muka itu besok
datang kemari mencari keterangan tentang sebelas buah
panji ini, apakah di danau ini tidak akan terjadi keonaran
besar?”
“Aku sudah merencanakan suatu rencana yang sangat
baik, dengan meminjam senjata orang lain untuk
melakukan pembunuhan, tentang sebelas panji ini sudah
tentu ada orang lain nanti yang akan maju mewakili
dirimu.”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala, sebagai
tanda tidak dapat menyetujui rencana Lo Yu Im. Ia
berkata:
“Membunuh orang dengan meminjam senjata orang
lain, perbuatan itu kurang bagus. Siaote....”
Lo Yu Im menatap wajah Touw Liong sejenak, lalu
memotong perkataannya:
“Sungguh tak kusangka kau masih memiliki pikiran dan
berhati baik demikian rupa, akan tetapi kebaikanmu itu
merupakan suatu kesalahan, karena itu berarti kau merasa
simpati dan kasihan kepada orang-orang jahat dalam rimba
persilatan!”
Touw Liong mengerti bahwa urusan malam itu, Lo Yu
Im hendak timpahkan dosanya kepada Cui Hui dan Lie Hu
San berdua, maka dalam hati merasa kurang enak. Dalam
anggapannya, perbuatan semacam itu, agaknya bukanlah
suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh seorang yang
berjiwa jantan. Namun demikian, perasaan itu ia tidak
unjukkan di mukanya.
Lo Yu Im agak tidak sabar, ia menarik napas pelahan,
kemudian berkata:
“Aku bukanlah tidak tahu bahwa perbuatannya kurang
jujur, akan tetapi orang-orang semacam Lie Hu San dan
Cui Hui, adalah orang-orang yang berhati tamak dan jahat.
Lie Hu San yang hendak menggunakan pertemuan besok
pagi untuk mencapai maksudnya yang hendak menelan
pengaruh golongan pengemis daerah selatan. Sedangkan
Cui Hui orang yang sejahat dan sekejam itu bagaimanapun
juga kita tidak akan membiarkan barisannya Ngo-im-cuihun-
tin yang sangat ganas itu nanti membuat bencana besar
bagi rimba persilatan. Aku memang ada pikiran hendak
meminjam tangan Panji Wulung untuk mencegah atau
menyingkirkan bahaya besar bagi sahabat-sahabat kita di
rimba persilatan. Jikalau kau anggap perbuatanku ini agak
keterlaluan, maka aku nanti akan menghapus tulisan-tulisan
yang kutulis di atas salju itu.”
Touw Liong berpikir sejenak, akhirnya ia mengambil
keputusan tidak akan merintangi maksud gadis itu, maka ia
lalu tertawa dan menganggukkan kepala kemudian berkata:
“Baiklah, manusia jahat semacam itu, siapa pun yang
membunuh sama juga, hanya....”
Ia miringkan kepala untuk berpikir, sementara itu Lo Yu
Im menatap wajahnya, menunggu kata-kata selanjutnya.
Touw Liong tersenyum, dan berkata lambat-lambat:
“Lie Hu San meskipun jahat, juga tak sejahat sampai
demikian rupa sehingga kita perlu meminjam tangan Panji
Wulung untuk menyingkirkannya, karena dengan demikian
barangkali akan menimbulkan kericuhan di dalam golongan
pengemis sendiri.”
Lo Yu Im tahu bahwa Touw Liong memperhatikan
keselamatan golongan pengemis, maka ia segera tertawa
dan berkata:
“Aku bukan seorang yang tidak mengerti persahabatan.
Orang yang kusingkirkan dengan meminjam tangan Panji
Wulung, hanya Cui Hui seorang, tentang Lie Hu San aku
tahu, karena ada hubungan dengan tugasmu, maka
kubiarkan saja supaya di kemudian hari kau saja yang
memperhitungkan dosanya.”
Touw Liong merasa puas dan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Keduanya lalu berjalan lagi menuju ke gereja
Thian-tie-sie.
Mereka mencari sebuah gua untuk melewatkan malam
itu. Waktu mereka sadar, ternyata sudah hampir subuh.
Setelah bangun, mereka makan sedikit makanan kering. Lo
Yu Im kini tidak mengenakan pakaian yang dikenakan
kemarin hari. Ia menyamar menjadi seorang kacung,
selangkah demi selangkah mengikuti jejak Touw Liong dan
berjalan menuju ke danau Thian-tie lagi.
Pagi hari, suasana cerah. Tak lama berselang, sekitar
danau itu sudah dipenuhi oleh banyak manusia dari
pelbagai golongan. Mereka mengenakan pakaian ruparupa,
namun masing-masing pada membawa senjata yang
berlainan jenis-jenisnya. Di antara para pendatang ada
yang menunjukkan wajah marah, ada pula yang bisik-bisik,
entah apa yang dibicarakan. Ketika Touw Liong dan Lo
Yu Im tiba di tempat itu, di kupel sudah terdengar suara
genta. Waktu itu masih kurang tiga perempat menunjukkan
jam satu tengah hari. Danau Thian-tie yang luasnya kirakira
lima bau, di tengah-tengahnya masih berbaris sebelas
kepala manusia, tetapi di permukaan danau itu tidak ada
seorangpun manusia yang hidup.
Touw Liong dengan sikapnya yang acuh tak acuh,
selangkah demi selangkah berjalan menuju ke kupel.
Ketika ia tiba di depan kupel, genta sudah berbunyi dua
kali.
Touw Liong monyongkan mulutnya ke arah salah
seorang yang berada di belakang kupel, dan tangannya
menyentuh Lo Yu Im. Lo Yu Im segera tujukan
pandangan matanya ke arah pandangan mata Touw Liong
sambil bertanya dengan suara pelahan.
“Itu siapa?”
Karena ia telah menampak seorang pemuda tampan
berpakaian hitam yang berusia belum cukup dua puluh
tahun, dengan kedua tangannya dibalikkan ke belakang
berjalan mondar-mandir sambil mengerutkan alisnya.
Di belakang pemuda itu diikuti oleh Lie Hu San,
berbicara dengan suara pelahan dengan pemuda itu,
agaknya sedang melaporkan apa-apa.
Lo Yu Im tahu bahwa Touw Liong minta dirinya untuk
memperhatikan pemuda tampan itu, tetapi gadis itu setelah
memandangnya beberapa kali, lalu angkat pundak dan
bertanya kepada Touw Liong lagi.
“Siapakah pemuda itu?”
Touw Liong mengulurkan tangannya dan mengguratgurat
di telapak tangan dengan tiga huruf PEK GIOK
HWA.
Lo Yu Im terkejut mengetahui nama itu, menulis
pertanyaan: “Dulu bukankah kau mengatakan bahwa Pek
Giok Hwa itu adalah seorang wanita?”
Touw Liong anggukkan kepalanya, ia juga menulis
perkataan: “Seperti juga dengan keadaanmu, seorang
wanita yang menyamar sebagai pria.”
Beberapa ratus pasang mata, saat itu ditujukan ke arah
kupel.
Pek Giok Hwa dengan wajah cemas mendongakkan
kepala memandang gunung Swat Hong yang tinggi
menjulang ke langit, lalu menghela napas pelahan dan
berjalan mondar-mandir di dalam kupel.
Dalam kupel itu, seorang tua bermuka hitam yang
kakinya tinggal satu, dengan tangan membawa tongkat, dan
seorang tua lain yang berwajah merah dan berpakaian jubah
warna kuning, kedua-duanya sikapnya agak murung.
Mereka berjalan menuju ke bawah, menghampiri orang
banyak. Usia dua orang tua itu semuanya di sekitar tujuh
puluh tahun.
Dari sikap dua orang tua itu, mereka agaknya tidak
sanggup menjelaskan apa yang sedang dihadapi oleh
mereka. Keduanya berjalan turun dari kupel dan terus
menuju ke tengah-tengah danau.
Pek Giok Hwa mengikuti di belakang orang tua itu,
sementara itu orang tua berkaki satu sambil berjalan
bertanya kepada Pek Giok Hwa dengan suara keras:
“Giok Hwa, kau kata bahwa ayahmu tadi malam telah
mengejar Panji Wulung naik ke puncak Thian-ti-hong,
siapakah yang menyaksikan?”
“Lie Hu San telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri,” jawab Pek Giok Hwa dengan sikap menghormat.
“Ouw...!”
Dua orang tua itu bersama Pek Giok Hwa berjalan
menuju ke tengah-tengah danau. Ketika berada di tempat
di mana ada berbaris sebelas kepala manusia, lalu berhenti
dan mengangkat tangan memberi hormat kepada orangorang
di sekitar danau, sementera itu orang tua berkaki satu
tadi angkat bicara dengan suara nyaring:
“Tuan-tuan tentunya semua sudah tahu bahwa jenasah
sebelas orang yang kepalanya di sini ini telah dibunuh oleh
Panji Wulung....”
Ketika orang tua itu baru bicara sampai di situ, dari
empat penjuru terdengar suara gemuruh.
Alis Lo Yu Im berdiri, ia menunjukkan sikap terkejut,
kemudian berkata kepada dirinya sendiri: “Bagaimana ia
tahu bahwa orang-orang itu telah dibunuh oleh Panji
Wulung?”
Ia merasa heran karena tadi malam ketika ia turun
tangan mengambil panji hitam yang ditancapkan di sisi
kepala sebelas orang itu, di atas permukaan air danau yang
sudah membeku menjadi salju itu telah ditulis dengan katakata:
Siapa yang ingin tahu pembunuhnya, tanya saja kepada
Cui Hui dari Kiu Im, tiada yang tahu kecuali Touw Liong.
Di situ juga sudah dinyatakan dengan jelas, bahwa orang
yang melakukan pembunuhan itu adalah Cui Hui. Jikalau
Panji Wulung melihat tulisan itu, pasti akan marah besar
dan akan mencari Cui Hui untuk membuat perhitungan,
bahkan mungkin akan ditanyakan bagaimana ia dengan
lancang mengambil panji hitam itu.
Di samping dirinya terdengar suara kata-kata yang
diucapkan dengan nada suara dingin:
“Kawan, mengapa kau tidak melihat dulu apa yang
tertulis di tengah danau itu?” Lo Yu Im lalu tujukan
pandangannya ke tengah-tengah danau, dan orang yang
berkata tadi adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar
empat puluh tahun.
Lo Yu Im agak marah, ia juga berkata dengan nada
suara dingin:
“Aku tidak melihat tulisan itu, apakah Tuan pernah
melihatnya?”
Laki-laki muka merah itu angkat pundak, dan berkata
acuh tak acuh:
“Aku datang lebih pagi, bukan saja sudah menyaksikan
tulisan itu, bahkan aku sudah memeriksanya satu persatu
sebelas kepala manusia itu.” Ia berhenti sejenak, kemudian
berkata pula dengan nada keras dan mengacungkan ibu
jarinya.
“Tulisan itu ditulis dengan ilmu jari tangan Kim-kong-ci.
Salju di permukaan danau ini sifatnya keras bagaikan baja,
apalagi di waktu musim dingin seperti ini, tetapi orang itu
menggunakan jari tangannya di atas salju yang keras hingga
sedalam kira-kira setengah dim. Dapat diduga bahwa
kekuatan tenaga dalam orang itu sudah sempurna.”
Lo Yu Im diam-diam merasa girang ada orang yang
memuji kekuatannya, sementara itu Touw Liong bertanya
kepada laki-laki itu:
“Apakah saudara tahu, siapakah yang menulis huruf
itu?”
“Sudah tentu Pek Thian Hiong sendiri,” menjawab lakilaki
itu sambil tertawa.
“Pek Thian Hiong?” bertanya Lo Yu Im yang
menunjukkan sikap terkejut.
“Bagaimana saudara tahu?” tanya Touw Liong.
“Sahabat, apakah kau tidak melihat apa yang ditulisnya
di atas salju itu?”
Touw Liong menunjukkan sikap terkejut. Ia tahu bahwa
urusan ini agak rumit, maka ia berkata sambil menggelenggelengkan
kepala.
“Oleh karena kedatanganku agak terlambat, benar-benar
tidak tahu apa yang ditulis oleh Pek Sancu. Sudikah
kiranya saudara menceritakan kepadaku?”
“Pek Sancu menulis sepuluh kata-kata....”
Lo Yu Im terperanjat dalam hati ketika mendengar
perkataan itu. Selagi hendak menanya, laki-laki bermuka
merah itu sudah berkata lagi:
“Tulisan itu berbunyi: Orang yang melakukan pembunuhan
ialah Panji Wulung, sedang yang mencabut panjinya adalah Pak
Thian Hiong....”
Wajah Lo Yu Im dan Touw Liong berubah seketika,
mereka saling berpandangan, dan laki-laki muka merah itu
memperdengarkan suara ketawa dingin. Touw Liong buruburu
mengucapkan terima kasih kepadanya, lalu
mengarahkan pandangan matanya kepada orang tua
berkaki satu.
Orang tua berkaki satu itu ketika melihat sikap orang
banyak, segera memperdengarkan suara batuk-batuknya
yang keras, sehingga menimbulkan suara di dalam telinga
masing-masing. Sebentar kemudian suara gemuruh itu
sirap kembali.
Orang tua berkaki satu itu ketika menyaksikan usahanya
untuk menenangkan suasana tadi telah berhasil, kini
ratusan pasang mata itu ditujukan kepadanya. Ia lalu
menyapu semua wajah orang-orang sejenak, dan tongkat di
tangannya dilemparkan di atas salju.
Tongkat yang dilemparkan itu hampir setengahnya
nancap di permukaan salju itu hingga semua orang yang
menyaksikannya pada kagum atas kekuatan tenaga
dalamnya orang tua itu.
Orang tua itu kembali mengangkat tangan dan memberi
hormat kepada orang-orang di sekitarnya, kemudian
berkata:
“Aku si orang tua adalah Lo Thian Piu. Jabatanku
adalah wakil sancu dari Cit-phoa-san. Sancu kini sedang
mengejar Panji Wulung, hingga saat ini belum kembali.
Urusan di danau ini semua adalah menjadi tanggung
jawabku.” Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula
sambil menunjuk dua baris kata-kata di permukaan danau
tadi.
“Tuan-tuan tentu sudah menyaksikan tulisan yang
ditinggalkan oleh sancu di permukaan danau ini. Orangorang
atau tokoh-tokoh kuat dari rimba persilatan yang
kepalanya kini berada di sini, semuanya telah dibunuh oleh
Panji Wulung, sedangkan sancu kita yang setia kawan yang
senantiasa membela kebenaran, telah mengambil sebelas
buah panji kecil hitam yang ditinggalkan oleh Panji
Wulung. Dan mengenai hutang darah Panji Wulung
kepada sebelas tokoh rimba persilatan ini, telah dioper
tanggung jawabnya oleh golongan Cit-phoa-san yang
hendak membuat perhitungan dengan Panji Wulung.
Siaotee yakin, belum sampai sore nanti, sancu kita
barangkali sudah berhasil menangkap hidup-hidup diri
Panji Wulung. Siaote harap Tuan-tuan yang kini berada di
sini supaya nanti malam jam tiga tepat, kiranya suka
membuang waktu untuk datang ke sini lagi, untuk
membicarakan bagaimana untuk mengambil tindakan
terhadap Panji Wulung.”
Dari suara dan sikap orang tua itu menunjukkan
bagaimana jumawanya, sehingga Touw Liong yang
mendengarkan tampak mengerutkan alisnya, dan di dalam
hatinya sendiri berkata: “Ditilik dari kekuatan tenaga dan
kepandaiannya, orang ini memang benar bukan dari
golongan sembarangan, tetapi sikapnya yang sangat
jumawa ini dan agaknya sedikitpun tidak memiliki
kesadaran atas keadaan orang lain, bukan saja
menjemukan, tetapi juga tidak mungkin dapat melakukan
pekerjaan besar. Entah siapa adanya orang tua itu?”
Pada saat itu Lo Yu Im memandang kepadanya, hingga
dua mata saling beradu. Dua pemuda itu agaknya
mempunyai pandangan yang sama, hingga keduanya saling
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu terdengar pula suara Lo Thian Piu:
“Di antara Tuan-tuan, siapa yang ingin mengutarakan
pikiran?”
Dari sebelah timur di antara rombongan orang-orang itu
terdengar suara seorang yang mengenakan jubah putih
berkata:
“Siaote ingin mengutarakan sedikit pikiran....”
Touw Liong terkejut ketika mendengar perkataan itu,
karena orang itu adalah Cui Hui sendiri.
Sementara itu Cui Hui sudah melanjutkan kata-katanya
dengan sikap tenang:
“Siaote tidak setuju dengan pendapat Hu Sancu.”
“Saudara siapa?” demikian Lo Thian Piu bertanya
dengan sikap tidak senang.
“Aku yang rendah, adalah Cui Hui,” menjawab Cui Hui
sambil membongkokkan badan.
“Aku kira siapa, ternyata adalah ketua golongan Kiu-impay
yang akan datang,” berkata Lo Thian Piu dengan sikap
menghina. Cui Hui merasa tidak senang hingga wajahnya
saat itu semakin pucat pasi bagaikan mayat.
“Saudara ada pikiran apa?” bertanya Lo Thian Piu
dengan nada suara dingin.
Cui Hui sebelum menjawab telah tertawa lebih dahulu.
Ia mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak-bahak,
hingga suara tertawanya itu menggema di udara dan
menusuk telinga tiap orang.
Ia sengaja menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya,
sehingga semua orang dikejutkan oleh sikapnya orang itu.
Begitupun dengan Touw Liong yang saat itu sudah hilang
kekuatan dan kepandaiannya, sehingga wajahnya menjadi
pucat pasi dan keringat dingin mengucur keluar. Buru-buru
ia menggunakan kedua tangan untuk menutup telinganya.
Lama sekali, suara tertawa Cui Hui itu baru sirap, mata
orang aneh itu menyapu kepada orang-orang di seputarnya
sejenak, kemudian berkata dengan suara berat:
“Tuan-tuan jangan salah paham, orang yang melakukan
pembunuhan terhadap sebelas tokoh kuat ini, bukanlah
orang seperti apa yang dikatakan oleh Lo sancu tadi, yang
dibunuh oleh Panji Wulung.”
Bab 25
Lo Thian Piu sangat marah mendengar perkataan Cui
Hui tadi. Dengan suaranya yang menggelegar ia berkata:
“Coba kau sebutkan, siapa yang melakukan
pembunuhan itu?”
Seperti juga tadi Cui Hui sebelum menjawab telah
tertawa lebih dulu, kemudian menunjuk kepada Lie Hu San
yang berada di belakang Lo Thian Piu, dan berkata:
“Jikalau tuan ingin tahu keadaan yang sebenarnya,
tanyalah kepada Lie pangcu!”
Semua mata lalu ditujukan kepada Lie Hu San.
Lo Thian Piu dengan sikapnya yang masih marah
bertanya kepada Lie Hu San:
“Lie pangcu! Siapakah yang melakukan perbuatan itu?”
Lie Hu San maju selangkah, dan menjawab sambil
membungkukkan badan:
“Hu sancu, kepala dari sebelas tokoh kuat ini adalah....”
Ia memandang kepada orang-orang di sekitarnya, kemudian
berkata lagi dengan suara nyaring:
“Touw Liong yang membunuh dan meletakkan di sini.”
“Touw Liong!”
“Touw Liong!”
“Touw tayhiap!”
“Touw Liong murid dari Kiu-hwa!”
Demikian terdengar suara riuh dari empat penjuru.
Semua orang yang berada di situ agaknya dikejutkan oleh
keterangan Lie Hu San tadi. Seorang pendekar kenamaan
seperti Touw Liong yang saat itu sedang mendapat nama
baik, dapatkah melakukan perbuatan rendah yang
menimbulkan amarah semua orang rimba persilatan seperti
itu, benar-benar suatu perbuatan yang tidak habis
dimengerti.
Sementara itu Touw Liong sendiri yang dalam samaran,
ketika mendengar perkataan itu sekujur badannya
gemetaran. Ia memandang kepada Lo Yu Im dan memberi
isyarat kepadanya, maksud Lo Yu Im supaya ia berlaku
sabar untuk menantikan perubahan selanjutnya.
Lo Thian Piu berpaling kepada Lie Hu San dan
menggapai kepadanya. Lie Hu San lalu berjalan dengan
sikap menghormat ke depan Lo Thian Piu.
“Lie pangcu, apakah kata-katamu ini semua benar?”
Lie Hu San bersangsi sejenak, kemudian menjawab
dengan suara agak gelagapan:
“Menurut pikiran biasa, urusan yang ditinggalkan oleh
sancu itu tentunya tidak bisa salah, akan tetapi... tadi
malam yang sebenarnya kami telah menyaksikan dengan
mata kepala sendiri.”
Lie Hu San ketika mengucapkan kata-kata itu hatinya
merasa tidak tenang.
“Siapa yang kau lihat?” bertanya Lo Thian Piu dengan
suara keras.
Lie Hu San menunjuk kepada sebelas kepala manusia
dan mengucapkan perkataan: “Touw Liong”.
“Ouw...! Touw Liong!” demikian terdengar suara riuh
pula dari empat penjuru. Semua agaknya merasa sayang
dan terheran-heran atas perbuatan Touw Liong.
Lo Thian Piu maju selangkah dan bertanya kepada Lie
Hu San dengan suara pelahan:
“Lie pangcu, tahukah kau apa dosanya bagi orang yang
memberi laporan palsu?”
“Hukuman mati!” jawab Lie Hu San tegas.
Oleh karena jawaban yang tegas itu, mau tak mau Lo
Thian Piu harus percaya. Orang tua itu memijat kepada
jidatnya sendiri dan agaknya sedang berpikir keras. Ia tidak
habis mengerti sebab musababnya, karena urusan yang
sedang dihadapi itu, sebetulnya membingungkan
perasaannya.
Suasana di danau Thian-tie penuh ketegangan. Dengan
keterangan Lie Hu San itu, tak ubahnya seperti
mengumumkan Touw Liong sebagai pembunuh, yang juga
berarti menjadi musuh besarnya 10 partai besar.
Terdengarlah banyak orang berseru:
“Lo Sancu, kau tadi pernah kata bahwa hutang darah
sebelas korban itu menjadi tanggung jawabmu, bahwa
kaulah yang akan membereskan. Sekarang sudah diketahui
siapa pembunuhnya, harap supaya kau segera mengambil
tindakan.”
Saat itu Touw Liong gemetaran, ia berpikir: “Aku yang
selama hidupku tidak pernah melakukan sesuatu kejahatan,
bagaimana harus menanggung dosa sebesar itu?”
Lo Thian Piu tiba-tiba angkat muka, dan mengacungkan
tongkatnya, hingga suara riuh di lapangan lantas sirap
kembali.
Orang tua itu berkata dengan suara lantang:
“Baiklah! Aku sangat menghargai pikiran Tuan-tuan.
Sekarang aku minta supaya Tuan-tuan dari pelbagai
golongan yang ada bersangkutan dengan para korban itu
agar lebih dulu mengenali kepala mereka masing-masing
dan menguburkannya seperti biasa, setelah itu aku akan
minta izin kepada sancu untuk membawa semua anak buah
golongan Cit-phoa-san pergi ke gunung Kiu-hwa-san
mencari Kiu-hwa Lojin guna membereskan persoalan ini.”
Menurut kebiasaan dalam rimba persilatan apabila
seorang murid dari sesuatu golongan menimbulkan huruhara
di luaran dan menyangkut nama baik perguruannya,
perbuatannya itu adalah suatu perbuatan dan suatu
kejahatan yang sangat besar sekali. Oleh karena ucapan
Kiu-hwa Lojin pada tiga puluh tahun berselang yang telah
memberikan janji kepada Tiga Dewa dari golongan
pengemis bahwa ia tidak akan terjun ke dunia Kang-ouw
lagi, kini harus menghadapi peristiwa berdarah yang
menyangkut diri orang-orang dari sepuluh partai besar,
tampakya golongan Cit-phoa-san pasti akan mengerahkan
seluruh kekuatan tenaganya, dengan alasan hendak
menuntut balas para korban, mungkin akan menyapu bersih
kekuatan dari golongan Kiu-hwa.
Touw Liong berpikir bolak-balik, ia anggap bahwa
bencana yang akan menimpa golongan Kiu-hwa timbul atas
dirinya, bagaimanapun juga ia tidak boleh sampai hal itu
membuat perguruannya mendapat nama buruk. Ia
mengepal-ngepal kedua tangannya. Selagi hendak keluar
untuk memberi keterangan, ternyata sudah ditarik oleh Lo
Yu Im, dan minta ia jangan berlaku gegabah.
Touw Liong agaknya merasa tidak senang atas sikap Lo
Yu Im itu.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar pula suara orang dari
tengah-tengah danau: “Pek Giok Hwa lebih dulu minta
maaf kepada locianpwe.” Orang tua itu mengerutkan
alisnya seraya berkata:
“Sudahlah! Kau ingin bicara apa? Katakanlah!”
Pek Giok Hwa memutar tubuhnya dan memberi hormat
kepada para hadirin di seputar telaga, kemudian berkata
dengan suara lantang:
“Touw tayhiap seorang pendekar kenamaan, bagaimana
dapat melakukan perbuatan terkutuk semacam itu? Apakah
ia tidak syang kepada dirinya dan nama baiknya sendiri...?”
Ucapan gadis itu jelas sangat berlainan dengan pikiran
Lo Thian Piu, juga berarti sudah menolak keputusannya.
Lo Thian Piu merasa kehilangan muka, dengan wajah
agak merah ia memotong perkataan Pek Giok Hwa.
“Hian-tit, karena sancu tidak di sini, urusan ini
seharusnya akulah yang bertanggung jawab. Ucapanmu
tadi berarti membela Touw Liong, apakah menganggap
bahwa tindakan yang kuambil itu keliru?”
Pek Giok Hwa buru-buru minta maaf seraya berkata:
“Mana tit-jie berani! Ketahuilah olehmu ji-siok, tit-jie
tidak mintakan ampun buat Touw Liong, juga tidak
mempunyai keberanian begitu besar menentang keputusan
jisiok.”
Lo Thian Piu tercengang, ia bertanya:
“Kalau begitu, apa maksudmu?”
“Ditilik dari tulisan tangan yang ada di atas salju, jelas
merupakan tulisan ayah. Kalau ayah sudah memastikan
bahwa pembunuh sebelas orang itu adalah Panji Wulung,
tit-jie percaya bahwa anggapan ayah itu pasti mempunyai
dasar yang kuat.”
“Hal ini....” Lo Thian Piu hanya berkata demikian saja,
tidak dapat melanjutkan lagi.
Orang tua berbaju kuning yang selama itu diam saja
ketika menyaksikan terjadi pertentangan pikiran antara
orang-orang sendiri, buru-buru menyela ucapan orang tua
berkaki satu.
“Jieko, ucapan Hwa-jie juga ada benarnya, tetapi
kedudukan jieko pada saat ini juga harus bersikap demikian.
Menurut pikiranku, kedatangan Touw Liong ialah atas
undangan Hwa-jie, maka urusan ini harus diselesaikan
sendiri oleh Hwa-jie, barulah kita nanti menyampaikan
kepada sepuluh partai besar.”
Lo Thian Piu sejenak tampak berpikir, kemudian
menganggukkan kepala, jelas bahwa ia sudah menerima
baik usul kawannya.
Touw Liong sangat berterima kasih kepada Pek Giok
Hwa.
Tapi Cui Hui yang bermaksud hendak mengadu domba
Lo Thian Piu lantas berkata sambil tertawa dingin:
“Tulisan di atas salju itu bukan hanya Pek sancu seorang
yang dapat menulisnya. Dalam rimba persilatan dewasa ini
orang yang memiliki kepandaian menulis tulisan di atas
benda keras dengan jari tangan, jumlahnya banyak sekali.”
Lo Thian Piu yang masih mendongkol, lantas berkata
dengan suara keras:
“Tutup mulut!”
Kemudian bertanya dengan nada suara dingin:
“Coba sebutkan, siapa-siapa yang memiliki ilmu
kepandaian itu?”
“Tidak perlu jauh-jauh, menurut apa yang aku tahu,
pada dewasa ini di samping sancumu sendiri, masih ada
Touw Liong sendiri, Panji Wulung dan lain-lainnya,
semuanya memiliki kepandaian semacam itu.”
Lo Thian Piu seolah-olah ingat sesuatu, ia berpaling
mengawasi tulisan di atas salju, kemudian bertanya:
“Maksudmu, apakah orang she Touw itu setelah
mengantar sebelas kepala manusia itu dengan
menggunakan nama Panji Wulung, lalu meninggalkan
tulisan yang ditulis dengan jari tangan di atas salju,
melimpahkan dosanya kepada Panji Wulung, supaya
sepuluh partai besar rimba persilatan anggap Panji Wulung
sebagai musuh besar mereka? Dan Panji Wulung yang
tidak bersalah, sudah tentu akan marah dengan demikian
akan terjadi pembunuhan besar-besaran dalam rimba
persilatan?”
Cui Hui menyahut sambil menepuk pahanya sendiri:
“Tepat! Ini adalah rencana bagus, yang dinamakan
membunuh orang dengan meminjam senjata orang lain....”
“Sungguh kejam!”
“Suatu rencana keji yang terkutuk!”
Demikian terdengar suara caci maki dari para hadirin.
Touw Liong tak dapat mengendalikan perasaannya lagi,
ia membuka kedoknya dan pakaian samarannya, kemudian
tertawa tergelak-gelak dan berkata dengan suara nyaring.
“Orang she Touw ada di sini, apakah Tuan-tuan sekalian
mau dengar keteranganku?”
Semua orang terkejut, suasana menjadi sunyi. Semua
mata ditujukan kepadanya, dan Touw Liong yang sudah
balik dalam keadaan asalnya, di bawah pandangan mata
orang banyak, berjalan menuju ke danau.
Orang banyak pada terheran-heran, mereka saling
bertanya:
“Mengapa suaranya tidak bertenaga? Suara itu mirip
dengan suara orang biasa, mana mirip dengan orang yang
meiliki kepandaian tinggi?”
Lo Yu Im tidak merintangi perbuatan Touw Liong,
bahkan mengikuti di belakangnya memberi perlindungan.
Touw Liong terus berjalan menuju ke tengah danau. Ia
memberi hormat kepada orang tua berkaki satu, kemudian
menyoja kepada Pek Giok Hwa setelah itu baru memberi
hormat kepada semua orang yang berada di sekitarnya,
seraya berkata:
“Tuan-tuan tadi telah memperbincangkan diriku
mengenai pembunuhan sebelas orang yang kepalanya
berada di sini, hal ini aku orang she Touw tidak akan
memberi penjelasan. Jikalau Tuan-tuan akan tetap
menganggap aku sebagai pembunuhnya, aku bersedia
menerima hukuman. Tetapi jikalau Tuan-tuan tidak
mencurigai diriku melakukan perbuatan itu, aku minta
dengan hormat supaya Tuan-tuan suka menunggu sampai
kembalinya Pek sancu, supaya mendapat keterangan, akan
kita lihat bersama-sama siapakah pembunuh yang
sebetulnya?”
Semua orang yang ada di situ pada terkejut, tiada
satupun yang buka suara.
Pek Giok Hwa tiba-tiba mengerutkan alisnya dan
bertanya:
“Saudara Touw... kau agaknya sudah kehilangan semua
kekuatan dan kepandaianmu...!”
Touw Liong tertawa menyeringai, kemudian menjawab:
“Memang benar! Semua kepandaian dan kekuatan
tenagaku kini telah musnah.”
Mendengar jawaban itu, orang-orang yang pada berdiri
di sekitar telaga, kembali memperdengarkan suara kasakkusuk,
semua mata juga ditujukan kepadanya, agaknya
sangat menyayangkan kepandaian dan ilmu silatnya yag
dimiliki dahulu.
Pek Giok Hwa dengan penuh perhatian bertanya:
“Kepandaian dimusnahkan oleh siapa?”
“Panji Wulung....”
“Panji Wulung??”
“Panji Wulung??” demikian dari empat penjuru
terdengar suara ribut.
Lo Yu Im dalam hatinya berkata sendiri: Ditilik dari
kekuatan tenaga orang tua ini, memang benar, bukanlah
orang dari golongan sembarangan.
Kemudian ia melangkah maju dan bertanya kepada Lie
Hu San:
“Lie pangcu, kau lihat biar jelas, apa dia mirip dengan
seorang berkepandaian tinggi yang dapat membunuh
sebelas orang itu?”
Bukan kepalang terkejutnya Lie Hu San, ditanya
demikian ia tidak dapat menjawab. Matanya berputaran ke
atas diri Touw Liong, untuk sesaat mulutnya bungkam.
Hanya dalam hatinya berpikir: “Tadi malam jelas kulihat
adalah bocah ini, mengapa bisa berubah dengan mendadak?
Jikalau benar kekuatan dan kepandaiannya lenyap
seluruhnya, bukankah ini suatu kejadian yang sangat aneh?
Pek Giok Hwa yang merasa benci kepada Cui Hui tidak
mau membiarkan begitu saja. Dengan nada suara
mengejek, ia berkata:
“Tuan Cui barangkali sudah ingin lekas-lekas menduduki
kursi ketua partainya yang hendak dibentuk, sehingga perlu
mengarang cerita yang bukan-bukan untuk menarik
perhatian orang. Dengan Lie pangcu sengaja mengarang
berita yang menggemparkan, supaya orang tahu bahwa dia
adalah seorang tokoh hebat.”
Cui Hui dengan suara marah membantah:
“Dalam peristiwa ini ada beberapa hal yang sangat
mencurigakan, percaya atau tidak terserah kepadamu. Tadi
malam orang yang kusaksikan dengan mata kepalaku
sendiri memang betul adalah pemuda she Touw itu.”
Sementara itu Lo Thian Piu dengan sikap dingin
menyemprot Lie Hu San:
“Lie pangcu, kau tadi sudah mengatakan sendiri, jikalau
memberikan laporan palsu, kau harus menerima dosanya,
golongan kita yang baru didirikan harus memegang keras
semua aturan dalam golongan sendiri, sekarang apa
katamu?”
“Penasaran!” demikian Lie Hu San berteriak dengan
suara nyaring.
“Bagaimana yang kau maksudkan dengan penasaran?”
“Tanya kepada Panji Wulung, siapakah pembunuhnya?”
“Sayang Panji Wulung kini tidak ada di sini.”
Lo Thian Piu tiba-tiba menutup mulutnya, buru-buru
memasang telinga, karena dari jauh di bawah bukit tiba-tiba
terdengar suara nyanyian Panji Wulung yang menusuk
telinga.
Semula, hanya beberapa orang saja yang
memperhatikan, tetapi lambat laun tidak sedikit orang yang
mencurahkan perhatiannya. Ketika mendengar suara
nyanyian itu makin lama makin menggema, sehingga Touw
Liong yang sudah seperti orang biasa juga dapat
mendengarnya.
Sungguh cepat gerakan orang itu! Begitu suara nyanyian
berhenti, lalu berkelebat bayangan orang. Seorang
perempuan tua berambut putih yang mengenakan kerudung
muka kain hitam, di bawah semua mata yang menyaksikan
dengan terheran-heran, telah muncul di permukaan danau.
Perempuan itu begitu menginjakkan kakinya di atas
permukaan danau, lalu dikebut-kebutkan lengan jubahnya,
dan sesaat itu di permukaan danau tampak bayangannya
seolah-olah bergerak-gerak bagaikan naga.
Kibasan lengan jubah itu menimbulkan angin di seputar
danau, sehingga menimbulkan hawa dingin. Semua orang
yang ada di situ wajahnya berubah seketika, mereka buruburu
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menyelamatkan diri masing-masing.
Sesaat kemudian, perempuan tua berkerudung itu berdiri
tegak di tengah danau, dengan suara yang nyaring dan
lantang, bertanya kepada para hadirin yang saat itu masih
menunjukkan sikap terheran-heran:
“Kalian semua sudah melihat dengan tegas atau belum,
siapakah adanya aku si nenek ini?”
Semua orang yang ada di situ pada tercengang dan
terheran-heran, tiada satupun yang berani membuka mulut.
Di antara mereka meskipun ada yang merasa jeri
mendengar nyanyian itu, akan tetapi tiada satupun yang
berani menyebutkan namanya, mereka khawatir akan
mendatangkan bencana kematian.
Tokoh-tokoh kuat rimba persilatan yang jumlahnya
ratusan orang, saat itu semua diliputi oleh perasaan takut,
hingga tidak seorangpun yang berani membuka suara.
JILID 10
Perempuan tua itu memperdengarkan suara tertawa
dingin, kemudian mengulurkan tangannya, dari dalam
sakunya mengeluarkan sebuah panji kecil warna hitam,
panji itu dikibarkan di hadapan Pek Giok Hwa, kemudian
disambitkan ke permukaan danau, batangnya menancap
sedalam dua dim, lalu berkata sambil menunjuk panji kecil
itu:
“Apakah mata kalian semua sudah buta, hingga tidak
mengenali siapa adanya orang yang memiliki panji kecil
ini??”
“Panji Wulung !!!” demikian terdengar suara nyaring dari
empat penjuru, akan tetapi mereka semua hanya dapat
mengeluarkan ucapan itu saja, selanjutnya tidak berani
bersuara lagi.
Panji Wulung mendongakkan kepala dan mengeluarkan
suara tertawanya yang aneh, suara tertawa itu menggema di
udara sehingga menusuk telinga setiap orang, sedangkan
Touw Liong yang saat iu sudah seperti manusia biasa tidak
sanggup mendengar/menerima goncangan itu, sehingga
menutup telinga dengan kedua tangannya.
Ketika suara itu sirap, Panji Wulung lalu berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepala:
“Manusia di mana saja senantiasa bertemu. Bocah, hari
ini kita kembali berjumpa di sini, apakah kau juga ingin
mencampuri persoalan ini?”
Touw Liong diam saja, hanya dengan sikap marah
memandang kepada Panji Wulung. Panji Wulung tidak
menghiraukan keadaan Touw Liong, pelahan-lahan
menggeser kakinya berjalan mendekati Pek Giok Hwa yang
berdiri tegak, kemudian berhenti sejarak satu tombak di
hadapannya.
Orang tua berkaki satu dengan menggunakan dua jari
tangannya, hendak mencabut panji yang menancap di
permukaan danau, bersama orang tua berbaju kuning
berjaln ke samping Pek Giok Hwa, mereka siap melindungi
gadis itu.
Pek Giok Hwa dengan alis berdiri dan dengan suara
lantang bertanya kepada Panji Wulung:
“Panji Wulung, kau mau apa?”
Perempuan tua itu menjawab sambil tertawa dingin:
“Aku tidak akan berbuat apa-apa. Ayahmu hendak
menjagoi rimba persilatan, hingga mengambil sebelas buah
panji hitam itu. Aku mengiringi kehendak ayahmu, biarlah
ia dapat mencapai maksudnya. Sekarang kuberikan yang
sebuah ini lagi kepadamu, supaya cukup menjadi dua belas
buah.”
Suara itu penuh misteri juga penuh ancaman.
Maksudnya ialah hari itu Pek Giok Hwa sudah pasti akan
dibinasakan, dan Pek Thian Hiong bukan saja akan
mendapatkan sebuah panji kecil warna hitam itu, tetapi juga
akan mendapatkan puterinya yang sudah menjadi mayat.
Touw Liong mengerti, asal Panji Wulung bergerak, hari
itu Pek Giok Hwa sudah pasti akan binasa di tangannya,
tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, juga tidak mengerti
mengapa sebabnya, ia agaknya merasa berterima kasih atas
ucapan gadis tadi yang telah membela dirinya, maka tanpa
memikirkan keadaannya sendiri, dengan cepat ia mencoba
mencabut gagang panji hitam yang menancap di atas salju.
Perbuatan Touw Liong itu tak ubahnya seperti bercanda
dengan maut, hingga mengejutkan semua orang yang ada di
situ.
Perempuan tua itu yang menyaksikan Touw Liong
dengan wajah dan sikap tenang mencabut panji yang berada
di tangannya, sebaliknya malah tercengang. Dalam
terkejutnya ia mengeluarkan suara pelahan, dari sinar
matanya yang tajam, ia terus menatap Touw Liong dan
berkata:
“Bocah, apakah kau sudah bosan hidup?”
Ia hanya bertanya demikian, tetapi tidak mengambil
tindakan apa-apa.
Beberapa ratus tokoh rimba persilatan satu persatu
berdiri. Bagaikan patung mereka berdiri, agaknya tidak
seorang pun yang berani memikirkan tentang nasib Touw
Liong.
Touw Liong dengan tenang memandang semua orang di
sekitarnya, kemudian alihkan pandangan matanya kepada
perempuan tua itu, setelah itu ia baru berkata lambatlambat:
“Hari ini adalah hari pertemuan semua tokoh rimba
persilatan, untuk membuka pertemuan besar di tempat ini,
kita sebagai orang-orang rimba persilatan, bagaimanapun
juga harus mengindahkan peraturan. Mengenai soal
kepandaian ilmu silat, orang-orang yang berada di sini,
tiada satupun yang dapat mengimbangi kepandaianmu.
Oleh karena itu, maka kau sudah dapat menjagoi dan boleh
berbuat sesukamu! Tetapi orang di jaman dahulu ada
meninggalkan suatu pepatah yang sangat berharga:
Seseorang jikalau mengandalkan kegagahan dan kekerasan,
sudah pasti akan mendatangkan bencana kepada diri
sendiri. Maka itu, manusia harus dapat menaklukkan
sesama manusia dengan kebijaksanaan dan budi pekerti.
Dahuu ketika di gunung Bu-san di puncak gunung Sin-lihong,
kau dengan mudah telah memusnahkan semua
kepandaian ilmu silatku, hari ini jikalau kau hendak
mengambil kepalaku, juga lebih mudah daripada
mengambil barang dari dalam sakumu sendiri, sebetulnya
tidak berarti apa-apa. Tetapi kita lebih dahulu harus
berbicara tentang aturan, supaya semua orang yang ada di
sini mendengar dan menyaksikan untuk melihat siapa yang
benar dan yang salah?”
Perempuan itu terkejut, ia berkata sambil tertawa dingin:
“Hari ini kau berani turun tangan mencabut panji yang
kulemparkan di atas danau ini, itu sudah berarti kau
melanggar peraturan dalam rimba persilatan, apa salah
kalau aku mengatakan bahwa kau sudah bosan hidup?”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, ia mengibarkan
panji yang berada di tangannya seraya berkata:
“Sungguh hebat! Tetapi aku tidak tahu kata-katamu ini
apakah memang tidak tahu dengan sejujurnya, ataukah
pura-pura tidak tahu?”
Kembali perempuan tua itu dikejutkan oleh pertanyaan
itu. Touw Liong mengawasi panji kecil di tangannya, lalu
berkata dengan suara nyaring:
“Panji kecil ini sebetulnya adalah milikku, tetapi
dirampas orang dan ditukar gagangnya. Sekarang barang
ini telah kembali kepada pemiliknya, coba Tuan-tuan pikir,
aku yang salah ataukah orang yang merampas milikku itu
yang bersalah?”
Perempuan tua itu bungkam tak dapat menjawab. Ia
kini berada di kedudukan yang serbasalah, hingga tak tahu
bagaimana harus berbuat.
Touw Liong semakin besar nyalinya. Ia menunjuk
sebelas kepala yang baris berjejer di permukaan danau
Thian-tie, dan kemudian bertanya:
“Apakah kau yang melakukan pembunuhan kepada
orang-orang ini?”
Perempuan tua itu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian mengetukkan tongkatnya dan berkata dengan
suara marah.
“Siapa yang menggunakan namaku melakukan
pembunuhan secara serampangan ini? Aku Panji Wulung
akan menangkapnya! Hem! Akan kurobek-robek kulitnya,
biarlah ia merasakan betapa hebat hajaranku.”
Touw Liong mengerutkan alisnya, dan bertanya pula
kepadanya:
“Apakah kau sudah pernah bertemu muka dengan Pek
Sancu?”
Perempuan tua itu menggelengkan kepala, hingga
menimbulkan perasaan curiga Touw Liong. Ia berkata
kepada diri sendiri: “Kalau begitu, siapakah yang usil
menuliskan sebarisan huruf ini?”
Mata perempuan tua itu berputaran, dan bertanya
kepada Touw Liong dengan suara bengis:
“Anak busuk! Siapa yang mencabut sebelas panji kecil
hitam itu?”
“Itu adalah aku sendiri!” jawab Touw Liong sambil
menyoja.
“Aaa!!” demikian dari para hadirin terdengar suara
seruan sangat riuh.
Perempuan itu bertanya pula:
“Siapa yang mengantarkan kepala orang-orang ini
kemari?”
Touw Liong bersangsi sejenak, kemudian menjawab
dengan tegas:
“Wajah orang itu mirip benar dengan wajahku.”
“Aaa...” demikian dari empat penjuru terdengar suara
seruan terkejut.
“Kau?” bertanya perempuan tua itu sambil menuding
Touw Liong dengan tongkatnya.
“Bukan aku!” menjawab Touw Liong sambil
menggelengkan kepala.
“Semua kekuatan tenaga dan kepandaianmu sudah
kumusnahkan dengan ilmu tunggalku. Di kolong langit ini,
kecuali Hui-thian Giok-liong Liu cianpwee hidup lagi,
seumur hidupmu ini habislah pamormu. Aku dapat
menduga dengan pasti, bahwa kau tidak memiliki kekuatan
tenaga seperti itu untuk melakukan pembunuhan terhadap
sebelas orang itu. Anak busuk, katakanlah lekas! Siapa
orangnya itu?”
“Wajah orang itu mirip dengan wajahku, nama
julukannya adalah Pelajar Seribu Muka....”
“Pelajar Seribu Muka??” demikian perempuan tua itu
berkata seperti menjerit, kemudian tampak berkelebat
bayangannya. Sesaat kemudian perempuan tua itu sudah
menghilang dari hadapan mata Touw Liong dan hadapan
mata orang banyak.
Bab 26
Panji Wulung sudah menghilang dari depan mata orang
banyak, namun semua tokoh rimba persilatan yang berada
di situ semua sudah dapat menyaksikan bagaimana
macamnya orang yang menamakan diri Panji Wulung itu!
Siapapun boleh merasa beruntung bahwa batok kepala
mereka masih utuh dan masih tetap di atas badannya.
Ketika para tokoh rimba persilatan itu hendak
meninggalkan tempat itu, semua masih berkesan sangat
dalam terhadap sikap Touw Liong yang begitu berani
menghadapi orang ganas seperti Panji Wulung, hingga
mereka memandangnya dengan rasa hormat terhadap
pemuda itu yang kini sudah musnah kepandaian dan
kekuatan tenaganya.
Tiada suatu perjamuan yang tidak akan berakhir.
Demikian dengan pertemuan para tokoh ini, semua tokoh
rimba persilatan kini telah tiba saatnya untuk bubaran.
Golongan Cit-phoa-san merasa kehilangan muka,
terutama orang tua berkaki satu dan orang tua berbaju
kuning yang hari itu bertindak mewakili tuan rumah.
Ketika berhadapan dengan Panji Wulung agaknya
bernapaspun tidak berani. Oleh karena itu, mereka dengan
diam-diam turut menghilang di antara orang banyak.
Selagi Pek Giok Hwa hendak meninggalkan tempat
pertemuan itu, lebih dulu ia memandang Touw Liong
dengan perasaan bersyukur.
Orang-orang dari golongan sepuluh partai besar masingmasing
membawa pulang kepala manusia dari golongannya
sendiri-sendiri, siapapun tidak berani membicarakan soal
menuntut balas.
Di tengah-tengah danau Thian-tie yang sudah membeku,
kini hanya tinggal sebuah kepala manusia yang penuh
berewok, tiada seorang pun yang merawat, sehingga semua
orang sudah berlalu habis, kepala orang itu tidak ada yang
mengakui.
Touw Liong yang sementara itu masih belum pergi,
bertanya kepada Lo Yu Im sambil menunjuk kepada kepala
orang itu:
“Apakah enci tahu, orang itu dari golongan mana?”
Tetapi Lo Yu Im hanya angkat pundak sebagai jawaban
bahwa ia tidak tahu.
Touw Ling mengerutkan alisnya sambil berpikir,
kemudian berkata:
“Orang ini pasti salah seorang tokoh kuat dalam rimba
persilatan pada dewasa ini.”
“Tetapi siapakah orang itu?” demikian dua orang itu
bertanya-tanya dalam hati masing-masing. Sebab di antara
tokoh kuat dalam rimba persilatan yang mereka kenal,
belum pernah melihat orang itu, juga belum pernah dengar
ada orang mengatakan tentang diri orang itu.
Keadaan danau Thian-tie kini sudah sunyi kembali,
hanya tinggal sebuah kepala itu, dan Touw Liong bersama
Lo Yu Im berdua yang menghadapi kepala itu, merasa
serbasalah. Jikalau mereka tinggalkan begitu saja, rasanya
tidak enak, tetapi jikalau mau mengurusinya, tetapi cara
bagaimana mengurusi orang yang belum dikenalnya?
Dua orang itu berunding sebentar, lalu mengambil
kepala manusia itu, untuk sementara oleh Lo Yu Im kepala
itu dibawa dan disimpan ke dalam pagoda yang terdapat di
puncak gunung Thian-ti-hong. Touw Liong lalu berusaha
untuk menghapus tulisan-tulisan yang terdapat di atas
danau yang telah membeku itu, sehingga keadaannya pulih
seperti biasa.
Pertemuan besar itu, oleh karena tidak hadirnya Pek
Thian Hiong sehingga menjadi gagal, golongan Cit-phoasan
mau tak mau harus kembali ke tempat asalnya, dan Lie
Hu San kini telah menghilang dari rimba persilatan.
Dauau Thian-tie kini kembali seperti sediakala, sunyi
senyap. Touw Liong meskipun sudah kehilangan seluruh
kepandaiannya, tetapi oleh karena tindakannya yang berani
dalam pertemuan besar itu, telah menunjukkan jiwa
jantannya, hingga namanya semakin kesohor.
Kemanakah sebetulnya Pek Thian Hiong pergi?
Mengapa hingga saat itu ia belum unjuk muka? Tiga wakil
ketuanya ialah orang tua berkaki satu, orang tua berbaju
kuning dan Pek Giok Hwa, semuanya menjadi bingung.
Diam-diam mereka mengirim anak buahnya untuk mencari
jejak ketuanya. Sementara itu di rimba persilatan terjadi
suatu keheranan, karena yang hilang bukan hanya Pek
Thian Hiong saja. Di samping ia masih ada Anak Sakti
dari gunung Bu-san dan Sepasang Burung Hong, yang juga
dikabarkan sudah hilang.
Sementara itu Touw Liong dan Lo Yu Im yang
merupakan orang terakhir meninggalkan danau Thian-tie,
kini hendak melanjutkan perjalanannya ke gunung Oey-san,
setelah itu lalu ke perkampungan Pak-bong-san, hendak
mencari tahu tentang segala keganjilan yang terjadi di
danau Thian-tie.
Selagi mereka turun gunung, di suatu jalanan sempit
telah berpapasan dengan Cui Hui dan semua pengikutnya.
Cui Hui lalu berkata:
“Bocah, hari ini kau telah menggagalkan usahaku,
bahkan membuat aku kehilangan muka. Sekarang semua
anak buahku ada di sini, kau harus tinggalkan batok
kepalamu!”
Lo Yu Im menggeleng-gelengkan kepala, dan berkata
kepada Cui Hui:
“Menggunakan kesempatan selagi orang dalam keadaan
terjepit lalu main keroyok dengan mengandalkan jumlah
orang yang banyak, adakah itu suatu perbuatan yang harus
dilakukan oleh seorang calon ketua satu partai seperti
dirimu itu? Jikalau kau berani, mari kita bertempur satu
lawan satu, baik dengan senjata atau dengan tangan
kosong, aku seorang she Lo bersedia mengiringi
kehendakmu.”
“Baik! Baik! Baik! Aku si orang she Cui mendapat
keberuntungan untuk melayani nona bermain-main sejenak,
juga merupakan suatu kehormatan bagiku,” berkata Cui
Hui sambil tertawa cengar-cengir.
“Orang she Cui, kau tak perlu banyak bicara, jikalau kau
berani jawablah dengan tegas supaya nonamu dapat
mengambil jiwamu.”
“Baiklah! Aku ada maksud hendak bertanding dengan
ilmu serulingmu yang sudah menggemparkan rimba
persilatan itu.”
Lo Yu Im tahu bahwa orang she Cui itu sengaja hendak
menghina dirinya dengan kata-kata yang mesum, tetapi
ketika ia menyaksikan keadaan Touw Liong, dalam hatinya
merasa sedih. Ia tidak menjawab perkataan Cui Hui, dari
dalam sakunya mengeluarkan seruling batu gioknya lalu
berkata sambil menganggukkan kepala:
“Aku ingin belajar kenal lebih dahulu dengan
kepandaianmu!”
Touw Liong memberi pesan kepada Lo Yu Im dengan
suara pelahan:
“Enci, berlakulah hati-hati. Cui Hui itu sifatnya sangat
kejam dan ganas sekali.”
Lo Yu Im menganggukkan kepala. Tiba-tiba ia ingat
bahwa dengan seorang diri ia harus menghadapi Cui Hui,
siapakah yang melindungi Touw Liong?
Sikap itu telah dilihat oleh Cui Hui, maka lalu
memerintahkan kepada empat pengawalnya:
“Pergi! Kalian baik-baik menjaga keselamatan Touw
tayhiap!”
Para pengikutnya menurut, mereka segera mengurung
ketat Touw Liong dan Lo Yu Im dengan senjata terhunus.
Lo Yu Im memperdengarkan suara tertawa dingin, lalu
menggerakkan serulingnya, dari situ menghembuskan angin
dingin hingga para pengikut Cui Hui terdesak mundur.
“Apakah kalian hendak main keroyok?” tanya Lo Yu Im
marah.
“Satu jiwa diganti dengan satu jiwa. Adik seperguruan
dia ketika berada di gereja Kwi-lok-si, telah membinasakan
seorang pengawalku. Hutang jiwa harus dibayar dengan
jiwa hutang jiwa adik seperguruannya, harus dibayar oleh
jiwa abang seperguruannya, itu adalah suatu hal yang
sangat adil,” berkata Cui Hui dengan nada suara dingin.
Touw Liong yang selama itu diam saja, sebetulnya tidak
senang mendengar kata-kata Cui Hui yang banyak tingkah.
Beberapa kali ia ingin mendamprat, tetapi oleh karena
mengingat diri sendiri dalam keadaan sangat berbahaya,
maka sebisa-bisa ingin mengendalikan perasaannya. Kini,
oleh karena Cui Hui telah mengeluarkan kata-kata bahwa
dirinya hendak dibuat korban untuk mengganti kematian
pengawalnya, dalam hati merasa gusar. Jikalau bukan
karena ilmu kepandaiannya sendiri musnah, hari itu pasti
akan dihajarnya orang itu habis-habisan....
Ketika mendengar Cui Hui mengusik-usik nama adik
seperguruannya Kim Yan, seketika itu ia lalu naik pitam,
maka segera membentaknya:
“Keparat! Kepala tuan mudamu bukan terhitung apaapa.
Jikalau kau menghendaki, asal kau miliki cukup
kepandaian, kau boleh ambil. Tuan mudamu setapakpun
tidak akan mundur.”
Kata-kata itu bukan saja menherankan Cui Hui, tapi juga
mengejutkan Lo Yu Im.
Touw Liong pelahan-lahan mengeluarkan panji kecil
warna hitam dari dalam sakunya, lalu dikibaskan di
hadapan Cui Hui seraya berkata:
“Dengan panjiku ini, kau sudah tentu tidak akan berani
mengganggu seujung rambut Tuan mudamu.”
Ucapan itu membuat Cui Hui tercengang hingga berdiri
terpaku di tempatnya. Matanya terbuka lebar menatap
panji kecil di tangan Touw Liong, kemudian bertanya:
“Kenapa?”
“Tadi malam aku berani mengambil sebelas buah panji
kecil itu dan hari ini kembali dihadapan perempuan tua
yang mengaku Panji Wulung, aku telah mengambil
panjinya, bagaimana kau tidak pikir dulu, kalau Tuan
mudamu sudah berani turun tangan mengambil panji,
sudah tentu memiliki cukup kepandaian untuk mencabut
kumis harimau....”
Dengan beberapa patah kata itu benar-benar telah
membuat Cui Hui tidak berkutik. Touw Liong berkata pula
sambil tertawa dingin:
“Dengan sejujurnya aku berkata kepadamu, orang yang
tadi malam mengantarkan sebelas buah kepala manusia ke
danau Thian-tie itu, wajahnya mirip sekali dengan wajahku,
coba kau katakan siapakah dia itu?”
Cui Hui mengerutkan alisnya dan berkata:
“Siapa dia?”
“Dia juga Panji Wulung.”
“Panji Wulung?”
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata:
“Benar! Dia bukan saja merupakan muridnya Panji
Wulung, bahkan denganku masih terhitung saudara. Dia
adalah kakak sekandungku. Jikalau tidak, mana aku berani
mengambil panji itu.”
“Saudara tuamu?” bertanya Cui Hui terkejut.
Lo Yu Im mengerutkan alisnya, sementara pikirannya
bekerja, ia berkata sendiri dengan suara pelahan:
“Kalian mungkin saudara kembar, mungkin dia benarbenar
adalah saudara tuamu.”
Touw Liong sebenarnya hanya mengaku-aku saja,
karena terpaksa dengan keadaannya sendiri yang harus
mengaku dirinya sebagai saudara orang yang mirip
dengannya untuk mengundurkan musuh kuat itu, siapa
sangka, bahwa kata-katanya itu telah menimbulkan
kecurigaan Lo Yu Im, dengan tiba-tiba ia tertawa kecil
dengan menuruti nada Touw Liong ia bertanya kepada Cui
Hui:
“Apakah kau yakin dapat menangkan dia?” Dia yang
dimaksudkan oleh Lo Yu Im adalah saudara tua yang
disebutkan oleh Touw Liong tadi.
“Hal ini...” Cui Hui bersangsi sejenak akhirnya menarik
kembali empat pengawalnya. Lo Yu Im berkata pula
sambil tertawa dingin.
“Kalau begitu kematian salah seorang pengawalmu, kau
sudah tidak perlu menuntut balas lagi.”
“Mengapa?” tanya Cui Hui agak marah.
“Tidak apa-apa, kepandaian ilmu silat Kim Yan
sekarang, sudah jauh lebih tinggi daripadamu. Dia sudah
mendapat didikan langsung dari perempuan tua yang tadi
unjuk diri di danau Thian-tie, kalau kau hendak
menghadapinya, bukankah itu berarti mencari mati sendiri?
Lagi pula hari ini jikalau kau berani mengganggu seujung
rambutnya Touw Liong saja, apa kau kira Kim Yan mau
melepaskan kau begitu saja?”
Cui Hui berpikir lama tanpa menjawab. Ia terbenam
dalam kenangannya pada masa yang telah lalu....
Tiga bulan telah berselang, di dalam kuil Kui-kok-si,
Touw Liong telah terkena racunnya dalam barisan Ngo-im
Cui-hun-tin. Kim Yan dengan menggunakan ilmunya
Thay-it Sin-jiauw telah membinasakan salah seorang
pengawalnya, ia sendiri penasaran mengejarnya, di dalam
sebuah rimba, ia berputar-putaran mengejar Kim Yan,
tetapi Kim Yan akhirnya tokh dapat menghilang dari
hadapan matanya. Kemudian ia mengejar-ngejar terus,
sehingga tiba di bawah sebuah pohon tua, di belakang
pohon itu dengan tiba-tiba tampak sebuah tangan yang
aneh, dengan mudah tangan itu mengetok kepalanya
sendiri, sehingga saat itu kepalanya puyeng dan jatuh
pingsan.
Ketika ia siuman kembali, obat pemunah racun dalam
sakunya sudah hilang, kini kalau ia pikir kembali ia masih
merasa jeri. Seandainya tangan aneh itu menghendaki
jiwanya, bukankah ia sekarang sudah tidak bisa hidup lagi?
Cui Hui semakin berpikir, tengkuknya semakin bergidik
sendiri, dan sekarang kalau ia teringat pula kejadian itu,
Kim Yan benar-benar merupakan seorang yang tidak
mudah dihadapi, mau tak mau pada saat itu ia terpaksa
harus urungkan maksudnya untuk menangkap atau
menganiaya Touw Liong.
Lo Yu Im menyaksikan semua perubahan itu, dengan
tangan memegang serulingnya, ia menarik tangan Touw
Liong dan berjalan dengan langkah lebar, keluar dari rimba
itu.
Berlalunya dua orang itu disaksikan oleh Cui Hui dengan
termangu-mangu, ia terpaksa membiarkan mereka berlalu
tanpa diganggu. Setelah keluar dari rimba itu, mereka
meneruskan perjalanannya tanpa berhenti. Lo Yu Im
khawatir Touw Liong tidak tahan lagi, maka ia mencari
suatu tempat untuk beristirahat, sambil daharan dan
minum.
Rumah minum yang disinggahi, saat itu tamunya sedikit
sekali, kecuali seorang tua berambut putih yang duduk
sambil mengantuk sudah tak tampak lain orang lagi. Lo Yu
Im berkata kepada Touw Liong:
“Murid Kakek Seribu Muka itu adalah saudara tuamu,
apakah itu benar?”
Dengan sangat bangga Touw Liong menjawab sambil
tersenyum dan menggelengkan kepala:
“Siaote hanya bicara sekenanya saja.... Untuk
menggertak Cui Hui, harap enci jangan anggap benarbenar.”
“Adik Liong! Aku mempunyai perasaan orang itu
mungkin benar-benar adalah saudara sekandungmu.”
“Siaote tidak mempunyai kakak dan adik. Hal itu
tidaklah mungkin.”
“Aku merasa, meskipun dia menggunakan nama julukan
Pelajar Seribu Muka, tetapi sejak aku mengenali dia,
sehingga tadi malam ia unjuk muka di danau Thian-tie, aku
telah melihat mukanya sedikitpun tidak ada perubahan apaapa.
Dengan lain perkataan, ia sedikitpun tidak
menggunakan ilmunya untuk menyamar. Di dalam dunia
ini memang tidak sedikit jumlahnya orang yang mirip
mukanya satu dengan yang lain, tetapi tidak bisa sampai
mirip demikian rupa, sehingga bentuk tubuhnya, tinggi
pendeknya, gemuk kurusnya, mirip betul satu sama lain.
Selain daripada itu, mata, telinga, mulut dan hidung, persis
denganmu. Kalian berdua jikalau bukan sepasang saudara
kembar, bagaimana bisa begitu rupa?”
Kata-kata itu menggerakkan hati Touw Liong sehingga
saat itu ia juga terbenam dalam lamunannya tidak bisa
menjawab lagi.
Ia mulai memikirkan riwayat dirinya sendiri.
Tentang dirinya, ia sedikitpun tidak tahu, hanya
mendengar-dengar kata dari suhunya bahwa ia sejak masih
kecil sekali telah ditinggal oleh ayah-bundanya, dengan
seorang diri ia hidup, oleh karena suhunya dengan ayahnya
yang sudah wafat itu dahulu mempunyai hubungan akrab,
maka sejak kanak-kanak ia sudah dipungut dan dibesarkan
hingga dewasa, selain daripada itu ia sudah tidak tahu apaapa
lagi. Setelah mendengar kata-kata Lo Yu Im tadi,
mulailah ia memikirkan tentang asal-usul dirinya sendiri. Ia
teringat pada dirinya sendiri yang dliputi oleh banyak
persoalan misteri, mungkin tidak sesederhana seperti apa
yang didengarnya dahulu. Di dalamnya mungkin masih
terkandung rahasia apa-apa, mungkin juga suhunya belum
jelas benar menerangkan tentang dirinya.
Karena mengingat asal-usul dirinya, maka ketika
mendengar perkataan Lo Yu Im, hatinya lalu tergerak. Ia
teringat kepada pemuda yang wajahnya mirip benar dengan
dirinya, tetapi berhati jahat bagaikan ular berbisa, mau tak
mau timbullah perasaan sedih, karena jikalau benar pemuda
itu adalah saudara kandungnya sendiri, atas perbuatannya
yang kejam melakukan pembunuhan terhadap orang-orang
yang tidak berdosa, bukankah itu akan merupakan suatu
halangan besar baginya untuk hubungan persaudaraan di
kemudian hari?
Berpikir sampai di situ, Touw Liong mendadak angkat
muka. Sambil menatap Lo Yu Im ia berkata:
“Enci, antarlah aku ke gunung Kiu-hoa.”
“Ke gunung Kiu-hoa?” bertanya Lo Yu Im pelan.
“Aku hendak pulang dan menanyakan kepada suhu.
Aku hendak menanyakan tentang riwayat diriku,
sebetulnya aku ini masih mempunyai saudara lain atau
tidak?”
Lo Yu Im setuju, tetapi ia berkata sambil mengerutkan
alisnya:
“Di musim dingin seperti ini barangkali kau tidak tahan
melalui perjalanan jauh dan hawa dingin itu. Aku
khawatirkan keadaan badanmu....”
“Aku kira takkan menjadi halangan. Enci, marilah kita
berangkat!” berkata Touw Liong sambil tertawa.
Dua orang itu lalu berjalan keluar dari rumah minum,
mereka mencari tandu, di bawah angin keras mereka
melanjutkan perjalanannya, dan esok hari sudah tiba di
kota Sang-ciu.
Ketika mereka meninggalkan rumah minum tadi, orang
tua berambut putih yang tadi duduk sambil mengantuk,
tiba-tiba berdiri dan kucek-kucek matanya, setelah itu ia
berjalan keluar. Dengan memandang tandu yang
ditumpangi oleh Touw Liong dan Lo Yu Im dengan
perasaan heran ia bertanya-tanya kepada diri sendiri:
“Benarkah ia adalah adikku?”
Orang tua itu membeli sebatang tongkat, dari jauh
mengikuti jejak dua orang tadi.
Sambil berjalan, ia masih bertanya-tanya kepada diri
sendiri: “Dendam sakit hatiku sudah terbalas. Aku justru
perlu mencari Lo Yu Im dan mengharap supaya bisa
didapat ketentuan hidupku. Akan tetapi menurut desasdesus
di kalangan Kang-ouw, Lo Yu Im dan Touw Liong
berdua hubungannya sangat baik sekali. Aku perlu
mengadakan penyelidikan, jikalau antara mereka berdua
terjadi hubungan pribadi, bagaimana aku dapat
membiarkan mereka turun dari gunung Bu-san? Jikalau
mau dikata aku dengan bocah itu masih merupakan saudara
sekandung, dari mana asal-usulnya?”
Siapakah gerangan adanya orang tua itu?
Dia tak lain tak bukan adalah Pelajar Seribu Muka.
Dendam sakit hati apa yang ia maksudkan? Dan
siapakah musuh besarnya?
00000
Pada bulan dua cuaca di gunung Kiu-hwa seperti
sewaktu musim semi. Pemandangan di gunung itu sangat
indah. Gunung Kiu-hoa memang benar-benar seperti
taman Firdaus.
Touw Liong di bawah bimbingan Lo Yu Im telah
berhasil mendaki puncak gunung Kiu-hoa. Sebelum
orangnya tiba di tengah gunung, sudah terdengar suara
hembusan pukulan telapak tangan. Touw Liong dengan
alis berdiri berkata:
“Enci, celaka! Ada orang yang mengganggu suhu. Kini
suhu sedang bertempur dengan orang itu....”
Lo Yu Im sendiri sebetulnya sudah sejak tadi mendengar
suara itu, karena ia khawatir Touw Liong merasa cemas,
maka ia tidak buka suara. Kini setelah Touw Liong berkata
demikian, ia tidak dapat berlaku pura-pura bodoh lagi.
Dengan pelahan ia menarik tangan Touw Liong dan
berkata:
“Adik, mari aku bawa kau naik ke atas.”
Dengan cepat ia sudah naik ke atas gunung, sehingga
sesaat kemudian sudah menghilang di dalam kabut awan.
Di belakang mereka seorang imam setengah umur
dengan menggendong buli-buli arak warna merah
mengikuti mereka naik ke atas. Imam setengah tua itu
berusia sekitar empat puluh tahun, gerak badannya gesit
sekali.
Suara beradunya pukulan tangan terdengar semakin
nyaring. Suara beradunya pedang juga semakin nyata.
Touw Liong kini sudah musnah kepandaian ilmu
silatnya. Walaupun demikian ia pernah merupakan salah
satu jago dalam rimba persilatan. Maka ketika mendengar
suara pertandingan itu ia segera dapat mengenali bahwa
pertandingan itu dilakukan oleh dua orang kuat yang
memiliki kepandaian sudah sempurna. Suara pedang itu
adalah suara pedang Kiu-hwa Sin-kiam dari gurunya, dan
suara pukulan tangan kosong yang sangat hebat akan tetapi
ia masih tidak dapat menduga siapakah adanya orang itu.
Dari suaranya ia dapat membedakan bahwa
pertempuran itu sudah sampai di puncak. Dalam hati
Touw Liong merasa cemas, ia minta kepada Lo Yu Im
supaya lekas-lekas tiba di tempat itu.
Tak lama kemudian, dua orang itu sudah tiba di gubuk
Kiu-hoa Lojin. Di atas tanah kosong yang terdapat di
depan rumah gubuk itu, benar saja ada dua orang tua yang
sedang melakukan pertempuran mati-matian.
Touw Liong yang menyaksikan pertempuran itu merasa
sangat cemas. Orang tua yang menggunakan pedang,
jidatnya sudah penuh keringat, gerak-geraknya mulai
kalem, napasnya mulai memburu, tampaknya dalam tiga
atau lima jurus sudah akan kalah.
Sedang lawannya yang menggunakan tangan kosong,
juga seorang tua yang wajahnya putih. Ia menggunakan
pukulan dan gerak tipu yang sangat aneh. Gerak tipu
serangan itu merupakan serangan-serangan yang jarang
disaksikan oleh Touw Liong.
Touw Liong tidak berani membuka suara, ia takut
mengalutkan pikiran gurunya. Tetapi jikalau ia tinggal
diam saja, juga tidak baik. Gurunya dalam keadaan
bahaya, maka dengan cemas ia bertanya kepada Lo Yu Im:
“Apakah Enci kenal dengan orang itu?”
Lo Yu Im menggelengkan kepala sambil mengerutkan
alis.
“Enci...” berkata Touw Liong dengan suara pelahan,
tetapi ia urungkan kata-kata selanjutnya. Ia sebetulnya
ingin minta Lo Yu Im membantu gurunya, tetapi kata-kata
itu ditariknya kembali. Sebabnya, ia mendadak teringat
kedudukan gurunya. Sekalipun ia mati di tengah lapangan,
juga tidak boleh menodakan nama baik gurunya, yang perlu
minta bantuan orang lain.
Lo Yu Im yang sangat pintar, agaknya mengerti maksud
Touw Liong, maka ia memberi isyarat dengan pandangan
mata kepada Touw Liong kemudian mengangkat seruling
batu gioknya. Seruling itu lalu ditiupnya dan mengeluarkan
suara yang mengalun tinggi. Setelah ia ia lantas bergerak
dengan cepat menyerbu dua orang yang sedang bertempur
sengit itu. Sebelum orangnya tiba, suaranya sudah sampai
lebih dulu:
“Harap berhenti dulu!”
Jangan pandang Lo Yu Im hanya sebagai seorang gadis
yang usianya baru sekitar dua puluh tahun. Kekuatan
tenaga dalamnya sesungguhnya dapat disejajarkan dengan
Kiu-hoa Lojin. Kini gerakannya menggunakan tenaga
penuh, ditambah tenaga dalam yang telah dikerahkan
kepada ujung seruling, maka ketika menempel di tangan
orang tua bertangan kosong yang sedang menangkis pedang
Kiu-hoa Lojin sambil menotok, jadi urunglah serangannya.
Karena jikalau ia meneruskan serangannya, meskipun Kiuhoa
Lojin akan mati di bawah tangannya, tetapi ia sendiri
juga akan terluka atau mati di ujung seruling Lo Yu Im.
Orang tua itu terpaksa menarik kembali serangannya sambil
memutar tangannya, ia mengelakkan serangan seruling Lo
Yu Im.
Kiu-hoa Lojin terpaksa menurunkan pedangnya, ia
menahan hawa amarahnya, berdiri tegak tidak membuka
suara. Hanya napasnya saja yang masih terdengar
memburu.
Touw Liong segera memburu dan berteriak “suhu”
kemudian ia menubruk suhunya yang masih berdiri.
Dengan tiba-tiba di medan pertempuran itu sudah
tambah seorang imam tua yang menggendong buli-buli arak
warna merah tadi. Imam tua itu pelahan-lahan
mengulurkan sebelah tangannya. Tangan itu ditempelkan
ke bagian jalan darah Beng-bun-hiat di badan Kiu-hoa
Lojin, dan memberi isyarat kepada Touw Liong supaya
menyingkir.
Touw Liong undurkan diri, ia tidak habis mengerti apa
sebabnya ia merasa lega, dan membiarkan imam tua itu
menempelkan tangannya di jalan darah Beng-bun-hiat
suhunya. Setelah itu Touw Liong kembali mendekati
suhunya dan duduk bersila di tanah.
Bab 27
Tidak dikenalnya imam tua itu, tetapi imam tua itu
agaknya seperti kenal dengannya. Touw Liong
memandangnya dengan perasaan terima kasih dan imam
itu membalasnya dengan suatu senyuman. Touw Liong
lalu berpaling menatap Lo Yu Im. Lo Yu Im yang
sementara itu sedang menyambuti serangan orang tua
lawannya Kiu-hoa Lojin, saat itu nampak mulai repot. Ia
terpaksa berkelit kesana-kemari untuk menyingkirkan
serangan orang tua itu.
Orang tua itu sambil menyerang bertanya kepada Lo Yu
Im:
“Bocah itu apakah murid Kiu-hoa Lojin yang bernama
Touw Liong?”
Lo Yu Im nampak sangat marah, ia tidak menghiraukan
pertanyaan orang tua itu, sebaliknya ia malah balas
menanya:
“Katakan dulu, kau ini siapa?”
“Aku...” orang tua itu berkata sambil mengeluarkan dua
jari tangannya: “Aku adalah tuan rumah yang kali ini
mengadakan pertemuan besar di gunung Bu-san.”
Dengan cepat Lo Yu Im menarik serangannya dan
mundur kembali, kemudian ia memberi hormat seraya
berkata:
“Kiranya adalah Pek sancu! Atas kelakuanku yang
kurang ajar tadi, aku minta maaf kepada Sancu.”
Sikap dan budi bahasa Lo Yu Im telah menggerakkan
hati orang tua itu. Muka merah orang tua itu tampak
sebentar pucat, sebentar merah, ia juga menarik kembali
serangannya dan memandang Lo Yu Im dengan terheranheran.
Lo Yu Im memperkenalkan dirinya sendiri:
“Siaoli bernama Lo Yu Im.” Sehabis berkata ia kembali
memberi hormat.
Orang tua itu bertanya:
“Nona dengan Lo lo-enghiong dari Kun-lun-san bagian
barat masih pernah apa?”
Mata Lo Yu Im mendadak merah, kemudian ia
menjawab dengan suara sedih:
“Beliau adalah ayahku.”
“Pantaslah gerak tipu Nona tadi memang mirip dengan
gerakan ayahmu, itu...!” Pek Thian Hiong menunjukkan
sikap terkejut, sambil menunjuk Lo Yu Im ia bertanya
dengan heran:
“Mengapa kau menangis?”
“Ayah telah wafat, bagaimana siaoli tidak sedih...?”
berkata Lo Yu Im dengan air mata mengalir berlinanglinang.
Berkata sampai di situ ia sudah tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena sudah menangis demikian sedih.
Semula Lo Yu Im sebelumnya hendak menggunakan
perkataan tandas memperkenalkan dirinya untuk membuat
Pek Thian Hiong kabur, siapa sangka bahwa pertanyaan
orang tua tersebut malah berbalik telah menimbulkan
perasaan sedihnya, sehingga ia sendiri kini diliputi oleh
perasaan duka. Pek Thian Hiong agaknya merasa simpati
kepada Lo Yu Im, maka ia berkata sambil menghela napas:
“Lo loenghiong dalam seumur hidupnya pernah
mendapat nama harum, aku si orang tua merasa sangat
kagum, tak kusangka ia telah berangkat lebih dahulu,
sesungguhnya merupakan suatu kesedihan bagiku!”
Lo Yu Im mendengar kata-kata orang tua itu merasa
semakin sedih hingga ia menangis seperti anak kecil.
Pek Thian Hiong menghiburi padanya dengan suara
pelahan:
“Nona, harap kau jangan terlalu sedih! Sebagai manusia
tidak luput dari kematian, sampai pada batas waktunya ia
harus pulang ke hadirat Tuhan, itu sudah menjadi kodrat
semua manusia. Dengan sejujurnya, aku si orang tua juga
turut merasa bersyukur kepada Lo Lo-enghiong yang sudah
mendapat tempat dengan baik di sisi Tuhan, sedangkan aku
sendiri masih belum tahu bagaimana nanti akhirnya!”
Lo Yu Im yang mendengar kata-kata Pek Thian Hiong
buru-buru mengalihkan pembicaraannya ke lain soal, ia
bertanya:
“Dalam pertemuan besar di gunung Bu-san kali ini
siaolie tidak melihat sancu hadir. Kabarnya sancu sedang
mengejar Panji Wulung! Tidak tahu apa sebabnya sancu
bisa mengejar sehingga tiba di gunung Kiu-hoa ini dan
bertempur dengan Kiu-ho Locianpwee?”
Pek Thian Hiong pendelikkan matanya memandang
Touw Liong sejenak, kemudian berkata sambil menghela
napas:
“Sungguh panjang ceritanya....” Sejenak ia berhenti, lalu
bertanya:
“Di mana Nona telah bertemu dengan Touw Liong?”
“Aaa...! Kejadian itu sudah satu bulan berselang! Siaoli
yang kebetulan mendaki gunung Bu-san untuk mencari
orang, di atas bukit gunung Sin-li-hong telah ketemu Touw
Liong dalam keadaan tidak ingat diri dan rebah
menggeletak di puncak gunung.”
Pek Thian Hiong dengan sikap tidak percaya bertanya
kepada Lo Yu Im sambil menuding Touw Liong:
“Bagaimana ia bisa rebah menggeletak di sana?”
“Ia telah ditotok jalan darahnya oleh Panji Wulung
dengan menggunakan ilmu tunggalnya sehingga seluruh
kepandaian ilmu silatnya dimusnahkan.”
Pek Thian Hiong tercengang dan bertanya dengan heran:
“Panji Wulung yang mana?”
“Aa! Panji Wulung kini ternyata banyak sekali.
Menurut apa yang siaoli tahu, sudah ada tiga.”
Pek Thian Hiong terkejut dan bertanya:
“Tiga??”
“Benar, satu adalah seorang perempuan tua yang
mengenakan kerudung muka. Kedua adalah seorang muda
berusia belum cukup dua puluh tahun yang wajahnya mirip
dengan Touw tayhiap....”
“Aaaa!!” berseru Pek Thian Hiong dengan mata terbuka
lebar, “Wajahnya mirip dengan dia? Bagaimana dalam
dunia ada orang yang mukanya mirip satu sama lain...?”
Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala dan dengan
sikap tidak percaya berkata pula:
“Tidak mungkin, ouw! Coba kau katakan lagi,
bagaimana kejadian selanjutnya?”
“Siaoli telah menolong dia membawa turun dari puncak
gunung Sin-li-hong. Oleh karena kita berdua sama-sama
mempunyai surat undangan dari sancu, maka kami berdua
lalu melanjutkan perjalanan ke gunung Bu-san untuk
menghadiri pertemuan itu.”
“Malam hari sebelum pertemuan dibuka, dan pada hari
dibukanya pertemuan itu, apakah kalian ada bersamasama?”
“Sebab kepandaian ilmu silatnya sudah musnah, siaoli
khawatir akan terjadi bahaya atas dirinya, maka siaoli
setapakpun tidak berani meninggalkan dia,” jawab Lo Yu
Im sambil menunjuk Touw Liong.
“Ooo...!” berseru Pek Thian Hiong sambil menengadah
mengawasi awan-awan di atas langit. Pada saat itu,
kejadian yang telah lalu telah terbayang kembali ke
hadapan matanya, dari mulutnya telah mengeluarkan katakata
yang sangat pelahan: “Sungguh suatu kejadian yang
sangat aneh....”
00000
Kiranya pada malam itu, pemuda yang mukanya mirip
dengan Touw Liong yang mengantarkan sebelas buah
kepala manusia di danau Thian-tie, setelah berlalu, pemuda
itu mengeluarkan siulan panjang yang menggema di udara.
Suara siulan itu telah mengejutkan Pek Thian Hiong yang
saat itu sedang mendaki gunung.
Sewaktu Pek Thian Hiong tiba di puncak gunung Thiantie,
ia sudah lihat di danau Thian-tie telah berbaris sebelas
buah kepala manusia. Saat itu ia lalu naik pitam, matanya
memandang keadaan di sekitarnya. Di puncak gunung
Thian-tie tertampak olehnya seorang pemuda berbaju hijau,
maka segera ditegurnya:
“Apakah orang-orang itu kau yang membunuhnya?”
“Ya, akulah yang membunuhnya,” menjawab pemuda
berbaju hijau itu dengan suara lantang dan sikap sombong.
Hawa amarah Pek Thian Hiong tak dapat dikendalikan
lagi, dengan mata melotot dan kumis berdiri, ia segera
lompat dan memburu pemuda itu.
Pemuda itu melarikan diri, dan Pek Thian Hiong terus
mengejarnya sehingga keluar dari daerah gunung Bu-san.
Ia mengejar sampai melalui sungai Tiang-kang dan
memutari gunung Bu-san, barulah tiba di gunung Kiu-hoa.
Pek Thian Hiong telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, bahwa pemuda berbaju hijau itu mendaki gunung
Kiu-hoa, maka ia mencari Kiu-hoa Lojin untuk
menanyakan diri pemuda itu. Sudah tentu Kiu-hoa lojin
yang tak tahu apa-apa terus menyangkal, dengan demikian
dua orang tua itu lalu bertempur.
Lo Yu Im dan Touw Liong yang mendengarkan cerita
Pek Thian Hiong, merasa terheran-heran, sedang imam tua
yang menggendong buli-buli arak merah itu terus tersenyum
dan tidak berbicara apa-apa.
Lo Yu Im berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala:
“Sancu ternyata sudah dipermainkan oleh orang!”
Pek Thian Hiong menarik napas panjang. Lo Yu Im
dengan tiba-tiba teringat sesuatu lalu bertanya kepada Pek
Thian Hiong:
“Yang menulis di permukaan danau Thian-tie dengan
ilmu jari tangan Kim-kong-ci, apakah itu sancu sendiri?”
Pek Thian Hiong terperanjat, ia menyangkal. Katanya:
“Ada hal demikian? Siapakah yang telah main gila?”
Touw Liong yang merasa tidak senang atas kecerobohan
Pek Thian Hiong maka lalu berkata:
“Sancu sudah dipermainkan orang, ternyata tidak
diperiksa lebih dahulu, lantas mendaki gunung Kiu-hoa dan
menimbulkan onar di sini. Sekarang luka suhu tidak
ringan, tindakan sancu yang sangat gegabah ini barangkali
nanti akan merupakan suatu penyesalan.”
“Maksudku hanya hendak menemukan orang itu, jikalau
urusan itu sudah jelas, sekalipun aku harus meminta maaf
atau menanggung dosa kepada suhumu, bagaimanapun
juga aku pasti akan memberi keadilan kepada suhumu,”
berkata Pek Thian Hiong. Setelah berdiam sejenak ia
bertanya kepada Touw Liong:
“Apakah Touw tayhiap tahu, siapakah orangnya yang
mempermainkan diriku itu?”
Touw Liong berpikir sejenak, akhirnya berkata sambil
angkat muka:
“Jikalau dugaan boanpwe tidak keliru, sancu sudah
tertipu akal muslihat orang lain!”
“Bagaimana Touw tayhiap bisa berkata demikian?”
“Orang itu mungkin tidak menyamar diriku melainkan
kami satu sama lain memang benar mirip. Dia paham ilmu
menyamar, suhengnya dan sumoynya semua paham akan
ilmu itu. Menurut apa yang boanpwee tahu, mungkin
mereka suheng, sute, dan sumoy berempat atau berlima
semua sudah naik ke gunung Bu-san. Tokoh-tokoh yang
menjadi korban di tangan mereka itu, mungkin dibunuh
oleh mereka secara bergiliran, kemudian oleh salah seorang
diantarkan ke danau Thian-tie, dan seorang lagi unjuk diri
untuk memancing sancu supaya meninggalkan gunung Busan,
dan yang lainnya menggunakan jari tangan
meninggalkan kata-kata di permukaan danau. Orang yang
menulis di permukaan danau itu mungkin melihat gelagat
di gunung itu, sedang orang yang sancu kejar itu adalah
orang yang menyamar, mereka mungkin dari golongan satu
perguruan, dengan berganti-ganti memancing sancu
berputar-putaran sehingga tiba di gunung Bu-san dan
mendaki ke gunung Kiu-hoa, maksudnya ialah supaya
sancu datang kemari untuk diadu domba dengan suhu....”
“Ooo!!” berseru Pek Thian Hiong sambil melompat,
“Sungguh jahat orang-orang itu, baru sekarang aku
mengerti apa maksudnya mereka memancing aku datang
kemari! Kesatu, mereka ingin supaya aku dengan suhumu
saling baku hantam, sehingga kedua-duanya hancur.
Kedua, jikalau akal mereka tidak berhasil setidak-tidaknya
juga membuat kita dua golongan menanam bibit
permusuhan sehingga akan menjadi suatu bencana di
kemudian hari, dengan demikian, mereka dapat mengeduk
keuntungan dari pihak kita.”
Touw Liong memuji dengan mengangguk-anggukkan
kepala:
“Uraian sancu ini memang tepat, persoalannya mungkin
demikian.”
Pek Thian Hiong tiba-tiba ingat kepada imam yang
berusaha menyadarkan Kiu-hoa Lojin, maka segera
bertanya kepada Touw Liong:
“Imam itu siapa?”
Touw Liong berpaling, tiba-tiba berseru, karena tiba-tiba
imam itu kini sudah tidak tampak lagi batang hidungnya,
entah sejak kapan ia berlalu dari samping suhunya, ketika ia
menengok keada gurunya, napas sang guru sudah mulai
teratur, nampaknya sudah sembuh luka-lukanya.
Touw Liong benar-benar terheran-heran. Imam itu
berbaik hati dan menanam budi terhadap dirinya sendiri,
sementara itu ia masih belum mengetahui siapakah
orangnya, terpaksa ia mengerutkan alisnya kemudian
menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala:
“Boanpwee juga tidak tahu siapa adanya imam itu!”
Pek Thian Hiong terkejut demikian pun Lo Yu Im.
Pek Thian Hiong setelah melihat keadaan di sekitarnya
sebentar, lalu memberi hormat dan berpamitan kepada
semua orang, kemudian ia turun gunung untuk mengejar
imam itu.
Touw Liong yang masih terkejut dan terheran-heran,
buru-buru bertanya kepada Lo Yu Im:
“Coba enci lihat, Pek-sancu telah mengejar imam itu,
apakah dia tidak akan mendapat kesulitan?”
Lo Yu Im menjawab sambil menggeleng-gelengkan
kepala:
“Legakan hatimu! Orang itu dapat mengelabui aku dan
Pek Thian Hiong, dia dapat menghilang dari depan kita
juga tanpa diketahui oleh kita semua, jika bukan Panji
Wulung yang tulen tidak mungkin dia mempunyai
kepandaian seperti itu.”
Touw Liong buru-buru menghampiri suhunya. Karena
Kiu-hoa Lojin saat itu sedang mengatur pernapasannya,
maka tidak berani mengganggu, maka bersama Lo Yu Im
menjaga keselamatan orang tua itu dan tidak berani bicara
lagi.
Setengah jam telah berlalu, Kiu-hoa Lojin pelahan-lahan
telah siuman kembali. Touw Liong lalu memberi hormat
dan menanyakan keselamatannya, demikian pula dengan
Lo Yu Im.
Keadaan Kiu-hoa Lojin meskipun tidak menjadikan
halangan tetai karena serangan jari tangan Pek Thian Hiong
tadi, sehingga bagian dalamnya terluka parah, maka
meskipun orangnya tidak apa-apa, tetapi kesehatannya
masih lemah.
Touw Liong dan Lo Yu Im lalu membimbing Kiu-hoa
Lojin masuk ke dalam gubuknya untuk beristirahat. Touw
Liong senantiasa menjaga di samping suhunya, tidak berani
meninggalkan setapakpun juga. Untuk sementara Lo Yu
Im berdiam di gubuk itu untuk melindungi Kiu-hoa Lojin
dan muridnya.
Malam itu, selagi Kiu-hoa Lojin sedang melakukan
latihannya akan memulihkan tenaganya, di depan gubuk
tiba-tiba terdengar suara jatuhnya daun. Touw Liong
sedikitpun tidak dengar, tetapi Lo Yu Im yang memiliki
pendengaran sangat tajam segera lompat keluar melalui
lobang jendela.
Di pekarangan depan gubuk, berdiri seorang imam
setengah tua yang masih membawa buli-buli arak berwarna
merah. Lo Yu Im yang melihat imam itu sudah tentu
merasa heran. Ia telah mendapat kenyataan bahwa imam
itu adalah imam yang tadi siang telah menyembuhkan luka
Kiu-hoa Lojin. Maka buru-buru menegurnya:
“Totiang ada keperluan apa?”
“O... tidak! Aku ada sedikit urusan, perlu segera pulang
ke Pak...” buru-buru ia menutup mulut, seolah-olah
kesalahan omong.
Lo Yu Im membuka matanya, bibirnya bergerak-gerak,
dan kemudian bertanya:
“Totiang bukankah hendak pulang ke Pak-bong?”
Imam itu hanya tertawa menyeringai kemudian
menjawab:
“Dugaan Nona tepat sekali!”
Lo Yu Im bertanya pula:
“Apakah totiang bukan merasa khawatir Pek Thian
Hiong akan menimbulkan onar?”
Imam itu menganggukkan kepala.
“Kau bukankah Pelajar Seribu Muka?”
“Aku...” imam itu nampak gelagapan.
Tangan Lo Yu Im mendadak bergerak, begitupun
serulingnya. Sambil kertak gigi ia berkata pula dengan
suara gusar:
“Kau binatang yang tidak mempunyai perasaan,
kembalikan batu Khun-ngo-giok-ku!”
Imam itu mengebutkan jubahnya, dengan cepat kakinya
digeser mundur ke belakang, kemudian dengan satu
lompatan membalik, ia sudah loncat turun ke bawah
gunung.
Lo Yu Im coba mengejar, ia khawatir, imam itu akan
jatuh mampus, sehingga berseru kaget....
“Ha...!” demikian dari bawah terdengar suara orang
tertawa dan kemudian disusul oleh kata-katanya yang
lantang:
“Adik Im! Aku sedikitpun tidak akan melupakan
dirimu, selama setengah bulan ini aku juga selalu berada di
sampingmu....”
Suara itu kedengarannya semakin lama semakin jauh,
namun masih tegas terdengar di telinga Lo Yu Im, dari jauh
masih terdengar suara Pelajar Seribu Muka... “di dalam
terang bulan, di atas bukit Thian-tu-hong, tolong kau
antarkan Touw Liong kepadaku, aku hendak memberikan
kepadanya sebuah barang.”
Lo Yu Im berdiri terpaku, dengan termangu-magu ia
memandang ke tempat di mana si Pelajar Seribu Muka tadi
menghilang, hatinya seperti diiris-iris, ia tidak mengerti
entah itu tanda girang atau tanda sedih.
Bagaimanapun juga ia kini telah mengetahui bahwa
Pelajar Seribu Muka masih mencintai dirinya. Ia
mengawasi bintang-bintang di langit, kemudian mendongak
dan bertanya kepada langit:
“Apakah aku juga masih cinta padanya?”
“Sudah tentu! Sudah tentu Nona masih cinta padanya!”
dari belakang dirinya tiba-tiba terdengar suara jawaban
yang sangat lemah.
Lo Yu Im tahu, siapakah orangnya yang berada di
belakang dirinya. Ia merasa malu sendiri, sehingga ia
menundukkan kepalanya.
Satu tangan yang penuh welas-asih telah diletakkan di
pundaknya kemudian terdengar suara Kiu-hoa Lojin:
“Kuhaturkan selamat kepada Nona. Nona sudah
menemukan orang yang kau cari!”
Lo Yu Im memutar tubuhnya dan menubruk ke dalam
pelukan Kiu-hoa Lojin, kemudian menangis tersedu-sedan.
Kiu-hoa Lojin dengan tangan membawa tongkat rotan
berjalan menuju ke sebuah batu besar di bawah pohon
cemara, lalu mempersilahkan Lo Yu Im duduk di sisinya,
kemudian bertanya padanya:
“Nona, siapakah Pelajar Seribu Muka itu?”
Lo Yu Im menundukkan kepala tidak menjawab.
Kiu-hoa Lojin berkata pula sambil tersenyum:
“Liong-jie waktu itu balik kembali ke gunung Kiu-hoa, ia
pernah menceritakan urusan batu Khun-ngo-giok merah
yang tercuri orang. Tadi dengan diam-diam aku menilik
keadaan Pelajar Seribu Muka itu, aku telah mendapat
perasaan bahwa dia adalah seorang jujur dan berhati baik,
dia mencuri barang pusaka nona barangkali karena terpaksa
oleh sebab kesulitan yang menimpa dirinya sendiri. Dalam
hal ini rasanya boleh memaafkan perbuatannya, yang
terpenting adalah cintanya terhadap nona betul dengan
sejujurnya ataukah tidak? Dan lagi tentang sifat dan
pribadinya....”
“Wajahnya mirip dengan adik Liong seperti juga pinang
dibelah dua,” menjawab Lo Yu Im sambil angkat muka.
“Ouw!” berkata Kiu-hoa Lojin sambil tertawa terbahakbahak,
“Kalau begitu, arak kegirangan ini sudah pasti aku
akan menghirupnya!”
Lo Yu Im menekap mukanya dengan kedua tangan,
merasa malu mendengar ucapan orang tua itu.
Lama sekali ia baru bertanya dengan perasaan kemalumaluan:
“Locianpwee, boanpwee ada sedikit urusan, tidak tahu
apakah boleh kiranya kalau boanpwee tanyakan kepada
locianpwee?”
“Nona katakan saja!”
“Boanpwee merasa sangsi bahwa adik Liong itu
mungkin saudara kembar dengan Pelajar Seribu Muka!”
“Ooo...!!”
Muka Kiu-hoa Lojin yang kurus nampak berkeringat,
matanya menatap Lo Yu Im.
Selanjutnya Lo Yu Im lalu menceritakan apa yang
pernah disaksikannya, sehingga ia berani menduga bahwa
pemuda itu adalah saudara kembar.
Orang tua itu terbenam dalam lamunannya, sehingga
lama tidak berkata apa-apa.
Lo Yu Im bertanya pula dengan suara pelahan:
“Bolehkah locianpwee menceritakan apa yang
locianpwee ketahui tentang diri adik Liong?”
Dengan sikap serius orang tua itu berkata sambil
menggelengkan kepala:
“Touw Liong mempunyai saudara atau tidak, aku sendiri
sebenarnya tidak tahu. Sebenarnya riwayat dirinya
memang sangat mengenaskan. Dia adalah anak piatu yang
diserahkan kepadaku oleh sahabatku. Di masa hidup,
sahabatku hanya mengatakan bahwa keadaannya
menyedihkan, akan tetapi sebab musababnya, karena tidak
inginkan Touw Liong setelah dewasa nanti terlibat dalam
dendaman sakit hati balas membalas yang tidak ada
berhentinya, maka sahabatku itu tutup mulut rapat-rapat,
tidak mau memberitahukan siapa adanya musuh besar
Touw Liong. Apa mau orang yang menolong diri Touw
Liong dan membawanya kepadaku itu, setelah
mengantarkan Touw Liong di gunung Kiu-hoa, lantas tidak
ada kabar beritanya lagi sehingga sekarang!”
Lo Yu Im menghela napas mendengar keterangan orang
tua itu. Kiu-hoa Lojin berkata pula sambil menepuk
pundaknya:
“Jikalau Nona mempunyai pandangan demikian,
rasanya tidaklah halangan kalau Nona pergi ke Pak-bongsan
untuk bertanya, mungkin Pelajar Seribu Muka
mengetahui sejelas-jelasnya. Aku sendiri sesungguhnya
merasa sangsi bahwa Pelajar Seribu Muka yang mempunyai
sifat baik, rasanya tidaklah mungkin dapat melakukan
kejahatan demikian rupa. Mungkin di dalamnya masih ada
sebab musabab lain yang tak diketahui oleh orang luar,
mungkin juga orang-orang yang kali ini dibinasakan dan
kepalanya diletakkan di danau Thian-tie, adalah orangorang
yang menjadi musuh besarnya.”
Lo Yu Im mengangguk-anggukkan kepalanya.
00000
Esok harinya, Lo Yu Im bersama Touw Liong pamit
kepada Kiu-hoa Lojin untuk turun gunung dan melakukan
perjalanan ke Pak-bong-san mereka dengan wajah dan
dandanan seperti aslinya, mengambil jalan yang menuju ke
kota Lok-yang.
Kota itu dahulu pernah dikunjungi oleh Touw Liong,
maka dengan tanpa halangan ia tiba di kota Lok-yang,
kedua-duanya juga pernah kunjungi sungai Lok-sui, tempat
itu merupakan tempat yang tidak asing lagi bagi mereka.
Dari jauh memandang ke arah perkampungan Pak-bongsan,
di sana tampak mengepul asap. Sementara itu, air di
sungai Lok-sui masih tetap seperti sediakala. Touw Liong
menunjuk sebuah rimba yang berada di bawah kaki bukit
Pak-bong-san, dan berkata kepada Lo Yu Im:
“Itu adalah tempat terpenting bagi perkampungan Pakbong-
san!”
Lo Yu Im memandang ke arah yang ditunjuk olehnya, di
antara tumbuhan menghijau tampak berdiri bangunan
tembok merah, perkampungan Pak-bong-san nampaknya
agak lain daripada yang lain.
Kedua orang itu selagi memandang ke arah situ, di
belakang mereka terdengar derap kaki kuda yang
menimbulkan debu bergulung-gulung.
Di atas kuda, seorang tua berjenggot putih dan berbaju
hijau dengan sikapnya yang gagah memandang ke arah
Perkampungan Pak-bong-san dari seberang sungai Lok-sui.
Touw Liong lalu berkata dengan suara pelahan:
“Pek Sancu!”
Lo Yu Im memberi isyarat kepada Touw Liong supaya
jangan bersuara, lalu memutar tubuh dan pura-pura
menikmati pemandangan alam sungai Lok-sui, hingga
dengan demikian tidak menghiraukan orang tua itu.
Untung, tempat mereka berdiri terpisah sejauh kira-kira
beberapa puluh tombak dengan Pek Thian Hiong.
Kuda Pek Thian Hiong tiba di tepi sungai Lok-sui, mata
orang tua itu mengawasi beberapa perahu layar yang
berlayar di permukaan sungai dengan tergesa-gesa
menambat kudanya di sebuah pohon besar, lalu menarik
napas, kemudian lompat melesat ke pertengahan sungai,
selanjutnya dengan beberapa kali loncatan sudah tiba di tepi
seberang.
Touw Liong terkejut menyaksikan ilmu menginjak air
orang tua itu.
Demikianpun dengan Lo Yu Im juga memandangnya
dengan mulut ternganga.
Dua orang itu telah memandang Pek Thian Hiong yang
pelahan-lahan menghilang ke jalan di dalam rimba. Lo Yu
Im menarik tangan Touw Liong dan berkata kepadanya:
“Adik Liong! Mari kita lekas mencari perahu untuk
menyeberang sungai.”
Bab 28
Oleh karena saat itu air sungai sedang pasang maka tidak
mudah bagi perahu layar menyeberangi sungai itu.
Beberapa perahu yang digapai oleh Touw Liong hampir
tidak satupun yang sanggup menepi sampai tempatnya.
Touw Liong sangat cemas, sehingga harus menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
Lo Yu Im berkata sambil mengetukkan kakinya:
“Tadi seharusnya kau panggil Pek Thian Hiong supaya
bersama-sama menyeberang sungai, sekarang kalau kita
mengejar barangkali sudah tidak dapat menyaksikan
permainan-permainan seru lagi!”
Lo Yu Im mengerutkan alisnya, otaknya bekerja, ia
mendapatkan satu akal, lalu menunjuk kuda yang tertambat
di bawah pohon, dan berkata kepada Touw Liong:
“Kita masih dapat berbuat baik terhadap Pek Thian
Hiong. Marilah kita bawa sama-sama kuda Pek Thian
Hiong kesana, kau pikir baik atau tidak?”
Touw Liong tidak mengerti maksud gadis itu maka ia
memandangnya dengan pandangan mata penuh tanda
tanya. Sebetulnya Touw Liong adalah seorang cerdik, oleh
karena kepandaian ilmu silatnya sudah musnah sehingga
kecerdikannya juga banyak berkurang, untuk sesaat itu ia
tidak dapat mengerti gadis itu. Lo Yu Im memperingatkan
kepadanya seraya berkata:
“Di jaman Song dahulu, ada satu kisah tentang kudakudaan
tanah yang menyeberangkan Raja negara Song,
mengapa kau juga tidak dapat memikirkan kisah itu, coba
naik di atas kuda menyeberang sungai Lok-sui, supaya
meninggalkan suatu cerita bagi generasi di kemudian hari.”
Touw Liong seolah-olah baru sadar, ia berkata sambil
menepok jidatnya sendiri.
“Ya, mengapa aku demikian bodoh! Kuda toh juga bisa
berenang di dalam air!”
Tetapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata pula:
“Di dalam air tidak sama dengan di darat. Seekor kuda
tidak dapat ditumpangi dengan dua orang, lalu
bagaimana?”
Lo Yu Im memetik sebatang ranting pohon. Touw
Liong lantas sadar, ia teringat dahulu ia pernah
menggunakan ranting kayu untuk menyeberangi sungai itu,
maka keduanya lalu saling berpandangan dan tertawa.
Touw Liong membuka tali kuda dan naik di atasnya,
kuda itu dengan tangkasnya melompat ke dalam air dan
lalu menyeberang ke tepi seberang. Sedangkan Lo Yu Im
sendiri dengan menggunakan potongan ranting pohon yang
ia petik digunakan untuk menyeberang sungai. Tak lama
kemudian dua orang itu sudah menyeberang ke tepi sana.
Kasihan kuda tunggangan Touw Liong, sekujur badannya
telah basah kuyub dengan air sungai, sedangkan bagian
bawah dari pakaian Touw Liong sendiri juga basah pula.
Lo Yu Im mengulurkan tangannya dan menepuk badan
kuda, kemudian berkata:
“Marilah kita bersama-sama menaiki kuda ini masuk ke
dalam perkampungan.”
Kuda itu dengan gesit sekali lalu menuju ke dalam
rimba.
Dalam waktu sekejap mata saja, dua orang itu sudah tiba
di perkampungan di mana dulu Touw Liong pernah datang,
tetapi saat itu pintu gerbang telah tertutup rapat, hanya di
batu undakan depan pintu sudah berdiri seorang tua
berambut putih yang dahulu pernah Touw Liong hadapi
sebagai penjaga pintu.
Orang tua itu tampaknya sangat cemas menyongsong
kedatangan Touw Liong, kemudian berkata sambil
menggoyang-goyangkan dua tangannya:
“Siangkong, kenapa hari ini kau datang lagi? Untuk
menyaksikan keramaian?”
Touw Liong tercengang, ia memberi hormat kepada
orang tua itu seraya berkata:
“Kakek, apakah di dalam terjadi suatu kejadian yang
menggemparkan?”
Orang tua itu mendongak dan mengulurkan tangannya
menunjuk berada perkampungan Pak-bong-san, kemudian
berkata dengan suara pelahan.
“Chungcu kami hari ini telah memasang jaring hendak
menangkap pangcu dari Cit-phoa-san entah namanya siapa,
kedengarannya seperti Kao Thian Hiong!” Kao di sini
diartikan oleh orang tua penjaga pintu itu sebagai anjing
dan hiong olehnya dimaksud beruang.
Lo Yu Im yang mendengar keterangan itu merasa geli,
sedang Touw Liong merasa orang tua itu meskipun berhati
baik, tetapi terhadap dirinya terlalu berlebih-lebihan, maka
ia lantas menyoja memberi hormat seraya berkata:
“Kakek, aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku
tahu, orang itu bernama Pek Thian Hiong.”
Sehabis berkata demikian ia lalu memacu kudanya
ditujukan ke perkampungan Pak-bong-san.
“Siangkong, tunggu dulu, aku masih ada pembicaraan
sangat penting!”
Orang tua itu berlari-lari memanggil Touw Liong,
kemudian menggapai padanya dan berkata dengan suara
yang sangat pelahan sekali:
“Ada soal penting, aku ingin bicarakan padamu.”
Touw Liong melompat turun dari atas kudanya, dan
mendekatkan telinganya ke mulut orang tua itu.
Orang tua itu berbisik-bisik di telinga Touw Liong.
Touw Liong yang mendengarkan hanya mengerutkan
alisnya, kemudian memberi hormat dan mengucapkan
terima kasih kepada orang tua itu, kemudian ia lompat lagi
ke atas kuda dan meneruskan lagi perjalanannya mendaki
gunung.
Lo Yu Im buru-buru mengejarnya. Di sepanjang jalan
itu, Touw Liong hanya mengeluarkan beberapa patah kata:
“Golongan Cit-phoa-san dan Pak-bong-san hari ini akan
melakukan pertempuran besar di makam Raja Siang Ong di
jaman dahulu, golongan Pat-moy sudah memasang jaring
hendak memancing Pek Thian Hiong ke perangkapnya.”
Lo Yu Im melihat Touw Liong hanya memberi
keterangan hanya demikian saja, sudah mengetahui bahwa
urusan itu sangat gawat. Ia juga tahu bahwa pemuda itu
tidak akan bicara lebih banyak, karena takut membocorkan
rahasia.
Jalanan yang menuju ke atas gunung itu tidak rata,
setelah melalui tumpukan-tumpukan tanah bekas kuburan,
dan mengitari bekas kuburan kuno, keduanya lalu mendaki
ke tengah gunung, di situ terdapat banyak pohon cemara.
Sebuah jalanan yang kelihatannya rata, tetapi sebetulnya
sudah dipenuhi oleh tumbuhan rumput, dengan kedua
sisinya penuh dengan bangunan tiang batu, tampak
membujur di tengah-tengah rimba.
Setelah memutar tempat yang penuh tumbuhan pohon
rindang di dalamnya terdapat sebuah makam kuno yang
bentuknya aneh.
Di hadapan makam itu ada sebuah batu nisan setinggi
satu tombak lebih. Di atas batu nisan itu tertulis dengan
huruf-huruf besar yang berbunyi: MAKAM RAJA SIANG
ONG.
Touw Liong tiba-tiba teringat kisah yang mengenai diri
raja jaman kuno itu. Dahulu raja itu kabarnya telah
menemui seorang bidadari di puncak gunung Sin-li-hong,
tak ia sangka bahwa raja itu yang dahulu didewa-dewakan
kini telah bersemayam di tempat ini.
Touw Liong agak terkejut, ia lalu menghentikan
kudanya, kemudian berkata sambil menunjuk nisan
kuburan:
“Enci, kau lihat batu nisan ini ada sedikit aneh atau
tidak?”
“Sebuah batu nisan kuno, ada apanya yang
mengherankan?” menjawab Lo Yu Im sambil tertawa geli.
Siang Ong dari kerajaan Cho sudah kira-kira 2000 tahun
lamanya wafat, coba enci pikir, batu nisan makam yang
usianya sudah 2000 tahun, apalagi setelah kehujanan
kepanasan sepanjang masa, meskipun tulisan itu masih
tetap utuh, akan tetapi tulisan huruf-huruf di atas batu nisan
tentunya sudah lama lapuk atau hancur. Tetapi tidak
demikian dengan tulisan ini, huruf-huruf di atas batu ini
nampaknya masih nyata, seolah-olah diperbarui oleh
tangan orang lagi.”
Lo Yu Im berpikir sejenak, kemudian berkata:
“Benar! Batu nisan itu sudah tua umurnya, tetapi tulisan
di atas batu masih tetap baru, seolah-olah batu itu pernah
didirikan lagi oleh orang jaman sekarang.”
“Dalam urusan ini tentunya ada mengandung rahasia.
Jika kita tilik dari sejarah, Negara Cho seharusnya terletak
di daerah In-bong dahulu. Setelah Siang Ong wafat,
seharusnya dikubur di daerah In-bong, tidaklah mungkin
makam Raja Siang Ong bisa lari ke daerah Tiong-goan.”
Dua orang itu kini mulai waspada. Touw Liong
melompat turun dari atas kuda, berjalan dengan pelahan,
mendekati Lo Yu Im, ia berbisik-bisik di telinganya
mengucapkan beberapa patah kata. Lo Yu Im tampak
berdiri alisnya matanya memandang keadaan di sekitarnya,
tetapi kuburan tua itu tampak sunyi senyap, sedikitpun
tidak terdengar suara apa-apa.
Bukan saja demikian, anak buah golongan Pak-bong dan
Pek Thian Hiong juga tidak tampak bayangannya.
Touw Liong adalah murid dari golongan Kiu-hoa,
meskipun kepandaiannya sudah musnah, tetapi
pengalamannya sudah cukup banyak. Ia mengerti sesaat
sebelum topan tiba, sudah tentu tampak tenang-tenang.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu mendapatkan suatu akal,
tangannya menepuk pantat kudanya, hingga kuda itu mulai
mengeluarkan suaranya yang keras.
Kuda itu kemudian lompat-lompat dan lari keluar dari
tanah kuburan.
Suara kuda dan derap kaki larinya telah menggema di
udara yang sunyi itu. Sesaat kemudian di belakang tiang
batu sebelah kiri muncul seorang muda berwajah tampan.
Pemuda itu begitu melihat Touw Liong lebih dulu
mengeluarkan suara jeritan kaget.
Touw Liong begitu berhadapan dengan pemuda itu,
sesaat juga tampak tercengang.
Pemuda itu seolah-olah jelmaan Touw Liong. Bentuk
dan perwakan serta rupanya mirip sekali dengannya.
Begitupun pakaiannya berwarna hijau juga sama dengan
pakaian yang dipakai oleh Touw Liong. Satu-satunya
bagian yang berbeda, ialah pada ikat kepala warna hijau
pemuda tampan itu terdapat sebuah tanda bunga Bwee
sebesar bunga yang asli. Tanda bunga itu jikalau tidak
diperhatikan dengan betul, rasanya tidak akan tertampak.
Touw Liong yang dikejutkan oleh munculnya pemuda
itu, terus memandangnya dan mengamat-amati padanya,
sedangkan pemuda itu juga menatap Touw Liong dengan
sinar matanya yang berkilauan.
Lo Yu Im begitu melihat pemuda yang baru muncul itu
semula sekujur badannya bergetar, kemudian setelah
matanya tertumbuh pada tanda bunga Bwee yang terletak di
atas kopiah pemuda itu, pelahan-lahan ia menarik napas,
perasaannya yang tegang juga mulai reda. Ia tertawa dan
berkata kepada pemuda itu:
“Harap Jie chungcu sampaikan kepada Kakek Seribu
Muka. Katakan bahwa Touw Liong dari gunung Kiu-hoasan
ingin bertemu.”
Kata-katanya itu meskipun diucapkan dengan tenang,
tapi tegas.
Pemuda tampan itu menunjukkan sikap keheranheranan.
Ia buru-buru memberi hormat dan balas bertanya:
“Bagaimana Nona mengetahui bahwa aku adalah Jie
chungcu? Apakah...?”
Pemuda itu lalu memandang Touw Liong dengan mulut
bungkam.
“Memang benar, ilmu menyamar Jie chungcu sudah
cukup baik, hanya masih kurang sempurna. Dengan
sebetulnya, di dalam kolong langit ini Touw tayhiap hanya
satu orang saja. Chungcu boleh mengelabui mata orangorang
biasa, tetapi begitu berhadapan dengan orang yang
sebenarnya barangkali kau tidak dapat menyembunyikan
dirimu sendiri lagi.”
Jie chungcu tampak marah, dengan nada suara dingin ia
membantah ucapan Lo Yu Im.
“Nona terlalu pandang tinggi diriku! Aku di mana ada
memiliki kepandaian dan kegagahan seperti Touw tayhiap,
sehingga berani menyamar sebagai dirinya? Jikalau Nona
mau percaya, Sam chungcu dari perkampungan kami
memang benar mirip sekali dengan Touw tayhiap, karena
golongan kami ini terkenal di rimba persilatan dengan ilmu
menyamar, maka di waktu biasa sedikit banyak harus
melakukan latihan, supaya di antara persaudaraan sendiri
bisa saling mengoreksi. Ini bukanlah soal yang tidak perlu
direcoki. Sungguh tak nyana hari ini telah membuat
tertawaan Nona. Baik juga, hari ini dalam golongan kami
akan mengadakan suatu pertemuan besar, banyak tokohtokoh
kuat di rimba persilatan akan datang kemari. Oleh
karena Nona sudah kenal denganku, sudah tentu juga dapat
mengenali dan membedakan siapa di antara beberapa
persaudaraan kami? Jikalau Nona ingin bertemu dengan
suheng sesungguhnya tiada sulit. Marilah ikut aku!”
Tanpa menantikan jawaban Lo Yu Im, Jie chungcu
sudah berjalan lebih dulu menuju ke jalanan kuburan, dan
setelah itu balik keluar.
Touw Liong memberi isyarat dengan pandangan mata
kepada Lo Yu Im, kemudian keduanya lantas mengikuti
pemuda itu.
Jie chungcu terus berjalan ke tempat masuk ke kuburan
kuno, lalu berdiri di bawah batu kuburan, setelah itu ia
berpaling kepada orang yang mengikutinya seraya berkata:
“Aku akan berjalan lebih dahulu, harap kalian berdua
ikut di belakangku.”
Sehabis berkata, tempat di mana Jie chungcu berdiri tibatiba
lantas amblas, di situ terdapat sebuah lubang dalam
selebar setombak lebih, dan Jie chungcu yang tadi berdiri di
atasnya, dalam waktu sekejap saja sudah berada di jalan
tanah di dalam lubang itu.
Lo Yu Im dan Touw Liong melongok ke dalam jalanan
ke dalam kuburan itu kira-kira sedalam tiga tombak sudah
buntu. Di lain jurusan, terdapat sebuah jalanan di bawah
tanah selebar satu tombak. Jie chungcu yang berada di situ
menggapai ke atas, kemudian meneruskan perjalanannya di
bawah tanah itu. Jalanan itu kemudian pelahan-lahan
mendaki ke atas lagi, dan lubang tadi tertutup lagi seperti
biasa.
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata kepada
Lo Yu Im:
“Enci, di dalam itu sekalipun merupakan gua harimau,
hari ini kita juga harus memasuki!”
Setelah berkata demikian ia berjalan ke arah pemuda
tadi.
JILID 11
Lo Yu im bersangsi sejenak, akhirnya juga mengikuti
jejak Touw Liong.
“Adik Liong! Golongan Pak-bong sudah menunjukkan
jalan rahasia ini, dapat diduga bahwa mereka agaknya
sudah yakin bahwa kuburan kuno ini merupakan sarang
mereka.”
Jalanan di bawah tanah itu ternyata panjang sekali,
namun di jalanan yang panjang dan gelap itu terdapat
banyak lampu obor.
Tampak oleh mereka Jiet-chungcu berdiri di jalanan situ
menyambut kedatangan dua orang kemudian berkata
dengan sombongnya:
“Ini adalah tempat pertemuan. Apabila ada urusan
penting yang harus diadakan perundingan, selamanya kami
mengadakan perundingan di tempat ini.”
Dua orang itu menganggukkan kepala sambil mengikuti
Jie-chungcu berjalan ke dalam.
Jie-chungcu yang berada di depan, tiba-tiba berpaling
dan berkata kepada Touw Liong berdua:
“Dalam hati kalian berdua mungkin akan menganggap
bahwa jalanan ini menuju ke dalam kuburan kuno itu,
bukan? Sebetulnya tidaklah begitu, kami hanya
menggunakan kuburan kuno itu sebagai kedok, dan jalanan
ini menuju ke tempat ruang pertemuan.”
Touw Liong tercengang; ia berpaling memandang Lo Yu
Im, tetapi Lo Yu Im diam saja, sikapnya nampak serius,
jelas bahwa apa yang dipikir dalam hatinya waktu itu tidak
dapat diduga oleh siapapun juga.
Setelah keluar dari jalanan di bawah tanah pemandangan
lantas berubah. Di sini terbentang suatu lembah yang
banyak terdapat pohon dan tanaman bunga, kecuali itu juga
terdapat banyak burung-burung yang waktu itu sedang
menyanyi dengan riang gembira.
Dalam lembah yang indah pemandangannya itu terdapat
sebuah air terjun yang turun dari atas setinggi sepuluh
tombak lebih.
Touw Liong memeriksa keadaan di situ, lembah itu
seolah-olah terputus hubungannya dengan dunia luar.
Golongan Pak-bong yang memilih tempat itu sebagai
markas besarnya, boleh dikata mempunyai pandangan yang
luar biasa.
Di bagian dalam lembah tersebut, terdapat beberapa
buah bangunan berupa gedung-gedung. Jie-chungcu lalu
berkata sambil menunjuk bangunan itu:
“Kami sering mengadakan pertemuan di sini, saudara
berdua silahkan masuk ke dalam!
Setelah melalui rimba dan memasuki perkampungan,
lalu berjalan menuju ke bangunan tersebut.
Bangunan itu merupakan gedung tingkat tiga,
nampaknya sangat indah dan megah. Dalam bangunan
yang megah itu terdapat delapan buah kamar, di tengahtengah
terdapat jalanan yang dialasi dengan batu hijau, di
jalanan di tengah-tengah itu terdapat kolam bunga teratai
yang menambah keindahan bangunan tersebut.
Di bagian bawah bangunan itu, kanan kirinya terdapat
dua baris kursi berlapis emas.
Di bagian timur terdapat lima buah kursi, kecuali kursi
kedua yang masih kosong, yang lainnya sudah ada
orangnya yang duduk. Kursi pertama diduduki oleh Kakek
Seribu Muka yang dahulu pernah bertemu dengan Touw
Liong di gunung Bu-san; tiga kursi yang lainnya diduduki
oleh orang-orang yang sangat aneh bentuknya. Orangorang
itu mengenakan kopiah warna hijau, sungguh heran,
orang-orang itu juga seperti Touw Liong wajahnya. Di
belakang lima orang itu ada berdiri empat pelindung hukum
golongan Pak-bong.
Di bagian barat terdapat enam buah kursi. Kursi
pertama diduduki oleh Pek Thian Hiong, selanjutnya
adalah Anak Sakti dari gunung Bu-san, di bawahnya
terdapat kursi yang kosong, dan yang terakhir adalah dua
perempuan cantik setengah umur, yang berpakaian warna
putih perak, mereka adalah Sepasang Burung Hong dari
gunung Bu-san yang dikabarkan telah menghilang.
Touw Liong dan Lo Yu Im begitu menginjak di jalanan
di dalam ruangan gedung itu, matanya lantas ditujukan
kepada pemuda tampan yang di kopiahnya terdapat sebuah
tanda bunga Bwee, ketika matanya melirik kepada pemuda
lainnya yang juga mengenakan kopiah hijau, seketika itu
nampak murung, dan orang itu juga tampak terperanjat.
Touw Liong lantas maju dan memberi hormat kepada
Pek Thian Hiong dan Anak Sakti dari gunung Bu-san,
sementara itu si Kakek Muka Seribu lantas bangkit dari
tempat duduknya dan mengangguk kepada Touw Liong,
setelah itu ia mempersilahkan Touw Liong duduk di
samping Anak Sakti dari gunung Bu-san, sedang Jiechungcu
duduk di bagian timur, Lo Yu Im juga duduk
berendeng dengan Sepasang Burung Hong dari gunung Busan.
Anak Sakti dari gunung Bu-san tampak terkejut ketika
bertemu dengan Touw Liong, terutama ketika menyaksikan
Touw Liong dalam keadaan demikian, dalam matanya
penuh tanda tanya, kemudian dia bertanya:
“Mengapa kau juga datang kemari bocah, kau benarbenar
tidak tahu bahwa tempat ini sangat berbahaya
sekali?”
Dalam hati Touw Liong juga merasa heran, mengapa
Anak Sakti dari gunung Bu-san bisa berada di situ; tetapi
wajahnya tetap tenang dengan sikapnya yang luar biasa
tenangnya matanya menyapu orang-orang di sekitarnya.
Setelah orang-orang di kedua pihak pada duduk, Kakek
Seribu Muka perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya,
lalu memberi hormat kepada orang-orang di bagian barat,
kemudian berkata:
“Kami sesungguhnya merasa beruntung, hari ini telah
mendapat kunjungan dari beberapa tokoh kuat dari rimba
persilatan, aku si orang tua sesungguhnya merasa sangat
berterima kasih …”
Berkata sampai di situ, ia berdiam sejenak, lalu
mengurut-urut jenggotnya yang putih panjang setelah itu ia
tertawa bergelak-gelak dan melanjutkan perkataannya:
“Ditilik dari keadaan rimba persilatan dewasa ini, tokoh
kuat yang dapat menduduki tempat terhormat
sesungguhnya jumlahnya sedikit sekali.” Belum habis katakatanya,
Pek Thian Hiong sudah tertawa dingin, begitupun
Anak Sakti dari Gunung Bu-san juga memperdengarkan
suaranya dari hidung.
Kakek Seribu Muka tidak menghiraukan ejekan mereka
berdua, ia tetap melanjutkan ucapannya:
“Hari ini tokoh-tokoh kuat yang demikian banyak telah
datang berkunjung kemari. Maaf kami tidak dapat
menyediakan apa-apa untuk menyuguh kalian, hanya
sedikit arak tawar saja, harap jangan dibuat tertawaan!!”
Setelah itu ia lalu memanggil orang-orangnya untuk
menyediakan minuman.
Tak lama kemudian, dari belakang ruangan muncul
empat lai-laki bertubuh tegap, yang datang membawa
barang minuman dan hidangan.
Pihak tuan rumah dan pihak tamu masing-masing
mengambil bagian sendiri-sendiri. Touw Liong yang
barangkali sudah terlalu letih dan perutnya merasa lapar, di
bawah anjuran Kakek Seribu Muka, ia juga minum sampai
menghabiskan tiga cawan arak.
Setelah minum, Kakek Seribu Muka perlahan-lahan
bangkit dari tempat duduknya pula, sebelum membuka
mulut ia tertawa lebih dulu, selagi hendak membuka mulut
untuk mengeluarkan perkataannya, sudah didahului oleh
Pek Thian Hiong yang bertanya:
“Ketua kalian mengapa tidak mau unjuk muka?”
“Ketua kami kini sedang bertapa, sehingga tidak dapat
menyambut sendiri kedatangan tuan-tuan.”
“Hmm …!!” Pek Thian Hiong perdengarkan suara
mendengus, “Tiga Garuda dari golongan Pak-bong, kiranya
hanya begitu saja menyambut kedatangan tetamu,
sesungguhnya sangat membikin malu orang.”
“Tiga Garuda dari Pak-bong?” Dari golongan tetamu
selain Anak Sakti dari gunung Bu-san saling berpandangan,
karena merasa terheran-heran.
Nama Tiga Garuda dari Pak-bong itu terlalu besar!
Lima puluh tahun berselang, pernah menggemparkan
seluruh rimba persilatan, kalau dihitung waktunya mereka
terjuan di kalangan rimba persilatan, masih jauh lebih tua
daripada Tiga Dewa dari golongan pengemis. Tiga Garuda
itu jika ada yang masih hidup, usianya barangkali sudah
ada seratus tahun! Lima puluh tahun berselang, di dalam
rimba persilatan tersiar omongan bahwa golongan Pak-bong
telah berbentrok dengan golongan Bu-tong, lantaran berebut
benda pusaka. Tiga Garuda itu melakukan pertempuran
mati-matian denga tujuh jago dari Bu-tong. Akhirnya, Tiga
Garuda itu hancur lebur, sedang di pihak Bu-tong kematian
lima jagonya. Sejak hari itu, golongan Pak-bong lantas
terhapus namanya dari dalam rimba persilatan. Dan kini
lima puluh tahun kemudian, ternyata masih ada orang dari
Tiga Garuda yang masih hidup, apakah itu tidak
mengherankan?
Touw Liong tidak dapat mengendalikan perasaan
herannya, ia lalu berbangkit dan bertanya kepada Pek Thian
Hiong sambil memberi hormat:
“Menurut apa yang Pek sancu tahu, di antara tiga
locianpwee dari golongan Pak-bong siapakah di antaranya
yang masih sehat?”
Pek Thian Hiong menunjuk Kake Seribu Muka dan
berkata:
“Sudah tentu suhunya.”
Touw Liong hanya memikir-mikir jawaban itu, tidak
menanya lagi.
Kakek Seribu Muka dengan tiba-tiba menepok jidatnya
sendiri, ia diam-diam memaki dirinya seorang bodoh,
kiranya ia juga mengerti sudah terjebak oleh akal
muslihatnya Pek Thian Hiong. Ia sendiri yang agak lalai,
tanpa sadar sudah keseleo lidah, dan mengucapkan hal
ikhwal suhunya.
“Orang kata bahwa jahe itu semakin tua semakin pedas,
tampaknya sedikitpun tidak salah. Dengan akal Pek sancu
tadi, benar-benar membuatku terpedaya. Sekarang aku
hendak tanya kepada sancu, suhuku sebetulnya termasuk
orang yang keberapa di antara Tiga Garuda itu” Kakek
Seribu Muka bertanya sambil tertawa dingin.
Pertanyaan itu membuat Pek Thian Hiong bungkam,
muka nampak merah padam, saat itu ia tidak bisa
menjawab.
Kakek Seribu Muka nampak sangat bangga, ia menunjuk
kepada beberapa pemuda berpakaian hijau dan berkata
dengan bangganya:
“Jangan kata suhu, sekali pun beberapa sute dan
sumoyku ini, sancu barangkali juga tidak dapat
membedakan, mana satu yang pria, mana yang wanita?”
Kata-kata itu kembali telah menyulitkan Pek Thian
Hiong, jago tua itu menggertak gigi, kemudian berkata
dengan nada suara dingin:
“Aku orang she Pek justru lantaran mereka sehingga
mau datang kemari! Hari ini aku bagaimana tidak akan
mencari keterangan yang sejelas-jelasnya? Aku hendak
menemukan siapa orangnya yang membikin onar di danau
Thian-tie?”
Touw Liong perlahan-lahan bangkit dari tempat
duduknya, ia menuoja kepada Pek Thian Hiong, kemudian
berkata:
“Sancu sabar dulu, aku yang rendah akan mewakilimu.”
Pek Thian Hiong terpaksa menahan hawa amarahnya, ia
perlahan-lahan kembali ke tempat duduknya. Touw Liong
menunjuk kepada orang yang berada di sebelah kiri Kakek
Seribu Muka kemudian berkata:
“Itu adalah Ngo Ko…”
Kakek Seribu Muka terkejut, semua orang lantas tujukan
pandangan matanya ke arah pemuda itu, namun tidak
dapat melihat apa perbedaan, antara orang yang disebut
Ngo Ko itu dengan tiga pemuda berpakaian hijau yang
lainnya.
Ciauw Kun, salah satu dari Sepasang Burung Hong juga
menarik tangan Lo Yu Im dan bertanya dengan suara
perlahan:
“Nona Lo, bagaimana Touw tayhiap dapat mengenali
bahwa orang itu adalah seorang nona lain?”
Lo Yu Im memberi isyarat dengan mulutnya, kemudian
berbisik-bisik di telinganya:
“Di atas kopiahnya terdapat sebuah tanda bunga Bwee
warna putih.”
“O!” Demikianlah Sepasang Burung Hong berseru dan
mengawasi tiga pemuda berbaju hijau di sisi Kakek Seribu
Muka.
Dengan beruntun Touw Liong menyebutkan pula namanama:
“Sie-kow!”
“Jie Chung-cu!”
“Sam Chung-cu! Pelajar Seribu Muka!”
Sie-kow yang disebut oleh Touw Liong tadi, di atas
kopiahnya terdapat tanda bungan warna kuning, sedangkan
Sam Chung-cu Pelajar Seribu Muka, tandanya adalah
bunga warna biru.
Bab 29
Kakek Seribu Muka dengan wajah dan nada suara dingin
berkata:
“Sungguh hebat pandangan matamu! Touw tayhiap,
hari ini jikalu daku dapat menyebutkan suhuku, mana satu
dari tiga sesepuh golongan Pak-bong, maka aku si orang tua
baru merasa takluk benar-benar padamu!”
Touw Liong kali ni benar-benar merasa sulit untuk
memberi jawabannya, tetapi tidak kecewa ia menjadi murid
golongan Kiu-hwa, ia putar otak mengingat-ingat kembali
para jago dan tokoh-tokoh terkuat rimba persilatan pada
lima puluh tahun berselang, seperti apa yang diberitahukan
oleh suhunya.
Pada lima puluh tahun berselang, Tiga Garuda dari
golongan Pak-bong, atau yang disebut Pak-bong Sam-eng,
Garuda Sakti atau Sin-eng yang usianya paling tinggi,
seandai orang ini masih hidup, usianya sudah tentu lebih
dari seratus tiga puluh tahun.
Tetapi umur manusia jarang yang mencapai setinggi itu,
apalagi Tiga Garuda itu sudah pernah bertempur hebat
dengan tujuh pahlawan dari golongan Bu-tong, dalam
pertempuran hebat itu kedua belah pihak sudah tentu ada
yang jatuh korba, mereka kalau tidak mati tentunya terluka
parah. Dengan usia setinggi itu jika terluka parah, rasanya
tidak mungkin kalau bisa hidup sampai hari ini.
Maka Garuda Sakti atau Sin-eng itu rasanya sudah tiada,
hal ini barangkali tidak perlu diragukan.
Orang kedua ialah Giok-eng atau Garuda Batu Giok,
Giok-eng adalah seorang wanita, jika ia masih hidup,
usianya juga sudah mencapai ratusan tahun.
Orang-orang rimba persilatan yang bisa hidup sampai
seratus tahun lebih, bukan tidak ada, tetapi soalnya ialah
Kakek Seribu Muka itu merupakan murid kepala, menurut
peraturan rimba persilatan, seorang tokoh kaum wanita, tak
mungkin menerima seorang pria sebagai murid kepala.
Oleh karena itu Giok-eng juga tidak mungkin menjadi
gurunya si Kakek Seribu Muka, juga tak mungkin tokoh
wanita itu masih hidup di dalam dunia.
Tinggal yang ketiga, orang yang ketiga itu gelarnya Huieng,
atau Garuda Terbang, hanya Hui-eng lah yang
mempunyai kemungkinan besar untuk menjadi guru Kakek
Seribu Muka.
Hui-eng di dalam rimba barisan Tiga Garuda, usianya
termasuk yang paling muda, sekarang seandainya masih
hidup, umurnya belum mencapai seratus tahun. Pada lima
puluh tahun berselang, ia justru mencapai usia yang sedang
kuat-kuatnya, jika mendapat luka pada pertempuran hebat
dengan golongan Bu-tong waktu itu, juga agak mudah
merawat atau menyembuhkan luka-lukanya. Ditilik lagi
dari golongan orang-orang Pak-bong yang ada sekarang ini,
setiap orang memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh
yang sangat mahir, maka kemungkinan besar bahwa orang
itu yang kini masih hidup di dalam dunia.
Setelah mengadakan analisa demikian, Touw Liong lalu
dapat memastikan bahwa diri Kakek itu pastilah Hui-eng,
maka ia lalu menjawab dengan suara lantang:
“Gurumu dan yang merangkap ketua golonganmu
adalah Hui-eng locianpwee.”
Wajah Kakek Seribu Muka berubah seketika, matanya
menatap Touw Liong, sedang Pek Thian Hiong pada saat
itu dengan tiba-tiba bangkit dan mendahului bertanya:
“Siapakah yang melakukan perbuatan yang bersifat
mengacau di atas danau Siauw-hian-te?”
Orang-orang dari Ji-chungcu ke bawah, dan empat
pemuda berbaju hijau semua pada bangkit dari tempat
duduknya masing-masing.
“Yang mengantar kepala manusia, inilah orangnya?”
Berkata si Kakek Seribu Muka sambil menunjuk Ngo-kow,
kemudian berkata pula sambil menunjuk Sam-chungcu:
“Dialah yang meninggalkan tulisan di atas salju.”
Setelah itu ia menunjuk kepada Sie-kauw:
“Yang memancing kau meninggalkan puncak Thian-tubeng
adalah dia.”
“Bagus! Bagus! Mereka berempat semua ada bagian,”
berkata Pek Thian Hiong sambil tertawa dingin. Maksud
kedatangannya mencari empat orang itu, ialah hendak
minta pertanggungan jawab mereka atas perbuatannya itu.
Sementara itu Sam-chungcu tertawa nyaring, lalu
menjura memberi hormat dan kemudian berkata:
“Orangnya akulah yang membunuh, kalau Sammenghendaki
apa-apa, carilah kepada aku seorang.”
Pek Thian Hiong mengendalikan hawa amarahnya,
bertanya:
“Membunuh orang, ada alasannya untuk membunuh,
kenapa kau membunuh tokoh-tokoh rimba persilatan yang
kuundang untuk menghadiri pertemuan di atas gunung
Thian-tu-hong?”
Pelajar Seribu Muka wajahnya berubah. Ia menarik
nafas panjang, sementara itu Touw Liong dan Lo Yu Im
sama-sama pasang mata untuk memperhatikan tindakan
selanjutnya.
Pelajar Seribu Muka itu setelah menarik nafas panjang,
tidak menjawab pertanyaan Pek Thian Hiong, sebaliknya ia
balas menanya:
“Aku numpang tanya kepada Sancu, di dalam dunia ini
permusuhan yang menyangkut soal apa yang dipandang
paling besar?”
“Musuh yang membunuh ayah atau merampas istri,”
menjawab Pek Thian Hiong dengan suara lantang.
“Sebelas orang itu semua ada tersangkut permusuhan
besar denganku, karena mereka telah membunuh ayah
bundaku. Untuk menuntut balas dendam, kalau aku
membunuh mereka, apakah itu suatu perbuatan yang tidak
lebih daripada pantas?” Berkata Pelajar Seribu Muka denga
suara yang penuh emosi.
Pek Thian Hiong mengangguk-anggukan kepala dan
mengacungkan ibu jarinya, setelah itu ia berkata:
“Harus! Itu suatu perbuatan yang patut dipuji!”
Tetapi setelah berkata demikian ia balas menanya:
“Apakah kau sudah memikirkan tempatnya untuk
membunuh orang itu?”
“Untuk menuntut balas dendam ayah bundaku, aku tak
bisa memikirkan terlalu banyak!” berkata Pelajar Seribu
Muka dengan sikap yang masih marah.
Touw Liong juga tertarik oleh penuturan Pelajar Seribu
Muka itu, diam-diam ia menggertak gigi, kalau benar
bahwa Pelajar Seribu muka itu adalah saudara kandungnya
sendiri, maka dendam sakit hati itu ia juga turut memikul
kewajiban untuk menuntut. Mungkin terdorong oleh
pikiran semacam itu, ia lantas bangkit dan berkata kepada
Pek Thian Hiong sambil menjura:
“Sebagai anak, yang menuntut balas dendam bagi orang
tuanya, ini merupakan suatu perbuatan yang sudah
seharusnya. Sekalipun dalam caranya melakukan
pembunuhan itu Sam-chungcu mungkin ada yang kurang
tepat, tetapi Sancu juga harus mengingat notifnya perbuatan
itu, sudilah kiranya memaafkan padanya.”
Pek Thian Hiong sesungguhnya tidak menduga, Touw
Liong dengan tiba-tiba membela orang yang sebagai
lawannya, sesaat itu ia merasa sangat mendongkol, ia
mendelikkan mata kepada Touw Liong lalu berkata:
“Baiklah! Kalau Touw tayhiap demikian simpati
terhadapnya, silakhkan Touw tayhiap tolong menanyakan
kepadanya, sebelas buah panji hitam itu siapa yang
mengambil? Aku Pek Thian Hiong tidak mau harus
menanggung jawab dalam hal ini, asal dia mau
menyerahkan panji hitam itu, segalanya kita boleh pikirkan
lagi.”
Touw Liong memasukkan tangannya ke dalam sakunya,
mengeluarkan dua belas buah panji hitam, dengan sikap
serius ia berkata:
“Panji itu adalah milikku, seharusnya aku yang
mengambil kembali.”
Begitu panji hitam itu muncul semua orang pada
terkejut.
Wajah Pek Thian Hiong berubah seketika, katanya
dengan nada suara aneh:
“Kiranya Touw tayhiap dengan dia merupakan orang
satu golongan dan sudah bersama-sama menghadapi aku si
orang tua.”
Touw Liong membantah sambil menunjuk panji hitam:
“Harap sancu jangan salah paham, panji itu adalah
Dewa Arak dari golongan pengemis yang menunjuk aku
sebagai pewarisnya, tetapi entah cara bagaimana bisa
terjatuh di tangan Sam chungcu.”
Sam chungcu mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
berkata:
“Benar! Benar! Dewa Arak itu kiranya sudah salah
mengira aku sebagai Touw Tayhiap hari itu…”
Ia lalu terbenam dalam kenangannya pada kejadian di
masa yang lampau.
Hal ini terjadi pada setahun berselang, puncak gunung
Thian-tu-hong diliputi oleh salju sangat tebal, Pelajar Seribu
Muka waktu itu justru mendaki gunung untuk mencari jejak
musuhnya. Dengan tiba-tiba suara seorang tua telah
terdengar di telinganya: “Bocah!”
Pelajar Seribu Muka saat itu merasa terkejut, ia
berpaling, orang yang memanggilnya itu ternyata adalah
Dewa Arak si Taysu Gila dari golongan pengemis. Pelajar
Seribu Muka buru-buru menghampiri dan mengunjuk
hormat, dengan sangat hati-hati ia menanyakan
keselamatannya.
Dewa Arak itu tidak banyak berkata, pertama-tama ia
sudah mencetuskan kata-katanya yang mengandung sifat
sesalan:
“Kau bocah ini sungguh tidak ada gunanya!”
Pelajar Seribu Muka yang dikatakan demikian, sudah
tentu tidak mengerti apa maksudnya.
Di dalam keadaan bingung, Dewa Arak menunjuk ke
salah satu tempat seraya berkata:
“Bocah, barang yang kau kehendaki sudah
kuketemukan! Dengan bakat seperti kau, kalau kau
menggunakan waktu dua bulan untuk berlatih dengan tekun
tidak susah bagimu untuk mendapat kedudukan tinggi di
dalam rimba persilatan. Ingat! Jangan lupa apa yang kau
mau lakukan, juga jangan lupa bahwa mulai saat ini kau
sudah merupakan pewaris panji wulung yang tulen!”
Setelah menyerahkan panji hitamnya dan mengeluarkan
kata-kata itu, Dewa Arak lantas berlalu meninggalkan
Pelajar Seribu Muka berdiri termangu-mangu sendiri.
Pelajar Seribu Muka yang masih berdiri termenung
memikirkan tindakan Dewa Arak dan mengawasi
berlalunya orang tua itu, samara-samar terdengar suara
Dewa Arak yang berkata demikian: “Touw Liong, Touw
Liong! Kau harus berlaku baik-baik! Jikalau kau
melanggar ucapanku, Tuhan tidak akan melindungi
dirimu.”
Pelajar Seribu Muka saat itu mengerutkan alisnya dan
menggaruk-garuk kepalanya sendiri yang tidak gatal, ia juga
merasa geli karena melihat kelakuan Dewa Arak yang
merupakan orang gila itu.
Pelajar Seribu Muka saat itu hanya ganda tertawa saja,
perkataan Dewa Arak itu dianggapnya sebagai perkataan
seorang sinting, selanjutnya ia turun dari gunung itu.
Berjalan belum jauh, baru mendapat pikiran bahwa
tindakannya tadi keliru, sebab Dewa Arak itu meskipun
orangnya seperti orang sinting dan suka memain, tetapi
selamanya ia bicara ada batasnya, main-main tinggal mainmain,
tetapi urusan yang benar ia tidak mau dianggap
sebagai main-mainan. Lagi pula apa yang dikatakan
tentang diri Touw Liong tadi, orang itu waktu itu ada
sedikit nama baik di dalam rimba persilatan.
Semakin dipikir semakin kuat dugaannya, Pelajar Seribu
Muka buru-buru memutar balik dan mendaki lagi ke
puncak gunung Thian-tu-hong. Setelah melalui puncak
Ceng-liong-kang ia berjalan menuju ke tempat yang
tertinggi.
Puncak tertinggi Ceng-liong-kang tertutup oleh lapisan
kabut, di atas meja batu dalam kupel kuno segi delapan
terdapat selembar kertas. Kertas itu terdapat tulisan tangan
yang kata-katanya sebagai sajak, tetapi bukan sajak :
“MENENGADAH MEMANDANG ANGKASA
BEBAS, MENUNDUK MELIHAT AWAN
BERGUMPALAN, HAWA BARANG WASIAT
MEMANCAR DI PUNCAK CENG-LIONG-KANG,
PANJI WULUNG MUNCUL LAGI DI DUNIA
PERSILATAN.”
Pelajar Seribu Muka sebagai seorang yang sangat cerdik,
lalu memikirkan tulisan itu, diam-diam berkata kepada
dirinya sendiri: Apakah yang dimaksudkan barang wasiat
itu ada di bawah ini?
Ia lalu menengok ke bawah, benar saja, puncak Cengliong-
kang diliputi oleh awan bergumpalan. Di antara
gumpalan awan itu, tertampak puncak-puncak gunung yang
menjulang dengan jalan-jalannya yang licin dan berbahaya,
di tempat semacam itu, paling-paling hanya ada batu-batu
cadas dan tebing-tebing yang curam, mana ada tempat
untuk sembunyikan barang-barang wasiat?
Untuk membuktikan bunyi surat itu ia mencari pohon
rotan untuk merambat turun, rotan itu diikat kepada kupel
diluncurkan ke bawah sepuluh tombak lebih ia meluncur
mengikuti rotan yang diikat, benar saja menemukan sebuah
gua rahasia. Pelajar Seribu Muka memasuki gua itu,
dengan sangat mudah sekali ia mendapatkan kitab
peninggalan jago pedang kenamaan Hui-thian Giok-liong
Liu Kiam Hong, bersama sebuah sampul yang sangat tebal,
barang itu diletakkan di sebuah kotak yang berisi sebelas
panji hitam.
Pelajar Seribu Muka membuka kitab yang ditulis dengan
tangan, sesaat itu ia terkejut sehingga mulutnya ternganga,
seolah-olah menemukan barang pusaka yang tidak ternilai
harganya. Kiranya kitab itu memuat ilmu-ilmu silat
simpanan dari golongan Siauw-liem-sie, ilmu silat itu terdiri
dari tiga ilmu terampuh, masing-masing adalah Thay-lo
Sin-kong Siau-kang, Thay-lo Sin-kong-ciu dan Thay-lo kimkong-
kiam.
Kotak yang berisi sebelas panji hitam itu membuat ia
semakin terkejut, sedangkan sampul yang tebal itu juga
membuat ia repot, sebab di atas sampul itu jelas tertulis
dengan kata:
“Ditinggalkan kepada Panji Wulung generasi ketiga.”
Dari kata-kata yang ditinggalkan oleh Dewa Arak, ia
dapat mengetahui bahwa surat itu seharusnya menjadi
untuk Touw Liong.
Pelajar Seribu Muka yang masih merupakan ksatria
berjiwa besar, diam-diam telah mengambil keputusan,
dalam sampul itu tidak peduli isinya barang wasiat atau
bukan, juga akan diberikan kepada Touw Liong. Tiga rupa
barang itu lantas dimasukkan ke dalam sakunya, ia lantas
naik dengan menggunakan rotan yang diikat kepada kupel
tadi. Pada saat ia tiba di atas, kebetulan ia telah berjumpa
dengan toa-suhengnya ialah Kakek Seribu Muka, ia lalu
menceritakan semua pengalamannya, dan toa–suheng ini
yang biasanya sangat cinta kepadanya, setelah mendengar
sutenya mendapat pengalaman gaib seperti itu, benar-benar
sangat girang. Dua orang itu lalu mempelajari urusan itu,
karena puncak Thian-tu-hong itu letaknya sangat terpencil
dan jarang didatangi oleh manusia, maka sutenya itu lalu
balik lagi ke dalam gua, bersembunyi untuk melatih
ilmunya sedang si Kakek Seribu Muka, ialah toa-suhengnya
menunggu di atas untuk melindungi.
Hanya dalam waktu dua bulan saja, Pelajar Seribu Muka
sudah berhasil mempelajari ilmunya dan kebetulan lagi
ilmu itu segera dapat digunakan.
Digunakan untuk apa? Kesatu, karena musuh Pelajar
Seribu Muka terlalu kuat, dua, dapat menggunakan
kesempatan dalam pertemuan besar di danau Siao-thian-tie
di puncak gunung Lu-san untuk membangun kembali
kekuatan golongan Pak-bong.
Setelah berunding masak-masak, dua orang itu
bersemedi di atas puncak Ceng-liong-kang, sungguh
kebetulan, pada saat itu Touw Liong juga mendaki ke
puncak Thian-tu-hong, apa mau kedatangannya terlambat
semalam, hingga didahului oleh Pelajar Seribu Muka.
Kakek Seribu Muka yang takut akan terjadi hal-hal di
luar dugaannya, ia sudah ingin membinasakan Touw Liong
atau disingkirkan dari situ. Ia sengaja dengan secara misteri
memberitahukan bahwa Pelajar Seribu Muka sudah pergi
ke gunung Tiam-cong-san. Sewaktu Touw Liong
meninggalkan puncak gunung Thian-hu-tong, Anak Sakti
dari gunung Bu-san masih berkutet dengan Kakek Seribu
Muka. Kakek Seribu Muka tidak berdaya, hingga pancing
padanya ke lembah rahasia gunung Pak-bong-san dan
akhirnya ditawan di situ.
Orang selanjutnya yang turut tertawan adalah Sepasang
Burung Hong dari gunung Bu-san yang turut mengejar
Anak Sakti dari Gunung Bu-san.
Ilmu-ilmu dari golongan Siauw-lim-sie yang dipelajari
oleh Pelajar Seribu Muka, oleh karena ia sudah mempunyai
dasar yang cukup kuat, kedua, karena cara-caranya yang
tertulis dalam kitab itu, setelah dirubah lagi oleh Liu Kiam
Hiong, hingga lebih mudah daripada yang dimuat dalam
pelajaran aslinya. Ditambah lagi dengan Pelajar Seribu
Muka yang masih jejaka murni, dalam dua bulan itu ia
sudah berhasil. Dengan bekal itulah maka ia dapat
melakukan perbuatan yang menggemparkan seluruh rimba
persilatan.......
Pelajar Seribu Muka setelah menceritakan semua
pengalamannya, ia memasukkan tangannya ke dalam
sakunya, untuk mengambil sampul itu. Selagi hendak
dikeluarkan, mendadak pikirannya menjadi berubah,
hingga dimasukkan kembali.
Ia menunjuk Panji Hitam di tangan Touw Liong,
katanya,
”Barangkali oleh karena wajah kita dua orang yang mirip
satu sama lain hingga Dewa Arak sudah salah anggap aku
sebagai dirimu, dan memberikan padaku sebelas buah
panji.”
”Oo!” demikian Touw Liong berkata sambil
mengerutkan alisnya.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah berkata sambil
tertawa,
”Baiklah! Karena urusan ini sudah jelas duduk
perkaranya, maka aku si orang tua hanya mempunyai
sedikit permintaan kepada kalian, aku hanya tidak tahu
selagi ketua kalian tidak ada di sini, apakah kiranya Toachungcu
dapat memutuskan?”
Kakek Seribu Muka bangkit memberi hormat dan
berkata sambil tertawa,
”Aku bersedia untuk mendengarkan permintaanmu.”
”Undangan untuk mengadakan pertemuan di danau
Thian-tie, adalah aku si orang tua yang membuat, tokohtokoh
rimba persilatan karena terjadinya perbuatan itu
hampir semuanya memandang diri aku si orang she Pek,
tidak peduli berapa besar permusuhan di antara mereka,
untuk sementara dapat ditangguhkan dulu. Jadi selama
pertemuan itu berlangsung, tidak akan dibicarakan.
Sedangkan kalian ternyata tidak memberi muka kepadaku,
di malam hari pertemuan besar itu telah melakukan
pembunuhan kejam, yang membunuh orang-orang dari
sepuluh golongan.”
”Ucapan sancu mengenai sepuluh orang ini tidak benar,
seharusnya sebelas orang,” berkata Kakek Seribu Muka
dengan sikap agak mengejek untuk membatalkan
keterangan Pek Thian Hiong.
Pek Thian Hiong agak marah, dengan mengikuti katakata
Kakek Seribu Muka, ia melanjutkan perkataannya,
”Satu orang lagi dengan golonganmu ada permusuhan
apa lagi?”
Tanpa banyak pikir, Kakek Seribu Muka menjawab,
”Orang itu hebat asal-usulnya....” dengan sangat bangga
ia tertawa kemudian melanjutkan ucapannya.
”Orang itu adalah murid kepala dari Ngo-gak Sin-kun,
sebab tua bangka itu dahulu dengan suhu mempunyai
sedikit ganjalan sakit hati, maka dengan menggunakan
kesempatan pertemuan di danau Thian-tie itu, kita
memberikan sedikit peringatan kepada Ngo-gak Sin-kun.”
”Ngo-gak Sin-kun?”
”Ya.”
Pek Thian Hiong dan Touw Liong sama-sama terkejut
dan hampir mengeluarkan seruan kaget. Anak Sakti dari
gunung Bu-san dan Lo Yu Im semakin menaruh perhatian,
mereka saling berpandangan dengan mata terbuka lebar.
Saat itu, Touw Liong segera teringat keterangan orangorang
rimba persilatan yang diceritakan oleh suhunya
dahulu, guru itu pernah mengatakan bahwa Ngo-gak Sinkun
orang yang terlalu membela anak muridnya, orang itu
tergolong di tengah-tengah antara golongan baik dan
golongan sesat, ia bertindak hanya menurut kesukaan
hatinya, tidak memperhitungkan baik buruknya atau
untung ruginya, lakukan dulu, bicara belakang, begitulah
sifatnya. Julukannya Ngo-gak Sin-kun itu juga didapatkan
karena orangnya sangat berangasan dan terlalu menuruti
hawa nafsunya sendiri. Seluruh daerah Ngo-gak hampir
tiada orang yang tidak kenal kebuasan orang itu, sehingga
tempat itu sangat tidak tenang. Kemudian, sahabat-sahabat
rimba persilatan lalu memberikan julukan kepadanya
sebagai Ngo-gak Sin-kun atau Malaikat dari daerah Ngogak.
Dia ingat kejadian itu kira-kira pada empat-lima puluh
tahun berselang. Sudah beberapa puluh tahun lamanya,
tidak pernah dengar nama orang tua itu masih hidup atau
sudah mati, tetapi kini dengan tiba-tiba muncul kembali,
bukankah itu sangat mengejutkan?
Ia teringat kepada kepala manusia yang tidak ada yang
mengakui di atas danau Thian-tie, dalam hatinya timbul
pertanyaan sendiri : Apakah kepala itu kepalanya murid
Ngo-gak Sin-kun? Sementara itu Kakek Seribu Muka sudah
berkata lagi,
”Dalam rimba persilatan memang banyak urusan, Ngogak
Sin-kun sudah muncul lagi dan Pek Sancu juga ingin
menjagoi rimba persilatan, tetapi maksud Pek sancu yang
ingin memperbesar pengaruhnya di daerah Tionggoan
barangkali akan menggunakan banyak tenaga.”
”Golongan Pak-bong-pay juga tidak akan enak-enak saja,
kalian sudah membunuh murid kepalanya,” berkata Pek
Thian Hiong sambil tertawa dingin.
Kakek Seribu Muka mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata,
”Itu memang benar, orang adalah kita yang membunuh,
sayang dalam rimba persilatan tiada orang yang tahu.
Orang hanya memperhatikan apa ditinggalkan di atas salju,
mereka pasti mengatakan bahwa orang itu dibunuh oleh
Panji Wulung!”
”Perbuatan seorang ksatria seharusnya sesuai dengan
namanya. Tetapi perbuatan kalian orang-orang dari
golongan Pak-bong yang demikian rendah dan tidak tahu
malu, sudah mengalihkan kesalahannya kepada orang lain,
apakah itu perbuatan seorang ksatria? Namun demikian
kau juga jangan lupa, bahwa hari ini orang-orang yang
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya ada orang dari
Cit-phoa-san, Bu-san, Kiu-hwa dan Kun-lun, kita orangorang
dari empat golongan ada satu saja yang usil mulut
sudah cukup membuat kalian mendapat banyak kesulitan.”
Kakek Seribu Muka tertawa terbahak-bahak, setelah
merasa puas tertawa ia baru berkata,
”Memang sebetulnya, pada dewasa ini siapapun yang
berani mengganggu Panji Wulung atau Ngo-gak Sin-kun si
tua bangka manusia aneh itu, pasti akan mengalami
kesulitan darinya. Tetapi harap sancu jangan lupa bahwa
hari ini tuan adalah tetamu dari gedung rahasia kami ini,
seperti peribahasa kata : TETAMU HARUS MENURUT
KEHENDAK TUAN RUMAH. Tinggal atau perginya
tuan-tuan tergantung pada sikapku terhadap tamunya. Jika
aku merasa senang untuk melayani tuan lebih lama berdiam
di sini untuk beberapa hari atau beberapa tahun, bahkan ....
dengan cara bagaiamana tuan-tuan masih ada waktu untuk
menceritakan hal ini kepada orang lain.”
Pek Thian Hiong dan Touw Liong sangat marah,
begitupun yang lain-lainnya. Kakek Seribu Muka berkata
pula sambil menunjuk Pelajar Seribu Muka.
”Menurut aturan, dialah yang seharusnya menjadi
pewaris yang sebenarnya dari Panji Wulung!”
Touw Liong agak mendongkol, sedangkan sancu dari
Cit-phoa-san yang mendengar ucapan itu tidak dapat lagi
kendalikan hawa amarahnya, katanya dengan suara gusar,
”Dalam dunia bagaimana ada begini banyak Panji
Wulung? Apakah kalian hendak menggunakan nama Panji
Wulung sebagai penunjang golongan Pak-bong-pay? Kalau
benar kau beranggapan demikian, anggapanmu itu keliru
sekali! Tampaknya hari ini kau memang sengaja hendak
menahan kami ada di sini.”
”Pangcu seorang pintar, kalau kau hendak berkata
demikian juga boleh,” berkata Kakek Seribu Muka dengan
nada suara dingin.
Pek Thian Hiong yang sudah marah sekali dengan tibatiba
mengebutkan jubahnya, papan meja di hadapannya
tiba-tiba terangkat tinggi, terus meluncur ke meja depan,
orang-orang yang berada di meja tamu agaknya sudah
mengerti maksud Pek Thian Hiong, maka masing-masing
pada bangkit untuk menyingkir.
Muka meja yang lebarnya kira-kira delapan kaki dengan
tenang meluncur, sedang arak-arak di atas meja tiada satu
yang tumpah, demikianpun barang hidangan yang berada di
dalam mangkuk, muka meja itu berputaran ke udara dan
melayang turun ke bawah.
Jikalau dibiarkan meja itu turun, sudah tentu akan
menimpa orang-orang yang duduk di meja perjamuan di
bagian tuan rumah, selain daripada itu juga akan
menghilangkan muka orang-orang dari Pak-bong-pay.
Selagi muka meja itu berputar dan melayang turun,
kakek Seribu Muka berseru dengan kata-katanya, ”Ilmu
Tay-it-cin-kang yang sangat hebat.” Sementara itu Pelajar
Seribu Muka dengan tiba-tiba bangkit dari tempat
duduknya, ia tidak menunggu sampai muka meja itu turun
sudah pentang lima jarinya, dengan suatu gerak menahan
turunya meja itu.
Sungguh aneh, lima jari tangan Pelajar Seribu Muka itu
terpisah dengan muka meja kira-kira lima kaki, dan muka
meja itu dengan tiba-tiba berhenti.
Keadaan demikian, muka meja itu seolah-olah tertahan
oleh kekuatan tenaga dalam Pelajar Seribu Muka yang tidak
berwujud.
Setelah itu Pelajar Seribu Muka berseru, ”Naik!” lima
jari tangannya mendorong ke atas dan kemudian
membentak pula, ”Kembali!”
Muka meja itu seolah-olah menurut perintahnya benarbenar
berputar dan kembali ke tempat asalnya.
Perbuatan itu sesungguhnya di luar dugaan Pek Thian
Hiong, sesaat itu ia lalu berseru,
”Ilmu jari tangan Kim-kong Sian-kang benar-benar
hebat!”
Setelah itu ia mengibaskan lagi jubahnya untuk
menyambut muka meja yang sedang melayang turun, tidak
ampun lagi, muka meja itu terdampar setinggi dua tombak
dan jatuh di tempat sejauh lima tombak.
Touw Liong yang mendengar disebutnya ilmu Kim-kong
Sian-kang, tertarik hatinya, tetapi ia hanya mengeluarkan
seruan tertahan, ”Ooo!”
Wajah Pek Thian Hiong menunjukkan perasaan
terkejutnya, ia memandang Pelajar Seribu Muka dan
berkata kepada diri sendiri dengan suara perlahan, ”Pantas
orang golongan Pak-bong-pay berani berlaku demikian
congkak, kiranya bocah ini sudah berhasil mempelajari ilmu
terampuh dari golongan Siauw-lim-si!”
Kakek Seribu Muka berkata sambil tertawa dingin.
”Suteku hanya berhasil mempelajari ilmu Tay-lo-siankang
dan Tay-lo Kim-kong-ci, tetapi suhu yang mempelajari
ilmu Sian-kangnya kini sudah berhasil seluruhnya, seratus
delapan jurus Tay-lo Kim-kong-kiam juga dipelajarinya
sudah hampir selesai. Orang she Pek, kita orang-orang
golongan Pak-bong jikalau belum seyakin-yakinnya,
bagaimana berani bermusuhan dengan Panji Wulung?
Berani bertentangan dengan Pek-sancu dan berani mengadu
ilmu dengan Ngo-gak Sin-kun tua bangka itu?”
”O! Jadi yang diandalkan oleh kalian orang-orang
golongan Pak-bong adalah ilmu simpanan dari Siauw-limpay!
He hehe! Aku si orang she Pek kalau begitu ingin
belajar kenal dengan kepandaian kalian,” berkata Pek Thian
Hiong dengan gagah.
”Kalau begitu, kau Pek-sancu tentunya juga mempunyai
ilmu simpanan yang belum pernah dikeluarkan?”
”Tidak ada apa-apa, hanya tiga jilid dari kitab Thay-it
Cin-keng.”
”Thay-it Cin-keng?” demikian orang banyak bertanya
kaget.
”Semua ilmu simpanan dari rimba persilatan hampir
muncul pada saat yang bersamaan, benar-benar merupakan
suatu masa yang sangat besar. Kedatangan Pek-sancu hari
ini sangat kebetulan sekali, karena kebetulan suhu yang
sedang bertapa sudah hampir habis waktunya, Pek-sancu
yakin memiliki kepandaian ilmu yang tiada taranya, ini
justru dapat digunakan untuk belajar kenal dengan
kepandaian suhum siapa yang lebih kuat, apalagi ... He
he..!”
Si Kakek Seribu Muka ada maksud hendak membakar
hati Pek Thian Hiong, maka ia berkata lagi sambil tertawa
mengejek.
”Apa yang Pek-sancu dapatkan hanya sebagian dari ilmu
yang tidak lengkap, bagaimana dapat digunakan untuk
mengadu kepandaian dengan ilmu simpanan dari golongan
Pak-bong?”
Kata-kata itu sesungguhnya sangat menyinggung
perasaan, Pek Thian Hiong yang mendengar itu karena
sangat marahnya sehingga tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata,
”Siapa akan menang? Siapa akan kalah? Sebentar akan
dapat ketentuan! Aku orang she Pek kalau hari ini
mendapat kekalahan ...”
Karena tidak berhasil mengendalikan hawa amarahnya,
ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Sementara Kakek Seribu Muka yang kandung maksud
hendak mendesak dia mengeluarkan kepandaiannya, lalu
bertanya,
”Seandainya tidak beruntung sancu yang kalah,
bagaimana?”
Touw Liong yang melihat gelagat demikian, diam-diam
berkata sendiri sambil menghela napas,
”Celaka!”
BAB 30
Pek Thian Hiong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, selanjutnya baru berkata,
”Aku akan mengasingkan diri, namaku ini akan kukubur
selama-lamanya!”
”Ucapan sancu terlalu berat! Aku si orang tua
sebaliknya mempunyai sedikit usul! Berkata Kakek Seribu
Muka sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
”Usul apa?”
”Kita harus merasa beruntung hidup di jaman ini, kita
sedang menghadapi dunia Kang-ouw yang kacau balau,
mengapa kita tidak bersama-sama melakukan pekerjaan
besar?”
”Maksudmu, apakah jikalau aku Pek Thian Hiong sudah
kalah, harus mendengar perintah-perintahmu orang Pakbong-
pay?”
”Tidak! Tidak! Tidak! Kita sama-sama melakukan
pekerjaan besar dengan bahu-membahu.”
Pek Thian Hiong mengerutkan alisnya, katanya dengan
nada suara dingin,
”Tidak perlu banyak bicara, sebaiknya kau cari dulu
suhumu untuk bertanding dengan kita nanti kita boleh
bicarakan lagi.”
Kakek Seribu Muka kembali unjukkan ketawa iblisnya,
sambil berpaling kepada Pelajar Seribu Muka ia berkata,
”Kalau sancu hendak menemui suhu itu sangat mudah,
menurut kebiasaan orang yang ingin bertemu dengan suhu,
lebih dulu harus disambut oleh kita suheng dan sute.”
Pelajar Seribu Muka bangkit dan menghampiri Pek
Thian Hiong. Ia menjura memberi hormat, kemudian
berkata,
”Sancu, silahkan!”
”Baik juga! Aku akan menandingi kau lebih dulu untuk
menemui tokoh-tokoh rimba persilatan dan membereskan
peristiwa berdarah di danau Siao-thian-tie, setelah itu baru
mencari gurumu untuk minta keadilan.” berkata Pek Thian
Hiong sambil tertawa dingin.
Lo Yu Im mengerutkan alisnya, diam-diam mengeluh
sendiri. Sedangkan Touw Liong sikapnya semakin merasa
tidak tenang, perasaannya pada waktu itu sesungguhnya
sangat aneh, meskipun ia sudah tahu benar bahwa hari itu
kalau ingin bisa keluar dari tempat rahasia golongan Pakbong
hanya tergantung dengan kemenangan Pek Thian
Hiong dalam pertempuran itu. Tetapi sebaliknya juga
khawatirkan kalau-kalau Pelajar Seribu Muka itu kalah.
Karena hal itu menyangkut dengan beberapa persoalan
besar dengan dirinya sendiri, beberapa hal harus mendapat
jawaban dari Pelajar Seribu Muka itu. Umpama kata,
apakah benar pemuda itu adalah saudara kandungnya
sendiri? Dan dari mana panji hitam peninggalan panji
wulung itu?
Dari mana pula tiga ilmu simpanan yang semula menjadi
milik Siao-lim-pay itu.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah keluar dari meja
perjamuan dengan langkah lebar. Ia keluar dari
perkampungan dan lompat ke dalam sebuah rimba.
Pelajar Seribu Muka mengikuti jejaknya dengan langkah
lebar pula. Touw Liong di bawah perlindungan Lo Yu Im
ikut masuk ke dalam rimba buah tho, mereka berdua selalu
berdiri di samping Anak Sakti dari gunung Bu-san,
sedangkan orang-orang dari kedua pihak membuat
lingkaran merupakan pagar lapangan pertempuran.
Pek Thian Hiong perlahan-lahan mengulurkan jari
tangannya, ia memusatkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Hembusan angin yang keluar dari jari
tangannya dapat mencapai tujuan dua tombak lebih, dan
hembusan angin itu menyentuh sebuah pohon besar.
Sungguh aneh, bunga-bunga di atas pohon itu pada rontok
dan daun-daunnya bergoyang-goyang.
Pek Thian Hiong yang lebih dahulu menunjukkan
kehebatan ilmu tenaga dalamnya. Dia telah membuktikan
bahwa ilmunya itu benar-beanr sudah mahir sekali. Begitu
ia menunjukkan kepandaiannya, seorang berkepandaian
tinggi seperti Anak Sakti dari gunung Bu-san juga merasa
kagum.
Sementara itu Touw Liong juga mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata dengan pujiannya,
”Pek Thian Hiong benar-benar seorang yang tak boleh
dipandang ringan!”
Sementara Pelajar Seribu Muka sendiri juga memberi
pujian hebatnya ilmu Thay-it-cin-kang itu, setelah itu ia
menjura memberi hormat dan berkata,
”Coba lihat aku!”
Baru saja menutup mulut, ia memutar tubuhnya dan
mengacungkan jarinya, dari situ hembusana angin yang
meluncur keluar dari jari tangannya menyapu keluar, dan
mengenai pohon yang tadi bekas dibuat percobaan oleh Pek
Thian Hiong. Pohon yang terletak sejarak dua tombak
lebih itu juga tampak bergoyang-goyang dan kembangnya
pada rontok.
Kekuatan dari kedua pihak itu tampaknya sangat
berimbang.
Pek Thian Hiong setelah menyaksikan kepandaian
Pelajar Seribu Muka juga memberikan pujiannya.
Setelah itu, kedua tangannya dirangkapkan bersikap
seperti hendak menggunakan ilmu dari golongan Thay-kek,
tetapi yang dimainkan adalah ilmu tangan kosong dari
Thay-it Sin-ciang. Sementara Pek Thian Hiong mainkan
ilmunya Thay-it Sin-ciang, semua orang yang ada di situ
pada berseru riuh.
Saat itu Pelajar Seribu Muka menunjukkan sikapnya
yang serius. Kekuatan tenaga dalam dipusatkan pada
kedua tangannya, siap untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Gerakan pembukaannya sangat istimewa, telapakan
tangan kiri menunjuk ke atas, dan tangan kanan menunjuk
ke bawah.
Pek Thian Hiong menyaksikan gerakan pembukaan
lawannya, juga mengerutkan alisnya yang panjang, dalam
sikap terheran-heran ia berkata,
”Nampaknya sungguh hebat ilmu Kim-kong-sinciangmu.”
Gerakan pembukaan yang ditunjukkan Pelajar Seribu
Muka adalah gerakan dari ilmu Pek-pow Sin-koan atau
ilmu silat tangan kosong seratus langkah, yang termasuk
ilmu simpanan dari golongan Siao-lim-pay, kemudian
ditambah lagi empat jurus gerak tipu dari ilmu Kim-kongkiam,
dan oleh jago pedang kenamaan Liu Kiam Hiong
dipelajari lagi beberapa puluh tahun lamanya lalu menjadi
dua puluh empat jurus, ilmu-ilmu itu ditulis dalam kitab
Kim-kong-ciang.
Kim-kong-cian meskipun gerakannya sudah mengalami
banyak perubahan, tetapi gerakan pembukaannya itu tetap
tidak berubah.
Touw Liong sebelum ilmu kepandaiannya dimusnahkan,
sudah termasuk orang kuat golongan kelas satu, terhadap
segala ilmu kepandaian dari berbagai golongan, sudah
banyak yang ia tahu, dengan dilanjutkannya gerakan
pembukaan dua orang itu, ia juga merasa terkejut.
Pek Thian Hiong yang membuka serangan itu baru
dilancarkannya setengah jalan, lalu menggulung memutar
jadi gerak tipu dari golongan paderi. Sesaat kemudian
kedua tangannya dari terbuka menjadi dirapatkan, di
tengah lapangan itu dalam waktu sekejap sudah merasa
tergoncang oleh hembusan kekuatan tenaga dalam yang
keluar dari putaran tangan Pek Thian Hiong tadi.
Touw Liong baru saja mengeluh, Pek Thian Hiong
sudah melancarkan serangannya yang sangat hebat.
Pelajar Seribu Muka yang sudah siap, begitu tampak
lawannya menggunakan gerak tipunya sangat ampuh, ia
tidak berani berlaku gegabah. Sepasang tangannya diputar
dengan beruntun untuk menyambut serangan lawannya.
Tidak ampun lagi, kedua kekuatan dari kedua pihak saling
beradu sehingga menimbulkan suara gemuruh, sedangkan
dua orang yang mengadu kekuatan itu, dua-duanya
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Pek Thian Hiong mundur terhuyung-huyung dua
langkah, rambut dan kumisnya pada berdiri, buru-buru
mengempos napasnya, hingga berhasil berdiri tegak, tidak
sampai jatuh.
Sedangkan pihak Pelajar Seribu Muka juga terhuyunghuyung
dan terpaksa mundur sampai beberapa langkah.
Dari mulutnya mengeluarkan suara menggumam.
Dalam pertandingan babak pertama itu, jelas bahwa
kekuatan Pek Thian Hiong masih di atas Pelajar Seribu
Muka.
Lo Yu Im yang menyaksikan kejadian itu, wajahnya
berubah seketika, ia buru-buru bergerak ke samping Pelajar
Seribu Muka. Sementara itu Pelajar Seribu Muka terdengar
suara batuk-batuk dan mengeluarkan segumpal darah segar.
Namun ia tidak merintih atau mengeluh, hanya memutar
diri dan lari menuju ke goa, dengan diikuti oleh Lo Yu Im.
Pek Thian Hiong yang melihat itu lalu berkata kepada
Anak Sakti dari gunung Bu-san,
”Jangan lepaskan dia pergi! Lekas tangkap!”
Anak Sakti dari gunung Bu-san menerima baik
permintaan itu, dengan membawa tongkatnya ia mengejar
Pelajar Seribu Muka.
Baru saja ia berjalan kira-kira lima tombak, sudah
ditahan oleh serangan tongkat dari depan.
Anak Sakti dari gunung Bu-san merandek, orang yang
menahan dirinya tadi justru adalah Kakek Seribu Muka
yang pernah pancing dirinya dari puncak gunung Thian-tuhong
ke tempat itu, dan akhirnya ditawannya beberapa
bulan lamanya. Sudah tentu ia lantas menjadi marah,
tongkatnya digerakkan untuk balas menyerang.
Keduanya lalu saling gempur, pertempuran berlangsung
sengit sekali.
Sepasang Burung Hong dari gunung Oey-san dan Jie
chungcu Sie-kow, Ngo-kow juga sudah mulai bertempur
menjadi dua rombongan.
Orang-orang dari kedua pihak kini tinggal Touw Liong
dan empat pelindung hukum golongan Pak-bong yang tidak
turut berkelahi, tetapi sekalipun tidak bertempur, mereka
saling berpandangan dengan mata beringas.
Touw Liong hanya dapat menyaksikan berlalunya Lo Yu
Im yang mengikuti Pelajar Seribu Muka menuju ke goa, ia
memikirkan banyak soal, hendak mengejar untuk
menanyakan penjelasannya, terutama mengenai diri Pelajar
Seribu Muka itu, betul saudara kandungnya atau bukan.
Terdorong oleh pikiran itu, Touw Liong tidak
menghiraukan lagi keadaannya, ia mempercepat
langkahnya sedapat mungkin untuk menyusul ke dalam goa
kuno.
Sementara itu empat pelindung hukum golongan Pakbong,
karena tidak ada ijin dari Toa-chungcu, maka tetap
berdiri di tempatnya tidak berani meninggalkan. Dengan
demikian ia hanya dapat mengawasi berlalunya Touw
Liong dengan mata terbuka lebar.
Touw Liong yang sudah musnah kepandaian ilmu
silatnya, sudah tentu dengan susah payah ia melakukan
perjalanan itu. Untung ia masih dapat mencapai ke tempat
tujuannya. Begitu tiba di dalam goa, obornya sudah
padam, hingga keadaan dalam goa gelap gulita. Oleh
karena sudah tidak mempunyai kepandaian lagi, sudah
tentu pandangan matanya tidak beda dengan orang biasa,
berada di dalam goa yang gelap gulita seperti itu, barangbarang
yang hanya sejark satu-dua kaki saja semua tidak
dapat dilihatnya.
Terpaksa ia berjalan maju sambil meraba-raba dinding
goa, entah berapa jauh ia sudah melakukan perjalanan
dengan cara demikian, dengan tiba-tiba di sebelah kirinya
rasa hembusan angin yang meniup kencang. Meskipun
kepandaian ilmu silatnya sudah musnah, tetapi daya
pendengarannya masih cukup baik. Ia dapat membedakan
bahwa hembusan angin tadi timbul dari seorang
berkepandaian tinggi yang sedang mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Maka ia lalu berjalan menuju ke
samping kirinya dari mana angin tadi mendesir. Diamdiam
ia merasa heran, hingga tanpa disadari sudah menarik
napas panjang. Dalam hatinya bertanya-tanya kepada diri
sendiri, apakah perlu ia bersuara untuk memanggil?
Tarikan napasnya tadi agaknya menarik perhatian orang
yang sedang mengerahkna ilmunya meringankan tubuh,
dan selanjutnya hembusan angin itu berhenti di
sampingnya.
Touw Liong agak bingung, dengan sendirinya
mengangkat kedua tangannya untuk berjaga-jaga.
Mungkin karena gerakan tangannya itu yang
menunjukkan ilmu silat golongannya, maka suara seorang
tua dengan terheran-heran berseru, ”Haa,” selanjutnya
lantas bertanya, ”Anak, apakah kau bukan Kie-jie?”
Jelas orang yang bertanya kepadanya itu adalah seorang
tua.
”Siapakah Kie-ji itu?” demikian Touw Liong bertanyatanya
kepada diri sendiri, tetapi ia menggeleng-gelengkan
kepala untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah orang yang
disebut Kie-ji oleh orang tua tadi.
Orang tua itu bertanya pula,
”Kau toh murid golongan Kiu-hwa?”
Mungkin orang tua itu sudah mengetahui asal-usul Touw
Liong dari gerakan tangannya tadi.
Touw Liong menganggukkan kepala dan kemudian
berkata sambil menghormat,
”Boanpwee Touw Liong.”
”Wajahmu ini memang asalnya begitu, ataukah sedang
menyamar?”
”Wajah boanpwee sudah begini sejak dilahirkan,”
menjawab Touw Liong dengan tetap hormat.
Orang tua itu berpikir sejenak, kemudian bertanya pula,
”Kenalkah kau dengan Kang Kie?”
”Kang Kie?” Touw Liong menggelengkan kepala.
Orang tua itu diam sejenak, kemudian bertanya pula
dengan suara perlahan,
”Bagaimana kau bisa kesasar masuk ke dalam goa ini?”
”Boanpwee mengejar engko, sehingga kesasar jalan.”
Orang tua itu menganggukkan kepala dan berkata
kepada dirinya sendiri, ”Tidak salah lagi! Tentunya dia!”
Kemudian ia menarik tangan Touw Liong dan berkata
dengan ramah-tamah,
”Mari ikut aku!”
Touw Liong yang digandeng tangannya oleh orang tua
itu, ia merasa seperti hanya berputar-putar di dalam goa, di
bawa ke sebuah kamar batu.
Di dalam kamar batu itu tampak sinar yang remangremang,
namun dapat membedakan dan dapat melihat
benda-benda yang ada di situ, ia dongakkan kepalanya, di
atas kepalanya ternyata terdapat lubang yang menuju ke
angkasa, dari lubang-lubang itulah sinar dan udara
menerobos masuk ke dalam kamar batu itu.
Touw Liong pasang mata, kini ia dapat kenyataan bahwa
orang tua itu keadaannya sangat aneh, mukanya merah,
matanya menonjol, ia mengenakan pakaian jubah panjang
berwarna kuning, jenggot dan kumisnya putih meletak,
orang tua itu usianya barangkali sekitar seratus tahunan.
Kamar itu hanya seluas lima tombak, kecuali sebuah tempat
tidur batu, tidak terdapat apa-apa lagi.
Orang tua itu menunjuk tempat tidur batu itu,
memerintahkan Touw Liong duduk. Ia mengamat-amati
diri Touw Liong dari atas sampai ke bawah, dan
mengangguk-anggukkan kepala, setelah itu ia berkata secara
blak-blakan.
”Aku si orang tua, dalam seumur hidupku ini paling
gemar dan paling bangga mendapat murid seperti Kang Kie
yang mempunyai bakat dari golongan orang kelas satu.
Dengan memandang muka Kie-ji, kita meskipun baru
bertemu muka juga terhitung ada jodoh, maka aku bersedia
memberikan kau sesuatu sebagai hadiah perkenalan.”
Dari sinar mata orang tua itu Touw Liong dapat
mengetahui bahwa orang tua itu memiliki ilmu kekuatan
tenaga dalam yang sudah tak ada taranya, dengan
kediamannya yang sangat dirahasiakan dari golongan Pakbong
ini, maka secepat kilat ia telah teringat kepada diri
seseorang.
Ia segera berlutut di hadapan orang tua itu dan berkata
dengan sungguh-sungguh,
”Jikalau mata boanpwee tidak salah lihat, cianpwee ini
tentunya adalah salah seorang dari tiga sesepuh golongan
dari golongan Pak-bong yang dahulu namanya pernah
menggemparkan rimba persilatan...”
Orang tua itu berkata dengan terus terang,
”Aku si orang tua Hui Eng.”
Touw Liong tidak begitu terkejut mendengar nama itu,
karena ia sudah menduga siapa adanya orang tua itu.
Dalam hatinya tiba-tiba timbul suatu pikiran .... ialah untuk
memulihkan kepandaian ilmu silatnya. Orang tua itu
menganggukkan kepala dan mendekat lagi,
”Lekas jawab! Apa yang kau kehendaki?”
Touw Liong menghela napas, bibirnya bergerak-gerak
hendak mengatakan sesuatu, tetapi beberapa kali
membatalkan maksudnya, tetapi akhirnya berkata juga
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya:
”Sudah! Perguruan boanpwee dan locianpwee tidak ada
perhubungan, urusan ini sebaiknya boanpwe tidak sebutkan
saja!”
Orang tua itu agaknya tertarik oleh ucapan Touw Liong,
maka ia bertanya pula:
”Coba kau katakan! Tidak perduli soal apa, asal aku
sanggup, kau boleh sebutkan, tiada yang tak akan
kulaksanakan.”
”Touw Liong masih tetap menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berkata:
”Jika boanpwee sebutkan rasanya agak keterlaluan,
biarlah tidak usah saja.”
Orang tua itu agaknya sudah tidak sabaran, katanya
dengan suara agak keras:
”Kau bocah ini tidak ada gunanya, bicara saja gelagapan,
sedikitpun tidak berlaku terus terang, lekas kau katakan!”
Kata-kata orang tua itu rupanya sangat berpengaruh,
Touw Liong sejenak merasa ragu-ragu, akhirnya ia berkata
juga sambil menghela napas:
”Kepandaian ilmu silat boanpwee sekarang ini telah
dimusnahkan oleh orang, boanpwee hanya pikir....”
Wajah orang tua itu sedikit berubah, ia bertanya dengan
suara terkejut:
”Apa kau ingin aku memulihkan kepandaian ilmu
silatmu?”
Touw Liong menganggukkan kepala.
”Inilah merupakan suatu pekerjaan besar yang sangat
memboroskan kekuatan tenaga dalam, sedikitnya harus
menggunakan setengah dari kekuatan tenaga dalamku.
Apalagi masih memerlukan waktu dua belas jam lamanya.”
”Maka itu boanpwee tadi sudah menganggp bahwa
permintaan boanpwee ini agak keterlaluan,” berkata Touw
Liong sambil tertawa getir.
Ia perlahan-lahan menundukkan kepalanya, seolah-olah
semua harapannya sudah kosong.
Alis yang panjang dari Hui Eng bergerak-gerak,
kemudian berkata:
”Aku si orang tua seumur hidupku belum pernah
melanggar hati nuraniku. Aku tadi sudah berjanji akan
menerima permintaanmu, maka aku harus
melaksanakannya. Apalagi urusan ini dapat kulakukan
dengan kekuatan tenagaku sendiri. Barangkali inilah yang
oleh kaum golongan Buddha disebut jodoh! Kau tidak
datang lebih pagi atau lebih lambat, pada saat aku habis
waktu pertapaanku kau menerjang masuk!”
Touw Liong hanya bisa tergugu, ia sebetulnya ingin
memberitahukan kepada orang tua itu apa yang terjadi di
markas Pak-bong-san, tetapi ia juga khawatir apabila Hui
Eng keluar, Pek Thian Hiong dan lain-lainnya pasti akan
binasa di tangannya semua.
Ia mempertimbangkan baik-baik suasananya. Pelajar
Seribu Muka meskipun terluka, tetapi ada Lo Yu Im yang
mengikuti dan mungkin bisa melindunginya, jadi tidak
sampai terjadi bahaya bagi dirinya. Sementara mengenai
orang yang masih di dalam rimba buah Tho, kekuatan dan
kepandaian Kakek Seribu Muka berimbang dengan Anak
Sakti dari Gunung Bu-san, sedangkan Sepasang Burung
Hong dapat mengimbangi orang yang lainnya. Pek Thian
Hiong meskipun sudah terluka, tetapi jikalau empat
pelindung hukum Golongan Pak-bong mau turun tangan,
Pek Thian Hiong rasanya masih sanggup menghadapi.
Maka dari itu keadaan di dalam rimba buah Tho untuk
sementara mungkin masih bisa dipertahankan dalam
keadaan berimbang, sedangkan ia sendiri justru dapat
menggunakan kesempatan itu untuk menahan Hui Eng
supaya jangan keluar dari tempat pertanyaannya di goa.
Setelah Touw Liong mengambil keputusan demikian,
maka ia berlutut di tanah seraya berkata:
”Jika locianpwee sudi memberikan pertolongan, budi ini
seumur hidupku tidak akan kulupakan.”
”Dalam soal bakat, kau dengan Kie-jie hampir tidak
berbeda jauh, tetapi dalam soal kepandaian kau sebagai
murid dari golongan Kiu-hwa di kemudian hari mungkin
bisa lebih tinggi daripadanya. Mengenai soal budi aku tak
mengharap pembalasanmu, hanya di kemudian hari saja,
terhdap orang-orang golonganku, aku harap supaya kau
mengingat tindakanku yag sudah memulihkan
kepandaianmu ini, kalau dapat disudahi, sudahilah saja,
dengan demikian tidak akan mengecewakan jerih payahku
ini.”
Touw Liong terima baik permintaan itu. Orang tua itu
lalu menarik bangun Touw Liong, suruh dia duduk di atas
pembaringan batu, pada saat itu sinar matahari menerobos
masuk lewat lubang-lubang di atas kepalanya.
Orang tua itu berkata sendiri dengan suara pelahan:
”Tengah hari, darah dan pikiran sedang mengalir ke atas,
inilah waktu yang sangat tepat untuk membangkitkan hawa
murnimu.”
Touw Liong duduk bersila mengatur pernapasannya.
Orang tua itu mengeluarkan sebuah botol yang terbuat dari
bahan tanah liat, lalu mengeluarkan dua buah pil warna
merah. Sebutir dimasukkan ke dalam mulut Touw Liong,
dan suruh ia menelannya. Sebutir lagi dimasukkan ke
dalam mulutnya sendiri. Setelah itu ia menyedot napasnya,
kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan kepada jari
tangannya. Jari itu bergerak di bagian jalan darah di dada
Touw Liong, untuk memeriksa keadaan luka pemuda itu.
Ia terus menyusuri sekujur badan Touw Liong,
kemudian berkata sambil mengerutkan alisnya:
”Cara memutuskan urat nadi seperti ini merupakan salah
satu cara yang paling ganas di dalam dunia. Jikalau itu
dilakukan terhadap orang lain, barangkali sudah binasa!
Kau boleh dikata masih panjang umurmu.”
Touw Liong mengerti, bahwa Hui Eng bertapa ialah
untuk mempelajari ilmu Tay-lo-kim-kong-kiam. Untuk
mempelajari ilmu pedang yang tertinggi itu harus memiliki
dasar kekuatan tenaga dalam yang sempurna sekali, dengan
lain perkataan, ia sekarang sudah paham betul tentang ilmu
Tay-lo-kim-kong-sian-kang, kekuatan tenaga dalamnya
sudah pasti sangat sempurna. Touw Liong yang mendapat
bantuannya untuk memulihkan kekuatan dan
kepandaiannya sesungguhnya merupakan suatu hal yang
tak terduga-duga, yang sangat menguntungkan baginya.
Sebab, di dalam dunia pada waktu itu kecuali ilmu dari
Tay-lo-kim-kong-sin-kang, hanya ilmu dari Thay-it Cinkeng
yang rasanya dapat mengimbangi.
Sedangkan dua macam ilmu yang tak ada taranya itu,
jikalau harus digunakan untuk memulihkan kekuatan
tenaga dan kepandaian seseorang, tidak mungkin kalau
pada dirinya sendiri tidak memiliki kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna. Jika kekuatan tenaga dalamnya
masih belum sempurna dan digunakan untuk memulihkan
kekuatan orang lain, bukan saja tidak bisa menyembuhkan
luka-lukanya, bahkan membawa bencana bagi dirinya
sendiri. Seringan-ringannya akan terluka parah, dan
seberat-beratnya akan binasa seketika itu juga. Maka bagi
orang yang melatih ilmu silat tidak boleh sembarangan
memulihkan kekuatan tenaga orang lain.
Mari sekarang kita balik kepada Hui Eng yang
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
memulihkan kekuatan Touw Liong.
Dalam enam jam yang pertama, mulai tengah hari
hingga malam hari sudah berhasil menyembuhkan lukaluka
di dalam urat nadi Touw Liong. Dari malam hari
sampai tengah malam ia memusatkan ilmu sinkangnya
sepenuh tenaga, dimasukkan ke jalan darah Leng-in-hiat
Touw Liong supaya kekuatan tenaga Touw Liong pulih
kembali, sementara itu Touw Liong juga menggunakan
ilmu dari golongannya untuk membantu melekaskan
hasilnya.
Dengan usaha Hui Eng dan dibantu oleh usahanya
sendiri, dalam waktu enam jam, Touw Liong dari seorang
biasa telah berubah menjadi seorang kuat dari golongan
kelas satu. Ini bukanlah suatu pekerjaan gampang, boleh
dikata suatu usaha gaib.
Hari pertama dilewatkan dengan cepat. Hari kedua
ketika sinar matahari menyusup masuk melalui lubang di
atas goa, kembali sudah waktunya tengah hari. Keringat di
jidatnya Hui Eng sebesar kacang kedele bertetes-tetes
membasahi mukanya, wajahnya yang merah perlahanlahan
berubah menjadi pucat, sepasang tangannya yang
kurus kering perlahan-lahan merosot turun dari punggung
Touw Liong. Ia mengawasi wajah Touw Liong yang sudah
mulai segar. Hatinya merasa puas, hingga unjukkan
senyumnya. Setelah itu ia menarik napas panjang, dan
buru-buru memejamkan sepasang matanya untuk mengatur
pernapasannya sendiri. Touw Liong yang duduk di atas
pembaringan batu, juga sedang memusatkan semua
pikirannya untuk memulihkan kepandaiannya sendiri.
Suasana dalam goa itu sepi sunyi, seandainya ada jarum
jatuh di atas tanah dapat didengar dengan nyata.
Sang waktu sedetik-sedetik berlalu tanpa dirasa, kira-kira
dua jam kemudian dua orang yang tadi duduk di atas
pembaringan batu itu masih tampak belum ada gerakannya
apa-apa.
Dengan tiba-tiba, dalam kamar batu dalam goa itu
terdengar suara. Itu adalah suara langkah kaki yang sangat
halus, jika tidak diperhatikan benar-benar, hampir tidak
kedengaran.
Suara itu dari jauh semakin dekat, dan perlahan-lahan
mendekati kamar tadi.
Tepat pada saat itu Touw Liong membuka lebar
matanya, saat itu ia hampir menjadi silau oleh sinar
matahari yang masuk melalui lubang. Ia memandang
kepada orang tua yang sedang duduk di depannya sambil
mengatur pernapasannya. Dari wajahnya menunjukkan
rasa bersyukurnya. Pada saat itu ia telah mengerti bahwa
kekuatan tenaga dan kepandaiannya sudah pulih kembali.
Sungguh tak dapat dibayangkan, betapa girang perasaannya
pada waktu itu. Sinar matanya bergerak-gerak berputaran
ditujukan ke luar kamar.
Pada saat itu matanya tertumbuk pada suatu
pemandangan yang sangat mengerikan hingga badannya
bergidik. Di luar kamar sejarak kira-kira lima tombak,
berdiri seorang tua berbadan bongkok, wajahnya keriputan,
rambutnya yang panjang putih bagaikan perak terurai di
kedua bahunya, namun orang itu sepasang matanya
memancarkan sinar sangat tajam. Dengan sepasang tangan
kosong ia berjalan masuk ke dalam kamar.
Dari sinar matanya yang demikian tajam, Touw Liong
dapat menduga bahwa kekuatan tenaga dalam orang tua itu
pasti tidak di bawah Hui Eng sendiri.
Entah kawan atau lawan, saat itu ia masih belum dapat
menentukan. Sedang orang tua berambut panjang itu
pelahan-lahan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Begitu
tiba di ambang pintu lantas berhenti. Kepada Touw Liong
ia membuka mulutnya dan memperdengarkan suara
tawanya yang aneh. Suara tertawanya itu telah
mengejutkan Hui Eng yang sedang mengatur
pernapasannya.
Hui Eng membuka lebar sepasang matanya, berputaran
ke wajah orang tua berambut panjang itu, setelah itu ia
membentak dengan nada dingin:
”Kukira siapa, kiranya sahabat lama yang datang
berkunjung.”
Orang tua berambut panjang itu tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata:
”Selamat bertemu! Kita masih tetap dengan cara yang
lama, seperti juga pertandingan di atas gunung Thay-san
pada enam puluh tahun berselang, dengan satu pukulan,
menentukan siapa yang menang siapa yang kalah.”
”Satu pukulan!” demikianlah Touw Liong berkata
kepada diri sendiri sambil mengerutkan alisnya. Ia lalu
maju menghampiri orang tua itu, setelah itu ia
menganngkat tangan memberi hormat seraya berkata:
”Boanpwee tidak tahu diri, ingin menyambut serangan
cianpwee.”
”Kau...” Orang tua berambut panjang itu mendelikkan
matanya, menatap wajah Touw Liong sejenak, kemudian
dengan skap menghina berkata kepada Hui Eng:
”Apakah dia boleh?”
Hui Eng tertawa dan menganggukkan kepala, kemudian
berkata:
”Anak ini jika sudah mencapai usia seperti aku sekarang
ini, kita berdua semuanya bukan tandingannya.”
Jawaban itu sangat cerdik, maksudnya ialah Touw Liong
saat itu masih bukan tandingan orang tua berambut
panjang.
Orang tua berambut panjang itu mengacungkan jarinya,
dan berkata dengan pujiannya:
”Bocah ini ada harapan, baiklah! Aku berjanji akan
bertanding satu jurus dengannya, tetapi aku jamin tidak
akan melukainya. Melukai seujung rambutpun tidak.”
Hui Eng pegang kencang ucapannya, ia berkata:
”Apa itu perjanjianmu?”
'Ya!”
Kemudian orang tua itu tiba-tiba mengerutkan alisnya
dan bertanya:
”Bocah ini pernah apa dengan kau?”
”Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa,” jawab Hui
Eng sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Orang tua berambut panjang itu agaknya terheran-heran,
ia berpaling dan bertanya kepada Touw Liong:
”Kau anak murid dari golongan mana?”
”Kiu-hwa,” jawab Touw Liong dengan sikap
menghormat.
Orang tua berambut panjang itu tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata:
”Tuhan benar-benar memberi kesempatan kepadaku.
Orang yang kucari-cari di mana-mana ternyata
didapatkannya secara tak terduga-duga, aku justru hendak
mencari Kiu-hwa Lojin untuk memperhitungkan dendaman
lama kita.”
Tpuw Liong tercengang, ia bertanya dengan sikap tetap
menghormat:
”Cianpwee dari golongan mana?”
Bab 31
Si orang tua berambut panjang itu balas menanya:
”Apakah kau pernah dengar nama Ngo-gak Sin-kun?”
Touw Liong yang sudah pernah dengar nama itu hanya
menganggukkan kepala dan katanya:
”O, kiranya adalah Ngo-gak locianpwee.”
”Bocah! Tadi kau kata bersedia menyambuti seranganku
satu kali, itulah bagus! Dahulu waktu aku mendaki
Gunung Bu-tong-san, suhumu telah membantu kawanan
hidung kerbau itu. Antara aku dengannya juga pernah
mengadu kekuatan satu kali pukulan. Tak disangka enam
puluh tahun kemudian kau telah mewakili dia menjadi
setan penasaran, ini sesungguhnya suatu hal yang sudah
sepantasnya.”
JILID 12
Dari nada dan kata-katanya, Ngo-gak Sin-kun seolaholah
sudah memastikan bahwa Touw Liong hari itu pasti
mati, tidak boleh tidak.
Sementara itu Hui Eng berkata dengan nada suara
dalam:
”Iblis tua, bagaimana, kata-katamu tadi, apakah tidak
berlaku lagi? Toh kau sudah berjanji tidak akan melukai
seujung rambutnya, bagaimana kau yang sudah demikian
lanjut, kata-katamu masih belum dapat dipercaya?”
”Baiklah!” demikian Ngo-gak Sin-kun berkata: ”Tetapi
hari ini terkecualian, biarlah hari ini aku tidak akan ambil
jiwanya, tetapi di lain waktu jikalau bertemu lagi tidak akan
dapat lagi mengampuni dirinya.”
Setelah mendengar janjinya itu, Hui Eng lantas berkata
sambil mengibaskan lengan jubahnya:
”Mari jalan!”
Ngo-gak Sin-kun membalikkan badan dan keluar dari
dalam goa, Hui Eng mengikuti dengan diiringi oleh Touw
Liong.
Di luar goa, keadaan di rimba buah Tho masih sama,
gedung-gedung di dekat rimba itu yang semula nampak
megah, diganti dengan runtuhan puing, sedang asap masih
belum padam.
Hui Eng menjerit dan menyerbu.
Touw Liong terperanjat, ia bertanya kepada Ngo-gak
Sin-kun sambil menunjuk ke gedung itu:
”Apakah itu cianpwee yang bakar?”
Ngo-gak Sin-kun menganggukkan kepala dan menjawab
dengan sombongnya:
”Membunuh orang, membakar rumah, itu tak berarti
apa-apa! Kau jangan merasa heran.”
”Berapa orang yang mati terbakar?” bertanya Touw
Liong sambil menggertak gigi.
”Waktu aku membakar bangunan itu, satu setanpun
tidak tertampak!” berkata Ngo-gak Sin-kun sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Hati Touw Liong merasa lega, tetapi ia tak habis
mengerti, Anak Sakti dari Gunung Bu-san dan Sepasang
Burung Hong yang tadi bertempur sengit entah kemana
perginya, dan lagi Pek Thian Hiong dan orang-orangnya
bagaimana meloloskan diri?
Selagi masih memikirkan kejadian itu, Hui Eng sudah
balik kembali, dengan sepasang matanya yang beringas, ia
menatap wajah Ngo-gak Sin-kun, kemudian ia mendekati
Touw Liong dan berkata kepadanya:
”Touw Liong, lekas kau layani dia sejurus saja, aku akan
menunggu untuk memperhitungkan perbuatannya dan
kejahatan itu.”
Touw Liong merasa heran, kenapa Hui Eng berlaku
demikian sabar, sambil berpikir, ia geser kakinya
menghampiri Ngo-gak Sin-kun.
Ngo-gak Sim-kun berulang-ulang memperdengarkan
suara tertawa dinginnya, dengan sikapnya yang sangat
jumawa menantikan serangan Touw Liong.
Touw Liong mengempos semangatnya kekuatan
tenaganya dikerahkan kepada kedua tangannya sambil
mengeluarkan perkataan ”maaf” ia mulai memasang kudakudanya.
Hui Eng kembali berjalan ke sampingnya, dan berpesan
dengan suara perlahan:
”Hati-hati! Ngo-gak Sin-kun tidak dapat dibandingkan
dengan orang biasa!”
Pesan itu mengandung arti, suruh ia jangan berlaku
merendah, harus menyerang dengan sepenuh tenaga. Touw
Liong terima baik. Selagi Ngo-gak Sin-kun masih tertawa
mengejek, Touw Liong pelahan-lahan sudah mendorong
tangannya.
Hui Eng menggunakan kesempatan itu minggir lima
langkah. Kekuatan tenaganya dipusatkan kepada kedua
tangannya, ia berlaku seperti hendak melindungi Touw
Liong.
Sepasang telapak tangan Touw Liong dirapatkan,
ilmunya sian-kang yang dinamakan ”membuka pintu
langit” terforsir penuh, dengan suatu gerakan ”anak kecil
menyembah patung batu”, sepasang tangannya
dirangkapkan, tiba-tiba dipentang dan dengan kekuatan
tenaganya yang sangat hebat menerang Ngo-gak Sin-kun.
Ngo-gak Sin-kun sudah tentu tidak tinggal diam, ia
menyambuti serangan tersebut, ketika dua kekuatan itu
saling beradu, Touw Liong terpental mundir tiga langkah!
Ngo-gak Sin-kun tertawa terbahak-bahak, selagi ia merasa
sangat bangga, Hui Eng menggunakan kesempatan itu
menyerang dengan hebatnya.
Serangan itu dilakukan dengan sepenuh tenaga meskipun
kekuatan tenaganya agak berkurang karena habis digunakan
memulihkan kekuatan tenaga Touw Liong, tetapi sisa
tenaganya itu ditumplek seluruhnya, dapat dibayangkan
betap hebat serangannya itu!
Ngo-gak Sin-kun yang lebih dahulu menyombongkan
dirinya dan agak lalai kepada keadaannya sendiri, ketika
serangan Hui Eng tiba ia baru mulai sadar. Tetapi
serangannya itu sudah menyentuh tubuhnya, ia hendak
merubah gerakannya untuk menyambuti serangan itu sudah
terlambat. Jalan satu-satunya hanya mengelak atau lari.
Untuk lari sudah tidak mudah lagi, sebab kepandaian
ilmu meringankan tubuh Hui Eng masih jauh di atasnya,
begitu serangannya diluncurkan, bagaikan bayangan terus
mengikuti jejak Ngo-gak Sin-kun, kemana saja Ngo-gak Sinkun
lari, serangannya itu masih tetap ditujukan ke belakang
dirinya.
Ngo-gak Sin-kun menggertek gigi, ia mengeluarkan
seruan tertahan, terpaksa menyambut serangan hebat yang
dilancarkan oleh Hui Eng.
Walaupun demikian, Ngo-gak Sin-kun masih tidak mau
menerima mentah-mentah begitu saja, selagi ia tidak bisa
melarikan diri dan terpaksa menerima gebukan itu,
sepasang tangannya dengan tergesa-gesa menggunakan
kekuatan tenaganya yang masih ada diluncurkan kepada
Hui Eng.
Pada saat Ngo-gak Sin-kun mengeluarkan seruan
tertahan, Hui Deng sendiri juga kena serangan balasan Ngogak
Sin-kun, hingga mundur terhuyung-huyung sampai
lima langkah baru bisa injakkan kaki.
Ngo-gak Sin-kun dengan mata merah mengawasi Hui
Eng tanpa berkata sepatahpun juga, buru-buru memutar
tubuhnya dan lari meninggalkan rimba buah Tho hingga
dalam sekejap mata sudah menghilang di balik bukit.
Terjadinya perubahan itu terlalu besar sekali, Touw
Liong tahu bahwa Ngo-gak Sin-kun terluka parah, ia juga
mengerti perasaan Hui Eng pada hari ini, jika ia tidak
menggunakan akal dan cara menyerang secara tidak jujur
itu, Ngo-gak Sin-kun hari itu pasti akan mendapat
kemenangan. Hui Eng yang sudah kurang kekuatan
tenaganya, pasti akan mengalmi nasib sangat buruk,
bagaimanapun juga Ngo-gak Sin-kun pasti akan
membinasakan dirinya.
Pada saat itu Touw Liong baru merasakan dadanya
mulai merasa sesak, matanya berkunang-kunang, dan
kemudian jatuh rubuh di tanah, tidak ingat orang lagi.
- O -
Ketika siuman kembali, telah kedapatan dirinya sedang
berada di dalam kamar batu itu lagi. Ia rebah terlentang di
atas pembaringan batu, matahari masuk ke dalam lewat
lubang gua di atasnya, dalam hati Touw Liong mengerti,
saat itu satu hari sudah berlalu. Ia mengenangkan kembali
apa yang telah terjadi, ia masih ingat dirinya terluka dan
jatuh pingsan, ia buru-buru menggerakkan kaki dan
tangannya, kini ia dapat kenyataan bahwa keadaannya
sendiri masih segar bugar, tidak ada perasaan sakit, maka
seketika itu juga ia lantas melompat bangun. Dan apa yang
disaksikannya? Seketika itu ia hampir menjerit. Di bawah
tanah, di hadapan pembaringan, Hui Eng sedang duduk
bersila sambil menundukkan kepala, wajahnya pucat pasi,
Touw Liong buru-buru lompat turun dan menghampirinya,
ia mengulurkan tangannya untuk meraba hidung Hui Eng,
buru-buru ditariknya kembali, dan seketika itu matanya
merah, butiran air mata mengalir turun, dan setelah itu ia
jatuh berlutut di hadapan Hui Eng.
Touw Liong mengerti, apabila Hui Eng tidak
menggunakan tenaganya untuk memulihkan
kepandaiannya, dalam pertempuran dengan Ngo-gak Sinkun,
masih belum diketahui siapa yang akan menang atau
kalah.
Touw Liong juga mengerti bahwa Hui Eng pasti terluka
parah sekali, tetapi masih membawa dirinya ke dalam gua
dan memberikan obat untuknya, bahkan mungkin juga
masih menyembuhkan lukanya.
Ia tidak berani memikir lagi, Hui Eng agaknya agak
tinggi hati dan berbuat menuruti kesukaan hatinya, tetapi
terhadap dirinya boleh dihitung sangat sayang.
Touw Liong seorang yang berperasaan dalam, ia teringat
kembali bagaimana kebaikan Hui Eng terhadap dirinya,
sehingga sesaat itu perasaan sedih tidak terkendalikan lagi,
ia menangis dan menjatuhkan diri di tanah seperti anak
kecil.
Bagaimana juga manusia yang sudah mati tidak bisa
hidup kembali. Touw Liong setelah merasa puas menangis,
akhirnya tenang kembali. Begitu membuka mata terlihat di
hadapan dirinya terdapat segumpal darah. Dengan darah
itu, jari tangan Hui Eng menulis huruf-huruf yang
bermaksud: BUNUH NGO.
Ngo, agaknya sudah menggunakan tenaga terlalu
banyak, tidak dapat digunakan lagi.
Ngo, yang dimaksudkan sudah tentu adalah Ngo-gak
Sin-kun. Dalam pesan terakhir ini, maksudnya minta Touw
Liong membunuh Ngo-gak Sin-kun untuk membalas
dendam sakit hatinya. Ini memang logis.
Touw Liong dengan hati sedih diam-diam bersumpah di
hadapan jenasah Hui Eng:
”Locianpwee, tenanglah di dalam surga! Boanpwee pasti akan
menggunakan batok kepala Ngo-gak Sin-kun untuk berziarah di
hadapan makam locianpwee.”
Ia memandang keadaan sekitar goa itu sebagai kenangkenangan
sebelum meninggalkan tempat tersebut.
Pada saat itu ia baru tahu bahwa di bagian dinding kiri
kamar itu terdapat sebuah lemari dinding setinggi tiga kaki,
lebar setengah kaki.
Touw Liong menganggukkan kepala, dalam hati
mengerti, bahwa dalam lemari itu pasti tersimpan barangbarang
berharga peninggalan Hui Eng, tetapi sekarang telah
terbuka. Jikalau bukan dibuka oleh orang luar, tentu
dibuka sendiri oleh Hui Eng sebelum menutup mata. Ia
lalu berjalan menghampiri, setelah diperiksanya saat itu ia
berdiri terpaku di hadapan lemari.
Di dalam lemari itu terdapat sebilah pedang tanpa
sarung, namun memancarkan sinarnya yang berkilauan. Di
depan pedang panjang itu terdapat empat jilid kitab.
Jilid pertama ternyata adalah kitab ilmu Thay-it sin-kang,
dan yang menjadi idam-idaman tiap orang dalam rimba
persilatan. Jilid kedua masih merupakan bagian dari kitab
Thay-it cin-keng, tetapi memuat ilmu mengganti rupa. Jilid
ketiga adalah ilmu silat yang ditulis sendiri oleh Hui Eng,
yang dinamakan Hui Eng pat-sek atau Delapan Gerakan
Garuda Terbang. Dalam kitab itu ditulis tentang ilmunya
yang membuat ia menjagoi seluruh dunia. Ilmu itu adalah
ilmunya meringankan tubuh.
Jilid keempat masih merupakan ilmu simpanan Siaoliem-
pay, dalam jilid itu ditulis tulisan-tulisan yang
mengenai ilmu silat Taylo Sin-kong-lok yang ditulis oleh
jago pedang Liu Kiam-liong.
Touw Liong memeriksa satu persatu dari empat jilid
kitab itu, semuanya merupakan pelajaran-pelajaran ilmu
silat yang menjagoi rimba persilatan pada dewasa itu, salah
satu saja jikalau muncul dalam rimba persilatan, sudah
cukup menimbulkan kegemparan bagi rimba persilatan.
Touw Liong bukanlah seorang yang tamak meskipun dalam
tangannya menggenggam empat jilid kitab rahasia ilmu silat
tertinggi, tetapi ia sedikitpun tidak tertarik untuk memiliki.
Ia mengawasi buku ajaib itu, untuk mempelajari maksud
Hui Eng membuka lemari itu.
Sudah tentu maksud dan tujuan Hui Eng membuka
lemari itu adalah ditujukan kepada dirinya, maksudnya
ialah memberitahukan padanya bahwa di dalam itu
tersimpan empat jilid kitab rahasia, tetapi ia tidak
memperhatikan pesan-pesan mengenai empat jilid kitab itu,
dengan demikian, Touw Liong menjadi serba salah, ia tidak
tahu betul maksud Hui Eng yang sebenarnya, bagaimana
sebetulnya terhadap empat jilid kitab tertinggi itu?
Tidak kecewa Touw Liong menjadi seorang cerdik dan
berbakat pada masa itu. Ia telah masukkan buku itu ke
dalam sakunya, terhadapa empat jilid kitab itu telah
mengambil suatu keputusan.
Ia tahu bahwa Dewa Arak Taysu Gila adalah murid
generasi ketiga dari jago pedang Liu Kiam Hiong, sedang ia
sendiri seharusnya murid generasi ke empat. Tentang kitab
Taylo Sin-kang ia sendiri berhak untuk menerimanya,
sedangkan ilmu Delapan Gerakan Garuda Terbang, di
kemudian hari apabila bertemu anak murid golongan Pakbong,
ia akan memberikan kepadanya.
Thay-it Cin-keng, kitab itu sudah seratus tahun lamanya
menimbulkan permusuhan beruntun-runtun, sebetulnya
menjadi hak milik siapa? Masih merupakan suatu soal yang
sangat pelik. Menurut sejarah, kitab ini paling dahulu
merupakan milik dari Bu-tong, kemudian terjatuh ke tangan
orang Siao-lim-pay, pada akhirnya diambil oleh orang
golongan Thian-san, sehingga menjadi milik golongan
Thian-san. Oleh karena Kiu-hwa termasuk pecahan dari
golongan Thian-san, maka golongan Kiu-hwa juga berhak
memiliki kitab itu.
Namun demikian, ia tidak berani menetapkan untuk
siapa, diam-diam ia telah mengambil keputusan, di
kemudian hari apabila ia pulang ke gunung Kiu-hwa, ia
akan berikan kepada suhunya Kiu-hwa Lojin, biarlah
diputuskan oleh Kiu-hwa Lojin sendiri.
Touw Liong setelah menyimpan empat jilid bukunya,
lalu mengambil pedang panjang dari dalam lemari. Melihat
gagang pedangnya, sesaat itu ia tertegun. Apakah
sebetulnya pedang itu? Di gagang pedang itu ternyata
diukir dengan tulisan dua huruf: KHUN-NGO. Begitu
melihat dua huruf itu, ia sudah hampir menjerit karena
terkejut. Ia sungguh tak menduga bahwa pedang itu adalah
pedang yang terbuat dari batu giok Khun-ngo-giok.
Dengan pedang pusaka yang tajam di tangan boleh
malang melintang di seluruh jagat. Banyak jago-jago dan
pendekar-pendekar sejak dahulu kala, berhasilnya untuk
meningkatkan kedudukannya, tiada satu yang tidak
mengandalkan pedang tajam di tangannya. Touw Liong
kalau memikirkan pedang itu adalah pedang sakti yang
membuat perhatian semua orang rimba persilatan, dalam
hati merasa bersyukur dan berterima kasih kepada Hui Eng.
Untuk mencoba ketajaman pedang itu, ia segera gunakan
untuk memapas batu di goa itu.
Batu itu lantas terbelah, bagaikan pisau memotong tahu.
Touw Liong tanpa sadar sudah berseru memuji
ketajaman pedang itu, maka saat itu juga ia lantas bertindak
dengan menggunakan pedangnya untuk memotong batu,
batu itu dibuat sebuah peti mati untuk mengubur jenasah
Hui Eng. Setelah meletakkan peti mati yang terbuat dari
batu itu, di dalam gua tersebut, ia lantas tutup pintu gua,
setelah itu ia meninggalkan tempat tersebut.
Begitu keluar dari gua, ia mencari pohon rotan, dengan
rotan yang panjang itu ia gunakan untuk turun ke bawah
gunung.
Ketika ia tiba di kota Lak-yang ia buatkan sarungnya
dengan kulit ular untuk pedangnya yang luar biasa itu,
selanjutnya dengan membawa pedang itu ia mendaki ke
gunung Kiu-hwa.
Touw Liong langsung menuju ke puncak tertinggi
gunung Kiu-hwa-san, di mana ada berdiam suhunya Kiuhwa
Lojin. Akan tetapi sebegitu jauh ia mendaki gunung,
bayangan suhunya tiada tertampak olehnya, hingga dalam
hatinya berdebaran. Buru-buru ia mempercepat langkahnya
memasuki daerah pohon cemara, ia lalu pasang mata,
gubuk kediaman suhunya masih tetap, begitu pula keadaan
di sekitarnya. Firasat tidak baik timbul dalam hati Touw
Liong, segera masuk ke dalam gubuk sambil memanggilmanggil
suhunya. Tetapi gubuk itu sepi sunyi, tiada
terdengar suara sahutan orang. Lama sekali dan berulangulang
ia memanggil suhunya, tiada terdapat jawaban sama
sekali.
Ia lalu memeriksa keadaan dalam rumah dan dalam
kamar, dan gubuk itu ternyata kosong melompong, seolaholah
sudah lama tidak ada orang yang mendiami.
Firasat buruk kembali terlintas dalam otaknya, Touw
Liong buru-buru memeriksa bagian dalam, namun di situ
juga tidak mendapatkan suhunya; hanya keadaan barangbarang
nampak morat-marit tidak karuan. Ia lalu berkata
kepada diri sendiri: ”Mungkin suhu ada urusan perlu turun
gunung, atau pergi ke bagian dalam untuk memetik daun
obat....
Tiba-tiba ia ingat bahwa dugaan itu tidak benar, Kiu-hwa
Lojin seumur hidupnya pegang teguh janjinya sendiri, ia
kata bahwa seumur hidupnya tidak akan turun gunung lagi,
ucapan itu sudah pasti akan ditaati selama hidupnya tidak
akan dirubah setengah jalan. Maka itu tidak mungkin kalau
gurunya turun gunung. Lagi pula kalau mau dikata pergi
mencari daun obat, agaknya juga tidak mungkin, sebab
kalau pergi mencari daun obat sudah tentu membawa
keranjang-keranjang atau alat-alat yang diperlukan,
sedangkan alat-alat itu masih terdapat di atas dinding. Oleh
karena itu suhunya juga tidak mungkin pergi untuk
memetik daun obat.
Berpikir demikian, dengan cepat Touw Liong
membalikkan dirinya dan keluar dari gubuk.
Di belakang gubuk terdapat sebuah gundukkan tanah, itu
merupakan satu makam yang belum lama, di situ terdapat
sebuah batu nisan. Di atas batu nisan itu ditulis suatu katakata:
MAKAM KIU-HWA LOJIN, sedangkan di
bawahnya ditulis dengan kata-kata: KANG KIE DARI
GOLONGAN PAK-BONG.
Dua baris huruf yang sangat singkat itu, seolah-olah
geledek yang menyambar di kepala Touw Liong, hingga
seketika itu ia lantas rubuh di hadapan makam sambil
berlutut dan menangis tersedu-sedu.
Suara tangisan itu sangat memilukan hati, semakin lama
suaranya semakin hampir tidak kedengaran, suaranya
semakin hampir tidak kedengaran, suaranya juga sudah
mulai serak. Pada akhirnya oleh karena terlalu sedih
hingga ia jatuh pingsan di depan makam.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat setengah bulan
saja, ia telah mengalami kematian dua orang tua yang
menyedihkan hatinya.
Entah berapa lama di dalam keadaan demikian, ketika ia
sadar kembali dan merangkak bangun dari depan kuburan,
ia mulai memikirkan dan hendak mengusut sebab-sebab
kematian suhunya.
Ia tahu bahwa orang yang mengetahui sebab kematian
suhunya mungkin hanya Kang Kie seorang.
”Kang Kie!” demikian ia berkata kepada diri sendiri.
Kang Kie adalah anak muridnya Hui Eng. Sudah tentu
merupakan salah seorang murid dari golongan Pak-bong.
Dia itu mungkin adalah pemuda yang mempunyai nama
julukan Pelajar Seribu Muka yang wajahnya mirip dengan
ia sendiri, juga yang dianggapnya sebagai saudara
kandungnya sendiri.
Dia! Sekarang kemana dia pergi?
Mungkin karena sewaktu bertanding dengan Pek Thian
Hiong di markas Pak-bong-san, ia terluka oleh serangan Pek
Thian Hiong, sehingga luka parah. Ketika itu ia lari ke
dalam goa, maksudnya tentu hendak minta kepada Hui Eng
menyembuhkan lukanya, tetapi karena jalanan ke goa kuno
itu banyak liku-likunya, mungkin dia kesalahan ingat
tujuannya, sehingga keluar lagi dari goa.
Ada kemungkinan juga, dia jatuh pingsan lagi di luar goa
dan dapat ditolong oleh Lo Yu im yang mengikuti jejaknya.
Mungkin dari situ ia dibawa ke gunung Kiu-hwa, dan
setelah tiba di gunung Kiu-hwa terjadi perubahan, hingga ia
membuatkan suhunya batu nisan di atas kuburannya....
Semakin dipikir, dianggap bahwa pikirannya itu benar.
Ia tahu bahwa saat itu kalau ia hendak menyelidiki sebab
kematian suhunya, satu-satunya jalan ialah pergi mencari
Kang Kie.
Tetapi kemana Kang Kie pergi? Kemungkinan yang
paling besar ialah dibawa pulang ke gunung Kun-lun-san
oleh Lo Yu Im.
Untuk melakukan perjalanan ke gunung Kun-lun, bagi
Lo Yu Im sudah tentu bukan soal apa-apa. Tetapi apakah
sebab sebetulnya yang menyebabkan kematian suhunya?
Andaikata ketemu dengan musuh besar misalnya, siapakah
musuh besar itu? Sebab dalam rimba persilatan dewasa ini,
kalau dihitung-hitung orang yang kekuatannya dapat
mengimbangi kekuatan Kiu-hwa Lojin dapat dihitung
dengan jari. Kecuali Panji Wulung yang merupakan diri
nenek tua yang berkerudung itu, Ngo-gak Sin-kun dan Pek
Thian Hiong, yang lain-lainnya tidak mungkin dapat
menandingi kepandaian suhunya. Sekalipun ketemu
dengan musuh lamanya, tetapi menghadapi Kiu-hwa Lojin
boleh dikata hampir tidak berdaya sama sekali.
Karena mengingat bahwa musuhnya yang dapat
membinasakan suhunya sudah psti merupakan seorang
yang memiliki kepandaian luar biasa, maka ia telah
mengambil keputusan bahwa mulai saat itu ia akan berdiam
di dalam gunung Kiu-hwa tiga bulan lamanya untuk
menunggui makam suhunya, selama tiga bulan itu ia akan
mempelajari beberapa ilmunya yang baru ditemukan.
-0-
Waktu tiga bulan dengan cepat sudah dilalui. Touw
Liong setiap hari di waktu siang dengan tekun mempelajari
pelajaran-pelajaran dalam kitab dan di waktu malam ia
bersemedi untuk memperkuat kekuatan rohaninya. Selama
tiga bulan itu ia sudah berhasil mempelajari ilmunya yang
tidak ada taranya ialah Thay-it-sing-kang.
Tay-it-cin-kang digabung dengan ilmunya dahulu, ilmu
Membuka Pintu Langit, membuat Touw Liong merupakan
seorang yang hampir sukar dicari tandingannya.
Meskipun waktu mempelajari ilmu itu sangat singkat,
tetapi sudah cukup baginya untuk mengimbangi kekuatan
orang-orang yang terkuat dalam rimba persilatan pada
dewasa itu.
Kini ia perlu turun gunung. Dengan perasaan berat ia
meninggalkan tempat yang pernah didiami sejak masih
kanak-kanak. Cinta, sayang dan perasaan terhadap Kiuhwa
Lojin hampir seperti ayahnya sendiri. Sebabnya ialah
sejak masih anak-anak ia dipungut dan dibesarkan oleh Kiuhwa
Lojin, perhubungan semacam itu sudah merupakan
perhubungan antara ayah dengan anak.
Setelah meninggalkan gunung Kiu-hwa, tujuannya yang
pertama sudah tentu menuju ke gunung Kun-lun-san. Di
sana ia hendak mencari jejak Kang Kie.
Lima hari kemudian, ia harus melewati kembali tembok
kota Keng-siang. Touw Liong tiba-tiba teringat beberapa
soal....
Kesatu, dari pelbagai petunjuk yang didapatkan, Kang
Kie kemungkinan besar adalah saudara sekandung sendiri,
menurut ucapannya dengan Pek Thian Hiong ketika berada
di markas Pak-bong-pay, Kang Kie pernah melakukan
pembunuhan terhadap sebelas orang kuat, tap perbuatannya
itu semata-mata hanya menuntut balas. Jikalau Kang Kie
itu adalah saudara sekandungnya sendiri, maka Bu-tongpay
dengan sendirinya juga merupakan musuh besarnya.
Kedua, Thay-it-cin-keng semula memang menjadi milik
Bu-tong, sudah seharusnya kalau ia pergi ke Bu-tong-san
untuk menjernihkan persoalan itu.
Ketiga, orang dari golongan Bu-tong-pay apakah tidak
ada kemungkinan lantaran salah satu sebab pergi
menyerang suhunya Kiu-hwa Lojin?
Begitu mengingat persoalannya dengan Bu-tong-pay,
maka ia lalu merubah tujuannya semula, kini ia menuju ke
gunung Bu-tong.
Kota Siang-yang meskipun masih terpisah jauh dengan
Bu-tong-san tapi bagi orang-orang berkepandaian sangat
tinggi seperti Touw Liong, jarak seperti itu bukan soal apaapa.
Ia hanya menggunakan waktu perjalanan satu hari
sudah tiba di gunung Bu-tong.
Hari kedua, ketika tengah hari, udara cerah, Touw Liong
dengan membawa pedang Khun-ngo-kiamnya yang
merupakan pedang pusaka tidak ada taranya dalam rimba
persilatan, tiba di kuil Cin-bu-tian di kaki gunung Bu-tongsan.
Dari dalam kuil itu lompat keluar delapan imam yang
usianya sudah pada setengah umur.
Imam itu masing-masing menyoren sebilah pedang
panjang yang sangat menyolok.
Delapan imam itu dengan delapan bilah pedangnya
lantas mengurung Touw Liong, satu di antaranya lantas
menegurnya dengan suara geram:
”Apakah sicu tidak tahu aturan gunung ini, hingga kau
berani masuk dengan kekerasan?”
Touw Liong menyapu delapan imam itu sejenak, tampak
delapan imam itu semuanya menunjukkan sikap galak dan
keren, tidak seperti orang-orang dari golongan Budha, maka
dalam hati agak mendongkol, dengan suara dingin
bertanya:
”Peraturan apa?”
Delapan imam itu juga tak menjawab, hanya
memainkan pedangnya, hingga pedang itu menimbulkan
angin hebat dan sinar yang berkilauan, memang benar
tampangnya sangat menakutkan. Apalagi di bawah sinar
matahari, sinar pedang itu berkilauan menusuk mata.
Touw Liong membiarkan delapan imam itu memainkan
pedangnya di hadapan matanya, sedikitpun tidak bergerak.
Satu di antaranya yang usianya agak tua, dengan nada
suara mengejek berkata:
”Percuma saja kau membawa-bawa pedang, sedangkan
peraturan golongan kita yang turun-temurun selama seratus
tahun kau belum mengerti. Jadi apa perlunya kau masih
berani mendaki gunung Bu-tong?”
Imam itu berhenti sejenak, kemudian berkata kepada
seorang imam yang berada di sampingnya, ”Turunkan
pedangnya.”
Imam itu menerima baik perintah itu, kemudian dengan
satu tangan menenteng pedang, tangan yang lain hendak
menurunkan pedang dari punggung Touw Liong.
Sebagai orang keturunan golongan Kiu-hwa, bagaimana
ia tidak tahu peraturan gunung Bu-tong-san? Golongan Butong-
san pada dua tiga ratus tahun berselang karena
kepandaiannya yang paling tinggi telah menjagoi rimba
persilatan. Dalam suatu pertandingan besar antara orangorang
dari pelbagai golongan, Bu-tong-pay berhasil merebut
juara dan mendapat tanda kepercayaan yang disebut Citliong-
leng. Selanjutnya orang-orang rimba persilatan untuk
menghormat kepada Beng-cu, maka mulai saat itu bagi
setiap orang yang hendak mendaki gunung Bu-tong-san,
begitu tiba di kuil bawah bukit Bu-tong harus menurunkan
pedangnya. Lama kelamaan, ketentuan itu dianggap suatu
peraturan bagi Bu-tong-pay, maka di bagian masuk di kuil
itu, di atas sebuah batu besar ditulis kata-kata dengan huruf
besar, yang maksudnya ialah TEMPAT UNTUK
MENANGGALKAN PEDANG, suatu pemberitahuan
bagi orang-orang rimba persilatan, supaya di situ
menanggalkan pedangnya, barulah boleh mendaki gunung.
Tetapi Touw Liong yang hari itu mendaki gunung Butong-
san ada sedikit kecualian, sebabnya ialah jikalau benar
Bu-tong-san ada menjadi musuhnya karena membunuh
ayahnya, maka menurunkan pedang terhadap musuh, itu
bukanlah seharusnya. Bagaimana nanti jika ketemu
suhunya di alam baka? Sebab lain dan yang lebih penting
ialah pedang yang dibawa Touw Liong adalah sebilah
pedang luar biasa yang dibuat incaran oleh orang-orang
rimba persilatan, maka diam-diam ia sudah mengambil
keputusan, pedang itu tak akan sembarangan ditunjukkan di
depan mata orang, kecuali jika ketemu dengan musuh besar
atau musuh tangguh, jika tidak, ia tak akan menggunakan
pedang pusaka itu secara sembarangan.
Ketika orang itu hendak mengulurkan tangannya untuk
menurunkan pedangnya, Touw Liong lantas berkata sambil
menggelengkan kepala dan tertawa:
”Tunggu dulu sahabat?”
Tangan imam yang diulurkan itu terkatung di tengah
udara, dan ia balas bertanya sambil tertawa dingin:
”Apakah sicu hendak menurunkan sendiri?”
Touw Liong mengangguk dan berkata:
”Sudah tentu! Sudah tentu! Bagaimana aku berani
merepotkan totiang?”
Meskipun mulutnya mengatakan hendak menurunkan
sendiri, tetapi ia sedikitpun tidak bergerak, sehingga imam
itu menjadi naik darah, dan berseru padanya:
”Mengapa kau tidak turunkan?”
”Sudah tentu akan kuturunkan! Aku hanya menunggu
seseorang, apabila orang tiba, aku akan menurunkan
sendiri, dengan kedua tanganku aku akan serahkan kepada
dia,” berkata Touw Liong yang masih tetap tertawa.
Imam yang usianya lebih tua berkata dengan suara
dingin:
”Sicu tunggu siapa?”
”Ciangbunjin kalian!” jawab Touw Liong dengan
sungguh-sungguh.
”Ciangbunjin kami?” berkata imam yang usianya lebih
tua itu sambil menatap Touw Liong. Setelah itu ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata pula:
”Sombong benar perkataanmu!”
Bab 32
Imam itu kembali tertawa terbahak-bahak kemudian
bertanya pula:
”Ada hubungan apa Ciangbunjin kami dengan kau?”
”Tidak ada,” jawab Touw Liong.
”Apakah sahabat lama?”
”Bukan.”
Imam itu sudah tak dapat mengendalikan hawa
amarahnya, kata-katanya juga diucapkan dengan nada
suara keras:
”Kalau begitu kedatanganmu ini sengaja mencari onar!
Hm! Dengan orang seperti cecongormu ini juga ada muka
untuk bertemu dengan Ciangbunjin kami?”
”Haa...” Touw Liong yang sudah marah
memperdengarkan suara tertawanya. Tertawa itu sungguh
hebat, hingga delapan imam yang tadi memandang rendah
dirinya ketika mndengar suara ketawa Touw Liong pada
berubah wajahnya. Semula para imam itu mengeluarkan
keringat di jidatnya, gigi mereka pada bergeretakkan,
agaknya sedang menderita sangat hebat, dan pada akhirnya,
mereka sudah tidak sanggup bertahan lagi, sehingga pada
lari serabutan mendekap telinga dan kepalanya.
Mereka lari jauh-jauh bersembunyi ke dalam kuil, dan
tidak berani unjuk muka lagi. Imam yang tadi sikapnya
sangat galak-galak, kini satupun tidak berani berkutik.
Touw Liong yang sesungguhnya sudah marah, bahkan
kemarahannya itu merupakan kemarahannya yang paling
besar selama ia berkelana di dunia Kang-ouw, semua itu
disebabkan karena makian para imam tadi yang sungguh
sangat menyinggung perasaannya.
Touw Liong berbuat demikian, bukanlah hendak
menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya, maka sesudah
merasa puas, dengan langkah lebar ia melalui batu tanda
pemberitahuan itu, dengan melalui jalan di atas gunung,
langsung menuju ke markas Bu-tong-pay.
Ia berjalan belum berapa langkah, kuil di bawah bukit
tadi, memperdengarkan suara tanda bahaya yang sangat
riuh, suara itu disusul satu demi satu sehingga menggema di
seluruh gunung.
Touw Liong berpaling, menengok kuil di bawah bukit
tadi, ia bahkan tertawa merasa bangga. Katanya:
”Kalian ini sebetulnya mencari penyakit sendiri, berlaku
demikian congkak?”
Suara tanda bahaya di kaki gunung baru berhenti, dari
kuil di puncak gunung terdengar suara genta, genta itu
menggema di tengah udara sekian lama.
Suara genta semacam itu, dalam sejarah Bu-tong-pay
jarang sekali dibunyikan.
Touw Liong tahu bahwa suara genta itu sangat aneh,
dan di luar kebiasaan, tetapi keadaan sudah menjadi
demikian rupa ia juga tak menghiraukan lagi.
Genta tua itu berbunyi sembilan kali, dan sembilan lagi
dengan beruntun sembilan kali sembilan. Di atas Bu-tongsan,
dalam waktu sekejap seolah-olah kedatangan musuh
besar. Para imam dari atas sampai ke bawah diliputi oleh
nafsu pembunuhan.
Touw Liong dengan langkah lebar, dan membusungkan
dada berjalan tiba di perut gunung, ia berhenti di hadapan
sebuah kuil yang tidak terhitung kecil. Dari jauh Touw
Liong sebetulnya sudah melihat gelagat tidak beres, tetapi ia
lihat bahwa di pintu kuil itu terpancang papan merek yang
ditulis HIAN THIAN TIAN, di lapangan yang berada di
bagian depan, berdiri banyak orang.
Orang-orang itu semuanya terdiri dari para imam, di
tangan masing-masing membawa pedang panjang yang
berkilauan. Usia para imam itu ada yang tua juga ada yang
muda, jubah mereka terdiri dari berbagai warna, ada yang
hitam ada yang hijau, kuning, dan merah.
Imam yang berjubah warna merah hanya seorang saja,
begitu juga yang berjubah warna kuning juga seorang saja.
Touw Liong begitu melihat imam berjubah warna kuning
itu, buru-buru menurunkan pedangnya dan diserahkan
dengan kedua tangan.
Para imam yang berdiri berbaris di kedua samping,
meskipun jumlahnya ratusan jiwa, tetapi mereka menjadi
kalut.
Imam berjubah merah yang berdiri di tengah-tengah,
sedangkan di samping kiri imam berjubah merah itu
seorang imam tua berjenggot putih berjubah kuning, tangan
imam itu memegang kebutan. Meskipun usianya sudah
lanjut tetapi nampaknya masih sangat gagah dan sikapnya
masih sangat agung! Dari bawah imam berjubah kuning,
berturut-turut ada berdiri imam berjubah hijau, hitam dan
coklat.
Para imam itu pada berdiri dengan sikap tenang, hanya
mata mereka memandang Touw Liong tanpa berkedip.
Sesaat ketika Touw Liong menginjakkan kakinya di
tengah lapangan, di antara banyak imam tua itu, imam
berjubah merah itu tampak sangat marah, dengan nada
suara dingin ia berkata:
”Sicu orang dari mana? Bagaimana berani memandang
rendah kepada golongan kami, dan berani mendaki gunung
dengan membawa pedang?”
Imam yang berbicara itu mulutnya tajam, usianya sudah
enampuluh tahun ke atas, sinar matanya tajam. Dengan
sinar matanya yang tajam itu memandang Touw Liong dari
atas sampai ke bawah. Baik sikap maupun nada suara
imam itu nampaknya sangat sombong, hingga Touw Liong
yang mendengarkan merasa tidak senang.
Meskipun dalam hati Touw Liong merasa tidak senang,
tetapi sebagai murid golongan partay ternama, harus
pegang teguh peraturan. Ia tidak buru-buru menjawab,
sebaliknya dengan tergesa-gesa berjalan ke hadapan
rombongan banyak orang itu, dan lantas berhenti sejarak
lima tombak, dengan kedua tangannya menyongsong
pedang, ia membungkukkan dirinya ke hadapan imam
berjubah merah, kemudian berkata:
”Ketua golongan Kiu-hwa generasi kedua, TOUW
LIONG, atas kelancangan yang mendaki gunung Bu-tong,
harap supaya ciangbunjin memaafkan sebesar-besarnya.”
”Ciangbunjin golongan Kiu-hwa generasi kedua...?”
demikian imam berjubah merah balas bertanya sambil
tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata pula: ”Siapa
yang mengangkat kau?”
Pertanyaan imam itu bagaikan pedang tajam menusuk
ulu hati Touw Liong, sehingga membangkitkan
kemarahannya. Saat itu darahnya dirasakan bergolak
hampir saja meledak.
Kemarahan Touw Liong sudah sampai di puncaknya,
kalau ia memikirkan sakit hati suhunya, memikirkan
suhunya pada empatpuluh tahun berselang, oleh karena
perbuatan Ngo-gak Sin-kun yang menimbulkan huru-hara
di gunung Bu-tong, dan ia harus turun tangan untuk
membela keutuhan Bu-tong-pay, dalam pertempuran itu ia
berhasil mengusir Ngo-gak Sin-kun.
Imam berjubah merah itu adalah ketua golongan Bu-tong
yang sekarang, gelarnya It-tiem totiang. Touw Liong
marah kepada It-tiem, karena perkataan It-tiem yang
menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Menurut
aturan, setelah Touw Liong mengatakan dirinya sebagai
ketua generasi kedua dari golongan Kiu-hwa, ia seharusnya
sudah mengerti kalau Kiu-hwa Lojin sudah mangkat. Ittiem
dengan kedudukannya sebagai ciangbunjin, atau ketua
golongan Bu-tong-pay, seharusnya ia mengenal budi dan
kebaikan orang, seharusnya ia menghibur beberapa patah
kata kepada Touw Liong. Tak disangka ia bukan saja tidak
menghibur, malah mengejek dan memaki Touw Liong,
apakah itu tidak membangkitkan kemarahan Touw Liong?
Touw Liong yang sudah marah, selagi hendak bertindak,
tiba-tiba melihat imam tua berbaju kuning itu maju
selangkah dan memberi hormat kepada ciangbunjinnya
seraya berkata dengan suara perlahan:
”Hamba ada sepatah dua patah kata hendak menanya
kepada lotayhiap.”
Touw Liong terpaksa menahan sabar, matanya dialihkan
kepada imam tua berjubah kuning.
Kata-kata yang keluar dari mulut imam tua berjubah
kuning tadi, seolah-olah sangat berwibawa, maka imam
berjubah merah itu buru-buru menjawab sambil
membungkukkan badan:
”Susiok, silahkan.”
Imam tua berjubah kuning itu lalu berpaling dan
memberi hormat kepada Touw Liong, setelah itu ia
berbicara dengan nada suara sedih:
”Touw tayhiap! Bagaimana? Apakah suhumu sudah
mangkat?”
Mendengar pertanyaan itu, mata Touw Liong berkacakaca,
ia maju beberapa langkah menghampiri imam tua itu,
kemudian jatuhkan diri berlutut di hadapannya, dan
menjawab dengan nada suara sedih:
”Boanpwee seorang murid yang tidak berbakti, ketika
urusan boanpwee melakukan perjalanan ke gunung Pakbong-
san, suhu telah mangkat hingga tidak dapat
menyaksikan dan mengurus sendiri jenasah suhu.”
”Oh?” demikian imam tua berjubah kuning mengeluh,
lalu mendongakkan kepala memandang awan-awan di
langit, setelah itu ia menarik napas panjang, dan terkenang
kembali pada kejadian di masa yang lampau. Empat puluh
tahun berselang, waktu itu Ngo-gak Sin-kun setelah
melakukan pembakaran penyimpanan kitab di gereja Siaolim-
sie, lalu mengirim utusan ke Bu-tong-san untuk
mengirim surat tantangan. Waktu itu, oleh karena
kekuatan Bu-tong-pay sudah banyak berkurang, sebab
dalam pertempuran perebutan kitab Thay-it-cim-keng
dengan Tiga Garuda dari golongan Pak-bong, banyak dari
tujuh pahlawannya yang terluka atau meninggal dunia,
hanya tinggal ciangbunjinnya Giok-ceng-cu dan lima
sutenya Thian-hian-cu yang lukanya waktu itu masih belum
sembuh, maka di dalam keadaan demikian, Bu-tong-pay
terpaksa mengirim orang dengan membawa surat ketua
Giok-ceng-cu ke gunung Kiu-hwa.
Kiu-hwa Lojin setelah menerima surat itu buru-buru
pergi ke gunung Bu-tong. Apa mau, ketika Kiu-hwa Lojin
tiba di gunung Bu-tong, Ngo-gak Sin-kun sudah mengobrakabrik
sedemikian rupa kuil Bu-tong-san. Kuil yang
merupakan markas besar Bu-tong-pay sudah terbakar
musnah, masih untung dalam peristiwa itu tak ada korban
manusia.
Begitu Kiu-hwa Lojin tiba, Ngo-gak Sin-kun sangat
marah, sementara itu Giok-cin-cu yang berhadapan sendiri
dengan Ngo-gak Sin-kun, baru dua jurus sudah dikalahkan.
Kiu-hwa Lojin segera turun tangan, ia menerangkan
kepada Ngo-gak Sin-kun bahwa ia sanggup menyambuti
serangan lima jurus dari Ngo-gak. Apabila Ngo-gak yang
menang, ia boleh berbuat sesuka hatinya, tetapi apabila
kalah, ia harus berlalu dari situ, dan selanjutnya tak boleh
lagi mengganggu partay Bu-tong.
Dalam pertandingan itu Kiu-hwa Lojin menggunakan
ilmunya yang terampuh Kiu-hwa sin-kiam. Dengan
ilmunya itu ia dapat menyambuti serangan Ngo-gak Sinkun
yang orang lain tidak sanggup menyambuti.
Selesai pertandingan, Kiu-hwa Lojin sudah merasa letih
sekali, jika pertandingan dilangsungkan, dia pasti akan
kalah. Oleh karena sudah ditetapkan di muka, maka Ngogak
Sin-kun terpaksa berlalu sambil menggertek gigi.
Dengan demikian, Bu-tong-san juga terjamin
keselamatannya.
Bu-tong-pay karena merasa menanggung budi besar
kepada Kiu-hwa Lojin, maka menghadiahkan Kiu-hwa
Lojin suatu kehormatan yang tertinggi. Setiap anak murid
Kiu-hwa Lojin, di kemudian hari apabila mendaki gunung
Bu-tong boleh langsung menuju ke pendopo Sam-ceng-tian
dengan membawa pedang, tidak terikat peraturan yang
harus menanggalkan pedang sebelum mendaki gunung.
Orang-orang rimba persilatan yang mendapat
kehormatan seperti itu jumlahnya tidak banyak, waktu itu
hanya dua orang saja, kecuali Kiu-hwa Lojin, yang lain
adalah ketua dari Siau-lim-pay.
Dan imam tua berjubah kuning itu justru Thian-hiang-cu
yang pada empat puluh tahun berselang pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Ngo-gak
Sinkun menguasai pendopo Sam-ceng-tiam. Teringat jasa
Kiu-hwa Lojin yang berhasil menyelamatkan Bu-tong-pay
dari malapetaka, imam tua berbaju kuning itu mengucurkan
air mata. Dengan hati sedih ia membangunkan Touw
Liong.
”Susiok!” demikian It-tiem maju menghampiri,
memanggilnya dengan nada suara tidak senang.
”Ciangbunjin ada keperluan apa?” bertanya Thian-hiancu
sambil berpaling.
”Tit-jie ada suatu permintaan yang kurang patut, bocah
she Touw ini....”
Thian-hian-cu mengulurkan tangannya, melarang
Ciangbunjin itu melanjutkan kata-katanya. Ia berkata
sambil mengangguk-anggukkan kepala:
”Sebagai murid, harus melanjutkan tugas gurunya,
begitu pun jasa-jasanya. Touw tayhiap sudah menjadi
ciangbunjin generasi kedua golongan Kiu-hwa, ia berhak
mendaki gunung dengan membawa pedang.”
Kata-kata Thian-hian-cu ini jelas membela kedudukan
Touw Liong.
It-tiem totiang menunjukkan sikap kurang senang. Ia
membantah ucapan Thian-hian-cu, katanya:
”Sepuluh partay dalam rimba persilatan belum pernah
dengar ada golongan Kiu-hwa termasuk di dalamnya, maka
orang she Touw ini belum boleh terhitung sebagai
ciangbunjin. Ia secara lancang mendaki gunung membawa
pedang, bagaimanapun juga kita tidak boleh tinggal diam.”
Thian-hian-cu terpaksa diam. Jelas bahwa ucapan tadi
membuat tidak senang kepada sutitnya yang kini menjabat
ketua golongan Bu-tong. Karena ia mengingat bahwa It-tim
meskipun tingkatannya sebagai sutit, kemenakan dalam
seperguruan, tetapi karena kedudukannya sebagai ketua,
maka ia tidak berani membantah. Ia buru-buru
menundukkan kepala dan berdiri tegak kemudian ia balik
kembali ke rombongannya.
It Tiem melihat susioknya sudah menyerah wajahnya
menunjukkan perasaan bangga. Ia perdengarkan suara
tertawa dingin kepada Touw Liong, kemudian berkata:
”Bawa kemari! Serahkan pedangmu! Kemudian,
hmmm! Dengan memandang muka gurumu,
kuperintahkan kau segera meninggalkan gunung ini.”
Meskipun Touw Liong bersifat baik, tetapi karena
kelakuan It Tiem yang kurang ajar terhadap suhunya dan
tidak mengenal budi orang, maka saat itu hawa amarahnya
lantas timbul. Ia mendongakkan kepala dan mengeluarkan
siulan panjang, dengan satu tangan menggenggam gagang
pedang, dan satu tangan menggenggam sarungnya, ia
hendak menghunus keluar pedang pusakanya.
It Tiem seolah-olah tidak sadar, ia miringkan kepala,
sesaat kemudian delapan imam berbaju hijau berputaran
dengan pedangnya dan maju mengurung Touw Liong.
Suasana menjadi gawat, Touw Liong sudah tak dapat
mengendalikan hawa amarahnya lagi, dengan tiba-tiba
melihat jenggot perak dari Thian-hian-cu, hingga hatinya
lemas kembali. Ia menarik napas panjang sementara dalam
hatinya berpikir: Apakah aku boleh menempatkan
kedudukan yang menyulitkan bagi imam tua ini?
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, katanya
perlahan-lahan:
”Semua orang dari rimba persilatan tahu bahwa Kiu-hwa
masih merupakan sedarah daging dengan golongan Thiansan,
dan kini golongan Thian-san sudah mulai rontok,
sehingga kedudukannya diteruskan oleh Kiu-hwa, ini
memang sudah selayaknya dalam rimba persilatan.
Sewaktu suhu masih ada, baik ilmu kepandaiannya maupun
kepribadiannya, semua berada di atas sepuluh partay. Oleh
karena suhu tiada maksud untuk menjagoi di dunia Kangouw,
maka suhu jarang sekali menyampuri urusan dunia
Kang-ouw, hal ini merupakan suatu kenyataan. Kalau mau
dikatakan bahwa Kiu-hwa tidak termasuk salah satu partay,
kalau begitu aku numpang tanya kepada totiang, ilmu
pedang Kiu-hwa kiam-hwat dari golongan kami, itu
keluaran dari golongan mana?”
It Tiem totiang tertawa terbahak-bahak dan berkata:
”Semua orang rimba persilatan, siapa yang tidak tahu
bahwa ilmu pedang Kiu-hwa kiam-hwat gurumu berasal
dari ilmu pedang Bwan-leng-kim-kwat-kiam-hwat dari
golongan Thian-san!”
”Apakah Thian-san termasuk dalam sepuluh partay yang
totiang maksudkan?” bertanya Touw Liong.
Pertanyaan itu telah membuat It Tiem diam tidak
sanggup menjawab. Ini disebabkan karena golongan Thiansan
pada seratus tahun berselang sudah terhitung salah satu
partay besar dalam rimba persilatan.
”Totiang ternyata seorang yang kurang pengetahuan,
pantas! Pantas! Semua orang rimba persilatan tahu, kami
golongan Kiu-hwa, sebaliknya totiang berpendirian lain,
dan tidak kenal, ini benar-benar sangat mengherankan
orang,” berkata Touw Liong sambil tertawa.
Kata-kata Touw Liong itu sangat pedas, maka It-tiem
sesaat itu mendapat malu besar. Dalam murkanya maka ia
berlaku nekad, ia berkata sambil tertawa dingin berulangulang:
”Sekalipun kalian orang-orang golongan Kiu-hwa, dalam
rimba persilatan mendapat satu kedudukan, kau orang she
Touw kalau menjabat sebagai ketuanya, sudahkah kau
memberitahukan kepada rimba persilatan?”
Touw Liong mengertilah, bahwa imam itu memang
sengaja mencari onar. Ia juga tak mau meladeni orang
semacam itu. Kenyataannya ketika Kiu-hwa Lojin wafat,
Touw Liong justru berada di gunung Pak-bong. Dari
tempat yang begitu jauh, sedangkan kematian suhunya saja
masih belum tahu, bagaimana harus memberitahukan
kepada dunia rimba persilatan?
”Touw Liong kali ini mendaki gunung Bu-tong justru
hendak memberitahukan kepada semua partay dan
golongan rimba persilatan, dan mengabarkan mangkatnya
suhu kepada totiang sekalian. Kenyataannya memang
begitu, aku tidak suka banyak membantah, terserah
bagaimana anggapan totiang. Bagaimanapun juga pedang
di atas punggungku ini, jika aku tak suka menyerahkan,
apakah totiang hendak...?”
It-tiem perlihatkan tertawa iblisnya, ia memotong
perkataan Touw Liong:
”Pada dewasa ini, kecuali bintang di atas langit yang kita
tak bisa mengambil, jangankan hanya sebilah pedang di atas
punggung sicu, sekalipun batok kepala sicu, pinto yakin
juga bisa mengambilnya.”
Betapapun sabarnya Touw Liong, juga tidak sanggup
menerima kata-kata It-tiem yang keterlaluan itu, maka
sesaat itu lantas naik darah, ia berseru: ”Bagus!” dengan
suara nyaring kemudian berkata:
”Aku orang she Touw ingin tahu apa yang Totiang bisa
perbuat terhadapku?”
Ia berdiri di tempatnya dengan sikap gagah, sedikitpun
tidak bergerak.
Sepasang mata It-tiem memancarkan sinarnya yang
tajam dan dingin, terus berputaran pedang di atas punggung
Touw Liong.
Dengan tiba-tiba ia mengebut-ngebutkan lengan
jubahnya, delapan imam berbaju hijau segera bergerak
untuk kembali ke tempatnya.
It-tiem melambaikan tangannya, seorang kacung berbaju
hijau muncul dari rombongan imam, dengan sepasang
tangan ia menyerahkan sebuah pedang kuno kepada It-tiem
sambil berlutut.
It-tiem dengan tangan memegang pedang, kemudian
perintahkan kacung itu kembali.
Sambil membawa pedangnya, It-tiem menunjuk sebuah
puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit, kemudian
berkata:
”Di atas puncak gunung itu, ada makam suhu. Hari ini
apakah kau da hak mendaki gunung dengan membawa
pedang, apakah kau bisa undurkan diri dalam keadaan
utuh? Biarlah arwah suhu yang menjadi saksi, kalau kau
bisa mengalahkan aku, aku tak bisa berkata apa-apa, karena
itu aadalah maksud suhu, It-tiem terpaksa menyerah, tetapi
jikalau aku yang menang, tidak bisa lain, dengan menurut
peraturan kami sejak seratus tahun, aku minta kau Touw
tayhiap meninggalkan pedangmu.”
Touw Liong menerima baik perjanjian itu. It-tiem lalu
mengibaskan tangannya, rombongan imam itu pada
bubaran hanya tinggal imam tua berbaju kuning yang masih
berdiri di tempatnya tidak bergerak.
Touw Liong berjalan menghampiri, memberi hormat
kepada imam tua itu seraya berkata:
”Harap locianpwe pinjamkan pedang locianpwee untuk
boanpwee pakai!”
Thian-hian-cu menyerahkan pedangnya kepada Touw
Liong sambil mengangguk-anggukkan kepala: ”Bocah ini
seorang yang jujur, tidak kalah dengan gurunya. Dalam
suasana begini sekalipun dihina demikian rupa, ia masih
tidak lekas menggunakan pedang pusakanya sendiri untuk
menghadapi lawan....”
Pedang pusaka Khun-ngo-kiam di punggung Touw
Liong adalah pedang pusaka luar biasa. Sebagai pedang
pusaka sudah tentu ada tanda-tandanya, sedikit saja keluar
dari sarungnya, menimbulkan sinar berkilauan, meskipun
bagi orang lain dianggapnya biasa saja, tetapi bagi seorang
ahli pedang kenamaan seperti Thian Yan Cu, segera dapat
mengenali barang pusaka itu.
Selagi Thian Yan Cu masih memikiri pemuda itu, It-tiem
dan Touw Liong sudah bergerak meninggalkan kuil, lari
menuju ke puncak gunung tertinggi. Maka imam tua itu
hanya dapat mengawasi berlalunya dua orant itu sambil
menghela napas.
-0-
Di atas puncak gunung yang ditunjuk oleh It-tiem tadi
diliputi oleh kabut tebal. Puncak gunung yang menjulang
tinggi ke langit, keadaannya sangat berbahaya.
Puncak itu tidak begitu luas, hanya kira-kira tiga bau
saja. Di bagian utara terdapat sebuah makam, di atas batu
nisannya tertulis dengan beberapa huruf, yang
menunjukkan bahwa makam itu adalah makam Giok Ceng
Cu, ketua generasi kedua belas dari partay Bu-tong-pay. Di
kedua sisi makam itu terdapat dua buah bangunan batu. Di
sebelah selatan ada kira-kira sepuluh lebih pohon cemara.
Tempat itu keadaannya rindang, di bawahnya tumbuh
rumput tebal. Sedang di hadapan makam itu terdapat
sebidang tanah rumput yang cuup luas.
It-tiem yang lebih dahulu tiba di puncak gunung itu,
begitu tiba lalu langsung menuju ke depan makam.
Tindakannya disusul oleh Touw Liong, maka keduanya
lalu berlutut ke hadapan makam. Setelah selesai
sembahyang, It-tiem melompat bangun dengan membawa
pedangnya. Tanpa berkata apa-apa, ia sudah mulai
membuka serangannya dengan satu gerak tipu yang belum
pernah dilihat oleh Touw Liong.
Touw Liong sangat terperanjat, sehingga mengeluarkan
seruan di mulutnya.
It-tiem berkata sambil tertawa mengejek:
”Orang she Touw! Sebaiknya kau mengunakan
pedangmu sendiri, sebab ilmu pedangku ini tak ada duanya
di dalam dunia. Begitu kumainkan, kau barangkali tidak
dapat mempertahankan kepalamu sendiri.”
Kata-kata It-tiem itu seolah-olah sudah memastikan
bahwa Touw Liong pasti akan mati di bawah serangan
pedangnya.
Touw Liong yang beradat tinggi hati dan keras kepala,
ketika mendengar ucapan jumawa It-tiem tadi, ia malah
tidak mau menggunakan pedang pusakanya sendiri, sebab
jikalau ia berbuat demikian, sekalipun menang juga akan
menjadi tertawaan lawannya, dikatakannya kemenangan
itu karena mengandalkan senjatanya yang tajam. Selain
daripada itu, hingga saat itu ia masih belum tahu benar
perangai dan kelakuan It-tiem, setidak-tidaknya It-tiem
masih belum merupakan seorang yang terlalu jahat dan
tidak boleh diampuni dosanya. Maka ia tidak mau
menggunakan pedang saktinya untuk menghadapi
lawannya.
Touw Liong dengan pedang di tangan, setelah
mengetahui lawannya sudah siap, iapun menyiapkan diri
dengan gerakan pembukaan dari golongan Kiu-hwa.
Setelah itu ia mempersilahkan It-tiem melakukan serangan
lebih dahulu.
It-tiem memperlihatan ketawa iblisnya, sepatah katapun
tidak menjawab, dengan tangan kiri menuding Touw
Liong, dan pedang di tangan kanan secepat kilat sudah
menyerang Touw Liong.
Serangannya itu dilihat sepintas lalu hanya merupakan
suatu gerakan biasa saja, sebetulnya di dalamnya
mengandung banyak sekali perubahan, dari satu gerakan
bisa berubah menjadi tiga, tiga berubah lagi menjadi
sembilang, dan demikian seterusnya. Seolah-olah
meluncurnya air sungai, hingga membuat Touw Liong
terdesak dan terpaksa mundur berulang-ulang, dengan
pedangnya ia berusaha menutup dan melindungi diri
sendiri, dengan demikian ia hanya berusaha dulu untuk
memperkuat kedudukannya, sedikitpun tidak memperoleh
kesempatan untuk melakukan serangan pembalasan.
Dengan tiba-tiba Touw Liong teringat gerak tipu yang
digunakan oleh It-tiem itu bukanlah gerak tipu ilmu pedang
dari golongan Bu-tong. Ia mulai menganalisa setiap
gerakan yang dilancarkan oleh It-tiem dari beberapa ahli
pedang kenamaan dalam rimba persilatan. Ilmu pedang
seganas dan sekejam itu hanya terdapat dalam kitab Thay-it
Cin-keng. Hanya ilmu pedang itulah yang dapat disamakan
dengan ilmu pedang yang digunakan oleh It-tiem.
Setelah mengetahui benar dari mana asal-usul ilmu
pedang itu, maka ia lantas berseru:
”Thay-it Sin-kiam!”
It-tiem merasa sangat bangga mendengar disebutnya
ilmu pedang itu, maka ia terbahak-bahak dan kemudian
berkata:
”Tepat, Thay-it Sin-kiam, dalam rimba persilatan pada
dewasa ini, merupakan ilmu pedang yang tidak ada taranya,
hanya satu-satunya dan tak ada duanya.”
Touw Liong karena dalam babak pertama itu sudah
meleset perhitungannya, maka ia terdesak mundur dan
tidak dapat membalas sama sekali tapi setelah mengetahui
dari mana asal-usul ilmu pedang itu, ia buru-buru
menggunakan ilmunya Thay-it Sin-kang kepada lengan
tangan kanannya, lalu disalurkan ke ujung pedangnya dan
dengan sangat hati-hati sekali ia menggunakan ilmu pedang
perguruannya ialah ilmu pedang Kiu-hwa Kiam-hoat,
untuk membendung serangan ganas lawannya.
Dalam hal ilmu silat, sedikit saja selisih, bisa
menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Memang
benar, Touw Liong sudah pernah mempelajari ilmu Thay-it
Sin-kang, tetapi ilmu pedang Kiu-hwa kiam-hoat yang
digunakan kalau dibanding dengan ilmu pedang Thay-it
Sin-kiam, yang tersebut belakangan ini lebih unggul, baik
keganasannya atau keistimewaannya. Apalagi It-tiem yang
sudah mempelajari bertahun-tahun, ia telah memainkan
dengan baik sekali. Betapapun hebatnya ilmu pedang yang
digunakan Touw Liong, juga masih berbeda jauh. Masih
untung, ilmunya Thay-it Sin-kang sudah mempunyai
latihan yang cukup sempurna, hingga untuk sementara ia
masih sanggup menahan serangan It-tiem.
It-tiem setelah melakukan serangan yang hebat, ia telah
mengetahui bahwa ilmu pedangnya yang luar biasa itu
merupakan ilmu pedang tertinggi dalam rimba persilatan,
maka seketika itu semangatnya lantas terbangun. Katanya
sambil tertawa terbahak-bahak:
”Bocah, apakah kau kuajak datang ke sini ini benarbenar
untuk menghadap ke makam suhu untuk
menentukan, hari ini kau akan meninggalkan pedang atau
akan mengundurkan diri dalam keadaan utuh?”
Touw Liong diam saja tidak menjawab.
It-tiem berkata pula:
”Ilmu pedangku ini telah kulatih dengan susah payah
selama duapuluh tahun, barulah kulatih sempurna dengan
secara diam-diam. Aku pernah bercita-cita, setelah ilmu
pedangku ini berhasil, aku akan menggunakan kepala
orang-orang yang pertama-tama menghadapi ilmu
pedangku untuk menyembahyangi pedangku. Oleh karena
itu, hari ini kau sudah ditentukan harus mati, sudah tak ada
harapan untuk bisa hidup lagi. Kau jangan timbul pikiran
bisa turun gunung dalam keadaan hidup.”
Selama berbicara itu, ia sudah melancarkan serangannya
lagi sampai lima jurus.
Touw Liong sudah tentu tidak berani berlaku gegabah,
seluruh perhatiannya dipusatkan untuk menggunakan
pedangnya guna memunahkan serangan lawannya.
Tetapi dia sekarang juga mengerti, bahwa It-tiem adalah
seorang yang berjiwa kerdil. Imam itu berhati licik,
merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan secara
diam-diam mempelajari ilmu pedang Thay-it Sin-kiam
selama dua puluh tahun, di sini sudah dapat dilihat bahwa
ilmu pedang yang termuat dalam kitab itu pada duapuluh
tahun berselang sudah berada dalam tangannya, tetapi ia
telah sembnyikan tanpa memberitahukan kepada kawankawannya
bahkan kepada ciangbunjinnya waktu itu, dan
suhunya sendiri Giok-ceng-cu juga tidak diberitahu, apalagi
Thian-hian-cu sudah tentu semakin tidak tahu.
Apabila hal itu diketahui oleh mereka berdua sudah tentu
It-tiem tak perlu mempelajari dengan secara diam-diam.
Touw Liong mengerti, bagaimana sifat It-tiem. Oleh
karena sudah mengetahui perangai imam itu, maka ia diamdiam
mawas diri dan bertekad hendak menjatuhkan
lawannya itu.
Baru saja ia mengambil keputusan demikian, It-tiem
sudah berkata lagi sambil ketawa dingin:
”Jika aku menjadi kau, sudah tentu akan menggunakan
pedang saktimu utuk melawan, perlu apa kau harus
menyiksa dirimu sendiri?”
”Jika aku menggunakan pedang pusakaku ini, aku takut
akan merusakkan pedangmu, dan totiang akan mengatakan
bahwa aku tidak tahu diri.”
”Mana! Betapapun tidak gunanya pinto, juga tak akan
mengatakan kau kalau aku tidak sanggup menyambuti
beberapa jurus ilmu pedang golongan Kiu-hwa yang tidak
berarti itu. Jikalau kau tak percaya, boleh coba saja!”
berkata It-tiem sambil menggeleng-gelengkan kepala.
”Baiklah!” berkata Touw Liong, ”Daripada menolak,
sebaiknya kuiringi saja kehendakmu!”
Sehabis berkata, dengan pedangnya ia menutup jalan
pedang lawannya, sedang tangan kirinya melancarkan
serangan tenaga dalam yang sangat hebat, sehingga
mendesak It-tiem mundur sampai tiga langkah.
Secepat kilat pedang di tangan kanan dipindahkan ke
tangan kiri, dan tangan kanannya dengan cepat pula
menghunus pedang pusakanya sendiri. Sesaat pada waktu
pedang Khun-ngo-kiamnya itu terhunus keluar, pedang itu
memancarkan sinar yang berkilauan, dan pada saat itulah
dalam tangan Touw Liong tampak pedang pusakanya yang
buat pertama kali hendak dipergunakan.
”Sungguh hebat pedangmu ini!” demikian It-tiem
memberikan pujiannya.
Dengan sebetulnya It-tiem menyuruh Touw Liong
mengeluarkan pedang pusakanya, maksudnya ialah hendak
melihat pedang apa yang dibawa oleh Touw Liong itu?
Kini setelah ia mengetahui pedang pusaka yang luar biasa
itu, maka semakin bernafsu untuk menjatuhkan lawannya,
agar dapat mengambil alih senjata Touw Liong yang tidak
ada taranya itu. Ia tahu bahwa ilmu pedang yang
digunakan oleh Touw Liong merupakan ilmu pedang biasa
dalam matanya, karena ia menganggap ilmu pedangnya
sendiri sudah mencapai ke taraf yang tak ada taranya, maka
ia tidak menghiraukan pedang apa yang digunakan oleh
lawannya, oleh karenanya ia masih tak begitu khawatir
untuk menghadapi pedang pusaka itu.
Bab 33
Setelah pedang dalam genggamannya tangannya,
semangat Touw Liong berkobar lagi. Sambil mengeluarkan
siulan panjang, ia memutar pedangnya hingga
menimbulkan hembusan angin dan percikan api, kemudian
ia berkata dengan suara nyaring:
”Harap berlaku hati-hati, pedangku ini adalah pedang
sakti yang dapat memapas segala besi bagaikan tanah,
kuharap kau suka berhati-hati menjaga pedangmu!”
”Pedang pusaka perlu diimbangi dengan ilmu pedangnya
yang luar biasa, barulah sempurna dan tampak hebatnya.
Meskipun kau memiliki pedang sakti di tangan, tapi aku
menganggapmu sebagai memegang pedang yang terbuat
dari besi rongsokan saja. Kau boleh mengeluarkan
serangan sesuka hatimu, jangan kau simpan kepandaianmu,
semua ilmu pedang golongan Kiu-hwa boleh kau keluarkan
seluruhnya,” berkata It-tiem dengan nada suara dingin, juga
mengandung hinaan dan memandang rendah kepada Touw
Liong.
Touw Liong yang mendengar ucapan sombong imam
itu, lantas naik darah, hingga sekujur badannya gemetaran.
Ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan,
pedang di tangan kirinya dilemparkan sejauh tujuh tombak
lebih. Tepat pada saat itu pedang It-tiem sudah menekan
dirinya.
Ia lalu menggerakkan pedang pusakanya untuk
menangkis serangan pedang lawannya yang sangat ganas.
Tangkisannya itu menimbulkan suara ”sreeeg”. Percikan
api semburat di sekitarnya, dan dua orang itu masingmasing
mundur selangkah.
Dalam tangan It-tiem hanya menggenggam pedang yang
sudah kutung. Pedang pusaka di tangan Touw Liong
meskipun tidak mendapat kerusakan apa-apa, tetapi lengan
bajunya telah robek, sebagian bajunya terdapat banyak
lubang oleh serangan pedang luar biasa dari It-tiem tadi.
Itu masih belum cukup, di beberapa bagian tangan Touw
Liong sudah mengeluarkan darah, ini suatu bukti bahwa ia
juga mendapat sedikit luka.
Touw Liong menghela napas, masukkan kembali
pedangnya ke dalam sarungnya.
Di lain pihak, It-tiem setelah lompat mundur ia berdiri
terpaku tidak bisa mengeluarkan suara.
Dalam pertempuran hebat itu kedua-duanya telah
terluka. It-tiem lebih unggul dalam ilmu pedangnya yang
luar biasa, tetapi pedang di tangannya telah terbabat putung
oleh pedang pusaka di tangan Touw Liong, maka sudah
dihitung kalah. Sebaliknya dengan Touw Liong, kekuatan
tenaga dalamnya cukup sempurna, ditambah dengan
pedang pusakanya yang tiada taranya, meskipun berhasil
membabat putung pedang lawannya, tetapi ia sendiri robek
lengan bajunya, bahkan mendapat sedikit luka, bagaimana
kalau ia tidak merasa gentar?
Lama dalam keheningan, akhirnya It-tiem membuka
mulut sambil tetap berdiri termangu-mangu.
”Pertandingan kita hari ini, hitung seri saja, di lain waktu
apabila ada jodoh kita boleh melakukan pertandingan lagi,
sekarang pergilah kau!”
Apa Touw Liong bisa kata? Hanya mengucapkan apa
yang perlu, setelah itu ia menghampiri pedang Thian-hiancu
yang dilemparkan dan kini menancap di sebuah pohon
cemara, setelah itu ia turun dari puncak gunung.
Kedatangannya itu disambut oleh Thian-hian-cu yang
menunggu di bawah puncak. Touw Liong mengembalikan
pedangnya kepada imam tua itu. Thian-hian-cu menghiburi
padanya beberapa patah kata, setelah itu Touw Liong minta
diri dan berlalu meninggalkan gunung Bu-tong.
Waktu itu ia berjalan menuju ke belakang gunung.
Ia juga tidak tahu kemana harus pergi, hatinya seolaholah
dibebani oleh besi berat, ia sendiri juga tak tahu,
perasaan itu suatu perasaan sedih atau apa? Dengan
menurut langkah kakinya, ia berjalan terus, dan tanpa
disadari ia sudah tiba di sebuah kupel. Selagi hendak
masuk ke dalam kupel untuk beristirahat sebentar, di
belakang dirinya seperti ada hembusan angin.
Dengan cepat ia berpaling, saat itu baru tahu bahwa ada
orang telah melompat masuk ke dalam kupel itu. Orang itu
adalah ketua Bu-tong-pay It-tiem totiang, di belakangnya
diikuti oleh delapan imam berpakaian hijau. Pada saat itu
di tangan It-tiem membawa pedang Ceng-kong-kiam.
Dalam hati Touw Liong terkejut, tetapi ia sudah
mengerti apa artinya itu. Sampai di situ, ia baru menyesali
dirinya sendiri, tidak seharusnya kukuh dengan
pendiriannya. Ia sebetulnya mendapatkan beberapa jilid
kitab mukzizat, namun tidak mau mempelajarinya, dan
sekarang setelah berjumpa dengan musuh yang lebih
tangguh dari dirinya sendiri, lalu tidak berdaya sama sekali.
Sementara itu terdengar suara desiran angin, delapan
imam berbaju hijau dengan pedang terhunus mengurung
Touw Liong di tengah-tengah.
Kali ini Touw Liong sangat berhati-hati, begitu delapan
imam itu mengurung dirinya, ia lantas menghunus pedang
pusakanya.
Waktu itu meskipun dalam hatinya terkejut, namun
sikapnya masih tenang-tenang saja, sedikitpun tidak
menunjukkan kegugupannya, sebaliknya dengan delapan
orang imam berbaju hijau itu, sikap mereka nampak sangat
tegang.
It-tiem yang berada di luar kurungan, berkata dengan
sikap menghina:
”Orang she Touw! Apa kau kira kau boleh berkeluyuran
seenakmu di atas gunung Bu-tong dengan membawa
pedang?”
”Kau mau apa?” bertanya Touw Liong dengan sikap
gagah.
”Tinggalkan pedang pusakamu itu, kita akan melepaskan
kau pergi,” berkata It-tiem sambil menunjuk pedang Khunngo-
kiam di tangan Touw Liong.
”Jika aku berkata tidak?” demikian Touw Liong balas
bertanya dengan suara bengis.
”Akan kita bunuh kau dalam sejarak lima langkah,”
berkata It-tiem sepatah demi sepatah.
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
”Bagi seorang laki-laki tidak perlu takut mati, kalau kau
hendak berbuat demikian, berbuatlah!”
It-tiem berpikir sejenak, tiba-tiba membuka matanya dan
berkata sambil menunjuk delapan imam berbaju hijau:
”Orang she Touw, tahukah kau apa namanya barisan
pedang ini?”
”Dalam rimba persilatan siapakah yang tidak tahu
barisan pedang Pat-kwa-kiam-tin dari golongan Bu-tongpay?”
It-tiem tertawa dan mengangguk-anggukkan kepala,
kemudian berkata:
”Luas pengetahuanmu. Hanya, barisan pedangku ini
bukan hanya melulu barisan pedang Pat-kwa-tin yang
sederhana, di sampingnya masih ada nama lain lagi!”
”Apalagi, coba kau sebutkan!”
”Ditambah dengan pinto, menjadi sembilan bilah
pedang....”
”Tidak perlu kau berputar-putaran, ditambah dengan kau
siapa tidak tahu, golongan Bu-tong sudah lama memiliki
barisan pedang yang dinamakan Kiu-kiong-pat-kwa-tin
yang dahulu pernah menggemparkan rimba persilatan?”
It-tiem menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Bukan! Bukan! Barisan pedang Kiu-kiong-pat-kwa-tin
sudah ketinggalan jaman, sebab sekarang sudah tidak sesuai
lagi.”
Touw Liong tercengang, sementara itu It-tiem berkata
pula dengan bangganya:
”Barisan pedangku ini adalah barisan Pat-kwa
bercampur Kiu-kiong, di luarnya ditambah Thay-it Sinkiam,
yang mempunyai perubahan tak ada habisnya. Di
dalamnya ada su-chio, di luarnya ngo-heng; dari kiu-kiong
membentang menjadi pat-kwa; di depan adalah sam-cay, di
belakang adalah liok-hap; tetapi dengan sebetul-betulnya
barisan-barisan pedang ini seharusnya dinamakan kiu-pengthay-
it-tin.”
Dalam hati Touw Liong bergidik, kalau mendengar
nama-nama yang disebutkan itu, barisan pedang ini
sesungguhnya memang hebat.
It-tiem yang menampak Touw Liong diam berpikir, lalu
berkata pula sambil tertawa:
”Orang she Touw, pinto tak akan berbuat keterlaluan,
asal kau mau meninggalkan pedangmu, pinto yang
bertujuan welas asih kepada sesama manusia akan memberi
kau suatu jalan hidup.”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Boleh! Tidak susah kau menghendaki pedang tetapi
harus tanya dia dulu, mau apa tidak mengikuti kau?”
It-tiem tertawa terbahak-bahak, kemudian
mengacungkan pedang panjangnya, dalam sekejap imam
berbaju hijau masing-masing mengacungkan pedangnya
berputar mengitari Touw Liong. Gerakan delapan imam
itu semakin lama semakin cepat, semakin memutar semakin
gesit. Sebentar-sebentar pedangnya diangkat tinggi,
sebentar-sebentar disodorkan. Touw Liong yang terkurung
di tengah-tengah yang menyaksikan perbuatan itu matanya
menjadi kabur.
It-tiem yang bertindak sebagai komando dan berdiri di
luar, dengan tiba-tiba mengacungkan lagi pedang di
tangannya, dua di antara delapan imam yang lari
berputaran itu dengan tiba-tiba melangkah kakinya ke
kanan, tangannya digerakkan, masing-masing menikam
depan dan belakang diri Touw Liong.
Tikaman itu baru setengah jalan, dengan mendadak
ditariknya kembali.
Touw Liong nampak gerakan itu hanya gerakan
pancingan saja, maka ia tetap berdiri di tempatnya,
sedikitpun tidak bergerak.
Barisan pedang itu berputar seperti semula, ketika itu
untuk kedua kali mengangkat pedangnya barisan pedang itu
mendadak berubah. Bagian depan, belakang, kiri dan
kanan, dalam waktu yang bersamaan, empat bilah pedang
ditujukan ke empat bagian jalan darah terpenting anggota
badan Touw Liong. Empat bilah pedang yang lainnya,
dengan satu gerakan yang sama, memotong Touw Liong
dari tiga jalan.
Namun gerakan itu masih merupakan pancingan saja,
serangan yang dilancarkan setengah jalan sudah ditariknya
kembali. Tetapi Touw Liong yang diserang dari empat
penjuru saat itu sudah mengeluarkan keringat dingin, sebab
di bawah keadaan demikian, betapapun hebat kekuatan
tenaga orang, betapapun tajam senjata di tangannya,
bagaimanapun dengan dua tangan tidak sanggup melayani
empat orang. Seandainya delapan imam itu menyerang
sungguh-sungguh dengan serentak, maka bagi Touw Liong
merupakan suatu tanda tanya, ia harus mengelakkan dari
empat pedang yang pertama ataukah menangkis serangan
pedang yang belakangan? Di samping itu juga masih ada Ittiem
yang berlaku sebagai komando yang tetap mengawasi
gerak-geriknya.
Empat bilah pedang yang menyerang bagian atasnya,
tidak peduli mana satu asal mengenai sasarannya, oleh
karena empat bagian jalan darah yang diincar itu
merupakan jalan darah terpenting, maka jikalau terkena
sudah pasti binasa. Empat bilah pedang yang dilancarkan
ke bagian bawahnya meskipun tidak sampai
membahayakan jiwanya, tetapi empat anggota kaki dan
tangan merupakan modal bagi manusia untuk bergerak dan
bertindak, apabila kedua tangan atau kedua kakinya terluka
bukankah seperti juga sudah mati?
Delapan imam itu seolah-olah sudah pernah dilatih
dengan keras oleh It-tiem, setidak-tidaknya, latihan itu juga
sudah mencapai delapan atau sepuluh tahun. Dan imamimam
itu terdiri dari imam-imam pilihan dari anak buah
Bu-tong-pay.
Touw Liong dengan seksama memperhatikan keadaan
barisan itu. Satu-satunya jalan baginya untuk melepaskan
diri hanya di suatu bagian yang dinamakan Pintu Langit.
Tetapi di bagian itu It-tiem berdiri sebagai palang pintu,
dan maksudnya ialah untuk mengawasi Touw Liong jangan
sampai lolos dari bagian itu.
Oleh karena itu hanya satu-satunya jalan untuk keluar,
maka kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Touw Liong.
Ia tidak menantikan sampai barisan pedang itu bergerak
lagi, lalu mendahului bertindak, pedang panjangnya
diputar, ilmunya Thay-it sin-kang dipusatkan ke ujung
pedangnya, hingga barisan pedang itu digempur oleh
hembusan kekuatan tenaga dalamnya. Delapan imam
berbaju hijau itu pada berubah wajahnya, sedang It-tiem
yang bertindak sebagai komando, mengacungkan
pedangnya dua kali.
Touw Liong memperdengarkan suara siulan nyaring,
kedua kakinya menjejak ke tanah, dan badannya melesat
tinggi ke tengah udara.
It-tiem sudah menduga tindakan Touw Liong itu, maka
begitu Touw Liong bergerak, ia sudah bertindak lebih
dahulu, badannya melesat naik dengan gerakan miring,
sebelum tiba orangnya, pedangnya digerakkan lebih dahulu
untuk menyerang dan mencegat jalan mundurnya Touw
Liong.
Sesaat kemudian terdengar suara benturan senjata tajam,
pedang di tangan It-tiem sedikitpun tidak terluka, hal ini
sesungguhnya di luar dugaan Touw Liong.
Masih untung bagi Touw Liong, karena kekuatan tenaga
dalamnya masih lebih tinggi setingkat dari lawannya,
sehingga It-tiem terpental mundur dan jatuh kembali ke
tanah.
Bagi Touw Liong sendiri juga tak mendapatkan hasil
apa-apa, meskipun ia berhasil mendorong mundur
lawannya, tetapi ia sendiri juga mendapat beberapa tusukan
di lengan bajunya, hingga di beberapa bagian terdapat
banyak lubang. Touw Liong yang sudah berhasil
mendorong mundur lawannya, tidak berani ayal lagi, sekali
lagi ia memperdengarkan suaranya yang nyaring, dengan
suatu gerakan miring ia meluncur ke suatu jalan kecil, yang
terletak di sebelah kiri kupel. Begitu kaki menginjak tanah,
ia melesat lagi, hanya tiga kali lompatan orangnya sudah
berada sejauh sepuluh tombak. It-tiem ketika menyaksikan
hal itu, tidak bisa berbuat lain, hanya menghunjamkan
kakinya di tanah sambil menghela napas, setelah itu ia
mengacungkan lagi pedangnya dan memerintahkan anak
buahnya untuk kembali mengejar.
JILID 13
Sembilan sosok bayangan orang bergerak dengan
serentak untuk mengejar Touw Liong.
Touw Liong terus kabur tanpa memilih tujuan dengan
dikejar oleh sembilan orang imam.
Dalam waktu sekejap mata, ia sudah kabur sejauh
beberapa puluh pal, sedangkan di belakangnya, sembilan
imam itu masih mengejarnya. Saat itu kedua pihak hanya
terpisah tiga puluh tombak lebih.
Touw Liong yang terus lari tanpa memilih jalan, di
bawah suatu tempat dimana terhalang oleh sebuah sungai
selebar delapan tombak lebih, Touw Liong terpaksa
merandak dan menghela napas. Ketika ia berpaling,
sembilan imam yang mengejar dirinya itu terpisah dengan
dirinya semakin lama semakin dekat. Ia mengetahui bahwa
perjalanannya sudah terputus, maka ia mendongakkan
kepala dan menyebut nama Tuhan!
Di hadapannya terhalang oleh sungai lebar, di
belakangnya ada musuh mengejar, kini ia seolah berada di
tepi maut.
Sungai itu airnya dalam, dengan kepandaian Touw
Liong pada saat itu, ia mungkin masih dapat menyeberangi
dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh.
Sekalipun ia belum dapat mencapai ke taraf yang bisa
menginjak air sungai, setidak-tidaknya ia dapat
menggunakan ranting kayu kering atau sejenisnya untuk
injakan kakinya.
Apa mau, air sungai itu mengalirnya terlalu deras,
hingga Touw Liong hanya dapat mengawasi air sungai
yang deras itu sambil menghela napas.
Dalam keadaan demikian, ia terpaksa putar otak untuk
mencari akal, tidak jauh dari tempanya berdiri, ada sebuah
pohon tua yang sudah tak ada daunnya, dalam girangnya,
ia segera lompat menghampiri pohon itu dan
memotongnya. Pohon tua itu lantas rubuh , untuk kedua
kali ia menggunakan pedangnya memotong pohon kering
itu sekira tiga kaki panjangnya, ia angkat pohon itu dan
dilemparkan ke tengah sungai.
Potongan pohon itu mengambang di atas sungai. Touw
Liong secepat kilat lompat melesat dan kakinya menginjak
ke potongan pohon tadi, beberapa kali ia bergerak lagi,
dengan demikian ia berhasil menyeberang ke tepi.
Begitu tiba di seberang, ia baru merasa lega, tetapi ketika
ia berpaling, celaka! It-tiem juga sedang menggunakan cara
yang sama untuk menyeberangi sungai.
Touw Liong yang menyaksikan itu wajahnya berubah
seketika, ia sesalkan perbuatannya sendiri tadi yang agak
gegabah, jikalau ia tadi melemparkan semua potongan
pohon itu ke dalam sungai, sudah tentu tidak dapat
digunakan oleh It-tiem.
Kini ia terpaksa mengawasi It-tiem dan delapan anak
buahnya melemparkan potongan pohon ke dalam sungai
dan hendak digunakan untuk menyeberang. Pada saat itu
suatu pikiran aneh timbul dalam otaknya, seandainya ia
menggunakan kesempatan itu ia lantas sambut It-tiem
dengan tikaman pedang, dan paksa padanya untuk terjun ke
dalam sungai, bukankah Bu-tong-san akan menjadi aman?
Ia kira pikiran itu cukup baik, tetapi ketika ia hendak
menyergap It-tiem dengan pedang terhunus, tiba-tiba
menggelengkan kepala dan kembali berpikir lain. Tindakan
semacam ini bukanlah perbuatan seorang ksatria. Akhirnya
ia tidak laksanakan pikirannya tadi, sebab perbuatan itu
sangat memalukan dirinya sendiri. Ia hanya berdiri tegak di
tepi sungai untuk menantikan datangnya musuhnya.
Sesaat kemudian It-tiem sudah lompat ke tepi sungai.
Dengan pedang Ceng-hong-kiam di tangan ia terus
menyergap Touw Liong.
Touw Liong masih berdiri tegak tidak memberikan reaksi
apa-apa, matanya hanya ditujukan kepada delapan anak
buah It-tiem yang sedang berusaha menyeberang.
It-tiem pada saat itu juga berpaling mengawasi anak
buahnya yang berusaha hendak menyeberang.
Tetapi delapan imam berbaju hijau itu agaknya tidak
berdaya, jelas bahwa kepandaian mereka belum setinggi itu,
mereka tidak berdaya untuk menyeberangi sungai yang
airnya mengalir deras.
It-tiem perlahan-lahan menghampiri Touw Liong,
katanya dengan suara perlahan:
”Kau bocah, kembali sudah kehilangan suatu
kesempatan baik!”
Touw Liong tahu bahwa yang dimaksudkan oleh
ucapannya itu ialah tadi ia tidak mau menggunakan
kesempatan selagi ia lompat naik ke tepi sungai diserangnya
dengan secara mendadak. Tetapi ia tidak berkata apa-apa
hanya mengangkat pundaknya, kemudian balas bertanya.
”Delapan pembantumu itu tidak bisa menyeberang
kemari, apa kau tidak bersedia membantu mereka?”
It-tiem menggelengkan kepala dan berkata:
”Dengan seorang diri, pinto menghadapi kau sudah lebih
dari cukup, dengan adanya mereka di sini sebaliknya malah
membuat aku repot.”
”Bagaimana urusan kita dibereskannya?”
”Pedangku ini dilihat sepintas lalu seperti pedang Cenghong-
kiam, tetapi pedang ini adalah pedang pusaka
simpanan golongan Bu-tong-pay, sebab pedangn ini adalah
peninggalan suhu, tidak gampang-gampang digunakan,
maka kusimpan di dalam lemari, dan hari ini pinto
keluarkan untuk menghadapi kau! Ha ha! Apakah kau
sudah pernah dengar bahwa Bu-tong-pay mempunyai dua
bilah pedang kuno yang dinamakan Ang-hui-kiam?”
”Ang-hui-kiam!” mengulang Touw Liong terkejut.
Pedang kuno Ang-hui-kiam ini memang benar pernah
memberikan banyak jasa bagi Bu-tong-pay dalam beberapa
kali mengadakan pertandingan pedang dahulu.
Kepandaian ilmu pedang orang-orang Bu-tong-pay telah
menundukkan lawan-lawannya, pedang kuno ini
mempunyai andil yang tidak sedikit.
Dan kini, pedang pusaka itu berada di tangan It-tiem,
diimbangi pula dengan ilmu pedangnya Thay-it-sin-kiam,
dalam rimba persilatan pada dewasa ini, barangkali tiada
satupun yang sanggup menandingi.
Seandainya mau dikata ada ilmu pedang yang dapat
mengimbangi ilmu pedang Thay-it-sin-kiam, barangkali
hanya ilmu pedang dari golongan Buddha yang dinamakan
Tay-lo-kim-kong-kiam.
Ilmu pedang Thay-it-sin-kiam unggul dalam gerakannya
yang lincah gesit dan aneh, sedangkan Tay-lo-kim-kongkiam
unggul dalam beratnya dan mantapnya. Kedua
macam ilmu pedang itu sangat berlainan, tetapi semuanya
merupakan ilmu pedang yang tertinggi dalam rimba
persilatan pada masa itu.
Touw Liong terpaksa memperhitungkan kekuatannya
sendiri, kalau ditinjau dari ketajaman, pedang Khun-ngokiam
sudah tentu lebih tajam daripada pedang Ang-huikiam,
tetapi selisihnya tidak jauh.
Dalam hal ilmu pedangnya, ilmu pedangnya sendiri dari
golongan Kiu-hwa, masih jauh jika dibandingkan dengan
ilmu pedang Thay-it-sin-kiam. Tetapi Touw Liong unggul
dalam kekuatan tenaga dalamnya.
”Pertandingan kita hari ini siapa yang kalah dan siapa
yang menang masih belum dapat ditentukan,” berkata
Touw Liong sambil menganggukkan kepala.
”Rasanya sudah dapat dipastikan!” berkata It-tiem
sambil tertawa iblis.
”Maksudmu, apa kau sudah yakin benar bahwa
pedangmu dapat menangkan pedang Khun-ngo-kiamku?”
It-tiem tertawa mengejek sambil menganggukkan kepala.
”Kalau begitu mari kita coba,” berkata Touw Liong
marah.
It-tiem tidak menyahut, ia sudah mulai siap untuk
melakukan pertempuran.
Touw Liong juga memutar pedangnya dan memasang
kuda-kuda.
Kedua belah pihak sudah siap, dan pertandingan itu
sudah dimulai. Dengan tiba-tiba, dari seberang bukit
terdengar suara siulan nyaring.
Suara siulan itu belum lenyap, dari balik bukit muncul
dua orang gadis cantik berbaju hijau.
It-tiem mengerutkan alisnya, perlahan-lahan menyimpan
kembali pedangnya. Matanya ditujukan kepada dua gadis
berbaju hijau yang sedang muncul. Touw Liong juga
menyimpan pedangnya, pandangan matanya ditujukan ke
arah dua gadis tadi.
Ketika pandangan matanya tertuju kepada salah seorang
gadis yang berbaju hijau itu, sesaat ia seperti tertegun dan
menghela napas pelahan.
It-tiem lalau bertanya sambil mengerutkan alisnya:
”Apakah kau kenal dengan mereka?”
Touw Liong menganggukkan kepala, kemudian ia
menambahkan keterangan:
”Gadis yang berjalan di sebelah kanan itu adalah adik
seperguruanku.”
”Adik seperguruanmu?” bertanya It-tiem kaget, lalu ia
menunjuk kepada gadis yang berjalan di sebelah kiri dan
bertanya pula:
”Dan yang sebelah kiri itu?”
Touw Liong mengerutkan alisnya, dengan nada
bertanya-tanya, ia berkata kepada dirinya sendiri: ”Gadis
itu mirip dengan Enci Lo. Tetapi usianya lebih muda.
Seharusnya dia itu adalah adiknya.”
It-tiem sudah tidak sabar, bertanya dengan nada suara
bengis:
”Siapakah sebenarnya gadis itu?”
”Sepasang dara Kun-lun-san bagian barat .....”
Ia hanya secara sembarangan saja menyebut kedua gadis
itu dengan kata-kata Siang-kiauw atau Sepasang Dara.
”Giok Kiauw, ataukan Lian Kiauw?”
Kiranya sepasang dara dari keluarga Lo, yang satu ialah
Lo Yu Im yang dalam keluarganya disebut Giok Kiauw,
dan adiknya adalah Lo Bi Im dengan sebutannya Lian
Kiauw. Dahulu ketua Bu-tong-pay Giok-ceng-cu pernah
mengajak It-tiem mengajukan pertanyaan seperti tadi.
”Giok Kiauw,” jawab Touw Liong sekenanya.
Ia sendiri sebenarnya juga tidak tahu, siapa yang disebut
Giok Kiauw dan siapa yang bernama Lian Kiauw?
It-tiem mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
”Giok Kiauw adatnya ramah dan lemah lembut, tetapi
Lian Kiauw agak binal dan agak aneh sifatnya.”
Sementara itu dua orang gadis berbaju hijau itu sudah
menghampiri. Touw Liong lantas maju menyambut gadis
yang di sebelah kanan, seraya berkata:
”Sumoy!”
Beberapa bulan tidak bertemu, Kim Yan tampaknya
sudah agak kurus. Sedangkan Lo Bi Im yang di sisinya
sedikitpun tidak menunjukkan sikap apa-apa.
Wajah dan sikap Kim Yan saat itu tampak dingin sekali,
ia berjalan menghampiri Touw Liong. Touw Liong ketika
mengingat ucapan yang pernah dikatakan oleh nenek
berkerudung muka yang mengaku Panji Wulung, diamdiam
bergidik sendiri. Mata Touw Liong hampir
mengeluarkan air mata, tetapi ia berusaha
mengendalikannya, maka ia berkata dengan suara sedih:
”Suhu sudah wafat!”
Di luar dugaannya, jawaban Kim Yan ternyata demikian
dingin:
”Aku tahu.”
”Dengan cara bagaimana suhu menemui kematiannya?”
bertanya Touw Liong.
”Siapa tahu?” demikian jawab Kim Yan dengan tetap
dingin.
Touw Liong agak marah, katanya dengan nada tidak
senang:
”Kalau begitu, untuk apa kau datang?”
Kim Yan sedikitpun tidak marah, ia masih dengan sikap
dan nada suaranya yang dingin menjawab:
”Untuk mencari kau!”
Touw Liong merasa heran, tanyanya:
”Ada perlu apa mencari aku?”
”Hendak pinjam pedang Khun-ngo-kiammu untuk
menuntut balas dendam bagi suhu.”
Touw Liong memberikan pedangnya, tapi sekujur
badannya gemetar.
”Tahukah kau, siapa musuh kita?” demikian Touw
Liong menanya.
”Siapa tahu?” jawab Kim Yan sambil menggelengkan
kepala dan menyambuti pedang Khun-ngo-kiam dari
tangan Touw Liong.
Touw Liong agaknya merasa kecewa, sementara itu Kim
Yan memeriksa dengan teliti pedang di tangannya, sesaat
kemudian ia menggelengkan kepala dan berkata:
”Pedang ini kurang bagus.”
:Pedang sakti yang tidak pernah ada di dalam dunia ini
masih kurang bagus?” tanya Lo Bie In heran.
Pandangan mata Kim Yan ditujukan kepada pedang
kuno di tangan It-tiem, katanya sambil menunjuk pedang
tersebut.
”Itulah baru pedang bagus.”
It-tiem mundur selangkah, mulutnya mengeluarkan
seruan terkejut.
Kim Yan tidak berkata apa-apa lagi, dengan pedangnya
Khun-ngo-kiam menuding It-tiem seraya berkata:
”Bawa kemari!”
Bab 34
”Tidak susah nona ingin mendapatkan pedangku ini,
tetapi kau harus mempertunjukkan sedikit kepandaianmu
lebih dulu,” jawab It-tim sambil tertawa mengejek.
”Sudah tentu!” kata Kim Yan, ”aku sudah menaksir
barang dalam tanganmu, ibarat orang hendak merampas
buah dari tangan monyet, jikalau tidak memiliki
kepandaian benar-benar, bagaimana dapat merampasnya?”
Sementara itu, pedang di tangannya menunjuk ke bawah
dan membuat gerakan lingkaran, kemudian dengan satu
gerakan sangat lambat gagangnya menekan ke bawah,
ujung pedang lalu menunjuk ke atas. Kaki kanannya
berpijak di tanah dan kaki kirinya diangkat, bagaikan ayam
jago yang berdiri dengan sebelah kaki. Sedang jari telunjuk
dan jari tengah tangan kirinya dikatupkan, menunjuk ke
pedang kuno Ang-hui-kiam.
Toue Liong melihat gelagat tidak beres, dari sikap Kim
Yan, benar-benar seperti aksinya orang yang hendak
merampas buah tho dari tangan monyet, sang sumoy ini
agaknya benar-benar sudah akan merampas pedang kuno
itu dari tangan It-tim.
Ia takut sang sumoy itu belum tahu kepandaian It-tim
hingga bertindak secara gegabah, ada kemungkinan
merugikan diri sendiri. Kalau pedang Khun-ngo-giok
sampai terjatuh di tangan musuh, lebih runyam lagi
akibatnya. Tetapi di bawah keadaan demikian, ia sendiri
tidak berdaya mencegah tindakan Kim Yan, tidak sanggup
melarang perbuatannya.
Dalam keadaan cemas, terpaksa menasehatinya dengan
suara lemah lembut.
”Sumoy awas! It-tim totiang sudah berhasil mempelajari
ilmu pedang Thay-it-sin-kiam dari kitab Thay-it-cin-keng.”
Dengan maksud baik ia memperingatkan sumoynya,
tetapi Kim Yan tidak menerima baik maksud itu, bahkan
perdelikkan matanya dan berkata:
”Aku tahu. Dia bisa mempelajari ilmu pedang Thay-itsin-
kiam, apakah aku tidak bisa?”
It-tim yang mendengar ucapan itu, agaknya tidak
percaya. Ia menggelengkan kepala dan berkata:
”Mustahil, kitab Thay-it-cin-keng meskipun cuma dua
belas jilid, tetapi yang memuat pelajaran ilmu pedang hanya
sejilid. Siapapun tahu bahwa ilmu pedang Thay-it-sin-kiam
terdiri dari tujuh puluh dua gerak tipu, sedangkan gerak tipu
ini sudah kudapatkan sejak dua puluh tahun berselang.
Kau kata bahwa kau juga pernah mempelajari, bukankah
itu merupakan suatu lelucon besar?”
”Kalau kau tidak percaya, boleh coba sendiri,” berkata
Kim Yan.
It-tim benar-benar tidak percaya, sambil meletakletakkan
pedangnya dalam pelukan ia berkata dengan suara
lantang:
”Gerak pertama: Memeluk Thay-kek ....”
Kim Yan segera menyambut dengan nyanyian,
”Gerak kedua: Kek terbagi menjadi delapan Gie.”
Dengan tiba-tiba It-tim menarik kembali gerakannya,
matanya berputaran, memandang Kim Yan dari atas
sampai ke bawah. Ia benar-benar tidak percaya! Kembali
menyebutkan gerak tipu dengan suara nyaring:
”Gie dilebur menjadi Sam-ceng.”
Kim Yan tersenyum, sambungnya:
”Ceng membersihkan jagat.”
It-tim tidak berani melanjutkan, matanya yang seperti
mata maling, berputaran memandang Kim Yan, tetapi
bagaimanapun juga ia tidak mendapatkan keadaan yang
aneh pada diri gadis itu. Maka hatinya lantas merasa lega,
katanya sambil mempersiapkan pedangnya:
”Kita tidak perlu mengadu mulut lagi, mari bertanding
dengan pedang, siapa yang lebih unggul!”
Kejadian itu sangat mengherankan, tetapi jelaslah sudah
bahwa Kim Yan benar-benar memang sudah pernah
mempelajari ilmu pedang Thay-it-sin-kiam.
Hati Touw Liong yang semula berdebaran, kini mulai
lega. Ia mengerti, Kim Yan yang mendapat didikan
langsung dari Panji Wulung wanita, tentunya tidak berbeda
jauh sifatnya dengan gurunya.
Selagi memikirkan diri adik seperguruannya itu, sudah
terdengar suara jawaban dari mulut Kim Yan:
”Terserah!”
Mendengar jawaban itu, It-tim mulai membuka
serangannya.
Kim Yan agaknya sudah siap, ketika It-tim melakukan
serangan, tubuhnya bergerak, mendadak menghilang dari
depan mata lawannya.
Kelincahan dan kecepatannya bergerak, sesungguhnya
sangat mengherankan, sehingga Touw Liong sendiri yang
sudah termasuk seorang tokoh kuat pada masa itu, juga
tidak tahu ilmu apa yang digunakan oleh adik
seperguruannya itu.
Bagi It-tim sendiri, yang dengan mendadak kehilangan
jejak lawannya, bukan kepalang terkejutnya. Buru-buru
memutar kaki dan menarik kembali serangannya, dan
ketika ia berpaling, sesaat menjadi kesima, karena lawannya
tadi sudah berdiri di belakang dirinya sambil memondong
pedang dalam pelukannya tanpa bergerak sedikitpun juga.
Seandainya gadis itu mau bertindak, barangkali ia sudah
terluka di tangannya.
Memikirkan itu, keringat dingin lantas mengucur keluar
membasahi sekujur badannya.
”Nonamu tetap menghendaki pedangmu itu, lebih baik
kau serahkan saja, atau kalau kau tidak mau, biar aku nanti
yang turun tangan sendiri?” berkata Kim Yan dengan nada
suaranya yang masih tetap dingin.
Wajah It-tim sebentar merah sebentar pucat. Ia berdiri
terpaku di tempatnya, tidak bisa membuka mulut.
Ia tahu hari itu ia menemukan lawan yang justeru
mengerti juga ilmu pedangnya. Tetapi sebagai ketua dari
salah satu partai besar, bagaimana harus menyerahkan
pedangnya begitu saja kepada orang lain? Apalagi, selama
hidupnya ia selalu menyombongkan kepandaiannya sendiri,
dianggapnya bahwa ilmu pedangnya yang dinamakan
Thay-it-sin-kiam itu sudah tidak ada orang lain yang
mengerti.
Matanya berputaran, satu akal licik terlintas dalam
otaknya, maka lalu berkata:
”Tidak susah nona ingin mendapatkan pedang pinto ini,
jikalau nona berani menyambuti serangan pinto sampai
sepuluh jurus, tetapi dalam sepuluh jurus ini, nona tidak
boleh melakukan gerakan atau serangan pembalasan.
Sepuluh jurus sudah habis, pinto nanti akan menyerahkan
pedang pusaka ini dalam tangan nona.”
”Kau berani pegang betul janjimu ini?” bertanya Kim
Yan dengan suara bengis.
”Pasti!”
Kim Yan menganggukkan kepala, katanya:
”Nah, kau boleh mulai!”
It-tim yang sudah memiliki kepandaian dan kekuatan
sangat tinggi, apalagi harus menjaga nama baiknya, maka
buru-buru memusatkan pikiran dan kekuatan tenaganya,
dari tujuh puluh dua jurus gerak tipu dalam ilmu
pedangnya, ia memilih gerakan-gerakan yang paling ganas,
digunakan untuk menyerang lawannya.
Sepuluh jurus serangan It-tim dengan cepat sudah habis,
tidak peduli bagaimana ganas dan hebat serangannya, selalu
dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Yan.
Dari semula hingga akhir, tidak peduli menggunakan
gerak tipu apa, tetapi serangan It-tim itu seolah-olah sudah
diketahui lebih dulu oleh Kim Yan, maka dapat
dielakkannya dengan sangat baik.
Selesai sepuluh jurus, dua-duanya lompat mundur.
Dengan wajah dingin Kim Yan mengulurkan tangannya
minta pedang dari tangan It-tim, katanya:
”Serahkan pedangmu!”
Tetapi It-tim nampaknya masih keberatanm enggan
menyerahkan. Katanya:
”Sayang! Sayang! Barang pusaka simpanan Bu-tong
secepat kilat sudah pindah tangan!”
Ucapan itu diulanginya beberapa kali, kemudian dengan
tiba-tiba alisnya berdiri, dengan nada suara dingin ia
berkata pula:
”Nona, kalau kau menginginkan pedang ini, harap kau
ikut pinto ke puncak gunung Bu-tong, nanti setelah pinto
melakukan upacara sembahyang kepada arwah para ketua
golongan Bu-tong yang terdahulu, barulah kuakan serahkan
kepadamu.”
”Jangan kau mengimpi! Hari ini, biar bagaimana kau
tak akan lolos dari tangan nonamu, sebaiknya kau serahkan
secara baik pedang itu kepadaku!” berkata Kim Yan dengan
nada suara dingin. It-tim terkejut, matanya melirik ke arah
tepi seberang, dengan tiba-tiba lompat melesat, sementara
mulutnya berkata:
”Tidak susah untuk mendapatkan pedang ini, ikutlah
aku!”
Sehabis mengucapkan demikian, pedang di tangannya
dilemparkan ke tengah-tengah sungai.
Bersamaan dengan itu, badannya bergerak dengan cepat
lompat ke tengah sungai.
Saat itu, di permukaan air sungai tampak mengambang
sepotong kayu sepanjang tiga kaki. Touw Liong waktu itu
baru tahu bahwa kayu yang mengambang di permukaan air
itu ternyata dilemparkan oleh delapan anggota golongan
Bu-tong yang mengenakan pakaian warna hijau.
Terjadinya perubahan yang tak diduga-duga itu,
sesungguhnya mengejutkan padanya, maka ia segera
berseru: ”Tunggu dulu!”
Setelah itu ia juga bergerak melesat ke arah sungai.
Tujuannya itu sudah tentu hendak mengejar dan
menyergap It-tim, di luar dugaannya selagi badannya
bergerak, tiba-tiba terdengar suara Kim Yan, lantas tampak
berkelebat bayangan merah, suatu kekuatan tenaga yang
cukup hebat melayang ke arahnya.
Touw Liong tahu benda apa yang melayang ke dirinya
itu, maka ia segera menyambutinya, bersamaan dengan itu
ia juga meluncur turun lagi ke tanah, dan berada di tempat
semula lagi.
Benda yang disambut tadi adalah pedangnya Khun-ngokiam
yang disambitkan oleh Kim Yan. Kini ia sudah
berada lagi di tepi sungai, dan pandangan matanya
ditujukan pada bayangan tadi. Saat itu bayangan merah
tadi melayang ke tengah-tengah sungai. It-tim yang
mengenakan jubah warna hijau, yang tadi bergerak lebih
dahulu, sebaliknya kini berada di belakang bayangan
merah.
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong, sesaat
kemudian, bayangan merah itu sudah menginjak kayu yang
mengambang di permukaan air, tangannya mencabut
pedang yang menancap di atas kayu itu, dengan tangannya
yang lain ia balik menyambut bayangan It-tim yang tiba
belakangan.
Serangan Kim Yan mengenakan dengan tepat hingga Ittim
terpukul dan jatuh di dalam sungai.
Gerakan Kim Yan itu sungguh hebat, setelah jatuh It-tim
ke dalam sungai, sepasang kakinya menginjak kayu yang
mengambang di permukaan air, dan ketika ia bergerak
untuk kedua kalinya sudah melesat ke tepi seberang.
Ketika badannya masih berada di tengah udara,
pedangnya sudah bergerak mendahului, dimana sinar
pedang itu berkelebatan, di situ darah pada berhamburan.
Delapan imam berbaju hijau semua terluka di ujung
pedangnya dalam keadaan kutung tangan dan kaki.
Kim Yan mengeluarkan suara siulan panjang, tanpa
menoleh lantas bergerak menuju ke puncak gunung Butong.
”Celaka! Kali ini ia naik ke gunung Bu-tong dalam
keadaan marah, markas besar Bu-tong barangkali akan
mengalami nasib buruk!” berkata Touw Liong sambil
menggebrukkan kakinya.
Pada saat itu, suara yang merdu dan halus terdengar di
samping telinganya:
”Touw tayhiap, mari kita kejar .....”
Touw Liong waktu itu baru sadar, bahwa di sampingnya
masih ada Lo Bi Im.
Ia menerima baik permintaan Lo Bi In, lalu mencari
sepotong kayu, dua orang itu dengan sepotong kayu
menyeberangi sungai. Oleh karena merasa kasihan kepada
delapan imam yang terkutung kaki dan tangannya, Touw
Liong menotok jalan darah mereka untuk menghentikan
mengalirnya darah, barulah melanjutkan perjalanannya
naik ke atas gunung.
Dalam perjalanan Touw Liong merasa sangsi terhadap
ilmu pedang Thay-it-sin-kiam adik seperguruannya, maka ia
bertanya kepada Lo Bi In:
”Nona, dengan sumoy sudah bergaul banyak hari,
tentunya mengetahui sedikit hal-hal yang mengenai diri
sumoyku itu, aku merasa sedikit kurang mengerti mengenai
kepandaian ilmu silatnya, sebab di dalam dunia rimba
persilatan, kitab yang memuat pelajaran pedang Thay-it-sinkiam
hanya ada sejilid saja, kalau kudengar dari keterangan
It-tim, jelas bahwa kitab ilmu pedang itu pada dua puluh
tahun berselang sudah terjatuh di tangannya, dengan cara
bagaimana sumoyku juga mengerti ilmu pedang itu?”
Lo Bi In tertawa geli sambil menutup mulutnya sendiri,
katanya:
”Touw tayhiap salah lihat, sumoymu sama sekali tidak
mengerti ilmu pedang itu.”
”Tidak mengerti? ....” mengulang Touw Liong terheranheran,
kemudian balas bertanya:
”Nona kata bahwa sumoyku tidak mengerti ilmu pedang
itu, mengapa terhadap ilmu pedang Thay-it-sin-kiam ia bisa
menghapalkan demikian lancar?”
Lo Bi In kembali tertawa dan berkata:
”Meskipun dia tak paham ilmu pedang itu, tetapi
terhadap hapalannya tujuh puluh dua gerakan ilmu pedang
itu sudah hapal betul.”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Aku masih belum mengerti, kalau mau dikata bahwa
sumoyku tidak mengerti ilmu pedang itu, akan tetapi tadi
ketika ia menggunakan pedangnya memunahkan sepuluh
kali serangan It-tim, mengapa demikian sempurna?”
”Memang, apa yang Touw tayhiap katakan ini,
sedikitpun tidak salah, sumoymu betul-betul tidak mengerti
ilmu pedang itu, tetapi dia pernah belajar delapan gerak tipu
yang khusus untuk memunahkan serangan ilmu pedang
itu.”
”Ow!”
”Aku tidak tahu, apakah Touw tayhiap tadi ada ambil
perhatian atau tidak, ketika sumoymu menyambuti sepuluh
kali serangan dari It-tim, hanya menyambut tetapi tidak
balas menyerang? Sedangkan ilmu pedang yang digunakan
untuk memunahkan serangan It-tim bukanlah jurus-jurus
dari ilmu pedang Thay-it-sin-kiam!”
”Aku mengerti, ia telah menggunakan berulang-ulang
delapan gerakan gerak tipu yang dia pelajari itu.”
Lo Bi In menganggukkan kepala.
Touw Liong bertanya pula:
”Tahukah nona di dalam rimba persilatan ada seorang
bernama Kang Kie?”
Lo Bi In mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak,
kemudian menjawab sambil menggelengkan kepala:
”Aku tidak kenal, juga belum pernah dengar orang
menyebutkan nama itu.”
”Apakah pada waktu belakangan ini nona pernah
melihat encimu?”
Lo Bi In menggelengkan kepala, tiba-tiba ia balas
menanya:
”Kang Kie itu orang bagaimana?”
”Sahabat encimu!”
”Manusia tidak berbudi itu selain mencuri hati enci juga
menimpa benda pusaka warisan kami,” berkata Lo Bi In
sambil menggertek gigi.
”Maksud nona apakah tentang batu Khun-ngo-giok?”
Lo Bi In mengiakan.
Dari atas punggungnya Touw Liong menurunkan
pedang Khun-ngo-kiam seraya berkata:
”Pedang ini terbuat dari bahan batu Khun-ngo-giok,
sekarang kukembalikan kepadamu, karena pedang ini
terbuat dari batu itu, maka seharusnya menjadi milik
nona.”
Dengan perasaan terkejut dan terheran-heran Lo Bi In
menerima pedang itu, lama diperhatikannya, baru menanya
dengan suara sedih:
”Siapakah yang membuat pedang ini?”
”Suhu Kang Kie.”
Lo Bi In berpikir sejenak, kemudian menggelengkan
kepala dan berkata:
”Touw tayhiap mendapatkan pedang ini secara tidak
mudah, bahkan benda tajam yang termasuk barang sakti ini
tidak tepat berada di tanganku, karena akan menarik
perhatian banyak orang. Sebaiknya Touw tayhiap berikan
saja nanti kepada enci!”
Touw Liong tahu bahwa apa yang diucapkan oleh Lo Bi
Im itu memang sesungguhnya, maka ia juga tidak menolak,
dimasukkan lagi pedang itu ke dalam sarungnya.
Selama berbicara, kuil Sam-ceng-tian sudah tampak tidak
jauh di hadapan mata mereka. Touw Liong lalu memberi
isyarat dengan pandangan mata kepada Lo Bi Im, katanya:
”Celaka! Sumoyku sudah mulai bergebrak dengan Hianhian
locianpwe!”
Kiranya waktu itu, di tanah lapang depan kuil tampak
berkelebatnya sinar pedang dan bayangan orang. Dua
sosok bayangan orang hijau dan kuning sedang bertempur
sengit.
Di luar lapangan, terdapat banyak orang yang menonton.
Ketika dua orang itu berjalan mendekati medan
pertempuran, Touw Liong lalu membentak dengan suara
keras:
”Harap berhenti dulu!”
Dua orang yang bertempur ketika mendengar suara itu
lantas pada lompat mundur. Touw Liong lantas berjalan
masuk ke dalam lapangan ketika Hian-hian menampak
kedatangan Touw Liong lalu bertanya kepadanya sambil
menunjuk pedang di tangan Kim Yan:
”Touw tayhiap, dalam tangan sumoymu ada
menggenggam pedang kuno simpanan partai Bu-tong,
sekarang bagaimana tayhiap hendak memberi penjelasan
kepada pinto?”
Touw Liong lompat maju ke hadapan Hian-hian
Totiang, berkata dengan sejujurnya:
”Pedang itu dapat direbut dari tangan It-tim Totiang
yang tadi bertanding dengan sumoy, karena dikalahkan
oleh sumoy hingga pedang itu pindah ke tangan sumoy.”
Imam tua itu tampak gemetaran tubuhnya, dari
mulutnya tercetus perkataan sengit: ”Anak durhaka!”
kemudian ia bertanya lagi:
”Sekarang kemana ia pergi?”
Selagi Touw Liong hendak menceritakan kemana
perginya It-tiem, Kim Yan sudah mendahului, dengan nada
suara dingin ia berkata:
”Sudah kupukul dan terjatuh ke dalam sungai!”
Hawa amarah imam tua itu mulai reda, katanya:
”Seharusnya kalau dia mendapat ganjaran itu!”
Touw Liong berkata:
”It-tiem Totiang belum mati, boanpwee melihat dengan
mata kepala sendiri, ketika ia terjatuh ke dalam sungai,
sudah berhasil menjambret sepotong kayu yang ada di
permukaan air, yang mengalir ke bawah dengan mengikuti
aliran air, mungkin tidak sampai mati.”
Hian-hiang Totiang dengan masih marah-marah berkata:
”Anak durhaka itu telah lancang menggunakan pedang
pusaka simpanan partai kita, dan meninggalkan kuil Samceng-
tian secara gegabah, dosa itu merupakan suatu dosa
yang tidak dapat diampuni, dan kini ia telah terkalahkan
lagi oleh orang lain, hal itu sangat memalukan dan
menodakan nama baik golongan kami.”
Touw Liong sebetulnya ingin menceritakan halnya Ittiem
Totiang yang memiliki kepandaian ilmu silat luar
biasa, tetapi setelah dipikirnya, akhirnya ia tak jadi
menceritakan. Karena ia tidak mengeluarkan maksudnya,
maka Kim Yan lalu berkata dengan nada suara tetap dingin:
”Apa yang dibuat malu? Ini adalah suatu kehormatan
bagi golonganmu.”
”Kehormatan?” bertanya Hian-hian Totiang sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
”Apa yang kau maksudkan dengan kehormatan itu?”
Kim Yan tertawa terbahak-bahak dan berkata:
”Enam puluh tahu berselang, tujuh pahlawan dari kalian
partai Bu-tong oleh karena berebut kitab Thay-it-cin-keng
bersama Tiga Garuda dari golongan Pak-bong, sehingga
harus bertempur mati-matian. Golongan Pak-bong lantaran
itu talah mengalami kehancuran total, sedangkan orangorang
dari pihak partai Bu-tong juga pada luka-luka dan ada
yang mati, akhirnya orang pada mati dan harta juga ludes.
Sedangkan kitab Thay-it-cin-keng yang dibuat rebutan itu
hingga kinipun tidak dapat direbut oleh orang-orang dari
kedua pihak!”
”Itu merupakan suatu kemaluan besar bagi orang-orang
golongan Bu-tong, karena Thay-it-cin-keng yang sudah
didapatkan hilang lagi,” berkata Hian-hiang Totiang.
Kim Yan menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Tidak benar! Partai kalian telah mendapatkan sejilid
kitab ilmu pedang Thay-it-sin-kiam!”
”Kitab ilmu pedang!” bertanya Hian-hiang Totiang
kaget.
”Partaimu bukan saja sudah mendapatkan ilmu pedang,
bahkan sudah ada orang yang berhasil mempelajarinya,”
berkata Kim Yan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
”Siapa?” bertanya Hian-hian Totiang dengan suara
keras.
”Ketuamu sendiri.”
”It-tim?” bertanya Hian-hian Totiang sambil berpaling
dan memandang kepada Touw Liong.
Touw Liong menganggukkan kepala, ini merupakan
suatu jawaban bahwa apa yang dikatakan oleh Kim Yan itu
benar adanya.
Hian-hian Totiang menggumam sendiri, kemudian
memberi hormat kepada Touw Liong dan bertanya:
”Sudikah Touw tayhiap memandang muka pinto, untuk
mengembalikan pedang kuno yang menjadi barang pusaka
golongan kami?”
Touw Liong unjukkan senyum getir, ia tidak tahu, harus
menerima baik permintaan itu ataukah menolak? Sebab
kalau menerima baik, ia takut akan kebentrok dengan
sumoynya sendiri, dan kalau menolak ia merasa tidak enak
terhadap Hian-hian Totiang, lagi pula ia tadi sudah pernah
berkata di hadapan orang-orang Bu-tong-pay bahwa ia
adalah ketua generasi kedua dari golongan Kiu-hwa,
apabila ia menerima baik, tetapi sang sumoy sebaliknya tak
mau mengembalikan, bagaimana ia harus menaruh
mukanya sendiri?”
Permintaan Hian-hian Totiang itu sesungguhnya
menyulitkan kedudukan Touw Liong. Tetapi ia adalah
seorang yang sangat cerdik, setelah berpikir sebentar, lantas
mendapatkan satu akal. Ia lalu menurunkan pedang Khunngo-
kiam dari atas punggungnya, diberikan kepada Kim
Yan dan berkata dengan suara lemah lembut:
”Kau bawa pedang ini untuk melakukan tugasmu, dan
pedang itu berikan kepadaku.”
”Berikan padamu?” bertanya Kim Yan sambil menatap
wajah Touw Liong, lalu menganggukkan kepala dan
berkata pula:
”Baiklah! Ambillah!”
Setelah itu ia memberikan pedang itu kepada Touw
Liong. Touw Liong merasa sangat gembira dan lega
hatinya. Dengan sinar mata berterima kasih ia memandang
kepada sumoynya sejenak. Akan tetapi Kim Yan tidak mau
menerima pedang yang diberikan oleh suhengnya, ia hanya
menggelengkan kepala saja.
Touw Liong menyimpan kembali pedang Khun-ngokiamnya,
dengan kedua tangannya ia memberikan pedang
kuno kepada Hian-hiang Totiang.
Hian-hian Totiang menyambuti pedang tersebut,
kemudian berlutut dan menghadap ke kuil untuk
menjalankan upacara peradatan besar. Ia berdoa kemakkemik
sendiri dan membalikkan diri, dan pedang itu
diangkat tinggi melalui kepalanya, kemudian berkata
dengan suara nyaring:
”Kamu semua dengar perintah!”
Beberapa ratus imam yang ada di tengah lapang semua
pada berlutut dan bersedia menerima perintah.
Hian-hian Totiang menyapu semua anggota golongan
Bu-tong sejenak, kembali berkata dengan suara nyaring:
”It-tiem telah melanggar peraturan partai, pinto mewakili
cosu, mengumumkan dia diusir keluar dari golongan Butong,
untuk selama-lamanya tak diperbolehkan kembali
lagi.”
Begitu perintah itu keluar, kembali terdengar sambutan
riuh dari semua anggota Bu-tong-pay, sementara itu imam
tua itu kembali mengumumkan tindakan yang kedua:
”Sejak berdirinya kuil Sam-ceng-to-kwan hingga kini,
untuk menghormat kepada orang-orang yang berjasa
kepada partai kita, maka jika ketua golongan Kiu Hwa
datang berkunjung ke kuil, harus disambut dengan
kehormatan besar, dan ketua dari Kiu-hwa masih tetap
diperbolehkan naik ke gunung Bu-tong dengan membawa
pedang.”
Pengumuman itu kembali disambut oleh semua anggota
dengan suara riuh.
Selanjutnya adalah pengumuman yang ketiga, dari
seorang imam Hian-hian Totiang memilih seorang imam
tua yang berusia enam puluh tahun ke atas, katanya:
”Pinto melakukan tugas cosu telah memilih Ceng-sim
untuk menjabat kedudukan ketua generasi ke tiga belas dari
partai Bu-tong.”
Touw Liong menarik napas lega, ia mengawasi Hianhian
Totiang yang dengan sikap sangat menghormat
menyerahkan pedang pusaka itu kepada Ceng-tim, ia
mengerti bahwa orang-orang golongan Bu-tong anggap
pedang pusaka itu sebagai barang pusaka yang sangat
berharga bagi mereka, pedang itu sudah dipandang sebagai
barang kepercayaan untuk ketua mereka. Pantas golongan
Bu-tong-pay dengan penghormatan demikian besar
memperlakukan dirinya.
Setelah upacara penyerahan kedudukan ketua itu selesai,
orang-orang juga perlahan-lahan mulai bubar. Hian-hian
Totiang mengundang Touw Liong, Kim Yan dan Lo Bi Im
bertiga masuk ke dalam kuil, pertama Hian-hian-cu
bertanya kepada Touw Liong:
”Touw tayhiap, maksud dan tujuan tayhiap kali ini
berkunjung ke gunung, bolehkah kiranya pinto
mendapatkan sedikit keterangan?”
Bab 35
Touw Liong mengawasi Kim Yan, tampak sang sumoy
itu tidak memberikan reaksi apa-apa, barulah berkata
sambil menghela napas panjang:
”Ketika suhu mangkat, boanpwee sedang ada urusan
pergi ke gunung Pak-bong-san sehingga tidak keburu
kembali untuk mengantarkan sendiri ....”
Berkata sampai di situ, matanya agak merah, ia
memandang kepada Kim Yan tetapi Kim Yan
menundukkan kepala dan menghapus ujung matanya
dengan sapu tangan.
Touw Liong melanjutkan ucapannya:
”Ketika boanpwee pulang ke gunung, jenasah suhu
sudah dikubur beberapa hari lamanya!”
”Siapakah yang mengubur?” bertanya Kim Yan dengan
suara duka.
”Kang Kie!”
”Siapakah Kang Kie itu?” bertanya Kim Yan.
Touw Liong lalu menceritakan halnya Kang Kie dan
golongan Pak-bong pada dewasa ini.
Hian-hian Totiang memuji nama Budda, kemudian
berkata:
”Apakah Touw tayhiap anggap bahwa kematian suhumu
itu sangat mencurigakan?”
Touw Liong menganggukkan kepala, kemudian berkata:
”Keadaan suhu waktu itu sangat baik, andaikata
mendapat penyakit keras sebelum suhu wafat pasti bisa
menunggu sampai kita suheng dan sumoy pulang ke Kiuhwa,
tetapi suhu tidak menantikan boanpwee pulang ke
gunung dan sudah menutup mata, suatu bukti bahwa suhu
pasti menjumpai suatu kecelakaan mendadak.”
”Pada dewasa ini, orang yang memiliki kekuatan dan
kepandaian seperti suhumu jumlahnya dapat dihitung
dengan jari, siapakah yang sanggup? .... Gak ...?” berkata
Hian-hian Totiang sambil mengkerutkan alisnya.
Touw Liong menganggukkan kepala, katanya:
”Ngo-gak-sin-kun merupakan salah satu di antara orangorang
yang memiliki kepandaian berimbang dengan suhu,
yang lainnya mungkin adalah itu orang yang mengenakan
kerudung muka dan menyebut dirinya sebagai Panji
Wulung, tetapi orang itu adalah seorang wanita tua.”
Kim Yan pandang suhengnya dengan mata mendelik,
mulutnya terbuka, seolah-olah hendak mengucapkan
sesuatu, tetapi Lo Bi Im sudah mendahului, katanya sambil
menggelengkan kepala:
”Tidak mungkin kalau Panji Wulung locianpwee!”
Touw Liong memandang dengan penuh perhatian
kepadanya, lalu bertanya sambil memberi isyarat dengan
mata:
”Sebabnya?”
”Dua bulan terakhir ini aku dengan sumoyku bersamasama
pergi ke gunung Tiam-cong-san mempelajari
semacam ilmu, dengan diberi petunjuk oleh Panji Wulung
locianpwee sendiri, ia belum pernah meninggalkan kita
barang setapak, tidak mungkin bisa berada di tempat ribuan
pal jauhnya untuk melakukan perbuatan terkutuk itu.”
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata:
”Aku teringat kepada seorang lain lagi!”
”Siapa?” bertanya Hian-hian Totiang.
”Ilmu pedang Thay-it-sin-kiam yang terdiri dari tujuh
puluh dua jurus!”
Hian-hian Totiang terkejut, ia balas menanya:
”Maksud Touw tayhiap, apakah kau anggap perbuatan
itu dilakukan oleh It-tiem murid durhaka golongan kami
itu?”
Touw Liong menghela napas dan berkata dengan suara
sedih:
”Dalam pertempuran hari ini, aku semakin percaya
bahwa di dalam rimba persilatan ini ada dua macam ilmu
pedang yang dapat menangkan ilmu pedang Kiu-hwa-kiamhoat
suhu, yang satu adalah ilmu pedang Taylo-kim-kongkiam
yang dahulu dimiliki oleh Liu tayhiap dan yang
namanya pernah menggemparkan rimba persilatan, dan
yang lain adalah ilmu pedang Tahy-it-sin-kiam.”
”Kalau benar perbuatan itu dilakukan oleh murid
durhaka It-tiem, pinto benar-benar merasa sangat malu
sekali. Hanya ... selama satu bulan belakangan ini It-tiem
setiap hari setiap malam selalu datang menanyakan
kewarasanku belum pernah terputus. Oleh karena itu,
tentang persoalan kematian suhumu ini, kemungkinannya
dilakukan oleh murid durhaka itu sedikit sekali,” berkata
Hian-hian Totiang, ia berhenti sejenak kemudian berkata
pula:
”Coba kau pikir lagi, di antara orang-orang seperti Pek
Thian Hiong, Hui Eng, dan Kang Kie.”
”Mereka tidak mungkin membagi waktunya untuk pergi
ke gunung Kiu-hwa,” menjawab Touw Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hian-hian Totiang terbenam dalam pikirannya. Lama
sekali ia baru menggeleng-gelengkan kepalanya dan
menghela napas panjang.
Touw Liong bertanya pula:
”Tahukah cianpwee pada delapan belas tahun berselang,
di antara murid golongan Bu-tong, apakah ada salah
seorang yang pernah terjadi perselisihan paham dengan
seorang she Touw atau she Kang.”
Hian-hian Totiang mengerutkan alisnya, berpikir agak
lama. Kemudian baru berkata:
”Ada, waktu itu adalah suhengku Giok-ceng-cu yang
pegang pimpinan sewaktu It-tiem ada urusan pergi ke kota
Kong-ciu, kabarnya dia dan sepuluh tokoh kuat telah
berkumpul di telaga Tong-teng-ouw pada malaman Te-ongciu,
di situ ia melakukan suatu perbuatan yang merupakan
suatu pahala bagi mereka.”
Touw Liong terperanjat, dengan isyarat matanya ia
bertanya kepada imam tua itu:
Imam tua itu menarik napas panjang dan berkata:
”Beginilah duduk perkaranya, kabarnya kitab Thay-itcin-
keng itu berada di tangan seorang she Kang, yang
dilindungi oleh seorang she Touw, dua orang itu ketika
berjalan melalui kota Gak-yang, telah diketahui oleh tokohtokoh
dari sepuluh partai, demikianlah orang-orang kedua
pihak itu telah bertempur di loteng rumah makan Gakyang-
lauw.”
”Bagaimana kesudahannya?” bertanya Touw Liong.
”Di samping dua pemuda she Kang dan she Touw itu,
masih ada lagi seorang wanita muda yang berjalan bersama
mereka, semua binasa di tangan tokoh-tokoh sepuluh partai
itu.”
”Apakah mereka yang binasa itu tak mempunyai
keturunan?”
”Ada, sebelum menutup mata, wanita muda itu telah
melemparkan dua anak laki-lakinya yang baru berusia
setahun keluar jendela, dan kecebur di dalam air?”
”Lalu?”
”Kemudian? Oh! Tokoh-tokoh sepuluh partai itu
sehabis membunuh tiga orang itu pada turun dan mencari
dua anak kecil tadi di dalam danau, tetapi sepasang anak
tadi sudah kehilangan jejaknya.”
”O! .....”
”Menurut dugaan pinto, dua anak itu mungkin masih
hidup di dalam dunia.”
”Satu diantaranya mungkin adalah boanpwee sendiri,
dan yang lain mungkin adalah Kang Kie,” berkata Touw
Liong sambil mengucurkan air mata.
Imam tua itu mengangguk-anggukkan kepala, tidak
mengucapkan sesuatu, hanya memandang Touw Liong
dengan sinar mata penuh simpati. Kim Yan sesalkan Touw
Liong:
”Mengapa kau tadi tidak menanyakan kepada It-tiem?”
”Musuh orang tua adalah musuh yang terbesar.
Walaupun ke ujung langit, aku juga akan mencari mereka
untuk membuat perhitungan,” berkata Touw Liong.
”Tokoh dari sepuluh partai yang terbinasa di danau
Thian-tie kali ini, tiada satupun yang dahulu turut campur
tangan dalam peristiwa di kota Gak-yang tiu,” berkata
Hian-hian Totiang sedih.
”Apakah mereka masih hidup? Tahukah locianpwee
orang-orang itu?” bertanya Touw Liong sambil menangis.
”Asal dapat menemukan It-tim dan menanyakan
kepadanya, tidak susah untuk mengetahui siapa adanya
orang itu,” berkata Hian-hian Totiang sambil
menggelengkan kepala.
Touw Liong lalu bangkit dan memberi hormat, seraya
berkata:
”Musuh besar sudah kuketahui, kini boanpwee mohon
diri.”
”Harap Touw tayhiap jangan terlalu bersedih, biarlah
dari pihak pinto sini nanti akan kirim orang turun gunung
untuk mencari jejak pengkhianat It-tim itu, apabila berhasil
dapat menangkapnya, pinto akan beritahukan kepada Touw
tayhiap lagi.”
Touw Liong berpaling dan memandang Kim Yan lalu
bertanya padanya:
”Kau belum mau pergi?”
Kim Yan geleng-gelengkan kepala.
Touw Liong pergi seorang diri! Tetapi baru saja tiba di
kaki gunung Bu-tong-san, Kim Yan dan Lo Bi Im sudah
muncul. Touw Liong lalu bertanya dengan suara heran:
'”Mengapa kau juga menyusul?”
”Aku telah meminjam sebuah barang Hian-hian Totiang,
dengan adanya kau di sana aku merasa tidak enak untuk
membuka mulut, setelah kau pergi aku baru minta
padanya,” menjawab Kim Yan.
”Apa yang kau minta?”
”Pil Kiu-hwan-tan, salah satu dari tiga barang pusaka
milik Bu-tong.”
”Apa dia sudah memberikan padamu?”
Kim Yan menganggukkan kepala.
Touw Liong menghela napas dan berkata:
”Tidak kecewa Hian-hian Totiang menjadi seorang
beribadat yang bijaksana, benda berharga yang melebihi
jiwanya sendiri, dia juga rela untuk memberikan kepadamu,
kita bisa mengetahui betapa agungnya jiwa imam tua itu.”
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
”Semua itu lantaran memandang mukamu, karena ia
masih mengingat budimu yang mengembalikan pedang
kuno itu kepadanya.”
”Tidak peduli bagaimana, bagaimanapun juga ia sudah
memberikan padamu obat yang khasiatnya bisa
menghidupkan kembali orang yang sudah hampir mati, itu
adalah suatu kenyataan! Oh, untuk apa sebetulnya kau
minta obat pil Kie-hoan-tan?”
”Panji Wulung telah mempelajari semacam ilmu luar
biasa, lantaran kurang hati-hati telah membawa akibat tidak
baik bagi dirinya, dan perlu disembuhkan dengan pil ini,”
menjawab Kim Yan sambil mengerutkan alisnya.
”Ilmu luar biasa apa sebetulnya?”
”Ilmu itu dinamakan ilmu Hek-hong Im-kang.”
”Ilmu Hek-hong Im-kang?” bertanya Touw Liong
terkejut. Sebab, ilmu yang terlalu ganas itu, pada beberapa
ratus tahun berselang pernah terdengar di kalangan kangouw,
tetapi belum pernah muncul dan sekarang telah
mendapat keterangan dari mulut sumoynya sendiri, sudah
tentu bukanlah bohong.
Dahulu, sewaktu Kiu-hwa Lojin menceritakan ilmu-ilmu
dalam rimba persilatan pernah berkata: ”Ilmu yang
dinamakan Hek-hong Im-kang itu terlalu ganas sekali,
apabila seseorang berhasil memiliki ilmu itu, dan kekuatan
tenaganya sudah mencapai ke taraf sempurna, ilmu yang
dilancarkan kepada diri orang lain, perangai sang korban
bisa berubah dengan segera, dalam waktu sekejap mata bisa
melupakan asal-usul dirinya sendiri.”
Touw Liong kini baru mengerti, mengapa Panji Wulung
wanita itu pernah omong besar. Ia mengatakan bahwa Kim
Yan di kemudian hari apabila berjumpa lagi dengan Touw
Liong tidak akan mengenali Touw Liong lagi, bahkan bisa
berbalik muka terhadapnya.
Ia diam-diam mengucapkan syukur karena Kim Yan
masih belum kemasukan racun dari Hek-hong Im-kang itu
hingga sifatnya yang asli belum hilang.
Meskipun Touw Liong tahu, tetapi dia pura-pura tidak
mengerti, maka balas menanya kepada Kim Yan:
”Sumoy! Sejak kau denganku berpisahan di kapel Caplie-
tiang-teng, jejakmu sangat mengherankan, seolah-olah
bayangan yang bisa dilihat tidak bisa dipegang. Kemudian,
beberapa kali kau melihat aku, tetapi kau tidak
menghiraukan sama sekali!”
Kim Yan semula diam saja, kemudian menatap wajah
Touw Liong dan berkata:
”Sudah tentu aku mempunyai kesulitan sendiri.”
”Apakah dipengaruhi oleh Panji Wulung wanita itu?”
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala, matanya
memandang sinar matahari yang sudah hampir silam,
katanya:
”Jikalau aku tidak dengar katanya, dia akan .....”
”Dia akan bertindak yang tidak menguntungkan
bagimu?”
”Tidak!” menjawab Kim Yan sambil menggelengkan
kepala, ”jikalau aku tidak dengar kutanya, pertama, dia
akan pergi ke gunung Kiu-hwa dan mengambil tindakan
terhadap suhu; kedua, dia akan membinasakan dirimu, atau
memusnahkan kepandaian ilmu silatmu.”
”Oleh karena itu maka kau rela terkekang olehnya?”
bertanya Touw Liong sambil menghela napas.
Wajah Kim Yan menunjukkan perasaan sedihnya,
hingga Touw Liong yang menyaksikan itu sampai
menggeleng-gelengkan kepalanya:
”Tahukah kau bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan?”
Kim Yan merasa bingung, ia menggeleng-gelengkan
kepala.
Touw Liong lalu menceritakan, bagaimana Panji
Wulung wanita itu telah memusnahkan kepandaian silatnya
ketika keduanya berjumpa di puncak Sim-lie-hong di
gunung Bu-san.
Sepasang alis Kim Yan berdiri, katanya sambil
menggertek gigi:
”Tak kuduga ia telah mengingkari janjinya sendiri.”
Selanjutnya, ia menangis dengan sendirinya, dan kemudian
dengan suara terisak-isak memanggil: ”Suheng ....”
Touw Liong menghiburinya, lalu menceritakan betapa
ganasnya ilmu Hek-hong Im-kang yang sedang dipelajari
oleh Panji Wulung wanita itu. Kim Yan yang mendengar
penuturan itu wajahnya seketika berubah, katanya sambil
menggertek gigi:
”Aku tidak akan pergi lagi ke gunung Tiam-cong!”
”Baik juga! Biarlah ia menderita batin untuk sementara!
Sekarang ini yang penting kita lekas mencari keterangan
sebab-sebab kematian suhu kita.”
Tiga hari kemudian, Touw Liong bersama Kim Yan
pulang ke gunung Kiu-hwa. Kim Yan setelah berziarah di
hadapan kuburan Kiu-hwa Lojin bersama Touw Liong
berkabung di atas gunung Kiu-hwa, setapakpun tidak
meninggalkan gubuknya.
Lo Bi Im dengan seorang diri pulang ke gunung Kun-lunsan.
Dalam masa berkabung itu, Touw Liong dapat memikir
sebaik-baiknya. Ia merasa bahwa kematian suhunya itu
sangat mencurigakan, sedang musuh ayah bundanya juga
tak dapat dibandingkan dengan orang Kng-ouw biasa.
Ia bersama Kim Yan tiqap hari berlatih ilmu silat dan
melakukan semedi. Ilmunya Tay-lo-kim-kong-kiam dan
Thay-it-sing-kang, dipelajarinya dengan tekun, dengan
penghidupan secara demikian, setengah tahun dilewati
tanpa dirasa.
Kini Touw Liong sudah memahami betul ilmu
pedangnya Tay-lo-kim-kong-kiam, sedangkan Kim Yan
juga sudah berhasil mempelajari ilmunya Thay-it-sin-kang.
Dua orang itu kini benar-benar sudah terhitung salah satu
dari barisan orang terkuat dari rimba persilatan, setelah
Touw Liong juga berhasil mempelajari ilmunya Thay-it-sinkang,
hingga kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai ke
taraf tiada taranya.
Kim Yan sudah berhasil melaksanakan pelajarannya
delapan jurus ilmu pedang terampuh yang dinamakan ilmu
pedang thay-it-sin-kiam, dan Touw Liong di bawah
petunjuknya juga sudah berhasil mempelajari delapan jurus
ilmu pedang itu.
Setelah selesai dalam pelajarannya itu, kedua-duanya
bersembahyang di hadapan kuburan Kiu-hwa Lojin, lalu
turun gunung. Dua orang itu dengan tujuan yang sama,
hendak menyelidiki jejak musuh mereka.
Begitu turun dari gunung Kiu-hwa, lantas mendengar
peristiwa besar yang sangat mengejutkan...., Hian-hian
Totiang dari partai Bu-tong sudah meninggal dunia!
It-tim Totiang kembali memegang tampuk pimpinan
partai Bu-tong.
Ceng-tim Totiang kedapatan mati, tidak diketahui apa
sebabnya!
Semua peristiwa itu telah terjadi pada belum lama
berselang.
Berita itu bagaikan geledek di siang hari bolong, benarbenar
sangat mengejutkan Touw Liong dan Kim Yan.
Kini mereka tujukan arahnya ke gunung Bu-tong dengan
melakukan perjalanan siang hari malam tanpa mengaso.
Dalam waktu beberaapa hari saja, mereka sudah tiba di
bawah kaki gunung Bu-tong. Tempat itu masih tetap
seperti sediakalam namun orang-orang yang di atas gunung
itu sudah berlainan wajahnya. Dua orang itu baru tiba di
tempat yang dinamakan tempat untuk menanggalkan
pedang, dari kuil sudah terdengar suara bergeraknya orang,
dan sesaat kemudian tampak enam belas imam berpakaian
hitam yang segera merintangi perjalanan Touw Liong
berdua.
Touw Liong melihat enam belas imam itu usianya semua
di sekitar empat puluh tahunan. Wajah dan sikap mereka
menunjukkan bahwa para imam itu terdiri dari orang-orang
yang bersifat buruk. Begitu berhadapan dengan Touw
Liong lantas menghunus pedangnya, dan dengan gerakan
yang sangat lincah sekali mengurung Touw Liong dan Kim
Yan, sikapnya sangat jumawa.
Touw Liong coba mengawasi setiap orang, tetapi tak
seorangpun yang dikenalinya. Enam belas imam itu
agaknya juga merasa asing terhadap Touw Liong dan Kim
Yan. Sementara itu dalam hati Touw Liong berpikir: imam
dari partai Bu-tong, tiada seorangpun yang tak kukenali,
entah dari mana It-tim mendapatkan kambrat imam-imam
ini.
Satu diantara imam itu yang perawakannya tinggi kekar,
berjalan menghampiri Touw Liong dan membentaknya
sambil menudingkan jari telunjuk tangannya:
”Apa kerjamu?”
”Mendaki gunung!” menjawab Kim Yan dingin.
Imam itu masih tetap dengan sikap jumawa,
mengulurkan tangannya dan berkata:
”Keluarkan kartu namamu!”
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
”Kita datang tergesa-gesa hingga tidak mengadakan
persiapan. Tolong totiang katakan saja bahwa Touw Liong
dari Kiu-hwa datang untuk menghadap kepada Hian-hian
Totiang!”
”Kiu-hwa?! Heh!” berkata imam itu dengan sikap
menghina, ”kedatanganmu sangat kebetulan, ketua kami
justeru pikir hendak mengadakan perhubungan dengan
kamu ....”
Berkata sampai di situ, dengan-tiba-tiba ia memperkeras
suaranya, katanya:
”Sungguh sial! Imam tua Hian-hian itu sudah lama pergi
melaporkan diri kepada Giam-lo-ong di akherat.”
Touw Liong memperdengarkan suara dari hidung,
sedang Kim Yan tampak marah, alisnya berdiri, bentaknya
dengan nada suara dingin:
”Tutup mulut! Lekas beritahukan kepada It-tim, katakan
bahwa kita datang mencari dia!”
Imam itu mengacungkan ibu jarinya seraya berkata:
”Hebat! Hebat! Perjalanan kami benar-benar tidak siasia,
hanya dengan keberanianmu ini, sudah cukup
mengagumkan. Baiklah! Tidak susah bagi kalian hendak
menemui ketua, lebih dulu harus melewati pos penjagaan
kami.”
Sehabis berkata demikian ia mengacungkan pedangnya,
enam belas imam itu sesaat itu lantas terpisah menjadi dua
lapis, mengurung Touw Liong berdua rapat-rapat.
Dari nada suaranya imam tadi, jelas bahwa imam itu
belum lama datang di gunung Bu-tong.
Touw Liong mengeluarkan suara siulan panjang, pedang
Khun-ngo-kiamnya sudah keluar dari sarungnya, sedangkan
Kim Yan lebih dulu melompat maju dan berkata:
”Jangan tergesa-gesa! Biarlah aku yang mencoba lebih
dulu! Jikalau aku tidak sanggup, barulah kau yang
menggantikan aku.”
Touw Liong menjejakkan kakinya, melesat lima tombak.
Di tengah udara ia berputaran, lantas meluncur ke arah
batu tempat menanggalkan pedang yang tingginya
setombak lebih.
Delapan imam yang menjaga di lapis kedua, semuanya
juga bergerak dengan pedang terhunus mengepng batu
tempat menanggalkan pedang itu.
Delapan imam yang mengepung Kim Yan, semuanya
menggerakkan pedangnya tatkala dua kakinya bergerak dan
mulai membuka serangannya, ternyata pembukaan itu
adalah gerakan dari ilmu pedang Thay-it-sin-kiam.
Touw Liong diam-diam merasa heran, ia bertanya
kepada diri sendiri: ”Kawanan imam ini ternyata sudah
mempelajari ilmu pedang Thay-ti-sin-kiam!”
Sementara itu gerakan pedang delapan imam itu telah
menimbulkan desiran angin, delapan pedang itu semuanya
menikam ke arah Kim Yan sedangkan kekuatan tenaga
yang disalurkan kedelapan bilah pedang itu semua
merupakan kekuatan tenaga dalam dari golongan orang
kelas satu. Tapi yang mengherankan ialah delapan imam
yang mengepung Kim Yan itu gerak tipunya masing-masing
yang digunakan satu sama lain sangat berlainan, tetapi
semuanya adalah gerak tipu yang paling hebat dalam ilmu
pedang Thay-it-sin-kiam. Ini juga berarti bahwa Kim Yan
dalam waktu yang bersamaan telah dikepung dengan
serangan delapan orang yang semuanya sangat pandai ilmu
pedang Thay-it-sin-kiam, sehingga Touw Liong yang
menyaksikan itu merasa marah.
Kim Yan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya ke
dalam pedang di tangannya, dengan menggunakan delapan
macam gerak tipu dari ilmu pedang terampuh, dengan
mudah sekali berhasil memunahkan serangan delapan
imam itu.
Tetapi delapan imam itu bukanlah orang-orang dari
golongan sembarangan. Delapan pedang mereka setelah
terpencar, tetapi sebentar lagi telah bergabung kembali,
sesaat selagi menggabungkan diri, hembusan angin yang
keluar dari delapan bilah pedang dengan dibarengi oleh
serangan yang hebat, mendesak Kim Yan lagi.
Kim Yan mengeluarkan suara siulan panjang, pedang
panjangnya diputar demikian rupa, untuk kedua kalinya ia
berhasil memunahkan serangan dari delapan bilah pedang
tersebut.
Delapan imam itu kembali memencar dan kemudian
tergabung lagi, kali ini delapan bilah pedang itu tidak
terburu nafsu mengeluarkan serangan, lebih dulu dua bilah
pedang yang melakukan serangan, saling menyusul. Tetapi
sesaat serangan itu meluncur, dan baru di tengah jalan,
serangan pedang dari kanan dan kiri menyambung dengan
tiba-tiba, serangan itu menggunakan dua macam gerak tipu
yang mematikan, dan selagi serangan dari pedang kanan
dan kiri menjalankan tugasnya, dari kanan depan dan kiri
bagian depan juga sudah menyusul melancarkan serangan.
Serangan pedang dari kanan dan kiri itu merupakan
serangan tipuan belaka, bukan serangan yang sungguhsungguh,
sedangkan bagian depan kanan dan bagian kiri
belakang tiga pedang melancarkan serangan dengan
beruntun.
Delapan pedang itu mengarahkan serangan saling
menyusul, menjadi empat gelombang, terbagi delapan arah
yang berlainan, hingga sesaat itu, Kim Yan merasa repot
juga, sebab kalau ia berhasil menahan serangan dari depan,
tetapi tidak bisa menjaga serangan dari belakang, kalau ia
berhasil mengelakkan serangan dari kiri, di bagian kanan
lantas terbuka luang, hingga sesaat selanjutnya keadaannya
sangat berbahaya.
Touw Liong yang menyaksikan itu merasa khawatir,
sambil menenteng pedangnya ia lompat melesat dan
menyerbu ke tengah-tengah medan pertempuran.
Sebelum orangnya tiba, pedangnya sudah melancarkan
serangannya lebih dahulu, dengan pedang pusakanya yang
luar biasa itu, secepat kilat sudah berhasil memapas kutung
empat bilah pedang di tangan empat imam.
Tempat dimana Touw Liong turun, ada di samping Kim
Yan, dengan demikian mereka berdua lantas berdiri
berdampingan, sama-sama melawan musuhnya.
Delapan imam itu pada lompat mundur, tetapi delapan
imam yang lain sudah maju turut bertempur.
Sementara itu dari kuil sudah ada orang yang
mengantarkan empat bilah pedang panjang untuk
menggantikan empat pedang yang terpapas kutung oleh
Touw Liong. Beberapa imam yang lainnya juga sudah
dikerahkan, namun tidak ikut turun tangan.
Kim Yan kini dapat menarik napas lega, dengan lengan
bajunya menghapus keringat yang membasahi jidatnya. Ia
lalu berkata kepada Touw Liong dengan suara pelahan:
”Suheng, sungguh berbahaya!”
Touw Liong memandangnya sambil tertawa getir, dan
menghela napas panjang. Kim Yan tiba-tiba mengerutkan
alisnya, sudah menemukan suatu akal, di telinga Touw
Liong ia mengatakan beberapa patah kata dengan suara
amat pelahan.
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata:
”Baiklah, kita berbuat begitu saja.”
Enam belas imam itu terbagi menjadi dua lapis, pedang
mereka silih berganti melancarkan serangan, kali ini mereka
melakukan gerakannya yang tidak sama dengan yang
duluan. Meskipun masih tetap melancarkan serangan
dengan dua bilah pedang secara berbareng, tetapi dua lapis
imam yang melancarkan serangan silih berganti bisa bekerja
sangat baik sekali. Enam belas bilah pedang bergulunggulung,
hingga menimbulkan desiran angin hebat
mengurung dua orang itu.
Mata Touw Liong berputaran, kekuatan tenaga
dikerahkan kepada lengan tangannya, pedangnya
digunakan untuk memapaki setiap serangan musuh yang
hampir mengenai dirinya, sedangkan kekuatan tenaga di
tangan kirinya dikerahkan kepada lima jari tangannya, dari
jarak jauh melancarkan serangannya Thay-it-sin-jiauw.
Sesaat kemudian terdengar suara jeritan ngeri, imam yang
mundur ke belakang lantas rubuh jatuh di tanah, hanya
sebentar saja ia menggeliat, lantas tak berkutik lagi.
Bab 36
Kim Yan yang melihat suhengnya sudah berhasil
membinasakan satu lawan, dalam hatinya merasa girang, ia
juga melancarkan serangan, kembali terdengar dua kali
suara jeritan ngeri, dari enam belas imam yang buas-buas
itu, tiga orang kembali terbinasa di tangannya.
Imam yang bertindak sebagai kepala rombongan dari
enam belas imam tersebut, ketika melihat gelagat tidak
beres lantas memerintahkan orangnya sendiri mundur.
Tiga belas imam yang masih hidup, bagaikan daun
kering tersapu angin pada mundur bersimpang-siur.
Meskipun mereka sudah mundur jauh-jauh, tetapi tiga
orang itu masih mencoba berusaha untuk mengurung dua
orang lawannya lagi.
Touw Liong mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak,
imam yang bertindak sebagai kepala rombongan itu
juga tertawa menyeringai, tangannya menggapai ke arah
kuil, dari dalam kuil segera terdengar suara genta yang
sangat ramai.
Imam itu berkata sambil tertawa dingin:
”Bocah she Touw, kau jangan merasa bangga dulu,
sebentar lagi, ketua kita akan datang sendiri untuk melayani
kau.”
Touw Liong tertawa terbahak-bahak dan berkata:
”It-tim adalah setan gentanyangan di bawah pedang
kami. Aku si orang she Touw yakin masih sanggup
menyambuti serangannya yang ganas.”
Imam itu kembali perdengarkan suara ketawa dinginnya,
setelah itu ia berkata pula:
”Keadaan sudah berubah, ketua kita sudah tidak seperti
dahulu lagi, waktu itu sebab belum berhasil menyelesaikan
pelajarannya delapan gerak tipu terampuh dalam ilmu
pedang Thay-it-sin-kiam, sehingga dirugikan oleh kalian;
akan tetapi sekarang ilmu pedang itu sudah dipelajari
seluruhnya, di dalam dunia ini, orang yang bisa menandingi
ilmu pedangnya barangkali bisa dihitung dengan jari.”
Touw Liong yang mendengar ucapan itu diam-diam juga
terkejut, namun dia masih belum percaya seluruhnya,
sedangkan Kim Yan perdengarkan suara dingin, kemudian
berkata:
”Di dalam dunia ini, orang yang bisa menggunakan
delapan macam gerakan terampuh dari ilmu pedang Thayit-
sin-kiam, kecuali si nenek yang menyebut dirinya sebagai
Panji Wulung, tidak ada orang lagi yang mengerti ilmu
pedang terampuh itu, kau kata bahwa It-tim sudah berhasil
mempelajari delapan gerakan terampuh itu, bukankah
sangat lucu sekali?”
Imam itu menganggukkan kepala dan berkata:
”Benar! Dalam dunia ini orang yang mengerti delapan
macam gerak tipu terampuh itu hanyalah Panji Wulung
locianpwee seorang, tetapi kau mungkin mengimpipun tak
akan menduga bahwa delapan gerak tipu terampuh yang
dipelajari oleh ketua kita itu dari Panji Wulung locianpwee
sendiri.”
”Aneh!” berkata Kim Yan heran.
Sementara itu Touw Liong berkata sendiri dengan
terheran-heran:
”Diantara mereka tidak ada hubungan satu sama lain!”
Imam itu tertawa besar, katanya:
”Dalam segala hal tak bisa terlepas dari soal jodoh, oleh
karena jodoh, hal apa dalam dunia ini yang tidak bisa
berhasil? Dengan cara bagaimana ketua kami bisa
mengadakan perhubungan dengan Panji Wulung, bagi
orang luar, sedikit sekali yang tahu, sebentar lagi, kalian
boleh tanya sendiri!”
”Hmmm!” demikian Touw Liong menyahut lalu
terbenam dalam alam pikirannya sendiri.
Sementara itu Kim Yan berkata:
”Jikalau benar dua orang itu tergabung menjadi satu,
maka rimba persilatan barangkali tidak akan aman lagi.”
”Bocah she Kim, kata-katamu ini seperti kata-kata orang
mengimpi, ketua kita bukan saja sudah mengadakan
perhubungan dengan Panji Wulung, bahkan .... he, he!
Sepuluh tokoh kuat dari sepuluh partai, kini berkumpul di
markas besar partai Bu-tong, hendak melakukan suatu
pekerjaan besar yang akan menggemparkan dunia
persilatan, hal ini juga hanya menunggu sang waktu saja.”
Touw Liong yang mendengar ucapan itu bertanya
dengan suara marah:
”Sepuluh tokoh dari sepuluh partai yang kau katakan
tadi, apakah bukan sepuluh penjahat yang dahulu terlibat
dalam peristiwa di kota Gak-yang?”
”Mereka turut ambil bagian atau tidak, aku tak bisa
mengatakan, bagaimanapun juga orang yang bisa
berhubungan dengan ketua kami, juga bukanlah orangorang
dari golongan sembarangan,” berkata imam tadi
pura-pura berlaku misteri.
”Jikalau betul mereka sepuluh orang itu, ini merupakan
suatu kesempatan bagiku untuk melaksanakan tugasku!
Kuakan bunuh mereka satu persatu kalau aku sampai
meloloskan satu saja, aku tidak mau menjadi orang she
Touw lagi!”
”Kalau kau ingin penjelasan tanya saja kepada .... Oh,
itu dia pemimpin kami sudah datang!” berkata imam itu
dingin.
Touw Liong mengikuti arah yang ditunjuk oleh imam
tadi. Benar saja, tampak It-tim dengan diiring oleh delapan
imam jubah hijau yang dahulu dikutung tangan dan
kakinya oleh Kim Yan, sedang berjalan mendatangi.
Delapan imam yang sudah bercacat itu ketika tiba di
depan Touw Liong semua mengawasi Kim Yan dengan
sinar mata penuh kemarahan.
It-tim dengan pedang pusaka di tangan melirik kepada
Kim Yan sejenak, lalu berkata kepada Touw Liong:
”Di sorga ada jalan, kalian tidak mau ke sana sebaliknya
datang kemari mencari mati. Baik juga, aku baru saja
membuka pintu neraka, kalau kalian mau, silahkan masuk!”
”It-tim, kau ini manusia terkutuk yang berani melawan
Cowsu sendiri dan berkhianat terhadap partai, kalau aku
tidak membelah dadamu dan mengeluarkan hatimu, benarbenar
tidak percaya kau bisa melakukan perbuatan durhaka
yang terkutuk oleh dewa-dewa itu!” berkata Touw Liong
dengan tidak kalah pedasnya.
”Orang yang bernyali kecil bukanlah kesatria, orang
yang tidak berhati kejam bukanlah seorang jantan. Aku
sebetulnya memang ketua partai Bu-tong, siapa suruh
mereka berani melawan perintah secara terang-terangan?”
”Dosamu bukan hanya itu saja, sembilan belas tahun
berselang, perbuatan di Gak-yang-lauw terhadap ayah
bundaku ....” berkata Touw Liong dengan mata merah.
It-tim terkejut, ia mundur selangkah, matanya menatap
Touw Liong, tanyanya:
”Kau adalah ....”
”Siapa aku? Ha ...”
”Apa kau keturunan salah satu dari antara tiga bangsat
itu? Oh ya! Kau tentunya sudah dibawa dan ditolong oleh
setan tua Kiu-hwa Lojin ....” berkata It-tim sambil
menuding Touw Liong. Kemudian tertawa terbahak-bahak
dan berkata pula dengan sangat bangga:
”Memang benar orang she Touw itu adalah aku sendiri
yang bereskan. Kau datang mencari aku, itu tidak salah
alamat!”
Meskipun darah Touw Liong mendidih, tetapi ia masih
kendalikan perasaannya.
Ia mendongakkan kepala dan berdoa kepada arwah ayah
bundanya, supaya diberi restu untuk membinasakan musuh
besarnya dengan tangan sendiri.
Sehabis berdoa, selagi hendak bergerak, dengan tiba-tiba
Kim Yan maju dan berkata padanya dengan suara lemah
lembut:
”Suheng sabar dulu, aku hendak tanya kepada imam
keparat ini.”
Touw Liong terpaksa membatalkan maksudnya,
sementara itu dengan sikapnya yang tenang Kim Yan
bertanya:
”It-tim, ada permusuhan apa kau dengan ayah bunda
Touw Liong sehingga demikian tega hati kau membunuh
mereka?”
”Sebetulnya tidak ada permusuhan apa-apa, hanya
kepentingan masing-masing yang bertentangan satu sama
lain, sehingga timbul bentrokan.”
JILID 14
Kim Yan pandang It-tim marah tetapi It-tim tidak
menghiraukan, katanya pula,
”Sebetulnya hanya soal kitab Thay-it Cin-keng. Sepuluh
tahun berselang, seperti apa yang sudah diketahui oleh
semua orang rimba persilatan lantaran kitab tersebut telah
menimbulkan bentrokan hebat dengan golongan Pak-bong
akhirnya, kedua pihak jatuh banyak korban jiwa dan kitab
itu sendiri juga lenyap. Sejak waktu itu suhu lalu
mengeluarkan perintah untuk mencari kembali kitab yang
hilang itu dengan cara apa saja. Apa mau kitab Thay-it
Kiam-pho yang merupakan satu bagian dari kitab Thay-it
Cing-keng telah terjatuh di tangan Hong-tim-sam-kiat (Tiga
Jago Pengembara).”
“Hong-tim-sam-kiat?” bertanya Kim Yan dengan mulut
menganga sambil memandang Touw Liong.
”Ayah mungkin adalah orang yang waktu itu mendapat
julukan Touw Giok Khun. Tangan Besi Menggetarkan
daerah Tiga Sungai,” berkata Touw Liong.
It-tim berkata sambil menganggukkan kepala.
”Kitab ilmu pedang itu memang terjatuh di tangan Touw
Giok Khun, waktu aku berjumpa dengannya di daerah
Kow-sow aku minta dengan secara baik, tetapi mereka tidak
mau menyerahkan, hingga akhirnya terjadi bentrokan.
Kala itu aku terpukul oleh orang she Touw itu, tetapi yang
paling menggenaskan adalah sikap Kang In Hui yang
sangat jumawa, setelah aku terluka di tangan Touw Giok
Khun ia malah sesumbar, kitab ilmu pedang itu memang
betul berada dalam tangan mereka tetapi jangan harap bisa
diserahkan, sekalipun mengerahkan tokoh-tokoh terkuat
dari sepuluh partai besar pada waktu itu, juga tidak takut!!
Pada masa itu usia tiga jago itu semua belum cukup dua
puluh lima tahun, terutama isteri Touw Giok Khun, Kok
Gin Hong, yang mempunyai julukan San-hoa-sian-cu,
bukan saja ilmu pedangnya tidak di bawah Kang In Hui,
tetapi juga mahir sekali menggunakan senjata rahasia jarum
Bwee-hoa-ciam. Tiga orang itu karena memiliki
kepandaian tinggi, dalam usia demikian muda namanya
sudah menggemparkan rimba persilatan, maka lantas
menjadi sombong.”
Waktu itu, It-tim telah menetapkan suatu perjanjian. Ittim
hendak mengadakan pertandingan pada tanggal 9 bulan
sembilan.
Ia tidak lantas kembali ke gunung Bu-tong, dengan
kedudukan sebagai murid Bu-tong-pay, berkunjung kepada
tokoh-tokoh dan jago-jago pedang dari sembilan partai
besar.
Pada malam hari tanggal sembilan, bulan sembilan, hari
yang sudah ditetapkan perjanjiannya dengan tiga jago itu,
tokoh-tokoh kuat dari sepuluh partai besar telah berkumpul
di kota Gak-yang. Hong-tim-sam-kiat juga tiba di rumah
makan Gak-yang-lauw pada waktu yang tepat, serta
menampak tokoh-tokoh kuat dari sepuluh partai besar
benar saja semua pada berkumpul. Touw Giok Khun
suami isteri tampak terkejut, sedangkan Kang In Hui hanya
memandangnya dengan senyum simpul.
Touw Giok Khun bukannya takut kepada sepuluh orang
kuat dari sepuluh partai, apa yang dikhawatirkan oleh
mereka ialah pada saat itu ia sedang membawa sepasang
anak kembarnya yang baru berusia satu tahun, apabila
terjadi pertempuran, bagaimana harus membagi
perhatiannya kepada sepasang anak itu, apabila kurang
hati-hati, sangat berbahaya bagi anaknya yang masih belum
mengerti apa-apa.
Dua orang itu selagi hendak memberi keterangan kepada
sepuluh tokoh kuat dengan kata-kata yang manis, minta
supaya diadakan perjanjian di lain waktu lagi, ..... tak
disangka Kang In Hui yang turut campur bicara, sudah
bentrok dengan It-tim, keduanya sudah mulai bertempur.
Kang In Hui dengan pedangnya berhasil melukai It-tim
sedang kata-katanya juga membangkitkan amarah sembilan
tokoh partai besar, sehingga selanjutnya terjadilah suatu
pertempuran hebat.
Kesudahan dari pertempuran hebat itu, Hong-tim-samkiat
mengalami nasib sial, kehilangan nyawa mereka dari
sepuluh tokoh kuat dari sepuluh partai besar.
Hok In Hong dalam keadaan yang sangat kritis telah
melemparkan sepasang anak kembarnya ke danau Tongsan-
ouw, waktu itu dalam alam pikirannya tidak
mengharapkan kedua anaknya itu mendapat pertolongan,
tetapi siapa sangka bahwa dua anak itu akhirnya telah
mendapat pertolongan dari tangan orang pandai.
It-tim dengan ringkas menceritakan semua kejadian itu,
dan Kim Yan yang mendengarkan sejak tadi, lantas
bertanya dengan suara marah,
”Hong-tim-sam-kiat terbinasa dalam komplotan kalian
sepuluh orang, mengapa di dunia Kang-ouw belum pernah
terdengar berita itu?”
”Touw Giok Khun dalam rimba persilatan mempunyai
nama baik, sedangkan tokoh-tokoh yang turut ambil bagian
waktu itu semua merupakan tokoh-tokoh dari sepuluh
partai besar golongan baik-baik. Apabila peristiwa itu
tersiar keluar, tidak baik akibatnya bagi nama baik sepuluh
partai maka kematian tiga jago itu sudah sengaja ditutup
rapat jangan sampai tersiar keluar.”
”Di mana jenasah tiga jago itu dikubur?”
”Di daerah Kho-kho-tay.”
Touw Liong yang mendengar itu air matanya
bercucuran, pedangnya diangkat tinggi dan bertanya kepada
It-tim.
“Sembilan tokoh dari sembilan partai besar itu, siapasiapa
saja orangnya?”
”Satu laki-laki yang sudah berani berbuat harus berani
bertanggung jawab. Dalam urusan ini kau boleh minta
perhitungan dengan pinto seorang saja!” menjawab It-tim,
sambil menepuk dadanya.
Touw Liong dengan tiba-tiba menyeka kering air
matanya, dari mulutnya keluar suara geram hebat, katanya,
”Bagus! Aku hendak membereskan kau lebih dulu,
barulah mencari mereka untuk membuat perhitungan.
Angkat, serahkan lehermu, ataukan tuan mudamu harus
turun tangan sendiri?”
Anda sedang membaca artikel tentang Panji Wulung 2 dan anda bisa menemukan artikel Panji Wulung 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-wulung-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Panji Wulung 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Panji Wulung 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Panji Wulung 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-wulung-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar